Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt...
Transcript of Bab VII. KESIMPULANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/8/D_902008001...454 Schulte Nordholt...
453
Bab VII. KESIMPULAN
Pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis.
Proses ini tidak terhenti pada satu titik tertentu, tetapi terus berjalan seiring
dengan berjalannya waktu dan sejarah identitas itu sendiri, serta faktor-
faktor penentu berjalannya proses tersebut. Sebagai sebuah proses,
pembentukan identitas tidak dapat dilepaskan dari proses pengkonstruksian
identitas tersebut oleh aktor atau agen, baik individu maupun lembaga
(institusi) yang memiliki otoritas atau kekuasaan untuk menyahihkan
sebuah identitas.
Pembentukan identitas masyarakat Bali memiliki sejarah yang
panjang. Periode paling krusial adalah setelah Pemerintah Kolonial
Belanda berhasil menguasai Bali secara penuh pada dekade pertama abad
ke-20 dan pada awal dekade kedua (tahun 1920-an). Pada waktu itu
pemerintah kolonial mencanangkan proyek Balinisasi (Robinson 1995,
Vickers 1996, Schulte Nordholt 2009). Melalui proyek Balinisasi,
pemerintah kolonial yang berhasil menguasai Bali mengkonstruksikan
identitas Bali sebagai paradise (surga dunia). Tujuannya adalah
mentradisionalkan Bali seperti di masa kerajaan dulu. Kenyataannya,
seperti yang dikritik oleh Robinson, Vickers, dan Nordholt, proyek
Balinisasi tersebut malah menghancurkan tatanan masyarakat Bali, dan
bukan mengembalikan Bali pra-kolonialisme.
Proyek lain adalah dengan mentradisionalkan Bali dengan
menerapkan sistem kasta tertutup seperti model India. Hal ini
menimbulkan gejolak di akar rumput. Gejolak yang sebenarnya
menjauhkan Bali dari citra paradise hasil kontruksi pemerintah kolonial.
Bila ditilik ke belakang – masa pra-kolonial – berdasarkan penelitian
sejarah Schulte Nordholt (2009), gejolak-gejolak politik di masa-masa
kerajaan sudah terjadi. Hal mana penuh dengan kudeta dan intrik-intrik
politik yang cerdas. Faktanya gejolak atau gesekan ini pun terus berulang
di masa pasca kolonial. Salah satu puncaknya adalah ketika terjadi
pembantaian massal pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Schulte
Nordholt (2009) menyimpulkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat
yang dinamis dan kompleks, tidak bisa dilepaskan dari gesekan atau
gejolak politik yang berkembang di dalam masyarakat itu. Pendapat
454
Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980)
atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan
masyarakat Bali sebagai sebuah masyarakat yang statis, tidak ada dinamika
dan gejolak politik antara pusat dan satelit.
Ketika masyarakat Bali dari Nusa Penida bertransmigrasi ke
Lampung pada tahun 1963 pasca letusan Gunung Agung, proses
pembentukan identitas kebalian itu masih terus berlangsung. Di masa itu,
Bali masih berjuang untung mematangkan kepercayaan Hindu Bali sebagai
sebuah agama yang sahih yang diakui oleh pemerintah republik. Geertz
(1964) menyebutnya sebagai internal conversion. Identitas kebalian
transmigran Bali Nusa ini belum final atau masih dalam proses
pembentukan melalui pengkonstruksian identitas oleh otoritas atau pusat
ketika mereka sudah berada di Lampung.
Ada dua identitas yang harus disahihkan untuk mengukuhkan dan
mematangkan identitas kebalian mereka, yaitu identitas warga dan
identitas sebagai Hindu Dharma. Dalam penyahihan identitas tersebut
dibutuhkan legitimasi dari otoritas sebagai konstruktor. Castells (2002)
menyebut jenis pengkonstruksian identitas tersebut sebagai legitimizing
identity. Negara (pemerintah) yang terlibat aktif terhadap kepercayaan atau
keagamaan masyarakatnya menjadi aktor atau konstruktor dominan atas
identitas keagamaan masyarakat Bali di bawah PHDI sebagai lembaga
semi pemerintah.
