BABII TINJAUANPUSTAKA A ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2736/3/BAB II.pdf17 BABII TINJAUANPUSTAKA...
Transcript of BABII TINJAUANPUSTAKA A ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2736/3/BAB II.pdf17 BABII TINJAUANPUSTAKA...
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Turnover Intention
1. Pengertian Turnover Intention
Menurut pendapat Zeffane (2003) mengatakan bahwa intensi adalah niat atau
keinginan yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu. Sementara
turnover adalah berhentinya atau penarikan diri seseorang karyawan dari tempat
bekerja. Dengan demikian, turnover intentions (intensi keluar/niat keluar) adalah
kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya.
Senada dengan Siregar (2006) yang mengatakan bahwa turnover intention adalah
kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya
secara sukarela menurut pilihannya sendiri.
Menurut Mobley (2000) yang mengatakan bahwa turnover karyawan adalah
suatu fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Namun turnover lebih
mudah dilihat dari sudut pandang negatif saja. Padahal ada kalanya turnover justru
memiliki implikasi-implikasi sebagai perilaku manusia yang penting, baik dari
sudut pandang individual maupun dari sudut pandang sosial. Organisasi selalu
mencari cara untuk menurunkan tingkat perputaran karyawan, terutama
perputaran disfungsional yang menimbulkan berbagai potensi biaya seperti biaya
pelatihan dan biaya rekrutmen. Walaupun pada kasus tertentu perputaran kerja
terutama terdiri dari karyawan dengan kinerja rendah tetapi tingkat perpindahan
karyawan yang terlalu tinggi mengakibatkan biaya yang ditanggung organisasi
18
jauh lebih tinggi dibanding kesempatan memperoleh peningkatan kinerja dari
karyawan baru.
Menurut Robbins (2006) mengatakan bahwa turnover intensions juga dapat
diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover
mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi organisasi berupa jumlah karyawan
yang meninggalkan organisasi pada periode tertentu, sedangkan keinginan
karyawan untuk berpindah mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai
kelanjutan hubungan dengan organisasi yang belum diwujudkan dalam tindakan
pasti meninggalkan organisasi. Turnover dapat berupa pengunduran diri,
perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota
organisasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penarikan diri seseorang keluar dari
suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover)
maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Dalam penelitian ini,
penarikan diri seseorang keluar dari suatu organisasi lebih difokuskan pada
voluntary turnover yaitu yang terjadi secara sukarela berdasarkan keinginan dari
dalam diri karyawan itu sendiri. Alasannya, jenis turnover tersebut dianggap
merugikan perusahaan sehingga perlu diusahakan pengendaliannya.
Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk
meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa
menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain.
Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan
pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat
uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya (Shaw et al., 2007).
19
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa turnover intension
adalah keinginan untuk mengakhiri tugas atau meninggalkan organisasi yang
berhubungan dengan rasa puas atau tidak puas individu terhadap pekerjaannya,
sehingga mendorong munculnya pikiran individu untuk keluar, mencari pekerjaan
di tempat lain, serta keinginan meninggalkan organisasi.
2. Aspek-aspek Turnover Intention
Aspek turnover intention berdasarkan teori dari Dreher (dalam Gurning, 2010)
yang mengemukakan model kerangka konseptual sebagai tiga determinan utama
yang memenuhi intensi turnover, yaitu:
a. Aspek Personal
Aspek personal berhubungan dengan tingkat masa kerja. Karyawan yang
telah bergabung dengan organisasi atau perusahaan lebih dari dua tahun
menunjukkan bahwa karyawan tersebut mempunyai keinginan pindah
kerja yang lebih rendah.
b. Aspek Organisasi
Aspek organisasi atau situasional berhubungan dengan sistem
penghargaan dari suatu organisasi. Aspek ini berpengaruh terhadap
pindah kerja. Aspek organisasional terkait dengan gaji dan kesempatan
promosi serta rutinitas pekerjaan. Gaji dan kesempatan promosi
ditemukan mempunyai korelasi negatif dengan pindah kerja, sedangkan
rutinitas pekerjaan mempunyai korelasi positif dengan pindah kerja,
semakin rutin suatu pekerjaan, semakin besar pula keinginan berpindah.
20
c. Aspek Karakteristik Pekerjaan
Aspek karakteristik pekerjaan terkait dengan tantangan dan kemenarikan
pekerjaan. Adanya karakteristik pekerjaan cenderung menurunkan
keinginan berpindah kerja pada karyawan, sebaliknya konflik peran
misal adanya perbedaan antara tuntutan pekerjaan dan perbedaan antara
tuntutan fisik dan standar pribadi, nilai atau harapan karyawan maka
akan meningkatkan keinginan berpindah kerja karyawan.
Mobley et, al (dalam Witasari, 2009) niat keluar dapat dilihat dari tiga
aspek yang menggali informasi mengenai keinginan karyawan untuk mencari
pekerjaan lain. Indikator pengukuran tersebut terdiri atas:
a. Thoughts of quitting (memikirkan untuk keluar): mencerminkan individu
untuk berpikir keluar dari pekerjaan atau tetap berada di lingkungan
pekerjaan.
b. Job search (pencarian pekerjaan): mencerminkan individu berkeinginan
untuk mencari pekerjaan pada organisasi lain.
c. Intention to quit (niat untuk keluar): mencerminkan individu berniat
untuk keluar.
