bab2_16.pdf

49
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Terkait 1. Konsep Keluarga a. Pengertian Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama. Sedang Morgan (1977) dalam Sitorus (1988) menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak). Namun secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu mereka. Menurut Duvall (1997) keluarga adalah sekelompok orang yang dihubungkan oleh ikatan pernikahan, adopsi, kelahiran, yang bertujuan menciptakan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari setiap anggota. Menurut Depkes RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal dalam satu atap dalam keadaan saling tergantung. Menurut Salvion G Bailon Maglaya (1989), keluarga adalah dua atau lebih

Transcript of bab2_16.pdf

Page 1: bab2_16.pdf

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Terkait

1. Konsep Keluarga

a. Pengertian

Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang

yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum)

yang memiliki tempat tinggal bersama. Sedang Morgan (1977) dalam Sitorus

(1988) menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang

didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan

kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak). Namun secara

dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan

sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama

dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu

mereka.

Menurut Duvall (1997) keluarga adalah sekelompok orang yang

dihubungkan oleh ikatan pernikahan, adopsi, kelahiran, yang bertujuan

menciptakan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari setiap

anggota. Menurut Depkes RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari

masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang

terkumpul dan tinggal dalam satu atap dalam keadaan saling tergantung.

Menurut Salvion G Bailon Maglaya (1989), keluarga adalah dua atau lebih

Page 2: bab2_16.pdf

dari dua individu yang tergantung karena hubungan darah, perkawinan,

pengangkatan dan merupakan hidup dalam satu rumah tangga, beriteraksi satu

sama lain, dan perannya masing-masing dalam menciptakan dan

mempertahankan kebudayaan.

b. Tipe-Tipe Keluarga

Keluarga dapat dibagi menjadi beberapa tipe diantaranya, yaitu:

1) Secara tradisional

a) Nuclear family yaitu merupakan suatu keluarga inti yang terdiri dari

ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau

keduanya.

b) Extended family (keluarga besar) adalah keluarga inti ditambah

anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-

nenek, paman-bibi).

2) Secara modern

a) Keluarga bentukan kembali adalah keluarga baru yang tebentuk dari

pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.

b) Single parent family (orang Tua tunggal) yaitu keluarga yang terdiri

dari salah satu orang tua baik ibu atau ayah saja beserta anaknya

akobat perceraian atau di tinggal pasangannya.

c) Ibu dengan anak tanpa perkawinan

Page 3: bab2_16.pdf

d) The Single adult living alone yaitu orang dewasa (laki-laki atau

perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah.

e) Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya biasanya dapat

dijumpai pada daerah kumuh perkotaan besar, tetapi pada akhirnya

mereka dinikahkan oleh pemerintah daerah meskipun usia pasangan

tersebut telah tua demi status anak-anaknya.

f) Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama

(gay and lesbian family).

c. Struktur Keluarga

a) Patrilineal yaitu keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah

dalam beberapa generasi dimana hubungan itu dari garis ayah.

b) Matrilineal yaitu keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah

dalam beberapa generasi dari jalur ibu.

c) Matrilokal yaitu sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah istri.

d) Patrilokal yaitu sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah suami.

e) Keluarga kawinan yaitu hubungan suami-istri sebagai dasar bagi

pembimbingan keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian

keluarga karena adanya hubungan dengan suami istri.

Page 4: bab2_16.pdf

Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga

melaksanakan fungsi keluarga dimasyarakat sekitarnya. Parad dan Caplan

(1965) yang diadopasi oleh Friedman mengatakan ada 4 elemen struktur

keluarga, yaitu:

a) Struktur peran keluarga menggambarkan masing-masing anggota keluarga

dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masyarakat atau peran

formal dan informal.

b) Nilai atau norma keluarga menggambarkan nilai dan norma yang

dipelajari dan diyakini oleh keluarga khususnya yang berhubungan dengan

kesehatan.

c) Pola komunikasi keluarga menggambarkan bagaimana cara dan pola

komunikasi ayah ibu (orang tua), orang tua dengan anak, anak dengan

anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga

inti.

d) Struktur kekuatan keluarga menggambarkan kemampuan anggota keluarga

untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah

perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.

d. Fungsi Keluarga

Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut:

Page 5: bab2_16.pdf

1) Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang utama

untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga

untuk berhubungan dengan orang lain.

2) Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social

placement function) adalah fungsi mengembangkan dan temapat melatih

anak untuk berkehidupan social sebelum meninggalkan rumah untuk

berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

3) Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk

mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

4) Fungsi ekonomi (the economic function) adalah keluerga berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk

mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga.

5) Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the healt care function) yaitu

fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar

tetap memiliki peroduktivitas tinggi. Fungsi ini diklembangkan menjadi

tugas keluaga dibidang kesehatan.

Dari beberapa fungsi diatas, ada tiga fungsi pokok keluarga terhadap

anggota keluarga adalah:

1) Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan

kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tunbuh dan

berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

Page 6: bab2_16.pdf

2) Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar

kesehatan terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan mereka anak-anak

yang sehat baik mental, social dan spiritual.

3) Asah adalah memenuhi kabutuhan pendidikan anak sehingga siap menjadi

dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa.

e. Peran keluarga

Berbagai peranan yang terdapat dalam keluraga adalah sebagai berikut:

1) Peran ayah: ayah sebagai suami dari istri dan dan menjadi bapak dari nak-

anaknya, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan

pemberi rasa aman. Sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari

kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

2) Peran ibu: sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai

peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik

anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari

lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari

nafkah tambahan dalam keluarga.

3) Peran anak: anak-anak menjalankan peranan psikososial sesuai dengan

tingkat perkembangan baik fisik, mental, social dan spiritual.

Peran keluarga meliputi yaitu :

1) Pembinaan agama/religious

Mendorong dan membantu meningkatkan ketaqwaan kehidupan beragama

melalui kegiatan pengajian, penyediaan sarana dan media.

Page 7: bab2_16.pdf

2) Pembinaan fisik

Memberitahu dan menyediakan makanan yang bergizi dan sesuai dengan

kebutuhan anggota keluarga. Memotifasi anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa untuk tetap melakukan aktivitas yang baik dan

tidak merugikan orang lain. Merawat anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa atau menderita penyakit atau mengalami gangguan

kasehatan.

3) Membina mental/jiwa

Apabila anggota keluarga tidak dapat menerima atau menyesuaikan diri

dengan adanya perubahan tersebut, dapat menimbulkan kecemasan,

kekecewaan, mudah tersinggung. Oleh karena itu diharapkan keluarga

dapat membantu anggota keluarga untuk saling membantu dalam

menghadapi permasalahan.

