BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 olehpelaku atau organisasi kejahatan dapat...

63
1 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya setiap pelaku tindak pidana akan berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum, sehingga ia dapat dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun yang tidak sah. Oleh karenanya UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pencucian uang (money laundering) adalah suatu kejahatan ganda. Dengan penanganan perkara secara tuntas adanya dua kejahatan, yaitu kejahatan asal (predicate crime) dan kejahatan pencucian uang seharusnya dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. 1 Pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran aset atau harta kekayaan untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Dalam konsep anti pencucian uang, apabila harta kekayaan yang dikuasai 1 Jahja, Juni Sjafrien, 2012, Melawan Money Laundering ! Mengenal, Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Visi Media, Jakarta, hlm : v.

Transcript of BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I.pdf · 2 olehpelaku atau organisasi kejahatan dapat...

1

1

BABI

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya setiap pelaku tindak pidana akan berusaha

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan

hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak

pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum, sehingga ia dapat dengan

leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah

maupun yang tidak sah. Oleh karenanya UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan

tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas

sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan

sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pencucian uang (money laundering) adalah suatu kejahatan ganda. Dengan

penanganan perkara secara tuntas adanya dua kejahatan, yaitu kejahatan asal

(predicate crime) dan kejahatan pencucian uang seharusnya dapat dilakukan

dengan lebih efisien dan efektif.1 Pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui

melalui penelusuran aset atau harta kekayaan untuk selanjutnya hasil tindak

pidana tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

Dalam konsep anti pencucian uang, apabila harta kekayaan yang dikuasai

1 Jahja, Juni Sjafrien, 2012, Melawan Money Laundering ! Mengenal, Mencegah &

Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Visi Media, Jakarta, hlm : v.

2

olehpelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan

sendirinya akan dapat menurunkan tingkat kriminalitas.

Black's Law Dictionary, mengartikan istilah money laundering sebagai :

"term used describe investment or other transfer of money flowing from

racketeering, drug transaction,and other illegal sources into legitimate channels

so that it's original sources can not be traced. Money laundering is a federal

crime; 18 USCA 1956". Istilah tersebut menggambarkan bahwa pencucian uang

adalah penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan

uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain

yang ilegal melalui saluran legal sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat

diketahui/dilacak.

Pada awalnya, tindak pidana pencucian uang didominasi oleh uang atau

aset yang berasal dari kegiatan narkotika di Amerika Serikat pada awal abad ke-

20, ketika perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) digunakan oleh

para mafia untuk pemutihan/pencucian uang yang diperoleh dari perbuatan illegal

dengan cara membeli perusahaan laundry tersebut, sehingga seolah-olah uang

yang mereka kumpulkan tersebut berasal dari bisnis mencuci pakaian.

Modus serupa dikhawatirkan juga akan dipergunakan di Indonesia,

sehingga Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama

dengan anggota masyarakat dunia lainnya secara aktif mengambil bagian dalam

upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Langkah nyata

dari komitmen pemerintah tersebut diwujudkan dengan ditandatanganinya United

Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychothropic

3

Substances, 1988 (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran

GelapNarkotika dan Psikotropika, 1988) yang telah diratifikasi dalam UU RI No.

7 Tahun 1997 pada tanggal 24 Maret 1997. Konvensi tersebut menegaskan

pentingnya merampas aset hasil tindak pidana narkotika, dalam rangka

memberantas kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Perkembangannya dalam upaya pemberantasan tindak pidana asal dari

tindak pidana pencucian uang digunakanlah mekanisme perampasan aset hasil

kejahatan, untuk itu Pemerintah Indonesia menerbitkan UU RI No. 15 Tahun

2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan UU RI No. 25

Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian diperbaharui lagi

dengan pemberlakuan UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Mengingat bahwa

kejahatan pencucian uang tidak semata timbul dari kejahatan asal Narkotika saja,

maka Pasal 2 ayat (1) UU TPPU menetapkan :

Jenis tindak pidana asal diantaranya korupsi, penyuapan, narkotika,

psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di

bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,

kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,

terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang,

perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan,di bidang

lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana

lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Trend perkembangan penyelesaian tindak pidana korupsi saat ini adalah

penggunaan hukum pidana pencucian uang dalam merampas aset dari pelaku

tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa politik

hukumpemberantasan tindak korupsi telah menempatkan korupsi sebagai

kejahatan luar biasa sebagaimana tertera dalam Tap MPR No VIII/MPR/2001

4

tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme mengatakan antara lain bahwa permasalahan Kolusi,

Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat

serius dan merupakan kejahatan luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara.2

Senada dengan TAP MPR tersebut, konsideran UU RI No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), menekankan bahwa tindak pidana korupsi

yang selama ini terjadi secara meluas sampai masuk kedalam tubuh aparat hukum

itu sendiri3, hingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas,

sehingga tindak pidana korupsi inipun kemudian digolongkan sebagai kejahatan

yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Upaya

pemberantasannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut

cara-cara yang luar biasa. Salah satu upaya pemberantasannya ditetapkan melalui

penggunaan hukum pidana pencucian uang didalam penanganan perkara korupsi

yang dapat digabungkan dalam satu penuntutan, maupun dapat dilakukan secara

terpisah.

Perang melawan korupsi melalui upaya pencegahan dan

pemberantasannya di Indonesia telah berlangsung lama yaitu sebelum tahun 1960-

an, dan telah mengalami beberapa kali pergantian undang-undang. Pergantian

undang-undang tentang korupsi, secara umum dapat dilihat akibat dari pergeseran

2 Hartanti, Evi, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.

3 Rahardjo, Satjipto, 2008, Membelah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara,

Jakarta, hlm. 15.

5

atau pergantian sistem politik di Indonesia. Sekalipun pergantian undang-undang

telah banyak dilakukan, akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasan

korupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-undangan tentang

pemberantasan korupsi menegaskan bahwa kesejahteraan bangsa Indonesia

merupakan suatu cita-cita bangsa dan sekaligus cita-cita pendirikemerdekaan

Republik Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan diadopsi dalam sila kelima

Pancasila.

Setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan bangsa

ini merupakan pelanggaran terhadap cita-cita bangsa. Akan tetapi, sebagai suatu

negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandaskan

kepada asas kepastian hukum dan juga harus dilandaskan kepada keadilan sebagai

cita-cita hukum. Berdasarkan pengalaman Indonesia dan di negara-negara lain

menunjukkan bahwa mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan

menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect) ternyata

belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan

upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrument tindak pidana. Dalam

hal ini, membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrument

tindak pidana memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain

yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untukmenikmati hasil

tindak pidana dan menggunakan kembali instrument tindak pidana atau bahkan

mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.4

4 Yusuf, Muhammad, 2013, Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi Di

Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 7.

6

Korupsi sebagai Organized Crime (kejahatan yang terorganisasi)

berdampak sangat luas, terutama dari aspek ekonomi terhadap kesejahteraan

masyarakat, ditambah pula dengan ongkos melawan berbagai kejahatan begitu

mahal, menjadikan aspek penyitaan dan perampasan hasil dan instrument tindak

pidana dikumulatifkan dengan pengenaan UU RI No.8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap tindak

pidana asal menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan sejumlah konvensi

yang berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, yaitu: United Nation

Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Phychotropic Substances

pada tahun 1988 dan United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime (UNCATOC) pada tahun 2000, dan United Nation Convention

Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003. Ada pula "40+90 Rekomendasi"

yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force (FATF). Salah satu bagian

penting dari konvensi-konvensi PBB dan rekomendasi FATF tersebut adalah

adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran, penyitaan dan perampasan

hasil dan instrument tindak pidana, termasuk kerjasama internasional dalam

rangka pengembalian aset pelaku hasil tindak pidana.

Beberapa pengaturan UNCAC 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No.

6 Tahun 2007 tentang Ratifikasi UNCAC 2003 terkait penyitaan aset, seperti

berikut :

7

1. Masing-masing negara pihak wajib mengambil, sepanjang sangat

dimungkinkan dalam sistem hukum internalnya tindakan-tindakan sedemikian

sebagaimana dianggap perlu guna memungkinkan perampasan atas :

a. Hasil-hasil kejahatan yang berasal pelanggaran-pelanggaran yang

dilakukan sesuai dengan konvensi ini atau kekayaan yang dimulainya

menunjukkan nilai hasil-hasil tersebut.

b. Kekayaan, peralatan atau sarana lainnya yang digunakan dalam atau

ditujukan untuk digunakan dalam pelanggaran-pelanggaran yang

dilakukan sesuai dengan konvensi ini.

2. Masing-masing negara pihak wajib mengambil tindakan sedemikian

sebagaimana dianggap perlu guna memungkinkan identifikasi, pelacakan,

pembekuan atau penyitaan barang ataupun yang dimaksud dalam ayat (1)

pasal ini dengan tujuuan perampasan pada waktunya.

3. Masing-masing negara pihak wajib mengambil, …… dst ….. berwenang atas

kekayaan yang dibekukan, disita atau dirampas …. dst.

4. Apabila hasil-hasil kejahatan tersebut telah diubah atau dikonversi sebagian

atau seluruhnya, ke dalam kekayaan lain kekayaan tersebut wajib dikenal

tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dimaksud dalam pasal ini,

sebagai ganti hasil-hasil tersebut.

5. Apabila hasil-hasil kejahatan tersebut telah dicampur adukkan dengan

kekayaan yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah, kekayaan tersebut

wajib tanpa mengabaikan kekuasaan manapun yang berkaitan dengan

pembekuan atau penyitaan, dikenai tanggung jawab terhadap perampasan

8

sampai sejumlah yang dimulai dari hasil-hasil yang dicampur adukkan

tersebut.

Article 31. Freezing, seizure and confisation

1. Each State Party shall take, to the greatest extent possible within its

domestic legal system, such measures as may be necessary to enable

confiscation of :

(a) Proceeds of crime derived from offenes established in accordance with

this Convention or property the value of which corresponds to that of

such proceeds.

(b) Property, equipment or other instrumentalities used in or destined for

use in offences established in accordance with this Convention.

