ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF CLIFFORD...

96
ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF CLIFFORD GEERTZ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Sairi NIM: 1113032100015 JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M

Transcript of ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF CLIFFORD...

ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF

CLIFFORD GEERTZ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Muhammad Sairi

NIM: 1113032100015

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2017 M

v

ABSTRAK

Muhammad Sairi

Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz

Agama Islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan

tersendiri yang unik. Hal ini dikarenakan penyebaran Islam di Jawa, lebih

dominan mengambil bentuk akulturasi, baik yang bersifat menyerap,

menyatu maupun dialogis. Skripsi ini membahas mengenai Islam dan

Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz. Popularitas Geertz,

demikian ia dikenal, semakin melesat baik di negaranya maupun di

Indonesia ketika ia merampungkan penelitiannya tentang Indonesia

khususnya masyarakat Jawa yakni Mojokuto dan Bali serta Maroko dalam

kurun waktu sekitar lima tahun. Hasil penelitian yang dilakukan Geertz ini

kemudian mendapat apresiasi yang besar di kalangan insider (umat Islam

Indonesia) dan outsider (pemikir Barat) terutama karena penelitian ini

dinilai sebagai penelitian yang mampu memberikan “pandangan baru”

dalam diskursus keislaman dan relasinya dengan budaya Jawa.

Kajian tentang pemikiran Geertz itu dilakukan dalam beberapa

tahap. Pertama, mendiskripsikan tentang makna agama menurut para ahli

antropologi. Kedua, mengungkap sisi mutual simbiosis keislaman dan

Kejawaan menurut Geertz. Ketiga, menguraikan metode dan pendekatan

antropologis dan sosiologis yang digunakan oleh Clifford Geertz.

Setelah melewati beberapa tahap diatas, dapat dikemukakan bahwa

menurut Geertz kehadiran Islam di Jawa dengan pelbagai budaya yang

sangat kental tidak menjadikan keduanya saling menegasikan tetapi justru

mampu “hidup” berdampingan dan harmonis. Sementara jika dilihat dari

poal penghayatan dan intensitas pengamalannya terhadap ajaran Islam,

dalam konstruk sosiologis, umat Islam di Jawa dapat diklasifikasikan

menjadi santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama adalah representasi

umat Islam Jawa yang sangat ketat dalam menjalankan ajaran Islam

sementara, kebalikannya, yang kedua dan terakhir adalah komunitas muslim

yang menjalankan ajaran Islam dengan ala kadarnya dan bahkan kerap

“acuh”.

vi

KATA PENGANTAR

“Analisa kebudayaan bukanlah satu ilmu eksperimental yang mencari

sebuah hukum, tapi adalah satu penafsiran yang mencari makna.”

~ Clifford Geertz ~

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat serta hidayahnya penulis dapat merampungkan skripi ini dengan

judul Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada

junjungan kita yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW, begitu juga kepada

keluarganya dan para sahabatnya, hingga pada umatnya kelak, amiin.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh

gelar Sarjana Agama pada Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam proses penyelesaian

skripsi ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, tak

dapat dipungkiri rasa bahagia ini sepenuhnya bukan karena jerih payah

penulis sendiri melainkan ada dukungan semangat dari banyak pihak.

Sudah sepatutnya penulis ingin menyampaikan rasa “terima kasih”

dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu

kelancaran skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyak telah

meringankan beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak

semua pihak dapat disebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu

menyebutkan sejumlah nama yang membekas di hati penulis, yaitu:

1. Kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya memberikan

semangat luar biasa serta doa yang selalu dipanjatkan dalam salatnya.

Membesarkan dan mendidik di lingkungan pesantren, terima kasih.

2. Ibu Dr. Sri Mulyati, MA, selaku pembimbing Skripsi saya yang sejak

semula dengan ketulusan hati dan tidak bosan-bosan memberikan

perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

vii

3. Ibu Dra. Hermawati, MA, selaku penasihat akademik yang telah

mengesahkan judul penelitian sebagai bahan penulisan skripsi sehingga

penulisan skripsi berjalan dengan lancar.

4. Bapak Drs. M. Nuh Hasan, M.Ag yang menguji proposal skripsi saya

dan Drs. Dadi Darmadi, MA, yang selalu memberikan motivasi

semangat serta meluangkan waktunya untuk diajak diskusi.

5. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Ibu Dra. Halimah Mahmudy,

M.Ag, selaku ketua dan sekretaris jurusan Studi Agama-Agama, yang

telah memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna.

6. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Bapak Prof. Dr.

Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama-Agama, Bapak

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Bapak Prof. Dr. Ridwan Lubis MA,

Bapak Dr. Amin Nurdin, MA, dan Bapak Dr. Hamid Nasuhi, M.Ag,

Ibu Hj. Siti Nadroh, MA, Bapak Syaiful Azmi, MA, yang senantiasa

memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.

8. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak

membantu dalam menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis.

9. Keluarga besar penulis, Muhammad Khoiri selaku kakak, Adekku

Syaiful Bahri, Nazid Khobir dan Lailatul Fitriyah, serta sepupuku

semuanya, juga buat kakek dan nenek, yang senantiasa menyertakan

nama penulis disetiap do’anya.

10. Teruntuk Gus Ma’mun Jauhari terimakasih atas bantuan buku

refrensinya, serta ilmu yang telah diajarkan kepada saya pribadi semoga

menjadi ilmu yang barokah,amiin.

11. Teman-teman seperjuangan, Daenuri (ustad), Rahmat, Danu, Fadil,

Fauzy, Mulyadi, yang penyabar yang selalu berbagi kegalauan dalam

menyelesaikan skripsi termasuk teman-teman yang lain angkatan 2013.

12. Tak lupa pula teman-teman gowes Bapak Jauhar Azizi, MA, Komunitas

Telat Gowes (KTG), keluarga Dominate. Mardi, Lutfi, Denny.

viii

13. Sahabat penulis, Ahmad Ali Fikri yang bersedia untuk mengoreksi

skirpsi penulis, yang selalu memberikan semangat yang luar biasa

manfaat sehingga penulis tergerak untuk segera menyelesaikan skripsi

ini. Serta kawan seperjuangan The Al-falah Institute Jakarta, Baihaki,

Makmun, Andre, teruntuk Faisal Hasbi skripsinya segera diselesaikan.

Semangat!

14. Sahabat-sahabati KPA (Keluarga Perbandingan Agama), yang

meluangkan waktu bermain bersama, diskusi bersama di sela-sela

kesibukan kuliah masing-masing selama menimba ilmu di jurusan Studi

Agama-Agama. Sahabat-Sahabati PMII KOMFUSPERTUM, Kawan

HMI dan IMM.

15. Team Masjid Fatahillah Rempoa, Abu, Syahrul, Sopyan, Guruh.

Terutama pengurus DKM. Terimakasih yang tak terhingga kepada

keluarga Mas Fauzy, Reyhan, Yeza, dan Arjin.

16. Teman-teman KKN “REMBULAN” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang banyak memberikan pelajaran berharga tentang makna hidup dan

menjalankan arti kehidupan, terima kasih gengs.

Akhirnya, tidak ada manusia sempurna siapapun orangnya pastilah

ia memiliki sifat salah dan lupa. Namun begitu, semua tulisan yang ada di

hadapan pembaca ini adalah tanggung jawab penulis. Untuk semua pihak

yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini penulis ucapkan

terima kasih.

Ciputat, 25 September 2017

Penulis

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...................................................................................... i

SURAT PERNYATAAN .......................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iv

ABSTRAK ................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .............................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................. ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1

B. Batasan Dan Rumusan Masalah ...................................................... 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8

D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9

F. Metode Penelitian ......................................................................... 10

G. Pendekatan Penelitian ................................................................... 12

H. Analisis Data ................................................................................. 12

I. Teknik Penulisan ........................................................................... 12

J. Sistematika Penulisan ................................................................... 12

BAB II

AGAMA DAN BUDAYA

A. Agama Menurut Para Ahli Antropologi Agama ........................... 14

B. Makna Budaya Dan Kebudayaan .................................................. 23

C. Agama Dan Kebudayaan .............................................................. 26

x

BAB III

ISLAM SIMBOL DAN PRAKTIK KEAGAMAAN DALAM

BUDAYA JAWA

A. Islam Jawa ..................................................................................... 30

B. Islam Dalam Budaya Jawa ............................................................ 36

C. Praktik Islam Dalam Budaya Jawa ............................................... 42

BAB IV

ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF

CLIFFORD GEERTZ

A. Mutual Simbiosis Keislaman Dan Kejawaan ............................... 47

B. Islam Dan Modernitas ................................................................... 58

C. Budaya Jawa Dalam Modernitas .................................................. 68

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN ................................................................................... 80

B. SARAN ................................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk individu juga dikenal sebagai makhluk

sosial, yang tidak hidup sendiri, membutuhkan makhluk lain yang selalu

menjadi teman reaksinya dan pastinya di mana kita tinggal di situ pasti ada

budaya, adat setempat yang tak dapat dibuang, diganti dan bahkan

dipisahkan oleh masyarakat lain. Masyarakat dan budaya sudah seperti

darah dan daging yang saling menyatu satu sama lain. Yang pasti budaya itu

terus dilestarikan. Kedudukan dan peran masyarakat tidak lepas dari sistem

sosial budaya. Untuk melihat peristiwa sosial, tidak perlu mencari hubungan

sebab akibat akan tetapi berupaya memahami makna yang dihayati dalam

sebuah kebudayaan itu sendiri. Sebab kebudayaan diumpamakan oleh

Clifford Geetz seperti “jaringan-jaringan makna”, dan manusia adalah

bergantung pada jaring-jaring makna itu. Karena itulah kebudayaan bersifat

semiotik dan kontekstual.1

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan,

keyakinan, terhadap adanya kekuatan supranatural,2 kekuatan gaib, atau

kekuatan luar biasa yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan

masyarakat. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan

1 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Terjemahan Francisco Budi Hardiman,

(Yogyakarta: Kanisius, 2016), Cet. IV, h. 5 2 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),

h. 61-62

2

mempengaruhi kehidupan umat beragama. Dalam perkembangannya,

kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Mahakuasa digambarkan oleh

Max Weber bahwa “Tidak ada masyarakat tanpa agama. Jika masyarakat

ingin bertahan lama, harus ada Tuhan yang disembah, dari zaman kuno

sampai saat ini manusia selalu menyembah Tuhan”.3

Wujud kepercayaan pertama adalah percaya kepada Tuhan yang

dipercayai sebagai Tuhan Yang Mahakuasa, Maha Segalanya. Sehingga

kepercayaan itu menimbulkan sikap mental dan perilaku tertentu, seperti

berdoa, memuja, rasa optimis, rasa takut, pasrah dan lain sebagainya dari

individu dan masyarakat yang meyakininya. Keinginan, petunjuk, dan

kekuatan gaib harus dipatuhi apabila manusia dan masyarakat ingin

kehidupannya berjalan dengan baik dan selamat di dunia (tanpa hambatan).4

Kita harus percaya bahwa “Pada dasarnya seluruh manusia bersifat

religius,” manusia dalam posisi apapun, baik individu maupun kelompok,

atau sebagai mahluk biologis sekalipun, menyimpan kemampuan (kekuatan)

yang tersembunyi dalam dirinya yang menjadi penyebab utama timbulnya

apapun dan dimanapun mereka menganut agama.5

Di samping itu, manusia juga dibekali segudang kemampuan dasar

yang memiliki kecenderungan bertahan (survive), berkembang (develop),

3 Max Weber, Sosiologi Agama, Terjemahan Yudi Santoso, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2001),

h. 30 4 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),

h. 63 5 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif,

Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Jogyakarta: IRCiSoD, 2011), h. 26

3

dan berfikir (think). Kemampuan itu telah disiapkan sebelum manusia lahir,

ketika manusia dalam bentuk gumpalan-gumpalan darah tulang dan daging.

Tuhan telah membekali ia kemampuan naluriah atau dalam Ilmu Psikologi

disebut potensialitas dan sering juga disebut fitrah6, yang berarti suatu jiwa

yang tidak terikat oleh keinginan dan keperluan duniawi dan mempunyai

satu tujuan akhir sama yaitu kembali kepada sang penciptanya (Tuhan), lalu

membentuk sebuah keimanan yang diserap melalui pemikiran dan diserap

melalui perasaan dan di laksanakan dalam bentuk tindakan, perkataan, cara

bersikap, juga dapat membimbing dan menjadikan sebuah pengalaman

seseorang kearah kebaikan dan kebenaran. Maka dengan beragama jalan

yang tepat untuk menciptakan rasa kedamaian, perlindungan dan solusi

untuk kegelisahan atas apa yang terjadi di kehidupan nyata.

Berkaitan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa manusia memiliki

dinamika emosional spiritualitas yang sesaat dapat berubah, terjebak oleh

perasaan acuh tak acuh atau “alienasi”7 dari keadaan sebelumnya menuju

keyakinan baru yang lebih masuk akal. Sejatinya manusia silih berganti dari

pemahaman “animisme” ke “dinamisme” dari dinamisme menuju paham

6 Heny Narendrany dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama. (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2007), h. 69 7 Menurut Karl Marx Alienasi adalah sesuatu yang dikonstruksi dan aktual. Perbuatan

manusia sendirilah yang menyebabkan mereka teralienasi. Pula alienasi itu ada yang dilekatkan

dengan sengaja kepada orang lain termasuk ide-ide itu sendiri padahal menurut Marx bahwa

manusia itu yang menjadi pemilik sebenarnya. Itulah alienasi yang paling riil dan menjadi sumber

utama kesengsaraan umat manusia. Tuhan selalu disembah padahal semua itu adalah kepunyaan

manusia.

4

yang lebih baru “totemisme”8 dan lain sebagainya. Frustasi yang dapat

menimbulkan sikap labil sehingga mengganggu spiritualitas dan bahkan

meninggalkan keyakinan yang dimiliki sebelumnya.

Kehidupan beragama adalah fakta sejarah yang ditemukan sepanjang

sejarah manusia dan masyarakat dalam kehidupan pribadinya. Manusia

beragama mempunyai ketergantungan pada kekuatan gaib sudah diketahui

sejak jaman purba sampai jaman modern ini. Kepercayaan itu diakui

kebenarannya sehingga ia menjadi kepercayaan religius. Manusia

berkembang dari manusia purba ke manusia modern, menjalankan tradisi

dan menciptakan tradisi. Dalam budaya Jawa banyak sekali sesembahan

yang kemudian setiap kali mereka punya hajat seperti nikahan, lahiran,

kematian mereka selalu mengadakan ritual-ritual yang dikenal dengan

sebuah istilah “slametan,”9 seperti perkawinan, kelahiran, kematian,

berlangsung dari dulu kala sampai zaman modern ini. Upacara-upacara

slametan ini dalam agama dikenal dengan sebutan ibadah dan dalam

antroplologi agama dinamakan ritual (rites).10

Budaya mewarnai dan membentuk suatu Agama. Aspek budaya

maupun kultural dinilai sangat penting oleh para ahli antropologi dan

budayawan yang beropini budaya sebagai wadah yang membentuk dan

mewarnai suatu keagamaan. Keberhasilan suatu gagasan terlihat apakah

8 Emile Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life: Sejarah Bentuk-Bentuk

Agama yang Paling Dasar, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2011), h. 82 9 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai Dalam Kebudayaan Jawa,

Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h. 89 10

Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 2

5

gagasan tersebut sejalan dengan nilai yang mereka miliki atau tidak. Akan

tetapi tolok ukur sebuah kemodernan saat ini terletak pada kemajuan

ekonomi. Hampir tidak ada yang mengukur keberhasilan pembangunannya

dari nilai-nilai yang telah diusung oleh sistem kebudayaan mereka seperti

tercapainya nilai-nilai moral, keagamaan, seni, apalagi kebahagiaan

ruhaniah (batin), kebahagiaan individu dan anggota masyarakat yang ada.

Alasan tidak dipakainya tolok ukur budaya adalah karena nilai-nilai tersebut

tidak dapat diukur (kepastiannya). Di samping itu persepsi bahwa kemajuan

terletak pada peningkatan laju ekonomi sebuah bangsa telah mendominasi

pandangan dunia saat ini.11

Kaitannya dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai objek

penelitiannya, menurut Clifford Geertz12

itu hanya sebuah kebetulan belaka.

Namun begitu pemilihan Indonesia merupakan pilihan yang tepat karena

pada tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu Negara yang memiliki

konstitusi yang paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan

masyarakatnya dan kaya akan budaya dan model keberagamaannya.

11

Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 29 12

Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California 23 Agustus 1926 Salah seorang

peneliti berkebangsaan Amerika Serikat. Ia dibesarkan dalam lingkungan terdidik dan terpelajar.

Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan

khususnya di Indonesia dan Maroko. Ia mengawali karir dalam dunia militer. Sejak remaja pada

usia 17 tahun ia mulai bergabung dengan pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat pada masa

Perang Dunia II selama kurang lebih dua tahun lamanya (1943-1945). Adapun karir akademiknya

ia mulai ketika kuliyah di Antioch College jurusan Bahasa Inggris kemudian ia beralih ke filsafat

dan lulus tahun 1950. Selepas ia lulus dari Antioch College ia melanjutkan studi antropologinya di

Universitas Harvard (Harvard University), lihat Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 142-

143. Baca juga otobiografinya dalam bukunya Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam

Kebudayaan Jawa.

6

Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan kota kecil di Jawa

Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan yang ada di Jawa secara

keseluruhan. Namun bagi Geertz, “Mojokuto” adalah merupakan di mana

makna “kejawaan” itu dibumikan, artinya benar-benar dipraktikkan.

“Mojokuto” begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam,

Hindu, dan tradisi animisme, dinamisme nenek moyang “berbaur” dalam

satu sistem sosial masyarakat setempat.13

Sebaliknya bukan hanya di Jawa berlaku juga bagi agama orang

Bali, di mana agama dalam budaya Bali bersifat konkret, berpusat pada hal-

hal yang berkaitan dengan tingkah laku sehari-hari, sarat akan gotong

royong, masyarakat Bali dapat memelihara tradisi keagamaan itu dengan

kuat. Selain daripada itu, di benak masyarakat, Bali dilekatkan dengan

budaya seremonial sesajen yang terus menerus dilakukan, menyiapkan

ritual-ritual yang cukup rumit, menghiasi Pura dengan bermacam hiasan.

