BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional...

30
15 BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN Dua tema utama yang akan diuraikan dalam bab ini sebagai sebuah tinjauan literatur adalah diskusi tentang Identitas dan kebalian. Dalam tema identitas akan didiskusikan berbagai pemikiran, konsep atau pun teori tentang Identitas. Pendiskusian identitas dimaksudkan untuk memperkaya pemahaman atas Identitas itu sendiri sebagai sebuah konsep atau teori, khususnya pembentukan atau konstruksi (bangunan) Identitas. Diskusi tentang kebalian akan didiskusikan dengan singkat beberapa literatur yang relevan dengan konteks penelitian ada banyak literatur tentang Bali, tidak semua penad untuk didiskusikan, dan beberapa di antaranya sudah terintegrasi dalam bab-bab selanjutnya. Tentang Identitas Diskusi ini akan diawali dengan pemikiran Manuell Castells. Acuannya pada karya Castells yang berjudul “The Power of Identity 4 ”. Agar tidak terjadi keserampangan dalam mendiskusikan tentang Identitas, perlu diketahui secara singkat konteks dari karya Castells tersebut. Pertama, “The Power Identity” merupakan volume kedua atau merupakan kelanjutan dari volume pertama. “The Power of Identity” adalah kelanjutan dari The Rise of Network Society 5 ” (volume pertama). Sebagai sebuah rangkaian (serial) ada keterjalinan antara “The Rise of Network Societydengan “The Power of Identity”; Kedua, dari kedua volume tersebut dapat diketahui bahwa yang mendasari “The Power Identity” adalah “The Rise of Network Society”. Kemudian, dari kedua volume ini Castells mengakhirinya dengan volume ketiga yang berjudul “End of Millennium6 . Jadi, uraian tentang Identitas dalam karya Castells lebih terampat pada 4 Manuel, Castells. (2002), The Information Age: Economy, Society and Culture, Volume II: The Power of Identity, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit pertama kali tahun 1997. 5 Manuel, Castells. (2000), The Information Age: Economy, Society and Culture, Volume I: The Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit pertama kali tahun 1996. 6 Manuel, Castells. (2004), The Information Age: Economy, Society and Culture, Volume III: End of Millennium, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit pertama kali tahun 1998.

Transcript of BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional...

Page 1: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

15

BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN

Dua tema utama yang akan diuraikan dalam bab ini sebagai sebuah

tinjauan literatur adalah diskusi tentang Identitas dan kebalian. Dalam tema

identitas akan didiskusikan berbagai pemikiran, konsep atau pun teori

tentang Identitas. Pendiskusian identitas dimaksudkan untuk memperkaya

pemahaman atas Identitas itu sendiri sebagai sebuah konsep atau teori,

khususnya pembentukan atau konstruksi (bangunan) Identitas.

Diskusi tentang kebalian akan didiskusikan dengan singkat

beberapa literatur yang relevan dengan konteks penelitian – ada banyak

literatur tentang Bali, tidak semua penad untuk didiskusikan, dan beberapa

di antaranya sudah terintegrasi dalam bab-bab selanjutnya.

Tentang Identitas

Diskusi ini akan diawali dengan pemikiran Manuell Castells.

Acuannya pada karya Castells yang berjudul “The Power of Identity4”.

Agar tidak terjadi keserampangan dalam mendiskusikan tentang Identitas,

perlu diketahui secara singkat konteks dari karya Castells tersebut.

Pertama, “The Power Identity” merupakan volume kedua atau merupakan

kelanjutan dari volume pertama. “The Power of Identity” adalah kelanjutan

dari “The Rise of Network Society5” (volume pertama). Sebagai sebuah

rangkaian (serial) ada keterjalinan antara “The Rise of Network Society”

dengan “The Power of Identity”; Kedua, dari kedua volume tersebut dapat

diketahui bahwa yang mendasari “The Power Identity” adalah “The Rise of

Network Society”. Kemudian, dari kedua volume ini Castells

mengakhirinya dengan volume ketiga yang berjudul “End of Millennium”6.

