Baca Artikel Isu Kesehatan

16
Apakah Awareness Dapat Meningkatkan Capaian Kepesertaan JKN? PKMK – Sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mempertimbangkan beberapa aspek. Kepesertaan bukan hanya merupakan salah satu dimensi yang dirumuskan World Health Organization (WHO), melainkan juga termasuk delapan sasaran pokok peta jalan JKN 2012-2019. Rendahnya capaian peserta bukan penerima upah (PBPU) menjadi indikasi belum optimalnya upaya sosialisasi dan belum terbentuknya kesadaran masyarakat terhadap program JKN. Di penghujung tahun 2014, dua lembaga riset melakukan survei pelaksanaan program JKN. Menurut Myriad Research Committed, tingkat kepuasan peserta yang berobat ke Puskesmas mencapai 80%, klinik 80%, dan rumah sakit swasta 83%. Sedangkan PT Sucofindo menyatakan bahwa tingkat kesadaran (brand awareness) masyarakat terhadap BPJS Kesehatan meningkat dari 58% di tahun 2013 menjadi 95% di tahun 2014. Tingginya tingkat awareness masyarakat belum bisa mendorong secara massif agar masyarakat mendaftar menjadi peserta JKN. Sosio ekonomi merupakan salah satu determinan utama kesadaran masyarakat terhadap asuransi kesehatan (Yellaiah dan Ramakrishna, 2012). Bawa dan Ruchita (2011) juga menjelaskan bahwa selain sosio ekonomi, willingness to pay juga sangat berpengaruh terhadap kesadaran. Memahami kesadaran masyarakat turut mendukung asuransi kesehatan nasional (Adibe et al., 2011), termasuk bagi program JKN. Untuk memahami lebih dalam mengenai determinan dan upaya dalam meningkat kesadaran masyarakat, berikut terlampir beberapa jurnal penelitian yang dapat menjadi literatur utama. Baca abstrak 1. Awareness of National Health Insurance Scheme (NHIS) activities among employees of a Nigerian UniversitySocio economic determinants of health insurance in India 2. Awareness of National Health Insurance Scheme (NHIS) activities among employees of a Nigerian University

description

isu kesehatan

Transcript of Baca Artikel Isu Kesehatan

Apakah Awareness Dapat Meningkatkan Capaian Kepesertaan JKN?PKMK Sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mempertimbangkan beberapa aspek. Kepesertaan bukan hanya merupakan salah satu dimensi yang dirumuskanWorld Health Organization(WHO), melainkan juga termasuk delapan sasaran pokok peta jalan JKN 2012-2019. Rendahnya capaian peserta bukan penerima upah (PBPU) menjadi indikasi belum optimalnya upaya sosialisasi dan belum terbentuknya kesadaran masyarakat terhadap program JKN.Di penghujung tahun 2014, dua lembaga riset melakukan survei pelaksanaan program JKN. Menurut Myriad Research Committed, tingkat kepuasan peserta yang berobat ke Puskesmas mencapai 80%, klinik 80%, dan rumah sakit swasta 83%. Sedangkan PT Sucofindo menyatakan bahwa tingkat kesadaran(brand awareness)masyarakat terhadap BPJS Kesehatan meningkat dari 58% di tahun 2013 menjadi 95% di tahun 2014. Tingginya tingkat awareness masyarakat belum bisa mendorong secara massif agar masyarakat mendaftar menjadi peserta JKN.Sosio ekonomi merupakan salah satu determinan utama kesadaran masyarakat terhadap asuransi kesehatan (Yellaiah dan Ramakrishna, 2012). Bawa dan Ruchita (2011) juga menjelaskan bahwa selain sosio ekonomi,willingness to payjuga sangat berpengaruh terhadap kesadaran. Memahami kesadaran masyarakat turut mendukung asuransi kesehatan nasional (Adibe et al., 2011), termasuk bagi program JKN. Untuk memahami lebih dalam mengenai determinan dan upaya dalam meningkat kesadaran masyarakat, berikut terlampir beberapa jurnal penelitian yang dapat menjadi literatur utama. Baca abstrak1. Awareness of National Health Insurance Scheme (NHIS) activities among employees of a Nigerian UniversitySocio economic determinants of health insurance in India2. Awareness of National Health Insurance Scheme (NHIS) activities among employees of a Nigerian University3. Awareness and Willingness to Pay for Health Insurance: An Empirical Study with Reference to Punjab India