Sehingga menjadi ciri khas tersendiri dalam persembahan keagamaan.14

Geertz berasumsi, fakta bahwa Indonesia dan Maroko selama kurang

lebih enam belas abad untuk Indonesia, dan dua belas abad untuk Maroko

merupakan negara terbelakang yang bisa dikatakan sebagai masyarakat

pinggiran alias periferal (dalam pengertian geografis) dilihat dari peradaban

dunia berbeda yang terus menerus berinteraksi, dan terkadang saling

membaur lebur. Dalam kasus Indonesia, secara simpulan kasarnya kawasan

13

Geertz, Tafsir Kebudayaan, h. 137 14

Geertz, Tafsir Kebudayaan, h. 129

7

itu terletak di kawasan Indus, Maluku dan Irian. Sementara di Maroko

kawasan yang dimaksud terletak di kawasan Oxus dan Sahara Barat.15

Terlepas dari masing-masing kebudayaan yang berbeda ada satu

kota yang ditemukan oleh Geertz yang mana kota itu memiliki tipe-tipe

tersendiri dalam kehidupan masyarakatnya. Adapun abangan, santri, dan

priyayi yang merupakan sebuah cerminan organisasi moral kebudayaan

Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk

Mojokuto berdasarkan kacamata Geertz terhadap pandangan mereka pada

kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik.

Menyikapi persoalan diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih

mendalam dan menganalisis atas relevansinya dalam kehidupan modern saat

ini. Yang menarik dari persoalan diatas adalah tentang “keagamaan dan

budaya yang berbaur dalam suatu sistem sosial masyarakat tanpa saling

menyalahkan dan mengklaim (menganggap) bahwa agama kita yang benar

dan budaya kita yang paling bagus. Disitulah yang menjadi daya tarik

tersendiri bagi penulis untuk dikaji lebih lanjut. Agama dan budaya selalu

menjadi bahan perbincangan yang hangat. Untuk itu dalam penulisan skripsi

ini penulis sengaja mengambil judul “ ISLAM DAN BUDAYA JAWA

DALAM PERSPEKTIF CLIFFORD GEERTZ ”.

15

Clifford Geertz, After The Fact, Terjemahan Landung Simatupang, (Yogyakarta:

LKiS, 2017), cet. II, h. 69

8

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penulis hanya membatasi permasalahan yang akan diteliti dalam

(library research) ini pada lingkungan sosial, politik maupun agama.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membatasi dan mengambil

pokok permasalahan sebagai berikut; Bagaimana pola keberagamaan

kehidupan masyarakat Jawa menurut Clifford Geertz ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui intensitas trikotomi keberagamaan masyarakat

Jawa menurut Clifford Geertz.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah kontribusi

ilmiah bagi pengembangan penelitian lanjutan terutama mengenai

kehidupan manusia dalam bidang sosial, budaya, serta agama.

b. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan

akhir perkuliahan untuk gelar Strata I, (S1) Sarjana Agama (S.Ag)

dalam Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat Praktis

a. Melalui penelitian ini diharapkan penulis dan pembaca dapat mengerti

tentang kedudukan agama dan budaya yang melekat dalam diri

manusia.

9

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

tentang agama dan budaya.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian dan kajian tentang agama dan budaya telah banyak

dilakukan. Karena tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat akan tetap butuh

yang namanya agama kapan pun di manapun dan tak lekang oleh waktu,

sebab itulah buku-buku, jurnal, serta data-data yang lain cukup mudah di

dapatkan. Diantara hasil penelitian tentang agama maupun yang ada

kaitannya dengan budaya penulis temukan beberapa data sebagai berikut:

Pertama, dari skripsi yang ditulis oleh Muhammad Marzuqi (2009)

Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (Studi terhadap Praktek “Laku

Spiritual” Kadang Padepokan Gunung Lanang di Desa Sindutan

Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo). Karya ini berbicara mengenai

akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa melalui praktek-prakek yang

dilakukan oleh masyarakat desa Sindutan.16

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Inka Mayang Marindra tentang

“Analisis Representasi Pluralisme Agama dan Budaya Dalam Film “Cinta

Tapi Beda”. Dalam skripsi tersebut ia menjelaskan budaya Islam dan

Kristen Katolik yang disadur lewat film beda keyakinan. Melalui film

tersebut ditampilkan stereotip Padang yang kental dengan Muslim yang

16

Skripsi ini di tulis oleh Muhammad Marzuqi Mahasiswa Prodi Perbandingan Agama

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini sebagai perbandingan dari

skripsi yang akan di tulis penulis. Ia membahas tentang ritual dan prkatek-praktek religi di Desa

Sindutan.

10

taat.17

Meski demikian antara Muslim dan Katolik selalu akur dalam hal apa

pun.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rahman Taufik tentang “Integrasi

Agama dan Budaya Dalam Perspektif Kuntowijoyo”. Dalam skripsi tersebut

ia jelaskan bahwa agama dan budaya saling bertautan, saling menyatu, tidak

terpisah dan saling berhubungan. Serta ia menjelaskan bahwa agama dan

budaya di tengah-tengah arus modernisasi tetap eksis dan tetap terjaga.

Sedangkan tema yang penulis bahas adalah Islam Dan Budaya Jawa

Dalam Perspektif Clifford Geertz dengan menggunakan metode analisis

deskriptif yang di kombinasikan dalam bentuk pendekatan sosiologis dan

antropologis. Yang di dalam konteksnya mengarah untuk mengetahui

bagaimana peran agama dalam kehidupan masyarakat Jawa dan

relevansinya dalam konteks masyarakat modern menurut Clifford Geertz ?

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, yang bersifat penelitian

kepustakaan (library research), suatu cara untuk mengadakan penelitian

berdasarkan naskah yang diterbitkan baik melalui buku-buku, jurnal-jurnal

maupun buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan penelitian,

17

Inka Mayang Marindra adalah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Lampung Bandar Lampung.

11

sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan yang relevan dengan pokok

rumusan masalah diatas18

.

2. Sumber Data

Terdapat dua model data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang secara

langsung berkaitan dengan objek material penelitian. Dalam penelitian ini

adalah buku Agama Jawa Abangan Santri dan Priyayi, Tafsir Kebudayaan,

After The Fact karya Clifford Geertz sebagai sumber utama. Sementara data

sekunder penulis dapatkan dari buku-buku refrensi pelengkap berupa buku-

buku, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan bahan yang sedang penulis

teliti19

.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah teknik dokumentasi. Dalam proses pengumpulan data-data yang

terkait dengan penelitian ini maka penulis akan menempuh beberapa

langkah sebagai berikut:

a. Melakukan tinjauan terhadap data primer, yaitu buku Agama Jawa

Abangan Santri dan Priyayi, Tafsir Kebudayaan, After The Fact karya

Clifford Geertz

b. Tinjauan terhadap data sekunder, yaitu buku-buku, jurnal, dan artikel

yang berkaitan dengan objek atau tema dari penelitian ini.

18

Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.

22 19

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.

32

12

c. Selanjutnya penulis akan memadukan dengan buku-buku lain yang

berkaitan dengan tema penelitian ini sebagai bahan perbandingan dari

data primer dengan data sekunder diatas.

G. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan

dua model pendekatan yakni pendekatan antropologis dan pendekatan

sosiologis.20

H. Analisis Data

Data-data yang terkumpul dari berbagai sumber akan dianalisis

menggunakan metode analisis isi (content analysis). Metode ini menekankan

pada bagaimana memperoleh keterangan dari data-data yang terkumpul dari

sekian banyak sumber.

I. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dalam Penulisan skripsi ini, Penulis

menggunakan buku Pedoman Akademik Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,

Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan

CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2013.

J. Sistematika Penulisan

Untuk mendapat gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan

diuraikan dalam skripsi ini, perlu Penulis kemukakan susunan atau sistematika

20

Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, h. 22

13

penulisan. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi terdiri dari 5 (lima) bab

yang tiap-tiap bab tediri dari sub-bab yang membahas materi penulisan skripsi ini.

Bab I Merupakan Pendahuluan yang meliputi sub-sub bab, yaitu :

Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah,

Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Landasan Teori,

Tinjauan pustaka, Metodologi Penelitian, Teknik penulisan

dan Sistematika Penulisan.

Bab II Membahas tentang Agama dan Budaya yang meliputi

beberapa sub bab yaitu: agama menurut para ahli antropologi

agama, makna budaya dan kebudayaan, agama dan

kebudayaan.

Bab III Membahas tentang Islam, Simbol dan Praktik Keagamaan

dalam Budaya Jawa yang terdiri dari tiga sub bab yaitu: Islam

Jawa, Islam dalam budaya Jawa, Praktik Islam dalam Budaya

Jawa.

Bab IV Membahas tentang Islam dan Budaya Jawa dalam perspektif

Clifford Geertz yang meliputi tiga sub bab yaitu: Mutual

Simbiosis Keislaman Dan Kejawaan, Islam dan Modernitas,

Budaya Jawa dalam Modernitas.

Bab V Penutup, yang menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran.

14

BAB II

AGAMA DAN BUDAYA

A. Agama Menurut Para Ahli Antropologi Agama

Dalam ilmu antropologi secara sederhana agama diartikan sebuah

ilmu yang memahami tentang seluk beluk perilaku manusia beragama yang

dibungkus dengan pertanyaan kenapa dan bagaimana manusia beragama?1

Sementara itu, bagaimana manusia beragama menjelaskan dimana keadaan,

aspek bagaimana perilaku dan cita rasa manusia menghayati agama. Lain

halnya dari kenapa manusia beragama, merupakan perilaku dan kondisi

psikologis masyarakat secara individu. Dikarenakan luasnya cakupan

kehidupan beragama dan kita tahu telah berkembang beragam macam agama

yang telah dianut oleh masyarakat dalam kehidupan manusia di dunia.

Terkhusus di Indonesia ada enam agama yang diakui antara lain, Agama

Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Islam, dan Konghucu.

Berikut disajikan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli

antropologi terhadap agama.

1. Edward Burnett Tylor (1832-1917)2

Agama tidak akan lepas dari kehidupan manusia, begitu sebaliknya

agama selalu dalam ruang lingkup manusia baik secara personal maupun

1 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),

h. 21 2 E.B Tylor adalah seorang ahli folklor, sastra dan peradaban Yunani dan Romawi klasik

berkebangsaan Inggris. Awal mula ia tidak tertarik untuk membahas masalah agama, tetapi lebih

tertarik kepada kebudayaan manusia dan kelompok sosial. Oleh sebab itu, ia dianggap sebagai

pencetus antropologi sosial atau antropologi sosial sebagai sebuah sains. Ia lahir dari keluarga

Quakers yang merupakan kelompok Protestan yang ekstrim bahkan bisa dikatakan fanatik di

Inggris.

15

impersonal. Definisi pertama dikemukakan oleh Edward Burnett Tylor.

Ia memandang asal mula agama adalah berdasarkan keyakinan manusia

kepada suatu wujud spiritual (a belief in spiritual being).3 Agama

digambarkan sebagai kepercayaan kepada yang gaib, yang supernatural,

yang tidak tampak oleh mata kepala normal, yang berpikir, bertindak

dan merasakan sama dengan manusia.

Bagi Tylor esensi agama tentu dapat juga dilekatkan kepada agama

besar dunia, seperti agama Islam, Kristen, Budha, dan Hindu. Esensi

agama digambarkan sebagai sebuah kepercayaan kepada wujud spiritual

dimaksud adalah mengerucut kepada (Tuhan),4 bukan hanya untuk satu

agama tertentu, tetapi Tuhan semua manusia yang percaya agama. Tuhan

yang dimaksud adalah Tuhan yang di Tuhankan manusia. Tuhan yang

disakralkan dan disembah disetiap saat.

2. Lucien Levy-Bruhl (1857-1945)5

Agama bagi Bruhl adalah pandangan dan jalan hidup masyarakat

primitif. Agama dipandangnya sebagaimana halnya magi6, tidak logis

3 Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 120. Bandingkan dengan Tylor. Primitif

Culture, h. 424. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling

Komprehensif, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h.

41. Betty R. Schraf, The Sosiological Study of Religion. (London: Hutchinton Univ). h. 31-33.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Jambatan), h. 46-53 4 Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 121

5 Levy-Bruhl adalah ahli di bidang sejarah dan filsafat Prancis, ia terkenal berkat karya-

karyanya mengenai kelompok primitif. Ia membantah teori Tylor yang berpikir bahwa masyarakat

primitif berpikir abstrak. Bagi Bruhl tidak mungkin manusia berpikir abstrak. Proses jiwa primitif

dengan jiwa modern berbeda sekali, jiwa modern didominasi oleh pikiran positif, sebaliknya

primitif didominasi oleh pikiran negatif. 6 Magi sama dengan Ilmu sihir dimana kepercayaan dan praktik keyakinan bahwa secara

langsung manusia dapat memengaruhi kekuatan alam baik tujuannya untuk kebaikan atau

keburukan dalam usaha-usaha yang dilakukan sendiri oleh si pelaku magi. Baca Dr. Harun

Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), cet. II, h. 17

16

dan tidak rasional, sehingga agama primitif tidak akan pernah mampu

mengantarkan kehidupan berkemajuan.

Cara berpikir orang primitif7 terlalu tunduk kepada sesuatu yang

mengandung unsur mistik, dan masih pralogis. Orang primitif punya

cara pandang tersendiri bukan berarti orang primitif tidak mampu

berpikir secara jelas, hanya saja kebanyakan kepercayaannya tidak dapat

disejajarkan dengan pandangan yang ilmiah.8 Proses ruhani masyarakat

primitif mudah menghubungkan sesuatu yang tampak dengan yang tidak

tampak. Misalnya, menginjak bayangan seseorang dianggap sama

dengan menginjak orangnya. Proses jiwa orang primitif belum

berkembang seutuhnya. Bisa saja mereka menganggap sesuatu berada

pada suatu tempat dan sesuatu itu berada di tempat yang lain pula,

seperti ruh dan Tuhan dapat dipercayai berada pada bermacam tempat

dan waktu. Namun tidak menutup kemungkinan masyarakat modern bisa

saja pola pikirnya sama dengan masyarakat primitif tersebut, yaitu pola

pikir yang belum sempurna, dalam tahap berpikir yang berkemajuan.

Manusia menikmati proses berpikir primitif menuju logis.

7 Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Materi: Politik-Ekonomi-Hukum-

Sosial-Budaya-Agama, (Surabaya: ALUMNI), h. 522, Primitif dimaknai dengan kebiasaan lama,

kuno, dan terbelakang. Jadi kata primitif adalah masyarakat yang masih berpikiran lama, belum

berpikir logis masih tradisional secara pemikiran dan tindakan. 8 Levy Bruhl, La Mentalite Primitif (The Herbet Spencer Lecture), 1931. h. 21. Baca

Evan Pritchard, Teori-teori Tentang Agama-agama Primitif. (Jakarta: PLP2M, 1984), h. 106

17

3. Jamez George Frazer (1854-1941)9

Bagi Frazer agama dijelaskan secara umum bahwa masyarakat

beragama masih percaya kepada hal-hal yang diluar nalar kemampuan

mata normal, sedangkan bagi manusia modern sudah mulai berpikir

secara logis. Frazer hanya menekankan kepada apa yang telah

disampaikan oleh pemikir sebelumnya, yakni Tylor, bahwa masyarakat

primitif memiliki kepercayaan kepada yang gaib. Sejatinya Frazer adalah

murid dari Tylor, ia hanya meneruskan pendapat dari gurunya tersebut.

Religi dan magi cocok kepada masyarakat yang masih berpikiran

pralogis.10

Sementara berpikir logis lebih cocok kepada manusia

modern. Magi11

selalu dikembangkan oleh masyarakat primitif agar

proses alam selalu berpihak kepada mereka dan lebih-lebih

menguntungkan manusia. Untuk hidup lebih sempurna masyarakat

primitif percaya penuh akan kekuatan doa. Mereka berdoa supaya

keselamatan dan hambatan menyertai orang-orang beragama. Seperti

berdoa agar gunung tidak meletus, tidak terjadi banjir, hujan tidak turun

disaat masyarakat sedang melangsungkan perhelatan kebudayaan dan

9 Di awal karirnya, disaat masih menjadi mahasiswa pada sastra Yunani dan Romawi

Klasik di Universitas Cambridge, Frazer adalah murid sekaligus penganut dari teori-teori yang

dikembangkan oleh Tylor. Kemudian setelah itu ia mengerahkan perhatiannya pada bidang

antropologi hingga pada akhirnya mampu mengemukakan suatu teori tentang animistik dalam

versinya sendiri. Frazer berasal dari keluarga Kristen Protestan yang dibesarkan dalam keluarga

Presbyterian Skotlandia yang taat dan watak yang keras. Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories of

Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 29-30 10

Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 126. Bandingkan dengan Max Weber,

Sosiologi Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD), h. 142-143 11

Magi adalah praktik yang dikonotasikan kepada ilmu sihir (ilmu hitam). Dalam Kamus

Ilmiah Populer Magi diartikan “ghaib, tidak terlihat, sihir”. Lihat Hilman Hadikusuma,

Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), h. 33-34

18

perhelatan lainnya. Semua harapan-harapan itu mereka tuangkan dalam

bentuk doa, biasanya dipimpin oleh ahli magi dan kepala suku setempat.

4. Radcliffe-Brown (1881-1955)

Berdasarkan pemikiran diatas maka, bagi Radcliffe-Brown agama

merupakan suatu ekpresi tentang kesadaran terhadap ketergantungan

kepada kekuatan diluar kemampuan diri kita yang dapat disebut dengan

kekuatan spiritual dan moral12

. Percaya kepada yang gaib dan maha

gaib, jika dihayati dengan benar akan lebih meyakinkan kepada yang

memercayainya lebih objektif dan lebih berorientasi kepada nilai

kebenaran.

Berdasarkan apa yang telah dikemukanan oleh Radcliffe-Brown

diatas, terlihat jelas perbedaan antara orang yang menjadikan pilihan

hidupnya percaya kepada yang gaib sebagai tolok ukur kebenaran

dengan orang yang tidak menggantungkan kepercayaan kepada yang

gaib akan cenderung lebih konkret terhadap figur tertentu, organisasi,

dan simbol keagamaan, sebagai tolok ukur kebenarannya. Sementara

yang menggantungkan kepercayaannya kepada yang gaib akan lebih

terbebas dari pengaruh organisasi atau masyarakat dari organisasi diluar

kelompok mereka.

12

Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 128. Baca Daniel L. Pals, Seven Theories

of Religion, h. 60-62

19

5. Mircea Eliade (1907-1986)13

Eliade merupakan anak dari seorang pegawai angakatan darat

Rumania. Ia penulis produktif berpengetahuan luas, banyak pengalaman

ilmiah luar negeri dan penulis fiksi. Di usianya yang mesih seumuran

jagung, yakni umur 18 tahun ia telah banyak menghasilkan puluhan

karya, bahkan di hari istimewanya tersebut tak disangka ia telah

membuat kerya tulis yang ke seratus. Merupakan pencapaian luar biasa

di usianya yang begitu muda. Sangat produktif sekali dibidang tulis

menulis. Hanya segelintir orang yang bisa membuat karya segitu

banyaknya di usia remaja.14

Dalam mengartikan makna atau definisi sebuah agama,titik tekan

Eliade terhadap agama sebenarnya fokus kepada persoalan sakral dan

profan.15

Lagi-lagi teori ini bukan semata dari Eliade, teori sakral dan

profan ia pinjam dari teorinya Emile Durkheim, tapi esensinya bukan

persoalan klan atau hubungan kekeluargaan dan sosial yang ia angkat,

lebih dekat dan lebih setuju kepada teorinya Tylor dan Frazer, yaitu

persoalan yang menyangkut hal-hal gaib, supernatural, dan suatu

keabadian.