4) Pembinaan sosial ekonomi

a) Keluarga diharapkan dapat menciptakan suasana yang menyenangkan

bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dimana mereka

masih diperhatikan dan dibutuhkan oleh keluarganya.

b) Motivasi untuk mengembangkan hobi atau melakukan pekerjaan yang

ringan sebagai pengisi waktu agar klien tetap aktif.

Page 8: bab2_16.pdf

c) Keluarga diharapkan dapat membantu, sehingga anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa dapat terpanuhi kebutuhannya dan

tidak perlu merasa cemas akan kepastian hidup.

f. Tahap-tahap kehidupan keluarga dan perkembangan

Tahap-tahap kehidupan keluarga menurut Duvall dan Miller

(Friedman, 1998) adalah sebagai berikut:

1) Tahap I : Pasangan Baru (Keluarga Baru)

Dimulai saat individu laki-laki (suami) dan perempuan (istri) membentuk

keluarga melalui perkawinan yang sah.

Tugas perkembangan:

Membina hubungan intim yang memuaskan, membina hubungan dengan

keluarga lain, teman, kelompok social dan mendiskusikan rencana

memiliki anak.

2) Tahap II : Kelahiran Anak Pertama (Child Bearing).

Tahap kelahiran anak pertama, keluarga yang menintikan kelahiran

dimulai dari kehamilan sampai kelahiran anak pertama dan berlanjut

sampai anak pertama berusia 3 bulan.

Tugas perkembangan:

Persiapan emnjadi orang tua, adaptasi dengan perubahan anggota

keluarga, peran, interaksi, hubungan seksual dan kegiatan serta

mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.

3) Tahap III : Keluarga dengan Anak Pra Sekolah

Page 9: bab2_16.pdf

Tahap keluarga dengan pra sekolah dimulai saat kelahiran anak pertama

berusia 2,5 tahun dan berakhir saat anak berusia 5 tahun.

Tugas perkembangan:

Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan tempat tinggal,

privasi dan rasa aman, membantu anak untuk bersosialisasi, beradaptasi

dengan anak yang baru lahir dan sementara kebutuhan anak yang lain juga

haurd terpenuhi serta mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam

maupun diluar keluarga dan lingkungan sekitar, pembagian waktu unuk

individu pasangan dan anak (tahap paling repot), pembagian tangguang

jawab anggota keluarga serta memberikan kegiatan dan waktu untuk

tumbuh dan kembang anak

4) Tahap IV : Keluarga dengan anak sekolah

Keluarga dengan anak sekolah dimulai saat anak masuk sekolah pada usia

6 tahun dan berakhir pada usia 12 tahun.

Tugas perkembangan:

Membantu sosialisasi tentang sekolah dan lingkungan, mempertahankan

keintiman pasangan, memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang

semakin meningkat termasuk kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan

anggota keluarga.

5) Tahap V : keluarga dengan anak remaja

Page 10: bab2_16.pdf

Keluarga dengan anak remaja dimulai pada saat anak pertama berusia 13

tahun dan biasanya berakhir 6-7 tahun kemudian, yaitu pada saat anak

meninggalkan rumah orang tuanya.

Tugas perkembangan:

Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab

mengingat remaja yang sudah bertambah dewasa dan meningkat

otonominya, mempertahankan hubungan yang intim dalam keluarga,

mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, hindari

perdebatan, kecurigaan dan permusuhan serta perubahan system peran dan

peraturan untuk tumbuh kembang keluarga.

6) Tahap VI : keluarga dengan anak dewasa (pelepasan)

Keluarga dengan anak dewasa (pelepasan) dimulai pada saat anak yang

pertama meninggalkan rumah dan berakhir pada saat anak terakhir

meninggalkan rumah

Tugas perkembangan:

Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar, mempertahankan

keintiman pasangan, membantu orang tua, membantu anak untuk mandiri

di masyarakat dan penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.

7) Tahap VII :keluarga dengan usia pertengahan

Page 11: bab2_16.pdf

Keluarga usia pertengahan dimulai pada saat anak terakhir meninggalkan

rumah dan berakhir pada saat pension dan salah satu pasangan meninggal.

Tugas perkembangan:

Mempertahankan kesehatan, mempertahankan hubungan yang memuaskan

dengan teman sebaya dan anak-anak serta meningkatkan keakraban

pasangan.

8) Tahap VIII : keluarga usia lanjut

Keluarga usia lanjut, perkembangan keluarga ini dimulai saat salah satu

dari pasangan pensiun, berlanjut sampai pada salah satu pasangan

meninggal sampai keduanya meninggal.

Tugas perkembangan:

Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan, adaptasi dengan

perubahan kehilangan pasangan, teman, kekuatan fisik dan pendapatan,

mempertahankan keakraban suami dan istri serta saling merawat,

mempertahankan hubungan dengan anak dan social masyarakat,

melakukan “Life Review”.

g. Tugas-tugas pokok keluarga

Ada delapan tugas pokok keluarga adalah sebagai berikut:

1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2) Pemeliharaan sumber daya yang ada dalam keluarga.

Page 12: bab2_16.pdf

3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya

masing-masing.

4) Sosialisasi antar anggota keluarga.

5) Pengaturan dan jumlah anggota keluarga.

6) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

8) Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.

2. Dukungan Keluarga

Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb,(1983)

sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah

laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam

lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat

memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku

penerimanya. Atkinson,(2000) mengatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada

kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang

menerima dari orang-orang atau kelompok lain. Dalam hal ini orang yang merasa

memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan,

mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dukungan keluarga

adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.

Page 13: bab2_16.pdf

Keluarga terdiri atas suami, istri, anak dan untuk indonesia dapat meluas

mencakup saudara dari kedua belah pihak (Rahcmati cit sukardi,2002).

Dukungan sosial dianggap merupakan strategi koping penting untuk

dimiliki keluarga saat mengalami dan secara langsung memperkokoh kesehatan

mental individual dan keluarga (Friedman, 1998). Kane (1998) dikutip dari

Friedman (1998) mendefinisikan dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses

hubungan antara keluarga dengan lingkungannya. Dukungan sosial keluarga

adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan. Sifat, jenis dan

sumber dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap siklus kehidupan.

Friedman (1998) menjelaskan sumber dukungan sosial keluarga dapat berasal dari

internal maupun eksternal seperti budaya, agama, status sosial ekonomi dan

linkungan. Sumber-sumber dukungan ini akan semakin berkurang sejalan dengan

pertambahan sosial seseorang.

