Keragaman Islam Orang Jawa Studi Komparasi Clifford Geertz Dan Mark Woodward-99122266-Moh.saroni

126
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Jawa yang tidak bisa lepas dari pengaruh Hindu-Budha, Cina, Arab/Islam dan Barat telah menjadikan Jawa sebagai tempat persilangan budaya antaretnik secara intens. Dalam hal seperti itu, studi tentang Jawa yang dikontraskan dengan Islam, tetap mempesona dengan berbagai corak budayanya. Bahkan, Jawa telah menggerakkan ketertarikan ilmuwan Barat untuk terus menggali dan mencari. Di antara beberapa pemikir Barat itu adalah Clifford Geertz dan Mark R Woodward. Dua Antropolog ini meneliti tentang budaya Jawa yang telah dimasuki unsur Islam. Dalam tataran taktis, hal seperti ini dapat disimpulkan sebagai “Agama Jawa”. Hanya saja, dalam pandangan mapan, Islam dan Jawa adalah dua entitas yang dirancang terpisah, berbeda, berlawanan, dan tidak 1

Transcript of Keragaman Islam Orang Jawa Studi Komparasi Clifford Geertz Dan Mark Woodward-99122266-Moh.saroni

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan Jawa yang tidak bisa lepas dari pengaruh Hindu-Budha,

Cina, Arab/Islam dan Barat telah menjadikan Jawa sebagai tempat persilangan

budaya antaretnik secara intens. Dalam hal seperti itu, studi tentang Jawa yang

dikontraskan dengan Islam, tetap mempesona dengan berbagai corak budayanya.

Bahkan, Jawa telah menggerakkan ketertarikan ilmuwan Barat untuk terus

menggali dan mencari.

Di antara beberapa pemikir Barat itu adalah Clifford Geertz dan Mark R

Woodward. Dua Antropolog ini meneliti tentang budaya Jawa yang telah

dimasuki unsur Islam. Dalam tataran taktis, hal seperti ini dapat disimpulkan

sebagai “Agama Jawa”. Hanya saja, dalam pandangan mapan, Islam dan Jawa

adalah dua entitas yang dirancang terpisah, berbeda, berlawanan, dan tidak

mungkin bersenyawa. Islam dikontraskan dengan Jawa yang dipandang secara

romantis, arkaik dan penuh pesona.1

Penelitian Clifford Geertz dilakukan tahun 1950-an. Setelah melakukan

penelitian serius di Pare (wilayah ini masuk Kabupaten Kediri, sebuah Kabupaten

di Jawa Timur yang dekat dengan Blitar) yang disamarkan dengan istilah

Mojokuto, Clifford Geertz membuat tiga kategori aliran dalam masyarakat Jawa,

1 Hairus Salim HS, “Konstruksi Islam Jawa dan Suara yang Lain”, dalam Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. vi.

1

yaitu abangan,2 santri3 dan priyayi.4 Dalam konteks tertentu, Clifford Geertz juga

menelusuri lebih khusus asal-muasal keraton Jawa dan agama rakyat dengan

berbagai prototipe Indianya.5

Dalam melihat agama orang Jawa yang menghasilkan tiga kategori itu

dan banyak menimbulkan kontroversi, Clifford Geertz menggunakan pendekatan

agama sebagai suatu sistem kebudayaan.6 Kebudayaan tidak didefinisikannya

sebagai suatu pola kelakuan, yaitu biasanya terdiri atas serangkaian aturan-aturan,

resep-resep dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur

tingkah lakunya. Lebih dari itu, kebudayaan dilihat oleh Clifford Geertz sebagai

pengorganisasian dari pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol

yang berkaitan dengan eksistensi manusia.7

Kategori abangan oleh Clifford Geertz dilihat lebih menekankan

pentingnya animistik; santri dilihat lebih menekankan pada aspek-aspek Islam;

dan priyayi dilihat lebih menekankan aspek Hindu. Perwujudan citra masing-

masing struktur sosial di tiga kategori itu adalah: ritual yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk menghalau makhluk halus jahat yang dianggap sebagai 2 Menurut Geertz, pola keagamaan abangan ini terdiri atas pesta keupacaraan yang

disebut slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap makhluk halus, dan seluruh rangkaian teori dan praktek pengobatan, sihir dan magi. Lihat dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 6. Damardjati Supadjar, “Kata Pengantar”, dalam Mark R Woodward, Islam Jawa, hlm. 2.

3 Menurut Geertz, santri adalah orang yang melaksanakan peribadatan Islam secara cermat dan teratur (sembahyang, puasa, haji, dst.). Lihat Ibid., hlm. 7.

4 Asal mula priyayi hanya dikontekkan bagi kalangan aristokrasi turun-temurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan dan kemudian diangkat menjadi pejabat sipil yang digaji. Elit pegawai ini, yang ujung akarnya berasal dari keraton Hindu Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etika keraton yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik dan sastra dalam mistisisme Hindu-Budha. Lihat Ibid., hlm. 7-8.

5 Lihat, Hairus Salim HS, “Konstruksi Islam Jawa dan Suara yang Lain”, dalam Mark R Woodward, Islam Jawa, hlm. v.

6 Lihat, Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, hlm. x.

7 Ibid., hlm. x.

2

penyebab dari ketidakteraturan dan kesengsaraan dalam masyarakat, agar

ekuilibrium dalam masyarakat dapat dicapai kembali (varian abangan);

penekanan pada tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam

Islam (varian santri), dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada

pentingnya hakekat alus sebagai lawan dari kasar (kasar dianggap sebagai ciri

utama kaum abangan), yang perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial

yang berkaitan dengan etika, tari-tarian, berbagai bentuk kesenian, bahasa dan

pakaian (varian priyayi).8

Berbeda dengan Clifford Geertz yang meneliti masyarakat Jawa di

Mojokuto (Pare, Kediri di Jatim), penelitian etnografis Mark R Woodward

memilih Yogyakarta sebagai ladang ilmiahnya. Yogyakarta dianggapnya sebagai

pusat kebudayaan dalam masyarakat Jawa. Yogyakarta dianggap mampu

mengkolaborasikan antara budaya lokal dan budaya yang bersifat Islam.

Fenomena seperti ini mampu membawa masyarakat Jawa pada tingkat

kebudayaan yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Jawa lainnya.

Merujuk pada Clifford Geertz soal perilaku keagamaan masyarakat Jawa

yang terstruktur dalam tiga varian besar abangan, santri dan priyayi, Mark R

Woodward sepakat dengan struktur tersebut. Akan tetapi, Mark R Woodward

mempunyai pemaknaan tersendiri tentang Islam Jawa, khususnya dalam varian

abangan. Menurut Mark R Woodward analisis Clifford Geertz tanpa disertai

dengan kajian yang cermat terhadap tradisi tekstual Islam, khususnya Hadits.

Selain itu, Geertz dipandang menafikan bahwa tujuan keagamaan slametan justru

didasarkan pada penafsiran lokal terhadap teori kesatuan mistik sufi, dan bentuk-

8 Ibid., hlm. vii-viii

3

bentuk kegiatan ritual yang dilaksanakan berdasarkan praktek-praktek yang

dikaitkan dengan Hadits dan Nabi Muhammad.9

Pada level ini, Mark R Woodward melihat abangan sebagai sub-varian

yang juga melaksanakan syariat Islam. Hanya saja, cara pandang kaum abangan

berbeda dalam memaknainya: slametan dan ritual-ritual lainnya dianggap sebagai

bentuk perwujudan mereka dalam melaksanakan syariat Islam. Memang diakui

oleh Mark R Woodward bahwa kaum abangan lebih mengartikulasikan nilai-

nilai budaya Jawa yang bersifat esoterik (dan dalam batas-batas tertentu

animistik), tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk melihat varian ini sebagai

“kaum yang enggan menjalankan syariat Islam”.

Dengan kata lain, Geertz telah memposisikan abangan sebagai orang

yang percaya akan adanya roh-roh animistik dan sebagai para penganut “agama

Jawa” (daripada sebagai Muslim, meski dengan penafsiran lain misalnya). Dengan

kata lain, kaum abangan dilihat sebagai orang Islam yang percaya kepada Tuhan,

tetapi merasa tidak perlu untuk memikirkan aspek-aspek agama yang telah

terperinci. Kaum abangan sangat mengutamakan upacara-upacara adat. Dari sini,

karenanya, seorang Jawa yang baik diharapkan dalam tingkah lakunya akan

berpegang pada ketentuan-ketentuan adat Jawa.10

Pemaknaan yang demikian memang tampak berbeda dengan Mark R

Woodward. Sebagaimana disebutkan di atas, Mark R Woodward memaknai

abangan dalam masyarakat Jawa secara berbeda. Misalnya, lagi-lagi soal

slametan yang menjadi tradisi kaum abangan dilihatnya merupakan salah satu

9 Mark R Woodward, Islam Jawa, hlm. 77.10 Harsja W. Bachtiar, sebuah komentar dalam Clifford Geertz Abangan, Santri, Priyayi,

(Pustaka Jaya: Jakarta, 1981), hlm. 540.

4

wujud pemaknaan syariat Islam. Bagi Mark R Woodward, slametan merupakan

salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang juga disandarkan

kepada Islam. Di sini jelas berbeda dengan Clifford Geertz.

Clifford Geertz mewakili satu pandangan tersendiri soal Islam Jawa

yang dianggapnya lebih didasarkan pada konteks-konteks animisme, tradisi Hindu

dan adat Jawa Kuno. Sebuah cara pandang yang menempatkan “Islam Jawa” vis a

vis Islam. Satu hal lain, Mark R Woodward memandang Islam Jawa adalah juga

Islam dengan penafsiran mereka secara lain dari Islam yang lain. Mengikuti jalan

pikiran Mark R Woodward, Islam Jawa berbeda dengan Islam lainnya (bahkan

dengan santri), seperti di Timur Tengah sebagai tempat lahir dan berkembangnya

Islam. Secara empirik, sama seperti adanya Islam Sasak dan Islam-Islam lain.

Mereka ini juga disebut Islam.

Dari sini, menarik untuk dikaji pandangan Clifford Geertz dan Mark R

Woodward tentang keberagamaan di Jawa yang menjadi rujukan dikalangan

intelektual yang sedang atau ingin mengkaji tentang Islam di Jawa. Geertz yang

melihat keberagamaan orang Jawa berkait dengan ketaatan dan ketidaktaatan

dalam beragama, sementara Woodward melihat itu sebagai jenis tafsir dari Islam

oleh masyarakat Jawa. Dari kedua pandangan ini, akan lebih menarik untuk

dikomparasikan sehingga akan ditemukan persamaan, perbedaan serta kelemahan

keduanya.

5

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Rumusan masalah atau pokok masalah yang dikaji skripsi ini berkaitan

dengan soal:

1. Bagaimana pandangan Clifford Geertz dan Mark R

Woodward tentang keberagamaan Orang Jawa?

2. Bagaimana persamaan, perbedaan dan kelemahan-

kekurangan dalam pandangan keduanya?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini

mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan Clifford Geertz dan

Mark R Woodward tentang keberagamaan Orang Jawa?

2. Untuk mengetahui persamaan, perbedaan dan

kelemahan-kekurangan dalam pandangan keduanya?.

Adapun kegunaan penelitian skripsi ini adalah untuk menambah

pengetahuan tentang Islam yang berkembang di Jawa berdasarkan penelitian para

peneliti Barat. Dalam konteks ini, skripsi ini mengambil dua pengkaji Barat soal

Islam Jawa, yaitu Clifford Geertz dan Mark R Woodward. Kegunaan yang

demikian dapat dikatakan: melihat kelemahan-kelemahan pandangan orang Barat

itu, kelebihannya dan bagaimana prospek mengembangkan Islam Jawa bagi orang

Jawa; juga untuk menambah literaur di perpustakaan yang berkaitan dengan studi

Jawa, Islam dan kejawen.

6

D. Tinjauan Pustaka

Literatur-literatur tentang Islam Jawa telah memenuhi perpustakaan-

perpustakaan dan telah dijadikan referensi oleh kalangan intelektual yang

mempunyai perhatian khusus akan keberadaan Jawa. Literatur yang paling

monumental adalah dua buku yang dijadikan sumber primer di skripsi ini, yaitu:

Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa karya Clifford Geertz; dan

Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan karya Mark R Woodward.

Sejauh ini penulis belum menemukan studi yang membahas secara

spesifik tentang karya Clifford Geertz dan Mark R Woodward secara komparasi.

Memang ada beberapa buku yang menulis tentang Clifford Geertz dan

Woodward, tetapi keduanya terpisah-pisah, sehingga susah untuk dikomparasikan.

Di antara buku jenis itu adalah buku Santri dan Abangan di Jawa karya

Zaini Muchtarom. Buku ini secara eksplisit membahas tentang pengertian santri

dan abangan dalam dua segi pokok, yaitu: pertama sebagai golongan sosial-

religius dan kedua sebagai kekuatan sosial politik. Buku ini juga menegaskan

proses yang dilewati oleh perjuangan santri dan abangan menghadapi

perselisihan antara beberapa ideologi politik berbeda yang hasilnya menjadikan

perjuangan tersebut sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam politik di

Indonesia.11 Buku ini menggambarkan kedudukan santri dan abangan

berdasarkan apa yang dikonstruksi oleh Clifford Geertz.

Buku yang lain adalah Islam Jawa: Keluar dari Kemelut Santri vs

Abangan karangan M. Murtadho. Buku ini memang melakukan komparasi, tetapi

11 Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), hlm. xviii.

7

komparasinya antara “Islam Jawa”-nya Mark R Woodward dan “Agama Jawi”-

nya Koentjaraningrat

Setelah dilakukan pelacakan sementara, pembahasan mengenai

perbandingan keberagamaan antara Clifford Geertz dan Mark R Woodwad belum

ada yang membahasnya. Dengan sendirinya, kajian dalam skripsi ini, belum

pernah dilakukan oleh peneliti lain dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

E. Landasan Teori

Kerangka teoritik untuk melihat objek yang dikaji (objek di sini adalah

materialnya, yaitu keberagamaan orang Jawa). Apa yang dikonstruksi Geertz atau

Woodward sebagai objek kajian dengan beberapa varian yang dikemukakannya,

mestilah dilihat sebagai cara keberagamaan kelompok tertentu di Jawa. Di sini

Geertz tidak secara jelas menyebutkan teori mana yang dipakai, namun kalau kita

baca secara teliti, sebenarnya Geertz menggunakan teori Redfield yang melihat

bahwa kota dan desa merupakan dua struktur sosial yang berbeda, yang masing-

masing diwakili oleh warga elit kota dan warga petani di desa, tetapi keduanya

mewujudkan adanya suatu hubungan saling tergantung dan melengkapi satu sama

lainnya, sehingga merupakan suatu sistem sosial yang tersendiri. Tetapi yang

membedakan antara Redfield dan Geertz adalah bahwa Geertz lebih menekankan

pada dimensi struktural, sedangkan Redfield lebih menekankan pada poros

komunikasi terus menerus antara kota dan pedesaan.12 Sementara Woodward

menggunakan teori sinkretisme adalah proses penggabungan melalui penyelarasan

berbagai macam prinsip yang tampak berlainan atau berlawanan satu sama

12 Parsudi Suparlan, Kata Pengantar, dalam Abangan, Santri, dan Priyayi, hlm. ix.

8

lainnya.13 Dari sini nampak bahwa Woodward cenderung ingin mengangkat segala

sistem keyakinan dan praktik keagamaan Jawa secara normatif dapat

dikembalikan kepada Islam.

Melihat kedua teori di atas, landasan teori yang dipakai dalam penulisan

skripsi ini adalah hermeneutika, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi

ketidaktahuan menjadi mengerti.14 Ada banyak jenis hermeneutika seperti

disebutkan oleh Josef Bleicher dalam buku Hermeneutika Kontemporer yaitu

hermeneutika romantik, hermeneutika historis, hermeneutika materialis.15 Dari

banyak jenis hermeneutika yang ada, landasan teoretik yang akan digunakan di

sini adalah konsep hermeneutika yang berpijak pada strategi didaktik: teks,

konteks, dan hasil penafsiran. Teks di sini adalah Islam, sementara konteksnya

adalah Jawa, Islam berkembang di Jawa yang bersinggungan dengan budaya Jawa

menghasilkan Agama Jawa dengan banyak tafsir tentang Islam.

Dengan berpijak pada hermenutika yang berfokus pada konsep didaktik:

teks, konteks dan hasil. Maka pendekatan yang digunakan sosiologis-historis.

Pendekatan sosiologis adalah jenis pendekatan yang mengarahkan analisisnya

terhadap pola relasi sosial yang berada di sekitar obyek yang akan diteliti,

sehingga mengkonstruk hasil pemikiran sang obyek atau tokoh. Adapun

pendekatan historis, sebagai sebuah pendekatan yang mengandaikan tentang

sebuah pencarian peristiwa yang telah dilewati oleh obyek penelitian. Dari sini,

13 M. Murtadho, Islam Jawa; Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan, (Yogyakarta: Lapera, 2002), hlm. 7.

14 E. Sumaryono, Hermeneutika; Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 24.

15 Lihat, Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, terjemah oleh Ahmad Norma Permata, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003).