Berdasarkan uraian di atas maka aspek-aspek turnover intention meliputi:
aspek personal, aspek organisasi, aspek karakteristik pekerjaan, thoughts of
quitting (memikirkan untuk keluar) mencerminkan individu untuk berpikir
keluar dari pekerjaan atau tetap berada di lingkungan pekerjaan, job search
(pencarian pekerjaan) mencerminkan individu berkeinginan untuk mencari
pekerjaan pada organisasi lain, dan intention to quit (niat untuk keluar)
21
mencerminkan individu berniat untuk keluar. Peneliti dalam penelitian ini
memilih aspek-aspek turnover intention yang dikemukakan oleh Mobley et, al
(dalam Witasari, 2009) yaitu: job search (pencarian pekerjaan) mencerminkan
individu berkeinginan untuk mencari pekerjaan pada organisasi lain, dan
intention to quit (niat untuk keluar) mencerminkan individu berniat untuk
keluar. Hal ini dikarenakan aspek turnover intention dari Mobley et, al (dalam
Witasari, 2009) memiliki cakupan yang lebih spesifik, mudah dipahami dan
memiliki keterkaitan dengan variabel yang lain dalam penelitian ini, serta
sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover intention cukup
kompleks dan saling berkait satu sama lain. Simamora (2009) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi turnover intention adalah sebagai berikut:
a. Usia
Pekerja muda mempunyai tingkat keinginan berpindah yang lebih tinggi
dari pada pekerja-pekerja yang lebih tua. Hal ini mungkin disebabkan
pekerja yang lebih tua enggan berpindah-pindah tempat kerja karena
berbagai alasan seperti tanggung jawab keluarga, mobilitas yang
menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai pekerjaan di tempat
kerja baru, atau karena energi yang sudah berkurang, dan lebih lagi
karena senioritas yang belum tentu diperoleh di tempat kerja yang baru
walaupun gaji dan fasilitasnya lebih. Tingkat keinginan berpindah akan
cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan masih
22
memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan serta ingin
mendapatkan keyakinan diri yang lebih besar melalui cara coba-coba
untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
b. Lama kerja
Keinginan berpindah lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa
kerja lebih singkat. Kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-
keadaan yang memungkinkan terjadinya keinginan berpindah. Karyawan
sering pula menemukan harapan terhadap pekerjaan atau perusahaan itu
berbeda dengan kenyataan yang didapat. Di samping itu, umumnya
pekerja baru yang masih muda usianya masih punya keberanian untuk
berusaha mencari perusahaan dan pekerjaan yang sesuai dengan yang
diharapkan.
c. Tingkat pendidikan dan inteligensi.
Dikatakan bahwa karyawan yang mempunyai taraf inteligensi tidak
terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan
dan sumber kecemasan. Karyawana mudah merasa gelisah akan
tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman.
Sebaliknya karyawan yang mempunyai tingkat inteligensi yang lebih
tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang
monoton. Karyawan akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru
daripada yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan
inteligensinya yang terbatas pula.
23
d. Ikatan terhadap Perusahaan
Pekerja yang mempunyai rasa keikatan yang kuat terhadap perusahaan
berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of
belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri
yang positif. Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri
untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan.
e. Organisasi
Termasuk di dalamnya adalah tipe organisasi, besar kecilnya minat kerja,
penggajian, bobot pekerjaan dan pengawasan kerja serta kondisi
lingkungan kerja. Di dalam organisasi di dalamnya terdapat iklim
organisasi. Iklim organisasi merupakan kualitas dari proses interaksi
dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
sehingga karyawan akan melakukan penilaian-penilaian tentang
perusahaan dan membentuk persepsi dalam dirinya tentang iklim
organisasi tempatnya bekerja. Jika karyawan mempersepsikan bahwa
perusahaan menerapkan peraturan yang tidak memiliki kesesuaian
dengan nilai dirinya, maka kondisi ini dapat menimbulkan turnover
intention. Sebaliknya jika karyawan mempersepsikan bahwa perusahaan
menerapkan peraturan yang memiliki kesesuaian dengan nilai dirinya,
maka turnover intention dapat diminimalisir (Swastha, 2008).
Higgins (dalam Yuliawan, 2007) menemukan bahwa keputusan seseorang
berpindah kerja di pengaruhi konteks atau faktor sosial. Lebih khusus, Higgins
24
menguraikan bahwa semakin banyak seseorang memiliki jaringan yang dapat
menjadi penasihat karir karyawan, semakin besar kemungkinan karyawan akan
berpindah kerja. Hal seperti ini amat logis, mengingat semakin banyak seseorang
memiliki kenalan dalam berbagai bidang pekerjaan lain, semakin terbuka pulalah
kemungkinan karyawan untuk mendapatkan informasi mengenai adanya
pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih menarik perhatian.
Cherington (2006) menyatakan bahwa, tingkat keinginan berpindah kerja
secara umum dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) dan
kondisi ekonomi. Tingkat kepuasan kerja yang rendah digambarkan dengan
kondisi kerja yang buruk, deskriminasi upah, komunikasi yang buruk dan
kesempatan yang terbatas untuk maju. Di samping itu, kondisi ekonomi juga
mempengaruhi tingkat keinginan berpindah kerja. Ketika tingkat pengangguran
tinggi karena terjadi depresi ekonomi, keinginan berpindah kerja pada sebagian
besar perusahaan berkurang. Hal ini karena kekhawatiran tidak mendapatkan
pekerjaan lagi mengingat tingginya tingkat pengangguran.
Jewel dan Siegall (2008) menyebutkan dua faktor yang mempengaruhi
keinginan berpindah kerja:
a. Faktor sikap pribadi, merupakan dorongan, pikiran, dan keinginan untuk
melakukan (atau tidak melakukan) pindah kerja yang dipengaruhi oleh
keyakinan positif dari dalam diri orang yang melakukan pindah kerja bahwa
dengan pindah kerja akan mendatangkan manfaat yang lebih
menguntungkan bagi dirinya.