Di sisi lain, lembaga formal warga-warga yang berada di bawah
naungan PHDI memiliki kewajiban untuk menyahihkan kembali identitas
warga-warga-nya, termasuk para transmigran Bali Nusa di Balinuraga, di
mana identitas warga ini menjadi inti dari kebalian yang dipegang erat
dalam masyarakat Bali (terkait dengan kewajiban adat dan keagamaan).
Dengan kata lain, pola hubungan negara pusat dan satelit – dengan aktor
atau konstruktor identitas yang berbeda – menjadi penentu dalam proses
pembentukan identitas kebalian masyarakat Bali di luar Bali, seperti kasus
Bali Nusa di Balinuraga. Negara satelit (Balinuraga) membutuhkan
legitimasi (pengakuan) atas identitas kebalian setelah berada di luar Bali.
Di pihak lain, negara pusat (Bali) membutuhkan dukungan negara
satelit untuk melegitimasikan kekuasaannya. Pola hubungan ini
mempertegas temuan peneliti-peneliti sebelumnya – seperti Robinson
455
(1995), Vickers (1996), Picard (1997), dan Schulte Nordholt (2009) –
bahwa dalam proses pembentukan identitas kebalian dilalui sebuah proses
pengkonstruksian identitas. Letak perbedaannya (dengan peneliti-peneliti
tersebut) adalah setelah berada di luar Bali (kasus Balinuraga) proses
pembentukan identitas melalui proses pengkonstruksian ditentukan oleh
pola hubungan negara pusat dan satelit. Konteks pola hubungan dalam
proses pembentukan identitas ini – dari tahun 1963 sampai tahun 2000-an
– tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik di pusat (Bali). Khususnya
bagaimana golongan jaba (non puri) memperjuangkan identitasnya agar
mendapatkan kedudukan yang setara dan tidak ada diskriminasi. Negara
satelit (seperti di Balinuraga dan komunitas Bali Hindu di luar Bali)
berusaha mendukung pusat dalam konstelasi politik identitas internal
mereka. Sumbangan terpenting dari negara satelit adalah donasi dana
(uang) dan suara (keanggotaan) kepada lembaga-lembaga formal warga
untuk perjuangan elit-elit warga (golongan jaba) di pusat.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, warga-warga yang ada
di Balinuraga dan komunitas Bali Hindu lainnya di luar Bali merupakan
golongan jaba. Setiap warga memiliki karakteristik sendiri yang
mencerminkan identitas kebaliannya. Salah satunya adalah sulinggih
warga (pendeta), di mana pada masa tersebut kesahihannya masih
diperdebatkan oleh kalangan elit di pusat (Bali). Ini menunjukkan bahwa
dalam proses pembentukan identitas di Balinuraga konstruksi identitas
tidak hanya dalam bentuk legitimizing identity – seperti yang dilakukan
pusat (pemerintah kolonial dan republik) ketika mengkonstruksikan
identitas Bali sebagai paradise dan pusat (lembaga formal warga) ketika
menyahihkan identitas warga di Balinuraga – tetapi juga dalam bentuk
resistance identity (identitas perlawanan) dan project identity (dalam
bentuk politik identitas golongan jaba) yang dilakukan komunitas
Balinuraga sebagai golongan jaba271
. Dengan melihat dan mengacu pada
271
Periode penting resistance dan project identity di Bali terjadi setelah
Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Bali di dekade awal abad ke-20,
khususnya setelah Proyek Balinisasi dilaksanakan di tahun 1920-an. Resistance
dan project identity ini dilakukan oleh golongan jaba (tergabung dalam warga-
warga yang dicampakkan ke dalam golongan jaba di masa Proyek Balinisasi)
terhadap penyahihan identitas yang dilakukan oleh pemerintah kolonial melalui
456
apa yang terjadi di pusat, Balinuraga sebagai satelit dengan otonominya
mengkonstruksikan identitas identitasnya melalui resistance identity dan
project identity. Bentuk resistance identity dan project identity di
antaranya dapat dilihat pada kasus: penggunaan sistem warga daripada
sistem kasta (wangsa) yang dinilai mereka (golongan jaba) lebih egaliter;
menggunakan sulinggih warga dalam upacara penting seperti upacara
ngaben, sarana dan prasarana dalam upacara ngaben; jumlah atap tumpang
pada bangunan suci meru di Pura Kawitan Warga, dan Pura Desa dan
Puseh. Pola hubungan negara pusat dan satelit dalam proses pembentukan
identitas ini yang menyebabkan mengapa faktor patronase, otoritas,
ekonomi, ancaman eksternal, dan pendidikan menjadi berpengaruh dalam
rangkaian proses pembentukan identitas yang terkonstruksi.