13

Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang

pegawai kemiliteran Rumania. Di masa kecilnya Eliade suka menyendiri, menyenangi sains,

sejarah dan piawai dalam dunia kepenulisan. 14

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 226-236 15

Sakral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna keramat atau suci.

Profan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna tidak kudus (suci), kotor,

duniawi dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau tujuan keagamaan. Baca Daniel L.

Pals, Seven Theories of Religion, h. 233-240

20

6. Edward E.E Evans-Pritchard (1902-1973)

Bagi Edward E. E. Evan-Pritchard bahwa agama dipandangnya

sebagai sebuah kepercayaan kepada kekuatan alam.

Ada satu ungkapan yang penulis tertarik dari pandangan Evan.

Bahwa ia mengatakan “perbedaan masyarakat primitif dan modern

bukan terletak dari bodoh atau tidaknya, terbelakang dan majunya, tetapi

terletak pada kebudayaan masing-masing yang berbeda.” Oleh karena

itu, masyarakat primitif tidak dapat dikatakan lebih bodoh dari

masyarakat modern atau lebih terbelakang. Keduanya sama-sekali

berada dalam lautan kebudayaan yang berbeda. Bisa saja masyarakat

modern lebih terbelakang dari masyarakat primitif.16

Magi atau sihir itu didasarkan kepada kepercayaan bahwa kegagalan

itu karena adanya kekuatan lain yang memengaruhi kekuatan hukum

alam sehingga hukum alam tidak berpihak kepada masyarakat primitif.

Sebagai contoh kenapa hanya saya yang terserang penyakit? Biasanya

mereka mencari jawaban karena ada pihak lain atau ada kekuatan magi

yang mengontrolnya. Untuk mengatasinya mereka datang ke tukang

sihir, dukun atau ahli magis lain meminta bantuan17

. Jika gagal, tandanya

kekuatan magi yang ingin dikalahkan lebih besar kekuatannya dari

dukun yang diminta bantuan. Karena itu, Evan-Pritchard mengatakan

16

Evan Pritchard, Teori-teori Tentang Agama-agama Primitif. (Jakarta: PLP2M, 1984),

h. 118-121 17

Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa,

Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h.

328. Bandingkan Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1985), Cet.II, h. 17-20

21

bahwa logika magi itu sangat cerdas dan tepat untuk menghadapi

masalah sehari-hari bagi kaum primitif. Sedangkan manusia modern

ketika menghadapi persoalan yang menimpa dirinya ia akan pergi ke

dokter yang sama-sama melihat keadaan secara rasional.

7. Clifford Geertz (1926-2006)

Geertz dilihat dari cara berpikirnya menggunakan teori dari Tylor.

Geertz kemudian menemukan momentum penelitiannya ketika

berhadapan langsung dengan masyarakat Jawa, yang kebetulan tempat

yang dipilih masih tergolong pinggiran, meminjam bahasanya Nur Syam

masyarakat pesisiran. Corak pemikiran lapangan Geertz lebih kepada

nuansa sinkretisme antara agama (Islam) dan budaya lokal. Justru

penelitian yang dilakukan oleh Woodward lebih kepada akulturasi

agama (Islam) dengan budaya lokal. Jadi berbeda memang corak

pemikirannya, meski yang diteliti adalah masyarakat beragama berpusat

di pesisiran.

Masuk kepada pemikiran Geertz, dari kesekian pendapat yang

telah diuraikan diatas, Geertz memandang orang beragama berdasarkan

pengalaman pribadi pemeluk agamanya, bukan melihat dari kaca mata

dirinya. Orang Jawa meyakini agama sesuai kemampuan nalar berpikir

dan oleh tuntutan dari misi agama tersebut. Sehingga dengan demikian

Geertz memilih padanan kata yang pas untuk merepresentasikan keadaan

masyarakat Mojokuto waktu itu. Lahirlah tiga konsep keberagamaan

orang Jawa (1) abangan, yang merepresentasikan pada aspek animisme

22

yang dalam perspektif Geetz melingkupi elemen petani; (2) santri,

mewakili penekanan pada aspek Islam sinkretisme dan umumnya Geertz

menghubungkan dengan elemen pedagang; dan (3) priyay, menekankan

pada aspek Hinduisme yang oleh Geertz dilogongkan dalam elemen

birokrat. Tentu semua elemen yang terkategorikan itu berdasarkan

terapan yang diciptakan sendiri oleh orang Jawa.18

Ketiga unsur elemen

mencerminkan cara orang Mojokuto (Pare) memahami situasi yang ada.

Agama dijelaskan dengan kalimat panjang, padat dan jelas. Geertz

mengatakan dalam bukunya Thick Description, agama merupakan sistem

simbol yang bertujuan untuk melahirkan motivasi kuat, dengan

membentuk tatanan eksistensi umum yang berdasarkan fakta dan pada

akhirnya perasaan dan motivasi itu akan terlihat sebagai realitas yang

unik.

Clifford Geertz yang ia bandingkan studinya tentang Islam di Jawa

dan Maroko, karena studinya cukup kompleks, maka ia melihat agama

sebagai

“(1) sebuah sistem simbol berlaku untuk (2) menetapkan suasana

hati dan motivasi-motivasi yang kuat, meresap dan tahan lama

dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep

mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membingkai

18

Perspektif masyarakat Mojokuto digambarkan Geertz dalam pendahuluan bukunya

“Agama Jawa, Abangan Santri Priyayi dalam kebudayaan Jawa”. Terdiri dari tiga varian

keagamaan yakni, abangan, santri dan priyayi. Baca Ahmad Khoirul Umam dan Akhmad Arif

Junaidi dalam Jurnal yang berjudul, The Shadow of Islamic Ortodoxy and Syncretism in

Contemporary Indonesian Politics, vol, 11, no 2, Desember 2011, h. 343-356

23

konsep-konsep secara faktual, sehingga (5) suasana hati tampak

khas dan realistik”.19

Dengan demikian Geertz mampu menangkap makna yang dalam di

kalangan masyarakat yang ditelitinya. Tampak definisi Geertz tentang

agama berbeda sekali dengan definisi Comte, Frazer maupun Karl Marx.

Ia memang tidak mendefinisikan agama secara umum tetapi ia

mendefinisikan agama berdasarkan apa yang dihayati oleh masyarakat

penganut agama yang bersangkutan.

Dari pada itu Geertz membandingkan Islam di Indonesia dan di

Maroko. Secara syariat Islam di Indonesia dan Maroko sama. Di

Indonesia Islam berkembang secara gradual, liberal, dan akomodatif. Di

Maroko Islam berkembang lebih perfeksionis, puritan dan tak kenal

kompromi. Di Indonesia ada kebatinan, ketenangan, kesabaran,

keseimbangan, peniadaan diri, elitisme, dan sensibilitas. Di Maroko ada

aktifisme, semangat, keberanian, moralisme, dan penegasan diri20

.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh para ahli yang melihat

agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan, tampak adanya beberapa

tipologi kajian yang digunakan, salah satunya adalah tipologi dari

pemikiran Geertz lebih kepada memandang hubungan antara tradisi

Islam dan lokal bernuansa sinkretisme. Di mana fokus pemikiran Geertz

lebih kepada penduduk pedalaman. Yang mana dalam bukunya, The

19

Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 144. Baca Daniel L. Pals, Seven Theories

of Religion, h. 342 20

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, h. 329-358

24

Religion of Java menggambarkan mengenai sinkretisme antara budaya

Jawa, Islam, Hindu dan Budha yang dikonsepsikan sebagai agama Jawa.

B. Makna Budaya dan Kebudayaan

Terlalu sering kita mendengar kalimat atau kata budaya yang sudah

barang tentu hampir semua peneliti baik kebudayaan suku tertentu maupun

peneliti antropologis dan sosiologis menyinggung bahkan memberikan

definisi tentang budaya. Untuk lebih jelasnya penulis sajikan makna

budaya oleh para pakar budaya yang ahli di bidangnya.

kata budaya berdasarkan makna umumnya berasal dari bahasa

sanskerta yaitu “buddayah” bentuk jamak dari “buddhi” atau “akal”, jadi

secara gambaran umum budaya merupakan cerminan dari perilaku dan

akal manusia.

Sebagaimana pendapat Koentjaraningrat (2008) kata budaya atau

kebudayaan itu paling sedikit mempunyai tiga unsur pokok diantaranya

(1) ide atau gagasan, (2) interaksi atau aktifitas, dan (3) karya manusia.

Kesimpulannya bahwa budaya atau kebudayaan dalam opini

Koentjaraningrat merupakan keseluruhan gagasan, cipta, rasa dan karya

manusia. Tentu cipta rasa dan karya manusia itu dibutuhkan pembelajaran

supaya menghasilkan karya. Ide atau gagasan sifatnya abstrak, tak dapat

diraba atau difoto. Bertempat dalam otak manusia lebih dalam lagi berada

dalam alam pikiran manusia dimana kebudayaan itu hidup. Manusia tidak

luput dari singgungan yang sifatnya gotong royong dengan masyarakat

lainnya. Aktivitas-aktivitas yang dibangun dari detik ke detik, dari hari ke

25

hari, dari tahun ke tahun mengikuti pola berdasarkan adat-istiadat

setempat. Sistem itu kongkret, terjadi di sekeliling kita. Hasil dari sebuah

ide atau gagasan yang melahirkan interaksi, aktifitas sedemikian terpola

dapat menghasilkan karya yang luar biasa pula.

Ketiga wujud dari kebudayaan tersebut tentu tidak terpisah satu

dengan lainnya. Definisi diatas hanya sebagian dari definisi-definisi yang

pernah disampaikan oleh para pakar diatas kertas. Dari saking luasnya

penggambaran dari kebudayaan sehingga seolah-olah tidak dapat dibatasi

arti dari kebudayaan. Disebutkan oleh Koentjaraningrat dari 179 definisi

yang pernah dirumuskan diatas kertas tentang konsep kebudyaan itu, tidak

hanya oleh ahli antropologi, sosiologi, sejarah atau disiplin ilmu lainnya,

tetapi juga oleh ahli filsafat dan pengarang terkenal, A.L. Kroeber dan C.

Kluckhohn pernah mengumpulkan ke-179 definisi tersebut dan mereka

mengklasifikasi lagi ke dalam tipe-tipe tertentu disertai dengan komentar

dan kritik, yang mereka terbitkan dalam sebuah buku berjudul Culture, a

Critical Review of Concepts and Definitions21

.

Kebudayaan dalam perspektif Geertz masih dalam bayang-bayang

antropologi sebelumnya yakni ilmuan asal imigran Jerman bernama Frans

Boas (1858-1942) dan Alfred Lois Kroeber (1876-1960). Kebudayaan

merupakan kata kunci untuk studi antopologi. Bahwa dalam studi

lapangan tidak hanya menitik beratkan masyarakat seperti yang dianggap

ilmuan Eropa waktu itu, tapi lebih kepada suatu sistem yang cakupannya

21

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta:Gramedia,

2008), h. 5-10. Bandingkan Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 34-35

26

lebih luas dari ide, adat istiadat, perilaku, simbol, dan institusi-institusi

yang ada. Sedangkan mereka berpendapat, masyarakat itu hanya satu

bagian dari sekian banyak sistem yang ada.

Memaknai kata “masyarakat” terlalu berat bila hanya dimaknai

sebagai komunitas manusia semata. Istilah yang cocok untuk menafsirkan

kata “masyarakat” adalah kata “kebudayaan”. Orang Eropa memaknai

society (masyarakat) dan social antrophology (antropologi sosial) hampir

sama dengan apa yang disebut orang Amerika sebagai culture

(kebudayaan) dan cultural antrolphologi (antropologi kultural)22

.

Geertz memaknai kebudayaan sebagai suatu sistem yang terdiri

dari struktur-struktrur makna berupa sekumpulan tanda yang dengannya

masyarakat melakukan suatu tindakan, yang mereka dapat hidup di

dalamnya atau pun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian

menghilangkannya23

. Analisa tentang kebudayaan tidak bisa dilihat

sebagimana ilmu sains yang ingin menemukan suatu hukum, tapi adalah

penafsiran yang ingin menemukan makna-makna di dalamnya. Dalam

menafsirkan kebudayaan menurut Geertz kadangkala harus di uji ulang

oleh kebudayaan lain.

C. Agama dan Kebudayaan

Bagi pengamat asing sekaligus bagi sebagian orang Indonesia

sendiri, Islam Indonesia selalu terlihat sangat berbeda dengan Islam di

mayoritas tempat lain, terutama Islam yang dianut oleh orang Arab. Islam

22

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 333 23

Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), Cet. IV, h. 13

27

dianggap tak lebih besar dari yang dibayangkan oleh misionaris barat, para

kolonial dan sarjana-sarjana barat lainnya. Sikap religius orang Indonesia

kerap kali dikatakan lebih mendekati kepada tradisi agama Hindu dan

Buddha yang sudah sekian tahun ada di Nusantara dan bahkan ribuan

tahun sebelum itu ada kepercayaan lain yang dianggap sebagai

kepercayaan awal orang Jawa dengan pemujaan terhadap leluhur serta

penghormatan kepada dewa-dewa bumi dan sekian banyak roh-roh yang

dijadikan sebagai pelarian untuk berlindung dari ancaman kehidupan

nyata.

Daripada itu menurut Martin van Bruinessen, Islam Indonesia

dalam memahami Islam di Indonesia melalui dua pengecualian yang harus

dilihat dan dipetakan. Pertama, Islam yang dibawa oleh pedagang, kedua,

Islam orang Indonesia yang telah pergi naik haji (Makkah) yang sebagian

mengubah gaya hidup, tingkah laku, serta perubahan lain yang dibawa

sepulangnya dari Makkah ke tanah air di depan umum dan selalu

ditampakkan24

. Budaya Islam Indonesia telah dijajah oleh budaya Islam

Arab telah tampak bagi masyarakat abangan dan priyayi.

Tiap generasi haji yang kembali dari makkah cenderung menolak

bentuk Islam lokal yang ada di Indonesia terkhusus di kampung

halamannya mereka dan lebih memilih Islam yang dianggap “lebih murni”

tentu mereka jumpai di tanah Arab. Lebih tragisnya lagi bahwa praktik dan

24

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading,

2015), Cet. II, h. 58

28

kepercayaan awal dianggap sebagai sebuah bentuk penyimpangan yang

perlu diperbaharui dengan pemahaman Islam murni.25

Pola klasik yang kini masih tetap terus dijadikan sebagai referensi

yaitu pola kebudayaan orang Indonesia yang oleh Geertz dikelompokkan

menjadi tiga farian, abangan, santri dan priyayi. Melihat dari praktik yang

ada di lapangan abangan dan priyayi lebih tidak Islami dan kadang

menyebutnya Hindu. Pemujaan terhadap roh nenek moyang sebagai

bentuk ritual utama, klenik serta pelbagai bentuk ritual mistis lainnya yang

menekankan penyatuan Tuhan dan manusia, semua ini malah terkesan

jauh dan asing bagi Islam justru lebih dekat kepada praktik Hinduisme.

Ritual masyarakat abangan yang selalu menjadi ritual wajib

mereka sudah tentu tidak sejalan dengan Islam versi kitab (al-Quran) dan

ulama, terutama buku-buku yang menjelaskan Islam baku, Islam otentik,

Islam original. Namun hanya segelintir praktik yang ditemukan di belahan

dunia muslim lain sebagian ada juga yang menjalankan praktek Islam

secara teori mengambil dari praktik abangan yang dijalankan.

Jenis ibadah dalam Islam bagi masyarakat Indonesia semuanya

dilaksanakan secara total yang oleh Geertz dijelaskan, supaya manusia

terhindar dari mara bahaya dan siksa di hari akhir, dengan merujuk kepada

lima jenis ibadah yang disebut Rukun Islam adalah wajib bagi yang

beriman untuk meyakininya. Yang pertama, adalah kalimat syahadat.

Kedua, dalam bahasanya Geertz, sembahyang yang dilakukan lima kali

25

Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, h. 62

29

sehari. Zakat rukun ketiga, yakni “pajak” keagamaan yang harus diberikan

kepada saudaranya yang fakir maupun miskin, tidak mampu bayar hutang

dan lain sebagainya. Puasa merupakan rukun keempat, menahan minum

dan lapar pada waktu siang hari, kemudian terakhir haji ke Makkah bagi

yang mampu. Kesemuanya ini adalah substansi Islam yang sangat

penting26

dan tidak ditinggalkan oleh muslim Indonesia.

Dalam pengamalan ritual keagamaannya masyarakat Jawa selalu

taat terhadap apa yang telah digariskan oleh syariat agama. Di mana

syariat agama dalam Islam telah dijelaskan dan dirangkum dalam kelima

rukun yang disebut diatas bahwa manusia beragama pasti akan

menjalankan perintah sesuai kemampuannya. Islam tidak merepotkan

umatnya dalam mengaplikasikan sebuah ajaran yang terkandung di

dalamnya, begitu pula agama-agama yang lain tidak pernah ada pendapat

yang mengatakan bahwa agama itu menjadi sebuah bencana bagi manusia.

26

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, h. 173-175

30

BAB III

ISLAM SIMBOL DAN PRAKTIK KEAGAMAAN

DALAM BUDAYA JAWA

A. Islam Jawa

Dalam sejarahnya, ternyata perlu dibedakan antara masuknya Islam,

penyebaran Islam, dan pelembagaan Islam. Bahwa ada tiga metode

penyebaran Islam ke tanah Jawa, datang dari bangsa India dan Arab,

pertama dibawa oleh para pedagang yang damai, kedua, oleh para da’i dan

ketiga oleh para wali songo, yang kemudian menetap menjadi warga

pribumi dan menikah dengan orang pribumi.1 Karena pada saat itu ciri

utama misionaris adalah berdagang lalu tinggal di Jawa kemudian

menyebarkan ajaran Islam pelan-pelan di tengah-tengah masyarakat

majemuk yang telah lebih dulu mengenal ajaran animisme, Hinduisme, dan

Budhaisme dalam kurun waktu hampir lima belas abad.

