BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB...
-
Upload
nguyenlien -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/7/D_902008001_BAB...
397
BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS
Kata “benteng” secara umum diartikan sebagai sebuah tempat
untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees)
digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk menggambarkan situasi
dilematis yang dihadapi Bali (pusat) periode 1995-2005, yaitu bagaimana
melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar.
Karenanya, Nordholt menggambarkan situasi dilematis Bali tersebut
sebagai “benteng terbuka” (open fortress) – bukan benteng yang tertutup
karena ketergantungan perekonomian Bali terhadap industri pariwisata
yang menuntut adanya kerterbukaan terhadap wisatawan dan arus
investasi. Benteng tersebut merupakan upaya pelestarian (perlindungan)
terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian.
Dalam konteks komunitas Bali Hindu di Balinuraga sebagai
komunitas pendatang dan minoritas etnik-agama di Lampung, benteng
pelestari identitasnya bukan merupakan benteng terbuka seperti pusat
(Bali), melainkan benteng tertutup yang dimanifestasikan dalam bentuk
Kampung Bali. Benteng tertutup diartikan sebagai tempat untuk
mempertahankan dan melestarikan kebudayaan asal (leluhur) atau identitas
kebalian mereka: Kebudayaan Bali atau Kebudayaan Bali Hindu.
Benteng Identitas Kebalian di Luar Bali
Sebenarnya apa yang melatarbelakangi komunitas Bali Nusa – dan
juga komunitas Bali Hindu di Lampung – membangun komunitasnya
secara eksklusif seperti sebuah benteng kebudayaan Bali (identitas
kebalian) di luar Bali? Ada dua alasan yang mendasar untuk menjawab
pertanyaan (seperti yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya). Pertama,
kuatnya ikatan sosial yang melekat (embedded) sampai ke level
individu260
. Sistem sosial yang menjadi ikatan sosial itu adalah identitas
260
Oliver E. Williamson (2000) menyebutkan bahwa tingkat kelembagaan yang
tertinggi (level pertama) berada pada lembaga yang memiliki keterlekatan yang
tinggi (embeddedness), seperti lembaga informal, kebiasaan-kebiasaan, tradisi,
norma dan agama, di mana kerap sulit untuk dikalkulasikan dan bersifat spontan.
Kelembagaan di tingkat ini dalam keterbentukannya berfrekuensi dalam rentang
seratus sampai seribu tahun.
398
mereka, dan identitas itu melekat dalam sistem sosial tersebut. Mereka
terikat pada: identitas warga yang memiliki status sosial tertentu dengan
simbol-simbol identitasnya; adat dan keagamaan Bali Hindu serta ikatan
kekerabatan di dalamnya; keanggotaan terhadap organisasi atau
perkumpulan tertentu seperti banjar dan seka; tanah kelahiran di Nusa
Penida (Bali); tata cara upacara dan upakara dalam sistem (ritual dan
upacara) adat, keagamaan, ekonomi dan politik yang memiliki ciri khas
Bali Nusa (secara umum menjadi ciri khas Bali); penggunaan bahasa ibu
(Bahasa Bali Nusa); dan sebagainya. Kuatnya ikatan sosial tersebut yang
menjadi penyebab mengapa masyarakat Bali (termasuk masyarakat Jawa)
cukup sulit untuk bertransmigrasi atau meninggalkan kampung
halamannya – transmigrasi dalam jumlah yang besar baru terjadi setelah
adanya letusan Gunung Agung tahun 1963, sesuatu yang tidak dapat
mereka hindari dan menjadi “pemaksa” mereka untuk bertransmigrasi.
Mereka khawatir identitas atau jati dirinya melekat pada tanah kelahiran
akan hilang setelah mereka bertransmigrasi. Kuatnya ikatan sosial ini yang
mendasari transmigran Bali Nusa membangun perkampungan Bali yang
khusus untuk Bali dari Nusa Penida lengkap dengan pranata-pranata sosial
yang menjadi simbol identitas kebalian mereka. Mereka tidak ingin
kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, dan ingin
“serasa dekat” dengan tanah kelahirannya: tetap menjadi Bali (identik)
setelah di luar Bali, Lampung. Kampung Bali ini menjadi benteng tertutup
yang menjadi “pertahanan terakhir” kebudayaan Bali di luar Bali: bahwa
identitas kebalian bisa tetap eksis setelah berada di luar Bali. Identitas
kebalian tidak dijadikan sebagai produk komersial bagi industri pariwisata,
seperti yang terjadi di beberapa daerah di Bali. Kegiatan adat dan
keagamaan – yang turut dimanifestasikan dalam produk-produk kesenian –
merupakan sebuah kewajiban atas sistem sosial yang mengikat tersebut.
Kedua, alasan pragmatis terkait keberlangsungan identitas
kebalian tersebut. Perkampungan Bali menjadi benteng kebudayaan Bali di
Lampung. Benteng ini – dan benteng lainnya yang tersebar di wilayah
Lampung – berada di tengah-tengah masyarakat Lampung yang mayoritas
beretnis Jawa dan beragama Islam: sama seperti Pulau Bali yang menjadi
wilayah dan basis masyarakat Hindu di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang beragama Islam. Bagaimana tidak. Anggota komunitasnya
399
adalah masyarakat Bali Hindu. Infrastruktur adat dan keagamaan Bali
Hindu ada di dalam perkampungan tersebut. Semua kegiatan adat dan
keagamaan dilangsungkan di dalamnya. Sangat tidak praktis dan ekonomis
jika mereka hidup terpencar-pencar – sebuah tindakan yang tidak mungkin
mereka lakukan karena adanya ikatan sosial tersebut. Hidup dalam sebuah
benteng yang tertutup memudahkan mereka melaksanakan kewajiban adat
dan agama yang jumlahnya banyak serta melibatkan massa yang besar.
Kegiatan adat dan agama tersebut dapat berlangsung dengan baik dan tidak
mengganggu atau menimbulkan ketersinggungan komunitas lain. Di dalam
benteng tertutup ini saja di wilayah Lampung masyarakat Lampung (Bali
Hindu) bisa memelihara babi secara leluasa. Dengan demikian, proses
pelestarian kebudayaan Bali dapat dilaksanakan dengan bebas di dalam
benteng tersebut.
Mendirikan benteng identitas dalam konteks melestarikan identitas
budaya pasti ada tujuannya, yaitu melindungi diri dari serangan musuh.
“Musuh” yang dimaksudkan adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan
yang lebih luas di mana benteng itu berada. Ini adalah sebuah tantangan
yang harus dihadapi oleh individu dan komunitas yang ingin melestarikan
identitasya di dalam sebuah benteng tertutup: mempertahankan dan
melestarikan identitas – pengajegan – tanpa harus mengorbankan
perekonomian anggota komunitas, dan tetap bisa mengikuti dan menjawab
tentangan zamannya. Tantangan terus berubah seiring dengan perubahan
waktu (masa, zaman), bersifat dinamis, karenanya mereka pun harus
dinamis untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, musuh
yang mengancam benteng tersebut adalah musuh yang terus berubah,
bukan musuh abadi. Terutama setelah menjadi benteng tertutup. Tantangan
ini yang harus dijawab dan diselesaikan dengan strategi kebudayaan versi
mereka sebagai upaya pelestarian identitas yang selaras dengan
pembangunan.
Tantangan dan Ancaman, Peluang dan Kekuatan
Upaya pelestarian identitas kebalian komunitas Bali Nusa di
Lampung dilatarbelakangi adanya tantangan dan ancaman. Posisi sebagai
pendatang dengan minoritas etnik-agama cum lingkungan dan kondisi
sosial baru yang kompleks dan heterogen menjadikan komunitas ini secara
400
alamiah (berdasarkan naluri, insting) melakukan upaya pelestarian
identitas. Dengan kata lain, komunitas ini membentengi identitasnya.
Adanya tantangan dan ancaman, baik yang terlihat dan tidak terlihat
sebagai akibat dari lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda
dengan tempat asal, justru memberikan gairah bagi komunitas ini untuk
terus melakukan upaya pelestarian identitas dengan beberapa penyesuaian
sebagai respon atas tantangan dan ancaman tersebut. Upaya pelestarian
identitas ini bersifat kesinambungan, bukan proses yang berhenti pada satu
tahap tertentu, dikarenakan tantangan dan ancaman terhadap kelestarian
identitas mereka terus berubah seiring dengan perubahan waktu. Di sisi
lain, lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat
asalnya memberikan peluang dan konsolidasi kekuatan berbasis etnisitas-
keagamaan yang lebih terbuka. Peluang ekonomi terbuka dengan luas, dan
komunitas ini memiliki kekuatan atau keunggulan di level individu dan
komunitas untuk memanfaat peluang ekonomi tersebut. Peluang ekonomi
terbuka lebar di bidang pertanian dan industrinya. Di level individu
komunitas, orang Bali, memiliki semangat kerja yang tinggi di bidang
pertanian, sedangkan di level komunitas mereka memiliki kesolidan
kelompok. Di samping itu, ada peluang sosial di dalam komunitas mereka
dengan kekuatan ekonominya untuk menjadikan sistem sosial mereka lebih
egaliter, dan melalui kekuatan ekonomi tersebut mereka bisa melakukan
upaya pelestarian identitas yang lebih kreatif, lain daripada yang lain
(dibandingkan secara umum yang ada di Bali), namun unsur kebalian itu
tetap ada dan kental.
Tantangan dan Ancaman terhadap Kelestarian Identitas
Kebalian261
Tantangan dan ancaman tidak selalu direspons sebagai sesuatu
yang negatif. Artinya, dalam konteks ini, tantangan dan ancaman bisa
menjadi sebuah peluang dan kekuatan bagi kelestarian identitas mereka.
Komunitas ini sudah terbiasa dalam menghadapi tantangan dan ancaman
261
Nama-nama yang digunakan sebagai contoh kasus dalam bagian ini bukan
merupakan nama sebenarnya. Tujuannya adalah untuk melindungi privasi para
informan. Meskipun demikian, kasus yang diutarakan tetap merupakan sebuah
fakta yang terjadi di lapangan.
401
sebagai konsekuensi lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda
dengan tempat asal mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan tetap eksisnya
komunitas ini dan identitas kebaliannya yang kental setelah empat
dasawarsa berada di Lampung. Berikut ini adalah beberapa tantangan dan
ancaman yang dihadapi oleh komunitas ini dalam dua dasawarsa terakhir:
Lingkungan Sosial dan Pergaulan yang Heterogen
Konsekuensi logis setelah masyarakat Bali Nusa bertransmigrasi
ke Lampung adalah mereka harus menghadapi lingkungan sosial dan
pergaulan yang baru. Sebuah lingkungan sosial dan pergaulan yang lebih
heterogen. Berbeda dengan lingkungan sosial mereka ketika masih berada
di Nusa Penida (dan Bali dalam wilayah yang lebih luas) dengan
lingkungan sosial yang cenderung lebih homogen, dan posisi etnis-
keagamaan sebagai mayoritas.
Heterogenitas masyarakat Lampung dapat dilihat dari komposisi
masyarakatnya yang terdiri dari berbagai macam etnik dan kepercayaan.
Khusus di Kecamatan Way Panji dan sekitarnya (dalam Kabupaten
Lampung Selatan), terdapat beberapa kelompok etnik, diantaranya: Jawa,
Lampung, Sunda, Padang, Batak, Melayu, dan Tionghua. Interaksi dengan
lingkungan sosial yang lebih heterogen terjadi ketika mereka berada di luar
lingkungan Desa Balinuraga, misalnya di Pasar Kecamatan Sidomulyo262
.
Lingkungan sosial yang lebih heterogen, termasuk di dalamnya
pergaulan atau interaksi sosial yang lebih heterogen, memberikan efek
positif dan negatif terhadap kelestarian identitas mereka. Efek positifnya,
seperti yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang heterogen (pluralis),
adalah kebebasan bagi mereka untuk mengaktualisasikan identitasnya, baik
dalam bentuk ritual dan upacara adat dan keagamaan maupun penggunaan
dan pembangunan simbol-simbol identitas tersebut. Tidak kalah penting
adalah bagaimana mereka mereformasi sistem sosialnya (sebagai warisan
dan identitas mereka dari tanah leluhur) menjadi lebih egaliter. Efek
262
Meskipun sudah terjadi pemekaran Kecamatan Sidomulyo, Pasar Kecamatan
Sidomulyo masih digunakan sebagai pasar utama bagi kecamatan-kecamatan baru
hasil pemekaran Kecamatan Sidomulyo. Umumnya masyarakat Balinuraga dan
masyarakat desa lainnya menjadikan Pasar Kecamatan Sidomulyo sebagai tempat
berinteraksi ekonomi dan sosial.
402
negatifnya, yang dapat dikatakan sebagai ancaman (sekaligus peluang)
adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan sosial dan pergaulan sosial
yang heterogen tersebut. Misalnya (akan dibahas pada poin berikutnya)
seperti: urbanisasi, konsumerisme dan pragmatisme, perkawinan beda etnis
dan agama, praktek politik praktis yang merugikan, dan lain-lain. Garis
besar dari pengaruh lingkungan dan pergaulan yang heterogen yang
menjadi ancaman sekaligus peluang bagi komunitas ini adalah
modernisasi. Ini bukan berarti mereka anti-modernisasi atau anti-
perubahan. Mereka terbuka terhadap modernisasi dan perubahan. Mereka
pun menyadari modernisasi banyak mendatangkan manfaat terhadap
kegiatan ekonomi, adat dan keagamaan mereka, di mana dapat menunjang
eksistensi identitas mereka. Modernisasi dapat menjadi ancaman ketika
modernisasi tersebut dapat mengikis identitas kebalian mereka. Dengan
kata lain, modernisasi serta perubahan tersebut sudah kelewat batas, di
mana dimungkinkan menghancurkan fondasi-fondasi dasar ketradisonalan
identitas kebalian mereka. Intinya adalah bagaimana modernisasi dan
perubahan itu memberikan sebuah manfaat bagi keberlangsungan identitas
mereka.
Urbanisasi
Perkotaan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan muda
di Balinuraga, khususnya mereka yang sudah lahir dan besar di Lampung
serta pernah bersekolah di kota dan memiliki pergaulan yang luas.
Perkotaan dalam pengertian umum yang mereka gunakan adalah “keluar
kampung”. Perkotaan yang dijadikan tujuan urbanisasi terutama adalah
kota-kota yang ada di wilayah Lampung, khususnya Bandar Lampung
sebagai ibukota propinsi. Anak muda Balinuraga yang sudah menjadi
urban ini berpendapat bahwa pengalaman akan mereka dapatkan ketika
ada di kota, atau setelah berada di luar kampung. Umumnya anak muda ini
adalah mereka yang sudah mengeyam pendidikan tinggi (sarjana dan
diploma) di ibukota propinsi, kemudian menjadikan kota sebagai tujuan
untuk bekerja.
Urbanisasi didominasi anak muda Balinuraga lebih disebabkan
faktor pendidikan. Ketika sudah memasuki jenjang Sekolah Menengah
Umum (SMU), maka mau tidak mau, mereka harus melanjutkan
403
pendidikannya ke ibukota kabupaten (umumnya), dan ke ibukota propinsi
jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Melalui
pergaulan di lingkungan sekolah perkotaan, dengan komposisi pelajar yang
heterogen, mereka mendapatkan kesan udik (kampungan) jika mereka
tinggal di desa atau kampung, termasuk di dalamnya bertani. Kesan atau
stigma udik ini yang memotivasi mereka untuk berurbanisasi ke kota.
Mereka yang berhasil di kota memberikan motivasi tersendiri bagi anak
muda lain untuk mencari pengalaman di kota. Ada gengsi tersendiri bagi
anak muda yang bersekolah dan bekerja di kota: menjadi masyarakat urban
atau orang kota. Sektor pertanian bukan profesi yang menjanjikan dan
bergengsi (dicap sebagai pekerjaan informal), terutama mereka yang telah
berpendidikan tinggi dan terpengaruh oleh pola pikir masyarakat kota.
Meskipun beberapa di antara mereka menyadari bahwa penghasilan yang
mereka dapatkan dari bekerja di kota dan pengeluarannya, tentu tidak
sebanding jika mereka mau bekerja di sektor pertanian. Jika dilihat dari
penghasilan yang diperoleh dari sektor pertanian (dikurangi dengan
pengeluaran kebutuhan sehari-hari dan belanja modal pertanian)
dibandingkan dengan penghasilan anak muda (yang telah dikurangi
pengeluaran sehari-hari di perkotaan) yang bekerja di sektor formal dengan
upah sedikit dari UMR (Upah Minimum Regional), maka sebenarnya
penghasilan bersih yang didapatkan lebih menjanjikan jika mereka bekerja
di kampung, sektor pertanian.
