212
BAB VI
PERSPEKTIF MUSLIM JAWA DAN POLA AKULTURASI DALAM PERKAWINAN LORO PANGKON
A. Epistemologi Muslim Jawa1 Dan Perspektifnya Dalam Perkawinan Loro Pangkon 1. Konteks Budaya
Edward T. Hall membedakan budaya konteks-tinggi (high-context culture)
dengan budaya konteks-rendah (low-context culture) yang memiliki beberapa
perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya. Budaya konteks-rendah
ditandai dengan komunikasi konteks-rendah. Komunikasi konteks-rendah
penyampaiannya di antaranya melalui pesan verbal dan eksplisit, gaya bicaranya
langsung, lugas, dan berterus terang.2 Komunikasi konteks rendah merupakan
komunikasi dengan volume informasi lebih besar dari yang disampaikan. Dapat
dikatakan bahwa dalam komunikasi konteks rendah, pesan verbal mengandung
banyak informasi dan hanya sedikit yang tertanam dalam konteks atau peserta.3
Masyarakat Amerika misalnya, dapat dikategorikan sebagai masyarakat
dengan komunikasi konteks rendah. Mereka lebih bergantung pada perkataan
1Suatu pola pikir masyarakat muslim Jawa memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam menerjemahkan kehidupan, khususnya dalam hal pertemuan dua insan manusia yang saling mengasihi serta saling membutuhkan yang terbentuk dalam ikatan perkawinan antara suami istri. Pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya, pertama, dapat melalui benda-benda yang terdapat di alam dengan melabeli sebuah nama Jawa sesuai keadaan benda yang dimaksudkan yakni sesuai manfaat dan kegunaannya, kedua melalui perilaku manusia, ketiga gabungan antara perilaku manusia dengan benda yang dipergunakannya, keempat melalui hasil karya manusia dengan melabeli nama Jawa sesuai fungsinya, dan kelima melalui hal-hal yang bersifat abstrak atau maksud dan tujuan yang diharapkan oleh manusia. Kelima komponen inilah dapat dimaksudkan sebagai epistemologi atau pengetahuan masyarakat Muslim Jawa di Mojokerto dalam adat perkawinan loro pangkon. 2Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Rosda, 2004), 251. 3Lihat, Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R., Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.) (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2010) 257.
213
yang diucapkan dibanding perilaku nonverbal untuk menyatakan pesan. Beberapa
negara yang tergolong menganut budaya konteks rendah adalah Jerman, Swiss,
Skandinavia dan Amerika Utara.4
Sebaliknya, budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi konteks-
tinggi. Dalam komunikasi konteks-tinggi ini seringkali pesan yang disampaikan
bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Mereka yang menganut
budaya konteks-tinggi menganggap konflik berbahaya pada semua jenis
komunikasi.5 Bagi masyarakat yang menganut budaya ini, memandang konflik
harus dihadapi dengan hati-hati. Beberapa negara yang tergolong menganut
budaya ini adalah Amerika Indian, Amerika Latin, Jepang, China, Afrika-
Amerika, Korea, termasuk Indonesia.6 Secara umum, komunikasi di Indonesia
termasuk komunikasi konteks-tinggi. Keengganan untuk berterus-terang pada
komunikasi konteks-tinggi boleh jadi sebagai salah satu perwujudan obsesi untuk
senantiasa menjaga harmoni dengan orang lain.7
Budaya Jawa termasuk dapat dikategorikan sebagai komunikasi konteks-
tinggi, sering masyarakat Jawa dalam menyampaikan pesan-pesannya secara
implisit, dengan harapan tidak menyinggung perasaan orang lain. Kalaupun
mengingatkan orang lain misalnya, dengan paribasan. Masyarakat Jawa boleh
dikatakan dalam berkomunikasi sering menggunakan bentuk “perilaku” (tindakan
tertentu yang menunjukkan suatu isyarat tertentu yang harus dipahami secara
mendalam oleh lawan bicara dalam kebiasaannya atau adat orang Jawa).
4Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R., Komunikasi Lintas Budaya (Communication Between Cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.) (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2010) 258. 5Ibid., 257. 6Ibid., 258. 7Lihat, Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Rosda, 2004), 251.
214
Bagi orang lain, orang yang tidak mengerti kebiasaan orang Jawa dalam
bergaul setiap harinya, mereka tidak akan memahaminya. Misalnya bagaimana
orang Jawa ketika akan mengakhiri suatu pembicaraan tertentu dengan lawan
bicaranya, biasanya apabila dirasa pembicaraan itu sudah cukup mereka akan
melakukan bentuk-bentuk tindakan tertentu, dan bagi mereka yang paham
tindakan lawan bicaranya itu dengan sendirinya akan mengakhiri pembicaraan
tersebut, meskipun sebelum lawan bicaranya mengusir atau mendahului dengan
perkataan yang menunjukkan akhir dari suatu pembahasan yang dibicarakan. Hal
itu dimaksudkan untuk menjaga bahwa lawan bicara tidak merasa terusir ketika
komunikasi terjadi dan ketika komunikasi itu dirasakan sudah selesai.8
Demikian pula dalam tradisi perkawinan loro pangkon boleh dikatakan
dalam upacara tersebut banyak melakukan bentuk-bentuk “perilaku” tertentu.
Bagi mereka yang tidak biasa mengetahui dan memahami budaya tersebut tentu
tidak akan mengerti apa yang dilakukan dalam tradisi tersebut, dan mungkin
menganggap sesuatu yang tidak bermakna, padahal bentuk “perilaku” tersebut
adalah sebagai media komunikasi. Dengan demikian budaya Jawa dalam hal ini
boleh dikatakan termasuk dalam kategori sebagai budaya konteks-tinggi (high-
context culture).
2. Pemaknaan Benda dan Peralatan Perkawinan Tradisi perkawinan loro pangkon pada masyarakat Jawa, khususnya di
Desa Kutogirang Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto sampai saat ini masih
dilakukan oleh warganya. Kegiatan itu dilakukan secara terus menerus hingga
8Munadi, Wawancara, Mojokerto, 16 April 2013.
215
sampai ke generasi saat ini bukan berarti tidak memiliki makna. Para orang tua
pada masa lalu atau para pendahulu melakukan kegiatan tersebut tentunya
memiliki maksud dan tujuan yang diharapkan. Tradisi itu dapat bertahan dan
masih dilestarikan, kegiatan tersebut menunjukkan apa yang mereka lakukan
membawa manfaat dan berimplikasi bagi kehidupan mereka.
Dalam perkawinan loro pangkon, masyarakat muslim Jawa di Mojokerto
masih menonjolkan tradisi-tradisi leluhurnya. Dalam setiap kegiatan apapun
bentuknya, mereka tidak ketinggalan melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang
pernah dilihat sebelumnya sesuai dengan apa yang dilakukan orang tuanya secara
turun-temurun. Mereka dalam melakukan suatu perbuatan disesuaikan dengan
maksud dan tujuannya. Tidak lupa pula dibarengi dengan cara-cara tertentu yang
bila dilihat dengan konteks atau keadaan saat ini dimungkinkan perbuatan yang
mereka lakukan di luar nalar, mereka yang beranggapan demikian dapat dikatakan
belum memahami tradisi Jawa dengan baik dan benar. Dapat pula mereka yang
menganggap perbuatan masyarakat muslim Jawa di luar nalar disebabkan
pemahaman mereka sebatas pemahaman teks, pemahaman luarnya, masih belum
menyentuh isi dan kandungannya. Meminjam istilah Clifford Geertz belum
sampai pada (thick description) yaitu catatan tebal atau makna berlapis yang ada
dalam suatu budaya.9 Untuk menyelami maksud dan tujuan serta makna yang
diharapkan dalam perkawinan tradisi loro pangkon yang berkaitan dengan hal-hal
yang dipergunakan dalam hal perlengkapan maupun sarana dan prasarana
perkawinan berikut ini pemaparannya.
9Adam Kuper, Culture (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 98.
216
a. Kirab (pawai mengelilingi Desa)
Dalam peristiwa pertemuan manten yang terjadi di Dusun Mendek
Desa Kutogirang yang peneliti amati sebagaimana didokumentasikan,
mulanya mempelai putra berangkat dari rumahnya yang berada di Desa
Glatik, yang berjarak 7 sampai 8 kilo meter dari rumah mempelai
perempuan (antara Desa Glatik dengan Desa Kutogirang). Bila perjalanan
ditempuh dengan motor mebutuhkan waktu 8-12 menit.
Ketika awal berangkat mempelai putra diikuti oleh serombongan
keluarga dekat dan tetangganya yang berjumlah tidak lebih dari 120 orang.
Sesampai di tempat tujuan mempelai putra dipersiapkan sejenak untuk
dirias disesuaikan dengan busana mempelai putri yang sebelumnya sudah
dipersiapkan oleh perias untuk didandani (dirias secantik mungkin oleh
perias dengan menggunakan busana adat Jawa) agar serasi yaitu busana
berwarna kuning seperti dapat dilihat dalam dokumentasi dan lampiran.
Setelah dirasa cukup barulah kedua mempelai menaiki kereta kuda
(bendi), kemudian dikarak (diantar) untuk mengelilingi Dusun Mendek
Desa Kutogirang yang dikawal oleh seorang kusir (pengendara bendi)
yang sudah profesional, ia berjalan di depan bendi untuk menuntun dan
mengendalikan kudanya agar berjalan sedang-sedang saja. Di belakang
kereta ada seorang pria yang membawa payung untuk menaungi kedua
pengantin agar tidak tersengat matahari.
Sambil memegangi tali kendali kuda, pak kusir terlihat agak susah
juga menuntun kudanya, sebab di sekeliling bendi itu dikerumuni
217
masyarakat yang menyaksikan kemeriahan kedua pengantin itu. Jumlah
masyarakat yang menyaksikan cukup banyak, kira-kira lebih dari seribu.
Orang tua, remaja, muda-mudi, anak-anak, dan dewasa tumpek blek turut
menyaksikan karak-karakan manten (menonton sambil berjalan mengikuti
perjalanan kedua mempelai) mengelilingi desa. Setelah dirasa sudah cukup
mengelilingi satu dusun tersebut maka usailah arak-arakan itu dan kedua
mempelai turun dari kereta kuda (bendi) kemudian mempelai putri balik
ke halaman teras berhenti sejenak dan mempelai putra masih tetap di
tempat dia turun dari kereta kuda sambil menunggu prosesi temu
manten.10
Menurut pandangan salah seorang warga Dusun Mendek yang
berjualan di warung kopi sebelah gang selatan dari rumah pengantin
wanita, masyarakat Mendek sudah terbiasa menyebut dengan panggilan
Bu Muk, ia mengatakan dengan nada ketus (mencibir). Penjual warung
kopi itu mengatakannya,“kegiatan muter-mutere manten nang ndeso
ngunuiku iso diarani pamer, ndodohno kesugihane, gumbedene” (kegiatan
arak-arakan pengantin mengelilingi desa bisa dikatakan pamer,
memperlihatkan kekayaannya, kesombongannya).11
Berbeda dengan pandangan seorang penjual di warung kopi,
menurut salah seorang peternak lembu, ketika sedang mencari rumput dan
sempat penulis wawancarai, ia mengatakannya sebagai berikut.
10Lihat dokumentasi, dan lihat pula lampiran. 11Mu’alimah, Wawancara, Mojokerto, 15 Desember 2012.
218
“Diadakannya kegiatan arak-arakan yang demikian itu, kita hendaknya berpikiran sebaik mungkin, jangan berprasangka buruk-apalagi sebagai orang Jawa, sebaiknya memperbanyak saudara, mongsoh siji kakean-konco sewu ketitiken (satu orang lawan terlalu banyak-seribu teman terlalu sedikit). Hendaknya kita jangan mencari permusuhan walaupun satu orang, dan lebih baik mencari lebih banyak teman atau persaudaraan. Selain itu, maksud diadakan arak-arakan itu adalah untuk mempersiarkan atau mengumumkan kepada masyarakat meskipun tidak pakai woro-woro yang berarti bahwa si Farida sudah punya status bersuami, janganlah mengganggunya sebab sudah ada yang punya, berbeda bila masih bujang, bercanda mungkin tidak mengapa. Kalau sekarang perlu ada batas-batasan meskipun bercanda sebab sudah bersuami. Selain itu, maksud arak-arakan dapat diartikan, kita sebagai masyarakat hendaknya dapat membantu mereka yang punya hajat dengan bowoh (suatu pemberian dapat berupa barang seperti beras, gula atau yang lain dan dapat pula berbentuk uang) sebab orang punya hajat pernikahan itu biayanya mahal, apalagi saat ini barang-barang sedang naik.”12 Dari wawancara dengan kedua warga masyarakat Dusun Mendek
Desa Kutogirang dapat dipahami bahwa dari pihak yang pertama,
penilaiannya relatif miring (negatif). Sedangkan dari penilaian berikutnya
bahwa maksud arak-arakan pengantin memiliki penilaian yang cukup logis
dan masuk akal. Dapat dipahami bahwa arak-arakan pengantin itu
mempunyai tujuan yang mulia, pertama dapat diartikan sebagai tanda
mewartakan kepada khalayak jika seorang gadis desa yang bernama Farida
telah bersuami. Kedua dapat diartikan sebagai ajakan untuk saling
mengasihi atau tolong menolong antar sesama bagi mereka yang memiliki
hajat, apalagi dalam hal pernikahan sebab biayanya cukup tinggi. Ketiga,
12Jupri, Wawancara, Mojokerto, 18 Desember 2012.
219
dapat pula dimaksudkan sebagai ajang tali persaudaraan untuk menghadiri
ke tempat mereka yang memiliki hajatan pernikahan putranya.
Senada dengan pemaknaan kirab, dalam pandangan Islam bahwa
dalam perkawinan hendaknya dilaksanakan walimatul urusy yang dapat
diartikan dengan mengumumkan sebagaimana pernah dilakukan oleh
Rasulullah ketika menikahi Zainab. Demikian pula Rasulullah juga
menganjurkan pelaksanaan walimatul urusy minimal dengan menyembelih
seekor kambing sebagaimana ketika menganjurkan kepada Abdurrahman
bin ‘Auf seperti hadits berikut. شاة و ب م ول ول أ
“Laksanakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.”13 Pernikahan dalam pandangan Islam sebagaimana dianjurkan oleh
Rasulullah hendaknya perlu disiarkan kepada khalayak, yaitu mengundang
tetangga sekitarnya dan masyarakat pada umumnya. Tujuan dari siar ini
adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, yakni menjaga fitnah
dari pandangan masyarakat. Terutama bagi mempelai putri hal ini sangat
rawan apabila diketahui berduaan dengan seorang pria yang bukan
mukhrim atau suaminya di tempat yang sunyi sebagaimana syari’at Islam
diharamkan. Demikian pula pandangan masyarakat Jawa apabila seorang
wanita yang senantiasa membawa seorang laki-laki dengan berganti-ganti
pasangan, pada umumnya wanita yang demikian dianggap sebagai wanita
yang kurang baik. Sehingga dalam pemaknaan kirab bagi masyarakat Jawa
13Hadits riwayat al-Bukhari, Kitab an-Nikah, (16/154, no. 4769)
220
sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian syari’at Islam
mempertegas pandangan masyarakat Jawa dalam hal perkawinan, salah
satunya yaitu diadakannya kirab mengelilingi desa dan walimatul urusy,
yang memiliki maksud sebagai siar dan pewartaan kepada masyarakat
umum untuk menjaga fitnah serta menjaga hubungan sosial
kemasyarakatan yang lebih baik.
b. Hasil Bumi
Mulai awal hingga akhir perkawinan tradisi loro pangkon,
rangkaian acara kegiatannya cukup banyak. Tempat kegiatan prosesi acara
pernikahan, apakah yang dilaksanakan di rumah mempelai putri atau di
hotel berbintang misalnya, atau gedung pertemuan, dalam acara
pernikahan adat Jawa umumnya masyarakat masih menggunakan hasil-
hail bumi sebagai syarat-syarat tertentu dalam pemakaiannya. Hasil-hasil
bumi itu dapat berupa tumbuh-tumbuhan dapat pula berupa binatang.
Sebagaimana dapat disaksikan dalam dokumentasi bahwa dalam
mendirikan sebuah terop dihiasi dengan janur, di sisi kiri dan kanan terop
dihiasi dengan pohon pisang, sampai hal-hal terkecil tidak lepas dengan
penggunaan benda-benda atau tanaman hasil bumi sebagai simbol-simbol
tertentu.
Budaya tanah Jawa di dalamnya masih menyimpan sejuta
keindahan dan keagungan yang tetap dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Hal ini bisa dilihat dalam upacara pernikahan yang penuh makna dan unik
221
seperti dalam tradisi perkawinan loro pangkon. Beragam tradisi dan tata
cara pernikahan menjadi bagian dari adat masing-masing wilayah. Berikut
prosesi tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat Muslim Mojokerto
yang umum dilakukan oleh masyarakatnya dengan menggunakan simbol-
simbol hasil bumi.
Budaya Jawa juga dikenal sangat dipengaruhi oleh tradisi
keratonnya. Dalam perkawinan yang berlatar belakang budaya ini banyak
sekali simbol-simbol budaya dan hiasan yang memiliki makna tertentu
yang berasal dari tradisi keraton tersebut. Latar belakang budaya Islam
yang diusung dalam sebuah perkawinan turut pula menyumbangkan
pengaruhnya.
Di antara simbol-simbol yang berasal dari hasil bumi adalah
rangkain janur/ bleketepe kuning dipasang di gerbang atau pintu masuk
tempat acara resepsi. Dari pemasangan ini diharapkan akan hilang suatu
kemungkinan yang tidak diinginkan, dan sebagai pertanda bahwa adanya
pernikahan yang akan berlangsung di rumah tersebut. Janur juga dapat
dimaknai dengan “jalarane nur” atau bahwa rumah tangga sebagai sarana
untuk menghadirkan cahaya “pepadang” dalam sebuah kehidupan.14
14Munadi, Wawancara, Mojokerto 8 April 2013. Selain menjadi guru SMA, ia merupakan praktisi dekorasi. Ia menambahkan, simbol-simbol dan hiasan dalam pernikahan Jawa-Islam merupakan kekayaan budaya yang kaya makna. Selain janur, terdapat pula kembar mayang merupakan rangkaian yang dibuat dari bermacam daun dan banyak ornamen dari janur yang dirangkai dan ditancapkan pada potongan pohon anak pisang. Dari janur dibuat ornamen berbentuk tugu-tuguan/gunungan, uler-uleran, keris, manukan, dan pecut. Sementara macam daun yang digunakan adalah daun beringin, andong, gondoroso, dan mayang jambe. Ornamen berbentuk tugu atau gunung melambangkan simbol sosok laki laki yang (harus) penuh pengetahuan, pengalaman dan kesabaran. Ornamen seperti keris memberikan makna bahwa pasangan pengantin hendaknya
222
Senada dengan hadits Rasulullah saw., seorang suami yang akan
menikahi seorang wanita, dia adalah laki-laki yang sudah siap lahir dan
batin sehingga akan mendatangkan kebaikan dalam keluarga sebagaimana
hadits berikut.
اذا اراد هللا باھل بیت خیرا فقھھم : عن انس قال رسول صلى هللا علیھ و سلم
و القصد في , رزقھم هللا الرفق في معیشتھمو, و وقر صغیرھم كبیرھم, في الدین
.و اذا اراد هللا غیر ذلك تركھم ھمال. و بصرھم عیوبھم فیتوبوا منھا, نفقاتھم
رواه الدارقطني
Dari Anas RA, telah bersabda Rosulullah SAW. : ” Apabila Allah SWT. ingin menghendaki kebaikan pada sebuah rumah tangga, maka Allah SWT. akan mengkaruniakan keluarga tersebut kepahaman terhadap agamanya, orang yang kecil di keluarga akan menghormati yang besar, Allah SWT. akan mengkaruniakan kepada mereka kemudahan dalam penghidupan mereka dan kecukupan dalam nafkahnya, dan Allah akan menampakkan aib dan keburukan keluarga tersebut kemudian mereka semua bertaubat dari keburukan tersebut. Jika Allah SWT. tidak menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah SWT. akan biarkan begitu saja keluarga tersebut (tanpa bimbinganNya).15
Selain simbol janur, terdapat pula pohon pisang yang diletakkan di
sebekah kiri kanan gapura atau pintu masuk tempat resepsi. Lebih
diutamakan jika buah pisang yang dipasang tersebut telah matang. Di
antara makna yang dikandung adalah bahwa suami hendaknya menjadi
kepala keluarga di tengah kehidupan bermasyarakat. Seperti pohon pisang
berberhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana laksana sebuah keris. Ornamen uler-uleran merupakan simbol keajegan bergerak dalam hidup terutama dalam keluarga dan lingkungan. Ornamen seperti pecut memberikan dorongan untuk sikap energik, cepat berpikir dan mengambil keputusan untuk menyelamatkan keluarga. Sedangkan ornamen seperti burung melambangkan motivasi tinggi untuk kehidupan. 15Hadits riwayat Ad Daruquthni. Lihat pula HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037.
223
yang bisa tumbuh baik di manapun dan rukun dengan lingkungan,
diharapkan keluarga baru yang dipimpin suami ini juga akan hidup
bahagia, sejahtera dan rukun dengan lingkungan sekitarnya.16
Dekorasi atau background hiasan pernikahan adalah sebuah kwade
yang terdiri dari sebuah rono (krobongan) dengan lebar sesuai dengan
kapasitas ruangan. Hiasan bunga hidup atau palsu melengkapi keindahan
rono yang ada. Jika memungkinkan, taman dan air mancur sering pula
ditambahkan di depan rono. Pemilihan bentuk dekorasi dan warnanya turut
menentukan corak dan warna pakaian yang akan dikenakan oleh pengantin
dan keluarganya.17
c. Karya Manusia
Pada saat acara jemuk penganten (mengambil penganten)
berlangsung, kedua penganten mengenakan pakaian kebesaran
kanalendran Solo seperti layaknya seorang raja dan ratu. Pengantin pria
memakai baju hitam beskap bludru lengkap dengan keris dan kuluknya
(topi tinggi khas raja jawa), atau jika terpaksa seperti tinggi badan yang
lebih dan tidak seimbang dengan pengantin wanita, maka ia menggunakan
blangkon. Hiasan tambahan yang dikenakannya adalah dasi kupu-kupu,
kalung dan bros dari roncen bunga melati. Pengantin wanita juga memakai
baju bludru Solo putri dengan gelungan dan hiasan rangkaian bunga melati
16Mbah Wakim, Wawancara, Mojokerto, 16 April 2013. Ia menjelaskan kembali bahwa cengkir gading atau kelapa kecil berwarna kuning, melambangkan kencang dan kuatnya pikiran baik, sehingga diharapkan kedua mempelai akan dengan sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencinta. 17Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013.
224
di rambut dan tiba dada (roncen melati yang menjuntai dari gelungan
rambut terus ke dada) di dada sebelah kiri. Nuansa gebyar, “menyala”
(warna mencolok), dan mewah biasanya sangat nampak untuk
membedakan pengantin dengan yang lainnya.18
Pakaian orang tua (ayah) kedua pengantin adalah pakaian kejawen
berupa beskap lengkap dengan angkin, sabuk, dan kerisnya. Kain (jarit)
adalah motif truntum yang bermakna harapan masa depan yang cerah.
Pakaian ibu pengantin adalah kebaya dengan angkin sindur. Kain yang
dipakai sama dengan para bapak, yakni motif truntum. Ketika acara
resepsi berlangsung dilakukan kirab temanten dan selanjutnya rombongan
berjalan menuju ruang ganti untuk lukar busana (ganti pakaian) yang
bernuansa mataraman dan lebih santai. Seluruh “rombongan” yang terdiri
dari patah, domas, manggolo, dan kedua pasang bapak-ibu turut berganti
pakaian dan menyesuaikan dengan corak yang dipakai kedua pengantin.
Menurut perias Ibu Hajjah Ninik Arifin, tren pakaian pengantin
dan “keluarga” nya suatu ketika pernah dengan memakai busana Jawa
muslim. Tren itu sangat nampak pada pengantin wanita, para ibu
pengantin, patah, dan domas. Pengantin wanita memakai jilbab melati
dengan daleman (lapisan di bawah jilbab) berwarna hitam seperti rambut
18Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013.
225
atau warna kuning. Para wanita selain pengantin wanita memakai
kerudung dengan rambut tetap digelung.19
Musik kebogiro dan syrakalan, dengan lantunan musik kebogiro
yang dipergunakan mengiringi keseluruhan prosesi ritual adat diharapkan
menambah kehidmatan dan kesakralannya. Pemilihan musik “kebogiro,
ladrang wilujeng, iromo satunggal” merupakan “bedah rangkah” atau
pembuka acara selamatan atau resepsi. Di samping itu, musik syrakalan
sering pula diperdengarkan untuk menggantikan kebogiro atau
diperdengarkan sebelum kebogiro.20
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa aspek simbol-simbol dan
hiasan pada perkawinan memiliki makna yang cukup kaya dan mendalam.
Kekayaan budaya ini hanya akan berupa simbol dan hiasan kosong jika
tidak ada upaya untuk mensosialisasikannya. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja seperti perias, modin,
dan praktisi dekor yang memahami makna-makna tersebut. Pemahaman
yang baik ini pada gilirannya akan memberikan tuntunan yang cukup bagi
kedua mempelai dan masyarakat dalam mengarungi kehidupan keluarga,
di samping mengarahkan dan mengendalikan upaya-upaya modernisasi
dan “penyederhanaan” terhadap kekayaan budaya dalam panggih temanten
agar tidak terkesan “lepas” dan sekenanya.
19Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013. 20Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 15Nopember2012.
226
Panggih temanten dalam perkawinan dengan adat Jawa-Islam
memiliki “pakem” tertentu baik dalam ritual adat, susunan acara resepsi,
maupun hiasan dan simbol yang digunakan. Dalam perkembangan terakhir
didapati adanya upaya penyesuaian terhadap kemajuan zaman dan
efisiensi waktu dalam penyelenggaraan. Penyederhanaan ritual adat
dilakukan dengan “pemangkasan” ritual. Sedangkan penyederhanaan
dalam resepsi dilakukan dengan penggabungan antara beberapa acara
seperti atur mangayu bagya (sambutan selamat datang) dengan atur
panampi menjadi satu acara.21
d. Sesaji
Masyarakat Jawa percaya pada suatu kekuatan yang melebihi
segala kekuatan yang dikenal dengan kasekten, arwah atau ruh leluhur,
makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit serta jin
lain yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut
kepercayaan, masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan
kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman, keselamatan, tetapi sebaliknya,
dapat pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan
kematian. Apabila seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia
harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan
21Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013.
227
berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan
makanan tertentu, berselamatan, dan bersesaji.22
Sebagai suatu bentuk upacara dalam tradisi perkawinan loro
pangkon, maka kehadiran sesaji tak bisa dilepaskan dari pelaksanaannya.
Sesaji dianggap penting karena merupakan media pengantar komunikasi
antara sang pemohon dengan unsur yang dituju. Sesaji merupakan
perlengkapan upacara mutlak, ada yang dapat menentukan terkabul atau
tidaknya permintaan sang pemohon. Semakin lengkap sesaji tentu semakin
besar kesempatan permintaan untuk dapat terkabul. Sesaji berfungsi
sebagai simbolisasi serah terima, sebagai suatu syarat dikabulkannya
sesuatu permintaan yang ditujukan kepada wujud tertinggi atau kekuatan
di luar diri sang pemohon. Secara garis besar, sesaji dalam tradisi
perkawinan loro pangkon terdiri dari beberapa macam meliputi hasil
pertanian yaitu pisang, kelapa, dan bunga. Mengingat begitu pentingnya
kehadiran sesaji, maka tidak semua benda dapat dijadikan sesaji.