2. Each State Party shall take such measures as may be necessary to enable

the identification, tracing, freezing or seizure of any item referred to in

paragraph 1 of this asticle for the purpose of eventual confiscation.

3. Each State Party shall adopt, in accordance with its domestic law, such

legislative and other measures as may be necessary to regulate the

administration by the competent authorities of frozen, seized or

confiscated property covered in paragraphs 1 and 2 of this article.

4. If such proceeds of crime have been transformed or converted, in part or

in full, into other property, such property shall be liable to the measures

referred to in this article instead of the proceeds.

5. If such proceed of crime have been intermingled with property acquired

from legitimate sources, such property shall, without prejudice to any

powers relating to freezing or seizure, be liable to confiscation up to the

assessed value of the intermingled proceeds.

Eksistensi UU No. 5 Tahun 2009 sebagai bentuk Ratifikasi terhadap

UNCATOK 2000 dapat digambarkan sepintas bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) atau United Nation Organization menghendaki agar pembekuan atau

penyitaan dilakukan oleh negara terhadap aset-aset koruptor yang didapat atau

diperoleh dari korupsi. Himbauan tersebut tertuang dalam United Nation

Convention Against Transnational Organized Crimes UNCATOC 2000 (Konvensi

PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir) yang diratifikasi dengan UU RI

No. 5 Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Internasional. Konvensi

9

tersebut memberikan landasan mengenai pentingnya negara memberikan

perlindungan hukum terhadap aset-aset negara, dengan mengambil tindakan

berupa pembekuan ataupun penyitaan dengan merampas aset-aset koruptor yang

diperoleh dengan cara-cara tidak sah atau tidak wajar, dalam rangka mendukung

upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi sebagai kualifikasi

organized crimes hingga tuntas.

Dalam UNCATOK diresmikan tanggal 15 Desember 2000 di Palermo

Italia oleh Konvensi PBB tersebut di atas menjadi konvensi, melalui ketentuan

Pasal 3 dan 23 konvensi menyatakan bahwa pada prinsipnya mengatur tentang

penyidikan yang di dalamnya termasuk pula tindakan penyitaan serta berbagai

langkah tindakan kerjasama antar negara yang dapat dilakukan sesama negara

pihak dalam konvensi tersebut seperti tindak pidana pencucian hasil kejahatan,

korupsi, dan tindak pidana terhadap proses peradilan, serta tindak pidana yang

serius sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 huruf b konvensi yang bersifat

transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang

terorganisasi. Konvensi menyatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan

sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana tersebut

dilakukan :

a. di lebih dari satu wilayah negara;

b. di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian

atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain;

10

c. di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku tindak

pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana di lebih dari satu

wilayah negara; atau

d. di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana

tersebut dirasakan di negara lain.

Semua ketentuan di atas, bagi Indonesia secara langsung dapat dilakukan

sebagai negara pihak konvensi karena telah meratifikasi dengan Undang-Undang

No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime / UNCATOC (Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Teroganisasi).

Ada beberapa negara penulis pakai komparasi dalam penyitaan terhadap

keberadaan aset koruptor seperti diantaranya :

1. Amerika Serikat

Criminal Forfeiture dan NBC Asset Forfeiture di Amerika Serikat

telah cukup lama digunakan untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana.

Pengembalian aset secara hukum pidana dan perampokan aset tanpa tuntutan

pidana di Amerika Serikat menurut D. Cassela, hukum negara bagian di

Amerika Serikat secara prosedural memberikan 3 (tiga) opsi yaitu

administrative forfeiture, criminal forfeiture dan sivil forfeiture. Dalam hal ini

sivil forfeiture bukan bagian dari suatu kasus kriminal. Dalam kasus sivil

11

forfeiture merupakan bagian dari aksi sivil melawan properti itu sendiri (in

rem).5

Pada dasarnya NCB Asset Forfeiture diterapkan dalam skala domestik,

yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau mengambil alih aset-

aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset hasil kejahatan

berada di luar negeri, beberapa negara yang menggunakan NBC Asset

Forfeiture secara domestik mengaplikasikannya secara teritorialitas.6

2. Australia

Australia dalam usaha pengembalian aset kepada negara menerapkan

salah satunya Mutual of Crime Act 1987 (FOC). FOC merupakan conviction

based confiscation legislation mengharuskan bahwa gugatan pidana

(conviction) harus terlebih dahulu dilakukan untuk bisa melakukan asset

confiscation, secara tradisional rezim ini melindungi hak huukum acara yang

dimiliki oleh seorang tersangka atau tertuduh melalui diharuskannya proses

gugatan pidana sebelum diambil olehnya aset (conviction before forfeiture)

dan otoritas yang berwenang melakukan penuntutlah yang memiliki beban

pembuktian.7

3. Filipina

Aturan mengenai prosedur pelaksanaan Sivil Forfeiture in Cases of

Civil Forfeiture. Penyitaan aset bagi seseorang di negara Filipina ini mesti

5 Steven D. Cassela, 2003, Provision of the USA Patriot Act Relating To Asset Forfeiture

in Tranasional Cases, Journal of Financial Crime, hlm : 304. 6 Bismar Nasution, 2009, Criminal Division, Asset Forfeiture and Money Laundering

Section, Department of Justice, USA, hlm : 133. 7 Ben Clarke, Confiscation of Proceed of Crime : Australia Response, disampaikan dalam

2 end World Conference On Investigation On Crime, ICC, Durban, 3-7 Desember 2001, hlm : 2.

12

memenuhi syarat seperti uang atau dana harus dibekukan oleh pengadilan

banding (Court of Appeals), juga kedua harus disampaikan laporan convered

transaction sebesar minimal 9.200 dollar AS. Ketiga syaratnya NBC Asset

Forfeiture hanya bisa dilakukan dalam kasus pencucian uang dengan institusi

keuangan intermediary. Di Filipina hanya instrumen uang yang bisa menjadi

NBC Asset Forfeiture.8

Peraturan yang telah bahu di Filipina yaitu proses peradilan NCB Asset

Forfeiture adalah in rem, perdata, dan tidak pidana.9

Berarti konsep penyitaan aset di Filipina hanya atas dasar obyek

langsung keperdataan, bukan menyangkut subyek atau orangnya, terlepas

antara tanggung jawab perdata terhadap aset dengan orang yang mesti dapat

dimintai pertanggung jawaban pidana.

4. Hongkong

Hongkong memiliki aturan dalam pemberantasan korupsi Basic Law

Independent Commission Against Corruption Ordinance, Chapter 204.

Organisasi Kelembagaan dalam pemberantasan korupsinya bernama ICAC

(Independent Commision Against Corruption). Tingkat bentuk korupsi yang

paling tinggi di Hongkong berupa penyuapan terhadap pejabat Kepolisian

Lalu Lintas Hongkong secara khusus ada pula organisasi di internal

Kepolisian Hongkong dalam penanganan korupsi bernama ACO (Anti

Corruption Office).

8 Jeffrey Simser, 2006, The Significance of Money Laundering : The Example of The

Philippines, Journal Money Laundering, hlm : 297. 9Ibid, hlm : 168.

13

Namun ICAC Hongkong memiliki tugas dan wewenang yang luas

mulai penyelidikan penyidikan, termasuk melakukan penggeledahan,

penangkapan, dan penyitaan bagi orang yang dicurigai melanggar The

Prevention of Bribery Ordinance (Cap. 201) atau dicurigai melanggar The

Corrupt and Illegal Practices Ordinance (Cap. 288).10

Penyitaan aset oleh seseorang yang dicurigai korupsi dapat dilakukan

oleh ICAC dengan petugas khusus intelijen yang dikenal dengan B3

(Investigation Branch).11

Hongkong dikenal sebagai negara bersih dari korupsi

setelah negara Singapura dan Malaysia.

Tingkat kuantitas korupsi bagi Indonesia disorot oleh Lembaga

Transparansi Internasional. Keberadaan pemberantasan korupsi di Indonesia

semakin menjadi pusat dan pokok perhatian serius sejak era pemerintahan

reformasi dimulai tahun 1998. Sampai saat ini isu dan fenomena penegakan

hukum dibidang korupsi selalu menjadi perbincangan publik, bahkan menjadi isu

utama pihak pemerintah dalam upaya pemberantasannya. Terkait dengan data

diperoleh melalui Lembaga Transparancy International mengenai indeks persepsi

korupsi yang mengukur tingkat korupsi suatu negara pada kondisi interpal satu

tahun. Berdasarkan survey terhadap 177 negara di dunia dengan rentang skor 1-

100, nampak bahwa pada tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat 118 dengan

skor 32, kemudian pada tahun 2013 Indonesia menduduki peringkat 114 dengan

skor 32. Dengan kondisi seperti itu maka posisi Indonesia dalam indeks berada

10

Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar

Grafika, Jakarta, hlm : 22. 11

Ibid, hlm : 29.

14

pada 8 point di bawah skor rata-rata negara ASEAN, Indonesia menduduki posisi

ketiga terkorup di Asia Tenggara setelah Myanmar dan Korea Selatan.12

Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam masyarakat

baik itu merupakan tindakan pencegahan maupun tindakan

pemberantasan/penindakan, adalah Hukum Acara Pidana yang mempunyai tujuan

yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan

hukum acara pidana secara jujur dan tepat.13

Tujuan dari hukum acara tersebut

untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran

hukum dan selanjutnya memerintahkan pemeriksaan dan memberi putusan oleh

pengadilan guna menentukan keterbuktian suatu tindak pidana telah dilakukan dan

seseorang didakwakan atas kesalahannya.

Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah

menerima laporan dan atau pengaduan dari masyarakat atau diketahui sendiri

terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh penutut umum dengan jalan

melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Selanjutnya, hakim melakukan

pemeriksaan terhadap dakwaan penuntut umum yang ditujukan terhadap terdakwa

terbukti atau tidak.14

Persoalan yang terpenting dari setiap proses pidana adalah mengenai

pembuktian, karena dari jawaban atas persoalan inilah tertuduh akan dinyatakan

12

Fiansyah Rahmat, 2014, Stagnan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, 2013,

http://www.kompas.com/, diakses pada Kamis, 30 Juli 2014. 13

Afiah, Ratna Nurul, 1988, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm. 13. 14

Ibid, hlm. 14.