9

diharapkan konstruksi pemikiran Geertz dan Woodward akan lebih dipahami

dengan melihat tempat serta kurun waktu dari penelitiannya.

Pendekatan sosiologis-historis ini mengandaikan bahwa setiap produk

pemikiran pada dasarnya adalah hasil interaksi si pemikir dengan lingkungan

sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.16

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research)

dengan menggunakan metode komparatif. Pengumpulan datanya diolah melalui

penggalian dan penelusuran atas buku-buku, majalah, dan catatan lainnya yang

dianggap memiliki hubungan atau dapat mendukung pemecahan masalah serta

pencarian kebenaran untuk membahas pokok masalah di skripsi ini.

Adapun langkah-langkah yang digunakan adalah:

1. Pembacaan Etnografis

Metode ini digunakan untuk melakukan pembacaan terhadap Clifford

Geertz dan Mark R Woodward terkait dengan latar belakang pendidikan, karya,

reputasi intelektual, serta latar belakang dilakukannya penelitian tentang

keberagamaan di Jawa.

2. Deskriptif Etnografis.

Pendekatan deskriptif merupakan langkah-langkah yang dilakukan

dalam rangka representasi obyektif tentang realitas yang terdapat di dalam

16 M. Ato’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 105 dan M. Ato’ Mudzhar, “Social History Approach to Islamic Law”, Al-Jami’ah, no. 61 (1998).

10

masalah yang di teliti.17 Atau dapat juga diartikan sebagai metode yang digunakan

untuk mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Selanjutnya dengan keyakinan tertentu diambillah kesimpulan umum dari bahan-

bahan tentang obyek permasalahannya.18 Dalam hubungannya dengan

pembahasan penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan

pemikiran Clifford Geertz dan Mark R Woodward yang berkait tentang

keberagamaan masyarakat Jawa.

3. Analisis Komparatif.

Secara spesifik pendekatan ini digunakan untuk membandingkan hasil

dari pemikiran Clifford Geertz dan Mark R Woodward tentang keberagamaan

masyarakat Jawa. Pembandingan ini selanjutnya digunakan untuk menemukan

persamaan, perbedaan, kelemahan serta kelebihannya.19

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan memudahkan dalam

penulisan skripsi ini akan di bagi lima bab, diantaranya:

Dalam bab I menguraikan tentang pendahuluan yang berisi latar

belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

17 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985) hlm. 63.

18 Sutrisno Hadi, Metodolgi Research. I, (Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1987), hlm. 3.

19 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake Sarasin, 1989), hlm. 99.

11

Bab II menguraikan tentang biografi Clifford Geertz dan Mark R

Woodward yang meliputi perjalanan hidup, karya serta reputasi intelektual.

Bab III menguraikan tentang “keberagamaan orang Jawa: pandangan

Clifford Geertz dan Mark R Woodward” yang mencakup keberagamaan orang

Jawa: pandangan dalam The Religion of Java dan keberagamaan orang Jawa:

pandangan dalam Islam in Java.

Bab IV yang berisikan analisis komparatif atas pandangan Clifford

Geertz dan Mark R Woodward tentang Islam Jawa. Di bab empat ini, secara

teknis terbagi dalam tiga sub bab: persamaan keduanya, perbedaan keduanya, dan

kekurangan-kelebihan keduanya dalam memaknai Islam Jawa. Sedangkan bab V,

berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

Bab IIBiografi Clifford Geertz dan Mark R Woodward

A. Clifford Geertz

1. Perjalanan Hidup

Clifford Geertz dilahirkan di San Fancisco pada tanggal 23 Agustus

1926. Latar belakang pendidikannya sangat mengagumkan, karya-karyanya di

bidang Antropologi sangatlah mengesankan, karena ditopang oleh latar belakang

pendidikannya yang sangat baik. Pada tahun 1950 Geertz telah menerima gelar

B.A. dari Antione College. Gelar PhD., diperolehnya dari Universitas Harvard.

Pada tahun 1956 memperoleh gelar L.L.D., dan tahun 1974 memperoleh gelar

L.H.D. pada Nothern Micigan University. 20

20 Arif Budiman, “Mengenal Clifford Geertz dari Dekat”, dalam Intisari, Edisi Februari, 1984, hlm. 35.

12

Pada tahun 1960 sampai 1970, Geertz menjadi guru besar pada Institut

Ilmu Sosial Princeton di New Jersey. Tepat pada tahun 1970 Geertz menjabat

sebagai ahli masyarakat Timur pada Universitas Oxford, dan pada tahun 1984

menjadi asisten pada jurusan Antropologi pada Universitas Chicago.21

Tampak dari penjelasan ini bahwa Geertz seorang yang dikenal di

lingkungan akademisi Antropologi Amerika. Pada dasawarsa 1960 sampai 1970-

an, para sarjana Amerika tertarik untuk melakukan penelitian di Indonesia.

Mereka melakukan penelitian di kota Pare yang kemudian dikenal dengan nama

samaran Mojokuto, sejak Mei 1953 sampai Oktober 1954. Penelitian tersebut

dimaksudkan antara lain untuk bahan penelitian desertasi mereka. Tim peneliti

tersebut dipimpin oleh Rufus Hendon dengan anggotanya adalah Alice Dewey,

Donald Fagg, Robert dan Anne Jay, Edward dan Anola Ryan, Clifford Geertz dan

Hildred Geertz.22 Dari penelitian ini, selain menghasilkan gelar doktor, tim

peneliti tersebut juga membuahkan sejumlah buku klasik tentang masyarakat Jawa

dalam ilmu sosial di Indonesia.

Tim peneliti yang tersebut di atas menghasilkan laporan sebagai tim. Akan

tetapi sebagai pribadi-pribadi, tampaknya masing-masing orang memiliki hasil

penelitiannya sendiri. Misalnya di sini, Geertz secara pribadi kemudian menyusun

The Religion of Java (yang diterjemahkan menjadi Santri, Abangan, Priyayi

dalam Masyarakat Jawa). Geertz menyebutkan dalam “Pertanggungjawaban” di

buku ini dengan kata-kata: “mengingat proyek riset yang menjadi dasar di buku

ini berlangsung hingga enam tahun, maka jumlah orang yang telah memberikan

21 Ibid.22 Benny Subiantoro, “Ilmu-ilmu Sosial Indonesia: Mencari Pendidikan dari Masa ke

Masa”, dalam Prisma, edisi II, Februari, 1989, hlm. 66.

13

bantuan yang berharga untuk selesainya buku ini, secara harfiah merupakan satu

legiun (tim).”23

Di pengakuan selanjutnya, Geertz menyebutkan: “setelah saling tukar

gagasan dan data dengan mereka ini, hampir secara terus-menerus selama

beberapa tahun yang lewat, tidaklah mudah bagi saya memisahkan laporan ini

mana yang sebenarnya berasal dari saya sendiri dan mana yang saya pelajari dari

mereka, walapun untuk pola umum dalam penyusunan dan analsisisnya sudah

barang tentu menjadi tanggungjawab saya sendiri.”24 Tampak di sini Geertz

menyusun buku ini secara pribadi, meski dengan pengkayaan dari kawan-kawan

yang juga meneliti di Indonesia di atas.

2. Karya dan Reputasi Intelektual

Meskipun Geertz terkenal dengan bukunya yang berjudul The Religion of

Java, ternyata bidang konsen yang digelutinya lebih luas, menyangkut agama dan

masyarakat Jawa, sejarah ekonomi, teori perubahan sosial hingga ekologi

pertanian. Ini bisa dilihat dari beberapa karya Geertz yang pernah ditulisnya

berdasarkan penelitiannya di Indonesia sebagai berikut:

a. The Development of the Javanese Economy: A Socio Cultural Approach

(1958).

b. “Religions Beliefs and Economic Behavior in a Central Javanese Town:

Some Prelimanary Conciderations”, dalam Economic Development and

Culture Change (1958).

23 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. xv.

24 Ibid.

14

c. “Ritual and Social Change: A Javanese Example”, dalam American

Antropologist (LIX, 1957).

d. “Ethos, Word View and the Analysis of Sacred Symbol”:, dalam Antioch

Review (XVII, 1957).

e. “The Javanese Village”, dalam Local Ethnic and National Loyalities in

Village Indonesia: A Simposium (1957).

f. “From and Variation in Balinese Village Structure”, dalam Amarican

Antropologist (LIX, 1959).

g. The Relegion of Java (1960).

h. “The Javanese Kijai: The Changing Role of a Cultural Broker”, dalam

Comparative Studies Society and History (1960).

i. “Studies in Peasent Life: Community and Society”, dalam Biennial Review

of Antropology (1062).

j. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia

(1963).

k. Paddlers and Princes: Social Change and Economic Modernization in

Two Indonesia Town (1963).

l. “Internal Convention” in Contemporary Bali, dalam Malaya and

Indonesia Studies (1064).

m. The Social History of an Indonesia Town (1965).

n. Person, Time and Conduct in Bali: An Essay in Cultural Analysis

(1966).Religion as a Cultural System, dalam Antropological Appraches to

the Studi of Religion (1966).

15

o. “Tihingan: A Balinese Village”, dalam Village in Indonesia (1967).

p. Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia

(1968).

q. “The Wet and the Dry: Traditional Irrigations in Bali and Marocco, dalam

Human Ecologi (1972).

r. “Religion and Social Order in Soeharto’s Indonesia”, dalam Asia, XXVII,

1972.25

Dari buku dan tulisan-tulisan di atas, tampak ruang lingkup yang digeluti

oleh Geertz sangat luas. Ruang lingkup yang cukup luas itu menyangkut beberapa

lingkup, dan tiap bidang lingkup ia menggunakan konsep yang baru. Menurut

Koentjaraningrat, karenanya untuk membahasnya secara singkat agak mengalami

kesukaran. Masalah pemisahan sosial-ekonomi dan aspek ekologinya misalnya

sukar, ketika juga dalam buku dan karangannya yang lain berbicara mengenai

dinamika sosial budaya, hubungan antargolongan dalam masyarakat kita, dan

dalam karangan mengenai integrasi nasional, di mana ia juga menulis tentang

stuktur sosial di Indonesia.

Kecuali itu banyak di antara tulisannya menyangkut pengetahuan yang

luas mengenai agama Islam. Namun ia sering dikecam karena kecenderungannya

untuk melihat kerangka konsep yang tidak sesuai dengan kenyataan. Istilah aliran

yang digunakan, sering tidak tepat yang ketika acapkali dibandingkan untuk

menunjukkan perbedaan-perbedaan yang menyolok berdasarkan ciri ekstrim yang

25 KOENTJORONINGRAT, SEJARAH TEORI ANTROPOLOGI II, CET. I (JAKARTA: UI PRESS, 1996), HLM. 296-297.

16

diletakkan pada tiap kerangka konsep itu.26 Ini tampak misalnya dalam buku The

Religion of Java yang membagi aliran keagamaan orang Jawa dalam tiga

kelompok: abangan, santri dan priyayi.

Karenanya, karya Geertz itu tidak lepas dari kritikan beberapa tokoh

seperti Harsja W Bachtiar, Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan dan lain-lain. Hal

ini terjadi, karena Geertz tidak memberikan konsep awal apa yang dibahasnya.

Geertz tidak memberikan konsep religion yang diinginkan, sehingga deskripsinya

mengenai “Agama Jawa” menyangkut unsur-unsur yang secara etik maupun emik

tidak seluruhnya menyangkut agama, seperti sopan-santun seorang priyayi,

bahasa, seni drama, seni tari-tarian dan seterusnya.27

Meski begitu, tidak diragukan lagi tentang reputasi intelektual Geertz

dalam menelorkan ide dan gagasan. Hal ini tidak terlepas dari hasil penelitiannya

di Mojokuto, Pare, Kediri tentang The Religion of Java itu. Penelitian Geertz yang

sempat mendapatkan kritikan ini telah membawanya pada tingkat ketenaran yang

sangat luar biasa.

Buku ini begitu monumental, sehingga menjadi bahan kutipan di

berbagai buku-buku yang banyak beredar di masyarakat. Walaupun sempat

mendapatkan kritikan dari berbagai arah, tetapi buku inilah yang dianggap telah

melahirkan beberapa gagasan tentang masyarakat Jawa secara kuat dan

berpengaruh.

The Religion of Java seperti yang kita tahu, masih sangat berwibawa.

Kendati telah banyak kritik terhadapnya, namun tidak ada penelitian lain yang

26 IBID., HLM. 269.27 IBID.

17

memiliki pengaruh setara dengannya. Kategori yang telah dibangunnya

mempunyai pengaruh penafsiran hingga empat dekade ini. Sekian generasi telah

berkenalan dengan Jawa melalui karyanya tersebut, dan hampir setiap karya serius

mengenai Jawa masih merujuknya secara panjang lebar. Umumnya mereka yang

berkeberatan secara fundamental adalah terhadap kerangka berfikir dan

kesimpulan karya itu, atau memperdebatkannya justru pada landasan yang dipakai

Geertz. Akan tetapi sebagai suatu konstruksi wacana, menurut Woodward, Geertz

jelas tidak sendirian dan bukan pula pemula.28

B. Mark R woodward

1. Perjalanan Hidup

Mark R Woodward adalah seorang etnolog berkebangsaan Australia.

Woodward pernah mengadakan penelitian tentang kepercayaan di Jawa,

khususnya Islam Jawa dan telah diterbitkan dengan judul Islam in Java:

Normative Piety and Misticisme in the Sultanate of Yogyakarta (1989).

Woodward memilih Yogyakarta sebagai obyek penelitiannya, yang menurutnya

karena YOGYAKARTA adalah tetap mempesona dengan berbagai corak

budayanya.

Sebagai persiapan penelitiannya, Woodward mengambil kuliah Indologi

dan membekali dirinya dengan sejumlah buku mengenai filsafat dan ritual Hindu-

Budha. Ia datang ke Yogyakarta, daerah yang dengan berbagai alasan teoretis

menjadi pilihan penelitiannya, tepat empat hari sebelum digelar Garabeg Maulud,

28 MARK R WOODWARD, ISLAM JAWA: KESALEHAN NORMATIF VERSUS KEBATINAN, TERJ. HAIRUS SALIM HS, (YOGYAKARTA, LKIS, 1999), HLM. VII.

18

sebuah upacara ritual keraton untuk memperingati hari kelahiran Nabi

Muhammad saw.

Pertama-tama Woodward mencoba meneropong unsur-unsur “Hindu”

dari ideologi dan moralitas ritual tersebut, tetapi ikhtiarnya nihil.Upayanya lebih

lanjut untuk menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme

tradisional Jawa juga sama mengecewakan. Tidak ada dalam kandungannya

sistem Teravada, Mahayana, Siva atau Vaisnava yang sebelumnya ia pelajari.

Bahkan filsafat wayang Jawa yang secara longgar berdasarkan pada epik akbar

Hindu, Mahabarata dan Ramayana, pun secara khusus di matanya juga tampak

tak berwajah “India”.

2. Karya dan Reputasi Intelektual

Tidak banyak kita kenal karya-karya Woodward sebelumnya. Namun

setelah Woodward menyelesaikan penelitiannya yang kemudian diterbitkan

dengan judul Islam in Java: Normativ Piety and Misticisme in the Sultanate of

Yogyakarta (1989), dan kemudian diterjemahkan dan diterbitkan LKiS (1999),

barulah kita mengenal seorang etnolog yang mempunyai karya sangat

monumental ini. Karya-karya lainnya diantaranya yang bisa dicatat ada dua:

Healing and Morality: A Javanese Excample (1985); The Slametan: Textual and

Knowledge and Ritual Performance in Central Javanese Islam (1988).

Setelah terbitnya laporan penelitian yang berjudul Islam in Java:

Normativ Piety and Misticisme in the Sultanate of Yogyakarta (1989) mulailah

kalangan intelektual, terutama yang mempunyai keinginan untuk mengetahui

19

lebih jauh tentang keberadaan Jawa dan Islam sering membicarakannya.

Reputasinya memang tidak sebesar Geertz, tetapi penemuannya banyak dijadikan

bahan-bahan perbincangan di kalangan peminat studi Jawa, Islam dan Indonesia.

Salah satu buktinya adalah keberanian LKiS untuk menerbitkan

terjemahan penelitiannya itu. Tentu saja, sebelumnya, sudah ada perbincangan-

perbincangan di antara peminat Jawa dan Islam di lingkungan LKiS, hingga

merasa penting menerbitkan penelitian Woodward itu. Pelan namun pasti,

Woodward pun mulai diingat, dan secara bergantian namanya mulai disebut selain

Geertz, Keontjaraningrat dan Stange ketika membicarakan Jawa, Kebatinan, Islam

dan Indonesia.

Hingga kini, Woodward masih hidup dan menjadi asisten profesor soal

Islam dan Agama-agama Asia Tenggara di jurusan Studi Agama di Universitas

Negeri Arizona.

BAB III

Keberagamaan Orang Jawa:Pandangan Clifford Geertz dan Mark R Woodward

A. Clifford Geertz

Keberagamaan Orang Jawa: Pandangan dalam The Religion of Java

The Religion of Java yang kemudian diterjemahkan oleh Aswab

Mahasin dan diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1981 (cetak ulang tahun 1988 dan

20

1989) menjadi Abangan Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, adalah karya

Geertz yang membicarakan soal keberagamaan orang Jawa. Buku ini merupakan

sebuah laporan yang sangat cermat. Banyak catatan lapangan telah disisipkan ke

dalam teks untuk menunjukkan apa yang telah dikatakan oleh informan-informan

yang bersangkutan selama dilakukannya pekerjaan lapangan.