Namun, keputusan sebagian anak muda untuk berurbanisasi tidak
dapat disalahkan. Ada alasan mendasar selain tingkat pendidikan yang
berhasil mereka capai dan gengsi bekerja di perkotaan. Pertama, jumlah
tanah pertanian di Balinuraga sudah bersifat stagnan, tidak ada lagi
penambahan tanah pertanian. Kedua, jumlah penduduk yang terus
bertambah, kontras dengan luas tanah pertanian yang sudah stagnan.
Ketiga, faktor yang lebih penting adalah masalah pembagian hak waris
tanah. Umumnya yang mendapatkan hak waris tanah pertanian terbesar
dari orang tua adalah anak laki-laki pertama, atau belakangan ini yang
terjadi, tidak harus anak laki-laki pertama, tapi anak laki-laki (umumnya
bungsu) yang ada kewajiban untuk menjaga orangtuanya di kampung.
Anak laki-laki tersebut mau bertani, entah terpaksa atau kesadaran sendiri.
Jika ada anak laki-laki yang sudah bekerja di kota, maka ia akan
404
menyerahkan pengelolaan tanah pertanian kepada saudara kandung laki-
lakinya yang lain, sekalian bertugas menjaga orangtuanya. Jika tidak ada
saudara kandung laki-laki atau saudara kandung laki-lakinya juga telah
bekerja di kota, maka lahan pertanian tersebut tetap dikelola oleh
orangtuanya (jika masih mampu), dikerjakan oleh orang lain, atau sebagian
dijual sebagai modal usaha mereka. Mereka yang tidak mendapatkan jatah
tanah warisan atau mendapatkan jatah warisan yang sedikit (karena
dipecah) ini yang kemudian mendorong atau memotivasi mereka untuk
berurbanisasi. Faktor positif dari sistem pembagian tanah ini adalah
kegiatan pertanian di Desa Balinuraga tetap eksis, karena ada regenerasi
dari orang tua ke anaknya, meskipun harus ada yang merelakan diri untuk
tidak bekerja di sektor pertanian, baik karena tidak tertarik dan gengsi,
maupun tidak mendapatkan warisan tanah pertanian yang mencukupi. Ada
pula kasus lain, di mana anak muda merantau atau bertansmigrasi ke
tempat lain yang tanahnya masih tersedia luas dan murah, serta kegiatan
ekonomi di daerah tersebut (sektor industri pertanian, perkebunan) sedang
berkembang pesat. Salah satunya di daerah perbatasan antara Lampung
Timur dengan Sumatera Selatan.
Komang Dodi salah satu pemuda Balinuraga saat ini bekerja di
Kota Bandar Jaya (kota perdagangan di Lampung Tengah) sebagai teknisi
mesin salah satu dealer resmi sepeda motor. Komang menyelesaikan
pendidikan SMU di ibukota Kabupaten Lampung Selatan dan menjadi
lulusan teknik mesin dari universitas negeri di Provinsi Lampung.
Posisinya sebagai sarjana memungkinkan Komang untuk bekerja di sektor
formal dan memutuskan untuk menginggalkan Balinuraga. Meskipun
orang tuanya memiliki tanah pertanian seluas dua hektar, Komang tidak
berminat untuk mengelola tanah pertanian tersebut. Ada perasaaan malu
dan gengsi jika seorang sarjana kembali ke kampung (Desa Balinuraga)
untuk bertani. Hal serupa juga dilakukan oleh saudara kandung Komang
yang bekerja di sektor formal di Bogor, Jawa Barat. Berbeda dengan
Komang, pemuda lainnya seperti Nyoman Surtha bekerja di sektor
pertanian dan sebagai pekerja seni di wilayah Tugu Mulya (Sumatera
Selatan, perbatasan dengan Lampung Timur). Menurut Nyoman yang
merupakan lulusan SMU, ketersediaan tanah di sana masih luas dengan
harga yang terjangkau dan kegiatan ekonomi lebih ramai. Di samping itu,
405
Nyoman yang tinggal di perkampungan Bali di Tugu Mulya bisa
mengembangkan bakat dan kemampuan seninya. Kemampuan Nyoman ini
memberikan penghasilan yang cukup besar di samping usaha pertaniannya.
Biasanya Nyoman menerima proyek atau pesanan untuk membuat bade
untuk upacara ngaben masyarakat Bali di sana, di mana rata-rata
masyarakat Bali di sana perekonomiannya sudah mapan. Untuk pembuatan
bade rata-rata menghabiskan biaya dari puluhan juta sampai ratusan juta
rupiah. Tergantung dari pihak pemesan. Pada umumnya anak-anak muda
di Balinuraga, khususnya lulusan SMU dan perguruan tinggi, memutuskan
bekerja di kota (keluar kampung) seperti yang dilakukan Komang dan
Nyoman. Tanah pertanian Komang di Balinuraga masih dikerjakan
separuh waktu oleh ayahnya yang masih bekerja sebagai seorang guru,
sedangkan tanah pertanian Nyoman diserahkan kepada orang lain untuk
menggarapnya.
Kasus urbanisasi yang terjadi di Balinuraga, sama seperti
perkampungan lain (Jawa dan Bali) yang setelah orang tuanya mampu
menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi di perkotaan, menyebabkan
perkampungan ini sepi di hari-hari biasa. Desa Balinuraga mulai ramai
ketika ada hari libur nasional (cuti bersama) – mereka yang di kota pulang
ke kampung – dan ketika ada hari raya besar keagamaan dan upacara-
upacara penting (khususnya upacara ngaben). Ikatan sosial yang masih
kuat, di mana identitas kebalian masih melekat pada mereka yang sudah
menjadi masyarakat urban, menyebabkan mereka tidak dapat melepaskan
diri dari keterikatan di kampungnya (Balinuraga). Tidak ada alasan bagi
mereka untuk tidak pulang kampung jika ada upacara besar dan penting
yang jumlahnya tidak sedikit. Karenanya, tidak mengherankan jika para
pengusaha memaklumi jika ada karyawannya yang merupakan Bali Hindu
kerap meminta izin untuk mengikuti kegiatan adat dan agama di
kampungnya.
Sisi positif dari urbanisasi ini adalah adanya transfer kekayaan
(uang tunai) dari mereka yang telah berurbanisasi. Sudah menjadi
kewajiban bagi mereka untuk membantu secara finansial keluarga dan
komunitas adat-keagamaannya, meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu
besar (kecuali yang mampu), atau paling minimal adalah bisa pulang ke
kampung beberapa hari untuk ngayah (menyumbang tenaga) saat
406
diselenggarakan upacara besar dan penting. Sumbangan tanah tersebut
biasanya digunakan untuk merenovasi Pura Keluarga dan Pura Kawitan
Warga sebagai prioritas utama, kemudian untuk membangun dan
merenovasi rumah keluarga mereka.
Konsumerisme dan Pragmatisme
Tidak pada tempatnya bagi penulis secara umum untuk
menyudutkan faham konsumerisme dan pragmatisme. Realitas yang terjadi
di sebagian besar masyarakat di Indonesia untuk saat ini memiliki
kecenderungan ke arah konsumerisme dan pragmatisme. Dalam kasus
masyarakat di Balinuraga sikap dan tindakan yang konsumerisme dan
pragmatisme dianggap menjadi tantangan dan ancaman dalam konteks
tertentu.
Konsumerisme dianggap sebagai ancaman karena perilaku yang
cenderung boros, membelanjakan pendapatan atau uang untuk barang-
barang yang bersifat sekunder (bukan sesuatu yang penting, mendesak, dan
menjadi kebutuhan). Contoh kasus sederhananya adalah kepemilikan dan
pengunaan telepon seluler. Membeli dan menggunakan telepon seluler
untuk saat ini, yang dimiliki hampir setiap anggota keluarga, tentu tidak
dapat disebut sebagai konsumerisme. Hal ini dikarenakan adanya
kebutuhan akan komunikasi dengan anggota keluarga dan relasi,
khususnya yang sudah bekerja di perkotaan dan yang ada di Nusa Penida
dan Bali. Seperti Bu Komang yang menggunakan telepon seluler untuk
berkomunikasi dengan keluarganya yang sebagian masih berada di Nusa
Penida dan ketiga anaknya yang sudah bekerja di luar kota. Membeli dan
menggunakan telepon seluler dikatakan sebagai tindakan yang boros
(konsumerisme) jika melebihi dari yang dibutuhkan secara fungsional dan
cenderung untuk gengsi dan status sosial semata. Misalnya, remaja seperti
Ketut Raka (dan beberapa teman-temannya) yang memiliki telepon seluler
lebih dari dua padahal statusnya belum bekerja dan belum memiliki relasi
bisnis. Biasanya untuk gengsi dan kencan. Kemudian, membeli telepon
seluler yang mahal dengan fitur dan teknologi baru, padahal jaringan yang
mendukung berfungsian fitur dan teknologinya belum ada. Di kalangan
anak muda Balinuraga, dan beberapa orang tua yang memiliki relasi bisnis
dan teman yang banyak, sudah lumrah jika memiliki dua buah telepon
407
seluler – seperti yang ditunjukkan pengusaha muda Nyoman Dunia. Secara
ekonomi mereka mampu membelinya. Namun, jika pola membeli telepon
seluler lebih dari yang dibutuhkan oleh generasi muda terus berlangsung,
maka lambat laun ini akan menjadi ancaman, karena mereka adalah
generasi penerus bagi kelestarian identitas kebalian leluhur mereka. Bisa
saja – menjadi kekhawatiran generasi tua – jika pola konsumerisme ini
terus berlanjut sampai mereka memasuki tahap dewasa, adalah mereka
lebih mementingkan membeli barang-barang yang tidak perlu daripada
menggunakannya untuk kepentingan adat dan keagamaan yang menjadi
identitas mereka. Dengan kata lain, untuk membeli barang-barang
sekunder mampu, tapi untuk memenuhi kebutuhan primer – untuk
kebutuhan upacara adat dan kegamaan – mereka tidak mampu. Atau
sebaliknya, menghabiskan dana yang besar (cenderung boros,
menghambur-hamburkan uang) untuk menyelenggarakan sebuah upacara
besar dan penting untuk sebuah status sosial dan gengsi, di mana dapat
berujung pada kecemburuan sosial.
Sama seperti konsumerisme, tindakan pragmatisme – kadang
diidentikan dengan modernisasi – tidak sepenuhnya menjadi ancaman. Di
satu sisi, tindakan pragmatis mereka perlukan untuk mengatasi
pemborosan uang dalam penyelenggaraan upacara penting dan besar, yaitu
dengan menjadikan tata cara upacara dan upakara lebih praktis dan
sederhana, tanpa menghilangkan esensi dari upacara tersebut. Pragmatisme
dapat dikatakan menjadi ancaman terhadap identitas mereka jika
pelaksanaanya kebablasan. Artinya, tindakan memeraktiskan dan
penyerhanaan dalam penyelenggaraan upacara telah menghilangkan esensi
dan makna dari upacara tersebut. Tradisi Bali Hindu masyarakat Bali Nusa
ini dikenal kolot. Pragmatisme adalah cara untuk mengatasi kekolotan
tersebut, karena konsekuensi logis dari kekolotan tersebut adalah prosedur
upacara yang berbelit-belit dan akhirnya akan menghabiskan dana dan
tenaga yang besar. Namun, menjadi permasalahan besar jika pemangkasan
prosedur tersebut dilakukan secara besar-besaran, hanya untuk tujuan
praktis dan ekonomis: bagian yang penting dihilangkan, tapi bagian yang
tidak penting yang harusnya bisa dihilangkan sebaliknya dipertahankan
karena bagian ini biasanya lebih praktis. Menurut mereka, jika
pragmatisme dilakukan secara berlebihan, maka: “Bali-nya akan hilang”.
408
Hal ini dapat dimaklumi karena di sisi yang lain, kekolotan (melalui
prosedur yang rumit dan bertele-tele) menjadi ciri khas dan identitas
mereka.
Perkawinan beda Etnik dan Agama
Kasus ini adalah kasus yang jarang terjadi, karena ada kebiasaan
untuk menikah dengan sesama Bali Hindu, lebih spesifik lagi, menikah
dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Perkawinan
atau pernikahan beda etnik dan agama sebenarnya tidak masalah, baik bagi
laki-laki maupun perempuan, asalkan mereka tidak berpindah agama
mengikuti istri atau suami, tapi sebaliknya istri atau suaminya mengikuti
keyakinan mereka. Permasalahannya adalah jika pernikahan tersebut
menyebabkan mereka meninggalkan keyakinan dan tradisi kebaliannya.
Dengan kata lain, “ikut suami” atau “ikut istri” (mengikuti keyakinan
suami atau istri). Identitas kebalian mereka akan hilang jika setelah
menikah mereka berpindah agama, yang berarti tidak lagi menjadi Hindu
dan Bali.
Memang kasus yang terjadi relatif kecil dan jarang terjadi, tapi
bagi mereka, ini adalah ancaman yang serius terhadap kelestarian identitas
kebalian mereka. Ini tetap menjadi kasus yang sensitif. Mereka yang “ikut
suami” atau “ikut istri”, baik langsung maupun tidak langsung, akan
terkucilkan dengan sendirinya. Mengapa demikian? Karena begitu mereka
tidak lagi menjadi Hindu, otomasi kewajiban adat mereka sebagai seorang
Bali dan Hindu akan hilang. Artinya, identitas kebalian itu telah pudar
seketika. Bagi mereka, ikut suami atau ikut istri dengan alasan cinta
apalagi untuk kepentingan politik dan karir adalah alasan yang tidak masuk
akal dan tidak dapat diterima. Diibaratkan sebagai orang yang murtad.
Bagi pihak keluarga, jika ada anggota keluarganya mengambil keputusan
tersebut, akan mendatangkan rasa malu, meskipun tidak mendapatkan
pengucilan secara khusus seperti mereka yang ikut suami atau ikut istri
tersebut. Sejauh ini permasalahan cinta dan jodoh dalam pernikahan beda
etnik dan agama cukup longgar. Tidak ada larang khusus untuk menjalin
hubungan asmara (pacaran) dengan etnik lain yang berbeda agama. Tapi,
syaratnya yang ketat ketika sampai ke jenjang pernikahan adalah calon
409
pengantin tetap mempertahankan identitas Bali Hindunya, tidak “ikut
suami” atau “ikut istri”.
Ni Putu Shanti dan I Made Santeri berasal dari dua identitas warga
yang berbeda. Shanti berasal dari Warga Pandé, sedangkan Santeri berasal
dari Warga Pasek. Meskipun tidak ada permasalahan yang mendasar,
karena tidak berpindah kepercayaan, pernikahan keduanya masih dianggap
kurang ideal. Ini dikarenakan antara Warga Pandé dan Pasek mempunyai
beberapa tata ritual dan upacara adat keagamaan yang berbeda. Pihak
perempuan, Ni Putu Shanti, harus menyesuaikan diri dengan tradisi
keluarga Santeri yang berasal dari Warga Pasek. Di sisi lain, Shanti dapat
dikatakan tidak lagi menjadi Warga Pandé karena sudah menjadi Warga
Pasek (mengikui warga suaminya). Pernikahan yang ideal dapat
ditunjukan dari pasangan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah. Keduanya
berasal dari satu identitas warga yang sama, yaitu Pandé. Karena itu,
keduanya bisa mengikuti tradisi yang sama, tanpa harus meninggalkan
tradisi leluhurnya, khususnya dari pihak perempuan. Permasalahan yang
pelik adalah pernikahan antara Ni Ketut Asti dengan Joko dan I Nyoman
Besar dengan Kusumawati. Baik Ni Ketut Asti maupun I Nyoman Besar
mengikuti kepercayaan pasangannya. Akibatnya, mereka kehilangan
identitas kebaliannya. Meskipun keduanya masih mengadakan silaturahmi,
namun secara adat dan kepercayaan, keduanya tidak lagi dianggap sebagai
Bali.
Politisasi (Massa) Umat untuk Kepentingan Politik Praktis dan
Politik Uang
Politisasi umat untuk kepentingan politik praktis dan politik uang
dari beberapa kalangan elit politik yang mengatasnamakan Bali Hindu
bekerja sama dengan elit politik non-Bali merupakan ancaman yang baru
muncul pasca jatuhnya Suharto dan mulai diberlakukannya pemilihan
langsung. Kompaknya komunitas Bali Hindu di Balinuraga dan
perkampungan Bali – massa pemilih lebih mudah untuk dikonsolidasi –
lainnya adalah sasaran empuk dari beberapa elit politik Bali dan non-Bali
untuk mendulang perolehan suara saat pemilihan langsung. Terutama saat
diselenggarakan upacara-upacara penting. Bagi beberapa elit yang
mengatasnamakan Bali Hindu (umat Hindu Dharma) kesempatan ini
410
digunakan untuk kepentingan politik praktis dirinya sendiri dan
golongannya, serta ada yang mencoba menjualnya kepada calon-calon
anggota legislatif atau pun kepala daerah.