Jadi, uraian tentang Identitas dalam karya Castells lebih terampat pada

4 Manuel, Castells. (2002), The Information Age: Economy, Society and Culture,

Volume II: The Power of Identity, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit

pertama kali tahun 1997. 5 Manuel, Castells. (2000), The Information Age: Economy, Society and Culture,

Volume I: The Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell. Catatan penulis:

terbit pertama kali tahun 1996. 6 Manuel, Castells. (2004), The Information Age: Economy, Society and Culture,

Volume III: End of Millennium, Oxford: Blackwell. Catatan penulis: terbit pertama

kali tahun 1998.

Page 2: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

16

volume kedua – dan sebenarnya Castells tidak secara total fokus kepada

identitas di volume kedua karena identitas hanya menjadi salah satu bagian

dari Trilogi Castells dalam “The Information Age” (terutama di trilogi yang

kedua, itu pun hanya di bagian awal dari keseluruhan “The Power of

Identity”). Mengapa? Karena yang menjadi perhatian utama Castells dalam

tema besar trilogi “The Information Age” adalah terfokus dengan

restrukturisasi masyarakat kapitalis (capitalist civilization), dengan

globalisasi dan perubahan organisatoris di dalamnya, sejak tahun 1960-an,

yang didukung oleh pembangunan dan penggunaan teknologi informasi

dan komunikasi, hancurnya komunisme Sovyet, dan klaim representatif

bahwa masyarakat kapitalis yang sudah terrestrukturasi tersebut sebagai

sebuah alternatif bagi masyarakat (sipil) modern (modern civilization)7.

Konteks besar dalam penguraian Castells, terutama tentang

Identitas (dalam The Power of Identity), adalah masyarakat jaringan

(network societies) dalam sebuah era informasi (the information age) –

sebuah era atau masa di mana revolusi teknologi tidak hanya melahirkan

sebuah masyarakat jaringan8, tapi juga menyebabkan berbagai macam

perubahan dalam bidang teknologi informasi, ekonomi, politik,

kemasyarakatan (hubungan sosial), dan kebudayaan. Seperti yang

dikemukakan Castells (2000) mengatakan bahwa: “Our societies are

increasingly structured around a bipolar opposition between the Net and

the self9”, dan Castells (2002) bahwa: “Our world, and our lives, are being

shaped by the conflicting trends of globalization and identity10

”. Tanpa

7 Lihat: McGuigan, Jim. (2006), Modernity and Postmodern Culture, New York:

Open University Press. Hlm. 115-136 dalam bab: “The Information Age”. 8 Jaringan atau “The Net” yang dimaksudkan oleh Castells (2000) tidak hanya

secara khusus ditempatkan pada Internet, tapi juga, tercakup model jaringan

(network) masyarakat dan kebudayaan secara umum, di mana menransformasikan

realitas kelembagaan dan kondisi (riil) sehari-hari masyarakat di dunia. 9 Castells (2000), op.cit. hlm.3. Terjemahan dari kalimat ini mengutip Putranto

(2004, hlm.86): “Masyarakat kita semakin terstruktur seputar oposisi dwi-kutub,

yaitu kutub Jaringan dan kutub diri”. 10

Castells (2002), op.cit. hlm.1. Terjemahan mengutip Putranto (2004, loc.cit):

“Dunia dan hidup kita sedang dibentuk oleh tren-tren yang saling bergesekan,

yaitu globalisasi dan identitas.”

Page 3: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

17

mengetahui konteksnya – bisa saja – pemahaman identitas atas pemikiran

Castells bisa keluar dari batasan-batasan atau pengkondisian identitas yang

dimaksudkan oleh Castells. Jika konteksnya berada pada sebuah

masyarakat jaringan, maka – tanpa perlu dijelaskan – bahwa masyarakat

yang dimaksudkan lebih tertuju pada masyarakat yang modern. Modern

dalam arti, singkatnya, sudah akrab dengan teknologi informasi –

khususnya internet – yang memintal masyarakat dalam sebuah masyarakat

jaringan. Karenanya, menjadi tidak tepat jika konteks identitas dalam

masyarakat jaringan digunakan dalam sebuah masyarakat yang belum

mendapatkan atau mampu memanfaatkan teknologi informasi.

