BABII BABIIKAJIANPUSTAKA ) sebagai persepsi individu dari ... · kehidupan dalam konteks budaya dan...
Transcript of BABII BABIIKAJIANPUSTAKA ) sebagai persepsi individu dari ... · kehidupan dalam konteks budaya dan...
BAB II
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kualitas Hidup Dalam Sudut Pandang Ergonomi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kualitas hidup
(Quality of Life/QOL) sebagai persepsi individu dari posisi mereka dalam
kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka tinggal dan
dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran (WHO,
1997). Domain utama kualitas hidup menurut WHO meliputi: a) kesehatan fisik, b)
keadaan pisikologi, c) tingkat kebebasan, d) hubungan sosial, dan e) keyakinan
beragama. Dengan definisi kualitas hidup yang sama Bäck-wiklund et al. (2011)
membagi domain kualitas hidup menjadi dua domain yaitu domain pekerjaan dan
domain kondisi rumah. Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup lebih terarah
dari sudut pandang masing-masing bidang ilmu, tetapi secara umum parameter
kesehatan menjadi salah satu domain utama atau sub domain dari kualitas hidup
(WHO, 1997; Pukeliene dan Starkauskiene, 2011; Bäck-wiklund et al., 2011).
Pengukuran kualitas hidup dilakukan secara pendekatan sistem,
berdasarkan domain kualitas hidup, sudut pandang keilmuan dan juga hubungan
yang akan diteliti. Setiap domain dari kualitas hidup terbagi menjadi sub-sub
domain yang lebih spesifik, pembagian sub-sub domain ini tergantung dari sudut
pandang masing-masing kelimuan. Sebagai contoh pembagian domain dan sub
domain menurut Bäck-wiklund et al. (2011), domain pekerjaan sering juga
disebut dengan kualitas pekerjaan (quality of working life/ QOWL) meliputi
semua faktor yang berhubungan dengan pekerjaan, meliputi: jenis pekerjaan, jam
kerja, tempat kerja, sistem kerja, lingkungan kerja, tekanan pekerjaan, lingkungan
sosial kerja, karier, kesehatan dan keselamatan bekerja, transportasi ke tempat
kerja dan kepuasan kerja. Domain rumah meliputi kegiatan sosial di tempat
tinggal, tempat tinggal, kondisi rumah, keluarga, dan juga pendapatan di rumah.
Ke-2 parameter utama ini dapat meningkatkan atau menurunkan kualitas hidup
dari pekerja, meningkatkan kualitas hidup bagi pekerja jika ke-2 atau salah satu
parameter tersebut memberikan dampak positif, tetapi menurunkan kualitas hidup
pekerja jika ke-2 atau salah satu parameter tersebut memberikan nilai negatif.
Tujuan dari kualitas hidup sebenarnya adalah bagaimana mencapai ke
kesejahteraan yang lebih baik (well-being) (WHO, 1997; Pukeliene dan
Starkauskiene, 2011; Bäck-wiklund et al., 2011). Domain-domain yang ada dalam
kualitas hidup hanyalah sebagai cara untuk menentukan faktor-faktor apa saja
dalam hidup seseorang yang dapat menjadi faktor-faktor positif atau negatif dalam
mencapai kesejahteraan yang dituju.
Karakteristik dari Human Factors/ Ergonomics (HFE) adalah berfokus pada
hasil yang dicapai, yaitu performansi (performance) dan kesejahteraan (well-being)
(Dul et al., 2012). Performansi meliputi: produktivitas, effisiensi, effektivitas,
kualitas, inovasi, fleksibilitas, kesehatan dan keamanan, reabilitas dan
keberlanjutan, sedangkan kesejahteraan meliputi: kesehatan dan keamanan,
kepuasan, kesenangan, pembelajaran, serta pengembangan diri. Ke-2 fokus
pencapaian dari human factors/ ergonomics saling terkait satu dengan yang lain,
performansi mempengaruhi kesejahteraan demikian juga sebaliknya, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
Kualitas hidup dan human factors/ ergonomics mempunyai karakterisik
tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan, WHO menjabarkan dan menentukan
faktor-faktor yang berpengaruh dalam penentuan pencapaian kualitas hidup, di
mana domain kesehatan individu menjadi salah satu faktor penilaian. Domain
kesehatan meliputi: energi dan kelelahan, rasa sakit dan ketidaknyamanan, serta
tidur dan istirahat (WHO, 1997). Ke-2 faktor, yaitu: energi dan kelelahan, serta
rasa sakit dan ketidaknyamanan adalah faktor yang disebabkan dalam bekerja.
Penyebab dari ketidaknyaman, kelelahan dan rasa sakit, pada individu
yang bekerja adalah adanya stressor yang mempengaruhi tubuh sehingga tubuh
bereaksi. Stressor berasal dari luar tubuh manusia, dalam kondisi bekerja maka
jenis-jenis stressor yang ada adalah (Kroemer dan Grandjean, 2003):
a. Pengawasan pekerjaan (Job control), partisipasi tenaga kerja dalam
pengawasan pekerjaan yang dihasilkan.
b. Perhatian dari atasan (Social support), adanya perhatian dari atasan dalam
menyelesaikan pekerjaan.
c. Ketidakpuasan dalam bekerja (Job distress atau dissatisfaction),
ketidakpuasan dalam bekerja menyangkut hal yang dikerjakan dan beban
kerja.
d. Pekerjaan dan tuntutan performasi (Task dan performance demands),
karakteristik pekerjaan yang berhubungan dengan beban kerja dan juga
performasi kerja, seperti: target penyelesaian dan kualitas pekerjaan.
e. Kepastian bekerja (Job security), adanya kepastian dalam bekerja dan karier.
f. Tanggung jawab (Responsibility), adanya rasa tanggung jawab untuk
menghidupi diri sendiri dan orang lain (keluarga).
g. Masalah keadaan lingkungan kerja (Physical environmental problems),
kondisi-kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi pekerja, seperti:
bunyi-bunyian, bau, suhu lingkungan kerja, kurangnya pencahayaan, dan juga
ruang kerja yang sempit.
h. Pekerjaan yang kompleks (Complexity), banyaknya pekerjaan yang harus
diselesaikan. Pekerjaan yang repetitif dan monoton termasuk karakteristik
yang pekerjaan yang kurang kompleks, tetapi pekerjaan yang terlalu kompleks
juga tidak baik.
Reaksi tubuh terhadap stressor adalah dengan adanya stress, stress
diartikan sebagai keadaan fisiologis dari tubuh pekerja, stress terjadi sebagai
akibat adanya ransangan berlebih dari luar tubuh (stressor) (Kumar, 1999;
Kroemer dan Grandjean, 2003). Penilaian dan pengukuran stress yang terjadi
akibat adanya stressor dengan cara menilai keadaan fisiologis pekerja. Penilaian
keadaan fisiologis dapat melalui kuesioner yang ditanyakan langsung kepada
pekerja dan juga dapat diukur melalui kondisi parameter fisiologis seperti detak
jantung dan tekanan darah.
Sehingga dapat dikatakan faktor fisiologis (kesehatan fisik) seorang
pekerja merupakan salah satu faktor yang menentukan nilai kualitas hidup, yang
mana faktor fisiologis (kesehatan fisik) seseorang merupakan dampak langsung
dari kondisi lingkungan pekerjaan yang dilakukan. Perbaikan-perbaikan kondisi
lingkungan kerja dengan intervensi ergonomi akan secara langsung
mempengaruhi kualitas hidup.
2.2 Respon Fisiologis
Respon fisiologis merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk
memelihara kesimbangan homeostasis dalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan
akan mengakibatkan peningkatan fungsi sistem organ vital secara umum (Pinel,
2009). Respon fisiologis terhadap suatu hal misalnya seperti beban kerja dapat
berpengaruh pada sistem organ sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler berupa perubahan denyut nadi, denyut jantung dan
tekanan darah.
b. Sistem pernapasan berupa napas cepat, terengah-engah, rasa tertekan pada
dada.
c. Sistem neuromuskuler berupa peningkatan reflek, reaksi kejutan, insomnia,
ketakutan, gelisah, ketahanan secara umum, gerakan lambat.
d. Sistem gastrointestinal berupa kehilangan nafsu makan, rasa tidak nyaman
pada perut, mual dan diare.
e. Sistem perkemihan berupa tidak dapat menahan buang air kecil, sering buang
air kecil.
f. Sistem integumen berupa berkeringat pada telapak tangan, gatal-gatal,
perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh.
Pada penelitian ini respon fisiologis yang dimaksud adalah beban kerja, kelelahan
dan keluhan muskuloskeletal.
2.3 Beban Kerja
2.3.1 Pengertian Beban Kerja
Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan, seorang pekerja akan
dihadapi dengan suatu beban kerja yang berlebih, beban kerja yang kurang dan
beban kerja yang optimal. Secara umum beban kerja yang diterima oleh seorang
pekerja dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut (Manuaba, 1998b; Adiputra,
1998):
a. External Load (stressor) adalah beban kerja yang berasal dari pekerjaan yang
sedang dilakukan dan mempunyai ciri khusus yang berlaku untuk semua orang.
Misalnya pekerjaan, organisasi, dan lingkungan kerja. Beban kerja ini
merupakan rangsangan atau aksi tubuh manusia, baik berasal dari luar maupun
dari dalam tubuh manusia sendiri, yang menimbulkan bermacam-macam
dampak yang merugikan. Dampak ini merugikan, mulai dari menurunnya
kesehatan sampai dideritanya suatu penyakit, yang semuanya menjurus
kepada menurunnya efisiensi dan produktivitas kerja.
b. Internal Load (Strain) adalah segala reaksi tubuh terhadap aksi yang
diterimanya, reaksi-reaksi mana mulai dari menjadi aktif/ pasifnya
organ-organ tubuh untuk mengantisipasi stressor, sampai kepada aktivitas
yang melampui batas kemampuannya, sehingga terjadi hal-hal yang tidak
dinginkan. Strain dapat juga diartikan sebagai beban kerja yang berasal dari
dalam tubuh pekerja yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan,
kepuasan, taboo dan lain-lain.
2.2.2 Penilaian Beban Kerja
Metodologi ergonomi adalah metodologi analisis permasalahan ergonomi
dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan domain masalah tersebut dalam
lingkup ergonomi. Masalah beban kerja masuk dalam metode permasalahan
antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan pekerjaannya, meliputi: metode
analisis beban kerja pada fisik pekerja/operator, metode analisis beban kerja pada
psychophysiological pekerja dan juga metode analisis beban kerja pada
lingkungan pekerjaannya termasuk urutan dan langkah pekerjaan.
a. Metode Psychophysiological
Metode psychophysiological adalah metode pengukuran respon tubuh (bagian
tubuh tertentu, seperti detak jantung, konsumsi oksigen dan kontraksi otot)
dalam menerima atau melakukan suatu pekerjaan dan pada lingkungan kerja
tertentu. Metode psychophysiological meliputi metode-metode (Stanton et al.,
2005): Electrodermal Measurement, Electromyography (EMG), Estimating
Mental Effort Using Heart Rate and Heart Rate Variability, Ambulatory EEG
Methods and Sleepiness, Assessing Brain Function and Mental Chronometry
with Event-Related Potentials, Magnetoencephalogram and Functional
Magnetic Resonance Imaging, Ambulatory Assessment of Blood Pressure to
Evaluate Workload, Monitoring Alertness, serta Measurement of Respiration
in Applied Human Factors and Ergonomics Research.
b. Behavioral and Cognitive Methods
Behavioral and cognitive methods adalah metode pengumpulan data mengenai
beban kerja didasarkan atas persepsi, proses kognitif, dan respon individu
terhadap informasi yang diberikan. Metode behavioral dan cognitive meliputi
metode-metode dengan cara: observasi, interview, verbal protocol analysis,
repertory grid dan focus groups. Metode behavioral dan cognitive meliputi
(Stanton et al., 2005): Observation, Applying Interviews to Usability
Assessment, Verbal Protocol Analysis, Repertory Grid for Product Evaluation,
Focus Groups, Hierarchical Task Analysis, Allocation of Functions, Critical
Decision Methods, Applied Cognitive Work Analysis, Systematic Human Error
Reduction and Prediction Approach, Task Analysis for Error Identification,
Mental Workload, Multiple Resource Time Sharing Models, Critical Path
Analysis for Multimodal Activity, dan Situation Awareness Measurement and
the Situation Awareness Global Assessment Technique.
Metodologi ergonomi ini ada yang bersifat objektif dan ada juga yang
bersifat subjektif. Analisis metodologi ergonomi yang bersifat subjektif, yang
dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya
beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan yang menggangu, rasa sakit atau
pengalaman lain yang dirasakan, pengamatan langsung (checklist) maupun diskusi,
sedangkan analisis metodologi ergonomi yang bersifat objektif lebih mengarah
pada pengambilan data dengan peralatan yang terkalibrasi yang dapat diukur dan
dilakukan oleh pihak lain, meliputi: reaksi fisiologis, reaksi psikologi atau
perubahan tidak tanduk.