Politisasi ini dianggap sebagai ancaman serius karena dianggap
menjual suara umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, jika ini terjadi, maka
dapat dikatakan bahwa identitas kebalian mereka dapat ditransaksikan oleh
segelintir elit politik, dan dapat merusak citra identitas kebalian. Para
tokoh adat dan agama tidak ingin kekompakkan umat ini dijadikan sebagai
komoditas politik yang bisa diperjualbelikan atau digunakan untuk
kepentingan politik praktis dan politik uang elit-elit tertentu, karena
dianggap merendahkan martabat (harga diri) umat. Dalam beberapa kasus
pemilihan legislatif dan kepala daerah, elit politik yang justru mendapat
kecaman justru berasal dari kalangan mereka sendiri. Mengapa? Karena
elit ini dan melaluinya massa bisa dikonsolidasi, baik untuk kepentingan
politik praktisnya sendiri maupun kepentingan politik elit lain. Seperti
yang dilakukan I Kadek Rasa, tokoh pemuda dari Banjar Pandéarga.
Sebagai tokoh pemuda dan salah satu elit desa dan banjar dapat dengan
mudah mengetahui waktu dan tempat yang tepat di mana massa (umat)
berkumpul saat diberlangsungkan upacara adat dan keagamaan. Menyadari
tindakan ini sebagai ancaman, umat dan para tokoh masyarakat (adat dan
agama) non-partisan lebih mengambil sikap netral. Artinya, mereka akan
memilih berdasarkan pilihan rasionalnya sendiri terhadap calon-calon yang
berkampanye dengan pertimbangan atau masukan dari para tokoh yang
non-partisan. Ini dikarenakan setiap calon yang berkampanye selalu
mengatakan bahwa mereka akan menjadi penyambung lidah komunitas
mereka sebagai umat (Hindu Dharma), dan selalu mendonasikan sejumlah
dana untuk kepentingan umat. Jadi, mereka tidak persoalkan slogan
kampanye mereka untuk kepentingan umat maupun jumlah donasi.
Terpenting adalah suara mereka sebagai perwakilan umat (etnis Bali
beragama Hindu Dharma) tidak dapat diperjualbelikan oleh segelintir elit.
Sekte atau Aliran Baru dalam Hindu Modern
Agama Hindu Dharma di Indonesia, sama seperti Nasrani
(Protestan dan Katholik), seiring dengan proses modernisasi atau
Hinduisasi yang condong berkiblat ke India sebagai sentral telah
411
memberikan sebuah ruang kosong untuk tumbuh dan berkembanganya
aliran-aliran baru (sekte-sekte baru) di mana salah satu karakteristiknya
(sebagai aliran non-mainstream) adalah eksklusif dan cenderung radikal
(fundamental). Ada dua aliran baru dalam perkembangan agama Hindu di
Indonesia yang dimulai di tahun 1980-an, yaitu Sri Sathya “Sai Baba” dan
“Hare Krishna”263
. Kedua sekte ini, Sai Baba dan Hare Krishna, kurang
lebih sama, hanya saja Hare Krishna jumlah anggotanya lebih kecil dan
lebih radikal daripada Sai Baba264
. Keeksklusifan kedua aliran ini,
cenderung radikal dan fundamental, menyebabkan kedua aliran ini
mendapatkan tentangan tidak hanya di Bali, dan uniknya, aliran ini juga
berkembang di kalangan umat Hindu Dharma di Lampung, dan dalam
kasus di Balinuraga, aliran ini – khususnya Hare Krishna – mendapatkan
tentangan yang keras dari masyarakat atau umat Hindu Dharma (Bali
Hindu).
Berkembangnya aliran Hare Krishna di Lampung pada kalangan
masyarakat Bali Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya (pernah) sampai
di Balinuraga, cukup mengejutkan dan unik bagi penulis. Aliran Hare
Krishna pernah berkembang di Balinuraga sekitar tahun 1990-an, sampai
akhirnya (tidak diketahui kapan persisnya) kelompok aliran ini akhirnya
meninggalkan Balinuraga. Pengikutnya tidak banyak, hanya beberapa
kepala keluarga saja. Para pengikut aliran ini hidupnya tertutup dan
eksklusif. Mereka tidak bergabung dengan berbagai upacara adat dan
keagamaan seperti yang biasanya berlaku dalam masyarakat Bali Hindu,
dan cenderung menutup diri. Menurut masyarakat, mereka adalah Hindu
yang lain, bukan seperti layaknya Hindu Bali, tapi lebih ke Hindu India.
Konsekuensinya, aliran ini dianggap oleh masyarakat sebagai aliran atau
263
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai gerakan kedua aliran ini di Bali,
khususnya gerakan “Sai Baba”, lihat: Howe, Leo. (2005), “Hinduism, Identity,
and Social Conflict: the Sai Baba Movement in Bali”, dalam Hinduism in Modern
Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests,
Edited by Martin Ramstedt, London & New York: RoutledgeCurzon & NIAS; dan
Howe, Leo. (2005: 91-110), „The New Religions of Bali: Agama Hindu dan Sri
Sathya Sai Baba (Chapter 5)‟, dalam The Changing World of Bali: Religion,
society and tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group. 264
Op.cit (Howe 2005)
412
sekte yang “sesat” karena menyimpang dari Hindu yang selama ini
diterapkan oleh masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada
umumnya. Aliran ini menurut mereka lebih mengutamakan kerohanian
Hindu modern (lebih ke-India-an), sangat berbeda dengan Hindu-nya Bali,
sehingga adat benar-benar terpisah dari keagamaan. Keberadaan aliran ini
dianggap sebagai ancaman, meskipun Hindu dan pengikutnya adalah Bali,
karena menurut masyarakat aliran ini tidak ada kebaliannya atau Bali
Hindunya. Jika aliran ini terus menyebar di kalangan masyarakat,
dikhawatirkan identitas kebalian mereka akan hilang, sebaliknya yang
muncul adalah ke-India-an. Oleh karena itu, aliran-aliran modern dalam
Hindu atau sekte-sekte dari India ini dianggap sebagai ancaman bagi
eksistensi identitas kebalian mereka setelah berada di Lampung. Menurut
mereka, antara Bali dan Hindu itu sulit untuk dipisahkan, keduanya
menyatu seperti dua sisi uang logam. Meskipun aliran Hare Krishna untuk
saat ini vakum berkembang di kalangan masyarakat Balinuraga, namun
berdasarkan informasi yang ada dari beberapa pemuda yang memahami
pergerakan organisasi-organisasi Hindu di Lampung, aliran ini mempunyai
basis di Bandar Lampung. Pengikutnya (mayoritas) adalah anak-anak
muda Bali Lampung yang sedang studi di Bandar Lampung. Aliran ini
memang eksklusif. Mereka hidup di sebuah asrama dengan aturan hidup
yang disiplin (seperti di biara-biara: bekerja dan berdoa), sembari ada
waktu yang disediakan untuk bersosialisasi.
Tanpa bermaksud menyudutkan aliran ini, namun bagi sebagian
besar masyarakat Balinuraga yang hidup dalam tradisi Hindu Bali, aliran
ini dianggap sebagai ancaman bagi identitas mereka lebih dikarenakan
tidak adanya unsur kebalian dalam aliran ini meskipun aliran ini berinduk
pada Hindu-nya India. Bagi kalangan yang konservatif (kolot) aliran ini
tentunya mendapatkan tentangan yang keras. Informasi dari masyarakat
dan sejumlah tokoh, masyarakat Balinuraga menolak keberadaan aliran ini
di Balinuraga. Mereka khawatir identitas kebalian akan hilang jika aliran
ini semakin berkembang luas dan mendapatkan banyak pengikut dari
generasi muda, baik yang sudah berkeluarga (keluarga muda) maupun
yang belum berkeluarga, dan ada kekhawatiran akan memecah-belah
persatuan umat di Balinuraga. Toh, akhirnya aliran ini mendapatkan
pengakuan sebagai salah satu sekte atau aliran dalam Hindu, dan sejauh
413
ini, sebagai sekte yang cukup radikal tidak melakukan tindakan kekerasan
dan penghinaan terbuka terhadap keyakinan lain. Peran PHDI dalam kasus
ini adalah tetap sebagai penengah dan penjaga kerukunan umat agar tidak
terjadi perpecahan. Menurut informasi yang diterima, aliran yang sejak
mulanya mengucilkan diri dan dikucilkan oleh masyarakat, akhirnya
secara sukarela pindah ke tempat lain dengan tetap membangun komunitas
yang eksklusif.
Arus Informasi dan Teknologi Informasi
Televisi dan telepon seluler adalah media dan teknologi informasi
yang hampir dimiliki oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Televisi
berwarna (dengan perangkat parabola) dan telepon seluler mulai dari
keluaran lama sampai baru bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat
Balinuraga. Hampir setiap keluarga dan anggota keluarga memilikinya
(televisi berwarna dan telepon seluler). Telepon seluler lebih umum
digunakan oleh masyarakat daripada jaringan telepon rumahan. Untuk
saluran televisi, sebagian menggunakan antena parobala, dan sebagian
yang lain menggunakan antena televisi biasa karena untuk saat ini hampir
semua saluran televisi swasta nasional sudah dapat diterima di Balinuraga
(seperti: MetroTV, ANTV, TV One, Global TV, RCTI, SCTV, Trans TV
dan Trans 7).
Hadirnya media informasi, televisi, tidak secara mutlak
menimbulkan ancaman yang serius. Walaubagaimana pun fungsi televisi
sebagai media informasi dan media hiburan memberikan manfaat bagi
mereka. Sebagai media informasi mereka dapat mengikuti perkembangan
politik yang terjadi di Jakarta secara up-to-date dengan adanya siaran
langsung. Kasus yang menarik, yang untuk beberapa saat merubah pola
menonton masyarakat, adalah siaran langsung sidang Pansus Century yang
dilangsungkan secara terus menerus dalam siaran langsung (live) di
beberapa televisi swasta265
. Dramatisasi politik yang dilakukan oleh
anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tersebut cukup menarik
265
Sidang Pansus Century mulai marak disiarkan di beberapa stasiun televisi
swasta dan menyita perhatian publik pada penghujung tahun 2009 (November-
Desember).
414
perhatian masyarakat, sehingga akhirnya mereka terangsang untuk
mengikutinya secara terus menerus layaknya sebuah sinetron bersambung.
Sebuah kesimpulan (berupa analisa politik) yang menarik dari sebagian
kalangan masyarakat yang mengikuti sidang Pansus Century terebut, yaitu
kebodohan para anggota legislatif pusat, seperti tidak memiliki pekerjaan
lain yang lebih penting, menghabiskan waktu dan uang untuk sebuah
sidang yang akhrinya tidak memberikan hasil apa-apa bagi rakyat. Sebagai
media hiburan, hadirnya televisi memberikan efek positif bagi mereka
sebagai sarana hiburan yang murah meriah dengan acara-acara box-office
dan sinetron-sinetron kejar tayang. Bagaimana tidak. Tidak ada hiburan di
desa, sebagai sarana hiburan untuk melepas kepenatan, kecuali organ
tunggal yang diselenggarakan ketika ada hajatan perkawinan (peminatnya
pun terbatas pada anak-anak muda, dan orang tua lebih memilih menonton
televisi sebagai hiburan). Ancaman yang bisa dianggap serius dari media
televisi adalah menonton sebuah siaran secara terus menerus (seperti
kecanduan). Misalnya, sinetron yang umumnya diminati kaum perempuan
dan ibu rumah tangga, serta film kartun (action) yang dimintai oleh anak-
anak. Seperti yang sudah banyak dikritisi oleh banyak kalangan, tayangan
sinetron di Indonesia umumnya tidak banyak mendidik penontonya
(pemirsa). Unsur masyarakat urban yang hedonis dan konsumerisme lebih
banyak ditonjolkan, seolah-olah mewakili realitas kebanyakan masyarakat
Indonesia – dalam bahasa gaulnya sinetron-sinetron tersebut lebih banyak
unsur lebay-nya (terlalu berlebih-lebihan, menghindari realitas atau
kenyataan sosial yang ada). Begitu juga halnya film kartun dan terkadang
siaran berita yang menonjolkan aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Efek
dari tayangan ini memang tidak muncul seketika. Namun, dalam beberapa
kasus kecil ada beberapa tindakan dari anak muda dan keluarga muda yang
terinspirasi oleh tanyangan sinetron. Misalnya, mode atau dandanan yang
lebih modis ketika sedang ada acara di pura (terlalu menarik untuk
menghadiri kegiatan religius) – tetap menggunakan busana adat, tapi lebih
modis – menggunakan panggilan “mami” dan “papi” sebagai pengganti
panggilan “ibu” dan “ayah / bapak”.
Penggunaan telepon seluler efeknya (mungkin) lebih terlihat
menonjol daripada efek tayangan televisi. Kasus sederhananya adalah
penggunaan telepon seluler ketika sedang berlangsung sebuah upacara
415
tertentu, atau “lupa” mematikan (turn-off atau silent) telepon seluler.
Umumnya ini dilakukan oleh anak muda yang lebih akrab yang telepon
seluler. Meskipun bukan merupakan ancaman yang serius untuk saat ini,
tapi tindakan menerima panggilan telepon atau telepon berbunyi ketika
upacara berlangsung, menyebabkan kekhusukan atau kereligiusan sebuah
upacara menjadi berkurang. Ada kesan kurang menghargai keluhuran dari
upacara tersebut. Jika tidak diantisipasi serius, bukan tidak mungkin,
kejadian seperti ini akan terus berlangsung dan akhirnya sikap tersebut
menyebabkan keacuhaan akan identitas kebalian mereka yang turut
termanifestasikan dalam penyelenggaraan upacara-upaacara dan ritual-
ritual adat dan keagamaan. Terkadang ada semacam pemberitahuan agar
telepon seluler dimatikan atau didiamkan sebelum upacara berlangsung
agar tidak menggangu jalannya upacara, namun kasus telepon seluler yang
berbunyi saat upacara tetap saja ada. Menariknya, nada panggilan telepon
seluler ada yang menggunakan Kidung Hindu, tapi sebaliknya ada yang
menggunakan lagu-lagu pop (dan beberapa lagu rock) dari dalam dan luar
negeri.
Peluang dan Keunggulan terhadap Kelestarian Identitas
Kebalian
Lingkungan baru dengan kondisi dan situasi alam dan sosial yang
berbeda dengan tempat asal menghadirkan berbagai peluang sekaligus
ancaman (seperti yang telah dipaparkan di atas). Setidaknya ada dua
peluang utama yang mereka manfaatkan dalam lingkungannya yang baru,
yaitu peluang ekonomi dan peluang sosial – peluang atau kesempatan
untuk memodifikasi atau penyesuaian sistem sosial mereka yang dianggap
kurang relevan (khususnya yang bersifat diskriminatif) terhadap
lingkungan yang baru. Keunggulan atau yang menjadi kekuatan mereka
dalam upaya melestarikan identitas kebalian, sebenarnya adalah sistem
sosial mereka sendiri. Sebuah sistem yang secara struktural dan fungsional
membentuk karakter anggota dan komunitas, baik untuk mengambil
peluang maupun sebagai pelestari identitas kebalian mereka.
416
Peluang Ekonomi untuk Kelestarian Identitas dan Pembangunan
Lingkungan yang baru – daerah transmigrasi di Lampung –
menawarkan peluang ekonomi yang besar dibandingkan tempat asal
mereka di Nusa Penida (Bali), yaitu peluang ekonomi di bidang pertanian.
Ketersediaan tanah sebagai modal utama di bidang pertanian masih luas
(tahun 1963 saat pertama kali mereka bertransmigrasi) dan murah, kontur
tanah datar dan subur, serta didukung oleh kebijakan pemerintah pusat
yang mendukung daerah transmigrasi di Lampung sebagai daerah
penghasil beras. Dengan kata lain, peluang dan kesempatan ekonomi
terbuka lebar di daerah transmigrasi bagi siapa saja yang mau bekerja
keras.
Jika melihat kondisi perekonomian mereka saat ini dan melihat
bagaimana perkembangan eksistensi identitas kebalian, maka menjadi jelas
bahwa peluang ekonomi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh
masyarakat Bali Nusa yang menjadi transmigran. Setelah lebih dari empat
dasawarsa mereka bertransmigrasi, komunitas ini berhasil membangun
sebuah desa dinas dan desa adat yang mayoritas anggotanya adalah
masyarakat Bali Nusa. Tidak mungkin mereka dapat membangun sebuah
komunitas Bali Hindu di level desa dan banjar jika mereka tidak berhasil
memanfaatkan peluang ekonomi tersebut. Sebuah komunitas adat dan
keagamaan yang lengkap dengan sistem sosial dan pranata-pranata
sosialnya. Hampir seluruhnya mereka bangun dan kembangkan
menggunakan tenaga dan dana sendiri. Dana itu sendiri tidak mungkin
datang tiba-tiba jika mereka tidak berhasil memanfaatkan peluang ekonomi
tersebut dengan baik. Untuk membangun infrastruktur adat dan keagamaan
seperti Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem),
Pura Kawitan Warga, Pura Keluarga, Bale Banjar, dan lain-lain,
membutuhkan biaya dan tenaga serta waktu yang tidak sedikit.