Apa yang sebenarnya menjadi pokok-pokok untuk diskusi tentang

Identitas berdasarkan karya Castells, The Power of Identity? Dalam sub-

bab “The Construction of Identity” di bab pertama “The Power of Identity”,

Castells mengemukakan bahwa identitas merupakan sumber makna

(pemaknaan) dan pengalaman orang. Proses pengkonstruksian makna

tersebut didasarkan atas sebuah atribut kultural, atau terkait dengan

seperangkat atribut kultural, di mana diprioritaskan di atas sumber-sumber

pemaknaan yang lain. Ini yang menyebabkan identitas bersifat majemuk /

jamak (plurality of identities), karena identitas sebagai sumber pemaknaan

dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan bagi seorang

individu, atau sebuah kumpulan aktor (collective actor). Akibatnya,

kejamakan identitas menjadi sumber tekanan dan kontrakdiksi baik dalam

self-representation maupun social action. Ini yang menyebabkan mengapa

identitas harus dibangun, seperti yang umum disebutkan para sosiolog,

sebagai peran, dan seperangkat peran (roles, and role-sets). Meskipun

demikian, Castells berpendapat bahwa identitas lebih dominan sebagai

sumber pemaknaan daripada peran. Identitas dikonstruksikan oleh aktor

melalui sebuah proses yang disebut individuisasi (individuation), terkait

dengan identitas sebagai sumber makna bagi aktor itu sendiri. Atau,

dalam pandangan Giddens (1991) 11

identitas sebagai sebuah proyek.

Dengan kata lain, aktor atau agen tersebut tidak bisa dilepaskan dari

11

Giddens, Anthony. (1991), Modernity and Self-Identity, Cambridge: Polity

Press.

Page 4: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

18

struktur yang ada – yang diperkuat dengan pernyataan Connolly (2000)12

terkait masyarakat jaringan dan struktur bahwa kehidupan politik identitas

dalam masyarakat modern tidak dapat lepas dari struktur politik global.

Lebih lanjut, Castells berpendapat bahwa identitas yang (dapat dikatakan)

berasal dari institusi-institusi dominan dapat menjadi identitas ketika dan

jika ada proses internalisasi oleh aktor sosial, dan mengkonstruksikan

makna yang ada melalui proses internalisasi. Dalam bukunya The Power of

Identity – terkait dengan pumpunan Castells pada masyarakat jaringan –

Castells dengan tegas memfokuskan kajian tentang identitas dalam konteks

masyarakat jaringan pada identitas kolektif (collective identities). Hal ini

dikarenakan bahwa di dalam masyarakat jaringan pemaknaan individu

melewati ruang dan waktu – terpintal dalam sebuah jaringan. Tanpa

mengabaikan fakta bahwa identitas kolektif tersebut – seperti dalam

masyarakat jaringan – merupakan pintalan dari identitas individu. Dengan

kata lain, dilihat dari bentuknya, identitas dapat dipilah menjadi identitas

individu dan identitas kolektif. Castells sependapat, berdasarkan fakta dan

dalam perspektif sosiologi, bahwa semua identitas adalah terkontrusksi

(dikonstruksikan, dibentuk). Bahan-bahan atau material pengkonstruksian

tersebut adalah berasal dari sejarah, letak geografis, biologi, institusi-

institusi produktif dan reproduktif, collective memory dan fantasi personal,

serta dari kekuasaan aparatur-aparatur dan syariah keagamaan (kitab).