25
b. Faktor norma subyektif, yaitu dorongan, pikiran, dan keyakinan untuk
melakukan (atau tidak melakukan) pindah kerja yang dipengaruhi oleh
norma dalam lingkungan sosial (berisi pengaruh dan tekanan dari
lingkungan sosial).
Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang mempengaruhi turnover
intention meliputi: usia, lama kerja, tingkat pendidikan dan inteligensi, ikatan
terhadap perusahaan, organisasi di dalamnya terdapat iklim organisasi,
ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) kondisi ekonomi, faktor sikap pribadi
dan faktor norma subyektif. Oleh karena itu, penelitian ini akan memfokuskan
pada faktor iklim organisasi yang dapat mempengaruhi turnover intention
(Simamora, 2009). Dijelaskan lebih lanjut, faktor iklim organisasi merupakan
permasalahn utama yang dihadapi PT. Ardendi Jaya Sentosa, Semarang
khususnya yang menyebabkan terjadinya turnover intention.
B. Iklim Organisasi
1. Pengertian Iklim Organisasi
Kolb dan Rubin (2001) mengatakan bahwa iklim organisasi merupakan pola
lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-
persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh
langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Menurut Lumsdaine dan
Lumsdaine (2002), iklim organisasi merupakan persepsi karyawan terhadap
karakteristik dari prosedur yang ada dalam sebuah perusahaan. Jewell dan Siegall
(2008) mengatakan bahwa iklim organisasi menunjukkan konsensus dari persepsi
26
para anggota mengenai organisasi dan/atau, sub sistemnya terkait dengan
anggotanya dan lingkungan luarnya. Sedangkan Jewell dan Siegall (2008)
menjelaskan bahwa iklim organisasi dapat dipikirkan sebagai konsep deskriptif
yang berdasarkan pada persepsi terhadap lingkungan sosial organisasi. Mathis dan
Jackson (2002) menjelaskan bahwa iklim organisasi merupakan perasaan
karyawan terhadap perusahaan serta aspek-aspek yang ada di dalamnya.
Organisasi yang dipandang sebagai suatu sistem sosial, dalam perjalanannya
selalu dipengaruhi oleh lingkungannya, baik internal maupun eksternal. Davis dan
Newstorm (2001) mengemukakan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan
manusia di dalam, di mana para anggota organisasi melakukan pekerjaan mereka.
Dalam kaitan ini jelas dimaksudkan bahwa iklim organisasi itu adalah yang
menyangkut semua lingkungan yang ada atau dihadapi oleh manusia yang berada
di dalam suatu organisasi yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan tugas-
tugas keorganisasiannya.
Menurut Wirawan (2007) bahwa “Iklim organisasi merupakan kualitas
lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh
anggota organisasi, mempengaruhi perilaku karyawan dan dapat dilukiskan dalam
pengertian satu karakteristik atau sifat organisasi”. Lebih lanjut Davis (2001)
mengemukakan pengertian iklim organisasi sebagai “The human environment
within an organization’s employees do their work”. Pernyataan Davis tersebut
mengandung arti bahwa iklim organisasi itu adalah yang menyangkut semua
lingkungan yang ada atau yang dihadapi oleh manusia di dalam suatu organisasi
tempat karyawan melaksanakan pekerjaannya.
27
Menurut Davis dan Newstorm (2001) bahwa “Iklim organisasi merupakan
sebuah konsep yang menggambarkan suasana internal lingkungan organisasi yang
dirasakan oleh anggotanya selama beraktivitas dalam rangka tercapainya tujuan
organisasi. Davis dan Newstorm (2001) memandang iklim organisasi sebagai
kepribadian sebuah organisasi yang membedakan dengan organisasi lainnya yang
mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam memandang organisasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah serangkaian deskripsi dari
karakteristik organisasi yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi
lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam memandang
organisasi.
Davis dan Newstorm (2001) menambahkan bahwa iklim tidak dapat dilihat
dan disentuh, tetapi iklim ada dan dapat dirasakan. Iklim dipengaruhi oleh hampir
semua hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Jika sebuah organisasi ingin
berhasil dalam mewujudkan cita-cita dan tujuannya secara utuh dan sempurna,
maka dibutuhkan individu-individu yang handal sebagai sumber daya yang akan
memegang kendali tali organisasi. Sumber Daya Manusia di dalam organisasi
dapat bekerja secara optimal dan memiliki loyalitas yang tinggi, maka organisasi
harus dapat menciptakan iklim yang baik dan menyenangkan. Sehingga Sumber
Daya Manusia yang telah terbentuk kualitasnya dapat terus dipertahankan dan
mereka memiliki prestasi kerja yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi
adalah persepsi karyawan setelah merasakan lingkungan organisasi, sehingga
iklim organisasi sebagai kepribadian sebuah organisasi yang membedakan dengan
28
organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam
memandang organisasi.
2. Aspek Iklim Organisasi
Menurut Kolb dan Rubin (2001) terdapat tujuh aspek yang dapat
mengidentifikasikan iklim organisasi dalam suatu perusahaan, yaitu:
a. Konformitas
Konformitas terbentuk karena adanya perasaaan yang sama di antara para
karyawan mengenai banyaknya peraturan, prosedur dan hukum dalam
menjalankan pekerjaan.
b. Tanggung jawab
Setiap anggota dalam organisasi atau karyawan memiliki tanggung jawab
masing-masing untuk mewujudkan tujuan perusahaan.
c. Standar
Tekanan dari organisasi pada kualitas tampilan serta membuat produknya
terkenal, membuat karyawan merasa tertantang untuk menjalankan
komitmen.
d. Imbalan
Perasaan dari karyawan, bahwa kerja keras karyawan pasti akan diketahui
dan mendapatkan imbalan yang pantas atas usahanya.
e. Kejelasan organisasi
Perasaan para karyawan bahwa perusahaan, terorganisir dengan baik serta
memiliki tujuan yang jelas.