Pembangunan dilakukan secara kolektif dengan dana sendiri, tidak ada
bantuan dari pemerintah. Ini menunjukkan bahwa peluang ekonomi yang
berhasil dimanfaatkan dengan maksimal sangat menunjang eksistensi
kelestarian identitas kebalian mereka dan pembangunan – tidak hanya
pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan, tapi juga
pembangunan komunitas tersebut sebagai komunitas Bali Hindu.
417
Kelestarian atas eksistensi identitas kebalian tidak cukup pada lengkapnya
pembangunan infrastruktur-infrastruktur adat dan keagamaan tersebut, tapi
juga pada pembangunan non-fisik yang mencerminkan kebalian mereka.
Misalnya, pelaksanaan dan penyelenggaraan upacara dan ritual adat-
keagamaan dari yang bersifat harian sampai yang bersifat besar dan
penting. Semuanya membutuhkan biaya. Pembangunan komunitas yang
bersifat non-fisik ini membutuhkan biaya yang bersifat berkesinambungan,
dari biaya yang relatif kecil untuk upacara yang bersifat harian dan
berkala, sampai biaya yang relatif besar untuk upacara besar dan penting.
Tanpa pemanfaatan peluang ekonomi yang maksimal, pembangunan ini
tidak dapat berhasil seperti sekarang, di mana pembangunan itu sendiri
merupakan cerminan dari kelestarian atas eksistensi identitas kebalian
mereka.
Dalam perkembangannya, peluang ekonomi di bidang pertanian
selalu terbuka lebar. Artinya, ketika areal pertanian di Balinuraga sudah
mencapai taraf stagnan, peluang ekonomi pertanian di tempat lain masih
terbuka lebar. Peluang ekonomi yang kemudian dimanfaatkan oleh
sebagian masyarakat Balinuraga untuk melakukan ekspansi pertanian, dari
pertanian (padi) ke perkebunan tanaman keras. Mereka yang berhasil
memanfaatkan peluang ini akan semakin memantapkan perekonomian
keluarganya. Ini bukan berarti peluang ekonomi pertanian di Balinuraga
sudah stagnan. Jumlah areal pertanian sudah mencapai taraf stagnan
setelah tiga dasawarsa, tapi peluang ekonomi pertanian dari mereka yang
memiliki lahan selalu terbuka lebar. Misalnya, menanam palawija di saat
musim kemarau, memanfaatkan teknologi baru di bidang pertanian, mulai
dari penggunaan mesin sampai pengunaan bibit-bibit varietas baru. Begitu
pula peluang lain di luar sektor pertanian yang banyak dimanfaatkan oleh
generasi muda di Balinuraga, yaitu dengan bekerja di sektor formal dan
informal di perkotaan. Sumbangan terbesar dari kalangan ini terkait
dengan kelestarian identitas kebalian adalah transfer dana untuk
menunjang segala aktivitas adat dan keagamaan yang menjadi identitas
kebalian mereka (seperti donasi untuk kas Pura), dan jika keadaan dan
waktu memungkinkan, mereka menyumbangkan tenaga atau ngayah jika
ada penyelenggaraan upacara besar dan penting.
418
Sebagai perbandingan, sampai saat ini peluang ekonomi di
wilayah Lampung lebih besar daripada di Nusa Penida, Bali, tanah leluhur
mereka. Dapat dikatakan keadaan ekonomi kerabat dan saudara mereka di
Nusa Penida tidak ada perkembangan yang signifikan, karena kondisi alam
di sana yang memang tidak memungkinkan bertumbuhnya perekonomian
secara signifikan. Dalam kasus di Balinuraga, mereka yang berhasil adalah
mereka yang berhasil memanfaatkan peluang ekonomi ini dengan
maksimal. Kemudian, mereka yang berhasil ikut mendonasikan sejumlah
dana dan tenaga (pulang kampung) untuk berbagai kegiatan adat dan
keagamaan di Nusa Penida. Ini merupakan sebuah kewajiban bagi mereka,
dan ini juga ditujukan sebagai kelestarian eksistensi identitas mereka
sebagai Bali Nusa. Melepas kewajiban dan tanggungjawab adat dan
keagamaan di Nusa Penida sama saja dengan melepas identitas kebalian
mereka sebagai Bali Nusa. Seperti kata pepatah: “tidak ada makan siang
gratis”. Begitu pula dalam hal pelestarian identitas. Tidak ada yang gratis,
semua butuh biaya. Dan biaya tersebut, hanya bisa dipenuhi dengan
semaksimal mungkin memanfaatkan peluang ekonomi yang ada, jika
perlu, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga,
adalah bertransmigrasi atau merantau.
Peluang Sosial: Revisi Sistem Sosial
Lingkungan sosial yang baru memberikan peluang sosial bagi
komunitas Bali Hindu di Balinuraga untuk melakukan modifikasi sistem
sosial. Faktor utama yang menyebabkan peluang ini muncul adalah lokasi
lingkungan sosial yang jauh dari lingkungan sosial tempat asal mereka
(pusat). Aktor atau agen perubahannya adalah masyarakat itu sendiri yang
diwakili oleh patronnya. Ini adalah bagian dari adaptasi komunitas ini
terhadap relevansi sistem tradisional mereka atas lingkungan yang baru.
Modifikasi ini bukan berarti menghilangkan sistem sosial yang menjadi
warisan leluhur dan identitas mereka, tapi melakukan beberapa revisi
kontekstual berdasarkan lingkungan yang baru. Garis besarnya yang paling
mencolok adalah bagaimana menjadikan sistem sosial yang tradisional ini
menjadi lebih egaliter, tidak diskriminatif. Contoh sederhananya (seperti
yang dipaparkan pada bab sebelumnya) adalah menggunakan sistem warga
daripada sistem wangsa warisan masa kerajaan dan kolonial yang
419
cenderung manipulatif atas sistem varna (warna). Sistem warga ini dinilai
lebih egaliter, tidak diskriminatif, dan tidak ada perlakukan istimewa
terhadap kalangan atau kelompok tertentu berdasarkan garis keturunan
leluhurnya. Kini, status sosial lebih condong ditentukan oleh kemampuan
si individu (kepengetahuan dan keterampilannya dalam bidang tertentu,
terutama di bidang adat istiadat dan keagamaan) dan tingkat ekonominya.
Dengan kata lain, sistem sosial tersebut mulai bergeser dari sistem sosial
tradisioanal – yang cenderung menekankan patron-klien (feodal), hak-hak
istimewa berbadasarkan garis keturunan (seperti wangsa, kasta) – menjadi
sistem sosial yang lebih modern, di mana kedudukan atau status sosial
individu lebih ditentukan oleh faktor profesionalitas dan kapabilitas, selain
faktor kapitalisme (kekayaan, kepemilikan modal)sebagai pengaruh
lingkungan baru yang masyarakatnya (Lampung) mulai masuk ke dalam
masyarakat industri (pertanian). Jadi, modifikasi atau revisi sistem sosial
tradisional tersebut terbatas pada unsur-unsur yang dianggap tidak relevan
dengan lingkungan sosial mereka yang baru, bukan sebuah revolusi radikal
atas sistem sosial tradisional tersebut, karena itu adalah identitas mereka.
Realitas ini menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat – dalam
kasus ini sistem sosial yang masih tradisional – tidak bersifat absolut,
kaku, atau ajeg. Revisi dimungkinkan terjadi, dan dilakukan oleh individu
atau komunitas yang secara struktural dan fungsional berada di dalam
sistem tersebut karena itu adalah identitasnya, atas unsur-unsur yang
dianggap sudah tidak relevan lagi di lingkungan baru yang jauh dari
tempat asal sistem tersebut. Kemudian, unsur yang direvisikan tersebut
adalah cenderung pada unsur-unsur yang bersifat feodal dan diskriminatif.
Dapat dikatakan, sistem sosial yang tradisional ini sedang berada di masa
antara atau peralihan ke sebuah sistem sosial yang lebih modern – dalam
kasus ini sebuah sistem yang lebih rasional dan manusiawi. Perubahan ini
bersifat kontinuitas (berkelanjutan) sesuai dengan perkembangan waktu,
tantangan, dan perubahan sosial yang lebih besar. Jadi, identitas kebalian
di luar Bali tidak bisa dinilai atau dijadikan (harus) sama persis seperti di
Bali, karena konteksnya berbeda. Garis besarnya tetap sama, namun ada
beberapa unsur yang mengalami revisi sebagai bagian dari proses
penyesuaian atas lingkungan yang baru. Perubahan secara radikal,
mungkin (untuk saat ini) tidak terjadi, mengingat akibat dari perubahan
420
secara radikal atas sistem sosial yang tradisional tersebut mengakibatkan
hilangnya identitas kebalian itu sendiri. Dengan kata lain, revisi tersebut
dilakukan atas dasar koridor dan ruang kosong yang sebenarnya telah
disediakan oleh sistem itu sendiri sebagai akibat dari adanya kontradiksi-
kontradiksi unsur-unsur di dalam sistem tersebut: ada konsep yang
menjunjung tinggi perubahan / penyesuaian, keegaliterian, dan kemanusian
(seperti konsep kala dan patra, Tri Hita Karana, menyama braya
(menyame braye), dan lain-lain), tapi di sisi lain, ada konsep yang
cenderung diskriminatif seperti konsep wangsa (kasta) yang cenderung
manipulatif.
Sistem Sosial Masyarakat Bali sebagai Sebuah Keunggulan
Keberadaan dan eksistensi identitas kebalian di komunitas Bali
Hindu di Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung tidak
dapat dilepaskan dari eksistensi sistem sosial yang berlaku dalam
masyarakat Bali. Sebuah sistem sosial yang kompleks, di mana di
dalamnya terdapat (sub-) sistem-sistem lain yang saling berkaitan satu
dengan yang lain, seperti sistem adat, sistem keagamaan, sistem
kekerabatan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Setiap (sub-)
sistem-sistem tersebut terwadahi oleh berbagai organisasi, perkumpulan
atau kelompok tradisional yang disebut seka (di level yang lebih kecil dan
spesifik), banjar, dan desa adat. Kompleksnya sistem tersebut terkadang
terjadi tumpang tindih secara teknis dan fungsional antara satu seka dengan
seka yang lain, dan bagi mereka itu bukan sebuah masalah atau biasa saja.
Sistem sosial ini bersifat mengikat setiap anggotanya. Kuatnya
ikatan ini pun terwarisi sampai generasi berikutnya (pasca transmigran
pertama). Sistem sosial ini sudah melembaga. Sistem sosial ini mengikat
individu-individu (anggota komunitas) ke dalam berbagai kesatuan atau
kelompok bercorak tradisional di mana setiap kesatuan atau kelompok ini
memiliki peran atau fungsi yang hampir sama, yaitu sebagai lembaga adat
dan keagamaan. Sistem sosial ini sudah terstruktur, dan menstruktur setiap
anggotanya. Inilah yang menjadi keunggulan komunitas Bali Hindu yang
ada di Lampung pada umumnya, dan dalam kasus ini komunitas Bali
Hindu di Balinuraga, sehingga menjadikan komunitas ini bisa secara
berkesinambungan melestarikan dan mengaktualisasikan identitasnya
421
setelah berada di luar Bali. Kompleksnya sistem ini, yang tidak terbatas
pada adat dan keagamaan, tapi juga ke bidang ekonomi, politik, kesenian,
dan sebagainya, menyebabkan komunitas ini bisa melakukan proses
pembangunan fisik dan non-fisik untuk kepentingan komunitasnya.
Model kepemimpinan sampai pengorganisasian lembaga-lembaga
(semi) tradisional semua sudah tersedia dan terstruktur dalam sistem sosial
ini. Misalnya, siapa yang layak menjadi pemimpin (seperti pemimpin adat,
agama, seka, banjar, desa adat) dan bagaimana pemilihannya, siapa yang
menjadi pembantunya, apa tugasnya (hak dan kewajiban), prosedur-
prosedur apa yang harus dilakukan untuk upacara dan ritual tertentu, dan
lain-lain. Dalam kasus yang sederhana pun, misalnya penentuan hari baik
untuk melakukan kegiatan tertentu, semuanya sudah ada dan tersedia
dalam sistem ini, dan ini tetap diadaptasi oleh mereka karena ini sudah
menjadi bagian dari dalam diri mereka seperti sistem itu sendiri. Untuk
membangun sebuah rumah atau pun pura, semua memiliki prosedur yang
sudah tersedia dalam sistem ini. Mereka tidak bisa membangunnya tanpa
mempertimbangkan dan menerapkan berbagai prosedur tersebut. Begitu
pula dalam hal prosedur tata upakara (penyajian bantenan atau sesajen),
semua memiliki prosedur, dan setiap prosedur memiliki makna serta ada
semacam sanksi jika melanggar prosedur-prosedur tersebut.
Sistem sosial ini menjadikan kehidupan mereka lebih tertata rapi
secara organisasional, meskipun masih berada di masa peralihan dari
sistem sosial yang tradisional ke modern. Apa yang harus dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan sudah ditentukan dalam sistem sosial ini.
Jika sistem ini tidak terlembaga sampai ke level individu, dan sistem
tersebut akhirnya menjadi identitas individu tersebut, maka sangat sulit
menciptakan tatanan sosial seperti ini. Ini yang menyebabkan mengapa
masyarakat Bali Nusa, meskipun tidak mendapatkan sponsor dari
pemerintah, mereka bisa membangun komunitasnya dengan mandiri.
Sistem yang telah terstruktur pada setiap anggota komunitasnya
menyebabkan mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk
membangun sebuah komunitas Bali Hindu setelah berada di Lampung.
Sebuah kesadaran yang bersumber dari alam bawah sadar mereka untuk
melakukan tindakan tersebut. Tanpa harus diberitahu atau pun
diperintahkan, mereka sudah tahu secara otomatis, bahwa ketika mereka
422
sudah berada di Lampung mereka harus membangun Pura Kahyangan Tiga
dan Rong Telu di level keluarga (meskipun masih sangat sederhana di
masa awal transmigrasi). Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur
adat dan keagamaan lainnya, termasuk pemimpin yang menjadi patron
bagi anggota komunitas. Dengan kata lain, sistem sosial dalam masyarakat
Bali yang sudah melembaga ini memiliki sebuah mekanisme kerja yang
otomatis, seperti sebuah mesin. Mekanisme ini yang kemudian
mengerakkan sumber daya yang ada (anggota komunitas) untuk menata
komunitasnya berdasarkan tatatan yang sudah tersedia di dalam sistem
tersebut. Kerja nyata dari mesin sosial ini (sistem sosial masyarakat Bali)
dapat dilihat saat ini dari eksistensi identitas kebalian mereka setelah
berada di luar Bali. Jika mesin sosial ini tidak bekerja, tentu berbagai
komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, termasuk di Balinuraga,
sudah hancur – dalam arti kebaliannya hilang karena membaur dengan
komunitas lain, seperti yang terjadi dengan komunitas Jawa – dan tidak
bisa membangun sebuah perkampungan Bali yang lengkap dengan
institusi-institusi adat-keagamaan dengan berbagai macam pranata dan
infrastruktur fisik dan non-fisik sebagai penunjang keberlangsungan sistem
sosial tersebut. Ini yang menyebabkan mengapa komunitas Bali yang di
Bali tersebar ke dalam berbagai desa adat, dan mungkin lebih nyata terlihat
setelah mereka berada di luar Bali (seperti kasus Balinuraga), dapat disebut
sebagai sebuah desa atau komunitas yang otonom, seperti sebuah negara.
Ini adalah keunggulan dan kekuatan mereka ketika sudah berada di luar
tempat asalnya dan berada di dalam sebuah lingkungan baru yang
heterogen.
Ketekunan dan Kerja Keras
Karakteristik umum dari masyarakat Bali di Balinuraga, yang
menjadi keunggulan atau kekuatan mereka, adalah ketekunan dan kerja
keras. Karena ini adalah karakteristik umum, berarti ada beberapa di antara
mereka yang tidak memiliki ketekunan dan kerja keras seperti yang
lainnya. Di samping ada beberapa karakteristik umum lainnya yang kurang
baik seperti miliki jiwa militan (punya keberanian untuk bertarung atau
bentrok fisik, terutama jika dilakukan secara berkelompok), dan gemar
berjudi (meskipun tidak harus menggunakan uang, misalnya hanya
423
bermain kartu gaplek, remi atau ceki). Karakteristik umum lainnya yang
menjadi ciri khas masyarakat Bali di Bali, termasuk di Balinuraga adalah
bakat atau jiwa seni. Ini dapat dilihat dari berbagai macam karya seni yang
mereka hasilkan, termasuk dalam hal yang kecil adalah bagaimana mereka
berkreasi menghias pura keluarga ketika ada hari raya besar dan membuat
bantenan. Terlepas dari karakteristik lain yang bersifat umum, baik yang
bersifat baik maupun kurang baik, ketekunan dan kerja keras adalah
keunggulan atau kekuatan mereka sebagai modal untuk meningkatkan
perekonomiannya, di mana hasil dari kerja keras tersebut nantinya akan
digunakan untuk melestarikan identitas kebalian mereka yang sebenarnya
costly (membutuhkan biaya yang tidak sedikit, relatif mahal).