Kemudian daripada itu, menjelang abad ke enam belas, Islam di

Indonesia mulai terpengaruh oleh budaya Islam orang Arab. Di mana Raja-

raja Jawa yang tadinya beragama Hindu maupun Budha pelan-pelan

memeluk Islam. Dengan demikian Islam murni sangat berpengaruh bagi

masyarakat Jawa khususnya Raja-Raja Jawa. Meskipun bergelar Raja

namun untuk menyempurnakan gelar “kesultanan” biasanya mereka pergi

1 Dr. Nur Syam, Islam Pesisir. (Yogyakarta: Lkis 2005), cet. I, h. 63. Bandingkan Mark R

Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terjemahan Hairus Salim HS

(Yogyakarta: LkiS 1999), cet I, h. 80

31

ke Makkah untuk pergi haji dan mencari ilmu disana.2 Sepulangnya dari

Makkah, lalu mendapatkan gelar sultan menambah kewibawaan para Raja

Jawa.

Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa diejawantahkan oleh hadirnya

para wali yang memiliki keilmuan dan ilmu kedigdayaan yang luar biasa.

Total kesemua wali yang menyebarkan ajaran Islam berjumlah sembilan

orang. Khususnya di Jawa para wali memiliki otoritas kekuasaan tersendiri,

ada yang menetap di Jawa Timur, Jawa Barat dan lain sebagainya. Jika

dilihat dari bukti historisnya, Jawa Timur adalah pusat penyebaran Islam di

Jawa yang mana terdapat makam Fatimah binti Maimun di Gresik pada

zaman kerajaan Kahuripan Airlangga dan Syaih Ibrahim Asmaraqandi di

zaman kerajaan Majapahit.3

Penyebaran Islam dimulai dari pesisir pantai yang masih memiliki

keyakinan terhadap hal yang sakral, sebagaimana dikatakan oleh Nur Syam

bahwa dalam masa-masa islamisasi Masjid menjadi tempat strategis untuk

pengembangan komunitas Islam. Selain sebagai pusat ritual, Masjid juga

sebagai tumbuh dan berkembangnya budaya Islam.4

Sebenarnya tidak hanya para raja Jawa yang berkesempatan naik

haji, kaum priyayi yang mampu tidak mengurungkan niatnya menunaikan

haji ke Makkah bahkan para kiai sepuh dahulu juga tidak sedikit yang

2 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, Terjemahan

Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h. 292 3 Syam, Islam Pesisir, cet. I, h. 68-69

4 Syam, Islam Pesisir, cet. I, h. 73

32

kemudian pergi haji dengan embel-embel misi yang lain, yakni menunaikan

rukun Islam yang kelima serta menimba ilmu disana.

Oleh karena itu di abad kesembilan belas, jumlah misionaris dari

Arab semakin meningkat untuk menyebarkan Islam di Indonesia khususnya

di Jawa, sambil lalu berdagang.5 Para pedagang yang datang ke Indonesia

itu berstatus ganda sebagai pedagang di satu sisi dan sebagai mubalig di sisi

lain. Sedikit-demi-sedikit orang Jawa mulai terislamkan. Dengan

perkembangan yang ada, di Jawa mulanya terdapat sekolah Al-Quran di

pedesaan, di mana jemaah haji yang pulang dari Makkah ada yang langsung

menjadi guru ngaji, mengajar dan mendirikan pesantren.6 Sementara objek

kehadiran masyarakat beragama sebagaimana oleh Geertz dikonfirmasi

terdiri dari tiga varian utama: santri, abangan, dan priyayi.

Jawa tidak hanya memiliki satu versi masyarakat (budaya), di

belahan kota tertentu, jauh sebelum Islam datang masyarakat Jawa sudah

mempraktikkan budaya “kejawen” budaya asli orang Jawa. Sehingga tidak

heran bila Islam datang dengan model Islam Arab yang belakangan dirubah

oleh para Wali Songo dan disesuaikan dengan keadaan budaya setempat.7

Praktik-praktik Budha, praktik-praktik Hindu, praktik-praktik kejawen,

walaupun ada sebagian praktik-praktik atau ritual-ritual tertentu yang

diganti dengan ritual yang berbau Islam. Ajaran sebelumnya tetap

5 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. h. 176

6 Karena kebanyakan dari masyarakat Jawa khususnya Mojokuto waktu itu tidak mengerti

Bahasa Arab serta tidak lancar membaca Al-Quran. Sehingga para muballigh yang telah

menuntaskan pendidikannya di Makkah kemudian sebagian berinisiatif mendirikan pesantren

untuk membantu mencerdaskan masyarakat setempat. 7 Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. (Jakarta: INIS, 1988), h. 20-21

33

diteruskan, dilestarikan menyesuaikan ajaran Islam yang benar.

Sebagaimana hal tersebut juga diafirmasi oleh Bustanuddin Agus, bahwa

diantara sekian agama yang diakui di Indonesia ada tiga agama yang

berkembang di Jawa (diantaranya ada yang menyebut aliran) kemudian

mengatasnamakan dirinya sebagai agama. Diantaranya adalah : pertama,

Agama Kejawen, kedua, Agama Sapta Darma,8 dan ketiga, Agama Djawa

Asli Republik Indonesia (ADARI).9

Ketiga konteks diatas, agama kejawen dikonotasikan kepada kaum

awam atau meminjam bahasanya Geertz yakni kaum abangan, yang

pengikutnya berlatarbelakang desa yang tidak mengenyam pendidikan

pesantren apalagi pendidikan modern. Dalam kajian antropologis agama

abangan dikenal dengan agama kejawen. Sedangkan versi Islam mereka

tergolong agama Islam, walaupun hanya Islam KTP, atau Islam statistik.10

Sedangkan Agama Sapta Darma pokok inti ajarannya berpusat kepada alam

yang memproyeksikan dirinya dalam tiga hal yakni alam wajar (alam dunia

sekarang), alam abadi, dan alam halus (alam roh). Kemudian ADARI

pendirinya adalah S.W Mangunwidjojo (lahir 1892 di Surakarta). Visinya

adalah melaksanakan Pancasila dan mengangkat budaya Jawa asli terlepas

8 Pendiri Sapta Darma adalah Hardjosepuro atau terkadang disebut juga Hardjosaputro. Ia

dilahirkan di Desa Sanding, Pare Kediri tahun 1916 M. Katanya ajaran Sapta Darma pertamakali

diwahyukan kepadanya di waktu subuh di mana pendirinya didorong oleh kekuatan yang tiba-tiba

datang kemudian seakan-akan ada perintah untuk bersujud. Gerakan sujudnya hingga jam lima

pagi. Untuk lebih jelasnya baca Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, Dalam

Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 231-259. 9 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),

h. 320-323 10

Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,

h. 55

34

dari kitab-kitab suci agama yang beredar luas yang berkembang di

Indonesia.

Adapun karakteristik asli budaya Jawa meliputi, ritual,

penghormatan, dan penghambaan. Yang mana ketiga unsur tersebut menjadi

pokok sesembahan kepada sang pencipta mahkluk seluruh alam. Senada

dengan pernyataan Geert bahwa ritual dijabarkan seperti:

“a slametan can be given in response to almost any

occurrence one whises to celebrate, ameliorate, or sanctify. Birth,

merriage, sorcery, death, house moving, bad dreams, harvest, name-

changing, opening a factory, illness, suplication of the village

guardian spirit, circumcision, and starting off political meeting may

all occasion a slametan”. (Selametan dapat diadakan untuk

merespon nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus

atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah

rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,

memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan

suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya

slametan).11

Inilah barangkali yang menjadi alasan kuat bahwa dalam proses

Islamisasi di Jawa dilakukan dengan cara dan metode yang tidak

dekonstruktif terhadap budaya Jawa. Sehingga antara Islam dan budaya

Jawa kemudian tidak menampilkan budaya tertentu yang lebih unggul dan

memiliki otoritas wilayah tertentu.

11

Clifford Geertz, The Religion of Java. (London: The University of Chicago Press

1960), cet I, h. 11

35

Apabila kita melihat peneliti tentang Islam yang terkenal dari

Belanda kemudian ia mengaku sebagai orang Islam, yakni Snouck

Hurgronje, ia menemukan ciri-ciri Islam yang ditemukannya ada di Aceh

Utara, yang ia simpulkan dalam sebuah opini:

“Untuk melukiskan citra rukun Islam yang kelima, kita dapat

menyatakan bahwa puncak atap bangunan Islam yang runcing itu

masih ditopang terutama sekali oleh tiang utamanya, pengakuan

bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah

utusan Allah, tetapi tiang-tiang ini dikelilingi oleh rampai-rampai

hiasan yang sangat tidak cocok dengannya, yang merupakan

pencemaran atas kesederhanaannya yang agung. Adapun empat

tiang-tiang yang lain, yang merupakan tiang-tiang penjuru, tampak

bahwa beberapa diantaranya sudah lapuk karena waktu, sementara

beberapa tiang baru yang menurut ajaran ortodoks tidak layak

menyangga bangunan suci itu, telah didirikan di samping lima tiang

yang asli dan sampai tingkat tertentu telah merampas tiang-tiang

asli itu”.12

Walaupun tidak menampilkan budaya Jawa tetapi kiasan tersebut

bahkan lebih tepat bagi masyarakat Jawa, di mana tiang-tiang itu hampir

tidak nampak lagi di tengah-tengah penopang lainnya. Terkecuali keyakinan

bahwa mereka beragama Islam dan menjadi seorang Islam itu sesuatu yang

terpuji. Hurgronje sebagai seorang Kristen telah mengenal Islam semenjak

ia menyamar menjadi muslim sebagai jema’ah haji di Makkah. Ia

berpendirian bahwa orang Islam dalam memahami dan mempraktikkan

12

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. cet. II, h. 175. Lihat

pula Kevin W. Fogg, Mencari Arab Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgronje tentang

Hindia Belanda. Terjemahan Ruslani, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2017), h. 25-28. Bandingkan

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan

dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 54-55

36

ajarannya “Orang Islam menerima secara formal ajaran Allah namun

dilaksanakan secara menyimpang dalam ritual praktiknya”.

Dalam kesimpulan diatas ini bukan berarti mendiskreditkan Islam

Jawa, tetapi lebih kepada tatanan aplikasi dari penganut agama itu sendiri

yang mana dalam menjalankan sebuah praktik keagamaan masyarakat Jawa

memiliki karakter tertentu disetiap individu masyarakat yang terpola dalam

ruang lingkup abangan, santri dan priyayi. Yang mana pada tatanan

masyarakat abangan dalam mengaplikasikan perintah agama masih

setengah-setengah tidak seperti kaum santri yang totalitas dalam

melaksanakan perintah agama dalam tataran aplikatifnya. Berbeda

kemudian dengan kaum priyayi yang semestinya sama-sama mengikuti pola

abangan dan santri, tetapi malah justeru sebaliknya, kaum priyayi tidak

begitu memperhatikan perintah agama.

B. Islam dalam Budaya Jawa

Pola pengislaman di Jawa dimulai dengan adanya saudagar-

saudagar asing yang telah memperoleh pengakuan dan kewibawaan serta

kekuasaan untuk mendirikan sebuah lembaga seperti pesantren atau

Masjid.13

Hasil dari upaya tersebut lambat laun semakin banyak

masyarakat yang kemudian masuk Islam. Di mana Islam pada masa awal

pertumbuhannya memiliki akar budaya Jawa. Itu disebabkan para

bangsawan Jawa masih melestarikan tradisi Hindu Jawa, bahkan mubalig

13

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 22

37

pertama yakni para wali songo melakukan pengislaman hidup dalam

tradisi Jawa.

Islam di Jawa pada periode awal telah banyak memberikan

kelonggaran terhadap masyarakat Jawa khususnya dalam segi praktik-

praktik atau ritual keagamaan yang mana ritual keagamaan yang dibangun

berdasarkan praktik dari agama sebelumnya yakni agama Hindu dan

Budha.14

Meski demikian di Jawa pada waktu itu tidak memberikan

dualisme agama yakni Hindu dan Islam. Akan tetapi Islam justeru

memberikan kelonggaran terhadap masyarakatnya sehingga Islam mudah

diterima oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Misalnya metode yang

digunakan oleh salah satu wali penyebar ajaran Islam yakni Sunan

Kalijaga15

dengan cara masuk ke desa-desa pedalaman Jawa kemudian

mengislamkan masyarakat setempat dengan menggunakan wayang.

Lain halnya karakteristik yang paling tampak dari pola abangan di

Jawa sekaligus menjadi pembeda dengan santri adalah sikap relativisme

dan keterikatannya terhadap adat setempat.16

Di mana adat setempat begitu

kental dengan budaya Jawa. Sementara di kalangan santri, perhatian

terhadap doktrin hampir mengalahkan aspek ritual Islam yang telah

menipis. Geertz tidak menekankan aspek mistik yang dibangun oleh Sufi.

Sementara Woodward lebih menyinggung Sufi dengan mengatakan bahwa

Muhammad sebagai Nabi terakhir sekaligus mewakili kesempurnaan

14

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 24. Bandingkan Machmud Junus,

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Mahmudiah, 1960), h. 190-191 15

M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 299-

301 16

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 180

38

gagasan mistik yang orang lain tidak bisa menirunya, ia adalah sosok

panutan umat, khususnya Islam.17

Yang menjadi persoalan adalah

kelahiran Nabi Muhammad terus dirayakan oleh Umat Muslim bahkan

sudah mentradisi. Orang Jawa biasanya menyebut “slametan” kelahiran.

Oleh karena itu Geertz memandang pola ritual slametan kaum

abangan (pedesaan) adalah sebentuk “ritual inti” dalam agama Jawa.18

Yang berakar pada tradisi animisme. Sehingga dalam tataran aplikasinya

masyarakat abangan tahu kapan semestinya mereka melakukan slametan

dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya telah terkonsep dalam diri

mereka.19

Masyarakat abangan percaya bahwa slametan itu mendatangkan

berkah dan keselamatan. Contoh riilnya dalam masyarakat Jawa apabila

mereka kedapatan tamu ke rumahnya kemudian menghidangkan makanan

baik berupa nasi, teh, kopi dan hidangan lainnya bila tidak dimakan atau

diminum ia akan sedikit kecewa.20

Mayarakat abangan melaksanakan

syari’at agama menurut kadar kemampuannya.

Ada perbedaan yang sangat mendasar dari arti slametan seperti apa

yang telah penulis singgung diatas dari Geertz yang kemudian slametan di

definisikan oleh Mark Woodward, ia mengatakan bahwa:

17

Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terjemahan

Hairus Salim HS (Yogyakarta: LkiS 1999), cet I, h. 97 18

Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2001), h. 41 19

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 181 20

Sering kali juga ada yang hanya sebatas taklid buta terhadap masyarakat yang lain jika

menghidangkan makanan karena orang selalu menghidangkan makanan setiap kali ada tamu dan

sebagainya. Tradisi yang berkembang di Jawa sangat santun, begitu juga paduan dari Islam yang

mana bila seseorang kedapatan tamu kemudian tuan rumah tidak menghidangkan makanan walau

hanya berupa air minum saja maka ia tidak mengamalkan ajaran Islam secara total karena Islam

mengajarkan tata cara menghormati tamu dan menyuguhkan makanan yang ia punya.

39

“Slametan adalah produk interpretasi teks-teks Islam dan mode

tindakan ritual yang diketahui dan disepakati bersama oleh

masyarakat Muslim (bukan Jawa) dalam artian luas”.21

Namun demikian, penulis lebih setuju bahwa slametan merupakan

akar dari dua tradisi yang berbeda yakni tradisi pra-Islam dan tradisi Islam.

Meskipun slametan ada unsur-unsur Islamnya tetapi slametan tak luput

dari akar budaya pra-Islam seperti Hindu dan Budha yang lebih banyak

mempengaruhi terhadap praktik dan pola ritual slametan yang ada. Hal ini

bisa direfrensikan pada temuan Geertz di Mojokuto.

Jelas berbeda dengan kaum santri, Islam dilihatnya sebagai

lingkaran sosial yang konsentris, tertuju, memiliki satu pusat yang sama

yakni Tuhan. Santri merupakan kelompok (komunitas) besar orang-orang

beriman, yang senantiasa mengulang dan mempraktikkan apa yang

dilakukan oleh Nabi Muhammad.22

Entitas santri yang selalu taat terhadap

syari’at Nabi serta perintah Tuhan sejatinya menganggap diri lebih baik

dari masyarakat abangan. Mereka beranggapan bahwa hukum Tuhan

harus disampaikan, ditafsirkan serta dijalankan dan karena itulah harus ada

guru, hakim, sekolah-sekolah, dan ahli agama.

Walau demikian sifat dari keduanya antara santri dan abangan

tidak mengindikasikan bahwa totalitas pengamalan terhadap agama tidak

21

Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 41. Bandingkan

Ummi Sumbulah, dalam jurnal el Harakah Vol.14. No. 1 Tahun 2012, h. 55 22

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. (Yogyakarta: Gading,

2015), cet. II, h. 6-7

40

serta merta tergantung kepada kewajiban masing-masing secara makna

yang sederhana. Dalam pengamalan terhadap agama baik kaum abangan

santri dan priyayi mereka melaksanakan syariat agama menurut kadar

kemampuannya.

Geertz memandang sisi lain dari santri di Mojokuto disamping

perhatian mereka terhadap doktrin, kaum santri (Muslim kaffah) tidak

pernah memandang agama hanya sebagai serangkaian kepercayaan

semata, atau sebagai sistem umum yang mengikat mereka sebagai

individu. Akan tetapi mereka selalu memahami agama sebagai suatu

lembaga sosial masyarakat dunia. Di mana mereka ketika berbicara Islam

selalu tergambarkan sejenis organisasi sosial di mana kepercayaan Islam

merupakan elemen yang menentukan.

Pada fase perkembangannya santri kemudian “berevolusi” pada

dua macam ciri yang mencolok. Pertama, dipengaruhi oleh gerakan

reformis Islam modernis yang bermula di Kairo dan Makkah. Kedua,

Perbedaan itu terletak kepada dualisme pandangan dunia (wordview) kolot

dan modern.23

Santri modern menerima bentuk kemajuan yang

memandang kompleksitas semata-mata sebagai sebuah tantangan semata

yang harus dihadapi bukan ditolak. Lain halnya dengan santri kolot yang

alur pemikirannya masih lekat dengan budaya Jawa bahwa bentuk

kemodernan itu hanya mencelakakan diri dan bangsa.

23

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang

Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 63-64. Bandingkan Zaini Muchtarom,

Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 31-35

41

Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia kolot bahwa semua

perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh gagasan animisme di mana

segala sesuatu yang ada di alam itu memiliki nyawanya sendiri. Nyawa

atau roh yang tinggal dalam diri (being) atau benda-benda lain.

Kepercayaan seperti itu tentu merupakan kepercayaan animis secara khas

dan alamiah yang berakar dalam agama Hindu.