Berbagai Isu Strategis Dalam Sistem Kesehatandi Kabupaten dalam Era BPJS

Pengantar oleh Prof. Laksono TrisnantoroSebelumnya telah dibahas bersama mengenai situasi upaya pencegahan dan promosi saat ini dan kemungkinannya di era BPJS. Porsi aspek promotif preventif yang belum jelas menjelang penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi hal yang perlu dikaji lebih dalam. Salah satu pertanyaan pentingnya adalah siapa pelaku dan penanggung jawab fungsi promotif preventif kesehatan? Apakah kemudian BPJS Kesehatan atau bahkan Dinas Kesehatan? Apakah fungsi promotif preventif ditujukan untuk seluruh masyarakat ataukah hanya kepesertaan BPJS?Sesi diskusi kedua mengangkat topik peranan Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan Dinas Kesehatan provinsi dalam era BPJS dan hubungan antara Dinas Kesehatan dan RSUD dan RS swasta. Pembahasan pertama disajikan oleh Dr. Anung Sugihantono, M.Kes (Kadinkes provinsi Jawa Tengah). Menurut beliau, kejelasan dan pemahaman definisi operasional mengenai kapitasi menjadi hal yang sangatlah penting karena berkaitan dengan kejelasan aspek pembiayaan untuk kegiatan promotif preventif. Minimnya apresiasi terhadap kegiatan tersebut turut berpengaruh terhadap minimnya pendayagunaan fungsi promotif preventif.Berbeda halnya dengan kesehatan rujukan dengan tarif INA-CBG yang konteks tarifnya lebih ke arah kuratif. Jika ada konsep promotif preventif dalam mekanismenya, maka hal itu lebih ke upaya perorangan (contoh : mencegah kambuhnya penyakit). Oleh karena itu, definisi operasional mengenai kapitasi dan konsep promosi sangat berperan untuk mengetahui tatanan kapitasi dalam sistem pembiayaan.Dinas Kesehatan kabupaten/kota diharapkan bukan hanya berfokus pada kepesertaan BPJS melainkan juga mengakomodir fungsi promotif preventif dalam penyelenggaraan JKN bersama dengan fasilitas kesehatan secara keseluruhan. Menanggapi hasil pemaparan tersebut, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D mengangkat kembali kasus seputar siapakah aktor ahli yang berperan dalam pelaksanaan fungsi preventif promotif? Para Sarjana Kesehatan Masyarakatkah atau PTT yang telah dikontrak oleh BPJS? Atau bahkan Dinas Kesehatan itu sendiri? Mengingat Dinas PU selalu melakukan mekanisme kontrak dalam setiap pembangunan proyek, dan bagaimana dengan Dinas Kesehatan? Anggaran BPJS di daerah sudah lebih besar dibandingkan dengan alokasi anggaran kesehatan daerah. Bagaimana dengan proporsi anggaran untuk promotif preventif? Pembiayaan kegiatan preventif promotif selain dari anggaran APBD, apakah ada kontribusi dari BPJS?Beberapa rekomendasi awal bahwa adanya negosiasi terkait manajemen kesehatan untuk memberikan fungsi komprehensif termasuk aspek promotif preventif selain kuratif rehabilitatif. Aspek promotif preventif ini kemudian akan lebih ditekankan padagate keeperJKN. Anung kembali menambahkan bahwa peran Dinkes ada pada tatanan proses dan prasyarat dengan disertai negosiasi dan kerjasama. Peran Dinkes sebagai pemilik Puskesmas (UPT) dan rumah sakit yang notabene juga bagian kesatuan Dinkes. Pemberi izin sebagai aspek legal. Jika dalam konteks asosiasi maka Dinkes sebagai fasilitator pihak-pihak yang terkait dan memberikan rekomendasi terhadap pengembangan fasilitas kesehatan.Meskipun tidak adaPerjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dinkes kabupaten/kota dan Dinkes provinsi, namun tetap perlu ada koordinasi antara keduanya dalam hal implementasi JKN. Adapun tantangan peran Dinkes, diantaranya : sumber daya kesehatan, regulasi dan persepsi kapitasi, pembiayaan kesehatan terkaitpublic goods,tata kelola, dan keterlibatan dalam kontrak. Oleh karena itu, Dinkes diharapkan dapat bertanggung jawab secara proaktif dalam fungsi manajemen pembiayaan kesehatan wilayah dan mutu pelayanan, fokus pada pelayanan kesehatan dengan tiga pilar utamanya, dan diikuti pola penguatan SDM kesehatan, kemitraan dengan profesi dan asosiasi.Kewajiban Dinkes untuk proaktif dalam kewenanganmappingfasilitas kesehatan juga ditegaskan oleh Dr. Ronny Rukmito, M.Kes (Kadinkes Kabupaten Klaten). Dinkes dan organisasi profesi telah membahas potensisafeguardingbersama-sama. Selain itu, apabila suatu kecamatan memiliki lebih dari tiga fasilitas kesehatan primer maka akan dimobilisasi ke kecamatan lainnya. Peran lain adalah memberikan rekomendasi kepada BPJS Kesehatan untuk fasilitas