15

bersalah atau dibebaskan.15

Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka

kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan.

Benda-benda yang dimaksudkan lazim dikenal dengan istilah barang bukti atau

corpus delicti yakni barang bukti kejahatan. Barang bukti itu mempunyai peranan

yang sangat penting dalam proses pidana.16

Barang bukti yang bukan

merupakanobyek, barang bukti atau hasil delik tetapi dapat pula dijadikan barang

bukti sepanjang barang bukti tersebut mempunyai hubungan langsung dengan

tindak pidana misalnya uang yang dipakai korban pada saat ia melakukan

kejahatan korupsi bisa dijadikan barang bukti.

Penyitaan aset tersangka korupsi dalam rangka pemulihan kerugian negara

dan memberikan efek jera terhadap pelaku, sangat penting dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi, sehingga diharapkan kedepannya tidak

akan muncul tindak pidana serupa. Dalam proses penyidikan perkara tindak

pidana korupsi terhadap tersangka yang disangka pula melakukan tindak pidana

pencucian uang, telah banyak kasus dimana aset atau harta kekayaan tersangka

disita oleh penyidik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Berbagai tersangka

korupsi yang disangka pula dengan kejahatan pencucian uang telah dilakukan

penyitaan terhadap harta bendanya seperti dalam kasus korupsi perpajakan Gayus

Tambunan dengan penyitaan harta kekayaan milik Gayus Tambunan senilai Rp.

74 Milyar, pada kasus Simulator SIM dengan terpidana Djoko Susilo yang saat

proses penyidikan disita aset-asetnya terdiri dari 26 (dua puluh enam) rumah,

tanah dan bangunan, 6 (enam) bus, 4 (empat) mobil dan 3 (tiga) SPBU yang

15

Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM,

Yogyakarta, hlm. 132. 16

Ibid, hlm. 15.

16

nilainya mencapai kisaran Rp. 100 Milyar, lain halnya dalam kasus penyuapan

impor daging oleh Ahmad Fathanah dimana harta kekayaannya yang mengalir ke

sejumlah teman perempuannya ikut disita.

Penyitaan seluruh aset dari tersangka korupsi yang juga disangka dengan

tindak pidana pencucian uang menuai kontroversi. Adanya penilaian dari praktisi

dan akademisi bahwa menyita seluruh harta kekayaan tersangka hingga harta yang

tidak ada kaitannya dengan sangkaan terhadap perbuatan yang dilakukantersangka

tidak memliki dasar hukum dan melanggar hak-hak asasi tersangka yang masih

harus dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mengikat

(presumption of innocence). Seharusnya aset-aset yang boleh dilakukan penyitaan

adalah aset-aset yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan perbuatan

tersangka yang disangkakan kepadanya, tidak mungkin harta yang diperoleh tahun

2000, misalnya, ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa yang harus dibuktikan

oleh penyidik yang dilakukannya pada tahun 2011.

Malik Bawazier menilai17

akuntabilitas penyidikan kasus Simulator SIM

harus mampu secara tepat, proporsional, dan jelas dalam pembuktian predikat

pidana. Penyitaan sejumlah rumah milik Djoko Susilo adalah sesuatu yang

janggal, KPK menurutnya harus mampu menjelaskan mengenai dasar-dasar

penyitaan dalam akuntabilitas proses penyidikan yang dilakukan dan hal tersebut

harus berkorelasi secara hukum dengan pembuktian predicate crime-nya.

Disisi lain banyak pandangan yang menyetujui tindakan dari penyidik

yang menyita harta milik tersangka korupsi karena mereka dinilai telah

17

Susila, Suryanta Bakti, dan Mahaputra, Sandy Alam, 2014, Pakar Hukum : Penyitaan

Aset Pencucian Uang Harus Logis, dalam http://www.m.news.viva.com diakses pada Selasa, 18

Maret 2014.

17

hidupmewah diatas penderitaan rakyat. Namun seringkali tindakan penyidik KPK

misalnya mendapatkan perlawanan karena pada saat penyitaan tidak membawa

surat perintah penyitaan.18

Dalam konteks penerapan UU TPPU penyitaan atau perampasan aset

seharusnya hanya diterapkan pada pelaku pidana korporasi, seperti diatur Pasal 7

ayat (2), sedangkan pada Pasal 79 ayat (4) dan (5) dan Pasal 81 UU TPPU

diaturapabila pelaku adalah perorangan maka penyitaan, atau perampasan aset

hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah meninggal sebelum dijatuhkan

putusan. Namun apabila tindak pidana pencucian uang yang dilakukan merupakan

hasil dari tindak pidana korupsi, maka pengadilan perlu menjatuhkan pidana

tambahan berupa perampasan harta benda dari terdakwa yang merupakan hasil

dari korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 UU Tipikor.

Undang-Undang tidak mengatur secara khusus masalah mekanisme

penyitaan dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, sehingga baik

UU Tipikor maupun UU TPPU hanya merujuk kepada KUHAP dalam mengatur

lebih lanjut tentang hukum acara penyitaan.

Pasal 67 UU TPPU dikatakan oleh Ketua PPATK Muhammad

Yusuf19

dapat memungkinkan dilakukan perampasan harta kekayaan tanpa harus

mengaitkan langsung harta kekayaan tersebut dengan unsur kesalahan dari pelaku

tindak pidananya, bahkan apabila pelaku tindak pidananya tidak ditemukan. Pasal

18

Rifai, Abdilah, 2014, Penyitaan Harta Kekayaan Koruptor, dalam

http://www.academia.edu.com diakses pada Selasa, 18 Maret 2014. 19

Aquina, Dwifantya dan Ansyari, Syahrul, 2014, PPATK minta Penegak Hukum

samakan Persepsi soal Pencucian Uang, dalam http://www.m.news.viva.com diakses pada Rabu,

19 Maret 2014.

18

67 UU TPPU dikatakan sebagai sarana perampasan harta tanpa penghukuman

(non-conviction based forfeiture), tersurat sebagai berikut:

(1) Dalamhal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan

keberatan dalam waktu 20 (dua puluh hari) sejak tanggal penghentian

sementara transaksi, PPATK menyerahkan penanganan harta

kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak

pidana tersebut kepada penyidik untuk, dilakukan penyidikan.

(2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan

dalam waktu 30 (tiga puluh hari, penyidik) dapat mengajukan

permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memutuskan harta

kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang

berhak.

(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam

waktu paling lama 7 (tujuh) hari.

Sayangnya KUHAP sebagai hukum acara dari Pasal 67 UU TPPU belum

mengakomodir hal tersebut, sehingga Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan

aturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan MA No. 1 Tahun 2003 tentang

Tata Cara Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang dan SEMA No.3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan

Perkara, Tata Cara Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak

Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya.

Pengaturan tersebut bukanlah termasuk kedalam peraturan perundang-

undangan formil sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU RI No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga bersifat internal yang

mengikat suatu instansi ataupun kesepakatan antar instansi yang tidak

mengandung sanksi jika tidak dilaksanakan, terlebih terhadap SEMA yang

keberlakuannya berupa surat dinas belaka.

19

KUHAP berdasarkan ketentuan Pasal 39 hanya menentukan secara

limitatif bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a. Bendaatau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai basil tindak pidana.

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan

tindakpidana atau untuk mempersiapkannya

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan

tindak pidana

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak

pidana

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yangdilakukan

Apabila masih ada kekayaan yang belum disita, Pasal 81 UU TPPU

memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan jaksa penuntut

umum untuk melakukan penyitaan aset. UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur bahwa tindakan hukum penyitaan

mendahului tindakan hukum perampasan. Sehingga penyitaan dalam sistem

hukum pidana Indonesia merupakan tindakan sementara penyidik menempatkan

benda dibawah kekuasaannya sebagaimana Pasal 1 angka 16 KUHAP mengatur

adalah untuk kepentingan pembuktian. Kemudian Pasal 38 ayat (1) KUHAP

mengatur bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin

Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan ayat (2) menyatakan apabila tidak

mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan

penyitaan hanya atas benda bergerak dan segera melaporkannya kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat.

Persoalan lain yang muncul sehubungan dengan penyitaan seluruh aset-

aset tersangka oleh penyidik baik aset yang diperoleh pada saat atau perbuatan

yang disangkakan dilakukan, maupun aset-aset yang diperoleh tersangka jauh

sebelum perbuatan yang disangkakan dilakukan, berimplikasi pada kemungkinan

20

adanya penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik yang bukan merupakan

wewenangnya. Harta kekayaan tersangka yang tidak wajar dengan profilnya

sebagai pegawai negeri bukan berarti perolehannya dari kejahatan korupsi sebab

kemungkinan bisa diperoleh dari hasil kejahatan lain seperti penggelapan atau

penipuan atau kejahatannya lainnya yang diatur dalam KUHP. Kedepannya

dikhawatirkan bahwa KPK atau Kejaksaan yang hanya berwenang menyidik

kasus korupsi akan bertindak tidak sesuai dengan kewenangannya yaitu

secaratidak logis melakukan penyitaan aset atau harta-harta kekayaan tersangka

yang belakangan diketahui bukan merupakan hasil korupsi tetapi dari kejahatan

yang lain.

Keterkaitan antara UU TPPU dan UU Tipikor pada dasarnya bertujuan

membangun pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, hal tersebut harus

diimbangi dengan tindakan penegak hukum yang professional dan proporsional

dalam bertugas. KPK berdasarkan Pasal 6 UU RI No. 30 Tahun 2002 mempunyai

tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi. Kejaksaan berdasarkan Pasal 30 Ayat (2) UU RI No. 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, penjelasan Pasal 284 ayat (2) UU RI

No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 17 PP No. 27 Tahun

1983 memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

Terkait dengan Pasal 74 UU TPPU mengatur bahwa institusi yang diberikan

kewenangan menyidik perkara pencucian uang adalah institusi yang diberikan

kewenangan menyidik kejahatan asal. Dengan demikian KPK dan Kejaksaan juga

21

berwenang menyidik tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak

pidana asal Korupsi.