Gambar 64. Kartu Ceki
(Kartu Ceki ini mudah ditemukan di jalan. Biasanya dibuang begitu saja setelah
selesai bermain)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Kerja keras dan ketekunan petani Balinuraga dapat dilihat
bagaimana mereka menggarap tanah pertaniannya. Tanah seluas dua
hektar umumnya dikelola oleh keluarga inti, tidak menyewa jasa buruh
tani. Menurut mereka memiliki tanah seluas dua hektar belum layak
disebut memiliki tanah pertanian, karena masih bisa dikerjakan sendiri dan
hasilnya hanya mencukupi kebutuhan pokok serta upacara harian.
Fenomena kampung kosong dapat menjadi bukti kerja keras dan ketekunan
mereka. Jika memasuki musim tanam (dan tidak ada upacara penting),
Desa Balinuraga menjadi sepi, karena sebagian besar masyarakatnya yang
424
berprofesi sebagai petani bekerja di lahan pertanian. Awal musim tanam
ini ditandai dengan datangnya musim penghujan. Jika hujan pertama
datang – yang menandakan musim penghujan – para petani langsung
bergegas ke sawah untuk membajak tanah sebagai persiapan pembenihan
dan masa tanam. Hal ini harus segera dilakukan karena model persawahan
mereka adalah sawah tadah hujan, di mana selama musim kemarau lahan
pertaniannya tidak digunakan untuk menanam padi.
Ketekunan dan kerja keras petani Balinuraga masih didukung
dengan adanya organisasi atau perkumpulan tradisional yang bergerak ke
bidang ekonomi atau pertanian, yaitu seka tani (krama subak). Ketekunan
dan kerja keras ini dimanifestasikan dalam kerja berkelompok berdasarkan
komunitas banjarnya. Ini yang menonjol dari masyarakat Bali di
Balinuraga, dan masyarakat Bali lainnya di Lampung (secara umum).
Karenanya, tidak mengherankan jika petani Bali di Lampung dikenal
sebagai petani yang agresif dalam bekerja. Sampai akhirnya mereka
(petani Bali) beserta petani Jawa dengan kedudukan keduanya sebagai
pendatang berhasil menggeser peran dan perekonomian masyarakat lokal
(penduduk asli Lampung) di bidang pertanian.
Pelestarian Identitas
Cara yang umum digunakan oleh sebuah komunitas untuk
melestarikan identitasnya atau pun mempertahankan eksistensi
identitasnya dengan berbagai macam simbol-simbolnya adalah dengan
membentengi komunitasnya berdasarkan ikatan atau persamaan identitas
yang mempersatukan komunitas tersebut. Identitas tersebut tidak mungkin
lestari atau pun eksis jika tidak dilindungi layaknya sebuah benteng.
Dibuat seperti benteng atau membentengi diri dikarenakan adanya
ancaman dan pengaruh eksternal yang semakin menguat, di mana ada
kekhawatiran akan hilang atau terkikisnya identitas tersebut. Fenomena
umum yang terjadi di Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultur
dengan identitas yang beragam adalah benteng identitas semakin menguat
ketika ancaman eksternal (dirasakan, diprediksi) semakin menguat juga.
Dengan kata lain, bonding komunitas itu untuk melindungi atau sebagai
upaca pelestarian identitas akan semakin menguat seiring dengan
menguatnya ancaman dan pengaruh eksternal.
425
Dalam kasus masyarakat Bali di Balinuraga (yang juga terjadi di
perkampungan Bali lainnya di Lampung), sama seperti halnya masyarakat
Bali di Bali, mereka menghadapi sebuah dilema. Di satu sisi mereka ingin
mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka, sedangkan di
sisi yang lain, mereka harus tetap terbuka terhadap lingkungan luar sebagai
salah satu upaya mempertahnakan dan melestarikan identitas kebalian
mereka. Di Bali mereka harus berhadapan dengan pengaruh globalisasi,
yaitu dengan maraknya sektor industri pariwisata yang sebenarnya menjadi
sumber perekonomian makro di Bali. Keterbukaan terhadap sektor industri
pariwisata mutlak dibutuhkan demi keberlangsungan perekonomian Bali
yang (sampai saat ini) masih bertumpu di sektor pariwisata. Kontrasnya,
keterbukaan tersebut lambat-laun mulai mengikis kebalian mereka.
Solusinya adalah bagaimana menjadikan Bali sebagai sebuah benteng
untuk mempertahankan dan melestarikan kebalian mereka yang
sebenarnya adalah modal utama bagi sektor pariwisata, tapi tetap
menjadikan Bali sebagai sebuah benteng yang terbuka: Bali tetap menjadi
daerah yang terbuka bagi sektor industri pariwisata dan globalisasi sebagai
penopang perekonomian lokal, tanpa mengikis identitas kebalian yang
menjadi warisan leluhur masyarakat Bali sebagai akibat dari pengaruh
keterbukaan tersebut yang datang dari sektor industri pariwisata dan
industri pendukung lainnya. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Bali
di luar Bali dengan konteks yang berbeda, dalam kasus ini masyarakat Bali
di Balinuraga, mereka ingin mempertahankan dan melestarikan identitas
kebaliannya – konsekuensinya mereka harus membangun sebuah
komunitas yang eksklusif dalam sebuah benteng tertutup yang disebut
Kampung Bali – sekaligus terbuka dengan lingkungan sosial yang lebih
luas dan heterogen, di mana keberlangsungan perekonomian mereka – dan
juga identitas kebaliannya – bergantung pada sebuah interaksi dan relasi
sosial dan ekonomi dengan masyarakat yang heterogen. Posisi masyarakat
Bali di Lampung adalah minoritas, yang komunitas eksklusifnya tersebar
di berbagai wilayah di Lampung, di tengah lingkungan masyarakat
heterogen dengan mayoritas agama Islam. Di dalam komunitasnya sendiri,
mereka masih harus berhadapan dengan berbagai dinamika identitas yang
bersifat spesifik tapi sangat berarti bagi mereka sebagai sebuah status
sosial, yaitu identitas warga, atau lebih luas lagi, identitas mereka sebagai
426
golongan jaba – sebuah golongan yang menjadi mayoritas di Bali, tapi
memiliki status sosial yang dianggap bawah oleh sebagian kalangan.
Berikut ini adalah beberapa upaya pelestarian identitas yang
dilakukan komunitas Bali Hindu di Balinuraga – sebuah upaya yang
dilakukan berdasarkan konteks yang terjadi dalam komunitas tersebut dan
lingkungannya:
Adaptasi
Adaptasi – proses penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru –
merupakan salah satu strategi komunitas Bali Nusa untuk melestarikan
identitas dan eksistensi anggota komunitasnya. Proses adaptasi yang terkait
kebertahanan hidup sebenarnya terjadi pada transmigran pertama yang
datang pertama kali di tahun 1963. Proses adaptasi ini terkait dengan
kondisi alam yang baru dan sama sekali berbeda dengan kondisi alam di
Nusa Penida, dan kondisi perekonomian transmigran yang persediaan
uangnya sudah menipis (banyak dihabiskan selama perjalanan dari Nusa
Penida, Bali ke Lampung). Kondisi alam di Lampung saat itu masih
dipenuhi dengan hutan dan binatang liar khas Sumatera seperti gajah dan
harimau sumatera. Kondisi hutan tropis Sumatera ini masih diperparah
dengan serangan nyamuk malaria. Sebuah kondisi alam yang jauh berbeda
bila dibandingkan dengan Nusa Penida, di mana kondisi alamnya gersang,
tidak memiliki hutan tropis seperti Sumatera. Masalah kritis yang harus
dihadapi transmigran pertama waktu itu adalah kekurangan kebutuhan
pokok, khususnya sembako, sebagai akibat persediaan uang yang menipis
dan lahan pertanian masih dalam proses pembukaan. Cara yang mereka
tempuh untuk mengatasi perubahan kondisi alam ini dengan keterbatasan
ekonomi adalah (1) bekerja sebagai buruh tani di perkebunan penduduk
lokal untuk mendapatkan sejumlah kecil penghasilan yang dapat
digunakan membeli kebutuhan pokok – sekadar untuk bertahan hidup; (2)
mengkonsumsi kijung, sejenis umbi-umbian beracun, harus direndam
selama beberapa hari agar bisa dikonsumsi sebagai karbohidrat; (3)
mengonsumsi daging babi celeng (babi hutan) untuk memenuhi kebutuhan
protein, di mana celeng ini menjadi hama bagi perkebunan penduduk, dan
karena mayoritas masyarakat adalah muslim – tidak mengonsumsi daging
celeng – maka ketersediaan daging celeng sebagai sumber protein
427
melimpah. Dalam kasus ini, transmigran menjadi penolong masyarakat
setempat yang terganggu dengan populasi babi hutan yang waktu itu cukup
mengganggu.
Adaptasi lain yang harus mereka lakukan terkait dengan kondisi
alam yang berbeda adalah masalah pengelolaan tanah pertanian. Ada dua
kendala yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan kondisi alam ini
untuk bercocok tanam: (1) mereka harus mulai terbiasa untuk menggarap
sawah yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air utama untuk
mengairi padi; dan (2) bercocok tanam di tanah datar. Untuk kendala ini
mereka tidak mengalami masalah yang berarti untuk beradaptasi. Adaptasi
dapat dilakukan dengan cepat. Di Nusa Penida mereka menghadapi tanah
garapan yang terjal dengan sumber air yang sangat terbatas, sama-sama
mengandalkan air hujan seperti di Lampung, tapi dengan debit air hujan
yang lebih sedikit. Kendala utamanya terletak saat mereka membuka lahan
pertanian. Mereka harus nebang alas. Sebuah pekerjaan yang cukup
beresiko, tidak hanya dari ancaman binatang lihar, tapi yang tidak kalah
berbahayanya adalah serangan nyamuk malaria.
Selain beradaptasi dengan lingkungan alam (kondisi alam) di
Lampung, mereka juga harus beradaptasi dengan lingkungan sosial yang
baru. Transmigran ini berasal dari sebuah desa yang berada diujung pulau
Nusa Penida, dengan lokasi yang terjal, penuh tanjakan tajam, dan terletak
di pegunungan. Akibatnya para transmigran ini selama masih tinggal di
Nusa Penida mempunyai pergaulan dengan lingkungan sosial yang terbatas
pada komunitasnya sendiri, dan lingkungan sosialnya bersifat homogen.
Setelah berada di Lampung, mereka harus berhadapan dengan sebuah
lingkungan sosial yang lebih heterogen, dan mereka menjadi minoritas.
Salah satu cara yang paling signifikan untuk adaptasi dengan lingkungan
sosial yang baru adalah bahasa. Transmigran Bali Nusa umumnya hanya
fasih dengan bahasa ibunya sendiri. Untuk bergaul dengan sesama etnis
Bali yang berasal dari Bali pun mereka masih terkendala oleh bahasa.
Bahasa Bali dari Nusa Penida berbeda dengan Bahasa Bali dari Bali.
Realitas yang berkembang di Lampung adalah penggunaan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pergaulan antar etnis yang berbeda untuk
mempermudah interaksi sosial, selain sebagai bahasa “persatuan”. Dapat
dikatakan selama tahun-tahun pertama interaksi sosial transmigran Bali
428
Nusa sangat terbatas pada komunitasnya sendiri, dan transmigran Bali dan
Bali Nusa yang sudah ada Lampung Selatan yang kedatangannya ke
Lampung jarak waktunya tidak terlalu lama. Syarat mutlak untuk
berinteraksi dengan komunitas lain adalah penggunaan Bahasa Indonesia.
Agar bisa berbahasa Indonesia dibutuhkan waktu beberapa tahun, karena
ini tergantung seberapa sering transmigran ini berinteraksi dengan
komunitas lain yang menggunakan Bahasa Indonesia. Selain Bahasa
Indonesia, mereka harus beradaptasi juga dengan penggunaan Bahasa Jawa
(ngoko). Komunitas transmigran Jawa adalah mayoritas. Sama seperti
mereka, transmigran Jawa lebih senang menggunakan bahasa ibunya
dalam pergaulan sehari-hari, daripada menggunakan Bahasa Indonesia.
Mengingat jumlah mereka adalah mayoritas, mau tidak mau, mereka juga
harus beradaptasi dengan bahasa ini. Untuk mengerti Bahasa Jawa mereka
tidak begitu mengalami kesulitan, karena ada beberapa persamaan
kosakata – ini tidak terlepas dari keberhasilan Jawa (Majapahit) menguasai
Bali di bawah pimpinan Gajah Mada. Bahasa Lampung sendiri adalah
bahasa yang jarang digunakan dan dijumpai, kecuali di kalangan
masyarakat Lampung asli. Para pendatang jarang yang bisa atau pun
tertarik untuk memahami serta menggunakan bahasa ini sebagai bahasa
pergaulan. Hal ini cukup unik karena di wilayah lain di luar Lampung,
seperti Palembang, Bengkulu, Jambi, Padang, dan lain-lain, bahasa daerah
(bahasa melayu) sering digunakan sebagai bahasa pergaulan, dan
pendatang umumnya memahami dan bisa menggunakan bahasa tersebut.
Adaptasi yang bersifat teknis adalah dalam proses pembangunan
pura. Di Lampung mereka mengalami kesulitan mendapatkan batu seperti
model batu kapur (berwarna putih) atau batu gunung sebagai bahan dasar
pembangunan pura seperti yang biasa digunakan di Nusa Penida dan Bali.
Pura harus tetap dibangun, meskipun bahan-bahan seperti yang ada di Bali
sulit ditemukan di Lampung. Di masa-masa awal pembangunan pura
bersifat semi permanen, “seadanya dulu” karena kondisi perekonomian
belum mapan. Lambat laun, setelah perekonomian mulai mapan, mereka
mulai membangun pura yang permanen dengan menggunakan bahan dasar
semen (adukan semen pasir) sebagai fondasi. Begitu pula ketika mereka
membuat ukiran-ukiran di pura. Bahan dasarnya adalah semen, bukan batu.
429
Adaptasi yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem sosial
mereka bisa diadapatsikan – sebagai proses penyesuaian dengan
lingkungan yang baru – agar identitas kebalian mereka bisa tetap lestari
(seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya). Proses
penadaptasian ini disesuaikan dengan kondisi kala dan patra.
Konsekuensinya adalah ada beberapa hal yang dikurangi atau pun
ditambahi. Pengurangan atau penambahan sifatnya sebagai penyesuain,
perubahan atas sistem sosial itu tetap ada dan tidak dapat dielakkan karena
lingkungan dan konteksnya berbeda, hanya ada koridor atau batasan-
batasan tertentu – yang penting tidak melanggar ketentuan yang umum.
Salah satu contoh sederhananya “subak”, krama subak tetap ada dan
fungsinya tetap dijalankan sebagai lembaga adat dan keagamaan,
meskipun tidak ada sistem irigasi atau pembagian air. Kemudian,
menggunakan sumur bor sebagai sumber air untuk kebutuhan pertanian.
Begitu pula dengan contoh kasus penyelenggaraan upacara pitra yadnya
(ngaben pribadi). Ada beberapa pengurangan dan penambahan seperti
pembangunan bade maupun teknis pelaksanaan upacara. Berbagai
modifikasi sistem yang dilakukan – pengurangan dan penambahan – agar
sistem ini tetap relevan dengan lingkungan yang baru, dan akhirnya
kelestarian identitas yang tercermin dari sistem tersebut tetap terjaga.
Memperkuat Benteng Identitas
Jika komunitas Bali Nusa membentuk sebuah perkampungan Bali
yang eksklusif seperti kasus Desa Balinuraga, maka ini tidak dapat
diartikan sebagai “tindakan atas dasar kesadaran” atau “tindakan sosial
yang rasional”. Kesadaran tersebut sebenarnya digerakan oleh alam bawah
sadar mereka melalui sistem sosial yang sudah terlembagakan pada setiap
individu anggota komunitas ini. Membentuk perkampungan Bali dengan
karakteristik Nusa Penida merupakan naluri mereka sebagai salah satu
upaya melestarikan identitasnya setelah berada di luar Bali. Mereka diikat
oleh ikatan sosial dari tanah leluhur. Tanpa perlu dikomandoi pun, benteng
ini akan diperkuat oleh anggota komunitasnya (memperkuat bonding
komunitas) ketika ancaman dari luar terhadap eksistensi identitas mereka
semakin menguat. Kekuatan dari benteng atau Kampung Bali terletak dari
kesolidan anggota komunitasnya. Rohnya adalah sistem sosial mereka
430
yang berasal dari tanah leluhur. Identitas kebalian sudah menjadi bagian
dari setiap individu, karenanya ketika identitas tersebut terancam naluri
menuntun mereka untuk memperkuat identitasnya.
