Diunduh dari 'Fiksi dalam ... · PDF filetengah hidup di tengah kepllngan banjir ke ... batan...

1
'Fiksi dalam leks Sastra Hidup dalam Masyarakat' BOGOR - Kontroversi tentang ke- benaraan fiksi dan terpinggirkannya dunia sastra merebak lagi. Namun, walau bukan merupakan persoalan baru, tapi menurut pengamat sosial DR Ariel Helyanto, perlu dikemukakan kembali terutama untuk me- nganalisis kenyataan kebenaran yang te- ngah terjadi di dalam masyarakat. Pasalnya, menurut Ariel, posisi nilai ke- benaran yang ada dalam masyarakat Indo- nesia kini tengah berada dalam keadaan paradoksal. Sebab, katanya, fiksi yang biasanya hadir dalam berhagai leks atau bacaan karya sekarang maJah terbuk- titelah berbaur dalam kehidupan ma';yara- lffit yang sebenarnya. "Akibatnya pun mencenganghm. Anali- sis keadaan sosial masyarakat Indonesia sekarang adalah sebuah masyarakat yang tengah hidup di tengah kepllngan banjir ke- nyataan fiksi atau kenyataan yang seolah- olaho" ujarnya ketika menyampaikan ma- kalah pada pertemllan ilmiah nasional VII Himpunan Smjana Indonesia (HISKI), di Parung, Selasa malam (3/4). Akibat telah tercampllr aduknya kenyata- an fiksi dan ilmiah itll, maka segala perde·· batan tentang terpinggirkannya (marginali- tas) sastra, juga semakin teras a menjadi pembicaraan yang cukup naif. Sebab, ke- nyataanjustru mcngatakan, kebenaran sas- tra ternyata kini elipakai di mana-mana, baik ilu di bidang politik, ekonomi, teknologi, dan banyak bidang lainnya. "Kehidupan sosial di Indonesia bahkan merupakan Iim- pahan khasanah teks sastra, sastra yang hi- dup. Ncgeri kita kaya fiksi," katanya. [a memberi contoh peristiwa kampanye Pemilu 1992 di Yogyal(aJta. melaku- kan akrobatik konvoi sepeda motor keJi- ling kota dengan suara knalpot meraung- raung. Ketika suatu kali konvoi sepeda mo- tor itu dilarang, orang-orang muda itu mengganti dengan mengendarai becak, sambilmembunyikan rekaman suara knal- pot sepeda motor. "Ttulah kemeliahan 'seakan-akan suara knalpot' dalam acara yang 'seakan-akan Pemilu'. Parajuru kampanye seakan-al<.an mcngobral janji muluk kepada jelata. Ma,sa ini pun bertingkah scakan-akanjanji itu akan dipcnuhi," katanya, "Semua terli- bat scbagai pengarang kolcktif dalaJTI proses kreatif penciptaan sebuah narasi tentang dcmokrasi Indonesia." Tak hanya dalam kehidupan sosial, peng- ajar kajian Asia Tenggara di Universitas Nasional Singapura itu mengatakan, dalam bidang kajian ilmiah teori-teori sastra pun kini telah menempati kedudukan yang sangat pcnting. "Kajian intelektual yang mirip kritik sastra memang kini cukup me- nonjol dan. berlangsung eli berbagai bidang disiplin ilmu. Contohnya pun telah kentara dengan menyebut kecenderungan yang ter- jadi dalam kajian berbagai ilmu," ujamya. Malah, ia juga mengatakan, gejala sastra- nisasi ilmu-ilmu sosial-budaya dalam 20 tahun terakhir merebak di berbagai penjuru dunia. Namun sayant,'11ya, kenyataan terse- but tidak berimbas ke Indonesia. "Sebab, dati kacamata awam kita tidak melihat, pe- ranan pusat-pusat kajian yang secam fornlal disebut "sastra". Kenyataan itu, misaInya, bisa elilihat pada karya ilmiah yang elihasilkan oleh Clifford Geertz, dan Benedict Anderson, yang ter- bukti mampu mengutip dan mengambil ilham dari kerja yang itu akan digunakan- nya untuk tentang gejala sosial yang terjadi diluar,Jel\s sastra. "Walau begitu perlu terlebih dahulu elite- gaskan, bahwa fiksi dan fakta bukanlah sinonim. Dan dalam dunia sastra Indonesia kenyataan ini sekarang mulai bisa dilihat, bila kita mengkaji cerpen-cerpen Seno Gu- mira Ajidarma. Anak muda ini menurut sa- ya cukup berhasilmenyatakan sastra se- bagai dunia kenyataan fiksi yang konkret." Senada dengan Ariel, pemerhati sastra DR Melani Budiman mengatakan, konsep marginalitas sastra tampaknya masih tetap dipertanyakan pengertiannya. Sebab, ke- nyataan yang ada di dalamnya bukan ber- l1iilta tunggal atau sebagai perlawanan ter- hadap yang mercka sebut pusat sastra. "Definisi yang pinggir dengan yang tengahjuga rumit scbab menyangkut berba- gai aspek. Tapi yangjelas, pengertian mar- ginal bisa diartikan dalarn dua tataran, yakni sosiologis dan ide. Dan bila dikaitkan isi, teks yang jadi penyebab marginalisasi itu terdiri atas beberapa alasan, yakni berkait- an dengan mutu, adanya pembelotan, terja- dinya pelanggaran tabu-tabu sosial, atau berkaitan dengan pcrsoalan perbedaan idio- logi," kata Melanie Budianta. Sehingga, katanya, bila bcrcermin pada pendapat Arief; dunia sastra kita sebenamya hams bertcrima kasih, karen a sebenarnya yang digugat dalam polemik sastra margi- nal itu bukan pada tataran dunia ide. "Yang digugat dalam polemik sastra pinggiran, cmperan, pedalaman, dan sebagainya di Indoncsia pada tahun 90-an, adalah tidak meratanya distribusi kekuasaan dalam mengakses dan melembaga- kan norma dan produk budaya.' , Namun, dosen fakultas sastra Indoncsia ini juga mengakui, polemik tra marginal itu, bagi para pekerja budaya, sastrawan, kritikus, dan para pcnikmat seni lainnya, adalah merupakan scsuatu hal yang bemilai positif. "Dan bila suatu waktu hadir karya yang baik, kita sebaiknya se- gem mcmujinya tanpa perlu menunggu ter- lebih dahulu tepukan tangan dati HB atau A Teeuw." uba Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of Diunduh dari 'Fiksi dalam ... · PDF filetengah hidup di tengah kepllngan banjir ke ... batan...

