BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI...

130
212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi Muslim Jawa 1 Dan Perspektifnya Dalam Perkawinan Loro Pangkon 1. Konteks Budaya Edward T. Hall membedakan budaya konteks-tinggi (high-context culture) dengan budaya konteks-rendah (low-context culture) yang memiliki beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya. Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah. Komunikasi konteks-rendah penyampaiannya di antaranya melalui pesan verbal dan eksplisit, gaya bicaranya langsung, lugas, dan berterus terang. 2 Komunikasi konteks rendah merupakan komunikasi dengan volume informasi lebih besar dari yang disampaikan. Dapat dikatakan bahwa dalam komunikasi konteks rendah, pesan verbal mengandung banyak informasi dan hanya sedikit yang tertanam dalam konteks atau peserta. 3 Masyarakat Amerika misalnya, dapat dikategorikan sebagai masyarakat dengan komunikasi konteks rendah. Mereka lebih bergantung pada perkataan 1 Suatu pola pikir masyarakat muslim Jawa memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam menerjemahkan kehidupan, khususnya dalam hal pertemuan dua insan manusia yang saling mengasihi serta saling membutuhkan yang terbentuk dalam ikatan perkawinan antara suami istri. Pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya, pertama, dapat melalui benda-benda yang terdapat di alam dengan melabeli sebuah nama Jawa sesuai keadaan benda yang dimaksudkan yakni sesuai manfaat dan kegunaannya, kedua melalui perilaku manusia, ketiga gabungan antara perilaku manusia dengan benda yang dipergunakannya, keempat melalui hasil karya manusia dengan melabeli nama Jawa sesuai fungsinya, dan kelima melalui hal-hal yang bersifat abstrak atau maksud dan tujuan yang diharapkan oleh manusia. Kelima komponen inilah dapat dimaksudkan sebagai epistemologi atau pengetahuan masyarakat Muslim Jawa di Mojokerto dalam adat perkawinan loro pangkon. 2 Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Rosda, 2004), 251. 3 Lihat, Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R., Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.) (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2010) 257.

Transcript of BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI...

Page 1: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

212

BAB VI

PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON

A. Epistemologi Muslim Jawa1 Dan Perspektifnya Dalam Perkawinan Loro Pangkon 1. Konteks Budaya

Edward T. Hall membedakan budaya konteks-tinggi (high-context culture)

dengan budaya konteks-rendah (low-context culture) yang memiliki beberapa

perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya. Budaya konteks-rendah

ditandai dengan komunikasi konteks-rendah. Komunikasi konteks-rendah

penyampaiannya di antaranya melalui pesan verbal dan eksplisit, gaya bicaranya

langsung, lugas, dan berterus terang.2 Komunikasi konteks rendah merupakan

komunikasi dengan volume informasi lebih besar dari yang disampaikan. Dapat

dikatakan bahwa dalam komunikasi konteks rendah, pesan verbal mengandung

banyak informasi dan hanya sedikit yang tertanam dalam konteks atau peserta.3

Masyarakat Amerika misalnya, dapat dikategorikan sebagai masyarakat

dengan komunikasi konteks rendah. Mereka lebih bergantung pada perkataan

1Suatu pola pikir masyarakat muslim Jawa memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam menerjemahkan kehidupan, khususnya dalam hal pertemuan dua insan manusia yang saling mengasihi serta saling membutuhkan yang terbentuk dalam ikatan perkawinan antara suami istri. Pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya, pertama, dapat melalui benda-benda yang terdapat di alam dengan melabeli sebuah nama Jawa sesuai keadaan benda yang dimaksudkan yakni sesuai manfaat dan kegunaannya, kedua melalui perilaku manusia, ketiga gabungan antara perilaku manusia dengan benda yang dipergunakannya, keempat melalui hasil karya manusia dengan melabeli nama Jawa sesuai fungsinya, dan kelima melalui hal-hal yang bersifat abstrak atau maksud dan tujuan yang diharapkan oleh manusia. Kelima komponen inilah dapat dimaksudkan sebagai epistemologi atau pengetahuan masyarakat Muslim Jawa di Mojokerto dalam adat perkawinan loro pangkon. 2Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Rosda, 2004), 251. 3Lihat, Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R., Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.) (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2010) 257.

Page 2: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

213

yang diucapkan dibanding perilaku nonverbal untuk menyatakan pesan. Beberapa

negara yang tergolong menganut budaya konteks rendah adalah Jerman, Swiss,

Skandinavia dan Amerika Utara.4

Sebaliknya, budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi konteks-

tinggi. Dalam komunikasi konteks-tinggi ini seringkali pesan yang disampaikan

bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Mereka yang menganut

budaya konteks-tinggi menganggap konflik berbahaya pada semua jenis

komunikasi.5 Bagi masyarakat yang menganut budaya ini, memandang konflik

harus dihadapi dengan hati-hati. Beberapa negara yang tergolong menganut

budaya ini adalah Amerika Indian, Amerika Latin, Jepang, China, Afrika-

Amerika, Korea, termasuk Indonesia.6 Secara umum, komunikasi di Indonesia

termasuk komunikasi konteks-tinggi. Keengganan untuk berterus-terang pada

komunikasi konteks-tinggi boleh jadi sebagai salah satu perwujudan obsesi untuk

senantiasa menjaga harmoni dengan orang lain.7

Budaya Jawa termasuk dapat dikategorikan sebagai komunikasi konteks-

tinggi, sering masyarakat Jawa dalam menyampaikan pesan-pesannya secara

implisit, dengan harapan tidak menyinggung perasaan orang lain. Kalaupun

mengingatkan orang lain misalnya, dengan paribasan. Masyarakat Jawa boleh

dikatakan dalam berkomunikasi sering menggunakan bentuk “perilaku” (tindakan

tertentu yang menunjukkan suatu isyarat tertentu yang harus dipahami secara

mendalam oleh lawan bicara dalam kebiasaannya atau adat orang Jawa).

4Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R., Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.) (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2010) 258. 5Ibid., 257. 6Ibid., 258. 7Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Rosda, 2004), 251.

Page 3: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

214

Bagi orang lain, orang yang tidak mengerti kebiasaan orang Jawa dalam

bergaul setiap harinya, mereka tidak akan memahaminya. Misalnya bagaimana

orang Jawa ketika akan mengakhiri suatu pembicaraan tertentu dengan lawan

bicaranya, biasanya apabila dirasa pembicaraan itu sudah cukup mereka akan

melakukan bentuk-bentuk tindakan tertentu, dan bagi mereka yang paham

tindakan lawan bicaranya itu dengan sendirinya akan mengakhiri pembicaraan

tersebut, meskipun sebelum lawan bicaranya mengusir atau mendahului dengan

perkataan yang menunjukkan akhir dari suatu pembahasan yang dibicarakan. Hal

itu dimaksudkan untuk menjaga bahwa lawan bicara tidak merasa terusir ketika

komunikasi terjadi dan ketika komunikasi itu dirasakan sudah selesai.8

Demikian pula dalam tradisi perkawinan loro pangkon boleh dikatakan

dalam upacara tersebut banyak melakukan bentuk-bentuk “perilaku” tertentu.

Bagi mereka yang tidak biasa mengetahui dan memahami budaya tersebut tentu

tidak akan mengerti apa yang dilakukan dalam tradisi tersebut, dan mungkin

menganggap sesuatu yang tidak bermakna, padahal bentuk “perilaku” tersebut

adalah sebagai media komunikasi. Dengan demikian budaya Jawa dalam hal ini

boleh dikatakan termasuk dalam kategori sebagai budaya konteks-tinggi (high-

context culture).

2. Pemaknaan Benda dan Peralatan Perkawinan Tradisi perkawinan loro pangkon pada masyarakat Jawa, khususnya di

Desa Kutogirang Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto sampai saat ini masih

dilakukan oleh warganya. Kegiatan itu dilakukan secara terus menerus hingga

8Munadi, Wawancara, Mojokerto, 16 April 2013.

Page 4: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

215

sampai ke generasi saat ini bukan berarti tidak memiliki makna. Para orang tua

pada masa lalu atau para pendahulu melakukan kegiatan tersebut tentunya

memiliki maksud dan tujuan yang diharapkan. Tradisi itu dapat bertahan dan

masih dilestarikan, kegiatan tersebut menunjukkan apa yang mereka lakukan

membawa manfaat dan berimplikasi bagi kehidupan mereka.

Dalam perkawinan loro pangkon, masyarakat muslim Jawa di Mojokerto

masih menonjolkan tradisi-tradisi leluhurnya. Dalam setiap kegiatan apapun

bentuknya, mereka tidak ketinggalan melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang

pernah dilihat sebelumnya sesuai dengan apa yang dilakukan orang tuanya secara

turun-temurun. Mereka dalam melakukan suatu perbuatan disesuaikan dengan

maksud dan tujuannya. Tidak lupa pula dibarengi dengan cara-cara tertentu yang

bila dilihat dengan konteks atau keadaan saat ini dimungkinkan perbuatan yang

mereka lakukan di luar nalar, mereka yang beranggapan demikian dapat dikatakan

belum memahami tradisi Jawa dengan baik dan benar. Dapat pula mereka yang

menganggap perbuatan masyarakat muslim Jawa di luar nalar disebabkan

pemahaman mereka sebatas pemahaman teks, pemahaman luarnya, masih belum

menyentuh isi dan kandungannya. Meminjam istilah Clifford Geertz belum

sampai pada (thick description) yaitu catatan tebal atau makna berlapis yang ada

dalam suatu budaya.9 Untuk menyelami maksud dan tujuan serta makna yang

diharapkan dalam perkawinan tradisi loro pangkon yang berkaitan dengan hal-hal

yang dipergunakan dalam hal perlengkapan maupun sarana dan prasarana

perkawinan berikut ini pemaparannya.

9Adam Kuper, Culture (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 98.

Page 5: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

216

a. Kirab (pawai mengelilingi Desa)

Dalam peristiwa pertemuan manten yang terjadi di Dusun Mendek

Desa Kutogirang yang peneliti amati sebagaimana didokumentasikan,

mulanya mempelai putra berangkat dari rumahnya yang berada di Desa

Glatik, yang berjarak 7 sampai 8 kilo meter dari rumah mempelai

perempuan (antara Desa Glatik dengan Desa Kutogirang). Bila perjalanan

ditempuh dengan motor mebutuhkan waktu 8-12 menit.

Ketika awal berangkat mempelai putra diikuti oleh serombongan

keluarga dekat dan tetangganya yang berjumlah tidak lebih dari 120 orang.

Sesampai di tempat tujuan mempelai putra dipersiapkan sejenak untuk

dirias disesuaikan dengan busana mempelai putri yang sebelumnya sudah

dipersiapkan oleh perias untuk didandani (dirias secantik mungkin oleh

perias dengan menggunakan busana adat Jawa) agar serasi yaitu busana

berwarna kuning seperti dapat dilihat dalam dokumentasi dan lampiran.

Setelah dirasa cukup barulah kedua mempelai menaiki kereta kuda

(bendi), kemudian dikarak (diantar) untuk mengelilingi Dusun Mendek

Desa Kutogirang yang dikawal oleh seorang kusir (pengendara bendi)

yang sudah profesional, ia berjalan di depan bendi untuk menuntun dan

mengendalikan kudanya agar berjalan sedang-sedang saja. Di belakang

kereta ada seorang pria yang membawa payung untuk menaungi kedua

pengantin agar tidak tersengat matahari.

Sambil memegangi tali kendali kuda, pak kusir terlihat agak susah

juga menuntun kudanya, sebab di sekeliling bendi itu dikerumuni

Page 6: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

217

masyarakat yang menyaksikan kemeriahan kedua pengantin itu. Jumlah

masyarakat yang menyaksikan cukup banyak, kira-kira lebih dari seribu.

Orang tua, remaja, muda-mudi, anak-anak, dan dewasa tumpek blek turut

menyaksikan karak-karakan manten (menonton sambil berjalan mengikuti

perjalanan kedua mempelai) mengelilingi desa. Setelah dirasa sudah cukup

mengelilingi satu dusun tersebut maka usailah arak-arakan itu dan kedua

mempelai turun dari kereta kuda (bendi) kemudian mempelai putri balik

ke halaman teras berhenti sejenak dan mempelai putra masih tetap di

tempat dia turun dari kereta kuda sambil menunggu prosesi temu

manten.10

Menurut pandangan salah seorang warga Dusun Mendek yang

berjualan di warung kopi sebelah gang selatan dari rumah pengantin

wanita, masyarakat Mendek sudah terbiasa menyebut dengan panggilan

Bu Muk, ia mengatakan dengan nada ketus (mencibir). Penjual warung

kopi itu mengatakannya,“kegiatan muter-mutere manten nang ndeso

ngunuiku iso diarani pamer, ndodohno kesugihane, gumbedene” (kegiatan

arak-arakan pengantin mengelilingi desa bisa dikatakan pamer,

memperlihatkan kekayaannya, kesombongannya).11

Berbeda dengan pandangan seorang penjual di warung kopi,

menurut salah seorang peternak lembu, ketika sedang mencari rumput dan

sempat penulis wawancarai, ia mengatakannya sebagai berikut.

10Lihat dokumentasi, dan lihat pula lampiran. 11Mu’alimah, Wawancara, Mojokerto, 15 Desember 2012.

Page 7: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

218

“Diadakannya kegiatan arak-arakan yang demikian itu, kita hendaknya berpikiran sebaik mungkin, jangan berprasangka buruk-apalagi sebagai orang Jawa, sebaiknya memperbanyak saudara, mongsoh siji kakean-konco sewu ketitiken (satu orang lawan terlalu banyak-seribu teman terlalu sedikit). Hendaknya kita jangan mencari permusuhan walaupun satu orang, dan lebih baik mencari lebih banyak teman atau persaudaraan. Selain itu, maksud diadakan arak-arakan itu adalah untuk mempersiarkan atau mengumumkan kepada masyarakat meskipun tidak pakai woro-woro yang berarti bahwa si Farida sudah punya status bersuami, janganlah mengganggunya sebab sudah ada yang punya, berbeda bila masih bujang, bercanda mungkin tidak mengapa. Kalau sekarang perlu ada batas-batasan meskipun bercanda sebab sudah bersuami. Selain itu, maksud arak-arakan dapat diartikan, kita sebagai masyarakat hendaknya dapat membantu mereka yang punya hajat dengan bowoh (suatu pemberian dapat berupa barang seperti beras, gula atau yang lain dan dapat pula berbentuk uang) sebab orang punya hajat pernikahan itu biayanya mahal, apalagi saat ini barang-barang sedang naik.”12 Dari wawancara dengan kedua warga masyarakat Dusun Mendek

Desa Kutogirang dapat dipahami bahwa dari pihak yang pertama,

penilaiannya relatif miring (negatif). Sedangkan dari penilaian berikutnya

bahwa maksud arak-arakan pengantin memiliki penilaian yang cukup logis

dan masuk akal. Dapat dipahami bahwa arak-arakan pengantin itu

mempunyai tujuan yang mulia, pertama dapat diartikan sebagai tanda

mewartakan kepada khalayak jika seorang gadis desa yang bernama Farida

telah bersuami. Kedua dapat diartikan sebagai ajakan untuk saling

mengasihi atau tolong menolong antar sesama bagi mereka yang memiliki

hajat, apalagi dalam hal pernikahan sebab biayanya cukup tinggi. Ketiga,

12Jupri, Wawancara, Mojokerto, 18 Desember 2012.

Page 8: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

219

dapat pula dimaksudkan sebagai ajang tali persaudaraan untuk menghadiri

ke tempat mereka yang memiliki hajatan pernikahan putranya.

Senada dengan pemaknaan kirab, dalam pandangan Islam bahwa

dalam perkawinan hendaknya dilaksanakan walimatul urusy yang dapat

diartikan dengan mengumumkan sebagaimana pernah dilakukan oleh

Rasulullah ketika menikahi Zainab. Demikian pula Rasulullah juga

menganjurkan pelaksanaan walimatul urusy minimal dengan menyembelih

seekor kambing sebagaimana ketika menganjurkan kepada Abdurrahman

bin ‘Auf seperti hadits berikut. شاة و ب م ول ول أ

“Laksanakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.”13 Pernikahan dalam pandangan Islam sebagaimana dianjurkan oleh

Rasulullah hendaknya perlu disiarkan kepada khalayak, yaitu mengundang

tetangga sekitarnya dan masyarakat pada umumnya. Tujuan dari siar ini

adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, yakni menjaga fitnah

dari pandangan masyarakat. Terutama bagi mempelai putri hal ini sangat

rawan apabila diketahui berduaan dengan seorang pria yang bukan

mukhrim atau suaminya di tempat yang sunyi sebagaimana syari’at Islam

diharamkan. Demikian pula pandangan masyarakat Jawa apabila seorang

wanita yang senantiasa membawa seorang laki-laki dengan berganti-ganti

pasangan, pada umumnya wanita yang demikian dianggap sebagai wanita

yang kurang baik. Sehingga dalam pemaknaan kirab bagi masyarakat Jawa

13Hadits riwayat al-Bukhari, Kitab an-Nikah, (16/154, no. 4769)

Page 9: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

220

sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian syari’at Islam

mempertegas pandangan masyarakat Jawa dalam hal perkawinan, salah

satunya yaitu diadakannya kirab mengelilingi desa dan walimatul urusy,

yang memiliki maksud sebagai siar dan pewartaan kepada masyarakat

umum untuk menjaga fitnah serta menjaga hubungan sosial

kemasyarakatan yang lebih baik.

b. Hasil Bumi

Mulai awal hingga akhir perkawinan tradisi loro pangkon,

rangkaian acara kegiatannya cukup banyak. Tempat kegiatan prosesi acara

pernikahan, apakah yang dilaksanakan di rumah mempelai putri atau di

hotel berbintang misalnya, atau gedung pertemuan, dalam acara

pernikahan adat Jawa umumnya masyarakat masih menggunakan hasil-

hail bumi sebagai syarat-syarat tertentu dalam pemakaiannya. Hasil-hasil

bumi itu dapat berupa tumbuh-tumbuhan dapat pula berupa binatang.

Sebagaimana dapat disaksikan dalam dokumentasi bahwa dalam

mendirikan sebuah terop dihiasi dengan janur, di sisi kiri dan kanan terop

dihiasi dengan pohon pisang, sampai hal-hal terkecil tidak lepas dengan

penggunaan benda-benda atau tanaman hasil bumi sebagai simbol-simbol

tertentu.

Budaya tanah Jawa di dalamnya masih menyimpan sejuta

keindahan dan keagungan yang tetap dipegang teguh oleh masyarakatnya.

Hal ini bisa dilihat dalam upacara pernikahan yang penuh makna dan unik

Page 10: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

221

seperti dalam tradisi perkawinan loro pangkon. Beragam tradisi dan tata

cara pernikahan menjadi bagian dari adat masing-masing wilayah. Berikut

prosesi tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat Muslim Mojokerto

yang umum dilakukan oleh masyarakatnya dengan menggunakan simbol-

simbol hasil bumi.

Budaya Jawa juga dikenal sangat dipengaruhi oleh tradisi

keratonnya. Dalam perkawinan yang berlatar belakang budaya ini banyak

sekali simbol-simbol budaya dan hiasan yang memiliki makna tertentu

yang berasal dari tradisi keraton tersebut. Latar belakang budaya Islam

yang diusung dalam sebuah perkawinan turut pula menyumbangkan

pengaruhnya.

Di antara simbol-simbol yang berasal dari hasil bumi adalah

rangkain janur/ bleketepe kuning dipasang di gerbang atau pintu masuk

tempat acara resepsi. Dari pemasangan ini diharapkan akan hilang suatu

kemungkinan yang tidak diinginkan, dan sebagai pertanda bahwa adanya

pernikahan yang akan berlangsung di rumah tersebut. Janur juga dapat

dimaknai dengan “jalarane nur” atau bahwa rumah tangga sebagai sarana

untuk menghadirkan cahaya “pepadang” dalam sebuah kehidupan.14

14Munadi, Wawancara, Mojokerto 8 April 2013. Selain menjadi guru SMA, ia merupakan praktisi dekorasi. Ia menambahkan, simbol-simbol dan hiasan dalam pernikahan Jawa-Islam merupakan kekayaan budaya yang kaya makna. Selain janur, terdapat pula kembar mayang merupakan rangkaian yang dibuat dari bermacam daun dan banyak ornamen dari janur yang dirangkai dan ditancapkan pada potongan pohon anak pisang. Dari janur dibuat ornamen berbentuk tugu-tuguan/gunungan, uler-uleran, keris, manukan, dan pecut. Sementara macam daun yang digunakan adalah daun beringin, andong, gondoroso, dan mayang jambe. Ornamen berbentuk tugu atau gunung melambangkan simbol sosok laki laki yang (harus) penuh pengetahuan, pengalaman dan kesabaran. Ornamen seperti keris memberikan makna bahwa pasangan pengantin hendaknya

Page 11: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

222

Senada dengan hadits Rasulullah saw., seorang suami yang akan

menikahi seorang wanita, dia adalah laki-laki yang sudah siap lahir dan

batin sehingga akan mendatangkan kebaikan dalam keluarga sebagaimana

hadits berikut.

اذا اراد هللا باھل بیت خیرا فقھھم : عن انس قال رسول صلى هللا علیھ و سلم

و القصد في , رزقھم هللا الرفق في معیشتھمو, و وقر صغیرھم كبیرھم, في الدین

.و اذا اراد هللا غیر ذلك تركھم ھمال. و بصرھم عیوبھم فیتوبوا منھا, نفقاتھم

رواه الدارقطني

Dari Anas RA, telah bersabda Rosulullah SAW. : ” Apabila Allah SWT. ingin menghendaki kebaikan pada sebuah rumah tangga, maka Allah SWT. akan mengkaruniakan keluarga tersebut kepahaman terhadap agamanya, orang yang kecil di keluarga akan menghormati yang besar, Allah SWT. akan mengkaruniakan kepada mereka kemudahan dalam penghidupan mereka dan kecukupan dalam nafkahnya, dan Allah akan menampakkan aib dan keburukan keluarga tersebut kemudian mereka semua bertaubat dari keburukan tersebut. Jika Allah SWT. tidak menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah SWT. akan biarkan begitu saja keluarga tersebut (tanpa bimbinganNya).15

Selain simbol janur, terdapat pula pohon pisang yang diletakkan di

sebekah kiri kanan gapura atau pintu masuk tempat resepsi. Lebih

diutamakan jika buah pisang yang dipasang tersebut telah matang. Di

antara makna yang dikandung adalah bahwa suami hendaknya menjadi

kepala keluarga di tengah kehidupan bermasyarakat. Seperti pohon pisang

berberhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana laksana sebuah keris. Ornamen uler-uleran merupakan simbol keajegan bergerak dalam hidup terutama dalam keluarga dan lingkungan. Ornamen seperti pecut memberikan dorongan untuk sikap energik, cepat berpikir dan mengambil keputusan untuk menyelamatkan keluarga. Sedangkan ornamen seperti burung melambangkan motivasi tinggi untuk kehidupan. 15Hadits riwayat Ad Daruquthni. Lihat pula HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037.

Page 12: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

223

yang bisa tumbuh baik di manapun dan rukun dengan lingkungan,

diharapkan keluarga baru yang dipimpin suami ini juga akan hidup

bahagia, sejahtera dan rukun dengan lingkungan sekitarnya.16

Dekorasi atau background hiasan pernikahan adalah sebuah kwade

yang terdiri dari sebuah rono (krobongan) dengan lebar sesuai dengan

kapasitas ruangan. Hiasan bunga hidup atau palsu melengkapi keindahan

rono yang ada. Jika memungkinkan, taman dan air mancur sering pula

ditambahkan di depan rono. Pemilihan bentuk dekorasi dan warnanya turut

menentukan corak dan warna pakaian yang akan dikenakan oleh pengantin

dan keluarganya.17

c. Karya Manusia

Pada saat acara jemuk penganten (mengambil penganten)

berlangsung, kedua penganten mengenakan pakaian kebesaran

kanalendran Solo seperti layaknya seorang raja dan ratu. Pengantin pria

memakai baju hitam beskap bludru lengkap dengan keris dan kuluknya

(topi tinggi khas raja jawa), atau jika terpaksa seperti tinggi badan yang

lebih dan tidak seimbang dengan pengantin wanita, maka ia menggunakan

blangkon. Hiasan tambahan yang dikenakannya adalah dasi kupu-kupu,

kalung dan bros dari roncen bunga melati. Pengantin wanita juga memakai

baju bludru Solo putri dengan gelungan dan hiasan rangkaian bunga melati

16Mbah Wakim, Wawancara, Mojokerto, 16 April 2013. Ia menjelaskan kembali bahwa cengkir gading atau kelapa kecil berwarna kuning, melambangkan kencang dan kuatnya pikiran baik, sehingga diharapkan kedua mempelai akan dengan sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencinta. 17Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013.

Page 13: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

224

di rambut dan tiba dada (roncen melati yang menjuntai dari gelungan

rambut terus ke dada) di dada sebelah kiri. Nuansa gebyar, “menyala”

(warna mencolok), dan mewah biasanya sangat nampak untuk

membedakan pengantin dengan yang lainnya.18

Pakaian orang tua (ayah) kedua pengantin adalah pakaian kejawen

berupa beskap lengkap dengan angkin, sabuk, dan kerisnya. Kain (jarit)

adalah motif truntum yang bermakna harapan masa depan yang cerah.

Pakaian ibu pengantin adalah kebaya dengan angkin sindur. Kain yang

dipakai sama dengan para bapak, yakni motif truntum. Ketika acara

resepsi berlangsung dilakukan kirab temanten dan selanjutnya rombongan

berjalan menuju ruang ganti untuk lukar busana (ganti pakaian) yang

bernuansa mataraman dan lebih santai. Seluruh “rombongan” yang terdiri

dari patah, domas, manggolo, dan kedua pasang bapak-ibu turut berganti

pakaian dan menyesuaikan dengan corak yang dipakai kedua pengantin.

Menurut perias Ibu Hajjah Ninik Arifin, tren pakaian pengantin

dan “keluarga” nya suatu ketika pernah dengan memakai busana Jawa

muslim. Tren itu sangat nampak pada pengantin wanita, para ibu

pengantin, patah, dan domas. Pengantin wanita memakai jilbab melati

dengan daleman (lapisan di bawah jilbab) berwarna hitam seperti rambut

18Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013.

Page 14: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

225

atau warna kuning. Para wanita selain pengantin wanita memakai

kerudung dengan rambut tetap digelung.19

Musik kebogiro dan syrakalan, dengan lantunan musik kebogiro

yang dipergunakan mengiringi keseluruhan prosesi ritual adat diharapkan

menambah kehidmatan dan kesakralannya. Pemilihan musik “kebogiro,

ladrang wilujeng, iromo satunggal” merupakan “bedah rangkah” atau

pembuka acara selamatan atau resepsi. Di samping itu, musik syrakalan

sering pula diperdengarkan untuk menggantikan kebogiro atau

diperdengarkan sebelum kebogiro.20

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa aspek simbol-simbol dan

hiasan pada perkawinan memiliki makna yang cukup kaya dan mendalam.

Kekayaan budaya ini hanya akan berupa simbol dan hiasan kosong jika

tidak ada upaya untuk mensosialisasikannya. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja seperti perias, modin,

dan praktisi dekor yang memahami makna-makna tersebut. Pemahaman

yang baik ini pada gilirannya akan memberikan tuntunan yang cukup bagi

kedua mempelai dan masyarakat dalam mengarungi kehidupan keluarga,

di samping mengarahkan dan mengendalikan upaya-upaya modernisasi

dan “penyederhanaan” terhadap kekayaan budaya dalam panggih temanten

agar tidak terkesan “lepas” dan sekenanya.

19Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013. 20Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 15Nopember2012.

Page 15: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

226

Panggih temanten dalam perkawinan dengan adat Jawa-Islam

memiliki “pakem” tertentu baik dalam ritual adat, susunan acara resepsi,

maupun hiasan dan simbol yang digunakan. Dalam perkembangan terakhir

didapati adanya upaya penyesuaian terhadap kemajuan zaman dan

efisiensi waktu dalam penyelenggaraan. Penyederhanaan ritual adat

dilakukan dengan “pemangkasan” ritual. Sedangkan penyederhanaan

dalam resepsi dilakukan dengan penggabungan antara beberapa acara

seperti atur mangayu bagya (sambutan selamat datang) dengan atur

panampi menjadi satu acara.21

d. Sesaji

Masyarakat Jawa percaya pada suatu kekuatan yang melebihi

segala kekuatan yang dikenal dengan kasekten, arwah atau ruh leluhur,

makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit serta jin

lain yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut

kepercayaan, masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan

kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, keselamatan, tetapi sebaliknya,

dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan

kematian. Apabila seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia

harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan

21Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013.