Sejatinya roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya

disebut hyang atau yang berarti “tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa disebut

Hyang Widi Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dalam bahasa arab

disebut al-ilah (dewa)24

Begitu pula salat disebut sembahyang oleh orang

Jawa. Kata sembahyang berasal dari kata sembah yang bermakna

“penyembahan” dan yang bermakna “tuhan”.

Dalam upaya menelisik Islam di Mojokuto secara antropologis,

disana terdapat empat lembaga utama. Yang menjadi basis pergerakan

Islam. Geertz mengemukakan bahwa keempat lembaga tersebut

diantaranya adalah Pertama, partai politik Islam berikut organisasi yang

sealiran dengannya. Kedua, sekolah agama. Ketiga, lembaga pemerintahan

yang berada di bawah naungan Menteri Agama. Yang keempat, organisasi

jemaah informal disekitaran Masjid atau Langgar desa. Keempat struktur

lembaga yang ada ini terjalin satu sama lain dalam bingkai ideologi

pemikiran kolot dan modern untuk menyediakan kerangka yang kompleks

menyangkut semua aspek perilaku keagamaan yang berlaku di Mojokuto.

24

Olaf Herbet Schumann, Pendekatan pada Ilmu-ilmu Agama-agama. (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2013), h. 280-291

42

Sebagaimana yang dapat kita lihat bersama bahwa, Geertz dalam

Agama Jawa (2014), mendiskripsikan identitas Muslim Jawa dengan tiga

varian abangan, santri dan priyayi. Menurut Geertz, tradisi abangan

dominan tertuju kepada petani dalam tataran praktiknya banyak

melakukan slametan, percaya kepada roh-roh, percaya kepada sihir.25

Di

mana slametan merupakan unsur terpenting bagi masyarakat abangan. Di

sisi lain kaum santri dilekatkan dengan Islam yang murni. Dalam praktik

keagamaannya kaum santri selalu hati-hati, serta teratur. Sementara kaum

priyayi diasosiasikan kepada kaum ningrat yang mana tradisi

keberagamaan mereka dicirikan dengan unsur Hindu dan Budha. Dalam

praktik riilnya masyarakat priyayi lebih nrima (bahasa Jawa: menerima

takdir dengan sepenuh hati, sabar dan tidak keras kepala serta ikhlas).

C. Praktik Islam dalam Budaya Jawa

Dari sekian banyak praktik dan ritual keagamaan yang ada di Jawa

baik dalam agama Hindu dan Budha ketika Islam datang kemudian banyak

masyarakat yang beralih kepada Islam. Kemudian daripada itu Islam tidak

serta merta mengubah ritual-ritual yang ada dalam kebudayaan masyarakat

Jawa akan tetapi Islam datang untuk memadukan dengan budaya setempat.

Oleh karena itu Martin van Bruinessen berasumsi bahwa bukan hukum

Islam yang abstarklah yang menentukan segala masalah terkait kehidupan

masyarakat, baik dari pernikahan, perceraian, warisan, dan transaksi

ekonomi, melainkan adat atau budaya setempat. Adatlah yang menentukan

25

M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. h. 8

43

masyarakat harus melakukan apa dan seperti apa seharusnya bertingkah

laku, bertindak sehari-hari.26

Di sisi lain terkait soal persepsi dari pada tokoh mengenai agama,

seringkali Gus Dur27

mengatakan, di suatu pihak agama dijadikan tolok ukur

yang dapat membebaskan manusia dari suatu himpitan struktural tertentu,

tetapi tidak di hal yang lain. Bisa dipastikan agama memang mempunyai

dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu cenderung lambat.

Dalam dunia global ini masyarakat sering tergoda oleh paradigma-

paradigma di luar agama dengan menuntut fungsi agama itu sendiri. Di

sinilah yang menjadi persoalan. Misalnya, satu sisi orang Arab berhasil

mengislamkan sebagian besar masyarakat Indonesia secara ritual

keagamaan, tidak secara praktik.28

Bagaimana mungkin masyarakat

Indonesia serta-merta mempercayai agama yang sejatinya orang baru tahu,

baru datang bahwa ini adalah agama dengan membawa visi kebaikan,

agama yang rahmatan lil „alamin telah hadir di Indonesia untuk menggeser

kepercayaan yang sama-sekali tidak masuk rasio akal sehat manusia

modern. Melawan kepercayaan yang sudah mendarah daging tentu tidak

serta-merta merombak secara total kepercayaan yang asli. Dirasa Islam

memiliki kesamaan dengan ajaran Hindu dan Budha makanya Islam mudah

diterima oleh masyarakat Indonesia umumnya, terkhusus masyarakat Jawa.

26

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 67 27

Gus Dur Nama Lengkapnya Abdurrahman Wahid namun biasa dipanggil Gus Dur. Ia

lahir di Jombang Jawa Timur. Ia mantan ketua Tanfidziyah NU selama tiga periode (1984-1999) 28

Abdurrahman Wahid. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi

Kebudayaan. (Jakarta: The Wahid Institute, 2007). h. 72

44

Masyarakat Indonesia memiliki praktik-praktik tersendiri dalam

menjalankan sebuah syariat dan perintah agama. Di mana-mana hukum

Islam harus berkompromi dengan adat setempat. Khususnya di Jawa. Ketika

Islam masuk ke tanah Jawa dan berhasil mengislamkan orang Jawa, lantas

tidak semua praktik-praktik sesembahan di tinggalkan begitu saja. Tidak,

masyarakat Jawa menjalankan perintah agama dengan praktik yang telah

membudaya jauh sebelumnya. Misalnya saja, ketika masyarakat Jawa

hendak melaksanakan atau menunaikan ibadah haji ke Makkah, jauh hari

sebelum pemberangkatan, biasanya mengadakan slametan29

dan doa-doa

yang digelar di rumah masing-masing calon jemaah haji untuk memohon

keselamatan selama perjalanan hingga pulang kembali dan yang utama

adalah di doakan supaya menjadi haji yang mabrur, haji yang barokah, haji

yang diterima. Orang Arab tidak melaksanakan hal itu. Yang di perintahkan

dalam Islam hanya menunaikan hajinya, bukan ada embel-embel slametan

dan di doakan selama empat puluh hari oleh sanak famili serta masyarakat

sekitar. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Geertz bahwa Indonesia

untuk menegakkan hukum Islam harus bisa berkompromi dengan hukum

adat setempat yang telah berakar ribuan tahun lamanya barangkali lebih

sulit di terapkan dari pada di beberapa negara Islam lainnya.30

Dalam persoalan hukum Islam di Mojokuto ada birokrasi keagamaan

yang menaungi masyarakat setempat, istilah yang digunakan Geertz

29

Slametan sering kali oleh Geertz diakaitkan kepada masyarakat abangan di mana kaum

abangan dalam ritual praktik keagamaan masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan dunia

mistik. Dalam prosesnya masyarakat Jawa hampir keseluruhan melaksanakan slametan. 30

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 287

45

merujuk keapada Departemen Agama serta semua persoalan peraturan

pemerintah yang ada sangkut pautnya mengenai agama. Mediasi untuk

urusan rumah tangga dalam hal ini adalah kepentingan Departemen Agama

di Mojokuto diserahkan kepada yang bertugas yang disebut Modin.31

Modin

dipilih dan ditunjuk oleh masyarakat setempat yang dipandang lebih mampu

dan mengetahui tata cara hukum Islam yang baik sekaligus benar tanpa

dibatasi oleh waktu. Umumnya pelaksana dari segala yang ada sangkut

pautnya dengan keagamaan dimotori oleh kalangan santri, karena santri

lebih paham dan mengerti urusan agama.

Pola pengislaman di Jawa mulai berlaku dengan adanya saudagar-

saudagar asing yang telah mempunyai legitimate (legitimasi, pengakuan)

dari masyarakat untuk membangun Masjid. Sebagai hasilnya mubalig yang

masuk ke Jawa menarik mubalig luar negeri untuk memberikan pemahaman

keagamaan kepada santri yang hidup dalam lingkungan Masjid dan

pesantren. Sedangkan pola yang ada dalam pesantren lebih diakui

keberhasilannya dalam membangun peradaban umat Islam baru sehingga

ruang lingkup sekitar pesantren itu mudah berkembang.32

Akan tetapi tidak

menafikan praktik sinkretik yang telah mendarah daging di masyarakat

Jawa.

31

Modin adalah orang yang mempunyai tugas dan fungsi mengurus serta mencatat orang

menikah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pendataan tentang nikah, kematian

seseorang, talak, rujuk, dan cerai. Bahkan tugas lainnya adalah memfasilitasi pembinaan

kerukunan antar umat beragama, sosial budaya masyarakat. Lihat Clifford Geertz dalam bukunya

Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. h. 295-296 32

Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. (Jakarta: INIS, 1988), h. 23

46

Inti keberhasilan Islam di Jawa tidak lepas dari peran ulama dan kiai

yang merupakan figur sentral dari kehidupan santri atau masyarakat pada

umumnya. Umat Islam sudah terikat oleh hukum yang ada dalam ajaran

Islam. Maka dari itu pesantren merupakan mediasi bagi masuknya Islam ke

pelosok-pelosok desa. Hampir di seluruh pulau Jawa pesantren mudah

dijumpai. Walau pun pada masa awal pertumbuhannya diwarnai oleh

budaya Jawa. Sebab tradisi lama ajaran Hindu dan Budha tidak dihilangkan,

guna memenuhi keinginan orang Jawa. Tidak sedikit adat Jawa yang

dikeramatkan dengan dibumbui oleh ibadah Islam. Dengan kelonggaran itu

praktik Islam lebih mudah diterapkan untuk mengurangi kesulitan

pengislaman masyarakat Jawa. Di samping itu untuk menerima Islam

secara kaffah, maka secara otomatis dan apa adanya, memudahkan bagi

manusia dalam kenyataan yang dihadapi dalam dunia kini dan mendatang.

Dari pendekatan seperti ini, menurut Gus Dur diharapkan akan muncul

respon dari masyarakat setempat sebuah tanggapan yang sehat terhadap

tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang. Pendekatan

seperti ini menekankan kepada dasar-dasar Islam yang mampu melakukan

adaptasi serta tidak menghilangkan unsur asli dalam kehidupan masyarakat

Jawa.33

33

Wahid. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi Kebudayaan. h.

29

47

BAB IV

ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF

CLIFFORD GEERTZ

A. Mutual Simbiosis Keislaman dan Kejawaan

Ketiga varian yang menggambarkan keadaan masyarakat

Islam Mojokuto, orang mengenal dengan sebutan abangan, santri,

dan priyayi adalah tipe murni yang terbentuk di kalangan masyarakat

setempat. Yang mana ketiga varian ini, sebagaimana dikemukakan

oleh Geertz, memiliki akar atau hubungan “geneologis” yang sangat

kuat. Di mana “kelahiran” mereka dilatarbelakangi oleh kesamaan

letak geografis, ekonomi, tercakup dalam masyarakat yang sama-sama

majemuk, kemudian memegang nilai-nilai budaya yang sama,

terbentuk dalam struktur sosial yang sama pula dan bagaimanapun

juga tidak mudah memahami praktik-praktik keberagamaan mereka

semenjak Hindu, Buddha dan Islam belum datang di tengah-tengah

mereka, orang Jawa memegang erat kepercayaan nenek moyang yang

sifatnya turun-temurun yakni animisme dan dinamisme.1

Oleh karena itu Islam telah menjadi agama “terlaris” di pulau

Jawa. Hal itu disebabkan terutama di satu sisi kehadiran Islam tidak

serta-merta merusak tatanan, adat dan budaya Jawa, di sisi yang lain

Islam tetap konsisten dalam menjaga orsinilitas prinsip-prinsip

ajarannya. Meski tidak menghilangkan keorsinilan dari agama

1 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa,

Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), cet. II,

h. 309-310. Bandingkan Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 1985), cet. II, h. 9

48

sebelumnya.2 Umumnya Islam kaum abangan masih terpengaruh oleh

kepercayaan lamanya, perpaduan unsur budaya Hindu dan Buddha

memberikan ruang tersendiri sekaligus menjadi pembeda bagi

masyarakat Mojokuto dari masyarakat lainnya.

Perkembangan agama Islam di Jawa tidak terlepas dari

pemikiran-pemikiran yang sangat tradisional dan sederhana penuh

makna. Pemikiran yang dimiliki masyarakat Jawa merupakan

anugerah yang tak dimiliki oleh masyarakat manapun itulah

kepercayaaan Jawa yang dikenal dengan “kejawen”. Dari itu Islam

dan budaya Jawa banyak kesamaan di mana kesamaan itu berpola

pada kepercayaan terhadap energi atau kekuatan besar yang ada pada

alam, sementara di Islam sendiri kepercayaan penuh tertuju kepada

Allah Tuhan semesta alam.3 Dalam budaya Jawa pusat kepercayaan

juga ditujukan kepada Tuhan namun sebelum mengalami pembaruan

terhadap keyakinan orang Jawa masih mempercayai keyakinan lama

yang dikenal dengan kepercayaan kepada hal-hal gaib (sejatinya

adalah Tuhan) yang dikenal dengan sebutan animisme dan dinamisme

tadi dipercayai oleh masyarakat Jawa bahwa mereka tidak bisa hidup

berjalan sendirian tanpa bantuan dari alam sekitar.

Penulis lebih setuju bahwa konsep yang dibangun oleh Geertz

diatas tidak menutup kemungkinan kesamaan yang dimaksud adalah

berdasarkan dari ajaran Islam. Di mana Islam pada masa awal

2 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta:

Gading, 2015), cet. II, h. 61 3 Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi.

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 240

49

menggunakan model konservatif, maksudnya adalah untuk

meminimalisir terhadap kemajuan keagamaan yang dikhawatirkan

masyarakat belum siap menerimanya. Dengan demikian masyarakat

Jawa selalu tawakkal kepada Allah karena kepercayaan tadi itu Islam

tidak menonjolkan model yang sekiranya masyarakat tidak terpikat

oleh ajarannya. Keberhasilan Islam memikat dan melunakkan hati

masyarakat Jawa dengan model yang santun, menyesuaikan adat dan

tradisi masyarakat setempat.4

Mutual simbiosis keislaman dan kejawaan misalkan diambil

suatu perumpamaan seperti; ritual atau praktek slametan sebagaimana

yang dikatakan oleh Geertz bahwa slametan menjadi ikon (icon) bagi

orang Jawa umumnya bagi kalangan abangan. Tentu berbeda dengan

temuan Beatty pada masyarakat Jawa (Banyuwangi desa

Blambangan), di mana slametan hampir dilakukan oleh semua orang

Jawa. Slametan, ritual dan praktek orang Jawa dalam praktek ritual

tersebut bukan sekedar menyiapkan sesajen berupa kemenyan,

kembang tujuh rupa, nasi tumpeng dan seperangkat kebutuhan yang

lain, bagi masyarakat Jawa ritual slametan adalah suatu totalitas,

sepintas terlihat acara sederhana, tapi kaya akan makna bahkan

sepadan dalam tataran ritual dan simboliknya5.

Sebagaimana dikatakan oleh Geertz “ di pusat keseluruhan

sistem orang Jawa, disana terdapat suatu ritus sederhana, bentuknya

formal, jauh dari keramaian dan dramatis: itulah slametan”. Dan

4 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 28

5 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 36

50

bahwa slametan dilakukan oleh kaum abangan dan pelaksanaannya

diwaktu malam hari setelah salat Maghrib. Selanjutnya menurut Marx

Woodward slametan dimaknai sebagai berikut: pertama, slametan

adalah produk penafsiran teks-teks Islam yang diketahui dan

disepakati umat Muslim secara spesifik. Kedua, slametan sekurang-

kurangnya bukanlah sebuah ritus pedesaan melainkan ritus kerajaan.

Ketiga, slametan berakar dari tradisi Hinduisme (pra-Islam).6

Namun pandangan Geertz ini dalam pandangan penulis

memiliki kelemahan di mana tradisi slametan hanya dikonotasikan

kepada kaum abangan. Tentu berbeda dengan pendapat Andrew

Beatty yang mengatakan bahwa tradisi slametan bukan hanya milik

abangan tetapi santri juga melaksanakan ritual slametan. Secara

tradisi, slametan masuk dalam tradisi lokal. Arti kata slametan

menurut orang Jawa, berasal dari kata “slamet” yang mengerucut

kepada arti dalam Islam yakni “selamat” adapun tujuannya adalah

untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, tentram, bebas dari

gangguan mahluk halus itulah keadaan yang disebut slamet.7 Dari

kesimpulan pendapat diatas akar tradisi slametan menurut penulis

adalah berakar dari dua tradisi yakni tradisi Islam dan tradisi pra-

Islam.

Ketika menggelar slametan pola slametannya berbeda-beda

dari segi penyajian makanannya tergantung sedang menggelar

6 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 41

7 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 43.

Bandingkan Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h.

7

51

slametan apa si pemilik hajat. Tuanrumah biasanya mengundang

tetangga atau kerabat dekat misalnya akan menggelar slametan

perkawinan, kelahiran, kematian, pindah rumah, ganti nama, khitanan

maka sebelum acara tersebut benar-benar terlaksana biasanya

tuanrumah terlebih dulu menyiapkan (1) pemimpin doa, (2) pemimpin

tahlil, terakhir (3) berkat. Ketiga unsur itu tidak boleh terlewatkan

karena jika berkat tidak disiapkan maka tuanrumah akan mendapatkan

celaan dari masyarakat setempat serta slametan itu dianggap kurang

berkah. Karena yang terpenting inti dari slametan bukan berdasarkan

doanya, melainkan sesajian yang disiapkan berupa makanan.8

Pada dasarnya siklus slametan signifikansi antara agama dan

budaya, dari slametan bermula kepada kepercayaan lokal yang

terdahulu kepercayaan akan hal yang gaib. Jauh sebelum masyarakat

Jawa mengenal slametan mereka mengenal kepercayaan nenek

moyang terlebih dahulu yang tentunya bukan hanya di Jawa saja

kepercayaan kepada animisme dan dinamisme berkembang tetapi

dalam negara lain juga memiliki julukan tersendiri. Penulis yakin di

negara lain tentunya memiliki nama-nama tersendiri untuk menyebut

benda-benda yang dapat memberikan sebuah kekuatan pendorong

dirinya yang dikenal dengan animisme dan dinamisme, kepercayaan

yang disandarkan kepada benda-benda atau roh-roh yang menempel di

tubuh manusia.

8 Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 8

52

Sebagaimana yang penulis temukan dalam penjelasan

Dhurkheim, di berbagai negara lain pun kepercayaan seperti itu tentu

ada, namun dari segi penamaannya saja yang beda, secara arti sama.