29
f. Dukungan dan Kehangatan
Persahabatan di antara seluruh anggota organisasi merupakan nilai yang
sangat penting untuk membentuk hubungan yang baik dalam lingkungan
kerja.
g. Kepemimpinan
Karyawan menerima kepemimpinan yang ada dalam perusahaan dan segala
keputusannya. Mereka menyadari bahwa terpilihnya seorang pemimpin pasti
berdasarkan keahlian yang dimilikinya.
Menurut Mathis dan Jackson (2002) iklim organisasi merupakan
penggambaran akurat dari kondisi suatu organisasi. Baik buruknya suatu
organisasi dapat dipengaruhi oleh enam aspek berikut ini:
a. Struktur
Perasaan karyawan terhadap peraturan, prosedur dan batasan yang dibuat
oleh perusahaaan.
b. Tanggung jawab
Merupakan tanggung jawab yang harus dipikul oleh masing-masing
karyawan terhadap keputusan yang telah mereka ambil.
c. Penghargaan
Imbalan yang diterima oleh harus sesuai serta pemberian hadiah maupun
penghargaan yang sepantasnya diterima oleh karyawan.
d. Risiko
Perasaan tertantang dan keinginan untuk berani mengambil suatu resiko.
30
e. Semangat kelompok
Keramah-tamahan yang ada dalam suatu kelompok.
f. Standar
Adanya tekanan dari perusahaan terhadap karyawan agar dapat menjalankan
tujuan perusahaan serta mencapai prestasi.
Berdasarkan yang diuraikan oleh Muchinsky (2003), iklim organisasi terdiri
dari 3 aspek, yaitu:
a. Struktur
Kondisi di mana karyawan dalam melaksanakan tugasnya bertumpu pada
aturan-aturan yang dikenakan terhadap anggota organisasi, sehingga
karyawan dapat bekerja sesuai dengan prosedur serta struktur organisasi.
b. Standar
Kondisi yang menggambarkan tanggung jawab karyawan agar dapat
memenuhi tujuan akhir perusahaan.
c. Kebijaksanaan atas imbalan
Kondisi keberlangsungan imbalan dan pengahargaan yang diberikan oleh
perusahaan kepada karyawannya.
Gilmer (2001) menjabarkan bahwa terdapat beberapa aspek yang dapat
menggambarkan totalitas iklim organisasi, yaitu:
a. Tujuan
Setiap organisasi pasti memiliki kecenderungan untuk bertahan. Perlu
dipahami sejarah dari berdirinya suatu perusahaan, serta setiap pemimpin
pada masing-masing dekade. Setiap pemimpin pasti memiliki, setidaknya,
31
satu tujuan bagi perkembangan perusahaan. Keputusan tersebut dibuat
sebagai suatu upaya untuk mengajak karyawan agar dapat bekerja sama.
b. Ukuran dan Bentuk Organisasi
Tidak sepenuhnya benar bahwa ukuran besar kecilnya suatu perusahaan
memiliki kualitas yang dapat menunjukkan kekuatan dari perusahaan.
Perusahaan kuat dan berkuasa, tidak hanya dimiliki oleh perusahaan-
perusahaan besar. Perusahaan kecil pun, mampu menunjukkan ketangkasan
dan fleksibilitas dalam beradaptasi dengan perubahan kondisi yang ada.
Semakin besar perusahaan, kadang kala semakin besar pula hambatan yang
ada.
c. Pola Kepemimpinan
Hierarki kepemimpinan, seperti halnya struktur sosial lainnya, memiliki
perbedaan peran. Setiap peranan memberikan kontribusi pada situasi
tertentu yang dapat menjadi petunjuk bagi efektifitas perusahaan.
Pemimpin akan menilai lebih pada individu yang memperlihatkan
performansi yang baik terhadap kewajibannya, serta bagaimana
performansi suatu perusahaan sebagai suatu kesatuan yang utuh.
d. Komunikasi
Permasalahan komunikasi sering kali menjadi gejala terhadap munculnya
permasalahan antar individu atau antar kelompok dalam perusahaan.
Permasalahan muncul terutama ketika masing-masing individu memiliki
tujuan serta nilai yang berbeda. Sangat penting untuk merumuskan suatu
pemahaman mengenai kebutuhan serta motif perusahaan, sehingga tercipta
32
suatu kesepakatan, tanggung jawab serta hubungan yang baik antar
individu dalam perusahaan.
e. Prosedur Pengambilan Keputusan
Proses pengambilan keputusan dilaksanakan dengan melihat segala aspek
atau secara multidimensional. Masukan dari individu-individu dalam
perusahaan akan menghasilkan keputuasan yang luas.
Aspek-aspek tertentu dari iklim organisasi memberikan pengaruh khusus
pada kemampuan organisasi untuk memperkenalkan kreativitas dengan sukses
(West, 2002). Aspek-aspek ini meliputi:
a. Kualitas
Keberhasilan dari perusahaan tergantung pada kerja keras serta hasil dari
pekerjaan kualitas tinggi.
b. Partisipasi
Manajemen melibatkan karyawan dalam membuat keputusan-keputusan
serta perubahan-perubahan.
c. Kerja sama antar departemen
Adanya kerja sama antar departemen yang sangat efektif.
d. Dukungan bagi inovasi
Perusahaan memberikan dukungan kepada karyawan terhadap
pengembangan ide-ide baru dan aplikasinya.
33
e. Refleksivitas
Perusahaan selalu mendiskusikan metode dan strategi yang akan digunakan
dengan karyawan. Selain itu, sasaran yang digunakan dimodifikasi sesuai
dengan perubahan situasi dan kondisi.