Sudah sepantasnya jika terbitnya The Religion of Java disambut dengan

baik. Ia menarik perhatian para ahli Antropologi, Sosiologi, orang-orang yang

sedang memperdalam pengetahuan mereka tentang agama Islam, dan Indonesia,

serta ahli-ahli ilmu politik yang menaruh minat dalam hubungan antara agama dan

perilaku politik. Karena bahan-bahan diskriptifnya yang lengkap dan kohesinya

yang tampak logis, studi Geertz ini lalu dipakai sebagai buku referensi oleh

banyak orang yang berminat dalam studi tentang agama atau kebudayaan atau

masyarakat di Jawa.29

Mengingat populernya studi ini, kiranya akan relevan untuk menelaah

isinya dengan lebih seksama guna menemukan aspek-aspeknya yang positif dan

negatif, sehingga akan memudahkan penggunaan yang lebih baik dari bahan-

bahan yang berharga. Utamanya soal pandangannya tentang Islam yang dijadikan

kajian di skripsi ini, semua pandangan Geertz mendasarkan pada The Religion of

Java ini.

Penduduk Mojokuto (sebuah lokasi samaran di Jatim yang sebenarnya

adalah kota Pare di Kediri) oleh Geertz dibagi dalam kelompok-kelompok

menurut pandangan hidup mereka: kepercayaan agama, preferensi etis dan

29 Harsja W. Bachtiar, “The Religion of Java; Sebuah Komentar”, dalam Clifford Geertz, Abangan Santri, Priyayi, hlm. 521-522.

21

ideologi politik mereka. Dari situ Geertz menemukan tiga tipe budaya utama.

Ketiga tipe itu ia namakan berturut-turut abangan, santri dan priyayi. Dengan ini

Geertz memperkenalkan bagan konsep yang ia gunakan untuk melukiskan dan

menganalisis hasil-hasil pekerjaan lapangannya.

Ketiga varian agama itu secara singkat dilukiskan sebagai berikut:

abangan, yang menekankan aspek-aspek animisme-sinketrisme Jawa secara

keseluruhan, dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani desa; santri,

yang menekankan aspek-aspek Islam ketat yang pada umumnya diasosiasikan

dengan unsur pedagang (dan juga dengan unsur-unsur tertentu kaum tani); dan

priyayi, menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur

birokrasi. 30

Pembagian dalam tiga kategori ini, menurut tafsir Geertz, merupakan

pembagian yang dibuat oleh orang-orang Jawa sendiri. Memang benar bahwa di

Mojokuto, seperti di masyarakat Jawa lainnya, sebagian dari penduduk dianggap

sebagai abangan, sebagian sebagai santri, dan sebagian sebagai priyayi. Akan

tetapi hal itu tidak mesti berarti bahwa ketiga golongan itu merupakan kategori-

kategori dari satu tipe klasifikasi.

Pembedaan antara abangan dan santri diadakan apabila penduduk

digolong-golongkan menurut prilaku keagamaan. Seorang santri lebih taat kepada

agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran ketaatan itu

kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan istilah itu. Sebaliknya,

istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori dari kasifikasi yang sama, oleh

30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 6

22

karena pastilah ada orang-orang priyayi yang taat pada agama, dan karenanya

mereka juga santri; dan orang-orang priyayi yang tidak memperhatikan soal-soal

agama, dan karenanya mereka dianggap sebagai abangan. Istilah priyayi mengacu

kepada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang merupakan kaum elit

tradisional: ia mengacu kepada orang-orang yang dianggap berbeda dari rakyat

biasa yang disebut wong widah, wong cilik, atau bagi kaum mayoritas disebut

wong tani.

Selanjutnya, Geertz di akhir bukunya membatasi klasifikasinya dengan

menyatakan bahwa istilah-istilah abangan, santri, dan priyayi menunjukkan pada

dimensi-dimensi variasi kebudayaan, “bukan kategori-kategori absolut”,31

meskipun seluruh buku itu memberi kesan kepada pembaca bahwa istilah-istilah

itu menunjukkan bahwa kategori-kategori yang digunakan sebenarnya cukup

tegas.

Yang sangat mencolok adalah pembagian buku menjadi empat bagian.

Ketiga bagian yang pertama secara tegas diberi judul varian abangan, varian

santri, dan varian priyayi, masing-masing mencakup beberapa bab yang

melukiskan ciri-ciri dari varian agama sebagaimana yang disebut dalam bagian

itu. Bagian yang terakhir membicarakan masalah konflik dan integrasi dari ketiga

varian itu, atau lebih pasnya membahas masalah konflik dan integrasi dari

masyarakat Mojokuto secara keseluruhan. Penulis akan menyebut beberapa varian

yang disebutkan Geertz itu: abangan, santri dan priyayi.

1. Model Satu: Varian Abangan

31 Ibid., hlm. 347.

23

Tradisi keagamaan abangan terdiri dari pesta keupacaraan yang disebut

slametan, sebuah kepercayaan yang kompleks dan rumit. Slametan merupakan

semacam wadah bersama masyarakat, yang mempertemukan beberapa aspek

kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan. Slametan dapat dilakukan untuk

memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin

diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian,

pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, membuat

rumah, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, dan khitanan semua itu bisa

memerlukan slametan.32

Tekanan untuk masing-masing slametan sedikit berbeda. Dari seluruh

upacara itu di sebagian tertentu dilakukan dengan intens dan meriah, sementara di

bagian lainnya agak dikendorkan. Suasana kejiwaannya mungkin berubah-ubah

sekedarnya, tetapi struktur upacara yang mendasarinya tetap sama. Senantiasa ada

hidangan khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan itu); ada dupa,

pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa

Jawa tinggi yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut

peristiwanya); selalu terlihat tata krama yang sopan dan sikap malu-malu, yang

mengesankan bahwa sekalipun penyelenggaraan upacara itu begitu ringkas dan

tidak dramatis, tetapi sesuatu yang penting sedang berlangsung.33

Pola slametan ini biasanya dilakukan pada malam hari segera setelah

matahari terbenam dan sembahyang maghrib telah dilakukan oleh mereka yang

mengamalkannya. Dalam melaksanakan ritus ini, tuan rumah mengundang para

32 Ibid., hlm. 1333 Ibid., hlm, 14-15.

24

tetangga laki-laki, dan selalu yang mengikuti slametan ini kaum laki-laki dengan

menghadirkan santri sebagi imam atau yang memimpin slametan ini. 34

Selain slametan, ritus penting dalam keberagamaan masyarakat Jawa

lainnya adalah: kepercayaan atas ruh-ruh halus, danyang demit, tuyul, lelembut,

memedi dan arwah para leluhur. Sedangkan aspek lain dalam soal hidup adalah

kepercayaannya kepada dukun. Di antara model-model ini, slametan menjadi ritus

dan upacara inti dari orang abangan.

Varian abangan ini, kebanyakan Muslim (meski tentu saja ada yang

memeluk kebatinan), tetapi tidak merasa terikat dengan ritus-ritus formal

kalangan Islam ortodoks, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, shalat

Jum’at, zakat fithrah. Ritus dominan, sebagaimana disebutkan itu adalah

slametan. Meski begitu, umumnya mereka mengakui Nabi Muhammad sebagai

seorang Nabi dan Al-Qur’an adalah kitab suci. Mereka juga mengakui adanya

Sang Pencipta yang biasanya disebut Gusti. Mereka ini, kaum abangan, ada di

desa-desa yang nanti dibedakan dengan priyayi yang umumnya di kota-kota.

2. Model Dua: Varian Santri

Varian ini merupakan varian yang menjalankan syariat Islam secara taat,

dan yang menjadi perhatian kalangan santri adalah doktrin Islam, terutama sekali

penafsiran moral dan sosialnya.35 Untuk kalangan santri, rasa perkauman adalah

yang terutama. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris,

perkauman yang makin lama makin lebar, dari individu sampai seluruh umat

34 Ibid.35 Ibid., hlm. 173.

25

Islam dunia; suatu masyarakat besar orang-orang beriman yang senantiasa

mengulang dalam membaca nama nabi, melakukan sembahyang dan membaca

Al-Qur'an.36

Pola keagamaan santri diatur oleh waktu dalam sembahyang lima kali

yang diulangi setiap hari dan dilakukan dengan sederhana. Selain sembahyang

lima kali, kalangan santri juga melakukan sembahyang Jum’at yang dilakukan

tiap hari Jum'at satu kali dalam seminggu.

Puasa juga dilakukan kalangan santri. Puasa dilakukan pada bulan

Ramadhan yang dimulai sebelum terbitnya matahari sampai terbenamnya

matahari. Pada waktu melaksanakan puasa, para santri juga melakukan ibadah-

ibadah tambahan yang ada dalam bulan puasa, yaitu traweh dan darus. Setelah

menjalankan puasa selama sebulan penuh, mencapai klimaksnya dan para santri

melaksanakan syri’at Islam yang lainnya seperti zakat, yang dilakukan malam Idul

Fitri. Setelah itu, sembahyang di pagi hari di akhir bulan puasa dan setelah zakat

fitrah ditunaikan.37

Kalau orang bertanya kepada golongan santri mengapa orang harus

berpuasa, mereka hampir selalu memberikan tiga alasan: untuk menunjukkan

ketaatan perintah kepada Tuhan; untuk merasakan bagaimana rasa lapar sehingga

orang mampu merasakan bagaimana rasanya menjadi orang miskin dan tidak

cukup makan; untuk memperkuat diri agar orang sanggup menanggung

penderitaan apa pun yang menimpanya.38

36 Ibid., hlm. 175.37 Ibid., hlm. 296.38 Ibid., hlm. 300.

26

Varian santri ini, dalam lingkup orang Jawa, adalah penganut Islam yang

menjalan ritus-ritus formal sebagaimana ada dalam konsepsi Islam ortodoks.

Yang utama dan terutama adalah: shalat, puasa, zakat dan haji (bagi yang

mampu). Varian santri ini berbeda dengan varian abangan yang tidak merasa

penting terikat dengan ritus-ritus formal Islam.

3. Model Tiga: Varian Priyayi

Istilah priyayi asal mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan

aristokrasi turun-temurun oleh Belanda, yang dengan mudahnya dicomot oleh

raja-raja pribumi yang ditaklukkan untuk kemudian dianggkat sebagi pejabat sipil

yang digaji. Elit pegawai ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-

Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton

yang sangat halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik

dan sastra, dan kentalnya mistisisme Hindu-Budha.39

Kaun priyayi umumnya selalu berada di kota-kota, bahkan salah satu ciri

Jawa modern yang secara sosiologis paling menarik adalah besarnya jumlah

priyayi di kota-kota. Sebagian karena tidak stabilnya politik dalam kerajaan-

kerajaan masa pra-kolonial; sebagian karena filsafat mereka yang melihat “ke

dalam” yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik;

sebagian karena tantangan Belanda terhadap usaha mereka merangkul kaum tani,

sehingga kaum priyayi itu tidak mampu menjadikan diri mereka priyayi tuan

tanah.40

39 Ibid., hlm. 8.40 Ibid., hlm. 307-308.

27

Titik utama kehidupan keagamaan priyayi adalah etiket, seni, dan

praktek mistik. Etiket, seni, dan praktek mistik merupakan usaha berurutan dari

priyayi selagi ia bergerak dari permukaan pengalaman manusia menuju

“kedalamnya”, dari aspek luar kehidupan ke aspek dalamnya. Etiket, polesan

kelakuan antar orang, menjadi adat yang pantas dalam pergaulan, memberikan

formalitas kerohanian pada kelakuan sehari-hari, disiplin rangkap atas pikiran dan

badan, mengisyaratkan arti penting yang dalam pada gerak-gerik luar; dan praktek

mistik, pengaturan intensif atas kehidupan pikiran dan perasaan,

mengorganisasikan sumber-sumber spiritual untuk diarahkan pada kebijaksanaan

yang tertinggi.

Kelompok priyayi ini, umumnya juga memeluk agama formal, meskipun

tentu saja di antara mereka ada yang memeluk kebatinan. Mereka yang memeluk

kebatinan atau “agama Jawi” sama sekali longgar dengan ritus-ritus Islam.

Sedangkan mereka yang formalnya Islam, ternyata juga sama seperti kaum dalam

abangan, yaitu juga longgar dengan ritus-ritus Islam.

4. Islam Jawa dan Abangan-Priyayi dalam konsep Geertz

Islam Jawa, sama sekali tidak disinggung Geertz. Apakah ia sebagai

abangan atau priyayi ? Abangan dan priyayi, juga tidak spesifik apakah mereka

beragama Islam atau Kebatinan. Dari sini memang Geertz tidak memiliki konsep

soal Islam Jawa. Yang ada adalah konsep abangan dan priyayi, yang dalam

tingkat tertentu oleh Mark R Woodward disebut Islam Jawa. Geertz sendiri secara

tersurat juga menyebut mereka beragama Islam, tetapi variannya adalah abangan.

28

Ini tampak ketika membedakan antara santri dengan abangan, selain dari kadar

ortodoksinya dalam menjalankan Islam, juga ada perbedaan lain Ini

mengasumsikan bahwa secara tersurat Geertz menyebut sebagai kelompok Islam

juga, tetapi kadar ketataannya atas Islam kurang.

Secara lebih jelas, untuk melihat abangan sebagai seorang yang ada

dalam kategori Islam juga, Geertz memberikan perbedaan santri dan abangan:

kaum abangan tidak peduli atas doktrin-doktrin formal Islam, sementara santri

sebaliknya. Terutama dalam shalat, kaum santri sangat taat. Sementara abangan

tidak mempedulikannya. Kaum abangan juga orang yang relatif baik atas orang

lain yang berbeda atau bahkan adat kuno mereka. Berbeda dengan santri yang

selalu taat dan emosional soal keimanan. Bila orang lain tidak sama akan cepat

dibilang tidak ‘Islam sejati” dst.41

Soal dengan priyayi, Geertz juga tidak menjelaskan secara jelas apakah

mereka juga bagian dari orang Islam, meski dengan penafsiran lain misalnya.

Sebab, justru Geertz kemudian menyebut kelompok-kelompok priyayi bergerak di

kebatinan dan membetuk sekte-sekte kebatinan: Budi Setia, Kaweruh Beja, Ilmu

Sejati dst.42

Dari pembedaan ini, sebenarnya Geertz juga secara tersirat menyebut

bahwa kaum abanganlah yang lebih dekat dengan konteks penyebutan seorang

Muslim, meski kadar ketataannya berbeda dengan santri. Inilah yang oleh

Woodward kemudian disebut Islam Jawa. Kalau pada akhirnya di sini disebut

dengan Islam Jawa, dalam konteks abangan inilah yang lebih dekat dengan

41 Ibid., hlm. 172-175.42 Ibid., hlm. 414 dan seterusnya.

29

pikiran Geertz daripada konteks priyayi, meskipun tentu saja ada kalangan priyayi

yang lebih memilih Islam Jawa daripada misalnya kebatinan.

Dari sini, juga tampak istilah Islam Jawa memang tidak ditemukan

dalam konsepsi Geertz. Bahkan secara formal konteks abangan, sama sekali tidak

dijelaskan apakah ia Muslim atau tidak, apalagi dalam konteks priyayi. Hanya

saja, dari pembagian yang ada di buku The Religion of Java, tampak aliran yang

ingin ditancapkannya dalam agama Jawa versi Geertz: santri, priyayi dan

abangan di mana ketiganya adalah aliran agama yang berbeda. Yang tidak jelas,

lagi-lagi apakah ketiga aliran ini masih dalam Islam atau sebagiannya “Agama

Jawa” tersendiri, atau bagaimana ? Soal pembacaan yang lebih kritis di sini akan

dijelaskan di bab IV.

B. Mark R Woodward

Keberagamaan Orang Jawa: Pandangan dalam Islam in Java

1. Islam Mistis dan Islam Normatif

Latar belakang pemikiran Woodward tentang Islam dan Jawa adalah

untuk menjawab pertanyaan Hodgson, yaitu kenapa Islamisasi di Jawa berjalan

begitu sempurna ? Menurutnya, Islamisasi di Jawa sangat berhasil karena Islam

telah dipeluk dan dijadikan agama kerajaan oleh pemerintahan keraton Mataram

dan rakyatnya untuk membangun konsepsi tentang teori kenegaraan.

Dari dasar pemikiran ini, Woodward menyusun empat ciri pokok paham

Jawa yang selaras dengan paham Islam, yaitu (1) konsep tentang keesaan Tuhan;

(2) konsep mengenai makna lahir dan makna batin; (3) konsep hubungan antara

30

kawulo (hamba) dengan Gusti (Tuhan); dan (4) konsep tentang makrokosmos dan

mikrokosmos. Berdasarkan keselarasan dalam keempat konsep ini Woodward

sampai pada kesimpulan bahwa semua kepercayaan di Jawa berpangkal pada

keempat pokok masalah ini, terlebih khusus hampir semua kepercayaan di Jawa

berujung pada konsep adanya Dzat Yang Maha Tinggi, yang tidak lain Tuhan

Yang Esa. Karena pijakan inilah, Woodward berkesimpulan bahwa berbagai

kepercayaan di Jawa pada dasarnya adalah telaah Islam.