Kritik Amartya Sen (2007) atas tesis benturan antara peradaban
Huntington (1996) adalah ilusi tentang ketunggalan identitas sebuah
peradaban dan karakterisasi yang mengabaikan kemultidimensian manusia.
Kritik Sen menjadi relevan ketika berbicara tentang identitas kebalian pada
kasus Balinuraga. Berbicara tentang identitas kebalian tidak cukup terhenti
pada „Bali Hindu‟, „kasta‟, atau pun „paradise‟ seperti yang (pernah)
disahihkan oleh pemerintah (kolonial dan republik). Karakterisasi atau
pengklasifikasian sempit tersebut telah mengabaikan kemultidimensian
atas identitas kebalian itu sendiri. Sama seperti di Bali, identitas kebalian
di Balinuraga merupakan sesuatu yang kompleks. Identitas kebalian di Bali
maupun di Balinuraga memiliki sejarahnya masing-masing dalam proses
pembentukannya. Tidak cukup dan menjadi sempit jika hanya melihatnya
pada Bali Hindu dan kasta atau pun paradise. Ada bentuk resistance dan
project identity yang dilakukannya sebagai tanggapan (respon) atas
legitimizing identity.
Kemultidimensian identitas kebalian di Balinuraga tercermin dari
sistem sosial kemasyarakatan Bali yang turut mereka adopsi setelah berada
di Lampung. Sistem sosial ini menjadi identitas kebalian mereka dan
peng-ajeg-an sistem kasta seperti di India dengan melakukan perlawanan terhadap
golongan triwangsa yang mendapatkan keuntungan dari Proyek Balinisasi
tersebut. Lihat: Robinson 1995, Dwipayana 2001, Kerepun 2003 & 2007, Schulte
Nordholt 2009.
457
menjadikan Balinuraga sebagai sebuah negara tersendiri (negara satelit).
Mereka memiliki desa adat sendiri dengan sistem pengorganisasian sampai
di level banjar dan kompleks perkampungan yang eksklusif, organisasi
tradisional (seka) dengan pembagian kerja yang spesifik (seperti:
keagamaan, pertanian, dan kesenian), infrastruktur sosial (bale banjar dan
desa), serta infrastruktur keagamaan (pura kawitan warga dan pura
kahyangan tiga). Selain itu, ada keberagaman komposisi masyarakat di
Balinuraga. Meskipun masyarakat Balinuraga digolongkan sebagai jaba,
tetapi mereka terdiri dari berbagai warga-warga (klan). Tiga warga di
Balinuraga memiliki kekhasannya masing-masing dengan hubungan yang
kadang-kala menghangat. Setiap warga memiliki tradisi, pura kawitan, dan
sulinggih yang berbeda dengan warga lainnya. Karenanya, tidak arif jika
mengklasifikasikan mereka hanya terbatas pada “Bali Hindu” dan “kasta
sudra”. Pengklasifikasian seperti ini menampikkan realitas bahwa
masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya adalah masyarakat yang
dinamis dan multidimensi. Kehidupan mereka tidak statis seperti paradise.
