Bagan Penatalaksanaan Penderita Dbd Ogut

download Bagan Penatalaksanaan Penderita Dbd Ogut

of 39

description

h

Transcript of Bagan Penatalaksanaan Penderita Dbd Ogut

Bagan 2

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever, selanjutnya disingkat DHF), ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah 2 hari pertama uji tourniquet akan positf dengan tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekie spontan yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis, melena, trombositopenia, masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan maturasi megakariosit.

Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS) ialah penyakit DHF yang disertai renjatan.

ETIOLOGI

Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B arthropod borne virus (arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak beredar dan biasanya menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sentifif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70(C.

Isolasi virus dengue dengan menggunakan biakan jaringan nyamuk Ae, aegypti atau Ae.albopictus disebut mosquito inoculation technique. Sensitivitas isolasi bergantung pada serotipe virus, macam strain, macam biakan jaringan, asal biakan jaringan, jumlah pasase biakan jaringan dan lain-lain.

EPIDEMIOLOGI

Demam Berdarah Dengue (DHF) di Indonesia, pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta pertamakali tahun 1969. kemudian Bandung dan Yogyakarta tahun 1972. Epidemi pertama diluar Jawa pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973) pada tahun 1974, epidemi di laporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1994. DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia.

Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk aedes aegypti, disamping pula aedes albopictus. Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lainnya.

Daerah yang terjangkit DHF adalah daerah yang padat penduduk, karena :

1. Antar rumah jaraknya berdekatan, yang memungkinkan penularan karena jarak terbang Ae. aegypti adalah 40-100 meter.

2. Ae.aegypti betina mempunyai kebisaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat.

Kasus DHF cenderung meningkat pada musim hujan, kemungkinan disebabkan :

1. Perubahan musim mempengaruhi frekuensi gigitan nyamuk, karena pengaruh musim hujan puncak jumlah gigitan terjadi pada siang dan sore hari.

2. Perubahan musim mempengaruhi manusia sendiri dalam sikapnya terhadap gigitan nyamuk, misalnya dengan banyak berdiam dirumah selama musim hujan.

PATOGENESIS

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala seperti DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi.

Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut :

1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DHF.

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia hebat dan perdarahan.

Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi intravaskular.

3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah. INFEKSI SEKUNDER VIRUS DENGUE YANG BERBEDA

Kompleks virus-antibodi

DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:

1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.

2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus.

3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi.

4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

Derajat penyakit (WHO, 1997)

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas,uji tourniquet (+)

Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain

Derajat III : Ada kegagalan sirkulasi, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

PATOFISIOLOGI

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjarkelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit.

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat mengurangnya volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, ganguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.

Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial.

Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi.

DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DHF tanpa renjatan. Pada awal DHF pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.

INFEKSI VIRUS DENGUE

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis amat bervariasi dari yang amat ringan (silent dengue infection) hingga yang sedang seperti DF, sampai ke DHF dengan manifestasi demam akut, perdarahan serta kecenderungan terjadi renjatan yang berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.

Pada DBD demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik, sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot dan tulang (break bone fever), mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan, bengkak sekitar mata, injeksi konjungtiva, lakrimasi dan fotofobia dan otot mata terasa pegal.

Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (initial rash) terlihat jelas pada muka dan dada berlangsung beberapa jam. Ruam berikutnya (terminal rash) mulai antara hari ke 3-6, mula-mula berbentuk makula-makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekie pada dasarnya di lengan dan kaki, kemudian menjalar cepat keseluruh tubuh. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa uji tourniquet (+), petekie, ekimosis atau purpura; perdarahan mukosa, perdarahan saluran cerna dan tempat bekas suntikan, hematemesis atau melena, epistaksis.

Pasien sukar buang air besar, lidah sering kotor, kadang pembesaran kelenjar dan hati umumnya membesar dan nyeri tekan. Pada DSS gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi 38,5 derajat celcius beri barasetamol bila kejang beri obat anti kanvulsi

Pasien tidak dapat minum

Pasien muntah terus menerus

Pasien tidak dapat minum

Pasang infus NaCL 0,45% : dekstraso 5% tetesan rumatan sesuai berat badan periksa Ht-b tiap 6 jam trombosit tiap 12 jam

Monitor gejala klinis dan laboratorium

Perhatikan tanda syok

Palpasi hati setiap hari

Ukur diuresis setiap hari

Awasi perdarahan

Periksa Ht, Hb tiap 6 jam,

trombosit tiap 12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Infus ganti ringer laktat (tetesan disesuaikan, lihat bagan 4)

Perbaikan klinis dan laboratoris

Pulang

(lihat : Kriteria memulangkan pasien)

Perbaikan

Gelisah

Distres pernafasan

Frek. Nadi naik

Ht tetap tinggi/naik

Tk. Nadi 20 mmHg

Tidak sesak nafas/sianosis

Ekstrimitas hangat

Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

Kesadaran menurun

Nadi lembut/tidak teraba

Tekanan nadi < 20 mmHg

Distres pernafasan/sianosis

Kulit dingin dan lembab

Ekstrimitas dingin

Periksa kadar gula daarah

Cairan dan tetesan disesuaikan

10 ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat

Tanda vital

Tanda perdarahan

Diuresis

Hb, Ht, trombosit

Stabil dalam 24 jam

Tetesan 5 ml/kgBB/jam

Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Infus stop tidak melebihi 48 jam

Syok teratasi

Lanjutkan cairan

15-20 ml/kgBB/jam

Tambahkan koloid/plasma

Dekstran/FFP

10-20 (max 30) mi/kgBB

Koreksi asidosis

Evaluasi 1 jam

Syok belum teratasi

Ht turun

Ht tetap tinggi naik koloid

Transfusi darah segar 10 ml/kgBB 20 ml/kg BB dapat diulang sesuai kebutuhan