House dan Kahn (1985) dan Thoits (1982) dikutip dari Friedman (1998) ,

terdapat 4 jenis dukungan sosial, yaitu :

a. Dukungan Informasional

Keluarga menurut Caplan (1976), dalam Friedman (1998) berfungsi sebagai

sebuah kolektor dan diseminator (penyebar informasi) tentang dunia.

b. Dukungan Penilaian

Keluarga sebagai umpan balik , membimbing, dan menangani masalah, serta

sebagai sumber dan validator identitas anggota (Friedman, 1998).

c. Dukungan Instrumental

Page 14: bab2_16.pdf

Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit (Friedman,

1998)

d. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yanga aman dan damai untuk istirahat dan dapat

membantu penguasaan terhadap emosi (Friedman,1998).

Komalasari (1991) menyempuranakan jenis dukungan sosial dengan

mengambil pandangan Barera dan Ainlay dalam Vaux (1998) menjadi :

a. Dukungan Materiil/Finansial, yaitu memberi bantuan materi atau uang.

b. Dukungan Praktis/Instrumental, yaitu berbagi tugas antar anggota keluarga

c. Dukungan Emosional, dalam bentuk diskusi atau konseling non-direktif

d. Dukungan Bimbingan, yaitu memberikan nasihat, informasi dan instruksi

e. Dukungan Umpan Balik, Yaitu umpan balik terhadap perilaku, pikiran dan

perasaan.

f. Dukungan Pergaulan, dalam bentuk interaksi sosial seperti aktivitas hiburan,

rekreasi, dan waktu luang untuk kesenangan dan relaksasi.

g. Dukungan Spiritual, yaitu memberikan dukungan dalam kegiatan keagamaan

seperti ibadah , dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Chung, 1995), bahwa dukungan sosial

keluarga dapat mengurangi efek negatif stres dan mencegah tingginya depresi

pada pasien. Hogstel, (1995) bahwa keluarga merupakan support system yang

Page 15: bab2_16.pdf

berarti keluarga dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan mental klien,

peristiwa dalam hidupnya dan sistem dukungan yang diterima, sistem dukungan

adalah penting bagi kesehatan pada sistem gangguan jiwa , terutama secara fisik

dan emosi.

3. Konsep Perilaku

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang

(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem

pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur

pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi

manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat

aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan stimulus atau rangsangan

disini terdiri 4 unsur pokok, yakni sakit & penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih terinci perilaku

kesehatan itu mencakup :

a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia

berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit

atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif

(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit atau sakit tersebut.

Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan

tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :

1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan

(health promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi,

olah raga, dan sebagainya.

Page 16: bab2_16.pdf

2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour) adalah

respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai

kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan

sebagainya. Termasuk perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada

orang lain.

3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking

behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,

misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari

pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri,

dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional

(dukun, sinshe, dan sebagainya).

4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation

behaviour) yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha

pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya

melakukan diet, mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam rangka

pemulihan kesehatannya).

b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang

terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern

maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas

pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang

terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas,

petugas dan obat-obatan.

Page 17: bab2_16.pdf

c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respons seseorang

terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini

meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta

unsur-unsur yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan,

dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita.

d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour)

adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan

manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu

sendiri. Perilaku ini antara lain mencakup:

1) Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya komponen,

manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.

2) Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut

segi-segi higiene, pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.

3) Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah

cair. Termasuk didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah

yang sehat serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik.

4) Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,

pencahayaan, lantai, dan sebagainya.

5) Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor)

dan sebagainya.

Page 18: bab2_16.pdf

Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau

reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru

terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni

yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan

menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

Didalam suatu pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi

oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.

Faktor-faktor tersebut antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi,

emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya.

Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia

karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk

menjadi perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan

saraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron.

Neuron memindahkan energi-energi didalam impuls-impuls saraf. Impuls-

impuls saraf indera pendengaran, penglihatan, pembauan, pengecapan dan

perabaan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls

saraf ke susunan saraf pusat.

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui

melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca

indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati

objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk

Page 19: bab2_16.pdf

bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam

bentuk perilaku.

Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang

mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada

hakekatnya merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai

kedewasaan semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan

hukum perkembangan.

Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan

dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu

perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui

suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi

2, yakni faktor intern dan ekstern.

Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,

motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.

Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non

fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang

tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-

proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk

melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu objek.

Page 20: bab2_16.pdf

Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan (health related behavior) sebagai berikut :

a. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan

kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah

penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan

sebagainya.

b. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang

dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan

mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini

kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit,

penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau

kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh

kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan /

kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama

kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab

terhadap kesehatannya.

4. Konsep Defisit Perawatan Diri

a. Pengertian

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam

memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan

Page 21: bab2_16.pdf

dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan

terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (

Depkes 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk

melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting)

(Nurjannah, 2004).

Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan

untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan

fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak

mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan

Wartonah 2000 ).

Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat

penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi

kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri dangat dipengaruhi

oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di

antaranya kebudayaan , sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang

terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.

Hygiene adalah ilmu kesehatan. Cara perawatan diri manusia untuk

memelihara kesehatan mereka disebut hygiene perorangan. Cara perawatan

diri menjadi rumit dikerenakan kondisi fisik atau keadaan emosional klien,

selain itu, beragam faktor pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktik

higiene klien.

Personal hygiene atau kebersihan diri adalah kemampuan seseorang

dalam melakukan perawatan diri yang terdiri dari empat area yaitu mandi,

Page 22: bab2_16.pdf

makan, toilet dan kebersihan pakaian tanpa bantuan dari orang lain (Ruth F

Craven, 2000).

Penampilan umum klien dapat menggambarkan pentingnya hygiene

pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan knsep subjective seseorang

tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh ini dapat seringkali berubah. Citra

tubuh mempengaruhi cara mempertahankan hygiene. Klien yang kelihatan

tidak rapih atau tidak tertarik pada hygiene membutuhkan pendidikan tentang

pentingnya hygiene.

Biasanya setiap pasien yang dirawat inap kurang memperhatikan atau

bahkan tidak memperhatikan kebersihan dirinya dikarenakan penurunan

motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami

individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan

perawatan diri kondisi fisik yang tidak memungkinkan pasien tersebut mampu

melakukan perawatan dirinya sendiri. Meskipun dapat melakukannya,

kemungkinan hanya sebatas kemampuannya dan pasti tidak akan terpenuhi

semuanya. Dalam menjaga kebersihan dan perawatan diri pasien, keluarga

sangat berpengaruh untuk membantu pasien dalam memenuhi kebersihan

dirinya. Di rumah sakit pun masih banyak pasien yang tidak mampu

melakukan pemenuhan perawatan diri (kebersihan diri). Langkah sederhana

yang dapat diupayakan untuk pemenuhan perawatan diri (personal hygiene)

pasien adalah memberikan pemahaman yang benar tentang perawatan diri

(personal hygiene), sehingga diharapkan agar pasien tetap memperhatikan

perawatan dirinya. Terkait dengan hal tersebut, berbagai informasi seputar

Page 23: bab2_16.pdf

perawatan diri (personal hygiene) sangat berguna memberikan pengetahuan

yang benar tentang personal hygiene dalam menentukan sikap serta perilaku

nantinya dapat berguna dalam hal ini khususnya pasien-pasien rawat inap dan

masyarakat pada umumnya.