Muncul pertanyaan, bagaimana Woodward menyikapi pembagian Geertz

yang membagi kepercayaan Islam Jawa dalam tiga jenis, yaitu abangan, santri,

dan priyayi. Semula Woodword mengaku telah mengikuti teori Parsudi Suparlan

yang menyatakan bahwa orang-orang Muslim Jawa yang menekuni mistik (tradisi

dari priyayi dan abangan) disebut Islam Jawa, sedangkan orang-orang kebatinan

disebut Kejawen.43 Woodward mengambil posisi meringkas ketiga bagian itu ke

dalam dua pembagian, yaitu “Islam Mistis” yang dianut oleh priyayi dan abangan

serta “Islam Normatif” yang diikuti oleh santri.

Woodward membuat tesis dengan teori bahwa menyikapi adanya

pembagian itu, yang menjadi persoalan adalah bukanlah pembagian-pembagian

itu, akan tetapi bagaimana hubungan antara bentuk-bentuk religiusitas harus

dibangun. 44 Dari asumsi ini, Woodward mensyaratkan adanya satu titik pandang

dalam melihat perbedaan itu yang pada akhirnya Woodward menyimpulkan

bahwa titik pandang itu adalah “Islam”.

43 Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Terj. Hairus Salim HS, (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 2.

44 Ibid., hlm. 6.

31

Keempat titik pokok itu dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama,

konsep tentang ke-Esa-an Tuhan. Tema ke-Esa-an Tuhan dalam Islam diyakini

sebagai doktrin utama Islam yang dikenal dengan konsep tauhid. Dalam kebatinan

Jawa, menurut Woodward, ternyata hampir semua kepercayaan bertujuan untuk

menuju bahkan menyatu dengan Tuhan.45 Menurutnya, hampir tidak ada satu pun

kepercayaan Jawa, termasuk pemeluk agama Budha di Jawa, yang nyata-nyata

memiliki doktrin anatta (impersonalitas atau ketiadaan jiwa) yang tidak menerima

konsep ketuhanan yang maha Esa.

Kedua, soal konsep mengenai makna lahir dan batin. Menurut

Woodward, tradisi Islam dan tradisi Jawa mengenal konsep ini. Dalam Islam, Al-

Qur'an adalah mengatur prilaku, sedangkan makna batin Al-Qur'an adalah mistik

dan pengetahuan tentang Allah. Dalam tradisi Jawa juga dikenal istilah lahir batin,

atau dengan bahasa lain disebut wadah dan “isi”. Wadah dimaksudkan untuk

menyebut hal-hal yang tampak, seperti alam, bentuk-bentuk badan manusia, dan

kesalehan normatif. Sedangkan “isi” dimaksudkan dengan substansi persoalan,

yaitu Allah, sultan, jiwa, iman, dan mistisisme.46

Ketiga, konsep mengenai hubungan antara hamba dan Gusti merupakan

titik temu ketiga. Dalam sejarah tradisi mistik Islam, sangat banyak tema yang

menyatakan hubungan antara hamba dan Tuhan, seperti ittihad, hulul dan wahdat

al-wujud. Dalam tradisi kebatinan Jawa dikenal tema sentral yang membicarakan

tentang hubungan antara hamba dan Tuhan dengan istilah jumbuhing kawula

Gusti,47 atau manunggaling kawula-Gusti.

45 Ibid., hlm. 71.46 Ibid., hlm. 72.47 Ibid., hlm. 73.

32

Keempat adalah soal konsep mengenai penyamaan mikrokosmos dan

makrokosmos. Dalam tradisi mistisisme Islam dikenal bahwa manusia adalah

bayangan Tuhan, manusia sebagai mikrokosmos dan Tuhan sebagai

makrokosmos. Dalam mistik Jawa, sebagai gambaran penyamaan mikrokosmos-

makrokosmos, dikenal penyamaan antara ka'bah dengan hati manusia. Ka'bah

sebagai pusat makrokosmos sama dengan hati sebagai mikrokosmos. Dari

persepsi ini, nanti dalam persepsi Jawa terdapat pemahaman bahwa ibadah haji

tidak mesti ke Mekkah, tetapi cukup dalam dirinya sendiri.48

Dari keempat titik temu inilah, Woodward menyimpulkan bahwa pada

dasarnya kebatinan-kebatinan yang ada di Jawa semuanya sejalan dengan Islam.

Kesimpulan ini telah memberikan implikasi teoritis, atau bisa disebut sebagai

sumbangan pengetahuan terhadap studi Jawa, yaitu telah menawarkan paradigma

baru, walaupun barangkali pengaruhnya tidak sekuat Geertz, dalam cara

menganalisa kepercayaan-kepercayaan di Jawa.

Kritik yang muncul menyikapi logika Woodward ini adalah tuduhan

mengambil kesimpulan yang gegabah. Paul Stange, misalnya menyatakan bahwa

generalisasi Woodward ini sangat berbahaya bagi alur logika yang benar bagi

perkembangan studi di Jawa. Karena menurut Stange, masih ada aliran

kepercayaan yang ingin berdiri sendiri, atau ingin diakui sebagai agama tersendiri

seperti penganut aliran kepercayaan.

Dalam penjelasan Woodward, Islam Jawa itu adalah “Islam Mistis”.

Bersebelahan di sisi lain adalah “Islam Normatif”. Dalam bahasa Geertz,

barangkali ini yang disebut santri. ‘Islam Normatif” adalah Islam yang memegang

48 Ibid., hlm. 189.

33

syariah, meski dalam konteks tertentu juga meyakini adanya sufisme. Akan tetapi

makna sufisme kalangan “Islam Normatif” tetap dibarengi dengan syari’ah ini

secara formal. Berbeda dengan kalangan “Islam Mistis” yang kemudian disebut

Islam Jawa, maka “Islam Mistis” melakukan tafsir sendiri atas ajaran Islam.49

Dari uraian Woodward itu, bahwa Islam Jawa itu dapat dijelaskan dengan

karakteristik dari dua segi: penekananannya pada aspek batin dan melaksanakan

ritus-ritus tertentu sebagai manifestasi dari penekanan pada aspek batin ini.

Selanjutnya, soal ini akan dijelaskan di bawah ini.

2. Islam Jawa: Antara Aspek Batin (Mistik) dan Ritus

Dalam hal ini Woodward melihat bahwa Islam Jawa cenderung

menekankan aspek “isi” (dalam bentuk mistik) dari pada wadah (kesalehan

normatif/syariah). Persepsi mereka tentang yang dimaksud “isi” adalah Allah,

sultan, batin, dan mistik. Sedangkan “isi” mistik itu sendiri meliputi keberadaan

wahyu, kasekten, kramat dan kesatuan mistik.

Konsep wahyu dalam perspektif Jawa sedikit berbeda dengan prototip

Arab. Wahyu dianggap sebagai substansi fisik, sering berupa cahaya benderang,

dalam konsep Jawa disebut sebagai pulung, yang menyampaikan penghormatan

dan penunjukan ilahiyah pada seseorang. Penerima wahyu diyakini memancarkan

cahaya lembut yang beremanasi dari nurani atau hati. Wahyu dipercayai

berhubungan dengan takdir, dimana ia tidak boleh diperoleh melalui usaha-usaha

pribadi atau ibadah keagamaan. Hanya Allah sendiri yang memutuskan siapa yang

akan menerimanya.

49 Ibid., hlm. 166.

34

Kasekten atau kesaktian bisa diperoleh dengan melakukan tapa keras

atau dengan menyatukan roh seseorang dengan salah satu dari sumber kesaktian

dunia, seperti matahari, angin, dan gejala alam lainnya. Kesaktian dianggap

sebagai substansi, karenanya kesaktian bisa disimpan didalam diri atau disimpan

pada suatu obyek. Obyek-obyek ini kemudian sering dikenal sebagi pusaka.

Kramat (karomah) dalam persepsi orang Jawa adalah mencirikan

pencapaian religius para wali. Kramat bisa diperoleh melalui pembersihan jiwa

dan pengembangan hubungan dengan Allah. Kramat juga dianggap sebagai salah

satu pandahuluan menuju kesatuan mistik. Kramat bisa juga berarti sebagai

makam para wali atau sultan. Biasanya sebagian masyarakat berusaha

mendapatkan berkah dari para wali itu dengan menziarahi (makam) itu, yang

dianggap masih memiliki karamah.

Kesatuan mistik yang merupakan konsep puncak Islam Jawa yang

diistilahkan dengan jumbuhing kawulo-Gusti atau manunggaling kawulo-Gusti

yang memiliki konsep yang serupa dengan Ibn al-'Arabi yang menyatakan: "saya

bukanlah saya, engkau bukanlah engkau, juga engkau bukanlah saya. Saya sekali

waktu adalah saya dan engkau, engkau sekali waktu adalah engkau dan saya."

Dalam literatur Jawa, konsep persatuan mistik ini terdapat dalam konsep-konsep

perjuangan jiwa melawan nafsu dan berhaji ke dalam hati yang diilustrasikan

sangat jelas dalam lakon wayang Dewa Ruci. Lakon itu menceritakan pengabdian

Bima kepada gurunya, pertempuran-pertempurannya melawan raksasa yang

35

melambangkan nafsu dan pencariannya terhadap air kehidupan (kesatuan dengan

Allah).50

Untuk mengekspresikan mistik yang demikian itu, orang Jawa memiliki

ritus-ritus tertentu sebagai wadah dari mistik tersebut. Ritus-ritus yang paling

permukaan dan umum tampak dalam tradisi yang dilaksanakan kalangan

masyarakat adalah tradisi slametan. Ada beberapa bentuk upacara slametan antara

lain: slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan kematian,

slametan berdasarkan penaggalan, slametan desa dan slametan sela.

Woodward sampai di sini, tampak sekali ingin mengatakan bahwa Islam

Jawa adalah jenis lain dari Islam, meskipun mereka tidak melaksanakan ritus-ritus

dari kalangan Islam normatif. Berbeda dengan Geertz yang mencoba

menseparasikan varian abangan dengan santri, seakan-akan abangan bukan Islam

(meski secara tersurat Geertz menyebut abangan sebagai bagian dari Islam yang

tidak taat), maka Woodward justru menyebut abangan sebagai Islam Jawa yang

juga Islam, tetapi dengan jenis tafsir lain, bukan dalam konteks taat atau tidak taat.

BAB IVKeberagamaan Orang Jawa:

Membaca Clifford Geertz dan Mark R Woordward

A. Persamaan Clifford Geertz dan Mark R Woodward

1. Persamaan Metode

a. Sama di Bidang Etnografi

50 M. Murtadho, Islam Jawa; Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan, (Yogyakarta: Lapera, 2002), hlm. 32-33.

36

Penelitian yang dilakukan oleh Geertz dan Woodward

merupakan penelitian di bidang etnografi di Jawa. Hal ini tampak pada

pemilihan tempat atau obyek penelitiannya. Penelitian keduanya ini

mengacu pada pemilahan varian keberagamaan dalam masyarakat

Jawa, sebagaimana kita lihat adanya model abangan, santri dan

priyayi di satu sisi, dan “Islam Mistik” dan “Islam Normatif” di sisi

lain.

b. Sama Membuat Tipologi Keberagamaan

Penelitian ini telah mampu mengklasifikasikan masyarakat Islam

Jawa dalam tataran keberagamaannya. Pengklasifikasian tersebut

dibuat untuk melihat kadar masing-masing kelompok dalam ketaatan

terhadap agama, dan hal lain dalam soal penafsirannya atas realitas,

yaitu bagaimana abangan, santri dan priyayi melaksanakan ritus

keagamaan, begitu juga dengan Islam Mistik dan Islam Normatif

dalam menjalankan syariat keagamaan .

Jadi, Clifford Geertz dan Mark R Woordward sama-sama

membuat tipologi keberagamaan dalam masyarakat Islam Jawa.

Tipologi itu didasarkan pada asumsi masing-masing yang berbeda, dan

cara argumentasi yang berbeda.

2. Persamaan Subyek Penelitian

Clifford Geertz dan Mark R Woordward sama-sama mengambil

subyek penelitian tentang Islam Jawa untuk mengetahui sejauhmana

37

keberagamaan dalam struktur masyarakat Jawa meliputi pandangan dan

tingkah laku keberagamaan yang ditampilkan dalam kesehariannya.

B. Perbedaan Clifford Geertz dan Mark R Woodward

1.Perbedaan Sekup Penelitian

Perbedaan dalam Memilih Tempat dan Waktu Penelitian

Perbedaan antara Clifford Geertz dan Mark R Woodward dapat

disebutkan, yang Pertama, soal tempat penelitian. Geertz melakukannya di

daerah Mojokuto Kediri Jawa Timur, sedangkan Woodward melakukan

penelitiannya di Yogyakarta sebagai pusat keraton. Secara geografis,

tempat yang berbeda berpengaruh terhadap perbedaan perilaku keagamaan

suatu komunitas. Geertz mengadakan penelitian di lingkungan pedesaan

(dan sebagian kotanya di Mojokuto), sementara Woodward berada di

lingkungan keraton sebagai rujukan utama Islam Mistis.

Di Mojokuto, Geertz mengamati struktur sosial yang ada di

masyarakat Mojokuto: desa, kota dan elit birokrat (yang terakhir ini

memang agak aneh, karena dibedakan dengan kota dan desa). Desa

memiliki struktur sosial sendiri, dan inilah tempat hidupnya tradisi

abangan. Di kota juga memiliki struktur sosialnya sendiri, dan inilah yang

menjadi tempat hidupnya santri. Sedangkan elit birokrat juga memiliki

strukturnya sendiri, dan inilah yang melahirkan priyayi.

Sedangkan di keraton Yogyakarta, tentu saja Woodward hanya

berpijak pada tradisi dan agama keraton, tidak lebih sebagai agama

38

priyayi. Kemudian Woodward mencari pemaknaan-pemaknaan bagaimana

mistisisme di kalangan priyayi adalah penafsiran tentang Islam. Di sini,

Woodward memang tidak mendasarkan pada konteks struktur sosial,

sehingga ketika mengamati keraton Yogyakarta, berbeda dengan apa yang

dilakukan Geertz.

Kedua, waktu penelitian, Geertz melakukan penelitian di kota Pare

yang kemudian dikenal dengan nama samaran Mojokuto, sejak Mei 1953

sampai Oktober 1954. Sementara Woodward melakukan penelitian di

Yogyakarta pada tahun 1989. Hal ini tentunya akan menimbulkan

perbedaan yang cukup besar tentang hasil penelitian, karena prilaku

masyarakat pada tahun 1989 tentunya mengalami kemajuan pesat

dibandingkan pada tahun 1954.

Perbedaan Metodologis

Berbeda dalam Melihat Agama

Clifford Geertz. Melihat agama dalam konteks keberagamaan di

Jawa. Geertz melihat agama sebagai suatu sistem kebudayaan. Untuk

mengenal pandangan Geertz tentang agama, di sini penting mengenal

konsep kebudayaan yang diajukannya. Sebab agama dalam tradisi

Antropologi, tercakup dalam suatu unsur kebudayaan. Geertz tidak

mengikuti konsep kebudayaan yang digunakan Taylor dan para

Antropologi lain. Menurutnya, kebudayaan adalah: struktur makna dari

pola tindak-tanduk manusia yang dapat dipahami melalui sistem

simbol. Dalam simbol ini saling menemukan diri masing-masing

39

sebelum datang Hinduisme, Budhisme dan Islam. Masyarakat Jawa

sebenarnya telah mempunyai sistem religi tersendiri, yaitu yang

disebut animisme, dinamisme, yaitu suatu paham adanya ruh-ruh dan

kekuatan alam.51

Walaupun Geertz menyatakan bahwa pembagian atas tiga

golongan struktur sosial orang Jawa di Mojokuto itu, telah dilakukan

berdasarkan atas sistem penggolongan yang dilakukan oleh orang Jawa

terhadap diri mereka sendiri, tetapi tampaknya hal itu tidak

sepenuhnya benar. Tampak bahwa Geertz telah mempunyai satu

kerangka teori yang digunakan untuk menciptakan model untuk

analisa: model ini tampaknya sesuai dengan yang telah digunakan oleh

Robert Redfield (1941, 1953, 1955). Redfield melihat bahwa kota dan

desa merupakan dua struktur sosial yang berbeda, yang masing-masing

diwakili oleh elit kota dan warga petani desa, tetapi keduanya

mewujudkan adanya suatu hubungan saling tergantung dan

melengkapi satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu sistem sosial

tersendiri.52

Secara tersurat Geertz memang tidak mengatakan kerangka teori

mana yang dipakai, sehingga Harsja W. Bachtiar (1973) mendapat

kesan bahwa Geertz tidak membicarakan sesuatu masalah teoritis

utama dalam bukunya The Religion of Java. Menurut dia, dalam

51 Rahmad Subagya, Agama Asli Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Yayasan Cipta Lokacaraka dan Sinar Harapan, 1981), hlm. 232.

52 Parsudi Suparlan, “Pengantar”, dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, alih bahasa Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm.viii-ix.