Di Balinuraga ditunjukan dengan hubungan yang naik-turun antara Warga
Pandé dan Warga Pasek. Puncaknya adalah pemecahan Pura Desa dan
Puseh.
Jika diperhatikan secara teliti, berbagai upacara yang dilakukan
setiap banjar dengan identitas warga tertentu, maka ditemukan berbagai
karakteristik yang berbeda. Di samping itu, setiap warga memiliki
pengoraganisasian yang matang, di mana pusatnya berada di Bali. Hal ini
menjadi semakin kompleks ketika ada pembedaan antara ritual dan
upacara adat dan keagamaan. PHDI memposisikan diri sebagai majelis
yang mengurusi masalah keagamaan, tidak tersangkut-paut dengan urusan
adat. Di sisi lain, setiap ada ritual dan upacara adat, masyarakat Balinuraga
tidak dapat melepaskan diri dari Hindu Bali-nya. Karenanya, seperti yang
dikatakan Picard (1997, 1999, 2005, 2008), bahwa identitas kebalian
adalah kebudayaan Bali itu sendiri. Dalam konteks Balinuraga identitas
kebalian tersebut dipertegas dengan bekerjanya sistem sosial
kemasyarakatan Bali dengan dinamika relasi (hubungan) antara anggota
komunitasnya (warga-warga) yang mereka adopsi dari pusat. Bekerjanya
sistem sosial yang menjadi identitas kebalian masyarakat Balinuraga
membuktikan penelitian Geertz (1959) bahwa masyarakat Bali lekat
458
dengan ikatan-ikatan sosialnya. Dalam konteks Balinuraga (Bali di luar
Bali) kuatnya ikatan-ikatan sosial itu semakin dipertegas. Perbedaannya
dari sisi konteks adalah bahwa komunitas Bali Hindu di Balinuraga
berhasil melepaskan ikatan-ikatan sosial tersebut dari tempat asal dengan
bertransmigrasi ke Lampung untuk memapankan perekonomiannya,
membawa dan mengadopsi ikatan-ikatan sosial (sistem sosial) tersebut ke
Lampung dan melanjutkan eksistensinya sebagai keberlanjutan eksistensi
identitas kebalian mereka.
Balinuraga yang berarti Bali masih ada membuktikan bagaimana
komunitas Bali Nusa yang dipelopori oleh transmigran di tahun 1963
berhasil membangun komunitas, desa, atau negara-nya secara mandiri.
Negara Balinuraga ini berhasil berdiri dan eksis sampai saat ini tidak dapat
dilepaskan dari apa yang disebut modal budaya. Modal budaya ini ada dari
keberfungsian sistem sosial kemasyarakatan Bali yang diadopsi setelah
berada di Lampung. Melalui modal budaya komunitas ini berdiri dan eksis
dengan identitas kebaliannya, serta menjadi sebuah negara satelit Bali di
luar Bali. Sistem subak yang menjadi bagian dari sistem sosial tersebut
dengan seka tani sebagai organisasi tradisional di bidang pertanian
menjadi penggerak perekonomian mereka di bidang pertanian. Hasil dari
pertanian ini yang digunakan oleh komunitas ini untuk membangun
negara-nya yang dimanifestasikan melalui infrastruktur-infrastruktur
sosial-keagamaan yang mencerminkan identitas kebalian di luar Bali. Jadi,
modal budaya tidak hanya digunakan untuk membangun komunitas ini
secara fisik sebagai perkampungan Bali, tetapi juga komunitas Balinuraga
sebagai sebuah identitas kebalian.
Bagaimanapun, keberfungsian sistem sosial yang multidimensi
dalam kebudayaan Bali menjadi tampak dalam identitas kebalian di
Balinuraga. Karenanya, dapat dikatakan bahwa identitas kebalian yang
mencerminkan kebudayaan Bali juga merupakan modal budaya yang
digunakan oleh masyarakat Balinuraga untuk membangun komunitasnya
sebagai Bali di Lampung.