Berdasarkan uraian di atas maka aspek iklim organisasi dalam suatu
perusahaan, meliputi: konformitas, tanggung jawab, standar, imbalan, kejelasan
organisasi, dukungan dan kehangatan, kepemimpinan, struktur, tanggung jawab,
penghargaan, risiko, semangat kelompok, kebijaksanaan atas imbalan, tujuan,
ukuran dan bentuk organisasi, pola kepemimpinan, komunikasi, prosedur
pengambilan keputusan, kualitas, partisipasi, kerja sama antar departemen,
dukungan bagi inovasi, dan refleksivitas. Peneliti dalam penelitian ini
menggunakan aspek iklim organisasi dari Kolb dan Rubin (2001) meliputi:
konformitas, tanggung jawab, standar, imbalan, kejelasan organisasi, dukungan
dan kehangatan serta kepemimpinan, hal ini dikarenakan aspek-aspek yang
dikemukakan Kolb dan Rubin (2001) sesuai dengan kondisi di PT. Ardendi Jaya
Sentosa, Semarang.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Iklim Organisasi
Iklim organisasi merupakan konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan
gaya hidup suatu organisasi, oleh karena itu perusahaan harus memperhatikan
beberapa faktor berikut ini. Davis (2001) memaparkan bahwa terdapat 4 faktor
penting, yaitu:
34
a. Hubungan yang saling menguntungkan
Kunci dari konsep hubungan antar manusia adalah adanya hubungan yang
saling menguntungkan antar sesama manusia, baik itu antara pimpinan dan
karyawan, maupun hubungan yang baik antar sesama karyawan. Karyawan
merasa apabila mereka memiliki hubungan yang baik dengan organisasi,
maka mereka akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
b. Perbedaan antar individu
Pihak manajemen akan menghasilkan kepuasan kerja pada karyawan jika
mereka dapat memperlakukan karyawannya secara berbeda-beda, karena
pada dasarnya setiap manusia memiliki karakteristik masing-masing yang
unik.
c. Motivasi
Semua perilaku manusia disebabkan oleh sesuatu hal. Suatu hal tersebut
akan mengarahkan individu dalam berperilaku untuk menghasilkan
kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, dengan
adanya kepuasan kerja, maka baik karyawan maupun pimpinan akan
terpenuhi kebutuhannya masing-masing.
d. Martabat manusia
Martabat manusia merupakan etis dasar dalam menjalin hubungan antar
manusia. Martabat manusia yang dirasakan oleh karyawan tidak
sepenuhnya diberikan oleh pihak majanemen, tetapi dihasilkan juga dari
perasaan dalam diri karyawan terhadap lingkungan organisasi yang sesuai.
35
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi iklim suatu organisasi, yaitu
hubungan yang saling menguntungkan, perbedaan antar individu, motivasi, dan
martabat manusia.
C. Generasi Millenium (Y)
Menurut Mata (2014), generasi Y dapat digolongkan sebagai generasi native
democracy dan teknologi. Generasi ini memandang demokrasi dan teknologi
sebagai unsur given dan memberikan pandangan yang lebih bebas dan toleran
terhadap unsur-unsur politik dan teknologi. Menurut Anderson (2007) generasi
yang muncul setelah era internet menjadi kekuatan baru dalam ekonomi dengan
kekuatan informasi dan penguasaan teknologi yang dapat memberikan pengaruh
pada pasar.
Generasi Y (Gen Y) merupakan generasi yang melahirkan ide-ide brilian,
dengan kemahiran dalam mengaplikasikan teknologi dan kemampuan untuk
memaksimalkan kreatifitas. Generasi Y berumur belasan hingga maksimal 30-an
ini lahir pada tahun 1980-2000. Dengan gelar generasi milenium, generasi Y
mulai mewarnai dunia bisnis dengan tipikal yang khas. Berpenampilan santai,
agak susah diatur, bahkan cenderung “tidak peduli” dengan kerja (Azzam, 2015).
Sifat muda yang selalu ingin coba-coba, membuat generasi Y tidak pernah
awet di tempat kerja. Kepedulian yang sangat terhadap teknologi pun menjadi
antitesis bagi generasi X (lahir tahun 1965-1979) dan baby boomer (lahir tahn
1946-1964). Inkonsistensi itu yang membuat generasi sebelumnya menganggap
36
generasi Y tidak terlalu membanggakan. Karena egosentrisme yang kuat dan sifat
mudah bosan, meskipun secara politis, yang dianut generasi Y lebih baik dari
generasi sebelumnya, dengan kekuatan toleransi yang tinggi (Azzam, 2015).
Menurut pandangan SDM, generasi Y merupakan generasi unik. Generasi ini
memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Tetapi
dalam hal etika dan aturan main SDM, generasi Y dinilai memang tidak terlalu
cocok dengan apa yang berlaku umum sekarang. Teori-teori SDM yang
mengutamakan loyalitas, tata krama, dan formalitas, dibenturkan dengan realitas
generasi baru yang mengunggulkan performa, melawan batas formal, dan
berperilaku individualis-toleran (Azzam, 2015).
Dengan gambaran kondisi umum di atas, maka dimungkinkan terjadi gesekan
antara tatanan mayoritas dengan realitas generasi Y, akan tetapi generasi ini
memang sudah saatnya mendominasi dunia kerja, dan menjadi tulang punggung
perusahaan. Perbedaan dengan generasi pendahulu ditutupi dengan kekuatan pada
kreatifitas yang didukung penguasaan teknologi. Ide-ide birilian dan fokus
performa menjadikan generasi Y membawa perubahan pada dunia bisnis. Akan
tetapi, anggapan akan minimnya komitmen dan loyalitas, perilaku yang unik dan
selalu tampil beda, ketidakpedulian atas pendapatan dan menuhankan eksistensi
diri menjadikan generasi Y memerlukan perhatian khusus dari dunia SDM.