Jika seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang

diperhatikan. Hal ini terjadi karena kita menganggap masalah kebersihan

adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan terus dapat

mempengaruhi kesehatan secara umum.

Pada tahun 1959 dikembangkan suatu teori untuk mengarahkan

praktek mahasiswa keperawatan yang dikemukakan oleh Dorothea Orem.

proses menjadi teori berlangsung dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1979,

teori ini dikenal dengan Capable Of Care (mampu merawat diri sendiri).

Ada 3 bentuk teori yang disampaikan oleh Orem, yaitu :

1) Teori self care, adalah teori yang mengungkapkan hubungan tindakan

untuk merawat diri dengan perkembangan dan fungsi individu.

2) Teori self care deficiensi, teori ini mengungkapkan klien dalam hal ini

pasien halusinasi tidak mampu merawat diri.

3) Teori nursing system, yaitu perawatan yang terapeutik dapat dilakukan

secara mandiri oleh pasien halusinasi atau diperlukan keterlibatan suatu

system untuk memenuhinya.

Fokus dari ketiga teori ini adalah mempertahankan kehidupan, kesehatan,

dan kesejahteraan. Klien dalam teori ini adalah suatu unit yang digambarkan

Page 24: bab2_16.pdf

berfungsi secara biologik, simbolik, dan sosial, yang menghendaki aktivitas

diri merawat diri sendiri dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan

kesejahteraan.

Tingkat kemadirian terdiri dari tingkat level 0 yang menggambarkan

kemandirian penuh sampai level yang menggambarkan tingkat

ketergantungan penuh. Adapun uraian sebagai berikut :

1) Tingkat 0 : Kemandirian penuh dalam kegiatan sehari-hari,

2) Tingkat 1 : Menggunakan alat-alat atau bahan bentuk kegiatan

kemandirian tanpa ketergantungan.

3) Tingakt 2 : Diperlukan kebutuhan bantuan atau supervisi dari orang lain

kegiatan kemandirian yang lengkap.

4) Tingkat 3 : Diperlukan kebutuhan bantuan atas supervisi dari orang lain

dan penggunaan alat bantu atau peralatan.

5) Tingkat 4 : Ketergantungan penuh pada yang lain kegiatan bantuan

kemandirian.

Pada konsep manajemen keperawatan pasien yang dirawat inap akan

dikatagorikan berdasarkan tingkat ketergantungan yang dialaminya,

Swansburg (1999) mengelompokkan ketergantungan pasien menjadi lima

katagori yaitu :

1) Katagori I : Perawatan Mandiri, yang meliputi aktivitas sehari-hari, pada

katagori ini seperti makan dan minum dapat dilakukan secara mandiri atau

dengan sedikit bantuan, merapikan diri, kebutuhan eliminasi dan

kenyamanan dilakukan secara mandiri.

Page 25: bab2_16.pdf

2) Katagori II : Perawatan Minimal, yang meliputi aktivitas sehari-hari, pada

katagori ini seperti makan dan minum perlu bantuan dalam persiapannya

dan masih dapat makan sendiri, merapikan diri, perlu sedikit bantuan,

kebutuhan eliminasi perlu dibantu kekamar mandi atau urinal.

3) Katagori III : Perawatan Moderat, aktivitas sehari-hari, makan dan minum

harus disuapi namun masih dapat mengunyah dan menelan, merapikan diri

tidak dapat melakukan sendiri, kebutuhan eliminasi dibantu dan sering

mengompol.

4) Katagori IV : Perawatan Ekstensif (semi total) meliputi aktivitas sehari-

hari makan dan minum tidak bias mengunyah dan menelan perlu makan

lewat sonde, merapikan diri perlu diurus semua , dimandikan, penataan

rambut dan kebersihan mulut, kebutuhan eliminasi sering mengompol

lebih dari dua kali per shift.

5) Katagori V : Perawatan Intensif (total) pada katagori ini pemenuhan

kebutuhan dasar seluruhnya bergantung pada perawat, keadaan umum

harus diobservasi secara terus-menerus.

b. Jenis-jenis defisit perawatan diri

1) Defisit perawatan diri : Mandi / kebersihan

Defisit perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk

melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.

2) Defisit perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.

Defisit perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan

kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.

Page 26: bab2_16.pdf

3) Defisit perawatan diri : Makan

Defisit perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk

menunjukkan aktivitas makan.

4) Defisit perawatan diri : Toileting

Defisit perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk

melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah,

2004).

c. Etiologi

Menurut Dep Kes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah :

1) Faktor prediposisi

a) Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga

perkembangan inisiatif terganggu.

b) Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan

perawatan diri.

c) Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang

menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk

perawatan diri.

d) Sosial

Page 27: bab2_16.pdf

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri

lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan

dalam perawatan diri.

2) Faktor presipitasi

Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang

penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,

lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang

mampu melakukan perawatan diri.

Secara teori jenis kelamin didefinisikan dengan ciri-ciri fisik, karakter dan

sifat yang berbeda, sehingga jenis kelamin mempengaruhi kebersihan

seseorang Baharuddin, (1996). Hal ini dapat dirasakan dalam keadaan normal

responden, yang berjenis kelamin perempuan lebih cepat cara pemahamannya

dan lebih cepat terlihat perubahan yang dilakukannya dibandingkan dengan

responden laki-laki. Namun menurut Wiwie, (2000) perubahan peran dan

penurunan interaksi sosial serta kehilangan pekerjaan bisa menyebabkan laki-

laki menjadi lebih rentan terhadap masalah-masalah mental, termasuk depresi.

Oleh karena itu setiap karakter dan sifat yang berbeda baik perempuan

maupun laki-laki dalam keadaan psikologis yang terganggu harus selalu

dimotivasi dalam hal merawat diri dan didukung dengan tersedianya alat-alat

perawatan diri yang dibutuhkan sehingga hal –hal yang berdampak buruk

dapat segera diatasi atau diminimkan permasalahan depresinya.