kesehatan sebagaiprovider. Asosiasi dan fasilitas kesehatan hanya berwenang dalam negosiasi, sementara Dinkes mengatur, membina, mengarahkan fasilitas kesehatan primer di kabupaten/kota. Berbeda halnya dengan rumah sakit yang hanya sebatas pembinaan. JikaKadinkesex oficiomaka pada masa BPJS Dinkes akan ikut berperan lebih dalam terhadap kinerja rumah sakit. Sejauh ini posisinya hanya melihat dari luar, jika ada masalah di rumah sakit dan masyarakat barulah melibatkan Dinas Kesehatan. Oleh karena itu, Dinkes memiliki paradoks sebagai pemadam kebakaran. Harapannya di tahun 2014 akan ada peraturan baru yang memfasilitasi peran Dinkes.Berikutnya adalah pemaparan dari ARSADA yang diwakili oleh Dr. Kuntjoro, M.Kes (Ketua Umum ARSADA). Semua pihak harus tetap berusaha menjalankan fungsinya masing-masing menjelang reformasi sistem pembiayaan ini. Asosiasi RSUD bersama dengan PERSI melakukan koordinasi dan negosiasi terkait siapa dan daerah mana saja yang masuk wilayah cakupan jaminan kesehatan. Ada satudraftperjanjian untuk semua fasilitas kesehatan yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan telah dievaluasi pula oleh ARSADA dan asosiasi lainnya dengan menekankan prinsipgood corporate governancedangood clinical governance. Pelayanan publik memiliki kemungkinan dapat gagal yaitu kegagalan strategi (sehingga perlu negosiasi secara terpusat). Jika fasilitas kesehatan merasa belum siap untuk melakukan PKS dengan BPJS Kesehatan maka lebih baik dibatalkan dahulu dan kemudian koordinasi dengan ARSADA. Dalamgood governanceharus ada pembina dan pengawas, transparansi termasuk dalam hubungan kerja, komunikasi dan advokasi.Asosiasi klinik dan asosiasi lainnya terkadang juga terjadi crash dalam negosiasi, ujar Dr. Krishnajaya, MS (Ketua Umum Adinkes). Dinkes bukan hanya akan berperan sebagai pelaksana otonomi serta penanggungjawab otonomi bidang kesehatan, melainkan juga sebagai lembaga teknis daerah dan sebagai dinas daerah. Dalam hal ini, Adinkes atau Asosiasi Dinas Kesehatan berusaha mengatur bersama Permendagri untuk kelembagaan teknis daerah dan dinas daerah. Kemungkinan untuk rumah sakit cenderung merupakan lembaga fungsional.Sesi Tanya JawabMahasiswa MMR terkaitfrauddi samping sebagai Dinkes bukan hanya negosiator tetapi juga pengawas. Apabila regulasi sudah dibuat, bagaimana dengan teknisnya? Bagaimana dengan usulandraftteknis fungsi tersebut?Tanggapan pembahas:fraudmerupakan korupsi yang canggih sehingga peran verifikator juga perlu dilibatkan dan terkait badan pengawas juga perlu dilakukan legalitas dan kredibilitas.Mahasiswa KPMK ada produk Askes, Jamsostek, BPJS 1, dan BPJS 2? Bagaimana sosialisasi mengenai hal ini?Tanggapan pembahas, peran Dinkes cenderung lebih pada memastikan sistem pembiayaan di daerah berjalan dengan bagus. Sistem evaluasi voiceatau suaracustomerjuga perlu untuk dioptimalkan sebagai upaya kegiatan sosialisasi nantinya.Mahasiswa Promkes adanyafraudatasdouble claimyang dilakukan oleh bidan pada program Jampersal, bagaimana menyikapinya? Bagaimana dengan fraud yang tidak disengaja?Tanggapan pembahas: perlu ada pemahaman kembali mengenai jaminan kesehatan dan mekanisme klaim pada saat sosialiasifraudkarena bukan hanya fenomenadouble claimtetapi juga penyalahgunaan dalam pengajuan klaim pada pasien usia dua tahun pernah terjadi.Catatannya, mekanisme fraud adalahdisengaja.Konsultan bagaimana untuk BP dan RB yang akan berubah jadi klinik?Tanggapan pembahas, DAK akan digunakan seoptimal mungkin dalam ketersediaan obat (keamanan satu tahun) dan untuk BP dan RB disarankan menjadi bidan praktek mandiri dibandingkan membuka klinik.Beberapa rekomendasi untuk melengkapi saran pada bahasan sebelumnya yaitu perlu adanya revisi regulasi terkait peran Dinkes dengan tidak menggunakan pendekatan struktur tetapi mengacu padagood governance. Kendala akan terjadi ketika pengawas di luar bagian Dinkes sehingga koordinasi dengan Pemda dikuatirkan akan berkurang.Dr. Ronny Rukmito menambahkan bahwaBPK dan BPKP belum familiar dengan kapitasi, mereka terbiasa dengan retribusi, sehingga hal ini dikhawatirkan akanmenjadi suatu temuan. Ke depannya, diperlukansuatu komunikasi antara Kemenkes, BPJS, dan lembaga auditor. Adanya regulasi mengenai pemanfaatan kapitasi sepenuhnya untuk penyelenggaran pelayanan kesehatan di Puskesmas tanpa melalui mekanisme kas daerah juga perlu untuk dipertimbangkan.