Kesenangan traveling dan ketidakpedulian atas pendapatan bulanan dan harapan
akan lingkungan kerja menjadi nilai tersendiri (Azzam, 2015).
37
D. Hubungan Iklim Organisasi dengan Turnover Intention
Perusahaan merupakan salah satu bentuk organisasi yang terdapat banyak
kegiatan di dalamnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat mempengaruhi
lingkungan kerja beserta individu-individu yang bekerja di perusahaan tersebut.
Iklim organisasi merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dirasakan individu dalam
lingkungan kerja dan timbul karena kegiatan organisasi sehingga dapat
mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya. Karyawan sebagai individu
yang berada di organisasi perusahaan, setiap saat merasa, mempersepsi, dan
memaknai pengalaman-pengalamannya, dimensi-dimensi, dan karakteristik-
karakteristik di lingkungan organisasinya. Iklim organisasi tersebut merupakan
hasil pemaknaan yang dilakukan individu terhadap lingkungan organisasinya.
Iklim organisasi lebih bersifat subyektif dan memiliki efek yang berbeda-
beda pada masing-masing individu. Iklim yang positif dan menyenangkan bagi
individu ditandai dengan penilaian atau pemaknaan yang positif terhadap aspek-
aspek atau dimensi-dimensi dari iklim organisasinya menurut Kolb dan Rubin
(2001) yaitu: konformitas, tanggung jawab, standar, imbalan, kejelasan organisasi,
dukungan dan kehangatan, dan kepemimpinan. Jewell dan Siegall (1998)
mengatakan bahwa iklim organisasi tersebut dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku karyawan. Iklim organisasi yang positif dapat mengarahkan individu
memiliki sikap dan perilaku yang positif.
Aspek pertama pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
konformitas. Konformitas adalah penyesuaian perilaku seseorang agar sesuai
dengan norma-norma dari kelompoknya. Menurut pendapat Rani (2007) yang
38
mengatakan bahwa konformitas yang dipersepsikan positif ditunjukkan dari
adanya kerjasama antar karyawan, karyawan patuh, tunduk, dan mengikuti aturan,
kebijakan, dan prosedur kerja di perusahaan. Selain itu, karyawan juga memiliki
perasaan untuk saling membantu dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
dalam organisasi. Seorang karyawan dengan konformitas yang positif terhadap
organisasi, akan memiliki dorongan untuk mempertahankan kekompakan antar
karyawan dan munculnya kepercayaan terhadap organisasi juga semakin tinggi.
Adanya konformitas yang positif membuat karyawan nyaman bekerja
meminimalisir munculnya thoughts of quitting atau pemikiran untuk keluar dari
pekerjaan atau tetap berada di lingkungan pekerjaan. Di lain sisi menurut Setyanto
(2013) konformitas yang negatif cenderung menunjukkan iklim organisasi yang
negatif. Iklim organisasi yang negatif membuat karyawan merasa tidak senang,
tidak aman, tidak nyaman, dan kurang bermakna ketika berada di lingkungan.
Dijelaskan lebih lanjut, konformitas yang rendah membuat karyawan tidak
nyaman bekerja, sehingga meningkatkan munculnya thoughts of quitting atau
pemikiran untuk keluar dari pekerjaan atau tetap berada di lingkungan pekerjaan.
Aspek kedua pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
tanggung jawab. Tanggung jawab harus dipikul oleh masing-masing karyawan
terhadap keputusan yang telah mereka ambil. Menurut pendapat Rani (2007) yang
mengatakan bahwa tanggungjawab yang dipersepsikan positif ditunjukkan dari
penyelesaian tugas yang tepat waktu, taat pada peraturan perusahaan, dan
karyawan mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi dalam pekerjaannya. Adanya tanggungjawab
39
yang dipersepsikan positif menunjukkan adanya kepercayaan dari atasan bahwa
bawahan atau karyawannya mampu menjalani tugas. Adanya tanggung jawab juga
menunjuk pada adanya perasaan bahwa karyawan memiliki wewenang atas tugas
yang diberikan kepadanya. Menurut Setyanto (2013) jika para karyawan diberikan
tanggung jawab masing-masing oleh atasan dalam menjalankan pekerjaanya,
maka karyawan akan merasa dipercaya bahwa dirinya mampu menjalankan suatu
tugas atau pekerjaan dengan baik. Karyawan yang memiliki persepsi positif pada
aspek tanggungjawab ketika bekerja dalam organisasi membuat karyawan tidak
ingin melakukan job search atau pencarian pekerjaan. Hal ini dikarenakan
karyawan merasa sudah memiliki tanggungjawab dalam suatu organisasi,
sehingga membuat karyawan lebih fokus dalam bekerja dan tidak ingin
melakukan pekerjaan ke organisasi lain. Bagi karyawan yang memiliki persepsi
negatif pada dimensi tanggung jawab ditunjukkan dari semangat kerja yang
rendah, tidak menaati peraturan, sering meninggalkan pekerjaan, dan tingkat
absensi yang tinggi. Sementara itu, Setyanto (2013) mengatakan bahwa
tanggungjawab yang dipersepsikan negatif dapat meningkatkan job search atau
pencarian pekerjaan pada organisasi lain, hal ini karena karyawan merasa tidak
nyaman dalam organisasi, sehingga mendorong karyawan melakukan pencarian
pekerjaan.