Yenti Garnasih menilai bahwa penyitaan oleh penegak hukum atas aset-

aset yang diduga bersumber dari sebuah tindak pidana pencucian uang haruslah

logis.

Konflik norma hukum antara pengaturan penyitaan seperti diatur KUHAP

Pasal 38 ayat (1) mesti harus ada ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat setiap

penyidik yang melakukan tindakan penyitaan, berhadapan dengan ketentuan

norma hukum pula seperti diatur Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang

KPK. Dalam pasal ini tidak mengharuskan adanya ijin Ketua Pengadilan Negeri

apabila KPK melakukan penyitaan. Ketentuan UU KPK seperti dimaksud secara

kajian teoritik dapat diasumsi bahwa ketentuan UU KPK bersifat khusus (lex

spesialist), KPK memiliki kewenangan super body dalam tindak pidana korupsi,

tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes)

sehingga perlu cara-cara dan terobosan-terobosan yang sifatnya khusus pula (extra

ordinary power). Dari segi kekhususan kecepatan bertindak KPK perlu waktu

cepat dalam bertindak untuk menghindari hilang atau kaburnya barang bukti.

Syarat dokumen administratif merupakan prosedural administratif yang

mungkin dapat diberikan justifikasi dengan cara-cara pembenar lain guna

diperolehnya suatu alat bukti secara cepat, namun akurat serta tidak melanggar

hukum prosedural secara prinsif. Antara KUHAP dan UU KPK yang mengatur

tentang penyitaan, memang gradual / tingkatannya sama – sama undang – undang,

derajatnya sama, namun UU KPK merupakan UU lexspesialist dan keluarnya

22

lebih belakangan atau UU KPK lebih baru dari KUHAP. Sehingga secara tataran

teori hukum berdasar atas pemberlakuan UU menurut ruang atau waktu bahwa

UU yang baru akan menyampingkan UU yang lebih lama (lex posterior derogat

legi priori). Jadi UU KPK dapat diberlakukan lebih khusus (lexpesialist) atau lex

spesialist derogat legi generali. Sehingga Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun

2002 tentang KPK yang mengatur penyitaan oleh KPK tanpa perlu ijin Ketua

Pengadilan Negeri adalah absah secara teori keilmuan hukum, juga adanya asas

preperensi dalam hukum seperti tersurat dan tersirat diatas (lex spesialist derogat

legi generali, dan lex posterior derogat legi priori).

Kebijakan hukum pidana kedepannya dinilai haras tegas dan mampu

mengakomodir serta memberikan arah politik hukum penyitaan aset atau harta

kekayaan tersangka secara logis dan berimbang dalam rangka pemberantasan

tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dengan mekanisme dan prosedur

yang jelas, diperlukan suatu regulasi yang komprehensif tanpa adanya

disharmonisasi norma dalam suatu peraturan perundang-undangan formil Negara

Indonesia. Permasalahan hukum yang telah diuraikan di atas menarik untuk

diangkat dalam suatu penulisan tesis berjudul : FUNGSI KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYITAAN ASET TINDAK

PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN PENCUCIAN UANG.

23

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena hukum terurai diatas, maka penelitian ini

memunculkan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaturan yang harmonis dan terkorelasi tentang penyitaan aset

tersangka korupsi yang diduga pula melakukan tindak pidana pencucian uang

perspektif perundang-undangan pidana Indonesia ?

2. Apakah dasar pertimbangan penyidik KPK dalam penyitaan aset koruptor

yang jumlah nilainya dianggap tidak logis dan dilakukan tanpa batasan waktu

peroleh aset-aset tersangka korupsi ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian

antara pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai

berikut :

1. Permasalahan pertama akan dibahas mengenai harmonisasi pengaturan

penyitaan aset tersangka korupsi yang disangka pula melakukan tindak pidana

pencucian uang menurut hukum positif di Indonesia (antara KUHAP, Undang

– Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang – Undang KPK dan

Undang – Undang TPPU).

2. Permasalahan kedua akan dibahas mengenai kajian yuridis terhadap dasar

pertimbangan penyidik KPK dalam penyitaan aset atau harta kekayaan milik

tersangka tindak pidana korupsi yang dianggap tidak logis dan tanpa adanya

24

batasan waktu atas perolehan aset-aset tersangka korupsi, juga disangka

melakukan tindak pidana pencucian uang.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut

diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan

penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait

dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma

ini ilmu tidak akan pernah mandeg/final dalam penggaliannya atas kebenaran di

bidang objeknya masing-masing.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui, mengkritisi serta mengkaji bagaimana korelasi pengaturan

penyitaan aset tersangka korupsi yang disangka pula melakukan tindak pidana

pencucian uang menurut hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis relevansi tindakan penyidik

KPK dikaitkan dengan penyitaan aset atau harta kekayaan milik tersangka

tindak korupsi yang juga disangka dengan tindak pidana pencucian uang,

dengan nilai atau jumlah fantastisisme lampaui penghasilan pelaku.

25

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaatteoretis, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk

mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana,

khususnya yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana korupsi dan pencucian uang melalui penyitaan aset tersangka.

2. Manfaat praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada

pemerintah terhadap hukum acara pidana Indonesia melalui kajian yuridis

terhadap pengaturan serta mekanisme penyitaan asset tersangka tindak pidana

korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan tindakan penyitaan oleh

penyidik KPK sebagai pembenar atas penyitaan aset atau harta kekayaan

tersangka.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset

(penelitian) mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi dan pencucian

uang melalui penyitaan aset tersangka namun kajiannya belum komprehensif

membahas pengaturan serta mekanisme penyitaan aset tersangka tindak pidana

korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan relevansi penggunaan beban

pembuktian terbalik sebagai pembenar atas penyitaan aset atau harta kekayaan

tersangka. Penelitian ini diharapkan berguna memberikan sumbangsih pemikiran

dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian

uang di Indonesia kedepannya, diantaranya sebagai berikut:

26

1. Judul Penelitian : Peradilan In Absensia Dalam Upaya Pengambilan Aset

Hasil Tindak Pidana Korupsi.

Peneliti : Ressa Susanti (Universitas Indonesia Tahun 2011)

Kajian : 1. Berkaitan dengan konsepsi peradilan in absensia

terkait dengan HAM – terkait dengan hak terdakwa

tindak pidana korupsi.

2. Berkaitan dengan penerapan hukum peradilan in

absensia dalam Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi.

2. Judul Penelitian : Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi

di Indonesia.

Peneliti : Muhammad Yusuf (Universitas Padjajaran, Bandung

Tahun 2012 – Disertasi)

Kajian : 1. Konsep perampasan aset berdasarkan UU No.

31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo UU No.

20 Tahun 2001.

2. Kebijakan hukum pidana terhadap perampasan aset

tanpa tuntutan pidana berdasarkan Konvensi PBB

anti korupsi dalam pengembalian kerugian keuangan

negara.

27

3. Judul Penelitian : Kajian Normatif Terhadap Pembuktian Terbalik Dalam

Tindak Pidana Korupsi

Peneliti : I Wayan Gde Wiryawan (UNUD Tahun 2012)

Kajian : 1. Berkaitan pengaturan terhadap sistem pembuktian

terbalik dalam tindak pidana korupsi.

2. Berkaitan dengan formulasi kebijakan pembuktian

terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana

korupsi dimasa datang.

4. Judul Penelitian : Kebijakan Hukum Pidana Pengembalian Aset Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia.

Peneliti : A.A. Ngr. Oka Yudistira Darmadi (UNUD Tahun 2013)

Kajian : 1. Berkaitan dengan implikasi ratifikasi UNCAC 2003

dalam pengambilan aset tindak pidana terhadap

kebijakan Peraturan Perundang-undangan Tindak

Pidana Korupsi.

2. Berkaitan dengan kebijakan hukum dalam

memperkuat sistem hukum pidana pengambilan aset

tindak pidana korupsi di Indonesia.

5. Judul Penelitian : Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan

Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam

Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di PN. Denpasar)

28

Peneliti : Kadek Krisna Sintia Dewi (UNUD, Tahun 2014)

Kajian : 1. Berkaitan dengan penerapan ancaman sanksi pidana

tambahan untuk pengembalian kerugian keuangan

negara dalam tindak pidana korupsi.

2. Berkaitan dengan kendala dalam pelaksanaan

putusan penyidikan terkait dengan sanksi pidana

tambahan guna pengembalian kerugian keuangan

negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana

korupsi.

Aspek kebaruan penelitian penulis adalah bahwa aparat yang melakukan

tugas penyuluhan dalam tindak pidana korupsi disini adalah bertumpu pada peran

dan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga

independen yang memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan khusus dibidang

penyitaan terhadap aset koruptor.

Penyitaan terhadap aset koruptor korelasi pengaturannya dalam

perundang-undangan pidana Indonesia belum tampak pengaturannya baik dalam

KUHAP, UU tentang Pemberantasan Korupsi maupun dalam UU Pencegahan dan

Pemberantasan Pencucian Uang, hal tersebut penulis sajikan pada rumusan

masalah pertama. Pada rumusan masalah kedua tersirat materi yang akan dibahas

dan dikaji terkait dasar pertimbangan penyidik KPK dalam menyita kekayaan

tersangka yang dipandang tidak logis oleh penyidik untuk dirampas atau disita

sebagai barang bukti di persidangan.

29

Peneliti atau penulis-penulis sebelumnya tentang Korupsi belum tampak

memunculkan peran KPK dalam melakukan tindakan perampasan aset (penyitaan)

koruptor dengan mengkaitkan adanya sangkaan kepada terdakwa terkorelasi

dengan tindak pidana pencucian uang.

Dengan demikian kebaruan penelitian peneliti/penulis adalah masih belum

ada peneliti/penulis sebelumnya menunjukkan kesamaan dengan penelitian

penulis.