Penilaian beban kerja secara objektif yang paling mudah dan murah, dan
secara kuantitatif dapat dipercaya akurasinya adalah pengukuran frekuensi denyut
nadi. Frekuensi nadi kerja dari seluruh jam kerja, selanjutnya dipakai dasar
penilaian beban kerja fisik, karena perubahan rerata denyut nadi berhubungan
linier dengan konsumsi oksigen (Rodahl, 2005). Hal ini merupakan refleksi dari
proses reaksi (strain) terhadap stressor yang diberikan oleh tubuh, di mana
biasanya besar strain berbanding lurus dengan stress. Penilaian beban kerja
dengan mengukur peningkatan denyut nadi dilaksanakan saat bekerja atau segera
setelah selesai bekerja. Oleh karena itu yang paling baik diukur dengan
menggunakan alat pencatat yang ditempelkan di dada atau di lengan saat bekerja
(telemetri), kemudian hasilnya dicatat setelah selesai bekerja. Tetapi juga bisa
dengan mengukur denyut nadi segera setelah selesai kerja dengan metode sepuluh
denyut (Kilbon, 1990) Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode
sepuluh denyut adalah mengukur denyut nadi secara palpasi dengan menghitung
waktu untuk sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan bersamaan dengan denyut
kesatu dan ditekan stop pada denyut kesebelas). Denyut nadi dapat digunakan
untuk memprediksi beban kerja dengan cara mengkonvensikan dengan tabel
katagori beban kerja menurut (Christensen, 1991) dengan menghitung frekuensi
denyut nadi per menit (Tabel 2.1). Klasifikasi beban kerja juga di tunjukkan
dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.12.1 Klasifikasi beban kerja menurut Christensen
Work Load OxygenConsumption(l/min)
LungVentilation(l/min)
RectalTemperature(0C)
HeartBeats permin
Sangat ringan 0,25-0,30 6,0-7,0 37,5 60-70Ringan 0,50-1,0 15-20 37,5 75-100Sedang 1,0-1,5 20-31 37,5-38,0 100-125Berat 1,5-2,0 31-43 38,0-38,5 125-150Sangat berat 2,0-2,5 43-56 38,5-39,0 150-175Extremily 2,5-4,0 60-100 Over 39,0 Over 175Sumber: Christensen (1991)
Tabel 2.22.2 Klasifikasi beban kerja menurut denyut nadi
Tingkat beban kerja Denyut nadi (dpm)Istirahat 60 ~ 70Beban kerja sangat ringan 65 ~ 75Beban kerja ringan 75 ~ 100Beban kerja sedang 100 ~ 125Beban kerja berat 125 ~ 150Beban kerja sangat berat 150 ~ 180Beban kerja luar biasa berat >180Sumber: McCromick dan Sanders (1987)
Peningkatan denyut nadi dari istirahat sampai dengan kerja menurut
Tarwaka didefinisikan sebagai heart rate reserve (HR reserve) dengan persamaan
(Tarwaka, 2011):
��t ������� � ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 ���݊湡ݕ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 �湡��眯�ˤݕ���ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀
� �tt …...(1)
�th� � �tt����ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 ���݊湡ݕ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀ݑ��ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 �湡��眯�ˤݕ���ˤ䄰ˤ좀 ˤ湡�眯 眯�좀眯�湡䁣湡좀
…...(2)
Denyut nadi maksimum untuk laki-laki adalah (220-umur) sedangkan untuk
perempuan adalah 200-umur. Berdasarkan beban cardiovaskular, beban kerja
fisik dapat diklasifikasikan sebagai klasifikasi beban kerja berdasrkan % CVL
(Tabel 2.3).
Tabel 2.3
2.3 Klasifikasi beban kerja berdasarkan % CVL
%CVL Klasifikasi Beban Kerja Keterangan< 30% Ringan Tidak terjadi kelelahan30% s/d < 60% Sedang Diperlukan perbaikan60% s/d < 80% Berat Kerja dalam waktu singkat80% s/d < 100% Sangat berat Diperlukan tindakan segera> 100% Tidak diperbolehkan beraktivitasSumber: Intaranont dan Vanwonterghem (1993)
Untuk memonitor external load yang bersumber dari suhu lingkungan
dapat pula dihitung dengan mempergunakan WBGT index (Wet Bulb Globe
Temperature), yang diperkenalkan oleh Crockford (1981). Kemudian ISO
7243-1982 merekomendasikan bahwa, pengukuran pengaruh lingkungan terhadap
pekerja berdasarkan pada WBGT Index (Person, 1991; Intaranont dan
Vanwonterghem, 1993) dengan rumus sebagai berikut (Helander, 1995; (Manuaba
dan Kamiel, 1996) :
WBGT = 0,7 Tnwb + 0,3 Tg (indoor
activity) …………………………(2)
WBGT = 0,7 Tnwb + 0,2 Tg + 0,1 Tdb (outdoor activity) ...................... (3)
Tnwb = natural wet bulb temperature
Tg = black globe temperature
Tdb = dry bulb temperature of ambient
Gambar 2.12.1 Grafik indek WBGT dan periode istirahat
Sumber: Intaranont dan Vanwonterghem (1993)
Dengan menggunakan persamaan WBGT dan berpedoman pada indek
WBGT, dapat diketahui upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk tercapainya
suatu kerja yang berkesinambungan selama 8 jam. Gambar 2.1 memperlihatkan
grafik dari indek WBGT.
External load atau beban kerja yang diperoleh dari pekerjaan yang sedang
diselesaikan pekerjaannya diukur dengan metode Brouha (Kilbon, 1990;
Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) yang dilaksanakan dengan cara mengukur
denyut nadi istirahat dan denyut nadi pemulihan, diukur sesaat setelah selesai
bekerja sebanyak lima kali (P1, P2, P3, P4 dan P5) dan masing-masing diukur dalam
waktu 30 detik dan hasilnya dikalikan dua, dengan cara ini dapat diketahui
pengaruh lingkungan terhadap kondisi tubuh berupa: a) Extra cardiac pulse due to
metabolism (ECPM) dan b) Extra cardiac pulse due to heat transfer to periphery
(ECPT) menggunakan rumus sebagai berikut (Adiputra, 1998):
�th� � h��h��h��
ݕ ht ………………(3)
………………(4)
Keterangan :P0 : denyut nadi istirahatP1 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-1 pada pemulihanP2 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-2 pada pemulihanP3 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-3 pada pemulihan
P4 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-4 pada pemulihanP5 : denyut nadi per 30 detik dari menit ke-5 pada pemulihan
Denyut nadi istirahat (P0) adalah denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai
dan P1, P2, P3, P4, P5 = denyut nadi pemulihan adalah denyut nadi yang dihitung
pada akhir 30 detik setelah pekerjaan berhenti selama 30 detik untuk P1, dan
dilanjutkan untuk P2 dihitung pada akhir 30 detik setelah P1, selama 30 detik.
Demikian seterusnya sampai P5, seperti terlihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.22.2 Denyut nadi pemulihanSumber: Letho dan Buck (2008)
a. ECPT > ECPM
Faktor external load dari lingkungan lebih dominan memberikan beban
kerja tambahan kepada subjek, sehingga perbaikan lingkungan kerja perlu
menjadi prioritas.
b. ECPM > ECPT
Kerja otot aktif subjek lebih dominan, perbaikan atas beban kerja utama
menjadi prioritas.
140
130
120
110
100
90
80
70
60
0 30 60 90 120 150 180
1
23
4 5
Pekerjaan berhenti
P1 P2 P3 P4 P5
Denyutnadi/m
enit
Nadi pemulihan
(a)
(b) (c)
c. ECPT = ECPM
Berarti bahwa beban fisik pekerjaan dan aspek lingkungan sama-sama
memberikan beban kepada tubuh, dengan demikian upaya intervensi
ditujukan ke-2nya.
Metode lain pengukuran beban kerja diberikan oleh (Dubeau et al., 2015)
yang membagi beban kerja menjadi 4 katagori: Sangat Ringan, Ringan, Moderat
dan berat. Pendekatan pengukuran beban kerja dilakukan dengan pendekatan
addative neuro-fuzzy inference systems dengan melakukan pengamatan pada
denyut nadi. Data yang digunakan adalah denyut nadi istirahat, denyut nadi kerja
dan berat badan
Keuntungan penggunaan nadi kerja untuk menilai beban kerja adalah
selain prosesnya mudah, cepat, murah, tidak diperlukan peralatan yang mahal,
hasilnya juga cukup reliabel (Mansikka et al., 2016). Alat ukur denyut nadi yang
efektif adalah menggunakan alat pulse meter yaitu Heart Rate Monitor Life
Source, sehingga denyut nadi bisa terukur dengan baik selama kerja (Gungga et
al., 2015).
Gambar 2.32.3 Real time heart rate monitoring
(a) heart rate strap Garmin, b) gelang monitor kesehatan Xiomi Mi Fit, c) aplikasiNotify & Fitness for Mi Band heart rate monitoring pada tablet android.
Perkembangan teknologi mendukung perubahan peralatan pengukuran
menjadi lebih ringan, kecil dan tingkat mobilitas yang tinggi, sehingga
pengukuran respon fisiliogi tidak lagi harus dilakukan di dalam laboratorium.
Sebagai contoh pengukuran denyut nadi dapat dilakukan dengan heart rate
monitor secara real time dengan heart rate strap di pasang di dada, maupun
gelang monitor kesehatan yang dipasang dipergelangan tangan, data langsung
ditransmisikan dengan koneksi bluetooth ke perangkat komputer atau tablet
(Gambar 2.3).
Pada pekerja pasiran, penilaian beban kerja secara objektif, bisa dilakukan
dengan mengukur frekuensi denyut nadi, ECPT dan ECPM, sehingga intervensi
yang dilakukan adalah sesuai dengan kondisi yang ada pada pekerja.
2.4 Kelelahan
Kelelahan mempunyai fungsi perlindungan terhadap kerusakan fisik,
namun kebanyakan masyarakat lebih menonjolkan kelelahan sebagai faktor
pengaruh terhadap menurunnya efisiensi dan efektivitas kerja. Proses terjadinya
kelelahan fisiologis adalah: terkumpulnya produk-produk sisa metabolisme dalam
otot dan peredaran darah, sisa-sisa produk tersebut bersifat membatasi
kelangsungan aktivitas otot, sehingga orang menjadi tidak sanggup lagi
melakukan aktivitas kerja sebagaimana mestinya. Dan kelelahan fisiologis
disebabkan oleh terjadinya ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan
zat-zat hasil oksida glukosa dalam otot. Oksigen yang masuk lebih kecil dari
kebutuhan dan persediaan gilkogen dalam hati menipis, sedangkan proses
terjadinya kelelahan psikologis adalah ketika sistem penggerak (formation
reticular) lebih kuat dari pada sistem penghambat (thalamus) di dalam otak.
Secara mental orang tersebut sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas
sebagaimana mestinya, walaupun sebenarnya secara fisik masih mampu (Pulat,
1992).
2.4.1 Pengertian Kelelahan
Pengertian kelelahan diartikan sebagi berikut:
a. Kelelahan kerja adalah suatu yang timbul pada saat keadaan yang tidak
sanggup lagi untuk melakukan aktivitas kerja sebagaimana mestinya (Pulat,
1992).
b. Kelelahan pada dasarnya adalah kehilangan efisiensi, penurunan kapasitas
kerja dan ketahanan tubuh. Dalam kondisi lelah perasaan subjektif mengenai
kelelahan menjadi dominan. Perasaan lelah sebenarnya merupakan
perlindungan dari keterbatasan dan kemampuan fisik untuk menghidari
kerusakan fisik, ketegangan, dan gangguan-gangguan psikologis lebih lanjut
dan sekaligus member peringatan untuk instirahat, agar fisik mempunyai
kesempatan untuk memulihkan energinya kembali (Kroemer dan Grandjean,
2003).
2.4.2 Jenis Kelelahan
Pada umumnya kelelahan dibagi menjadi dua yaitu kelelahan fisiologis
dan kelelahan psikologis, dapat diuraikan sabagai berikut:
a. Kelelahan fisiologis (kelelahan fisik)
Kelelahan yang timbul karena perubahan fisiologis atau hilangnya secara
temporer kapasitas psiko-fisiologis yang disebabkan oleh perangsangan secara
terus menerus (Adiputra, 1998).
b. Kelelahan Psikologis (kelelahan mental)
Merupakan kelelahan semu, yang timbul dalam perasaan dan terlihat dalam
tingkah lakunya, atau pendapat-pendapatnya yang tidak konsisten serta
jiwanya labil.
2.4.3 Penyebab Terjadinya Kelelahan
Kelelahan kerja disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai
berikut (Kroemer dan Grandjean, 2003):
a. Problem psikis, meliputi: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik
b. Kenyerian (rasa nyeri) dan kondisi kesehatan
c. Status gizi dan nutrisi
d. Intensitas dan lamanya kerja fisik maupun mental
e. Faktor lingkungan meliputi: penerangan, vibrasi mekanik, suhu udara.
Faktor-faktor yang penyebab kelelahan tersebut, dapat dicegah atau
dikurangi antara lain dengan cara berikut (Sedarmayanti, 1996):
a. Kepemimpinan yang dapat menimbulkan motivasi dan semangat kerja
b. Manajemen yang dapat meningkatkan keserasian
c. Perhatian karyawan dan keluarganya serta mengurangi permasalahan yang
potensial timbul
d. Pengorganisasian kerja yang dapat menjamin cukupnya waktu istirahat dan
rekreasi, variasi dan volume serta lingkungan kerja yang serasi dengan
kepuasan kerja
e. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan sosial termasuk gaji dan gizi (nutrisi).
2.4.4 Evaluasi Kelelahan
Kelelahan dapat diukur dengan beberapa cara atau metode, yaitu:
pengukuran kualitas dan kuantitas kerja, keluhan subjektif, tremor detector
sebagai tes psikomotor, flicker fusion test, dan test mental (Kroemer dan
Grandjean, 2003). Keluhan subjektif dapat diukur dengan kuesiomer 30 item self
rating test dengan skala lima yang direkomendasikan oleh Japan Association
Industrial Health/ JAIH dan Industrial Fatigue Committee Research of Japan.
Kuesioner tersebut memuat daftar gejala-gejala yang berhubungan dengan
kelelahan yang ditanyakan kepada subjek dan diisi secara subjektif sesuai dengan
apa yang dirasakan. Substansi dimensional dari kuesioner adalah sebagai berikut:
item 1-10 menyangkut pelemahan aktivitas, item 11-20 menyangkut pelemahan
motivasi, dan item 21-30 menyangkut kelelahan fisik akibat keadaan umum
(Yoshitake, 1971).
Secara objektif pengukuran kelelahan kerja dapat dilakukan terhadap
perubahan fisilogis tubuh seperti dengan mengukur waktu reaksi, kadar asam
laktat, temperatur tubuh dan ekstrasi ketekolamin (Christensen, 1991).
Pengukuran waktu reaksi merupakan salah satu cara dalam uji psiko-motor
(psychomotor test) yang melibatkan fungsi persepsi, interprestasi dan reaksi motor.
Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsangan tunggal
sampai timbulnya respon terhadap rangsangan tersebut. Dalam keadaan kelelahan,
waktu reaksi akan lebih lama atau memanjang. Hal ini disebabkan karena pada
keadaan kelelahan, secara neurofisiologis korteks serebri mengalami penurunan
aktivitas. Terjadi perubahan pada pengaruh pada sistem aktivasi dan sistem
inhibisi, sehingga tubuh tidak dapat secara cepat menjawab signal-signal dari luar
(Kroemer dan Grandjean, 2003). Dalam penelitian ini pengukuran kelelahan kerja
mengggunakan metode pengukuran waktu reaksi dengan menggunakan alat bantu
reaction time berupa perangkat lunak reaction time yang di install pada tablet
android.
