bab2_16.pdf
-
Upload
indah-setiadewi -
Category
Documents
-
view
50 -
download
4
Transcript of bab2_16.pdf
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Terkait
1. Konsep Keluarga
a. Pengertian
Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang
yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum)
yang memiliki tempat tinggal bersama. Sedang Morgan (1977) dalam Sitorus
(1988) menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang
didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan
kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak). Namun secara
dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan
sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama
dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu
mereka.
Menurut Duvall (1997) keluarga adalah sekelompok orang yang
dihubungkan oleh ikatan pernikahan, adopsi, kelahiran, yang bertujuan
menciptakan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari setiap
anggota. Menurut Depkes RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
terkumpul dan tinggal dalam satu atap dalam keadaan saling tergantung.
Menurut Salvion G Bailon Maglaya (1989), keluarga adalah dua atau lebih
dari dua individu yang tergantung karena hubungan darah, perkawinan,
pengangkatan dan merupakan hidup dalam satu rumah tangga, beriteraksi satu
sama lain, dan perannya masing-masing dalam menciptakan dan
mempertahankan kebudayaan.
b. Tipe-Tipe Keluarga
Keluarga dapat dibagi menjadi beberapa tipe diantaranya, yaitu:
1) Secara tradisional
a) Nuclear family yaitu merupakan suatu keluarga inti yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau
keduanya.
b) Extended family (keluarga besar) adalah keluarga inti ditambah
anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-
nenek, paman-bibi).
2) Secara modern
a) Keluarga bentukan kembali adalah keluarga baru yang tebentuk dari
pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.
b) Single parent family (orang Tua tunggal) yaitu keluarga yang terdiri
dari salah satu orang tua baik ibu atau ayah saja beserta anaknya
akobat perceraian atau di tinggal pasangannya.
c) Ibu dengan anak tanpa perkawinan
d) The Single adult living alone yaitu orang dewasa (laki-laki atau
perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah.
e) Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya biasanya dapat
dijumpai pada daerah kumuh perkotaan besar, tetapi pada akhirnya
mereka dinikahkan oleh pemerintah daerah meskipun usia pasangan
tersebut telah tua demi status anak-anaknya.
f) Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama
(gay and lesbian family).
c. Struktur Keluarga
a) Patrilineal yaitu keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah
dalam beberapa generasi dimana hubungan itu dari garis ayah.
b) Matrilineal yaitu keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi dari jalur ibu.
c) Matrilokal yaitu sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga
sedarah istri.
d) Patrilokal yaitu sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga
sedarah suami.
e) Keluarga kawinan yaitu hubungan suami-istri sebagai dasar bagi
pembimbingan keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian
keluarga karena adanya hubungan dengan suami istri.
Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga
melaksanakan fungsi keluarga dimasyarakat sekitarnya. Parad dan Caplan
(1965) yang diadopasi oleh Friedman mengatakan ada 4 elemen struktur
keluarga, yaitu:
a) Struktur peran keluarga menggambarkan masing-masing anggota keluarga
dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masyarakat atau peran
formal dan informal.
b) Nilai atau norma keluarga menggambarkan nilai dan norma yang
dipelajari dan diyakini oleh keluarga khususnya yang berhubungan dengan
kesehatan.
c) Pola komunikasi keluarga menggambarkan bagaimana cara dan pola
komunikasi ayah ibu (orang tua), orang tua dengan anak, anak dengan
anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga
inti.
d) Struktur kekuatan keluarga menggambarkan kemampuan anggota keluarga
untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah
perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.
d. Fungsi Keluarga
Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut:
1) Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang utama
untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
untuk berhubungan dengan orang lain.
2) Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social
placement function) adalah fungsi mengembangkan dan temapat melatih
anak untuk berkehidupan social sebelum meninggalkan rumah untuk
berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
3) Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4) Fungsi ekonomi (the economic function) adalah keluerga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
5) Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the healt care function) yaitu
fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki peroduktivitas tinggi. Fungsi ini diklembangkan menjadi
tugas keluaga dibidang kesehatan.
Dari beberapa fungsi diatas, ada tiga fungsi pokok keluarga terhadap
anggota keluarga adalah:
1) Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan
kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tunbuh dan
berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.
2) Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar
kesehatan terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan mereka anak-anak
yang sehat baik mental, social dan spiritual.
3) Asah adalah memenuhi kabutuhan pendidikan anak sehingga siap menjadi
dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa.
e. Peran keluarga
Berbagai peranan yang terdapat dalam keluraga adalah sebagai berikut:
1) Peran ayah: ayah sebagai suami dari istri dan dan menjadi bapak dari nak-
anaknya, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan
pemberi rasa aman. Sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari
kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
2) Peran ibu: sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai
peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik
anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari
lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat berperan sebagai pencari
nafkah tambahan dalam keluarga.
3) Peran anak: anak-anak menjalankan peranan psikososial sesuai dengan
tingkat perkembangan baik fisik, mental, social dan spiritual.
Peran keluarga meliputi yaitu :
1) Pembinaan agama/religious
Mendorong dan membantu meningkatkan ketaqwaan kehidupan beragama
melalui kegiatan pengajian, penyediaan sarana dan media.
2) Pembinaan fisik
Memberitahu dan menyediakan makanan yang bergizi dan sesuai dengan
kebutuhan anggota keluarga. Memotifasi anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa untuk tetap melakukan aktivitas yang baik dan
tidak merugikan orang lain. Merawat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa atau menderita penyakit atau mengalami gangguan
kasehatan.
3) Membina mental/jiwa
Apabila anggota keluarga tidak dapat menerima atau menyesuaikan diri
dengan adanya perubahan tersebut, dapat menimbulkan kecemasan,
kekecewaan, mudah tersinggung. Oleh karena itu diharapkan keluarga
dapat membantu anggota keluarga untuk saling membantu dalam
menghadapi permasalahan.