Page 16: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

227

berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan

makanan tertentu, berselamatan, dan bersesaji.22

Sebagai suatu bentuk upacara dalam tradisi perkawinan loro

pangkon, maka kehadiran sesaji tak bisa dilepaskan dari pelaksanaannya.

Sesaji dianggap penting karena merupakan media pengantar komunikasi

antara sang pemohon dengan unsur yang dituju. Sesaji merupakan

perlengkapan upacara mutlak, ada yang dapat menentukan terkabul atau

tidaknya permintaan sang pemohon. Semakin lengkap sesaji tentu semakin

besar kesempatan permintaan untuk dapat terkabul. Sesaji berfungsi

sebagai simbolisasi serah terima, sebagai suatu syarat dikabulkannya

sesuatu permintaan yang ditujukan kepada wujud tertinggi atau kekuatan

di luar diri sang pemohon. Secara garis besar, sesaji dalam tradisi

perkawinan loro pangkon terdiri dari beberapa macam meliputi hasil

pertanian yaitu pisang, kelapa, dan bunga. Mengingat begitu pentingnya

kehadiran sesaji, maka tidak semua benda dapat dijadikan sesaji.

Pemilihan sesaji didasarkan atas tujuan tertentu, sehingga benda yang

digunakan untuk bersesaji mengandung makna tertentu yang bersifat

sanepo (simbolis).23

22Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), 347. 23Mbah Wakim, Wawancara, Mojokerto, 16 April 2013. Ia menambahkan, sesaji itu berfungsi agar keinginan sohibul hajat dapat terkabul yaitu agar semuanya selamat tiada rintangan apapun, apakah keluarga mempelai putri maupun mempelai putra, juga kedua mempelai. Keselamatan dari mereka yang ikut bodo (orang yang ikut membantu sohibul hajat), masyarakat dan keberlangsungan acaranya dengan lancar. Di samping itu biasanya permintaan sohibul hajat agar suasana ketika berlangsung cuacanya cerah, tidak ada hujan yang biasanya ditunggui oleh seorang pawang hujan beberapa saat oleh pawang di terop. Selain itu harapan sohibul hajat agar para tamu

Page 17: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

228

Sesajen juga merupakan penyerahan sajian terhadap makhluk

halus, hal ini sebagai kepercayaan orang Jawa, biasanya dalam tradisi

perkawinan, sesajen ditempatkan di tempat-tempat tertentu seperti di

kamar mempelai pengantin, di dapur, di ruang tengah, di ruang tamu, di

sebelah tempat kwade atau krobokan tempat duduk mempelai bersanding,

dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat (angker) agar tidak

mengganggu jalannya pernikahan. Harapannya jalannya prosesi

pernikahan dari awal hingga akhir dapat berjalan sukses, demikian pula

sebelum dan sesudah acara pernikahan harapannya sekeluarga

memperoleh keselamatan dari Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan).24

e. Selamatan

Menurut Kodiran, selamatan digolongkan menjadi enam macam

sesuai peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yaitu:

(1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh

bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh

tanah pertama kali, sunat, upacara kematian, dan setelah kematian; (2)

selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian,

dan setelah panen padi; (3) selamatan berhubungan dengan hari-hari serta

bulan-bulan besar Islam; (4) selamatan pada saat-saat tidak tertentu,

berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti melakukan perjalanan jauh,

yang diundang dapat hadir semua dengan harapan perolehan buwuhan (uang amplop) semakin banyak begitu pula barang-barang bawaan dari ibu-ibu yang biasanya membawa gula pasir dan beras juga semakin besar yang didapatkan. 24Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013. Lihat juga Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(Jakarta: Djambatan, 2007), 348.

Page 18: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

229

menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau

sembuh dari sakit, dan lain sebagainya.25

Dalam tradisi perkawinan loro pangkon masyarakat Jawa di

Mojokerto senantiasa tidak melupakan beberapa periode selamatan.

Mereka melakukan selamatan pra-nikah biasanya, pertama adalah pada

saat adek tratag (mendirikan terop) cukup kecil-kecilan mengundang

antara 15 sampai 20 orang ketika 3 hari atau seminggu sebelum

pelaksanaan pernikahan berlangsung. Kedua, adalah selamatan untuk

menyambut acara ijab qabul, biasanya dilakukan sebelum pernikahan

berlangsung, yaitu sehari sebelum pelaksanaan pernikahan, waktunya

biasanya malam hari menjelang esoknya akan mengadakan ijab qabul.

Ketiga, selamatan pada hari “h” dengan mengadakan walimatul urusy

(walimahan) yang mengundang banyak tamu termasuk tetangga dekat

serta tamu dari rombongan mempelai putra dan tamu undangan yang lain.

Keempat, selamatan pasca nikah yaitu selamatan mbubrah tratag

(membongkar terop) sehari setelah hajatan usai. Kelima, adalah selamatan

sepasaran yaitu lima hari setelah acara ijab qabul, dan keenam, adalah

selamatan selapanan yaitu biasanya dilaksanakan setelah tiga puluh lima

hari setelah ijab.26

25Lihat, Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), 347-348. 26Tisno, Wawancara, Mojokerto, 20 April 2013. Dalam penjelasannnya selanjutnya, ia mengatakan kegiatan selamatan tersebut agar mulai awal hingga akhir kesemuanya mendapatkan keselamatan tiada rintangan yang menghalanginya, meskipun terkadang ada hal-hal yang tidak diinginkan, minimal kami dapat mengatasinya dengan selamat pula, begitu pula terutama untuk

Page 19: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

230

3. Serah Terima (Beso’)

Adanya tradisi perkawinan loro pangkon di Mojokerto tidak lepas dari

tradisi masyarakat Mojokerto yang masih memegang teguh norma-norma agama,

norma-norma adat, dan memegang nilai-nilai moral yang sampai saat ini masih

dipertahankan. Tradisi perkawinan loro pangkon yang hingga kini dapat

disaksikan ketika ada hajatan pernikahan untuk seorang gadis yang masih

perawan. Dalam arti seorang gadis tersebut belum pernah dijamah atau

berhubungan secara langsung layaknya suami istri dengan seorang pria, demikian

pula sang laki-laki pun merupakan seorang perjaka atau belum pernah menikah.27

Tradisi seperti itu merupakan kebanggaan masyarakat, sebab dengan

mengadakan kegiatan tradisi perkawinan loro pangkon menunjukkan suatu

kehormatan bagi orang tua karena dapat menjaga anak gadisnya yang masih

perawan, dan mengakhirinya sampai mendapatkan jodoh seorang perjaka.

Demikian pula putrinya yang dapat melewati masa keperawanan hingga ke

pelaminan merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi orang tua, bagi

si gadis sendiri, keluarga besarnya, tetangga dan masyarakat yang mencitrakan

suatu masyarakat yang harmonis. Masyarakat yang dapat menjaga unggah-

kedua pengantin agar memperoleh keselamatan dan lancar di dalam kehidupannya dalam membina rumah tangga. Kalau dibilang ribet, ya memang ribet orang Jawa itu, tapi yang diinginkan adalah keselamatan, semua orang hidup tentunya banyak masalah, tentang selamatan bila memang memiliki rejeki lebih tidak mengapalah, tidak usah dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, semua itu adalah uri-uri leluhur kita, sesuatu yang mulya mengapa harus ditinggalkan. 27Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013. Lihat juga catatan kaki no. 13, Bab I.

Page 20: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

231

ungguh, memahami aturan adat, masyarakat seng nduwe dugo ( masyarakat yang

memiliki moral).28

Dalam daur kehidupannya, manusia mengalami apa yang disebut dengan

siklus kehidupan, secara garis besar, siklus kehidupan manusia bisa dibedakan

menjadi empat bagian utama yaitu, kelahiran, menginjak remaja, perkawinan dan

kematian. Dalam melewati masing-masing fase ini, manusia pada umumnya

mengalami apa yang biasa disebut dengan krisis kehidupan atau masa transisi.

Tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk melewati masa itu tanpa

merasakan adanya goncangan dalam kehidupan kesehariannya. Karena berbagai

alasan itulah, maka pada umumnya beberapa daerah di Jawa, terutama di

Mojokerto mempunyai upacara adat yang bertujuan untuk menetralisir

kegoncangan tersebut.

Upacara ini bisa dilihat antara lain, pada upacara melepas seorang gadis

dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pada masa transisi ini, untuk

menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan biasanya setiap orang tua

melaksanakan upacara sederhana yang tujuannya sebagai pertanda bahwa anak

gadisnya sudah mulai menjadi "bunga". Selain itu, dengan mengadakan sedikit

28Kasir, Wawancara, Mojokerto, 19 Nopember 2012. Menurut Bapak Kasir dalam masyarakat kita (ia agak malu menyebutkan desanya, tetapi sebagian masyarakat mengetahuinya) terdapat daerah-daerah tertentu yang terkenal dengan sebutan seorang gadisnya banyak yang keperawanannya dipertanyakan. Oleh karena itu menurutnya, apabila mau memperistri atau mencari jodoh di desa yang terkenal dengan julukan desa bojoku-bojomu (seringkali terjadinya pergaulan bebas) agar berhati-hati dalam memilih gadisnya, ojo tuku kucing njero karung (jangan membeli kucing di dalam kantong yang terbuat dari bahan tanaman goni/ maksudnya jangan memilih seorang gadis yang belum jelas keperawanannya). Jadi, menjaga seorang anak gadis sampai ke pelaminan adalah kebanggaan yang tiada tara bagi orang tua hal ini merupakan kebanggaan tersendiri, sebab hal ini merupakan harkat dan martabat orang tua, terutama wong Jowo seng ngerti dugo (orang Jawa yang memiliki moral).

Page 21: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

232

selamatan, diharapkan para leluhur sudi memberikan restunya terhadap anak

gadisnya agar bisa mendapatkan jodoh yang baik, memudahkan rejeki dan

sebagainya.

Demikian pula untuk melepaskan seorang anak dalam suatu perkawinan.

Sebagian orang berkata bahwa dengan kawinnya seorang anak berarti si anak

harus sudah bisa mandiri, tidak lagi bergantung pada orang tua, baik dari segi

finansial atau materi maupun dari segi kekuatan moril artinya setelah

melangsungkan perkawinan seorang anak diharuskan dapat memecahkan

persoalan kehidupan tanpa bantuan orang tuanya lagi. Walaupun syarat ini di

beberapa daerah tidak terlalu ketat berlaku, namun tidak berarti bahwa orang tua

melepas anak ke lembaga perkawinan tanpa beban yang berat.29

Salah satu cara untuk menyiapkan anak memasuki dunia perkawinan

adalah dengan membekali kekuatan terutama dari segi spiritual. Untuk itulah di

Kabupaten Mojokerto, Dusun Mendek Desa Kutogirang, Kecamatan Ngoro ini,

mempunyai beberapa upacara khusus yang tujuannya antara lain untuk

menyiapkan anak memasuki perkawinan. Tentu saja dengan harapan agar

perjalanan anak dalam mengarungi kehidupan yang baru bisa lancar tanpa

29Rusminingsih, Wawancara, Mojokerto, 19 Nopember 2012. Ia menambahkan, nduwe anak perawan ngunu ibarate ancek-ancek eri, nek gak ati-ati bakal ketujes. Dadi kudu isok ati-ati nek mancek eri, mangkane dadi wong tuwo seng nduwe anak perawan utowo genduk, arep nang endiae genduk ikumau-wong tuwo kudu pesen-pesen nang genduk, iso’o njogo awak, bergaul ambek sopo wae kudu ati-ati. Iso’o njogo keluargane, agomo ojo dilalekne, kabeh ben selamet ora ono opo-opo. (Memiliki anak perawan itu ibaratnya berdiri di atas duri, jika tidak berhati-hati akan tertusuk. Jadi haruslah berhati-hati ketika berdiri atau menginjak di atas duri, makanya jadi orang tua yang punya anak perawan (genduk, orang tua menjuluki kepada anak gadisnya), mau ke mana saja si gadis tersebut-orang tua memberikan perhatian dan berpesan kepada si gadis hendaknya bisa menjaga citra diri, bergaul dengan siapa saja harus waspada. Dapat menjaga harga diri keluarga, agama jangan dilupakan, agar semuanya selamat tiada rintangan apapun).

Page 22: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

233

halangan suatu apapun. Perkawinan khas daerah Mojokerto biasa disebut "Loro

Pangkon" atau "Jago Loro Pangkon", disebut demikian karena sebelum

memasuki upacara temu, pengantin pria datang dengan diawali seseorang yang

membawa seekor jago. Jadi seolah-olah pengantin diibaratkan seekor jago yang

sedang mendekati ayam betina. Loro berarti dua, melambangkan dua orang

manusia, sedangkan Pangkon (pangku/ memangku) merupakan simbol bersatunya

kedua orang tersebut dalam ikatan perkawinan.30 Dalam memahami makna tradisi

perkawinan loro pangkon di Kabupaten Mojokerto ini, akan diuraikan bagaimana

masyarakat memaknai tradisi tersebut sesuai pemahaman masyarakat muslim di

Mojokerto, berikut ini pemaparannya.

a. Sawung (Jago)

Masyarakat muslim Jawa Mojokerto dalam memahami tradisi loro

pangkon terhadap makna sawung (jago) memiliki suatu makna yang sesuai

dengan pemahaman mereka bahwa makna sawung (jago) merupakan

simbol kejantanan seorang laki-laki. Seseorang yang hendak menikah,

kejantanan sang laki-laki sangat diperlukan, laki-laki yang jantan

diharapkan dapat memberikan keturunan yang baik, keturunannya banyak,

dapat membimbing keluarga, membimbing anak-anak dan istrinya.

Apalah gunanya apabila seorang suami meskipun terlihat tampan

dan ganteng (berwajah bagus), tetapi dia tidak jantan, tidak dapat

memberikan keturunan, hal ini akan sia-sia saja. Sebab orang berumah

30Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013. Lihat juga catatan kaki no. 13 bab I.

Page 23: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

234

tangga bertujuan untuk mendapatkan keturunan atau momongan (anak),

selain itu, dapat menjaga pandangan agar seorang laki-laki menjadi

tentram, begitu pula seorang istri diharapkan dapat menjadi penentram

bagi dirinya dan suaminya, dan anak-anaknya.

Sebab ada suatu kasus seorang istri memiliki seorang suami yang

tampan wajahnya, akan tetapi dia tidak dapat nduding (menunjuk dengan

jari telunjuk-julukan orang Jawa menyebut orang laki-laki yang fungsi

kelaki-lakiannya kurang sempurna/ impoten), akhirnya terjadilah

perceraian suami-istri tersebut. Sebab fungsi kelaki-lakiannya tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan kecemasan bagi

istri dan tidak memberikan kebahagiaan bagi istri. Di samping itu,

menyulitkan mendapatkan keturunan.

Simbol boneka jago dalam tradisi perkawinan loro pangkon

dihadirkan dalam seremoni perkawinan tersebut bukanlah sekedar hiasan,

akan tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam bila mampu memahami

dan menyelami apa yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, simbol

yang dihadirkan dalam tradisi tersebut harapannya juga dapat berfungsi

sebagaimana realita yang ada dalam kehidupan. Seorang laki-laki yang

disimbolkan dengan jago harapannya juga harus dapat menjadi pejantan

yang siap bertarung di ranjang dan dapat memberikan keturunan yang

Page 24: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

235

banyak bagaikan pejantan jago. Jadi, ibaratnya jago yang perkasa siap

melindungi siapa saja.31

Sebagaimana dalam dialog antara pembawa boneka jago yaitu

Pakde Kuntet dengan Bapak Lamono, dalam dialog tradisi perkawinan

loro pangkon di Dusun Mendek Desa Kutogirang, simbol huruf x

merupakan sang pembawa boneka jago yaitu Pakde Kuntet (wakil dari

mempelai putra), simbol huruf y menunjukkan Bapak Lamono (wakil

mempelai putri). Dialognya sebagai berikut.

X=nggeeh… kulo wau sak derenge mlebet wonten ing mriki madyo kuntoro mriki, enten ngajeng wonten tulisan, derek...! (Iya... saya tadi sebelum masuk ke tempat ini kampung sini, di depan terdapat tulisan, wahai saudara...!)

Y=Mangsute tulisan???(maksud tulisannya???) X=Tulisane kok ditulis enten bangkon sawung saroto yudo....(Tulisannya

terdapat tulisan bangkon sawung saroto yudo....) Y=Keliru... saking mocone... masi mulai pertigaan Ngoro tekok kono nek

tulisan yo Tisno lan Damiyati.... (Salah... membacanya mungkin... jika dilihat mulai dari pertigaan Ngoro tikungan bahwa tulisannya adalah Tisno dan Damiati....)

X= Hohohohohooh... nggeh... wah... nggeh...nggeh.... ((Hohohohohooh... iya... waaah iya... iya....)

Y=looo niku loo sampean tingali.... (Lihatlah anda perhatikan....) X=Pundise...??? Nggeeeeh... nggeh... nggeh... sawung saroto yudo a...!

(Mana...??? Iya... iya... iya... sawung saroto yudo a...!) Y=niku maknane! (Itulah maknanya!) X=Mangkane kulo mriki... mbeto sawung.(Makanya saya ke sini... membawa

sawung.) [sawung: ayam jago] Y=nggeeh nuwun sewu mboten wonten seng diwastani bangkon saroto yudo,

nggeeh niki!. (Iya permisi tidak ada yang dinamakan bangkon saroto yudo, inilah!)

X= Nopo…panjenengan meniko aget bangkon adu petek tarung?(Apakah diri anda mampu mengadu ayam?)

Y=Ngeten....(Begini....) X=nggeeh... nggeh... nggeh....(Iya... iya... iya....)

31Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012.

Page 25: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

236

Y=Mulane kulo wadani bangkon saroto yudo, bangkon panggonan, saroto iku petek, yodo tarung....(Makanya saya namakan bangkon saroto yudo, bangkon adalah tempat, saroto adalah ayam, yudo adalah pertarungan....) [bangkon saroto yudo: tempat pertarungan ayam]

X= laaa, niku mangkane kulo mbeto jago…! (Nah, karena itu saya membawa jago...!)

Y= Jago sampean niki lanang? (Jago anda ini jantan?) X=nggeeeh…la jago kok mboten lanang...! sampean gadah sawung???

(Benar... jago ya jantan...! anda memiliki sawung???) Y=nggeeh… nyuwun sewu....(Iya... permisi dulu....) X=nggeeeh… nggeh... nggeh....(silahkan... silahkan... silahkan....) Y= petek kulo wedok e’…! (ayam saya betina...!) X=ooooohhh…ngateen... ulese nopo derek? (ooooohhh... begitu... ulese

[warna bulunya] apa saudara?) Y=seeee…kulo incenge looo...wiring kuning (coba... saya perhatikan secara

cermat... wiring kuning) [wiring kuning: ayam jago yang kakinya kuning] X=ooooo…wiring kuning, nggeeeh (ooooo... wiring kuning, iya) Y=wiring kuning(wiring kuning) X=candrane derek? (Candranya saudara?) [candra/ condro: wujud

keberadaan dari sesuatu hal] Y=oooh nek candarane…luweh rupo kurang condro (oooh kalau candranya...

lebih memiliki warna kurang condro) X=emmmm…nggeeeh... nggeh... nggeh. (emmmm... iya... iya... iya.) Y=hebat nooo....(Hebat kalau begitu) X=nggeeh… nggeh... nggeh kadose jembel sumpel jalu keplek buntut papat,

mripate dos pundi derek? (Iya... iya... iya sepertinya jembel sumpel jalu keplek ekornya empat, matanya bagaimana saudara?)

Y=wo nek mripate nek miturut ucape wong kuno ma kuno biyen... (Wo jika matanya kalau menurut ucapan orang-orang kuno jaman dahulu...)

X= ngeeeh... nggeh... nggeh. (Iya... iya... iya) Y=nak putuku wong bagus,engkok nek besok menowo ditinggalsedo embah

nek ngingu pitek golek’o seng motone ombo jarene lo,hahahhhahah…lo sampeyan tingali sawung kulo (Nak cucuku orang yang tampan, nanti kalau suatu waktu apabila ditinggalkan embah meninggal maka jika memelihara ayam carilah ayam yang matanya lebar demikianlah pesannya, hahahhhahah... coba anda perhatikan ayam saya)

X=nggeeh... nggeh... nggeh. (Iya... iya... iya) Y=nek jembele sumpel. (Jika jembelnya sumpel) X= nggeeh... nggeh. (Iya... iya) Y=jalune kepek,nek nopo wau? (jalunya kepek, apa yang tadi?) X=buntute…? (Ekornya...?) Y=mboten gadah nek buntut (tidak memiliki ekor) X=nggeeh (Iya)

Page 26: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

237

Y=nek bokong…waah semoook,entene bokonge semok (Jika pantat punya... waah semook, adanya pantatnya semok)

X=oooh nggeeh... nggeh. (oooh iya... iya) Y=ooh mboten kliru pokoe nek ngingu pitek kulo,wes kenek diyakinno nek

dereman nek ndelok mripate... hahahhahaa…mbook nek mengaran nernak ngunu ae gak rugi. (ooh tidaklah salah apabila memelihara ayam saya, sudah dapat diyakinkan mau menerima apa adanya kalau diperhatikan dari matanya... hahahhahaa... kalau menernak gitu tidaklah rugi.)

X= nggeeeh… nggeh soale kulo sangking sugih waras wau beto poro wadio bolo..nggeeeh dipun wastani widodoro lan widodari (Iya... iya soalnya saya dari Sugihwaras tadi membawa para saudara... ya dapat dikatakan widodoro lan widodari)

Y= mindorodo(Mindorodo) Y+X=mindoradi,….yu ngatmo,bojone yu ngatmi. (Mindoradi,... yu Ngatmo,

istrinya yu Ngatemi) X=ooooh yok nopo ndiko iku (Ooooh bagaimana anda ini) Y=pinten cacahe pengereng sampeyan niku (Berapa jumlah pengikut anda

saat ini) X=pinten namung setunggalatos sekawan doso sekawan (berapa cuma seratus

empatpuluh empat orang) Y=oooh nek niki kulo total nggeeh enten lek rongatus derek…mpon goroh

talah,dadi kulo sediyone mpun sampek kekurangan cek mboten ngecewaaken sampeyan (oooh kalau saya perhatikan jumlahnya ada dua ratus saudara... janganlah membohongi, jadi yang saya sediakan janganlah sampai kekurangan supaya tidak mengecewakan anda)

X=oooh ngoten,nggeeeh... nggeh... nggeh ngapunten menawi wonten lepate, la meniko panjenengan menawi tangglet ulese wong.... (oooh demikian, iya... iya... iya mohon maaf apabila terdapat kesalahan, demikian pula jika anda menanyakan ulese [warna bulunya] saudara....)

Y=Jelase ditakokno,wong ngingu pitek kok katek gak ditakokno,nopo ulese pitek sampeyan?? (sesungguhnya harus ditanyakan, memelihara ayam mengapa tidak ditanyakan, apa ulese [warna bulunya] ayam anda??)

X=niki kengeng dipun wastani monco warno (Inilah yang dapat dikatakan monco warno)32

Simbol boneka jago dalam tradisi perkawinan loro pangkon apabila

diterangkan satu-persatu memiliki makna yang begitu luas, mulai dari

keberadaan kepala boneka jago yang terdiri dari mata, telinga, jembel, dan

paruh, sampai ke dalam bagian badan serta kaki. Semua keadaan jago yang

32Lihat, lampiran hal. 7-12.

Page 27: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

238

ada biasanya diterangkan satu persatu, karena sesuatu hal, waktu yang

membatasi sehingga dialog terkadang juga dipersingkat.33

b. Peralatan rumah tangga

Seseorang yang hendak bepergian ke suatu tempat yang menjadi

tujuannya setidaknya memerlukan suatu bekal. Ketika perjalanan yang

dituju itu adalah suatu tempat yang jauh, membutuhkan waktu berhari-

hari, dan medan yang ditempuh itu jalannya cukup terjal serta berkelok-

kelok, tidak mungkin begitu saja tanpa ada persiapan. Bila tanpa

persiapan, resiko yang didapatkan cukup membahayakan baginya. Orang

yang demikian bepergian ke suatu tempat tanpa bekal, atau tanpa tujuan

berarti sama dengan orang yang bunuh diri.

Melihat perjalanan yang ditempuh itu penuh dengan resiko, maka

orang yang hendak bepergian ke suatu tempat yang menjadi tujuannya,

hendaknya sebelum berangkat menyiapkan perbekalan yang cukup. Begitu

pula peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam perjalanan agar

perjalanannya menjadi lancar dan sampai ke tempat tujuan, peralatan yang

menjadikan kemudahan dalam perjalanan pun juga perlu dibawa dan

dipersiapkan, sehingga arah tempat tujuan yang hendak dicapainya dapat

dilalui dengan singkat, cepat, dan selamat.

33Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012.

Page 28: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

239

Demikian pula orang berumah tangga, dalam mengarungi rumah

tangga laksana kapal mengarungi samudera, di samudera terdapat angin

dan ombak terkadang kecil kadang anginnya kencang dan gelombangnya

besar. Apabila dalam mengarungi samudera tersebut tidak memiliki bekal

yang cukup serta peralatan yang lengkap, hal tersebut dapat menyebabkan

kapal itu karam dan tenggelam. Oleh karena itu dalam berumah tangga

harus dipersiapkan dengan matang, baik material maupun mental spiritual.

Dengan segenap kesabaran, kesanggupan, dan kesiapan segalanya hal ini

akan memperkecil resiko yang terjadi, sehingga apabila terdapat

gelombang yang besar, minimal dapat mengatasinya.34

Sebagaimana tradisi perkawinan loro pangkon yang terjadi di

Dusun Mendek Desa Kutogirang, peralatan serta barang bawaan yang

dibawa oleh keluarga besar mempelai putra tidak lain adalah merupakan

bekal dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang akan dilaluinya.

Semua barang bawaan itu memiliki makna atau merupakan simbol, dan

nasehat bagi kedua mempelai, maupun seluruh masyarakat, terutama bagi

mempelai berdua dan bagi pemuda dan pemudi yang akan menjalani

rumah tangga. Biasanya barang bawaan yang diperbincangkan dalam

dialog loro pangkon adalah perlengkapan peralatan dapur, sebagaimana

yang pernah dilakukan Bapak Sunaryo dan Bapak Denan dalam dialog

loro pangkon berikut.

34Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013.

Page 29: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

240

N: Enggeh… enggeh… terus seng dibeto nopo mawon ? (Iya… iya... terus yang dibawa apa saja?)

D: Katah… kelebu ngeten-ngeten niki (banyak..kayak seperti –seperti ini) N: Enggeh (Iya…) D: Ket ngarep sampek mburi gawane katah tapi yo onok seng kari, (Dari

depan sampai belakang banyak tapi masih ada saja yang ketinggalan ) N: Ngotena…? (Begitu yaa?) D: Jodang! (Jodang!!!) N: Looo… enggeh… enggeh… enggeh. (Looo…Iyaa…iya…iya…) D: Nggeh… nggeh. (Iyaa..iya) N: Jane niku penting niku (Sebenarnya itu penting sekali) D: Enggeh… enggeh (Iya…iya) N: Enggeh… terus seng dibeto ngarep lincip niku wau nopo? ( Iya…terus

yang dibawa depan lancip itu apa?) D: Lincip niko waua, tumbak ajining pangucap! (Lancip itu tadi, tumbak

ajine pembicaraan!) N: Tumbak ajining…. (Tumbak ajining....) D: pangucap (Pembicaraan) N: Oooh…. (Oooh....) D: Tumbak empon dipun wastani wesi aji, duduk wesine seng diaji-aji, tapi

ucape! (Tumbak bukanlah diartikan dengan besi aji, bukan besinya yang dijadikan pegangan, tapi ucapannya )

N: Ngaten nggeh ( Begitu ya) D: Jam siji teko meriki, jam siji pas mpon teko meriki !!!! (Jam satu sampai

sini, jam satu pas sudah sampai di sini!!!!) N: Ngaten nggeh(Iyaaa…iya….) D: Enggeh, perkoro telat empun lumrah, mergo manten iku gak ijen (Iya,

masalah terlambat sudah biasa, soalnya pengantin itu tidak sendirian) N: Enggeh… enggeh, terus wonten kaleh wau nopo ,nggene ngarep kembar

nopo wau? ( Iyaa…iya, terus ada dua tadi apa, di depan kembar apa tadi?) D: Arane kembang mayang! ( Namanya Kembang Mayang ! ) N: Kembang mayang! (Kembang Mayang!!!) D: Eenten seng ngarani kembar mayang (Ada yang menamakan Kembar

Mayang) N: Maksude yok nopo? (Apa maksudnya) D: Maksude kembar mayang kemanten loro podo senenge (Maksudnya

Kembar Mayang, dua pengantin sama sukanya) N: Ooo… ngaten ta… enggeh… enggeh. Nggeh niku maksude kembar

mayang (Oooo…begitu yaa…Iyaa…iyaa,yaaa itu maksudnya kembar mayang)

D:Enggeh ( Iyaaa…) N: Terus seng mburine wau enten seng dipikul barang... (Terus yang

belakang tadi apa? Ada yang dipikul segala )

Page 30: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

241

D: Iku seng diarani kembang mayang, kembang mayang iku pituture wong tuwo “mbesok ae nak, koen masio onok kono, ono kene ojo dadi kembang lambene tonggo iso’o nggawe kembang kebecikan, kene’o digawe conto ngoten” (Itu yang dinamakan kembang mayang, kembang mayang itu nasehat orang tua, “di hari esok [masa yang akan datang] wahai anakku, kamu walaupun berada di manapun tempat, berada di sana,di sini jangan menjadi buah bibirnya tetangga, kalau bisa menjadi buah bibir yang bagus, supaya bisa menjadi tauladan)

N:Enggehpancene (Iya memangnya) D: Enggeh (Iya….) N:Enggeh… enggeh… enggeh, terus enten maleh seng di…

nikuwau…dipikul?kelopo ta nopo wau nopo wau (Iya…iya...iya…, terus ada lagi yang di…itutadi ,dipikul…kelapa ya,apa itu tadi?)