Pemilihan sesaji didasarkan atas tujuan tertentu, sehingga benda yang
digunakan untuk bersesaji mengandung makna tertentu yang bersifat
sanepo (simbolis).23
22Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), 347. 23Mbah Wakim, Wawancara, Mojokerto, 16 April 2013. Ia menambahkan, sesaji itu berfungsi agar keinginan sohibul hajat dapat terkabul yaitu agar semuanya selamat tiada rintangan apapun, apakah keluarga mempelai putri maupun mempelai putra, juga kedua mempelai. Keselamatan dari mereka yang ikut bodo (orang yang ikut membantu sohibul hajat), masyarakat dan keberlangsungan acaranya dengan lancar. Di samping itu biasanya permintaan sohibul hajat agar suasana ketika berlangsung cuacanya cerah, tidak ada hujan yang biasanya ditunggui oleh seorang pawang hujan beberapa saat oleh pawang di terop. Selain itu harapan sohibul hajat agar para tamu
228
Sesajen juga merupakan penyerahan sajian terhadap makhluk
halus, hal ini sebagai kepercayaan orang Jawa, biasanya dalam tradisi
perkawinan, sesajen ditempatkan di tempat-tempat tertentu seperti di
kamar mempelai pengantin, di dapur, di ruang tengah, di ruang tamu, di
sebelah tempat kwade atau krobokan tempat duduk mempelai bersanding,
dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat (angker) agar tidak
mengganggu jalannya pernikahan. Harapannya jalannya prosesi
pernikahan dari awal hingga akhir dapat berjalan sukses, demikian pula
sebelum dan sesudah acara pernikahan harapannya sekeluarga
memperoleh keselamatan dari Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan).24
e. Selamatan
Menurut Kodiran, selamatan digolongkan menjadi enam macam
sesuai peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yaitu:
(1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh
bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh
tanah pertama kali, sunat, upacara kematian, dan setelah kematian; (2)
selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian,
dan setelah panen padi; (3) selamatan berhubungan dengan hari-hari serta
bulan-bulan besar Islam; (4) selamatan pada saat-saat tidak tertentu,
berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti melakukan perjalanan jauh,
yang diundang dapat hadir semua dengan harapan perolehan buwuhan (uang amplop) semakin banyak begitu pula barang-barang bawaan dari ibu-ibu yang biasanya membawa gula pasir dan beras juga semakin besar yang didapatkan. 24Ninik Arifin, Wawancara, Mojokerto, 15 April 2013. Lihat juga Koentjaraningrat,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(Jakarta: Djambatan, 2007), 348.
229
menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau
sembuh dari sakit, dan lain sebagainya.25
Dalam tradisi perkawinan loro pangkon masyarakat Jawa di
Mojokerto senantiasa tidak melupakan beberapa periode selamatan.
Mereka melakukan selamatan pra-nikah biasanya, pertama adalah pada
saat adek tratag (mendirikan terop) cukup kecil-kecilan mengundang
antara 15 sampai 20 orang ketika 3 hari atau seminggu sebelum
pelaksanaan pernikahan berlangsung. Kedua, adalah selamatan untuk
menyambut acara ijab qabul, biasanya dilakukan sebelum pernikahan
berlangsung, yaitu sehari sebelum pelaksanaan pernikahan, waktunya
biasanya malam hari menjelang esoknya akan mengadakan ijab qabul.
Ketiga, selamatan pada hari “h” dengan mengadakan walimatul urusy
(walimahan) yang mengundang banyak tamu termasuk tetangga dekat
serta tamu dari rombongan mempelai putra dan tamu undangan yang lain.
Keempat, selamatan pasca nikah yaitu selamatan mbubrah tratag
(membongkar terop) sehari setelah hajatan usai. Kelima, adalah selamatan
sepasaran yaitu lima hari setelah acara ijab qabul, dan keenam, adalah
selamatan selapanan yaitu biasanya dilaksanakan setelah tiga puluh lima
hari setelah ijab.26
25Lihat, Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), 347-348. 26Tisno, Wawancara, Mojokerto, 20 April 2013. Dalam penjelasannnya selanjutnya, ia mengatakan kegiatan selamatan tersebut agar mulai awal hingga akhir kesemuanya mendapatkan keselamatan tiada rintangan yang menghalanginya, meskipun terkadang ada hal-hal yang tidak diinginkan, minimal kami dapat mengatasinya dengan selamat pula, begitu pula terutama untuk
230
3. Serah Terima (Beso’)
Adanya tradisi perkawinan loro pangkon di Mojokerto tidak lepas dari
tradisi masyarakat Mojokerto yang masih memegang teguh norma-norma agama,
norma-norma adat, dan memegang nilai-nilai moral yang sampai saat ini masih
dipertahankan. Tradisi perkawinan loro pangkon yang hingga kini dapat
disaksikan ketika ada hajatan pernikahan untuk seorang gadis yang masih
perawan. Dalam arti seorang gadis tersebut belum pernah dijamah atau
berhubungan secara langsung layaknya suami istri dengan seorang pria, demikian
pula sang laki-laki pun merupakan seorang perjaka atau belum pernah menikah.27
Tradisi seperti itu merupakan kebanggaan masyarakat, sebab dengan
mengadakan kegiatan tradisi perkawinan loro pangkon menunjukkan suatu
kehormatan bagi orang tua karena dapat menjaga anak gadisnya yang masih
perawan, dan mengakhirinya sampai mendapatkan jodoh seorang perjaka.
Demikian pula putrinya yang dapat melewati masa keperawanan hingga ke
pelaminan merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi orang tua, bagi
si gadis sendiri, keluarga besarnya, tetangga dan masyarakat yang mencitrakan
suatu masyarakat yang harmonis. Masyarakat yang dapat menjaga unggah-
kedua pengantin agar memperoleh keselamatan dan lancar di dalam kehidupannya dalam membina rumah tangga. Kalau dibilang ribet, ya memang ribet orang Jawa itu, tapi yang diinginkan adalah keselamatan, semua orang hidup tentunya banyak masalah, tentang selamatan bila memang memiliki rejeki lebih tidak mengapalah, tidak usah dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, semua itu adalah uri-uri leluhur kita, sesuatu yang mulya mengapa harus ditinggalkan. 27Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013. Lihat juga catatan kaki no. 13, Bab I.
231
ungguh, memahami aturan adat, masyarakat seng nduwe dugo ( masyarakat yang
memiliki moral).28
Dalam daur kehidupannya, manusia mengalami apa yang disebut dengan
siklus kehidupan, secara garis besar, siklus kehidupan manusia bisa dibedakan
menjadi empat bagian utama yaitu, kelahiran, menginjak remaja, perkawinan dan
kematian. Dalam melewati masing-masing fase ini, manusia pada umumnya
mengalami apa yang biasa disebut dengan krisis kehidupan atau masa transisi.
Tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk melewati masa itu tanpa
merasakan adanya goncangan dalam kehidupan kesehariannya. Karena berbagai
alasan itulah, maka pada umumnya beberapa daerah di Jawa, terutama di
Mojokerto mempunyai upacara adat yang bertujuan untuk menetralisir
kegoncangan tersebut.
Upacara ini bisa dilihat antara lain, pada upacara melepas seorang gadis
dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pada masa transisi ini, untuk
menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan biasanya setiap orang tua
melaksanakan upacara sederhana yang tujuannya sebagai pertanda bahwa anak
gadisnya sudah mulai menjadi "bunga". Selain itu, dengan mengadakan sedikit
28Kasir, Wawancara, Mojokerto, 19 Nopember 2012. Menurut Bapak Kasir dalam masyarakat kita (ia agak malu menyebutkan desanya, tetapi sebagian masyarakat mengetahuinya) terdapat daerah-daerah tertentu yang terkenal dengan sebutan seorang gadisnya banyak yang keperawanannya dipertanyakan. Oleh karena itu menurutnya, apabila mau memperistri atau mencari jodoh di desa yang terkenal dengan julukan desa bojoku-bojomu (seringkali terjadinya pergaulan bebas) agar berhati-hati dalam memilih gadisnya, ojo tuku kucing njero karung (jangan membeli kucing di dalam kantong yang terbuat dari bahan tanaman goni/ maksudnya jangan memilih seorang gadis yang belum jelas keperawanannya). Jadi, menjaga seorang anak gadis sampai ke pelaminan adalah kebanggaan yang tiada tara bagi orang tua hal ini merupakan kebanggaan tersendiri, sebab hal ini merupakan harkat dan martabat orang tua, terutama wong Jowo seng ngerti dugo (orang Jawa yang memiliki moral).
232
selamatan, diharapkan para leluhur sudi memberikan restunya terhadap anak
gadisnya agar bisa mendapatkan jodoh yang baik, memudahkan rejeki dan
sebagainya.
Demikian pula untuk melepaskan seorang anak dalam suatu perkawinan.
Sebagian orang berkata bahwa dengan kawinnya seorang anak berarti si anak
harus sudah bisa mandiri, tidak lagi bergantung pada orang tua, baik dari segi
finansial atau materi maupun dari segi kekuatan moril artinya setelah
melangsungkan perkawinan seorang anak diharuskan dapat memecahkan
persoalan kehidupan tanpa bantuan orang tuanya lagi. Walaupun syarat ini di
beberapa daerah tidak terlalu ketat berlaku, namun tidak berarti bahwa orang tua
melepas anak ke lembaga perkawinan tanpa beban yang berat.29
Salah satu cara untuk menyiapkan anak memasuki dunia perkawinan
adalah dengan membekali kekuatan terutama dari segi spiritual. Untuk itulah di
Kabupaten Mojokerto, Dusun Mendek Desa Kutogirang, Kecamatan Ngoro ini,
mempunyai beberapa upacara khusus yang tujuannya antara lain untuk
menyiapkan anak memasuki perkawinan. Tentu saja dengan harapan agar
perjalanan anak dalam mengarungi kehidupan yang baru bisa lancar tanpa
29Rusminingsih, Wawancara, Mojokerto, 19 Nopember 2012. Ia menambahkan, nduwe anak perawan ngunu ibarate ancek-ancek eri, nek gak ati-ati bakal ketujes. Dadi kudu isok ati-ati nek mancek eri, mangkane dadi wong tuwo seng nduwe anak perawan utowo genduk, arep nang endiae genduk ikumau-wong tuwo kudu pesen-pesen nang genduk, iso’o njogo awak, bergaul ambek sopo wae kudu ati-ati. Iso’o njogo keluargane, agomo ojo dilalekne, kabeh ben selamet ora ono opo-opo. (Memiliki anak perawan itu ibaratnya berdiri di atas duri, jika tidak berhati-hati akan tertusuk. Jadi haruslah berhati-hati ketika berdiri atau menginjak di atas duri, makanya jadi orang tua yang punya anak perawan (genduk, orang tua menjuluki kepada anak gadisnya), mau ke mana saja si gadis tersebut-orang tua memberikan perhatian dan berpesan kepada si gadis hendaknya bisa menjaga citra diri, bergaul dengan siapa saja harus waspada. Dapat menjaga harga diri keluarga, agama jangan dilupakan, agar semuanya selamat tiada rintangan apapun).
233
halangan suatu apapun. Perkawinan khas daerah Mojokerto biasa disebut "Loro
Pangkon" atau "Jago Loro Pangkon", disebut demikian karena sebelum
memasuki upacara temu, pengantin pria datang dengan diawali seseorang yang
membawa seekor jago. Jadi seolah-olah pengantin diibaratkan seekor jago yang
sedang mendekati ayam betina. Loro berarti dua, melambangkan dua orang
manusia, sedangkan Pangkon (pangku/ memangku) merupakan simbol bersatunya
kedua orang tersebut dalam ikatan perkawinan.30 Dalam memahami makna tradisi
perkawinan loro pangkon di Kabupaten Mojokerto ini, akan diuraikan bagaimana
masyarakat memaknai tradisi tersebut sesuai pemahaman masyarakat muslim di
Mojokerto, berikut ini pemaparannya.
a. Sawung (Jago)
Masyarakat muslim Jawa Mojokerto dalam memahami tradisi loro
pangkon terhadap makna sawung (jago) memiliki suatu makna yang sesuai
dengan pemahaman mereka bahwa makna sawung (jago) merupakan
simbol kejantanan seorang laki-laki. Seseorang yang hendak menikah,
kejantanan sang laki-laki sangat diperlukan, laki-laki yang jantan
diharapkan dapat memberikan keturunan yang baik, keturunannya banyak,
dapat membimbing keluarga, membimbing anak-anak dan istrinya.
Apalah gunanya apabila seorang suami meskipun terlihat tampan
dan ganteng (berwajah bagus), tetapi dia tidak jantan, tidak dapat
memberikan keturunan, hal ini akan sia-sia saja. Sebab orang berumah
30Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013. Lihat juga catatan kaki no. 13 bab I.
234
tangga bertujuan untuk mendapatkan keturunan atau momongan (anak),
selain itu, dapat menjaga pandangan agar seorang laki-laki menjadi
tentram, begitu pula seorang istri diharapkan dapat menjadi penentram
bagi dirinya dan suaminya, dan anak-anaknya.
Sebab ada suatu kasus seorang istri memiliki seorang suami yang
tampan wajahnya, akan tetapi dia tidak dapat nduding (menunjuk dengan
jari telunjuk-julukan orang Jawa menyebut orang laki-laki yang fungsi
kelaki-lakiannya kurang sempurna/ impoten), akhirnya terjadilah
perceraian suami-istri tersebut. Sebab fungsi kelaki-lakiannya tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan kecemasan bagi
istri dan tidak memberikan kebahagiaan bagi istri. Di samping itu,
menyulitkan mendapatkan keturunan.
Simbol boneka jago dalam tradisi perkawinan loro pangkon
dihadirkan dalam seremoni perkawinan tersebut bukanlah sekedar hiasan,
akan tetapi memiliki makna yang jauh lebih dalam bila mampu memahami
dan menyelami apa yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, simbol
yang dihadirkan dalam tradisi tersebut harapannya juga dapat berfungsi
sebagaimana realita yang ada dalam kehidupan. Seorang laki-laki yang
disimbolkan dengan jago harapannya juga harus dapat menjadi pejantan
yang siap bertarung di ranjang dan dapat memberikan keturunan yang
235
banyak bagaikan pejantan jago. Jadi, ibaratnya jago yang perkasa siap
melindungi siapa saja.31
Sebagaimana dalam dialog antara pembawa boneka jago yaitu
Pakde Kuntet dengan Bapak Lamono, dalam dialog tradisi perkawinan
loro pangkon di Dusun Mendek Desa Kutogirang, simbol huruf x
merupakan sang pembawa boneka jago yaitu Pakde Kuntet (wakil dari
mempelai putra), simbol huruf y menunjukkan Bapak Lamono (wakil
mempelai putri). Dialognya sebagai berikut.
X=nggeeh… kulo wau sak derenge mlebet wonten ing mriki madyo kuntoro mriki, enten ngajeng wonten tulisan, derek...! (Iya... saya tadi sebelum masuk ke tempat ini kampung sini, di depan terdapat tulisan, wahai saudara...!)
Y=Mangsute tulisan???(maksud tulisannya???) X=Tulisane kok ditulis enten bangkon sawung saroto yudo....(Tulisannya
terdapat tulisan bangkon sawung saroto yudo....) Y=Keliru... saking mocone... masi mulai pertigaan Ngoro tekok kono nek
tulisan yo Tisno lan Damiyati.... (Salah... membacanya mungkin... jika dilihat mulai dari pertigaan Ngoro tikungan bahwa tulisannya adalah Tisno dan Damiati....)
X= Hohohohohooh... nggeh... wah... nggeh...nggeh.... ((Hohohohohooh... iya... waaah iya... iya....)
Y=looo niku loo sampean tingali.... (Lihatlah anda perhatikan....) X=Pundise...??? Nggeeeeh... nggeh... nggeh... sawung saroto yudo a...!
(Mana...??? Iya... iya... iya... sawung saroto yudo a...!) Y=niku maknane! (Itulah maknanya!) X=Mangkane kulo mriki... mbeto sawung.(Makanya saya ke sini... membawa
sawung.) [sawung: ayam jago] Y=nggeeh nuwun sewu mboten wonten seng diwastani bangkon saroto yudo,
nggeeh niki!. (Iya permisi tidak ada yang dinamakan bangkon saroto yudo, inilah!)
X= Nopo…panjenengan meniko aget bangkon adu petek tarung?(Apakah diri anda mampu mengadu ayam?)
Y=Ngeten....(Begini....) X=nggeeh... nggeh... nggeh....(Iya... iya... iya....)
31Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012.
236
Y=Mulane kulo wadani bangkon saroto yudo, bangkon panggonan, saroto iku petek, yodo tarung....(Makanya saya namakan bangkon saroto yudo, bangkon adalah tempat, saroto adalah ayam, yudo adalah pertarungan....) [bangkon saroto yudo: tempat pertarungan ayam]
X= laaa, niku mangkane kulo mbeto jago…! (Nah, karena itu saya membawa jago...!)
Y= Jago sampean niki lanang? (Jago anda ini jantan?) X=nggeeeh…la jago kok mboten lanang...! sampean gadah sawung???
(Benar... jago ya jantan...! anda memiliki sawung???) Y=nggeeh… nyuwun sewu....(Iya... permisi dulu....) X=nggeeeh… nggeh... nggeh....(silahkan... silahkan... silahkan....) Y= petek kulo wedok e’…! (ayam saya betina...!) X=ooooohhh…ngateen... ulese nopo derek? (ooooohhh... begitu... ulese
[warna bulunya] apa saudara?) Y=seeee…kulo incenge looo...wiring kuning (coba... saya perhatikan secara
cermat... wiring kuning) [wiring kuning: ayam jago yang kakinya kuning] X=ooooo…wiring kuning, nggeeeh (ooooo... wiring kuning, iya) Y=wiring kuning(wiring kuning) X=candrane derek? (Candranya saudara?) [candra/ condro: wujud
keberadaan dari sesuatu hal] Y=oooh nek candarane…luweh rupo kurang condro (oooh kalau candranya...
lebih memiliki warna kurang condro) X=emmmm…nggeeeh... nggeh... nggeh. (emmmm... iya... iya... iya.) Y=hebat nooo....(Hebat kalau begitu) X=nggeeh… nggeh... nggeh kadose jembel sumpel jalu keplek buntut papat,
mripate dos pundi derek? (Iya... iya... iya sepertinya jembel sumpel jalu keplek ekornya empat, matanya bagaimana saudara?)
Y=wo nek mripate nek miturut ucape wong kuno ma kuno biyen... (Wo jika matanya kalau menurut ucapan orang-orang kuno jaman dahulu...)
X= ngeeeh... nggeh... nggeh. (Iya... iya... iya) Y=nak putuku wong bagus,engkok nek besok menowo ditinggalsedo embah
nek ngingu pitek golek’o seng motone ombo jarene lo,hahahhhahah…lo sampeyan tingali sawung kulo (Nak cucuku orang yang tampan, nanti kalau suatu waktu apabila ditinggalkan embah meninggal maka jika memelihara ayam carilah ayam yang matanya lebar demikianlah pesannya, hahahhhahah... coba anda perhatikan ayam saya)
X=nggeeh... nggeh... nggeh. (Iya... iya... iya) Y=nek jembele sumpel. (Jika jembelnya sumpel) X= nggeeh... nggeh. (Iya... iya) Y=jalune kepek,nek nopo wau? (jalunya kepek, apa yang tadi?) X=buntute…? (Ekornya...?) Y=mboten gadah nek buntut (tidak memiliki ekor) X=nggeeh (Iya)
237
Y=nek bokong…waah semoook,entene bokonge semok (Jika pantat punya... waah semook, adanya pantatnya semok)
X=oooh nggeeh... nggeh. (oooh iya... iya) Y=ooh mboten kliru pokoe nek ngingu pitek kulo,wes kenek diyakinno nek
dereman nek ndelok mripate... hahahhahaa…mbook nek mengaran nernak ngunu ae gak rugi. (ooh tidaklah salah apabila memelihara ayam saya, sudah dapat diyakinkan mau menerima apa adanya kalau diperhatikan dari matanya... hahahhahaa... kalau menernak gitu tidaklah rugi.)
X= nggeeeh… nggeh soale kulo sangking sugih waras wau beto poro wadio bolo..nggeeeh dipun wastani widodoro lan widodari (Iya... iya soalnya saya dari Sugihwaras tadi membawa para saudara... ya dapat dikatakan widodoro lan widodari)
Y= mindorodo(Mindorodo) Y+X=mindoradi,….yu ngatmo,bojone yu ngatmi. (Mindoradi,... yu Ngatmo,
istrinya yu Ngatemi) X=ooooh yok nopo ndiko iku (Ooooh bagaimana anda ini) Y=pinten cacahe pengereng sampeyan niku (Berapa jumlah pengikut anda
saat ini) X=pinten namung setunggalatos sekawan doso sekawan (berapa cuma seratus
empatpuluh empat orang) Y=oooh nek niki kulo total nggeeh enten lek rongatus derek…mpon goroh
talah,dadi kulo sediyone mpun sampek kekurangan cek mboten ngecewaaken sampeyan (oooh kalau saya perhatikan jumlahnya ada dua ratus saudara... janganlah membohongi, jadi yang saya sediakan janganlah sampai kekurangan supaya tidak mengecewakan anda)
X=oooh ngoten,nggeeeh... nggeh... nggeh ngapunten menawi wonten lepate, la meniko panjenengan menawi tangglet ulese wong.... (oooh demikian, iya... iya... iya mohon maaf apabila terdapat kesalahan, demikian pula jika anda menanyakan ulese [warna bulunya] saudara....)
Y=Jelase ditakokno,wong ngingu pitek kok katek gak ditakokno,nopo ulese pitek sampeyan?? (sesungguhnya harus ditanyakan, memelihara ayam mengapa tidak ditanyakan, apa ulese [warna bulunya] ayam anda??)
X=niki kengeng dipun wastani monco warno (Inilah yang dapat dikatakan monco warno)32
Simbol boneka jago dalam tradisi perkawinan loro pangkon apabila
diterangkan satu-persatu memiliki makna yang begitu luas, mulai dari
keberadaan kepala boneka jago yang terdiri dari mata, telinga, jembel, dan
paruh, sampai ke dalam bagian badan serta kaki. Semua keadaan jago yang
32Lihat, lampiran hal. 7-12.
238
ada biasanya diterangkan satu persatu, karena sesuatu hal, waktu yang
membatasi sehingga dialog terkadang juga dipersingkat.33
b. Peralatan rumah tangga
Seseorang yang hendak bepergian ke suatu tempat yang menjadi
tujuannya setidaknya memerlukan suatu bekal. Ketika perjalanan yang
dituju itu adalah suatu tempat yang jauh, membutuhkan waktu berhari-
hari, dan medan yang ditempuh itu jalannya cukup terjal serta berkelok-
kelok, tidak mungkin begitu saja tanpa ada persiapan. Bila tanpa
persiapan, resiko yang didapatkan cukup membahayakan baginya. Orang
yang demikian bepergian ke suatu tempat tanpa bekal, atau tanpa tujuan
berarti sama dengan orang yang bunuh diri.
Melihat perjalanan yang ditempuh itu penuh dengan resiko, maka
orang yang hendak bepergian ke suatu tempat yang menjadi tujuannya,
hendaknya sebelum berangkat menyiapkan perbekalan yang cukup. Begitu
pula peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam perjalanan agar
perjalanannya menjadi lancar dan sampai ke tempat tujuan, peralatan yang
menjadikan kemudahan dalam perjalanan pun juga perlu dibawa dan
dipersiapkan, sehingga arah tempat tujuan yang hendak dicapainya dapat
dilalui dengan singkat, cepat, dan selamat.
33Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012.
239
Demikian pula orang berumah tangga, dalam mengarungi rumah
tangga laksana kapal mengarungi samudera, di samudera terdapat angin
dan ombak terkadang kecil kadang anginnya kencang dan gelombangnya
besar. Apabila dalam mengarungi samudera tersebut tidak memiliki bekal
yang cukup serta peralatan yang lengkap, hal tersebut dapat menyebabkan
kapal itu karam dan tenggelam. Oleh karena itu dalam berumah tangga
harus dipersiapkan dengan matang, baik material maupun mental spiritual.
Dengan segenap kesabaran, kesanggupan, dan kesiapan segalanya hal ini
akan memperkecil resiko yang terjadi, sehingga apabila terdapat
gelombang yang besar, minimal dapat mengatasinya.34
Sebagaimana tradisi perkawinan loro pangkon yang terjadi di
Dusun Mendek Desa Kutogirang, peralatan serta barang bawaan yang
dibawa oleh keluarga besar mempelai putra tidak lain adalah merupakan
bekal dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang akan dilaluinya.
Semua barang bawaan itu memiliki makna atau merupakan simbol, dan
nasehat bagi kedua mempelai, maupun seluruh masyarakat, terutama bagi
mempelai berdua dan bagi pemuda dan pemudi yang akan menjalani
rumah tangga. Biasanya barang bawaan yang diperbincangkan dalam
dialog loro pangkon adalah perlengkapan peralatan dapur, sebagaimana
yang pernah dilakukan Bapak Sunaryo dan Bapak Denan dalam dialog
loro pangkon berikut.
34Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013.
240
N: Enggeh… enggeh… terus seng dibeto nopo mawon ? (Iya… iya... terus yang dibawa apa saja?)
D: Katah… kelebu ngeten-ngeten niki (banyak..kayak seperti –seperti ini) N: Enggeh (Iya…) D: Ket ngarep sampek mburi gawane katah tapi yo onok seng kari, (Dari
depan sampai belakang banyak tapi masih ada saja yang ketinggalan ) N: Ngotena…? (Begitu yaa?) D: Jodang! (Jodang!!!) N: Looo… enggeh… enggeh… enggeh. (Looo…Iyaa…iya…iya…) D: Nggeh… nggeh. (Iyaa..iya) N: Jane niku penting niku (Sebenarnya itu penting sekali) D: Enggeh… enggeh (Iya…iya) N: Enggeh… terus seng dibeto ngarep lincip niku wau nopo? ( Iya…terus
yang dibawa depan lancip itu apa?) D: Lincip niko waua, tumbak ajining pangucap! (Lancip itu tadi, tumbak
ajine pembicaraan!) N: Tumbak ajining…. (Tumbak ajining....) D: pangucap (Pembicaraan) N: Oooh…. (Oooh....) D: Tumbak empon dipun wastani wesi aji, duduk wesine seng diaji-aji, tapi
ucape! (Tumbak bukanlah diartikan dengan besi aji, bukan besinya yang dijadikan pegangan, tapi ucapannya )
N: Ngaten nggeh ( Begitu ya) D: Jam siji teko meriki, jam siji pas mpon teko meriki !!!! (Jam satu sampai
sini, jam satu pas sudah sampai di sini!!!!) N: Ngaten nggeh(Iyaaa…iya….) D: Enggeh, perkoro telat empun lumrah, mergo manten iku gak ijen (Iya,
masalah terlambat sudah biasa, soalnya pengantin itu tidak sendirian) N: Enggeh… enggeh, terus wonten kaleh wau nopo ,nggene ngarep kembar
nopo wau? ( Iyaa…iya, terus ada dua tadi apa, di depan kembar apa tadi?) D: Arane kembang mayang! ( Namanya Kembang Mayang ! ) N: Kembang mayang! (Kembang Mayang!!!) D: Eenten seng ngarani kembar mayang (Ada yang menamakan Kembar
Mayang) N: Maksude yok nopo? (Apa maksudnya) D: Maksude kembar mayang kemanten loro podo senenge (Maksudnya
Kembar Mayang, dua pengantin sama sukanya) N: Ooo… ngaten ta… enggeh… enggeh. Nggeh niku maksude kembar
mayang (Oooo…begitu yaa…Iyaa…iyaa,yaaa itu maksudnya kembar mayang)
D:Enggeh ( Iyaaa…) N: Terus seng mburine wau enten seng dipikul barang... (Terus yang
belakang tadi apa? Ada yang dipikul segala )
241
D: Iku seng diarani kembang mayang, kembang mayang iku pituture wong tuwo “mbesok ae nak, koen masio onok kono, ono kene ojo dadi kembang lambene tonggo iso’o nggawe kembang kebecikan, kene’o digawe conto ngoten” (Itu yang dinamakan kembang mayang, kembang mayang itu nasehat orang tua, “di hari esok [masa yang akan datang] wahai anakku, kamu walaupun berada di manapun tempat, berada di sana,di sini jangan menjadi buah bibirnya tetangga, kalau bisa menjadi buah bibir yang bagus, supaya bisa menjadi tauladan)
N:Enggehpancene (Iya memangnya) D: Enggeh (Iya….) N:Enggeh… enggeh… enggeh, terus enten maleh seng di…
nikuwau…dipikul?kelopo ta nopo wau nopo wau (Iya…iya...iya…, terus ada lagi yang di…itutadi ,dipikul…kelapa ya,apa itu tadi?)