Bali sebagai benteng terbuka yang dikemukakan Schulte Nordholt
(2007) berangkat dari sebuah dilema bagaimana melindungi kebudayaan
Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Menjadi benteng terbuka
adalah solusi atas dilema tersebut. Dalam konteks Bali di luar Bali, seperti
459
kasus di Balinuraga, komunitas Balinuraga menghadapi dilema yang sama.
Balinuraga tidak menjadi benteng terbuka, melainkan menjadi benteng
tertutup. Tujuannya adalah untuk melestarikan identitas kebalian di luar
Bali (Lampung). Menjadi benteng tertutup sebagai proses pelestarian
identitas merupakan satu rangkaian dari proses pembentukan identitas
kebalian. Pelestarian identitas merupakan tujuan dari proses pembentukan
identitas yang dimanifestasikan dengan menjadi benteng tertutup, yaitu
melindungi atau mempertahankan kebudayaan Bali atau identitas kebalian
di Lampung. Tantangan dan ancaman menjadikan komunitas ini
membentengi identitas kebaliannya dalam sebuah perkampungan Bali
yang eksklusif (benteng tertutup). Perbedaan benteng terbuka yang ada di
Bali, seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007), dengan di
Balinuraga terletak pada kedudukan Balinuraga sebagai negara satelit.
Negara satelit sebagai benteng tertutup, sedangkan negara pusat
(Bali) sebagai benteng terbuka. Kedudukan negara satelit, seperti
Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya, yang didirikan secara mandiri
dan otonom, menjadikannya sebagai pertahanan terakhir identitas kebalian
atau kebudayaan Bali yang lebih luas. Benteng tertutup membuktikan
bagaimana upaya-upaya mempertahankan identitas etnik dan keagamaan
dalam sebuah ruang yang eksklusif oleh sebuah komunitas tidak
bertentangan dengan pembangunan. Artinya, tidak menyebabkan konflik
yang mengganggu proses pembangunan, khususnya pasca jatuhnya
Suharto – seperti yang ditunjukkan dalam Van Klinken dan Schulte
Nordholt (2007), dan Van Klinken (2007). Dalam kasus Balinuraga
penting untuk dikemukakan derajat keterbukaan benteng identitas tersebut.
Sebagai benteng identitas kebalian di luar Bali, Balinuraga
menjadi benteng yang lebih tertutup bila dibandingkan benteng identitas
kebalian di Bali seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007). Hal
ini dapat dilihat bagaimana perkampungannya yang eksklusif menjadi
sebuah negara teater satelit untuk mementaskan kebudayaan atau identitas
kebaliannya. Karenanya di dalam benteng ini, Bali menjadi ada, atau
Balinuraga. Ketertutupan benteng identitas kebalian di Balinuraga terbatas
pada upaya komunitas ini untuk melestarikan identitas kulturalnya.
Ketertutupan ini tidak berlaku ketika dihadapkan pada pasar (investasi
asing). Seperti yang terjadi di Bali, menjadi (benteng) terbuka adalah
460
sebuah keharusan, dengan derajat keterbukaan yang jauh lebih besar
daripada di Balinuraga, karena ketergantungan perekonomian Bali atas
sektor industri pariwisata. Ini menunjukkan bahwa benteng (identitas)
tertutup yang dibangun oleh kelompok masyarakat transmigran yang
memiliki ikatan sosial yang kuat terhadap tanah leluhurnya, merupakan
usaha melestarikan identitas (kebudayaan) di tempat yang baru. Hal ini
tidak berlaku ketika komunitas tersebut berinteraksi di bidang
perekonomian atau di dalam sebuah pasar.