40

lampiran buku tersebut, sebenarnya Geertz (1964: 227-228) membahas

teorinya Robert Redfield (1953), dan secara tersirat telah

menggunakan teori Redfield dalam pembahasan hubungan antara

priyayi dan petani.

Akan tetapi yang membedakan antara Geertz dan Redfield

adalah: Geertz menekankan pada dimensi struktur, sedangkan Redfield

menekankan pada proses komunikasi terus-menerus antara kota dan

desa. Kelemahan-kelemahan yang tampak dalam penggolongan

masyarakat Jawa di Mojokuto atas tiga golongan struktur sosial,

sebenarnya merupakan perwujudan dari pendekatan yang telah

dilakukan oleh Geertz.53

Dari penjelasan itu, agama dimaknai Geertz (ketika melihat

keberagamaan orang Jawa) sebagai sistem kebudayaan yang ditopang

oleh struktur sosial: abangan masyarakat desa, santri masyarakat kota,

dan priyayi adalah elit birokrat. Dari definisi agama sebagai sistem

kebudayaan, dan kebudayaan tidak didefinisikannya sebagai pola

kelakuan, Geertz memaknai agama sebagai pola bagi kelakuan. Agama

dalam pengertian terakhir terdiri atas serangkaian aturan-aturan, resep-

resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan

manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Untuk melihat ini, Geertz

menekankan pada dimensi struktural untuk mengklasifikasikan tiga

golongan struktur sosial dalam masyarakat Jawa.

53 Ibid., hlm. ix.

41

Mark R Woodward. Woodward melihat agama, lain dari apa

yang dilihat oleh Geertz. Untuk ini perlu dilihat bagaimana ia melihat

dan menelusuri Islam Jawa yang sepenuhnya menelusuri dari

perspektif Islam melalui tradisi sufisme (mistisisme). Observasi

partisipatif (pengamatan terlibat) digunakan untuk membuat

argumentasinya bisa diterima. Woodward berusaha memisahkan para

informan dengan pengetahuan yang detail mengenai berbagai segi

kepercayaan orang Jawa. Dia juga bertanya dengan hati-hati kepada

kalangan santri apa yang mereka maksud dengan pemujaan ruh (spirit

cults) dan laku tapa, dan menanyakan kepada kalangan mistikus

berkaitan dengan penafsiran terhadap doktrin dan ritual normatif.

Lintas pertanyaan memberikan informasi penting berkaitan

dengan tekstur wacana keagamaan di Jawa Tengah. Jenis wawancara

ini tidak bisa dilakukan dengan cepat. Mewawancarai seorang

informan hingga lusinan kali. Tujuannya adalah untuk menentukan

bagaimana individu membuat masuk akal seluruh agama Jawa, yakni

tidak hanya untuk memahami kepercayaan mereka tetapi bagaimana

juga mereka memandang kepercayaan orang lain.54

Bahkan Woodward tidak melakukan suatu upaya yang sistematis

untuk melukiskan atau menjelaskan sejarah dan doktrin serta sistem-

sistem ritual berbagai gerakan pembaharuan keagamaan. Kendati

Woodward bekerjasama dengan anggota-anggota pembaharu Islam

54 Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta: LKiS. 1999), hlm. 33-34.

42

dan kepercayaan mistik modern, hubungan antara kelompok-kelompok

ini dan agama Jawa tradisional begitu kompleks sehingga memerlukan

suatu pembahasan tersendiri. Demikian luas apa yang dimaksudkan

mereka di sini. Mereka dipandang dari prespektif formulasi-formulasi

Islam tradisional mengenai Islam Jawa dan Islam Normatif.55

Dari penjelasan itu bisa dilihat bagaimana melihat agama. Ia

menetapkan tujuan yang telah dirujuk dengan menarik kesimpulan

pada karya yang ditulis Ricklefs untuk memperkenalkan sejarah

Yogyakarta dan kemudian memberikan suatu makna penting

Yogyakarta sebagai sebuah tempat riset sebelum membuka refleksi

mengenai teori.

Karenanya, pembahasan teori, Woodward merujuk pada Taylor,

Frazer, Durkhaim, dan kemudian untuk konteks Asia Tenggara

merujuk pada Lehman, Schulte Nordholt, dan Wessing. Dengan

membangun landasan yang dipakai kaum strukturalis dan intelektualis

ini, ia mengikuti Wessing dan menyebut pembacaannya tentang agama

sebagai “strukturalis-aksiomatik”,56 yang berbeda dengan Geertz yang

melihat agama sebagai sistem kebudayaan.

Dari sini tampak bahwa Woodward cenderung ingin mengangkat

segala sistem keyakinan dan praktik keagamaan Jawa secara normatif

dapat dikembalikan kepada Islam.

Berbeda Membuat Tipologi Keberagamaan

55 Ibid., hlm. 34.56 Wessing sebagaimana dikutip dalam Paul Stange, Politik Perhatian: Rasa dalam

Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1998), hlm. 204.

43

Mereka meski sama-sama membuat tipologi keberagaman orang

Jawa, tetapi berbeda dalam memberikan tipologi. Clifford Geertz

membuat tipologi abangan, priyayi dan santri. Sedangkan Mark R

Woodward membuat tipologi Islam Normatif dan Islam Mistis.

Perbedaan dalam memberikan tipologi ini, karena terletak pada asumsi

dan argumentasi yang berbeda.

Misalnya, bisa disebutkan, meski secara taktis bisa saja keduanya

melihat Islam Jawa dalam tipologi yang dibuatnya, tetapi ternyata

berbeda dalam soal argumentasi dan asumsi yang dibuat. Secara

asumtif, abangan dilihat lebih menekankan pentingnya animistik;

santri yang lebih menekankan pada aspek-aspek Islam, dan priyayi

yang menekankan aspek Hindu. Tetapi, lagi-lagi, bagi Geertz, semua

kelompok ini sama-sama Islam, hanya saja tidak taat terhadap ajaran-

ajaran Islam.

Sementara Woodward mengklasifikasikan masyarakat Islam

Jawa dalam dua hal: Islam Mistik yang dianut oleh priyayi dan

abangan, serta Islam Normatif yang dianut oleh santri. Islam Mistik

yang lebih menekankan pada varian abangan dan priyayi, dilihatnya

justru bersumber dari Islam. Dengan kata lain, Woodward lebih

longgar memaknai abangan (yang dilakukan oleh masyarakat abangan

di desa dan priyayi) sebagai seorang yang beragama Islam, tetapi

melakukan praktek budaya Jawa sebagai menifestasi dari keimanan.

44

Praktek yang dilakukan abangan (slametan, dll) ini didasarkan

pada empat konsep pokok: konsep tentang keesaan Tuhan; konsep

makna lahir dan makna batin; konsep hubungan antara kawulo

(hamba) dan Gusti (Tuhan); dan konsep makrokosmos dan

mikrokosmos,57 yang kesemuanya, menurut Woodward ditafsirkan dari

ajaran mistis Islam.

Sementara tingkatan yang kedua (kesalehan normatif) merupakan

seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan oleh Allah bagi umat

Islam. Ia adalah bentuk tingkah laku agama di mana ketaatan dan

ketundukan merupakan hal yang sangat penting.58 Norma-norma legal

Islam dilakukan oleh santri.

Kalau diringkas, Geertz menilai abangan (dan priyayi) adalah

seorang yang beragama Islam, tetapi tidak merasa penting untuk

menjalankan syari'ah: lebih mementingkan untuk menjalankan ritual

kejawen seperti slametan dan sekian banyak tradisi Jawa. Abangan

secara luas dan umum diasosiasikan dengan desa.

Sedangkan Woodward melihat tradisi slametan sebagai bentuk

dari pengamalan dan penghayatan untuk mendekatkan diri pada Allah.

Lebih dari itu slametan dianggap sebagai ritual keagamaan yang harus

dilaksanakan. Slametan dilihat sebagai simbol penghayatan keagamaan

Islam Jawa, dan sebagai manifestasi dari Islam Mistik untuk

mendekatkan diri sang Gusti.

57 M. Murtadho, Islam Jawa: Keluar dari Kemelut Abangan Vs Santri, (Yogyakarta: Lapera, 2002), hlm. 28.

58 Mark R. Woodward, Islam Jawa, hlm. 6.

45

Kelebihan dan Kelemahan Clifford Geertz

Kelebihan Clifford Geertz

Pada tahun 1960 kepustakaan tentang Sosiologi Agama dan

kepustakaan tentang kebudayaan dan masyarakat Jawa telah diperkaya

oleh sebuah studi terperinci mengenai situasi keagamaan di sebuah kota

kecil yang berpenduduk 200.000 orang, yang diberi nama samaran

Mojokuto, yaitu The Religion of Java, ditulis oleh Clifford Geertz.

Beberapa kelebihan The Religion of Java dapat disebutkan sebagai

berikut:

Membuka Wacana Baru tentang Islam Jawa

Penelitian yang dilakukan Geertz seperti Dalam The Religion of

Java memberikan wacana baru dalam memahami keberagamaan

masyarakat Jawa tentang sejumlah besar aspek kepercayaan dan

praktek keagamaan. Hal ini merupakan sesuatu yang berharga bagi

para ahli Antropologi, Sosiologi dan orang-orang yang memperdalam

pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia.

Pertama Membuat Tipologi Keberagamaan Orang Jawa

Geertz merupakan orang yang paling awal membuat tipologi

keberagamaan Jawa berdasarkan sebuah penelitian yang cermat

sebagaimana diterangkan di atas. Tentu saja, sebelum Geertz juga ada

yang mengkaji keberagamaan Jawa, seperti mengkaji agama-agama

asli Jawa, sejarah Jawa. Akan tetapi, Geertz-lah yang utama

46

memperkenalkan sebuah tipologi yang kemudian banyak didikuti oleh

para pengkaji dalam melihat Jawa, Islam dan Indonesia.

Kelemahan Clifford Geertz

Memang, studi paling penting mengenai Islam di Indonesia adalah

Religion of Java karya Clifford Geertz ini. Akan tetapi, tidak berarti

pandangan dan hasil karya Geertz tidak memiliki cacat. Bahkan,

keungulannya itu secara umum terganggu oleh kesalahan yang sangat

sistematis. Beberapa hal yang bisa dicatat untuk kritik ini adalah:

Kurang Memahami Varian Santri

Geertz hanya mengidentifikasi masyarakat Islam yang beraliran

modernis. Apa yang disebut santri adalah santri modernis dan

pemurnian. Geertz bahkan tidak memberikan sebuah pembacaan untuk

santri pesantren, yang dalam konteks tertentu memiliki kesamaan

dengan praktik-praktik abangan, semacam slametan.

Kesimpulan santri yang dikontraskan dengan abangan sangat

tidak mewadahi kalangan santri sendiri, yang juga reseptif terhadap

praktik-praktik populer, yaitu santri pesantren. Bagi orang yang

memahami Islam, yang datang secara kultural, terlepas dari tujuannya,

tentu saja akan banyak yang bertahan dari masa lalu: kepercayaan asli

dan tradisi Hindu-Budha dalam masyarakat Islam Jawa.59

Melihat Priyayi dan Abangan dalam Konteks Ketaatan

Geertz sedang berbicara soal keberagamaan Jawa, pandangannya

sangat minor atas Islam Jawa atau agama Jawa pada umumnya.

59 Lihat pandangan Hodgson (1974: 551) dalam Mark R Woodward, Islam Jawa, hlm. 1.

47

Pandangan minor ini berpangkal dari pembacaannya bahwa varian

priyayi dan abangan adalah varian yang tidak taat dalam syari’ah.

Tentu saja ini adalah sebuah kekeliruan mendasar, bahwa Geertz

menafikan sebuah keberagamaan sebagai kerja penafsiran. Geertz

menganggap keberagamaan sebagai yang statis, sehingga sebuah

penafsiran orang Jawa atas Islam misalnya, dianggap kurang taat.

Padahal yang benar ia adalah satu jenis tafsir tentang Islam.

Tidak Menggunakan Kepustakaan Jawa

Sebagaimana dikemukakan oleh Harsja W. Bachtiar (1973),

memang benar bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah

karena tidak didasarinya akan adanya agama Jawa sebagai pemujaan

leluhur. Sumber yang digunakan adalah kepustakaan yang biasa

digunakan oleh para sarjana Belanda. Padahal, berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan Parsudi Suparlan tentang Suriname (1976)

yang konon keturunan Jawa, dapat diperoleh kesimpulan bahwa

sesungguhnya yang dinamakan Agama Jawa bukanlah agama

“pemujaan leluhur”. Akan tetapi, berintikan pada prinsip utama yang

di namakan sangkan paraning dumadi (dari mana manusia berasal,

apa dan siapa pada masa kini, dan kemana arah tujuan hidup yang

dijalani dan ditujuannya). Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu:

konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia di alam semesta

beserta segala isinya; dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan

48

lingkaran hidup. Kedua hal di atas menyangkut konsep-konsep wadah

dan isi, serta ketidakaturan unsur yang ada dalam isi suatu wadah. 60

Dalam batas-batas yang mendasar, Geertz menafikan adanya

agama Jawa yang demikian. Sebab, Geertz tetap memasukkan

kalangan abangan dan priyayi sebagai orang Islam, meskipun

menurutnya, mereka adalah orang yang tidak taat terhadap Islam. Bagi

sebagian kalangan Jawa, tentu saja hal ini tidak bisa diterima, karena

mereka ada yang menganggap diri bukan sebagai Islam, tetapi

memegang agama Jawa (selanjutnya ini akan dibahas dalam “Agama

Jawa: Melampaui Clifford Geertz dan Mark R Woodward di bawah”)

Kerancuan dalam Membuat Tipologi

Geertz dalam membuat varian atau tipologi beragama orang Jawa

mencampuradukkan dua hal yang berbeda, kemudian dibaca bisa

disamakan. Ini terlihat, ketika Geertz membuat tipologi abangan dan

santri yang berkaitan dengan soal persepsi beragama, atau ketaatan

dan ketidaktaatan. Akan tetapi ketika membuat kategori priyayi, yang

berkaitan dengan struktur sosial elit, sama sekali tidak berkaitan

dengan ketaatan atau ketidaktaatan dalam beragama. Konsep priyayi

mestinya disejajarkan dengan wong cilik atau wong kere.61

Beberapa kritik itu jelas persoalan mendasar, sebagai kelemahan

dalam pandangan Geertz tentang keberagamaan Jawa. Kelemahan-

kelemahan itu tentu saja, bisa dibaca sebagai kritik konstruktif atas

60 Parsudi Suparlan, “kata Pengantar”, dalam, Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, hlm. xiii.

61 Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Ibid., hlm. ix.

49

pandangan dan penelitian yang berkaitan dengan masyarakat Jawa,

utamanya pandangan Geertz tentang agama orang Jawa.

Kelebihan dan Kelemahan Mark R Woodward

Kelebihan Mark R Woodward

Menyatukan Sumber-sumber yang Terpencar

Mark R Woodward, terutama dengan Islam in Java-nya,

merupakan rujukan yang sangat penting bagi mahasiswa yang

mengambil studi tentang Jawa. Dengan membuat suatu ringkasan yang

baik dari sumber-sumber sekunder yang terpencar-pencar hingga

bahan-bahan itu menjadi lebih mudah dijangkau, dan para mahasiswa

akan mendapatkan keuntungan dari hal itu. Pada saat yang sama ia

telah menata ulang sacara baik, yang informasinya bisa kita pegangi,

karena ia telah menyampaikan bahan sekunder itu melalui sudut

pandang yang matang mengenai Islam secara luas.62

Lebih Berhati-hati Membuat Tipologi Keyakinan Keberagamaan

Dengan cara pandang etnografisnya, Woorward sedang membela

sebuah keyakinan agama yang absyah, dan tidak berkaitan dengan taat

atau tidak taat: Islam Mistis bukan soal mereka tidak taat dalam Islam,

tetapi jenis lain dari sebuah penasfiran tentang Islam. Perspektif dan

pembacaannya menjadi bahan perbandingan bagi studi Islam dan Jawa

yang sangat berharga. Bagi kalangan Islam Normatif, pandangan dan

buku Mark R Woodward adalah kritik keras atas sikap dan pandangan

62 Paul Stange, Politik Perhatian, hlm. 212-213.

50

yang meminorkan Islam Jawa, sebagai syirik. Sebuah kelebihan yang

memperkaya khazanah dan keberagamaan bagi Islam Indonesia.

Menggunakan Kepustakaan Jawa

Dalam melihat keberagamaan orang Jawa Woodward didasarkan

pada kepustakaan Jawa dengan lebih banyak mengulas tentang wadah

dan isi yang merupakan konsep lain dari makna lahir dan makna batin.

Makna batin dimaksudan untuk menyebutkan hal-hal yang nampak

seperti alam dan kesalehan normatif, sementara dimaksudkan dengan

persolan subtansi, yaitu Allah, sultan, jiwa, iman dan mistisisme.

Kelemahan Mark R Woodward

Ada beberapa kelemahan yang bisa dilihat dalam buku Islam in Java

karya Mark R Woodward:

a. Kelemahan Secara Metodologis

Kelemahan yang dikatakan Paul Stange bahwa penelitian

Woodward adalah bersifat etnografis. Akan tetapi, kenyataannya

bahasan tentang etnografis yang dilakukan Woodward sangatlah

sedikit, sehingga akan tampak rancu bila dibahas secara mendalam.