2.5 KeluhanMusculoskeletal
Manusia yang bekerja akan terjadi konstraksi dan relaksasi secara
bergantian pada otot-otot tubuhnya terlepas dari jenis pekerjaan yang dilakukan
(Astrand dan Rodahl, 1986). Hal itu terjadi sebagai akibat dari aktivitas anggota
gerak dalam menjaga posisi tubuh agar stabil, atau gerakan tertentu dalam
pelaksanan tugas. Semakin banyak gerakan yang berlawanan dengan kaidah faal
yang dilakukan, semakin banyak energi yang digunakan (Astrand dan Rodahl,
1986; Kroemer dan Grandjean, 2003). Semakin banyak sikap tubuh melawan
sikap netral tubuh maka semakin banyak otot-otot yang bekerja. Demikian pula
kalau tubuh semakin terporsir dalam suatu posisi kerja tertentu, akan semakin
lama kelompok otot-otot tertentu berkontraksi. Terlebih lagi kalau hal itu
dilakukan secara berulang-ulang, maka akan terjadinya kelelahan otot (Astrand
dan Rodahl, 1986; Kroemer dan Grandjean, 2003). Bentuk dari kelelahan otot
disertai dengan sensasi sakit yang terjadi pada otot. Semuanya itu dapat dideteksi
dengan adanya keluhan otot-otot. Jenis otot mana yang terpengaruh tergantung
kepada beratnya tugas dan tingkat monotonnya gerakan.
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua
(Tarwaka, 2011), yaitu:
a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, tetapi keluhan tersebut akan segera hilang apabila
pemberian beban tersebut dihentikan.
b. Keluhan menentap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.
Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan tetapi rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang
berlebih akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila
kontraksi otot hanya berkisar 15 ~ 20% dari kekuatan otot maksimum, sedangkan
apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang
menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan
(Kroemer dan Grandjean, 2003).
Peralatan kerja dan aktivitas fisik yang dilakukan di tempat kerja yang
tidak ergonomis dapat menimbulkan cedera atau keluhan pada otot dan persendian.
Terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal dapat disebabkan oleh beberapa faktor
(Tarwaka, 2011), yaitu:
a. Peregangan otot yang berlebih, pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja
yang aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti:
mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat.
b. Aktivitas berulang, yaitu pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus
seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkut, dan lain-lain. Keluhan
otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus
menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
c. Sikap kerja tidak alamiah, yaitu sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah seperti tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan lain-lain.
Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh semakin tinggi
resiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Sikap kerja yang tidak alamiah
pada umumnya karena karaktersitik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja
tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Manuaba, 1998;
Kroemer dan Grandjean, 2003).
d. Penyebab sekunder, seperti: getaran dan mikroklimat.
e. Penyebab kombinasi, dengan resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan
semakin meningkat apabila pekerja dalam melakukan tugasnya dihadapkan
pada beberapa faktor resiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja
harus melakukan aktivitas angkat angkut di bawah tekanan panas matahari.
2.5.1 Evaluasi Keluhan Sistem Muskuloskeletal
Keluhan sistem muskuloskeletal dapat dievaluasi dengan beberapa metode,
degan tujuan mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan resiko keluhan
otot skeletal. Beberapa evaluasi ergonomi untuk mengetahui keluhan sistem
muskuloskeletal, yaitu:
1) Physical Methods
Physical methods adalah masalah beban kerja yang cendrung mengakibatkan
masalah-masalah keluhan muskuloskeletal (MSDs), repetitive strain injuries
(RSIs) atau work-related upper extremity disorders (WUEDs) yang artinya
keluhan nyeri atau sakit yang dirasakan pada sistem otot rangka. Penyebab
keluhan ini sangat beragam, mulai dari beban yang berlebih, salah posisi,
salah duduk, lingkungan tidak mendukung dan lainnya.
Metode ergonomi untuk menganalisis masalah ini (Stanton et al., 2005),
meliputi: A Method Assigned for Identification of Egonomics Hazard,
Musculoskeletal Discomfort Surveys Used at NIOSH, The Dutch
Musculoskeletal Questionnaire, Quick Exposure Checklist for the assessment
of workplace Risk for Work-Related Musculoskeletal Disorders (WMSDs),
Rapid Upper Limb Assessment (RULA), Rapid Entire Body Assessment, The
Strain Index, Posture Checklist Using Personal Digital Assistant Technology,
Scaling Experiences during Work: Perceived Exertion and Difficulty, Muscle
Fatigue Assessment: Functional Job Analysis Technique, Psychophysical
Tables: Lifting, Lowering, Pushing, Pulling, and Carrying, Lumbar Motion
Monitor, The Occupational Repetitive Action (OCRA) Methods: OCRA index
and OCRA Checklist, Assessment of Exposure to Manual Patient Handling in
Hospital Wards: Index for Risk Assessment of Patient Manual Handling in
Hospital.
2) EMG (Electromyography)
Alat ini mengevaluasi dan mencatat aktivitas otot. EMG digunakan untuk
membandingkan tegangan otot skeletal dengan berbagai variasi posisi kerja
atau kegiatan untuk validasi prinsip ergonomi.
3) OWAS (Owako Working Analysis System)
Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai sikap
kerja pada saat bekerja. Aplikasi OWAS didasarkan pada pengamatan dari
berbagai posisi yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaannya
dan digunakan untuk mengidentifikasi sampai 252 posisi yang berbeda
sebagai hasil dari kemungkinan kombinasi sikap kerja tubuh bagian belakang,
lengan, kaki dan pembebanan. Metode OWAS dapat diterapkan untuk
memperbaiki tempat kerja, merancang tempat kerja baru dan survei ergonomi
(Corlett, 2005). Metode OWAS memiliki keterbatasan yaitu tidak menilai
secara detail tingkat keparahan pada masing-masing posisi.
4) RULA (Rapid Upper Limb Assessment)
Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target sikap
kerja untuk mengestimasi terjadinya resiko gangguan otot skeletal, khususnya
pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorder)
5) NBM (Nordic Body Map)
Salah satu metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal adalah
penilaian keluhan otot skeletal pada bagian tubuh tertentu dengan
menggunakan Nordic Body Map baik dengan rating maupun rangking (Corlett,
2005). Pada subjek ditanyakan mengenai bagian-bagian anggota tubuh yang
mengalami kenyerian, sakit atau ketidaknyamanan.
Kelelahan otot sesuai dengan Mordic Body Map dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu: bagian otot trunkus, bagian otot ekstremitas bagian atas (upper
extrimities) dan bagian otot ekstremitas bagian bawah (lower extrimities).
a) Bagian otot trunkus terdiri dari: leher bagian atas, leher bagian bawah,
punggung, pinggang, bokong dan pantat.
b) Bagian otot ekstremitas bagian atas terdiri dari: bahu kiri, bahu kanan,
lengan atas kiri, lengan atas kanan, siku kiri, siku kanan, lengan bawah kiri,
lengan bawah kanan, pergelangan tangan kiri, pergelangan tangan kanan,
tangan kiri dan tangan kanan.
c) Bagian otot ekstremitas bagian bawah terdiri dari: paha kiri, paha kanan,
lutut kiri, lutut kanan, betis kiri, betis kanan, pergelangan kaki kiri,
pergelangan kaki kanan, kaki kiri dan kaki kanan.
Dalam penelitian ini, pengukuran keluhan muskuloskeletal menggunakan
kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner Nordic Body Map merupakan kuesioner
yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyaman atau kesakitan
pada 28 bagian otot skeletal yang diobservasi, yang sudah cukup terstandarisasi
dan tersusun rapi (Kroemer et al., 2010). Dalam banyak penelitian ergonomi,
penggunaan kuesioner Nordic Body Map dimodifikasi dengan empat skala Likert.
Nilai setiap bagian otot skeletal yang diobservasi kemudian dijumlahkan untuk
mendapatkan total skor individu. Selanjutnya dengan desain empat skala Likert
diperoleh skor individu sebagai berikut: Tidak sakit (skor 28-49), Agak sakit (skor
50-70), Sakit (71-91) dan Sangat sakit (92-112). Pengukuran keluhan
muskuloskeletal dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan. Perbedaan
skor sebelum dan sesudah kerja merupakan nilai keluhan otot akibat kerja.
2.6 Gaya-Gaya Pada Low Back Disc L4/L5
Aktivitas angkat angkut manual yang tidak tepat dapat menimbulkan
kerugian bahkan kecelakaan kerja. Tingginya tingkat cidera atau kecelakaan kerja
selain merugikan secara langsung yaitu sakit yang diderita oleh pekerja,
kecelakaan tersebut juga berdampak buruk terhadap kinerja perusahaan yaitu
berupa penurunan produktivitas perusahaan, baik melalui beban biaya pengobatan
yang cukup tinggi dan juga ketidakhadiran pekerja serta penurunan dalam kualitas
kerja.
Khusus saat melakukan angkat angkut manual jenis pengangkatan, organ
tubuh yang mendapatkan pengaruh paling besar adalah pada bagian tulang
belakang. Pengangkatan manual yang dilakukan oleh pekerja membuat struktur
tulang belakang mengalami tekanan yang berlebihan, meskipun pengangkatan
manual tersebut dilakukan tidak terlalu sering atau dengan kata lain frekuensinya
jarang. Namun demikian, hal tersebut tetap saja memberikan pengaruh buruk
terhadap struktur tulang belakang.
Gambar 2.42.4 Struktur low back disc
Sumber: Kumar, S. (1999)
Ketika manusia/ pekerja melakukan aktivitas dengan berbagai sikap kerja
saat bekerja, maka berat beban pekerjaan yang diangkat dan berat badan bagian
atas tubuh terakumulasi pada lempengan (disc) tulang belakang/ diskus
intervertebralis yang berupa ‘jelly-like structure’, khususnya pada tulang belakang
(lumbar). Tekanan berlebih dan terjadi berulangkali pada disk dapat menyebabkan
terjadinya hernia/ slliped disc/ ruptured disc/ proptased intervetebral disc, yaitu
keluarnya disk dari tempatnya dan menekan urat saraf pada saraf tunjang (Gambar
2.4). Akibat hernia disc yang menekan urat sarat, mengakibatkan timbulnya
keluhan rasa sakit pada punggung bawah (low back pain) saat tubuh digerakan
atau melakukan aktivitas. Selain perasaan rasa sakit di area punggung bawah
(lower back), rasa sakit juga dapat terjadi bokong (buttocks) atau kaki. Potensi
terjadinya low back disorder dapat terjadi jika keluhan rasa sakit terjadi terius
menerus. Low back disorder diartikan sebagai keluhan perasaan sakit pada lower
back, buttocks atau legs/ sciatica, yang dapat berakibat pada kehilangan
kesempatan bekerja atau kegiatan lainnya dikarenakan keluhan perasaan sakit
(Violante et al., 2003).
Gaya-gaya terbesar terjadi di antara tulang belakang (disc) pada disc
Lumbar No. 5 yang ditekan oleh disc Lumbar No. 4 atau sering disingkat dengan
gaya tekan disc L4/L5 (low back compression L4/L5) (Violante et al., 2003; Letho
dan Buck, 2008). Gaya-gaya yang bekerja pada low back disc meliputi gaya
compression, gaya anterior/ posterior shear dan gaya lateral shear (Gambar
2.5).
Gambar 2.52.5 Gaya-gaya tekan yang bekerja pada low back disc L4/L5
Sumber : Karwowski (2006)
Gaya compression merupakan gaya yang menekan disc dari atas ke bawah.
Nilai ambang batas yang ditetapkan untuk gaya compression pada L4/L5 atau
L5/S1 adalah sebesar 3400 N (Karwowski, 2006). Nilai ambang batas untuk
gaya compression pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 sebesar 3400 N
merupakan nilai ambang batas untuk proses angkat angkut dalam penerapannya di
dunia industri.
Gaya anterior/ posterior shear adalah gaya geser yang menekan disc ke
arah depan atau belakang. Karena proses mengangkat beban biasanya berada di
depan badan pekerja, gaya anterior/ posterior shear juga menjadi gaya
mempunyai nilai batasan walaupun belum menjadi konsensus internasional.
Gallagar dan Marras (2012) memberikan batasan untuk nilai besaran gaya
anterior/ posterior shear pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 adalah sebesar
1000 N untuk proses angkat angkut non repetitif dan 700 N untuk proses angkat
angkut repetitif. Sedangkan untuk pekerjaan menarik datau mendorong, batasan
gaya anterior/ posterior shear pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 adalah
sebesar 500 N (Harris-Adamson et al, 2016).
Gaya lateral shear adalah gaya geser yang menekan disc ke arah kanan
atau kiri. Sampai saat ini belum ada batasan nilai untuk besaran gaya lateral shear.
Gaya lateral shear muncul jika analisis proses angkat angkut merupakan proses
angkat angkut asimetrik dengan analisis 3 dimensi (3 sumbu/ axis). Penelitian
penelitian angkat angkut asimetrik dengan analisis 3 dimensi masih belum banyak
dan belum menganalisis dampak besaran gaya lateral shear pada low back pain.
Pada penelitian ini perhitungan biomekanika gaya-gaya (compression,
anterior/posterior shear dan lateral shear) pada low back disc L4/L5, dilakukan
dengan program bantu Siemen Jack 8.2 win-64. Analisis dilakukan berdasarkan
sikap-sikap pekerja saat melakukan pekerjaan baik pada saat melakukan pekerjaan
dengan alat bantu enggrong maupun dengan enggrong yang telah dimodifikasi.
Analisis virtual juga memasukan data anthropometri pekerja, berat rata-rata satu
sekopan enggrong, frekuensi siklus gerakan, dan lama pekerjaan dilakukan.
2.6.1 Postur Badan
Secara umum, postur badan (trunk) dapat didefinisikan sebagai orientasi
segmen badan dalam ruang dan hubungannya dengan satu sama lain. Definisi ini
mengasumsikan segmen badan menjadi segmen-segmen terhubung, yang terkait
dengan segmen selanjutnya ditentukan oleh rotasi sambungan dalam tiga sumbu/
axis. Berdasarkan ISO 11226 orientasi badan terbagi menjadi 3 arah gerakan,
yaitu flexion atau forward/ backward bending, lateral bending, dan twisting
(Kroemer et al., 1997) (Gambar 2.6). Berdasarkan ISO 11226 orientasi badan di
ukur dari pinggang, yang mana arah sumbu vertikal pinggang bisa tidak sama
dengan arah sumbu vertikal gravitasi bumi.
Gambar 2.62.6 Flexion/ forward bending, lateral bending, dan twisting (ISO 11226)
Sumber: Delleman et al. (2004)
Selain berdasarkan ISO 11226, orientasi badan ditentukan juga
berdasarkan sistem gravitasi bumi. Berdasarkan arah vertikal grafitasi bumi,
orientasi badan disebut dengan kemiringan tubuh ke depan (forward inclination)
dan kemiringan tubuh ke samping (sideward inclination) (Gambar 2.7). Pada
metode pengukuran orientasi badan ini sudut yang diperoleh merupakan gabungan
gerakan segmen tulang belakang, pinggang dan pinggul.