Membangun desa adat, banjar, seka-seka, krama subak, pura
kahyangan tiga, pura kawitan warga, pura keluarga, bale banjar, (dan
pranata-pranata sosial lainnya) serta pelaksanakan kewajiban adat dan
agama, dilakukan atas sebuah dorongan dari dalam diri setiap anggota
komunitas. Dorongan ini akan menjadi sebuah tindakan kolektif (massa)
ketika ada seorang patron yang dipercayai dan mendapat kepercayaan dari
kliennya (anggota komunitas, massa).
Basis massa terdapat di level banjar, sekaligus menjadi basis adat,
keagamaan, kekerabatan, kesenian, politik, dan ekonomi yang diwadahi
oleh seka-seka. Identitas kebalian – kebudayaan Bali Hindu – dilestarikan
melalui lembaga-lembaga tradisional ini. Sudah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat Bali Nusa di Balinuraga untuk melaksanaan berbagai kegiatan
di dalam lembaga-lembaga tradisional ini dengan dengan melibatkan
jumlah anggota yang besar atau berkelompok. Seperti yang diutarakan oleh
Geertz (1977: 89) dalam studinya di Tabanan yang menyebutkan bahwa
orang Bali melakukan segala sesuatu secara berkelompok, bahkan untuk
mengerjakan tugas yang paling sederhana sekali pun, dan, seperti yang
telah ditunjukkan oleh Gregory Bateson dan Magaret Mead, hampir
senantiasa melibatkan jumlah tenaga yang jauh melebihi yang secara
teknis diperlukan266
. Terlepas dari banyaknya jumlah anggota yang terlibat
dalam berbagai kegiatan di dalam lembaga-lembaga tradisional yang
dilakukan oleh masyarakat Balinuraga. Poin penting yang dapat diambil
adalah rasa kepemilikkan yang kuat atas identitas tersebut dan
kelestariannya. Ini adalah kebiasaan yang mereka adaptasi dari kebiasaan
yang ada di Nusa Penida (Bali), dan ini pun adalah sebuah tradisi. Terlebih
setelah berada di Lampung, kerja berkelompok ini dapat menunjukkan
kesolidan komunitas mereka dalam upaya mempertahankan identitas
Balinya. Massa selalu ada di setiap upacara besar dan penting. Ada
partisipasi aktif di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, meskipun secara
266
G. Bateson dan M. Mead, “Balinese Character” (New York: New York
Academy of Science, 1942) dalam Geertz (1977: 89), Penjaja dan Raja.
431
teknis jumlahnya melebihi dan ada pertentangan identitas di dalamnya.
Keterlibatan massa dalam setiap upacara besar dan penting – meminjam
istilah Geertz (1980) – sebagai negara teater267
. Kontes negara teater
seperti ini dengan keterlibatan massa yang besar dalam perhelatan upacara
besar dan penting tetap ada setelah keberadaan mereka di Lampung, dan
ini menjadi identitas orang Bali di Lampung (seperti kasus Balinuraga).
Hanya saja, konteksnya berbeda, suasana lebih egaliter, tidak menonjolkan
kekuasaan raja atau triwangsa. Dengan kata lain, ini adalah negara teater
atau pentas-nya jabawangsa yang ada di luar Bali. Kontes ini tentunya
tidak dapat terlaksana – dalam upaya pelestarian identitas – jika tidak ada
benteng yang kuat, di mana massa terkonsolidasi di dalamnya.
Fungsi utama memperkuat benteng identitas – melalui lembaga-
lembaga tradisional sebagai basis massa – adalah sebagai wadah
pelestarian identitas. Massa yang berkumpul di dalam lembaga-lembaga
tradisional ini menjalankan berbagai aktivitas dan kegiatan yang
mencerminkan kebalian mereka. Misalnya, seka gong yang dimiliki
beberapa banjar. Seka gong ini menjadi wadah kesenian Bali masyarakat
Balinuraga. Tidak hanya sebagai lembaga kesenian, seka gong pun turun
memainkan peran ekonominya untuk tetap melestarikan eksistensi
lembaga tradisional ini, sekaligus menjadi lembaga untuk kepentingan adat
dan keagamaan. Setiap ada upacara besar dan penting, seka gong terlibat
dalam proses upacara tersebut. Musik gamelan dan tarian Bali adalah
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan adat dan keagamaan
dalam tradisi Bali. Sebuah sistem sosial tradisional yang kompleks dengan
berbagai lembaga-lembaga tradisional, tapi ini adalah kebalian mereka
setelah berada di Lampung. Melaluinya proses pelestarian identitas
kebalian ini dilangsungkan dan kokoh. Meskipun pembangunan benteng
identitas ini merupakan sebuah tindakan sadar yang didasarkan atas
dorongan alam bawah sadar mereka sebagai individu maupun sebagai
komunitas.
267
Geertz, C. (1980), Negara; The Theatre State in Nineteenth Century Bali,
Princenton: Princenton University Press.
432
Masyarakat sebagai Agen Pelestari Identitas sekaligus Agen
Yang Terstruktur
Identitas kebalian tercermin dari sistem sosialnya, begitu juga
sebaliknya. Keduanya saling melekat erat dan tidak dapat dilepaskan.
Identitas dan sistem sosial ini sudah melembaga di setiap anggotanya.
Dalam kasus ini anggota merupakan subjek atau agen yang mencerminkan
identitas dan sistem sosial di dalamnya, dan juga sebagai subjek (agen)
yang sebenarnya sudah terstruktur oleh identitas dan sistem tersebut.
Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, terdapat dualitas peran
masyarakat sebagai subjek (agen) yang bertanggungjawab sebagai
pelestari identitas. Di satu sisi, mereka menjadi agen aktif di mana mereka
berpartisipasi aktif dalam melestarikan identitas dengan melakukan
berbagai perubahan. Di sisi lain, mereka menjadi agen pasif dikarenakan
diri mereka sebagai individu sebenarnya sudah terstruktur atau
distrukturkan oleh sistem sosial tersebut dengan identitas kebaliannya.
Terlepas dari peran mereka sebagai agen aktif maupun agen pasif
dalam melestarikan identitas kebaliannya, keberadaan mereka sebagai
subjek atau agen sebenarnya sudah mencerminkan identitas kebalian
mereka. Identitas kebalian dan sistem sosial di dalamnya sudah melembaga
di dalam diri mereka. Seandainya pun mereka setia menjadi agen pasif
dengan merelakan dirinya terstruktur oleh sistem sosial tersebut, identitas
kebalian itu pun tetap lestari. Hanya saja identitas tersebut nantinya akan
menjadi relatif lebih kaku dan cenderung semakin mempertahankan atau
meng-ajeg-an ketradisionalannya. Kasus masyarakat Bali di Balinuraga,
peran mereka sebagai agen yang aktif sama kuatnya dengan peran mereka
sebagai agen yang pasif. Realitas atau bukti nyata peran mereka sebagai
agen yang aktif adalah adanya perubahan terhadap beberapa unsur dari
sistem tradisional yang menjadi identitas kebalian mereka menjadi lebih
modern. Sebagai agen yang aktif, ada dorongan dari dalam diri mereka
untuk melakukan perubahan atau penyesuaian. Perubahan tersebut didasari
atas realitas sosial dari lingkungan yang baru, di mana mengharuskan
mereka untuk melakukan perubahan demi lestarinya identitas tersebut.
Sebagai agen yang pasif, mereka menjadi seperti bagian atau komponen
dari mesin sosial atau sistem yang tradisional tersebut. Mereka merelakan
dirinya menjadi bagian terstruktur dari sistem tersebut sehingga sistem
433
tersebut tetap berjalan dengan ciri khas ketradisionalannya. Artinya ada
sebuah aturan atau hukum di dalam sistem tersebut yang sudah melembaga
di dalam diri mereka sebagai individu yang menjadikan diri mereka
sebagai agen yang pasif. Dalam kasus upacara pitra yadnya (ngaben
pribadi) masyarakat bisa menjadi agen yang aktif dalam melestarikan
identitas kebaliannya dengan melakukan inovasi dan kreasi baru dalam
pembangunan bade, patulangan, tata upacara dan upakara, dan lain-lain.
Namun, di sisi lain, mereka tidak bisa – takut dan tidak berani – untuk
melakukan upacara pembakaran jenasah seperti layaknya di India. Hal ini
dikarenakan kebalian mereka akan hilang. Jika diperhatikan dengan
seksama, sebenarnya peran struktur dalam sistem sosial masyarakat Bali,
seperti kasus di Balinuraga, masih kuat, tapi tidak mutlak. Lingkungan
yang baru dengan kala dan patra yang berbeda memberikan ruang bagi
masyarakat untuk menjadi agen aktif untuk melestarikan identitas kebalian
mereka.
Jadi poin penting yang ingin disampaikan adalah bahwa dengan
menjadi agen yang aktif maupun agen yang pasif, masyarakat Bali di
Balinuraga sebenarnya sudah melestarikan identitas kebalian mereka. Ada
batasan dan aturan yang memungkinkan mereka menjadi agen pelestari
identitas kebalian yang aktif maupun yang pasif. Proporsi kedua peran
agen ini dapat dikatakan seimbang. Jika tidak seimbang, semisal mereka
menjadi agen yang lebih aktif, maka bukan tidak mungkin pelestarian
identitas dilakukan dengan cara melakukan perubahan yang radikal. Begitu
pula sebaliknya, ketika mereka menjadi agen yang lebih pasif, maka
mereka akan menjadi sebuah komunitas yang sangat tradisional (sangat
kolot), menjadi semakin tertutup dalam sebuah benteng yang kuat, dan
akhirnya menyebabkan mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru dan “mati dalam sebuah benteng identitas mereka
sendiri” di luar tempat asalnya. Menjadi agen yang lebih pasif berarti
menutup diri dalam sebuah benteng identitas yang kuat. Menjadi agen
yang lebih aktif berarti secara radikal melakukan perubahan terhadap
sistem sosial yang menjadi identitasnya, menjadi lebih terbuka, dan
akhirnya identitas tidak menjadi lestari dan eksis, tapi sebaliknya menjadi
hilang. Proporsi yang seimbang, menjadi agen yang aktif dan pasif,
menjadikan mereka hidup dalam sebuah benteng tertutup yang harmonis
434
dengan lingkungan sosial yang heterogen (sesuai dengan filosofi Tri Hita
Karana).
Kreativitas
Tujuan utama kekreatifan masyarakat Balinuraga adalah sebagai
salah satu cara untuk melestarikan identitas kebaliannya. Kekreatifan ini
bisa terjadi karena adanya ruang dalam sistem sosial mereka yang
memungkinkan mereka menjadi agen yang aktif. Proses kreatif ini, yang
didalamnya ada proses perubahan, merupakan kegeniusan masyarakat
sebagai agen yang aktif dalam melestarikan identitasnya. Mereka
menggunakan akal sehatnya (imajinasi, ide, pemikiran dan perenungan,
dan aksi) agar bisa memodifikasi identitasnya – baik dalam bentuk simbol-
simbol atau pun elemen-elemen pendukung dalam sistem sosial tersebut –
agar bisa tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, tanpa
harus melanggar aturan yang ada di dalam sistem tersebut. Proses ini yang
menjadikan Bali di Lampung – dalam kasus ini di Balinuraga – berbeda
dengan Bali di Nusa Penida dan Bali, meskipun secara umum masih
identik sekali kebaliannya. Letak perbedaan tersebut justru terletak pada
proses kreativitas agen yang genius, tanpa menghilangkan kebaliannya dan
melanggar aturan umum yang berlaku dalam sistem sosial tersebut. Hasil
kreativitas masyarakat Balinuraga sebagai agen yang aktif – masih
menggunakan contoh yang sama – adalah bagaimana mereka membangun
bade untuk upacara pitra yadnya. Sebuah bangunan bade, yang di
dalamnya memiliki makna filosofis mendalam, yang desainya lain
daripada yang lain, sebuah desain yang mencerminkan anti-kemapanan.
Ada sebuah proses imajinasi, perenuangan, pemahaman yang mendalam
atas makna dan filosofi dari apa yang akan diciptakan sampai akhirnya
bangunan bade tersebut bisa direalisasikan menjadi wujud fisik yang
menarik, indah dan sarat makna. Kreativitas ini menunjukkan bahwa
masyarakat Balinuraga mampu melestarikan identitas kebaliannya melalui
karya-karya yang kreatif dalam proses pelestarian tersebut, tidak ada
makna filosifis yang hilang dalam proses penciptaan karya kreatif tersebut,
dan sebagai salah satu cara menunjukkan eksistensi identitas kebaliannya
setelah berada di Lampung bahwa mereka adalah tetap menjadi Bali, tapi
Bali yang berbeda – Bali Lampung. Menariknya, setiap kali ada sebuah
435
karya kreatif yang lain daripada yang lain, tentu setelah ada yang
memeloporinya, maka karya kreatif tersebut akan ditiru oleh anggota
komunitas yang lain di dalam Desa Balinuraga dan komunitas Bali Hindu
di perkampungan Bali lainnya (yang tertarik dan menaruh minat yang
mendalam atas hasil karya kreatif tersebut). Hasil dari proses kreatif ini,
yang dapat dilihat dalam hasil kerja kreatif pengaryaan bangunan simbol
atau ornamen yang menjadi elemen inti dari identitas, yang menjadikan
identitas sebagai sesuatu yang dinamis, terus mengalami proses perubahan,
dan tidak secara absolut ajeg. Dengan demikian, kreativitas dapat
mendukung proses pelestarian identitas, menjadikan identitas itu semakin
relevan dengan lingkungan yang baru.
Perkawinan
Perkawinan merupakan strategi klasik yang dilakukan oleh hampir
semua etnis (suku bangsa) di dunia untuk melestarikan identitasnya,
khususnya terkait identitas etnis, keagamaan dan kebudayaan. Meskipun
pluralisme menjadi sebuah tren dan wacana yang menarik dalam membina
sebuah hubungan sosial yang harmonis di berbagai tempat, namun tetap
saja seorang Yahudi akan memprioritaskan seorang Yahudi untuk menjadi
pasangannya, begitu pula dengan seorang Tionghua, India, Batak, Jawa,
dan lain-lain – perkawinan endogami. Tanpa harus mengingkari realitas
yang ada – meskipun tidak dalam jumlah besar – bahwa ada seseorang dari
etnis A menikah dengan etnis B, C, D, dan seterusnya. Sebuah kasus yang
relatif jarang terjadi, karena tetap saja prioritas utama adalah menikah dari
kalangan etnis dengan identitas keagamaan dan kebudayaan yang sama.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat Bali Hindu di Balinuraga?
Perkawinan tetap dijadikan salah satu strategi klasik untuk
mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka. Perkawinan
(pernikahan) beda etnis dan agama mungkin tidak menjadi masalah besar
bagi mereka, asalkan pihak bersangkutan tetap menjadi “Bali Hindu” –
dalam kasus ini pasangannya mau mengikuti tradisi dan kepercayaan yang
berlaku dalam masyarakat Bali Hindu. Ini menjadi sangat penting karena
dalam masyarakat Bali, identitas kebalian sangat melekat antara Bali dan
Hindu. Kasus seperti ini ada di Balinuraga, tapi jumlahnya relatif sangat
jarang terjadi, begitu juga sebaliknya pernikahan beda etnis dan keyakinan
436
yang menyebabkan pihak yang bersangkutan meninggalkan identitasnya
sebagai Bali Hindu dengan mengikuti tradisi dan kepercayaan
pasangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka yang
setelah menikah meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu, maka baik
langsung atau tidak langsung, pihak bersangkutan maupun lingkungan
sosialnya akan melakukan pengucilan.
Model perkawinan yang berlaku di Balinuraga – secara umum
berlaku sama dengan masyarakat Bali pada umumnya – adalah menikah
dengan sesama orang Bali. Tujuannya sudah jelas, agar identitas kebalian
mereka tidak hilang dan tetap lestari. Meskipun pasangan yang
bersangkutan menjadi Bali Hindu, namun tetap saja ada kendala internal di
dalam komunitas tersebut, baik salam proses adaptasi menjadi Bali Hindu
maupun cibiran. Model ideal yang umum adalah menikah dengan sesama
Bali Hindu. Model ideal yang spesifik adalah menikah dengan sesama Bali
Hindu yang berasal dari golongan yang sama, dan yang lebih spesifik
adalah menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang
sama. Menikah dengan sesama Bali yang berasal dari golongan yang
sama, seperti golongan jaba menikah dengan sesama Bali Hindu yang
berasal dari golongan jaba; sedangkan contoh yang lebih spesifik adalah
seorang Warga A menikah dengan seseorang yang juga berasal dari Warga
A – model perkawinan dengan klan (warga) yang sama. Misalnya, seperti
yang telah diuraikan di muka, pernikahan Ni Wayan Bunga dan I Made
Gagah yang keduanya berasal dari Warga Pandé.
