Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt...

12
453 Bab VII. KESIMPULAN Pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis. Proses ini tidak terhenti pada satu titik tertentu, tetapi terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu dan sejarah identitas itu sendiri, serta faktor- faktor penentu berjalannya proses tersebut. Sebagai sebuah proses, pembentukan identitas tidak dapat dilepaskan dari proses pengkonstruksian identitas tersebut oleh aktor atau agen, baik individu maupun lembaga (institusi) yang memiliki otoritas atau kekuasaan untuk menyahihkan sebuah identitas. Pembentukan identitas masyarakat Bali memiliki sejarah yang panjang. Periode paling krusial adalah setelah Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Bali secara penuh pada dekade pertama abad ke-20 dan pada awal dekade kedua (tahun 1920-an). Pada waktu itu pemerintah kolonial mencanangkan proyek Balinisasi (Robinson 1995, Vickers 1996, Schulte Nordholt 2009). Melalui proyek Balinisasi, pemerintah kolonial yang berhasil menguasai Bali mengkonstruksikan identitas Bali sebagai paradise (surga dunia). Tujuannya adalah mentradisionalkan Bali seperti di masa kerajaan dulu. Kenyataannya, seperti yang dikritik oleh Robinson, Vickers, dan Nordholt, proyek Balinisasi tersebut malah menghancurkan tatanan masyarakat Bali, dan bukan mengembalikan Bali pra-kolonialisme. Proyek lain adalah dengan mentradisionalkan Bali dengan menerapkan sistem kasta tertutup seperti model India. Hal ini menimbulkan gejolak di akar rumput. Gejolak yang sebenarnya menjauhkan Bali dari citra paradise hasil kontruksi pemerintah kolonial. Bila ditilik ke belakang masa pra-kolonial berdasarkan penelitian sejarah Schulte Nordholt (2009), gejolak-gejolak politik di masa-masa kerajaan sudah terjadi. Hal mana penuh dengan kudeta dan intrik-intrik politik yang cerdas. Faktanya gejolak atau gesekan ini pun terus berulang di masa pasca kolonial. Salah satu puncaknya adalah ketika terjadi pembantaian massal pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Schulte Nordholt (2009) menyimpulkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang dinamis dan kompleks, tidak bisa dilepaskan dari gesekan atau gejolak politik yang berkembang di dalam masyarakat itu. Pendapat

Transcript of Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt...

Page 1: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

453

Bab VII. KESIMPULAN

Pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis.

Proses ini tidak terhenti pada satu titik tertentu, tetapi terus berjalan seiring

dengan berjalannya waktu dan sejarah identitas itu sendiri, serta faktor-

faktor penentu berjalannya proses tersebut. Sebagai sebuah proses,

pembentukan identitas tidak dapat dilepaskan dari proses pengkonstruksian

identitas tersebut oleh aktor atau agen, baik individu maupun lembaga

(institusi) yang memiliki otoritas atau kekuasaan untuk menyahihkan

sebuah identitas.

Pembentukan identitas masyarakat Bali memiliki sejarah yang

panjang. Periode paling krusial adalah setelah Pemerintah Kolonial

Belanda berhasil menguasai Bali secara penuh pada dekade pertama abad

ke-20 dan pada awal dekade kedua (tahun 1920-an). Pada waktu itu

pemerintah kolonial mencanangkan proyek Balinisasi (Robinson 1995,

Vickers 1996, Schulte Nordholt 2009). Melalui proyek Balinisasi,

pemerintah kolonial yang berhasil menguasai Bali mengkonstruksikan

identitas Bali sebagai paradise (surga dunia). Tujuannya adalah

mentradisionalkan Bali seperti di masa kerajaan dulu. Kenyataannya,

seperti yang dikritik oleh Robinson, Vickers, dan Nordholt, proyek

Balinisasi tersebut malah menghancurkan tatanan masyarakat Bali, dan

bukan mengembalikan Bali pra-kolonialisme.

Proyek lain adalah dengan mentradisionalkan Bali dengan

menerapkan sistem kasta tertutup seperti model India. Hal ini

menimbulkan gejolak di akar rumput. Gejolak yang sebenarnya

menjauhkan Bali dari citra paradise hasil kontruksi pemerintah kolonial.