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori-teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan-aturan hukum,

norma hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk

membahas masalah penelitian. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan secara

singkat landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah penelitian.

Dalam landasan teoritis penulis dapat mengidentifikasikan asas-asas hukum, teori-

teori hukum serta yang digunakan untuk membahas masalah penelitian.

Asas-asas Hukum

Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan

mendasari adanya suatu norma hukum.20

J.J.H. Bruggink dalam terjemahan Arif

Sidhartha menyatakan bahwa, "Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran

20

Marwan, M. dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Compelte

Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 56.

30

(kriteria) nilai".21

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, asas-asas

hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang

menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan.

Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi asas-asas

hukum yang selayaknya diperlukan dalam mewujudkan proses hukum yang adil

yakni menggunakan asas due process of law dan mengatasi disharmonisasi norma

dengan menggunakan asas preferensi hukum.

1. Asas due process of law

Pada dasarnya, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due

process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana, dan juga

terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka,terdakwa dan terpidana.

Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa:

"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang

adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa

adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang

adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu

sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak

tersangka dan terdakwa".22

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum

yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak tersangka

dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due process of law),

peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-

haktersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses hukum

21

Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, cetakan

kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 123. 22

Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, cetakan pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta,hlm. 7.

31

yang adil. Asas hukum ini relevan untuk membahas permasalahan pertama yang

terkait dengan mekanisme dari tindakan penegak hukum melakukan penyitaan

terhadap asset milik tersangka.

Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan

tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah

melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh

keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa:

Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of

law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan

peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it

condemns, which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after

trial...". Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-

hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government).23

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam due process of law

mengandung adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia utamanya

terhadap penyitaan asset milik tersangka, sekalipun ia adalah seorang pelaku

tindak pidana (tersangka/terdakwa) harus mendapatkan perlindungan hukum yang

dijamin oleh negara agar proses penyitaan tetap berlangsung secara logis.

2. Asas Preferensi Hukum

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan

hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het rechf), konflik antar

normahukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vague van normen) atau

23

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, &

Pelaksanaannya Dalam PenegakanHukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran,

Bandung, hlm. 113-114.

32

norma tidakjelas.24

Dalam menghadapi konflik antar norma (antinomi hukum),

maka berlakulah asas preferensi yaitu :

1. Lexsuperiori derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah;

2. Lex specialist derogate legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan

melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang

khususlah yang harus didahulukan;

3. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru

mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.25

Disamping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut

antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation),

dan pemulihan (remedy).26

Menurut P. W. Bouwer sebagaimana dikutip oleh

Phillipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antar norma hukum, dapat

dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu :

a. Pengingkaran (disavowal)

Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan

mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu

terjadi berkenaan dengan asas lex specialist dalam konflik pragmatis

atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh

yang lazim yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum

privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum

tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara

kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.

b. Penafsiran ulang (reinterpretation)

Didalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum dibedakan yang

pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas

preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan

cara yang lebih fleksibel.

24

Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 89. 25

Mertokusumo, Sudikno, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga,

Liberty, Yogyakarta, hlm. 85-87. 26

Hadjon, Phillipus, M., dan Djamiati, Sri Tatiek, 2009, Argumentasi Hukum, Cet.

Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 31.

33

c. Pembatalan (invalidation)

Ada 2 macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak

normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di

Indonesia pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) ke bawah

dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal

yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret. Di

Indonesia, dalam praktik keadilan, dikenal dengan

mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim

mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena

bertentangan dengan UU Pers.

d. Pemulihan (remedy)

Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan.

Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam overrulednorm.

Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan

norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi.27

Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua

mengenai disharmonisasi norma hukum yang berlaku yaitu konflik norma terkait

penyitaan aset tersangka yang tidak logis dengan dasar pembenar adanya beban

pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi dan pencucian uang.

3. Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence

Pasal 8 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

mengatur setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau

dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada putusan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Ketentuan ini dikenal dengan asas presumption of innocence sebagai

asas umum hukum acara, berlaku dalam dalam setiap proses berperkara di

Pengadilan yaitu dengan adanya kata : "dihadapkan didepan pengadilan".

27

Ibid.

34

Penerapan asas praduga tak bersalah dalam perkara pidana juga sangat

berkaitan dengan system penghukuman dalam hukuman pidana itu sendiri.

Menurut Paulus Hadisuprapto,28

upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur

penal lebih menitik beratkan pada sifat represif, berupa penumpasan,

pembrantasan, dan penindasan setelah kejahatan terjadi.

Dalam upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, pelaku akan

melalui proses pemidanaan. Pemidanaan merupakan suatu solusi untuk

menanggulangi kejahatan (control of crime), yang dapat dibenarkan dan sekaligus

juga pembenaran untuk hukum pidana dan system peradilan pidana.29

Selama

proses pemidanaan tersebut pelaku tindak pidana sering mendapat perlakuan yang

semena-mena dari petugas. Sebagai orang yang dianggap tidak bersalah

seyogyanya orang tersebut mempunyai hak dan kedudukan yang sama didalam

hukum, mempunyai hak untuk membela diri, mempunyai kebebasan untuk hidup

dan mempunyai kebebasan untuk bergerak.

Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua

mengenai penyitaan aset tersangka yang seringkali dilakukan secara tidak logis

oleh penegak hukum dengan dasar pembenar adanya beban pembuktian terbalik

sehingga terdakwa dibebankan untuk melakukan pembuktian dalam penanganan

perkara korupsi dan pencucian uang.

28

Hadisuprapto, Paulus, 2009, Peradilan Anak Restoratif; Prospek Hukum Pidana Anak

Indonesia, Yuridika Vol. 24 No. 2, Mei-Agustus, hlm. 107. 29

Kholiq, M. Abdul, 2000, Urgensi Pemikiran Kritis Dalam Pengembangan Kriminologi

Indonesia di Masa Mendatang, Jurnal Hukum Vol 15 No. 7, Desember, hlm. 163.

35

4. Asas Non-Self Incrimination

Asas Non-Self Incrimination di Indonesia diatur pada Pasal 189 ayat

(3)KUHAP yangberbunyi : "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan

terhadap dirinya sendiri". Adnan Paslyadja mengatakan hal tersebut berarti apa

yang diterangkanterdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui

sebagai alat buktiyang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Yahya Harahap menyatakan bahwa apa yang diterangkan seseorang dalam

persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan

sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa

terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya

merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa

Atidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa Bbegitujugasebaliknya.

Setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap

diri sendiri atau mengaku bersalah. Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk

membahas masalah kedua mengenai penyitaan aset tersangka yang seringkali

dilakukan secara tidak logis oleh penegak hukum dengan dasar pembenar adanya

beban pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi dan pencucian

uang.

Konsep Perlindungan Hukum

Konsep perlindungan hukum landasan konstitusional telah tersurat dan

tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 yakni : “Kemudian daripada

itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

36

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial…..”; Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadii antara

pemerintah dan warga negaranya tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah

dalam melakukan suatu tindakan hukum tersebut.

Pemerintah mempunyai dua fungsi atau posisi, yaitu pemerintah sebagai

wakil dari badan hukum publik (publiek recht person/public legal entility), dan

pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah

melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan

itu diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan

maupun tindakan hukum publik seperti pidana, dapat menjadi peluang munculnya

suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak

subyek hukum warga negara. Dalam hubungan dimaksud dapat penulis kaitkan

dengan tindakan hukum seperti penyitaan yang dilakukan oleh penegak hukum.

Aset yang dimiliki setiap orang atau tersangka/terdakwa tetap mesti dapat

perlindungan oleh hukum.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia bahwa secara etimologi arti

perlindungan adalah tempat berlindung.30

Pemberian perlindungan hukum tidak

terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas

hukum (machstaat). Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang

30

Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, hlm : 410.

37

dimaksud dengan hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang

menjamin keadilan kepada warga negaranya”.31

Indonesia sebagai negara hukum berlandaskan ideologi Pancasila. Philipus

M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya Indonesia sebagai negara hukum

berdasarkab Pancasila, maka telah terwujudlah perlindungan berbagai hak-hak

asasi manusia bagi setiap warga negaranya, dimana pengakuan terkait dengan

perlindungan dalam hukum sebagai wujud pelaksanaan hak asasi manusia dapat

dipertanggung jawabkan dan tidak diskriminatif. Salah satu ciri lain dari negara

hukum adalah adanya asas persamaan di muka hukum (equality before the law),

dimana tersangka/terdakwa juga memperoleh pelayanan hukum berupa

perlindungan hukum terhadap diri pribadi, harta yang dimilikinya dan hak-hak

sipili lain, termasuk perlindungan hukum dalam proses pidana seperti penyitaan

atas barang yang dikuasai olehnya.

Pancasila merupakan landasan idiil negara Indonesia dan menjadi sumber

dari segala sumber hukum dan termasuk sumber dari asas-asas perlindungan

hukum. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sebagai asas

konstitusional, dan undang-undang di bawahnya sebagai asas operasionalnya.

Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil dan

filosofi hukumnya tertuang dalam Sila ke 5 yakni : “Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia”; Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya

terkandung makna suatu hak seluruh rakyat Indonesia untuk dilindungi dan

diperlakukan sama di depan hukum.

31

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN

UI, Jakarta, hlm : 155.

38

Konsep perlindungan hukum bagi semua orang juga memperoleh jaminan

dan landasan dalam Hukum Acara Pidana seperti KUHAP, ketika seseorang

berada dalam posisi tersangka/terdakwa hak-hak mereka dilindungi oleh hukum

acara, diantaranya hak untuk diam (remaind silent), hak mendapat bantuan hukum

(acces to legal councel), termasuk ketika penyidik melakukan penyitaan harus

memenuhi persyaratan ketentuan KUHAP.

Perlindungan hukum merupakan konsep universal sebagai negara hukum.

Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang

bertentangan dengan hukum ketika dilakukan oleh pemerintah. Perlindungan

hukum terdiri dari dua macam, yakni : perlindungan hukum preventif dan

perlindungan hukum represif.