Aspek ketiga pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
standar. Mathis dan Jackson (2002) mengatakan bahwa standar adalah tekanan
dari perusahaan terhadap karyawan agar dapat menjalankan tujuan perusahaan
serta mencapai prestasi. Menurut pendapat Rani (2007) yang mengatakan bahwa
40
karyawan yang mempersepsikan positif pada aspek standar ditunjukkan dari
karyawan selalu berusaha untuk menentukan metode kerja yang baik, karena
dengan metode kerja yang baik akan dapat mencapai standar kerja yang
ditetapkan. Karyawan dengan persepsi yang positif dalam aspek standar akan
merasa dapat bekerja dengan baik karena dapat memenuhi target-target yang
ditetapkan perusahaan. Hal ini membuat karyawan mendapat penghargaan dari
perusahaan atas usaha yang dicapai, sehingga karyawan merasa betah bekerja di
perusahaan dan tidak ingin meninggalkan perusahaan atau tidak terjadi adanya
intention to quit. Sementara itu, bagi karyawan yang memiliki persepsi negatif
pada aspek standar membuat karyawan merasa bahwa organisasi memasang
tantangan kerja untuk dirinya dan karyawan merasa terbebani. Hal ini diperkuat
dengan pendapat Setyanto (2013) yang mengatakan bahwa adanya persepsi
negatif pada aspek standar membuat karyawan merasa terbebani dalam bekerja,
sehingga mendorong munculnya intention to quit (niat untuk keluar).
Aspek keempat pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
imbalan dimana imbalan merupakan balas jasa atas kerja keras yang sudah
dilakukan untuk organisasi. Menurut pendapat Rani (2007) yang mengatakan
bahwa karyawan yang mempersepsikan positif pada aspek imbalan dapat
mendorong karyawan untuk meningkatkan kualitas dalam bekerja, karyawan
merasa mendapatkan keadilan dari atas kerja kerasnya, dan karyawan menjaga
eksistensi dan keberadaannya agar tetap berada di lingkungan perusahaan.
Sementara itu, bagi karyawan dengan persepsi negatif pada aspek imbalan
menunjukkan belum adanya kesesuaian dengan pekerjaan yang telah dijalankan
41
oleh karyawan, sehingga membuat karyawan merasakan ketidakadilan atas
kontribusinya kepada perusahaan dengan yang diberikan oleh perusahaan kepada
dirinya. Menurut Setyanto (2013) yang mengatakan bahwa imbalan yang tidak
adil menunjuk pada adanya ketidaksesuaian dan ketidakobjektifan dalam
pemberian penghargaan dan hukuman atas pekerjaan yang dilakukan karyawan.
Keadaan ini membuat karyawan merasakan iklim organisasi yang negatif. Hal
inilah yang mendorong karyawan memikirkan untuk keluar dari pekerjaan atau
thoughts of quitting.
Aspek kelima pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
kejelasan organisasi. Kejelasan dalam organisasi menggambarkan perasaan para
karyawan bahwa perusahaan terorganisir dengan baik serta memiliki tujuan yang
jelas. Menurut pendapat Rani (2007) yang mengatakan bahwa kejelasan dalam
organisasi yang dipersepsikan positif membuat karyawan memiliki konsentrasi
terhadap pelaksanaan suatu pekerjaan karena uraiannya yang jelas. Hal ini
didukung dengan pendapat Rani (2007) yang mengatakan bahwa kejelasan
organisasi mampu membuat karyawan lebih berkonsentrasi pada tugas-tugas
dalam pekerjaannya. Kejelasan dalam organisasi yang dipersepsikan positif
berdampak pada kenyamanan karyawan dalam bekerja, sehingga membuat
karyawan bertahan dalam organisasi tersebut. Sementara itu, kejelasan organisasi
yang dipersepsikan negatif membuat karyawan merasa bahwa perusahaan tidak
memiliki tujuan yang jelas. Menururt Tadampali (2016) yang mengatakan bahwa
keadaan organisasi yang seperti ini membuat munculnya iklim organisasi yang
negatif, karena karyawan merasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dengan
42
baik, sehingga karyawan memiliki sikap berupa intention to quit atau niat untuk
keluar dari organisasi.
Aspek keenam pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
dukungan dan kehangatan. Dukungan dan kehangatan ditunjukkan adanya
persahabatan diantara seluruh anggota organisasi untuk membentuk hubungan
yang baik dalam lingkungan kerja. Menurut pendapat Rani (2007) yang
mengatakan bahwa adanya persepsi positif dari aspek dukungan dan kehangatan
membuat karyawan saling menghargai satu sama lain dan merasa mendapatkan
perlindungan, pengayoman, perlakuan, serta perhatian dari sesama rekan kerja.
Dalam situasi seperti ini, hubungan baik tercipta dalam lingkungan kerja sehingga
iklim organisasi yang dirasakan para anggotanya sangat menyenangkan atau
positif bagi dirinya. Hal ini didukung dari pendapat Rani (2007) yang mengatakan
bahwa adanya dukungan dan kehangatan membuat karyawan bertahan bekerja
dalam organisasi. Kondisi ini membuat karyawan tidak memiliki pemikiran untuk
keluar atau thoughts of quitting. Disisi lain, dukungan dan kehangatan yang
dipersepsikan negatif menyebabkan karyawan merasa tidak mendapatkan
dorongan semangat dari rekan kerja. Dalam situasi seperti ini, hubungan tidak
baik akan tercipta dalam lingkungan kerja, sehingga iklim organisasi yang
dirasakan para anggotanya sangat tidak menyenangkan atau negatif bagi dirinya.
Selain itu, kurangnya dukungan dan kehangatan membuat karyawan tidak mampu
bertahan bekerja. Hal ini didukung dari pendapat Rani (2007) yang mengatakan
bahwa kurangnya dukungan dan kehangatan dalam organisasi membuat karyawan
tidak adanya sikap saling membantu antar karyawan. Hal ini berdampak pada
43
kondisi dimana karyawan memiliki pemikiran untuk keluar atau thoughts of
quitting.