Bila ditilik ke belakang – masa pra-kolonial – berdasarkan penelitian

sejarah Schulte Nordholt (2009), gejolak-gejolak politik di masa-masa

kerajaan sudah terjadi. Hal mana penuh dengan kudeta dan intrik-intrik

politik yang cerdas. Faktanya gejolak atau gesekan ini pun terus berulang

di masa pasca kolonial. Salah satu puncaknya adalah ketika terjadi

pembantaian massal pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Schulte

Nordholt (2009) menyimpulkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat

yang dinamis dan kompleks, tidak bisa dilepaskan dari gesekan atau

gejolak politik yang berkembang di dalam masyarakat itu. Pendapat

Page 2: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

454

Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980)

atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan

masyarakat Bali sebagai sebuah masyarakat yang statis, tidak ada dinamika

dan gejolak politik antara pusat dan satelit.

Ketika masyarakat Bali dari Nusa Penida bertransmigrasi ke

Lampung pada tahun 1963 pasca letusan Gunung Agung, proses

pembentukan identitas kebalian itu masih terus berlangsung. Di masa itu,

Bali masih berjuang untung mematangkan kepercayaan Hindu Bali sebagai

sebuah agama yang sahih yang diakui oleh pemerintah republik. Geertz

(1964) menyebutnya sebagai internal conversion. Identitas kebalian

transmigran Bali Nusa ini belum final atau masih dalam proses

pembentukan melalui pengkonstruksian identitas oleh otoritas atau pusat

ketika mereka sudah berada di Lampung.

Ada dua identitas yang harus disahihkan untuk mengukuhkan dan

mematangkan identitas kebalian mereka, yaitu identitas warga dan

identitas sebagai Hindu Dharma. Dalam penyahihan identitas tersebut

dibutuhkan legitimasi dari otoritas sebagai konstruktor. Castells (2002)

menyebut jenis pengkonstruksian identitas tersebut sebagai legitimizing

identity. Negara (pemerintah) yang terlibat aktif terhadap kepercayaan atau

keagamaan masyarakatnya menjadi aktor atau konstruktor dominan atas

identitas keagamaan masyarakat Bali di bawah PHDI sebagai lembaga

semi pemerintah.

Di sisi lain, lembaga formal warga-warga yang berada di bawah

naungan PHDI memiliki kewajiban untuk menyahihkan kembali identitas

warga-warga-nya, termasuk para transmigran Bali Nusa di Balinuraga, di

mana identitas warga ini menjadi inti dari kebalian yang dipegang erat

dalam masyarakat Bali (terkait dengan kewajiban adat dan keagamaan).

Dengan kata lain, pola hubungan negara pusat dan satelit – dengan aktor

atau konstruktor identitas yang berbeda – menjadi penentu dalam proses

pembentukan identitas kebalian masyarakat Bali di luar Bali, seperti kasus

Bali Nusa di Balinuraga. Negara satelit (Balinuraga) membutuhkan

legitimasi (pengakuan) atas identitas kebalian setelah berada di luar Bali.

Di pihak lain, negara pusat (Bali) membutuhkan dukungan negara

satelit untuk melegitimasikan kekuasaannya. Pola hubungan ini

mempertegas temuan peneliti-peneliti sebelumnya – seperti Robinson

Page 3: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

455

(1995), Vickers (1996), Picard (1997), dan Schulte Nordholt (2009) –

bahwa dalam proses pembentukan identitas kebalian dilalui sebuah proses

pengkonstruksian identitas. Letak perbedaannya (dengan peneliti-peneliti

tersebut) adalah setelah berada di luar Bali (kasus Balinuraga) proses

pembentukan identitas melalui proses pengkonstruksian ditentukan oleh

pola hubungan negara pusat dan satelit. Konteks pola hubungan dalam

proses pembentukan identitas ini – dari tahun 1963 sampai tahun 2000-an

– tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik di pusat (Bali). Khususnya

bagaimana golongan jaba (non puri) memperjuangkan identitasnya agar

mendapatkan kedudukan yang setara dan tidak ada diskriminasi. Negara

satelit (seperti di Balinuraga dan komunitas Bali Hindu di luar Bali)

berusaha mendukung pusat dalam konstelasi politik identitas internal

mereka. Sumbangan terpenting dari negara satelit adalah donasi dana

(uang) dan suara (keanggotaan) kepada lembaga-lembaga formal warga

untuk perjuangan elit-elit warga (golongan jaba) di pusat.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, warga-warga yang ada