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan preventif bermakna rakyat diberikan kesempatan untuk

mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum keputusan

pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya

perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

Perlindungan hukum preventif sangat besar maknanya bagi tindak pemerintah

yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya

perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati

dalam mengambil keputusan.

39

Menurut Philipus M. Hadjon, tindakan preventif merupakan

keputusan-keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan

sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan.32

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa

yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran. Saat ini di Indonesia terdapat

berbagai badan secara parsial menangani penanganan perlindungan hukum

bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarkat terdiri dari :

a. Perlindungan hukum aktif, yaitu upaya untuk menciptakan suatu kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara

wajar.

b. Perlindungan hukum pasif, untuk mengupayakan pencegahan atas upaya

yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil,

termasuk di dalamnya adalah :

1. Mewujudkan ketertiban dan ketenteraman;

2. Mewujudkan kedamaian sejati;

3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat;

4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.33

32

Hadjon, M. Philipus, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada University,

Yogyakarta, hlm : 3. 33

Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, hlm : 23.

40

Konsep Kepastian Hukum

Menurut konsepsi yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa kepastian

hukum terdiri dari komponen-komponen seperti berikut :

1. Kepastian aturan hukum yang akan diterapkan;

2. Kepastian proses hukum, baik dalam penegakan hukum maupun pelayanan

hukum;

3. Kepastian kewenangan, yaitu kepastian lingkungan jabatan atau pejabat

yang berwenang menetapkan atau mengambil suatu keputusan hukum;

4. Kepastian waktu dalam setiap proses hukum; dan

5. Kepastian pelaksanaan, seperti kepastian eksekusi putusan hakim, atau

keputusan administrasi negara.34

Terkait dengan kewenangan penyitaan dalam tindak pidana korupsi oleh

pejabat yang berwenang untuk itu, maka konsepsi kepastian hukum yang

dikonsep oleh Bagir Manan tersebut di atas, akan berkorelasi dengan konsep butir

(1), (2), dan (3) tersebut yang terurai di atas.

Konsep kepastian hukum secara universal diberikan oleh Lon L. Fuller

dengan menetapkan kriteria-kriteria suatu sistem hukum harus mengandung unsur

moralitas tertentu (the morality of law) juga mengandung unsur-unsur kepastian

seperti dinyatakan sebagai berikut :

a. Failure to established rules at all, leading to absolute uncertainty

(merupakan suatu kegagalan bila aturan yang dibuat tidak mengandung

kepastian).

b. Failure to make rules public to chose required to observe them

(merupakan suatu kegagalan bila aturan tidak disosialisasikan kepada yang

berkepentingan).

c. Imroper use of retroactive law making (tidak boleh ada peraturan dibuat

untuk berlaku surut).

d. Failure to make comprehensible rules (tidak boleh ada aturan yang tidak

dapat dipahami atau tidak dapat dimengerti).

e. Making rules which contradict each other (tidak ada peraturan yang

bertentangan antara yang satu dengan yang lain).

34

Bagir Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004,

FH UII, Jakarta, hlm : 20.

41

f. Making rules which impose requirements with wich complience is

impossible (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang

melebihi apa yang dapat dilakukan).

g. Changing rules so frequently that the required conduct becomes wholly

unclear (seringnya terjadi perubahan suatu peraturan sehingga maknanya

menjadi tidak jelas).

h. Discontinuety between the started content of rules and their

administration in practice35

(tidak ada kesesuaian makna antara isi

peraturan dengan kenyataan dalam pelaksanaan).

Demikian dua rumusan konsep yang dikemukakan oleh Bagir Manan dan

Lon L. Fuller menyangkut kriteria kepastian hukum sebagai landasan bertindak

bagi penegak hukum dalam memerankan fungsi dan kewengannya dalam proses

hukum yang adil (due process of law) termasuk salah satu tindakan hukum yang

dilakukan penyidik dalam melakukan penyitaan, baik oleh kepolisian selaku

penyidik maupun kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

menyita aset-aset yang diduga diperoleh dari perbuatan korupsi oleh koruptor.

Teori Hukum

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, "Kata teori berasal dari kata

theoria yang artinya pandangan atau wawasan".36

Lebih lanjut, mengutippendapat

Gijssels, menyatakan bahwa, "Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan

sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian yang

sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga

memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji".37

Berdasarkan

hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai

35

Hilaire Mc Coubry, Nigel, D. White, 1996, Tex Book On Yurisprudence, Black Stone

Press Limited, USA, hlm. 90. 36

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, hlm. 4. 37

Ibid, hlm. 5.

42

hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara

ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para

ahli hukum.

Penelitian ini mempergunakan teori-teori yaitu Teori Kebijakan Hukum

Pidana, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Keadilan, dan Teori Hukum

Pembuktian sebagai berikut:

1. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Dalam konteks kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut Marc

Ansel, penal policy adalah :

"Both science and art,of which the practical purposes ultimately are to

anable the positive rules better formulated and to guide not only the

legislator who has to draft criminal statutes, but the court by which they

are applied and the prison administration which gives practical effect to

the court's decision.38

Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-

undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang,

dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

A. Mulder menyatakan kebijakan hukum pidana dipadankan dengan

strafrechtspolitiek, yang artinya sebagai garis kebijakan untuk menentukan :

1. Seberapajauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah

dan diperbaharui.

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.39

38

Marc Ancel, 1965, Social Defense A Modern Approach Problem, Routledge & Kegan

Paul, London, hlm. 209. 39

Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3.

43

Sejalan dengan pandangan Marc Ancel dan Mulder, Sudarto menyatakan

bahwa “penal policy dapat diartikan sebagai usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.”40

Pada sumber lain juga Sudarto

menyatakan "bahwa menjalankan politik (kebijakan) hukum pidana juga

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.”41

Esensi teori kebijakan pidana yang dikemukakan Marc Ancel,A. Mulder

dan Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang lingkup dari kebijakan

(politik) hukum pidana (penal policy) secara sistematis dapat dirangkum menjadi

tahapan seperti:

1. Kebijakanlegislative (formulasi)

2. Kebijakan yudikatif (aplikasi)

3. Kebijakan eksekutif (eksekusi)42

Teori ini relevan untuk membahas masalah pertama mengenai pengaturan

dan mekanisme dari penyitaan aset yang sampai saat ini belum ada peraturan

pelaksanaannya dalam bentuk formil untuk perkara korupsi yang digabungkan

dengan perkara pencucian uang, sementara ini pengaturannnya hanya berbentuk

PERMA dan SEMA yang mengikat internal instansi Mahkamah Agung dan tidak

imperatif. Kedepannya diharapkan kebijakan legislatif (formulasi) sebagai

40

Sudarto, 1993, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm. 9. 41

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 19. 42

Arief, Barda Nawawi, 2001, Makalah Penegakan Hukum dan Kebijaksanaan

Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bandung, hlm. 74.

44

langkah awal dalam memformulasi suatu peraturan perundang-undangan

mengenai penyitaan asset sehingga pada pelaksanaannya tidak lagi menimbulkan

kerancuan.

2. Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi hukum telah muncul dalam ihnu hukum di Jerman pada tahun

1992. Penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938). Harmonisasi hukum

dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa

dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya

terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf

Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi

hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan antara

individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler "a just

law aims at harmonizing individual purposes with that of society".43

Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia" yang

artinya :"terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan

kerjasama antaraberbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor

tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Dalam perspektif psikologi diartikan

sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran, dan

perbuatan individu,sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan.44

Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas,

dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan

43

Goesniadhi S, Kusni, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata

Pemerintahan Yang Baik, Nusa Media, Malang, hlm. 2. 44

Sadzily, Hasan, dkk., 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, hlm. 1262.

45

fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu-individu

dengan negara atau pemerintah sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum.

Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang

harmonisasi hukum, diantaranya:

1. L.M.Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup

penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,

keputusan hakim, system hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan

peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan

dan mengorbankan pluralisme hukum.45

2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah

upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,

hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau

proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,

kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam

suatu kesatuan kerangka system hukum nasional.46

3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk

menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan

konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan

peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat

maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan

perundang-undangansehingga tersusun secara sistematis, tidak

saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).47

4. Juniarso Ridwan menyatakan harmonisasi merupakan suatu upaya atau

proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan

dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.48

5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah

untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu

baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis,

45

Gandhi, L.M., 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, (Pidato

Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia

Umum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 88. 46

Goesniadhie, S., Loc.cit. 47

Setiadi, Wicipto, 2007, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki

Kualitas Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Juni 2007, hlm. 48. 48

Ridwan, Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan

Publik, Nuansa, Bandung, hlm. 219-220

46

pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam

berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan

kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum

yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,... dstnya.49

Sidhartamengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan

terjadinya disharmonisasi dalam system hukum dan instrument penyelesaiannya,

yaitu:

1. Terjadinyainkonsistensi secara vertikal dan dari segi format peraturan

yakni peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, misalnya antara

peraturan pemerintah dengan undang-undang. Instrumen

penyelesaiannya adalah asas hukum lex superior derogat lege inferior

derogate lege inferiori, yang artinya adalah peraturan yang lebih tinggi

tingkatannya akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.

2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa

peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu

berlaku daripada yang lain. Instrument penyelesaiannya adalah asas

hukum lex posteriori derogate lege priori, yang artinya adalah

peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan

yang sebelumnya.

3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan,

yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi

peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi

peraturan lainnya. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex

specialist derogate lege generalis, yang artinya adalah peraturan

yang lebih khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang

lebih umum.

4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu

peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan

ketentuan Pasal 15 dari satu undang-undang yang sama. Instrument

penyelesaian adalah asas hukum lex posteriori derogate lege priori,

yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan

mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.

5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda,

misalnya antara undang-undang dan putusan hakim (instrument

penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habeteur,

yang artinya putusan hakim harus dianggap benar sekalipun

bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain

yang mengoreksinya), antara undang-undang yang bersifat memaksa

dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah lex dura sed tamen

scripta, yang artinya undang-undang tidak dapat diganggu gugat Pasal

49

Ibid, hlm. 223.