4) Pembinaan sosial ekonomi
a) Keluarga diharapkan dapat menciptakan suasana yang menyenangkan
bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dimana mereka
masih diperhatikan dan dibutuhkan oleh keluarganya.
b) Motivasi untuk mengembangkan hobi atau melakukan pekerjaan yang
ringan sebagai pengisi waktu agar klien tetap aktif.
c) Keluarga diharapkan dapat membantu, sehingga anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa dapat terpanuhi kebutuhannya dan
tidak perlu merasa cemas akan kepastian hidup.
f. Tahap-tahap kehidupan keluarga dan perkembangan
Tahap-tahap kehidupan keluarga menurut Duvall dan Miller
(Friedman, 1998) adalah sebagai berikut:
1) Tahap I : Pasangan Baru (Keluarga Baru)
Dimulai saat individu laki-laki (suami) dan perempuan (istri) membentuk
keluarga melalui perkawinan yang sah.
Tugas perkembangan:
Membina hubungan intim yang memuaskan, membina hubungan dengan
keluarga lain, teman, kelompok social dan mendiskusikan rencana
memiliki anak.
2) Tahap II : Kelahiran Anak Pertama (Child Bearing).
Tahap kelahiran anak pertama, keluarga yang menintikan kelahiran
dimulai dari kehamilan sampai kelahiran anak pertama dan berlanjut
sampai anak pertama berusia 3 bulan.
Tugas perkembangan:
Persiapan emnjadi orang tua, adaptasi dengan perubahan anggota
keluarga, peran, interaksi, hubungan seksual dan kegiatan serta
mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan pasangan.
3) Tahap III : Keluarga dengan Anak Pra Sekolah
Tahap keluarga dengan pra sekolah dimulai saat kelahiran anak pertama
berusia 2,5 tahun dan berakhir saat anak berusia 5 tahun.
Tugas perkembangan:
Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan tempat tinggal,
privasi dan rasa aman, membantu anak untuk bersosialisasi, beradaptasi
dengan anak yang baru lahir dan sementara kebutuhan anak yang lain juga
haurd terpenuhi serta mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam
maupun diluar keluarga dan lingkungan sekitar, pembagian waktu unuk
individu pasangan dan anak (tahap paling repot), pembagian tangguang
jawab anggota keluarga serta memberikan kegiatan dan waktu untuk
tumbuh dan kembang anak
4) Tahap IV : Keluarga dengan anak sekolah
Keluarga dengan anak sekolah dimulai saat anak masuk sekolah pada usia
6 tahun dan berakhir pada usia 12 tahun.
Tugas perkembangan:
Membantu sosialisasi tentang sekolah dan lingkungan, mempertahankan
keintiman pasangan, memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang
semakin meningkat termasuk kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan
anggota keluarga.
5) Tahap V : keluarga dengan anak remaja
Keluarga dengan anak remaja dimulai pada saat anak pertama berusia 13
tahun dan biasanya berakhir 6-7 tahun kemudian, yaitu pada saat anak
meninggalkan rumah orang tuanya.
Tugas perkembangan:
Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab
mengingat remaja yang sudah bertambah dewasa dan meningkat
otonominya, mempertahankan hubungan yang intim dalam keluarga,
mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orang tua, hindari
perdebatan, kecurigaan dan permusuhan serta perubahan system peran dan
peraturan untuk tumbuh kembang keluarga.
6) Tahap VI : keluarga dengan anak dewasa (pelepasan)
Keluarga dengan anak dewasa (pelepasan) dimulai pada saat anak yang
pertama meninggalkan rumah dan berakhir pada saat anak terakhir
meninggalkan rumah
Tugas perkembangan:
Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar, mempertahankan
keintiman pasangan, membantu orang tua, membantu anak untuk mandiri
di masyarakat dan penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.
7) Tahap VII :keluarga dengan usia pertengahan
Keluarga usia pertengahan dimulai pada saat anak terakhir meninggalkan
rumah dan berakhir pada saat pension dan salah satu pasangan meninggal.
Tugas perkembangan:
Mempertahankan kesehatan, mempertahankan hubungan yang memuaskan
dengan teman sebaya dan anak-anak serta meningkatkan keakraban
pasangan.
8) Tahap VIII : keluarga usia lanjut
Keluarga usia lanjut, perkembangan keluarga ini dimulai saat salah satu
dari pasangan pensiun, berlanjut sampai pada salah satu pasangan
meninggal sampai keduanya meninggal.
Tugas perkembangan:
Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan, adaptasi dengan
perubahan kehilangan pasangan, teman, kekuatan fisik dan pendapatan,
mempertahankan keakraban suami dan istri serta saling merawat,
mempertahankan hubungan dengan anak dan social masyarakat,
melakukan “Life Review”.
g. Tugas-tugas pokok keluarga
Ada delapan tugas pokok keluarga adalah sebagai berikut:
1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2) Pemeliharaan sumber daya yang ada dalam keluarga.
3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya
masing-masing.
4) Sosialisasi antar anggota keluarga.
5) Pengaturan dan jumlah anggota keluarga.
6) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8) Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.
2. Dukungan Keluarga
Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb,(1983)
sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah
laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam
lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat
memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya. Atkinson,(2000) mengatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada
kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang
menerima dari orang-orang atau kelompok lain. Dalam hal ini orang yang merasa
memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan,
mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Dukungan keluarga
adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.
Keluarga terdiri atas suami, istri, anak dan untuk indonesia dapat meluas
mencakup saudara dari kedua belah pihak (Rahcmati cit sukardi,2002).
Dukungan sosial dianggap merupakan strategi koping penting untuk
dimiliki keluarga saat mengalami dan secara langsung memperkokoh kesehatan
mental individual dan keluarga (Friedman, 1998). Kane (1998) dikutip dari
Friedman (1998) mendefinisikan dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses
hubungan antara keluarga dengan lingkungannya. Dukungan sosial keluarga
adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan. Sifat, jenis dan
sumber dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap siklus kehidupan.
Friedman (1998) menjelaskan sumber dukungan sosial keluarga dapat berasal dari
internal maupun eksternal seperti budaya, agama, status sosial ekonomi dan
linkungan. Sumber-sumber dukungan ini akan semakin berkurang sejalan dengan
pertambahan sosial seseorang.
House dan Kahn (1985) dan Thoits (1982) dikutip dari Friedman (1998) ,
terdapat 4 jenis dukungan sosial, yaitu :
a. Dukungan Informasional
Keluarga menurut Caplan (1976), dalam Friedman (1998) berfungsi sebagai
sebuah kolektor dan diseminator (penyebar informasi) tentang dunia.
b. Dukungan Penilaian
Keluarga sebagai umpan balik , membimbing, dan menangani masalah, serta
sebagai sumber dan validator identitas anggota (Friedman, 1998).
c. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit (Friedman,
1998)
d. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yanga aman dan damai untuk istirahat dan dapat
membantu penguasaan terhadap emosi (Friedman,1998).