di Balinuraga dan komunitas Bali Hindu lainnya di luar Bali merupakan

golongan jaba. Setiap warga memiliki karakteristik sendiri yang

mencerminkan identitas kebaliannya. Salah satunya adalah sulinggih

warga (pendeta), di mana pada masa tersebut kesahihannya masih

diperdebatkan oleh kalangan elit di pusat (Bali). Ini menunjukkan bahwa

dalam proses pembentukan identitas di Balinuraga konstruksi identitas

tidak hanya dalam bentuk legitimizing identity – seperti yang dilakukan

pusat (pemerintah kolonial dan republik) ketika mengkonstruksikan

identitas Bali sebagai paradise dan pusat (lembaga formal warga) ketika

menyahihkan identitas warga di Balinuraga – tetapi juga dalam bentuk

resistance identity (identitas perlawanan) dan project identity (dalam

bentuk politik identitas golongan jaba) yang dilakukan komunitas

Balinuraga sebagai golongan jaba271

. Dengan melihat dan mengacu pada

271

Periode penting resistance dan project identity di Bali terjadi setelah

Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Bali di dekade awal abad ke-20,

khususnya setelah Proyek Balinisasi dilaksanakan di tahun 1920-an. Resistance

dan project identity ini dilakukan oleh golongan jaba (tergabung dalam warga-

warga yang dicampakkan ke dalam golongan jaba di masa Proyek Balinisasi)

terhadap penyahihan identitas yang dilakukan oleh pemerintah kolonial melalui

Page 4: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

456

apa yang terjadi di pusat, Balinuraga sebagai satelit dengan otonominya

mengkonstruksikan identitas identitasnya melalui resistance identity dan

project identity. Bentuk resistance identity dan project identity di

antaranya dapat dilihat pada kasus: penggunaan sistem warga daripada

sistem kasta (wangsa) yang dinilai mereka (golongan jaba) lebih egaliter;

menggunakan sulinggih warga dalam upacara penting seperti upacara

ngaben, sarana dan prasarana dalam upacara ngaben; jumlah atap tumpang

pada bangunan suci meru di Pura Kawitan Warga, dan Pura Desa dan

Puseh. Pola hubungan negara pusat dan satelit dalam proses pembentukan

identitas ini yang menyebabkan mengapa faktor patronase, otoritas,

ekonomi, ancaman eksternal, dan pendidikan menjadi berpengaruh dalam

rangkaian proses pembentukan identitas yang terkonstruksi.

Kritik Amartya Sen (2007) atas tesis benturan antara peradaban

Huntington (1996) adalah ilusi tentang ketunggalan identitas sebuah

peradaban dan karakterisasi yang mengabaikan kemultidimensian manusia.

Kritik Sen menjadi relevan ketika berbicara tentang identitas kebalian pada

kasus Balinuraga. Berbicara tentang identitas kebalian tidak cukup terhenti

pada „Bali Hindu‟, „kasta‟, atau pun „paradise‟ seperti yang (pernah)

disahihkan oleh pemerintah (kolonial dan republik). Karakterisasi atau

pengklasifikasian sempit tersebut telah mengabaikan kemultidimensian

atas identitas kebalian itu sendiri. Sama seperti di Bali, identitas kebalian

di Balinuraga merupakan sesuatu yang kompleks. Identitas kebalian di Bali

maupun di Balinuraga memiliki sejarahnya masing-masing dalam proses

pembentukannya. Tidak cukup dan menjadi sempit jika hanya melihatnya

pada Bali Hindu dan kasta atau pun paradise. Ada bentuk resistance dan

project identity yang dilakukannya sebagai tanggapan (respon) atas

legitimizing identity.

Kemultidimensian identitas kebalian di Balinuraga tercermin dari

sistem sosial kemasyarakatan Bali yang turut mereka adopsi setelah berada

di Lampung. Sistem sosial ini menjadi identitas kebalian mereka dan

peng-ajeg-an sistem kasta seperti di India dengan melakukan perlawanan terhadap

golongan triwangsa yang mendapatkan keuntungan dari Proyek Balinisasi

tersebut. Lihat: Robinson 1995, Dwipayana 2001, Kerepun 2003 & 2007, Schulte

Nordholt 2009.