Gambar 2.72.7 Kemiringan tubuh ke depan (forward inclination) dan kemiringan tubuh ke
samping (sideward inclination).Sumber: Delleman et al. (2004)
Penelitian ini, orientasi badan pekerja di hitung berdasarkan sudut
kemiringan badan dari pinggang, mengikuti pengertian orientasi badan
berdasarkan ISO 11226, meliputi: flexion atau forward/ backward bending, lateral
bending, dan twisting. sikap dalam proses angkat angkut mempengaruhi besarnya
gaya-gaya pada low back disc L4/L5. Faktor yang mempengaruhi besarnya
gaya-gaya pada low back disc L4/L5 adalah momen gaya dan besarnya sudut
sikap tubuh. Sampai sekarang belum ada batasan-batasan seberapa nilai momen
gaya dan sudut sikap tubuh untuk proses angkat angkut yang diijinkan atau
direkomendasikan sebagai batasan nilai keselamatan pekerja. Beberapa penelitian
sikap tubuh menunjukkan seberapa besar momen gaya dan sudut badan
maksimum yang dapat dilakukan atau ditahan oleh manusia.
Nilai maksimum momen gaya dengan sikap tubuh flexion atau forward
bending adalah sebesar 247 Mm untuk pekerja laki-laki (Kumar, 1996) dengan
sudut maksimum sebesar 700 (Delleman et al., 2004). Nilai maksimum momen
gaya dengan sikap tubuh lateral bending adalah sebesar 121 Nm untuk pekerja
laki-laki (Kumar, 1996) dan sudut maksimum sebesar 300 (Delleman et al., 2004).
Nilai maksimum momen gaya dengan sikap tubuh twisting adalah sebesar 52 Nm
(Kumar, 1997) dan sudut maksimum sebesar 600 (Delleman et al., 2004).
2.6.1 Biomekanika
Biomekanika didefinisikan sebagai ilmu aplikasi mekanika pada sistem
biologi. Biomekanika merupakan kombinasi antara disiplin ilmu mekanika
terapan, ilmu-ilmu biologi dan fisiologi. Pendekatan biomekanika dalam proses
angkat angkut menitik beratkan pada struktur tulang dan posisi pengangkatan, di
mana struktur tulang terutama tulang belakang mengalami tekanan yang
berlebihan ketika melakukan pengangkatan meskipun dengan frekuensi jarang.
Struktur tulang belakang manusia terdiri dari 24 ruas tulang dibagi menjadi 4
bagian, meliputi: Cervical (C1-C7), Thoaric (T1-T12), Lumbar (L1-L5) dan
Sacro-illiac (Sacral). Tulang belakang manusia tidaklah tegak lurus, namun
membentuk kurva. Kurva tulang belakang yang cembung disebut kyphosis dan
yang cekung disebut lordosis. Pada susunan tulang belakang, setiap tulang
belakang terdapat lempengan (disc) tulang belakang/ diskus intervertebralis.
Dengan adanya ruas-ruas beserta lempengan tersebut, maka tulang belakang dapat
menekuk. Dari bagian-bagian tulang belakang tadi, maka bagian lumbar adalah
yang terpenting (Letho dan Buck, 2008).
Model biomekanika sederhana 2 derajat kebebasan/ axis untuk proses
angkat angkut simetri ditunjukkan pada Gambar 2.8 (Kroemer et al., 2010).
Model biomekanika sederhana ini menunjukkan beban pada tulang belakang
berdasarkan atas beban yang diangkat dan jarak titik pusat beban dengan titik
tulang belakang. Beban pada tulang belakang adalah perkalian antara berat beban
yang diangkat dengan jarak antar pusat massa beban dengan titik pusat masa
tubuh.
Gambar 2.82.8 Model biomekanika sederhana 2 derajat kebebasan/ axis untuk proses angkat
angkut simetrisSumber: Karwowski (2006)
Model biomekanika sederhana dua derajat kebebasan/ axis memodelkan
tubuh manusia sebagai satu segmen/ bagian dalam satu bidang. Tubuh manusia
dapat dimodelkan secara mekanika sebagai rangkaian segmen-segmen/
bagian-bagian yang tersambung dengan beberapa jenis sambungan (joint)
(Gambar 2.8) (Kroemer et al., 2010). Pemodelan tubuh manusia sebagai
rangkaian segmen-segmen/ bagian-bagian dengan beberapa jenis sambungan
memungkinkan analisis gaya akibat proses angkat angkut dan sikap tubuh simetris
atau tidak simetris (asimetris) saat mengangkat beban dapat dilakukan.
Perhitungan gaya dan momen gaya dapat dihitung pada setiap sambungan segmen
tubuh sesuai dengan jenis sambungan segmen tersebut. Model perhitungan gaya
dan momen gaya dapat dilakukan baik secara 2 atau 3 derajat kebebasan (2 axis /
3 axis).
Gambar 2.92.9 Sistem rangkaian segmen tubuh
Sumber: Kroemer el al. (2010)
Gambar 2.10 menunjukkan model batang dari tubuh manusia sebagai
rangkaian segmen-segmen/ bagian-bagian yang tersambung. Gambar 2.10
merupakan Free-body diagram dengan 3 derajat kebebasan/ axis untuk gaya dan
momen gaya. Beban terletak pada ke-2 tangan untuk objek di luar atau torsi
dihasilkan di tangan ditransmisikan sepanjang batang/ link. Pertama, gaya yang
diberikan dengan tangan kanan, dimodifikasi oleh keuntungan mekanis yang ada,
harus diteruskan di seluruh siku. Siku tambahan memaksa atau torsi harus
dihasilkan untuk mendukung massa lengan. Namun, untuk saat ini, model
dianggap tak bermassa. Demikian pula, bahu harus mengirimkan upaya yang
sama, lagi diubah oleh kondisi mekanis yang ada. Dengan cara ini, semua sendi
berikutnya mengirimkan usaha yang diberikan dengan tangan seluruh batang,
pinggul, dan kaki dan akhirnya dari kaki ke lantai. Di sini, satu kaki berdiri di
bidang cenderung oleh sudut α melawan semua usaha tangan. Pada titik ini,
ortogonal kekuatan dan torsi vektor dapat dipisahkan lagi, demikian pula untuk
vektor analisis di tangan. Dalam tubuh tak bermassa, jumlah yang sama dari
vektor harus ada pada kaki ketika mulai di tangan.
Gambar 2.102.10 Free-body diagram 3 derajat kebebasan/ axis untuk gaya dan momen gaya pada
link-joint tubuh manusiaSumber: Kroemer et al. (2010)
Beberapa cara dikembangkan untuk dapat menghitung besar gaya-gaya
pada low back disc L4/L5 atau L5/S1 berdasarkan sistem biomekanika.
Persamaan The Hand-Calculation Back Compression Force dari Merryweather,
Simple Polynomial dari McGill, The University of Michigan’s 3D Static Strength
Prediction ProgramTM (3DSSPP), Anybody Modelling System, Regression Model
dari Arman N dan Linked-Segment Biomechanical Model dari Potvin adalah
beberapa metode untuk perhitungan gaya-gaya pada L4/L5 atau L5/S1 (Rajaee et
al., 2015). Tidak semua metode dapat menghitung gaya-gaya pada L4/L5 atau
L5/S1 dengan kondisi kondisi angkat angkut asimetris. Metode 3DSSPP dari
Univesitas Michigan dapat memprediksi gaya-gaya pada L4/L5 dengan kondisi
proses angkat angkut asimetris serta beban pada tangan, lengan, badan, pinggul
dan kaki dalam analisis 3 derajat kebebasan/ 3 axis.
Pada penelitian ini perhitungan biomekanika gaya-gaya (compression,
anterior/posterior shear dan lateral shear) pada low back disc L4/L5, dilakukan
dengan program bantu Siemen Jack 8.2 win-64 Jack ForceSolver dengan metode
3DSSPP.
2.7 Produktivitas
Produktivitas pada dasarnya menciptakan lebih banyak barang dan jasa
bagi kebutuhan manusia dengan menggunakan sumber daya yang serba terbatas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas kerja antara lain beban
kerja, ketidaknyamanan kerja, stress akibat kerja, kelelahan, penyakit akibat kerja,
cedera dan kecelakaan akibat kerja (Tarwaka, 2011). Cara mengangkat barang
yang salah, beban terlalu berat, sikap tubuh yang statis, kegiatan yang berulang
atau repetitif, semuanya dapat mengakibatkan cedera yang berpengaruh terhadap
menurunnya produktivitas kerja (Salvendy, 2001).
Produktivitas merupakan alat untuk, mengukur tingkat efektivitas dan
sekaligus efisiensi dalam hal menghasilkan barang dan jasa (Wignjosoebroto,
1995). Seberapa besar nilai tambah yang telah dihasilkan diukur berdasarkan
besaran keluaran (output) relatif terhadap masukan (input). Indeks produktivitas
dihitung berdasarkan perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input)
kali waktu. Hasil kerja (output) diukur dari jumlah rata-rata produksi yang
dihasilkan oleh setiap pekerja per hari, dan masukan (input) diukur berdasarkan
peningkatan denyut nadi akibat kerja per hari (Sutjana, 2000).
Faktor-faktor yang secara umum dapat mempengaruhi produktivitas kerja
(Tarwaka, 2011), adalah:
1. Motivasi
Merupakan kekuatan atau motor pendorong kegiatan seseorang ke arah tujuan
tertentu dan melibatkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapainya.
2. Kedisplinan
Displin merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbutan tingkah laku
perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan
terhadap peraturan, ketentuan, etika, norma dan kaidah yang berlaku.
3. Etos Kerja
Merupakan salah satu faktor penentu produktivitas, karena etos kerja
merupakan pandangan untuk menilai sejauh mana melakukan suatu pekerjaan
dan terus berupaya mencapai hasil yang terbaik dalam setiap pekerjaan yang
dilakukan.
4. Ketrampilan
Baik ketrampilan teknik maupun manajerial sangat menentukan tingkat
pencapaian produktivitas. Dengan demikian setiap individu dituntut untuk
terampil dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
5. Pendidikan
Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan baik melalui jalur pendidikan
formal maupun informal.
Produktivitas dirumuskan sebagai berikut:
h좀 �������
………..(5)
Di mana Pt adalah Produktivitas, Op adalah Output atau hasil, Ip adalah Input atau
masukan dan T adalah waktu. Ukuran output dan input dapat dinyatakan dalam
bentuk: a) ukuran output dinyatakan dengan jumlah satuan fisik produk atau jasa,
nilai rupiah produk/ jasa, nilai tambah, jumlah pekerja atau kerja, jumlah laba
kotor, b) ukuran input dinyatakan dengan jumlah waktu, jumlah tenaga kerja,
jumlah jam orang, jumlah biaya tenaga kerja, jumlah jam mesin, jumlah biaya
penyusutan dan perawatan mesin, jumlah material, jumlah seluruh biaya
pengusahaan, jumlah luas tanah. Sedangkan Waktu adalah waktu yang dibutuhkan
untuk melaksanakan proses produksi, termasuk juga pengelolaan waktu kerja dari
tenaga kerja manusia.
Ada 4 cara dalam meningkatkan produktivitas yaitu: a) meningkatkan
keluaran sedangkan masukan dipertahankan atau tetap, b) keluaran tetap tetapi
masukan diturunkan, c) keluaran naik besar masukan naik kecil, d) keluaran turun,
masukan turun lebih besar. Pengukuran produktivitas digunakan untuk
memberikan informasi yang bermanfaat dari perbaikan yang telah dilaksanakan,
sehingga dapat diambil suatu langkah-langkah yang tepat bagi perbaikan yang
akan dilaksanakan ke depan. Manfaat pengukuran produktivitas antara lain: a)
nilai-nilai produktivitas yang dihasilkan dari suatu pengukuran dapat menjadi
informasi yang berguna untuk merencanakan tingkat keuntungan dari suatu usaha,
b) pengukuran produktivitas secara terus menerus akan memberikan informasi
yang bermanfaat untuk menentukan dan mengevaluasi kecendrungan
perkembangan produktivitas usaha dari waktu ke waktu, c) memberikan
informasi yang bermanfaat dalam mengevaluasi perkembangan dan efektifitas
dari perbaikan terus menerus yang dilakukan dalam suatu usaha, d) memberikan
motivasi kepada orang-orang untuk terus menerus melakukan perbaikan dan juga
meningkatkan kepuasan kerja.
Untuk mencapai produktivitas yang setinggi-tingginya, banyak faktor yang
harus diperhatikan, sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk
mencapainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dalam tingkat
individu atau perseorangan adalah: a) faktor pendidikan, b) pelatihan dan
ketrampilan, c) displin, d) sikap dan etika kerja, e) motivasi, f) gizi dan kesehatan,
g) jaminan sosial, h) lingkungan dan iklim kerja, i) hubungan antar pekerja,
pekerja dan perusahaan, j) peralatan dan teknologi, k) kesempatan kerja, dan l)
kesempatan berprestasi.
Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah
sesuai dengan faktor-faktor yang digarap dalam ergonomi untuk menigkatkan
kualitas hidup saat kerja, yaitu a) meningkatkan kesehatan fisik dan mental, b)
meningkatkan kesejahteraan sosial, c) keseimbangan rasional antara sistem
manusia dan manusia-mesin dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi, budaya.
Pendekatan ergonomi dalam sistem produksi menyebabkan adanya pergeseran
rangcangan produk dan sistem kerja yang awalnya serba rasional-mekanistik
menjadi tampak lebih manusiawi. Faktor-faktor yang terkait dengan fisik
(fisiologis) maupun prilaku (psikologi) manusia baik secara individu pada saat
berinteraksi dengan mesin dalam rancangan sistem manusia-mesin dan
lingkungan kerja akan menjadi pertimbangan utama.
2.8 Pengertian dan Ruang Lingkup Ergonomi
Human factors, ergonomics, human engineering, human factors
psychology, applied ergonomics dan industrial engineering/ ergonomics adalah
istilah-istilah maupun definisi mengenai pengertian akan ergonomi
(Wignjosoebroto, 1995). Istilah human factors dan ergonomics adalah istilah yang
paling sering digunakan untuk pengertian ergonomi. Pemahaman mengenai
human factors biasanya dikaitkan dengan problematik psikologi kerja (mental
workloads dan cognitives issues), sedangkan ergonomi sendiri dikaitkan dengan
physical works. Human engineering atau paling sering disebut dengan istilah
ergonomi didefinisikan sebagai perancangan man-machine interface sehingga
pekerja dan mesin atau produk lainnya bisa berfungsi lebih efektif dan efisien
sebagai sistem manusia mesin yang terpadu.