D: Ah… kelopo nikuwau wonten gandengane mestine wonten gedange, rehne nggeh wong pancene mboten tau nggeh mboten ngerti tasi’an, nggeh pangapunten nggeh…. La niku seng diarani kelopo, macem kembange kelopo imanmu seng kenceng, ambek wong wedok, biyen katok opo, saiki ketok opo, saiki tresno sampek mbesok yo seneng (Ah...kelapa itu tadi gandengannya harus ada pisangnya,kesini yaa ..namanya orang belum pernah kesini ya masih belum ngerti, yaa minta maaf yaa..laa itu yang dinamakan kelapa,mancem kembangnya kelapa imanmu yang lurus dengan orang perempuan ,dulu kelihatan apa..sekarang kelihatan apa,sekarang senang sampai besok-besok ya senang)
N: Oooh… ngaten nggeh. (Oooh... begitu ya) D: Enggeh (Iya) N: Nggeh enggeh (Iya iya) D: engkok ndang saiki seneng mene-mene nduwe anak loro telu mpon la….
(Nanti jangan-jangan sekarang senang nanti punya anak dua,tiga sudah…la....)
N: Mpon sampik ngaten niku … terus wonten seng di beto embak wau lo… gulungan nopo? (Jangan sampai begitu….terus ada yang dibawa tadi loo…gulungan apa?)
D: Keloso bantal (Tikar bantal) N: Keloso bantal, damel nopo se? (Tikar bantal, buat apa yaa?) D: Arane nggendong putu, lemeono tri warah bantalono pitutur (Namany
Gendong cucu,Alaskan tri warah bantalkan nasehat) N: Oooh ngaten…( Ooooh..begitu…) D: Enggeh kewajibane (Iyaa kewajibannya ) N: Ono maksude nggeeh (Ada maksudnya yaa) D: Nggeh enggeh dek (yaa…iyaa dek) N: Oh nggeh… enggeh, terus seng sampeyan gendong moyong-moyong niku
nopo? (Oh ya…iyaaa, terus yang kamu gendong kesana kemari itu apa?) D: Arane sawung roro pangkon! Lak niki lak gawan, iki gawan kulo niki
(Namanya Sawung Roro Pangkon! Laa ini kan bawaan,ini bawaan saya )
242
N: Oooh enggeh niki lak gawan (Ooooh iya ini tadi kan bawaan ) D: La niki wau mpon melebu dikengken kaleh Bapake pranoto adi coro,
kapureh didalaken, enten maksude dek iki dek! (La ini tadi sudah masuk disuruh sama Bapaknya sebagai pranata acara, kapurnya dikeluarkan,ada maksudnya ini dek !!!!)
N: Niki ta? ( Ini ya?) D: He eh…. Enggeh ( He hehe… iyaa ) N: Maksude nopo niki ? ( Maksudnya apa ini?) D: Bubak kawak (Bubak Kawak) N: Bubak kawak! (Bubak Kawak) D: Enggeh! (Iyaa…) N: Yok nopo maksude? (Apa maksudnya?) D: Bubak iku anyar kawak lawas, ngenyarno barang seng lawas (Bubak itu
baru,kawak lama, memperbaharui barang yang lama) N: Ooh…. (Ooh....) D: Seng wes y owes seng durungae ayo diati-ati (Yang sudah ya sudah,yang
belum ayo dihati-hati) N: Ngaten nggeh (Begitu ya) D: Enggeh! (Iya) N: Nggeh… nggeh… nggeh, terus seng didamel mekul niku lak enten
jenenge? (Ya…ya…ya…, terus yang dibuat mikul itu kan ada namanya? ) D: Arane ongkek (Namanya Ongkek) N: Nopo? (Apaa????) D: Ongkek (Ongkek ) N: Ongkek! (Ongkek !!) D: Enggeh (Iyaa…) N: Oooh enggeh… nggeh. Terus maksude yok nopo? (Oooh iyaa…yaa,Terus
maksudnya apa?) D: maksude ongke niku ngeten dek, jare wong biyen niku nek pariane ludruk,
“tuku sapu meleh seng dowo golek iwak nang Kenjeran” (Maksudnya Ongkek itu begini dek, kata orang dulu itu kalau paribahasa ludruk, “membeli sapu memilih yang panjang buat cari ikan di Kenjeran )
N: Nopo niku? (Apa itu ?) D: Ojo digugu gunem seng olo mundak-mundak dadi gegeran (Jangan
disanjung perkataan yang buruk bisa-bisa nanti jadi pertengkaran) N: Oh ngaten tah (Oh begitu ya) D: Nggeeh…dadi seng enak-enak mawon (Iyaa..jadi yang enak-enak saja) N: Enggeh… enggeh tapi niku lo kok tek crentel ngaten yok nopo niku?
(Iyaa…iyaa, tapi itu loo kok pada bergantungan itu gimana?) D: Oh macem-macem (Ohh bermacam-macam) N: Oh….(Oh....) D: Ono iyan, gantine niki tempeh, enten dandang, mpun katah nopo mawon
(Ada iyan, gantinya itu tempeh, ada dandang, sudah banyaak apa saja…)
243
N: Seng niki lo seng di gecoi abah wau lo nopo niki? (Yang ini lo… yang dipegangi abah tadi apa ini?)
D: Oh… niku eler! (Oh…itu kipas !) N:Nopo? (Apa?) D:Eler! (Kipas!) N: Eler! Maksude eler niku nopo? (Kipas! maksudnya kipas itu apa?) D: Eler sak derange melebu mriki wau mpon kulo silir-silir disek (Kipas
sebelum masuk kesini tadi saya mencari informasi dulu) N: Maksude melebet niku…. ( Maksudnya masuk itu….) D: Aa… sak derenge kulo sowan mriki mpon kulo silir-silir disek
(Aa….sebelum saya berkunjung ke sini sudah saya mencari informasi dulu)
N: Ooo… ngatena ( Ooo…begitu ) D: Enggeh, cocok pernah nggeh, setuju la baru …nggeh (Iyaaa, cocok pernah
iyaa, setuju teruus baruuu…iya) N: Oooh ngaten maksude eler! (Oooh begitu maksudnya kipas!) D: Enggeh (Iyaa…) N: Terus wonten maleh eros niku yok nopo? (Terus ada lagi eros itu
gimana?) D: Eros, kulo budal meriki ketemu kaleh konco nikiwau , abahe nikiwau…
teng pundi wak nan ? kulo niki neruse omongane adek sampeyan Farid nikilo, mriku lo teng Tameng (Eros, saya berangkat ke sini bertemu dengan teman tadi, abahe itu tadi..kemana pak nan? Saya ini meneruskan omongannya adik kamu Farid tadi loo, ke situ loo ke Tameng)
N: Ooo… (Ooo...) D: Nerusaken… nembung (Melanjutkan pembicaraan) N: Eros niku! (Itu yang dinamakan eros!) D: Eros… (Eros) N: Nerusaken (Melanjutkan) D: Enggeh (Iya) N: Oh ngatena…, terus wonten maleh seng ombo niku iyana? (Oooh…begitu
…,terus ada lagi yang lebar itu apa iyan?) D: Iyan! (Iyan!) N: Nopo maksude iyan niku? (Apa maksudnya iyan itu?) D: La niki wonten tempeh, gantine iyan, gak iso nggawe bekne
heh…heh…heh. Iyan niku mpun diterusi meriki podo setujune diiyani (La ini ada tempeh, gantinya iyan, tidak bisa membuatnya kelihatannya... heheheh….,iyan itu sudah diteruskan kesini sama-sama setujunya di iyakan)
N: Oooh…. (Oooh....) D: Enggeh, mpon kulo terusi meriki, kulo mantok, yok nopo Pak? O iyi nak
wes diiyani wes oleh, nggeh (Iyaa, sudah saya terusi ke sini, saya pulang, bagaimana pak ? O… iya sudah diiyakan sudah disetujui, iya)
N: Maksude iyan niku? (Maksudnya iyan itu?)
244
D: Enggeh (Iya) N: Oh enggeh, wonten maleh seng sewor niku yok nopo? (Oh iya, ada lagi
yang gayung itu apa?) D: Sewor, bareng wes diiyani di suwur-suwurno, tanggane seng cidek
dikandani bolone seng adoh diwarahi, koncone kabeh diundangi, disuwor-suworno la… kapan dino jemuah legi lak ngatena! Tanggal telu wulan besar (Gayung, sesuatu yang sudah diiyakan di sebar-sebarkan, tetangga dekatnya diberitahu, sanak familinya yang jauh diberitahu, temannya semua di kasih undangan, di sebar-sebarkan, jika…kapan hari Jum’at Legi, begitu kan…!!! Tanggal 3 bulan besar )
N: Ngatena (Begitu) D: Enggeh, (Iya) N: Maksude sewor niku (Maksudnya gayung itu) D: Enggeh, disuwur-suwurno (Iyaa disebar- sebarkan) N: Niki wonten maleh nopo niki, dandang nggeh? (Ini, ada lagi apa ini?
Dandang ya?) D: Ancene karepe manten loro (Memang minat kedua pengantin) N: Nopo’o? (Kenapa?) D: Kok, gak ndang-ndang se, kapan tanggal songolas (Kok, tidak segera
dilaksanakan se, kapan tanggal sembilan belas) N: Kok cik gupue, iyo (Kok terburu amat, ya) D: Kok gak ndang-ndang, bengi iku kok cik suwene, awan kok gak bengi-
bengi se (Kok lama banget siiih, malam itu kok lama banget, siang kok tidak segera malam)
N: Niku maksude dandang, Oh nggeh… nggeh, terus wonten niku lo wajan niku? (Itu maksudnya dandang, ooh iya yaa.., terus ada lagi itu loo wajan itu? )
D: Wajan, wadah mpon panas-panas wajan iku kanggo pemanasan, ngetengno barang seng mentah (Penggorengan, tempat yang sudah panas, penggorengan itu buat pemanasan, menanakkan sesuatu yang mentah/ belum masak)
N: Oooh…. (Oooh....) D: Ojo grusa-grusu (Jangan terburu-buru) N: Ngoten (Begitu) D: Engkok ndang akeh uwong ngene, engkok bengi-bengiae nak, nek sepi
wong… mpon gopoh-gopoh, mene ditotokno meneh, sementara iki betah-betahno (Nanti jangan –jangan banyak orang begini, nanti malam-malam saja nak, kalau sepi orang.. jangan buru-buru besok diteruskan lagi, sementara ini disabarkan dulu)
N: Enggeh…nggeh (Iya...iya) D: Enggeh (Iya) N: Terus enten maleh niki lo (Terus ada lagi ini loo…) D: Nopo’o?(Kenapa?)
245
N: niki nopo se semunggo ngaten lo niki lo?-[sambil memegang barang yang ditunjuk] (Ini apa se seumpamanya gitu?)
D: Oh… niku gantine kemaron (Ooooh…ini gantinya kemaron) N: Kemaron! (Kemaron) D: Enggeh (Iya) N: Maksude kemaron yok nopo? (Maksudnya kemaron itu apa?) D: Kemaron, karepe kemanten loro karon-karonan, podo karepe, saiki
diganti panci (Kemaron, kemauan kedua pengantin inginnya berduaan, sama maunya, sekarang diganti panci)
N: Ngaten nggeh ( Iyaaa yaa) D: Nek oleh koyo wong wedok ojo di taki dodohno kabeh, ojo katek selep…
(Kalau dapat gaji orang wanita itu jangan dijatah perlihatkan semua, jangan diselipkan sendiri)
N: Mboten kados sampeyan (Jangan seperti kamu..) D: Nggeh encene kulo wong retune pinter ngentet, hehhh heh… (Iyaa emang
saya orang pinter menyelipkan) N: Diselempetaken nggene koplok-koplok, (disembunyikan di kopyah-
kopyah) D: La nggeh…( La iyaa…) N: Nggeh…nggeh, niku maksude kemaron, enten wajan niku yok nopo?
(Ya… ya, itu maksudnya kemaron, ada wajan itu gimana ?) D: Nikuwau nopo mpon sampean takokaken. (Itu tadi sudah kamu tanyakan) N: Wajan! (wajan ! ) D: Mpon ( Sudah ) N: Oh… mpona wajan wau (Ooooh..sudah ya wajan tadi) D: Kari sutile, (Tinggal sutilnya) N: Enggeh sutil… sutil (Iya sutil…sutil ) D:Yo gak serok yo gak sutil ….engkok nek gak damel japet, kudu melok yo
gak kudu kentel (Ya tidak serok ya tidak sutil…nanti kalau tidak buat japet, harus ikut ya harus nempel)
N: Yok nopo? ( Bagaimana ??) D: Mergo peno koyok niki [sambil menunjukkan pantat…berkentut… dus]…
ha…ha… ha…. (Soalnya kamu kayak ini..) N: Haaa… ha… ha… ha (Haaa... ha... ha... ha....) D:La wong wedok ngaten sawangane ngoten kendel! (La orang perempuan
ini kelihatannya seperti itu berani!) N: Ngoten nggeh? (Begitu ya?) D: Enggeh! Mangkane ojo sembrono Rid, urip ono kene bojomu sembrono
wah …. (Iya! Makanya jangan teledor Rid, hidup disini dengan istrimu sembarangan waahhh…)
N: Looh… la niki nopo mpon kulo celoloi … nikulo wonten kados sepopell niku lo nopo? (Looh…la ini apa sudah saya perhatikan… barang yang seperti pistol itu apa?)
D: Hulek! (Hulek!)
246
N: Nopo? ( Apa ?) D: Hulek! (Hulek!) N: Lo nek nggen kulo niku hulek-hulek e’ (Lo kalau ditempat saya itu hulek-
hulek) D: Yo nek loro, wong iku mek sitok, hulek (Ya kalau dua, wong ini cuma
satu, hulek ) N: Nek setunggal niku hulek!Oalah nggeh… nggeh… nggeh, niku damel nopo
ngoteniku? (Kalau satu itu hulek! Ooooh ya…ya…ya…, buat apa benda seperti itu?)
D: Oooh pengeruwesan dek (Oooh Pengeruwesan dek) N: Pengeruwesan! ( Pengeruwesan!!) D: Pengeruwesan (Pengeruwesan) N: Oooh umpami wonten Lombok moro…. (Ooooh seumpama ada cabe
datang…) D: Yo dikeruwes (Ya dikeruwes ) N: Enten terasi moro…. (Ada terasi datang) D: Dikeruwes (Dikeruwes) N: Enten uyah moro ngoten (Ada garam datang begitu..) D: Yo dikeruwes (Ya dikeruwes) N: Umpamane morotuwo moro ngoten ??? (Seumpama mertua datang gitu
???) D:Ayo keruwesen ngunu, engok cek’e ditotok he…he… he… he…. (Ayo
keruwesen gitu, nanti biar dipukul…he…he…he…he…) N: He… he… he… he… he…, nggeh… nggeh… nggeh. Niku hulek-hulek!
(He…he…he…he…he, ya…ya…ya…itu hulek-hulek !!! ) D: Hulek! (Hulek!) N: Terus wonten maleh wau lo? (Terus ada lagi tadi lo?) D: Nopo? (Apa?) N: Niki lak empon telasa niki (Ini kan udah habis ya) D: Nggeh tasek nek sampeyan gelem takon (Yaa ada kalu kamu mau
bertanya) N: Endi se? (Yang mana se?) D: Mpon, sampeyan takon (Sudahlah, kamu bertanya) N: Wakol, wakol niku lo? ( Wakol, wakul itu loo? ) D: Wakol wadahe sego, la ngatena… seng nyesekae, engkok nek wes
disesekae mari dikei sego (Bakul tempatnya nasi, la begini loo... harus terus mendesak, nanti kalau sudah didesak setelah itu dikasih nasi)
N: Ooo… ngatena ( Oooo..begitu ) D: Enggeh! (Iya!) N: Niku wakol! (Itu bakul!) D: Nggeh… nggeh… nggeh.( Iya…ya…ya.) N: Terus seng niku wau lo kepingin tanglet gedang nopo? (Terus yang itu
tadi lo kepingin Tanya pisang apa itu?)
247
D: Oooh gedang… wateke wong wedok dek (Oooh pisang…wataknya orang perempuan dek)
N: Wateke wong wedok yok nopo se? (Wataknya orang perempuan bagimana?)
D: Mangkane wong wedok niku ngaten, sakeng Mohamad Farid dereng kulino kudu dikandani arek niku (Makanya orang perempuan itu ya begitu, masalahnya Mohammad Farid belum terbiasa, dia harus diberitau orang lain)
N: Terus dikandani yok nopo? (Terus diberitahu seperti apa?) D: Nek mangan gedang ….( Kalau makan pisang ) N: Nggeh! (Iyaaa…) D: Yo kudu koyok wong wedok mau contone (Ya harus kayak orang
perempuan tadi contohnya ) N: Yok nopo yok nopo…? (Bagaimana… bagaimana…?) D: dicoplok klambine disek (Dilepas bajunya dulu…) N: Looo…. (Looo....) D: La gedang lak dicoplok se klambine dek! (La pisang kan dilepas bajunya
dulu to dek..!!! ) N: Niku lo, dioncei kulite ngoten lo, ah! (Itu lo, dikupas kulitnya begitu lo,
aahhhh!!! ) D: Kulite, lek wes mari gak nok kulite, ngonoiko digeget karo di patek ehek…
eeek…. Eeek ngene rasane… he… he… he….(Kulitnya, kalau sudah selesai tidak ada kulitnya, yang begitu itu digigit dengan ditahan eheek…ehek….eeeek begini rasanya… he…he…he…)
N: Oooh… ngaten ta (Oooh…begitu yaa) D: Enggeh! ( Iyaa….) N+D : Niku maksude gedang (Itu maksudnya pisang)35
Ia menambahakan bahwa sebagai seorang suami hendaknya dapat
menjaga nama baik keluarga besarnya, di manapun tempat hendaknya
dapat menjadi tauladan, janganlah menjadi buah bibir yang buruk atau
pembicaraan orang lain. Semua yang tertuang dalam dialog tentang barang
bawaan tersebut memiliki makna, bukan hanya sekedar hiasan, akan tetapi
merupakan nasehat bagi semua orang, bukan hanya untuk kedua mempelai
pengantin saja.
35Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013. Lihat pula lampiran.
248
Untuk itulah bagi generasi muda hendaknya mengetahui budaya-
budaya seperti itu agar memahami makna kehidupan, apalagi dengan
keadaan zaman yang serba penuh dengan pergaulan bebas, hal ini sungguh
memprihatinkan kalau sudah demikian. Banyak terjadi perceraian, apalagi
di kalangan selebritis, anak-anak kita saat ini perlu mengerti budaya-
budaya leluhurnya agar menjadi pedoman di dalam kehidupannya.
Sehingga diharapkan dalam membina rumah tangga mencapai kehidupan
yang sakinah mawaddah warrahmah, seperti dalam pengertian agama.36
B. Pencitraan dan Pelestarian Perkawinan LoroPangkon
Di tengah-tengah arus modernisasi perkembangan zaman yang terus
melaju, keberadaan tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat sedikit banyak
mengalami penurunan. Meskipun arus modernisasi terus bergerak melaju dengan
kencang, masyarakat pecinta tradisi yang luhur tentunya tidak tinggal diam.
Mereka dengan kesadaran dan semangat yang dijiwai rasa saling mencintai serta
mempertahankan warisan nenek moyang yang dianggap masih tetap mengandung
nilai-nilai moral bangsa ketimuran, masyarakat Jawa akan terus menjaganya.
Terutama masyarakat Jawa yang ada di Mojokerto, mereka berusaha semaksimal
mungkin bagaimana tradisi tersebut agar tidak punah dan masih dilestarikan, tidak
lain dalam rangka membangun nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai moral agar
kehidupan masyarakat menjadi harmonis, tidak tergerus oleh budaya Barat.
36Sunaryo, Wawancara, Mojokerto, 22 April 2013.
249
Harapannya anak-anak muda masih mempertahankan nilai-nilai luhur yang
diwariskan para pendahulunya, ada istilah “kejarlah daku kau kutangkap” yang
bermaksud meskipun budaya asing terus membanjiri budaya masyarakat Jawa,
tetap saja budaya asing itu kita terima dengan selektif, namun kita masih saja tetap
mempertahankan budaya Jawa yang luhur yang sesuai dengan kepribadian
masyarakat Jawa dan kepribadian bangsa.37
Dalam rangka mempertahankan gerusan budaya asing yang terus
membanjiri budaya Jawa, dari berbagai pihak apakah dari individu, masyarakat
pecinta dan peminat tradisi perkawinan loro pangkon, dan pemerintah setempat,
mereka memiliki andil. Semua komponen masyarakat tersebut berusaha
bagaimana merekonstruksi atau membangkitkan dan membangun kembali tradisi
perkawinan loro pangkon di Kabupaten Mojokerto.38
1. Membangun dan memperbaharui tradisi lisan (pelaku budaya dan masyarakat peminat) a. Melalui seni ludruk
Menurut pandangan Pakde Kuntet (pemain ludruk juga pemain
beso’an loro pangkon) bahwa dalam rangka melestarikan budaya atau
37Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013. 38Riduwan, Wawancara, Mojokerto, 9 Juni 2013. Ia menambahkan bahwa dalam rangka menjaga tradisi masyarakat, pemerintah saat ini sudah sangat peduli sekali terhadap warisan tradisi luhur nenek moyangnya yang dianggap sebagai penjaga moral, apabila anak-anak kita tidak diperkenalkan dengan tradisi yang masih baik tersebut, kita khawatir mereka akan kehilangan jati dirinya. Mereka lebih larut dengan tradisi asing hingga akhirnya mereka tidak mengerti siapa sesungguhnya mereka berada, sebab tradisi-tradisi budaya bangsa kita ada saja yang diakui oleh orang luar, padahal sesungguhnya adalah budaya kita, sungguh sangat ironis bila melihat keadaan seperti itu. Makanya, pemerintah daerah Kabupaten Mojokerto setiap memperingati hari jadi Kabupaten Mojokerto setiap tahun diadakan beberapa festival serta lomba dan perayaan atau tradisi-tradisi yang dianggap baik selalu ditampilkan. Seperti kita lihat di Trowulan atau di Pendopo Agung Trowulan.
250
tradisi perkawinan loro pangkon, masyarakat harus banyak perhatian
terhadap budayanya, mereka kurang mencintai budayanya disebabkan
mereka tidak memahami dan kurang mencernak apa yang terkandung
dalam tradisi perkawinan loro pangkon. Sebab masyarakat lebih
banyak disuguhi oleh budaya-budaya asing yang sifatnya instan, lebih
praktis dan mudah, akhirnya budayanya sendiri dilupakan. Umumnya
mereka kurang memahami dan menyelami makna yang terkandung di
dalamnya, sehingga mereka memilih praktisnya. Padahal di balik hal-
hal yang bersifat kasat mata, terdapat sesuatu hal yang sifatnya mistis,
tetapi masyarakat sekarang kurang memperdulikannya, mereka lebih
menyukai hal-hal yang bersifat materiil, kurang adanya keseimbangan
antara pandangan yang bersifat fisik dan hal-hal yang bersifat mistis,
sehingga apabila terjadi sesuatu hal yang menjadi problemnya barulah
mereka menyadari bahwa selama ini yang mereka lakukan terdapat
kekeliruan, terdapat kekurangseimbangan antara lahiriah dan batiniah.
Padahal, orang-orang Jawa yang masih mengerti Jawanya tentu akan
memegang nilai-nilai spiritual, memegangi makna-makna batin yang
tersembunyi. Ada istilah sekarang yang mengatakan “wong Jowo ilang
kolonuwune” paribasan seperti itu hanyalah ucapan yang
menghaluskan, yang berarti bahwa “orang Jawa tidak mengerti
Jawanya, kejawaannya sudah luntur bahkan sudah hilang”.
251
Untuk melestarikan tradisi perkawinan loro pangkon seperti
itu, setidaknya masyarakat perlu kepeduliannya untuk nanggap,
menghadirkan tradisi perkawinan loro pangkon ketika memiliki
hajatan menantu anak gadisnya. Sebab orang yang bermain atau
setelan (pasangan beso’an loro pangkon) rata-rata adalah pemain
ludruk atau para dalang. Untuk mempermainkannya perlu mengerti
gending atau musik Jawa, bisa ngidung dan sebagainya. Jadi tidak
semudah itu memainkan beso’an loro pangkon, minimal juga mengerti
pakem-pakemnya (standar-standar permainan) tradisi perkawinan loro
pangkon.39
Pertunjukan ludruk digelar di Dusun Mendek Desa Kutogirang
biasanya ketika ada salah satu dari masyarakat memiliki hajat
menikahkan putra-putrinya. Pertunjukan tersebut melibatkan banyak
orang, sehingga untuk menanggap pertunjukan ludruk diperlukan biaya
yang cukup bagi tuan rumah yang memiliki hajat pernikahan.
Kemeriahan tuan rumah yang memiliki hajat pernikahan akan semakin
bertambah dengan adanya pertunjukan ludruk, karena pertunjukan itu
39Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012. Ia menjelaskan kembali bahwa barang-barang atau benda-benda yang dibawa dalam tradisi perkawinan loro pangkon memiliki makna dan maksud sendiri-sendiri, semua itu mengandung suatu nasehat atau mengandung sanepo (sanepan/ pasemon/ simbol) yang perlu dijelaskan dengan seksama bukan hanya dilihat dengan mata (meripat) lahiriah, tetapi perlu juga dilihat dengan mata batiniah, direnungkan, dipikirkan dimasukkan dalam angan-angan kemudian diperjelas dengan perbuatan atau tingkah laku seperti apa maksud benda-benda yang dilihat tadi, tentunya perilaku yang semestinya bagaimana keadaan alam yang berlaku, tidak menyalahi kodrat. Perenungan seperti itu tidak mudah, perlu kejelian dan ketelitian serta latihan berperilaku yang baik atau berperilaku yang semestinya setiap langkah atau perilaku kita di mana saja, berangkat dari situlah seseorang akan memperoleh hasilnya, orang Jawa mengatakan waskito.
252
dimainkan semalam suntuk mulai pukul 21.00 (9 malam) hingga pukul
03.30 dini hari menjelang waktu subuh, suasana malam itu nampak
sangat meriah dengan adanya berbagai macam orang-orang yang
berjualan dan permainan anak-anak di sekitar pertunjukan ludruk. Di
samping itu, bagi tuan rumah atau sohibul hajat memiliki harapan
dengan adanya pertunjukan itu agar banyak dari masyarakat yang
diundang untuk memberikan do’a restu kepada kedua mempelai dan
tuan rumah turut serta hadir melihat tontonan itu. Di daerah pedesaan
di Mojokerto, khususnya di Dusun Mendek Desa Kutogirang,
masyarakat umumnya menghadiri undangan acara pernikahan pada
malam hari sekitar pukul 18.00-21.00, meskipun ada pula yang hadir
pada siang hari atau sore hari. Bagi masyarakat yang kurang mampu
dalam penyelenggaraan hajatan pernikahan putra-putrinya, mereka
hanya cukup dengan menghadirkan sound system sebagai pengisi acara
kemeriahan hajatan yang diadakannya.40
b. Melalui pertunjukan wayang kulit
Pertunjukan pagelaran wayang kulit yang diadakan di Dusun
Mendek Desa Kutogirang tersebut diselenggarakan oleh tuan rumah
bapak Tisno, ia adalah sohibul hajat yang cukup terpandang di desa
tersebut, karena ia dapat menyekolahkan putra-putrinya sampai ke
perguruan tinggi. Anak putri sulungnya yang dinikahkan tersebut
40Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.
253
merupakan lulusan perguruan tinggi ternama di kota Malang, saat ini
Nurul Farida sebagai mempelai putri sudah menjadi pengajar di
berbagai sekolah tingkat SMA maupun SMP serta di pesantren yang
berada di Mojosari. Suami dari mempelai putri tersebut yaitu Neo Adi
Kurniawan juga merupakan seorang dosen yang mengajar di perguruan
tinggi yang berada di Malang.41
Penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit dalam hajatan
pernikahan putri bapak Tisno menurutnya ketika penulis wawancara, ia
sebelumnya sudah memiliki keinginan atau niat (nadzar) bahwa
apabila anak putri sulungnya itu menikah akan ditanggapkan
pertunjukan wayang kulit. Ternyata pada saat menikahkan putrinya
keinginan yang diharapkan terkabulkan, sehingga diadakanlah
pertunjukan wayang kulit semalam suntuk pada malam harinya.