Sejumlah RS Terancam Bangkrut Akibat BPJSMasalah kayanya gak ada henti-hentinya.berawal dari naiknya BBM,jatuhnya pesawat Air-Asia dll,Masalah Air-Asia aja belum keler sekarang malah bertambah dengan adanya keluhan dari berbagai RS yang terancam bangkrut akibat buruknya pencairan klaim dalam program kesehatan pemerintah.

Rumah Sakit Mengeluhkan Pencairan KlaimManagement BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial di anggap amburadul karena semakin buruk atau seretnya pembayaran klaim rumah sakit melalui BPJS.Hal ini menyebabkan sejumlah rumah sakit terancam bangkrut karena tunggakan biaya pasien yang melambung tinggi dan belum terbayar.jika memang hal ini sampai berdampak serius bagi pihak rumah sakit tentu pemerintah harus segera menanganinya karena jelas ini menyangkut nyawa masyrakat.

Upaya BPJS Untuk Menangani RS yang Terancam BangkrutMenurut Direktur Pelayanan BPJS,Fajri Adi Nur,salah satu upaya untuk membantu seretnya keuangan sejumlah rumah sakit ialah dengan membayarkan uang muka tunggakan pasien kepada pihak rumah sakit.Uang muka tersebut akan di bayarkan setelah klaim biaya rumah sakit atas pasien diajukan kepada BPJS yang selanjutnya akan di teruskan ke kementrian keuangan dengan proses maksimal pencairan dana selama 15 hari setelah pengajuan klaim.

2 isu penting rumah sakit saat ini

Hari ini, saya hadir pada acara Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikanterm of referenceagar menyampaikantrendbisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihalmarketingdanpublic relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistemout of pocketalias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBGs yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah,providertermasuk rumah sakit, danstakeholderlain.Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.Secara singkat dapat dikatakan, JKN sepertibackboneyang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial.Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikapgebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik,boomingmedia sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Adagaweanbesar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemenmedia relationsyang handal oleh rumah sakit.Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.