Page 5: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

457

menjadikan Balinuraga sebagai sebuah negara tersendiri (negara satelit).

Mereka memiliki desa adat sendiri dengan sistem pengorganisasian sampai

di level banjar dan kompleks perkampungan yang eksklusif, organisasi

tradisional (seka) dengan pembagian kerja yang spesifik (seperti:

keagamaan, pertanian, dan kesenian), infrastruktur sosial (bale banjar dan

desa), serta infrastruktur keagamaan (pura kawitan warga dan pura

kahyangan tiga). Selain itu, ada keberagaman komposisi masyarakat di

Balinuraga. Meskipun masyarakat Balinuraga digolongkan sebagai jaba,

tetapi mereka terdiri dari berbagai warga-warga (klan). Tiga warga di

Balinuraga memiliki kekhasannya masing-masing dengan hubungan yang

kadang-kala menghangat. Setiap warga memiliki tradisi, pura kawitan, dan

sulinggih yang berbeda dengan warga lainnya. Karenanya, tidak arif jika

mengklasifikasikan mereka hanya terbatas pada “Bali Hindu” dan “kasta

sudra”. Pengklasifikasian seperti ini menampikkan realitas bahwa

masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya adalah masyarakat yang

dinamis dan multidimensi. Kehidupan mereka tidak statis seperti paradise.

Di Balinuraga ditunjukan dengan hubungan yang naik-turun antara Warga

Pandé dan Warga Pasek. Puncaknya adalah pemecahan Pura Desa dan

Puseh.

Jika diperhatikan secara teliti, berbagai upacara yang dilakukan

setiap banjar dengan identitas warga tertentu, maka ditemukan berbagai

karakteristik yang berbeda. Di samping itu, setiap warga memiliki

pengoraganisasian yang matang, di mana pusatnya berada di Bali. Hal ini

menjadi semakin kompleks ketika ada pembedaan antara ritual dan

upacara adat dan keagamaan. PHDI memposisikan diri sebagai majelis

yang mengurusi masalah keagamaan, tidak tersangkut-paut dengan urusan

adat. Di sisi lain, setiap ada ritual dan upacara adat, masyarakat Balinuraga

tidak dapat melepaskan diri dari Hindu Bali-nya. Karenanya, seperti yang

dikatakan Picard (1997, 1999, 2005, 2008), bahwa identitas kebalian

adalah kebudayaan Bali itu sendiri. Dalam konteks Balinuraga identitas

kebalian tersebut dipertegas dengan bekerjanya sistem sosial

kemasyarakatan Bali dengan dinamika relasi (hubungan) antara anggota

komunitasnya (warga-warga) yang mereka adopsi dari pusat. Bekerjanya

sistem sosial yang menjadi identitas kebalian masyarakat Balinuraga

membuktikan penelitian Geertz (1959) bahwa masyarakat Bali lekat

Page 6: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

458

dengan ikatan-ikatan sosialnya. Dalam konteks Balinuraga (Bali di luar

Bali) kuatnya ikatan-ikatan sosial itu semakin dipertegas. Perbedaannya

dari sisi konteks adalah bahwa komunitas Bali Hindu di Balinuraga

berhasil melepaskan ikatan-ikatan sosial tersebut dari tempat asal dengan

bertransmigrasi ke Lampung untuk memapankan perekonomiannya,

membawa dan mengadopsi ikatan-ikatan sosial (sistem sosial) tersebut ke

Lampung dan melanjutkan eksistensinya sebagai keberlanjutan eksistensi

identitas kebalian mereka.

Balinuraga yang berarti Bali masih ada membuktikan bagaimana

komunitas Bali Nusa yang dipelopori oleh transmigran di tahun 1963

berhasil membangun komunitas, desa, atau negara-nya secara mandiri.