Terakhir, Castells merumuskan bangunan identitas berdasarkan bentuk dan

asal usulnya menjadi tiga, yaitu: (1) Legitimizing identity, atau identitas

yang sahih, seperti otoritas (authority) dan dominasi; (2) Resistance

identity, atau identitas perlawanan, sebagai bentuk perlawanan atas

dominasi, contohnya adalah politik identitas; (3) Project Identity, atau

identitas proyek, seperti feminisme – ketika aktor-aktor sosial dengan

sumber daya kulturalnya membangun sebuah identitas baru untuk

mendapatkan kembali posisinya di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, pokok-pokok tentang Identitas dari

pemikiran Castells, di antaranya adalah: (1) identitas sebagai sumber

makna dan pengalaman; (2) atribut kultural sebagai basis konstruksi

12

Connolly, William E. (2000), “Identity and Difference in Global Politics”,

dalam Nash, Kate. (Ed.), Readings in Contemporary Political Sociology, Oxford:

Blackwell. Hlm.346.

Page 5: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

19

makna; (3) identitas bersifat jamak; (4) seperangkat peran; (5) proses

individuisasi; (6) internalisasi; (7) bentuk identitas: individu dan kolektif;

(8) material konstruksi identitas; (9) bentuk dan asal usul identitas.

Identitas menjadi sangat kompleks dalam proses pembentukan atau

pengkonstruksiannya, dalam kasus Castells terpumpun pada masyarakat

jaringan. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa masyarakat jaringan

dapat dikatakan sebagai masyarakat modern yang telah memasuki era

informasi – yang juga telah mengalami dan menikmati secara langsung

revolusi teknologi. Tentu, apa yang diuraikan oleh Castells ini cukup

kompleks dan mumpuni untuk konteksnya, dan ini bukan sebuah asas

semesta atas diskusi tentang Identitas. Dengan kata lain, pemikiran

Castells cukup penad untuk dijadikan rambu dalam sebuah kerangka

pemikiran teoritis tentang Identitas. Karena tema identitas menjadi tema

yang menarik perhatian banyak pemikir (akademisi), akan menjadi sempit

jika tidak menyertakan pemikir lainnya dalam diskusi tentang Identitas ini

–bagaimana pun setiap pemikir memiliki perbedaan perspektif tentang

Identitas.

Karya berikutnya yang akan dikaji adalah karya sosiolog

strukturalis bernama Peter J. Burke yang ditulis bersama istrinya, Jan E.

Stets berjudulkan “Identity Theory”13

. Agar tidak terpesona dengan grand

title buku tersebut, terlebih dahulu diuraikan sekilas konteks atau latar

belakang buku tersebut. Buku ini – Identity Theory – (tampaknya) dapat

dikatakan seperti buku teks tentang teori identitas. Metode penelitian yang

dikembangkan untuk buku ini adalah kuantitatif dengan survey ke banyak

responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat terukur untuk

membuktikan hipotesa-hipotesa yang diajukan oleh kedua penulis ini

tentang Identitas. Respondennya jelas adalah masyarakat Barat. Displin

ilmu yang digunakan untuk Identity Theory ini adalah sosiologi, sesuai

dengan latar belakang keilmuan kedua penulis, terutama Burke.

Letak perbedaan antara karya Burke dan Stets dengan Castells

sebenarnya terletak pada fokus kajiannya. Jika Castells merampatkan

kajiannya pada identitas kolektif, maka Burke dan Stets merampatkannya

13

Burke, Peter. and Stets, Jan E. (2009), Identity Theory, New York: Oxford

University Press.

Page 6: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

20

pada identitas personal. Alasan yang dikemukakan oleh Burke dan Stets

sangat jelas, bahwa esensi atau dasar dari identitas terletak pada identitas

personal – sebuah kenyataan yang diakui oleh Castells, tetapi Castells

memiliki fokus di identitas kolektif karena konteks yang dipilih adalah

masyarakat jaringan. Basis teori yang digunakan oleh Burke dan Stets

untuk membangun Identity Theory adalah interaksionisme simbolik

(symbolic interactionism), agen dan struktur sosial sebagai penyangganya

– terkait bahwa pemfokusannya pada level personal (identitas individu)

tidak bisa dilepaskan dari peran agen (aktor) dan struktur yang

mendominasi si individu. Melalui interaksionisme simbolik, Burke dan

Stets dalam menyentuh kedalaman Identitas yang berasal dari individu,

yaitu dengan menggunakan instrumen utama the self, language, sign, and

symbols, dan interaction yang menjadi fondasi interaksionisme simbolik.