Woodward mengatakan bahwa bab kedua dari bukunya ingin

membandingkan pendekatan etnografis dengan pendekatan tekstual

dan tujuannya mengarah kepada kesimpulan bahwa: “…sifat

polemik…perdebatan antara penganut mistik dan pendukung

pembaharuan Islam mengaburkan kesatuan yang mendasari pemikiran

keagamaan… hanya penggunaan gabungan secara selaras dari bahan

51

tekstual dan bahan etnografik yang memungkinkan kita untuk…

sampai pada pemahaman mengenai pertanyaan-pertanyaan mendasar

pada persoalan tersebut”.63

Akan tetapi, menurut Paul Stange, hanya tiga paragraf dalam bab

buku ini yang menyentuh relevansi etnografis, meskipun hanya dengan

menunjukkan kejelasan itu bahwa wawancara bisa menunjukkan

bagaimana jangkauan pengetahuan budaya dipergunakan.64 Dua puluh

satu halaman sisanya mengulas sejarah mitos dan penafsiran simbolik.

b. Kerancuan Membuat Tipologi

Posisi Woodward yang meringkas varian-varian agama orang

Jawa sebagai Islam Jawa dengan sebutan Islam Mistis. Sebuah

kesimpulan dan pandangan yang keterlaluan bagi sebuah entitas Jawa

yang menganggap adanya “Agama Jawa”. Bahwa ada orang Jawa yang

senang disebut Islam Jawa dengan penafsiran Islam secara lain sesuai

dengan konteks Jawa adalah boleh saja. Akan tetapi, tidak semua

orang Jawa atau varian dalam agama orang Jawa, dia mau disebut

sebagai pengikut agama formal, bahkan tidak mau disebut pengikut

Islam. Bahwa kemudian mereka secara KTP adalah Islam, karena

negara memaksa mereka untuk mengikuti salah satu agama formal,

agar mudah berinteraksi dengan negara.

Dalam konteks seperti itu, Woodward mengacaukan, dan dalam

batas-batas tertentu menindas atas entitas kelompok minoritas di Jawa

63 Sebagaimana dalam, Mark R Woodward, Islam Jawa, hlm. 51.64 Ibid., hlm. 48-49.

52

yang menginginkan adanya “Agama Jawa”. Ini memang sunggguh

aneh, ketika Woodward bisa empatik atas “Islam Jawa” yang oleh

Geertz dianggap tidak taat Islam, dan kemudian dipandang Woodward

sebagai jenis lain dari penafsiran Islam. Akan tetapi Woodward tidak

bisa lagi empatik atas orang-orang Jawa yang memiliki varian

tersendiri sebagai “Agama Jawa”, lain dari Islam Jawa dan santri.

Agama Jawa: Suara Lain Melampaui Geertz dan Mark R

Woodward

1. Toleransi Jawa dan Variasi Beragama

Di sub bagian ini kritik atas Clifford Geertz dan Mark R Woodward,

difokuskan pada soal terakhir yang disebutkan di atas: soal kekacauan dalam

memposisikan “Agama Jawa”. Untuk melihat ini, terlebih dulu harus dijelaskan

soal toleransi orang Jawa. Dari sini, baru bisa dilihat bagaimana posisi pandangan

Geertz dan Mark R Woodward dalam agama yang dipeluk orang Jawa.

Jika ternyata kemudian toleransi tidaklah tampil secara mencolok dalam

hubungan antar orang Jawa dengan yang lain, lalu apakah sebenarnya inti hal ini?

Apa yang ada di benak orang Jawa sendiri ketika mereka mengatakan bahwa hal

ini adalah ciri kebudayaan mereka? Boleh dikatakan, tidak diragukan lagi bahwa

bagi kebanyakan orang Jawa bahwa gagasan “toleransi” itu sendiri berhubungan

dalam jalinan rumit dengan sifat khusus agama di Jawa. Dalam benak Jawa

terdapat tabir bagi masalah hubungannya dengan Islam. Rumusan Jawa yang

jamak barangkali akan berbunyi: “sudah barang tentu saya seorang muslim, tetapi

53

saya bukanlah seorang muslim fanatik sebagaimana orang Aceh. Kami orang

Jawa dapat berjalan seiring dengan orang Kristen dan Budha. Kami melihat

kebenaran pada semua agama dan tidak hanya terbatas pada kepercayaan kami

saja.”65 Sebuah tipologi toleransi yang khas Jawa.

Ajaran toleransi, berkaitan erat dengan filsafat Jawa tentang masyarakat.

Tatanan masyarakat dilihat tidak setara dan tersusun secar hierarkis, tersirat

gagasan bahwa masing-masing derajat atau tataran memiliki fungsi-fungsi

khususnya dalam struktur sosial. Setiap golongan bergantung pada seluruh bagian

lainnya. Kalau satu bagian gagal menjalankan fungsinya, seluruh bagian lain akan

menanggung akibatnya. Dengan demikian, sebagai contoh seorang raja akan

menjalin hubungan dengan kuasa-kuasa adikodrati dan menjamin limpahan

kemurahan mereka; sang Brahmana menjalankan upacara-upacara negara dan

mewariskan budaya masyarakat kepada generasi berikutnya; sang satria

mengemban tugas untuk menjalankan administrasi negara dan menjaga negara

dari serangan luar; para pedagang memelihara kemakmuran ekonomi; sedangkan

para tukang membangun perangkat-perangat material bagi peradaban.66

Berpangkal dari konsepsi tentang fungsi hierarki masyarakat ini, tumbuh

gagasan tentang moral. Justru lantaran semua fungsi berkait, dan lantaran setiap

golongan adalah esensial bagi keseluruhan yang lain, dukungan masyarakat bagi

individu-individu dalam setiap golongan bergantung pada seberapa memadai

mereka memenuhi fungsi-fungsi golongan mereka.

65 Benedict R. O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B. Santoso dan Luthfi Wulandari, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 3-4.

66 Ibid., hlm. 16.

54

Dengan demikian, seorang “satria” yang berprilaku sangat baik dengan

“cara-cara” melakukan sebagai seorang tukang, maka seorang satria itu dipandang

buruk, betapapun banyak kebajikan yang pada kenyataannya dia lakukan. Seorang

pedagang yang hidup sebagaimana seorang pedagang adalah anggota masyarakat

yang lebih baik daripada seorang pedagang yang menjalani hidup sebagimana

seorang Brahmana pertapa. Dari sini berkembanglah pelapisan moralitas

berdasarkan kasta dan kelas, masing-masing mungkin sangat berbeda atau bahkan

bertentangan satu sama lain.67

Kekasaran konsepsi ini diperhalus oleh pengaruh Buddhisme, yang

mencegah penerapan nilai mutlak pada kelas tertentu atau moralitas kelas

tertentu. Tujuan akhir Buddhisme bukanlah pada moralitas duniawinya, tetapi

peleburan ke dalam yang tak terhingga. Modal prilaku yang ideal adalah

mengenali diri dengan sepantasnya sesuai dengan “derajat” yang telah ditentukan

oleh nasib seseorang, tanpa menempelkan nilai penting yang permanen padanya.

Dari pemaknaan filsafat tentang masyarakat yang menimbulkan makna

moral yang demikian, gagasan toleransi tumbuh berkecambah dalam masyarakat

Jawa. Toleransi dalam gagasan Jawa, adalah untuk menselaraskan kehidupan agar

tidak timpang dan rusak. Dari sinilah, orang Jawa sangat toleran: bisa berdamai

dengan Hindu-Budha, dengan Islam dan bahkan dengan zaman modern ini. Akan

tetapi, dari satu sisi toleransi yang berlebihan inilah yang juga menyebabkan

budaya Jawa dan orang Jawa adalah orang yang bercorak ekletik: ada yang Jawa

Kristen, ada yang Jawa Islam, ada yang beragama Jawa dengan variasi berbeda

dari kedua itu.

67 Ibid., hlm. 17-18.

55

Soal Jawa Islam, Mark R Woodward telah menyebutkan, meskipun tentu

saja beberapa kritik telah dilakukan di muka (Woodward melihat mereka sebagai

Muslim). Sedangkan Jawa Kristen, kita bisa melihat dari aktivitas Kiai Sadrach.

Pada paruh abad ke 19 hingga dekade awal abad 20, terjadi tarik-menarik antara

Islam, Jawa, dan Kristen (Eropa). Kristen yang datang bersama kolonialisme

Belanda sebagai semacam misi suci penyelamatan kaum di luar Gereja, berusaha

menyebarkan pengaruhnya pada kultur lokal Jawa, yang jauh-jauh hari

sebelumnya telah dapat pengaruh Islam.68

Pertemuan tiga kekuatan kultural tersebut tergambarkan dalam kasus

kelahiran dan perkembangan, hingga surutnya Jemaat Kristen Jawa Merdeka

pimpinan Kiai Sadrach. Dari kasus ini tergambar tarik menarik, benturan, dan

friksi-friksi yang terjadi antarkekuatan budaya yang terlibat. Bukan saja di tingkat

wacana, friksi itu pun juga telah terwujud dalam aksi. Sejumlah tindakan seperti

pelanggaran, ancaman, dan pemenjaraan pernah dilakukan oleh pemerintah

Belanda untuk mencegah perkembangan Jemaat Kristen Jawa Merdeka.

Konversi tentang Kristen Jawa ini mulai dikenal pada pertengahan abad

ke-19. Tidak begitu jelas tempatnya, tetapi di Surabaya, Semarang dan Kutoarja

telah ada Kristen Jawa tersebut. Dalam hal ini, Kristen Jawa terus dipopulerkan

oleh Kiai Sadrach Radin atau Sadrach Suropranoto. Cara Sadrach menyebarkan

agama Kristen dengan mengunjungi guru-guru terkemuka di daerah sekitar

Kutoarjo dan meyakinkan mereka akan kebenaran agama Kristen. Adakalanya

penyebarannya dilakukan dengan perdebatan di depan umum, di mana yang kalah

68 Pengantar Penerbit Mata Bangsa dalam Lydia Herwanto, Pikiran dan Aksi Kiai Sadrach: Gerakan Jemaat Kristen Jawa Merdeka, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002).

56

dalam perdebatan ini akan mengikuti agama yanag dianut pemenangnya. Akan

tetapi, Sadrach telah memiliki ngelmu Jawa, pernah belajar di pesantren dan

penganut agama Kristen. Tidak sedikit guru-guru yang dikalahkannya langsung

mengucapkan pengakuan takluk.69

Ajaran agama yang diberikan Kiai Sadrach Suropranoto kepada para

jemaatnya merupakan suatu perpaduan antara unsur-unsur kepercayaan Jawa dan

Islam dengan agama Kristen Protestan. Hal ini adalah wajar, mengingat latar

belakang Kiai Sadrach yang lahir menjadi dewasa dalam lingkungan masyarakat

Jawa mendapat pendidikan agama Islam di beberapa pesantren. Agama Kristen

yang kemudian dipeluknya, dipadukan dengan pola pemikiran yang sudah berakar

di dalam dirinya sehingga unsur-unsur kepercayaan Jawa dan agama Islam

tampak mempengaruhi corak keimanan Kristennya.70

Untuk memahami corak Kristen yang dikembangkan oleh Kiai Sadrach

Suropranoto, bisa dilihat dari upayanya mengutamakan rumusan Doa Bapak

Kami, Dua Belas Pengakuan Iman Rasuli, Sepuluh Perintah Allah dan isi Matius

22:37-40 yaitu:

“Dawoehe Jesoes: kowe pada tresnaa marang pangeran Allahmoe diklawan goemolong atimoe, lan goemolong nyawamoe, serta goemolong boedimoe. Ija ikoe pakon kang gede lan loegoer dewe. Dene kang kepindo, kang pada cega kaja kang ngarep maoe; sira tresna ing sapepadanira dikaja marang awakira dewe. Apa sasoerasane toret lan Kitabe para Nabi ikoe moes kawengkoe ing pakon loro maoe.”

Artinya: “Jesus berpesan; cintailah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah; cintailah sesamammu manusia seperti

69 C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, t.t.), hlm. 79.

70 Lydia Herwanto, Pikiran dan Aksi Kiai Sadrach, hlm. 63.

57

dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukun Taurat dan kitab para Nabi.”71

Kekristenan seseorang ditentukan berdasarkan pemahamannya terhadap

rumusan-rumusan tersebut. Bila seseorang telah memahami keempat rumusan itu,

ia dianggap seorang Kristen yang sudah memahami ajaran agama Kristen, meski

secara praktik ritual tidak terlalu rigid memegang kekristenan. Di sinilah,

tampaknya paham Jawa Islam, bisa juga dilihat dalam perspektif sama dengan

konteks Jawa Kristen. Sebagai Jawa, praktik-praktik agama yang dipegang

Jamaah Sadrach adalah Jawa, tetapi dekat dengan tradisi Kristen. Akan tetapi

praktik-praktik gereja mereka adalah Kristen yang telah dijawakan: Kristen yang

telah ditafsirkan sesuai dengan konteks Jawa. Ini sama dengan Jawa Islam dalam

kasus Islam di Jawa.

Selain beberapa variasi tersebut, kemungkinan masih ada mereka yang

sama seperti kasus Jawa Islam dan Jawa Kristen, misalnya Budha Jawa. Akan

tetapi, konteks yang terakhir ini belum banyak ditemukan dan belum dilakukan

semacam penelitian sehingga belum bisa dijelaskan secara gamblang, tetapi

sebagai kemungkinan, jelas itu sangat mungkin.

Jawa Kristen atau Jawa Islam, adalah wujud dari toleransinya orang Jawa

dalam satu konteks: ketika mereka Jawa tetapi dekat dengan tradisi Muslim dan

Jawa yang dekat dengan tradisi Kristen. Akan tetapi, untuk kasus yang lain, ini

tidak bisa diterapkan, terutama bagi mereka yang tidak mengidentifikasi sebagai

dekat dengan Islam atau Kristen. Selanjutnya penulis menjelaskan ini dalam kasus

kebatinan.

71 Ibid., hlm. 97.

58

2. Kebatinan: Berbeda dengan Islam

Kebatinan adalah variasi lain dalam keberagamaan orang Jawa. Apakah ini

termasuk bagian dari Islam ? Untuk melihat hal itu, kita harus menjelaskan

bagaimana kebatinan dan apa ritus-ritusnya. Di mata orang Barat, mistisisme

adalah sesuatu yang dekat dengan serba kerahasiaan. Mistik dipandang sebagai

urusan yang sangat pribadi sifatnya. Ia menyentuh keyakinan dan religiusitas

pribadi, dan karena itulah dipandang sebagai persoalan pribadi. Namun, bagi

orang Jawa yang senang membicarakan peradabannya, mistisisme pun tidak kalah

menariknya untuk menjadi konsumsi publik yang kerap dibicarakan. Secara

umum, mistisisme disebut juga sebagai kebatinan. Kata ini berasal dari kata Arab

bathin yang berarti “dalam”.72

Tidak diragukan lagi bahwa mistisisme menduduki tempat terhormat

dalam kebudayaan Jawa untuk waktu yang sangat panjang. Walau demikian,

klaim yang menyatakan bahwa praktiknya sudah populer jauh sebelum ajaran

Hindu-Budha tiba di pulau Jawa, seperti yang ditonjolkan oleh orang-orang

Kejawen, tentu saja susah diterima kebenarannya.73 Kalau dalam soal substansinya

mungkin beberapa hal bisa dibenarkan, tetapi menyebut tanpa ada akulturasi

dengan agama lain, semisal Islam dan Hindu-Budha, sangatlah keliru.

Dengan datangnya Islam dan sistem sosialnya misalnya, maka segala

sesuatu di Jawa, termasuk mistisisme, harus berubah, menyesuaikan diri dan

72 Zainul Milal Bizawie: Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), (Yogyakarta: Samha, 2002), hlm. 63.

73 Niels Mulder, Mistisime Jawa Idiologi di Indonesia, terj. Noor Cholis (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 79.

59

dibentuk oleh keadaan-keadaan baru. Hal ini terlihat, misalnya melimpahnya kata-

kata yang berakar dari bahasa Arab, seperti bathin, sujud dan tarekat yang dipakai

untuk melukiskan kegitan-kegiatan mistik Jawa.

Mistisisme kebatinan, sejauh yang kita pahami saat ini, jelas merupakan

produk masyarakat kolonial seperti yang penah hadir dalam kerajaan-kerajaan,

atau kesultanan di Jawa Tengah bagian Selatan. Demi memahami situasi itu, kita

perlu menyelami sejarah, sampai sekitar abad ke-12 M bermunculan dinasti-

dinasti besar pembangun candi, kira-kira di daerah sama yang di kemudian hari

dikenal sebagai Vorstenlanden, atau daerah kesultanan-kesultanan. Apa yang

disebut sebagai negara-negara Hindu-Budha itu terang berasal dari peradaban

India dan menggunakan Sanskerta sebagai bahasa resmi politik dan agama.