Negara Balinuraga ini berhasil berdiri dan eksis sampai saat ini tidak dapat

dilepaskan dari apa yang disebut modal budaya. Modal budaya ini ada dari

keberfungsian sistem sosial kemasyarakatan Bali yang diadopsi setelah

berada di Lampung. Melalui modal budaya komunitas ini berdiri dan eksis

dengan identitas kebaliannya, serta menjadi sebuah negara satelit Bali di

luar Bali. Sistem subak yang menjadi bagian dari sistem sosial tersebut

dengan seka tani sebagai organisasi tradisional di bidang pertanian

menjadi penggerak perekonomian mereka di bidang pertanian. Hasil dari

pertanian ini yang digunakan oleh komunitas ini untuk membangun

negara-nya yang dimanifestasikan melalui infrastruktur-infrastruktur

sosial-keagamaan yang mencerminkan identitas kebalian di luar Bali. Jadi,

modal budaya tidak hanya digunakan untuk membangun komunitas ini

secara fisik sebagai perkampungan Bali, tetapi juga komunitas Balinuraga

sebagai sebuah identitas kebalian.

Bagaimanapun, keberfungsian sistem sosial yang multidimensi

dalam kebudayaan Bali menjadi tampak dalam identitas kebalian di

Balinuraga. Karenanya, dapat dikatakan bahwa identitas kebalian yang

mencerminkan kebudayaan Bali juga merupakan modal budaya yang

digunakan oleh masyarakat Balinuraga untuk membangun komunitasnya

sebagai Bali di Lampung.

Bali sebagai benteng terbuka yang dikemukakan Schulte Nordholt

(2007) berangkat dari sebuah dilema bagaimana melindungi kebudayaan

Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Menjadi benteng terbuka

adalah solusi atas dilema tersebut. Dalam konteks Bali di luar Bali, seperti

Page 7: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

459

kasus di Balinuraga, komunitas Balinuraga menghadapi dilema yang sama.

Balinuraga tidak menjadi benteng terbuka, melainkan menjadi benteng

tertutup. Tujuannya adalah untuk melestarikan identitas kebalian di luar

Bali (Lampung). Menjadi benteng tertutup sebagai proses pelestarian

identitas merupakan satu rangkaian dari proses pembentukan identitas

kebalian. Pelestarian identitas merupakan tujuan dari proses pembentukan

identitas yang dimanifestasikan dengan menjadi benteng tertutup, yaitu

melindungi atau mempertahankan kebudayaan Bali atau identitas kebalian

di Lampung. Tantangan dan ancaman menjadikan komunitas ini

membentengi identitas kebaliannya dalam sebuah perkampungan Bali

yang eksklusif (benteng tertutup). Perbedaan benteng terbuka yang ada di

Bali, seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007), dengan di

Balinuraga terletak pada kedudukan Balinuraga sebagai negara satelit.

Negara satelit sebagai benteng tertutup, sedangkan negara pusat

(Bali) sebagai benteng terbuka. Kedudukan negara satelit, seperti

Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya, yang didirikan secara mandiri

dan otonom, menjadikannya sebagai pertahanan terakhir identitas kebalian

atau kebudayaan Bali yang lebih luas. Benteng tertutup membuktikan

bagaimana upaya-upaya mempertahankan identitas etnik dan keagamaan

dalam sebuah ruang yang eksklusif oleh sebuah komunitas tidak

bertentangan dengan pembangunan. Artinya, tidak menyebabkan konflik

yang mengganggu proses pembangunan, khususnya pasca jatuhnya

Suharto – seperti yang ditunjukkan dalam Van Klinken dan Schulte

Nordholt (2007), dan Van Klinken (2007). Dalam kasus Balinuraga

penting untuk dikemukakan derajat keterbukaan benteng identitas tersebut.

Sebagai benteng identitas kebalian di luar Bali, Balinuraga

menjadi benteng yang lebih tertutup bila dibandingkan benteng identitas

kebalian di Bali seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007). Hal

ini dapat dilihat bagaimana perkampungannya yang eksklusif menjadi

sebuah negara teater satelit untuk mementaskan kebudayaan atau identitas

kebaliannya. Karenanya di dalam benteng ini, Bali menjadi ada, atau

Balinuraga. Ketertutupan benteng identitas kebalian di Balinuraga terbatas

pada upaya komunitas ini untuk melestarikan identitas kulturalnya.