Kekuatan gaib, kekuatan supernatural benda atau mahluk pelindung

dipanggil dengan nama-nama yang berbeda dalam berbagai lapisan

masyarakat sebagai contoh atas apa yang dikemukakan oleh Emile

Dhurkheim mengenai kepercayaan kepada mahluk pelindung di

beberapa negara seperti berikut ini: di Meksiko disana masyarakatnya

lebih akrab dengan sebutan nagual, di masyarakat Algonquin disebut

monitou, dalam masyarakat Huson disebut okki, sementara snam

dalam sebagian masyarakat Salish, sedangkan sebagian lagi

menyebutnya sulia, dalam masyarakat Yuin dikenal dengan nama

budjan, sedangkan di masyarakat Euhlayi disebut yunbeai.9

Nyatanya di Indonesia bukan hanya percaya kepada teori

animisme dan dinamisme yang dipandang lebih dulu ada, banyak teori

yang mengatakan bahwa jauh sebelum kedua teori diatas sudah ada

lebih dulu teori yang disebut fetisisme dalam bahasa latin factitius,

yang bermakna: “kerajinan yang dibuat dengan tangan manusia

kemudian dipuja diisi dengan kekuatan gaib”. Di Afrika Barat orang

menyebut benda-benda itu dengan nkisi (jamaknya minkisi) yang

artinya adalah benda-benda yang dibungkus berisi macam-macam

benda, contohnya garam, rambut, cakar burung, cincin dari logam

kemudian bungkusan itu dijadikan jimat atau benda-benda yang

9 Emile Dhurkheim, The Elementary Forms Of The Religious life, Sejarah Bentuk-

Bentuk Agama Yang Paling Dasar, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri,

(Jogjakarta: IRCiSoD), h. 211-240

53

dikeramatkan. Biasanya di gantung-gantung di atas pintu masuk

rumah.10

Jika dibandingkan dengan pendapat Emile Dhurkheim tentang

kepercayaan sebelum manusia percaya pada agama, tentunya manusia

memiliki segudang makna mengenai adanya kepercayaan primitif

dalam bahasanya Dhurkheim disebut “totem” dan totem itu masih ada

pembagian pengertian yang lain seperti; ada (1) totem personal dan

(2) totem marga. Totem itu pelindung marga. Totem personal

maksudnya adalah totem yang disembah dan diyakini dapat

melindungi individu seseorang. Sementara totem marga adalah totem

yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat bangsa dan

negara.11

Tak dapat dipingkiri bahwa di Jawa jimat-jimat yang dianggap

sakti dan membawa keberkahan bagi penghuni rumah masih terus

dirawat sampai saat ini. Di mana jimat-jimat yang dianggap kramat itu

masih banyak dijumpai di rumah-rumah warga, penulis sering kali

menjumpai tumpukan-tumpukan jimat yang diletakkan diatas pintu

masuk rumah kemudian setiap hari jumat biasanya di asapi dengan

kemenyan supaya tetap menjaga dan menghormati penunggu jimat

tersebut, demikian kepercayaan orang Jawa.

10

Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1985), cet. II, h. 9 11

Dhurkheim, The Elementary Forms Of The Religious life, Sejarah Bentuk-

bentuk Agama Yang Paling Dasar, (Jogjakarta: IRCiSoD), h. 241. Baca: S. Frued, Totem

and Taboo, tanpa tahun, h. 45. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori

Agama Paling Komprehensif, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri,

(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 99-109

54

Dalam konteks diatas Islam Jawa kemudian mempunyai ruang

tersendiri bagi masyarakat yang akalnya tercerahkan oleh keluhuran

Islam. Sebagaimana yang disampaikan oleh Martin van Bruinessen,

Dalam kurun waktu enam puluhan kaum abangan dan priyayi

dihadapkan dengan persoalan keimanan, di mana kepercayaan mereka

sedang dalam ujian yang sulit. Akidahnya dipertaruhkan demi

pembaruan kepercayaan awal, sehingga terjadilah proses “islamisasi”

luar biasa di kalangan abangan dan priyayi, yang terkadang oleh

orang Indonesia disebut sebagai “santrinisasi” atau akulturasi budaya.

Santri adalah golongan yang taat beragama walaupun sebagai

santri tidak menutup kemungkinan masih melaksanakan ritual berupa

sesajen misalkan dalam upacara slametan “kelahiran anak pertama”

mereka sadar betul bahwa dirinya adalah santri, tetapi ritual itu tidak

serta merta ditinggalkan begitu saja. Meski demikian, ritual yang

dilaksanakan dengan membakar kemenyan, memberikan sesajian

kepada roh-roh yang sudah meninggal dipadukan dengan doa-doa dan

zikiran dari pola ajaran Islam.12

Santri: a great society of equal believers constantly repeating

the name of the Prophet going through the prayers chanting the

koran. (santri adalah sebuah komunitas besar orang-orang beriman

yang senantiasa mengulang pengucapan nama Nabi melakukan

sembahyang dan membaca al-quran).13

12

Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti),

h. 64 13

Clifford Geertz, The Religion of Java. (London: The University of Chicago

Press 1960), cet I, h. 128

55

Priyayi adalah golongan bangsawan (prijajis its gentry)14

yang

berafiliasi kepada pemerintahan yang umumnya mengaku beragama

Islam walaupun demikian mereka tidak melaksanakan perintah agama

seperti yang dilakukan oleh golongan santri. Mereka masih

mempertahankan dan melaksanakan budaya kejawen yang berasal

dari tradisi Hindu-Buddha.15

Abangan adalah golongan yang terkadang disebut golongan

“wong cilik”. Hampir sama dengan golongan priyayi yakni masih

memegang tradisi dari Hindu-Buddha dengan mempercayai animisme

dan dinamisme. Kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah tidak

bisa membaca dan menulis.16

Abangan menurut Geertz: Abangan are fairly indifferent to

doctrine but fascinated with ritual detail. Abangan benar-benar tidak

acuh terhadap doktrin tetapi terpesona oleh detail keupacaraan.17

Pada dasarnya santri dan abangan itu berbeda tetapi memiliki

beberapa kesamaan dalam etika. Sementara kaum santri dan abangan

perbedaan yang mendasar ada dalam bentuk pengamalan pribadi

terhadap keberagamaannya.18

Seorang santri menganggap lebih

religius daripada kaum abangan. Lagi-lagi ukuruan religiusitas

tergantung seberapa besar penghayatan kerohanian dirinya terhadap

agama. Santri dan abangan merupakan dua subkultur yang bernilai

14

Geertz, The Religion of Java. cet I, h. 228 15

Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 64 16

Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 65 17

Geertz, The Religion of Java. cet I, h. 127 18

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 173.

Bandingkan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta:

Gading, 2015), cet. II, h. 69-70

56

dan berhaluan berbeda dalam budaya Jawa. Santri memandang

sembahyang (salat) adalah sebagai bentuk peribadatan yang penting

dan pokok, pelaksanaannya memiliki waktu yang istimewa, sudah

ditentukan oleh waktu dan tidak bisa digantikan oleh waktu yang lain.

Sementara bagi kaum abangan memandang salat hanya sebagai

syariat Islam yang tertera dalam rukun Islam yang lima. Tidak terlalu

menomorsatukan salat akan tetapi tidak meninggalkan kewajiban

salat, hanya berbeda ketekunan dalam menjalankan syariat agama

dengan kaum santri.

Pola kehidupan santri diatur oleh hukum Islam yang

mewajibkan bagi setiap insan untuk melaksanakan perintah tersebut

yang kita kenal dengan ibadah mahdah (ibadah yang ditentukan

dengan waktu), yakni salat lima waktu. Jika diurutkan akan muncul

varian waktu sebagai berikut; subuh, zhuhur, ashar, Maghrib dan isya.

Diulangi setiap hari dalam waktu yang sama. Laki-laki dianjurkan

salat berjemaah di Masjid sementara perempuan dianjurkan salat di

rumah. Hukum Islam yang tidak boleh ditawar-tawar dan langsung

perintah dari Tuhan pemilik seluruh alam. Islam tidak membatasi di

mana seorang muslim harus menunaikan salatnya, Islam

menganjurkan salat di tempat yang suci. Adapun tempat yang

dimaksud itu adalah masjid, langgar, lapangan maupun rumah

pribadi.19

Selagi tempat itu layak untuk tempat salat maka tidak ada

halangan bagi umat Islam menunaikannya.

19

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 311

57

Keyakinan yang dipupuk sejak lama telah mendarah daging

bagi kalangan muslim sedunia. Bahwa laki-laki diharuskan salat

berjemaah di masjid, langgar dan di tempat-tempat layak dan suci.20

Sementara perempuan percaya dan disepakati oleh mayoritas ulama

salatnya di rumah. Karena alasan ketaatan inilah yang akhirnya

menjadikan seseorang sebagai santri, priyayi dan abangan yang

kesemuanya itu hampir tidak pernah ditemui di desa-desa umumnya

Jawa orang melakukan salat sendirian di masjid tanpa berjemaah,

terkecuali telat berjemaah. Ketiga varian abangan, santri dan priyayi

ini telah membentuk jemaah Islam desa, di mana masyarakat saling

berbaur satu sama lain yang oleh karena itu aspek religius dan sosial

keduanya saling mendukung.

Ketika waktu salat tiba baik yang abangan, priyayi apalagi

santri akan selalu berhenti sejenak bila mereka mendengarkan suara

adzan dan melaksanakan salat di tempat terdekat. Misalnya dalam

perjalanan ia akan mencari masjid atau langgar yang bisa digunakan

untuk salat. Bila berada di rumah ia akan segera mengambil wudhu

20

Salat memang dibolehkan dilaksanakan di rumah, alangkah lebih baiknya

dikerjakan secara berjemaah di masjid, karena selain pahala yang didapatkan lebih banyak

daripada salat sendirian hubungan sesama muslim juga terpenuhi. Jika sembahyang

dikerjakan secara bersama-sama, maka kesalahan, amal kebaikan serta rahmat Tuhan

dibagi rata kesemua jemaah. Demikian, kalau berjemaah lebih dari empat puluh orang dan

di salah satu jemaah ada yang tidak khusuk dalam melaksanakan salatnya, maka yang

demikian itu akan ikut kepada yang mayoritas, akan terangkat kesalahannya dan diangkat

oleh satu orang yang khusuk melaksanakannya. Itu sebabnya salat mengapa harus

dilaksanakan berjemaah di masjid. Baca selengkapnya Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab

Shalat Jumat, “keluarnya wanita ke Masjid”. No. 900. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-

Bari, Jilid II, h. 444. Muslim, Shahih Muslim, bab as-Shalat, pasal “keluarnya wanita ke

Masjid”. No. 136 dan 232. Imam Malik, al-Muwaththa’, bab as-Shalat, pasal “wanita yang

pergi ke Masjid”. No. 466. Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani „ala al-Muwaththa’, Jilid II, h. 7.

Dr. H. Rusli Hasbi, MA, Rekonstruksi Hukum Islam, Kajian Kritis Sahabat Terhadap

Ketetapan Rasulallah Saw, Shalat-Puasa-Zakat-Haji-Pernikahan-Thalak-Fitnah, (Jakarta:

2007), h. 23-30

58

terlebih dahulu kemudian salat. Dalam keadaan apapun orang Islam

akan melakukan salat karena salat merupakan perintah langsung dari

Allah. Misalkan di rumah kedapatan ada tamu kemudian si tamu

orang Kristen, maka kebiasaan orang Jawa meminta izin sebentar

kurang lebih lima sampai sepuluh menit pergi kebelakang menunaikan

salatnya. Baru kemudian melanjutkan obrolan setelah selesai salat.

Sesibuk apapun dan sebanyak apapun aktivitas yang dilakukan jika

waktunya salat ia akan berhenti buru-buru melepaskan hal

keduniawian dan menggapai yang ukhrowi. Sembahyang harian

merupakan semacan ritual sakral yang bersifat keharusan dan refleks

dilakukan serta mengantarkan seseorang dalam jaminan keselamatan

baik kesejahteraan material maupun spiritual seseorang.21

B. Islam dan Modernitas

Kebanyakan pemeluk Islam awal dari kalangan abangan dan

santri yang bermukim di pesisir pantai. Karena yang pertamakali

bersentuhan langsung adalah dua kelompok varian tersebut. Semakin

banyak yang datang diperkirakan kisaran tahun 1990-an para

misionaris dari India datang ke daerah Jawa Timur yang berjubel

sesak penuh santri yang bertempat tinggal di sekitaran Masjid di kota-

kota Jawa dan biasanya mereka disebut santri “kauman”. Namun

belakangan dalam perkembangan arah jaman yang semakin global

telah berubah. Di Jawa tengah, misalnya, sampai akhir tahun 1920-an,

semata-mata memaknai santri dengan makna yang berbeda dari

21

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 313

59

umumnya, bahwa santri “sebagai siswa yang sedang mengemban

pendidikan atau murid di sebuah pesantren”, sementara definisi di

kota lain lagi, yakni mengacu kepada para Muslim Jawa yang tinggal

di lingkungan Masjid yang disebut “kauman”. Beralih ke Jawa Timur

makna abangan di definisikan sebagai sebuah kelompok masyarakat

yang hidupnya bersentuhan dengan persoalan duniawi yang

pandangan kehidupannya jauh dari pandangan Muslimin yang saleh.22

Semua yang terislamkan kemudian meniru adat orang Arab

untuk menyebarkan Islam dengan cara berdagang kemudian diselingi

dengan dakwah. Ada tiga kelompok pola penyebar Islam yang

dinamai dengan, pertama adalah kelompok pedagang kecil

(kebanyakan tani), yang kedua adalah pedagang keliling (santri), dan

yang ketiga adalah penghulu. Golongan “petani santri” lebih kaya

dibandingkan dengan “petani abangan”, begitu pula keluarga

penghulu, meski penghulu sangat dihormati golongan ini tidak bisa

disebut priyayi, sebab walau bagaimanapun mereka disebut santri.

Seperti yang telah dikatakan oleh Geertz, dari ketiga varian

tersebut santri lebih menyukai istilah Islam, apakah Islam kuno atau

Islam modern, serta istilah “pemeluk yang setia” dan bukan istilah

santri, walaupun mereka sendiri adalah santri. Abangan dipandang

sebagai masyarakat yang hanya tahu Islam, tetapi tidak terlalu patuh

akan perintah dan ajaran yang ditentukan. Meskipun mereka

menyebut dirinya sebagai Muslim.

22

Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa (Jakarta: INIS, 1988), h. 10

60

Kaum abangan adalah petani Jawa, sedangkan priyayi adalah

kelompok ningratnya. Umumnya petani tinggal di desa, kemudian

priyayi tinggal di perkotaan. Oleh karena itu dari segi gaya hidup yang

dilakukan oleh priyayi secara eksklusif hanya terbatas dikalangan

sesama priyayinya saja.23

Perbedaan mendasar antara priyayi dan abangan lebih sulit

dijelaskan daripada perbandingannya dengan santri karena abangan

dan priyayi sama-sama memiliki unsur sinkretik terhadap animisme.

Dimana dalam kehidupan abangan melaksanakan orkesan, gamelan

dan pertunjukan wayang. Sementara santri yang lebih beradab enggan

melihat budaya yang seperti itu.

Adapun dimensi “keagamaan” kaum priyayi terletak pada tiga

unsur materi yang mana ketiganya disebut sebagai etika, seni dan

praktik mistik.24

Etika sebagaimana diyakini oleh kaum priyayi lebih

menekankan kepada kelakuan sehari-hari, berpikiran positif. Praktik

mistik yang dilakukan untuk mengasah pikiran dan kerohanian. Seni

sebagai bentuk aplikasi kepada laku budaya Jawa.

Dalam etika priyayi hanya mengenal halus dan kasar, biasanya

mereka lebih trima, (dalam bahasa Jawa dimaknai: menerima, sabar

dan ikhlas) apabila dalam kehidupannya mengalami perubahan yang

tidak biasa. Prinsip pokok yang dijalankan oleh priyayi dalam beretika

adalah kehati-hatian dalam bertindak yang merugikan diri sendiri.

23

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 331 24

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 343

61

Pola yang dimiliki oleh orang Jawa disebut andap asor, merendahkan

diri sendiri dengan sopan santun dimanapun dan dengan siapapun

merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada orang

lain baik yang lebih muda atau yang lebih tua.25

Maka dari itu penulis meminjam bahasa yang digunakan oleh

Zainuddin Maliki, yakni “santrinisasi priyayi”, pola “santrinisasi

priyayi” ini mengacu kepada penguasa dalam birokrasi pemerintahan

yang memiliki basis Jawa priyayi yang lebih dekat dengan Keraton

daripada petani Jawa (abangan), kendati demikian mereka golongan

priyayi sangat terbuka dengan mengambil simbol-simbol yang

dimiliki oleh santri. Di sisi lain, priyayi masih tetap setia kepada

pernak-pernik ide, mitos, image, dan yang lainnya.26

Sejauh

perkembangan perubahan yang dilalui oleh priyayi masih jauh lebih

baik dibandingkan dengan petani Jawa yang pemahaman

keagamaannya masih jauh dari sempurna. Budaya santri yang diserap

oleh priyayi dirasa perlu untuk diterapkan karena memberikan

dampak baik di ranah birokrasi publik, khususnya mendongkrak jati

diri mereka sehingga kemudian simbol-simbol santri menjadi

fungsional, oleh karenanya, mau tidak mau, mereka merasa perlu

untuk menjadikan pola tersebut sebagai the secend culture27

(budaya

kedua). Sebagai contoh konkretnya, meski priyayi yang menjadi

santri telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, mereka

25

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 350-352 26

Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, (Yogyakarta: Pustaka Marwa), h. 257 27

Maliki, Agama Priyayi, h. 257

62

merasa tidak memiliki keharusan untuk mengenakan kopyah sehari-

hari, tidak sebagaimana layaknya santri yang setiap harinya tidak

lepas dari kopyah apalagi bagi santri yang telah menunaikan haji,

mereka merasa perlu menampakkan identitas yang baru dengan

memakai kopyah sebagai simbol agung.

Persebaran tersebut diatas bisa terjadi melalui transformasi

secara sosiologis yang ditandai dengan adanya kesadaran spiritualitas

atau religiusitas dalam diri priyayi. Dengan demikian tidak sedikit

priyayi yang menjalankan pola keberagamaan santri menempati posisi

strategis dalam ranah birokrasi pemerintahan. Disamping itu, priyayi

mengambil Islam sebagai bentuk sumber simbol kekuasaan yang ia

jalankan.