Ergonomi secara umum diartikan sebagai the study of work telah mampu
membawa perubahan yang signifikan dalam mengimplemetasikan konsep
peningkatan produktivitas melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja dan
pembagian kerja berdasarkan spesialisasi-keahlian kerja manusia (Bridger, 2005).
Ergonomi adalah ilmu tentang manusia untuk meningkatkan kenyamanan saat
melakukan aktivitas kerja. Istilah ergonomi berasal dari Bahasa Latin yaitu ergon
dan nomos. Ergon berarti kerja dan nomos berarti hukum atau aturan, sehingga
ergonomi diartikan sebagai aturan dalam bekerja. Ilmu ergonomi berfokus pada
manusia dan merupakan multidisiplin ilmu yang berorientasi pada aplikasi (Pulat,
1992). Prinsip dasar dalam ergonomi adalah menyesuaikan manusia dengan
pekerjaanya. Kalau hal ini tidak dapat dipenuhi barulah menyesuaikan pekerjaan
dengan manusia.
Definisi yang dikemukan oleh Manuaba (1992), yang menyebutkan bahwa
ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni yang berupaya menserasikan alat, cara
dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk
terwujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman, nyama dan efisien
setinggi-tingginya. Sebelumnya ergonomi didefinisikan sebagai ilmu, seni dan
penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala
fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas dengan kemampuan dan
keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga orang dapat bekerja
dengan baik yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui kerja tersebut dengan
efektif dan efisien, aman dan nyaman. Dengan ergonomi tuntutan tugas, peralatan,
cara kerja dan lingkungan diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan
keterbatasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat,
aman, nyaman dan efisien.
Ilmu ergonomi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik
(kemampuan/kapabilitas, keterbatasan, motivasi dan tujuan) manusia dalam
mementukan desain yang tepat bagi lingkungan kerja dan kehidupan pekerja
sehari-hari. Ergonomi merupakan pendekatan multi dan interdisiplin yang
berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan batasan pekerja sehingga tercipta kondisi kerja yang sehat, selamat,
aman, nyaman dan efisien (Kroemer dan Grandjean, 2003). Hal ini meliputi
manusia yang melakukan pekerjaan dan cara melakukan pekerjaan tersebut,
peralatan dan perlengkapan yang digunakan, tempat kerja dan aspek psikososial
dari situasi lingkungan kerja. Jadi ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari
keserasian kerja dalam suatu sistem (work system). Sistem ini terdiri dari manusia,
alat/ mesin dan lingkungan (Bridger, 2005).
Penerapan ergonomi selain meningkatkan kesehatan dan keselamatan
kerja juga mampu meningkatkan produktivitas kerja (Sutjana et al., 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi usaha perbaikan produktivitas untuk mencapai
tujuan ergonomi adalah sebagai berikut (Manuaba, 1992):
1. Manusia sebagai acuan atau masalah kekuatan otot
Berkaitan dengan kemampuan, kebolehan dan batasannya. Manusia sebagai
mahluk hidup dalam bekerja agar pemamfaatan tenaga otot dapat diwujudkan
secara maksimal dan efisien.
2. Energi atau gizi
Manusia sebagai penghasil energi untuk segala macam aktivitas memerlukan
kalori yang memadai sebagai pengganti tenaga yang harus dikeluarkan.
3. Kondisi sosial
Alat kerja dirancang sesuai dengan anthropometri dan geometri pekerja serta
memperhatikan kebiasaan, norma, nilai dan adat istiadat pemakai. Disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi dan pendidikan sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif dalam penggunaannya dan sekaligus terjalin interaksi sosial
sesama pekerja.
4. Sikap kerja
Dengan menggunakan alat baru tidak menimbulkan sikap paksa dalam bekerja.
Anggota gerak tidak bekerja dalam sikap statis tetapi dinamis, sehingga tidak
menimbulkan keluhan, kelelahan, rasa sakit dan penyakit.
5. Kondisi waktu
Waktu kerja perlu dikaji untuk mencegah adanya kelelahan berlebihan.
Mengatur waktu kerja, istirahat dan rekreasi akan berpengaruh terhadap
kesehatan pekerja dan kenyamanan dalam melakukan pekerjaan.
6. Kondisi informasi
Alat yang dibuat diikuti dengan informasi yang memadai, baik untuk
keperluan mengoperasikan alat dan juga untuk lingkungan. Informasi
dibutuhkan pekerja agar mampu bekerja seoptimal. Informasi menyangkut apa
dan bagaimana harus bekerja dan berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan
kerja.
7. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan diperlukan agar pekerja bisa bekerja dalam batas-batas
nyaman dan paling sedikit masih bisa ditoleransi. Pembuatan alat juga
memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan.
8. Interaksi manusia-mesin/ alat
Hubungan antara manusia dengan mesin/ alat harus benar-benar serasi dengan
memperhitungkan segala aspek manusia atau pekerja yang akan
mengoprasikannya. Ini dilakukan melalui pendekatan teknis, ekonomi,
ergonomi, sosio budaya, hemat energi, ramah lingkungan dan trendi.
Fokus dari perbaikan human factors/ ergonomics (HFE) adalah
performansi (performace) dan kesejahteraan (well-being), performansi meliputi:
produktivitas, effisiensi, effektivitas, kualitas, inovasi, fleksibilitas, kesehatan dan
keamanan, reabilitas dan keberlanjutan, sedangkan kesejahteraan meliputi:
kesehatan dan keamanan, kepuasan, kesenangan, pembelajaran, serta
pengembangan diri (Dul et al., 2012). Sehingga intervensi ergonomi membuat
kondisi pekerja lebih baik dari segi fisik dan mental, meningkatkan produktivitas
pekerja, meningkatkan kesejahteraan dan juga membuat sistem manusia dengan
alat lebih efisien.
Peran ergonomi dalam dunia kerja tidak terbatas pada bidang tertentu,
melainkan mencakup bidang-bidang yang sangat luas, antara lain dalam
perancangan alat kerja, evaluasi proses dan produk kerja, perancangan
bangunan/arsitektur, serta digunakan oleh ahli fisika, anatomi, fisioterapi,
psikologi, kesehatan dan keselamatan kerja serta kaum profesional lainnya. Untuk
mendapatkan hasil kerja yang optimal dengan produktivitas yang tinggi maka
setiap aktivitas kerja memerlukan suasana yang nyaman, aman, sehat, terbebas
dari rasa lelah, nyeri otot, cedera, sakit atau cacat tubuh. Dengan kata lain
ergonomi memiliki peran dalam meningkatan kesehatan dan keselamatan kerja
melalui pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja.
Penerapan ergonomi secara umum memiliki beberapa tujuan yaitu antara
lain: 1) Menciptakan keadaan fisik dan mental pekerja yang sehat, dengan upaya
menciptakan rancangan peralatan, fasilitas, organisasi, sistem kerja, sistem kerja,
lingkungan kerja yang bebas dari kecelakaan maupun penyakit akibat kerja; 2)
Meningkatkan kualitas kerja dan kualitas hidup dengan meningkatkan
kesimbangan beberapa aspek seperti aspek teknis dan ekonomi; 3) Memberikan
jaminan sosial bagi pekerja baik selama masih bekerja (usia produktif) maupun
ketika memasuki usia pasca produktif (Manuaba, 1998a). Dengan terciptanya
keadaan fisik dan psikis yang sehat, dan adanya jaminan sosial maka produktivitas
kerja akan meningkat. Secara khusus ergonomi memberikan beberapa manfaat
antara lain: a) Pemakaian otot dan energi lebih efisien, b) Pemakaian waktu lebih
efisien, c) Kelelahan berkurang, d) Kecelakaan kerja berkurang, e) Penyakit akibat
kerja, f) Kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, g) Efisiensi kerja meningkat,
h) Mutu produk dan produktivitas kerja meningkat, i) Kesalahan kerja berkurang
dan kerusakan dapat diminimalkan, dan j) Pengeluaran atau biaya untuk
mengatasi akibat dari keadaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi sehingga
biaya operasional dapat ditekan.
Problematika kerja yang sering dialami manusia seperti kelelahan mata,
sakit kepala, keluhan musculoskeletal dapat dicegah melalui pendekatan ergonomi
(Salvendy, 2001; Wignjosoebroto, 1995). Pendekatan ergonomi yang bertujuan
untuk merealisasikan konsep tentang efektivitas, efisien, kenyamanan,
keselamatan dan kesehatan bagi pekerja serta produktivitas kerja adalah
merupakan solusi yang sangat relevan dan signifikan untuk merespon setiap
tantangan dan tuntutan globalisasi yang sedang terjadi (Tarwaka, 2011). Kinerja
optimal dapat dipenuhi apabila peralatan atau fasilitas kerja, stasiun kerja, produk
dan tata cara kerja bisa dirancang dan disesuaikan dengan pendekatan dan
prinsip-prinsip ergonomi.
2.9 Pendekatan Ergonomi Pada Pekerjaan Pasiran
Pendekatan ergonomi pada pekerja pasiran yang bekerja menurunkan pasir
dari atas truk menggunakan metode total ergonomi (total ergonomic aproach),
yaitu ditinjau secara sistemic, holistic, interdicipliner, dan participatory. Dari segi
sistem bahwa permasalah pekerja pasiran terkait dengan sistem kerjanya, interaksi
manusia mesin, sistem organisasi, sistem lingkungan yang ada. Dari aspek holistic,
menekankan bahwa semua faktor yang terkait atau diperkirakan terkait dengan
masalah yang ada harus dipecahkan secara proaktif dan menyeluruh, baik dari
segi internal dan eksternal pekerja dan lingkungan kerjanya. Dari aspek
interdicipliner, menekankan bahwa proses pemecahan masalah dalam suatu
sistem dibutuhkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dari aspek participatory,
menekankan bahwa perlu ada keterlibatan semua pihak yang berkepentingan
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pendekatan tersebut dikenal sebagai SHIP
approach (Manuaba, 2005). Dengan SHIP approach ini, permasalahan pekerja
secara khusus bisa ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu aspek task, organization,
dan environment.
1. Aspek task, permasalahan yang terjadi pada proses pasir dari atas truk dengan
enggrong adalah sikap tubuh pekerja yang bekerja membungkuk selama
proses bekerja, kondisi ini berlangsung terus sampai seluruh pasir selesai
diturunkan dari atas truk. Sikap bekerja membungkuk pada waktu yang lama
dengan beban yang diayunkan mempunyai risiko sakit pada sistem otot
skeletal, kelelahan, serta dapat mengakumulasi menjadi suatu penyakit
traumatik. Dampak lain yang terjadi ketika pekerja mencapai tingkat kelelahan
adalah menurunnya produktivitas ditandai dengan seringnya pekerja
beristirahat secara sengaja
2. Aspek organization, permasalahan yang terjadi adalah tidak adanya waktu
sela istirahat ketika pekerja menurunkan pasir dari atas truk, tuntutan dari
sopir truk agar pekerjaan cepat selesai, sehingga truk dapat kembali
mengambil pasir, sehingga pekerja menurunkan pasir satu truk tanpa istirahat.
Sehingga dalam proses menurunkan pasir dari atas truk pekerja harus bekerja
terus menerus dengan cepat tanpa istirahat. Organisasi kerja yang terus
menerus dan pola kerja yang berulang-ulang (repentitive) memberikan
kontribusi kepada beban kerja, tingkat kelelahan pekerja, menurunnya
produktivitas dan secara tidak langsung meningkatnya risiko penyakit akibat
kerja.
3. Aspek environment, pekerja bekerja dalam berbagai kondisi dan waktu, baik
siang atau malam, baik keadaan panas maupun hujan. Pekerja biasanya
bekerja pada kondisi terbuka dalam arti dapat terpapar sinar matahari langsung
atau tidak tergantung dari tempat kerjanya.
Ditinjau dari delapan kondisi ergonomi, meliputi: 1) kondisi gizi dan
kalori pekerja, 2) sikap tubuh dalam bekerja, 3) pemamfaatan tenaga otot, 4)
kondisi lingkungan, 5) kondisi waktu, 6) kondisi sosial, 7) kondisi informasi, dan
8) interaksi manusia dengan alat/mesin, maka masalah terbesar adalah
penggunaan alat bantu enggrong (interaksi manusia dengan alat/ mesin) yang
memaksa pekerja bekerja dengan sikap tubuh membungkuk (sikap tubuh dalam
bekerja) dilakukan secara berulang ulang tanpa jeda istirahat (pemamfaatan tenaga
otot) sampai seluruh muatan pasir selesai diturunkan, yang mana pekerjaan ini
dilakukan pada keadaan lingkungan terbuka (kondisi lingkungan dan kondisi
waktu).
Akibat beban kerja yang berlebih dari penggunaan alat bantu (enggrong)
yang tidak sesuai, pekerja mengalami faktor kelelahan yang sangat tinggi dan juga
munculnya masalah-masalah muskuloskeletal, low back pain dan produktivitas
dikarenakan sikap bekerja yang salah. Pendekatan ergonomi total yang merupakan
gabungan antara konsep konsep pendekatan SHIP dan Teknologi Tepat Guna
(TTG), diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah timbul dari proses
pekerjaan menurunkan pasir dari atas truk. Penerapan konsep ergonomi total
diawali dengan penjelasan ergonomi dan tata cara kerja yang baik dan nyaman,
serta mendapatkan masukan-masukan dari pekerja untuk hal-hal yang mungkin
dilaksanakan dan tidak mungkin untuk dilaksanakan. Diskusi dimaksudkan untuk
mendapatkan apa yang menjadi permasalahan utama dan apa yang menjadi
penyebab, kemudian dipilah mana yang menjadi skala prioritas dan mana yang
tidak diprioritaskan.
Konsep yang dapat diterapkan adalah menggunakan model pendekatan
ergonomi total dengan harapan setiap intervensi ergonomi dapat diterima dan
diterapkan secara berkelanjutan tanpa menimbulkan masalah yang berarti
(Manuaba, 2003). Model pendekatan ergonomi total yang diterapkan melalui
pendekatan sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipasi (SHIP approach)
hendaknya diterapkan secara ’built-in’ dalam setiap intervensi dengan memilih
teknologi berdasarkan konsep teknologi tepat guna (Manuaba, 2005). Pendekatan
SHIP merupakan pendekatan secara Systemics, Holistic, Interdiciplinary, dan
Participatory untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul termasuk
permasalahan pada pekerja pasirasn dalam menurunkan pasir. Kajian pendekatan
SHIP dilakukan baik pada task, organization, maupun environment pada proses
menurunkan pasir. Model ini juga mendorong partisipasi aktif semua pihak untuk
memilih prioritas masalah yang diperbaiki sekaligus menentukan teknologi yang
sesuai untuk perbaikan.