Komalasari (1991) menyempuranakan jenis dukungan sosial dengan
mengambil pandangan Barera dan Ainlay dalam Vaux (1998) menjadi :
a. Dukungan Materiil/Finansial, yaitu memberi bantuan materi atau uang.
b. Dukungan Praktis/Instrumental, yaitu berbagi tugas antar anggota keluarga
c. Dukungan Emosional, dalam bentuk diskusi atau konseling non-direktif
d. Dukungan Bimbingan, yaitu memberikan nasihat, informasi dan instruksi
e. Dukungan Umpan Balik, Yaitu umpan balik terhadap perilaku, pikiran dan
perasaan.
f. Dukungan Pergaulan, dalam bentuk interaksi sosial seperti aktivitas hiburan,
rekreasi, dan waktu luang untuk kesenangan dan relaksasi.
g. Dukungan Spiritual, yaitu memberikan dukungan dalam kegiatan keagamaan
seperti ibadah , dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Chung, 1995), bahwa dukungan sosial
keluarga dapat mengurangi efek negatif stres dan mencegah tingginya depresi
pada pasien. Hogstel, (1995) bahwa keluarga merupakan support system yang
berarti keluarga dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan mental klien,
peristiwa dalam hidupnya dan sistem dukungan yang diterima, sistem dukungan
adalah penting bagi kesehatan pada sistem gangguan jiwa , terutama secara fisik
dan emosi.
3. Konsep Perilaku
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur
pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi
manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat
aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan stimulus atau rangsangan
disini terdiri 4 unsur pokok, yakni sakit & penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih terinci perilaku
kesehatan itu mencakup :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia
berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit
atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif
(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit atau sakit tersebut.
Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :
1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(health promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi,
olah raga, dan sebagainya.
2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour) adalah
respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai
kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan
sebagainya. Termasuk perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada
orang lain.
3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,
misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari
pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri,
dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional
(dukun, sinshe, dan sebagainya).
4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behaviour) yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha
pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya
melakukan diet, mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam rangka
pemulihan kesehatannya).
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern
maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas
pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang
terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas,
petugas dan obat-obatan.
c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini
meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta
unsur-unsur yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan,
dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita.
d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behaviour)
adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu
sendiri. Perilaku ini antara lain mencakup:
1) Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya komponen,
manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
2) Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut
segi-segi higiene, pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.
3) Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah
cair. Termasuk didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah
yang sehat serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik.
4) Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayaan, lantai, dan sebagainya.
5) Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor)
dan sebagainya.
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau
reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru
terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni
yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Didalam suatu pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.
Faktor-faktor tersebut antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi,
emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya.
Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia
karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk
menjadi perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan
saraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron.
Neuron memindahkan energi-energi didalam impuls-impuls saraf. Impuls-
impuls saraf indera pendengaran, penglihatan, pembauan, pengecapan dan
perabaan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls
saraf ke susunan saraf pusat.
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui
melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca
indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati
objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk
bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam
bentuk perilaku.
Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang
mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada
hakekatnya merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai
kedewasaan semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan
hukum perkembangan.
Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan
dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu
perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui
suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi
2, yakni faktor intern dan ekstern.
Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,
motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.
Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non
fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang
tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-
proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk
melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu objek.
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan (health related behavior) sebagai berikut :
a. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah
penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan
sebagainya.
b. Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan
mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk disini
kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit,
penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau
kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan /
kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama
kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab
terhadap kesehatannya.
4. Konsep Defisit Perawatan Diri
a. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan
dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan
terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (
Depkes 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting)
(Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan
fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak
mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan
Wartonah 2000 ).
Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat
penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi
kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri dangat dipengaruhi
oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di
antaranya kebudayaan , sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang
terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.
Hygiene adalah ilmu kesehatan. Cara perawatan diri manusia untuk
memelihara kesehatan mereka disebut hygiene perorangan. Cara perawatan
diri menjadi rumit dikerenakan kondisi fisik atau keadaan emosional klien,
selain itu, beragam faktor pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktik
higiene klien.
Personal hygiene atau kebersihan diri adalah kemampuan seseorang
dalam melakukan perawatan diri yang terdiri dari empat area yaitu mandi,
makan, toilet dan kebersihan pakaian tanpa bantuan dari orang lain (Ruth F
Craven, 2000).
Penampilan umum klien dapat menggambarkan pentingnya hygiene
pada orang tersebut. Citra tubuh merupakan knsep subjective seseorang
tentang penampilan fisiknya. Citra tubuh ini dapat seringkali berubah. Citra
tubuh mempengaruhi cara mempertahankan hygiene. Klien yang kelihatan
tidak rapih atau tidak tertarik pada hygiene membutuhkan pendidikan tentang
pentingnya hygiene.
Biasanya setiap pasien yang dirawat inap kurang memperhatikan atau
bahkan tidak memperhatikan kebersihan dirinya dikarenakan penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri kondisi fisik yang tidak memungkinkan pasien tersebut mampu
melakukan perawatan dirinya sendiri. Meskipun dapat melakukannya,
kemungkinan hanya sebatas kemampuannya dan pasti tidak akan terpenuhi
semuanya. Dalam menjaga kebersihan dan perawatan diri pasien, keluarga
sangat berpengaruh untuk membantu pasien dalam memenuhi kebersihan
dirinya. Di rumah sakit pun masih banyak pasien yang tidak mampu
melakukan pemenuhan perawatan diri (kebersihan diri). Langkah sederhana
yang dapat diupayakan untuk pemenuhan perawatan diri (personal hygiene)
pasien adalah memberikan pemahaman yang benar tentang perawatan diri
(personal hygiene), sehingga diharapkan agar pasien tetap memperhatikan
perawatan dirinya. Terkait dengan hal tersebut, berbagai informasi seputar
perawatan diri (personal hygiene) sangat berguna memberikan pengetahuan
yang benar tentang personal hygiene dalam menentukan sikap serta perilaku
nantinya dapat berguna dalam hal ini khususnya pasien-pasien rawat inap dan
masyarakat pada umumnya.