Pertunjukan itu dimulai pukul 21.00 hingga pukul 04.00 dini hari,
diawali dengan tari remo, dilanjutkan campursari dan selanjutnya
pertunjukan inti wayang kulit yang diperankan oleh seorang dalang
mulai pukul 22.00 hingga menjelang waktu subuh. Menurut bapak
Tisno bahwa kedudukan seorang dalang adalah sangat penting dalam
pertunjukan itu maupun untuk sohibul hajat. Menurutnya seorang
dalang adalah orang yang ngerti (bahasa Jawa: memahami) tentang
hal-hal yang ghaib dan dimohon do’a restunya agar sohibul hajat
41Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.
254
memperoleh keselamatan di dalam penyelenggaraan pernikahan dari
awal hingga akhir, sampai proses pembentukan keluarga kedua
mempelai pengantin untuk memperoleh keturunan hingga akhir hayat,
dan kesemuanya bertujuan memperoleh keselamatan.42
Senada dengan pandangan masyarakat Jawa menurut beberapa
ahli, wayang yang sudah lebih dari 3000 tahun tetap dihayati dan
dijunjung tinggi oleh masyarakat karena pertunjukan wayang berisi
hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan manusia, baik lahiriah,
maupun batiniah. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pertunjukan
wayang kulit purwa dapat menggerakkan rasa hati seseorang. Suatu hal
yang kelihatan unik dan menonjol dari daya kemampuan wayang
terhadap rasa kalbu manusia yaitu, makin tinggi martabat jiwa
seseorang yang menjadi pendukungnya, makin besar pula perhatian
dan kegemarannya terhadap wayang. Makin dalam orang menyelami
wayang, makin takjublah ia.43
Wayang purwa merupakan pertunjukan wayang yang ceritanya
bersumber dari kisah Mahabarata dan Ramayana, yaitu wayang kulit
purwa, wayang beber purwa, wayang golek sunda, wayang wong,
wayang Bali, wayang golek purwa. Pada abad V Masehi mulai ada
pertunjukan wayang atau tarikh wayang. Banyak ahli yang mengupas
42Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012. 43Lihat Sri Mulyono, Wayang; Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: BP. Alda, 1975), 58.
255
tentang wayang, di antaranya yang dipakai untuk pijakan Dr. G.A.J.
Hazeu, Drs. Soeroto, dan K.P.A. Kusumodilogo.
Menurut Hazeu, dalam disertasinya, Crawfurt berpendapat
bahwa orang Jawa adalah penemu drama Polynesia; Hageman
berkesimpulan bahwa wayang diciptakan olrh Raden Panji Kertapati
dalam abad XII yaitu, dalam masa kejayaan kebudayaan yang
dipengaruhi Hindu; bagi Poensen yang mendekati kenyataan adalah
pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan
bimbingan orang Hindu; menurut Prof. Hert wayang atau gamelan
mendapat pengaruh Hindu; Dr. Brandes mengemukakan kenyataan
bahwa orang Hindu mempunyai teater yang berbeda dengan orang
Jawa. Hazeu mulai membuktikan asal-usul wayang dengan melihat
istilah dalam sarana pentas: wayang, kelir, blencong, kothak, keprak,
dan dalang. Ternyata setelah ditelusuri istilah tersebut asli Jawa.
Menurutnya, pendapat Hazeu wayang mendapat pengaruh Hindu tidak
benar karena wayang telah ada di Jawa sebelum ada pengaruh Hindu
yang kuat. Begitu pun wayang bukan berasal dari Cina atau Kamboja.
Dia juga menyimpulkan bahwa sekitar tahun 700 caka sudah ada
secara garis besar pertunjukan yang sekarang disebut dengan wayang
kulit, dan sebagainya.44
44Ibid., 23.
256
Rasesers meragukan pendapat Hazeu, namun ia pun tidak
dapat membuktikan pernyataannya sehingga, membingungkan.
Menurutnya, dalam abad ke III sudah diketahui bangsa Hindu
mempunyai pertunjukan bayangan yang mirip dengan wayang kulit di
Indonesia. Ia menyimpulkan bahwa wayang kulit bukan asli dari orang
Jawa, tetapi dari Hindu-Jawa. Menurut Soeroto, pertunjukan wayang
adalah kebudayaan asli Indonesia dan erat hubungannya dengan
pemujaan “hyang” memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme,
sedangkan lakon-lakonnya diambil dari cerita yang asalnya dari India.
Kusumodilogo berusaha meninjau “babon pakem ugeran” pedalangan
yang dianut dan dipergunakan sebagai pegangan oleh para dalang gaya
Surakarta. Namun, menurut Mulyono banyak tahun yang tidak sama.
Maka, untuk mengetahui lebih jauh ia membagi sejarah wayang
menjadi 5 zaman: Zaman Prasejarah, Zaman Kedatangan Hindu,
Zaman Kedatangan Islam, Zaman Penjajahan, dan Zaman Merdeka.45
Dengan menguraikan berbagai pendapat para ahli, Mulyono
menyimpulkan beberapa hal: asal mula pentas bayangan bersumber
pada upacara agama terhadap pemujaan “Hyang” timbul pada awal
zaman Neolitikum (sesudah tahun 2000 SM); pertunjukan wayang
kulit merupakan hasil kreasi orang Indonesia asli di Jawa, sebelum
kebudayaan Hindu datang; pertunjukan wayang kulit berhubungan
45Ibid., 8.
257
dengan kepercayaan untuk memuja “Hyang” yang bermaksud
memanggil roh nenek moyang guna diminta pertolongan. Sampai
sekarang wayang terus berkembang dan memiliki fungsi intinya
sebagai suatu kegiatan gaib yang berhubungan dengan kepercayaan
dan pendidikan (magis, religius, didaktis).46
Pada masa Kediri yang banyak memperhatikan persoalan
wayang adalah Empu Sendok, Dharmawangsa Teguh, dan Airlangga,
Kameswara, dan Jayabaya. Pada masa tersebut terdapat berbagai buku-
buku atau kitab wayang. Pada masa Kerajaan Majapahit, wayang
semakin disempurnakan dalam hal pewarnaan, digambar di kain
(wayang beber purwa dengan gamelan slendro) dan ditulis kembali.
Lakon-lakonnya pun dapat dijumpai di relief pada candi-candi.
Sebagaimana dalam prasasti Balitung (907), sebelum 929, pertunjukan
wayang sudah dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Walaupun
lakonnya berubah dari epos Jawa ke epos Mahabarata, inti pertunjukan
bayang sebagai kepercayaan tetap bertahan, bahasanya pun berubah
dari bahasa Jawa kuna menjadi campur dengan sansekerta yang disebut
bahasa “Kawi”. Pada abad ke XI wayang jelas menjadi drama yang
adiluhung, mengesankan dan mampu menggetarkan kalbu
penontonnya dapat hanyut sampai menangis menyaksikan pertunjukan
wayang.47
46Ibid., 56. 47Ibid., 68.
258
Menurut Mulyono, wayang lahir di Jawa Tengah kemudian
dibesarkan dan dibina di Jawa Timur, kemudian didewasakan dan
dimatangkan di Jawa Tengah lagi. Pada masa Kerajaan Demak atau
tahun 1521-1945 dunia wayang mengalami kemajuan pesat sehingga,
wayang telah menjadi kesenian klasik tradisionil, yaitu suatu nilai
budaya yang tak lekang karena terik matahari dan tak lapuk karena
hujan. Bahkan dihayati sepanjang masa serta dijunjung tinggi oleh
generasi satu ke generasi berikutnya. Maka, ia memiliki unsur seni,
kejiwaan, dakwah dan sisa upacara agama, pendidikan dan mass
media, ilmu pengetahuan sastra-budaya, dan hiburan. Mulyono
menyimpulkan sejak timbulnya wayang sampai sekarang, wayang
telah mengalami perubahan, tahun 1500 SM-400 M, cerita wayang
berupa mitos Jawa kuna dengan bahasa Jawa kuna, tahun 400 M-907
M, ceritanya sebagian masih berupa mitos dan sebagian lagi sudah
berupa epos India; tahun 907 M-1478 M seluruh cerita sudah berupa
epos India dengan bahasa pengantar “Kawi”; tahun 1478 M-1745 M
cerita sudah bercampur antara mitos, epos, dan hikayat dengan bahasa
Jawa Tengahan; tahun 1745 M-1945 M ceritanya mengambil dari
babad dengan bahasa pengantar Jawa baru; tahun 1945 sampai
sekarang ceritanya berupa babad dengan bahasa Jawa Indonesia.48
48Ibid., 80.
259
Kekhawatiran akan hilangnya wayang pada saat masa
kemerdekaan ternyata tidak terjadi. Sejak tanggal 18 Agustus 1945
wayang kulit purwa telah menjadi milik Nasional sebagai Kebudayaan
bangsa Indonesia yang berwujud seni klasik tradisionil. Wayang pun
menjadi milik semua lapisan masyarakat. Kemudian terbentuklah
Akademi Pedalangan, ensiklopedia dan lembaga terkait wayang, dan
perhatian pemerintah juga terlihat dalam Pelita II terdapat pembinaan
mental spiritual khususnya wayang. Selain itu, semakin banyak
penulisan pewayangan dalam bahasa Indonesia. Pewayangan pun kini
telah menjadi perhatian dunia luar.49
Dari waktu ke waktu wayang mengalami perkembangan.
Pertunjukan wayang yang mengambil lakon Mahabarata disebut
wayang purwa. Dengan pengelolaan yang dramatis maka cerita panji
pun menjadi populer dan dibawakan yang diberi nama dengan gadog.
Kemudian terjadi perubahan, ada yang membuat wayang dengan kayu
yang gepeng dipertunjukan di atas kelir dan boneka itu dapat terlihat
dan diberi nama wayang kelitik untuk cerita Damarwulan dan wayang
Krucil untuk cerita Mahabarata. Unsur dasar pemberian nama wayang
pada ceritanya seperti wayang purwa, madya, gedog, wahyu, pancasila,
makripat, dan sebagainya. Ada juga yang berdasarkan teknisnya yaitu,
wayang beber. Ditinjau dari bonekanya dapat dibagi jadi wayang kulit,
49Ibid., 102.
260
wayang kayu, wayang golek, wayang wong, wayang bambu, dan
sebagainya. Ada juga yang digelar secara permanen pada batu yang
disebut candi yaitu, Candi Larajonggrang yang memuat cerita
Ramayana, Prambanan yang memuat cerita Kresna dan sebagainya.50
Mitos kuna tradisionil merupakan cerita kuna dengan bahasa
yang indah, isinya dianggap bertuah, berguna bagi kehidupan lahir dan
batin juga dipercaya dari generasi ke generasi. Kesusastraan
pewayangan adalah buku-buku atau kitab yang berisi tulisan mengenai
pewayangan dengan bahasa yang indah dan baik, sedangkan
kepustakaan pewayangan merupakan kumpulan kitab yang berisi
dongeng, cerita, analisa pewayangan dalam bentuk apa pun. Mulyono
pun menguraikan ketiganya secara garis besar. Walaupun cerita-cerita
tersebut tidak masuk akal, namun tetap ada unsur didaktis dan
menceritakan kepahlawanan dan usaha menyampaikan unsur religius.
Pembaharuan dalam wayang terjadi dengan proses yang cukup
lama kurang lebih 5 abad, memerlukan seniman dan pujangga besar
dan adanya dukungan dari penguasa dan masyarakat. Kesusastraan
pewayangan dapat digolongkan menjadi tiga, ceritanya dalam bentuk
syair kakawin atau tembang, pakemnya berisi ringkasan lakon wayang
sebagai petunjuk bagi dalang atau penggemar wayang untuk mengikuti
pagelaran wayang, analisanya ditulis oleh orang Indonesia dan orang
50Ibid., 156.
261
asing. Nilai kesusastraannya tentu merupakan karya pujangga besar
yang tak ada taranya.51
Dalam pandangan Bapak Denan (seorang dalang), ia
menjelaskan bahwa dalam melestarikan budaya Jawa seharusnya orang
Jawa sendiri, siapa lagi kalau bukan orang Jawa. Tidak mungkin orang
lain, sebab bagaimanapun jika yang melestarikan orang Jawa, ia akan
lebih mengerti apa yang dimaksudkan, cepet tanggap ing sasmito
(cepat tanggap dalam berbagai hal), orang Jawa lebih meresapi rasa
yang terkandung di dalamnya, bukan berarti rasa yang terdapat dalam
bibir atau ucapan, tetapi yang dimaksudkan rasa adalah sesuatu yang
berada dalam pikiran dan hati yaitu hakikat sesuatu, istilah Jawanya
pang-pangan; panggondo, pangrungu, pangucap, paningal, lan
pangeroso (lima indera) apapun yang dapat dicium (berbau), apa yang
dapat didengarkan, apa yang dapat diucapkan (dibicarakan), apa yang
dapat dilihat, apa yang dapat dirasakan. Apabila kelima indera itu
sudah dapat dirasakan dan diselami makna dan hakikatnya, sesorang
dengan sendirinya akan cepat tanggap, di sinilah yang dinamakan
indera keenam yang mampu menangkap sesuatu di balik yang lahiriah
(tanggap ing sasmito).
Ia menambahkan meskipun seseorang akan mencederai atau
membujuknya, biasanya orang yang tanggap ing sasmito, lebih
51Ibid., 157.
262
mengetahui lebih dahulu jika ia mau dicederai atau dibohongi, tetapi
biasanya orang Jawa yang seperti itu merasa membodohi (pura-pura
tidak mengerti, padahal sesungguhnya mengerti), hal ini untuk
menjaga perasaan orang lain. Ia beranggapan bahwa sesuatu itu akan
terbongkar dengan sendirinya, bagi mereka yang suka
menyembunyikan sesuatu yang busuk atau suatu kebohongan.
Melestarikan tradisi perkawinan loro pangkon seharusnya
masyarakat Jawa sendiri, agar adik-adik mampu melestarikan budaya
seperti itu harus banyak belajar, apakah lewat seni pedalangan atau
kesenian ludruk, jika yang muda-muda kesenangannya hanya budaya
asing, sedikit banyak budaya tradisi Jawa ini bisa luntur. Oleh karena
itu orang Jawa harus mengerti Jawanya. Kasihan kalau melihat
keadaan sekarang, yang muda-muda kesenangannya hanya mabuk-
mabukan tidak mau bekerja, tapi segalanya harus ada, akhirnya apa
yang terjadi yaitu mengambil hak milik yang bukan menjadi
kewenangannya, mengambil sesuatu yang bukan semestinya. Coba
anda lihat, keadaan sekarang bagaimana berita-berita yang berkembang
saat ini, hal itu sungguh menyayat hati, apalagi kita sebagai orang
Jawa.
Para pendahulu menamakan dengan sebutan Jawa,
sesungguhnya sesuai dengan kepribadian masyarakatnya. Masyarakat
Jawa sudah memegang segalanya, yaitu sifat rahman dan rahimnya
263
sudah menyatu dalam kepribadiannya, lafad bismillah sudah terpegang
dalam genggaman bukan hanya sekedar di ucapkan di bibir. Berbeda
dengan masyarakat Arab, karena bumi dan tanahnya kering kerontang
serta gersang, maka ingin menyebut tanaman tebu tidak ada
tanamannya. Tetapi pernah mendengar saja jika terdapat tanaman tebu
di negara asia yang subur, orang Timur Tengah yang mereka tahu
hanyalah gulanya saja, tanaman tebu tidak pernah diketahui sebab tak
ada tanaman tebu. Jadi, mereka melafadkan bismillah karena ingin
memperoleh sifat rahman rahim dari Tuhan supaya dapat merasakan
tanaman yang tidak terdapat di negaranya. Kami berkata seperti ini
bukan akal-akalan, tetapi logis nyatanya. Orang Jawa hanya tinggal
melaksanakan sepi ing pamrih rame ing gawe (bekerja secara
sungguh-sungguh, menggerakkan tangan dan melangkahkan kaki
untuk berbuat, tentu akan menuai hasilnya, jangan banyak berharap
atau berkhayal tapi tidak berbuat).
Kalau kita melihat alam di negeri kita, alamnya saja sudah
rahman dan rahim (welas asih, menyayangi) apa yang tidak tumbuh di
negeri ini? Tanahnya yang gemah ripah loh jinawe, segalanya lengkap
tanaman-tanamannya, binatangnya apakah binatang laut, darat, dan
udara semua lengkap, begitu pula tanaman-tanaman yang ada di darat,
di laut atau air semuanya serba ada, tidak akan ada krisis pangan di
sini, kecuali mereka yang tidak berbuat. Berbeda dengan negara-negara
264
lain, tanah dan buminya yang mungkin gersang, padang pasir, atau
hanya bersalju, atau hanya ada satu musim saja, hal inilah yang
mengundang kesimpatikan negara-negara lain untuk menguasai negeri
ini, caranya dengan membujuk para pejabatnya, para rajanya kalau
zaman dahulu. Jadi, sebagai orang Jawa kita harus cepat tanggap
terhadap sesuatu yang terjadi, kasihan anak cucu kita jika melihat
keadaan yang terjadi saat ini bila anak-anak tidak mengerti budayanya.
Sebab simbol-simbol yang terdapat dalam prosesi pernikahan juga
menggunakan simbol-simbol tanaman dan berbagai hal, semua itu
menunjukkan bahwa orang hidup itu harus makan, dapat merasakan
semua yang ada, jika sesuatu itu membahayakan, janganlah diambil.52
c. Mengadakan atau menanggap beso’an loro pangkon melalui hajatan pernikahan
Ketika penulis menanyakan kepada Pak Tisno (sohibul hajat) mengapa tradisi perkawinan itu perlu dilestarikan, ia kemudian mengatakan “Sinten maleh nek mboten tiyang Jawi piyambak seng naggap loro pangkon nek mboten wong Jowo, tiyang lintu nggeh mboten ngertos tradisi ngeten niko. Mangkane kulo ngadaaken koyok ngoten ramene niko supados dolor-dolor ngerteni leluhure, ngerteni budayane, ngerteni watuk-watek’e menungso, ngerteni toto coro, ngerteni lelaku lan sak uba rampene. Tradisi loro pangkon ngoten niko saperlu kanggo ngeleng-eleng menungso, nggih ngiling-ngiling kulo, keluargo, dulur-dulur lan masyarakat. Supados ngerti opo maksude, ben lintu-lintu konco-konco nek nduwe anak perawan nek mantu iso’o nanggap loro pangkon. Ngoten niku yen mampu sak sembarang kalire, sebab bondone nggeh katah. Kulo kinten nek sak iki podo sogeh kabeh, nek nekakne loro pangkon ngunuwae mestine isok.”
52Bapak Denan, Wawancara, Mojokerto, 19 Oktober 2012.
265
(Siapa lagi yang mendatangkan (nanggap) loro pangkon kalau bukan orang Jawa sendiri, orang lain ya tidak mungkin mengerti tradisi seperti yang pernah kita lihat. Makanya saya mengadakan acara yang begitu ramai seperti yang terjadi waktu itu, supaya saudara-saudara kita mengerti tentang leluhurnya, mengerti budayanya, mengerti watak-watuk’e manusia, mengerti tata cara, mengerti lelaku, dan mengerti uba rampene (sesaji yang ada). Tradisi loro pangkon seperti itu supaya menjadi pengingat bagi manusia, mengingatkan kita, mengingatkan keluarga, mengingatkan saudara-saudara, dan mengingatkan masyarakat. Supaya mengerti apa maksudnya, agar yang lain, teman-teman apabila memiliki anak perawan, memiliki hajatan menantu kalau mampu hendaknya nanggap (mengadakan) loro pangkon. Kegiatan yang demikian apabila merasa mampu segalanya, sebab biayanya juga mahal. Saya kira kalau saat ini, semuanya sudah kaya, apabila nanggap loro pangkon begitu saja saya pikir mampu.)53
d. Melalui kirab budaya setiap tahun di Pendopo Agung Trowulan Mojokerto
Di Kabupaten Mojokerto hampir setiap tahun mengadakan
kegiatan yang sifatnya menyemarakkan kegiatan tradisi budaya
masyarakat Mojokerto. Pemerintah Daerah Mojokerto mengadakan
kegiatan seperti itu biasanya bersamaan dengan Hari Jadi Kabupaten
Mojokerto. Termasuk tradisi perkawinan loro pangkon yang sifatnya
secara simbolis, meskipun tidak ada seseorang yang dinikahkan,
kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan tradisi Mojokerto agar
masyarakat mengingat kembali dan anak-anak muda mengetahui,
bahwa tradisi perkawinan loro pangkon merupakan tradisi yang
memiliki suatu makna bukan hanya acara seremoni belaka, pada acara
tradisi perkawinan loro pangkon di dalamnya juga terdapat sesuatu
yang bersifat mistis, sesuatu hal termasuk mantra yang perlu diarahkan
53Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.
266
kepada kedua pengantin agar kedua mempelai menjadi keluarga yang
bahagia. Tidak seperti kehidupan saat ini yang sering kawin cerai.54
Dari informasi yang didapatkan, bahwa kegiatan kirab budaya
di Kabupaten Mojokerto itu semaraknya kira-kira mulai zamannya
Bupati Achmadi. Ia adalah putra Mojokerto asli jadi memiliki
kepedulian dengan kebudayaan Mojokerto sangat tinggi. Hingga saat
ini juga lebih semarak lagi dengan kepemimpinan Bupati yang masih
muda yaitu putra asli Mojokerto Bupati Mustofa Kemal Pasha, ia
betul-betul perhatian terhadap budaya Mojokerto. Termasuk dalam
melestarikan peninggalan nenek moyang berupa candi, ia sangat
konsen untuk merawat situs-situs peninggalan kerajaan Majapahit
dengan dibantu para bawahannya.55
2. Jati diri Jawa (Identitas diri etnis Jawa)
Kegiatan tradisi perkawinan loro pangkon sampai saat ini masih
dapat dijumpai di masyarakat Mojokerto. Tradisi tersebut diadakan oleh
masyarakat Mojokerto, biasanya dalam hajatan perkawinan putrinya yang
masih perawan. Tradisi tersebut masih saja dilaksanakan oleh masyarakat
Mojokerto, hal itu tidak lepas dari identitas diri masyarakat. Dapat
dipastikan bahwa orang yang mengadakan kegiatan tradisi perkawinan
loro pangkon dalam hajatan perkawinan adalah orang Jawa. Orang yang
bukan Jawa tentunya tidak akan mungkin mengadakan tradisi tersebut.
54Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013. 55Riduwan, Wawancara, Mojokerto, 9 Juni 2013.
267
Itulah tradisi loro pangkon merupakan simbol budaya Jawa, terutama
budaya Mojokerto.56
“Dalam wawancara dengan Bapak Tisno, ia menjelaskan:
Ngadaaken tradisi perkawinan loro pangkon ngaten saestune, kados nikahe yugo kulo Nurul Faridah kaliyan Neo Adhi Kurniawan meniko nduduhaken kesenengan lan kebanggaane tiyang sepah, nopo maleh kulo nembe mawon nggadah damel ingkang kawitan, inggih puniko nikahaken yugo seng sek perawan, niku kebanggaan saestu kangge tiyang sepah. Tiyang sepah pundi seng mboten bangga lan seneng ningali perawane sampon angsal jodo sampek ngantos nikah. Mbimbing yugo ngaten mboten gampil, mboten kados malek telapak tangan, mbetahaken kesabaran saking wong tuwo. Dalem dados wong tuwo kedah ngerti watuk-wahinge yugo, keranten nuntun yugo zaman saiki benten kaleh zaman kulo ndisek. Meleh jodo mawon nek mboten pilihane yo kadang mboten cecek, keranten niku tiyang sepah kedah pinter-pinter nggowo awak kangge ngarahaken putro.”
(Menurut Bapak Tisno bahwa dengan diadakannya tradisi perkawinan loro pangkon seperti yang terjadi ketika pernikahan anaknya Nurul Farida dengan Neo Adhi Kurniawan tidak lain menunjukkan kebanggaan orang tua tersendiri, apalagi saya baru mempunyai hajat pertama kali ini yaitu menikahkan anak pertama yang menunjukkan bahwa yang dinikahkan adalah masih gadis, hal ini merupakan kebanggan tersendiri bagi orang tua. Orang tua mana yang tidak bangga jika melihat anak gadisnya sampai ke pelaminan. Membimbing anak-anak sampai ke pernikahan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu ada kesabaran dari orang tua. Kita sebagai orang tua harus tahu benar watak lan watuk’e (perilaku) si anak, sebab membimbing anak zaman sekarang berbeda dengan zaman saya pada masa lalu. Memilih jodoh pun bila bukan pilihannya sendiri kadang tidak mau, oleh karena itu sebagai orang tua harus pandai-pandai membawa diri dalam mengarahkan seorang anak.)57
56Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013. Ia menambahkan bahwa ciri-ciri orang Jawa atau identitas Jawa dapat kita saksikan ketika memiliki hajatan, hajatan apa pun, apakah khitanan, menantu, orang Jawa biasanya tidak lepas dari menggunakan sesaji, atau barang-barang berupa tumbuhan atau benda yang lain dipergunakan sebagai simbol-simbol di dalam acara hajatan. Ia mencontohkan masyarakat Bali yang biasa menggunakan sesaji, asalnya mereka adalah orang Jawa keturunan Majapahit yang melarikan diri karena sesuatu hal dalam peperangan perebutan kerajaan, mereka mengalami kekalahan dan akhirnya ke daerah bagian timur yaitu di pegunungan Bromo, sebagian lagi ke daerah Banyuwangi dan Bali. 57Tisno, Wawancara, Mojokerto, 12 Desember 2012.
268
3. Nilai-nilai Moral
Terdapat suatu nilai-nilai moral di dalam tradisi perkawinan loro
pangkon. Nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya termasuk
menunjukkan identitas diri seorang perawan yang menikah dengan
seorang perjaka, secara kasat mata bahwa orang yang mengadakan
kegiatan perkawinan loro pangkon merupakan orang yang dapat menjaga
kepribadiannya, dapat menjaga kehormatannya, dalam bergaul dengan
siapa saja mereka tidak larut dalam perbuatan yang melanggar norma
agama maupun norma-norma masyarakat.
Dalam masyarakat Jawa, orang yang tidak dapat menjaga
keperawanannya, secara tidak langsung masyarakat akan memandangnya
sebagai orang yang tidak punya harga diri. Wanita yang tidak punya harga
diri ini, biasanya masyarakat Jawa menamainya dengan sebutan ondolan.
Citra atau julukan seperti itu sungguh tidak enak didengar, siapa pun
orangnya biasanya merasa terkucil di masyarakat. Itulah hukuman atau
undang-undang masyarakat Jawa walaupun tidak secara tertulis, namun
memiliki beban moral yang berat bila mendapatkan julukan yang kurang
bagus.58
4. Nilai-nilai Hiburan
Tradisi perkawinan loro pangkon, di samping memiliki nilai-nilai
moral, di dalamnya juga terdapat nilai-nilai hiburan. Tradisi tersebut yang
masih dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat, di samping menjaga nilai-
58Buaji, Wawancara, Mojokerto, 7 Mei 2013.
269
nilai moral, biasanya orang yang menikah adalah orang yang memiliki
rasa kebahagiaan tersendiri, terutama kedua mempelai. Agar tidak terjadi
ketegangan dengan diselenggarakannya upacara-upacara yang bersifat
seremoni, maka pasangan pemain besuk’an loro pangkon tidak
ketinggalan untuk memasukkan banyolan-banyolan (gurauan/ guyonan)
untuk menghibur tamu undangan, masyarakat, terutama untuk kedua
mempelai agar nasehat-nasehat yang ditonjolkan dapat menjadi perhatian
dan dapat diterapkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang akan
dilaluinya. Selain itu, faktor banyolan itu bersifat memberi hiburan dan
tidak membuat tegang para pendengar, diselingi dengan guyonan agar apa
yang disampaikan oleh besuk’an loro pangkon dapat diterima dengan
santai.59 Sebagaimana banyolan dalam dialog loro pangkon berikut.