Aspek ketujuh pada iklim organisasi menurut Kolb dan Rubin (2001) yaitu
kepemimpinan. Karyawan menerima kepemimpinan yang ada dalam perusahaan
dan segala keputusannya. Karyawan menyadari bahwa terpilihnya seorang
pemimpin pasti berdasarkan keahlian yang dimilikinya. Menurut pendapat Rani
(2007) yang mengatakan bahwa karyawan mempersepsikan positif pada aspek
kepemimpinan ditunjukkan dari ketaatannya dalam mematuhi peraturan yang ada,
karyawan merasakan adanya arahan dan kerjasama antar karyawan untuk
mencapai tujuan organisasi. Hal ini didukung dari pendapat dari Tadampali (2016)
yang mengatakan bahwa kepemimpinan mampu membuat karyawan menjadi
pribadi yang merasa dihargai, sehingga muncul kerjasama satu sama lain. Hal
inilah yang membuat karyawan memiliki keputusan untuk tetap tinggal dalam
organisasi dan tidak ingin meninggalkan organisasi intention to quit atau niat
untuk keluar. Kepemimpinan yang dipersepsikan negatif oleh karyawan membuat
karyawan merasa adanya tekanan dalam bekerja dan merasa beban kerja yang
diterima semakin berat, sehingga membuat karyawan kurang menjadi pribadi
yang merasa dihargai, sehingga muncul sikap individu satu sama lain. Hal ini
didukung dengan pendapat dari Setyanto (2013) yang mengatakan bahwa adanya
tekanan dalam bekerja mempengaruhi pekerjaan karyawan ke arah yang lebih
buruk dan menunjukkan iklim organisasi yang negatif atau tidak menyenangkan
bagi karyawan. Hal inilah yang membuat karyawan memiliki keputusan untuk
44
tidak tinggal dalam organisasi dan ingin meninggalkan organisasi karena adanya
dorongan intention to quit atau niat untuk keluar.
Menurut West (2002) mengatakan bahwa persepsi positif karyawan terhadap
iklim organisasi dapat menimbulkan perasaan senang, gembira dan penuh percaya
diri terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya, oleh karena itu persepsi tersebut
dapat mempengaruhi motivasi serta kinerja karyawan. Sebaliknya, jika karyawan
memiliki persepsi negatif terhadap lingkungan organisasinya, maka karyawan
akan merasakan pekerjaan sebagai suatu beban, yang akhirnya akan meningkatkan
turnover intention. West (2002) mengatakan bahwa lingkungan sosial dan
psikologis terdekat dari individu yang bersangkutan sangat penting dalam
mempertimbangkan bagaimana cara merangsang kinerja di tempat kerja. Jika
iklim organisasi tidak mendukung, maka akan muncul ketidakpuasan dari
karyawan terhadap perusahaan, sehingga dapat menyebabkan frustrasi atau
meningkatnya absen dan dapat mengarah pada turnover intention.
Turnover intention merupakan suatu keadaan di mana pekerja memiliki niat
atau kecendrungan yang dilakukan secara sadar untuk mencari suatu pekerjaan
lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda dan turnover adalah pergerakan
keluarnya tenaga kerja dari tempatnya bekerja (Abdillah, 2012). Proses turnover
pada dasarnya diawali oleh kondisi yang disebut turnover intention atau keinginan
karyawan untuk meninggalkan organisasi (Widjaja et al., 2006). Menurut Jimad
(2011) keinginan untuk meninggalkan suatu organisasi umumnya didahului
dengan niat karyawan.
45
Menurut Mobley et, al, dalam Witasari (2009) mengatakan bahwa terjadinya
turnover intention ditandai dengan: (1) thoughts of quitting (memikirkan untuk
keluar) mencerminkan individu untuk berpikir keluar dari pekerjaan atau tetap
berada di lingkungan pekerjaan, (2) job search (pencarian pekerjaan)
mencerminkan individu berkeinginan untuk mencari pekerjaan pada organisasi
lain, dan (3) intention to quit (niat untuk keluar) mencerminkan individu berniat
untuk keluar.
Perusahaan perlu mengelola iklim yang baik dan kondusif dalam aktivitas
kerja karyawan untuk mengurangi tingkat turnover intention yang dapat dialami
oleh karyawan. Iklim yang terbentuk akan sangat mempengaruhi orang-orang
yang berada dalam organisasi. Iklim organisasi yang buruk dapat meningkatkan
turnover intention karyawan. Sementara itu, apabila karyawan merasa bahwa
iklim yang ada pada organisasi tempat ia bernaung cukup kondusif dan
menyenangkan baginya untuk bekerja dengan baik, maka akan membuat
karyawan tersebut merasa nyaman dan betah bekerja di perusahaan tersebut,
sehingga dapat menurunkan turnover intention. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian dari Suliman dan Obaidli (2011) menyatakan bahwa persepsi karyawan
terhadap iklim organisasi berpengaruh negatif terhadap turnover intention.
Menurut Jyoty (2013) menyatakan iklim organisasi dengan turnover intention
memiliki hubungan negatif. Menurut Mamewe (2015) mengemukakan bahwa
iklim organisasi berpengaruh negatif terhadap turnover intention.
46
E. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan negatif antara iklim organisasi dengan turnover intention
karyawan PT. Ardendi Jaya Sentosa Semarang. Semakin negatif iklim organisasi,
maka akan semakin tinggi turnover intention, begitu juga sebaliknya semakin
positif iklim organisasi, maka akan semakin rendah turnover intention karyawan
PT. Ardendi Jaya Sentosa Semarang.