D: Ah… kelopo nikuwau wonten gandengane mestine wonten gedange, rehne nggeh wong pancene mboten tau nggeh mboten ngerti tasi’an, nggeh pangapunten nggeh…. La niku seng diarani kelopo, macem kembange kelopo imanmu seng kenceng, ambek wong wedok, biyen katok opo, saiki ketok opo, saiki tresno sampek mbesok yo seneng (Ah...kelapa itu tadi gandengannya harus ada pisangnya,kesini yaa ..namanya orang belum pernah kesini ya masih belum ngerti, yaa minta maaf yaa..laa itu yang dinamakan kelapa,mancem kembangnya kelapa imanmu yang lurus dengan orang perempuan ,dulu kelihatan apa..sekarang kelihatan apa,sekarang senang sampai besok-besok ya senang)

N: Oooh… ngaten nggeh. (Oooh... begitu ya) D: Enggeh (Iya) N: Nggeh enggeh (Iya iya) D: engkok ndang saiki seneng mene-mene nduwe anak loro telu mpon la….

(Nanti jangan-jangan sekarang senang nanti punya anak dua,tiga sudah…la....)

N: Mpon sampik ngaten niku … terus wonten seng di beto embak wau lo… gulungan nopo? (Jangan sampai begitu….terus ada yang dibawa tadi loo…gulungan apa?)

D: Keloso bantal (Tikar bantal) N: Keloso bantal, damel nopo se? (Tikar bantal, buat apa yaa?) D: Arane nggendong putu, lemeono tri warah bantalono pitutur (Namany

Gendong cucu,Alaskan tri warah bantalkan nasehat) N: Oooh ngaten…( Ooooh..begitu…) D: Enggeh kewajibane (Iyaa kewajibannya ) N: Ono maksude nggeeh (Ada maksudnya yaa) D: Nggeh enggeh dek (yaa…iyaa dek) N: Oh nggeh… enggeh, terus seng sampeyan gendong moyong-moyong niku

nopo? (Oh ya…iyaaa, terus yang kamu gendong kesana kemari itu apa?) D: Arane sawung roro pangkon! Lak niki lak gawan, iki gawan kulo niki

(Namanya Sawung Roro Pangkon! Laa ini kan bawaan,ini bawaan saya )

Page 31: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

242

N: Oooh enggeh niki lak gawan (Ooooh iya ini tadi kan bawaan ) D: La niki wau mpon melebu dikengken kaleh Bapake pranoto adi coro,

kapureh didalaken, enten maksude dek iki dek! (La ini tadi sudah masuk disuruh sama Bapaknya sebagai pranata acara, kapurnya dikeluarkan,ada maksudnya ini dek !!!!)

N: Niki ta? ( Ini ya?) D: He eh…. Enggeh ( He hehe… iyaa ) N: Maksude nopo niki ? ( Maksudnya apa ini?) D: Bubak kawak (Bubak Kawak) N: Bubak kawak! (Bubak Kawak) D: Enggeh! (Iyaa…) N: Yok nopo maksude? (Apa maksudnya?) D: Bubak iku anyar kawak lawas, ngenyarno barang seng lawas (Bubak itu

baru,kawak lama, memperbaharui barang yang lama) N: Ooh…. (Ooh....) D: Seng wes y owes seng durungae ayo diati-ati (Yang sudah ya sudah,yang

belum ayo dihati-hati) N: Ngaten nggeh (Begitu ya) D: Enggeh! (Iya) N: Nggeh… nggeh… nggeh, terus seng didamel mekul niku lak enten

jenenge? (Ya…ya…ya…, terus yang dibuat mikul itu kan ada namanya? ) D: Arane ongkek (Namanya Ongkek) N: Nopo? (Apaa????) D: Ongkek (Ongkek ) N: Ongkek! (Ongkek !!) D: Enggeh (Iyaa…) N: Oooh enggeh… nggeh. Terus maksude yok nopo? (Oooh iyaa…yaa,Terus

maksudnya apa?) D: maksude ongke niku ngeten dek, jare wong biyen niku nek pariane ludruk,

“tuku sapu meleh seng dowo golek iwak nang Kenjeran” (Maksudnya Ongkek itu begini dek, kata orang dulu itu kalau paribahasa ludruk, “membeli sapu memilih yang panjang buat cari ikan di Kenjeran )

N: Nopo niku? (Apa itu ?) D: Ojo digugu gunem seng olo mundak-mundak dadi gegeran (Jangan

disanjung perkataan yang buruk bisa-bisa nanti jadi pertengkaran) N: Oh ngaten tah (Oh begitu ya) D: Nggeeh…dadi seng enak-enak mawon (Iyaa..jadi yang enak-enak saja) N: Enggeh… enggeh tapi niku lo kok tek crentel ngaten yok nopo niku?

(Iyaa…iyaa, tapi itu loo kok pada bergantungan itu gimana?) D: Oh macem-macem (Ohh bermacam-macam) N: Oh….(Oh....) D: Ono iyan, gantine niki tempeh, enten dandang, mpun katah nopo mawon

(Ada iyan, gantinya itu tempeh, ada dandang, sudah banyaak apa saja…)

Page 32: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

243

N: Seng niki lo seng di gecoi abah wau lo nopo niki? (Yang ini lo… yang dipegangi abah tadi apa ini?)

D: Oh… niku eler! (Oh…itu kipas !) N:Nopo? (Apa?) D:Eler! (Kipas!) N: Eler! Maksude eler niku nopo? (Kipas! maksudnya kipas itu apa?) D: Eler sak derange melebu mriki wau mpon kulo silir-silir disek (Kipas

sebelum masuk kesini tadi saya mencari informasi dulu) N: Maksude melebet niku…. ( Maksudnya masuk itu….) D: Aa… sak derenge kulo sowan mriki mpon kulo silir-silir disek

(Aa….sebelum saya berkunjung ke sini sudah saya mencari informasi dulu)

N: Ooo… ngatena ( Ooo…begitu ) D: Enggeh, cocok pernah nggeh, setuju la baru …nggeh (Iyaaa, cocok pernah

iyaa, setuju teruus baruuu…iya) N: Oooh ngaten maksude eler! (Oooh begitu maksudnya kipas!) D: Enggeh (Iyaa…) N: Terus wonten maleh eros niku yok nopo? (Terus ada lagi eros itu

gimana?) D: Eros, kulo budal meriki ketemu kaleh konco nikiwau , abahe nikiwau…

teng pundi wak nan ? kulo niki neruse omongane adek sampeyan Farid nikilo, mriku lo teng Tameng (Eros, saya berangkat ke sini bertemu dengan teman tadi, abahe itu tadi..kemana pak nan? Saya ini meneruskan omongannya adik kamu Farid tadi loo, ke situ loo ke Tameng)

N: Ooo… (Ooo...) D: Nerusaken… nembung (Melanjutkan pembicaraan) N: Eros niku! (Itu yang dinamakan eros!) D: Eros… (Eros) N: Nerusaken (Melanjutkan) D: Enggeh (Iya) N: Oh ngatena…, terus wonten maleh seng ombo niku iyana? (Oooh…begitu

…,terus ada lagi yang lebar itu apa iyan?) D: Iyan! (Iyan!) N: Nopo maksude iyan niku? (Apa maksudnya iyan itu?) D: La niki wonten tempeh, gantine iyan, gak iso nggawe bekne

heh…heh…heh. Iyan niku mpun diterusi meriki podo setujune diiyani (La ini ada tempeh, gantinya iyan, tidak bisa membuatnya kelihatannya... heheheh….,iyan itu sudah diteruskan kesini sama-sama setujunya di iyakan)

N: Oooh…. (Oooh....) D: Enggeh, mpon kulo terusi meriki, kulo mantok, yok nopo Pak? O iyi nak

wes diiyani wes oleh, nggeh (Iyaa, sudah saya terusi ke sini, saya pulang, bagaimana pak ? O… iya sudah diiyakan sudah disetujui, iya)

N: Maksude iyan niku? (Maksudnya iyan itu?)

Page 33: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

244

D: Enggeh (Iya) N: Oh enggeh, wonten maleh seng sewor niku yok nopo? (Oh iya, ada lagi

yang gayung itu apa?) D: Sewor, bareng wes diiyani di suwur-suwurno, tanggane seng cidek

dikandani bolone seng adoh diwarahi, koncone kabeh diundangi, disuwor-suworno la… kapan dino jemuah legi lak ngatena! Tanggal telu wulan besar (Gayung, sesuatu yang sudah diiyakan di sebar-sebarkan, tetangga dekatnya diberitahu, sanak familinya yang jauh diberitahu, temannya semua di kasih undangan, di sebar-sebarkan, jika…kapan hari Jum’at Legi, begitu kan…!!! Tanggal 3 bulan besar )

N: Ngatena (Begitu) D: Enggeh, (Iya) N: Maksude sewor niku (Maksudnya gayung itu) D: Enggeh, disuwur-suwurno (Iyaa disebar- sebarkan) N: Niki wonten maleh nopo niki, dandang nggeh? (Ini, ada lagi apa ini?

Dandang ya?) D: Ancene karepe manten loro (Memang minat kedua pengantin) N: Nopo’o? (Kenapa?) D: Kok, gak ndang-ndang se, kapan tanggal songolas (Kok, tidak segera

dilaksanakan se, kapan tanggal sembilan belas) N: Kok cik gupue, iyo (Kok terburu amat, ya) D: Kok gak ndang-ndang, bengi iku kok cik suwene, awan kok gak bengi-

bengi se (Kok lama banget siiih, malam itu kok lama banget, siang kok tidak segera malam)

N: Niku maksude dandang, Oh nggeh… nggeh, terus wonten niku lo wajan niku? (Itu maksudnya dandang, ooh iya yaa.., terus ada lagi itu loo wajan itu? )

D: Wajan, wadah mpon panas-panas wajan iku kanggo pemanasan, ngetengno barang seng mentah (Penggorengan, tempat yang sudah panas, penggorengan itu buat pemanasan, menanakkan sesuatu yang mentah/ belum masak)

N: Oooh…. (Oooh....) D: Ojo grusa-grusu (Jangan terburu-buru) N: Ngoten (Begitu) D: Engkok ndang akeh uwong ngene, engkok bengi-bengiae nak, nek sepi

wong… mpon gopoh-gopoh, mene ditotokno meneh, sementara iki betah-betahno (Nanti jangan –jangan banyak orang begini, nanti malam-malam saja nak, kalau sepi orang.. jangan buru-buru besok diteruskan lagi, sementara ini disabarkan dulu)

N: Enggeh…nggeh (Iya...iya) D: Enggeh (Iya) N: Terus enten maleh niki lo (Terus ada lagi ini loo…) D: Nopo’o?(Kenapa?)

Page 34: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

245

N: niki nopo se semunggo ngaten lo niki lo?-[sambil memegang barang yang ditunjuk] (Ini apa se seumpamanya gitu?)

D: Oh… niku gantine kemaron (Ooooh…ini gantinya kemaron) N: Kemaron! (Kemaron) D: Enggeh (Iya) N: Maksude kemaron yok nopo? (Maksudnya kemaron itu apa?) D: Kemaron, karepe kemanten loro karon-karonan, podo karepe, saiki

diganti panci (Kemaron, kemauan kedua pengantin inginnya berduaan, sama maunya, sekarang diganti panci)

N: Ngaten nggeh ( Iyaaa yaa) D: Nek oleh koyo wong wedok ojo di taki dodohno kabeh, ojo katek selep…

(Kalau dapat gaji orang wanita itu jangan dijatah perlihatkan semua, jangan diselipkan sendiri)

N: Mboten kados sampeyan (Jangan seperti kamu..) D: Nggeh encene kulo wong retune pinter ngentet, hehhh heh… (Iyaa emang

saya orang pinter menyelipkan) N: Diselempetaken nggene koplok-koplok, (disembunyikan di kopyah-

kopyah) D: La nggeh…( La iyaa…) N: Nggeh…nggeh, niku maksude kemaron, enten wajan niku yok nopo?

(Ya… ya, itu maksudnya kemaron, ada wajan itu gimana ?) D: Nikuwau nopo mpon sampean takokaken. (Itu tadi sudah kamu tanyakan) N: Wajan! (wajan ! ) D: Mpon ( Sudah ) N: Oh… mpona wajan wau (Ooooh..sudah ya wajan tadi) D: Kari sutile, (Tinggal sutilnya) N: Enggeh sutil… sutil (Iya sutil…sutil ) D:Yo gak serok yo gak sutil ….engkok nek gak damel japet, kudu melok yo

gak kudu kentel (Ya tidak serok ya tidak sutil…nanti kalau tidak buat japet, harus ikut ya harus nempel)

N: Yok nopo? ( Bagaimana ??) D: Mergo peno koyok niki [sambil menunjukkan pantat…berkentut… dus]…

ha…ha… ha…. (Soalnya kamu kayak ini..) N: Haaa… ha… ha… ha (Haaa... ha... ha... ha....) D:La wong wedok ngaten sawangane ngoten kendel! (La orang perempuan

ini kelihatannya seperti itu berani!) N: Ngoten nggeh? (Begitu ya?) D: Enggeh! Mangkane ojo sembrono Rid, urip ono kene bojomu sembrono

wah …. (Iya! Makanya jangan teledor Rid, hidup disini dengan istrimu sembarangan waahhh…)

N: Looh… la niki nopo mpon kulo celoloi … nikulo wonten kados sepopell niku lo nopo? (Looh…la ini apa sudah saya perhatikan… barang yang seperti pistol itu apa?)

D: Hulek! (Hulek!)

Page 35: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

246

N: Nopo? ( Apa ?) D: Hulek! (Hulek!) N: Lo nek nggen kulo niku hulek-hulek e’ (Lo kalau ditempat saya itu hulek-

hulek) D: Yo nek loro, wong iku mek sitok, hulek (Ya kalau dua, wong ini cuma

satu, hulek ) N: Nek setunggal niku hulek!Oalah nggeh… nggeh… nggeh, niku damel nopo

ngoteniku? (Kalau satu itu hulek! Ooooh ya…ya…ya…, buat apa benda seperti itu?)

D: Oooh pengeruwesan dek (Oooh Pengeruwesan dek) N: Pengeruwesan! ( Pengeruwesan!!) D: Pengeruwesan (Pengeruwesan) N: Oooh umpami wonten Lombok moro…. (Ooooh seumpama ada cabe

datang…) D: Yo dikeruwes (Ya dikeruwes ) N: Enten terasi moro…. (Ada terasi datang) D: Dikeruwes (Dikeruwes) N: Enten uyah moro ngoten (Ada garam datang begitu..) D: Yo dikeruwes (Ya dikeruwes) N: Umpamane morotuwo moro ngoten ??? (Seumpama mertua datang gitu

???) D:Ayo keruwesen ngunu, engok cek’e ditotok he…he… he… he…. (Ayo

keruwesen gitu, nanti biar dipukul…he…he…he…he…) N: He… he… he… he… he…, nggeh… nggeh… nggeh. Niku hulek-hulek!

(He…he…he…he…he, ya…ya…ya…itu hulek-hulek !!! ) D: Hulek! (Hulek!) N: Terus wonten maleh wau lo? (Terus ada lagi tadi lo?) D: Nopo? (Apa?) N: Niki lak empon telasa niki (Ini kan udah habis ya) D: Nggeh tasek nek sampeyan gelem takon (Yaa ada kalu kamu mau

bertanya) N: Endi se? (Yang mana se?) D: Mpon, sampeyan takon (Sudahlah, kamu bertanya) N: Wakol, wakol niku lo? ( Wakol, wakul itu loo? ) D: Wakol wadahe sego, la ngatena… seng nyesekae, engkok nek wes

disesekae mari dikei sego (Bakul tempatnya nasi, la begini loo... harus terus mendesak, nanti kalau sudah didesak setelah itu dikasih nasi)

N: Ooo… ngatena ( Oooo..begitu ) D: Enggeh! (Iya!) N: Niku wakol! (Itu bakul!) D: Nggeh… nggeh… nggeh.( Iya…ya…ya.) N: Terus seng niku wau lo kepingin tanglet gedang nopo? (Terus yang itu

tadi lo kepingin Tanya pisang apa itu?)

Page 36: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

247

D: Oooh gedang… wateke wong wedok dek (Oooh pisang…wataknya orang perempuan dek)

N: Wateke wong wedok yok nopo se? (Wataknya orang perempuan bagimana?)

D: Mangkane wong wedok niku ngaten, sakeng Mohamad Farid dereng kulino kudu dikandani arek niku (Makanya orang perempuan itu ya begitu, masalahnya Mohammad Farid belum terbiasa, dia harus diberitau orang lain)

N: Terus dikandani yok nopo? (Terus diberitahu seperti apa?) D: Nek mangan gedang ….( Kalau makan pisang ) N: Nggeh! (Iyaaa…) D: Yo kudu koyok wong wedok mau contone (Ya harus kayak orang

perempuan tadi contohnya ) N: Yok nopo yok nopo…? (Bagaimana… bagaimana…?) D: dicoplok klambine disek (Dilepas bajunya dulu…) N: Looo…. (Looo....) D: La gedang lak dicoplok se klambine dek! (La pisang kan dilepas bajunya

dulu to dek..!!! ) N: Niku lo, dioncei kulite ngoten lo, ah! (Itu lo, dikupas kulitnya begitu lo,

aahhhh!!! ) D: Kulite, lek wes mari gak nok kulite, ngonoiko digeget karo di patek ehek…

eeek…. Eeek ngene rasane… he… he… he….(Kulitnya, kalau sudah selesai tidak ada kulitnya, yang begitu itu digigit dengan ditahan eheek…ehek….eeeek begini rasanya… he…he…he…)

N: Oooh… ngaten ta (Oooh…begitu yaa) D: Enggeh! ( Iyaa….) N+D : Niku maksude gedang (Itu maksudnya pisang)35

Ia menambahakan bahwa sebagai seorang suami hendaknya dapat

menjaga nama baik keluarga besarnya, di manapun tempat hendaknya

dapat menjadi tauladan, janganlah menjadi buah bibir yang buruk atau

pembicaraan orang lain. Semua yang tertuang dalam dialog tentang barang

bawaan tersebut memiliki makna, bukan hanya sekedar hiasan, akan tetapi

merupakan nasehat bagi semua orang, bukan hanya untuk kedua mempelai

pengantin saja.

35Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013. Lihat pula lampiran.

Page 37: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

248

Untuk itulah bagi generasi muda hendaknya mengetahui budaya-

budaya seperti itu agar memahami makna kehidupan, apalagi dengan

keadaan zaman yang serba penuh dengan pergaulan bebas, hal ini sungguh

memprihatinkan kalau sudah demikian. Banyak terjadi perceraian, apalagi

di kalangan selebritis, anak-anak kita saat ini perlu mengerti budaya-

budaya leluhurnya agar menjadi pedoman di dalam kehidupannya.

Sehingga diharapkan dalam membina rumah tangga mencapai kehidupan

yang sakinah mawaddah warrahmah, seperti dalam pengertian agama.36

B. Pencitraan dan Pelestarian Perkawinan LoroPangkon

Di tengah-tengah arus modernisasi perkembangan zaman yang terus

melaju, keberadaan tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat sedikit banyak

mengalami penurunan. Meskipun arus modernisasi terus bergerak melaju dengan

kencang, masyarakat pecinta tradisi yang luhur tentunya tidak tinggal diam.

Mereka dengan kesadaran dan semangat yang dijiwai rasa saling mencintai serta

mempertahankan warisan nenek moyang yang dianggap masih tetap mengandung

nilai-nilai moral bangsa ketimuran, masyarakat Jawa akan terus menjaganya.

Terutama masyarakat Jawa yang ada di Mojokerto, mereka berusaha semaksimal

mungkin bagaimana tradisi tersebut agar tidak punah dan masih dilestarikan, tidak

lain dalam rangka membangun nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai moral agar

kehidupan masyarakat menjadi harmonis, tidak tergerus oleh budaya Barat.

36Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013.

Page 38: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

249

Harapannya anak-anak muda masih mempertahankan nilai-nilai luhur yang

diwariskan para pendahulunya, ada istilah “kejarlah daku kau kutangkap” yang

bermaksud meskipun budaya asing terus membanjiri budaya masyarakat Jawa,

tetap saja budaya asing itu kita terima dengan selektif, namun kita masih saja tetap

mempertahankan budaya Jawa yang luhur yang sesuai dengan kepribadian

masyarakat Jawa dan kepribadian bangsa.37

Dalam rangka mempertahankan gerusan budaya asing yang terus

membanjiri budaya Jawa, dari berbagai pihak apakah dari individu, masyarakat

pecinta dan peminat tradisi perkawinan loro pangkon, dan pemerintah setempat,

mereka memiliki andil. Semua komponen masyarakat tersebut berusaha

bagaimana merekonstruksi atau membangkitkan dan membangun kembali tradisi

perkawinan loro pangkon di Kabupaten Mojokerto.38

1. Membangun dan memperbaharui tradisi lisan (pelaku budaya dan masyarakat peminat) a. Melalui seni ludruk

Menurut pandangan Pakde Kuntet (pemain ludruk juga pemain

beso’an loro pangkon) bahwa dalam rangka melestarikan budaya atau

37Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013. 38Riduwan, Wawancara, Mojokerto, 9 Juni 2013. Ia menambahkan bahwa dalam rangka menjaga tradisi masyarakat, pemerintah saat ini sudah sangat peduli sekali terhadap warisan tradisi luhur nenek moyangnya yang dianggap sebagai penjaga moral, apabila anak-anak kita tidak diperkenalkan dengan tradisi yang masih baik tersebut, kita khawatir mereka akan kehilangan jati dirinya. Mereka lebih larut dengan tradisi asing hingga akhirnya mereka tidak mengerti siapa sesungguhnya mereka berada, sebab tradisi-tradisi budaya bangsa kita ada saja yang diakui oleh orang luar, padahal sesungguhnya adalah budaya kita, sungguh sangat ironis bila melihat keadaan seperti itu. Makanya, pemerintah daerah Kabupaten Mojokerto setiap memperingati hari jadi Kabupaten Mojokerto setiap tahun diadakan beberapa festival serta lomba dan perayaan atau tradisi-tradisi yang dianggap baik selalu ditampilkan. Seperti kita lihat di Trowulan atau di Pendopo Agung Trowulan.

Page 39: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

250

tradisi perkawinan loro pangkon, masyarakat harus banyak perhatian

terhadap budayanya, mereka kurang mencintai budayanya disebabkan

mereka tidak memahami dan kurang mencernak apa yang terkandung

dalam tradisi perkawinan loro pangkon. Sebab masyarakat lebih

banyak disuguhi oleh budaya-budaya asing yang sifatnya instan, lebih

praktis dan mudah, akhirnya budayanya sendiri dilupakan. Umumnya

mereka kurang memahami dan menyelami makna yang terkandung di

dalamnya, sehingga mereka memilih praktisnya. Padahal di balik hal-

hal yang bersifat kasat mata, terdapat sesuatu hal yang sifatnya mistis,

tetapi masyarakat sekarang kurang memperdulikannya, mereka lebih

menyukai hal-hal yang bersifat materiil, kurang adanya keseimbangan

antara pandangan yang bersifat fisik dan hal-hal yang bersifat mistis,

sehingga apabila terjadi sesuatu hal yang menjadi problemnya barulah

mereka menyadari bahwa selama ini yang mereka lakukan terdapat

kekeliruan, terdapat kekurangseimbangan antara lahiriah dan batiniah.

Padahal, orang-orang Jawa yang masih mengerti Jawanya tentu akan

memegang nilai-nilai spiritual, memegangi makna-makna batin yang

tersembunyi. Ada istilah sekarang yang mengatakan “wong Jowo ilang

kolonuwune” paribasan seperti itu hanyalah ucapan yang

menghaluskan, yang berarti bahwa “orang Jawa tidak mengerti

Jawanya, kejawaannya sudah luntur bahkan sudah hilang”.

Page 40: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

251

Untuk melestarikan tradisi perkawinan loro pangkon seperti

itu, setidaknya masyarakat perlu kepeduliannya untuk nanggap,

menghadirkan tradisi perkawinan loro pangkon ketika memiliki

hajatan menantu anak gadisnya. Sebab orang yang bermain atau

setelan (pasangan beso’an loro pangkon) rata-rata adalah pemain

ludruk atau para dalang. Untuk mempermainkannya perlu mengerti

gending atau musik Jawa, bisa ngidung dan sebagainya. Jadi tidak

semudah itu memainkan beso’an loro pangkon, minimal juga mengerti

pakem-pakemnya (standar-standar permainan) tradisi perkawinan loro

pangkon.39

Pertunjukan ludruk digelar di Dusun Mendek Desa Kutogirang

biasanya ketika ada salah satu dari masyarakat memiliki hajat

menikahkan putra-putrinya. Pertunjukan tersebut melibatkan banyak

orang, sehingga untuk menanggap pertunjukan ludruk diperlukan biaya

yang cukup bagi tuan rumah yang memiliki hajat pernikahan.

Kemeriahan tuan rumah yang memiliki hajat pernikahan akan semakin

bertambah dengan adanya pertunjukan ludruk, karena pertunjukan itu

39Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012. Ia menjelaskan kembali bahwa barang-barang atau benda-benda yang dibawa dalam tradisi perkawinan loro pangkon memiliki makna dan maksud sendiri-sendiri, semua itu mengandung suatu nasehat atau mengandung sanepo (sanepan/ pasemon/ simbol) yang perlu dijelaskan dengan seksama bukan hanya dilihat dengan mata (meripat) lahiriah, tetapi perlu juga dilihat dengan mata batiniah, direnungkan, dipikirkan dimasukkan dalam angan-angan kemudian diperjelas dengan perbuatan atau tingkah laku seperti apa maksud benda-benda yang dilihat tadi, tentunya perilaku yang semestinya bagaimana keadaan alam yang berlaku, tidak menyalahi kodrat. Perenungan seperti itu tidak mudah, perlu kejelian dan ketelitian serta latihan berperilaku yang baik atau berperilaku yang semestinya setiap langkah atau perilaku kita di mana saja, berangkat dari situlah seseorang akan memperoleh hasilnya, orang Jawa mengatakan waskito.

Page 41: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

252

dimainkan semalam suntuk mulai pukul 21.00 (9 malam) hingga pukul

03.30 dini hari menjelang waktu subuh, suasana malam itu nampak

sangat meriah dengan adanya berbagai macam orang-orang yang

berjualan dan permainan anak-anak di sekitar pertunjukan ludruk. Di

samping itu, bagi tuan rumah atau sohibul hajat memiliki harapan

dengan adanya pertunjukan itu agar banyak dari masyarakat yang

diundang untuk memberikan do’a restu kepada kedua mempelai dan

tuan rumah turut serta hadir melihat tontonan itu. Di daerah pedesaan

di Mojokerto, khususnya di Dusun Mendek Desa Kutogirang,

masyarakat umumnya menghadiri undangan acara pernikahan pada

malam hari sekitar pukul 18.00-21.00, meskipun ada pula yang hadir

pada siang hari atau sore hari. Bagi masyarakat yang kurang mampu

dalam penyelenggaraan hajatan pernikahan putra-putrinya, mereka

hanya cukup dengan menghadirkan sound system sebagai pengisi acara

kemeriahan hajatan yang diadakannya.40

b. Melalui pertunjukan wayang kulit

Pertunjukan pagelaran wayang kulit yang diadakan di Dusun

Mendek Desa Kutogirang tersebut diselenggarakan oleh tuan rumah

bapak Tisno, ia adalah sohibul hajat yang cukup terpandang di desa

tersebut, karena ia dapat menyekolahkan putra-putrinya sampai ke

perguruan tinggi. Anak putri sulungnya yang dinikahkan tersebut

40Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.