Y=masalah minume kulo mpun paham, la mangane, derek? (Masalah minumnya saya sudah paham, jika makanannya, saudara?)
X=lo nek pakane...nedone anak kulo niki,ooh niki seng rodok abot niki (Lo jika makanannya... makanan anak saya ini, ooh inilah yang agak memberatkan)
Y=oooh mboten nopo-nopo wong kewajibane, wong kulo mpun sanggup kok, dadi sampeyan cetakaken! (Oooh tidak apa-apa memang sudah kewajibannya, memang saya sudah sanggup, jadi saudara terangkan sejelas-jelasnya!)
X=nggeeh… nggeh... nggeh, anak kulo Neo Adhi Kurniawan niki nedone ngeten, cukule dami kemukus. (Iya... iya... iya, anak saya Neo Adhi Kurniawan ini makanannya begini, tumbuhnya dami kemukus)
Y=mangsute? (maksudnya?) X=niki terus matenge sego putih (Ini selanjutnya masaknya nasi putih) Y=nggeeh (Iya) X=Matenge sego putih, iwak daging iwak empal, iwak endog iwak sate, iwak
ati, iwak rempelo. (Tanaknya nasi putih, lauk daging lauk empal, lauk telor lauk sate, lauk ati, lauk rempelo)
59Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012.
270
Y=mpun sampeyan pepek-pepekaken mpun (Silahkan saudara jelaskan selengkap-lengkapnya)
X=nggeeh... nggeh iwak empal, niku penjalokane,sanggup sampeyan? (Iya... iya lauk empal, itulah permintaannya, sanggupkah saudara?)
Y=alah wong masalah ngoten-ngoten mawon, awon pinten,jo kuatir nak! (Sudahlah masalah demikian saja hanya berapa, jangan khawatir wahai putriku!)
X=nek ngoten kulo sanjangane anak kulo...nak Neo Adhi Kurniawan, iki bapak iki ditakoni pakane wes tak duduhno pangane nak, wes tak jalokno sego putih iwak daging, iwak empal, iwak endok, iwak sate iwak daging nak, nek ono iwak tempe tempaken nak,……(penonton tertawa). Nek ono iwak sepel uncalno nang latar nak, sanggupa sampeyan?? (Jika demikian maka saya beritahukan ke anak saya... wahai Neo Adhi Kurniawan bapak kamu ini sudah ditanya masalah makanan kesukaanmu nak, sudah saya mintakan nasi putih lauk daging, lauk empal, lauk telor, lauk sate, lauk daging nak, bila dikasih lauk tempe kamu sepak nak,... (penonton tertawa). Bila dikasih lauk sepel kamu lempar ke halaman nak, apakah anda sanggup?
Y=sanggup….(Sanggup....) X=oooh sanggup naak ojok kuatir.Hahahhaahaha (Oooh sanggup nak jangan
khawatir, hahahhaaha.) Y=sak niki kulo ganti marah bebek kulo (Sekarang saya berganti berpesan ke
anak saya) X=nggeeeh…nggeh... nggeh. (Iya... iya... iya) Y=wes ojo kuatir nak, piro nek barange sek ono pasare, ono panggonane,
seng penting rungokno suarane bapakne, tak sanggupi tapi sampeyan yo kudu nyanggupi suaraku! (Sudahlah jangan khawatir nak, hanya berapa jika barangnya masih ada di pasaran, ada yang diperjualbelikan, yang penting dengarkan pesan bapaknya, saya sanggupi permintaan anda tetapi anda juga harus sanggup dengan permintaan saya!)
X=loooh empun kuatir! (Loooh jangan khawatir!) Y=pokoe sedino pitek kulo nedi blonjo telung juto setengah... (penonton
tertawa)...empun nopo mawon kulo turuti (Terpenting sehari ayam saya meminta belanja tiga juta setengah... (penonton tertawa)... apa pun permintaannya saya turuti)
X=telung juta setengah derek? (Tiga juta setengah saudara?) Y=iyo...tiap hari (Iya... tiap hari) X=nak Neo Adhi Kurniawan,…nek masio iwak tempe yo gak opo-opo nak!
Wes panganen ae,...(Penonton Tertawa) ojo…ojo serei-serei yo nakkkk...! Masio ono iwak sepel yo ojo diguwak nang latar naak...bapak isiiiin, yok opo nak wong dijalok’i belonjo telung juta setengah e, iyo nek gak mundak sampek limang juta.... (Nak Neo Adhi Kurniawan,... apabila anda dikasih lauk tempe ya terimalah nak, sudahlah kamu makan saja,... (penonton tertawa)... janganlah banyak permintaan nak...! Meskipun dikasih lauk
271
sepel ya janganlah dibuang naak... ayah malu, bagaimana tidak nak, permintaan uang belanja yang diinginkan tiga juta setengah, boleh jadi permintaannya naik menjadi lima juta....)
Y=yo mituruto undak udune barang (Ya menurut naik turunnya harga barang)
X=masio iwak menjeng yo wes arepo ae nak (Meskipun lauk menjeng ya kamu terima saja nak)
Y=loo nek menjeng masakane yugo kulo tanggung ngeteeeen…( sambil acung jempol) (Loo kalau lauk menjeng masakan putri saya ditanggung enak... [sambil acung jempol])
X=nggeeeh…. (Iya....) Y=nikmat menjenge (Nikmat lauk menjengnya) X=niki wau ngapunten nggeh, niki wau kulo njalokaken anak kulo. (Ini tadi
mohon maaf, ini tadi saya menginginkan permintaan anak saya) Y=nggeeeh (Iya)60
5. Nilai Ekonomis
Menurut pakde Kuntet bahwa jika banyak masyarakat yang naggap
(mendatangkan) tradisi perkawinan loro pangkon, maka secara tidak
langsung akan menambah modal atau rejeki baginya dan keluarga. Jika ia
sering diundang untuk membesuk’an loro pangkon, otomatis uang belanja
untuk beli cerutu akan bertambah. Kegiatan tradisi seperti itu pada masa
yang lalu seringkali ia mendapatkan job (tanggapan) kira-kira antara tahun
1970 sampai kira-kira tahun 1985, setelah itu berangsur-angsur mulai
mengalami penurunan. Masyarakat yang berminat terhadap tradisi itu
mulai banyak yang meninggalkan.
Baru mulai tahun 1999 atau kira-kira tahun 2000-an, yaitu setelah
adanya krisis moneter tahun 1997, mungkin kesadaran masyarakat mulai
bangkit kembali. Mereka mulai mencintai budaya-budaya lama yang
60Lihat lampiran transkrip dialog loro pangkon.
272
hampir mati untuk dibangkitkan kembali. Mereka mungkin menyadari
dengan banjirnya budaya-budaya asing yang masuk ke negeri ini,
kemudian masyarakat kurang selektif memilihnya hingga akhirnya
membawa dampak ke semua komponen bangsa. Termasuk dampaknya
adalah terkena krisis moneter. Padahal kalau kita mau menyadari, tidaklah
mungkin negara kita akan terkena krisis, terutama krisis pangan. Mungkin
yang terjadi saat ini kalau boleh saya katakan, negara ini mengalami krisis
moral. Kalau kita lihat di semua aspek kehidupan masyarakat banyak
terjadi ketimpangan, mungkin penyebabnya masyarakat mulai banyak
yang meninggalkan atau tidak peduli dengan budaya-budaya bangsanya.
Padahal budaya-budaya bangsa kita sangat beragam, apalagi tradisi Jawa
yang memiliki budaya yang luhur, mengapa ditinggalkan? Berangkat dari
situlah kemungkinan masyarakat mulai menyadari bahwa tradisi-tradisi
bangsa, termasuk tradisi Jawa yang menjaga nilai-nilai adat ketimuran,
menjaga sopan-santun, tata krama, perlu dihidupkan atau mungkin
dimodifikasi bagaimana sesuai dengan selera pasar atau masyarakat saat
ini. Seperti tradisi besuk’an loro pangkon yang saat ini mulai menjamur
kembali di masyarakat.61
61Pakde Kuntet, Wawancara, Mojokerto, 23 Desember 2012. Ia menambahkan bahwa tradisi perkawinan loro pangkon sebetulnya jika kita pahami secara sungguh-sungguh di dalamnya terdapat suatu nilai luhur yaitu sikap moral yang menunjukkan orang yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah orang yang tahu malu. Kemudian ia melanjutkan pembicaraannya dengan menghubungkannya keadaan masyarakat dan keadaan bangsa saat ini, bahwa Soekarno dulu sudah pernah mengatakan bahwa negara Indonesia itu adalah negara yang bisa mandiri, tanpa bantuan negara lain pun negara kita dapat berdiri sendiri, meskipun secara sosialnya kita juga butuh dengan orang lain. Oleh karena itu, informasi maupun budaya-budaya yang dari luar hendaknya masyarakat bisa lebih cermat menyeleksinya, jangan sembarangan semuanya masuk ke negara
273
C. Pola Akulturasi Islam dan Budaya Jawa Dalam Perkawinan Loro Pangkon
1. Praperkawinan
Masyarakat muslim Jawa ketika akan memiliki suatu hajat besar
dengan melibatkan banyak orang, sebelumnya mereka terbiasa melakukan
hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan ritual, di antara kegiatan ritual
yang dilaksanakannya antara lain.
a. Ziarah Kubur
Ziarah kubur senantiasa dilaksanakan oleh masyarakat muslim
Jawa ketika sebelum pelaksanaan pernikahan dilangsungkan. Mereka
melakukan kegiatan tersebut dengan harapan memperoleh pangestu
(do’a restu) orang tua yang sudah meninggal maupun dari cikal
bakal62 desa dengan harapan kegiatan melangsungkan pernikahan
kita, akhirnya apa yang terjadi, yaitu sepertinya negara kita selalu butuh dengan negara lain, padahal justru negara asinglah yang sangat membutuhkan terhadap negara kita, disebabkan Indonesia negara yang kaya sumber kekayaan alamnya sementara masyaraktnya kurang kreatif akhirnya yang terjadi masyarakat disuguhi dan diming-imingi dengan materi yang sesungguhnya kurang bermanfaat, masyarakat kita terlena. Begitu pula pejabatnya mereka diiming-imingi dengan kertas (uang) mereka mudah terlena. Padahal orang hidup di dunia ini yang dibutuhkan tidak lain adalah makanan, kebutuhan primer itulah sementara yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, sehingga tidak terjebak dengan bujuk rayu bangsa asing yang mulai gencar untuk menguasai Indonesia. Indonesia adalah negara yang kaya segalanya, tidaklah mungkin Indonesia terjadi kekurangan, apalagi kekurangan pangan, tinggal manusianya apakah giat bekerja atau hanya bermalas-malasan. Kemungkinan disebabkan Indonesia bumi dan tanahnya yang subur sehingga membuat masyarakatnya menjadi manja, suka terlena dan ongkang-ongkang kaki, malas bekerja. Oleh karena itu ketika bumi dan tanah kita dikuasai oleh orang asing, maka kebakaran jenggotlah masyarakat kita. Untuk menjaga hal tersebut, sebelum tanah dan bumi dikuasai orang asing, masyarakat kita harus cerdas agar tidak terkena tipu daya asing dengan memberikan suguhan-suguhan apaka mulai dari teknologi, budaya, dan sebagainya, masyarakat harus selektif dan memanfaatkan secara benar, dan tidak disalahgunakan. 62Cikal bakal desa adalah mereka yang dianggap oleh orang Jawa sebagai orang yang pertama kali menghuni desa dan membuka lahan atau mbabat alas, sehingga mereka yang sudah meninggal perlu dimintai do’a restu kepada arwahnya dan rasa terimakasih atas jerih payah yang dilakukan cikal bakal desa sehingga kehidupan saat ini dapat menjadi lebih baik berkat kerja keras para pendahulu.
274
memperoleh keselamatan, berjalan dengan lancar sesuai dengan apa
yang diharapkan.
Dalam ziarah kubur ke makam orang tua dan cikal bakal desa,
masyarakat muslim Jawa melakukannya dengan membawa bunga, ada
pula sambil membawa kemenyan atau dupa untuk dipersembahkan
kepada arwah mereka yang sudah meninggalkan alam dunia. Selain
itu mereka juga mengucapkan mantra-mantra, tidak lupa membaca
surat Yasin dan tahlil di hadapan makam orang tua dan cikal bakal
desa.
Bagi sebagian masyarakat Jawa, ziarah kubur khususnya ke
makam cikal bakal (danyang) desa tidak lain merupakan adat
penghormatan kepada roh-roh nenek moyang.63 Dalam pandangan
kejawen, penghormatan pada para leluhur merupakan nilai-nilai yang
sangat diperhatikan dan harus menjadi kekuatan yang tertanam kuat-
kuat di dalam kepribadian orang Jawa.64 Inilah salah satu ciri
masyarakat Indonesia lama yaitu, ikatan solidaritas sosial yang kuat
serta hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan
dan pemitosan terhadap roh nenek-moyang melahirkan penyembahan
roh nenek-moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan
hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara
63Koentjaraningrat, Kebudayaan, 364 64Hildred Geetz, Keluarga Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 151.
275
selamatan, roh nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi
keluarga yang masih hidup.
Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dianggap sebagai
Tuhan yang dapat memberi pertolongan ataupun sebaliknya dapat
menjadikan celaka. Upacara religi yang biasa dilaksanakan
masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang
dimaksudkan bukan saja untuk berbakti pada dewa saja maupun untuk
menggapai kepuasan batiniah yang sifatnya individual saja, tetapi juga
karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah
sebagai bagian dari kewajiban sosial.65 Demikian ini, dianggap
kepercayaan asli Indonesia khususnya Jawa yang oleh antropolog
disebut sebagai religion magic.
Sebenarnya kepercayaan tentang penghormatan terhadap para
leluhur ini tidak hanya ada dan diyakini masyarakat Jawa saja.
Sebagaimana pendapat Ernst Cassirer,66 pemujaan terhadap nenek
moyang (leluhur) merupakan ciri universal dan hakiki dari religi
primitif, dengan kata lain pemujaan terhadap para leluhur tampak
sebagai sifat menyeluruh yang menandai dan menentukan seluruh
kehidupan sosial dan religius.
65Koentjarajakti, Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI Press, 1992), 69. 66Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1987), 129.
276
Herbert Spencer mengajukan tesis, pemujaan nenek moyang
harus dianggap sebagai sumber utama serta asal mula agama, dan di
dunia ini hanya sedikit suku yang tidak mempratikkan salah satu
bentuk pemujaan orang mati. Contohnya, di Cina, pemujaan terhadap
leluhur dianggap intisari kehidupan religi dan kehidupan sosial. Di
Romawi pemujaan terhadap nenek-moyang selalu dilihat sebagai ciri
dasar dan lazim dari religi orang Romawi. Pada suku-suku Indian di
Amerika, religi yang dianut oleh sebagaian besar suku-suku yang
mendiami Alaska hingga Patagonia, yaitu adanya keyakinan akan
hidup sesudah mati serta adanya keyakinan yang mendasarkan diri
pada anggapan universal bahwa antara manusia yang masih hidup
dengan yang telah meninggal terjadi komunikasi.
Sedangkan Wallace yang menulis tentang agama Shamanik,
memandang agama suatu masyarakat sebagai pranata pemujaan (cult
institutions).67 Model pemujaan atau penghormatan seperti ini
sebagaimana dikatakan O’Dea,68 tidak lain adalah merupakan
pengungkapan kembali pengalaman asli dan sekaligus sebagai cara
untuk melakukan ibadah, serta mengungkapkan hubunganya dengan
yang suci. Kiranya hal ini dapat dimaklumi karena semua budaya
mempunyai satu atau beberapa perangkat kepercayaan serta praktik
67Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1993), 523. 68Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994), 77.
277
yang menghubungkan manusia dengan yang suci atau adikodrati
(Supernatural).69 Sebagaimana pandangan Masdar Hilmy,70
penghormatan terhadap arwah leluhur merupakan salah satu system of
beliefs dalam suatu etnis, sedangkan system of beliefs sendiri
hakikatnya merupakan ruh, spirit, atau nafas dari budaya, adat dan
tradisi.
Dalam masyarakat primitif, animisme dan dinamisme
keberadaan seseorang sulit untuk melepaskan hubungan dengan roh-
roh orang mati. Pada waktu-waktu tertentu orang membawa sajen
(sesaji) bagi roh-roh terebut, di samping itu juga terdapat tempat-
tempat keramat di mana seseorang dapat bertemu dengan roh-roh
orang yang telah meninggal dunia, walaupun terkadang terjadi
ambivalen di satu pihak orang takut pada roh-roh, sedang di pihak lain
orang berusaha memelihara persekutuan dengan roh-roh tersebut.71
Berikutnya menurut Tylor,72 suatu karakteristik yang dimiliki agama,
besar atau kecil, kuno atau modern adalah kepercayaan kepada roh
yang berfikir, bertindak seperti pribadi manusia, dan esensi agama
adalah animisme (dari Bahasa latin anima berarti roh). Lebih lanjut
69David Kaplan dan Albert A. Manners, Teori Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 211. 70Masdar Hilmy, Rekonstruksi Paradigma Teori dan Resolusi Konflik Agama-Eknik: Sebuah Diskursus Teoretik, Dalam,Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia (Surabaya: LSAS dan IAIN Press, 2007). 31. 71A.G.Honig Jr. Ilmu Agama, (Jakarta: BPK,Gunung Mulia, 1987), 61. 72E.B.Tylor, dan J.G.Frazer, Animisme dan Magi, dalam, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, diterjemahkan Ali Nur Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 41.
278
Animisme adalah suatu bentuk pemikiran sangat tua, yang dapat
ditemukan di seluruh sejarah bangsa manusia.
Di kalangan masyarakat Jawa, secara umum yang dianggap
paling penting dalam kategori roh nenek moyang adalah roh cikal
bakal, (babad alas atau danyang) yang dianggap menjadi pelindung
bagi masyarakat. Pada tempat-tempat tertentu maupun titik kekuatan
alam, tokoh-tokoh ini dianggap mempunyai hubungan dengan desa-
desa tertentu atau titik kekuatan ketika mereka masih hidup. Kesaktian
mereka dianggap sebagai perantara antara alam dengan manusia yang
berada di dunia, karena itu selanjutnya peran mereka menjadi roh
pelindung atau pengayom dan ini sebenarnya tidak lain hanyalah
merupakan perluasan peran mereka semasa hidup.73
Selanjutnya kedatangan agama Hindu di Jawa, ternyata tidak
dapat menyingkirkan kepercayaan terhadap roh-roh leluhur, terbukti
meskipun agama Hindu dapat diterima masyarakat Jawa akan tetapi
tradisi memuliakan kuburan jugan masih terus berlangsung. Padahal
menurut Geertz,74 para penganut Hindu klasik seharusnya hanya
menghormati Dewa-Dewa saja. Begitu pula dikatakan Naya Sujana,75
kebudayaan Hindu lama sebenarnya tidak mengenal tradisi
memuliakan kuburan seperti sekarang ini. Masyarakat Hindu lama
73Paul Stange, Politik Perhatian, Rasa Dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1998), 135. 74Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 131. 75Nyoman Naya Sujana, Memburu Rejeki ke Makam di Gunung Kawi, dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik (Majalah FISIP Universitas Airlangga Surabaya, No 7, tahun V semester Gasal, 1991-1992), 29.
279
(kuno) lebih memuliakan candi-candi sebagai tempat bersembahyang
masyarakat Hindu dalam memuliakan Para Dewa (Bathara). Namun
dalam perkembangannya masyarakat Hindu Jawa kemudian
memuliakan kuburan setelah kepercayaan Hindu bercampur dengan
kepercayaan masyarakat Jawa yang telah berkembang dan tertanam
kuat sebelum kedatangan Hindu.
Sekalipun agama Hindu telah dianut masyarakat Jawa, tetapi
masyarakat Jawa tidak dapat melepas kepercayaan sebelumnya, maka
yang dominan adalah “Agama Jawa Kuno”, sedangkan agama Hindu
hanyalah selubung luarnya saja. Sehingga pemujaan terhadap roh
leluhur merupakan faktor paling dominan dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Padahal sejak awal masuknya Hindu di Jawa telah
berusaha mengganti kepercayaan masyarakat Jawa kuno dengan
pemujaan Dewa, namun tidak berhasil sehingga yang terjadi adalah
berubahnya fungsi candi dari tempat memuja dewa bergeser menjadi
tempat menghormati atau memuja roh leluhur atau roh nenek
moyang.76
Ketika Agama Islam masuk ke Jawa, kepercayaan adanya roh
leluhur masih terus berlangsung di kalangan masyarakat Jawa.
Kendatipun agama Islam umumnya berkembang baik, tidak semua
orang yang beragama Islam beribadat menurut syariat sebagaimana
76Suasana, Majalah Bulan Wisatawan, No 17/September, 1988, 26. Surabaya Post 2 April 2001
280
diajarkan agama Islam.77 Dalam sejarah penyebarannya, para
penganjur agama Islam saat itu, menerima tradisi-tradisi yang berasal
dari animisme-dinamisme, Hindu dan Budha kemudian dimasuki
nilai-nilai Islam,78 maka yang muncul adalah sebuah kesesuaian yang
selaras dengan mitos yang terdiri dari Dewa-Dewi Hindu, Nabi-Nabi
Islam, serta roh-roh leluhur. Sehingga yang terjadi adalah
percampuran dari unsur-unsur India, Islam dan unsur-unsur pribumi
Asia Tenggara (Indonesia). 79
Tradisi memuliakan roh-roh leluhur bagi masyarakat Jawa
setelah memeluk agama Islam, maka terjadi persenyawaan
kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang dengan kepercayaan
terhadap para wali atau tokok-tokoh lainnya yang dianggap
mempunyai daya linuwih (supranatural) semasa hidupnya, karena itu
berbagai sesajen (sajian persembahan), bunga, kemenyan, yang
sebelumnya dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang yang
bersemayam di tempat-tempat tertentu beralih persembahannya ke
makam-makam para wali, tokoh-tokoh agama dan kemasyarakatan
lainnya yang diyakini mempunyai daya sakti, atau keramat, begitu
juga terhadap benda-benda yang pernah dimiliki atau tempat yang
77Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1990), 346. 78Agus Sunyoto, Sunan Ampel : Taktik Dan Strategi Dakwa Islam Di Jawa Abad 14-15, (Surabaya: LPLI Sunan Ampel, tt), 89-90. 79Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 76.
281
pernah disinggahi tokoh-tokoh tersebut juga dianggap mempunyai
nilai kekeramatan 80.
Adanya kepercayaan terhadap kekeramatan ini, kiranya dapat
dimaklumi karena agama itu sendiri merupakan suatu usaha manusia
untuk membentuk suatu kosmos keramat. Pemahaman yang lain,
agama adalah kosmisasi dalam suatu cara yang keramat (sakral).
Keramat dimaksudkan sebagai suatu kualitas kekuasaan yang
misterius dan menakjubkan, di luar kemampuan manusia normal,
tetapi berkaitan dengan manusia, yang diyakini berada dalam obyek-
obyek pengalaman tertentu. Kualitas seperti ini dapat disandang oleh
obyek-obyek alami atau artifisial, misalnya: batu keramat, peralatan
keramat, tokoh-tokoh keramat, juga ruang dan waktu keramat,
contohnya lokalitas–lokalitas keramat serta musim-musim keramat.81
Setelah masuknya Islam, masyarakat Jawa tidak begitu saja
meninggalkan kepercayaan lama yang pernah dilakukan para
pendahulunya. Sebab ajaran Islam sendiri tidak melarang ziarah
kubur. Menilik dari asal katanya, ziarah berasal dari bahasa Arab
artinya mengunjungi. Sebenarnya ziarah dalam tradisi Islam tidak
selalu ke makam. Ziarah bisa dilakukan kepada orang-orang yang
masih hidup atau ke atsar para Nabi yaitu tempat-tempat bersejarah
80Woodward, Islam, 258-259. 81Peter L. Berger, Langit Suci : Agama Sebagai Realitas Sosial (Jakarta: LP3ES, 1994), 32.
282
yang berhubungan dengan kejadian-kejadian istimewa yang dialami
para Nabi.82
Dalam Islam, ziarah dapat ditemukan di makam Nabi
Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya, para wali, murshid-
murshid tarekat, para sultan (amirul mukminin), para Imam madzhab,
serta para tokoh dan penyebar Islam lainnya. Tradisi ziarah hampir
ada di semua negara-negara yang memiliki penduduk muslim, di Irak
misalnya, makam Shekh Abdul Qadir Jailani di Baghdad setiap hari
banyak dikunjungi peziarah. Begitu juga makam Imam Syafi’i di
Mesir. Keramaian ziarah ini juga terjadi di makam para Khalifah
Daulah Umaiyyah di Damaskus Syria, serta kuburan Ayatullah
Ruhullah Khumaini di Iran. Bahkan di Yaman Selatan, khususnya di
Kota Tarim, tradisi ziarah ke makam tokoh-tokoh suci sebagaimana di
Jawa, sangat lazim dan dikenal masyarakat di sana.83
Tradisi ziarah juga dapat ditemui di Negara India, salah
satunya di makam Taj Mahal yang cukup terkenal dengan arsitektur
indah.84 Demikian halnya di Malaysia, tradisi ziarah ini banyak
dijumpai, terutama di makam-makam yang dianggap keramat.85 Di
Indonesia, tradisi ziarah lebih semarak lagi, sebab hampir semua
makam tokoh atau penyebar agama Islam di kepulauan Indonesia
82H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah (Bandung: Yayasan Al-Hamidiy,1996), 201. 83Nur Syam, Islam Pesisir, 68. 84Kompas, 25-26 Januari 2000. 85Surabaya Post, 19 November 2000.
283
dijadikan tujuan ziarah, apalagi di pulau Jawa tradisi ziarah ini cukup
populer, terutama ziarah walisanga yang makamnya tersebar mulai
Jawa Timur hingga Jawa Barat.
Jika ditilik perkembangannya, ziarah ke makam dalam Islam
pernah dilarang Nabi Muhammad, pada awal-awal agama Islam
disampaikan, karena dikhawatirkan kebiasanaan-kebiasaan lama
masyarakat Arab jahiliyah yakni berupa penyembahan terhadap batu-
batu yang dianggap sebagai penghubung Dewa-Dewa (Lata, Uzza,
Hubal, Manat) akan timbul kembali, dengan bentuk penyembahan
terhadap kuburan. Namun setelah akidah umat Islam dianggap telah
cukup kuat, Nabi Muhammad menganjurkannya untuk melakukan
ziarah, dengan maksud supaya orang mengingat akhirat, sehingga
akan mendorong orang semakin giat beribadah dan sebaliknya orang
akan semakin takut untuk berbuat dosa.
Sedangkan hadits yang menjadi landasan normatif untuk
melakukan ziarah dalam Islam.
“Dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh aku telah melarang kalian ziarah kubur. Ternyata, diizinkan bagi Muhammad ziarah ke makam ibunya. Maka dari itu, sekarang lakukan ziarah kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu dapat mengingatkan (kalian) kepada akhirat”.86
Berdasarkan pemaparan tentang ziarah kubur yang dilakukan
masyarakat muslim Jawa terdapat akulturasi Islam dan budaya Jawa.
86Lihat, Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dihak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. IV, (Kairo: Mawqi’ Wizarah al-Awqaf, tt), 311.
284
Pola akulturasi tersebut terjadi ketika sebelum pelaksanaan pernikahan
berlangsung. Bagi mempelai putra dan wali atau ayah mempelai putri,
seperti kebiasaan yang dilakukan masyarakat Jawa, ia akan pergi ke
makam untuk ziarah kubur ke orang tuanya, jika keduanya masih
hidup, ia ke makam kakek atau neneknya.
Dapat dijelaskan bahwa dalam perilaku ziarah kubur ini terjadi
akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Dari aspek Islam terdapat
anjuran untuk ziarah kubur sebagaimana dianjurkan Nabi Muhammad
saw., tujuannya untuk mengingat mati dan mengingat akhirat, agar
manusia yang ziarah kubur ini senantiasa giat untuk beribadah.