Jika seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang
diperhatikan. Hal ini terjadi karena kita menganggap masalah kebersihan
adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan terus dapat
mempengaruhi kesehatan secara umum.
Pada tahun 1959 dikembangkan suatu teori untuk mengarahkan
praktek mahasiswa keperawatan yang dikemukakan oleh Dorothea Orem.
proses menjadi teori berlangsung dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1979,
teori ini dikenal dengan Capable Of Care (mampu merawat diri sendiri).
Ada 3 bentuk teori yang disampaikan oleh Orem, yaitu :
1) Teori self care, adalah teori yang mengungkapkan hubungan tindakan
untuk merawat diri dengan perkembangan dan fungsi individu.
2) Teori self care deficiensi, teori ini mengungkapkan klien dalam hal ini
pasien halusinasi tidak mampu merawat diri.
3) Teori nursing system, yaitu perawatan yang terapeutik dapat dilakukan
secara mandiri oleh pasien halusinasi atau diperlukan keterlibatan suatu
system untuk memenuhinya.
Fokus dari ketiga teori ini adalah mempertahankan kehidupan, kesehatan,
dan kesejahteraan. Klien dalam teori ini adalah suatu unit yang digambarkan
berfungsi secara biologik, simbolik, dan sosial, yang menghendaki aktivitas
diri merawat diri sendiri dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan
kesejahteraan.
Tingkat kemadirian terdiri dari tingkat level 0 yang menggambarkan
kemandirian penuh sampai level yang menggambarkan tingkat
ketergantungan penuh. Adapun uraian sebagai berikut :
1) Tingkat 0 : Kemandirian penuh dalam kegiatan sehari-hari,
2) Tingkat 1 : Menggunakan alat-alat atau bahan bentuk kegiatan
kemandirian tanpa ketergantungan.
3) Tingakt 2 : Diperlukan kebutuhan bantuan atau supervisi dari orang lain
kegiatan kemandirian yang lengkap.
4) Tingkat 3 : Diperlukan kebutuhan bantuan atas supervisi dari orang lain
dan penggunaan alat bantu atau peralatan.
5) Tingkat 4 : Ketergantungan penuh pada yang lain kegiatan bantuan
kemandirian.
Pada konsep manajemen keperawatan pasien yang dirawat inap akan
dikatagorikan berdasarkan tingkat ketergantungan yang dialaminya,
Swansburg (1999) mengelompokkan ketergantungan pasien menjadi lima
katagori yaitu :
1) Katagori I : Perawatan Mandiri, yang meliputi aktivitas sehari-hari, pada
katagori ini seperti makan dan minum dapat dilakukan secara mandiri atau
dengan sedikit bantuan, merapikan diri, kebutuhan eliminasi dan
kenyamanan dilakukan secara mandiri.
2) Katagori II : Perawatan Minimal, yang meliputi aktivitas sehari-hari, pada
katagori ini seperti makan dan minum perlu bantuan dalam persiapannya
dan masih dapat makan sendiri, merapikan diri, perlu sedikit bantuan,
kebutuhan eliminasi perlu dibantu kekamar mandi atau urinal.
3) Katagori III : Perawatan Moderat, aktivitas sehari-hari, makan dan minum
harus disuapi namun masih dapat mengunyah dan menelan, merapikan diri
tidak dapat melakukan sendiri, kebutuhan eliminasi dibantu dan sering
mengompol.
4) Katagori IV : Perawatan Ekstensif (semi total) meliputi aktivitas sehari-
hari makan dan minum tidak bias mengunyah dan menelan perlu makan
lewat sonde, merapikan diri perlu diurus semua , dimandikan, penataan
rambut dan kebersihan mulut, kebutuhan eliminasi sering mengompol
lebih dari dua kali per shift.
5) Katagori V : Perawatan Intensif (total) pada katagori ini pemenuhan
kebutuhan dasar seluruhnya bergantung pada perawat, keadaan umum
harus diobservasi secara terus-menerus.
b. Jenis-jenis defisit perawatan diri
1) Defisit perawatan diri : Mandi / kebersihan
Defisit perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
2) Defisit perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Defisit perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
3) Defisit perawatan diri : Makan
Defisit perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
4) Defisit perawatan diri : Toileting
Defisit perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah,
2004).
c. Etiologi
Menurut Dep Kes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1) Faktor prediposisi
a) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
2) Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri.
Secara teori jenis kelamin didefinisikan dengan ciri-ciri fisik, karakter dan
sifat yang berbeda, sehingga jenis kelamin mempengaruhi kebersihan
seseorang Baharuddin, (1996). Hal ini dapat dirasakan dalam keadaan normal
responden, yang berjenis kelamin perempuan lebih cepat cara pemahamannya
dan lebih cepat terlihat perubahan yang dilakukannya dibandingkan dengan
responden laki-laki. Namun menurut Wiwie, (2000) perubahan peran dan
penurunan interaksi sosial serta kehilangan pekerjaan bisa menyebabkan laki-
laki menjadi lebih rentan terhadap masalah-masalah mental, termasuk depresi.
Oleh karena itu setiap karakter dan sifat yang berbeda baik perempuan
maupun laki-laki dalam keadaan psikologis yang terganggu harus selalu
dimotivasi dalam hal merawat diri dan didukung dengan tersedianya alat-alat
perawatan diri yang dibutuhkan sehingga hal –hal yang berdampak buruk
dapat segera diatasi atau diminimkan permasalahan depresinya.
Siagian (1995) juga menyatakan semakin lanjut usia seseorang semakin
meningkat pula kedewasaan tekhnis dan tingkat kedewasaan psikologisnya
yang menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, mampu
berfikir secara rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap orang
lain. Kemudian menurut Struat & Laraia (2005) menyatakan usia
berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai
macam stressor, kemampuan memanfaatkan sember dukungan dan
keterampilan dalam mekanisme koping. Umur yang semakin meningkat akan
meningkatkan pula kebijakan kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan, berfikir rasional, semakin bijaksana, dan mampu mengenadalikan
emosi dan semakin terbuka dalam pandangan orang lain.
d. Tujuan Perawatan Diri
1) Meningkatkan derajat kesehatan seseorang
2) Memelihara kebersihan diri seseorang
3) Memperbaiki personal hyiene yang kurang
4) Mencagah penyakit
5) Menciptakan keindahan
6) Meningkatkan rasa percaya diri
e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perawatan Diri atau Personal
Hygiene
1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
terhadap kebersihannya.
2) Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola Personal Hygiene
3) Status sosial-ekonomi
Personal Hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan Personal Hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita DM
ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu maka tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan seseorang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan dirinya seperti penggunaan sabun, sampo, dan lain-lain.
7) Kondisi fisik
Pada keadaan sakit tertentu kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.
f. Dampak yang Sering Timbul pada Masalah Personal Hyiene
1) Dampak Fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan fisik yang
sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membrane
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga, dan gangguan fisik pada
kuku.
2) Dampak Psikososial
Masalah social yang berhubungan dengan Personal Hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
5. Halusinasi
a. Pengertian
Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal
lingkungannya serta hubungannya dalam waktu dan ruang terhadap dirinya
sendiri dan juga hubungannya dengan yang lain (Maramis, 1980). Sedangkan
gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien menilai dan
merespon terhadap realita. Gangguan ini disebabkan oleh fungsi otak yang
terganggu berupa fungsi kognitif dan proses pikir, emosi, motorik dan
persepsi (Stuart dan Laraia, 2001). Halusinasi merupakan salah satu bentuk
dari perubahan dan gangguan persepsi.
Halusinasi adalah gangguan persepsi indera tanpa adanya rangsangan
dari luar dan dapat melalui semua system penginderaan yang mana terjadi
pada saat individu itu penuh atau baik (Pedoman Perawatan Psikiatri, Dirjen
Pelayanan Departemen Kesehatan RI).
Halusinasi adalah tentang situasi stimulus atau persepsi tentang objek
bayangan dan sensori yang timbul tanpa adanya stimulus eksterna (Urison dan
Thull,1998).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada (Sheila L Videbeck, 2000).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana tidak terdapat
stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. (Maramis, W.F, 2005).
Jadi Halusinasi adalah keadaan dimana panca indra tidak dapat
membedakan rangsangan interna dan eksterna yang menimbulkan respon yang
tidak sesuai dengan jumlah, pola interpretasi yang datang.
Rentang respon neurobiological
Adaptif respon
- Pemikiran logis
- Emosi konsisten
- Tangan
pengalaman
- Prilakunya sesuai
- Hubungan social
Prilaku menyimpang
- Ilusi
- Reaksi
emosional
berkurang atau
lebih
- Perilakunya
ganjil
- Menarik diri
Mal adaptif
- Kelainan pikiran
- Halusinasi
- Ketidakmampuan
emosi
- Ketidakteraturan
- Isolasi Sosial
b. Jenis-jenis Halusinasi
Adapun jenis dan halusinasi menurut Wilson & Kneils 1998 sebagai
berikut:
1) Halusinasi dengar (Auditorik atau akustik) yaitu suara atau ucapan yang di
dengar oleh klien tapi tidak ada objek realita, secara merupakan proyeksi
ketidakmampuan klien menerima persepsi dari dirinya yang kemudian
dihubungkan dengan ketakutan luar kadang suara tersebut memaki - maki,
menghina orang lain, menertawakan dan mengancam.
2) Halusinasi Lihat (Visual) yaitu bayangan visual atau sensasi yang dialami
oleh klien tanpa adannya stimulus klien mungkin melihat bayangan dari
figure objek atau kejadian yang orang lain tidak melihat objek tersebut.
3) Halusinasi hirup atau bau (Olfaktori) yaitu klien mengalami atau
mengatakan mencium bau- bauan seperti bau bunga, kemenyan atau bau-
bauan yang lain, yang sebenarnya tidak ada sumbernya.
4) Halusinasi kecap ( Eustatorik ) yaitu biasanya halusinasi rasa terjadi
bersama dengan halusinasi bau,klien merasa mengecap sesuatu bau atau
rasa di dalam mulutnya.
5) Halusinasi raba ( Taktil ) yaitu klien merasa ada seseorang yang
memegang, meraba, memukul klien, halusinasi septic yaitu bila klien
merasakan rabaan yang merupakan rangsangan seksual.
Dan dari semua tipe halusinasi tersebut dapat terjadi sendiri atau
secara kombinasi halusinasi dapat menimbulkan perubahan yang jelas pada
perubahan lingkungan yang nyata, sehingga klien dapat sulit diajak bicara,
komunikasi mengenai diri dan lingkungannya serta mengukur afek yang
terdapat pada klien tersebut.
c. Etiologi
Penyebab munculnya halusinasi diuraikan dalam beberapa teori yaitu:
1) Teori Biokimia
Halusinasi diperkirakan terjadi karena respon metabolisme terdapat
stres yang mengakibatkan lepasnya zat halusinogenik dan neurokimia
seperti dimetil trasferense.
2) Teori Psikoanalisa
Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari
luar yang ditekan, tapi mengancam munculnya dalam alam sadar.
d. Fase-fase Halusinasi
Menurut Stuart and Laraia, 2001 halusinasi dibagi menjadi empat fase
yang terdiri dari :
1) Fase pertama
Individu mengalami stress, cemas, perasaan terpisah kecuali kesepian
klien mugkin melamun dan menfokuskan pada hal-hal yang
menyenangkan untuk menghilanhkan kecemasan dan stress. Hal ini
menolong sementara integrasi pemikirannya meningkat tapi masih bisa
mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya.
2) Fase kedua
Ketakutan meningkat dipengaruhi oleh pengalaman berada pada
tingkat pendengaran halusinasi pikiran internal menjadi menonjol.
Halusinasi berupa sensori dapat berupa bisikan yang tidak jelas dan suara
aneh tapi klien takut bila orang lain mendengar/memperhatikannya
perasaan klien tidak efektif untuk mengontrol dirinya dan halusinasi
dengan memproyeksikan pengalaman sehingga seolah-olah halusinasi
datangnya dari tempat lain.
3) Fase ketiga
Halusinasi makin menonjol mengontrol dan menguasai sehingga
halusinasi memberi keseimbangan dan rasa senang.
4) Fase Keempat
Klien merasa tidak berdaya dan terpaku untuk melepaskan dirinya &
control yang sebelumnya menyenagkan menjadi memerintah, memarahi,
mengancam dirinya, mungkin klien berada dalam dunia yang menakutkan.