Page 42: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

253

merupakan lulusan perguruan tinggi ternama di kota Malang, saat ini

Nurul Farida sebagai mempelai putri sudah menjadi pengajar di

berbagai sekolah tingkat SMA maupun SMP serta di pesantren yang

berada di Mojosari. Suami dari mempelai putri tersebut yaitu Neo Adi

Kurniawan juga merupakan seorang dosen yang mengajar di perguruan

tinggi yang berada di Malang.41

Penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit dalam hajatan

pernikahan putri bapak Tisno menurutnya ketika penulis wawancara, ia

sebelumnya sudah memiliki keinginan atau niat (nadzar) bahwa

apabila anak putri sulungnya itu menikah akan ditanggapkan

pertunjukan wayang kulit. Ternyata pada saat menikahkan putrinya

keinginan yang diharapkan terkabulkan, sehingga diadakanlah

pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada malam harinya.

Pertunjukan itu dimulai pukul 21.00 hingga pukul 04.00 dini hari,

diawali dengan tari remo, dilanjutkan campursari dan selanjutnya

pertunjukan inti wayang kulit yang diperankan oleh seorang dalang

mulai pukul 22.00 hingga menjelang waktu subuh. Menurut bapak

Tisno bahwa kedudukan seorang dalang adalah sangat penting dalam

pertunjukan itu maupun untuk sohibul hajat. Menurutnya seorang

dalang adalah orang yang ngerti (bahasa Jawa: memahami) tentang

hal-hal yang ghaib dan dimohon do’a restunya agar sohibul hajat

41Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.

Page 43: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

254

memperoleh keselamatan di dalam penyelenggaraan pernikahan dari

awal hingga akhir, sampai proses pembentukan keluarga kedua

mempelai pengantin untuk memperoleh keturunan hingga akhir hayat,

dan kesemuanya bertujuan memperoleh keselamatan.42

Senada dengan pandangan masyarakat Jawa menurut beberapa

ahli, wayang yang sudah lebih dari 3000 tahun tetap dihayati dan

dijunjung tinggi oleh masyarakat karena pertunjukan wayang berisi

hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan manusia, baik lahiriah,

maupun batiniah. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pertunjukan

wayang kulit purwa dapat menggerakkan rasa hati seseorang. Suatu hal

yang kelihatan unik dan menonjol dari daya kemampuan wayang

terhadap rasa kalbu manusia yaitu, makin tinggi martabat jiwa

seseorang yang menjadi pendukungnya, makin besar pula perhatian

dan kegemarannya terhadap wayang. Makin dalam orang menyelami

wayang, makin takjublah ia.43

Wayang purwa merupakan pertunjukan wayang yang ceritanya

bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana, yaitu wayang kulit

purwa, wayang beber purwa, wayang golek sunda, wayang wong,

wayang Bali, wayang golek purwa. Pada abad V Masehi mulai ada

pertunjukan wayang atau tarikh wayang. Banyak ahli yang mengupas

42Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012. 43Lihat Sri Mulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: BP. Alda, 1975), 58.

Page 44: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

255

tentang wayang, di antaranya yang dipakai untuk pijakan Dr. G.A.J.

Hazeu, Drs. Soeroto, dan K.P.A. Kusumodilogo.

Menurut Hazeu, dalam disertasinya, Crawfurt berpendapat

bahwa orang Jawa adalah penemu drama Polynesia; Hageman

berkesimpulan bahwa wayang diciptakan olrh Raden Panji Kertapati

dalam abad XII yaitu, dalam masa kejayaan kebudayaan yang

dipengaruhi Hindu; bagi Poensen yang mendekati kenyataan adalah

pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan

bimbingan orang Hindu; menurut Prof. Hert wayang atau gamelan

mendapat pengaruh Hindu; Dr. Brandes mengemukakan kenyataan

bahwa orang Hindu mempunyai teater yang berbeda dengan orang

Jawa. Hazeu mulai membuktikan asal-usul wayang dengan melihat

istilah dalam sarana pentas: wayang, kelir, blencong, kothak, keprak,

dan dalang. Ternyata setelah ditelusuri istilah tersebut asli Jawa.

Menurutnya, pendapat Hazeu wayang mendapat pengaruh Hindu tidak

benar karena wayang telah ada di Jawa sebelum ada pengaruh Hindu

yang kuat. Begitu pun wayang bukan berasal dari Cina atau Kamboja.

Dia juga menyimpulkan bahwa sekitar tahun 700 caka sudah ada

secara garis besar pertunjukan yang sekarang disebut dengan wayang

kulit, dan sebagainya.44

44Ibid., 23.

Page 45: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

256

Rasesers meragukan pendapat Hazeu, namun ia pun tidak

dapat membuktikan pernyataannya sehingga, membingungkan.

Menurutnya, dalam abad ke III sudah diketahui bangsa Hindu

mempunyai pertunjukan bayangan yang mirip dengan wayang kulit di

Indonesia. Ia menyimpulkan bahwa wayang kulit bukan asli dari orang

Jawa, tetapi dari Hindu-Jawa. Menurut Soeroto, pertunjukan wayang

adalah kebudayaan asli Indonesia dan erat hubungannya dengan

pemujaan “hyang” memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme,

sedangkan lakon-lakonnya diambil dari cerita yang asalnya dari India.

Kusumodilogo berusaha meninjau “babon pakem ugeran” pedalangan

yang dianut dan dipergunakan sebagai pegangan oleh para dalang gaya

Surakarta. Namun, menurut Mulyono banyak tahun yang tidak sama.

Maka, untuk mengetahui lebih jauh ia membagi sejarah wayang

menjadi 5 zaman: Zaman Prasejarah, Zaman Kedatangan Hindu,

Zaman Kedatangan Islam, Zaman Penjajahan, dan Zaman Merdeka.45

Dengan menguraikan berbagai pendapat para ahli, Mulyono

menyimpulkan beberapa hal: asal mula pentas bayangan bersumber

pada upacara agama terhadap pemujaan “Hyang” timbul pada awal

zaman Neolitikum (sesudah tahun 2000 SM); pertunjukan wayang

kulit merupakan hasil kreasi orang Indonesia asli di Jawa, sebelum

kebudayaan Hindu datang; pertunjukan wayang kulit berhubungan

45Ibid., 8.

Page 46: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

257

dengan kepercayaan untuk memuja “Hyang” yang bermaksud

memanggil roh nenek moyang guna diminta pertolongan. Sampai

sekarang wayang terus berkembang dan memiliki fungsi intinya

sebagai suatu kegiatan gaib yang berhubungan dengan kepercayaan

dan pendidikan (magis, religius, didaktis).46

Pada masa Kediri yang banyak memperhatikan persoalan

wayang adalah Empu Sendok, Dharmawangsa Teguh, dan Airlangga,

Kameswara, dan Jayabaya. Pada masa tersebut terdapat berbagai buku-

buku atau kitab wayang. Pada masa Kerajaan Majapahit, wayang

semakin disempurnakan dalam hal pewarnaan, digambar di kain

(wayang beber purwa dengan gamelan slendro) dan ditulis kembali.

Lakon-lakonnya pun dapat dijumpai di relief pada candi-candi.

Sebagaimana dalam prasasti Balitung (907), sebelum 929, pertunjukan

wayang sudah dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Walaupun

lakonnya berubah dari epos Jawa ke epos Mahabarata, inti pertunjukan

bayang sebagai kepercayaan tetap bertahan, bahasanya pun berubah

dari bahasa Jawa kuna menjadi campur dengan sansekerta yang disebut

bahasa “Kawi”. Pada abad ke XI wayang jelas menjadi drama yang

adiluhung, mengesankan dan mampu menggetarkan kalbu

penontonnya dapat hanyut sampai menangis menyaksikan pertunjukan

wayang.47

46Ibid., 56. 47Ibid., 68.

Page 47: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

258

Menurut Mulyono, wayang lahir di Jawa Tengah kemudian

dibesarkan dan dibina di Jawa Timur, kemudian didewasakan dan

dimatangkan di Jawa Tengah lagi. Pada masa Kerajaan Demak atau

tahun 1521-1945 dunia wayang mengalami kemajuan pesat sehingga,

wayang telah menjadi kesenian klasik tradisionil, yaitu suatu nilai

budaya yang tak lekang karena terik matahari dan tak lapuk karena

hujan. Bahkan dihayati sepanjang masa serta dijunjung tinggi oleh

generasi satu ke generasi berikutnya. Maka, ia memiliki unsur seni,

kejiwaan, dakwah dan sisa upacara agama, pendidikan dan mass

media, ilmu pengetahuan sastra-budaya, dan hiburan. Mulyono

menyimpulkan sejak timbulnya wayang sampai sekarang, wayang

telah mengalami perubahan, tahun 1500 SM-400 M, cerita wayang

berupa mitos Jawa kuna dengan bahasa Jawa kuna, tahun 400 M-907

M, ceritanya sebagian masih berupa mitos dan sebagian lagi sudah

berupa epos India; tahun 907 M-1478 M seluruh cerita sudah berupa

epos India dengan bahasa pengantar “Kawi”; tahun 1478 M-1745 M

cerita sudah bercampur antara mitos, epos, dan hikayat dengan bahasa

Jawa Tengahan; tahun 1745 M-1945 M ceritanya mengambil dari

babad dengan bahasa pengantar Jawa baru; tahun 1945 sampai

sekarang ceritanya berupa babad dengan bahasa Jawa Indonesia.48

48Ibid., 80.

Page 48: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

259

Kekhawatiran akan hilangnya wayang pada saat masa

kemerdekaan ternyata tidak terjadi. Sejak tanggal 18 Agustus 1945

wayang kulit purwa telah menjadi milik Nasional sebagai Kebudayaan

bangsa Indonesia yang berwujud seni klasik tradisionil. Wayang pun

menjadi milik semua lapisan masyarakat. Kemudian terbentuklah

Akademi Pedalangan, ensiklopedia dan lembaga terkait wayang, dan

perhatian pemerintah juga terlihat dalam Pelita II terdapat pembinaan

mental spiritual khususnya wayang. Selain itu, semakin banyak

penulisan pewayangan dalam bahasa Indonesia. Pewayangan pun kini

telah menjadi perhatian dunia luar.49

Dari waktu ke waktu wayang mengalami perkembangan.

Pertunjukan wayang yang mengambil lakon Mahabarata disebut

wayang purwa. Dengan pengelolaan yang dramatis maka cerita panji

pun menjadi populer dan dibawakan yang diberi nama dengan gadog.

Kemudian terjadi perubahan, ada yang membuat wayang dengan kayu

yang gepeng dipertunjukan di atas kelir dan boneka itu dapat terlihat

dan diberi nama wayang kelitik untuk cerita Damarwulan dan wayang

Krucil untuk cerita Mahabarata. Unsur dasar pemberian nama wayang

pada ceritanya seperti wayang purwa, madya, gedog, wahyu, pancasila,

makripat, dan sebagainya. Ada juga yang berdasarkan teknisnya yaitu,

wayang beber. Ditinjau dari bonekanya dapat dibagi jadi wayang kulit,

49Ibid., 102.

Page 49: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

260

wayang kayu, wayang golek, wayang wong, wayang bambu, dan

sebagainya. Ada juga yang digelar secara permanen pada batu yang

disebut candi yaitu, Candi Larajonggrang yang memuat cerita

Ramayana, Prambanan yang memuat cerita Kresna dan sebagainya.50

Mitos kuna tradisionil merupakan cerita kuna dengan bahasa

yang indah, isinya dianggap bertuah, berguna bagi kehidupan lahir dan

batin juga dipercaya dari generasi ke generasi. Kesusastraan

pewayangan adalah buku-buku atau kitab yang berisi tulisan mengenai

pewayangan dengan bahasa yang indah dan baik, sedangkan

kepustakaan pewayangan merupakan kumpulan kitab yang berisi

dongeng, cerita, analisa pewayangan dalam bentuk apa pun. Mulyono

pun menguraikan ketiganya secara garis besar. Walaupun cerita-cerita

tersebut tidak masuk akal, namun tetap ada unsur didaktis dan

menceritakan kepahlawanan dan usaha menyampaikan unsur religius.

Pembaharuan dalam wayang terjadi dengan proses yang cukup

lama kurang lebih 5 abad, memerlukan seniman dan pujangga besar

dan adanya dukungan dari penguasa dan masyarakat. Kesusastraan

pewayangan dapat digolongkan menjadi tiga, ceritanya dalam bentuk

syair kakawin atau tembang, pakemnya berisi ringkasan lakon wayang

sebagai petunjuk bagi dalang atau penggemar wayang untuk mengikuti

pagelaran wayang, analisanya ditulis oleh orang Indonesia dan orang

50Ibid., 156.

Page 50: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

261

asing. Nilai kesusastraannya tentu merupakan karya pujangga besar

yang tak ada taranya.51

Dalam pandangan Bapak Denan (seorang dalang), ia

menjelaskan bahwa dalam melestarikan budaya Jawa seharusnya orang

Jawa sendiri, siapa lagi kalau bukan orang Jawa. Tidak mungkin orang

lain, sebab bagaimanapun jika yang melestarikan orang Jawa, ia akan

lebih mengerti apa yang dimaksudkan, cepet tanggap ing sasmito

(cepat tanggap dalam berbagai hal), orang Jawa lebih meresapi rasa

yang terkandung di dalamnya, bukan berarti rasa yang terdapat dalam

bibir atau ucapan, tetapi yang dimaksudkan rasa adalah sesuatu yang

berada dalam pikiran dan hati yaitu hakikat sesuatu, istilah Jawanya

pang-pangan; panggondo, pangrungu, pangucap, paningal, lan

pangeroso (lima indera) apapun yang dapat dicium (berbau), apa yang

dapat didengarkan, apa yang dapat diucapkan (dibicarakan), apa yang

dapat dilihat, apa yang dapat dirasakan. Apabila kelima indera itu

sudah dapat dirasakan dan diselami makna dan hakikatnya, sesorang

dengan sendirinya akan cepat tanggap, di sinilah yang dinamakan

indera keenam yang mampu menangkap sesuatu di balik yang lahiriah

(tanggap ing sasmito).

Ia menambahkan meskipun seseorang akan mencederai atau

membujuknya, biasanya orang yang tanggap ing sasmito, lebih

51Ibid., 157.

Page 51: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

262

mengetahui lebih dahulu jika ia mau dicederai atau dibohongi, tetapi

biasanya orang Jawa yang seperti itu merasa membodohi (pura-pura

tidak mengerti, padahal sesungguhnya mengerti), hal ini untuk

menjaga perasaan orang lain. Ia beranggapan bahwa sesuatu itu akan

terbongkar dengan sendirinya, bagi mereka yang suka

menyembunyikan sesuatu yang busuk atau suatu kebohongan.

Melestarikan tradisi perkawinan loro pangkon seharusnya

masyarakat Jawa sendiri, agar adik-adik mampu melestarikan budaya

seperti itu harus banyak belajar, apakah lewat seni pedalangan atau

kesenian ludruk, jika yang muda-muda kesenangannya hanya budaya

asing, sedikit banyak budaya tradisi Jawa ini bisa luntur. Oleh karena

itu orang Jawa harus mengerti Jawanya. Kasihan kalau melihat

keadaan sekarang, yang muda-muda kesenangannya hanya mabuk-

mabukan tidak mau bekerja, tapi segalanya harus ada, akhirnya apa

yang terjadi yaitu mengambil hak milik yang bukan menjadi

kewenangannya, mengambil sesuatu yang bukan semestinya. Coba

anda lihat, keadaan sekarang bagaimana berita-berita yang berkembang

saat ini, hal itu sungguh menyayat hati, apalagi kita sebagai orang

Jawa.

Para pendahulu menamakan dengan sebutan Jawa,

sesungguhnya sesuai dengan kepribadian masyarakatnya. Masyarakat

Jawa sudah memegang segalanya, yaitu sifat rahman dan rahimnya

Page 52: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

263

sudah menyatu dalam kepribadiannya, lafad bismillah sudah terpegang

dalam genggaman bukan hanya sekedar di ucapkan di bibir. Berbeda

dengan masyarakat Arab, karena bumi dan tanahnya kering kerontang

serta gersang, maka ingin menyebut tanaman tebu tidak ada

tanamannya. Tetapi pernah mendengar saja jika terdapat tanaman tebu

di negara asia yang subur, orang Timur Tengah yang mereka tahu

hanyalah gulanya saja, tanaman tebu tidak pernah diketahui sebab tak

ada tanaman tebu. Jadi, mereka melafadkan bismillah karena ingin

memperoleh sifat rahman rahim dari Tuhan supaya dapat merasakan

tanaman yang tidak terdapat di negaranya. Kami berkata seperti ini

bukan akal-akalan, tetapi logis nyatanya. Orang Jawa hanya tinggal

melaksanakan sepi ing pamrih rame ing gawe (bekerja secara

sungguh-sungguh, menggerakkan tangan dan melangkahkan kaki

untuk berbuat, tentu akan menuai hasilnya, jangan banyak berharap

atau berkhayal tapi tidak berbuat).

Kalau kita melihat alam di negeri kita, alamnya saja sudah

rahman dan rahim (welas asih, menyayangi) apa yang tidak tumbuh di

negeri ini? Tanahnya yang gemah ripah loh jinawe, segalanya lengkap

tanaman-tanamannya, binatangnya apakah binatang laut, darat, dan

udara semua lengkap, begitu pula tanaman-tanaman yang ada di darat,

di laut atau air semuanya serba ada, tidak akan ada krisis pangan di

sini, kecuali mereka yang tidak berbuat. Berbeda dengan negara-negara

Page 53: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

264

lain, tanah dan buminya yang mungkin gersang, padang pasir, atau

hanya bersalju, atau hanya ada satu musim saja, hal inilah yang

mengundang kesimpatikan negara-negara lain untuk menguasai negeri

ini, caranya dengan membujuk para pejabatnya, para rajanya kalau

zaman dahulu. Jadi, sebagai orang Jawa kita harus cepat tanggap

terhadap sesuatu yang terjadi, kasihan anak cucu kita jika melihat

keadaan yang terjadi saat ini bila anak-anak tidak mengerti budayanya.

Sebab simbol-simbol yang terdapat dalam prosesi pernikahan juga

menggunakan simbol-simbol tanaman dan berbagai hal, semua itu

menunjukkan bahwa orang hidup itu harus makan, dapat merasakan

semua yang ada, jika sesuatu itu membahayakan, janganlah diambil.52

c. Mengadakan atau menanggap beso’an loro pangkon melalui hajatan pernikahan

Ketika penulis menanyakan kepada Pak Tisno (sohibul hajat) mengapa tradisi perkawinan itu perlu dilestarikan, ia kemudian mengatakan “Sinten maleh nek mboten tiyang Jawi piyambak seng naggap loro pangkon nek mboten wong Jowo, tiyang lintu nggeh mboten ngertos tradisi ngeten niko. Mangkane kulo ngadaaken koyok ngoten ramene niko supados dolor-dolor ngerteni leluhure, ngerteni budayane, ngerteni watuk-watek’e menungso, ngerteni toto coro, ngerteni lelaku lan sak uba rampene. Tradisi loro pangkon ngoten niko saperlu kanggo ngeleng-eleng menungso, nggih ngiling-ngiling kulo, keluargo, dulur-dulur lan masyarakat. Supados ngerti opo maksude, ben lintu-lintu konco-konco nek nduwe anak perawan nek mantu iso’o nanggap loro pangkon. Ngoten niku yen mampu sak sembarang kalire, sebab bondone nggeh katah. Kulo kinten nek sak iki podo sogeh kabeh, nek nekakne loro pangkon ngunuwae mestine isok.”

52Bapak Denan, Wawancara, Mojokerto, 19 Oktober 2012.

Page 54: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

265

(Siapa lagi yang mendatangkan (nanggap) loro pangkon kalau bukan orang Jawa sendiri, orang lain ya tidak mungkin mengerti tradisi seperti yang pernah kita lihat. Makanya saya mengadakan acara yang begitu ramai seperti yang terjadi waktu itu, supaya saudara-saudara kita mengerti tentang leluhurnya, mengerti budayanya, mengerti watak-watuk’e manusia, mengerti tata cara, mengerti lelaku, dan mengerti uba rampene (sesaji yang ada). Tradisi loro pangkon seperti itu supaya menjadi pengingat bagi manusia, mengingatkan kita, mengingatkan keluarga, mengingatkan saudara-saudara, dan mengingatkan masyarakat. Supaya mengerti apa maksudnya, agar yang lain, teman-teman apabila memiliki anak perawan, memiliki hajatan menantu kalau mampu hendaknya nanggap (mengadakan) loro pangkon. Kegiatan yang demikian apabila merasa mampu segalanya, sebab biayanya juga mahal. Saya kira kalau saat ini, semuanya sudah kaya, apabila nanggap loro pangkon begitu saja saya pikir mampu.)53

d. Melalui kirab budaya setiap tahun di Pendopo Agung Trowulan Mojokerto

Di Kabupaten Mojokerto hampir setiap tahun mengadakan

kegiatan yang sifatnya menyemarakkan kegiatan tradisi budaya

masyarakat Mojokerto. Pemerintah Daerah Mojokerto mengadakan

kegiatan seperti itu biasanya bersamaan dengan Hari Jadi Kabupaten

Mojokerto. Termasuk tradisi perkawinan loro pangkon yang sifatnya

secara simbolis, meskipun tidak ada seseorang yang dinikahkan,

kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan tradisi Mojokerto agar

masyarakat mengingat kembali dan anak-anak muda mengetahui,

bahwa tradisi perkawinan loro pangkon merupakan tradisi yang

memiliki suatu makna bukan hanya acara seremoni belaka, pada acara

tradisi perkawinan loro pangkon di dalamnya juga terdapat sesuatu

yang bersifat mistis, sesuatu hal termasuk mantra yang perlu diarahkan

53Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.

Page 55: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

266

kepada kedua pengantin agar kedua mempelai menjadi keluarga yang

bahagia. Tidak seperti kehidupan saat ini yang sering kawin cerai.54

Dari informasi yang didapatkan, bahwa kegiatan kirab budaya

di Kabupaten Mojokerto itu semaraknya kira-kira mulai zamannya

Bupati Achmadi. Ia adalah putra Mojokerto asli jadi memiliki

kepedulian dengan kebudayaan Mojokerto sangat tinggi. Hingga saat

ini juga lebih semarak lagi dengan kepemimpinan Bupati yang masih

muda yaitu putra asli Mojokerto Bupati Mustofa Kemal Pasha, ia

betul-betul perhatian terhadap budaya Mojokerto. Termasuk dalam

melestarikan peninggalan nenek moyang berupa candi, ia sangat

konsen untuk merawat situs-situs peninggalan kerajaan Majapahit

dengan dibantu para bawahannya.55

2. Jati diri Jawa (Identitas diri etnis Jawa)

Kegiatan tradisi perkawinan loro pangkon sampai saat ini masih

dapat dijumpai di masyarakat Mojokerto. Tradisi tersebut diadakan oleh

masyarakat Mojokerto, biasanya dalam hajatan perkawinan putrinya yang

masih perawan. Tradisi tersebut masih saja dilaksanakan oleh masyarakat

Mojokerto, hal itu tidak lepas dari identitas diri masyarakat. Dapat

dipastikan bahwa orang yang mengadakan kegiatan tradisi perkawinan

loro pangkon dalam hajatan perkawinan adalah orang Jawa. Orang yang

bukan Jawa tentunya tidak akan mungkin mengadakan tradisi tersebut.

54Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013. 55Riduwan, Wawancara, Mojokerto, 9 Juni 2013.

Page 56: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

267

Itulah tradisi loro pangkon merupakan simbol budaya Jawa, terutama

budaya Mojokerto.56

“Dalam wawancara dengan Bapak Tisno, ia menjelaskan:

Ngadaaken tradisi perkawinan loro pangkon ngaten saestune, kados nikahe yugo kulo Nurul Faridah kaliyan Neo Adhi Kurniawan meniko nduduhaken kesenengan lan kebanggaane tiyang sepah, nopo maleh kulo nembe mawon nggadah damel ingkang kawitan, inggih puniko nikahaken yugo seng sek perawan, niku kebanggaan saestu kangge tiyang sepah. Tiyang sepah pundi seng mboten bangga lan seneng ningali perawane sampon angsal jodo sampek ngantos nikah. Mbimbing yugo ngaten mboten gampil, mboten kados malek telapak tangan, mbetahaken kesabaran saking wong tuwo. Dalem dados wong tuwo kedah ngerti watuk-wahinge yugo, keranten nuntun yugo zaman saiki benten kaleh zaman kulo ndisek. Meleh jodo mawon nek mboten pilihane yo kadang mboten cecek, keranten niku tiyang sepah kedah pinter-pinter nggowo awak kangge ngarahaken putro.”

(Menurut Bapak Tisno bahwa dengan diadakannya tradisi perkawinan loro pangkon seperti yang terjadi ketika pernikahan anaknya Nurul Farida dengan Neo Adhi Kurniawan tidak lain menunjukkan kebanggaan orang tua tersendiri, apalagi saya baru mempunyai hajat pertama kali ini yaitu menikahkan anak pertama yang menunjukkan bahwa yang dinikahkan adalah masih gadis, hal ini merupakan kebanggan tersendiri bagi orang tua. Orang tua mana yang tidak bangga jika melihat anak gadisnya sampai ke pelaminan. Membimbing anak-anak sampai ke pernikahan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu ada kesabaran dari orang tua. Kita sebagai orang tua harus tahu benar watak lan watuk’e (perilaku) si anak, sebab membimbing anak zaman sekarang berbeda dengan zaman saya pada masa lalu. Memilih jodoh pun bila bukan pilihannya sendiri kadang tidak mau, oleh karena itu sebagai orang tua harus pandai-pandai membawa diri dalam mengarahkan seorang anak.)57

56Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013. Ia menambahkan bahwa ciri-ciri orang Jawa atau identitas Jawa dapat kita saksikan ketika memiliki hajatan, hajatan apa pun, apakah khitanan, menantu, orang Jawa biasanya tidak lepas dari menggunakan sesaji, atau barang-barang berupa tumbuhan atau benda yang lain dipergunakan sebagai simbol-simbol di dalam acara hajatan. Ia mencontohkan masyarakat Bali yang biasa menggunakan sesaji, asalnya mereka adalah orang Jawa keturunan Majapahit yang melarikan diri karena sesuatu hal dalam peperangan perebutan kerajaan, mereka mengalami kekalahan dan akhirnya ke daerah bagian timur yaitu di pegunungan Bromo, sebagian lagi ke daerah Banyuwangi dan Bali. 57Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.

Page 57: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

268

3. Nilai-nilai Moral

Terdapat suatu nilai-nilai moral di dalam tradisi perkawinan loro

pangkon. Nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya termasuk

menunjukkan identitas diri seorang perawan yang menikah dengan

seorang perjaka, secara kasat mata bahwa orang yang mengadakan

kegiatan perkawinan loro pangkon merupakan orang yang dapat menjaga

kepribadiannya, dapat menjaga kehormatannya, dalam bergaul dengan

siapa saja mereka tidak larut dalam perbuatan yang melanggar norma

agama maupun norma-norma masyarakat.

Dalam masyarakat Jawa, orang yang tidak dapat menjaga

keperawanannya, secara tidak langsung masyarakat akan memandangnya

sebagai orang yang tidak punya harga diri. Wanita yang tidak punya harga

diri ini, biasanya masyarakat Jawa menamainya dengan sebutan ondolan.

Citra atau julukan seperti itu sungguh tidak enak didengar, siapa pun

orangnya biasanya merasa terkucil di masyarakat. Itulah hukuman atau

undang-undang masyarakat Jawa walaupun tidak secara tertulis, namun

memiliki beban moral yang berat bila mendapatkan julukan yang kurang

bagus.58

4. Nilai-nilai Hiburan

Tradisi perkawinan loro pangkon, di samping memiliki nilai-nilai

moral, di dalamnya juga terdapat nilai-nilai hiburan. Tradisi tersebut yang

masih dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat, di samping menjaga nilai-

58Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013.