Tidak ketinggalan dari aspek budaya Jawa, anjuran ziarah
kubur sebagaimana diajarkan Islam, masyarakat Jawa juga
menambahkan untuk ziarah ke punden atau cikal bakal desa. Salah
satu warga Mendek menjelaskan, selain bertujuan agar mengingat
akhirat untuk giat beribadah, tujuan yang kedua adalah berdo’a kepada
Allah serta memohon do’a restu (barokah) kepada orang yang
meninggal dan rasa terimakasih kepada cikal bakal desa yang telah
membuka lahan desa sehingga dapat menetap di desa tersebut dan
merasakan keindahan alam dan tanaman-tanaman yang pernah
ditanamnya ketika masih hidup.87
87Mas’ud, Wawancara, Mojokerto, 30 Juni 2013.
285
Unsur budaya Jawa yang lain dalam ziarah kubur yang
dilakukan masyarakat Jawa adalah membawa kemenyan atau dupa
yang berbau harum untuk dipersembahkan kepada yang meninggal.
Dengan tujuan kontak batin antara yang meninggal dan yang masih
hidup dapat terjalin secara konstan dengan memakai wangi-wangian,
sebab menurut kepercayaan Jawa ruh-ruh yang telah meninggal dapat
bersambung dengan mereka yang hidup dikarenakan adanya suguhan
atau sesaji yang biasa disebut orang Jawa sekul petak gondo arum
(nasi putih harum baunya).
Dalam penjelasannya Mas’ud menambahkan, menurut
kepercayaan Jawa orang yang meninggal sudah tidak membutuhkan
makanan seperti makanan berupa nasi atau buah-buahan, tetapi bau-
bauan yang harum seperti harumnya kemenyan atau dupa yang sedang
dibakar sehingga harumnya menyebar ke mana-mana. Demikian
sesajen (sajian) berupa takir kecil yang berisi pisang, bumbu dapur,
bunga, dan bumbu kinang lengkap, maksud dari sesajen itu adalah
bahwa yang diharapkan bagi yang meninggal adalah keharuman bau-
bauan dari sesajen yang disuguhkan sebagaimana kesukaan mereka
yang meninggal saat masih hidup. Oleh karena itu orang Jawa
menyebut makam dengan sebutan sarean, atau tempat peristirahatan
(tempat tidur) yang menurut kepercayaan mereka bahwa
sesungguhnya orang yang meninggal itu sebenarnya adalah hidup,
286
hanya jasadnya saja yang telah tiada. Sehingga orang yang masih
hidup seharusnya dapat menjalin komunikasi batin dengan mereka
yang sudah meninggal.88
Unsur nilai-nilai Islam yang dilaksanakan dalam ziarah kubur
yang dilakukan masyarakat muslim Jawa selanjutnya adalah dengan
membaca Yasin, tahlil, kalimat-kalimat tayyibah, dan membaca do’a
dengan bahasa Arab, selain itu juga ditambahkan dengan bacaan do’a
bahasa Jawa, ditutup dengan do’a sapu jagat.
b. Adek tratag (mendirikan terop)
Ritual adek tratag dilakukan oleh masyarakat muslim Jawa
biasanya dilakukan dengan melibatkan tetangga terdekat. Tujuan
dilakukan kegiatan itu adalah untuk soyo (membantu) mendirikan
terop agar dalam kegiatan itu dapat meringankan sohibul hajat yang
nduwe gawe (memiliki hajat). Kegiatan ini biasanya dilakukan
selamatan berupa tumpengan dengan mengundang tetangga terdekat,
setelah itu barulah didirikan terop dengan bantuan tetangga terdekat
dan melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keperluan
tuan rumah dalam persiapan menyambut kedatangan para tamu
undangan.
88Mas’ud, Wawancara, Mojokerto, 30 Juni 2013.
287
Pasang tarub agung (terop) adalah salah satu syarat yang biasa
dipenuhi oleh orang Jawa. Dengan memasang tarub agung itu,
masyarakat umum akan cepat mengetahui bahwa keluarga yang
bersangkutan sedang mempunyai hajat untuk menyelenggarakan
upacara perkawinan. Secara simbolik bahwa rumah yang dipasang
tarub sedang mempunyai gawe besar. Keutamaan pasang tarub ini
adalah semacam tanda buat masyarakat luas. Sebelum pemasangan
tarub, sesaji khusus disiapkan, yang terdiri antara lain nasi tumpeng,
berbagai macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa, berbagai
macam lauk pauk, kue-kue, minuman, bunga, jamu, gula kelapa, dan
sebuah lentera. Sesaji ini melambangkan sebuah permohonan supaya
mendapatkan berkah dari Gusti Allah yang maha Kuasa dan para
leluhur dan sekaligus sebagai sarana untuk menolak makhluk-makluk
jahat.89
Pola akulturasi dari ritual adek tratag atau mendirikan terop
antara Islam dalam budaya Jawa dapat dilihat dalam hal-hal tertentu.
Dalam budaya Arab atau ajaran Islam ritual seperti itu tidak
ditemukan. Tetapi dalam budaya Jawa masyarakat Jawa melaksanakan
kegiatan itu ketika akan melangsungkan pernikahan, karena kehati-
hatian dalam setiap langkah kehidupannya sehingga masyarakat Jawa
ketika akan melakukan apa pun, apalagi berkaitan dengan hal-hal yang
89Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), 80.
288
besar seperti mengadakan hajatan pernikahan yang mengundang
banyak tamu, maka apa yang dilakukannya harus disertai ritual agar
acara yang diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan memperoleh
keselamatan.
Sebagaimana pendapat salah satu tokoh adat mbah Wakim, ia
mengatakan bahwa ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam
hal-hal apa pun, termasuk adek tratag tidak lain adalah do’a awal,
sebagaimana dalam Islam juga menganjurkan berdo’a sebelum
memulai suatu pekerjaan atau bila akan mengerjakan sesuatu hal
dianjurkan membaca basmallah atau surat Al-Fatikhah. Sebenarnya
ritual adek tratag tak ubahnya seperti juga do’a untuk mengawali
suatu pekerjaan sebagaimana anjuran dalam agama Islam dengan
membaca basmallah, yang memiliki tujuan agar selamat. Hanya saja
karena kreatifitas masyarakat Jawa, di samping itu adanya benda-
benda dan hasil bumi yang ada sangat melimpah ruah di tanah Jawa,
maka barang barang sesajen itu dijadikan sebagai media atau simbol
do’a dengan membaca mantra-mantra berbahasa Jawa, tidak ubahnya
do’a bahasa Arab. Selain itu do’a terakhir dalam acara ritual adeg
tratag do’a yang dilakukannya juga berbahasa Arab sebagaimana
yang tertera dalam Al-Qur’an.90
90Wakim, Wawancara, Mojokerto, 7 Juni 2013
289
Pola kulturasi yang lain antara Islam dan budaya Jawa dalam
ritual adek tratag dapat ditemui sebagaimana penjelasan Tisno, adek
tratag tersebut sesungguhnya adalah do’a untuk mengawali kegiatan
pernikahan, di samping itu dapat diartikan sebagai amal ibadah
bergotong royong saling membantu antara satu dengan lainnya yang
saling membutuhkan. Berhubung mendirikan terop (adek tratag) tidak
dapat sendirian, maka diperlukan bantuan orang lain yaitu tetangga
terdekat di sebelah kiri dan kanan rumah untuk saling berbagi.
Sebagai imbalannya yaitu dengan kenduri tumpengan makan bersama
dengan mereka yang diundang agar lebih giat dalam mendirikan terop,
meskipun mereka yang diundang tidak mengharapkan imbalan dari
tuan rumah sohibul hajat. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa
hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan, biasanya mereka giat
dan guyup (rukun bersama-sama) saling membantu meskipun tiada
imbalan. Namun demikian alangkah baiknya apabila ada rezeki lebih
sebagai tuan rumah untuk memberikan makanan kepada yang lain
seperti dalam acara adek tratag. Boleh dikatakan bahwa amalan
sebagaimana yang tertuang dalam ajaran agama Islam dalam hal
praktik dan pelaksanaannya sesungguhnya sudah dilakukan oleh
masyarakat Jawa, bahkan seperti adat gotong royong sudah dilakukan
290
masyarakat pada masa silam. Di sinilah acara adek tratag, dapat
dikatakan amal bil halnya orang Jawa.91
Berdasarkan dari pemaparan dan wawancara dengan tokoh
masyarakat dan tuan rumah dalam acara perkawinan loro pangkon,
dapat diketahui bahwa terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya
Jawa dalam ritual adek tratag, yaitu terletak dalam pemahaman do’a
dan kegiatan tolong menolong sebagaimana juga disebutkan dalam al-
Qur’an. Masyarakat Jawa memberikan pandangan bahwa do’a bukan
hanya dilakukan dengan lisan saja, akan tetapi dapat dilakukan dengan
pemberian sesajen yang merupakan sebagai media untuk
berkomunikasi apakah dengan hal yang ghaib atau sesama yang masih
hidup. Dalam ritual adek tratag, dapat dijumpai bahwa do’a secara
Islami dengan menggunakan bahasa Arab tetap dilakukan oleh
masyarakat Jawa, di samping itu untuk lebih dapat dimengerti, mereka
lebih suka menggunakan mantra (do’a) berbahasa Jawa sesuai dengan
bahasa ibu yang lebih dapat dimengerti oleh yang lain karena terbiasa
dengan bahasa Jawa. Dalam pandangan mereka do’a apapun Tuhan
akan lebih tahu yang terpenting niatnya, sebagaimana juga dalam
sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya amal perbuatan seseorang di
tentukan oleh niatnya.”
Dalam hal ibadah, berkaitan dengan hubungan
hablumminannas, hubungan antar sesama manusia, masyarakat Jawa
91Tisno, Wawancara, Mojokerto, 8 Juli 2013.
291
merefleksikan dalam bentuk acara saling membantu mereka yang
membutuhkan seperti dalam acara adek tratag. Dari sinilah dapat
diketahui bahawa amal bilhal, amal dengan perbuatan tersebut
dikejewantahkan oleh masyarakat Jawa dengan bentuk gotong royong
dalam hal bermasyarakat, di samping itu juga acara kenduri
tumpengan sebagai amal sodakoh. Dalam kegiatan seperti itu
masyarakat Jawa terlihat guyup (rukun), mereka dengan senang hati
membantu tetangga yang membutuhkan pertolongannya. Mereka tidak
memandang status dan apa agamanya, saling berbagi dan saling
membaur turut bekerjasama.
2. Ijab Qabul dan Resepsi (Walimatul Urusy)
Setelah berbagai kelengkapan dan akomodasi sudah dipersiapkan
dengan maksimal, maka ditentukanlah hari pelaksanaan perkawinan.
Bertepatan dengan hari dilaksanakannya perkawinan atau diadakannya
ijab qabul kedua mempelai pengantin duduk bersanding, yaitu dalam
pelaksanaan ijab qabul menurut Islam lebih diutamakan yang menikahkan
adalah orang tua laki-laki atau wali dari mempelai putri. Pada umumnya
pelaksanaan pernikahan di Jawa, wali dari mempelai putri seringkali
mewakilkan kepada para penghulu atau seorang kiai. Menurut pandangan
masyarakat Jawa karena seorang penghulu atau kiai dianggap sebagai
orang yang lebih tahu tentang berlangsungnya keabsahan pernikahan,
apakah dari segi syarat dan rukunnya dalam syari’at Islam. Sebagaimana
292
berikut pola akulturasi proses pelaksanaan perkawinan dan acara
resepsinya.
a. Ijab Qabul (Akad Nikah)
Dalam pelaksanaan akad nikah masyarakat muslim Jawa pada
umumnya seringkali untuk menikahkan putrinya terbiasa diwakilkan
kepada para penghulu atau seorang kiai, hal ini dianggap lebih afdol
(utama) dalam pandangannya dikarenakan seorang penghulu atau
seorang kiai lebih mengerti dan lebih paham tentang agama Islam,
apalagi berkaitan dengan urusan pernikahan. Sebab dalam pandangan
masyarakat muslim Jawa, syah dan tidaknya pernikahan harus sesuai
dengan syarat dan rukunnya pernikahan sebagaimana dalam ajaran
syari’at Islam. Demikian pula dalam pandangan masyarakat Jawa,
orang yang dianggap lebih pantas adalah orang yang lebih mengerti
dalam hal apa saja, terutama dalam hal agama. Kiai adalah orang yang
dianggap masyarakat Jawa lebih mengerti tentang agama, di samping
penghulu sebagai ahli agama yang digaji pemerintah.
Dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern dalam Islam
di Indonesia 1900-1942, Deliar Noer mengatakan, di beberapa
kalangan masyarakat Jawa memberikan penghormatan yang tinggi
kepada kiai merupakan kewajiban utama sebagaimana
penghormatannya pada orang tua, mertua, dan raja. Sepertinya
kedudukan dan penghormatan seperti ini merupakan kelanjutan dari
293
tradisi pra-Islam (animisme) yang memberikan penghormatan luar
biasa kepada dukun atau tokoh adat (pembaca mantra) yang
mempunyai ilmu supranatural, maka tidak heran kemudian jika
seorang kiai tidak saja hanya memiliki kematangan dan kedalaman
dengan ilmu agama Islam, tapi lebih dari itu juga dianggap tokoh yang
menguasai ilmu supranatural. Kedudukan yang dimuliakan ini tetap
hingga hari tuanya, malahan tidak jarang terjadi, hingga wafat pun
pengaruhnya tidak pupus.92
Dalam bahasan kiai ini, Suprayogo93 membedakan menjadi
empat kelompok kiai yang didasari dari adanya sikap kiai terhadap
masalah sosial, politik, ekonomi dan pendidikan. Pertama, kiai
spiritual, yang dimaksud pada kelompok yang pertama ini adalah kiai
yang memfokuskan gerakannya pada kegiatan mengajar di pesantren
dan berkonsentrasi pada peribadatan. Kedua, kiai advokasi, yang
tergolong kelompok ini adalah seorang kiai di samping aktif mengajar
di pesantren, juga memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan
masyarakat. Ketiga, kiai politik adaptif, yaitu kiai yang memiliki
kepedulian dengan organisasi politik dan kekuasaan serta memilki
kedekatan dengan pemerintah. Keempat, kiai politik mitra kritis, yakni
92Deliar Noer, Gerakan Modern dalam Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakartra: LP3ES, 1996), 19. 93Imam Suprayogo, Kiai Politik, Kiai Advokatif, Kiai Spiritual (Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1998)
294
kiai yang memiliki kepedulian terhadap organisasi politik, namun
kritis terhadap pemerintah.
Figur seorang kiai memiliki tempat istimewa dalam stratifikasi
sosial masyarakat Jawa. Begitu istimewanya, sehingga penghormatan
sosial tertinggi pun diperuntukkan bagi tokoh ini, karena kiai tidak
hanya dapat berperan sebagai pengajar agama yang baik, tetapi kiai
dianggap memiliki pengetahuan dan kearifan yang dalam, sehingga
kiai mampu menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dalam
masyarakat. Karena kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam
Islam, seringkali dilihat sebagai sosok yang senantiasa dapat
memahami keagungan Tuhan dan kerahasiaan alam, dengan kata lain
seorang kiai memiliki kekuatan supranatural.94
Penghormatan terhadap kiai oleh segmen masyarakat Islam
terutama golongan tradisional, kiranya dapat dimaklumi karena dalam
Islam, para ulama merupakan pewaris atau penerus ajaran para Nabi,
yang memiliki keunggulan seperti, kedalaman ilmu, keturunan,
ekonomi yang diabdikan untuk masyarakat secara luas,95 sehingga
dalam kehidupan di masyarakat kiai sebagai pembawa panji-panji
Islam yang sepanjang kehidupannya memimpin aktivitas kehidupan
94Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki, Potret Tragedi Politik di Dongos (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 110. 95Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan (Jakarta: P3M, 1986), 192.
295
keagamaan, pada akhirnya juga memperoleh pengaruh politik yang
kadang-kadang harus berkompetisi dengan penguasa.96
Sehingga tidak heran apabila dalam suatu komunitas
masyarakat agama ditemukan satu bentuk kepatuhan dan
penghormatan yang luar biasa kepada para kiai. Dengan demikian,
predikat kiai adalah gelar yang diberikan masyarakat secara suka rela
kepada ulama Islam yang telah banyak berperan di tengah-tengah
masyarakat, yaitu berlomba-lomba dalam melaksanakan amal
kebaikan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan semua
makhluk di alam raya ini.97
Sebenarnya dalam masyarakat Islam, sebutan yang paling
umum bagi golongan ahli pengetahuan Islam adalah ulama, jamak dari
alim artinya orang Islam yang memiliki ilmu pengetahuan mendalam
tentang agama Islam. Namun biasanya di kalangan masyarakat Islam
Jawa Tengah, Jawa Timur termasuk Madura, sebutan bagi ulama
tradisional adalah kiai atau nyai. Sedangkan putranya disebut gus,
bindere, lora atau ning untuk yang perempuan. Di Jawa Barat, ulama
dikenal dengan ajengan. Tuan guru, tuan shekh atau buya biasanya
untuk ulama di Sumatra, Nusa Tenggara Barat dan luar Jawa lainnya.
Bagi kalangan Islam modernis dan kalangan masyarakat Arab di
96Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S, 1982), 58. 97Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LKiS, 2007), 2.
296
Indonesia, para ulama ini dipanggil ustadz. Namun sekarang ini,
istilah kiai telah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik
tradisional maupun modernis di pulau Jawa atau di luar Jawa. Begitu
juga istilah ustadz, kini tidak hanya digunakan di kalangan Islam
modernis atau kalangan masyarakat Arab saja, akan tetapi telah masuk
ke dunia pesantren tradisional.
Elite komunitas agama di Indonesia jika ditinjau sejarahnya
pada abad-abad lalu, terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, para
pegawai yang pada umumnya menjabat penghulu, bertugas mengurusi
masjid di kota-kota besar dan menjabat sebagai anggota pengadilan
agama, serta merangkap sebagai penasehat agama pada pengadilan
umum. Kedua, para guru agama, kiai atau shekh, sebutan untuk guru
yang tua dan dihormati dalam lingkungan yang lebih luas. Adapun
bila dikaji pada strukturnya, pegawai agama (kiai pengulu) sifatnya
hirarki karena diangkat dengan surat keputusan gubernur jenderal
Hindia Belanda, atas usulan bupati dan residen, sedangkan gajinya
berasal dari pemerintah, sehingga akar para pegawai agama terdapat
dalam kalangan pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya struktur
pada kelompok kiai atau guru agama, tidak begitu hirarki
sebagaimana kiai penghulu serta tidak mendapat gaji dari
pemerintah.98 Sependapat dengan istilah Ibnu Qoyim, golongan yang
pertama dikenal dengan ulama pejabat yang berhubungan dan
98Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), 107-108.
297
menerima gaji dari pemerintah Belanda yang tugasnya berada dalam
jalur at-tasyri’ wa al-qadla’, yaitu pelaksana bidang kehakiman yang
menyangkut syari’at Islam. sedangkan yang kedua dikenal dengan
ulama bebas yang biasanya berada di pondok pesantren yang
sekaligus berfungsi sebagai mubaligh (juru dakwah) dan biasanya anti
terhadap pemerintah Belanda, dan mengambil posisi di jalur ad-
da’wah wa at-tarbiyah yaitu dakwah dan pendidikan.99
Kuntowijoyo,100 yang melakukan penelitian di Madura dalam
salah satu bahasannya mengupas tentang elite masyarakat agama,
mengatakan bahwa kiai adalah elite desa yang karena dalamnya
pemahaman agamanya sehingga masyarakat menempatkan mereka
pada strata golongan yang paling terdidik di setiap desa. Dijelaskan
pula bahwa, beberapa kiai selain karena keahliannya dalam masalah
agama, mereka juga dapat meramal nasib, menyembuhkan orang
sakit, dan mengajarkan olah kanuragan (kedigdayaan). Dengan
pembagian yang lebih detail, kiai dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis, yaitu: guru ngaji yang mengajarkan membaca al-Qur’an, guru
ngaji kitab yang mengajarkan berbagai jenis buku agama, dan guru
tarekat atau pemimpin tarekat.
Sependapat dengan Kuntowijoyo, kedudukan kiai memiliki
arti yang penting di Madura. Demikian pula di Jawa, peran sentral dan
99Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai Penghulu Jawa (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 64. 100Kuntowijoyo, Perubahan sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), 332-333.
298
kedudukan kiai atau penghulu bagi masyarakat Jawa sangat
dibutuhkan kehadirannya dalam pernikahan, Tisno menjelaskan
bahwa untuk menikahkan seorang anak perempuannya, ia akan
merasa tentram apabila yang melaksanakannya adalah seorang kiai
atau penghulu. Sampai-sampai apabila seorang kiai atau penghulu
terlambat datang, mereka rela menunggu sampai kehadirannya tiba di
tengah-tengah acara yang akan berlangsung. Sehingga kedudukan kiai
atau penghulu dalam pandangan masyarakat Jawa memiliki
keistimewaan tersendiri di antaranya untuk dimintai do’a restu dan
barokahnya agar acara hajatan yang berlangsung berjalan dengan
selamat dan lancar. Kehadiran kiai sangat ditunggu-tunggu apabila
tidak hadir, dan merasa kurang afdol apabila yang menikahkan
putrinya bukan kiai atau penghulu.101
Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap
sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara
perempuan yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali dan dianggap
tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa
adanya akad.102
101Tisno, Wawancara, Mojokerto, 5 Juni 2013. 102Muhammad Jawal Mughniyah, “al-fiqih 'ala al-Madzhab al-Khamsah” diterjemahkan Masykur, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), 309.
299
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, agung dan
monumental bagi setiap pasangan hidup. Karena itu pernikahan bukan
hanya sekedar mengikuti agama dan meneruskan naluri para leluhur,
untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan hubungan yang sah
antara laki-laki dan perempuan. Namun juga memiliki arti yang sangat
mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera
kehidupan seperti yang dicita-citakannya.
Pernikahan menurut masyarakat Jawa adalah hubungan cinta
kasih yang tulus antara seorang pemuda dan pemudi, yang pada
dasarnya terjadi karena sering bertemu antara kedua belah pihak,
yakni perempuan dan laki-laki. Dalam suatu pepatah jawa mengatakan
“tresno jalaran soko kulino” yang artinya cinta kasih itu tumbuh
karena terbiasa. Dalam hukum adat, pernikahan selain merupakan
suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, yang
bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta
membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu
hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak
istri dan pihak suami. Terjadinya pernikahan, berarti berlakunya
ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.103
103Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Citra Aditiya Bakti. 1995), 70.
300
Dalam buku “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat” Soerojo
Wignjodipoero mengatakan bahwa pernikahan merupakan peristiwa
yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat Jawa, karena
pernikahan itu tidak hanya menyangkut laki-laki dan perempuan saja,
namun juga melibatkan orang tua kedua belah pihak, saudara-
saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.104
Selain itu dalam pelaksanaannya juga terdapat ketentuan-ketentuan
yang merupakan suatu budaya yang selalu dilakukan, yang mana ini
sudah dilakukan sejak dulu. Dari situ dapat diartikan bahwa campur
tangan dari orang tua sangat berpengaruh sekali.
Dalam hal syarat-syarat pernikahan sebenarnya antara hukum
adat dan hukum Islam itu tidak jauh berbeda. Karena untuk dapat
terlaksananya suatu pernikahan itu syarat utama yakni harus ada
mempelai laki-laki dan perempuan. Selain itu antara kedua belah
pihak harus mengetahui bagaimana keadaan dan kebiasaan keduanya.
Kemudian harus diketahui pula apakah perempuan itu masih sendiri
dalam arti belum menikah ataupun dalam pinangan seseorang, apakah
si perempuan itu mau menikah dan tidak merasa terpaksa untuk
menikah. Selain itu kehadiran seorang wali sangat dibutuhkan, karena
seorang perempuan tidak bisa menikah sendiri harus ada wali
104Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. 1995), 122.
301
nikahnya, meskipun wali nikah atau ayahnya meninggal dapat
digantikan saudara laki-lakinya.
Untuk terlaksananya suatu pernikahan juga dibutuhkan dua
orang saksi diambil dari yang masih ada hubungan famili dengan
kedua mempelai misalnya saudaranya atau pamannya. Selain itu
kehadiran seorang perangkat desa juga sangat diperlukan karena
kehadirannya itu juga dianggap sebagai saksi pernikahan. Dan inilah
fungsi dari kehadiran keluarga atau kerabat yakni untuk menyaksikan
pernikahan tersebut. Satu lagi yang tidak kalah pentingnya yakni
adanya mahar berupa uang atau barang yang dapat digunakan oleh
calon istri, yang dalam hukum adat Jawa disebut dengan peningset.105
Mahar atau dapat disebut dengan mas kawin adalah pemberian yang
diberikan oleh calon suami kepada calon istri diwaktu datang pertama
kali ke rumahnya dengan tujuan ingin menikahinya.106
Di antara segala rangkaian upacara pernikahan, sebenarnya
upacara ijab qabul itu menduduki derajat yang paling utama.
Dikatakan utama karena menyangkut hukum agama dan negara.
Dengan upacara ijab qabul berarti telah terjadi pemindahan kekuasaan
seorang perempuan dari tangan wali kepihak pengantin laki-laki.
Setelah sah dinikahkan dalam upacara ijab qabul, berarti perempuan
105E. S. Ardinarto, Mengenal Adat Istiadat dan Hukum Adat di Indonesia (Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, 2008), 51. 106Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974),77.
302
itu telah menjadi wewenang suaminya. Adapun mempelai laki-laki
juga dituntut untuk bertanggungjawab penuh terhadap istrinya.107
Dari pemaparan yang telah dijelaskan di atas, dalam acara ijab
qabul, yang merupakan acara inti dalam ajaran syari’at Islam,
terjadinya akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat diketahui bahwa
unsur ajaran Islam lebih menonjol. Sedang akulturasi dengan unsur
Jawa adalah cara atau model pakaian kedua pengantin, mempelai
putra memakai celana, jas, dan kopiah. Mempelai putri memakai jarik
dan baju pakaian wanita Jawa lengan panjang. Selain itu kehadiran
kedua orang tua pihak laki-laki tidak diperkenankan menghadiri acara
ijab qabul dalam kepercayaan Jawa.108 Sehingga kedua orang tua
pihak mempelai putra tidak hadir dalam arena acara ijab qabul yang
bertempat di ruang tamu rumah mempelai putri. Ketika acara resepsi
pernikahan kedua orang tua mempelai putra diperkenankan hadir.
Selain itu pola akulturasi antara Islam dan budaya Jawa
terdapat dalam konsep berpikir mengenai kedudukan seorang kiai
yang dapat dipersamakan dengan seorang dukun (ahli kejawen).
Mereka menganggap biasanya seorang kiai adalah juga memiliki
pengetahuan tentang masalah-masalah kejawaan dalam hal-hal
batiniah. Sebagaimana Tisno,109 menyodorkan contoh seorang kiai
107Purwadi, Tata Cara Pernikahan Pengantin Jawa (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), 22. 108Tisno, Wawancara, Mojokerto, 10 Nopember 2012. Demikian pula pengamatan penulis, Dokumentasi, Mojokerto, 10 Nopember 2012. 109Tisno, wawancara, Mojokerto 5 Juni 2013.
303
terkenal di Mojokerto kiai Khusen Ilyas, serta kakak kiai Khusen Ilyas
yaitu kiai Mundir (Alm.) yang lebih kejawen. Dalam pandangan
masyarakat Jawa kehadiran peran kiai atau penghulu dalam acara
pernikahan sungguh sangat sentral, mereka menganggap acara
pernikahan itu akan mendapatkan barokah dengan kehadiran kiai dan
do’anya. Dengan harapan kedua mempelai dalam membina rumah
tangga menjadi keluarga yang sakinah. Kehadiran kiai bagi orang
Jawa dapat dipersonifikasikan sebagaimana pada masa lalu semacam
dukun, ia menamakan dengan menyebut dukun adalah orang yang
dapat madokno barang seng rukun (memadukan sesuatu sehingga
menjadi rukun atau bersatu).
b. Resepsi atau walimatul urusy
Resepsi pernikahan dilaksanakan pada umumnya setelah
terjadinya aqdunnikah (ijab qabul) berlangsung. Sebab dalam
pandangan masyarakat muslim Jawa belumlah afdol jika diadakan
resepsi pernikahan akan tetapi belum terjadi acara ijab qabul,
meskipun dapat dijumpai dan jarang terjadi peristiwa tersebut
diakibatkan dalam hal-hal tertentu adanya problem-problem yang
terjadi.