Dengan pendekatan ergonomi total dan kajian SHIP tersebut, prioritas
masalah yang perlu diselesaikan adalah masalah sikap kerja membungkuk dalam
waktu yang lama, alat kerja yang menyebabkan sikap tubuh tidak natural, dan
paparan suhu dingin atau panas lingkungan. Oleh karena itu alternatif solusi dari
permasalahan tersebut adalah dengan cara memperbaiki alat kerja dan sistem kerja
sehingga sikap kerja menjadi lebih alamiah/ fisiologis dan mengurangi dampak
risiko dari alat kerja dan lingkungan kerja. Perbaikan alat kerja dan sistem kerja
ini adalah dalam bentuk modifikasi enggrong sebagai alat bantu kerja dengan
memperhatikan kaidah ergonomi dan redesain sistem kerja pada proses
menurunkan pasir dari atas truk. Modifikasi sama halnya dengan rekayasa ulang
(redesain). Rekayasa yang dilakukan terhadap alat dan sistem kerja diharapkan
mampu (1) memperbaiki performansi kerja seperti menambah kecepatan kerja,
ketelitian, keselamatan, kenyamanan, mengurangi penggunaan energi kerja yang
berlebihan dan mengurangi kelelahan, (2) mengurangi waktu yang terbuang
sia-sia untuk pelatihan dan meminimalkan kerusakan fasilitas kerja karena human
errors; dan (3) meningkatkan functional effectiveness dan produktivitas kerja
dengan memperhatikan karakteristik pekerja dalam desain sistem kerja
(Wignjosoebroto, 2005).
Modifikasi enggrong dirancang dengan memperhatikan data antropometri
pekerja dan kajian teknologi tepat guna dengan kriteria: (1) secara teknis
penerapan alat tersebut bertujuan mempermudah dan mempercepat pekerjaan, (2)
secara ekonomis alat tersebut harganya terjangkau pekerja, bisa memanfaatkan
sumber daya alam dan manusia setempat, (3) secara ergonomis alat tersebut
mampu meningkatkan kesehatan pekerja secara fisik dan mental, mencegah
timbulnya penyakit dan cedera akibat kerja, (4) secara sosial budaya alat tersebut
memperhatikan sikap pekerja terhadap organisasi kerja, kebiasaan kerja, dinamika
kerja, norma, nilai, keinginan, dan kepercayaan masyarakat sekitarnya, (5) secara
penggunaan energi, alat tersebut dapat memanfaatkan energi sehemat mungkin
dan memberikan manfaat secara signifikan kepada penggunanya, (6) ramah
lingkungan yang berarti penggunaan alat tersebut tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan, menjaga keserasian dan keseimbangan alam.
Pembenahan yang meliputi: a) modifikasi enggrong, b) perbaikan tata cara
kerja menggunakan enggrong modifikasi (sikap tubuh), c) perbaikan prosedur
kerja (pola istirahat dan peregangan), d) pemakaian alat pelindung diri yaitu
sepatu boot dan sarung tangan, e) pemasangan pelindung dari senggatan matahari
langsung, dan f) penyuluhan kerja yang sehat dan nyaman, inilah yang menjadi
intervensi ergonomi dengan pendekatan konsep ergonomi pada proses penurunan
pasir dari atas truk secara manual dalam menggurangi dampak respon fisiologis
serta meningkatkan produktivitas pekerja.
2.10 Prinsip Umum dalam Perancangan
Perancangan perkakas tangan tidak terlepas dari 3 faktor utama dalam
proses perancangan, yaitu: pengguna (pekerja/ user), alat bantu kerja (perkakas
tangan yang dirancang/ tool), dan tempat kerja (work place) (Karwowski, 2006).
Ketiga faktor ini mempunyai kaidah proses perancangan tersendiri dan
mempunyai hubungan seperti tergambar dalam Gambar 2.11.
Setiap faktor alat bantu kerja mempunyai karakteristik tersendiri, dengan
tujuan untuk meningkatkan kenyaman pengguna dalam bekerja dengan alat batu
kerja tersebut. Karakteristik ini merupakan persyaratan yang menjadi
pertimbangan dalam proses perancangan alat bantu kerja.
Gambar 2.112.11 Hubungan antara pengguna, alat bantu dan tempat kerja
Sumber: Karwowski (2006)
2.10.1 Desain Alat Bantu Kerja
Karaktersitik persyaratan yang menjadi pertimbangan ketika mendesain alat
bantu kerja dari spesifikasi alat bantu kerja adalah sebagai berikut:
1. Berat alat bantu kerja, berat dari alat bantu kerja langsung menjadi beban kerja
tersendiri bagi pengguna, sehingga semakin ringan alat bantukerja dapat
mengurangi beban kerja pengguna.
2. Titik pusat berat alat bantu kerja, titik pusat berat alat bantu juga menjadi
beban kerja, jika titik berat ini tidak berada pada pusat kesimbangan ketika
digunakan
3. Karakteristik pegangan dan ukuran pegangan, karakteristik pegangan yang
sesuai dengan tujuan alat bantu kerja akan mengurangi beban kerja pengguna,
apakah pegangan tersebut merupakan power grip atau precision grip.
4. Panjang pegangan, panjang pegangan harus lebih panjang dari ukuran tangan
pengguna, sehingga tangan dapat memegang pegangan dengan baik.
5. Jenis material pegangan dan tekstur pegangan, material dan tekstur pegangan
disesuaikan dengan jenis alat bantu kerja yang dirancang, apakah alat tersebut
menimbulkan getaran, tekanan, perlu pegangan yang kuat dan juga tidak
meminbulkan lecet dan cidera pada tangan.
6. Trigger, jika alat bantu kerja merupakan perkakas tangan dengan tenaga luar
(listrik atau angin) maka tombol aktivasi harus menjadi perhatian dalam
proses perancangan, karena tombol ini diaktivasi oleh jempol pengguna.
7. Pelindung, pelindung dipertimbangan dalam proses perancangan untuk
mencegah terjadi kecelakaan.
8. Getaran dan torsi reaksi, adanya getaran dan torsi reaksi dari alat bantu kerja
menjadi pertimbangan untuk penggunaan material yang dapat meredam
getaran dan trosi reaksi pada desain alat bantu kerja.
9. Faktor lain, faktor lain yang juga menjadi pertimbangan adalah faktor bunyi
yang dihasilkan alat bantu kerja, panas yang terjadi dan sesuatu yang menjadi
faktor spesifik alat bantu kerja.
2.10.2 Kenyaman Pengguna
Karaktersitik persyaratan yang menjadi pertimbangan ketika mendesain
alat bantu kerja dari spesifikasi pengguna adalah sebagai berikut:
1. Pentimbangan anthropometri, penggunaan data anthropometri disesuaikan
dengan anthropometri pengguna, seperti: panjang pegangan dan diameter
pegangan.
2. Umur pengguna, perancangan disesuaikan dengan usia pengguna, apakah alat
bantu kerja tersebut dirancang untuk pengguna usia tua, usia kerja atau
anak-anak.
3. Jenis kelamin, desain alat bantu kerja akan berbeda jika pengguna pria atau
wanita, baik dari ukuran maupun tenaga yang digunakan.
4. Penggunaan tangan kiri atau tangan kanan, tidak semua alat bantu tangan
dapat digunakan tangan kiri dan tangan kanan, pertimbangan penggunaan
tangan juga menjadi alternatif perancangan.
5. Pengalaman dan teknik, desain alat bantu kerja mempertimbangkan pada
kondisi pengguna, apakah pengguna tersebut adalah pengguna yang bisa
menggunakan alat bantu kerja atau tidak, mengerti teknik menggunakan alat
bantu kerja tersebut atau tidak.
2.10.3 Faktor Tempat Kerja
Faktor tempat kerja meliputi faktor kondisi lingkungan kerja (kondisi
lingkungan fisik: suhu, kelembaban, pencahayaan, getaran tempat kerja,
kebisingan, bau-bau dan polutan), prosedur kerja dan stasiun kerja. Karaktersitik
persyaratan yang menjadi pertimbangan ketika mendesain alat bantu kerja dari
spesifikasi tempat kerja adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan alat bantu kerja yang tepat, alat bantu kerja di desain sesuai
dengan fungsi dan peruntukannya, sebagai contoh obeng mempunyai berbagai
macam bentuk dan ukuran, penggunaan obeng yang tepat dapat mengurangi
beban kerja pada pengguna.
2. Sikap kerja, sikap kerja yang benar dalam hal ini sikap kerja yang natural akan
mengurangi beban kerja yang terjadi ketika bekerja. Perancangan alat bantu
kerja harus mempertimbangkan sikap ketika bekerja dengan alat bantu kerja
yang dirancang.
3. Kondisi lingkungan fisik, kondisi lingkungan fisik seperti panas, pencahayaan,
dan kebisingan, menjadi pertimbangan dalam perancangan alat bantu kerja.
Jangan sampai kondisi lingkungan fisik menjadi beban kerja ketika bekerja.
4. Sarung tangan, sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung diri dalam
bekerja. Tetapi pemakaian sarung tangan juga menjadi pertimbangan dalam
proses perancangan alat bantu kerja, karena dengan penggunaan sarung tangan
dimensi atau ukuran anthropometri tangan menjadi lebih besar.
5. Penyangga alat, untuk mengurangi beban kerja akibat berat dari alat bantu
kerja yang digunakan, perancangan alat bantu kerja juga harus merancang alat
penyangga yang fungsinya mengurangi beban kerja pengguna akibat berat dari
alat bantu kerja.
2.11 Antropometri Dalam Desain
Anthropometri adalah pengukuran dimensi tubuh atau karakteristik fisik
tubuh lainnya yang relevan dengan desain tentang sesuatu yang dipakai orang.
Prinsip aplikasi data anthropometri dalam desain produk meliputi; desain untuk
orang ekstrim, desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat
diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari
populasi, dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan persentil-50 (Pulat,
1992; Salvendy, 2001; Pheasant, 2003).
Setiap desain atau redesain produk, baik sederhana maupun yang
kompleks, harus berpedoman kepada anthropometri pemakainya. Dengan
mengetahui ukuran anthropometri tenaga kerja dapat dibuat suatu desain alat-alat
kerja yang sesuai bagi tenaga kerja yang menggunakannya, dengan harapan dapat
menciptakan kenyamanan, kesehatan, keselamatan, dan estetika kerja.
Tujuan pendekatan anthropometri dalam perancangan alat dan perlengkapan
adalah agar terjadi keserasian antara manusia dengan sistem kerja (man-machine
system), sehingga manusia dapat bekerja secara nyaman, dan efisien. Pemakaian
data anthropometri mengusahakan semua alat disesuaikan dengan kemampuan
manusia, bukan manusia disesuaikan dengan alat. Rancangan yang mempunyai
kompatibilitas tinggi dengan manusia yang memakainya sangat penting untuk
mengurangi timbulnya bahaya akibat terjadinya kesalahan kerja dan akibat adanya
kesalahan desain (Liliana et al., 2007). Untuk mengatasi sikap dan posisi kerja
yang tidak fisiologis dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan anthropometri
pekerja dengan bidang kerja pada saat mendesain tempat kerja (Sutajaya, 2003;
Salvendy, 2001).
Gambar 2.12
persentil 5 persentil 95
-1,645
2.12 Kurva distribusi normalSumber: Karwowski (2006)
Data anthropometri untuk penggunaan dalam desain paling baik
dipresentasikan dalam bentuk persentil (Pulat, 1992). Perhitungan persentil data
antropometri dimulai dari menghitung nilai rerata/mean (ẍ), dan simpang
baku/standar deviasi ( ) dari data pengukuran (Karwowski, 2006). Dalam
menentukan batas kemaknaan dan nilai α dari tabel berdistribusi normal, seperti
Gambar 2.12.
Kurva distribusi normal pada Gambar 2.12 tersebut menggambarkan batas
kemaknaan tingkat kepercayaan 95%, dengan nilai taraf signifikasi (α) = 1,645.
Penerapan data anthropometri menyatakan persentase tertentu dari kelompok data
≤ nilai tersebut. Nilai itulah disebut persentil, yang disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.42.4 Perhitungan nilai persentil
Nilai Persentil Rumus Estimasi99,5 ẍ + (2,58 x )99 ẍ + (2,32 x )97,5 ẍ + (1,95 x )97 ẍ + (1,88 x )95 ẍ + (1,65 x )90 ẍ + (1,28 x )80 ẍ + (0,84 x )75 ẍ + (0,67 x )70 ẍ + (0,52 x )50 ẍ30 ẍ - (0,52 x )25 ẍ - (0,67 x )20 ẍ - (0,84 x )10 ẍ - (1,28 x )5 ẍ - (1,65 x )3 ẍ - (1,88 x )2,5 ẍ - (1,95 x )1 ẍ - (2,32 x )0,5 ẍ - (2,58 x )
Keterangan: ẍ = mean, = standar deviasi (Sumber: Tarwaka, 2011)
Penerapan data anthropometri dalam desain mengikuti prosedur sebagai
berikut: (a) tentukan dimensi tubuh yang penting dalam desain, (b) tetapkan
populasi pengguna, (c) untuk setiap dimensi tubuh dihitung nilai persentil, dan (d)
terapkan untuk desain alat/produk.Dalam penelitian ini, desain modifikasi
enggrong disesuaikan dengan data anthropometri pekerja, meliputi tinggi badan
pekerja dengan persentil 95, sedangkan untuk desain lebar dan diameter
genggaman adalah anthropometri genggaman dan lebar telapak tangan dengan
persentil 99 dengan asumsi nantinya pekerja bekerja dengan menggunakan sarung
tangan.
2.12 Sikap Kerja
Sikap tubuh ketika melakukan pekerjaan diakibatkan oleh hubungan antara
dimensi pekerja dengan dimensi variasi dari tempat kerjanya dan alat kerja
(perkakas tangan) yang digunakannya. Secara mendasar sikap tubuh dalam
keadaan tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah sikap berdiri, berbaring,
jongkok dan duduk. Sikap-sikap tubuh yang diaplikasikan pada pekerjaan disebut
sikap kerja (Pheasant, 2003).
Sikap kerja seseorang dipengaruhi oleh empat faktor (Bridger, 2005)
yaitu:
1. Karakteristik fisik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran anthropometri, berat
badan, kesegaran jasmani, kemampuan gerakan sendi, sistem muskuloskeletal,
tajam penglihatan, masalah kegemukan, riwayat penyakit, dan lain-lain.