Page 58: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

269

nilai moral, biasanya orang yang menikah adalah orang yang memiliki

rasa kebahagiaan tersendiri, terutama kedua mempelai. Agar tidak terjadi

ketegangan dengan diselenggarakannya upacara-upacara yang bersifat

seremoni, maka pasangan pemain besuk’an loro pangkon tidak

ketinggalan untuk memasukkan banyolan-banyolan (gurauan/ guyonan)

untuk menghibur tamu undangan, masyarakat, terutama untuk kedua

mempelai agar nasehat-nasehat yang ditonjolkan dapat menjadi perhatian

dan dapat diterapkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang akan

dilaluinya. Selain itu, faktor banyolan itu bersifat memberi hiburan dan

tidak membuat tegang para pendengar, diselingi dengan guyonan agar apa

yang disampaikan oleh besuk’an loro pangkon dapat diterima dengan

santai.59 Sebagaimana banyolan dalam dialog loro pangkon berikut.

Y=masalah minume kulo mpun paham, la mangane, derek? (Masalah minumnya saya sudah paham, jika makanannya, saudara?)

X=lo nek pakane...nedone anak kulo niki,ooh niki seng rodok abot niki (Lo jika makanannya... makanan anak saya ini, ooh inilah yang agak memberatkan)

Y=oooh mboten nopo-nopo wong kewajibane, wong kulo mpun sanggup kok, dadi sampeyan cetakaken! (Oooh tidak apa-apa memang sudah kewajibannya, memang saya sudah sanggup, jadi saudara terangkan sejelas-jelasnya!)

X=nggeeh… nggeh... nggeh, anak kulo Neo Adhi Kurniawan niki nedone ngeten, cukule dami kemukus. (Iya... iya... iya, anak saya Neo Adhi Kurniawan ini makanannya begini, tumbuhnya dami kemukus)

Y=mangsute? (maksudnya?) X=niki terus matenge sego putih (Ini selanjutnya masaknya nasi putih) Y=nggeeh (Iya) X=Matenge sego putih, iwak daging iwak empal, iwak endog iwak sate, iwak

ati, iwak rempelo. (Tanaknya nasi putih, lauk daging lauk empal, lauk telor lauk sate, lauk ati, lauk rempelo)

59Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012.

Page 59: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

270

Y=mpun sampeyan pepek-pepekaken mpun (Silahkan saudara jelaskan selengkap-lengkapnya)

X=nggeeh... nggeh iwak empal, niku penjalokane,sanggup sampeyan? (Iya... iya lauk empal, itulah permintaannya, sanggupkah saudara?)

Y=alah wong masalah ngoten-ngoten mawon, awon pinten,jo kuatir nak! (Sudahlah masalah demikian saja hanya berapa, jangan khawatir wahai putriku!)

X=nek ngoten kulo sanjangane anak kulo...nak Neo Adhi Kurniawan, iki bapak iki ditakoni pakane wes tak duduhno pangane nak, wes tak jalokno sego putih iwak daging, iwak empal, iwak endok, iwak sate iwak daging nak, nek ono iwak tempe tempaken nak,……(penonton tertawa). Nek ono iwak sepel uncalno nang latar nak, sanggupa sampeyan?? (Jika demikian maka saya beritahukan ke anak saya... wahai Neo Adhi Kurniawan bapak kamu ini sudah ditanya masalah makanan kesukaanmu nak, sudah saya mintakan nasi putih lauk daging, lauk empal, lauk telor, lauk sate, lauk daging nak, bila dikasih lauk tempe kamu sepak nak,... (penonton tertawa). Bila dikasih lauk sepel kamu lempar ke halaman nak, apakah anda sanggup?

Y=sanggup….(Sanggup....) X=oooh sanggup naak ojok kuatir.Hahahhaahaha (Oooh sanggup nak jangan

khawatir, hahahhaaha.) Y=sak niki kulo ganti marah bebek kulo (Sekarang saya berganti berpesan ke

anak saya) X=nggeeeh…nggeh... nggeh. (Iya... iya... iya) Y=wes ojo kuatir nak, piro nek barange sek ono pasare, ono panggonane,

seng penting rungokno suarane bapakne, tak sanggupi tapi sampeyan yo kudu nyanggupi suaraku! (Sudahlah jangan khawatir nak, hanya berapa jika barangnya masih ada di pasaran, ada yang diperjualbelikan, yang penting dengarkan pesan bapaknya, saya sanggupi permintaan anda tetapi anda juga harus sanggup dengan permintaan saya!)

X=loooh empun kuatir! (Loooh jangan khawatir!) Y=pokoe sedino pitek kulo nedi blonjo telung juto setengah... (penonton

tertawa)...empun nopo mawon kulo turuti (Terpenting sehari ayam saya meminta belanja tiga juta setengah... (penonton tertawa)... apa pun permintaannya saya turuti)

X=telung juta setengah derek? (Tiga juta setengah saudara?) Y=iyo...tiap hari (Iya... tiap hari) X=nak Neo Adhi Kurniawan,…nek masio iwak tempe yo gak opo-opo nak!

Wes panganen ae,...(Penonton Tertawa) ojo…ojo serei-serei yo nakkkk...! Masio ono iwak sepel yo ojo diguwak nang latar naak...bapak isiiiin, yok opo nak wong dijalok’i belonjo telung juta setengah e, iyo nek gak mundak sampek limang juta.... (Nak Neo Adhi Kurniawan,... apabila anda dikasih lauk tempe ya terimalah nak, sudahlah kamu makan saja,... (penonton tertawa)... janganlah banyak permintaan nak...! Meskipun dikasih lauk

Page 60: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

271

sepel ya janganlah dibuang naak... ayah malu, bagaimana tidak nak, permintaan uang belanja yang diinginkan tiga juta setengah, boleh jadi permintaannya naik menjadi lima juta....)

Y=yo mituruto undak udune barang (Ya menurut naik turunnya harga barang)

X=masio iwak menjeng yo wes arepo ae nak (Meskipun lauk menjeng ya kamu terima saja nak)

Y=loo nek menjeng masakane yugo kulo tanggung ngeteeeen…( sambil acung jempol) (Loo kalau lauk menjeng masakan putri saya ditanggung enak... [sambil acung jempol])

X=nggeeeh…. (Iya....) Y=nikmat menjenge (Nikmat lauk menjengnya) X=niki wau ngapunten nggeh, niki wau kulo njalokaken anak kulo. (Ini tadi

mohon maaf, ini tadi saya menginginkan permintaan anak saya) Y=nggeeeh (Iya)60

5. Nilai Ekonomis

Menurut pakde Kuntet bahwa jika banyak masyarakat yang naggap

(mendatangkan) tradisi perkawinan loro pangkon, maka secara tidak

langsung akan menambah modal atau rejeki baginya dan keluarga. Jika ia

sering diundang untuk membesuk’an loro pangkon, otomatis uang belanja

untuk beli cerutu akan bertambah. Kegiatan tradisi seperti itu pada masa

yang lalu seringkali ia mendapatkan job (tanggapan) kira-kira antara tahun

1970 sampai kira-kira tahun 1985, setelah itu berangsur-angsur mulai

mengalami penurunan. Masyarakat yang berminat terhadap tradisi itu

mulai banyak yang meninggalkan.

Baru mulai tahun 1999 atau kira-kira tahun 2000-an, yaitu setelah

adanya krisis moneter tahun 1997, mungkin kesadaran masyarakat mulai

bangkit kembali. Mereka mulai mencintai budaya-budaya lama yang

60Lihat lampiran transkrip dialog loro pangkon.

Page 61: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

272

hampir mati untuk dibangkitkan kembali. Mereka mungkin menyadari

dengan banjirnya budaya-budaya asing yang masuk ke negeri ini,

kemudian masyarakat kurang selektif memilihnya hingga akhirnya

membawa dampak ke semua komponen bangsa. Termasuk dampaknya

adalah terkena krisis moneter. Padahal kalau kita mau menyadari, tidaklah

mungkin negara kita akan terkena krisis, terutama krisis pangan. Mungkin

yang terjadi saat ini kalau boleh saya katakan, negara ini mengalami krisis

moral. Kalau kita lihat di semua aspek kehidupan masyarakat banyak

terjadi ketimpangan, mungkin penyebabnya masyarakat mulai banyak

yang meninggalkan atau tidak peduli dengan budaya-budaya bangsanya.

Padahal budaya-budaya bangsa kita sangat beragam, apalagi tradisi Jawa

yang memiliki budaya yang luhur, mengapa ditinggalkan? Berangkat dari

situlah kemungkinan masyarakat mulai menyadari bahwa tradisi-tradisi

bangsa, termasuk tradisi Jawa yang menjaga nilai-nilai adat ketimuran,

menjaga sopan-santun, tata krama, perlu dihidupkan atau mungkin

dimodifikasi bagaimana sesuai dengan selera pasar atau masyarakat saat

ini. Seperti tradisi besuk’an loro pangkon yang saat ini mulai menjamur

kembali di masyarakat.61

61Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012. Ia menambahkan bahwa tradisi perkawinan loro pangkon sebetulnya jika kita pahami secara sungguh-sungguh di dalamnya terdapat suatu nilai luhur yaitu sikap moral yang menunjukkan orang yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah orang yang tahu malu. Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya dengan menghubungkannya keadaan masyarakat dan keadaan bangsa saat ini, bahwa Soekarno dulu sudah pernah mengatakan bahwa negara Indonesia itu adalah negara yang bisa mandiri, tanpa bantuan negara lain pun negara kita dapat berdiri sendiri, meskipun secara sosialnya kita juga butuh dengan orang lain. Oleh karena itu, informasi maupun budaya-budaya yang dari luar hendaknya masyarakat bisa lebih cermat menyeleksinya, jangan sembarangan semuanya masuk ke negara

Page 62: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

273

C. Pola Akulturasi Islam dan Budaya Jawa Dalam Perkawinan Loro Pangkon

1. Praperkawinan

Masyarakat muslim Jawa ketika akan memiliki suatu hajat besar

dengan melibatkan banyak orang, sebelumnya mereka terbiasa melakukan

hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan ritual, di antara kegiatan ritual

yang dilaksanakannya antara lain.

a. Ziarah Kubur

Ziarah kubur senantiasa dilaksanakan oleh masyarakat muslim

Jawa ketika sebelum pelaksanaan pernikahan dilangsungkan. Mereka

melakukan kegiatan tersebut dengan harapan memperoleh pangestu

(do’a restu) orang tua yang sudah meninggal maupun dari cikal

bakal62 desa dengan harapan kegiatan melangsungkan pernikahan

kita, akhirnya apa yang terjadi, yaitu sepertinya negara kita selalu butuh dengan negara lain, padahal justru negara asinglah yang sangat membutuhkan terhadap negara kita, disebabkan Indonesia negara yang kaya sumber kekayaan alamnya sementara masyaraktnya kurang kreatif akhirnya yang terjadi masyarakat disuguhi dan diming-imingi dengan materi yang sesungguhnya kurang bermanfaat, masyarakat kita terlena. Begitu pula pejabatnya mereka diiming-imingi dengan kertas (uang) mereka mudah terlena. Padahal orang hidup di dunia ini yang dibutuhkan tidak lain adalah makanan, kebutuhan primer itulah sementara yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, sehingga tidak terjebak dengan bujuk rayu bangsa asing yang mulai gencar untuk menguasai Indonesia. Indonesia adalah negara yang kaya segalanya, tidaklah mungkin Indonesia terjadi kekurangan, apalagi kekurangan pangan, tinggal manusianya apakah giat bekerja atau hanya bermalas-malasan. Kemungkinan disebabkan Indonesia bumi dan tanahnya yang subur sehingga membuat masyarakatnya menjadi manja, suka terlena dan ongkang-ongkang kaki, malas bekerja. Oleh karena itu ketika bumi dan tanah kita dikuasai oleh orang asing, maka kebakaran jenggotlah masyarakat kita. Untuk menjaga hal tersebut, sebelum tanah dan bumi dikuasai orang asing, masyarakat kita harus cerdas agar tidak terkena tipu daya asing dengan memberikan suguhan-suguhan apaka mulai dari teknologi, budaya, dan sebagainya, masyarakat harus selektif dan memanfaatkan secara benar, dan tidak disalahgunakan. 62Cikal bakal desa adalah mereka yang dianggap oleh orang Jawa sebagai orang yang pertama kali menghuni desa dan membuka lahan atau mbabat alas, sehingga mereka yang sudah meninggal perlu dimintai do’a restu kepada arwahnya dan rasa terimakasih atas jerih payah yang dilakukan cikal bakal desa sehingga kehidupan saat ini dapat menjadi lebih baik berkat kerja keras para pendahulu.

Page 63: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

274

memperoleh keselamatan, berjalan dengan lancar sesuai dengan apa

yang diharapkan.

Dalam ziarah kubur ke makam orang tua dan cikal bakal desa,

masyarakat muslim Jawa melakukannya dengan membawa bunga, ada

pula sambil membawa kemenyan atau dupa untuk dipersembahkan

kepada arwah mereka yang sudah meninggalkan alam dunia. Selain

itu mereka juga mengucapkan mantra-mantra, tidak lupa membaca

surat Yasin dan tahlil di hadapan makam orang tua dan cikal bakal

desa.

Bagi sebagian masyarakat Jawa, ziarah kubur khususnya ke

makam cikal bakal (danyang) desa tidak lain merupakan adat

penghormatan kepada roh-roh nenek moyang.63 Dalam pandangan

kejawen, penghormatan pada para leluhur merupakan nilai-nilai yang

sangat diperhatikan dan harus menjadi kekuatan yang tertanam kuat-

kuat di dalam kepribadian orang Jawa.64 Inilah salah satu ciri

masyarakat Indonesia lama yaitu, ikatan solidaritas sosial yang kuat

serta hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan

dan pemitosan terhadap roh nenek-moyang melahirkan penyembahan

roh nenek-moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan

hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara

63Koentjaraningrat, Kebudayaan, 364 64Hildred Geetz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 151.

Page 64: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

275

selamatan, roh nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi

keluarga yang masih hidup.

Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dianggap sebagai

Tuhan yang dapat memberi pertolongan ataupun sebaliknya dapat

menjadikan celaka. Upacara religi yang biasa dilaksanakan

masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang

dimaksudkan bukan saja untuk berbakti pada dewa saja maupun untuk

menggapai kepuasan batiniah yang sifatnya individual saja, tetapi juga

karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah

sebagai bagian dari kewajiban sosial.65 Demikian ini, dianggap

kepercayaan asli Indonesia khususnya Jawa yang oleh antropolog

disebut sebagai religion magic.

Sebenarnya kepercayaan tentang penghormatan terhadap para

leluhur ini tidak hanya ada dan diyakini masyarakat Jawa saja.

Sebagaimana pendapat Ernst Cassirer,66 pemujaan terhadap nenek

moyang (leluhur) merupakan ciri universal dan hakiki dari religi

primitif, dengan kata lain pemujaan terhadap para leluhur tampak

sebagai sifat menyeluruh yang menandai dan menentukan seluruh

kehidupan sosial dan religius.

65Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI Press, 1992), 69. 66Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1987), 129.

Page 65: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

276

Herbert Spencer mengajukan tesis, pemujaan nenek moyang

harus dianggap sebagai sumber utama serta asal mula agama, dan di

dunia ini hanya sedikit suku yang tidak mempratikkan salah satu

bentuk pemujaan orang mati. Contohnya, di Cina, pemujaan terhadap

leluhur dianggap intisari kehidupan religi dan kehidupan sosial. Di

Romawi pemujaan terhadap nenek-moyang selalu dilihat sebagai ciri

dasar dan lazim dari religi orang Romawi. Pada suku-suku Indian di

Amerika, religi yang dianut oleh sebagaian besar suku-suku yang

mendiami Alaska hingga Patagonia, yaitu adanya keyakinan akan

hidup sesudah mati serta adanya keyakinan yang mendasarkan diri

pada anggapan universal bahwa antara manusia yang masih hidup

dengan yang telah meninggal terjadi komunikasi.

Sedangkan Wallace yang menulis tentang agama Shamanik,

memandang agama suatu masyarakat sebagai pranata pemujaan (cult

institutions).67 Model pemujaan atau penghormatan seperti ini

sebagaimana dikatakan O’Dea,68 tidak lain adalah merupakan

pengungkapan kembali pengalaman asli dan sekaligus sebagai cara

untuk melakukan ibadah, serta mengungkapkan hubunganya dengan

yang suci. Kiranya hal ini dapat dimaklumi karena semua budaya

mempunyai satu atau beberapa perangkat kepercayaan serta praktik

67Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1993), 523. 68Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994), 77.

Page 66: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

277

yang menghubungkan manusia dengan yang suci atau adikodrati

(Supernatural).69 Sebagaimana pandangan Masdar Hilmy,70

penghormatan terhadap arwah leluhur merupakan salah satu system of

beliefs dalam suatu etnis, sedangkan system of beliefs sendiri

hakikatnya merupakan ruh, spirit, atau nafas dari budaya, adat dan

tradisi.

Dalam masyarakat primitif, animisme dan dinamisme

keberadaan seseorang sulit untuk melepaskan hubungan dengan roh-

roh orang mati. Pada waktu-waktu tertentu orang membawa sajen

(sesaji) bagi roh-roh terebut, di samping itu juga terdapat tempat-

tempat keramat di mana seseorang dapat bertemu dengan roh-roh

orang yang telah meninggal dunia, walaupun terkadang terjadi

ambivalen di satu pihak orang takut pada roh-roh, sedang di pihak lain

orang berusaha memelihara persekutuan dengan roh-roh tersebut.71

Berikutnya menurut Tylor,72 suatu karakteristik yang dimiliki agama,

besar atau kecil, kuno atau modern adalah kepercayaan kepada roh

yang berfikir, bertindak seperti pribadi manusia, dan esensi agama

adalah animisme (dari Bahasa latin anima berarti roh). Lebih lanjut

69David Kaplan dan Albert A. Manners, Teori Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 211. 70Masdar Hilmy, Rekonstruksi Paradigma Teori dan Resolusi Konflik Agama-Eknik: Sebuah Diskursus Teoretik, Dalam,Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia (Surabaya: LSAS dan IAIN Press, 2007). 31. 71A.G.Honig Jr. Ilmu Agama, (Jakarta: BPK,Gunung Mulia, 1987), 61. 72E.B.Tylor, dan J.G.Frazer, Animisme dan Magi, dalam, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, diterjemahkan Ali Nur Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 41.

Page 67: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

278

Animisme adalah suatu bentuk pemikiran sangat tua, yang dapat

ditemukan di seluruh sejarah bangsa manusia.

Di kalangan masyarakat Jawa, secara umum yang dianggap

paling penting dalam kategori roh nenek moyang adalah roh cikal

bakal, (babad alas atau danyang) yang dianggap menjadi pelindung

bagi masyarakat. Pada tempat-tempat tertentu maupun titik kekuatan

alam, tokoh-tokoh ini dianggap mempunyai hubungan dengan desa-

desa tertentu atau titik kekuatan ketika mereka masih hidup. Kesaktian

mereka dianggap sebagai perantara antara alam dengan manusia yang

berada di dunia, karena itu selanjutnya peran mereka menjadi roh

pelindung atau pengayom dan ini sebenarnya tidak lain hanyalah

merupakan perluasan peran mereka semasa hidup.73

Selanjutnya kedatangan agama Hindu di Jawa, ternyata tidak

dapat menyingkirkan kepercayaan terhadap roh-roh leluhur, terbukti

meskipun agama Hindu dapat diterima masyarakat Jawa akan tetapi

tradisi memuliakan kuburan jugan masih terus berlangsung. Padahal

menurut Geertz,74 para penganut Hindu klasik seharusnya hanya

menghormati Dewa-Dewa saja. Begitu pula dikatakan Naya Sujana,75

kebudayaan Hindu lama sebenarnya tidak mengenal tradisi

memuliakan kuburan seperti sekarang ini. Masyarakat Hindu lama

73Paul Stange, Politik Perhatian, Rasa Dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1998), 135. 74Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 131. 75Nyoman Naya Sujana, Memburu Rejeki ke Makam di Gunung Kawi, dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik (Majalah FISIP Universitas Airlangga Surabaya, No 7, tahun V semester Gasal, 1991-1992), 29.

Page 68: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

279

(kuno) lebih memuliakan candi-candi sebagai tempat bersembahyang

masyarakat Hindu dalam memuliakan Para Dewa (Bathara). Namun

dalam perkembangannya masyarakat Hindu Jawa kemudian

memuliakan kuburan setelah kepercayaan Hindu bercampur dengan

kepercayaan masyarakat Jawa yang telah berkembang dan tertanam

kuat sebelum kedatangan Hindu.

Sekalipun agama Hindu telah dianut masyarakat Jawa, tetapi

masyarakat Jawa tidak dapat melepas kepercayaan sebelumnya, maka

yang dominan adalah “Agama Jawa Kuno”, sedangkan agama Hindu

hanyalah selubung luarnya saja. Sehingga pemujaan terhadap roh

leluhur merupakan faktor paling dominan dalam kehidupan

masyarakat Jawa. Padahal sejak awal masuknya Hindu di Jawa telah

berusaha mengganti kepercayaan masyarakat Jawa kuno dengan

pemujaan Dewa, namun tidak berhasil sehingga yang terjadi adalah

berubahnya fungsi candi dari tempat memuja dewa bergeser menjadi

tempat menghormati atau memuja roh leluhur atau roh nenek

moyang.76

Ketika Agama Islam masuk ke Jawa, kepercayaan adanya roh

leluhur masih terus berlangsung di kalangan masyarakat Jawa.

Kendatipun agama Islam umumnya berkembang baik, tidak semua

orang yang beragama Islam beribadat menurut syariat sebagaimana

76Suasana, Majalah Bulan Wisatawan, No 17/September, 1988, 26. Surabaya Post 2 April 2001

Page 69: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

280

diajarkan agama Islam.77 Dalam sejarah penyebarannya, para

penganjur agama Islam saat itu, menerima tradisi-tradisi yang berasal

dari animisme-dinamisme, Hindu dan Budha kemudian dimasuki

nilai-nilai Islam,78 maka yang muncul adalah sebuah kesesuaian yang

selaras dengan mitos yang terdiri dari Dewa-Dewi Hindu, Nabi-Nabi

Islam, serta roh-roh leluhur. Sehingga yang terjadi adalah

percampuran dari unsur-unsur India, Islam dan unsur-unsur pribumi

Asia Tenggara (Indonesia). 79

Tradisi memuliakan roh-roh leluhur bagi masyarakat Jawa

setelah memeluk agama Islam, maka terjadi persenyawaan

kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang dengan kepercayaan

terhadap para wali atau tokok-tokoh lainnya yang dianggap

mempunyai daya linuwih (supranatural) semasa hidupnya, karena itu

berbagai sesajen (sajian persembahan), bunga, kemenyan, yang

sebelumnya dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang yang

bersemayam di tempat-tempat tertentu beralih persembahannya ke

makam-makam para wali, tokoh-tokoh agama dan kemasyarakatan

lainnya yang diyakini mempunyai daya sakti, atau keramat, begitu

juga terhadap benda-benda yang pernah dimiliki atau tempat yang

77Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1990), 346. 78Agus Sunyoto, Sunan Ampel : Taktik Dan Strategi Dakwa Islam Di Jawa Abad 14-15, (Surabaya: LPLI Sunan Ampel, tt), 89-90. 79Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 76.

Page 70: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

281

pernah disinggahi tokoh-tokoh tersebut juga dianggap mempunyai

nilai kekeramatan 80.

Adanya kepercayaan terhadap kekeramatan ini, kiranya dapat

dimaklumi karena agama itu sendiri merupakan suatu usaha manusia

untuk membentuk suatu kosmos keramat. Pemahaman yang lain,

agama adalah kosmisasi dalam suatu cara yang keramat (sakral).

Keramat dimaksudkan sebagai suatu kualitas kekuasaan yang

misterius dan menakjubkan, di luar kemampuan manusia normal,

tetapi berkaitan dengan manusia, yang diyakini berada dalam obyek-

obyek pengalaman tertentu. Kualitas seperti ini dapat disandang oleh

obyek-obyek alami atau artifisial, misalnya: batu keramat, peralatan

keramat, tokoh-tokoh keramat, juga ruang dan waktu keramat,

contohnya lokalitas–lokalitas keramat serta musim-musim keramat.81

Setelah masuknya Islam, masyarakat Jawa tidak begitu saja

meninggalkan kepercayaan lama yang pernah dilakukan para

pendahulunya. Sebab ajaran Islam sendiri tidak melarang ziarah

kubur. Menilik dari asal katanya, ziarah berasal dari bahasa Arab

artinya mengunjungi. Sebenarnya ziarah dalam tradisi Islam tidak

selalu ke makam. Ziarah bisa dilakukan kepada orang-orang yang

masih hidup atau ke atsar para Nabi yaitu tempat-tempat bersejarah

80Woodward, Islam, 258-259. 81Peter L. Berger, Langit Suci : Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES, 1994), 32.

Page 71: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

282

yang berhubungan dengan kejadian-kejadian istimewa yang dialami

para Nabi.82

Dalam Islam, ziarah dapat ditemukan di makam Nabi

Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya, para wali, murshid-

murshid tarekat, para sultan (amirul mukminin), para Imam madzhab,

serta para tokoh dan penyebar Islam lainnya. Tradisi ziarah hampir

ada di semua negara-negara yang memiliki penduduk muslim, di Irak

misalnya, makam Shekh Abdul Qadir Jailani di Baghdad setiap hari

banyak dikunjungi peziarah. Begitu juga makam Imam Syafi’i di

Mesir. Keramaian ziarah ini juga terjadi di makam para Khalifah

Daulah Umaiyyah di Damaskus Syria, serta kuburan Ayatullah

Ruhullah Khumaini di Iran. Bahkan di Yaman Selatan, khususnya di

Kota Tarim, tradisi ziarah ke makam tokoh-tokoh suci sebagaimana di

Jawa, sangat lazim dan dikenal masyarakat di sana.83

Tradisi ziarah juga dapat ditemui di Negara India, salah

satunya di makam Taj Mahal yang cukup terkenal dengan arsitektur

indah.84 Demikian halnya di Malaysia, tradisi ziarah ini banyak

dijumpai, terutama di makam-makam yang dianggap keramat.85 Di

Indonesia, tradisi ziarah lebih semarak lagi, sebab hampir semua

makam tokoh atau penyebar agama Islam di kepulauan Indonesia

82H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah (Bandung: Yayasan Al-Hamidiy,1996), 201. 83Nur Syam, Islam Pesisir, 68. 84Kompas, 25-26 Januari 2000. 85Surabaya Post, 19 November 2000.

Page 72: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

283

dijadikan tujuan ziarah, apalagi di pulau Jawa tradisi ziarah ini cukup

populer, terutama ziarah walisanga yang makamnya tersebar mulai

Jawa Timur hingga Jawa Barat.

Jika ditilik perkembangannya, ziarah ke makam dalam Islam

pernah dilarang Nabi Muhammad, pada awal-awal agama Islam

disampaikan, karena dikhawatirkan kebiasanaan-kebiasaan lama

masyarakat Arab jahiliyah yakni berupa penyembahan terhadap batu-

batu yang dianggap sebagai penghubung Dewa-Dewa (Lata, Uzza,

Hubal, Manat) akan timbul kembali, dengan bentuk penyembahan

terhadap kuburan. Namun setelah akidah umat Islam dianggap telah

cukup kuat, Nabi Muhammad menganjurkannya untuk melakukan

ziarah, dengan maksud supaya orang mengingat akhirat, sehingga

akan mendorong orang semakin giat beribadah dan sebaliknya orang

akan semakin takut untuk berbuat dosa.

Sedangkan hadits yang menjadi landasan normatif untuk

melakukan ziarah dalam Islam.

“Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh aku telah melarang kalian ziarah kubur. Ternyata, diizinkan bagi Muhammad ziarah ke makam ibunya. Maka dari itu, sekarang lakukan ziarah kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu dapat mengingatkan (kalian) kepada akhirat”.86

Berdasarkan pemaparan tentang ziarah kubur yang dilakukan

masyarakat muslim Jawa terdapat akulturasi Islam dan budaya Jawa.

86Lihat, Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dihak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. IV, (Kairo: Mawqi’ Wizarah al-Awqaf, tt), 311.

Page 73: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

284

Pola akulturasi tersebut terjadi ketika sebelum pelaksanaan pernikahan

berlangsung. Bagi mempelai putra dan wali atau ayah mempelai putri,

seperti kebiasaan yang dilakukan masyarakat Jawa, ia akan pergi ke

makam untuk ziarah kubur ke orang tuanya, jika keduanya masih

hidup, ia ke makam kakek atau neneknya.