Agama mensunahkan agar menyiarkan perkawinan supaya
terjauh dari nikah sirri (rahasia) dan untuk menyatakan rasa gembira
yang dihalalkan oleh Allah, karena perkawinan merupakan perbuatan
304
yang haq untuk dipopulerkan supaya dapat diketahui orang yang
berkepentingan maupun khalayak ramai. Anjuran walimah dilakukan
walaupun hanya dengan satu kambing. Jadi dalam menyelenggarakan
walimah tidak wajib yang bermewah-mewah.
Berdasarkan pemaparan di atas, pola akulturasi dalam acara
resepsi pernikahan menurut Islam sebagaimana pengamatan penulis di
lapangan, apa yang dilakukan masyarakat muslim Jawa bukan hanya
sekedar menyembelih satu ekor domba, tetapi lebih dari itu karena
yang punya hajat pernikahan tergolong mampu. Sebagaimana yang
pernah dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw., untuk mengadakan
walimah walau hanya sekedar menyembelih seekor domba. Pengertian
yang diajarkan Islam dapat dipahami bahwa sekurang-kurangnya
ketika terjadi pernikahan dapat menjamu tamu undangan dengan
menyembelih seekor domba untuk dimakan bersama dan menyaksikan
berlangsungnya pernikahan agar tidak terjadi fitnah bagi kedua
mempelai dan pihak keluarga yang punya hajat. Hal demikian dapat
dimaksudkan pula sebagai siar kepada publik. Demikian pula yang
dilakukan dalam pernikahan loro pangkon, siar kepada publik di
samping dengan walimah dengan mengundang banyak tamu dan
menyembelih domba, tetapi masyarakat Jawa melakukannya lebih dari
305
itu, di antaranya dengan kirab keliling desa bagi kedua mempelai
menggunakan kereta kuda yang dinahkodai seorang kusir.110
Selain itu dalam ajaran Islam dianjurkan pula menggunakan
khutbah nikah. Masyarakat Jawa dalam memahami nasehat pernikahan
bagi kedua mempelai dan yang menyaksikan sebagaimana dalam
khutbah nikah, mereka di samping melakukan khutbah nikah,
masyarakat Jawa menambahkan pula dengan kegiatan beso’ loro
pangkon. Acara beso’ loro pangkon dalam budaya Jawa yang terjadi
ketika terjadi pernikahan sesungguhnya adalah merupakan nasehat.
Dalam dialog beso’ loro pangkon kedua orang yang bertugas
memerankan acara itu saling berdialog dan tanya jawab, salah satu
yang membawa boneka jago merupakan wakil mempelai putra, sedang
salah satunya wakil mempelai putri. Dalam dialog tersebut di
antaranya yang menjadi media nasehat dalam tanya jawab itu adalah
seputar boneka jago yang dipersonifikasikan sebagai jago yang
sesungguhnya, berkaitan dengan kejantanan dan keperkasaan serta
kesungguhan seorang laki-laki sebagaimana jago yang siap bertarung
menghasilkan keturunan yang baik. Di samping itu, pertanyaan yang
diajukan juga seputar peralatan rumah tangga sebagai media tanya
jawab yang diharapkan perilaku kedua mempelai sesuai dengan
kebiasan dan aturan adat istiadat masyarakat Jawa. Kedua mempelai
110Pengamatan di lapangan, Dokumentasi, Mojokerto, 11 Nopember 2013.
306
dan masyarakat diharapkan tidak melanggar norma-norma agama
dalam hidup berumah tangga dan bermasyarakat, sehingga kelak
rumah tangga yang diharapkan bagi kedua mempelai menjadi keluarga
yang bahagia dan sejahtera, keluarga yang sakinah mawaddah
warrahmah.111
Kebiasaan yang dilakukan dalam acara resepsi adat Jawa,
selain adanya beso’ loro pangkon, juga dilakukan acara serah terima
dari kedua wakil mempelai, dengan disisipkan di dalamnya acara
mauidzah khasanah oleh penceramah seorang kiai yang menjelaskan
tentang nasehat-nasehat agama, masalah pernikahan yang sesuai
dengan al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang pernah diajarkan
Rasulullah saw. dan dilanjutkan dengan do’a berbahasa Arab sebagai
acara penutup.112
D. Keberagamaan Masyarakat Muslim Jawa dalam Perkawinan Loro Pangkon
1. Perkawinan Loro Pangkon Sebagai Wujud Interaksi Sosial
Keberagamaan Masyarakat Muslim Jawa
Masyarakat muslim Jawa dalam melaksanakan sosial
keagamaannya, mereka mewujudkan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan
yang dilaksanakan bukan tanpa tujuan, tetapi mengandung nilai-nilai
ajaran agama, terutama disesuaikan dengan ajaraan agama yang dianutnya
111Ibid. 112Ibid.
307
yaitu Islam. Salah satu pengamalan keagamaan yang dilakukan
masyarakat muslim Jawa adalah direpresentasikan dalam bentuk
perkawinan loro pangkon. Melalui kegiatan tersebut dapat diketahui
bagaimana corak keberagamaannya yang diwujudkan dalam interaksi
sosial bermasyarakat.
a. Pembentukan keluarga melalui ikatan perkawinan (ijab qabul)
Sebagai orang yang menganut ajaran Islam, masyarakat Jawa
dalam melakukan pernikahan disesuaikan dengan syari’at ajaran Islam.
Di mana dalam pelaksanaan akad nikah kedua mempelai itu disaksikan
oleh dua orang saksi, terdapat wali, kedua mempelai hadir saat acara
ijab qabul, terdapat ucapan ijab (penyerahan) dari pihak wali, dan
kemudian jawaban penerimaan (qabul) dari mempelai putra.
Dalam pandangan Islam pernikahan memiliki banyak hukum,
bisa wajib, sunnah, makruh, dan haram. Sesuai dengan ajaran Islam
bahwa pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah warrahmah. Kegiatan berkumpulnya suami istri dianggap
sah dalam pandangan Islam apabila dalam pelaksanaan ijab qabul telah
memenuhi syarat dan rukunnya pernikahan sesuai syari’at Islam.
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku
pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun
tumbuhan. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah SWT
308
sebagai jalan hidup bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan
melestarikan hidupnya. Sebagaimana firman Allah:
كم تذ عل قنا زوجین ل رون ومن كل شيء خل ك
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzaariyaat.)113
Allah menciptakan lelaki dan perempuan agar dapat
berhubungan satu sama lain, saling mencintai, mengasihi, dan
menghasilkan keturunan dengan hidup berdampingan secara damai
sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al Hujuraat.
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al Hujuraat, 13).114
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya
yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan
dan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Akan tetapi untuk
menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT.
113al-Qur’an, 51: 49. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 862. 114al-Qur’an, 49: 13. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 847
309
mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.115 Menurut
syara’ nikah berarti melakukan akad (perjanjian) antara calon suami
dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami
istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama.116
Sedangkan yang dimaksud dengan akad ialah pengucapan ijab dari
pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak
calon suami atau wakilnya.117
Menurut pandangan Islam, perkawinan mengandung tiga
aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial, dan aspek agama. Dilihat dari
aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian
dalam perkawinan ini mengandung tiga karakter yang khusus yaitu
perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa adanya unsur sukarela dari
kedua belah pihak, kedua belah pihak yang mengikat persetujuan
perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian
tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya,
persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Ditinjau dari aspek sosial, perkawinan mempunyai arti
penting, yaitu orang yang melakukan perkawinan mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari pada mereka yang belum
115Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 11. 116Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2004), 17-18. 117Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah Penuntun Perkawinan (Surabaya: Bintang Terang, 1993), 9.
310
kawin.118 Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, perempuan
dulu bisa dimadu tanpa batas dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi
menurut ajaran Islam dalam perkawinan ini hanya dibatasi paling
banyak empat orang, itupun dengan syarat-syarat yang tertentu pula.
Aspek agama dalam perkawinan adalah bahwa Islam memandang dan
menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik
dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan
lahir saja tetapi juga diikat dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut
ajaran Islam perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu persetujuan
biasa, melainkan merupakan suatu persetujuan suci, di mana kedua
belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling
meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama
Allah.119
Menurut kompilasi hukum Islam, yang terdapat dalam Pasal 2
dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah:
“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.”120
118Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),79. 119Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: PT Bumi Askara, 2004), 9-12. 120Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam Indonesia studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), 44.
311
Mujtahid sepakat bahwa nikah adalah yang dianjurkan syari’at
bagi mereka yang berkeinginan untuk nikah dan khawatir terjerumus
ke dalam zina. Sikap yang demikian adalah lebih utama dari haji,
shalat, jihad, dan puasa sunnah. Demikian menurut kesepakatan para
imam madzhab.121 Sebaliknya, nikah menjadi haram bila diketahui
sebelumnya bahwa laki-laki tersebut tidak mampu memberi nafkah
dan berniat untuk menyakiti si istri, karena akan jauh dari
ketentraman sebagaimana yang dicita-citakan.
Dengan demikian, bahwa pernikahan bagi umat manusia
adalah sesuatu yang sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula,
dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syari'at
agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-
mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan
jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap
saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan
kasih sayang yang mendalam. Di samping itu untuk menjalin tali
persaudaraan di antara dua keluarga dari pihak suami dan pihak istri
dengan berlandaskan pada etika dan estetika yang bernuansa ukhuwah
basyariyah dan Islamiyah.122
121Al-‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasqy, “Rahmah al-Ummah fi al-‘Aimmah” diterjemahkan Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab (Bandung: Hasyimi Press, 2001), 341. 122Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2004), 19
312
b. Selamatan sebagai media permohonan do’a dan amal bilhal bagi keberagamaan masyarakat muslim Jawa
Pandangan hidup masyarakat Jawa dalam melakukan suatu
kegiatan yang berkaitan dengan ritus lingkaran hidup, berupa
kelahiran, khitanan, dan perkawinan, termasuk yang menyangkut hajat
keinginan dalam bentuk hajat kecil maupun besar, mereka senantiasa
melakukan ritus-ritus tertentu atau upacara selamatan. Selamatan
(slametan) dalam tradisi Jawa tidak dapat dilepaskan dengan pola
pikir yang menjadi kepercayaannya. Ketika menelusuri kepercayaan
masyarakat Jawa, terdapat sesuatu hal yang dihadapkan dengan
bentangan panjang sejarah kepercayaan mereka. Wajar saja karena
sejarah tentang kepercayaan (agama) memiliki usia setua dengan
eksistensi (manusia) yang mempercayainya. Penelusuran ini menjadi
penting karena tradisi erat kaitannya dengan keyakinan dan nilai. Oleh
karena itu, seringkali tradisi muncul karena berdasarkan keyakinan
dan nilai.
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di tanah Jawa
sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import
maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum
Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk
keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme.123 Pandangan
hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan
123Masroer Ch. Jb., The History of Java (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004),19.
313
numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang
dianggap keramat.124
Menurut Romdlon, dkk.,125 animisme adalah aliran (doktrin)
kepercayaan yang mempercayai realitas (eksistensi, maujud) jiwa
(roh) sebagai daya kekuatan yang luar biasa yang bersemayam secara
mempribadi di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
segala yang ada di alam raya ini. Dengan kepercayaan tersebut
sebagaimana pendapat Ridwan,126 muncul penyembahan pada ruh
nenek-moyang (ancestor worship). Penyembahan pada ruh ini
akhirnya memunculkan tradisi dan ritual untuk menghormati ruh
nenek-moyang. Penghormatan dan penyembahan biasanya dilakukan
dengan sesaji dan selamatan. Tujuan ritual ini adalah sebagai wujud
permohonan pada ruh leluhur untuk memberikan keselamatan bagi
para keturunannya yang masih hidup. Seni pewayangan dan gamelan
adalah ritual yang seringkali dijadikan sarana untuk mengundang dan
mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam tradisi ritual ini, ruh nenek-
moyang dipersonifikasikan sebagai punakawan yang memiliki peran
pangemong keluarga yang masih hidup.
Sementara dinamisme atau dinamistik adalah doktrin
kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam mempunyai
124Ibid,. 125Romdhon dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), 36 dan 43. Lihat Ibid,19 – 20. 126Ridwan, “Dialektika Islam dan Budaya Jawa”, dalam Ibda’ Volume 3, Nomor 1 Januari - Juni 2005 (Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 2005), 20.
314
kekuatan keramat atau kesaktian yang tidak mempribadi, seperti
pohon, batu, hewan, dan manusia.127 Dengan kata lain, sebagaimana
dikatakan Alisyahbana kepercayaan masyarakat Jawa pra-Hindu
Budha adalah keyakinan akan hal-hal ghaib (tak terlihat), besar dan
menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar tidak diganggu oleh
kekuatan tersebut, apalagi mencelakakannya.
Eksistensi ruh dan kekuatan benda-benda tersebut dipercayai
dapat menolong dan dapat mencelakakan manusia. Masyarakat Jawa
Kuno mempercayai adanya kekuatan pada benda-benda. Kekuatan
pada benda-benda selanjutnya dipercayai dapat mengakibatkan
pageblug penderitaan, musibah) yang dapat mengancam eksistensi
manusia. Gunung meletus, angin topan, gempa bumi, sambaran petir,
dan semacamnya dipercayai sebagai wujud marahnya ruh dan efek
kekuatan negatif yang berasal dari benda-benda di alam sekitar.Di
samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan
senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki
kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat
perlakuan istimewa.
Setelah masuknya ajaran Hindu128 dan Budha ternyata tidak
menghapus kepercayaan agama asli masyarakat Jawa. Agama asli
127Romdhon dkk, Agama, 36. 128Agama Hindu dibawa oleh pelaut India dan para Brahmana. Kaum Brahmana selanjutnya memperoleh posisi yang kuat dan menjabat sebagai penasihat raja serta sebagai pemimpin upacara keagamaan Abhiseka (pertobatan) dan Mahattnya (menghindukan adat). Lihat lebih lanjut Rahmad
315
tidak punah, tetapi justru menemukan bentuk dan tempatnya yang
lebih baik bagi perkembangan keyakinan tersebut. Walau demikian,
Hindu-Budha memberikan konsep baru dengan mentranformasikan
keyakinan masyarakat akan kekuatan pada benda-benda dan ruh
menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja. Raja
dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari kosep ini muncullah
budaya untuk patuh tanpa reserve pada raja. Pada zaman kerajaan
Jawa-Islam membawa pengaruh besar. Dimulai dari transformasi
keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung
oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Penyebar Islam di Jawa
adalah walisongo, sebagai juru dakwah dan guru tarekat. Corak Islam
Jawa adalah bercorak tasawuf. Sementara itu, pandangan hidup
masyarakat Jawa sebelumnya bercorak mistik sehingga pandangan
Islam yang bercorak tasawuf ini sejalan dengan keyakinan mereka.
Selanjutnya berkaitan dengan ritus slametan dalam pandangan
hidup masyarakat Jawa, meninjau dari asal usul kata slamet (Arab:
salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat
dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz,129 slamet berarti gak ono
Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 13; Lihat juga Masroer Ch , Jb. The History, 21; N.D. Pandit Shatri, Sejarah Bali Dwipa (Denpasar: Bhuawana Saraswati, 1963), 89; Bandingkan dengan Sularso Supater, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), 9. 129Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976), 14.
316
opo-opo (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-
apa” (pada siapa pun).
Konsep slamet yang menjadi pandangan hidup masyarakat
Jawa itulah sehingga dimanifestasikan melalui praktik-praktik
slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang
biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik
upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih
besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama),
mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh
penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan
dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga
untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Slametan dalam
skala kecil yang dilakukan oleh individu atau keluarga tampak ketika
mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan
mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam
kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur
tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih
banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik
seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton,130
praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji)
tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali
130John Pemberton, Jawa (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), 327-336.
317
hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa
(dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin
hubungan damai dengan dunia ruh setempat.
Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta
komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar.
Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai
kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian
“buah tangan”, jajan pasar, dalam bentuk makanan. Hal yang menarik
adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah
kemungkinan untuk makan bersama sebagai wujud kebersamaan,
tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah
(berkat). Slametan dalam pemahaman masyarakat Jawa dapat
dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang boleh dimaknai pula
dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata tertib, aman
(selamat), dan wilujeng (selamat). Demikian pula Orde Baru yang
syarat dengan tradisi Jawa, menginterpretasikan konsep ini dengan
menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan
ketertiban, dengan dalih keselamatan bangsa.
Merujuk kembali berkaitan dengan asal usul kata Arab salam
yang dalam bahasa Jawa dengan sebutan slamet, berasal dari salima-
yaslamu-salaman-salamat (h) berarti selamat, bebas, menerima, rela
318
(puas), damai.131 Terdapat 155 ayat yang secara derivatif berasal dari
kata salima. QS. 7: 46, “Di antara keduanya ada batas, di atas a’raf itu
ada orang yang mereka kenal, masing-masing dengan tanda mereka.
Dan mereka menyeru penduduk surga dengan ‘salamun alaikum’….”
Kata salamun alaikum memiliki arti keselamatan dan rasa aman selalu
menyertai kalian (penduduk surga).132 Selanjutnya, Quraish Shihab
menjelaskan kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan
aib. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada
kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah
“damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar
dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau
kesuksesan. Kedamaian, keamanan, dan kesentausaan adalah cita-cita
dan tujuan setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, Allah mengajak
hamba-Nya ke negeri yang damai (dar al-salam) (QS. Yunus: 25).
Allah sendiri adalah pangkalan kedamaian, keselamatan, dan
kesentausaan (QS. al-Hasyr: 23). Tanpa adanya al-Salam (Allah) atau
tanpa salam (kedamaian jiwa manusia), maka semuanya akan kacau,
rusak, bahkan kehidupan akan berhenti.
Dari keyakinan akan keesaan Tuhan, pada gilirannya
melahirkan kedamaian dan ketentraman. Sebaliknya, pelanggaran dan
131Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 655 – 656. 132Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2004),105-107.
319
pengingkaran pada Tuhan akan melahirkan kekacauan, ketidakpastian,
kegelisahan, dan ketakutan. Bukti dalam sejarah kemanusiaan
sebagaimana ditunjukkan oleh referensi qur’anik bahwa keingkaran
(ke-kufur-an) sebagai lawan kata ketundukan (ke-islam-an), sebagai
wujud kedzaliman pernah dialami oleh beberapa pelaku sejarah yang
mengakibatkan degradasi dan kejatuhan “status” seperti yang dialami
oleh Adam, penderitaan yang mencekam (dalam perut ikan)
sebagaimana di alami oleh Yunus, serta “pelecehan” harga diri
sebagaimana dialami oleh Yusuf. Meskipun dengan peristiwa tersebut
akhirnya mereka menemukan kembali kepatuhan dan kepasrahan
mereka, sekaligus menemukan keselarasan, keseimbangan,
ketenangan, dan kedamaian jiwa. Peristiwa yang dialami oleh para
nabi sebagaimana disebut dalam al-Quran, paling tidak memiliki dua
maksud. Pertama, peristiwa (kekufuran) tersebut menunjukkan adanya
kebebasan diri untuk memilih. Artinya, manusia sebagai hamba Tuhan
dilengkapi dengan potensi untuk bebas memilih antara patuh atau
ingkar. Kedua, pelajaran tentang transformasi kesadaran. Kesadaran
diperoleh melalui pengalaman, yang sekarang mungkin dapat disebut
trial and error, tetapi tetap pada pendirian bahwa pengalaman tersebut
memiliki tambatan yang kuat, yakni Tuhan.
Berbeda dengan kekufuran sepanjang masa sebagaimana di
alami oleh Fir’aun. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah kehidupan
320
Fir’aun adalah “nihilis”, yakni dapat disebut sebagai “kekosongan
ruhani ketuhanan”, sekalipun dia menyebut dirinya tuhan.
Pengingkaran Fir’aun berakhir dibayar dengan social cost yang sangat
mahal, yakni keterkungkungan, penindasan, serta penistaan citra
kemanusiaan.
Salamah bagi Ibn Araby sebagaimana disinyalir William C.
Chittick, bahwa keselamatan dapat dicapai melalui “adaptasi” atau
proses penyelarasan dengan qadr (ukuran-ukuran) Tuhan. Qadr Tuhan
adalah syari’ah. Jika seseorang menyimpang dari qadr (syari’ah)
tersebut, maka pada dasarnya tidak ada keselamatan bagi dirinya.133
Tuhan yang dimaksud Ibn Araby adalah Tuhan sebagaimana
yang dikonsepsikan dalam al-Quran, yakni sebagai pencipta,
pemelihara, dan pengatur kehidupan. Senada pendapat Chryssavgis,
agama-agama monoteistik besar setuju untuk tidak hanya pada nama
(atau banyak nama) Tuhan, tetapi mereka setuju pada namelessnes
Tuhan, yang dapat dikatakan misteri Tuhan melampaui semua nama
dan pengetahuan.134 Jika disandingkan dengan pemahaman
masyarakat Jawa pra-Islam, (terutama pada zaman primitif),
kepercayaan mereka terdapat pada kekuatan-kekuatan lain selain
dirinya. Kekuatan di luar dirinya dinyatakan sebagai Tuhan, termasuk
133Willian C. Chittick, The Sufi Part of Knowledge, Hermeunetika Al-Quran, Terj. Ahmad Nidjam, dkk (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), 23. 134Lihat Akhiyat, “Persamaan Dimensi Mistis Dan Dialog Lintas Agama; Respon Caner Dagli dan John Cryssavgis terhadap Common Word”, Religio, Vol.02, No. 01 (Maret 2012), 79.
321
ruh nenek-moyang, kekuatan magis benda, dan lain sebagainya, yang
di dalam Islam adalah sebagai makhluk Tuhan.
Islam menganjurkan pemeluknya untuk mempercayai hal-hal
ghaib (hal-hal yang tidak kasat mata), seperti jin, malaikat, roh, dan
makhluk ghaib lain. Makhluk-makhluk ghaib sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an memiliki potensi (kemampuan) tertentu yang
mungkin tidak dimiliki oleh jenis makhluk lainnya. Akan tetapi,
kepercayaan dan keimanan tersebut menandaskan bahwa potensi
(kekuatan) tersebut adalah potensi pemberian Allah, Tuhan semesta
alam. Dengan kata lain, tidak ada kekuatan apapun jika tidak diberi
oleh Allah.
Penghargaan sesama makhluk diperbolehkan selagi tidak
menjurus pada penuhanan (menjadikan Tuhan). Sesama manusia
dianjurkan saling menghargai dan dilarang menyakiti. Demikian juga
terhadap makhluk lain, termasuk kepada hewan, bahkan makhluk
ghaib lain. Yang sangat dilarang adalah menuhankan bukan Tuhan
dan me-makhluk-kan Tuhan.
2. Principle of Utility Dalam Perkawinan Loro Pangkon
Pelaksanaan perkawinan loro pangkon yang dilakukan oleh
masyarakat muslim Jawa memiliki karakter tersendiri. Mereka memiliki
prinsip bagaimana memperoleh manfaat yang besar (principle of utility),
322
yakni apa yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan apakah dengan
ajaran Islam maupun budaya Jawa. Dalam perkawinan tersebut dapat
diketahui terjadinya kontak budaya Jawa dengan ajaran Islam, yang dapat
dikatakan sebagai proses akulturasi.
Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat
proses akulturasi, masyarakat dituntut adanya suatu kearifan. Dalam
pengertian menjaga proses akulturasi tetap berjalan seiring dengan
perkembangan zaman. Namun agar dalam perubahan sebagai akibat dari
proses akulturasi, baik sosial maupun budaya agar tidak tercabut dari akar
budaya suatu bangsa perlu adanya suatu pedoman yang dapat menentukan
arah perkembangan kebudayaan bangsa. Bagi bangsa Indonesia pedoman
untuk menangkal lajunya proses akulturasi sudah tercamtum dalam UUD
1945, yaitu harus mengacu pada nilai-nilai inti Pancasila sebagai
konfigurasi kebudayaan bangsa. Sebagaimana pendapat Budhisantoso,135
pengembangan kebudayaan nasional harus mampu mewujudkan pedoman
yang menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa yang memiliki
fungsi integratif dan kerangka acuan dalam kehidupan masyarakat
majemuk.
Dari kajian teori akulturasi akhir-akhhir ini, perkembangannya
pesat telah menyebabkan pesatnya perkembangan ruang lingkup dan
135S. Budhisantoso, Pembangunan Nasional Indonesia Dengan Berbagai Persoalan Budaya Dalam Masyarakat Majemuk, Dalam: E.K.M. Masinambow (ed), Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia (Jakarta: AAI Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia, 1997), 136.
323
metodelogi. Kajiannya dijadikan dasar pengungkapan fenomena
hubungan-hubungan sosial, tidak hanya terbatas antar ras, bangsa dan
negara tetapi juga antar kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal
dalam suatu lingkungan atau daerah yang sama. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Lauer,136 yang menyatakan bahwa pada dasarnya
akulturasi merupakan fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok
atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak
langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau
kedua kelompok itu.
Dari perubahan pola kebudayaan itu akan menghasilkan sesuatu
yang khas sebagai proses akulturasi. Menurut Koentjaraningrat,137 bahwa
untuk mengkaji proses akulturasi dapat menggunakan beberapa
pendekatan, salah satunya principle of utility yaitu suatu unsur budaya
baru yang mudah diterima, bila unsur itu mempunyai guna yang besar bagi
masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, menurut Jeremy
Bentham,138 dan didukung John Stuart Mill,139 bahwa kemajuan suatu
negara seperti yang terjadi dewasa ini dan kebutuhan psikologis yang
dibutuhkan umat beragama dilihat dari aspek kemanusian sebagaimana
136Robert. H. Lauer,Perspektif Tentang Perubahan Sosial (ed. terj.) (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), 403. 137Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 1958), 449-450. 138Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (New York: Batoche book, 1781 edited thn. 2000), 14. 139John Stuart Mill, filosof Inggris yang hidup 1806-1873 yang telah merubah filsafat poltik dalam moral kontemporer. Sehingga ia menjadi seorang yang ahli dalam bidang utilitarisme.
324
manusia yang mengagungkan kesenangan dan kebahagian dalam setiap
perilaku dan tindakannya, mereka ingin mencapai kenikmatan, kebahagian
dan prinsip-prinsip kebahagian (principle of utility).
Dalam pandangan Bentham,140 ada dua hal pokok dari etika
utilitarian, yaitu pleasure (kenikmatan) dan pain (penderitaan). Kedua hal
yang saling berlawanan ini menurutnya merupakan hal yang harus dicari
dan harus dihindarkan oleh manusia. Manusia adalah makhluk yang
senantiasa mencari kenikmatan (pleasure seeking) dan menghindari rasa
sakit atau penderitaan (pain avoiding). Prinsip utiliti Bentham merupakan
ekspresi politis dan moral dari hedonisme psikologis. Jadi, Bentham
menggandengkan utilitarianisme dengan hedonisme. Oleh karena itu
banyak dikritik sebab moralitas seolah-olah tidak lebih dari pada sekedar
mencari bagi dirinya sendiri suatu kehidupan yang penuh kenikmatan.
Oleh karena itulah banyak yang mengejek filsafat Bentham tersebut
sebagai “pig philosophy” atau filsafat yang cocok untuk babi.
Mill mengkritik dan meluruskan pendapat Bentham yang
mengukur kebahagiaan dan kesenangan secara kuantitatif, karena
menurutnya kualitas dari kesenangan dan kebahagiaan juga perlu
dipertimbangkan, ada kesenangan yang lebih tinggi kualitasnya dan ada
juga yang lebih rendah. Bagi Mill ukuran gradasi kenikmatan itu bukanlah
demikian, tetapi sesuai dengan apa yang disebutnya qualitative feature.
140Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (New York: Batoche book, 1781 edited thn. 2000), 791.