Jika mencermati fenomena Ajeg Bali yang berkembang di pusat,
maka dapat dikatakan bahwa proses pembentukan identitas kebalian di
Balinuraga belum selesai. Negara pusat masih mencari bentuk yang ideal
dengan menyesuaikan situasi dilematis yang berkembang di Bali. Sama
halnya yang terjadi pada negara satelit: masih dalam proses pembentukan
identitas sembari mengamati negara pusat yang menjadi acuan identitas
kebalian mereka. Situasi dilematis ini menjadi cerminan dari identitas
kebangsaan Indonesia yang masih mencari bentuk menjadi Indonesia.
Oleh karena itu, identitas itu sendiri dapat dikatakan sebagai sesuatu yang
ada dalam ketiadaan, menjadi sejarah dan sejarah itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas ada tiga tesis yang perlu dikemukakan
secara eksplisit guna mempertegas temuan dalam disertasi ini dan sebuah
tesis utama terkait sumbangan penelitian ini terhadap Studi Pembangunan.
Ketiga tesis tersebut merupakan jawaban atau sintesa atas tiga pertanyaan
penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I. Ketiga tesis tersebut
adalah:
Pertama, proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali
Nusa di Desa Balinuraga ditentukan oleh pola hubungan negara pusat dan
negara satelit. Pola hubungan negara pusat dan negara satelit dalam proses
pembentukan identitas menjadi sumbangan bagi teori pembentukan
identitas. Berdasarkan penelitian ini, proses pembentukan identitas sebuah
kelompok etnis masyarakat tradisional – yang memiliki ikatan sosial yang
kuat terhadap tanah leluhurnya dan telah bermigrasi ke tempat lain –
ditentukan oleh relasi atau hubungan negara pusat dan negara satelit.
Dalam kasus di Balinuraga, kuatnya relasi negara pusat dan negara satelit
ditunjukkan melalui penyahihan identitas negara satelit oleh negara pusat.
Tidak mengherankan bila terjadi proses pengkopian atau peniruan terhadap
461
Bali dan Nusa Penida sebagai pusat di Balinuraga. Balinuraga sebagai
negara satelit merupakan negara yang otonom sehingga bisa membentuk
identitas resistensi dan proyek terkait dengan status mereka sebagai
golongan sudra.
Kedua, Balinuraga menjadi Bali yang berbeda. Perbedaan itu
nampak di dalam sistem sosial yang baru, yaitu sistem warga dan sistem
kelas. Sistem warga di Balinuraga lebih egaliter dibandingkan dengan
sistem wangsa. Jika sistem wangsa masih membedakan status sosial
berdasarkan kasta, tetapi sistem warga tidak membedakan status sosial
berdasarkan kasta. Hal ini disebabkan warga-warga (klan) yang ada di
Balinuraga digolongkan sebagai sudra wangsa. Uniknya, setelah
mengalami kemapanan ekonomi muncul hirarki sosial baru yang
kontradiktif dengan keegaliteran dalam sistem warga. Dari sinilah terjadi
pergeseran dari sistem warga ke sistem kelas. Jika tesis Dwipayana (2001)
menyebutkan terjadi pergeseran dari sistem kasta ke sistem kelas, maka di
Balinuraga pergeseran terjadi dari sistem warga ke sistem kelas.
Menariknya, sekalipun komunitas Bali Nusa di Balinuraga berasal dari
golongan jaba, ada kebutuhan untuk menciptakan sistem hirarki baru yang
menyerupai sistem wangsa. Sebagai contoh seorang sulinggih warga
(pendeta golongan jaba) mendapatkan kedudukan atau status sosial yang
tinggi seperti sulinggih brahmana (pendeta brahmana atau pendeta
triwangsa). Maka dari itu, Balinuraga menjadi Bali yang berbeda dengan
Bali. Inilah yang disebut dengan “Membali di Lampung”.