Dapat dijelaskan bahwa dalam perilaku ziarah kubur ini terjadi

akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Dari aspek Islam terdapat

anjuran untuk ziarah kubur sebagaimana dianjurkan Nabi Muhammad

saw., tujuannya untuk mengingat mati dan mengingat akhirat, agar

manusia yang ziarah kubur ini senantiasa giat untuk beribadah.

Tidak ketinggalan dari aspek budaya Jawa, anjuran ziarah

kubur sebagaimana diajarkan Islam, masyarakat Jawa juga

menambahkan untuk ziarah ke punden atau cikal bakal desa. Salah

satu warga Mendek menjelaskan, selain bertujuan agar mengingat

akhirat untuk giat beribadah, tujuan yang kedua adalah berdo’a kepada

Allah serta memohon do’a restu (barokah) kepada orang yang

meninggal dan rasa terimakasih kepada cikal bakal desa yang telah

membuka lahan desa sehingga dapat menetap di desa tersebut dan

merasakan keindahan alam dan tanaman-tanaman yang pernah

ditanamnya ketika masih hidup.87

87Mas’ud, Wawancara, Mojokerto, 30 Juni 2013.

Page 74: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

285

Unsur budaya Jawa yang lain dalam ziarah kubur yang

dilakukan masyarakat Jawa adalah membawa kemenyan atau dupa

yang berbau harum untuk dipersembahkan kepada yang meninggal.

Dengan tujuan kontak batin antara yang meninggal dan yang masih

hidup dapat terjalin secara konstan dengan memakai wangi-wangian,

sebab menurut kepercayaan Jawa ruh-ruh yang telah meninggal dapat

bersambung dengan mereka yang hidup dikarenakan adanya suguhan

atau sesaji yang biasa disebut orang Jawa sekul petak gondo arum

(nasi putih harum baunya).

Dalam penjelasannya Mas’ud menambahkan, menurut

kepercayaan Jawa orang yang meninggal sudah tidak membutuhkan

makanan seperti makanan berupa nasi atau buah-buahan, tetapi bau-

bauan yang harum seperti harumnya kemenyan atau dupa yang sedang

dibakar sehingga harumnya menyebar ke mana-mana. Demikian

sesajen (sajian) berupa takir kecil yang berisi pisang, bumbu dapur,

bunga, dan bumbu kinang lengkap, maksud dari sesajen itu adalah

bahwa yang diharapkan bagi yang meninggal adalah keharuman bau-

bauan dari sesajen yang disuguhkan sebagaimana kesukaan mereka

yang meninggal saat masih hidup. Oleh karena itu orang Jawa

menyebut makam dengan sebutan sarean, atau tempat peristirahatan

(tempat tidur) yang menurut kepercayaan mereka bahwa

sesungguhnya orang yang meninggal itu sebenarnya adalah hidup,

Page 75: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

286

hanya jasadnya saja yang telah tiada. Sehingga orang yang masih

hidup seharusnya dapat menjalin komunikasi batin dengan mereka

yang sudah meninggal.88

Unsur nilai-nilai Islam yang dilaksanakan dalam ziarah kubur

yang dilakukan masyarakat muslim Jawa selanjutnya adalah dengan

membaca Yasin, tahlil, kalimat-kalimat tayyibah, dan membaca do’a

dengan bahasa Arab, selain itu juga ditambahkan dengan bacaan do’a

bahasa Jawa, ditutup dengan do’a sapu jagat.

b. Adek tratag (mendirikan terop)

Ritual adek tratag dilakukan oleh masyarakat muslim Jawa

biasanya dilakukan dengan melibatkan tetangga terdekat. Tujuan

dilakukan kegiatan itu adalah untuk soyo (membantu) mendirikan

terop agar dalam kegiatan itu dapat meringankan sohibul hajat yang

nduwe gawe (memiliki hajat). Kegiatan ini biasanya dilakukan

selamatan berupa tumpengan dengan mengundang tetangga terdekat,

setelah itu barulah didirikan terop dengan bantuan tetangga terdekat

dan melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keperluan

tuan rumah dalam persiapan menyambut kedatangan para tamu

undangan.

88Mas’ud, Wawancara, Mojokerto, 30 Juni 2013.

Page 76: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

287

Pasang tarub agung (terop) adalah salah satu syarat yang biasa

dipenuhi oleh orang Jawa. Dengan memasang tarub agung itu,

masyarakat umum akan cepat mengetahui bahwa keluarga yang

bersangkutan sedang mempunyai hajat untuk menyelenggarakan

upacara perkawinan. Secara simbolik bahwa rumah yang dipasang

tarub sedang mempunyai gawe besar. Keutamaan pasang tarub ini

adalah semacam tanda buat masyarakat luas. Sebelum pemasangan

tarub, sesaji khusus disiapkan, yang terdiri antara lain nasi tumpeng,

berbagai macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa, berbagai

macam lauk pauk, kue-kue, minuman, bunga, jamu, gula kelapa, dan

sebuah lentera. Sesaji ini melambangkan sebuah permohonan supaya

mendapatkan berkah dari Gusti Allah yang maha Kuasa dan para

leluhur dan sekaligus sebagai sarana untuk menolak makhluk-makluk

jahat.89

Pola akulturasi dari ritual adek tratag atau mendirikan terop

antara Islam dalam budaya Jawa dapat dilihat dalam hal-hal tertentu.

Dalam budaya Arab atau ajaran Islam ritual seperti itu tidak

ditemukan. Tetapi dalam budaya Jawa masyarakat Jawa melaksanakan

kegiatan itu ketika akan melangsungkan pernikahan, karena kehati-

hatian dalam setiap langkah kehidupannya sehingga masyarakat Jawa

ketika akan melakukan apa pun, apalagi berkaitan dengan hal-hal yang

89Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), 80.

Page 77: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

288

besar seperti mengadakan hajatan pernikahan yang mengundang

banyak tamu, maka apa yang dilakukannya harus disertai ritual agar

acara yang diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan memperoleh

keselamatan.

Sebagaimana pendapat salah satu tokoh adat mbah Wakim, ia

mengatakan bahwa ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam

hal-hal apa pun, termasuk adek tratag tidak lain adalah do’a awal,

sebagaimana dalam Islam juga menganjurkan berdo’a sebelum

memulai suatu pekerjaan atau bila akan mengerjakan sesuatu hal

dianjurkan membaca basmallah atau surat Al-Fatikhah. Sebenarnya

ritual adek tratag tak ubahnya seperti juga do’a untuk mengawali

suatu pekerjaan sebagaimana anjuran dalam agama Islam dengan

membaca basmallah, yang memiliki tujuan agar selamat. Hanya saja

karena kreatifitas masyarakat Jawa, di samping itu adanya benda-

benda dan hasil bumi yang ada sangat melimpah ruah di tanah Jawa,

maka barang barang sesajen itu dijadikan sebagai media atau simbol

do’a dengan membaca mantra-mantra berbahasa Jawa, tidak ubahnya

do’a bahasa Arab. Selain itu do’a terakhir dalam acara ritual adeg

tratag do’a yang dilakukannya juga berbahasa Arab sebagaimana

yang tertera dalam Al-Qur’an.90

90Wakim, Wawancara, Mojokerto, 7 Juni 2013

Page 78: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

289

Pola kulturasi yang lain antara Islam dan budaya Jawa dalam

ritual adek tratag dapat ditemui sebagaimana penjelasan Tisno, adek

tratag tersebut sesungguhnya adalah do’a untuk mengawali kegiatan

pernikahan, di samping itu dapat diartikan sebagai amal ibadah

bergotong royong saling membantu antara satu dengan lainnya yang

saling membutuhkan. Berhubung mendirikan terop (adek tratag) tidak

dapat sendirian, maka diperlukan bantuan orang lain yaitu tetangga

terdekat di sebelah kiri dan kanan rumah untuk saling berbagi.

Sebagai imbalannya yaitu dengan kenduri tumpengan makan bersama

dengan mereka yang diundang agar lebih giat dalam mendirikan terop,

meskipun mereka yang diundang tidak mengharapkan imbalan dari

tuan rumah sohibul hajat. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa

hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan, biasanya mereka giat

dan guyup (rukun bersama-sama) saling membantu meskipun tiada

imbalan. Namun demikian alangkah baiknya apabila ada rezeki lebih

sebagai tuan rumah untuk memberikan makanan kepada yang lain

seperti dalam acara adek tratag. Boleh dikatakan bahwa amalan

sebagaimana yang tertuang dalam ajaran agama Islam dalam hal

praktik dan pelaksanaannya sesungguhnya sudah dilakukan oleh

masyarakat Jawa, bahkan seperti adat gotong royong sudah dilakukan

Page 79: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

290

masyarakat pada masa silam. Di sinilah acara adek tratag, dapat

dikatakan amal bil halnya orang Jawa.91

Berdasarkan dari pemaparan dan wawancara dengan tokoh

masyarakat dan tuan rumah dalam acara perkawinan loro pangkon,

dapat diketahui bahwa terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya

Jawa dalam ritual adek tratag, yaitu terletak dalam pemahaman do’a

dan kegiatan tolong menolong sebagaimana juga disebutkan dalam al-

Qur’an. Masyarakat Jawa memberikan pandangan bahwa do’a bukan

hanya dilakukan dengan lisan saja, akan tetapi dapat dilakukan dengan

pemberian sesajen yang merupakan sebagai media untuk

berkomunikasi apakah dengan hal yang ghaib atau sesama yang masih

hidup. Dalam ritual adek tratag, dapat dijumpai bahwa do’a secara

Islami dengan menggunakan bahasa Arab tetap dilakukan oleh

masyarakat Jawa, di samping itu untuk lebih dapat dimengerti, mereka

lebih suka menggunakan mantra (do’a) berbahasa Jawa sesuai dengan

bahasa ibu yang lebih dapat dimengerti oleh yang lain karena terbiasa

dengan bahasa Jawa. Dalam pandangan mereka do’a apapun Tuhan

akan lebih tahu yang terpenting niatnya, sebagaimana juga dalam

sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya amal perbuatan seseorang di

tentukan oleh niatnya.”

Dalam hal ibadah, berkaitan dengan hubungan

hablumminannas, hubungan antar sesama manusia, masyarakat Jawa

91Tisno, Wawancara, Mojokerto, 8 Juli 2013.

Page 80: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

291

merefleksikan dalam bentuk acara saling membantu mereka yang

membutuhkan seperti dalam acara adek tratag. Dari sinilah dapat

diketahui bahawa amal bilhal, amal dengan perbuatan tersebut

dikejewantahkan oleh masyarakat Jawa dengan bentuk gotong royong

dalam hal bermasyarakat, di samping itu juga acara kenduri

tumpengan sebagai amal sodakoh. Dalam kegiatan seperti itu

masyarakat Jawa terlihat guyup (rukun), mereka dengan senang hati

membantu tetangga yang membutuhkan pertolongannya. Mereka tidak

memandang status dan apa agamanya, saling berbagi dan saling

membaur turut bekerjasama.

2. Ijab Qabul dan Resepsi (Walimatul Urusy)

Setelah berbagai kelengkapan dan akomodasi sudah dipersiapkan

dengan maksimal, maka ditentukanlah hari pelaksanaan perkawinan.

Bertepatan dengan hari dilaksanakannya perkawinan atau diadakannya

ijab qabul kedua mempelai pengantin duduk bersanding, yaitu dalam

pelaksanaan ijab qabul menurut Islam lebih diutamakan yang menikahkan

adalah orang tua laki-laki atau wali dari mempelai putri. Pada umumnya

pelaksanaan pernikahan di Jawa, wali dari mempelai putri seringkali

mewakilkan kepada para penghulu atau seorang kiai. Menurut pandangan

masyarakat Jawa karena seorang penghulu atau kiai dianggap sebagai

orang yang lebih tahu tentang berlangsungnya keabsahan pernikahan,

apakah dari segi syarat dan rukunnya dalam syari’at Islam. Sebagaimana

Page 81: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

292

berikut pola akulturasi proses pelaksanaan perkawinan dan acara

resepsinya.

a. Ijab Qabul (Akad Nikah)

Dalam pelaksanaan akad nikah masyarakat muslim Jawa pada

umumnya seringkali untuk menikahkan putrinya terbiasa diwakilkan

kepada para penghulu atau seorang kiai, hal ini dianggap lebih afdol

(utama) dalam pandangannya dikarenakan seorang penghulu atau

seorang kiai lebih mengerti dan lebih paham tentang agama Islam,

apalagi berkaitan dengan urusan pernikahan. Sebab dalam pandangan

masyarakat muslim Jawa, syah dan tidaknya pernikahan harus sesuai

dengan syarat dan rukunnya pernikahan sebagaimana dalam ajaran

syari’at Islam. Demikian pula dalam pandangan masyarakat Jawa,

orang yang dianggap lebih pantas adalah orang yang lebih mengerti

dalam hal apa saja, terutama dalam hal agama. Kiai adalah orang yang

dianggap masyarakat Jawa lebih mengerti tentang agama, di samping

penghulu sebagai ahli agama yang digaji pemerintah.

Dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern dalam Islam

di Indonesia 1900-1942, Deliar Noer mengatakan, di beberapa

kalangan masyarakat Jawa memberikan penghormatan yang tinggi

kepada kiai merupakan kewajiban utama sebagaimana

penghormatannya pada orang tua, mertua, dan raja. Sepertinya

kedudukan dan penghormatan seperti ini merupakan kelanjutan dari

Page 82: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

293

tradisi pra-Islam (animisme) yang memberikan penghormatan luar

biasa kepada dukun atau tokoh adat (pembaca mantra) yang

mempunyai ilmu supranatural, maka tidak heran kemudian jika

seorang kiai tidak saja hanya memiliki kematangan dan kedalaman

dengan ilmu agama Islam, tapi lebih dari itu juga dianggap tokoh yang

menguasai ilmu supranatural. Kedudukan yang dimuliakan ini tetap

hingga hari tuanya, malahan tidak jarang terjadi, hingga wafat pun

pengaruhnya tidak pupus.92

Dalam bahasan kiai ini, Suprayogo93 membedakan menjadi

empat kelompok kiai yang didasari dari adanya sikap kiai terhadap

masalah sosial, politik, ekonomi dan pendidikan. Pertama, kiai

spiritual, yang dimaksud pada kelompok yang pertama ini adalah kiai

yang memfokuskan gerakannya pada kegiatan mengajar di pesantren

dan berkonsentrasi pada peribadatan. Kedua, kiai advokasi, yang

tergolong kelompok ini adalah seorang kiai di samping aktif mengajar

di pesantren, juga memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan

masyarakat. Ketiga, kiai politik adaptif, yaitu kiai yang memiliki

kepedulian dengan organisasi politik dan kekuasaan serta memilki

kedekatan dengan pemerintah. Keempat, kiai politik mitra kritis, yakni

92Deliar Noer, Gerakan Modern dalam Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakartra: LP3ES, 1996), 19. 93Imam Suprayogo, Kiai Politik, Kiai Advokatif, Kiai Spiritual (Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1998)

Page 83: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

294

kiai yang memiliki kepedulian terhadap organisasi politik, namun

kritis terhadap pemerintah.

Figur seorang kiai memiliki tempat istimewa dalam stratifikasi

sosial masyarakat Jawa. Begitu istimewanya, sehingga penghormatan

sosial tertinggi pun diperuntukkan bagi tokoh ini, karena kiai tidak

hanya dapat berperan sebagai pengajar agama yang baik, tetapi kiai

dianggap memiliki pengetahuan dan kearifan yang dalam, sehingga

kiai mampu menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam

masyarakat. Karena kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam

Islam, seringkali dilihat sebagai sosok yang senantiasa dapat

memahami keagungan Tuhan dan kerahasiaan alam, dengan kata lain

seorang kiai memiliki kekuatan supranatural.94

Penghormatan terhadap kiai oleh segmen masyarakat Islam

terutama golongan tradisional, kiranya dapat dimaklumi karena dalam

Islam, para ulama merupakan pewaris atau penerus ajaran para Nabi,

yang memiliki keunggulan seperti, kedalaman ilmu, keturunan,

ekonomi yang diabdikan untuk masyarakat secara luas,95 sehingga

dalam kehidupan di masyarakat kiai sebagai pembawa panji-panji

Islam yang sepanjang kehidupannya memimpin aktivitas kehidupan

94Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki, Potret Tragedi Politik di Dongos (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 110. 95Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan (Jakarta: P3M, 1986), 192.

Page 84: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

295

keagamaan, pada akhirnya juga memperoleh pengaruh politik yang

kadang-kadang harus berkompetisi dengan penguasa.96

Sehingga tidak heran apabila dalam suatu komunitas

masyarakat agama ditemukan satu bentuk kepatuhan dan

penghormatan yang luar biasa kepada para kiai. Dengan demikian,

predikat kiai adalah gelar yang diberikan masyarakat secara suka rela

kepada ulama Islam yang telah banyak berperan di tengah-tengah

masyarakat, yaitu berlomba-lomba dalam melaksanakan amal

kebaikan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan semua

makhluk di alam raya ini.97

Sebenarnya dalam masyarakat Islam, sebutan yang paling

umum bagi golongan ahli pengetahuan Islam adalah ulama, jamak dari

alim artinya orang Islam yang memiliki ilmu pengetahuan mendalam

tentang agama Islam. Namun biasanya di kalangan masyarakat Islam

Jawa Tengah, Jawa Timur termasuk Madura, sebutan bagi ulama

tradisional adalah kiai atau nyai. Sedangkan putranya disebut gus,

bindere, lora atau ning untuk yang perempuan. Di Jawa Barat, ulama

dikenal dengan ajengan. Tuan guru, tuan shekh atau buya biasanya

untuk ulama di Sumatra, Nusa Tenggara Barat dan luar Jawa lainnya.

Bagi kalangan Islam modernis dan kalangan masyarakat Arab di

96Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1982), 58. 97Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LKiS, 2007), 2.

Page 85: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

296

Indonesia, para ulama ini dipanggil ustadz. Namun sekarang ini,

istilah kiai telah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik

tradisional maupun modernis di pulau Jawa atau di luar Jawa. Begitu

juga istilah ustadz, kini tidak hanya digunakan di kalangan Islam

modernis atau kalangan masyarakat Arab saja, akan tetapi telah masuk

ke dunia pesantren tradisional.

Elite komunitas agama di Indonesia jika ditinjau sejarahnya

pada abad-abad lalu, terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, para

pegawai yang pada umumnya menjabat penghulu, bertugas mengurusi

masjid di kota-kota besar dan menjabat sebagai anggota pengadilan

agama, serta merangkap sebagai penasehat agama pada pengadilan

umum. Kedua, para guru agama, kiai atau shekh, sebutan untuk guru

yang tua dan dihormati dalam lingkungan yang lebih luas. Adapun

bila dikaji pada strukturnya, pegawai agama (kiai pengulu) sifatnya

hirarki karena diangkat dengan surat keputusan gubernur jenderal

Hindia Belanda, atas usulan bupati dan residen, sedangkan gajinya

berasal dari pemerintah, sehingga akar para pegawai agama terdapat

dalam kalangan pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya struktur

pada kelompok kiai atau guru agama, tidak begitu hirarki

sebagaimana kiai penghulu serta tidak mendapat gaji dari

pemerintah.98 Sependapat dengan istilah Ibnu Qoyim, golongan yang

pertama dikenal dengan ulama pejabat yang berhubungan dan

98Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), 107-108.

Page 86: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

297

menerima gaji dari pemerintah Belanda yang tugasnya berada dalam

jalur at-tasyri’ wa al-qadla’, yaitu pelaksana bidang kehakiman yang

menyangkut syari’at Islam. sedangkan yang kedua dikenal dengan

ulama bebas yang biasanya berada di pondok pesantren yang

sekaligus berfungsi sebagai mubaligh (juru dakwah) dan biasanya anti

terhadap pemerintah Belanda, dan mengambil posisi di jalur ad-

da’wah wa at-tarbiyah yaitu dakwah dan pendidikan.99

Kuntowijoyo,100 yang melakukan penelitian di Madura dalam

salah satu bahasannya mengupas tentang elite masyarakat agama,

mengatakan bahwa kiai adalah elite desa yang karena dalamnya

pemahaman agamanya sehingga masyarakat menempatkan mereka

pada strata golongan yang paling terdidik di setiap desa. Dijelaskan

pula bahwa, beberapa kiai selain karena keahliannya dalam masalah

agama, mereka juga dapat meramal nasib, menyembuhkan orang

sakit, dan mengajarkan olah kanuragan (kedigdayaan). Dengan

pembagian yang lebih detail, kiai dapat dikelompokkan menjadi tiga

jenis, yaitu: guru ngaji yang mengajarkan membaca al-Qur’an, guru

ngaji kitab yang mengajarkan berbagai jenis buku agama, dan guru

tarekat atau pemimpin tarekat.

Sependapat dengan Kuntowijoyo, kedudukan kiai memiliki

arti yang penting di Madura. Demikian pula di Jawa, peran sentral dan

99Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai Penghulu Jawa (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 64. 100Kuntowijoyo, Perubahan sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), 332-333.

Page 87: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

298

kedudukan kiai atau penghulu bagi masyarakat Jawa sangat

dibutuhkan kehadirannya dalam pernikahan, Tisno menjelaskan

bahwa untuk menikahkan seorang anak perempuannya, ia akan

merasa tentram apabila yang melaksanakannya adalah seorang kiai

atau penghulu. Sampai-sampai apabila seorang kiai atau penghulu

terlambat datang, mereka rela menunggu sampai kehadirannya tiba di

tengah-tengah acara yang akan berlangsung. Sehingga kedudukan kiai

atau penghulu dalam pandangan masyarakat Jawa memiliki

keistimewaan tersendiri di antaranya untuk dimintai do’a restu dan

barokahnya agar acara hajatan yang berlangsung berjalan dengan

selamat dan lancar. Kehadiran kiai sangat ditunggu-tunggu apabila

tidak hadir, dan merasa kurang afdol apabila yang menikahkan

putrinya bukan kiai atau penghulu.101

Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap

sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara

perempuan yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara

pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali dan dianggap

tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa

adanya akad.102

101Tisno, Wawancara, Mojokerto, 5 Juni 2013. 102Muhammad Jawal Mughniyah, “al-fiqih 'ala al-Madzhab al-Khamsah” diterjemahkan Masykur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), 309.

Page 88: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

299

Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, agung dan

monumental bagi setiap pasangan hidup. Karena itu pernikahan bukan

hanya sekedar mengikuti agama dan meneruskan naluri para leluhur,

untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan hubungan yang sah

antara laki-laki dan perempuan. Namun juga memiliki arti yang sangat

mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera

kehidupan seperti yang dicita-citakannya.

Pernikahan menurut masyarakat Jawa adalah hubungan cinta

kasih yang tulus antara seorang pemuda dan pemudi, yang pada

dasarnya terjadi karena sering bertemu antara kedua belah pihak,

yakni perempuan dan laki-laki. Dalam suatu pepatah jawa mengatakan

“tresno jalaran soko kulino” yang artinya cinta kasih itu tumbuh

karena terbiasa. Dalam hukum adat, pernikahan selain merupakan

suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, yang

bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta

membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu

hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak

istri dan pihak suami. Terjadinya pernikahan, berarti berlakunya

ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang

hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.103

103Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Citra Aditiya Bakti. 1995), 70.

Page 89: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

300

Dalam buku “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat” Soerojo

Wignjodipoero mengatakan bahwa pernikahan merupakan peristiwa

yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat Jawa, karena

pernikahan itu tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan saja,

namun juga melibatkan orang tua kedua belah pihak, saudara-

saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.104

Selain itu dalam pelaksanaannya juga terdapat ketentuan-ketentuan

yang merupakan suatu budaya yang selalu dilakukan, yang mana ini

sudah dilakukan sejak dulu. Dari situ dapat diartikan bahwa campur

tangan dari orang tua sangat berpengaruh sekali.

Dalam hal syarat-syarat pernikahan sebenarnya antara hukum

adat dan hukum Islam itu tidak jauh berbeda. Karena untuk dapat

terlaksananya suatu pernikahan itu syarat utama yakni harus ada

mempelai laki-laki dan perempuan. Selain itu antara kedua belah

pihak harus mengetahui bagaimana keadaan dan kebiasaan keduanya.

Kemudian harus diketahui pula apakah perempuan itu masih sendiri

dalam arti belum menikah ataupun dalam pinangan seseorang, apakah

si perempuan itu mau menikah dan tidak merasa terpaksa untuk

menikah. Selain itu kehadiran seorang wali sangat dibutuhkan, karena

seorang perempuan tidak bisa menikah sendiri harus ada wali

104Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. 1995), 122.

Page 90: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

301

nikahnya, meskipun wali nikah atau ayahnya meninggal dapat

digantikan saudara laki-lakinya.

Untuk terlaksananya suatu pernikahan juga dibutuhkan dua

orang saksi diambil dari yang masih ada hubungan famili dengan

kedua mempelai misalnya saudaranya atau pamannya. Selain itu

kehadiran seorang perangkat desa juga sangat diperlukan karena

kehadirannya itu juga dianggap sebagai saksi pernikahan. Dan inilah

fungsi dari kehadiran keluarga atau kerabat yakni untuk menyaksikan

pernikahan tersebut. Satu lagi yang tidak kalah pentingnya yakni

adanya mahar berupa uang atau barang yang dapat digunakan oleh

calon istri, yang dalam hukum adat Jawa disebut dengan peningset.105

Mahar atau dapat disebut dengan mas kawin adalah pemberian yang

diberikan oleh calon suami kepada calon istri diwaktu datang pertama

kali ke rumahnya dengan tujuan ingin menikahinya.106

Di antara segala rangkaian upacara pernikahan, sebenarnya

upacara ijab qabul itu menduduki derajat yang paling utama.

Dikatakan utama karena menyangkut hukum agama dan negara.

Dengan upacara ijab qabul berarti telah terjadi pemindahan kekuasaan

seorang perempuan dari tangan wali kepihak pengantin laki-laki.

Setelah sah dinikahkan dalam upacara ijab qabul, berarti perempuan

105E. S. Ardinarto, Mengenal Adat Istiadat dan Hukum Adat di Indonesia (Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, 2008), 51. 106Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974),77.

Page 91: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

302

itu telah menjadi wewenang suaminya. Adapun mempelai laki-laki

juga dituntut untuk bertanggungjawab penuh terhadap istrinya.107

Dari pemaparan yang telah dijelaskan di atas, dalam acara ijab

qabul, yang merupakan acara inti dalam ajaran syari’at Islam,

terjadinya akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat diketahui bahwa

unsur ajaran Islam lebih menonjol. Sedang akulturasi dengan unsur

Jawa adalah cara atau model pakaian kedua pengantin, mempelai

putra memakai celana, jas, dan kopiah. Mempelai putri memakai jarik

dan baju pakaian wanita Jawa lengan panjang. Selain itu kehadiran

kedua orang tua pihak laki-laki tidak diperkenankan menghadiri acara

ijab qabul dalam kepercayaan Jawa.108 Sehingga kedua orang tua

pihak mempelai putra tidak hadir dalam arena acara ijab qabul yang

bertempat di ruang tamu rumah mempelai putri. Ketika acara resepsi

pernikahan kedua orang tua mempelai putra diperkenankan hadir.

Selain itu pola akulturasi antara Islam dan budaya Jawa

terdapat dalam konsep berpikir mengenai kedudukan seorang kiai

yang dapat dipersamakan dengan seorang dukun (ahli kejawen).

Mereka menganggap biasanya seorang kiai adalah juga memiliki

pengetahuan tentang masalah-masalah kejawaan dalam hal-hal

batiniah. Sebagaimana Tisno,109 menyodorkan contoh seorang kiai

107Purwadi, Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 22. 108Tisno, Wawancara, Mojokerto, 10 Nopember 2012. Demikian pula pengamatan penulis, Dokumentasi, Mojokerto, 10 Nopember 2012. 109Tisno, wawancara, Mojokerto 5 Juni 2013.

Page 92: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

303

terkenal di Mojokerto kiai Khusen Ilyas, serta kakak kiai Khusen Ilyas

yaitu kiai Mundir (Alm.) yang lebih kejawen. Dalam pandangan

masyarakat Jawa kehadiran peran kiai atau penghulu dalam acara

pernikahan sungguh sangat sentral, mereka menganggap acara

pernikahan itu akan mendapatkan barokah dengan kehadiran kiai dan

do’anya. Dengan harapan kedua mempelai dalam membina rumah

tangga menjadi keluarga yang sakinah. Kehadiran kiai bagi orang

Jawa dapat dipersonifikasikan sebagaimana pada masa lalu semacam

dukun, ia menamakan dengan menyebut dukun adalah orang yang

dapat madokno barang seng rukun (memadukan sesuatu sehingga

menjadi rukun atau bersatu).

b. Resepsi atau walimatul urusy

Resepsi pernikahan dilaksanakan pada umumnya setelah

terjadinya aqdunnikah (ijab qabul) berlangsung. Sebab dalam

pandangan masyarakat muslim Jawa belumlah afdol jika diadakan

resepsi pernikahan akan tetapi belum terjadi acara ijab qabul,

meskipun dapat dijumpai dan jarang terjadi peristiwa tersebut

diakibatkan dalam hal-hal tertentu adanya problem-problem yang

terjadi.