Sejalan dengan perkembangan mobilitas sosial, santri yang

sejatinya taat dalam hal menjalankan keagamaan dan peribadahan, tak

sedikit yang berkecimpung dalam ranah perpolitikan dengan meniru

ala priyayi yang sudah mapan. Sehingga dengan demikian ada istilah

“priyayinisasi santri”. Oleh sebab itu, santri yang semula berkutat

dalam ranah privat kemudian mengepakkan sayapnya lebih jauh ke

ranah publik. Pada umumnya santri melakukan mobilisasi melalui

dunia pendidikan formal. Setelah santri banyak yang menduduki

birokrat pemerintahan, maka sedikit bergeser dari deprivatisasi ke

dunia terbuka.28

Hubungan yang dibangun oleh santri semata-mata

memandang diri mereka juga perlu adanya perubahan yang dinilai

28

Maliki, Agama Priyayi, h. 263

63

hanya berkutat dalam ranah keagamaan tanpa tahu dunia perpolitikan,

pernyataan yang demikian sudah bergeser dikarenakan berhasilnya

santri merubah arah pemikiran yang dinilai kolot dan kuno.

Dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh santri, abangan,

dan priyayi diatas. Secara umum mengatas namakan diri sebagai

Islam.29

Bagi kaum Muslimin Indonesia saat itu, mereka menyadari

secara fakta bahwa Islam dibawa dan datang ke Indonesia tidak untuk

menyeragamkan sebuah ajaran menjadi satu ajaran utuh yang harus

dianut oleh seluruh umat Islam di seluruh Indonesia. Untuk

menetralisir adanya penyimpangan dari kemurnian agama Islam

dengan jalan menghilangkan unsur-unsur sinkretik maka di Indonesia

lahirlah sebuah gerakan keagamaan yang mengatas namakan dirinya

sebagai kelompok Muhammadiyah adalah golongan yang menagatas

namakan dirinya (golongan modern), dan belakangan beberapa tahun

setelah Muhammadiyah berdiri lahirlah Nahdlatul Ulama atau sering

disebut NU (golongan kolot). Yang mana kedua golongan tersebut

sama-sama ingin memurnikan ajaran Islam dari kepercayaan,

kebiasaan orang Jawa sebelum masuk Islam yang tak terpisahkan di

Jawa serta membuat Islam mampu menjawab sebuah tantangan dunia

semakin modern terutama kepada perubahan masyarakat.

Pasca reformasi tidak ada satupun institusi atau partai politik

yang dapat menjalankan visinya dengan lancar karena dikredibel oleh

pihak penguasa. Oleh karena itu diakhir Orde Baru banyak priyayi

29

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 320

64

yang mengidentifikasikan dirinya kepada dua organisasi Islam

terbesar yang ada, yakni NU atau Muhammadiyah. Kendati demikian

apa yang telah priyayi rasakan dalam dunia pribadi mereka, telah

banyak memberikan dampak yang positif. Selain pola santri telah

menyatu dalam diri priyayi kemudian mereka dalam perjalanan

spiritualnya memperoleh ketenangan diri dengan pola santri.

Mobilitas sosial yang priyayi peroleh dari karir politiknya telah

banyak mencapai tingkat kemakmuran yang berarti dalam hidupnya

disamping kemakmuran material yang ia peroleh, tetapi kemudian

mereka ingin menyempurnakan spiritualnya sebagai kaum priyayi

yang dalam hal ini mereka memiliki kesadaran baru sebagai santri.

Ketika kita membahas santri, priyayi dan abangan sebagai

kekuatan sosial di Indonesia saat itu, persoalan yang muncul semata-

mata bukanlah persoalan siapa yang beragama dan tidak beragama

melainkan adalah persoalan pergulatan politik antarpartai Islam.

Akibat dari situasi itu muncullah berbagai partai politik dan muncul

pemikir politik yang tersadarkan diri. Itulah masa dimana partai lahir

seperti Sarekat Islam (1911), Muhammaddiyah (1912), PKI (1914),

NU (1926), PNI (1927) dan lain sebagainya. Sarekat Islam yang

menggerakkan massa dari kalangan santri dan abangan.30

Terlepas dari perkembangan dunia yang semakin maju, Islam

pun menyesuaikan dengan keadaan. Di tampuk kepemimpinan

Presiden Soeharto disebutlah sebagai era baru berkemajuan dan

30

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 37

65

diterimanya gagasan baru pertumbuhan kesadaran ala Barat,

perubahan sosial dan ekonomi, tentang pergulatan politik dan gagasan

pembaruan Islam datangnya dari Mesir. Tentu saja disamping lahir

partai-partai Islam, tak luput kita lihat para tokoh pejuang di kalangan

Islam salah satunya pengurus Masyumi waktu itu diantaranya, seperti

Dr. Tjipto Mangunkusumo, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, K.

H. Wahid Hasyim, Mohammad Roem, Mohammad Natsir dan lain-

lain.31

Terlepas dari peran tokoh dan partai diatas menurut Geertz

lahirnya modernisme di Jawa dibarengi dengan kegigihan masyarakat

yang berkeyakinan bahwa “Makkah” sebagai pusat Islam,32

telah

banyak menarik minat dari kalangan abangan terutama santri.

Makkah sebagai pusat peradaban terbesar di dunia. Orang Jawa,

masyarakatnya giat menabung untuk sesekali menunaikan hajat pergi

ke Makkah selain untuk menunaikan kewajiban sebagai umat Islam

yang dalam rukun Islam tercantum kewajiban bagi yang mampu untuk

menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah.

Bagi yang berhasil berangkat ke tanah suci Makkah ia akan

menunaikan niat dan melaksanakan kegiatan rukun haji sebagaimana

diwajibkan dalam Islam, dan tidak jarang bagi yang sudah sampai di

Makkah ia akan menetap dan berlama-lama di Makkah mencari

31

S.U Bajasut dan Lukman Hakim, Alam Pemikiran dan Jejak Perjuangan

Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Terakhir Partai Masyumi (Jakarta : 2014), cet. II, h.

26-28 32

Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 4

66

tambahan ilmu agama sebagai bekal untuk pulang kembali ke tanah

air terutama dilakukan oleh orang yang giat mencari ilmu. Terlepas

daripada itu sepulang dari Makkah ia akan dianggap orang hebat,

banyak ilmunya, atau sebagai ahli agama, di tokohkan di

komunitasnya terkadang bagi yang mumpuni di bidang keagamaan ia

akan mendirikan tempat belajar ngaji “Al-quran” (madrasah), atau

disebut pesantren (terkadang juga disebut pondok yang didasarkan

pada kata santri atau pesantrean, tempat orang belajar ilmu atau orang

Jawa bilang “ngelmu” agama dan mengaji).

Sama sekali madrasah itu bukan hanya difokuskan kepada

pelajaran agama saja melainkan, disisipi pelajaran umum.

Mencerminkan pendidikan Islam modern namun tidak menghilangkan

unsur tradisional. Cara yang digunakan adalah dengan model

pembelajaran Barat, belajar ilmu agama dengan model yang baru

disamping itu pelajaran umum seperti Matematika, Sains dan lain

sebagainya juga diterapkan. Tentu model yang ada itu terinspirasi oleh

pemikir Islam modern yaitu Muhammad Abduh, tokoh pembaharu

dari Mesir.33

Sedikit mengutip pendapat Muhammad Abduh, kepercayaan

kepada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Sebab

33

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,

(Jakarta: Bulan Bintang, 2014), cet. XIV, h. 49-59. Muhammad Abduh lahir di Mesir Hilir

tahun 1849 ada yang mengatakan tahun 1805-1849. Karena tidak pasti kapan ia dilahirkan.

Hanya tahun itulah umumnya dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ayahnya bernama Abduh

Hasan Khairullah dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat

masih berasal dari keturunan Arab yang sampai kepada Umar ibn Khattab. Abduh lahir

dalam keluarga yang tidak ada hubungannya dengan didikan sekolah namun memiliki jiwa

keagamaan yang kuat.

67

akal terlepas dari ikatan tradisi akan membawa kepada kemajuan.

Pemikiran akallah yang menimbulkan pengetahuan. Ilmu modern

banyak berdasar pada hukum alam dan tidak bertentangan dengan

hukum Islam yang sebenarnya. Karena ilmu modern berdasarkan dari

alam yang juga berpusat pada Tuhan. Sebaliknya Islam agama wahyu

yang juga dari Tuhan. Semestinya tidak bertentangan.

Pola perkembangan pendidikan di Jawa Timur seperti Pondok

sebagaimana diterapkan oleh kiai NU sudah menerapkan pola

pengajaran berbasis Barat, di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum

seperti Bahasa Indonesia, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Sains, Bahasa

Inggris, dan lain sebagainya.34

penerapan sekolah agama delapan

puluh persen, kemudian dua puluh persen pelajaran umum. Untuk

mengimbangi dunia pendidikan yang semakin maju maka diperlukan

terobosan yang baru seperti yang telah dilakukan di berbagai pondok

Mojokuto tempat Geertz melakukan penelitian.

Pondok bukan sekedar tempat seseorang untuk singgah dan

sebagai tempat berlindung tetapi pondok adalah sarana untuk

memperluas wawasan keilmuan dan ajang untuk mendekatkan diri

kepada Allah di mana pondok adalah tempat yang paling pas

melakukan ritual keagamaan dengan suasana yang sunyi memanjatkan

puji-pujian kepada Tuhan disertai membaca Al-Quran dengan tenang.

34

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 273

68

Berbeda kemudian dengan penerapan berbasis dan bertaraf

internasional yang dikembangkan oleh kelompok Muhammadiyah

mereka lebih objektif melihat dunia pendidikan semakin sekuler.

Kemudian menerapkan delapan puluh persen pelajaran umum dan

empat puluh persen pelajaran agama,35

berbalik drastis dengan metode

yang dikembangkan oleh kelompok NU. Basis pendidikan yang lebih

baru oleh Muhammadiyah dikemas dalam bentuk Sekolah Menengah

Pertama yang meneruskan tingkat pendidikan dasar. Tetapi kurun

waktu sekolahnya lebih pendek daripada pendidikan madrasah yakni

tiga tahun lamanya belajar.

C. Budaya Jawa dalam Modernitas

Pola relasi santri dan priyayi jelas memiliki batas yang

berbeda terutama dalam ranah pekerjaan dan gaya hidup. Priyayi yang

kehidupannya dipandang lebih dekat dengan penguasa, sementara

santri digambarkan sebagai “wong cilik” yang jauh dari kebahagiaan.

Tidak menutup kemungkinan hubungan priyayi dan santri telah

terbentuk semula bangsa ini tumbuh. Yang mendorong adanya proses

“santrinisasi priyayi” disatu sisi, dan “priyayinisasi santri” di sisi

lain.36

Hal itu terjadi karena, santri merupakan komponen terkuat

dalam penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dan bisnis

dibandingkan kelompok petani (abangan) yang lain. Kaum petani

yang dikategorikan sebagai abangan juga tentu memiliki keinginan

untuk mengalami nasib yang serupa dengan priyayi baik dalam ranah

35

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 274-279 36

Maliki, Agama Priyayi, h. 266

69

pemerintahan maupun kehidupan pribadi priyayi, karena priyayi

dinilai nyentrik dan modernis dibanding golongan santri maupun

abangan. Abangan yang menjalin hubungan baik dengan priyayi

misalkan ada hubungan kekerabatan biasanya memiliki kesempatan

untuk bekerja di ranah pemerintahan atau dalam pekerjaan yang lebih

baik dari sebelumnya.37

Seperti yang dikatakan oleh Geertz, jika dilihat dari sejarah

sosialnya priyayi dengan kaum abangan sangat terpisah jauh, bukan

kelasnya, baik secara simbolik maupun spasial. Batas itu dipertegas

oleh batas dimana priyayi yang berkelimpahan materi dan juga karena

statusnya yang tinggi. Kemudian menempati wilayah perkotaan,

sementara abangan menempati wilayah pinggiran, dan daerah

termarjinalkan lainnya dan cenderung kelas menengah kebawah

dalam ekonominya.

Kendati demikian, persebaran santri terus berlanjut seiring

beriringnya waktu, sebagai implikasi dari meluasnya cakrawala

pendidikan. Kesadaran literal di kalangan santri membangkitkan

ghiroh, semangat terus belajar. Sampai pada saatnya priyayi

tersadarkan oleh merebaknya santri yang semakin meluas menduduki

ranah birokrasi, kemduian daripada itu, priyayi yang merasa tersaingi

oleh santri, priyayi merasa perlu dengan mengambil tindakan simbol-

simbol yang ada dalam Islam, sebagaimana diterapkan oleh santri,

walaupun simbol Islam oleh kaum priyayi dijadikan sebagai “the

37

Maliki, Agama Priyayi, h. 270-271

70

second culture”, (budaya kedua) setelah kultur Jawa yang menjadi

“the first culture” yang dinomorsatukan oleh mereka. Tidak sedikit

elite Jawa yang mengalami “santrinisasi”. Yang semula mereka

merasa ragu-ragu bahkan takut mengambil identitas santri, lalu dirasa

memerlukan untuk mengambil simbol santri tersebut.

Pola tipikal keagamaan orang Jawa cenderung tidak

menggebu-gebu, sebagaimana yang dikatakan oleh Geertz yakni

umumnya orang Jawa menyesuaikan diri, menyerap, pragmatis dan

tidak tergesa-gesa, tidak berpretensi secara murni melainkan

komprehensif, tidak berkobar-kobar melainkan kearah pengekpresian

dan semangat toleran.

Pada periode pendudukan Jepang, santri yang tadinya aktif

dalam dunia politik disatukan dalam sebuah organisasi yang diberi

nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Karena pada

waktu itu Jepang sedang berjibaku melawan Amerika. Maka salah

satu cara yang dilakukan oleh Jepang merekrut para pemimpin

organisasi yang ada di Mojokuto seperti Muhammadiyah dan NU

yang cukup dominan di kota tersebut diambillah pemimpin dari

mereka kemudian dibawa ke Jakarta untuk dilatih dengan pandangan

politik dunia. Kemudian kedua pemimpin organisasi ini menduduki

kursi penting dalam legislatif dan eksekutif di tubuh Jepang.38

38

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 203-206

71

Mereka yang dikirim ke Jakarta dilatih berperang untuk

“berani mati”. Namun tidak semudah yang dibayangkan oleh Jepang,

sebagian dari mereka hanya menumpang hidup untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi mereka. Untuk pertama kalinya semua partai

seperti Sarekat Islam (saat itu diganti menjadi Partai Sarekat Islam

Indonesia), NU, dan Muhammadiyah berada dalam satu partai yang

mana partai itu lagi-lagi dimotori oleh Jepang. Setelah masanya

selesai Jepang kembali ke tanah asalnya.

Sebagai reaksi, tradisionalis dan konservatif K. H. Hasyim

Asy’ari mengembangkan organisasi yang sejajar dengan

Muhammadiyah (didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan 1912) pada

tahun 1926 lahirlah Nahdlatul Ulama (NU). Kedua organisasi itu

masing-masing mempunyai organisasi kepemudaan dan pendamping

wanita ( Fatayat Ibu-Ibu ).39

Selama pendudukan Jepang, rupanya Jepang lebih longgar

untuk memberikan kemudahan bagi Muslim Indonesia dibandingkan

sikapnya terhadap para nasionalis. Islam menjadi alat untuk

meluruskan niat Jepang melawan Amerika, karena dengan senjata

Islam merupakan senjata yang paling ampuh untuk membujuk

masyarakat Indonesia yang berpikiran Barat. Sehubungan Jepang

memegang santri sebagai alat penyambung lidahnya maka ada

berbagai keuntungan yang diperoleh oleh pihak Jepang. Pertama,

39

Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim As‟ari Tentang al-Sunnah

Wa al-Jamaah, (Surabaya: Khalista), h.7

72

terbentuklah Kantor Urusan Agama, dimana K. H. Hasyim Asyari

diberi kepercayaan untuk mengurusnya. Namun jabatan itu dialihkan

kepada puteranya K. Wahid Hasyim. Kedua, berhasil membentuk

Masyumi dan akhirnya dibubarkan tahun 1943. Pembentukan aliran

“berani mati” yang disebut Hizbullah merupakan keuntungan ketiga.40

Selama masa penjajahan kewibawaan rohani seorang santri

yang paling nampak adalah para kiai dan ulama yang menolak

menjadi boneka para penjajah. Dengan semakin ditegaskannyalah

agama semakin meningkat di antara penduduk, maka kekuatan agama

sebagai pemersatu bangsa memberikan pengaruh besar bagi

kebangkitan Indonesia. Islam dalam hal ini menjadi pemersatu bangsa

khususnya Jawa dan bangsa Indonesia umumnya. Dengan demikian

kiai dan santri telah mengambil peranan politik yang cukup penting.

Islam berhasil memisahkan para penjajah dari orang pribumi dengan

cara demikian, Islam menjadi lambang nasionalisme Indonesia.41

Untuk menyimpulkan organisasi sosial masyarakat santri di

Mojokuto secara umum, waktu itu yang berkecimpung dalam kancah

perpolitikan, terdiri dari kelompok Masyumi, Muhammadiyah dan

Nahdlatul Ulama yang merupakan penentu pergerakan keagamaan di

Mojokuto. Hampir semua santri waktu itu tidak ada yang tidak ikut

partai, pasti semuanya masuk di salah satu aliran diatas. Lambat laun

partai politik semakin diminati oleh kalangan santri sebagai landasan

40

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 38 41

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 39

73

dasar baik di desa maupun kota, tetapi tidak begitu kentara pada

abangan dan priyayi. Semata-mata aliran terbesar yang ada di

Indonesia itu untuk mengubah “mindset” masyarakat supaya tidak

terlalu kaku dalam menjalankan syariat Islam yang disandingkan

dengan tradisi yang ada. Umumnya NU hanya mengubah sebagian

saja, sementara Muhammadiyah berupaya mengganti dengan model

yang samasekali baru dengan berbagai kemungkinan, kesemuanya ini

merupakan kelompok sosial yang menjadi acuan utama bagi kalangan

santri di Mojokuto.

Senada dengan pendapat Nur Syam tentang penelitiannya di

Palang Tuban Jawa Timur, bahwa ia berpendapat Islam yang dianut

oleh orang Jawa adalah Islamnya orang NU dan Islamnya

Muhammadiyah. Yang mana Islam NU berafiliasi kepada pengamalan

keberagamaan tradisi masa lalu dan melakukan berbagai tradisi

keberagamaan yang bersentuhan dengan budaya lokal seperti

slametan. Disisi lain adalah Muhammadiyah yang mengamalkan

ajaran Islam secara murni dan hati-hati supaya tidak bercampur

dengan tradisi lokal, dan mereka meyakini bahwa dalam pengamalan

ajaran Islam harus sesuai dengan ajaran Islam murni yang tercantum

dalam Al-Quran, Sunnah atau hadits Nabi. Model Islam tersebut oleh

Nur Syam disebut sebagai Islam Pesisiran.42

Penyebaran Islam di era modern dalam kurun waktu tujuh

puluhan pengaruhnya sudah semakin luas dan menyebar. Orang tidak

42

Dr. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS 2005), cet. I, h. 113

74

lagi harus buang-buang waktu dan harta pergi ke Makkah untuk

mencari informasi tentang Islam yang menyegarkan. Buku-buku

agama yang berbasis Inggris dan Arab, maupun Jurnal-Jurnal dalam

bahasa internasional sudah menumpuk di hadapan kita untuk kita baca

dan dicerna isinya. Sudah cukup efisien dan signifikan.