Ketertutupan ini tidak berlaku ketika dihadapkan pada pasar (investasi

asing). Seperti yang terjadi di Bali, menjadi (benteng) terbuka adalah

Page 8: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

460

sebuah keharusan, dengan derajat keterbukaan yang jauh lebih besar

daripada di Balinuraga, karena ketergantungan perekonomian Bali atas

sektor industri pariwisata. Ini menunjukkan bahwa benteng (identitas)

tertutup yang dibangun oleh kelompok masyarakat transmigran yang

memiliki ikatan sosial yang kuat terhadap tanah leluhurnya, merupakan

usaha melestarikan identitas (kebudayaan) di tempat yang baru. Hal ini

tidak berlaku ketika komunitas tersebut berinteraksi di bidang

perekonomian atau di dalam sebuah pasar.

Jika mencermati fenomena Ajeg Bali yang berkembang di pusat,

maka dapat dikatakan bahwa proses pembentukan identitas kebalian di

Balinuraga belum selesai. Negara pusat masih mencari bentuk yang ideal

dengan menyesuaikan situasi dilematis yang berkembang di Bali. Sama

halnya yang terjadi pada negara satelit: masih dalam proses pembentukan

identitas sembari mengamati negara pusat yang menjadi acuan identitas

kebalian mereka. Situasi dilematis ini menjadi cerminan dari identitas

kebangsaan Indonesia yang masih mencari bentuk menjadi Indonesia.

Oleh karena itu, identitas itu sendiri dapat dikatakan sebagai sesuatu yang

ada dalam ketiadaan, menjadi sejarah dan sejarah itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas ada tiga tesis yang perlu dikemukakan

secara eksplisit guna mempertegas temuan dalam disertasi ini dan sebuah

tesis utama terkait sumbangan penelitian ini terhadap Studi Pembangunan.

Ketiga tesis tersebut merupakan jawaban atau sintesa atas tiga pertanyaan

penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I. Ketiga tesis tersebut

adalah:

Pertama, proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali

Nusa di Desa Balinuraga ditentukan oleh pola hubungan negara pusat dan

negara satelit. Pola hubungan negara pusat dan negara satelit dalam proses

pembentukan identitas menjadi sumbangan bagi teori pembentukan

identitas. Berdasarkan penelitian ini, proses pembentukan identitas sebuah

kelompok etnis masyarakat tradisional – yang memiliki ikatan sosial yang

kuat terhadap tanah leluhurnya dan telah bermigrasi ke tempat lain –

ditentukan oleh relasi atau hubungan negara pusat dan negara satelit.

Dalam kasus di Balinuraga, kuatnya relasi negara pusat dan negara satelit

ditunjukkan melalui penyahihan identitas negara satelit oleh negara pusat.

Tidak mengherankan bila terjadi proses pengkopian atau peniruan terhadap

Page 9: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

461

Bali dan Nusa Penida sebagai pusat di Balinuraga. Balinuraga sebagai

negara satelit merupakan negara yang otonom sehingga bisa membentuk

identitas resistensi dan proyek terkait dengan status mereka sebagai

golongan sudra.

Kedua, Balinuraga menjadi Bali yang berbeda. Perbedaan itu

nampak di dalam sistem sosial yang baru, yaitu sistem warga dan sistem

kelas. Sistem warga di Balinuraga lebih egaliter dibandingkan dengan

sistem wangsa. Jika sistem wangsa masih membedakan status sosial

berdasarkan kasta, tetapi sistem warga tidak membedakan status sosial

berdasarkan kasta. Hal ini disebabkan warga-warga (klan) yang ada di

Balinuraga digolongkan sebagai sudra wangsa. Uniknya, setelah

mengalami kemapanan ekonomi muncul hirarki sosial baru yang

kontradiktif dengan keegaliteran dalam sistem warga. Dari sinilah terjadi

pergeseran dari sistem warga ke sistem kelas. Jika tesis Dwipayana (2001)

menyebutkan terjadi pergeseran dari sistem kasta ke sistem kelas, maka di

Balinuraga pergeseran terjadi dari sistem warga ke sistem kelas.

Menariknya, sekalipun komunitas Bali Nusa di Balinuraga berasal dari

golongan jaba, ada kebutuhan untuk menciptakan sistem hirarki baru yang

menyerupai sistem wangsa. Sebagai contoh seorang sulinggih warga

(pendeta golongan jaba) mendapatkan kedudukan atau status sosial yang

tinggi seperti sulinggih brahmana (pendeta brahmana atau pendeta

triwangsa). Maka dari itu, Balinuraga menjadi Bali yang berbeda dengan

Bali. Inilah yang disebut dengan “Membali di Lampung”.