Terkait dengan kelestarian identitas kebalian pertanyaan yang
(pasti) muncul adalah mengapa Warga A idealnya menikah dengan Warga
A? Terkait dengan kelestarian identitas, ada konsekuensi logis yang terjadi
mengapa harus menikah dengan sesama anggota warga-nya (berasal dari
satu klan yang sama). Pertama, seorang wanita Warga A yang menikah
dengan pria Warga B, maka setelah menikah pihak wanita identitasnya
akan mengikuti identitas suaminya menjadi Warga B. Ini bisa menjadi
permasalahan dikarenakan terjadi perpindahan keanggotaan warga. Jika
terjadi dalam jumlah yang besar, tentu saja, populasi Warga B akan
semakin besar jumlahnya. Kedua, setiap warga atau klan sebenarnya
mempunyai karakteristik atau tradisi yang khas. Mereka mempunyai
identitas yang berbeda dengan warga lainnya, meskipun sama-sama Bali
437
Hindu. Tradisi mereka, yang tercermin dalam kegiatan adat dan
keagamaan, memiliki perbedaan, di mana perbedaaan itu menjadi identitas
warga tersebut. Karena modelnya sangat patrilineal, tentu yang menjadi
“korban” adalah pihak wanita. Jika ia menikah dengan warga yang
berbeda, tentu ia akan kesulitan untuk beradaptasi dengan tradisi yang
berlaku dalam warga suaminya. Belum lagi dari pihak keluarga, yang
setelah pernikahannya dengan warga yang berbeda kemudian ia mengikuti
warga suaminya, pihak wanita seolah-olah telah menjadi orang luar dari
keluarga besarnya, yaitu warga atau klan. Karenanya, baik dari keluarga
pihak wanita maupun dari pihak pria, selalu menganjurkan agar menikah
dengan sesama warga-nya sendiri. Meskipun demikian, perkawinan beda
warga masih dinilai lebih baik daripada terjadi perkawinan beda golongan
(wangsa), atau pun yang lebih khusus, perkawinan beda etnis dan agama.
Tujuan besar dari model ideal secara umum mengapa sebaiknya menikah
dengan sesama Bali Hindu – terutama dengan golongan yang sama dengan
identitas warga yang sama – adalah agar identitas kebalian mereka tetap
lestari. Sebuah model ideal yang sebenarnya sangat manusiawi, karena
adanya ketakutan (merasa terancam) identitasnya (etni, keagamaan dan
kebudayaan) tidak bisa lestari (terwariskan) sampai generasi berikutnya.
Sebuah ketakutan yang mungkin dirasakan oleh kelompok etnis yang ada
di tempat lain, di mana etnisitas dan agama menjadi identitas mereka.
Walaubagaimana pun identitas bisa lestari jika ada proses regenerasi atau
pewarisan identitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisnya
adalah para keturunan, yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya, yang
tercipta melalui proses perkawinan. Karenanya, keadaan yang ideal adalah
identitas tersebut diwariskan kepada keturunannya yang “murni”, dari hasil
perkawinan dengan sesama anggota komunitasnya yang memiliki
persamaan identitas.
Konflik Identitas
Potensi konflik identitas biasanya (dimungkinkan) terjadi jika di
dalam sebuah lingkungan sosial (cenderung) heterogen terdapat beberapa
kelompok yang memiliki basis identitas yang kuat. Kelompok berbasis
identitas ini menjadikan identitasnya – suku, agama, ras dan antara
golongan (SARA) – sebagai pengikat komunitasnya menjadi sebuah
438
kelompok yang eksklusif, cenderung tertutup, “sensitif” dan “angkuh”
(muncul karena adanya kepercayaan diri yang tinggi atas identitasnya
dengan massa yang solid). Potensi konflik muncul – dan bisa berakhir
dengan konflik – dalam kondisi di mana kelompok-kelompok ini berusaha
mengaktualisasikan identitas kelompoknya dalam sebuah ruang publik
terbuka dalam sebuah lingkungan sosial yang heterogen – ada kebebasan
untuk mengaktualisasikan identitas kelompoknya. Persoalan kecil pun jika
dipolitisir oleh pihak tertentu yang menginginkan terjadi kekacauan (biasa
disebut provokator), maka konflik terbuka (konflik fisik) sangat
dimungkinkan terjadi. Kejadian ini menjadi sebuah fenomena umum yang
terjadi di Indonesia pasca Suharto, di mana ada kebebasan dari berbagai
kalangan untuk mengapresiasikan identitas kelompoknya dalam sebuah
lingkungan sosial yang terbuka. Akibatnya terjadi berbagai jenis konflik,
mulai dari skala kecil sampai besar, di mana konflik tersebut sangat kental
dengan politik identitas yang bersifat kedaerahan (lokal)268
. Umumnya
terjadi antara kelompok pendatang dengan kelompok asli (penduduk lokal
atau penduduk asli setempat).
Keinginan sebuah kelompok untuk mengapresiasiakan dan
mengaktualisasikan identitasnya merupakan tindakan yang manusiawi.
Ada keinginan agar identitasnya mendapatkan pengakuan dari lingkungan
sosialnya. Tujuan utamanya adalah pelestarian identitas, di mana identitas
tersebut merupakan jati dirinya sebagai individu dan kelompok. Dalam
masyarakat Indonesia yang pluralis dengan beragam identitas etnis, ras,
keyakinan dan kepercayaan (agama), golongan politik, dan lain-lain,
konflik sangat dimungkinkan terjadi jika “ego” antar kelompok yang
menguatkan kelompoknya berdasarkan identitas tertentu tidak bisa ditekan.
Dengan kata lain, setiap kelompok secara kukuh mempertahankan “ego”
identitas kelompoknya secara berlebihan – cenderung “angkuh”, di mana
268
Untuk melihat lebih lanjut bagaimana etnisitas di Indonesia dan konflik atau
benturan (identitas) etnis di Indonesia yang mulai marak pasca jatuhnya Suharto
dalam dinamika politik lokal, lihat: Van Klinken, Gerry. (2004), „Ethnicity in
Indonesia‟, dalam Ethnicity in Asia, Edited by Colin Mackerras, Taylor and
Francis e-Library; Van Klinken, Gerry. (2007), Communal Violence and
Democratization in Indonesia: Small Town Wars, London and New York:
Roudledge; Schulte Nordholt, Henk & Van Klinken, Gerry. (2007), Politik Lokal
di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.
439
keangkuhan ini menyebabkan kesensitifan yang kuat pada kelompok dan
anggotanya, sehingga mudah tersinggung dan tersulut amarah untuk
melakuakn tindakan fisik (bentrokan fisik).
Poin penting dari adanya sebuah konflik identitas adalah bahwa ini
terjadi karena adanya keinginan kuat dari setiap kelompok untuk
melestarikan identitasnya, di mana dalam prosesnya mereka melakukan
“aksi” aktualisasi. Ikatan yang kuat atas identitas tertentu adalah perekat
komunitas yang kuat, dapat mempersatukan berbagai individu yang
memiliki persamaan identitas. Karenanya, potensi konflik setiap kelompok
berbasis identitas selalu ada.
Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, ada dua jenis
konflik identitas yang terjadi: konflik identitas eksternal dan konflik
identitas internal. Konflik identitas eksternal terjadi ketika masyarakat Bali
di Balinuraga bersama-sama dengan masyarakat Bali di tempat lain terlibat
dalam konflik fisik dengan komunitas etnis lain, yaitu penduduk lokal.
Seperti yang terjadi di tahun 1990-an ketika terjadi perang kampung antara
Kampung Bali di Balinuraga beserta Kampung Bali tetangga dengan
penduduk lokal (Lampung) di daerah Jabung. Konflik ini bermula ketika
ada anggota masyarakat Balinuraga mengalami pembegalan sepeda motor
saat melintasi wilayah Jabung. Sebagai sebuah kelompok pendatang
dengan ikatan sosial yang kuat di Lampung, emosi kelompok menjadi
sangat kuat ketika beberapa anggota komunitasnya diganggu oleh
komunitas lain. Ketika gangguan tersebut tidak dapat ditoleransi lagi,
karena dianggap telah merendahkan harga diri komunitas tersebut
(identitas kebalian mereka), maka konflik (perang kampung) pun akhirnya
terjadi. Penulis mencoba melihat konflik identitas eksternal ini dari sudut
pandang lain, bahwa konflik identitas eksternal ini merupakan wujud dari
aktualisasi identitas kebalian setelah berada di luar Bali, yaitu keinginan
yang kuat dari segenap anggota komunitasnya untuk mempertahankan dan
melestarikan identitas kebaliannya. Konflik ini – perang kampung –
sepertinya harus terjadi agar identitas mereka diakui, tidak dianggap
enteng oleh komunitas lain, dan ini didukung oleh persatuan yang kuat dari
masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya. Menurut penulis, konflik ini
merupakan salah satu jalur atau upaya dari pelestarian identitas yang
bersifat primitif – karena menggunakan kekerasan sebagai “shock therapy”
440
bagi “lawannya” agar mengakui identitas kelompoknya – dan ini
sepertinya menjadi sebuah fenomena umum yang sampai saat ini masih
berpotensi terjadi di Indonesia sebagai negara multikultur di mana ikatan
primordial masih kuat (bahkan cenderung menguat di masa reformasi).
Konflik identitas internal di dalam komunitas Balinuraga
merupakan konflik identitas antar identitas warga yang berbeda. Konflik
ini paling menonjol dan menjadi rahasia umum dalam komunitas
Balinuraga, yaitu antara Warga Pasek dan Warga Pandé. Sebuah konflik
yang sebenarnya sudah lama terjadi sejak masa kerajaan di Bali. Konflik
ini dimungkinkan akan terus terjadi selama komunitas ini masih ada.
Konflik identitas warga ini terjadi antar klan yang “digolongkan” sebagai
jaba. Kondisi ini memang bisa terjadi karena secara keseluruhan
masyarakat Balinuraga merupakan golongan jaba (bukan berasal dari
golongan puri, kerajaan, atau triwangsa), di mana di dalam golongan ini
terdapat berbagai macam kelompok besar berdasarkan silsilah keturunan
tertentu yang biasa disebut warga atau klan. Seandainya ada golongan
triwangsa di dalam komunitas ini, bisa saja terjadi konflik antara golongan
jaba dengan triwangsa. Sumber konflik ini sebenarnya berakar pada sistem
sosial dalam masyarakat itu sendiri. Memang mereka menerapkan sistem
warga, bukan sistem wangsa yang bersifat diskriminatif. Sistem ini lebih
egaliter, tidak ada yang bisa memantapkan klan lebih superior daripada
yang lain, seperti triwangsa versus jabawangsa. Karenanya konflik yang
terjadi bersifat horisontal, yaitu antara sesama kelompok warga di dalam
golongan jaba. Lalu mengapa bisa terjadi konflik identitas antar warga?
Setiap warga pada dasarnya memiliki status sosial tersendiri. Begitu pula
dengan beberapa tata upacara dan upakara, serta simbol-simbol
identitasnya, meskipun sama-sama berasal dari golongan jaba dan sama-
sama Bali Hindu. Ini merupakan salah satu identitas individu dan
kelompok mereka sebagai Bali Hindu. Status sosial ini bersifat mengikat,
sudah melembaga, menjadi satu dengan identitas kebalian mereka. Dalam
lingkungan sosial di dalam komunitas mereka yang lebih egaliter,
aktualisasi identitas warga lebih terbuka. Ada keinginan yang kuat untuk
menunjukkan siapa memiliki status sosial lebih tinggi. Dasar dari status
sosialnya adalah status sosial leluhur mereka yang menjadi pendiri dari
klan atau warga tersebut. Manifestasinya – karena pengaruh lingkungan
441
sosial dari masyarakat Lampung yang memasuki masyarakat industri
(pertanian) – adalah melalui pencapaian ekonomi. Wujudnya adalah Pura
Kawitan Warga – mana yang lebih besar, indah dan artistik – dan wujud
lainnya, seperti pentas kesenian seka gong dan sulinggih warga mana yang
lebih populer. Wujud yang sederhana terbatas pada gosip-gosip atau
cibiran yang bersifat mensiniskan salah satu warga. Dengan kata lain,
persaingan identitas status sosial warga sudah lebih modern, seperti yang
dilakukan dalam masyarakat industri, bukan seperti yang terjadi dalam
sebuah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem feodal, di mana
status sosial lebih ditentukan oleh garis keturunan, status sosial diwariskan
dan bersifat absolut. Realitas ini menunjukkan bawah konflik identitas
warga merupakan salah satu upaya dari komunitas ini – yang sebenarnya
plural di dalam komunitasnya sendiri – untuk melestarikan identitas
kebaliannya yang salah satunya diwujudkan melalui identitas warga.
Mapannya sistem sosial kebalian yang mereka terapkan di Lampung – ada
nilai dan norma yang mengharuskan mereka harus menjaga keharmonisan
– dan adanya ancaman eksternal menyebabkan konflik ini terisolisir pada
perang dingin bukan konflik terbuka (fisik). Ekonomi adalah alatnya.
Kebebasan mengekspresikan dan mengaktulisasikan identitas warga
sebagai upaya pelestarian identitas kebalian yang lebih besar – kebebasan
yang disediakan oleh sistem itu sendiri – menyebabkan konflik identitas
antar warga ini akan terus berlangsung terbatas pada perang dingin. Jadi,
tidak bisa dinilai bahwa konflik identitas warga ini sebagai sebuah faktor
pemecah belah komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Ini adalah dinamika
dalam komunitas mereka dalam melestarikan identitas. Konflik identitas
warga adalah bagian utama dari dinamika tersebut dengan berbagai
manifestasinya. Mereka pun menganggapnya sebagai hal yang positif:
“Memotivasi kami untuk bekerja lebih keras” – yang berarti: memotivasi
untuk memantapkan perekonomian keluarga mereka sehingga bisa terus
melestarikan identitas kebaliannya.
Menjadi Bali Lampung
Proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi merupakan upaya
pelestarian identitas kebalian sebagai respons atas lingkungan sosial makro
yang lebih luas, yaitu lingkungan sosial masyarakat Lampung (eksternal).
442
Melalui ketiga proses ini, mereka turut meleburkan dirinya – identitas
kebaliannya yang eksklusif dalam benteng tertutup – sebagai bagian dari
satu identitas yang lebih besar, yaitu Lampung: bagian dari masyarakat
Lampung yang heterogen.
Setiap proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi (termasuk adaptasi
yang telah diuraikan sebelumnya), mempunyai wujudnya masing-masing
yang sebenarnya hampir sama. Tujuan utamanya adalah melestarikan
identitas kebalian mereka agar bisa eksis di tengah lingkungan sosial yang
lebih luas dalam konteks masyarakat Lampung. Upaya ini dapat dikatakan
sebagai bagian dari politik identitas mereka sebagai salah satu etnis
pendatang di Lampung yang memiliki keunikkan identitas – kebalian –
untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas identitasnya dalam
lingkungan sosial yang heterogen dan terbuka. Secara umum hasil dari
proses-proses ini adalah bagaimana mereka menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial dengan berbagai etnis yang ada
di Lampung, bukan menggunakan bahasa kedaerahan seperti Bahasa
Lampung, Bahasa Bali, Bahasa Bali Nusa Penida atau pun Bahasa Jawa
(ngoko). Ketika mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pergaulan sosial, maka identitas-identitas primordial dari berbagai tempat
asal mereka (etnis Bali dan etnis-etnis lainnya) menjadi luntur (melebur
menjadi satu identitas yang lebih besar), termasuk identitas primordial
penduduk lokal yang lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia dalam
pergaulan sosialnya daripada Bahasa Lokalnya, sehingga mereka (etnis
Bali) beserta etnis-etnis lainnya telah menjadi Orang Lampung atau
masyarakat Lampung yang majemuk – atau dalam konteks yang lebih luas
mereka telah Menjadi Indonesia.
Politik identitas yang dimainkan masyarakat Balinuraga dalam
melestarikan identitas dengan melakukan peleburan identitas ke dalam
sebuah identitas yang lebih besar terbilang unik bila dibandingkan dengan
etnis lain. Masyarakat Balinuraga tidak hanya meleburkan identitas
kebalian sebagai bagian dari identitas yang lebih luas seperti menjadi Bali
Lampung, tapi juga turut meleburkan identitas kebaliannya ke dalam
bagian dari identitas kebalian yang lebih luas – menjadi Bali Hindu seperti
Bali Hindu yang ada di Bali. Jadi, proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi
443
(serta adaptasi) sebagai upaya pelestarian identitas dimainkan melalui dua
jalur: Jalur Bali dan jalur Lampung.