Ketiga, menjadi benteng tertutup merupakan upaya yang dilakukan
komunitas Balinuraga untuk melestarikan identitas kebaliannya. Identitas
kebalian bagi komunitas Balinuraga menjadi penting karena keterikatan
sosial yang kuat dengan Bali sebagai acuan identitas kebalian mereka
setelah berada di luar Bali. Identitas kebalian ini merupakan kebanggaan
mereka sebagai Bali Hindu di mana pun mereka berada. Tidak
mengherankan bila komunitas Balinuraga mendirikan benteng tertutup
demi mempertahankan identitas kebaliannya. Ini berbeda dengan Bali yang
melestarikan identitas kebaliannya dengan mendirikan benteng terbuka
seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007), sekalipun sama-sama
menghadapi tantangan dan ancaman terhadap kelestarian identitasnya.
Menjadi benteng terbuka bisa menjadi solusi bagi Bali (pusat) yang
462
menghadapi situasi dilematis agar dapat melestarikan identitas kebaliannya
tanpa menutup diri terhadap dunia luar (industri pariwisata). Namun, ini
bukan menjadi solusi bagi negara satelit untuk melestarikan identitas
kebaliannya setelah berada di luar Bali. Mengingat untuk kasus Balinuraga
misalnya, mereka tidak tergantung pada industri pariwisata, tetapi dari
sektor pertanian. Melalui benteng tertutup ini bisa dilihat keotentikkan
makna dari upacara-upacara keagamaan yang dilakukan. Jika kegiatan
upacara-upacara keagamaan di Bali sudah menjadi komoditas pariwisata,
tetapi di Balinuraga dengan benteng tertutupnya upacara-upacara tersebut
benar-benar memiliki makna keagamaan sesuai dengan siklus tanam dan
panen yang menjadi identitas kebalian mereka.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, disertasi ini memiliki
relevansi dan signifikansi bagi Studi Pembangunan dalam
mendiskursuskan bagaimana menjadi Indonesia. Sebagaimana membali di
Lampung sebagai sebuah proses pembentukan identitas yang belum
selesai, begitu pula proses menjadi Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Identitas Indonesia sebagai sebuah negara (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) memang sudah selesai, namun identitas Indonesia sebagai
sebuah bangsa (yang berbhineka tunggal ika) belumlah selesai. Bhineka
Tunggal Ika lahir dari realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural.
Menjadi Indonesia yang berbhineka tunggal ika tidak akan pernah
menghilangkan identitas kultural suku-suku bangsa di Indonesia. Namun
harus disadari bahwa menjadi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang
berbhineka tunggal ika menghadapi ancaman dengan menguatnya
semangat primordialisme.
Membali di Lampung menunjukkan bahwa pembentukan identitas
merupakan sebuah proses yang dinamis sebagaimana menjadi Indonesia.
Sekalipun komunitas Bali Nusa di Balinuraga jauh dari pusatnya, tetapi
mereka tidak kehilangan akar identitas kebaliannya. Ini dinampakkan
melalui upaya pelestarian identitas komunitas Balinuraga di Lampung
dengan mendirikan benteng tertutup. Membali di Lampung dengan
benteng identitasnya yang tertutup sebenarnya kontradiktif dengan
semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi pluralitas. Mereka
(komunitas Balinuraga) hidup secara eksklusif dalam sebuah
perkampungan Bali setelah bertransmigrasi. Realitas ini bertentangan
463
dengan salah satu tujuan program transmigrasi, yaitu mendirikan
“Indonesia Mini” di daerah transmigrasi melalui pembauran (persebaran)
penduduk. Pada kasus di Balinuraga menjadi jelas bahwa masyarakat
dengan ikatan sosial yang kuat, ketika bertransmigrasi, akan membentuk
benteng identitas primordial (tertutup) yang kontradiktif dengan identitas
kebangsaan yang berbhineka tunggal ika. Situasi dilematis menjadi
Indonesia sebagai sebuah nation pun tampak jelas dari kasus “Membali di
Lampung”. Permasalahannya adalah bagaimana semangat Balinuraga ini
bisa mengobarkan spirit Indonesianuraga dengan jiwa bhineka tunggal
ika.
464