Agama dan politik agaknya berbaur dalam lingkungan kerajaan dan praktik

kenegaraan.74

Praktik mistisisme pada dasarnya adalah upaya individual untuk

berkomunikasi dengan realitas tertinggi. Ini suatu pencarian tunggal seorang

manusia yang menghendaki penyatuan kembali ke asalnya, yang mencita-citakan

pengalaman penyingkapan rahasia. Dalam hal inilah, “kebatinan” (dari bathin

bermakna “tersembunyi” dan “rahasia”), berarti memelihara dan mengembangkan

“manusia dalam” dan secara umum menunjukkan mistik yang magis atau religius.

“Manusia dalam” dipandang sebagai semacan mikrokosmos (jagad cilik)

terhadap makroskosmos (jagad gede) atau hidup. Orang yang melakukan

kebatinan berusaha untuk menyelaraskan diri dan akhirnya mempersatukan diri

dengan prinsip itu yang meliputi segala-galanya (manunggaling kawula Gusti)

74 Ibid., hlm. 80.

60

dan yang merupakan awal mula serta tujuan segala-galanya (sangkan paran).

Untuk melaksanakan cita-cita itu, orang harus belajar pada seorang guru. Guru

pertama yang diikuti seringkali adalah ayahnya sendiri, kemudian menyusul guru-

guru lain sampai akhirnya Bathara Guru atau Sang Hidup itu sendiri yang

mengoper tugas itu.75

Orang yang ingin melakukan kebatinan hendaknya melakukan itu tanpa

pamrih dan hanya terdorong oleh keinginan untuk hidup selaras dengan hidup dan

tujuan segalanya (bentuk-bentuk lain dianggap kurang murni dan berbau klenik).

Kehidupan sosial dengan berbagai tuntutannya berupa upacara, termasuk upacara-

upacara resmi, dipandang sebagai syarat lahir (sarengat) yang berguna sebagai

praktek yang melatih disiplin, tetapi jauh daripada ungkapan religius yang sejati.

Praktek kebatinan dibenarkan karena maksud untuk mengembangkan diri

pribadi seseorang, “akunya yang sejati” (ingsun sejati) terlindung dari ungkapan

sosial yang tampak. Dalam praktek tersebut orang hidup bebas, karena masyarakat

cukup toleran terhadap ungkapan dan pikiran religius individual. Dalam

kebatinan, orang berusaha melaksanakan penyatuan sejati dengan sang hidup

sambil menemukan keseimbangan pribadi lewat praktek-praktek mati raga dan

samadi. Selain itu, praktek kebatinan sangat berguna untuk mensublimasikan

frustasi-frustasi.76

Praktik kebatinan itu berkembang subur di masyarakat Jawa. Hanya saja,

kebanyakan gerakan kebatinan di Jawa merupakan gerakan lokal, dengan anggota

yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang. Gerakan-gerakan

75 Niels Mulder, Jawa-Thailan: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, penerjemah Tim Gadjah Mada University Pres. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres, 1983), hlm. 68.

76 Ibid., hlm. 68-69.

61

seperti ini secara resmi disebut “aliran kecil”, seperti kelompok Penunggalan,

Perukunan Kawula Manembah Gusti, Jiwa Ayu, dan Pancasila Handayaningratan

dari Surakarta; Ilmu Kebatinan Kasunyatan dari Yogyakarta; Ilmu Sejati dari

Madiun; dan Trimurti Naluri Majapahit dari Yogyakarta.

Sebagian kecil dari gerakan kebatinan mempunyai anggota lebih dari 200

orang yang tersebar di berbagai kota di Jawa, dan terorganisir ke dalam cabang-

cabang. Gerakan seperti ini secara resmi dinamakan “aliran besar”, dan lima yang

terbesar adalah Hardapusara di Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang

asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dari

Surakarta, Paguyuban Sumarah dan Sapta Darma dari Yogyakarta.

Hardapusara adalah yang tertua di antara kelima gerakan “aliran besar” itu,

yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Ki Kusumawicitra, seorang petani di desa

Kemanukan, dekat Purworejo. Ki Kusumawicitra konon menerima wangsit dari

ajaran-ajarannya yang semula disebut kawruh kasunyatan ghaib. Para

pengikutnya mula-mula adalah orang-orang priyayi dari Purworejo dan beberapa

kota lain di saeran Bagelen. Sekarang gerakan ini telah berkembang dan

mempunyai cabang-cabang di berbagai kota di Jawa tengah, Jawa Timur, dan juga

Jakarta. Jumlah anggotanya konon mencapai ribuan orang. Ajaran-ajarannya

termaktub dalam dua buah buku yang oleh para pengikutnya dianggap keramat,

yaitu buku Kawula Gusti dan Wigati.77

Susila Budi Darma (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di Semarang, dan

pusatnya sekarang di Jakarta. Gerakan ini tidak mau disebut gerakan kebatinan,

melainkan mereka menamakan dirinya dengan “Pusat Latihan Kejiwaan”.

77 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 400.

62

Anggota-anggotanya yang berjumlah beberapa ribu orang tersebar di kota-kota

seluruh Indonesia, dan mempunyai 87 cabang di luar negeri. Banyak dari

pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia, dan Amerika. Doktrin ajaran

gerakan ini termuat dalam buku yang berjudul Susila Budi Darma. Disamping itu

gerakan ini juga menerbitkan majalah berkala berjudul Pewarta Kejiwaan

Subud.78

Paguyuban Ngesti Tunggal, atau lebih terkenal dengan nama Pangestu,

adalah sebuah gerakan kebatinan lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini

didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit,

yang oleh dua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku

Sasangka Djati. Pangestu didirikan di Surakarta dan anggotanya kini telah

mencapai 50.000 orang yang terbesar di Jawa, terutama berasal dari kalangan

priyayi. Namun anggota yang berasal dari pedesaan juga banyak, yaitu yang

tinggal di pemukiman transmigrasi Sumatra dan Kalimantan. Majalah yang

dikeluarkan oleh organisasi ini Djijawara, merupakan tali pengikat bagi

anggotanya yang tersebar itu.79

Paguyuban Sumarah juga merupakan suatu organisasi yang besar, yang

dimulai dari suatu gerakan yang kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng.

Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935.

Pada akhir tahun 1940-an gerakan ini mulai mengalami kemunduran, namun

berkembang kembali tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah

78 Ibid.79 Ibid., hlm. 401.

63

115.000 orang baik dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat

lainnya.80

Sapta Darma adalah yang termuda dari lima gerakan kebatinan yang

terbesar di Jawa, yang didirikan tahun 1955 oleh seorang guru agama bernama

Hardjosaputro, yang kemudian mengganti nama menjadi Panuntun Sri Gutomo

berasal dari desa Koplakan dekat Pare. Berbeda dengan keempat gerakan

kebatinan lainnya. Sapta Darma beranggotakan dari daerah-daerah di pedasaan

dan para pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walau demikian sebagian besar

pemimpinnya adalah dari kaum priyayi. Buku yang berisi ajaran-ajarannya adalah

Kitab Pewarah Sapta Darma.81

Pengikut-pengikut terkemuka dari gerakan-gerakan kebatinan, yang di

antaranya ada yang berlatar pendidikan Psikologi. Biasanya timbul berbagai

gerakan itu karena sebagian besar orang Jawa butuh mencari hakekat alam

semesta, intisari kehidupan dan hakekat Tuhan. Ahli Sosiologi Selo Sumarjan

(1974) berpendirian bahwa orang Jawa umumnya cenderung mencari keselarasan

dengan lingkungannya dan hati nuraninya, yang sekarang dilakukan dengan cara-

cara metafisik.82

Gerakan kebatinan muncul sebagai reaksi sebagian orang Jawa atas

keinginan sebagian kalangan Islam yang memaksakan pandangan-pandangannya

dan cara hidupnya kepada masyarakat Jawa yang sinkretis. Tampilnya kebatinan

ini terutama sekali berkaitan dengan masa-masa penuh tekanan itu, di saat mana

80 Ibid.81 Ibid.82 Ibid., hlm. 402.

64

orang-orang mulai mencari landasan baru guna membangun bagian keadaan

manusia.83

Masa itu adalah masa awal kemerdekaan Indonesia di mana pada saat itu

memang banyak terjadi pertikaian, pemberontakan, keresahan sosial, kemerosotan

moral dan ketidakamanan. Kondisi semacam itu turut pula mendorong proses

perenungan kembali atas identitasnya. Masyarakat Jawa yang mempunyai latar

belakang yang sinkretis, Hindu-Budha, animisme, justru melakukan semacam

radikalisme budaya di kalangan mereka yang kemudian diwujudkan pada

paguyuban budaya spiritual (kebatinan).84 Sebagai sebuah keberagaman, mereka

sedang menafsirkan dunianya dan realitas sekitarnya dengan apa yang dianggap

bisa dijadikan pegangan.

Menurut Geertz, kedua hal turut mendorong munculnya kabatinan Jawa:

tekanan-tekanan politis terhadap abangan dan kepercayaan diri bahwa mereka

mampu berdiri sendiri dengan praktek ritual dengan kepercayaan abangan yang

asli, membuat mereka mengelompok dalam wadah PERMAI (Persatuan Rakyat

Marhein Indonesia). Secara politis, wadah ini menjadi partai politik berdasarkan

basis religius. Ia menjadi wadah kepercayaan abangan tradisional untuk

menentukan ide-ide tentang ruh pada orang Jawa, praktek-praktek slametan, dan

teknik-tehnik pengobatan.85

Tentu saja masih banyak kelompok-kelompok kebatinan yang tidak

tercakup dalam paguyuban yang disebutkan di atas. Misalnya saja, di daerah Jawa

83 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, (Jakarta: PT. Gramedia, Cet. Ke-II, 1984), hlm. 3.

84 Clifford Geertz, Abangan, Santr, hlm. 153.85 Kuntowijoya, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1987), hlm. 10.

65

Tengah, sebagaimana dicatat oleh Abu Su’ud, ada banyak sekali kelompok jenis

ini: Paguyuban Normanto, Prabu, Paguyuban Kajiwan, Paguyuban Esa Tunggal

Sejati, Paguyuban Murtitomo, dan banyak lagi.86

Para ahli kebatinan atau penghayat kepercayaan ini memiliki ritus yang

berbeda dengan kelompok Islam (yang abangan dan normatif). Dan, perlu

dijelaskan dulu bahwa orang-orang kebatinan ini, bukanlah orang yang secara

substansial memeluk Islam atau agama formal. Sebuah penelitian yang dilakukan

Abu Su’ud dalam Ritus-ritus Kebatinan, menyebutkan beberapa hal yang

membantu ini: orang-orang kebatinan tidak menganggap dirinya sebagai orang

Islam, tetapi sebagai penghayat kepercayaan.

Salah satu pola ritus yang berbeda dengan Islam adalah apa yang

dilakukan oleh kelompok Kaweruh Kasukman Panunggalan. Ritus yang dilakukan

kelompok ini sebagaimana diteliti Abu Su’ud adalah sbb:

“Yang wajib dilakukan adalah manembah setiap hari dua kali. Pagi hari setelah bangun pagi, dan malam hari menjelang berangkat tidur. Sedangkan manembah bersama-sama dilakukan setiap hari Selasa dan malam Jum’at.”

“Perilaku ritual lain adalah memayu hayuning bawono (menyongsong kehidupan sejahtera) dengan ngerogoh sukma (sejenis samadi), yang dilakukan setiap malam Kliwon. Selanjutnya melakukan lampah pejah selebeting gesang, yang tidak lain adalah latihan untuk membunuh segala kehendak hati, bagaikan orang mati. Perilaku ini dilakukan pada setiap malam Selasa dan Jum’at. Selanjutnya lampah wungon, tidak tidur sepanjang malam antara jam 24.00-03.00. Ini dilakukan pada malam Jum’at, malam weton (hari kelahiran), malam 1 Suro (18.00-18.00)…”

86 Lihat, Abu Suud, Ritus-ritus Kebatinan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 46-47.

66

“Kelengkapan yang harus disediakan adalah ruangan tertentu yang khas untuk jenis ritual tertentu. Demikian juga melati, lilin dan bokor kelengkapan yang mutlak ada untuk berbagai macam perilaku ritual.”87

Dari penjelasan itu, jelas sekali kelompok penghayat keagamaan ini

ritualnya tidak seperti Islam. Kelompok-kelompok penghayat lain juga memiliki

ritus yang hampir sama, misalnya tentang samadi, tetapi berbeda dalam waktu,

berapa kalinya, dst. Meski begitu, mereka tetap mempercayai akan Tuhan yang

Maha Esa, sebagaimana Yahudi atau Islam.

Bahkan di antara mereka ada yang terang mengatakan “tidak beragama”

(tidak beragama resmi yang lima), seperti pengakuan dari Ki Hadi Wijaya, pendiri

dari Paguyuban Kajiwan Salatiga yang mengatakan sebagaiman diungkapkan Abu

Su’ud: “Secara tegas Ki Hadi Wijaya menyatakan tidak beragama, melainkan

menganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.”88 Jadi, sebagian orang

Jawa, terutama di kelompok kebatinan tidak menyebut mereka sebagai Muslim

pengikut dalam komunitas agama Muhammad. Mereka lebih suka menyebut diri

sebagai penganut penghayat kepercayaan sebagai agamanya.

Secara KTP tertera Islam misalnya, itu hanyalah akibat adanya represi

kekuasaan negara dimana yang diakui oleh negara hanya lima agama (ditambah

satu negara, yaitu Konghucu). Dalam posisi itu, sebagai langkah taktis, kelompok-

kelompok ini memberikan identitas di KTP-nya dengan agama resmi, agar mudah

berelasi dengan administrasi negara.

Kitab-kitab yang dijadikan rujukan juga berbeda dengan kelompok agama

resmi, terutama mereka memegangi kitab-kitab yang ditulis oleh para sesepuh dari

87 Ibid., hlm. 72-73.88 Ibid., 66.

67

kelompok itu. Misalnya yang dipegangi kelompok Kawruh Kasukman

Panunggalan adalah: Serat Cepengan Baku Kagem Para Pangudi Simbol

Paguyuban, Simbul-simbul Betoro Guru, Pepeling Sekar Melati dan Petak Saha

Lilin Murub Kuning.89 Tentu saja kelompok lain juga memiliki kitab-kitab yang

dijadikan pegangan. Dilihat dari penjelasan itu, tampak bahwa kelompok

kebatinan berbeda dengan Islam.

Apa yang dikemukakan Mark R Woodward soal Islam Jawa dan Geertz

tentang abangan dan priyayi yang digeneralisasi sebagai Islam, meski dengan

pemaknaan yang berbeda, dengan penjelasan itu, tampak bahwa varian beragama

orang Jawa tidak bisa dirangkum sebagai “Islam Jawa” ataupun Islam Mistis atau

abangan yang dianggap Islam. Ada varian lain di mana orang Jawa ada yang

“beragama kebatinan”, atau dalam bahasa Koentjaraningrat, disebut sebagai

“Agama Jawi”.

3. Mempertimbangkan “Agama Jawi” Koentjaraningrat

Pemikiran Agama Jawi Koentjaraningrat dikonstruksikan dari adanya dua

kenyataan, bahwa Islam dipahami dalam masyarakat Jawa dalam dua bentuk,

yaitu (1) Islam sinkretis yang memadukan antara unsur-unsur pra Hindu-Budha,

Hindu-Budha dan Islam (2) Islam puritan, yang memeluk Islam secara rigid.90

Dari keberagamaan dua bentuk keagamaan itu Koentjaraningrat ingin

merumuskan suatu agama tertentu, yang disebutnya Agama Jawi, yang bersifat

reseptif terhadap agama yang datang dari luar. Hal itu didasari pemahaman bahwa

89 Ibid., hlm. 73.90 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 310.

68

sebenarnya sebelum Islam datang, orang Jawa telah memiliki cara pandang sendiri

yaitu pandangan serba sinkretis dan toleran terhadap agama-agama yang datang

kemudian. Cara pandang inilah yang merupakan dasar dari Agama Jawi.91

Koentjaraningrat mendefinisikan Agama Jawi sebagai suatu kompleks

keyakinan dan konsep-konsep Hindu Budha yang cenderung ke arah mistik, yang

tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Kata diakui

menunjukkan bahwa Koentjaraningrat tidak menerima sepenuhnya klaim Islam.

Menurutnya, kalaupun kemudian Islam terkesan paling berpengaruh pada

sinkretisme yang terbentuk (Agama Jawi) itu, persoalan lain, karena memang

agama yang berkembang paling pesat di Jawa adalah Islam.

Dari definisi ini, ada kesan bahwa Koentjaraningrat tidak sepenuhnya

setuju Agama Jawi diklaim sebagai Islam. Keberadaan tradisi dan ritual yang

dilakukan oleh orang Jawa merupakan peletak dasar-dasar dari Agama Jawi.92

Karakteristik Agama Jawi yang paling menonjol adalah paham

sinkretisme. Sistem keyakinan yang dibangun menggabungkan semua keyakinan

agama yang datang di Jawa. Selain percaya kepada Allah, Muhammad dan Al-

Qur’an (bandingkan dengan orang Islam yang percaya dengan Nabi-nabi Yahudi

dan Kitab Taurat), Agama Jawi percaya juga adanya dewa-dewa, ruh-ruh halus

dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya dan meyakini adanya tokoh-tokoh keramat.