Upaya pelestarian identitas menggunakan Jalur Bali merupakan
sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan. Bagaimana tidak? Identitas
kebalian mereka sangat tergantung dengan pusat: Bali. Mereka butuh
eksistensinya sebagai Bali Hindu yang telah berada di luar Bali diakui oleh
pusat. Ini merupakan bagian dari ikatan sosial yang kuat yang tidak dapat
dilepaskan oleh mereka setelah berada di luar Bali: keterikatan terhadap
tanah leluhur. Contoh konkretnya adalah bagaimana mereka meleburkan
diri dengan melakukan pengasosiasian, pengakulturasian, dan
pengasimilasian dengan lembaga-lembaga sosial yang berbasiskan adat,
keagamaan, kekerabatan (warga) dan tempat asal yang ada di Bali (dalam
ruang yang lebih luas). Tujuan dari proses ini adalah agar identitas mereka
lestari, identitas kebalian mereka tetap diakui dan diterima dari pusat. Hal
ini bisa dilihat dan dibuktikan dari keanggotaan mereka terhadap lembaga
sosial keagamaan seperti PHDI (bagian dari umat Hindu Dharma),
lembaga atau pagayuban berbasiskan identitas warga yang pusatnya
berada di Bali, lembaga adat dan keagaman di tempat asal seperti banjar
dan Pura Kawitan Warga di Nusa Penida.
Pola yang hampir sama juga mereka lakukan ketika mengunakan
Jalur Lampung. Mereka tetap menjadi Bali sekaligus menjadi Lampung.
Hal ini mereka tunjukkan dengan menggunakan (menyertakan) lambang
“Siger269
” – lambang kebanggaan yang menyimbolkan identitas Lampung
269
Siger adalah mahkota yang menjadi lambang atau simbol kebesaran,
keagungan, kejayaan dan kekayaan masyarakat Lampung. Dalam
perkembangannya, Siger yang didominasi oleh warna emas ini digunakan sebagai
lambang utama yang menyimbolkan Lampung atau menjadi Simbol Masyrakat
Lampung. Siger ini selalu digunakan oleh setiap kalangan atau pun golongan
dalam masyarakat Lampung, tidak hanya penduduk asli, tapi oleh masyarakat
Lampung yang terdiri dari berbagai etnis. Penggunaan lambang Siger secara
simbolis menunjukkan identitas ke-Lampung-an masyarakat Lampung yang
heterogen. Siger sendiri adalah makhota adat yang biasa digunakan kaum
perempuan dalam pakaian adat maupun dalatm prosesi pernikahan. Dengan kata
lain, siger adalah mahkotanya kaum perempuan. Sebuah simbol kedaerahan yang
feminis, tidak seperti simbol atau lambang kedaerahan lainnya yang biasanya
bersifat maskulin dengan menggunakan simbol senjata, seperti (senjata) Kujang di
444
– sebagai bagian dari lambang atau logo organisasi sosial kemasyarakatan
(termasuk ada unsur adat dan keagamaan di dalamnya). Misalnya,
disertakannya siger dalam seragam pecalang dan dalam lambang
organisasi “Pargali” (Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan). Logo
adalah simbol identitas. Siger adalah simbol identitas yang lebih besar
sebagai simbol Lampung. Ini mereka sertakan dalam lambang organisasi-
organisasi bentukan mereka. Dengan kata lain, dengan menyertakan
simbol identitas yang lebih besar bersama-sama dengan simbol identitas
kebalian mereka, sebenarnya mereka telah meleburkan identitasnya
sebagai bagian dari identitas yang lebih besar, yaitu Lampung. Penyertaan
lambang siger merupakan hasil dari asosiasi, asimilasi dan akulturasi yang
dilakukan oleh komunitas ini melalui organisasi sosial kemasyarakatan
bentukannya: sebuah upaya pelestarian identitas dengan melakukan
peleburan ke dalam identitas yang lebih besar yang dilakukan secara
simbolis. Meskipun simbolis, tapi ini memberikan makna yang mendalam
bagi mereka. Mengapa? Identitas kebalian mereka menjadi diakui sebagai
bagian dari masyarakat dan kebudayaan Lampung. Ada proses
keterbukaan di sini. Realitas ini menunjukkan bahwa untuk melestarikan
identitas kebaliannya yang unik mereka tetap melakukannya dengan cara
yang tertutup sekaligus terbuka. Cara yang dilakukannya pun sudah maju.
Tidak melalui sebuah organisasi tradisional seperti bagaimana mereka
mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian di dalam
komunitasnya, tapi melalui sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang
lebih modern. Melalui organisasi ini, identitas kebalian mereka bisa
diperjuangkan secara sosial politik dalam konteks yang lebih luas, tidak
terbatas di level banjar dan desa adat, tapi di level kabupaten dan provinsi.
Organisasi ini adalah daya tawar mereka di bidang sosial, politik,
kebudayaan dan ekonomi di tingkat lokal, baik dalam interaksinya
(hubungan kerjasama atau asosiasi) dengan instansi pemerintahan maupun
instansi sosial-ekonomi lainnya.
Jawa Barat dan (senjata) Mandau di Kalimantan. Feminisme dalam lambang siger
ini dapat diartikan sebagai “kelembutan” atau “keterbukaan” masyarakat Lampung
terhadap berbagai kelompok etnis dan kepercayaan lain sebagai pendatang.
445
Gambar 65. Lambang Siger di Seragam Pecalang
(Lambang “Siger” berada di atas lambang “Swastika” sebagai mahkota, “Pargali
Lam-Sel” adalah organisasi yang mewadahi pecalang)
(Sumber: Yulianto, 2010)
Untuk melihat proses asimilasi dan akulturasi identitas
kebudayaan bahwa mereka telah menjadi Lampung dapat dilihat dalam
bentuk yang sederhana, yaitu melalui perilaku sosial. Sekali lagi, penulis
menggunakan contoh kasus bahasa. Dalam beberapa kesempatan, anak
muda di Balinuraga mengucapkan kalimat sapaan yang kontras, baik
dalam ucapan lisan maupun tulisan dalam pesan singkat melalui telepon
seluler. Terkadang mereka menggunakan kalimat sapaan dengan: “Om
Swastiastu”, dan terkadang dengan sapaan “Halo Bro!” dan “Halo Coi!”.
Sapaan atau kalimat pembuka untuk memulai komunikasi atau sekadar
menyapa menggunakan “Om Swastiastu” mencerminkan identitas kebalian
mereka. Di sisi lain, “Halo Bro!” dan “Halo Coi!” mencerminkan ke-
Lampung-an mereka sebagai Bali Hindu. Kedua ucapan ini merupakan
ucapan gaul yang biasa digunakan oleh anak muda di perkotaan
(khususnya ibu kota propinsi, Bandar Lampung), dan ucapan ini pun
sebenarnya “tiruan” dari bahasa gaul yang biasa digunakan di Jakarta
(bahasa gaul yang digunakan oleh anak muda di Jakarta dijadikan sebagai
trendsetter yang biasanya disosialisasikan melalui sinetron-sinetron).
Logat atau dialek bahasa yang biasa digunakan umumnya sudah
446
bercampur dengan dialek Bahasa Indonesia yang umum digunakan
masyarakat Lampung. Penggunaaan kata “Gua” dan “Lu” biasa digunakan
untuk menunjukkan bahwa dirinya telah “gaul”. Dalam arti tidak menjadi
kampungan, khususnya anak muda Balinuraga yang sudah dan pernah
tinggal di perkotaan atau mempunyai pergaulan yang luas. Perilaku sosial
lainnya yang dapat dilihat sebagai proses asimilasi dan akulturasi adalah
bagaimana mereka berbusana dan bertindak berdasarkan busananya yang
mengacu masyarakat urban. Busana gaul tanpa tindakan atau aksi yang
gaul, tetap saja dianggap sebagai kampungan. Biasanya ini terjadi pada
anak-anak muda. Mengenakan busana yang modis (setidak-tidaknya tidak
culun, tidak kampungan) disertai dengan gaya rambut masyarakat
perkotaan. Para gadis (dan kadang ibu rumah tangga muda) melakukan
perawatan rambut. Rebonding rambut merupakan yang paling populer.
Para pria (remaja dan dewasa) biasanya dengan mencat rambut dengan
warna-warna tertentu, menggunakan jelly untuk mengeringkan rambut agar
rambut bisa ditata sesuai keinginan dalam bentuk-bentuk tertentu yang
sedang tren. Para pria dewasa kadang melengkapi dirinya dengan tato di
bagian badan tertentu. Tato biasanya menjadi ciri khas laki-laki Bali di
Lampung, termasuk di Balinuraga. Ada yang memang ditujukan untuk
seni, tapi umumnya digunakan sebagai penunjuk status sosial tertentu yang
bersifat negatif (supaya ditakuti). Kemodisan ini kemudian mereka
tampilkan ketika sedang melakukan kegiatan upacara tertentu. Tetap
berbusana adat resmi seperti pada umumnya, tapi modis. Parfum dan
telepon seluler seperti menjadi kewajiban untuk selalu disertakan. Begitu
pula dengan sepeda motor. Selain menggunakan sepeda motor terbaru,
mereka memodifikasinya ke dalam bentuk yang lebih sporty. Sepeda
motor yang baru, tetap dianggap sebagai kampungan jika tidak
dimodifikasi. Modifikasi ini biasanya menghabiskan biaya yang tidak
sedikit. Terkadang biaya modifikasi bisa melebihi nilai atau harga beli dari
motor tersebut. Efek turunan dari kebutuhan untuk modis dan gaul, sebagai
pengaruh luar yang mereka adaptasikan adalah konsumerisme dan
pragmatisme. Sikap dari para tokoh masyarakat melihat akulturasi dan
asimilasi identitas kebudayaan ini adalah menganggapnya sebagai sesuatu
yang lumrah dikarenakan perubahan zaman. Biasanya tokoh masyarakat
yang bersikap seperti ini dikarenakan mereka sadar bahwa dirinya pernah
447
muda dan senang mengikuti tren di masanya, di mana pernah mendapatka
tentangan dari orang tua mereka yang bersikap kolot. Sikap dari tokoh
masyarakat lain menganggapnya sebagai sebuah ancaman yang dapat
membahayakan identitas kebalian mereka yang sebenarnya akan
dilanjutkan oleh generasi muda. Tokoh masyarakat ini merupakan tokoh
masyarakat atau sepuh yang kolot (gak gaul).
Akulturasi di bidang kesenian dan arsitektur dapat dilihat di
Balinuraga melalui karya-karya pekerja seninya. Namun, jumlahnya relatif
jarang. Untuk tari-tarian ada beberapa gerakan yang bersifat elementer dari
tarian Lampung yang dimasukan dalam tarian Bali. Di bidang arsitektur,
ada yang memodifikasi bangunan yang ada di bagian jaba dan jero Pura
Kawitan dengan artitektur Tiongkok270
(dibuat seperti model kelenteng;
biasanya bagian atap yang menjadi ciri khas akulturasi arsitektur
Tiongkok) dan India, dan menempelkan keramik Tiongkok di tembok atas
pintu rumah dan dinding rumah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
dalam pembangunan pura mereka menggunakan bahan-bahan bangunan
modern, seperti adukan semen-pasir sebagai bahan utama fondasi
bangunan pura dan cat-cat berwarna khusus (warnanya terang dan tahan
lama dalam ruang terbuka).
270
Integrasi arsitektur Tiongkok dalam arsitektur (kebudayaan) Bali sudah terjadi
cukup lama, yaitu sejak masa kerajaan. Hal ini dapat dilihat kompleks bangunan
suci yang ada di Bali. Untuk melihat lebih dan sebagai perbandingan bagaimana
integrasi arsitektur (kebudayaan) Tiongkok dalam arsitektur Bali lihat:
Sulistyawati, Made. (2008), “Kontribusi Arsitektur Tiongkok ke dalam Arsitektur
Tradisional Bali”, dalam Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali
(Sebuah Bungan Rampai), Editor: Made Sulistyawati, Denpasar-Bali: Universitas
Udayana dan CV. Massa; Sulistyawati, Made. (2008), “Integrasi Arsitektur
Tiongkok ke dalam Arsitektur Puri Agung Karangasem”, dalam Integrasi Budaya
Tionghoa ke dalam Budaya Bali (Sebuah Bungan Rampai), Editor: Made
Sulistyawati, Denpasar-Bali: Universitas Udayana dan CV. Massa.
448
Gambar 66. Bangunan Capura Bercorak India dan Bale Bercorak Tiongkok
di bagian Jaba Pura Kawitan Warga
(Sebelah kiri depan adalah gapura atau pintu masuk ke Pura Kawitan yang
desainnya berorak India; sedangkan sebelah kanan depan sebuah bale yang dibuat
seperti gazebo ala Tiongkok. Atap dan desain bale sangat kentara akulturasi
arsitektur Tiongkoknya)
(Sumber: Yulianto, 2008)
Gambar 67. Model Atap Tiongkok pada Bale di bagian Jero Pura Kawitan
(Sumber: Yulianto, 2009)
449
Gambar 68. Bagian Jaba Pura ada Perpaduan India dan Tiongkok
(bagian depan terdapat arca/patung dewa-dewi Hindu-India; bagian belakang ada
bangunan bercorak Tiongkok dengan keberadaan arca/patung bercorak Bali).
(Sumber: Yulianto, 2009)
Gambar 69. Atap Gedong Bercorak Tiongkok di bagian Jero Pura
(Sumber: Yulianto, 2009)
450
Gambar 70. Keramik Tiongkok yang Disertakan bersama Simbol-Simbol
Hindu
(Di bagian tengah tepat di atas pintu ditempelkan sebuah keramik, seperti
menyimbolkan tungku api / perapen; dengan diapit di sisi kanan dan kiri lambang
swastika sebagai simbol keselamatan / keberuntungan / keseimbangan / pelindung
dari pengaruh negatif. biasa disertakan di setiap pintu rumah)
(Sumber: Yulianto, 2009)
Kesimpulan
Berangkat dari fenomena Ajeg Bali, Schulte Nordholt (2007)
melihat bagaimana upaya masyarakat Bali – yang diwakili oleh para elit-
elit Bali – untuk melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap
dunia luar. Upaya ini yang diistilahkan oleh Schulte Nordholt (2007)
sebagai benteng terbuka atau open Fortress.
Fenomena Ajeg Bali juga terjadi pada komunitas masyarakat Bali
di Lampung, tetapi dalam konteks yang berbeda, seperti kasus di
Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung. Tujuannya sama,
yaitu melindungi kebudayaan Bali. Desa Balinuraga dalam usaha
pelestarian identitas kebaliannya menjadi benteng tertutup, bukan menjadi
benteng terbuka. Benteng tertutup ini (seperti atau dapat) menjadi
pertahanan terakhir identitas kebalian dalam masyarakat dan kebudayaan
Bali yang lebih luas. Selain itu lebih bersifat otonom dan mandiri
berlandaskan atas kesadaran kolektif dengan tetap melihat fenomena yang
terjadi di pusat (Bali). Fungsi utamanya adalah bagaimana melestarikan
identitas kebalian atau kebudayaan Bali setelah berada di luar Bali. Sama
seperti di Bali, upaya pelestarian identitas ini dilandasi oleh adanya
451
keterancaman dalam konteks yang berbeda. Kalau di Bali keterancaman
atas identitas kebalian lebih mencolok setelah adanya aksi terorisme (Bom
Bali I dan II) dan arus penanaman modal asing di sektor industri
pariwisata, sedangkan di Lampung (kasus Balinuraga) keterancaman atas
kebertahanan identitas kebalian lebih disebabkan faktor lingkungan sosial
dan jarak antara satelit dan pusat (pusat sebagai acuan dan legitimasi
identitas kebalian). Kasus Balinuraga menunjukkan bahwa melalui
perkampungannya yang eksklusif benteng tertutup menjadi lebih tampak
daripada Bali sebagai benteng terbuka seperti yang digambarkan oleh
Schulte Nordholt. Derajat ketertutupannya sebagai benteng identitas atau
kebudayaan Bali lebih menonjol pada kasus di Balinuraga. Setelah berada
di Lampung, komunitas Balinuraga menjadi minoritas yang harus
mempertahankan dan melestarikan eksistensi identitasnya. Mereka bisa
membentengi identitas kebaliannya dalam keeksklusifan komunitasnya, di
mana dalam benteng identitas tersebut menjadi sebuah teater atau arena
pelestarian identitas.
Kasus di Bali menunjukkan bahwa membentengi kebudayaan Bali
secara tertutup tidak memungkinkan. Bali sudah menjadi terbuka dan
plural, terutama dengan kehadiran industri pariwisata. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa keterbukaan dalam benteng identitas sebuah hal
kontradiktif bila melihat kembali bahwa tujuan benteng identitas tersebut
sebagai upacara pelestarian identitas. Derajat keterbukaan tergantung
dengan lingkungan sekitar yang mempengaruhi benteng tersebut. Semakin
kuat ketergantungan atas lingkungan eksternal, mau tidak mau, semakin
besar pula derajat keterbukaan benteng tersebut. Misalnya perekonomian
Bali yang sudah begitu tergantung dengan sektor industri pariwisata –
menjadi tertutup berarti mematikan perekonomian itu sendiri.
452