Bila tidak dilakukan intervensi secepatnya proses tersebut bias menjadi
kronik.
e. Tanda dan Gejala
Menurut Townsend, Mary ( 1995 ), tanda dan gejala halusinasi sebagai
berikut :
1) Berbicara, senyum dan tertawa sendirian
2) Mengatakan mendengar suara, melihat, mengecap, menghirup dan merasa
sesuatu yang tidak nyata
3) Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
4) Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan yang tidak nyata, serta tidak
mampu melaksanakan asuhan keperawatan mandiri seperti mandi, sikat
gigi, ganti pakaian, dan berhias yang rapi.
5) Sikap curiga, bermusuhan menarik diri, sulit membuat keputusan,
ketakutan dan mudah tersinggung, jengkel, mudah marah, ekspresi wajah
tegang, pembicaraan kacau dan tidak masuk akal juga banyak keringat.
f. Penatalaksanaan Medis
1) Hospitalisasi
Pada klien yang tidak bisa mengontrol impuls bunuh diri atau
membunuh, jika tidak ada gangguan ekstrim seperti klien melihat hewan
yang tidak ada objeknya, klien mendengar suara yang menyuruhnya
membunuh kakaknya, maka rawat inap sangat diperlukan.
2) Psikofarmakoterapi
Psikofarmakoterapi adalah terapi obat yang bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gangguan jiwa. Berdasarkan fungsi atau
efek terapi obat yang termasuk terapi psikofarmako adalah:
a) CPZ (Clor Promazine)
1) Indikasinya adalah untuk sindrom psikosis hendaya berat dalam
kemampuan menilai realita dengan manifestasi kesadaran diri yang
terganggu, daya nilai normal sosial yang terganggu dan daya
insight (daya tilik diri) terganggu. Hendaya berat dalam fungsi-
fungsi mental, seperti waham, halusinasi. Hendaya berat dalam
fungsi kehidupan sehari-hari, seperti tidak mampu bekerja,
hubungan sosial dan melakukan kegiatan rurtin.
2) Efek sampingnya berupa: solasi dan inhibisi psikomotor (rasa
mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif menurun). Ganguan otonoinik (hipotensi,
mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata
kabur, tekanan intraokular meninggi, gangguan antikolinergik).
3) Kontraindikasi: pada pasien penyakit hati atau hepatotoksik,
penyakit darah (hematotoksik), pasien epilepsi, kelainan jantung,
ketergantungan alkohol.
b) Haloperidol
1) Indikasinya: hendaya berat dalam kemampuan menilai realita
dalam fungsi mental dan kehidupan sehari-hari.
2) Efek sampingnya; gangguan otonoinik
3) Kontraindikasi: penyakit hati, epilepsi, jantung, gangguan
kesadaran, ketergantungan obat.
c) THP (Triheksil Penidil)
1) Indikasi; segala jenis penyakit parkinson, pasien ensefalitis.
2) Efek samping; mulut kering, pusing, pandangan kabur, takikardi,
dilatasi.
3) Kontraindikasi; hipersensitif terhadap triheksil penidil, glaukoma
sudut sempit, psikosis berat, psikoneurosis, hipertropi prostat,
obstruksi saluran cerna.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Test Psikologik; test intelegensia dan test kepribadian.
2) Pemeriksaan EEG (Elektro Encepalogram) untuk mengetahui apakah
gangguan jiwa disebabkan oleh ganguan neurologi.
3) Pemeriksaan sinar rontgen; untuk mengetahui apakah gangguan jiwa
disebabkan oleh kelainan struktur anatomi
4) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah gangguan jiwa
disebabkan olehgenetik.
h. Asuhan Keperawatan Dengan Halusinasi
1) Pengkajian
Pengkajian pada klien jiwa meliputi faktor predisposisi, faktor presipetasi,
perilaku dan mekanisme koping.
a) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi diantaranya terdapat beberapa faktor yaitu faktor
biologi (teori-teori somatogenesis) faktor ini meliputi faktor genetik
(keturunan), Biochemistry (ketidakseimbangan kimiawi otak),
Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak). Faktor-faktor genetik
(keturunan) berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi
seseorang sangat kuat mempengaruhi resiko seseorang mengalami
skisofrenia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-
keluarga tentang skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9-1,8%; bagi saudara
kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderiat
skizofrenia 7-16%; bagi kedua orang tua menderita skizofrenia 40-
68%, bagi kembar dua telur (heterozygote) 2-15%; bagi kembar satu
telur (monozygot) 61-86% (Maramis 2005: 215). Biochemistry
(ketidakseimbangan kimiawi otak) beberapa bukti menunjukkan
bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi
otak yang disebut neurotransmitter yaitu kimiawi otak yang
memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain.
Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu
otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain serotonin dan norephinephrine tampaknya juga
memainkan peran. Neuroanatomy (abnormalitas struktur otak)
berbagai teknik imaging, seperti MRI telah membantu para ilmuwan
untuk menemukan abnormalitas struktural spesifik pada otak klien
skizofrenia. Misalnya, klien skizofrenia yang kronis cenderung
memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki
volume jaringan otak yang lebih sedikit daripada orang normal. Klien
skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus
frontalis otak.
Ada juga kemungkinan abnormalitas di bagian-bagian lain otak seperti
di lobus temporalis, basal ganglia, thalamus, hippocampus, dan
superior temporal gyrus.
*) sumber : http://www.sivalintar.com/skizofrenia.html
Gambar 2.1
Struktur otak normal dan otak pasien skizofrenia
Magnitic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan perbedaan
struktural antara otak orang dewasa normal di sebelah kiri dengan otak
klien skizofrenia di sebelah kanan. Otak klien skizofenia menunjukkan
pembesaran ventrikel, namun tidak semua klien skizofrenia
menunjukkan abnormalitas ini. Teori Model Keluarga, memang tidak
ada teori yang mendemonstrasikan bahwa atribut keluarga merupakan
penyebab dari skizofrenia tetapi beberapa pola asuh keluarga
menyebabkan gangguan perkembangan anak, seperti : keluarga dengan
“double blind” bisa menyebabkan kecemasan, rasa bersalah dan
kebingungan pada anak, pada anggota keluarga yang salah satu atau
kedua orang tuanya menderita skizofrenia akan membuat anak tidak
memiliki role model yang baik untuk perkembangannya, hubungan
interpersonal akan terganggu jika tugas perkembangan lambat hal ini
dapat menyebabkan stress kecemasan yang dapat berakhir dengan
gangguan persepsi kemungkinan klien mungkin menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif. Teori
budaya dan Lingkungan, skizofrenia dapat terjadi pada semua status
sosial ekonomi tetapi seringkali lebih banyak ditemukan pada
kelompok dengan kemampuan sosial ekonomi rendah. Seperti
dikatakan Kaplan (1994) bahwa klien skizofrenia lebih banyak
ditemukan pada kelompok dengan kemampuan sosial ekonomi rendah.