Peserta BPJS Kesehatan Berharap Rumah Sakit Bertambah

Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berharap rumah sakit dan klinik yang bekerja sama bisa diperbanyak sehingga memudahkan masyarakat yang memerlukan layanan kesehatan.Dalam keadaan darurat, orang pasti akan memilih rumah sakit terdekat. Kalau tidak semua rumah sakit melayani BPJS, tentu akan menyusahkan masyarakat, kata Didik Suhartono (57), di Jakarta, Minggu.Didik otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan karena sebelumnya menjadi peserta Askes. Dia sudah pernah merasakan layanan kesehatan BPJS Kesehatan ketika harus dirawat dan menjalani operasi tumor usus.Pensiunan pegawai negeri sipil juga mengeluhkan obat dan alat kesehatan yang harus diambil sendiri oleh pasien atau keluarganya, tidak boleh oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya.Hal itu, kata dia, berbeda dengan pelayanan di rumah sakit untuk pasien non-BPJS yang ketersediaan obat dan alat kesehatan relatif lebih mudah karena pasien harus menyerahkan deposit terlebih dahulu saat awal masuk rumah sakit.Kalau pasien non-BPJS yang sudah deposit uang, pihak rumah sakit mudah sekali menyediakan obat. Kalau pasien BPJS, harus diambil sendiri. Bagaimana kalau pasien tidak ada keluarga yang mendampingi dan tidak bisa mengambil sendiri, tuturnya.Didik juga mengeluhkan kualitas alat kesehatan yang diberikan BPJS. Karena penanganan penyakitnya belum usai, Didik harus dibuatkan colostomy atau anus buatan di perutnya untuk sementara.Nah, kantong colostomy yang disediakan BPJS Kesehatan untuk menampung kotoran ternyata mudah terlepas karena perekatnya kurang melekat dengan kulit. Selain itu, kantong colostomy yang disediakan juga hanya bisa digunakan satu kali pakai.Akhirnya saya membeli sendiri kantong colostomy yang bisa merekat lebih kuat dan tidak sekali pakai sehingga lebih praktis digunakan bila bepergian, katanya.http://www.antaranews.com/berita/442769/peserta-bpjs-kesehatan-berharap-rumah-sakit-bertambah

BPJS bangkrut ?

Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Tono Rustiano mengatakan BPJS terancam bangkrut.Jumlah pendapatan yang masuk dari iuran peserta tidak sebanding besarnya dana yang dikeluarkan untuk membayar kapitasi dan klaim rumah sakit.Betulkah pernyataan Petinggi BPJS ini? Apakah benar biaya premi peserta tidak cukup untuk menutup biaya pelayanan kesehatan peserta? Apakah pernyataan ini tidak membohongi publik?Mari kita lihat kebelakang ketika pada tahun 2011 dan 2012 Program Jamkesmas Kesmenkes masih surplus dengan besaran premi hanya Rp 6500/orang/bulan. Ketika pada tahun 2013, dengan premi sebesar itu Jamkesmas memang mengalami defisit sebesar Rp 1,2 Triliun.Kalau dilihat data anggaran Jamkesmas 2011 sd 2013 boleh dikatakan hanya mengalami defisit yang relatif kecil dengan premi hanya Rp 6500/peserta/bulan.Pertanyaannya, apakah dengan premi Rp 19.250/orang/bulan untuk peserta PBI ( pemerintah bayar iur sama dengan kriteria peserta Jamkesmas) BPJS akan bangkrut?Bandingkan dengan anggaran Jamkesmas 2013 hanya sebesar Rp 6,598 Triliun per tahun plus defisit Rp 1,2 Triliun, total hanya Rp 7,798 Triliun per tahun.Besaran selisih biaya Jamkesmas 2013 dengan PBI 2014 adalah Rp 19,542 Triliun/tahun - Rp 7,798 Triliun per tahun = Rp 11,744 Trilun pertahun.Dengan dana hampir tiga kali lebih besar dari Jamkesmas; betulkah BPJS akan bangkrut?Mari kita hitung berapa jumlah dana BPJS tahun 2014. Bila jumlah peserta PBI 84,6 juta peserta dan premi Rp 19.250/orang/bulan sehingga total anggaran PBI pertahun adalah 84,6 juta x Rp 19.250 x 12 = Rp 19,542 Triliun/tahun.Disamping itu peserta yang berasal JPK Jamsostek, Jamkesmas, Askes PNS, TNI POLRI beserta keluarga jumlahnya sekitar 25,2 juta peserta.Seandainya semua peserta pekerja formal ini membayar minimal Rp 45.500 untuk mendapatkan pelayanan rawat inap kelas 2 di rumah sakit jaringan maka total dana adalah Rp 45.500 x 25.200.000 x 12 = Rp 13,759 Triliun.Selama ini kelompok pekerja formal ini selalu memberikan keuntungan kepada perusahaan yang mengelola dana peserta ini sepanjang tahun.