Secara lengkap Agama Jawi dalam deskriptif Koentjaraningrat meyakini adanya

Allah, Muhammad sebagai Nabi, adanya nabi-nabi lain, meyakini adanya tokoh-

tokoh keramat, meyakini adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan

91 Ibid., hlm, 311.92 Ibid., hlm. 318.

69

alam dan eskatologi. Namun di samping itu, meyakini pula adanya dewa-dewa

tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam, meyakini adanya ruh-ruh halus

penjelmaan dari ruh-ruh orang yang telah meninggal, meyakini adanya hantu,

kekuatan-kekuatan gaib dalam alam.

Keyakinan orang Jawa yang beragama Agama Jawi terhadap Tuhan sangat

mendalam dan hal itu dituangkan dalam istilah Gusti Alloh Ingkang Maha

Kuwaos, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta, dan karena itu adalah penyebab dari

segala kehidupan, dunia, dan seluruh alam semesta (ngalam ndonyo), dan hanya

ada satu Tuhan (Ingkang Maha Esa).

Agama Jawi juga menyakini bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama

segala ilmu pengetahuan yang ada, sama seperti kalau orang islam percaya kepada

Taurat. Selain itu meyakini pula buku-buku yang dianggap keramat dari karya-

karya orang Jawa seperti serat Sasanasunu karya Yasadipura II, serat Wulang Reh

karya Pakubuwono IV, Jaka Lodhang karya R. Ng. Ranggawarsito. Mereka juga

membaca karya kesusastraan agama seperti serat menak, suluk, dan primbon.93

Dalam praktek ritual, selain melakukan upacara slametan sebagai ritual

utama, Agama Jawi juga malakukan upacara ritual-ritual lainnya seperti nyekar

(adat mengunjungi makam orang yang telah meninggal), sesajen (memberikan

korban, biasanya berbentuk rupa-rupa makanan, yang diletakkan ditempat-tempat

tertentu), tirakat, tapa brata, semedi, bersih dusun, ngruwat.94

Agama Jawi tidaklah sama dengan Islam Jawa, penganut-penganutnya

seringkali mengadakan pembedaan yang tegas antara diri mereka sendiri sebagai

93 Ibid., hlm. 320.94 Ibid., hlm. 363.

70

penganut Agama Jawa dan sebagai pemeluk agama Islam yang mereka sebut

Selam, atau muslim. Dan memang, kebanyakan dari penganut agama asli yang

sudah sangat tua usianya itu adalah juga muslim secara formal di KTP.95

Jadi, Agama Jawi pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujan atas

Tuhan Yang Maha Esa dan hal-hal gaib. Mereka telah memberikan kepada yang

masih hidup satu kebudayaan, satu peradaban, yang dianggap telah menempatkan

mereka pada tingkat sosial dan kerohanian yang lebih tinggi dibandingkan dengan

penduduk lainnya di kepulauan Indonesia lainnya. Para leluhur itu dianggap terus

mempengaruhi mereka yang masih hidup.96

Orang-orang Jawa yang menganut Agama Jawi dapat melakukan berbagai

upacara-upacara yang berhubungan dengan pemujaan nenek moyang. Upacara-

upacara yang paling penting, akan tetapi seringkali sangat dirahasiakan, adalah

yang berkaitan dengan pusaka yang biasanya berupa keris. Pada waktu-waktu

tertentu, kepala keluarga mengeluarkan pusaka itu dari tempat penyimpanannya,

membersihkannya dengan upacara dan memberinya sesajen, lalu mengembalikan

ke tempat penyimpanannya. Upacara ini biasanya diadakan secara teratur.

Upacara tersebut juga dilakukan apabila dirasa perlunya dukungan kerohanian

dalam situasi-situasi krisis, apabila nenek moyang diminta untuk turun tangan,

atau apabila tampak gejala-gejala tertentu sebagai pertanda bahwa pusaka minta

perhatian.97

Dari penjelasan Koentjaraningrat ini, jelas bahwa dia lebih sreg kalau

Islam Jawa yang disebut oleh Mark R Woodward itu sebagai “Agama Jawi”.

95 Harsja W. Bachtiar, “The Religion of Java: Sebuah Lampiran”, hlm. 534.96 Ibid. 97 Ibid., hlm. 534-535.

71

Menurut penulis, pandangan Koentjaraningrat bisa dipertimbangkan sebagai

wacana bahwa memang ada orang-orang Jawa yang memiliki varian “Agama

Jawa” yang lebih dekat ke Islam, ada yang dekat ke Kristen dan ada yang dekat

ke Budha misalnya, bahkan ada yang kebatinan. Konsep Agama Jawa ini bisa

dipertimbangkan untuk membaca fenomena keberagamaan Jawa.

Bahwa ada orang yang dekat dengan soal Jawa bertradisi Islam seperti

Jawa Islam, lebih senang disebut sebagai Muslim; atau seorang beragama Jawa

yang bertradisi Kristen lebih senang disebut Kristen, adalah hak mereka. Toh

kenyataannya, banyak juga, misalnya kalangan kebatinan yang menyebut mereka

bukan Islam, seperti telah dikutip di atas, seorang abangan yang tidak mau

disebut Muslim, dan seorang abangan yang tidak mau disebut Kristen, adalah

juga hak mereka.

Adanya persoalan seperti ini, karena ikut campurnya negara yang

membatasi agama resmi di Indonesia hanya lima. Di sisi lain, negara

memarjinalkan agama-agama asli dan kecil. Orang-orang Jawa, dengan

sendirinya, terpaksa harus secara formal ber-KTP Islam atau Kristen.

4. “Agama Jawa”: Sebuah Pandangan “Dalam”

Dilihat dari perspektif “dalam” Jawa, apa yang disebut Jawa Islam, Jawa

Kristen atau Jawa Budha adalah sebuah tafsir pembaruan atas “Agama Jawa”.

Bahkan apa yang disebut kebatinan sebenarnya adalah juga pembaruan atas

Agama Jawa yang disesuaikan dengan konteks-konteks zaman modern, tanpa

harus terjebak untuk dekat dengan Islam atau Kristen.

72

Tentu saja dalam hal ini, bisa dikembalikan pada konsep toleransi orang

Jawa yang telah dijelaskan di atas. Orang Jawa atau gagasan agama orang Jawa

bisa berdamai dengan Hindu-Budha pada periode Hindu-Budha, dan bisa

berdamai dengan Islam pada periode Islam, serta bisa menyesuaikan dengan

zaman modern. Apa yang dianggap baik untuk diambil, dalam gagasan Jawa ia

dijadikan bahan sebagai pembaruan atas Agama Jawa. Dari sini, apa yang disebut

“Agama Jawa” adalah proses kreatif penafsiran atas bahan-bahan yang bisa

dijadikan pengkaya bagi “Agama Jawa”.

Dalam posisi itu, Islam, Hindu-Budha, Kristen, dst. adalah bahan-bahan

yang mengkayakan Agama Jawa. Orang Jawa tahu sekali, ketika Hindu Budha

masuk atau Islam masuk, maka berdamai adalah salah satu yang terpenting.

Ajaran toleransi orang Jawa juga memberikan pembenaran itu. Varian-varian

“Agama Jawa”, karenanya ada yang dekat dengan Islam, dengan Kristen, dan ada

yang merevitalisasi diri sebagai Kebatinan.

Mereka yang memiliki bahan-bahan dan dekat dengan kebatinan, mereka

mengembangkan “Agama Jawa” sesuai dengan model kebatinan. Demikian juga,

mereka yang memiliki kedekatan dan bahan-bahan Islam, akan memiliki corak

“Agama Jawa” yang lebih dekat dengan Islam. Ini juga ada dalam konteks Hindu,

Budha, dan Kristen. Bahan-bahan Islam, Kristen. digunakan untuk memperbarui

Agama Jawa.

Jadi, apa yang dikemukakan Mark R Woodward sangat bias dan mencoba

memaksakan apa yang tidak diinginkan oleh sebagian orang Jawa, menjadi Islam

Jawa. Juga apa yang digeneralisasi Geertz dengan abangan dan priyayi yang

73

dianggap Islam, meski tidak taat, adalah bias dan memaksakan sesuatu yang tidak

diinginkan oleh sebagian orang Jawa. Dalam pandangan “dalam”, pikiran

Koentjaraningrat yang melihat itu sebagai “Agama Jawi”, tentu dengan beberapa

variannya, bisa dipertimbangkan.

Dari pandangan “dalam”, maka sebenarnya yang terjadi, bukan Jawa yang

diislamkan, tetapi Islam yang dijawakan sesuai dengan Agama Jawa; bukan Jawa

yang dikristenkan, tetapi Kristen yang dijawakan sesuai dengan pembaruan

“Agama Jawa”; dan kebatinan bukan orang yang tidak beragama, tetapi Agama

Jawa yang mencoba memperbarui diri sesuai dengan konteks zaman. Dengan

sendirinya, penyebutan Islam Jawa atau Kristen Jawa juga tidak pas, karena ia

bias Islam dan Kristen yang mencoba menghilangkan Agama Jawa. Sesuai dengan

pandangan “dalam”, penyebutan yang pas adalah “Jawa Islam”, “Jawa Kristen”,

dst., yang menandai adanya pembaruan Agama Jawa sesuai dengan bahan-bahan

yang dibutuhkan.

Bab V

Penutup

F. A. Kesimpulan

Dalam melihat keberagamaan orang Jawa atau masyarakat Jawa, Clifford

Geertz melihatnya dalam tiga varian: abangan, santri dan priyayi. Abangan

memiliki ritus dominannya adalah slametan, petunjuk-petunjuk dicarikan dari

seorang dukun, banyak dipegangi petani, struktur sosialnya di desa dan

74

mengabaikan ketaatan pada syari’ah Islam. Santri struktur sosialnya di kota,

mempraktekkan syari’ah Islam secara ketat, seperti shalat lima waktu, puasa dan

haji. Sedangkan priyayi menurut Geertz adalah versi halus dari abangan (bab 17

dalam The Religion of Java). Struktur sosialnya adalah elit kraton atau priyayi.

Keberagamannya banyak diartikulasikan dengan simbol-simbol seni, wayang,

gamelan, dst. slametan, dari soal kelahiran, kematian, dst. memiliki kesamaan

dengan abangan. Yang membedakan hanyalah etik dan struktur sosialnya.

Sedangkan Mark R Woodward melihat keberagamaan Jawa dalam dua

varian: Islam mistis dan Islam normatif. Abangan dan priyayi diringkas menjadi

Islam mistis. Menurutnya, slametan dan tradisi-tradisi mereka sebenarnya adalah

jenis tafsir lain dari Islam. Islam mistis berbeda dengan Islam normatif. Yang

terakhir ini melakukan praktek-praktek Islam secara ketat. Dalam konteks

tertentu, ini sama dengan santri dalam tipologi yang dibuat Geertz.

Pandangan keduanya itu ada persamaannya, perbedaan, kelebihan dan

kelemahan, yang di antaranya bisa disebutkan: pertama, soal persamaannya,

keduanya mencoba melihat keberagamaan orang Jawa secara etnografis; sama-

sama membuat tipologi dalam keberagamaan orang Jawa; dan sama-sama melihat

ada entitas keberagamaan orang Jawa yang berbeda dengan Islam normatif dan

santri.

Kedua, soal perbedaan keduanya bisa disebutkan: mereka memilih tempat

melihat keberagamaan orang Jawa tidak sama, di Pare (untuk Geertz) dan di

Jogjakarta (untuk Woodward); berbeda dalam melihat keberagamaan orang Jawa,

yang satu mendasarkan pada struktur sosial (Gerrtz) dan satunya mendasarkan

75

pada kajian penafsiran teks Jawa; dan berbeda dalam hal tipologi yang dibuatnya,

misalnya abangan, santri dan priyayi untuk Geertz, dan Islam mistis dan Islam

normatif untuk Woodward.

Ketiga, soal dalam kelebihannya. Geertz menyuguhkan penelitiannya

dengan data-data lapangan yang melimpah; termasuk orang yang paling awal

dalam membuat tipologi keberagaman orang Jawa; dan dijadikan banyak bahan

analisa untuk pengkaji Jawa dan Islam. Sedangkan kelebihan Woodward adalah:

melihat Islam dan Jawa sebagai pertemuan yang ditafsirkan, dimana Islam

akhirnya menjadi mistis. Jadi, bukan soal tidak taat pada Islam.

Keempat, soal kelemahan dan kritik. Geertz dalam melihat Islam lebih

terpengaruh terhadap mazhab pemurnian, sehingga santri diidientifikasi ke

dalamnya; melihat keberagamaan orang abangan dan priyayi secara minor, karena

menurutnya, mereka tidak taat dalam Islam; varian-varian yang dikemukakannya

dianggapnya masih dalam gugusan Islam, meskipun kurang taat, dan ini

mengacaukan pandangan orang Jawa yang menganggap adanya Agama Jawa.

Sedangkan kritik buat Woodward, juga bisa dilihat dari jurusan terakhir:

Woodward telah melakukan pemaksaan atas pandangannya soal Islam mistis

yang membawahi abangan dan priyayi, dan padahal sebagian orang Jawa, mereka

tidak mau disebut Muslim, tetapi beragama kebatinan, beragama Jawa, meski

harus dipadukan dengan Islam atau Kristen misalnya.

Pandangan keduanya sangat bias luar, bukan perpspektif “dalam Jawa “

yang empatik. Bahwa orang-orang Jawa ber-KTP Islam, karena negara memaksa

mereka untuk mengakui lima agama resmi, dan mereka harus mencantumkan

76

salah satunya. Geertz dan Woodward tidak memiliki sensitivitas atas pandangan

dalam ini.

G. B. Saran-saran

Saran-saran yang patut diberikan setelah melakukan kajian atas dua

pemikir, yaitu Clifford Geertz dan Mark R. Woodward: pertama, dalam mengkaji

keberagamaan orang Jawa, selama ini teramat kuat bias luarnya. Sedikit yang

memberikan rasa empatik atas pandangan dalam orang Jawa. Pandangan luar itu

akhirnya terpengaruh oleh gagasan yang memarjinalkan Agama Jawa. Pandangan

luar, meski tentu saja tidak sepenuhnya jelek, tetapi hasilnya memberikan

pemaksaan yang sangat keras atas sebagain besar orang Jawa yang tidak

terakomodasi dalam pandangan luar itu.

Kedua, dari penjelasan di skripsi ini, penting untuk mempersoalkan

kebebasan beragama, dimana negara hanya mengakui lima agama resmi. Orang

kebatinan dan orang-orang Jawa yang mengakui adanya Agama Jawa, menjadi

sangat termarjinalkan. Padahal, soal agama adalah kebebasan setiap masyarakat

dan orang. Dari sinilah, problem yang dihadapi masyarakat Jawa, dan bisa jadi

bagi agama-agama minoritas dan kecil, adalah soal kebebasan beragama yang

masih tersumbat di ranah kebangsaan, karena negara hanya mengakui lima agama

resmi.

Daftar Pustaka

77

A. Kelompok Al-Qur’an

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, terj. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Kudus: Manara Kudus, 1978.

B. Kelompok Buku

Abu Suud, Ritus-ritus Kebatinan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001.

Benedict R. O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terjemah oleh Revianto dan Luthfi Wulandari, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.

C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristen di Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, t.t.

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemah oleh Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Edward Said, Orientalisme, Bandung: Pustaka, t.t..

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University, 1991.

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Bandung: Mizan, 2003.

Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, terjemah oleh Ahmad Norma Permata, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Cet. II, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

___________, Sejarah Teori Antropologi II, Cet. I, Jakarta: UI Press, 1996.

Kuntowijoya, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana 1987.

Lydia Herwanto, Pikiran dan Aksi Kiai Sadrach: Gerakan Jemaat Kristen Jawa Merdeka, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.

M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998,

M. Murtadho, Islam Jawa: Keluar dari Kemelut Abangan Vs Santri, Yogyakarta: Lapera, 2002.

Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terjemah oleh Hairus Salim HS, Yogyakarta: LkiS, 1999.

78

Niels Mulder, Jawa-Thailan: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, penerjemah Tim Gadjah Mada University Pres. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres, 1983.

___________, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Jakarta: PT. Gramedia, Cet. Ke-II, 1984.

___________, Mistisime Jawa Idiologi di Indonesia, penerjemah oleh Noor Cholis, Yogyakarta: LkiS, 2001.

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1989.

Nouruzzaman Shidiqi, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.

Paul Stange, Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa, penerjemah Tim LkiS, Yogyakarta: LkiS, 1998.

Rahmad Subagya, Agama Asli Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Yayasan Cipta Lokacaraka dan Sinar Harapan, 1981.

Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam dan Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.

Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001.

Sutrisno Hadi, Metodolgi Research. I, Yogyakarta: Fakultas. Psikologi UGM, 1987.

Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta, INIS, 1988.

Zainul Milal Bizawie: Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), Yogyakarta: Samha, 2002.

C. Kelompok Majalah

Arif Budiman, “Mengenal Clifford Geertz dari Dekat”, dalam Intisari, Edisi Februari, 1984.

Benny Subiantoro, “Ilmu-ilmu Sosial Indonesia: Mencari Pendidikan dari Masa ke Masa”, dalam Prisma, edisi II, Februari, 1989.

79

M. Atho’ Mudzhar, “Social History Approach to Islamic Law”, Al-Jami’ah, no. 61, 1998.

80