47

15AE/Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) atau

antara Undang-Undang yang bersifat mengatur dan kebiasaan

(instrument penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie ven kraft

des faktis chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan

memberi kekuatan berlaku normatif).50

Secara umum, dalam instrument penyelesaian disharmonisasi hukum

dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode

konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman, dimasa lalu memang telah

diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode

interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu yang akhirnya diperoleh

sekadar petunjuk yang kabur. Hal ini karena sulit memperoleh pemahaman

tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim dalam mengambil keputusan karena

yangterlihat hanya argument yang dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya.

Selain melalui metode interpretasi dan konstruksi, yang berkaitan

denganinstrument penyelesaian disharmonisasi hukum ini adalah melalui

penemuan hukum (rechtsvinding).

Teori ini relevan digunakan untuk membahas permasalahan kedua

mengenai dualisme yang timbul apabila mencermati pengaturan beban

pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang

relevan dipergunakan sebagai dasar untuk membenarkan penyitaan aset atau harta

kekayaan tersangka yang tidak logis oleh penyidik, dimana terdapat pertentangan

atau konflik norma antara KUHAP dengan norma pada Pasal 37, 37 A UU

50

Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indonesia), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hlm. 62-64.

48

Tipikor serta Pasal 77 UU TPPU yang belum ditegaskan penyelesaian konfliknya

dalam ketentuan yang berlaku tersebut.

3. Teori Keadilan

Tujuan penegakan hukum adalah untuk mencapai keadilan, kepastian

hukum dan kemanfaatan. Terkait dengan keadilan, maka John Rawls berpendapat

keadilan itu adalah suatu fairness. Namun keadilan tidak sama dengan fairness

itu. Rawls menguraikan teori keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: “I then

present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalized

and carries to a higher level of abstraction the traditional conception of the social

contract". Selanjutnya Rawls mengatakan "the primary subject of justice is the

basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social

institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of

advantage from social cooperation".51

Berdasarkan teori yang disampaikan John Rawls tersebut maka untuk

mengetahuidan menemukan adanya fairness, menurut Rawls pertama-tama harus

dilihat bagaimanakah basic structure dari masyarakat itu. Dari basic structure

tertentu akan menghasilkan public rules tertentu pula. Bila basic structure itu

adalah a just political constitution dan a just system of institution maka justice as

fairness akanmungkin dapat tercapai. Namun disadari pula bahwa setelah

ditemukan semua unsur-unsur itu maka awalnya yang dapat tercapai baru sebatas

keadilan formal atau keadilan procedural. Tapi bila dalam prosedur tersebut juga

51

Rawls, John, 1997, A Theorie of Justice, Cambridge, Massachusset, Harvard

University Press, hlm. 27.

49

terfasilitasi harapan masyarakat melalui ketidakberpihakan aparaturnya dan

adanya peradilan yang terbuka dan fair maka keadilan procedural tersebut dapat

berubah menjadi keadilan yang substantive.52

Selanjutnya Rawls menguraikan bagaimana proses agar keadilan tersebut

dapat tercapai. Terkait hal itu maka Rawls mengutarakan penjelasannya sebagai

berikut:53

1. ”what a person depends upon what the public rules say he will be

entitled to,and what a person is entitled to depends on what he does.

...These consideration suggest the idea of treating the question of

distributive shares as a matter of procedural justice".

2. "...the notion of procedural justice is best understood by a comparison

withperfect and imperfect procedural justice... pretty clearly, perfect

procedural justice is rare, if not imposible, in cases of much practical

interest...the characteristic mark of imperfect procedural justice is that

while there is an independent criterion for the correct outcome, there

is no feasible procedure which is sure to lead to it...clearly we can't

say that a particular state of affairs is just because it could have been

reached by following a fair procedure".

3. "... therefore, to apply the notion of pure procedural justice to

distributiveshares it is necessary to set up and to impartiality a just

system of institutions. Only against the background of a just basic

structure, including a just political institution..., can one say that the

requsite just procedure exist".

Apabila keadilan diartikan sebagai fairness maka untuk mencapai keadilan

tersebut yang pertama-tama harus dipahami adalah bahwa apa yang dilakukan

seseorang tergantung apa yang sudah diatur untuk dia dalam hukum. Gagasan

demikian ini merupakan a matter of procedural justice. Memahami ide

procedural justice ini dapat dimengerti dengan lebih baik jika membandingkan

antara procedural justice yang sempurna dengan yang tidak sempurna. Kita tidak

dapat mengatakan suatu hal adalah adil hanya jika telah mengikuti prosedur secara

52

Ibid, hlm. 30. 53

Ibid, hlm. 30-31.

50

adil. Oleh karena itu untuk mencapai keadilan diperlukan satu ketentuan (public

rules) dan prosedurnya sekaligus. Keadilan belum akan tercapai hanya dengan

telah mengikuti seluruh prosedur secara jujur saja melainkan masih diperlukan

suatu sistem kelembagaan yang didukung oleh penetapan politik (hukum) dengan

struktur dasar yang adil. Bila hal-hal itu sudah ditemukan maka keadilan

procedural yang sempurna menurut teori keadilan procedural murni ini akan

dapat dicapai. Keadilan ini juga disebut sebagai keadilan substantive. Dengan kata

lain, keadilan ini adalah keadilan yang didasarkan pada hukum (public rule).54

Berdasarkan teori keadilan oleh John Rawls tersebut, maka diperlukan

prosedur atau mekanisme dalam sistem peradilan pidana untuk mencapai keadilan

substantive.

Hukum selalu berkaitan dengan kepastian dan keadilan sebagai dua poros

yang saling berlawanan, bahkan saling melengkapi dari berbagai sudut pandang.

Hal tersebut biasanya dipahami dalam pergulatan dengan kekuasaan. Setiap

tindakan penguasa harus berdasarkan hukum, bukan kekuasaan belaka, yang

bertujuan untuk membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi

kepentinganmasyarakat, yaitu perlindungan terhadap HAM dan anggota

masyarakat dari tindakan sewenang-wenang.55

Hukum dan HAM merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan,

seperti dua sisi mata uang. Apabila suatu bangunan hukum dibangun tanpa

memperhatikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dalam HAM, maka hukum

tersebut dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasannya

54

Ibid, hlm. 31-32. 55

Mardjuk, Suparman, 2011, Tragedi Politik Hukum dan HAM, Pustaka Belajar, Jakarta,

hlm. 1.

51

(abuse of power). Sebaliknya, apabila HAM dibangun tanpa didasarkan pada

suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut akan rapuh dan mudah

untuk dilanggar. Demikian juga dalam suatu negara hukum, muncul sebuah

korelasi yang sangat erat antara negara hukum dan penegakan hukum.56

Teori Keadilan relevan untuk membahas permasalahan kedua dimana

tindakan penyitaan sebagai bagian wewenang yang dimiliki penyidik, sangat

strategis kedudukannya baik untuk kepentingan pembuktian suatu perkara juga

untuk pemulihan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak korupsi yang

merugikan keuangan negara. Namun demikian sebagai salah satu tindakan yang

bersifat "upayapaksa" maka pelaksanaannya harus dalam koridor hukum acara

yang berlaku sehingga tidak menjadi sarana bagi penegak hukum untuk berbuat

sewenang-wenang.

4. Teori Kewenangan

Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh

kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah melalui tindakan yang

namanya "wewenang". Secara keilmuan hukum wewenang merupakan konsep inti

dalam ranah hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Wewenang yang

dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang

lazimnya disebut dengan "teori kewenangan".

Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi

imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya.

56

Ramli, Akhmad M, 2009, Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia,

Widya Padjajaran, Bandung, hlm. 224.

52

Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak

dan kekuasaan yang dipunyai untukmelakukan sesuatu, berwenang artinya

mempunyai/mendapat hak dankekuasaan untuk meiakuKan sesuatu.57

Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna

wewenang tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti:

1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan

dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum

publik dalam hubungan hukum publik.

2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai

kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat

diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.58

3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikanoleh

suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku untukmenimbulkan

akibat-akibat hukum yang sah.59

4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.60

Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dari

wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:

1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik.

2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.

57

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar

BahasaIndonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm : 1128. 58

Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program

Pasca Unibraw, Malang, hlm : 52 59

Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan TataUsaha

Negara, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, hlm : 94. 60

Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum

Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 51.

53

3. Adanya kemampuan bertindak.

4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.

5. Diberikan oleh undang-undang.

6. Mengandung hak dan kewajiban.

7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.

Wewenang dengan unsur-unsur di atas. tidak secara otomatis diperoleh

atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk

memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van

Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegatie dan mandat. Yang

masing-masing dimaknai sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi

adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organpemerintahan kepada

organ pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi ketika organ

pemerintahan mengijinkan wewenangnyadijalankan oleh organ lain atas

namanya.61

Kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan (atribusi) secara

jelas dinyatakan diberikan kepada organpemerintahan. KPK sebagai pelaksana

penegakan hukum publik yang mengemban tugas penyidikan dan penuntutan.

Landasan tugas dan wewenang bagi KPK tersebut mulai dari amanat konstitusi

berupa UUD Negara RI Tahun 1945, UU KPK dan UU Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

61

HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa

Bab Pokok Hukum Administrasi, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 58.