Page 28: bab2_16.pdf

Siagian (1995) juga menyatakan semakin lanjut usia seseorang semakin

meningkat pula kedewasaan tekhnis dan tingkat kedewasaan psikologisnya

yang menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, mampu

berfikir secara rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap orang

lain. Kemudian menurut Struat & Laraia (2005) menyatakan usia

berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai

macam stressor, kemampuan memanfaatkan sember dukungan dan

keterampilan dalam mekanisme koping. Umur yang semakin meningkat akan

meningkatkan pula kebijakan kemampuan seseorang dalam mengambil

keputusan, berfikir rasional, semakin bijaksana, dan mampu mengenadalikan

emosi dan semakin terbuka dalam pandangan orang lain.

d. Tujuan Perawatan Diri

1) Meningkatkan derajat kesehatan seseorang

2) Memelihara kebersihan diri seseorang

3) Memperbaiki personal hyiene yang kurang

4) Mencagah penyakit

5) Menciptakan keindahan

6) Meningkatkan rasa percaya diri

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perawatan Diri atau Personal

Hygiene

1) Body image

Page 29: bab2_16.pdf

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri

misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli

terhadap kebersihannya.

2) Praktik sosial

Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan

akan terjadi perubahan pola Personal Hygiene

3) Status sosial-ekonomi

Personal Hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,

sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk

menyediakannya.

4) Pengetahuan

Pengetahuan Personal Hygiene sangat penting karena pengetahuan yang

baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita DM

ia harus menjaga kebersihan kakinya.

5) Budaya

Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu maka tidak boleh

dimandikan.

6) Kebiasaan seseorang

Ada kebiasaan seseorang yang menggunakan produk tertentu dalam

perawatan dirinya seperti penggunaan sabun, sampo, dan lain-lain.

7) Kondisi fisik

Page 30: bab2_16.pdf

Pada keadaan sakit tertentu kemampuan untuk merawat diri berkurang dan

perlu bantuan untuk melakukannya.

f. Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Hyiene

1) Dampak Fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak

terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang

sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membrane

mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, dan gangguan fisik pada

kuku.

2) Dampak Psikososial

Masalah social yang berhubungan dengan Personal Hygiene adalah

gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,

kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

5. Halusinasi

a. Pengertian

Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal

lingkungannya serta hubungannya dalam waktu dan ruang terhadap dirinya

sendiri dan juga hubungannya dengan yang lain (Maramis, 1980). Sedangkan

gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien menilai dan

merespon terhadap realita. Gangguan ini disebabkan oleh fungsi otak yang

Page 31: bab2_16.pdf

terganggu berupa fungsi kognitif dan proses pikir, emosi, motorik dan

persepsi (Stuart dan Laraia, 2001). Halusinasi merupakan salah satu bentuk

dari perubahan dan gangguan persepsi.

Halusinasi adalah gangguan persepsi indera tanpa adanya rangsangan

dari luar dan dapat melalui semua system penginderaan yang mana terjadi

pada saat individu itu penuh atau baik (Pedoman Perawatan Psikiatri, Dirjen

Pelayanan Departemen Kesehatan RI).

Halusinasi adalah tentang situasi stimulus atau persepsi tentang objek

bayangan dan sensori yang timbul tanpa adanya stimulus eksterna (Urison dan

Thull,1998).

Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal

yang tidak realita atau tidak ada (Sheila L Videbeck, 2000).

Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat

stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. (Maramis, W.F, 2005).

Jadi Halusinasi adalah keadaan dimana panca indra tidak dapat

membedakan rangsangan interna dan eksterna yang menimbulkan respon yang

tidak sesuai dengan jumlah, pola interpretasi yang datang.

Page 32: bab2_16.pdf

Rentang respon neurobiological

Adaptif respon

- Pemikiran logis

- Emosi konsisten

- Tangan

pengalaman

- Prilakunya sesuai

- Hubungan social

Prilaku menyimpang

- Ilusi

- Reaksi

emosional

berkurang atau

lebih

- Perilakunya

ganjil

- Menarik diri

Mal adaptif

- Kelainan pikiran

- Halusinasi

- Ketidakmampuan

emosi

- Ketidakteraturan

- Isolasi Sosial

b. Jenis-jenis Halusinasi

Adapun jenis dan halusinasi menurut Wilson & Kneils 1998 sebagai

berikut:

1) Halusinasi dengar (Auditorik atau akustik) yaitu suara atau ucapan yang di

dengar oleh klien tapi tidak ada objek realita, secara merupakan proyeksi

ketidakmampuan klien menerima persepsi dari dirinya yang kemudian

dihubungkan dengan ketakutan luar kadang suara tersebut memaki - maki,

menghina orang lain, menertawakan dan mengancam.

2) Halusinasi Lihat (Visual) yaitu bayangan visual atau sensasi yang dialami

oleh klien tanpa adannya stimulus klien mungkin melihat bayangan dari

figure objek atau kejadian yang orang lain tidak melihat objek tersebut.

Page 33: bab2_16.pdf

3) Halusinasi hirup atau bau (Olfaktori) yaitu klien mengalami atau

mengatakan mencium bau- bauan seperti bau bunga, kemenyan atau bau-

bauan yang lain, yang sebenarnya tidak ada sumbernya.

4) Halusinasi kecap ( Eustatorik ) yaitu biasanya halusinasi rasa terjadi

bersama dengan halusinasi bau,klien merasa mengecap sesuatu bau atau

rasa di dalam mulutnya.

5) Halusinasi raba ( Taktil ) yaitu klien merasa ada seseorang yang

memegang, meraba, memukul klien, halusinasi septic yaitu bila klien

merasakan rabaan yang merupakan rangsangan seksual.

Dan dari semua tipe halusinasi tersebut dapat terjadi sendiri atau

secara kombinasi halusinasi dapat menimbulkan perubahan yang jelas pada

perubahan lingkungan yang nyata, sehingga klien dapat sulit diajak bicara,

komunikasi mengenai diri dan lingkungannya serta mengukur afek yang

terdapat pada klien tersebut.

c. Etiologi

Penyebab munculnya halusinasi diuraikan dalam beberapa teori yaitu:

1) Teori Biokimia

Halusinasi diperkirakan terjadi karena respon metabolisme terdapat

stres yang mengakibatkan lepasnya zat halusinogenik dan neurokimia

seperti dimetil trasferense.

2) Teori Psikoanalisa

Page 34: bab2_16.pdf

Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari

luar yang ditekan, tapi mengancam munculnya dalam alam sadar.

d. Fase-fase Halusinasi

Menurut Stuart and Laraia, 2001 halusinasi dibagi menjadi empat fase

yang terdiri dari :

1) Fase pertama

Individu mengalami stress, cemas, perasaan terpisah kecuali kesepian

klien mugkin melamun dan menfokuskan pada hal-hal yang

menyenangkan untuk menghilanhkan kecemasan dan stress. Hal ini

menolong sementara integrasi pemikirannya meningkat tapi masih bisa

mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya.