Page 1: Diunduh dari  'Fiksi dalam ... · PDF filetengah hidup di tengah kepllngan banjir ke ... batan tentang terpinggirkannya ... karya ilmiah yang elihasilkan oleh Clifford

'Fiksi dalam leks Sastra Hidup dalam Masyarakat' BOGOR - Kontroversi tentang ke­

benaraan fiksi dan terpinggirkannya dunia sastra merebak lagi. Namun, walau bukan merupakan persoalan baru, tapi menurut pengamat sosial DR Ariel Helyanto, perlu dikemukakan kembali terutama untuk me­nganalisis kenyataan kebenaran yang te­ngah terjadi di dalam masyarakat.

Pasalnya, menurut Ariel, posisi nilai ke­benaran yang ada dalam masyarakat Indo­nesia kini tengah berada dalam keadaan paradoksal. Sebab, katanya, fiksi yang biasanya hadir dalam berhagai leks atau bacaan karya sa~trd, sekarang maJah terbuk­titelah berbaur dalam kehidupan ma';yara­lffit yang sebenarnya.

"Akibatnya pun mencenganghm. Anali­sis keadaan sosial masyarakat Indonesia sekarang adalah sebuah masyarakat yang tengah hidup di tengah kepllngan banjir ke­nyataan fiksi atau kenyataan yang seolah­olaho" ujarnya ketika menyampaikan ma­kalah pada pertemllan ilmiah nasional VII Himpunan Smjana Kesusa~traan Indonesia (HISKI), di Parung, Selasa malam (3/4).

Akibat telah tercampllr aduknya kenyata­an fiksi dan ilmiah itll, maka segala perde·· batan tentang terpinggirkannya (marginali­tas) sastra, juga semakin teras a menjadi pembicaraan yang cukup naif. Sebab, ke­nyataanjustru mcngatakan, kebenaran sas­tra ternyata kini elipakai di mana-mana, baik

ilu di bidang politik, ekonomi, teknologi, dan banyak bidang lainnya. "Kehidupan sosial di Indonesia bahkan merupakan Iim­pahan khasanah teks sastra, sastra yang hi­dup. Ncgeri kita kaya fiksi," katanya.