54

5. Teori Fungsional/Teori Fungsi

Pencetus teori fungsional atau teori fungsi ini adalah ahli hukum di

Rotterdam-Belanda bernama J. Ter Heide. Esensi ajaran dari teori fungsi ini

terkait dengan hukum bahwa "berfungsinya hukum dapat dipahami sebagai

pengartikulasian (produksi/hasil) suatuhubungan yang ajeg diantara sejumlah

variabel. Ter Heide merumuskan hubungan yang ajeg itu dengan rumus : B: FPE

artinya perilaku yuris. hakim, dan pembentuk undang-undang (B) berada dalam

suatu hubungan yang ajeg (F) terhadap sesuatu pihak berbagai kaidah hukum (P)

dalam pihak di lingkungan kongkret (K). maka inti teori fungsi ini terkait dengan

hukum, dilihat dari aspek fungsi hukum atau kegunaan hukum tersebut maka para

yuris, hakim, pembentuk undang-undang dalam menjalankan fungsi atau perannya

masing-masing harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat

banyak.62

Dalam Sistem Peradilan Pidana salah satu lembaga (structure)

termasuk sebagai pelaksana penegakan hukum sekaligus sebagai penyidik adalah

KPK. Fungsi KPK salah satunya adalah melakukan penyidikan yang diberikan

kewenangan secara atributif oleh undang-undang. Kewenangan atributif ini

sebagai bentuk pelaksanaan kongkrit dari asas legalitas (formal) dalam tugas yang

diberikan oleh hukum acara pidana. KPK dalam menjalankan fungsi penyidikan

tersebut mengemban misi penyitaan, juga perampasan mewakili negara seperti

diamanatkan oleh KUHAP maupun Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2002

tentang KPK.

62

Salim, HS., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,

RajawaliPers,Jakarta, hlm : 73

55

Fungsi KPK sebagai penyidik secara prinsip adalahdiberikan

kewenangan oleh undang-undang untuk menyita setiap aset yang diduga hasil

dari suatu tindak pidana. Tidak terkecualitermasuk pula untuk menuntut seseorang

yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dengan tujuan pula guna

menegakkan keadilan, kemanfaatan serta kepastian atas terjadinya suatu tindak

pidana termasuk salah satunya berupa tindak pidana korupsi, yang di dalamnya

mengandung dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau kerugian

perekonomian negara, maka menjadi keharusan karena kewenangan dari KPK

untuk memulihkan penegakan hukumnya melalui upaya pengembalian kerugian

keuangan negara tersebut melalui tindakan hukum berupa penyidikan di depan

proses peradilan.

Sesuai dengan esensi teori fungsi hukum tersebut agar hukum itu dapat

bermanfaat atau berguna untuk kepentingan hukuni flu sendiri. Dalam mencapai

kegunaan atau manfaat dari fungsi hukum khususnya dalam pengembalian

kerugian keuangan negara dari akibat adanya tindak pidana korupsi oleh koruptor,

maka melalui fungsi KPK dalam penyitaan itulah diharapkan peran optimalnya

difungsikankewenangan atributif yang dimiliki KPK untuk menyita aset koruptor

di tingkat penyidikan (proses penegakan hukum).

56

Kerangka Berpikir

FUNGSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYITAAN ASET

TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN PENCUCIAN UANG

Latar Belakang

1. Fenomena hukum

pemberantasan tindak

pidana korupsi melalui

penggunaan hukum pidana

pencucian uang dengan

penyitaan aset tersangka

sebagai langkah awal.

2. Pengaturan mengenai

penyitaan aset baru diatur

secara limitative dalam

KUHAPdan pelaksanaannya

dalam bentuk PERMA dan

SEMA bukan dalam

peraturan perundang-

undangan formil

menimbulkan ketidak

pastian hukum.

3. Terjadinya penyitaan aset

yang tidak logis oleh

penyidik menggunakan

dasar pembenar adanya

beban pembuktian terbalik

yang mana belum dikenal

dalam KUHAP dan

bertentangan dengan HAM

Rumusan Masalah I

Bagaimanakah pengaturan

dan mekanisme penyitaan

aset tersangka korupsi yang

disangka pula melakukan

tindak pidana pencucian

uang menurut hukum positif

di Indonesia

Landasan Teoritis

1. Asas-asas Hukum

- Due process of law

- Preferensi Hukum

- Presumption of Innocence

- Non-self incrimination

2. Konsep-konsep Hukum

- Perlindungan Hukum

- Kepastian Hukum

Rumusan Masalah II

Apa dasar pertimbangan

penyidi KPK dalam menyita

aset koruptor yang dianggap

nilai / jumlahnya tidak

logis ?

Teori Hukum

1. Teori-teori Hukum

- Kebijakan Hukum Pidana

- Harmonisasi Hukum

- Keadilan

- Kewenangan

- Fungsional / fungsi

Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian : Yuridis

normatif

2. Jenis Pendekatan

- Perundang-undangan

- Konseptual

-Kasus

- Komparatif

3. Sumber bahan hukum :

primer, sekunder, tertier

4. Teknik pengumpulan bahan

hukum dengan studi

dokumen (mengumpulkan,

menginventarisir mencatat

bahan hukum)

5. Teknik analisis bahan

hukum : teknik deskripsi,

interpretasi, evaluasi,

argumentasi.

Sasaran

1. Pengaturan dan mekanisme penyitaan aset tersangka dalam

penanganan perkara korupsi dan pencucian uang masih diatur

secara limitative dalam KUHAP dan pelaksanaannya belum

mengikat karena masih diatur dalam bentuk PERMA dan SEMA

akan berimplikasi pelaksanaannya di lapangan menimbulkan

ketidak pastian hokum terhadap penyitaan aset yang tidak

berkorelasi dengan perkara/tidak logis.

2. dasar pertimbangan bagi penyidik KPK dalam menyita aset

koruptor yang nilainya dianggap tidak logis / tidak pantas

57

1.8. Metode Penelitian

1.8.1 JenisPenelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode

Yuridis Normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research)yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hukum

baik dalam arti law as it is written in the book, maupundalam arti law as it is

decided by judge through judicial proces's.63

Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan, dan

mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter

Mahmud Marzuki, "Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi.”64

Menurut Morris L. Cohen dan Kent C.

Olson mengemukakan bahwa "Legal research is an essential component of legal

practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials

that explain or analyze that law".65

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa,

“dalam ilmu hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum

normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.”66

Penelitian hukum

Normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal dan juga

63

Dworking, Ronald, 1973, Legal Research, Daendalus, 1973, h. 250, dalam Yenti

Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 40 64

Mahmud Marzuki, Peter, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta,

hlm. 35. 65

Cohen, Morris, L. dan Olson, Kent, C., 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh

Edition, ST. Paul, Minn, West Group, hlm. 1. 66

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI)

Press), Jakarta, hlm. 51.

58

disebutpenelitian hukum perpustakaan. Disebut penelitian hukum doktrinal karena

penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan- peraturan yang tertulis atau

bahan-bahan hukum lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau

studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan perpustakaan atau

studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum

yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.67

1.8.2 Jenis Pendekatan

Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah yuridis

normatif,dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan

kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatankomparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptualapproach).68

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian

adalah yang

berkorelasi dengan penyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi danpencucian

uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik, yaitu :69

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan

denganmenelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

denganpenyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian uang

dikaitkandengan beban pembuktian terbalik yang masih diatur secara limitatif

danperaturan pelaksanaan formilnya belum ada, sebagai berikut:

67

Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm. 31. 68

Mahmud Marzuki, Peter, op. cit., hlm. 93. 69

Mahmud Marzuki, Peter, op. cit., hlm. 93-95

59

UN Convention Against Corruption/UNCAC yang diratifikasi dalam UU

RINo. 7Tahun2006.

UN Convention Against Transnational Organized Crawe/UNCATOC

yang diratifikasi dalam UU RI No. 5 tahun 2009.

UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on

Civil and Political Rights.

UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU

RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan MA No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penyelesaian

Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, dan

SEMA No.3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara, Tata Cara

Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu

hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-

pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan

dengan isu penyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian

uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik yang diteliti.

60

c. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus terkait dengan isu yang dihadapi serta telah menjadi putusan

pengadilan yang berkekuatan tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi

di Indonesia yaitu Perkara Djoko Susilo, Gayus Tambunan, Ahmad Fathanah

dan Lutfi Hasan.

d. Pendekatan komparatif (comparative approach) dilakukan dengan

membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari

satu atau lebih Negara lain atau putusan pengadilan di beberapa Negara untuk

kasus yang sama, guna memperoleh persamaan dan perbedaan di antara

undang-undang atau putusan tersebut. Dalam penelitian ini dibandingkan

antara undang-undang terkait penyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi

dan pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dengan

undang-undang terkait di Amerika Serikat.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum Normatif, menggunakan bahan hukum primer, sekunder,

dan tersier mencakup:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan hakim, yang berkorelasi penyitaan aset tersangka dalam

perkara korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian

terbalik terdiri dari :

61

UN Convention Against Corruption/UNCAC yang diratifikasi dalam

UURINo. 7Tahun2006.

UN Convention Against Transnational Organized

Crime/UNCATOC yang diratifikasi dalam UU RI No. 5 Tahun 2009.

UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

on Civil and Political Rights.

UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang.

UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU

RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan MA No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penyelesaian

Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, dan

SEMA No.3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara, Tata Cara

Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi yang berkorelasi penyitaan asset

tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban

pembuktian terbalik. Publikasi tentang hukum meliputi bahan hukum yang

terdiri dari karya ilmiah yang berupa buku teks (textbook), jurnal hukum,

karya tulis dan makalah hukum baik yang ditulis dari para sarjana diIndonesia

maupun di luar negeri dan baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa

62

asing yang dimuat di media cetak, media massa maupun media elektronik

yang menyangkut dan berhubungan dengan materi penyitaan asset tersangka

dalam perkara korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban

pembuktian terbalik dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Selain

itu rancangan undang-undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan

lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus

hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti

kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait

dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-

istilah yang berkorelasi penyitaan asset tersangka dalam perkara korupsi dan

pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dan lain-lain.70

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang

dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang

selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan sistem kartu.

Dalamsistem kartu ini dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan

70

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.

63

memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan penyitaan asset tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian

uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik yang dibahas.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

setelah bahan-bahan hukum mengenai penyitaan asset tersangka dalam perkara

korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik

dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis

bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini digunakan

beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu:

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap

suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non

hukum.

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam

ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, histori, sistematis,

teleologis, kontektual, dan lain-lain.

3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun

dalam bahan hukum sekunder.

4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukummakin banyak

argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.71

71

Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian

dan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Denpasar, hlm. 34-35.