325
Jadi pleasures yang berasal dari “higher faculties” (intelek, perasaan,
imajinasi, perasaan moral) lebih bernilai dari pada pleasure yang berasal
dari “lower faculties” yakni kenikmatan badaniah atau sensual.141
Mill menambahkan, dengan mengatakan bahwa nikmat jangan
dibatasi hanya dengan nikmat jasmani saja sebab nikmat rohani lebih luhur
dari pada nikmat jasmani. Keunggulan pleasures akal budi dari yang
badaniah dapat dibuktikan dengan mudah bagi yang mengalami keduanya.
Ia juga meluruskan kritik bahwa utilitarianisme itu egois karena baginya,
prinsip kebahagiaan terbesar haruslah mencakup semua orang yang
terkena dampak tindakan itu.142 Jadi, bukanlah kebahagiaan diri yang
dikejar (seperti etika Epikuros) tetapi kebahagiaan semua orang. Oleh
karena itu, prinsip utility menurut Mill juga mengacu pada kebahagiaan
terbesar bagi sebanyak mungkin orang, the greatest happiness for the
greatest number.143 Konsep ini menunjukkan bahwa Mill ingin
menjauhkan nilai egoisme dari etikanya sebagaimana yang dituduhkan
pada pandangan Bentham, karena menurutnya kebahagiaan harus selalu
bersifat universal.
Dari pendapat berbagai ahli, selanjutnya bagaimanakah pola
akulturasi yang dilakukannya masyarakat muslim Jawa dalam perkawinan
141John Stuart Mill, Utilitarianism, reprinted in Utilitarianism (London: Liberty, Representattive Government, J. M. Dent & Sons Ltd., 1954), 20. Lihat pula, Akhiyat, Tuhan Begitu Dekat; Mengenal Diri Sejati (Yogyakarta: Pena Media Utama, 2010), 5. 142Lihat, Franz Magnis Suseno, Tiga belas Model Pendekatan Etika : Bunga Rampai Teks-Teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 195-196. 143John Stuart Mill, Utilitarianism, reprinted in Utilitarianism (London: Liberty, Representattive Government, J. M. Dent & Sons Ltd., 1954), 12.
326
loro pangkon, sehingga budaya tersebut masih dilakukan oleh masyarakat
Jawa. Mereka memelihara dan mempertahankan perkawinan loro pangkon
sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pendahulunya, di antara peran
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Beso’ loro pangkon sebagai media dakwah sosial keagamaan
Salah satu bentuk ajaran Islam adalah dakwah, yaitu
menyiarkan ajaran Islam secara benar. Dalam menyiarkan ajaran Islam
salah satu bentuk yang dilakukan oleh masyarakat muslim Jawa dalam
perkawinan adalah dengan menggunakan media beso’ loro pangkon,
kegiatan ini dilakukan karena dianggap efektif sesuai dengan karakter
budaya masyarakat Jawa. Di mana masyarakat muslim Jawa memiliki
prinsip tidak saling merugikan yang berarti saling menguntungkan,
apakah dari segi budaya masyarakat Jawa yang masih eksis dan perlu
dipertahankan dengan keluhurannya, di samping juga melakukan
ajaran Islam dengan benar dan tidak menyalahi syari’at Islam.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk saling tolong
menolong dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam hal
keburukan. Begitu pula Islam menganjurkan untuk saling menasehati
terhadap yang lain. Dalam memahami pengamalan Islam sebagaimana
yang diwujudkan dalam perkawinan loro pangkon, masyarakat muslim
Jawa melakukannya melalui beso’ loro pangkon. Kegiatan ini
dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembinaan serta
327
nasehat kepada kedua mempelai pengantin berdua, dan umumnya
kepada masyarakat secara umum. Isi dalam dialog beso’ loro pangkon
adalah mengarahkan kepada pendengar bagaimana cara berumah
tangga yang baik sesuai dengan keadaan dan kebiasaan masyarakat
Jawa, agar apa yang dilakukannya tidak melanggar ajaran agama
maupun adat-istiadat masyarakat Jawa.
Sebagaimana dialog dalam beso’ loro pangkon yang
diperankan oleh dua orang pemain beso’ loro pangkon antara bapak
Naryo dengn bapak Denan, simbol huruf N adalah bapak Naryo, dan
huruf D adalah bapak Denan, dialognya sebagai berikut.
N: Enggeh… terus seng dibeto ngarep lincip niku wau nopo? (Iyaa…terus yang dibawa di depan lancip itu apa?)
D: Lincip niko waua, tumbak ajining pangucap! (Lancip itu tadi, tumbak ajine perkataan)
N: Tumbak ajining….(Tumbak ajining....) D: pangucap (Perkataan) N: Oooh…. (Oooh....) D: Tumbak empon dipun wastani wesi aji, duduk wesine seng diaji-aji,
tapi ucape! (Tumbak bisa diartikan besi aji, bukan besinya yang diaji-aji tapi ucapannya)
D: Janji jam siji teko meriki, jam siji pas mpon teko meriki !!!! (Berjanji jam satu sampai di sini, jam satu pas sudah sampai sini!!!!)
N: Ngaten nggeh ( Iyaaa…iya….)
Dalam dialog tersebut, bapak Naryo menanyakan di antara
barang-barang yang dibawa rombongan mempelai putra, dan setelah
itu dijawab oleh bapak Denan. Dalam dialog tersebut ungkapan-
ungkapan yang dilontarkan banyak mengandung nasehat atau pitutur,
328
memberikan ajaran bagaimana manusia Jawa dalam bergaul dan
bertindak dengan orang lain agar mereka dapat diterima oleh orang
lain, salah satunya yaitu berhati-hati dalam ucapan dan tindakan.
Sebagaimana dalam dialog beso’ loro pangkon, di antara barang-
barang yang ditanyakan adalah tombak yang ujungnya sangat lancip
terbuat dari besi. Tombak yang lancip itu dalam pandangan masyarakat
Jawa, memiliki makna bahwa suatu perkataan yang sudah diucapkan
hendaknya dipegang teguh. Jangan sampai apa yang sudah diucapkan
tadi tidak sesuai dengan tindakannya atau perilakunya melanggar
ucapannya sendiri.
Menurut pandangan masyarakat Jawa, orang yang suka
berdusta disebut dengan istilah nyulayani janji (perilakunya sering
berbuat dusta). Orang yang berbuat demikian adalah disebut orang
yang tidak dapat menepati janji, ucapannya tidak dapat dipakai sebagai
pegangan bagi orang lain, tergolong sebagai orang yang berkhianat.
Bagi orang Jawa, orang yang seringkali berkhianat terhadap orang lain
atau seringkali mengobral janji dan tidak menepati janjinya maka
pembicaraannya tidak akan digugu (diperhatikan) orang lain, sebab
menurut orang Jawa yang menjadi perhatian seseorang adalah berasal
dari ucapannya. Sekali saja ucapan seseorang berdusta maka orang
yang demikian tidak akan diperhatikan orang lain, sebab dari ucapan
yang tidak berhati-hati akan dapat mencelakakan orang lain. Oleh
329
karena itu ucapan bagi orang Jawa sangat menjadi perhatian utama
orang lain terhadap tindakan seseorang. Dalam pandangan Jawa ada
istilah lebih baik diam dari pada berkata akan menjadi bencana, ada
suatu maqola dalam istilah Arab salamatul insan fi khifdillisan
(keselamatan seseorang tergantung dari menjaga ucapannya).
Nasehat yang lain dalam dialog beso’ loro pangkon adalah
sebagaimana diungkapkan oleh kedua pemain dalam menanyakan
salah satu peralatan rumah tangga, sebagai berikut dialognya.
N: Seng niki lo seng di gecoi abah wau lo nopo niki? (Yang ini lo… yang dipegangi abah tadi apa ini?)
D: Oh… niku eler! (Oh…itu kipas !) N:Nopo? (Apa?) D:Eler! (Kipas!) N: Eler! Maksude eler niku nopo? (Kipas! maksudnya kipas itu apa?) D: Eler sak derange melebu mriki wau mpon kulo silir-silir disek
(Kipas sebelum masuk kesini tadi saya mencari informasi dulu) N: Maksude melebet niku….( Maksudnya masuk itu….) D: Aa… sak derange kulo sowan mriki mpon kulo silir-silir disek
(Aa….sebelum saya berkunjung ke sini sudah saya mencari informasi dulu)
N: Ooo… ngatena (Ooo…begitu) D: Enggeh, cocok pernah nggeh, setuju la baru …nggeh (Iyaaa, cocok
pernah iyaa, setuju teruus baruuu…iya) N: Oooh ngaten maksude eler! (Oooh begitu maksudnya kipas!) D: Enggeh (Iyaa…)
Dari dialog tersebut yang ditanyakan adalah peralatan dapur
yang disebut dengan eler (kipas terbuat dari anyaman bambu), alat ini
dipergunakan oleh masyarakat Jawa biasanya untuk mengipasi api
yang padam ketika memasak nasi di dapur, sebab pada zaman dahulu
umumnya memasak nasi di dapur dengan memakai kayu bakar, apabila
330
apinya padam eler (kipas) inilah yang dibuat untuk mengipasi kayu
bakar yang telah padam agar apinya menyala, dapat pula eler berfungsi
sebagai kipas untuk badan yang berkeringat kegerahan (ketika keadaan
cuaca panas). Maksud dari eler adalah bahwa seseorang yang akan
menikah hendaknya mencari informasi-informasi yang benar dan
akurat, agar dikemudian hari dalam menjalani rumah tangga tidak
mengalami penyesalan, apakah dari pihak mempelai putra maupun
mempelai putri.
Dengan mencari informasi dari berbagai pihak, akan dapat
diperoleh informsi yang selengkap-lengkapnya, terutama bagi seorang
pria yang akan mencari pendamping seorang istri harus benar-benar
diperhatikan dari bobot, bibit, bebet. Sehingga dalam menemukan
seorang jodoh tidak mengalami kekecewaan. Pihak pria dengan
berbagai informasi yang didapatkan akan mengetahui segala
kekurangan dan kelebihan dari pihak wanita yang akan dijadikan
pendamping hidup. Demikian pula dari pihak keluarga wanita
diharapkan pula mencari informasi tentang laki-laki yang akan menjadi
suami putri tercintanya. Dengan saling mencari informasi tersebut akan
didapatkan titik temunya, meskipun di antara keduanya terdapat segala
kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Ketika sudah terjadi
titik temu dan kesesuaian, terjalinlah kesepakatan-kesepakatan yang
akan dicapai kedua belah pihak untuk diteruskan menuju pernikahan.
331
Di sinilah, makna eler yaitu diseler-seler (dicari terlebih
dahulu informasi yang sebenar-benarnya) sebelum mencari jodoh siapa
orang yang akan dijadikan istri maupun yang akan dijadikan suami.
Dengan memperoleh informasi yang akurat maka seseorang akan
memperoleh kejelasan orang yang akan dijadikan pendamping dalam
hidup berumah tangga. Islam pun menjelaskan bagaimana tata cara
mencari pendamping hidup berumah tangga sebagaimana sabda
Rasulullah saw. di antaranya adalah bagaimana limaliha, lijamaliha,
lidiniha, dapat diterangkan bagaimana kedudukan seorang wanita
tersebut dari segi harta bendanya, kemudian kecantikannya, dan
terakhir adalah apabila keduanya tidak didapatkan minimal agamanya
atau seagama.
Demikian penjelasan yang dapat dipetik dari pelajaran tradisi
perkawinan loro pangkon, yang memiliki muatan dari sisi adat Jawa
maupun agama, dalam memilih jodoh diperlukan mencari pilihan
secara selektif agar tidak salah pilih, sebagaimana halnya membeli
kucing di dalam karung, ketika dibawa ke rumah ternyata tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Demikian mencari jodoh juga harus selektif
agar tidak saling mengecewakan kedua belah pihak.
b. Pertunjukan wayang sebagai media dakwah
Di samping beso’ loro pangkon sebagai media dakwah dalam
keberagamaan masyarakat Jawa yang berhubungan dengan sosial
332
kemasyarakatan. Masyarakat muslim Jawa menggunakan media lain
dalam acara perkawinan loro pangkon. Media yang dimaksudkan
adalah dengan diselenggarakannya pertunjukan wayang kulit yang
diadakan pada malam hari. Ketika acara perkawinan dan resepsi
pernikahan di siang hari telah dilaksanakan, selanjutnya di malam hari
penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit digelar.
Pertunjukan wayang sebagaimana yang digelar dalam acara
pernikahan, di samping sebagai media hiburan dalam arti yang lebih
luas merupakan sebagai media komunikasi dan dakwah bagi
masyarakat. Apabila ditinjau dari perkembangan sejarah yang ada,
dalam kenyataannya pertunjukan wayang kulit purwa telah teruji oleh
perjalanan zaman tidak kurang dari 1000 tahun lamanya sampai
dengan sekarang ini, dan tetap menjadi milik bangsa Indonesia yang
mempunyai pemikiran apa pun terhadapnya, termasuk mereka yang
mempunyai pemikiran dakwah. Dari kenyataan tersebut membuktikan
bahwa pertunjukan wayang itu memuat unsur-unsur filosofis yang
mengakar dalam bangsa Indonesia siapa pun masyarakatnya termasuk
yang beragama Islam baik yang mengambil usaha dakwah ataupun
tidak. Pertunjukan wayang kulit purwa dalam acara dan lakon apa
pun, di tempat mana pun, serta di waktu kapan pun, disajikan oleh
dalang siapa pun, selama ini selalu memiliki bentuk, sejarah,
perkembangan, spirit, dan makna. Artinya, pertunjukan wayang kulit
333
purwa tersebut memuat apa saja yang akhirnya menjadi pandangan
setiap masyarakat atau bangsa Indonesia yang ada, terutama
masyarakat Jawa.
Pertunjukan wayang kulit purwa sebagaimana diterangkan oleh
Soetarno,144 ketika pada zaman Demak kurang lebih tahun 1500-an,
model wayang tidak secanggih seperti saat ini, tangannya masih
menyatu, gerakannya sangat sederhana. Pertunjukan wayang kulit
purwa berdasar keterangan Soetarno tersebut, memberikan petunjuk
adanya bentuk. Bentuk menurut Soedarsono,145 merupakan apa yang
dapat dilihat, apa yang bisa dicatat. Dijelaskan lebih lanjut oleh
Soetarno,146 ketika mengungkapkan bentuk pertunjukan wayang kulit
purwa, maka menyebutkan berbagai unsur yang ada seperti pelaku,
perabot, dan operasional penyajianya.
Pertunjukan wayang kulit purwa, yang diungkapkan oleh
Abdullah,147 dalam makalahnya “Dewaruci dalam Psikologi Jung”,
berdasarkan sejarah, bahwa wayang kulit purwa pernah di tanggap
oleh raja Mataram tahun 1500-an, ketika itu raja Mataram ingin
diterangkan mengenai makrifat oleh Sunan Kalijaga, maka Sunan
144Soetarno, Wayang Kulit dan Perkembangannya (Surakarta: Cinderawasih, 2002), 40. 145Lihat, Sutiono, 2000. “Shalawat Sebuah Ekspresi Budaya Jawa Islam” (Tesis S2 Program Studi Pengkajian Pertunjukan, Ilmu-Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), 67. 146Soetarno, Wayang Kulit dan Perkembangannya (Surakarta: Cinderawasih, 2002), 41. 147Abdullah, 1971, “Dewaruci dalam Psikhologi Jung”. Makalah untuk Ceramah Pusat Pewayangan, 3 Agustus, 1971, di theater Arena P.D.K. Taman Ismail Marzuki. Pusat Pewayangan Indonesia: Jakarta, 71.
334
Kalijaga kemudian membuat wayang menjadi miring agar tidak
bertentangan dengan agama atau jatuh dalam hukum haram. Selain
itu juga, agar raja Mataram diberi tanggapan atau upah dengan
membaca kalimat syahadat kemudian masuk Islam: “bari gampil
tanggapane amung maos kalimat syahadat nuli Islam” (mudah sekali
tanggapannya hanya membaca kalimat syahadat kemudian masuk
Islam). Keterangan Abdullah mengenai pertunjukan wayang kulit
purwa berdasar sejarah tersebut, menyiratkan bahwa wayang ketika
itu telah digunakan untuk dakwah.
Cerita wayang kulit purwa yang disajikan oleh Sunan Kalijaga
ketika ditanggap oleh raja Mataram tersebut, diterangkan lebih lanjut
oleh Abdullah, adalah “Dewaruci”. Cerita “Dewaruci”, sesungguhnya
telah ada sebelum zaman para wali, lakon Dewaruci diciptakan oleh
Empu Siwa Murti.148 Keterangan Abdullah tentang lakon Dewaruci
yang disajikan oleh Sunan Kalijaga berkaitan dengan sejarah waktu
dan penciptanya tersebut, menyiratkan bahwa cerita apa pun bisa
ditafsir dan disajikan dengan pemikiran dalang untuk kepentingan apa
saja. Maknanya, jika dalang atau penyajinya itu mempunyai pola pikir
bagi umat atau agama, maka cerita wayang tersebut akan ditafsirkan
sedemikian rupa sesuai dengan agama dan disajikan untuk
kepentingan dakwah.
148Lihat, Adikara, Unio Mistica Bima: Analisis Bimasuci Jasadipura I (Bandung, ITB, 1984), 12.
335
Cerita baku Dewaruci sebagai bahan yang digarap dalam
pertunjukan wayang kulit purwa, diterangkan oleh Zarkasi Effendi,149
di antaranya adalah berisi ajaran kalimat laailaaha illallaah (iman
kepada Allah), dan pentingnya menegakkan shalat, demikian juga
Petruk dadi Ratu, dan Mustakaweni Maling. Keterangan Zarkasi
Effendi tersebut memberikan petunjuk bahwa cerita apapun sebagai
bahan yang digarap dalam pertunjukan wayang kulit purwa itu bisa
digarap sedemikian rupa berisi ajaran-ajaran agama Islam.
Bagi mereka yang mengambil wayang sebagai media dakwah,
yakni untuk mengajak manusia taat kepada Allah dengan bijaksana
dan bertahap sesuai dengan keadaannya. Dengan kata lain, bahwa taat
kepada Allah memiliki makna melakukan atau mengamalkan ajaran
agama Islam sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Dalam kitab suci
umat Islam dan Hadits tersebut, banyak mengandung pokok-pokok
ajaran agama Islam. Di antaranya berisi ajaran pentingnya taat kepada
orang tua, pentingnya haji, zakat, infak, shadaqah, ibadah sosial dan
sebagainya. Sebagaimana diterangkan Abu Yahya bin Syaraf
Annawawy dalam Riyadlushshalihin yang dialihbahasakan oleh Salim
Bahreisy,150 menyebutkan ajaran-ajaran agama Islam sampai dengan
400.
149Zarkasi Effendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan (Yogyakarta: PT. Al-Ma’arif, 1978), 78. 150Abu Yahya bin Syaraf Annawawy, Riyadlushshalihin, dialihbahasakan oleh Salim Bahreisy, jilid I (ND:7-12) dan jilid II (ND:5-17).
336
Pokok ajaran agama Islam dari pendapat tersebut ada yang
menyebutkan 400, ada pula yang menyebut 500, yang berarti bahwa
setiap orang membagi ajaran agama Islam itu dalam jumlah yang
berbeda. Pokok ajaran agama Islam itu seberapa pun banyaknya,
menurut Chotibul Umam hanya ada tiga saja, yakni ibadah atau
ubudiyah, dakwah atau mu’amlah, dan khidmad. Ibadah adalah
mengabdi kepada Allah, dakwah mengajak manusia taat kepada Allah,
khidmat adalah pelayanan dengan barang.151
Dalam berdakwah dianjurkan secara bijaksana, maksudnya
sesuai dengan keadaan manusia yang menjadi sasaran dakwah. Kalau
manusia yang menjadi sasaran dakwah itu masih suka dengan wayang,
sebaiknya dakwah yang dilakukan dengan memakai wayang. Kalau
masih suka dengan gamelan dakwahnya dengan gamelan, dan
sebagainya. Tetapi dakwah sesuai dengan keadaannya itu bukan
berarti statis, melainkan terus bergerak tahap demi tahap.
Menurut Frans Magniz Suseno,152 ajaran kebaikan agama
apakah agama Hindu, Budha, Kristen, termasuk Islam, senantiasa
mengandung tiga nilai. Pertama, hubungan antara manusia dalam
posisinya sebagai hamba Tuhan atau hablumminallah. Kedua,
hubungan antara manusia dengan manusia dalam posisinya sebagai
mahluk sosial atau hablumminannaas, dan ketiga, hubungan manusia
151Chotibul Umam, 1995, Fiqih (Kudus: Menara Kudus, 1995), 12. 152Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakasanaan Hidup Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 56.
337
dengan alam dalam posisinya sebagai pengelola alam atau
hablumminal ‘alm. Ajaran dakwah, ibadah, dan hidmad itu seperti
telah diterangkan di atas adalah ajaran kebaikan agama, oleh karena
itu sudah barang tentu akan bisa dilihat ada nilai hablumminallaah,
hablumminannaas, dan hablum minal ‘alam di dalamnya.
Demikian pula perilaku manusia, menurut Pawlow,153 dalam
bertindak senantiasa didorong oleh berbagai hal, nafsu biologis,
ekonomi, mempertahankan diri, kreatif, dan agama. Manusia itu
terentang mulai dari keburukan dan kebaikan. Karena demikian, maka
perilaku manusia itu sangat dimungkinkan sekali didorong oleh
berbagai hal seperti dalam pandangan Pawlow tersebut. Perilaku apa
pun termasuk agama, menurut Sumadi Suryabroto, adalah karena
adanya dorongan intrinsik dan ekstrinsik. Dorongan intrinsik adalah
dorongan dari dalam atau kehendak sendiri, sedang ekstrinsik, adalah
dorongan dari luar atau kehendak orang lain, sistem, dan lingkungan.
Melihat adanya perilaku manusia yang demikian itu, yakni
berkaitan dengan kondisi sosial dan psikologis sasaran dakwah, maka
dakwah yang dilakukan seharusnya dengan hikmah atau bijaksana.
Bijaksana menurut pendapat Abu Farhana,154 adalah bertahap, mulai
dari ta’aruf, targhib, tasykil, dan kemudian dakwah. Ta’aruf artinya
perkenalan, maksudnya dakwah dengan melakukan mengenali dahulu
153Lihat, Gazali, Ilmu Jiwa (Jakarta: Ganaco, 1985), 84-85. 154Abu Farhana, Muddzakarah Dakwah Usaha Rasulullah (Bandung: Pustaka Rahmat Al-Falaqi, 2004), 31.
338
keadaan masyarakat dan melihat keadaan yang ada atau dengan
menyesuaikan diri dengan keadaan manusia sebagai sasaran dakwah
yang ada. Misalnya karena yang menjadi sasaran keadaannya masih
suka wayang dalam bentuk gambar patung, maka tidak masalah
mencoba diri dakwah dengan wayang gambar patung, karena memang
masih senang gambar patung. Kedua, targhib artinya memberi
semangat, maksudnya dakwah dengan syariat, seperti misalnya
dakwah melalui wayang, tetapi pesindennya mengenakan jilbab,
menggunakan rebana, menyampaikan isi ajaran agama Islam, dan
sebagainya. Ketiga, tasykil artinya membentuk, maksudnya mengajak
manusia sebagai sasaran dakwah secara langsung untuk mengamalkan
ajaran agama. Keempat, dakwah secara langsung, artinya mengajak
kepada sasaran dakwah yakni dakwah fii sabiilillah.
Segala sesuatu termasuk wayang, sebagai media dakwah
filosofinya adalah digunakan untuk dakwah bilhikmah dengan cara
bertahap. Segala sesuatu yang digunakan untuk dakwah bilhikmah
dengan cara bertahap, maka akan bisa mengantarkan umat sampai
pada moralitas agama yang sempurna. Hal ini karena umat itu adalah
manusia yang potensinya terentang mulai dari keburukan sampai
dengan kebaikan.
“Aku jadikan manusia sebaik-baik dari pada makhluk, kemudian aku jadikan serendah-rendah dari pada makhluk, bahkan
339
lebih rendah dari makhluk yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih” (At-Tiin).155
Sejauh manakah kesempurnaan moralitas umat bisa diarahkan
oleh wayang, dan sejauh tahap mana wayang bisa dilakukan. Kalau
hanya bisa dilakukan pada tahap ta’aruf, maka kesempurnaan
moralitas umat juga hanya sampai pada ta’aruf. Kalau bisa sampai
pada tahap targhib, maka kesempurnaan moralitas umat juga sampai
pada targhib, dan seterusnya. Dengan demikian, filosofi wayang
sebagai media dakwah bilhikmah seperti yang telah diterangkan, dapat
digunakan untuk kepentingan dakwah, maknanya wayang sebagai
personifikasi dunia manusia, digunakan untuk kepentingan agama,
yang berarti pula untuk menghendaki Tuhan.
Dikarenakan wayang tersebut digunakan untuk mengehendaki
Tuhan, maka wayang tetap akan lestari, bahkan lebih lestari daripada
jika wayang itu sendiri dilestarikan. Gambarannya seperti tongkat
Nabi Musa, ketika tongkat Nabi Musa hanya dikehendaki untuk
perkara dunia, maka hanya dapat untuk mengambil daun dan air untuk
ternaknya. Tetapi ketika dikehendaki untuk perkara agama, maka
dapat digunakan untuk membunuh musuh membelah lautan.
Konsep pemikiran agama seperti tersebut, juga sejalan dengan
konsep dalam cerita Kresna Boyong, ketika Pandawa dan Kurawa
155al-Qur’an, 95: 4-6. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 1076.
340
masing-masing ditawari suatu pilihan, apakah memilih pihak dari diri
Kresna yang hanya satu orang atau memilih menjadi Raja sedunia.
Pandawa memilih diri Kresna yang hanya satu orang. Sedangkan
pihak Kurawa memilih menjadi raja sedunia. Tetapi setelah sampai di
negaranya masing-masing, Kresna menjadi Wisnu yang bisa
menyelesaikan seluruh masalah negara, sedang di pihak Kurawa Raja
sedunia menjadi daun jati kering yang justru menjadi masalah negara.
Bersangkutan dengan konsep berpikir dalam cerita “Kresna Boyong”
tersebut, maknanya karena wayang sebagai media komunikasi tersebut
disajikan untuk menghendaki Allah, maka diperbolehkan. Hal ini
bermakna juga wayang akan tetap lestari.
Di pihak lain, para dalang yang menyajikan wayang seperti
Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Joko Hadi Wijoyo, Purba Asmoro,
Warseno Sleng, gaya dan coraknya adalah sama yakni cenderung
melayani penonton, dan bersifat hiburan. Cenderung melayani
penonton dan bersifat hiburan ini bisa dilihat dari beberapa hal.
Pertama, banyaknya pesan duniawi, kedua, banyaknya variasi hiburan
dalam berbagai adegan terutama limbukan dan gara-gara, ketiga,
banyaknya bentuk garap baik: sabet, catur, dan iringan, dan keempat,
banyaknya perkara sakral, magis, dan simbolis yang dihilangkan.156
156Lihat, Soetarno, “Dampak Perubahan Sistim Nilai terhadap Pertunjukan Wayang Kulit”, (Surakarta: Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, 2000), 111.
341
Berbeda dengan gaya dan corak para dalang-dalang tersebut di
atas, seperti Enthus Susmono lebih bersifat dakwah Islamiyah dengan
cara menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam al-Qur’an-Hadits baik
secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian,
kehadirannya banyak diterima oleh masyarakat luas. Sehingga ajaran
Islam yang disampaikan para dalang muslim dengan i’tikad
membangun umat dan agama akan berdampak positif, karena di
dalamnya memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi. Senada dengan
ungkapan Chotibul Umam,157 bahwa ada tiga pokok ajaran agama
Islam. Pertama, ibadah atau ‘ubudiyah yang mengandung nilai
filosofis hablumminallaah artinya hubungan antara manusia dengan
Allah, kedua, dakwah atau mua’malah: mengandung nilai filosofis
hablumminannaas artinya hubungan antara manusia dengan manusia,
dan ketiga, khidmat mengandung nilai filosofis hablumminal ‘alm
artinya hubungan manusia dengan alam.
157Chotibul Umam, 1995, Fiqih (Kudus: Menara Kudus, 1995), 12.
Top Related