Hal ini terjadi karena kelompok ini lebih banyak mengalami stress.
Adanya berbagai factor di masyarakat dapat membuat sesorang
terisolir dan kesepian yang dapat mengakibatkan kurangnya
rangsangan dari eksternal sehingga timbul akibat yang lebih berat
seperti delusi dan halusinasi. Teori belajar, perilaku, perasaan dan cara
berpikir seseorang diperoleh dari belajar. Jika dalam proses belajarnya
sehari-hari, individu berinteraksi dengan klien skizofrenia maka hal ini
bisa mempengaruhi individu tersebut seperti dikatakan Sullivan dan
Fortinash (1996) bahwa perasaan, cara berpikir, dan berperilaku
tumbuh dari pengalaman individu dengan orang lain.
b) Faktor Presipitasi
Sedangkan faktor presipitasi meliputi stresor budaya merupakan stres
dan kecemasan akan meningkat jika terjadi penurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dengan orang yang penting. Faktor kimia
merupakan berbagai penelitian, dopamine, non epineprin, indolamin,
zat halusinasi diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realita,
klien biasanya mengembangkan perasaannya untuk mengingkari
kenyataan yang tidak menyenangkan. Gangguan realita dapat
berkembang bias terjadi karena intensitas kecemasan yang ekstrim dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah.
c) Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998 hal 33). Mekanisme koping
yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah regresi,
klien jadi malas beraktivitas sehari-hari. Proyeksi, mencoba
menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab
kepada orang lain atau suatu benda. Menarik diri, sulit mempercayai
orang lain dan asyik dengan stimulus internal. Keluarga mengingkari
masalah yang dialami klien. Mekanisme koping pada kasus sudah
sesuai dengan teori salah satunya yaitu menarik diri, hal ini didukung
oleh pengakuan klien lebih sering menyendiri dan mengatakan malu
keluar dari rumah.
d) Pohon masalah
Resiko Prilaku Kekerasan
Gangguan sensori persepsi: Halusinasi
Isolasi sosial
Skema 2.1
Pohon masalah secara teoritis
e) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual dan
potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan
sebagai proses kehidupan. (Carpenito, 1995). Dalam kasus, ditemukan
diagnosa keperawatan, antara lain:
1) Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi
2) Isolasi Social
3) Harga Diri Rendah
4) Defisit Perawatan Diri: kebersihan diri
5) Koping Keluarga Inefektif
6) Regimen Terapeutik Inefektif
7) Resiko Prilaku Kekerasan
B. Penelitian Terkait
1. Mujiyono, Desember 2008. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kekambuhan
Pasien Psikosis di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Tesis, Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga
terhadap kekambuhan pasien psikosis dan untuk mengetahui perbedaan proporsi
kekambuhan pasien psikosis pada kelompok dukungan keluarga tinggi dan
rendah. Metode penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif
menggunakan pendekatan studi kasus kontrol (case control studies), lokasi
penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Populasi penelitian adalah
semua keluarga pasien psikosis lama yang berobat di UGD dan Poliklinik RSJ
Daerah Surakarta pada bulan Oktober sampai bulan November 2008. Subjek
penelitian berdasarkan studi awal pada bulan April 2008 sebanyak 391 pasien,
pengambilan sampel sebanyak 80 responden sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang terdiri dari 2
jenis yaitu: kuesioner dukungan keluarga dan kuesioner kekambuhan pasien
psikosis. Kuesioner tersebut telah dinyatakan valid dan reliabel dengan nilai r
hitung memiliki harga signifikansi masing-masing < 0,05. Pengolahan dan
analisis dengan bantuan komputer melalui program SPSS. Hasil penelitian dari
80 responden menunjukkan tingkat dukungan keluarga pada kategori dukungan
rendah sebanyak 47 orang (58,8%), sisanya kategori dukungan tinggi sebanyak 33
orang (41,2%), sedangkan tingkat kekambuhan pasien psikosis kategori rendah
sebanyak 44 orang (55%), sisanya kekambuhan kategori tinggi 36 orang (45%).
Hasil pengujian hipotesis dengan analisis regresi diperoleh persamaan Y = 102,39
– 0,589X, a0 = 102,39 adalah konstanta artinya apabila dukungan keluarga sama
dengan nol maka kekambuhan pasien psikosis sebesar 102,39, dan b = -0,589
adalah koefisien dukungan keluarga, artinya apabila variabel dukungan keluarga
naik sebesar satu satuan, maka akan menurunkan kekambuhan pasien psikosis
sebesar 0,589 satuan dan sebaliknya apabila dukungan keluarga turun satu satuan
maka angka kekambuhan akan meningkat 0,589 satuan. Besarnya koefisien
sebesar 0,21 menunjukkan besarnya pengaruh dukungan keluarga sebesar 21%.
Perbedaan proporsi kekambuhan pasien psikosis dukungan keluarga tinggi dan
rendah ditunjukkan oleh harga pearson chi-square sebesar 21,47 dengan harga
signifikansi sebesar 0,000 < 0,01. Kesimpulan, dukungan keluarga berpengaruh
terhadap kekambuhan pasien psikosis dengan besarnya konstribusi pengaruh
harga determinasi sebesar 21% sedangkan 79% dipengaruhi faktor lain. Terdapat
perbedaan proporsi kekambuhan pada pasien psikosis pada kelompok kelompok
dukungan keluarga tinggi dan rendah ditunjukkan oleh harga pearson chi-square
sebesar 21,47 dengan harga signifikansi sebesar 0,000 < 0,01 artinya sangat
bermakna. Saran, sesuai hasil penelitian ini dukungan keluarga merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien psikosis, untuk itu diperlukan
kerjasama antara keluarga dan petugas kesehatan dalam pencegahan kekambuhan
pasien psikosis. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan desain prospektif
sehingga dapat mengukur secara lebih nyata tentang dukungan keluarga terhadap
kekambuhan pasien psikosis.