Ketiga, menjadi benteng tertutup merupakan upaya yang dilakukan

komunitas Balinuraga untuk melestarikan identitas kebaliannya. Identitas

kebalian bagi komunitas Balinuraga menjadi penting karena keterikatan

sosial yang kuat dengan Bali sebagai acuan identitas kebalian mereka

setelah berada di luar Bali. Identitas kebalian ini merupakan kebanggaan

mereka sebagai Bali Hindu di mana pun mereka berada. Tidak

mengherankan bila komunitas Balinuraga mendirikan benteng tertutup

demi mempertahankan identitas kebaliannya. Ini berbeda dengan Bali yang

melestarikan identitas kebaliannya dengan mendirikan benteng terbuka

seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007), sekalipun sama-sama

menghadapi tantangan dan ancaman terhadap kelestarian identitasnya.

Menjadi benteng terbuka bisa menjadi solusi bagi Bali (pusat) yang

Page 10: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

462

menghadapi situasi dilematis agar dapat melestarikan identitas kebaliannya

tanpa menutup diri terhadap dunia luar (industri pariwisata). Namun, ini

bukan menjadi solusi bagi negara satelit untuk melestarikan identitas

kebaliannya setelah berada di luar Bali. Mengingat untuk kasus Balinuraga

misalnya, mereka tidak tergantung pada industri pariwisata, tetapi dari

sektor pertanian. Melalui benteng tertutup ini bisa dilihat keotentikkan

makna dari upacara-upacara keagamaan yang dilakukan. Jika kegiatan

upacara-upacara keagamaan di Bali sudah menjadi komoditas pariwisata,

tetapi di Balinuraga dengan benteng tertutupnya upacara-upacara tersebut

benar-benar memiliki makna keagamaan sesuai dengan siklus tanam dan

panen yang menjadi identitas kebalian mereka.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, disertasi ini memiliki

relevansi dan signifikansi bagi Studi Pembangunan dalam

mendiskursuskan bagaimana menjadi Indonesia. Sebagaimana membali di

Lampung sebagai sebuah proses pembentukan identitas yang belum

selesai, begitu pula proses menjadi Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Identitas Indonesia sebagai sebuah negara (Negara Kesatuan Republik

Indonesia) memang sudah selesai, namun identitas Indonesia sebagai

sebuah bangsa (yang berbhineka tunggal ika) belumlah selesai. Bhineka

Tunggal Ika lahir dari realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural.

Menjadi Indonesia yang berbhineka tunggal ika tidak akan pernah

menghilangkan identitas kultural suku-suku bangsa di Indonesia. Namun

harus disadari bahwa menjadi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang

berbhineka tunggal ika menghadapi ancaman dengan menguatnya

semangat primordialisme.

Membali di Lampung menunjukkan bahwa pembentukan identitas

merupakan sebuah proses yang dinamis sebagaimana menjadi Indonesia.

Sekalipun komunitas Bali Nusa di Balinuraga jauh dari pusatnya, tetapi

mereka tidak kehilangan akar identitas kebaliannya. Ini dinampakkan

melalui upaya pelestarian identitas komunitas Balinuraga di Lampung

dengan mendirikan benteng tertutup. Membali di Lampung dengan

benteng identitasnya yang tertutup sebenarnya kontradiktif dengan

semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi pluralitas. Mereka

(komunitas Balinuraga) hidup secara eksklusif dalam sebuah

perkampungan Bali setelah bertransmigrasi. Realitas ini bertentangan

Page 11: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

463

dengan salah satu tujuan program transmigrasi, yaitu mendirikan

“Indonesia Mini” di daerah transmigrasi melalui pembauran (persebaran)

penduduk. Pada kasus di Balinuraga menjadi jelas bahwa masyarakat

dengan ikatan sosial yang kuat, ketika bertransmigrasi, akan membentuk

benteng identitas primordial (tertutup) yang kontradiktif dengan identitas

kebangsaan yang berbhineka tunggal ika. Situasi dilematis menjadi

Indonesia sebagai sebuah nation pun tampak jelas dari kasus “Membali di

Lampung”. Permasalahannya adalah bagaimana semangat Balinuraga ini

bisa mengobarkan spirit Indonesianuraga dengan jiwa bhineka tunggal

ika.

Page 12: Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam

464