2. Jenis keperluan tugas, seperti pekerjaan yang memerlukan ketelitian,
memerlukan kekuatan tangan, giliran tugas, waktu istirahat, dan lain-lain.
3. Desain stasiun kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian landasan kerja,
kondisi permukaan atau bidang kerja, dan faktor-fakator lingkungan kerja.
4. Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu dan vibrasi.
Terdapat banyak masalah ergonomi pada tempat kerja terutama di
Indonesia. Biasanya masalah yang sering dihadapi oleh para pekerja di tempat
kerja adalah stasiun kerja dan alat kerja yang tidak ergonomis (Anityasari, 2001).
Salah satu akibat dari stasiun kerja dan alat kerja yang tidak ergonomis ini dapat
muncul sikap kerja yang tidak alamiah seperti jongkok, duduk membungkuk,
berdiri membungkuk, dan sebagainya. Sikap kerja tersebut jelas menyebabkan
beban postural yang berat. Jika beban postural ini terjadi dalam jangka waktu
yang lama, maka dapat menimbulkan postural strain yang merupakan beban
mekanik statis bagi otot. Kondisi ini akan mengurangi aliran darah ke otot
sehingga terjadi gangguan keseimbangan kimia di otot yang bermuara kepada
terjadinya kelelahan otot (Pheasant, 2003).
Sikap kerja yang tidak fisiologis menyebabkan terjadinya cedera, waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih lama, kerugian material,
dan menurunkan produktivitas kerja. Sikap kerja tidak alamiah seperti
membungkuk, memutar badan, mengangkat lengan merupakan sikap kerja tidak
alamiah yang dapat menimbulkan beban mekanis lokal pada otot, ligamen dan
sendi tubuh (Dul dan Weerdmeester, 2008). Bila keluhan sakit yang diakibatkan
oleh sikap kerja yang tidak fisiologis tersebut tidak ditangani dengan baik maka
dapat menimbulkan dampak-dampak yang merugikan baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Dampak yang bisa timbul dalam jangka pendek adalah
meningkatnya tingkat kesalahan kerja, berkurangnya hasil kerja, timbulnya
keluhan subjektif, dan sebagainya. Sedangkan dampak jangka panjangnya dapat
terjadi perubahan patologis pada jaringan otot yaitu rasa sakit cepat muncul
walaupun bekerja sebentar, membungkuknya badan, dan sebagainya (Kroemer
dan Grandjean, 2003).
Pekerja yang bekerja dengan sikap kerja tidak alamiah mengalami
gangguan otot skeletal dan kelelahan otot setelah bekerja. Gangguan ini muncul
pada pekerja berupa keluhan-keluhan. Baik keluhan berupa kelelahan maupun
keluhan sakit pada otot skeletal. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu
diperhatikan kriteria sikap kerja yang ideal dalam melakukan suatu pekerjaan atau
kegiatan (Pheasant, 2003; Sutajaya, 2003) yaitu :
1. Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit
2. Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan
alamiah.
3. Muscular effort yang relatif kecil dapat dipertahankan.
4. Sikap kerja yang berubah-ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja
statis rileks.
5. Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang.
Tujuh prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh dalam bekerja adalah sebagai
berikut (Pheasant, 2003):
1. Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala.
2. Cegah inklinasi ke depan pada tubuh.
3. Cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat.
4. Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).
5. Persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum.
6. Sediakan sandaran punggung dan pinggang pada semua tempat duduk.
7. Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan
kekuatan maksimum.
2.13 Perancangan EnggrongModifikasi
Proses perancangan alat bantu enggrong modifikasi yang ergonomis
dilakukan dengan metodologi proses perancangan yang dikemukakan oleh
Bullinger dan Solt (Karwowski, 2006). Metodologi proses perancangan ini
melalui lima langkah proses perancangan, yaitu:
1. Target dan definisi dari proses perancangan
2. Analisis dari alat bantu yang dirancang
3. Membangun desain alternatif solusi
4. Evaluasi dan seleksi desain alternatif
5. Realisasi desain alternatif terpilih
Pada setiap langkah proses perancangan dilakukan dengan menerapkan
konsep ergonomi total (SHIP dan TTG), setiap stakeholder yang berhubungan
dengan proses perancangan dan penggunaan alat bantu dilibatkan dalam setiap
langkah proses perancangan. Dari aspek sistemic bahwa dalam proses
perancangan modifikasi enggrong, penggunaan alat bantu ini harus ditinjau secara
systemic. Analisis interaksi pekerja dan alat bantu ketika pekerja menyelesaian
pekerjaannya ditinjau secara menyeluruh, bagaimana pekerja menggunakan alat
bantu dan juga bagaimana pekerja menghadapi kondisi lingkungan kerja yang ada.
Dari aspek holistic, menekankan bahwa semua faktor dalam yang terkait atau
diperkirakan terkait dengan masalah yang ada harus dipecahkan secara proaktif
dan menyeluruh, baik dari segi internal dan eksternal pekerja dan lingkungan
kerjanya. Dari aspek interdicipliner, dalam proses perancangan modifikasi
enggrong peran serta pekerja, ahli desain, ahli proses produksi dari berbagai
disiplin ilmu. Dari aspek participatory, menekankan bahwa perlu ada keterlibatan
semua pihak yang berkepentingan dalam proses perancangan modifikasi enggrong,
pekerja sebagai pihak yang sangat berkepentingan juga dilibatkan.
Konsep teknologi tepat guna juga menjadi pertimbangan dalam mendesain
alat bantu enggrong yang baru, penggunaan material yang mudah di dapat dan
konstruksi alat bantu yang sederhana menjadi pertimbangan serta masukan dari
para ahli produksi.
Ergonomi partisipatori adalah proses perencanaan dan pengendalian dari
sejumlah aktivitas yang melibatkan operator dengan pengetahuan dan kemampuan
yang memadai dalam mempengaruhi proses dan hasil untuk mencapai tujuan
tertentu (Wilson dan Haines, 1998). Ergonomi partisipasi juga diartikan sebagai
keterlibatan semua stakeholders terhadap pemecahan masalah atau
terlaksananya satu gagasan harus dilibatkan sedini mungkin (Manuaba, 1998c).
2.13.1 Target dan Definisi dari Proses Perancangan
Pada tahap ini, keterlibatan pekerja sangat diperlukan. Pekerja diperlukan
untuk mempraktekkan proses menurunkan pasir dari atas truk menggunakan alat
bantu enggrong dengan berbagai cara dan sistem kerja yang biasa pekerja lakukan.
Hasil berbagai masukan dan teknik/ cara/ sistem kerja yang diperoleh menjadi
bahan kajian untuk mendeskripsikan cara kerja pekerja bekerja, baik kelebihan
maupun kekurangannya. Sehingga target dan definisi dari proses perancangan
tidak terlapas dari apa yang pekerja harapkan dan sesuai dengan pekerjaannya.
Cara atau sistem kerja pekerja bekerja dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pekerja pasiran bekerja dalam menurunkan pasir dari atas truk dengan bantuan
alat bantu enggrong. Enggrong berbentuk seperti sekop tetapi mempunyai gagang
yang pendek, enggrong juga mempunyai pegangan lain seperti pegangan ember
air yang letak di bagian depan sekop (Gambar 2.13). Cara menggunakan
enggrong adalah dengan cara tangan yang satu memegang gagang enggrong yang
berfungsi untuk mengarahkan, menekan, menyerok dan menyeimbangkan
enggrong. Tangan yang lain memegang pegangan di bagian depan enggrong yang
berfungsi untuk menarik enggrong ketika mengayunkan enggrong untuk
melempar pasir. Ketika pekerja pasiran bekerja menurunkan pasir dari atas truk,
pola task siklus gerakan adalah:
a. mengarahkan enggrong kebagian pasir yang akan diserok/ dituju/
dipindahkan
b. menyerok pasir dengan enggrong dengan menekan kuat pada gagang
enggrong
c. menarik pegangan depan enggrong agar enggrong tertarik ke depan dan
terayun ke depan
d. ketika mengayunkan enggrong, tangan yang memegang gagang belakang
enggrong mengikuti dan menyeimbangkan gerakan ayunan.
e. Setelah pasir terlempar, pola gerakan kembali kegerakan awal
Sehingga dalam satu siklus gerakan, menyerok dan melempar pasir terjadi dalam
satu siklus, tanpa ada gerakan ancang-ancang untuk mengayunkan enggrong.
Gambar 2.132.13 Enggrong
Penggunaan enggrong pada proses menurunkan pasir dari atas truk berakibat
sikap tubuh pekerja ketika bekerja dalam posisi membungkuk kedepan lebih dari
900 (sikap tubuh tidak natural) (Gambar 2.14). kondisi ini berlangsung terus
sampai seluruh pasir selesai diturunkan dari atas truk. Sikap bekerja membungkuk
pada waktu yang lama dengan beban yang diayunkan mempunyai risiko sakit
pada sistem otot skeletal, kondisi sikap kerja yang tidak fisiologis dan natural
menyebabkan pekerja mengalami kelelahan dan keluhan otot skeletal (Manuaba,
1992a; Meyer, 1998; Helander, 2006; Earle-Richardson et al., 2006; Dul dan
Weerdmeester, 2008; Milosavljevic et al., 2011; Dutta et al., 2011; Davis dan
Orta, 2014; Salas et al., 2016) serta dapat mengakumulasi menjadi suatu penyakit
traumatik (Zandin, 2004). Dampak lain yang terjadi ketika pekerja mencapai
tingkat kelelahan adalah menurunnya produktivitas (Manuaba, 1992b; Salvendy,
2001).
Perubahan sikap kerja bisa terjadi jika alat bantu yang digunakan diubah
atau dilakukan modifikasi. Sehingga target perancangan adalah alat bantu baru
hasil modifikasi yang ketika digunakan sikap tubuh pekerja dalam posisi sikap
tubuh alamiah. Target dan definisi dari proses perangan alat bantu ini adalah
sebagai berikut:
Gambar 2.142.14 Aktivitas pekerja pasiran
A. Target Proses Perancangan
Target proses perancangan adalah merancang/ modifikasi alat bantu yang ada
sehingga pekerja dapat bekerja dengan sikap tubuh yang natural, ketika bekerja
menurunkan pasir dari atas truk.
B. Definisi Proses Perancangan
Alat bantu yang dirancang/ dimodifikasi mempunyai fungsi sebagai alat untuk
memindahkan pasir dengan cara menyerok dan mengayunkan alat bantu sehingga
pasir terlempar ke tempat yang dituju. Pengoperasian alat bantu dengan
menggunakan ke-2 tangan.
2.13.2 Analisis Dari Alat Bantu Yang Dirancang
Analisis dilakukan setelah melihat cara/ teknik/ sistem kerja dari para
pekerja bekerja menurunkan pasir dari atas truk. Tentunya juga dengan
masukan-masukan pekerja menggapa pekerja bekerja dengan teknik/ sistem kerja
yang mereka lakukan. Hasil dari wawancara dengan pekerja, pengamatan cara
kerja pekerja dan mempelajari tata cara penggunaan berbagai jenis alat bantu
pemindah barang jenis sekop yang ada melalui internet (media YouTube),
menunjukkan adanya perbedaan cara kerja penggunaan enggrong sebagai alat
bantu menurunkan pasir dengan yang lain. Dalam proses perancangan alat bantu
yang dilakukan, banyak pekerja menginginkan perubahan yang terjadi pada alat
bantu tidak membuat lama perkerjaan mereka. Sehingga dapat disimpulkan
perancangan alat bantu yang baru tidak mengubah sistem kerja yang telah ada.
Alat bantu yang dirancang/ dimodifikasi mempunyai fungsi sebagai alat
untuk memindahkan pasir, teknik atau cara memindahkan pasir adalah dengan
cara menyerok terlebih dahulu pasir baru kemudian mengayunkan alat bantu
sehingga pasir terlempar ke tempat yang dituju. Pengoperasian alat bantu dengan
menggunakan ke-2 tangan, bisa tangan kanan di depan dan tangan kiri di bagian
belakang bisa juga sebaliknya. Pengoperasian dengan dua tangan bertujuan untuk
memudahkan penyeimbangan alat bantu ketika mengayun untuk melempar pasir.
Teknik pengoperasian alat bantu yang dirancang tidak berbeda dengan
pengoperasian alat bantu yang lama, hal ini untuk memudahkan pekerja dalam
proses adaptasi dalam pengoperasian alat bantu yang baru, menghilangkan
perasaan canggung dan penolakan karena telah terbiasa dengan alat bantu yang
lama.
Bagian utama dari alat bantu ini meliputi 3 bagian utama, yaitu: 1) serok,
berfungsi untuk menyerok pasir dan mengangkat pasir, 2) Gagang bagian
belakang, berfungsi untuk mengarahkan, mendorong serok ketika menyerok pasir
dan juga menjaga keseimbangan alat bantu secara keseluruhan, 3) Gagang bagian
depan, berfungsi untuk menarik serok ketika mengayunkan serok dan melempar
pasir serta berfungsi untuk menyeimbangkan gerakan ketika mengayun alat bantu.
Kapasitas pasir terangkat/ terpindahkan oleh alat bantu yang dirancang
mempunyai kapasitas yang sama dengan alat bantu enggrong yang lama, sekitar
5,963 ± 0,678 kg. Pemilihan kapasiats pasir terangkat/ terpindahkan didasarkan
pada keinginan pekerja yang menginginkan alat baru tidak membuat pekerjaan
menjadi lebih lama dan kebisaan sistem kerja pekerja, dapat menghilangkan kesan
alat bantu yang baru membuat pekerjaan menjadi lebih lama dikarenakan
kapasitas alat bantu yang kecil atau menjadi terlalu berat.
2.13.3 Membangun Desain Alternatif Solusi
Alternatif-alternatif solusi desain didapatkan dari berbagai cara dan
metode, misalnya metodologi TRIZ (Theory of Inventive Problem Solving) yang
mengasumsikan alternatif-alternatif solusi yang mungkin dapat digunakan telah
ada dan ditemukan dalam perancangan-perancangan yang telah ada di tempat lain
atau dalam bentuk paten. Penggunaan metodologi TRIZ sama halnya dengan
mendapatkan masukan-masukan dari para ahli, masukan-masukan yang
digunakan dari bentuk hak paten tentunya telah teruji sesuai dengan tujuan
penggunaannya. Teknik pengembangan alternatif-alternatif solusi dengan
mengambil dari perancangan sebelumnya adalah tidak salah selama yang dicontoh
adalah bentuk dari part/ komponen penyusun dari alat bantu yang di buat, bukan
mencontoh secara total.