2) Fase kedua

Ketakutan meningkat dipengaruhi oleh pengalaman berada pada

tingkat pendengaran halusinasi pikiran internal menjadi menonjol.

Halusinasi berupa sensori dapat berupa bisikan yang tidak jelas dan suara

aneh tapi klien takut bila orang lain mendengar/memperhatikannya

perasaan klien tidak efektif untuk mengontrol dirinya dan halusinasi

dengan memproyeksikan pengalaman sehingga seolah-olah halusinasi

datangnya dari tempat lain.

3) Fase ketiga

Halusinasi makin menonjol mengontrol dan menguasai sehingga

halusinasi memberi keseimbangan dan rasa senang.

Page 35: bab2_16.pdf

4) Fase Keempat

Klien merasa tidak berdaya dan terpaku untuk melepaskan dirinya &

control yang sebelumnya menyenagkan menjadi memerintah, memarahi,

mengancam dirinya, mungkin klien berada dalam dunia yang menakutkan.

Bila tidak dilakukan intervensi secepatnya proses tersebut bias menjadi

kronik.

e. Tanda dan Gejala

Menurut Townsend, Mary ( 1995 ), tanda dan gejala halusinasi sebagai

berikut :

1) Berbicara, senyum dan tertawa sendirian

2) Mengatakan mendengar suara, melihat, mengecap, menghirup dan merasa

sesuatu yang tidak nyata

3) Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan

4) Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan yang tidak nyata, serta tidak

mampu melaksanakan asuhan keperawatan mandiri seperti mandi, sikat

gigi, ganti pakaian, dan berhias yang rapi.

5) Sikap curiga, bermusuhan menarik diri, sulit membuat keputusan,

ketakutan dan mudah tersinggung, jengkel, mudah marah, ekspresi wajah

tegang, pembicaraan kacau dan tidak masuk akal juga banyak keringat.

f. Penatalaksanaan Medis

1) Hospitalisasi

Pada klien yang tidak bisa mengontrol impuls bunuh diri atau

membunuh, jika tidak ada gangguan ekstrim seperti klien melihat hewan

Page 36: bab2_16.pdf

yang tidak ada objeknya, klien mendengar suara yang menyuruhnya

membunuh kakaknya, maka rawat inap sangat diperlukan.

2) Psikofarmakoterapi

Psikofarmakoterapi adalah terapi obat yang bertujuan untuk

mengurangi atau menghilangkan gangguan jiwa. Berdasarkan fungsi atau

efek terapi obat yang termasuk terapi psikofarmako adalah:

a) CPZ (Clor Promazine)

1) Indikasinya adalah untuk sindrom psikosis hendaya berat dalam

kemampuan menilai realita dengan manifestasi kesadaran diri yang

terganggu, daya nilai normal sosial yang terganggu dan daya

insight (daya tilik diri) terganggu. Hendaya berat dalam fungsi-

fungsi mental, seperti waham, halusinasi. Hendaya berat dalam

fungsi kehidupan sehari-hari, seperti tidak mampu bekerja,

hubungan sosial dan melakukan kegiatan rurtin.

2) Efek sampingnya berupa: solasi dan inhibisi psikomotor (rasa

mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,

kemampuan kognitif menurun). Ganguan otonoinik (hipotensi,

mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata

kabur, tekanan intraokular meninggi, gangguan antikolinergik).

3) Kontraindikasi: pada pasien penyakit hati atau hepatotoksik,

penyakit darah (hematotoksik), pasien epilepsi, kelainan jantung,

ketergantungan alkohol.

Page 37: bab2_16.pdf

b) Haloperidol

1) Indikasinya: hendaya berat dalam kemampuan menilai realita

dalam fungsi mental dan kehidupan sehari-hari.

2) Efek sampingnya; gangguan otonoinik

3) Kontraindikasi: penyakit hati, epilepsi, jantung, gangguan

kesadaran, ketergantungan obat.

c) THP (Triheksil Penidil)

1) Indikasi; segala jenis penyakit parkinson, pasien ensefalitis.

2) Efek samping; mulut kering, pusing, pandangan kabur, takikardi,

dilatasi.

3) Kontraindikasi; hipersensitif terhadap triheksil penidil, glaukoma

sudut sempit, psikosis berat, psikoneurosis, hipertropi prostat,

obstruksi saluran cerna.

g. Pemeriksaan Penunjang

1) Test Psikologik; test intelegensia dan test kepribadian.

2) Pemeriksaan EEG (Elektro Encepalogram) untuk mengetahui apakah

gangguan jiwa disebabkan oleh ganguan neurologi.

3) Pemeriksaan sinar rontgen; untuk mengetahui apakah gangguan jiwa

disebabkan oleh kelainan struktur anatomi

4) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah gangguan jiwa

disebabkan olehgenetik.

h. Asuhan Keperawatan Dengan Halusinasi

Page 38: bab2_16.pdf

1) Pengkajian

Pengkajian pada klien jiwa meliputi faktor predisposisi, faktor presipetasi,

perilaku dan mekanisme koping.

a) Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi diantaranya terdapat beberapa faktor yaitu faktor

biologi (teori-teori somatogenesis) faktor ini meliputi faktor genetik

(keturunan), Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak),

Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak). Faktor-faktor genetik

(keturunan) berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi

seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko seseorang mengalami

skisofrenia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-

keluarga tentang skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu

telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9-1,8%; bagi saudara

kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderiat

skizofrenia 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-

68%, bagi kembar dua telur (heterozygote) 2-15%; bagi kembar satu

telur (monozygot) 61-86% (Maramis 2005: 215). Biochemistry

(ketidakseimbangan kimiawi otak) beberapa bukti menunjukkan

bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi

otak yang disebut neurotransmitter yaitu kimiawi otak yang

memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain.

Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari

neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu

Page 39: bab2_16.pdf

otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang

berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmitter lain serotonin dan norephinephrine tampaknya juga

memainkan peran. Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak)

berbagai teknik imaging, seperti MRI telah membantu para ilmuwan

untuk menemukan abnormalitas struktural spesifik pada otak klien

skizofrenia. Misalnya, klien skizofrenia yang kronis cenderung

memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki

volume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Klien

skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus

frontalis otak.

Ada juga kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain otak seperti

di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan

superior temporal gyrus.