Agama mensunahkan agar menyiarkan perkawinan supaya

terjauh dari nikah sirri (rahasia) dan untuk menyatakan rasa gembira

yang dihalalkan oleh Allah, karena perkawinan merupakan perbuatan

Page 93: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

304

yang haq untuk dipopulerkan supaya dapat diketahui orang yang

berkepentingan maupun khalayak ramai. Anjuran walimah dilakukan

walaupun hanya dengan satu kambing. Jadi dalam menyelenggarakan

walimah tidak wajib yang bermewah-mewah.

Berdasarkan pemaparan di atas, pola akulturasi dalam acara

resepsi pernikahan menurut Islam sebagaimana pengamatan penulis di

lapangan, apa yang dilakukan masyarakat muslim Jawa bukan hanya

sekedar menyembelih satu ekor domba, tetapi lebih dari itu karena

yang punya hajat pernikahan tergolong mampu. Sebagaimana yang

pernah dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw., untuk mengadakan

walimah walau hanya sekedar menyembelih seekor domba. Pengertian

yang diajarkan Islam dapat dipahami bahwa sekurang-kurangnya

ketika terjadi pernikahan dapat menjamu tamu undangan dengan

menyembelih seekor domba untuk dimakan bersama dan menyaksikan

berlangsungnya pernikahan agar tidak terjadi fitnah bagi kedua

mempelai dan pihak keluarga yang punya hajat. Hal demikian dapat

dimaksudkan pula sebagai siar kepada publik. Demikian pula yang

dilakukan dalam pernikahan loro pangkon, siar kepada publik di

samping dengan walimah dengan mengundang banyak tamu dan

menyembelih domba, tetapi masyarakat Jawa melakukannya lebih dari

Page 94: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

305

itu, di antaranya dengan kirab keliling desa bagi kedua mempelai

menggunakan kereta kuda yang dinahkodai seorang kusir.110

Selain itu dalam ajaran Islam dianjurkan pula menggunakan

khutbah nikah. Masyarakat Jawa dalam memahami nasehat pernikahan

bagi kedua mempelai dan yang menyaksikan sebagaimana dalam

khutbah nikah, mereka di samping melakukan khutbah nikah,

masyarakat Jawa menambahkan pula dengan kegiatan beso’ loro

pangkon. Acara beso’ loro pangkon dalam budaya Jawa yang terjadi

ketika terjadi pernikahan sesungguhnya adalah merupakan nasehat.

Dalam dialog beso’ loro pangkon kedua orang yang bertugas

memerankan acara itu saling berdialog dan tanya jawab, salah satu

yang membawa boneka jago merupakan wakil mempelai putra, sedang

salah satunya wakil mempelai putri. Dalam dialog tersebut di

antaranya yang menjadi media nasehat dalam tanya jawab itu adalah

seputar boneka jago yang dipersonifikasikan sebagai jago yang

sesungguhnya, berkaitan dengan kejantanan dan keperkasaan serta

kesungguhan seorang laki-laki sebagaimana jago yang siap bertarung

menghasilkan keturunan yang baik. Di samping itu, pertanyaan yang

diajukan juga seputar peralatan rumah tangga sebagai media tanya

jawab yang diharapkan perilaku kedua mempelai sesuai dengan

kebiasan dan aturan adat istiadat masyarakat Jawa. Kedua mempelai

110Pengamatan di lapangan, Dokumentasi, Mojokerto, 11 Nopember 2013.

Page 95: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

306

dan masyarakat diharapkan tidak melanggar norma-norma agama

dalam hidup berumah tangga dan bermasyarakat, sehingga kelak

rumah tangga yang diharapkan bagi kedua mempelai menjadi keluarga

yang bahagia dan sejahtera, keluarga yang sakinah mawaddah

warrahmah.111

Kebiasaan yang dilakukan dalam acara resepsi adat Jawa,

selain adanya beso’ loro pangkon, juga dilakukan acara serah terima

dari kedua wakil mempelai, dengan disisipkan di dalamnya acara

mauidzah khasanah oleh penceramah seorang kiai yang menjelaskan

tentang nasehat-nasehat agama, masalah pernikahan yang sesuai

dengan al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang pernah diajarkan

Rasulullah saw. dan dilanjutkan dengan do’a berbahasa Arab sebagai

acara penutup.112

D. Keberagamaan Masyarakat Muslim Jawa dalam Perkawinan Loro Pangkon

1. Perkawinan Loro Pangkon Sebagai Wujud Interaksi Sosial

Keberagamaan Masyarakat Muslim Jawa

Masyarakat muslim Jawa dalam melaksanakan sosial

keagamaannya, mereka mewujudkan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan

yang dilaksanakan bukan tanpa tujuan, tetapi mengandung nilai-nilai

ajaran agama, terutama disesuaikan dengan ajaraan agama yang dianutnya

111Ibid. 112Ibid.

Page 96: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

307

yaitu Islam. Salah satu pengamalan keagamaan yang dilakukan

masyarakat muslim Jawa adalah direpresentasikan dalam bentuk

perkawinan loro pangkon. Melalui kegiatan tersebut dapat diketahui

bagaimana corak keberagamaannya yang diwujudkan dalam interaksi

sosial bermasyarakat.

a. Pembentukan keluarga melalui ikatan perkawinan (ijab qabul)

Sebagai orang yang menganut ajaran Islam, masyarakat Jawa

dalam melakukan pernikahan disesuaikan dengan syari’at ajaran Islam.

Di mana dalam pelaksanaan akad nikah kedua mempelai itu disaksikan

oleh dua orang saksi, terdapat wali, kedua mempelai hadir saat acara

ijab qabul, terdapat ucapan ijab (penyerahan) dari pihak wali, dan

kemudian jawaban penerimaan (qabul) dari mempelai putra.

Dalam pandangan Islam pernikahan memiliki banyak hukum,

bisa wajib, sunnah, makruh, dan haram. Sesuai dengan ajaran Islam

bahwa pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang sakinah

mawaddah warrahmah. Kegiatan berkumpulnya suami istri dianggap

sah dalam pandangan Islam apabila dalam pelaksanaan ijab qabul telah

memenuhi syarat dan rukunnya pernikahan sesuai syari’at Islam.

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku

pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun

tumbuhan. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah SWT

Page 97: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

308

sebagai jalan hidup bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan

melestarikan hidupnya. Sebagaimana firman Allah:

كم تذ عل قنا زوجین ل رون ومن كل شيء خل ك

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzaariyaat.)113

Allah menciptakan lelaki dan perempuan agar dapat

berhubungan satu sama lain, saling mencintai, mengasihi, dan

menghasilkan keturunan dengan hidup berdampingan secara damai

sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. Sebagaimana

dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al Hujuraat.

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al Hujuraat, 13).114

Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya

yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan

dan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Akan tetapi untuk

menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT.

113al-Qur’an, 51: 49. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 862. 114al-Qur’an, 49: 13. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 847

Page 98: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

309

mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.115 Menurut

syara’ nikah berarti melakukan akad (perjanjian) antara calon suami

dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami

istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama.116

Sedangkan yang dimaksud dengan akad ialah pengucapan ijab dari

pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak

calon suami atau wakilnya.117

Menurut pandangan Islam, perkawinan mengandung tiga

aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial, dan aspek agama. Dilihat dari

aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian

dalam perkawinan ini mengandung tiga karakter yang khusus yaitu

perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa adanya unsur sukarela dari

kedua belah pihak, kedua belah pihak yang mengikat persetujuan

perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian

tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya,

persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai

hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Ditinjau dari aspek sosial, perkawinan mempunyai arti

penting, yaitu orang yang melakukan perkawinan mempunyai

kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang belum

115Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 11. 116Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2004), 17-18. 117Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah Penuntun Perkawinan (Surabaya: Bintang Terang, 1993), 9.

Page 99: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

310

kawin.118 Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, perempuan

dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi

menurut ajaran Islam dalam perkawinan ini hanya dibatasi paling

banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat yang tertentu pula.

Aspek agama dalam perkawinan adalah bahwa Islam memandang dan

menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik

dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan

lahir saja tetapi juga diikat dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut

ajaran Islam perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan

biasa, melainkan merupakan suatu persetujuan suci, di mana kedua

belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling

meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama

Allah.119

Menurut kompilasi hukum Islam, yang terdapat dalam Pasal 2

dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah:

“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.”120

118Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),79. 119Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: PT Bumi Askara, 2004), 9-12. 120Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam Indonesia studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), 44.

Page 100: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

311

Mujtahid sepakat bahwa nikah adalah yang dianjurkan syari’at

bagi mereka yang berkeinginan untuk nikah dan khawatir terjerumus

ke dalam zina. Sikap yang demikian adalah lebih utama dari haji,

shalat, jihad, dan puasa sunnah. Demikian menurut kesepakatan para

imam madzhab.121 Sebaliknya, nikah menjadi haram bila diketahui

sebelumnya bahwa laki-laki tersebut tidak mampu memberi nafkah

dan berniat untuk menyakiti si istri, karena akan jauh dari

ketentraman sebagaimana yang dicita-citakan.

Dengan demikian, bahwa pernikahan bagi umat manusia

adalah sesuatu yang sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula,

dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syari'at

agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-

mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan

jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap

saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan

kasih sayang yang mendalam. Di samping itu untuk menjalin tali

persaudaraan di antara dua keluarga dari pihak suami dan pihak istri

dengan berlandaskan pada etika dan estetika yang bernuansa ukhuwah

basyariyah dan Islamiyah.122

121Al-‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqy, “Rahmah al-Ummah fi al-‘Aimmah” diterjemahkan Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab (Bandung: Hasyimi Press, 2001), 341. 122Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2004), 19

Page 101: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

312

b. Selamatan sebagai media permohonan do’a dan amal bilhal bagi keberagamaan masyarakat muslim Jawa

Pandangan hidup masyarakat Jawa dalam melakukan suatu

kegiatan yang berkaitan dengan ritus lingkaran hidup, berupa

kelahiran, khitanan, dan perkawinan, termasuk yang menyangkut hajat

keinginan dalam bentuk hajat kecil maupun besar, mereka senantiasa

melakukan ritus-ritus tertentu atau upacara selamatan. Selamatan

(slametan) dalam tradisi Jawa tidak dapat dilepaskan dengan pola

pikir yang menjadi kepercayaannya. Ketika menelusuri kepercayaan

masyarakat Jawa, terdapat sesuatu hal yang dihadapkan dengan

bentangan panjang sejarah kepercayaan mereka. Wajar saja karena

sejarah tentang kepercayaan (agama) memiliki usia setua dengan

eksistensi (manusia) yang mempercayainya. Penelusuran ini menjadi

penting karena tradisi erat kaitannya dengan keyakinan dan nilai. Oleh

karena itu, seringkali tradisi muncul karena berdasarkan keyakinan

dan nilai.

Situasi kehidupan “religius” masyarakat di tanah Jawa

sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import

maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum

Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk

keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme.123 Pandangan

hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan

123Masroer Ch. Jb., The History of Java (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004),19.

Page 102: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

313

numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang

dianggap keramat.124

Menurut Romdlon, dkk.,125 animisme adalah aliran (doktrin)

kepercayaan yang mempercayai realitas (eksistensi, maujud) jiwa

(roh) sebagai daya kekuatan yang luar biasa yang bersemayam secara

mempribadi di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan

segala yang ada di alam raya ini. Dengan kepercayaan tersebut

sebagaimana pendapat Ridwan,126 muncul penyembahan pada ruh

nenek-moyang (ancestor worship). Penyembahan pada ruh ini

akhirnya memunculkan tradisi dan ritual untuk menghormati ruh

nenek-moyang. Penghormatan dan penyembahan biasanya dilakukan

dengan sesaji dan selamatan. Tujuan ritual ini adalah sebagai wujud

permohonan pada ruh leluhur untuk memberikan keselamatan bagi

para keturunannya yang masih hidup. Seni pewayangan dan gamelan

adalah ritual yang seringkali dijadikan sarana untuk mengundang dan

mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam tradisi ritual ini, ruh nenek-

moyang dipersonifikasikan sebagai punakawan yang memiliki peran

pangemong keluarga yang masih hidup.

Sementara dinamisme atau dinamistik adalah doktrin

kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam mempunyai

124Ibid,. 125Romdhon dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 36 dan 43. Lihat Ibid,19 – 20. 126Ridwan, “Dialektika Islam dan Budaya Jawa”, dalam Ibda’ Volume 3, Nomor 1 Januari - Juni 2005 (Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 2005), 20.

Page 103: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

314

kekuatan keramat atau kesaktian yang tidak mempribadi, seperti

pohon, batu, hewan, dan manusia.127 Dengan kata lain, sebagaimana

dikatakan Alisyahbana kepercayaan masyarakat Jawa pra-Hindu

Budha adalah keyakinan akan hal-hal ghaib (tak terlihat), besar dan

menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar tidak diganggu oleh

kekuatan tersebut, apalagi mencelakakannya.

Eksistensi ruh dan kekuatan benda-benda tersebut dipercayai

dapat menolong dan dapat mencelakakan manusia. Masyarakat Jawa

Kuno mempercayai adanya kekuatan pada benda-benda. Kekuatan

pada benda-benda selanjutnya dipercayai dapat mengakibatkan

pageblug penderitaan, musibah) yang dapat mengancam eksistensi

manusia. Gunung meletus, angin topan, gempa bumi, sambaran petir,

dan semacamnya dipercayai sebagai wujud marahnya ruh dan efek

kekuatan negatif yang berasal dari benda-benda di alam sekitar.Di

samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan

senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki

kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat

perlakuan istimewa.

Setelah masuknya ajaran Hindu128 dan Budha ternyata tidak

menghapus kepercayaan agama asli masyarakat Jawa. Agama asli

127Romdhon dkk, Agama, 36. 128Agama Hindu dibawa oleh pelaut India dan para Brahmana. Kaum Brahmana selanjutnya memperoleh posisi yang kuat dan menjabat sebagai penasihat raja serta sebagai pemimpin upacara keagamaan Abhiseka (pertobatan) dan Mahattnya (menghindukan adat). Lihat lebih lanjut Rahmad

Page 104: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

315

tidak punah, tetapi justru menemukan bentuk dan tempatnya yang

lebih baik bagi perkembangan keyakinan tersebut. Walau demikian,

Hindu-Budha memberikan konsep baru dengan mentranformasikan

keyakinan masyarakat akan kekuatan pada benda-benda dan ruh

menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja. Raja

dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari kosep ini muncullah

budaya untuk patuh tanpa reserve pada raja. Pada zaman kerajaan

Jawa-Islam membawa pengaruh besar. Dimulai dari transformasi

keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung

oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Penyebar Islam di Jawa

adalah walisongo, sebagai juru dakwah dan guru tarekat. Corak Islam

Jawa adalah bercorak tasawuf. Sementara itu, pandangan hidup

masyarakat Jawa sebelumnya bercorak mistik sehingga pandangan

Islam yang bercorak tasawuf ini sejalan dengan keyakinan mereka.

Selanjutnya berkaitan dengan ritus slametan dalam pandangan

hidup masyarakat Jawa, meninjau dari asal usul kata slamet (Arab:

salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat

dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak

dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz,129 slamet berarti gak ono

Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 13; Lihat juga Masroer Ch , Jb. The History, 21; N.D. Pandit Shatri, Sejarah Bali Dwipa (Denpasar: Bhuawana Saraswati, 1963), 89; Bandingkan dengan Sularso Supater, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), 9. 129Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976), 14.

Page 105: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

316

opo-opo (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-

apa” (pada siapa pun).

Konsep slamet yang menjadi pandangan hidup masyarakat

Jawa itulah sehingga dimanifestasikan melalui praktik-praktik

slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang

biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik

upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih

besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama),

mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh

penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan

dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga

untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Slametan dalam

skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika

mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan

mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam

kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur

tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih

banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik

seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton,130

praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji)

tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali

130John Pemberton, Jawa (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), 327-336.

Page 106: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

317

hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa

(dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin

hubungan damai dengan dunia ruh setempat.

Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta

komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar.

Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai

kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian

“buah tangan”, jajan pasar, dalam bentuk makanan. Hal yang menarik

adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah

kemungkinan untuk makan bersama sebagai wujud kebersamaan,

tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah

(berkat). Slametan dalam pemahaman masyarakat Jawa dapat

dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang boleh dimaknai pula

dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata tertib, aman

(selamat), dan wilujeng (selamat). Demikian pula Orde Baru yang

syarat dengan tradisi Jawa, menginterpretasikan konsep ini dengan

menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan

ketertiban, dengan dalih keselamatan bangsa.

Merujuk kembali berkaitan dengan asal usul kata Arab salam

yang dalam bahasa Jawa dengan sebutan slamet, berasal dari salima-

yaslamu-salaman-salamat (h) berarti selamat, bebas, menerima, rela

Page 107: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

318

(puas), damai.131 Terdapat 155 ayat yang secara derivatif berasal dari

kata salima. QS. 7: 46, “Di antara keduanya ada batas, di atas a’raf itu

ada orang yang mereka kenal, masing-masing dengan tanda mereka.

Dan mereka menyeru penduduk surga dengan ‘salamun alaikum’….”

Kata salamun alaikum memiliki arti keselamatan dan rasa aman selalu

menyertai kalian (penduduk surga).132 Selanjutnya, Quraish Shihab

menjelaskan kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan

aib. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada

kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah

“damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar

dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau

kesuksesan. Kedamaian, keamanan, dan kesentausaan adalah cita-cita

dan tujuan setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, Allah mengajak

hamba-Nya ke negeri yang damai (dar al-salam) (QS. Yunus: 25).

Allah sendiri adalah pangkalan kedamaian, keselamatan, dan

kesentausaan (QS. al-Hasyr: 23). Tanpa adanya al-Salam (Allah) atau

tanpa salam (kedamaian jiwa manusia), maka semuanya akan kacau,

rusak, bahkan kehidupan akan berhenti.

Dari keyakinan akan keesaan Tuhan, pada gilirannya

melahirkan kedamaian dan ketentraman. Sebaliknya, pelanggaran dan

131Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 655 – 656. 132Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2004),105-107.

Page 108: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

319

pengingkaran pada Tuhan akan melahirkan kekacauan, ketidakpastian,

kegelisahan, dan ketakutan. Bukti dalam sejarah kemanusiaan

sebagaimana ditunjukkan oleh referensi qur’anik bahwa keingkaran

(ke-kufur-an) sebagai lawan kata ketundukan (ke-islam-an), sebagai

wujud kedzaliman pernah dialami oleh beberapa pelaku sejarah yang

mengakibatkan degradasi dan kejatuhan “status” seperti yang dialami

oleh Adam, penderitaan yang mencekam (dalam perut ikan)

sebagaimana di alami oleh Yunus, serta “pelecehan” harga diri

sebagaimana dialami oleh Yusuf. Meskipun dengan peristiwa tersebut

akhirnya mereka menemukan kembali kepatuhan dan kepasrahan

mereka, sekaligus menemukan keselarasan, keseimbangan,

ketenangan, dan kedamaian jiwa. Peristiwa yang dialami oleh para

nabi sebagaimana disebut dalam al-Quran, paling tidak memiliki dua

maksud. Pertama, peristiwa (kekufuran) tersebut menunjukkan adanya

kebebasan diri untuk memilih. Artinya, manusia sebagai hamba Tuhan

dilengkapi dengan potensi untuk bebas memilih antara patuh atau

ingkar. Kedua, pelajaran tentang transformasi kesadaran. Kesadaran

diperoleh melalui pengalaman, yang sekarang mungkin dapat disebut

trial and error, tetapi tetap pada pendirian bahwa pengalaman tersebut

memiliki tambatan yang kuat, yakni Tuhan.

Berbeda dengan kekufuran sepanjang masa sebagaimana di

alami oleh Fir’aun. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah kehidupan

Page 109: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

320

Fir’aun adalah “nihilis”, yakni dapat disebut sebagai “kekosongan

ruhani ketuhanan”, sekalipun dia menyebut dirinya tuhan.

Pengingkaran Fir’aun berakhir dibayar dengan social cost yang sangat

mahal, yakni keterkungkungan, penindasan, serta penistaan citra

kemanusiaan.

Salamah bagi Ibn Araby sebagaimana disinyalir William C.

Chittick, bahwa keselamatan dapat dicapai melalui “adaptasi” atau

proses penyelarasan dengan qadr (ukuran-ukuran) Tuhan. Qadr Tuhan

adalah syari’ah. Jika seseorang menyimpang dari qadr (syari’ah)

tersebut, maka pada dasarnya tidak ada keselamatan bagi dirinya.133

Tuhan yang dimaksud Ibn Araby adalah Tuhan sebagaimana

yang dikonsepsikan dalam al-Quran, yakni sebagai pencipta,

pemelihara, dan pengatur kehidupan. Senada pendapat Chryssavgis,

agama-agama monoteistik besar setuju untuk tidak hanya pada nama

(atau banyak nama) Tuhan, tetapi mereka setuju pada namelessnes

Tuhan, yang dapat dikatakan misteri Tuhan melampaui semua nama

dan pengetahuan.134 Jika disandingkan dengan pemahaman

masyarakat Jawa pra-Islam, (terutama pada zaman primitif),

kepercayaan mereka terdapat pada kekuatan-kekuatan lain selain

dirinya. Kekuatan di luar dirinya dinyatakan sebagai Tuhan, termasuk

133Willian C. Chittick, The Sufi Part of Knowledge, Hermeunetika Al-Quran, Terj. Ahmad Nidjam, dkk (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), 23. 134Lihat Akhiyat, “Persamaan Dimensi Mistis Dan Dialog Lintas Agama; Respon Caner Dagli dan John Cryssavgis terhadap Common Word”, Religio, Vol.02, No. 01 (Maret 2012), 79.

Page 110: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

321

ruh nenek-moyang, kekuatan magis benda, dan lain sebagainya, yang

di dalam Islam adalah sebagai makhluk Tuhan.

Islam menganjurkan pemeluknya untuk mempercayai hal-hal

ghaib (hal-hal yang tidak kasat mata), seperti jin, malaikat, roh, dan

makhluk ghaib lain. Makhluk-makhluk ghaib sebagaimana dijelaskan

dalam al-Qur’an memiliki potensi (kemampuan) tertentu yang

mungkin tidak dimiliki oleh jenis makhluk lainnya. Akan tetapi,

kepercayaan dan keimanan tersebut menandaskan bahwa potensi

(kekuatan) tersebut adalah potensi pemberian Allah, Tuhan semesta

alam. Dengan kata lain, tidak ada kekuatan apapun jika tidak diberi

oleh Allah.

Penghargaan sesama makhluk diperbolehkan selagi tidak

menjurus pada penuhanan (menjadikan Tuhan). Sesama manusia

dianjurkan saling menghargai dan dilarang menyakiti. Demikian juga

terhadap makhluk lain, termasuk kepada hewan, bahkan makhluk

ghaib lain. Yang sangat dilarang adalah menuhankan bukan Tuhan

dan me-makhluk-kan Tuhan.

2. Principle of Utility Dalam Perkawinan Loro Pangkon

Pelaksanaan perkawinan loro pangkon yang dilakukan oleh

masyarakat muslim Jawa memiliki karakter tersendiri. Mereka memiliki

prinsip bagaimana memperoleh manfaat yang besar (principle of utility),

Page 111: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

322

yakni apa yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan apakah dengan

ajaran Islam maupun budaya Jawa. Dalam perkawinan tersebut dapat

diketahui terjadinya kontak budaya Jawa dengan ajaran Islam, yang dapat

dikatakan sebagai proses akulturasi.

Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat

proses akulturasi, masyarakat dituntut adanya suatu kearifan. Dalam

pengertian menjaga proses akulturasi tetap berjalan seiring dengan

perkembangan zaman. Namun agar dalam perubahan sebagai akibat dari

proses akulturasi, baik sosial maupun budaya agar tidak tercabut dari akar

budaya suatu bangsa perlu adanya suatu pedoman yang dapat menentukan

arah perkembangan kebudayaan bangsa. Bagi bangsa Indonesia pedoman

untuk menangkal lajunya proses akulturasi sudah tercamtum dalam UUD

1945, yaitu harus mengacu pada nilai-nilai inti Pancasila sebagai

konfigurasi kebudayaan bangsa. Sebagaimana pendapat Budhisantoso,135

pengembangan kebudayaan nasional harus mampu mewujudkan pedoman

yang menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa yang memiliki

fungsi integratif dan kerangka acuan dalam kehidupan masyarakat

majemuk.

Dari kajian teori akulturasi akhir-akhhir ini, perkembangannya

pesat telah menyebabkan pesatnya perkembangan ruang lingkup dan

135S. Budhisantoso, Pembangunan Nasional Indonesia Dengan Berbagai Persoalan Budaya Dalam Masyarakat Majemuk, Dalam: E.K.M. Masinambow (ed), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (Jakarta: AAI Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia, 1997), 136.

Page 112: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

323

metodelogi. Kajiannya dijadikan dasar pengungkapan fenomena

hubungan-hubungan sosial, tidak hanya terbatas antar ras, bangsa dan

negara tetapi juga antar kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal

dalam suatu lingkungan atau daerah yang sama. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Lauer,136 yang menyatakan bahwa pada dasarnya

akulturasi merupakan fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok

atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak

langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau

kedua kelompok itu.

Dari perubahan pola kebudayaan itu akan menghasilkan sesuatu

yang khas sebagai proses akulturasi. Menurut Koentjaraningrat,137 bahwa

untuk mengkaji proses akulturasi dapat menggunakan beberapa

pendekatan, salah satunya principle of utility yaitu suatu unsur budaya

baru yang mudah diterima, bila unsur itu mempunyai guna yang besar bagi

masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, menurut Jeremy

Bentham,138 dan didukung John Stuart Mill,139 bahwa kemajuan suatu

negara seperti yang terjadi dewasa ini dan kebutuhan psikologis yang

dibutuhkan umat beragama dilihat dari aspek kemanusian sebagaimana

136Robert. H. Lauer,Perspektif Tentang Perubahan Sosial (ed. terj.) (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), 403. 137Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 1958), 449-450. 138Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (New York: Batoche book, 1781 edited thn. 2000), 14. 139John Stuart Mill, filosof Inggris yang hidup 1806-1873 yang telah merubah filsafat poltik dalam moral kontemporer. Sehingga ia menjadi seorang yang ahli dalam bidang utilitarisme.

Page 113: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

324

manusia yang mengagungkan kesenangan dan kebahagian dalam setiap

perilaku dan tindakannya, mereka ingin mencapai kenikmatan, kebahagian

dan prinsip-prinsip kebahagian (principle of utility).

Dalam pandangan Bentham,140 ada dua hal pokok dari etika

utilitarian, yaitu pleasure (kenikmatan) dan pain (penderitaan). Kedua hal

yang saling berlawanan ini menurutnya merupakan hal yang harus dicari

dan harus dihindarkan oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang

senantiasa mencari kenikmatan (pleasure seeking) dan menghindari rasa

sakit atau penderitaan (pain avoiding). Prinsip utiliti Bentham merupakan

ekspresi politis dan moral dari hedonisme psikologis. Jadi, Bentham

menggandengkan utilitarianisme dengan hedonisme. Oleh karena itu

banyak dikritik sebab moralitas seolah-olah tidak lebih dari pada sekedar

mencari bagi dirinya sendiri suatu kehidupan yang penuh kenikmatan.

Oleh karena itulah banyak yang mengejek filsafat Bentham tersebut

sebagai “pig philosophy” atau filsafat yang cocok untuk babi.

Mill mengkritik dan meluruskan pendapat Bentham yang

mengukur kebahagiaan dan kesenangan secara kuantitatif, karena

menurutnya kualitas dari kesenangan dan kebahagiaan juga perlu

dipertimbangkan, ada kesenangan yang lebih tinggi kualitasnya dan ada

juga yang lebih rendah. Bagi Mill ukuran gradasi kenikmatan itu bukanlah

demikian, tetapi sesuai dengan apa yang disebutnya qualitative feature.

140Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (New York: Batoche book, 1781 edited thn. 2000), 791.