2. Indarini Dyah ss. Berjudul Hubungan Antara Bentuk Dukungan Keluarga
Dengan Periode Kekambuhan Penderita Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Kesembuhan dan kekambuhan penderita gangguan
jiwa sangat dipengaruhi oleh peran atau dukungan keluarga terhadap penderita
gangguan jiwa. Pengetahuan keluarga yang kurang tentang bentuk-bentuk
dukungan yang dapat diberikan pada penderita gangguan jiwa ini dapat dilihat
dari ketidaksiapan keluarga dalam memberikan dukungan pada penderita
gangguan jiwa. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara bentuk
dukungan keluarga dengan periode kekambuhan penderita gangguan jiwa.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan 86 partisipan.
Pengumpulan data dengan cara mengisi quesioner yang telah disusun oleh
peneliti. Selanjutnya data yang telah terkumpul diolah dengan analisa univariate
dan bivariate dalam software SPSS Versi 13.0. Hasil penelitian : 72,1% keluarga
mempunyai tingkat dukungan keluarga yang baik, yaitu 72,1% dan 27,6%
mempunyai bentuk dukungan yang buruk. 68,9% mempunyai periode
kekambuhan yang jarang dan 31,4% penderita gangguan jiwa mempunyai
periode kekambuhan yang sering. Ada hubungan antara bentuk dukungan
keluarga dalam mencegah kekambuhan dengan periode kekambuhan penderita
gangguan jiwa dengan signifikansi p value = 0,002. Dalam penelitian ini
pengukuran bentuk dukungan keluarga dalam mencegah kekambuhan dengan
kusieoner. Penelitian ini memberikan beberapa saran pada penelitian lain, bahwa:
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi terutama tentang
dukungan keluarga, juga menganalisa data secara kualitatif, dan menggunakan
jumlah sampel yang lebih besar sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan.
3. Penelitian dari STIKES dengan judul Perubahan Gejala Halusinasi Pasien Jiwa
Sebelum Dan Setelah Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Halusinasi
Di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY. Latar Belakang: Di Rumah Sakit Grhasia
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pasien yang mengalami gelaja gangguan
jiwa termasuk pasien dengan gejala halusinasi biasanya diberi intervensi
keperawatan berupa aktifitas-aktifitas yang sesuai dengan kemampuan pasien.
Intervensi keperawatan tersebut antara lain: Terapi Individu, Terapi Kerja, Terapi
Kognitif, Terapi Aktifitas Kelompok, Terapi Keluarga, Home Visite. Terapi
Aktifitas Kelompok menjadi salah satu cara terapi modalitas yang dikerjakan di
Rumah Sakit Grhasia, karena terapi aktifitas kelompok merupakan tindakan
terapi yang sering dilakukan dan efisien baik dari waktu, tenaga dan jumlah
pasien yang dihadapi. Tujuan Penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dan setelah
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi pasien rawat inap di RS
Grhasia Provinsi DIY. Metodologi Penelitian: Penelitian ini merupakan
penelitian pra eksperimen dengan rancangan penelitian one group pre-posttest
design. Sampel penelitian ini diambil 20 orang pasien yang terdiri dari 10 pasien
laki-laki dan 10 pasien perempuan. Data diambil dengan metode wawancara dan
observasi. Data dianalisis dengan uji t amatan ulangan (pairs t-test) dengan taraf
signifikansi 5%. Hasil Penelitian: Rerata gejala halusinasi pasien jiwa sebelum
Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi sebesar= 9,500 dan rerata
setelah sebesar= 5,250. Hasil analisis dengan software komputer diperoleh t
hitung= 10,902 dengan p<0,05 dan dinyatakan signifikan, sehingga Ho ditolak
dan Ha diterima. Kesimpulan: Terdapat perubahan (penurunan) yang signifikan
gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dengan setelah Terapi Aktifitas Kelompok
Stimulasi Persepsi di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY. Terapi Aktifitas
Kelompok Stimulasi Persepsi mampu menurunkan gejala halusinasi pasien jiwa
di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY sebesar= 44,737%.
4. Bayhakki (2002) yang berjudul “Pengaruh Intensitas Kunjungan Keluarga
Terhadap Peningkatan Motivasi Melakukan Aktivitas Harian Pada Lansia Di
Sasana Tresna Werhda Yayasan Karya Bhakti Ria Pembangunan Jakarta Timur”
dengan metode penelitian Deskriptif korelatif ini mengambil 24 responden
dengan tekhnik simple random sampling. Dari lansia yang tinggal di sasana
tresna werdha menyatakan dalam penelitiannya didapatkan nilai P ekstrim adalah
1, sedangkan P observasi dan P ekstrim dijumlahkan adalah 1,41, ternyata nilai P
lebih besar dari nilai alpha (0,05) maka hasil penelitian tersebut menyatakan nilai
Ho dapat diterima dalam penelitian Bayhakki berarti tidak ada pengaruh
intensitas kunjungan keluarga terhadap peningkatan motivasi dalam melakukan
aktivitas sehari-hari pada lansia yang tinggal dip anti werdha.
5. Dyah Syahreni (2002) yang berjudul “ Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kemampuan Keluarga Merawat Klien Gangguan Jiwa Dirumah”. Penelitian ini
deskriptif yaitu Cross sectional dengan 20 responden, dalam penelitiannya
menyatakan bahwa support system yang melibatkan keluarga mempunyai skor
tertinggi yaitu 4,61 kemudian terdapat sebesar 90% keluarga mampu
memberikan perawatan klien gangguan jiwa dirumah, sehingga dari hasil
penelitiannya bahwa ada hubungan yang bermakna antara support system dengan
kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa dirumah.
C. Kerangka Teori
Factor predisposisi:
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Skema 2.2
Sumber : Amirrimbawanto. Defisit perawatan diri. 2009
Faktor Pemungkin Kondisi fisik Kebiasaan
seseorang Status sosial
ekonomi
Faktor Pendorong Gangguan body
image Dukungan
lingkungan
Perilaku
perawatan
diri
Baik
Tidak