*) sumber : http://www.sivalintar.com/skizofrenia.html

Page 40: bab2_16.pdf

Gambar 2.1

Struktur otak normal dan otak pasien skizofrenia

Magnitic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan perbedaan

struktural antara otak orang dewasa normal di sebelah kiri dengan otak

klien skizofrenia di sebelah kanan. Otak klien skizofenia menunjukkan

pembesaran ventrikel, namun tidak semua klien skizofrenia

menunjukkan abnormalitas ini. Teori Model Keluarga, memang tidak

ada teori yang mendemonstrasikan bahwa atribut keluarga merupakan

penyebab dari skizofrenia tetapi beberapa pola asuh keluarga

menyebabkan gangguan perkembangan anak, seperti : keluarga dengan

“double blind” bisa menyebabkan kecemasan, rasa bersalah dan

kebingungan pada anak, pada anggota keluarga yang salah satu atau

kedua orang tuanya menderita skizofrenia akan membuat anak tidak

memiliki role model yang baik untuk perkembangannya, hubungan

interpersonal akan terganggu jika tugas perkembangan lambat hal ini

dapat menyebabkan stress kecemasan yang dapat berakhir dengan

gangguan persepsi kemungkinan klien mungkin menekan perasaannya

sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif. Teori

budaya dan Lingkungan, skizofrenia dapat terjadi pada semua status

sosial ekonomi tetapi seringkali lebih banyak ditemukan pada

kelompok dengan kemampuan sosial ekonomi rendah. Seperti

dikatakan Kaplan (1994) bahwa klien skizofrenia lebih banyak

Page 41: bab2_16.pdf

ditemukan pada kelompok dengan kemampuan sosial ekonomi rendah.

Hal ini terjadi karena kelompok ini lebih banyak mengalami stress.

Adanya berbagai factor di masyarakat dapat membuat sesorang

terisolir dan kesepian yang dapat mengakibatkan kurangnya

rangsangan dari eksternal sehingga timbul akibat yang lebih berat

seperti delusi dan halusinasi. Teori belajar, perilaku, perasaan dan cara

berpikir seseorang diperoleh dari belajar. Jika dalam proses belajarnya

sehari-hari, individu berinteraksi dengan klien skizofrenia maka hal ini

bisa mempengaruhi individu tersebut seperti dikatakan Sullivan dan

Fortinash (1996) bahwa perasaan, cara berpikir, dan berperilaku

tumbuh dari pengalaman individu dengan orang lain.

b) Faktor Presipitasi

Sedangkan faktor presipitasi meliputi stresor budaya merupakan stres

dan kecemasan akan meningkat jika terjadi penurunan stabilitas

keluarga, perpisahan dengan orang yang penting. Faktor kimia

merupakan berbagai penelitian, dopamine, non epineprin, indolamin,

zat halusinasi diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realita,

klien biasanya mengembangkan perasaannya untuk mengingkari

kenyataan yang tidak menyenangkan. Gangguan realita dapat

berkembang bias terjadi karena intensitas kecemasan yang ekstrim dan

memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah.

c) Mekanisme koping

Page 42: bab2_16.pdf

Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada

penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah

langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk

melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33). Mekanisme koping

yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah regresi,

klien jadi malas beraktivitas sehari-hari. Proyeksi, mencoba

menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab

kepada orang lain atau suatu benda. Menarik diri, sulit mempercayai

orang lain dan asyik dengan stimulus internal. Keluarga mengingkari

masalah yang dialami klien. Mekanisme koping pada kasus sudah

sesuai dengan teori salah satunya yaitu menarik diri, hal ini didukung

oleh pengakuan klien lebih sering menyendiri dan mengatakan malu

keluar dari rumah.

d) Pohon masalah

Resiko Prilaku Kekerasan

Gangguan sensori persepsi: Halusinasi

Isolasi sosial

Skema 2.1

Pohon masalah secara teoritis

Page 43: bab2_16.pdf

e) Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan

potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan

sebagai proses kehidupan. (Carpenito, 1995). Dalam kasus, ditemukan

diagnosa keperawatan, antara lain:

1) Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi

2) Isolasi Social

3) Harga Diri Rendah

4) Defisit Perawatan Diri: kebersihan diri

5) Koping Keluarga Inefektif

6) Regimen Terapeutik Inefektif

7) Resiko Prilaku Kekerasan

B. Penelitian Terkait

1. Mujiyono, Desember 2008. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kekambuhan

Pasien Psikosis di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Tesis, Program Studi

Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Page 44: bab2_16.pdf

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga

terhadap kekambuhan pasien psikosis dan untuk mengetahui perbedaan proporsi

kekambuhan pasien psikosis pada kelompok dukungan keluarga tinggi dan

rendah. Metode penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif

menggunakan pendekatan studi kasus kontrol (case control studies), lokasi

penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Populasi penelitian adalah

semua keluarga pasien psikosis lama yang berobat di UGD dan Poliklinik RSJ

Daerah Surakarta pada bulan Oktober sampai bulan November 2008. Subjek

penelitian berdasarkan studi awal pada bulan April 2008 sebanyak 391 pasien,

pengambilan sampel sebanyak 80 responden sesuai dengan kriteria yang telah

ditetapkan. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari 2

jenis yaitu: kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner kekambuhan pasien

psikosis. Kuesioner tersebut telah dinyatakan valid dan reliabel dengan nilai r

hitung memiliki harga signifikansi masing-masing < 0,05. Pengolahan dan

analisis dengan bantuan komputer melalui program SPSS. Hasil penelitian dari

80 responden menunjukkan tingkat dukungan keluarga pada kategori dukungan

rendah sebanyak 47 orang (58,8%), sisanya kategori dukungan tinggi sebanyak 33

orang (41,2%), sedangkan tingkat kekambuhan pasien psikosis kategori rendah

sebanyak 44 orang (55%), sisanya kekambuhan kategori tinggi 36 orang (45%).

Hasil pengujian hipotesis dengan analisis regresi diperoleh persamaan Y = 102,39

– 0,589X, a0 = 102,39 adalah konstanta artinya apabila dukungan keluarga sama

dengan nol maka kekambuhan pasien psikosis sebesar 102,39, dan b = -0,589

adalah koefisien dukungan keluarga, artinya apabila variabel dukungan keluarga

Page 45: bab2_16.pdf

naik sebesar satu satuan, maka akan menurunkan kekambuhan pasien psikosis

sebesar 0,589 satuan dan sebaliknya apabila dukungan keluarga turun satu satuan

maka angka kekambuhan akan meningkat 0,589 satuan. Besarnya koefisien

sebesar 0,21 menunjukkan besarnya pengaruh dukungan keluarga sebesar 21%.