Alternatif-alternatif solusi desain untuk perancangan alat bantu
menurunkan pasir dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan 3 komponen
utama dari alat bantu yang dirancang, meliputi:
1. Serok
Desain alternatif yang mungkin dapat digunakan adalah alternatif – alternatif
desain yang yang memiliki ujung rata, sesuai dengan fungsi alat bantu ini
untuk dapat menyapu bagian dasar truk dengan ujung serok.
Alternatif-alternatif solusi desain yang mungkin dapat digunakan dapat lihat
pada Tabel 2.5.
2. Gagang belakang
Gagang belakang merupakan gagang/ pegangan utama dari alat bantu untuk
menurunkan pasir. Fungsi gagang ini adalah untuk meneruskan gaya dari
tangan ketika mendorong serok menyerok pasir. Desain gagang belakang
harus bersifat kaku dan kokoh untuk menyalurkan gaya dorong dari tangan.
Ukuran panjang gagang belakang disesuaikan dengan bentuk gagang dan juga
anthropometri tinggi pengguna. Solusi desain alternatif pegangan gagang
belakang alat bantu, dapat digambarkan dalam Tabel 2.5.
3. Gagang depan
Gagang depan merupakan gagang/ pegangan ke-2 dari alat bantu untuk
menurunkan pasir. Fungsi gagang ini adalah untuk mengangkat dan menarik
serok setelah menyerok pasir. Desain gagang depan harus bersifat kaku dan
mampu menahan beban penuh serok. Desain gagang depan terdiri dari dua
bagian desain, yaitu: letak gagang depan dan bentuk pegangan gagang depan.
Tabel 2.52.5 Alternatif-alternatif solusi desain
Desain serok Desain pegangangagang belakang
Desain letak gagangdepan
Desain pegangangagang depan
1. 1. Staf/ Tongkat 1. Tanpa pegangan tambahan 1. Staf/ Tongkat
2. 2. Bentuk T 2. Pegangan ditengah model 1 2. Bentuk T
3. 3. Bentuk D 3. Pegangan ditengah model 2 3. Bentuk D
4. 4. Bentuk DErgonomis
4. Pegangan ditengah model 3 4. Bentuk DErgonomis
5. 5. Bentuk D lengkung 5. Pegangan di ujung bawahgagang utama
5. Bentuk D lengkung
6. Bentuk O(lingkaran)
6. Pegangan di bagian serok 6. Bentuk O(lingkaran)
Ukuran panjang gagang depan disesuaikan dengan bentuk gagang dan juga
anthropometri tinggi pengguna.
a. Desain letak gagang depan
Solusi desain alternatif untuk letak pegangan gagang depan alat bantu,
dapat digambarkan dalam Tabel 2.5.
b. Desain pegangan gagang depan
Solusi desain alternatif untuk pegangan gagang depan alat bantu, dapat
digambarkan dalam Tabel 2.5.
2.13.4 Evaluasi dan Seleksi Desain Alternatif
Evaluasi dan seleksi desain alternatif adalah tahap pemilihan alternatif
desain berdasarkan keinginan pengguna, kemampuan produksi, kesesuaian antara
alat dan pengguna, hasil penelitian dan pendapat para ahli. Dalam proses evaluasi
dan seleksi desain alternatif, para pekerja diminta masukannya tentang
alternatif-alternatif setiap bagian dari desain enggrong modifikasi meliputi:
bentuk serok, bentuk pegangan belakang, letak pegangan depan, dan bentuk
pegangan depan. Masukan dari para pekerja juga dibandingkan dengan pendapat
para ahli yang menyatakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dikatakan memiliki
kondisi ergonomis. Partisipasi pekerja dalam ikut menentukan pemilihan alternatif
desain merupakan bentuk ergonomi partisipasi di mana pekerja aktif terlibat
dalam mengimplementasikan pengetahuan dan prosedur ergonomi di tempat kerja
(Nagamachi, 1995).
Evaluasi alternatif-alternatif solusi desain dalam perancangan alat bantu
menurunkan pasir yang dirancang, meliputi:
1. Serok
Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 5, yaitu bentuk serok
yang sama dengan alat bantu yang lama (enggrong yang lama). Hal ini
dikarenakan kapasitas pasir terangkat/ terpindahkan oleh alat bantu yang
dirancang mempunyai kapasitas yang sama dengan alat bantu enggrong yang
lama, sekitar 5,9636 ± 0,678 kg.
Pemilihan kapasiats pasir terangkat/ terpindahkan didasarkan pada keinginan
pekerja yang menginginkan alat baru tidak membuat pekerjaan menjadi lebih
lama dan kebisaan sistem kerja pekerja, dapat menghilangkan kesan alat bantu
yang baru membuat pekerjaan menjadi lebih lama dikarenakan kapasitas alat
bantu yang kecil atau menjadi terlalu berat.
2. Gagang belakang
Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 4, yaitu bentuk D
ergonomis dengan sudut 70. Desain alternatif bentuk D ergonomis dipilih
karena bentuk D ergonomis lebih ergonomi ketika pengguna bekerja, tetapi
bentuk D ergonomis menuntut pegangan dapat diputar agar dapat digunakan
berganti ganti tangan, memegang gagang belakang dengan tangan kanan atau
dengan tangan kiri. Desain alternatif bentuk D, dapat digunakan oleh tangan
kiri atau kanan, tetapi mengabaikan posisi netral telapak tangan ketika
mengengam. Desain alternatif bentuk D lengkung, bentuk T dan O akan baik
jika pegangan tersebut di peruntukkan dua tangan, seperti untuk pekerjaan
yang perlu gaya dorong oleh dua tangan. Desain alternatik bentuk staff
merupakan bentuk desain lama dari sekop.
3. Gagang depan
a. Desain letak gagang depan
Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 6, yaitu letak
gagang depan seperti pada alat bantu yang lama. Alasan pemilihan
desain alternatif ini adalah pada desain ini beban berat alat bantu dan
pasir ketika diangkat menjadi beban ke-2 tangan, sedangkan pada
desain alternatif yang lain beban alat bantu dan pasir ketika diangkat
menjadi beban tangan yang memegang gagang bagian depan sementara
tangan yang memegang gagang belakang hanya menjadi penyeimbang
dan cenderung untuk menekan ke bawah. Selain alasan beban yang
ditanggung oleh tangan, alasan yang lain adalah keseimbangan alat
bantu ketika diangkat. Ketika diangkat alat bantu terisi pasir dengan
bentuk dan letak pasir yang tidak mementu/beraturan, sehingga titik
berat alat bantu dan pasir terangkat tidak selalu berada pada titik yang
tetap. Alternatif solusi desain No. 1 sampai No. 5 mempunyai titik
letak gagang depan pada bagian gagang belakang dan terletak pada
sumbu utama dari gagang belakang, ketika titk berat beban pada serok
tidak berada pada satu garis dengan garis sumbu, maka ada gaya
tambahan berupa gaya puntir ke kanan atau ke kiri yang harus di tahan
oleh tangan. Sedangkan pada desain alternatif No. 6, karena letak
pegangan gagang depan berada pada sisi luar dekat ujung serok, gaya
puntir akibat titik berat alat bantu dan beban tidak akan terjadi.
b. Desain pegangan gagang depan
Alternatif desain terpilih adalah desain alternatif No. 3, yaitu bentuk D.
Desain alternatif bentuk D dipilih karena bentuk D lebih ergonomi
ketika pengguna bekerja berganti ganti tangan, memegang gagang
belakang dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Desain
alternatif bentuk D ergonomis, hanya akan baik jika pekerja bekerja
hanya dengan tangan kanan saja atau kiri saja tergantung desain apakah
digunakan tangan kanan atau kiri. Desain alternatif bentuk D lengkung,
bentuk T dan O akan baik jika pegangan tersebut di peruntukkan dua
tangan, seperti untuk pekerjaan yang perlu gaya dorong oleh dua
tangan. Desain alternatif bentuk staff merupakan bentuk desain lama
dari sekop.
2.13.5 Realisasi Desain Alternatif Terpilih
Berdasarkan hasil evaluasi dan seleksi alternatif-alternatif solusi desain
terpilih alternatif desain untuk setiap bagian alat bantu yang dirancang. Tetapi
hasil evaluasi dan seleksi alternatif ini baru berupa bentuk penyusun alat bantu
yang dirancang, untuk realisasi desain alternatif yang terpilih harus dimasukan
parameter dimensi. Parameter dimensi desain sangat tergantung dari data
anthropometri dari penguna khusus atau orang Indonesia secara umum. Parameter
dimensi anthropometri yang diperlukan adalah:
1. Tinggi tubuh
Untuk mendapatkan tinggi pegangan tangan diperlukan tinggi badan di
kali dengan 0,37 (Tinggi ujung jari (standar Nordic)) ditambah dengan 9
cm (Letho dan Buck, 2008).
Tinggi badan pekerja dengan presentil 95 adalah 168 cm, sehingga tinggi
pegangan tangan adalah (168 cm x 0,37) + 9 cm =70 cm.
2. Lebar tangan dalam keadaan tertutup
Untuk mendesain panjang pegangan pada ke-2 gagang alat bantu, lebar
tangan dalam keadaan tertutup adalah dimensi minimal ketika mendesain.
Ukuran panjang pegangan adalah persentil 99 baik untuk laki-laki maupun
wanita, maka panjang pegangan tangan untuk orang Eropa adalah
minimum 99 mm dan pegangan yang baik adalah 125 mm (Garrett dalam
Kumar, 1999). Untuk orang Indonesia khususnya pekerja pasiran yang
memiliki lebar tangan tertutup persentil 99 dan bernilai 75 mm, maka
desain panjang pegangan pada ke-2 gagang alat bantu, dimensi panjang
sepanjang 100 mm dapat diterima dan juga mempertimbangkan
penggunaan sarung tangan sebagai alat pelindung diri.
3. Diameter maksimum genggaman tangan
Untuk mendesain diameter genggaman tangan pada ke-2 gagang alat bantu
diperlukan data anthropometri diameter maksimum gengganan tangan.
Dari penelitian, diameter genggaman yang baik berkisar 30 mm sampai
dengan 40 mm untuk menggengam benda berbentuk silinder dan
menerapkan gaya maksimum pada benda tersebut (power grip) (Yakao, et
al. dalam Kumar, 1999). Penelitian yang lain, menerapkan nilai diameter
genggaman sebesar 41,8 mm tanpa menerapkan gaya maksimum tetapi
merupakan persentil 95 dari data anthropometri petani bali. Penerapan
diameter 40 mm untuk diameter genggaman tangan pada ke-2 gagang alat
bantu dapat diterapkan berdasarkan ke-2 penelitian sebelumnya.
Tabel 2.6 menunjukkan bagian anthropomentri pekerja yang digunakan untuk
mendesain alat bantu enggrong modifikasi.
Tabel 2.62.6 Anthropometri pekerja pada desain enggrong modifikasi
Variabel desainenggrong modifikasi
Anthropometripekerja
Nilai
1. Tinggi alat (0,37 x Tinggi Badan) +panjang jari telunjukPresentil 95 pekerja
(0,37 x 168) + 9 = 70 cm
2. Panjang pegangan Lebar telapak tangan +allowance untuk sarung tanganPresentil 99 pekerja
75 cm untuk lebartelapak tangan25 cm untuk allowance
3. Diameter pegangan Diameter maksimum genggaman+ allowance untuk sarungtanganPresentil 95 pekerja
39,5 cm untuk diametermaksimum genggaman0,5 cm untuk allowance
Gambar 2.152.15 Realisasi bentuk desain alat bantu
Realisasi bentuk desain alat bantu yang baru dapat di gambar pada
Gambar 2.15. Bentuk akhir ini merupakan kombinasi dari alternatif-alternatif
solusi yang terpilih dan merupakan pilihan dari pekerja. Dilengkapi dengan data
anthropometri para pekerja untuk membentuk realisasi bentuk akhir agar pekerja
dapat bekerja dengan ergonomis.
Pemodelan penggunaan alat bantu baru oleh pekerja pasiran disimulasikan
menggunakan program bantu Siemen Jack untuk melihat sikap-sikap tubuh
pekerja ketika bekerja. Hasil simulasi dalam Gambar 2.16 memperlihatkan
sikap-sikap kerja pekerja tidak lagi memperlihatkan sikap tubuh tidak alamiah
atau membungkuk dalam beberapa simulasi kerja.
Gambar 2.162.16 Simulasi penggunaan alat bantu baru
Berdasarkan simulasi penggunaan alat bantu bantu baru hasil rancangan,
target proses perancangan adalah merancang/ modifikasi alat bantu yang ada
sehingga pekerja dapat bekerja dengan sikap tubuh yang natural, ketika bekerja
menurunkan pasir dari atas truk tercapai. Dari hasil rancangan terlihat bahwa
hanya dengan menambah panjang gagang pegangan pada ke-2 pegangan sikap
tubuh pekerja ketika bekerja dapat dibuat menjadi sikap tubuh yang alamiah atau
ergonomis.
Hasil rancangan menunjukan rancangan alat bantu baru merupakan
modifikasi dari alat bantu yang lama, yaitu enggrong, sehingga dapat dikatakan
rangcangan alat yang baru merupakan hasil modifikasi enggrong dengan tujuan
mengubah sikap kerja pekerja ketika bekerja.
Keunggulan rancangan alat ini antara lain adalah :
1. Dari segi teknis, sesuai dengan fungsinya menurunkan pasir dari atas truk.
2. Dari segi ekonomi, biaya pembuatan dan perawatan relatif murah.
3. Hemat energi (tidak perlu listrik atau bahan bakar), ramah lingkungan, tidak
bermasalah dari segi budaya.
4. Mudah dibawa ke mana-mana, cukup diletakan di atas truk ketika di bawa.
5. Mudah diperbaiki jika mengalami kerusakan sehingga bisa dilakukan sendiri
oleh pekerja.
Pada dasarnya, setiap tenaga kerja sebaiknya mengetahui dan mengerti
peralatan kerja yang sesuai dengan persyaratan ergonomi agar nyaman dipakai
dan efisien. Bila peralatan kerja tersebut belum sesuai dengan pemakainya perlu
dilakukan perbaikkan dan dimodifikasi. Dengan demikian, setiap usaha perbaikan
peralatan kerja hendaknya bersifat sederhana serta murah biayanya, bisa dan
mudah dilakukan, dan dapat memberikan keuntungan secara ekonomi (Manuaba
1998b). setiap pekerjaan membutuhkan peralatan kerja yang tentunya telah teruji
keserasiannya terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan pemakainya
(Manuaba, 1989; Kroemer dan Grandjean, 2003).