Di era kepemimpinan Sukarno, yang berkaitan dengan aksi

keagamaan didominasi oleh partai politik seperti Masyumi,

Muhammadiyah, dan NU. Bahkan ada wacana yang cukup terkenal

yakni jargon yang disampaikan oleh aktivis HMI, yang kharismatik

yakni Nurholis Madjid sebagai juru bicaranya. Ia mempunyai jargon

“Islam yes, Partai Islam no”. panggilan akrabnya Cak Nur. Sekali lagi

ia hanya ingin menyampaikan bahwa apa yang ia kemukakan

merupakan resiko yang harus ditempuh guna menyadarkan

masyarakat dari tidur panjangnya. Bukan soal modern dan kuno,

tetapi lebih kepada aplikasi tentang ajaran Islam yang murni. Yakni

Islam menurut kacamata orang Indonesia. Meminjam bahasanya KH.

A. Mustofa Bisyri (Gus Mus) “kita ini orang Indonesia yang

kebetulan beragama Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia”.

Penulis memerhatikan dari sekian konflik yang ada di tubuh abangan,

santri dan priyayi hanyalah persoalan pengamalan terhadap Hukum

Islam yang benar.

Abangan dari segi menjalankan perintah Allah tidak terlalu

dijadikan sebagai kewajiban, sama halnya dengan priyayi yang selalu

mementingkan kehidupan duniawi, berbeda sekali dibandingkan

75

dengan kehidupan santri yang penghayatan keberagamaanya paling

sempurna dibanding yang lain. Sebab mereka lebih mengerti aturan

Islam yang tepat dan benar.

Berdasarkan fakta diatas, ada relevansinya mengenai gagasan

keagamaan yang dikemukakan oleh Gus Dur bahwa, ia bukan

merupakan bagian dari kelompok pembaharuan dalam Islam. Namun

latar belakang yang ia miliki berasal dari kalangan elite Muslim

tradisional yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang menggabungkan

pendidikan sekuler dengan Islam tradisional. Mungkin bagi kalangan

abangan dan santri apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu bukan

sesuatu yang biasa, dan hal demikian belum pernah terjadi di

lingkungan Islam tradisional.43

Lika-liku politik yang terjadi di era orde baru merupakan

persaingan yang tadinya ada dalam tubuh Masyumi dimana Masyumi

menginginkan negara Indonesia menjadi negara yang Islamis bukan

Pancasilais. Sementara Indonesia berideologi Pancasila sebagai

pemersatu bangsa. Persimpangan pemikiran diatas sedikit banyak

terpola dari ideologi yang satu pihak penganut Islam ortodok, dan di

pihak lain ada yang tetap berprinsip pada dunia abangan yang

menjadi ciri dasar penentu sejarah sosial dan politik di Jawa sejak

kemerdekaan dan sebelum kemerdekaan.

43

Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 72

76

Santri menemukan jati dirinya setelah masuk dalam partai-

partai Islam yang sudah berkembang di Indonesia kala itu. Kelompok

abangan dan priyayi selayaknya menjadi pribadi yang taat beragama.

Pergolakan politik yang mengakibatkan perpecahan antara santri yang

berorientasi kepada agama dan abangan yang orientasinya berpikiran

sekuler. Bahwa perseteruan ini hanya berbeda ideologi saja, yang

golongan pertama tidak setuju bahwa Islam dan Komunisme itu tidak

bisa disatukan. Sementara abangan lebih bersikap netral secara

religius terhadap Islam.44

Dilihat secara pikiran politik yang timbul ke permukaan di

Indonesia terdapat tiga macam aliran politik saat itu, yakni

Nasionalisme, Islam dan Komunisme. Di Indonesia terbagi dalam tiga

jaman yang berbeda-beda pula. Di bagian pertama, merupakan jaman

genjatan senjata (1945-1949) yang ditandai dengan penyerahan

kedaulatan rakyat, kedua, merupakan jaman parlementer (1949-1965),

ditandai oleh pertentangan partai dan pertentangan ideologi yang

cukup ekstrem. Ketiga, Jaman demokrasi terpimpin (1959-1965)

merupakan kewajiban dimana daulat presiden Sukarno harus

dilaksanakan tentang demokrasi terpimpin sebagai pemersatu

Nasionalisme, Islam dan Komunisme.

Melihat dari perkembanganan yang ada terlepas dari merdeka

dan tidaknya ciri dari abangan, santri dan priyayi sangat tampak

dalam kehidupan nyata. Beberapa perbedaan yang tidak bisa serta

44

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 46-47

77

merta ditolak di masyarakat dari ketiga varian abangan, santri dan

priyayi ini oleh Geertz didasarkan kepada pola ritual yang dilakukan

setiap hari diantaranya;

Pola ritual santri, dari berbagai bentuk kegiatan ritual yang

dilakukan oleh santri diantaranya (1) sahadat, (2) sembahyang, (3)

zakat (4) puasa, dan (5) haji. Sebagaimana yang disimpulkan dalam

rukun Islam yang lima. Santri selalu taat terhadap ajaran Islam dan

apa saja yang diperintahkan dalam syariat agama.45

Pola ritual abangan, pola yang paling sering dilakukan oleh

abangan adalah “slametan”, dimana kehidupan mereka selalu

dibarengi dengan upacara-upacara keberkahan. Kemudian kebiasaan

yang kedua yakni kaum abangan suka dengan wayang, tembang

macopat yang di dalamnya diisi dengan unsur keislaman dan tidak

menghilangkan unsur mistiknya. Wayang merupakan bagian pola

keagamaan abangan secara ritualistik, dan magis. Kaum abangan

tidak terlalu menaati perintah agama namun ia memiliki kepercayaan

yang ia anggap sama seperti agama.46

Pola ritual priyayi, hampir sama dengan pola yang ada pada

abangan, namun ego dari priyayi lebih tinggi daripada abangan.

Priyayi cenderung kepada pemimpin seperti raja, bangsawan dan

penguasa. Beberapa aspek ritual yang mungkin masih dianggap

penting bagi kaum priyayi yaitu tayuban dan mistisisme merupakan

tari-tarian yang biasa diadakan dalam pesta atau upacara-upacara

45

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 310-323 46

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 376-384

78

seperti perkawinan, peralihan tahap dan lain sebagainya. Kaum

priyayi lebih menekankan sifat kemampuan yang dimiliki olehnya.

Kaum priyayi diduduki oleh kaum yang berduit.47

Melihat kehebatan sifat orang Jawa pada umumnya, luar biasa

tenangnya, tayuban bukan sebuah pesta biasa. Tayuban poluler di

kalangan priyayi yang kaya raya. Dimana tarian dalam tayuban itu

merupakan kombinasi dari tarian Barat dan Timur. Bahasa

sederhananya adalah kolaborasi dari tarian modern dan tradisional.

Dari tahun ke tahun para priyayi masih melaksanakan tayuban,

bahkan untuk kegiatan bersih desa pun mereka melakukannya.

Pelaksanaanya biasanya di khususkan kepada kelompok-kelompok

kaya saja yang diundang dan boleh menonton, sementara kaum

abangan yang dari segi ekonomi tidak mampu maka dibuatkan

pertunjukan wayang yang jauh dari tempat tayuban di gelar diletakkan

secara terpisah.

Dalam persoalan mistik, kaum priyayi ikut dan patuh

sepenuhnya kepada guru yang dipandang lebih mampu dalam bidang

ilmu yang ia miliki. Kaum priyayi berpendapat : inilah orang yang

“tahu” yang sedikit lebih tinggi secara keilmuan dibandingkan dengan

dirinya. Dasar ini menemukan kesimpulan bahwa pada mistisisme

priyayi, toleransi universal, pandangan relatif tentang kepercayaaan

dan ritual praktik keagamaan mereka menyatakan bahwa rasa tertinggi

bukanlah sifat “fanatik” terhadap agama, tetapi tenang dalam alunan

47

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 430-433

79

rasa dalam jiwa.48

Kemudian daripada itu priyayi menganggap semua

agama itu baik, tetapi tidak satupun yang mutlak bagi semua orang.

Buktinya tidak hanya terfokus pada satu agama saja orang beragama,

tetapi lebih dari itu manusia beragama menurut keyakinan masing-

masing. Perbedaan yang kita ketahui antara santri dan priyayi terletak

dari pengamalan keagamaannya yang mana santri lebih kental dan

taat dalam urusan agama, sementara priyayi tidak terlalu “fanatik”

dalam menjalankan perintah agama.

Barang kali penjelasan diatas sudah cukup relevan dengan apa

yang penulis temukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Geertz

selama di lapangan. Bahwa trikotomi yang dibuat memang

berdasarkan fakta keberagamaan masyarakat Jawa tergolong

bervariasi, ada yang taat beragama, setengah-setengah dan tidak taat

samasekali.

48

Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 483-484

80

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah melalui penelusuran dan analisis pada bab-bab

selanjutnya maka pada bagian ini penulis akan menguraikan

kesimpulan sebagai hasil dari penelitian ini.

Dalam pandangan Geertz Islam dan budaya Jawa merupakan

dualisme entitas yang hidup dalam suasana harmonis. Karena

kehadiran Islam, sebagai agama yang baru, tidak serta-merta

memberangus kebudayaan dan tradisi yang telah hidup, ada

sebelumnya pada kurun waktu ratusan bahkan ribuan tahun di Jawa.

Hal itu bisa ditunjukkan, sebagaimana diungkap oleh Geertz pada

bagian sebelumnya, dengan dua hal penting. Pertama, adanya

inkulturasi ajaran Islam ke dalam budaya Jawa yang pada saat itu

masih sangat kental dengan nuansa animisme dan dinamisme. Kedua,

munculnya upaya-upaya kerja sama dialogis-komplementer dalam

konstruksi kehidupan masyarakat Jawa, yaitu simbiosis mutualisme

antara Islam (ajaran) dan budaya Jawa. Sehingga, berdasarakan dua hal

tersebut, Islam sebagai ajaran dan agama baru bisa diterima secara

massif oleh masyarakat Jawa dan mencapai kulminasi “puncak

tertinggi”, pertumbuhan dan perkembangan.

Hal ini juga, sejauh penulis amati dan tentu saja dengan

pertimbangan sosiologis dan antropologis terhadap masyarakat Jawa

dengan kompleksitas kehidupan keberagamaannya, menjadi titik tolak

81

bagi Geertz dalam mengklasifikasikan Muslim Jawa menjadi trikotomi

utama. abangan, santri, dan priyayi.

Tiga varian muslim Jawa ini, sebagaimana diungkapkan oleh

Geertz, adalah tipe murni (genuine type) yang terbentuk dalam rumpun

masyarakat setempat dan memiliki akar atau hubungan “geneologis”

yang sangat kuat. Di mana “kelahiran” mereka dilatarbelakangi oleh

kesamaan letak geografis, ekonomi, tercakup dalam masyarakat yang

majemuk, serta sama-sama memegang prinsip nilai-nilai budaya yang

sama dan latar belakang kepercayaan nenek moyang yang sifatnya

turun-temurun, yakni animisme dan dinamisme.

Sementara tiga varian utama Muslim Jawa ini, abangan, santri

dan priyayi, dalam tataran aplikatifnya, yaitu menjalankan ajaran atau

perintah agama dapat ditarik garis demarkasi “batas pemisah”, satu

dengan yang lain sebagai berikut. Santri adalah komunitas paling

unggul dan menempati hirarki pertama dalam tingkat ketaatan dan

pelaksanaan ajaran Islam. Hal itu ditunjukkan oleh upaya mereka yang

konsisten untuk merepresentasikan laku lampah kehidupannya sesuai

dengan prinsip dan ajaran dalam Islam.

Sementara kaum abangan merupakan kelompok yang percaya

kepada ajaran Islam, tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun

ajaran Islam. Dalam praktik kesehariannya mereka lebih mendekati

kepada praktik pra-Islam, tetapi secara statistik mereka termasuk

beragama Islam.

82

Lebih jauh dari dua komunitas sebelumnya, kaum priyayi adalah

komunitas Muslim Jawa yang menempati kelas paling rendah dalam

kaitannya dengan sikap ketaatan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam.

Bahkan mereka juga menjadi kelompok yang paling konsisten

melanjutkan warisan kebudayaan Jawa secara radikal dibanding dua

kelompok sebelumnya. Namun sikap konsisten mereka dalam

melestarikan budaya-budaya Jawa kuno tersebut memiliki dampak

paling dominan atas eksistensi budaya-budaya Jawa seperti, tari seni,

gamelan, macopat, pagelaran wayang kulit yang tetap ada dan hidup

sampai sekarang.

B. SARAN

Penelitian ini tentu saja masih jauh dari sempurna, lebih-lebih

sudah mampu menjelaskan pemikiran Clifford Geertz tentang Islam dan

Budaya secara utuh. Namun demikian, penulisan dan penyusunan

penelitian ini telah dilalui dengan proses yang serius dan maksimal

dalam, tentu saja, ukuran pribadi penulis. Untuk memberikan yang

terbaik terhadap khazanah kajian studi agama-agama secara umum dan

antropologi agama secara khusus. Berkaitan dengan kajian antropologi

agama ada beberapa saran yang ingin penulis kemukakan kepada

pembaca maupun peneliti yang memiliki minat dalam penelitian

terhadap tokoh dalam kajian etnografi selanjutnya, yaitu:

1. Penelitian antropologi agama walaupun sudah banyak yang

meneliti tetapi masih perlu adanya kajian lebih lanjut

mengenai hubungan kaum beragama di mana pada saat ini

83

kerukunan antarumat beragama semakin menurun, yang

disebabkan oleh kurangnya minat kesadaran, toleransi dalam

beragama, dan terjalinnya hidup rukun, sehingga diperlukan

kajian mendalam dan lebih serius.

2. Supaya tidak tumpang tindih antara agama yang membentuk

suatu budaya maka diperlukan terobosan gagasan baru

mengenai apakah gagasan tersebut sejalan dengan budaya

yang mereka miliki atau tidak.

3. Masyarakat Jawa memiliki beragam corak keberagamaan

terutama masyarakat pesisir tentu lebih baik diteliti secara

serius.

Akhirnya penulis berharap semoga kajian tentang Islam dan

Budaya Jawa dalam perspektif Clifford Geertz dengan pendekatan

antropologi dan sosiologi ini dapat menjadi sumbangan bagi pemikiran

dalam kajian studi agama-agama. Penulis menyadari betul bahwa skripsi

ini masih jauh dari sempurna dan dalam banyak bagian masih terdapat

banyak kekurangan. Oleh karena itu penelitian tentang studi agama-

agama secara umum, relasi agama dan budaya secara khusus dengan

perspektif antropologis dan sosiologis hendaklah terus dilakukan.

84

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku:

Abdullah, Taufik. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2004.

Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali

Press, 2007

Bajasut, Saleh Umar dan Lukman Hakiem. Alam Pemikiran dan Jejak

Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Terakhir Partai

Masyumi. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2014.

Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2001.

Brhul, Levi. La Mentalite Primitif. The Herbet Spencer Lecture, 1931

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat. Yogyakarta:

Gading, 2015.

Connolly, Peter (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: PT.

LKiS Printing Cemerlang, 2002.

Durkheim, Emile. The Elementary Forms Of The Religious Life.

Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri. Jogjakarta:

IRCiSoD, 2011.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2006.

Evan Pritchard, Edward. Teori-Teori Tentang Agama Primitif. Yogyakarta:

PLP2M, 1984.

Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers,

2008.

Geertz, Clifford. Agama Jawa Abangan Santri Priyai Dalam Kebudayaan

Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto. Depok:

Komunitas Bambu, 2014.

Geertz, Clifford. The Religion of Java. London: The University of Chicago

Press, 1960.

Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan Francisco Budi

Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Geertz, Clifford. After The Fact. Terjemahan landung Simatupang.

Yogyakarta: LKiS, 2017.

85

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1993.

Hadiwiyono, Harun. Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1985.

Hasbi, Rusli Dr. Rekonstruksi Hukum Islam, Kajian Kritis Sahabat

Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, Shalat-Puasa-Zakat-Haji-

Pernikahan-Thalak-Fitnah. Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007.

Imam S, Suwarno. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai

Kebatinan Jawa. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Jalaluddin. Psikologi Agama Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan

Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: Rajawali Press, 2015.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Jambatan, 1983.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia, 2008.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Yogya, 1987.

Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi

Tentang Pendekatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006.

Maliki, Zainuddin. Agama Priyayi. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2006.

Muchtarom, Zaini. Santri Dan Abangan Di Jawa. Jakarta: INIS, 1988.

Muhibbin Zuhri. Achmad. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Al-

Sunnah Wa al-Jamaah. Surabaya: Khalista, 2010.

Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Imiah. Jakarta: CeQDA,

2007.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan

Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

Narendrany, Heny, Andri Yudiantoro. Psikologi Agama. Jakarta : Lembaga

Penelitian UIN Jakarta. UIN Jakarta Press, 2007.

Pals, Denial L. Seven Theories of Religion. Inyiak Ridwan Muzir dan M.

Syukri. Jogjakarta: IRCiSoD, 2011.

Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam di Jawa. Jakarta: Rajawali Pers,

2009.

86

Pritchard, E. Evan. Teori-Teori Tentang Agama Primitif. Jakarta: PT Djaya

Pirusa, 1984.

R. Schraf, Betty. The Sosiological Study of Religion. London: Hutchinton

Univ,1998.

Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 1998.

Schumann, Olav Herbet. Pendekatan kepada Ilmu Agama-Agama. Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2013.

Syam, Dr. Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan

Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

Weber, Max. Sosiologi Agama. Terjemahan Yudi Santoso. Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012.

Junus, Machmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka

Mahmudiah, 1960.

Referensi Jurnal:

Khoirul Umam, Ahmad dan Akhmad Arif Junaidi. The Shadow of Islamic

Ortodoxy and Syncretism in Contemporary Indonesian Politics, dalam

Jurnal yang berjudul, Jurnal Al-Ulum, vol, 11, no 2, Desember 2011

Sumbulah, Ummi. Islam Jawa dan Akulturasi Budaya: Karakteristik,

Variasi dan Ketaatan Ekspresif, dalam Jurnal yang berjudul, Jurnal el

Harakah, vol, 14, no 1 tahun 2012

Woodward, Mark R.“The Slametan: Textual Knowledge and Ritual

Performance in Central Javanese Islam” dalam Journal of History of

Religion, 28. Tahun 1988

Referensi Kamus:

MA, Alex. Kamus Ilmiah Populer Kontemporer Materi: Politik-Ekonomi-

Hukum-Sosial-Budaya-Agama, Surabaya: ALUMNI, 2005