Perbedaan proporsi kekambuhan pasien psikosis dukungan keluarga tinggi dan

rendah ditunjukkan oleh harga pearson chi-square sebesar 21,47 dengan harga

signifikansi sebesar 0,000 < 0,01. Kesimpulan, dukungan keluarga berpengaruh

terhadap kekambuhan pasien psikosis dengan besarnya konstribusi pengaruh

harga determinasi sebesar 21% sedangkan 79% dipengaruhi faktor lain. Terdapat

perbedaan proporsi kekambuhan pada pasien psikosis pada kelompok kelompok

dukungan keluarga tinggi dan rendah ditunjukkan oleh harga pearson chi-square

sebesar 21,47 dengan harga signifikansi sebesar 0,000 < 0,01 artinya sangat

bermakna. Saran, sesuai hasil penelitian ini dukungan keluarga merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien psikosis, untuk itu diperlukan

kerjasama antara keluarga dan petugas kesehatan dalam pencegahan kekambuhan

pasien psikosis. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan desain prospektif

sehingga dapat mengukur secara lebih nyata tentang dukungan keluarga terhadap

kekambuhan pasien psikosis.

2. Indarini Dyah ss. Berjudul Hubungan Antara Bentuk Dukungan Keluarga

Dengan Periode Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa

Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Kesembuhan dan kekambuhan penderita gangguan

jiwa sangat dipengaruhi oleh peran atau dukungan keluarga terhadap penderita

gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang kurang tentang bentuk-bentuk

Page 46: bab2_16.pdf

dukungan yang dapat diberikan pada penderita gangguan jiwa ini dapat dilihat

dari ketidaksiapan keluarga dalam memberikan dukungan pada penderita

gangguan jiwa. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara bentuk

dukungan keluarga dengan periode kekambuhan penderita gangguan jiwa.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan 86 partisipan.

Pengumpulan data dengan cara mengisi quesioner yang telah disusun oleh

peneliti. Selanjutnya data yang telah terkumpul diolah dengan analisa univariate

dan bivariate dalam software SPSS Versi 13.0. Hasil penelitian : 72,1% keluarga

mempunyai tingkat dukungan keluarga yang baik, yaitu 72,1% dan 27,6%

mempunyai bentuk dukungan yang buruk. 68,9% mempunyai periode

kekambuhan yang jarang dan 31,4% penderita gangguan jiwa mempunyai

periode kekambuhan yang sering. Ada hubungan antara bentuk dukungan

keluarga dalam mencegah kekambuhan dengan periode kekambuhan penderita

gangguan jiwa dengan signifikansi p value = 0,002. Dalam penelitian ini

pengukuran bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kekambuhan dengan

kusieoner. Penelitian ini memberikan beberapa saran pada penelitian lain, bahwa:

pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi terutama tentang

dukungan keluarga, juga menganalisa data secara kualitatif, dan menggunakan

jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan.

3. Penelitian dari STIKES dengan judul Perubahan Gejala Halusinasi Pasien Jiwa

Sebelum Dan Setelah Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi

Di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY. Latar Belakang: Di Rumah Sakit Grhasia

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pasien yang mengalami gelaja gangguan

Page 47: bab2_16.pdf

jiwa termasuk pasien dengan gejala halusinasi biasanya diberi intervensi

keperawatan berupa aktifitas-aktifitas yang sesuai dengan kemampuan pasien.

Intervensi keperawatan tersebut antara lain: Terapi Individu, Terapi Kerja, Terapi

Kognitif, Terapi Aktifitas Kelompok, Terapi Keluarga, Home Visite. Terapi

Aktifitas Kelompok menjadi salah satu cara terapi modalitas yang dikerjakan di

Rumah Sakit Grhasia, karena terapi aktifitas kelompok merupakan tindakan

terapi yang sering dilakukan dan efisien baik dari waktu, tenaga dan jumlah

pasien yang dihadapi. Tujuan Penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

untuk mengetahui perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dan setelah

terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi pasien rawat inap di RS

Grhasia Provinsi DIY. Metodologi Penelitian: Penelitian ini merupakan

penelitian pra eksperimen dengan rancangan penelitian one group pre-posttest

design. Sampel penelitian ini diambil 20 orang pasien yang terdiri dari 10 pasien

laki-laki dan 10 pasien perempuan. Data diambil dengan metode wawancara dan

observasi. Data dianalisis dengan uji t amatan ulangan (pairs t-test) dengan taraf

signifikansi 5%. Hasil Penelitian: Rerata gejala halusinasi pasien jiwa sebelum

Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi sebesar= 9,500 dan rerata

setelah sebesar= 5,250. Hasil analisis dengan software komputer diperoleh t

hitung= 10,902 dengan p<0,05 dan dinyatakan signifikan, sehingga Ho ditolak

dan Ha diterima. Kesimpulan: Terdapat perubahan (penurunan) yang signifikan

gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dengan setelah Terapi Aktifitas Kelompok

Stimulasi Persepsi di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY. Terapi Aktifitas

Page 48: bab2_16.pdf

Kelompok Stimulasi Persepsi mampu menurunkan gejala halusinasi pasien jiwa

di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY sebesar= 44,737%.

4. Bayhakki (2002) yang berjudul “Pengaruh Intensitas Kunjungan Keluarga

Terhadap Peningkatan Motivasi Melakukan Aktivitas Harian Pada Lansia Di

Sasana Tresna Werhda Yayasan Karya Bhakti Ria Pembangunan Jakarta Timur”

dengan metode penelitian Deskriptif korelatif ini mengambil 24 responden

dengan tekhnik simple random sampling. Dari lansia yang tinggal di sasana

tresna werdha menyatakan dalam penelitiannya didapatkan nilai P ekstrim adalah

1, sedangkan P observasi dan P ekstrim dijumlahkan adalah 1,41, ternyata nilai P

lebih besar dari nilai alpha (0,05) maka hasil penelitian tersebut menyatakan nilai

Ho dapat diterima dalam penelitian Bayhakki berarti tidak ada pengaruh

intensitas kunjungan keluarga terhadap peningkatan motivasi dalam melakukan

aktivitas sehari-hari pada lansia yang tinggal dip anti werdha.

5. Dyah Syahreni (2002) yang berjudul “ Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kemampuan Keluarga Merawat Klien Gangguan Jiwa Dirumah”. Penelitian ini

deskriptif yaitu Cross sectional dengan 20 responden, dalam penelitiannya

menyatakan bahwa support system yang melibatkan keluarga mempunyai skor

tertinggi yaitu 4,61 kemudian terdapat sebesar 90% keluarga mampu

memberikan perawatan klien gangguan jiwa dirumah, sehingga dari hasil

penelitiannya bahwa ada hubungan yang bermakna antara support system dengan

kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa dirumah.

C. Kerangka Teori

Factor predisposisi:

Umur

Jenis kelamin

Pekerjaan

Pendidikan

Page 49: bab2_16.pdf

Skema 2.2

Sumber : Amirrimbawanto. Defisit perawatan diri. 2009

Faktor Pemungkin Kondisi fisik Kebiasaan

seseorang Status sosial

ekonomi

Faktor Pendorong Gangguan body

image Dukungan

lingkungan

Perilaku

perawatan

diri

Baik

Tidak