Page 114: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

325

Jadi pleasures yang berasal dari “higher faculties” (intelek, perasaan,

imajinasi, perasaan moral) lebih bernilai dari pada pleasure yang berasal

dari “lower faculties” yakni kenikmatan badaniah atau sensual.141

Mill menambahkan, dengan mengatakan bahwa nikmat jangan

dibatasi hanya dengan nikmat jasmani saja sebab nikmat rohani lebih luhur

dari pada nikmat jasmani. Keunggulan pleasures akal budi dari yang

badaniah dapat dibuktikan dengan mudah bagi yang mengalami keduanya.

Ia juga meluruskan kritik bahwa utilitarianisme itu egois karena baginya,

prinsip kebahagiaan terbesar haruslah mencakup semua orang yang

terkena dampak tindakan itu.142 Jadi, bukanlah kebahagiaan diri yang

dikejar (seperti etika Epikuros) tetapi kebahagiaan semua orang. Oleh

karena itu, prinsip utility menurut Mill juga mengacu pada kebahagiaan

terbesar bagi sebanyak mungkin orang, the greatest happiness for the

greatest number.143 Konsep ini menunjukkan bahwa Mill ingin

menjauhkan nilai egoisme dari etikanya sebagaimana yang dituduhkan

pada pandangan Bentham, karena menurutnya kebahagiaan harus selalu

bersifat universal.

Dari pendapat berbagai ahli, selanjutnya bagaimanakah pola

akulturasi yang dilakukannya masyarakat muslim Jawa dalam perkawinan

141John Stuart Mill, Utilitarianism, reprinted in Utilitarianism (London: Liberty, Representattive Government, J. M. Dent & Sons Ltd., 1954), 20. Lihat pula, Akhiyat, Tuhan Begitu Dekat; Mengenal Diri Sejati (Yogyakarta: Pena Media Utama, 2010), 5. 142Lihat, Franz Magnis Suseno, Tiga belas Model Pendekatan Etika : Bunga Rampai Teks-Teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 195-196. 143John Stuart Mill, Utilitarianism, reprinted in Utilitarianism (London: Liberty, Representattive Government, J. M. Dent & Sons Ltd., 1954), 12.

Page 115: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

326

loro pangkon, sehingga budaya tersebut masih dilakukan oleh masyarakat

Jawa. Mereka memelihara dan mempertahankan perkawinan loro pangkon

sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pendahulunya, di antara peran

yang dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Beso’ loro pangkon sebagai media dakwah sosial keagamaan

Salah satu bentuk ajaran Islam adalah dakwah, yaitu

menyiarkan ajaran Islam secara benar. Dalam menyiarkan ajaran Islam

salah satu bentuk yang dilakukan oleh masyarakat muslim Jawa dalam

perkawinan adalah dengan menggunakan media beso’ loro pangkon,

kegiatan ini dilakukan karena dianggap efektif sesuai dengan karakter

budaya masyarakat Jawa. Di mana masyarakat muslim Jawa memiliki

prinsip tidak saling merugikan yang berarti saling menguntungkan,

apakah dari segi budaya masyarakat Jawa yang masih eksis dan perlu

dipertahankan dengan keluhurannya, di samping juga melakukan

ajaran Islam dengan benar dan tidak menyalahi syari’at Islam.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk saling tolong

menolong dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam hal

keburukan. Begitu pula Islam menganjurkan untuk saling menasehati

terhadap yang lain. Dalam memahami pengamalan Islam sebagaimana

yang diwujudkan dalam perkawinan loro pangkon, masyarakat muslim

Jawa melakukannya melalui beso’ loro pangkon. Kegiatan ini

dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembinaan serta

Page 116: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

327

nasehat kepada kedua mempelai pengantin berdua, dan umumnya

kepada masyarakat secara umum. Isi dalam dialog beso’ loro pangkon

adalah mengarahkan kepada pendengar bagaimana cara berumah

tangga yang baik sesuai dengan keadaan dan kebiasaan masyarakat

Jawa, agar apa yang dilakukannya tidak melanggar ajaran agama

maupun adat-istiadat masyarakat Jawa.

Sebagaimana dialog dalam beso’ loro pangkon yang

diperankan oleh dua orang pemain beso’ loro pangkon antara bapak

Naryo dengn bapak Denan, simbol huruf N adalah bapak Naryo, dan

huruf D adalah bapak Denan, dialognya sebagai berikut.

N: Enggeh… terus seng dibeto ngarep lincip niku wau nopo? (Iyaa…terus yang dibawa di depan lancip itu apa?)

D: Lincip niko waua, tumbak ajining pangucap! (Lancip itu tadi, tumbak ajine perkataan)

N: Tumbak ajining….(Tumbak ajining....) D: pangucap (Perkataan) N: Oooh…. (Oooh....) D: Tumbak empon dipun wastani wesi aji, duduk wesine seng diaji-aji,

tapi ucape! (Tumbak bisa diartikan besi aji, bukan besinya yang diaji-aji tapi ucapannya)

D: Janji jam siji teko meriki, jam siji pas mpon teko meriki !!!! (Berjanji jam satu sampai di sini, jam satu pas sudah sampai sini!!!!)

N: Ngaten nggeh ( Iyaaa…iya….)

Dalam dialog tersebut, bapak Naryo menanyakan di antara

barang-barang yang dibawa rombongan mempelai putra, dan setelah

itu dijawab oleh bapak Denan. Dalam dialog tersebut ungkapan-

ungkapan yang dilontarkan banyak mengandung nasehat atau pitutur,

Page 117: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

328

memberikan ajaran bagaimana manusia Jawa dalam bergaul dan

bertindak dengan orang lain agar mereka dapat diterima oleh orang

lain, salah satunya yaitu berhati-hati dalam ucapan dan tindakan.

Sebagaimana dalam dialog beso’ loro pangkon, di antara barang-

barang yang ditanyakan adalah tombak yang ujungnya sangat lancip

terbuat dari besi. Tombak yang lancip itu dalam pandangan masyarakat

Jawa, memiliki makna bahwa suatu perkataan yang sudah diucapkan

hendaknya dipegang teguh. Jangan sampai apa yang sudah diucapkan

tadi tidak sesuai dengan tindakannya atau perilakunya melanggar

ucapannya sendiri.

Menurut pandangan masyarakat Jawa, orang yang suka

berdusta disebut dengan istilah nyulayani janji (perilakunya sering

berbuat dusta). Orang yang berbuat demikian adalah disebut orang

yang tidak dapat menepati janji, ucapannya tidak dapat dipakai sebagai

pegangan bagi orang lain, tergolong sebagai orang yang berkhianat.

Bagi orang Jawa, orang yang seringkali berkhianat terhadap orang lain

atau seringkali mengobral janji dan tidak menepati janjinya maka

pembicaraannya tidak akan digugu (diperhatikan) orang lain, sebab

menurut orang Jawa yang menjadi perhatian seseorang adalah berasal

dari ucapannya. Sekali saja ucapan seseorang berdusta maka orang

yang demikian tidak akan diperhatikan orang lain, sebab dari ucapan

yang tidak berhati-hati akan dapat mencelakakan orang lain. Oleh

Page 118: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

329

karena itu ucapan bagi orang Jawa sangat menjadi perhatian utama

orang lain terhadap tindakan seseorang. Dalam pandangan Jawa ada

istilah lebih baik diam dari pada berkata akan menjadi bencana, ada

suatu maqola dalam istilah Arab salamatul insan fi khifdillisan

(keselamatan seseorang tergantung dari menjaga ucapannya).

Nasehat yang lain dalam dialog beso’ loro pangkon adalah

sebagaimana diungkapkan oleh kedua pemain dalam menanyakan

salah satu peralatan rumah tangga, sebagai berikut dialognya.

N: Seng niki lo seng di gecoi abah wau lo nopo niki? (Yang ini lo… yang dipegangi abah tadi apa ini?)

D: Oh… niku eler! (Oh…itu kipas !) N:Nopo? (Apa?) D:Eler! (Kipas!) N: Eler! Maksude eler niku nopo? (Kipas! maksudnya kipas itu apa?) D: Eler sak derange melebu mriki wau mpon kulo silir-silir disek

(Kipas sebelum masuk kesini tadi saya mencari informasi dulu) N: Maksude melebet niku….( Maksudnya masuk itu….) D: Aa… sak derange kulo sowan mriki mpon kulo silir-silir disek

(Aa….sebelum saya berkunjung ke sini sudah saya mencari informasi dulu)

N: Ooo… ngatena (Ooo…begitu) D: Enggeh, cocok pernah nggeh, setuju la baru …nggeh (Iyaaa, cocok

pernah iyaa, setuju teruus baruuu…iya) N: Oooh ngaten maksude eler! (Oooh begitu maksudnya kipas!) D: Enggeh (Iyaa…)

Dari dialog tersebut yang ditanyakan adalah peralatan dapur

yang disebut dengan eler (kipas terbuat dari anyaman bambu), alat ini

dipergunakan oleh masyarakat Jawa biasanya untuk mengipasi api

yang padam ketika memasak nasi di dapur, sebab pada zaman dahulu

umumnya memasak nasi di dapur dengan memakai kayu bakar, apabila

Page 119: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

330

apinya padam eler (kipas) inilah yang dibuat untuk mengipasi kayu

bakar yang telah padam agar apinya menyala, dapat pula eler berfungsi

sebagai kipas untuk badan yang berkeringat kegerahan (ketika keadaan

cuaca panas). Maksud dari eler adalah bahwa seseorang yang akan

menikah hendaknya mencari informasi-informasi yang benar dan

akurat, agar dikemudian hari dalam menjalani rumah tangga tidak

mengalami penyesalan, apakah dari pihak mempelai putra maupun

mempelai putri.

Dengan mencari informasi dari berbagai pihak, akan dapat

diperoleh informsi yang selengkap-lengkapnya, terutama bagi seorang

pria yang akan mencari pendamping seorang istri harus benar-benar

diperhatikan dari bobot, bibit, bebet. Sehingga dalam menemukan

seorang jodoh tidak mengalami kekecewaan. Pihak pria dengan

berbagai informasi yang didapatkan akan mengetahui segala

kekurangan dan kelebihan dari pihak wanita yang akan dijadikan

pendamping hidup. Demikian pula dari pihak keluarga wanita

diharapkan pula mencari informasi tentang laki-laki yang akan menjadi

suami putri tercintanya. Dengan saling mencari informasi tersebut akan

didapatkan titik temunya, meskipun di antara keduanya terdapat segala

kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ketika sudah terjadi

titik temu dan kesesuaian, terjalinlah kesepakatan-kesepakatan yang

akan dicapai kedua belah pihak untuk diteruskan menuju pernikahan.

Page 120: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

331

Di sinilah, makna eler yaitu diseler-seler (dicari terlebih

dahulu informasi yang sebenar-benarnya) sebelum mencari jodoh siapa

orang yang akan dijadikan istri maupun yang akan dijadikan suami.

Dengan memperoleh informasi yang akurat maka seseorang akan

memperoleh kejelasan orang yang akan dijadikan pendamping dalam

hidup berumah tangga. Islam pun menjelaskan bagaimana tata cara

mencari pendamping hidup berumah tangga sebagaimana sabda

Rasulullah saw. di antaranya adalah bagaimana limaliha, lijamaliha,

lidiniha, dapat diterangkan bagaimana kedudukan seorang wanita

tersebut dari segi harta bendanya, kemudian kecantikannya, dan

terakhir adalah apabila keduanya tidak didapatkan minimal agamanya

atau seagama.

Demikian penjelasan yang dapat dipetik dari pelajaran tradisi

perkawinan loro pangkon, yang memiliki muatan dari sisi adat Jawa

maupun agama, dalam memilih jodoh diperlukan mencari pilihan

secara selektif agar tidak salah pilih, sebagaimana halnya membeli

kucing di dalam karung, ketika dibawa ke rumah ternyata tidak sesuai

dengan yang diharapkan. Demikian mencari jodoh juga harus selektif

agar tidak saling mengecewakan kedua belah pihak.

b. Pertunjukan wayang sebagai media dakwah

Di samping beso’ loro pangkon sebagai media dakwah dalam

keberagamaan masyarakat Jawa yang berhubungan dengan sosial

Page 121: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

332

kemasyarakatan. Masyarakat muslim Jawa menggunakan media lain

dalam acara perkawinan loro pangkon. Media yang dimaksudkan

adalah dengan diselenggarakannya pertunjukan wayang kulit yang

diadakan pada malam hari. Ketika acara perkawinan dan resepsi

pernikahan di siang hari telah dilaksanakan, selanjutnya di malam hari

penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit digelar.

Pertunjukan wayang sebagaimana yang digelar dalam acara

pernikahan, di samping sebagai media hiburan dalam arti yang lebih

luas merupakan sebagai media komunikasi dan dakwah bagi

masyarakat. Apabila ditinjau dari perkembangan sejarah yang ada,

dalam kenyataannya pertunjukan wayang kulit purwa telah teruji oleh

perjalanan zaman tidak kurang dari 1000 tahun lamanya sampai

dengan sekarang ini, dan tetap menjadi milik bangsa Indonesia yang

mempunyai pemikiran apa pun terhadapnya, termasuk mereka yang

mempunyai pemikiran dakwah. Dari kenyataan tersebut membuktikan

bahwa pertunjukan wayang itu memuat unsur-unsur filosofis yang

mengakar dalam bangsa Indonesia siapa pun masyarakatnya termasuk

yang beragama Islam baik yang mengambil usaha dakwah ataupun

tidak. Pertunjukan wayang kulit purwa dalam acara dan lakon apa

pun, di tempat mana pun, serta di waktu kapan pun, disajikan oleh

dalang siapa pun, selama ini selalu memiliki bentuk, sejarah,

perkembangan, spirit, dan makna. Artinya, pertunjukan wayang kulit

Page 122: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

333

purwa tersebut memuat apa saja yang akhirnya menjadi pandangan

setiap masyarakat atau bangsa Indonesia yang ada, terutama

masyarakat Jawa.

Pertunjukan wayang kulit purwa sebagaimana diterangkan oleh

Soetarno,144 ketika pada zaman Demak kurang lebih tahun 1500-an,

model wayang tidak secanggih seperti saat ini, tangannya masih

menyatu, gerakannya sangat sederhana. Pertunjukan wayang kulit

purwa berdasar keterangan Soetarno tersebut, memberikan petunjuk

adanya bentuk. Bentuk menurut Soedarsono,145 merupakan apa yang

dapat dilihat, apa yang bisa dicatat. Dijelaskan lebih lanjut oleh

Soetarno,146 ketika mengungkapkan bentuk pertunjukan wayang kulit

purwa, maka menyebutkan berbagai unsur yang ada seperti pelaku,

perabot, dan operasional penyajianya.

Pertunjukan wayang kulit purwa, yang diungkapkan oleh

Abdullah,147 dalam makalahnya “Dewaruci dalam Psikologi Jung”,

berdasarkan sejarah, bahwa wayang kulit purwa pernah di tanggap

oleh raja Mataram tahun 1500-an, ketika itu raja Mataram ingin

diterangkan mengenai makrifat oleh Sunan Kalijaga, maka Sunan

144Soetarno, Wayang Kulit dan Perkembangannya (Surakarta: Cinderawasih, 2002), 40. 145Lihat, Sutiono, 2000. “Shalawat Sebuah Ekspresi Budaya Jawa Islam” (Tesis S2 Program Studi Pengkajian Pertunjukan, Ilmu-Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), 67. 146Soetarno, Wayang Kulit dan Perkembangannya (Surakarta: Cinderawasih, 2002), 41. 147Abdullah, 1971, “Dewaruci dalam Psikhologi Jung”. Makalah untuk Ceramah Pusat Pewayangan, 3 Agustus, 1971, di theater Arena P.D.K. Taman Ismail Marzuki. Pusat Pewayangan Indonesia: Jakarta, 71.

Page 123: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

334

Kalijaga kemudian membuat wayang menjadi miring agar tidak

bertentangan dengan agama atau jatuh dalam hukum haram. Selain

itu juga, agar raja Mataram diberi tanggapan atau upah dengan

membaca kalimat syahadat kemudian masuk Islam: “bari gampil

tanggapane amung maos kalimat syahadat nuli Islam” (mudah sekali

tanggapannya hanya membaca kalimat syahadat kemudian masuk

Islam). Keterangan Abdullah mengenai pertunjukan wayang kulit

purwa berdasar sejarah tersebut, menyiratkan bahwa wayang ketika

itu telah digunakan untuk dakwah.

Cerita wayang kulit purwa yang disajikan oleh Sunan Kalijaga

ketika ditanggap oleh raja Mataram tersebut, diterangkan lebih lanjut

oleh Abdullah, adalah “Dewaruci”. Cerita “Dewaruci”, sesungguhnya

telah ada sebelum zaman para wali, lakon Dewaruci diciptakan oleh

Empu Siwa Murti.148 Keterangan Abdullah tentang lakon Dewaruci

yang disajikan oleh Sunan Kalijaga berkaitan dengan sejarah waktu

dan penciptanya tersebut, menyiratkan bahwa cerita apa pun bisa

ditafsir dan disajikan dengan pemikiran dalang untuk kepentingan apa

saja. Maknanya, jika dalang atau penyajinya itu mempunyai pola pikir

bagi umat atau agama, maka cerita wayang tersebut akan ditafsirkan

sedemikian rupa sesuai dengan agama dan disajikan untuk

kepentingan dakwah.

148Lihat, Adikara, Unio Mistica Bima: Analisis Bimasuci Jasadipura I (Bandung, ITB, 1984), 12.

Page 124: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

335

Cerita baku Dewaruci sebagai bahan yang digarap dalam

pertunjukan wayang kulit purwa, diterangkan oleh Zarkasi Effendi,149

di antaranya adalah berisi ajaran kalimat laailaaha illallaah (iman

kepada Allah), dan pentingnya menegakkan shalat, demikian juga

Petruk dadi Ratu, dan Mustakaweni Maling. Keterangan Zarkasi

Effendi tersebut memberikan petunjuk bahwa cerita apapun sebagai

bahan yang digarap dalam pertunjukan wayang kulit purwa itu bisa

digarap sedemikian rupa berisi ajaran-ajaran agama Islam.

Bagi mereka yang mengambil wayang sebagai media dakwah,

yakni untuk mengajak manusia taat kepada Allah dengan bijaksana

dan bertahap sesuai dengan keadaannya. Dengan kata lain, bahwa taat

kepada Allah memiliki makna melakukan atau mengamalkan ajaran

agama Islam sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Dalam kitab suci

umat Islam dan Hadits tersebut, banyak mengandung pokok-pokok

ajaran agama Islam. Di antaranya berisi ajaran pentingnya taat kepada

orang tua, pentingnya haji, zakat, infak, shadaqah, ibadah sosial dan

sebagainya. Sebagaimana diterangkan Abu Yahya bin Syaraf

Annawawy dalam Riyadlushshalihin yang dialihbahasakan oleh Salim

Bahreisy,150 menyebutkan ajaran-ajaran agama Islam sampai dengan

400.

149Zarkasi Effendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan (Yogyakarta: PT. Al-Ma’arif, 1978), 78. 150Abu Yahya bin Syaraf Annawawy, Riyadlushshalihin, dialihbahasakan oleh Salim Bahreisy, jilid I (ND:7-12) dan jilid II (ND:5-17).

Page 125: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

336

Pokok ajaran agama Islam dari pendapat tersebut ada yang

menyebutkan 400, ada pula yang menyebut 500, yang berarti bahwa

setiap orang membagi ajaran agama Islam itu dalam jumlah yang

berbeda. Pokok ajaran agama Islam itu seberapa pun banyaknya,

menurut Chotibul Umam hanya ada tiga saja, yakni ibadah atau

ubudiyah, dakwah atau mu’amlah, dan khidmad. Ibadah adalah

mengabdi kepada Allah, dakwah mengajak manusia taat kepada Allah,

khidmat adalah pelayanan dengan barang.151

Dalam berdakwah dianjurkan secara bijaksana, maksudnya

sesuai dengan keadaan manusia yang menjadi sasaran dakwah. Kalau

manusia yang menjadi sasaran dakwah itu masih suka dengan wayang,

sebaiknya dakwah yang dilakukan dengan memakai wayang. Kalau

masih suka dengan gamelan dakwahnya dengan gamelan, dan

sebagainya. Tetapi dakwah sesuai dengan keadaannya itu bukan

berarti statis, melainkan terus bergerak tahap demi tahap.

Menurut Frans Magniz Suseno,152 ajaran kebaikan agama

apakah agama Hindu, Budha, Kristen, termasuk Islam, senantiasa

mengandung tiga nilai. Pertama, hubungan antara manusia dalam

posisinya sebagai hamba Tuhan atau hablumminallah. Kedua,

hubungan antara manusia dengan manusia dalam posisinya sebagai

mahluk sosial atau hablumminannaas, dan ketiga, hubungan manusia

151Chotibul Umam, 1995, Fiqih (Kudus: Menara Kudus, 1995), 12. 152Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakasanaan Hidup Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 56.

Page 126: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

337

dengan alam dalam posisinya sebagai pengelola alam atau

hablumminal ‘alm. Ajaran dakwah, ibadah, dan hidmad itu seperti

telah diterangkan di atas adalah ajaran kebaikan agama, oleh karena

itu sudah barang tentu akan bisa dilihat ada nilai hablumminallaah,

hablumminannaas, dan hablum minal ‘alam di dalamnya.

Demikian pula perilaku manusia, menurut Pawlow,153 dalam

bertindak senantiasa didorong oleh berbagai hal, nafsu biologis,

ekonomi, mempertahankan diri, kreatif, dan agama. Manusia itu

terentang mulai dari keburukan dan kebaikan. Karena demikian, maka

perilaku manusia itu sangat dimungkinkan sekali didorong oleh

berbagai hal seperti dalam pandangan Pawlow tersebut. Perilaku apa

pun termasuk agama, menurut Sumadi Suryabroto, adalah karena

adanya dorongan intrinsik dan ekstrinsik. Dorongan intrinsik adalah

dorongan dari dalam atau kehendak sendiri, sedang ekstrinsik, adalah

dorongan dari luar atau kehendak orang lain, sistem, dan lingkungan.

Melihat adanya perilaku manusia yang demikian itu, yakni

berkaitan dengan kondisi sosial dan psikologis sasaran dakwah, maka

dakwah yang dilakukan seharusnya dengan hikmah atau bijaksana.

Bijaksana menurut pendapat Abu Farhana,154 adalah bertahap, mulai

dari ta’aruf, targhib, tasykil, dan kemudian dakwah. Ta’aruf artinya

perkenalan, maksudnya dakwah dengan melakukan mengenali dahulu

153Lihat, Gazali, Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco, 1985), 84-85. 154Abu Farhana, Muddzakarah Dakwah Usaha Rasulullah (Bandung: Pustaka Rahmat Al-Falaqi, 2004), 31.

Page 127: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

338

keadaan masyarakat dan melihat keadaan yang ada atau dengan

menyesuaikan diri dengan keadaan manusia sebagai sasaran dakwah

yang ada. Misalnya karena yang menjadi sasaran keadaannya masih

suka wayang dalam bentuk gambar patung, maka tidak masalah

mencoba diri dakwah dengan wayang gambar patung, karena memang

masih senang gambar patung. Kedua, targhib artinya memberi

semangat, maksudnya dakwah dengan syariat, seperti misalnya

dakwah melalui wayang, tetapi pesindennya mengenakan jilbab,

menggunakan rebana, menyampaikan isi ajaran agama Islam, dan

sebagainya. Ketiga, tasykil artinya membentuk, maksudnya mengajak

manusia sebagai sasaran dakwah secara langsung untuk mengamalkan

ajaran agama. Keempat, dakwah secara langsung, artinya mengajak

kepada sasaran dakwah yakni dakwah fii sabiilillah.

Segala sesuatu termasuk wayang, sebagai media dakwah

filosofinya adalah digunakan untuk dakwah bilhikmah dengan cara

bertahap. Segala sesuatu yang digunakan untuk dakwah bilhikmah

dengan cara bertahap, maka akan bisa mengantarkan umat sampai

pada moralitas agama yang sempurna. Hal ini karena umat itu adalah

manusia yang potensinya terentang mulai dari keburukan sampai

dengan kebaikan.

“Aku jadikan manusia sebaik-baik dari pada makhluk, kemudian aku jadikan serendah-rendah dari pada makhluk, bahkan

Page 128: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

339

lebih rendah dari makhluk yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih” (At-Tiin).155

Sejauh manakah kesempurnaan moralitas umat bisa diarahkan

oleh wayang, dan sejauh tahap mana wayang bisa dilakukan. Kalau

hanya bisa dilakukan pada tahap ta’aruf, maka kesempurnaan

moralitas umat juga hanya sampai pada ta’aruf. Kalau bisa sampai

pada tahap targhib, maka kesempurnaan moralitas umat juga sampai

pada targhib, dan seterusnya. Dengan demikian, filosofi wayang

sebagai media dakwah bilhikmah seperti yang telah diterangkan, dapat

digunakan untuk kepentingan dakwah, maknanya wayang sebagai

personifikasi dunia manusia, digunakan untuk kepentingan agama,

yang berarti pula untuk menghendaki Tuhan.

Dikarenakan wayang tersebut digunakan untuk mengehendaki

Tuhan, maka wayang tetap akan lestari, bahkan lebih lestari daripada

jika wayang itu sendiri dilestarikan. Gambarannya seperti tongkat

Nabi Musa, ketika tongkat Nabi Musa hanya dikehendaki untuk

perkara dunia, maka hanya dapat untuk mengambil daun dan air untuk

ternaknya. Tetapi ketika dikehendaki untuk perkara agama, maka

dapat digunakan untuk membunuh musuh membelah lautan.

Konsep pemikiran agama seperti tersebut, juga sejalan dengan

konsep dalam cerita Kresna Boyong, ketika Pandawa dan Kurawa

155al-Qur’an, 95: 4-6. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 1076.

Page 129: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

340

masing-masing ditawari suatu pilihan, apakah memilih pihak dari diri

Kresna yang hanya satu orang atau memilih menjadi Raja sedunia.

Pandawa memilih diri Kresna yang hanya satu orang. Sedangkan

pihak Kurawa memilih menjadi raja sedunia. Tetapi setelah sampai di

negaranya masing-masing, Kresna menjadi Wisnu yang bisa

menyelesaikan seluruh masalah negara, sedang di pihak Kurawa Raja

sedunia menjadi daun jati kering yang justru menjadi masalah negara.

Bersangkutan dengan konsep berpikir dalam cerita “Kresna Boyong”

tersebut, maknanya karena wayang sebagai media komunikasi tersebut

disajikan untuk menghendaki Allah, maka diperbolehkan. Hal ini

bermakna juga wayang akan tetap lestari.

Di pihak lain, para dalang yang menyajikan wayang seperti

Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Joko Hadi Wijoyo, Purba Asmoro,

Warseno Sleng, gaya dan coraknya adalah sama yakni cenderung

melayani penonton, dan bersifat hiburan. Cenderung melayani

penonton dan bersifat hiburan ini bisa dilihat dari beberapa hal.

Pertama, banyaknya pesan duniawi, kedua, banyaknya variasi hiburan

dalam berbagai adegan terutama limbukan dan gara-gara, ketiga,

banyaknya bentuk garap baik: sabet, catur, dan iringan, dan keempat,

banyaknya perkara sakral, magis, dan simbolis yang dihilangkan.156

156Lihat, Soetarno, “Dampak Perubahan Sistim Nilai terhadap Pertunjukan Wayang Kulit”, (Surakarta: Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, 2000), 111.

Page 130: BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI …digilib.uinsby.ac.id/794/10/Bab 6.pdf212 BAB VI PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON A. Epistemologi

341

Berbeda dengan gaya dan corak para dalang-dalang tersebut di

atas, seperti Enthus Susmono lebih bersifat dakwah Islamiyah dengan

cara menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam al-Qur’an-Hadits baik

secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian,

kehadirannya banyak diterima oleh masyarakat luas. Sehingga ajaran

Islam yang disampaikan para dalang muslim dengan i’tikad

membangun umat dan agama akan berdampak positif, karena di

dalamnya memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi. Senada dengan

ungkapan Chotibul Umam,157 bahwa ada tiga pokok ajaran agama

Islam. Pertama, ibadah atau ‘ubudiyah yang mengandung nilai

filosofis hablumminallaah artinya hubungan antara manusia dengan

Allah, kedua, dakwah atau mua’malah: mengandung nilai filosofis

hablumminannaas artinya hubungan antara manusia dengan manusia,

dan ketiga, khidmat mengandung nilai filosofis hablumminal ‘alm

artinya hubungan manusia dengan alam.

157Chotibul Umam, 1995, Fiqih (Kudus: Menara Kudus, 1995), 12.