[a memberi contoh peristiwa kampanye Pemilu 1992 di Yogyal(aJta. Ma~sa melaku­kan akrobatik konvoi sepeda motor keJi­ling kota dengan suara knalpot meraung­raung. Ketika suatu kali konvoi sepeda mo­tor itu dilarang, orang-orang muda itu mengganti dengan mengendarai becak, sambilmembunyikan rekaman suara knal­pot sepeda motor.

"Ttulah kemeliahan 'seakan-akan suara knalpot' dalam acara yang 'seakan-akan Pemilu'. Parajuru kampanye seakan-al<.an mcngobral janji muluk kepada ma~sa jelata. Ma,sa ini pun bertingkah scakan-akanjanji itu akan dipcnuhi," katanya, "Semua terli­bat scbagai pengarang kolcktif dalaJTI proses kreatif penciptaan sebuah narasi tentang dcmokrasi Indonesia."

Tak hanya dalam kehidupan sosial, peng­ajar kajian Asia Tenggara di Universitas Nasional Singapura itu mengatakan, dalam bidang kajian ilmiah teori-teori sastra pun kini telah menempati kedudukan yang sangat pcnting. "Kajian intelektual yang mirip kritik sastra memang kini cukup me­nonjol dan. berlangsung eli berbagai bidang disiplin ilmu. Contohnya pun telah kentara

dengan menyebut kecenderungan yang ter­jadi dalam kajian berbagai ilmu," ujamya.

Malah, ia juga mengatakan, gejala sastra­nisasi ilmu-ilmu sosial-budaya dalam 20 tahun terakhir merebak di berbagai penjuru dunia. Namun sayant,'11ya, kenyataan terse­but tidak berimbas ke Indonesia. "Sebab, dati kacamata awam kita tidak melihat, pe­ranan pusat-pusat kajian yang secam fornlal disebut "sastra".

Kenyataan itu, misaInya, bisa elilihat pada karya ilmiah yang elihasilkan oleh Clifford Geertz, dan Benedict Anderson, yang ter­bukti mampu mengutip dan mengambil ilham dari kerja yang itu akan digunakan­nya untuk menjela~kan tentang gejala sosial yang terjadi diluar,Jel\s sastra.

"Walau begitu perlu terlebih dahulu elite­gaskan, bahwa fiksi dan fakta bukanlah sinonim. Dan dalam dunia sastra Indonesia kenyataan ini sekarang mulai bisa dilihat, bila kita mengkaji cerpen-cerpen Seno Gu­mira Ajidarma. Anak muda ini menurut sa­ya cukup berhasilmenyatakan sastra se­bagai dunia kenyataan fiksi yang konkret."

Senada dengan Ariel, pemerhati sastra DR Melani Budiman mengatakan, konsep marginalitas sastra tampaknya masih tetap dipertanyakan pengertiannya. Sebab, ke­nyataan yang ada di dalamnya bukan ber­l1iilta tunggal atau sebagai perlawanan ter­hadap yang mercka sebut pusat sastra.

"Definisi yang pinggir dengan yang tengahjuga rumit scbab menyangkut berba­gai aspek. Tapi yangjelas, pengertian mar­ginal bisa diartikan dalarn dua tataran, yakni sosiologis dan ide. Dan bila dikaitkan isi, teks yang jadi penyebab marginalisasi itu terdiri atas beberapa alasan, yakni berkait­an dengan mutu, adanya pembelotan, terja­dinya pelanggaran tabu-tabu sosial, atau berkaitan dengan pcrsoalan perbedaan idio­logi," kata Melanie Budianta.

Sehingga, katanya, bila bcrcermin pada pendapat Arief; dunia sastra kita sebenamya hams bertcrima kasih, karen a sebenarnya yang digugat dalam polemik sastra margi­nal itu bukan pada tataran dunia ide. "Yang digugat dalam polemik sastra pinggiran, cmperan, pedalaman, dan sebagainya di Indoncsia pada tahun 90-an, adalah tidak meratanya distribusi kekuasaan dalam memproduk~i, mengakses dan melembaga­kan norma dan produk budaya.' ,

Namun, dosen fakultas sastra Universita~ Indoncsia ini juga mengakui, polemik sa~­tra marginal itu, bagi para pekerja budaya, sastrawan, kritikus, dan para pcnikmat seni lainnya, adalah merupakan scsuatu hal yang bemilai positif. "Dan bila suatu waktu hadir karya sa~tra yang baik, kita sebaiknya se­gem mcmujinya tanpa perlu menunggu ter­lebih dahulu tepukan tangan dati HB Ja~sin atau A Teeuw." • uba

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>