Kemudian, oleh Burke dan Stets interaksionisme simbolik ini ditopang

dengan teori control system, namun basis utamanya tetap interaksionisme

simbolik. Terkait dengan agen atau aktor – yang menjadi fokus kajian –

Burke dan Stets berpendapat bahwa perbedaan antara person dan agent

pusat teori identitas, di mana dalam teori identitas, sebuah identitas adalah

seorang agen, dan setiap orang memiliki banyak identitas (lebih dari satu

identitas)14

. Ini yang mempertegas keduanya untuk tetap kukuh pada

perspektif interaksi simbolik struktural untuk membidani dan

mengkonstruksikan teori identitas, dan berpandangan bahwa sebuah

identitas juga merupakan sebuah kontruksi teoritis15

. Perbedaan yang

mencolok antara Castells dengan Burke dan Stets adalah pada basis

identitasnya. Castells lebih menyeluruh dalam menyusun dan menguraikan

basis identitas. Burke dan Stets membasiskan identitas pada peran (role),

grup / kelompok (group), dan perorangan / individu (person). Meskipun

terlihat sangat sempit dan kaku, namun basis identitas yang digunakan

Burke dan Stets tidak dapat dilepaskan dari fondasi teori yang

digunakannya, serta metode kuantitatif yang digunakan untuk

mendapatkan validitas data untuk teori identitasnya. Dengan kata lain,

dalam teori identitasnya, Burke dan Stets menjadikan identitas itu benar-

14

Burke dan Stets (2009), op.cit., hlm. 8. 15

Burke dan Stets (2009), op.cit., hlm. 8-9.

Page 7: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

21

benar terstruktur dengan rapi terhadap identitas individu melalui interasi

simbolik struktural-nya, dan dengannya teori identitas dikontruksikan.

Keunggulan dari pendekatan yang digunakan oleh Burke dan Stets adalah

pada ketegasan dan kejelasan tentang Identitas yang dikontruksikan

melalui pendekatan interasionisme simbolik-nya. Sasarannya tepat untuk

membidik identitas itu sendiri yang berhulu pada individu. Ini yang

menyebabkan pengkontruksian teori identitas yang dilakukan keduanya

menjadi tegas dan jelas. Tepat digunakan sebagai buku teks, tetapi dengan

catatan, bahwa teori ini dibangun pada satu perspektif dan satu konteks

yang sangat terbatas pada masyarakat modern yang – menurut mereka –

sudah secara rapi terstruktural.

Studi Burke dan Stets tampaknya terlalu kaku. Keduanya sangat

mengacu pada structural simbolic interaction sebagai dasar atau akar

dalam membangun kerangka teori Identitas dengan metode penelitian yang

sangat terukur (kuantitaf- survey dengan fokus objek personal). Ulasan

yang lebih menyeluruh sebenarnya dilakukan oleh James E. Cote dan

Charles G. Levine tentang Identity Formation, Agency, dan Culture16

.

Letak perbedaannya terletak pada aspek culture – tanpa dipungkiri bahwa

Cote dan Levine pun tetap menggunakan teori struktur sosial, agensi,

simbolic interaction dalam bukunya dengan berakarkan psikoanalisa

sebagai pioner teori identitas (seperti yang dikembangkan Erikson17

berangkat dari fondasi self yang dibangun oleh Freud), kemudian

dikembangkan melalui sebuah sintesis psikologi sosial. Hal ini dapat

dilihat dari kerangka kerjanya dalam memahami identity formation,

Agency, dan Culture yang didasarkan pada hubungan yang saling

mempengaruhi antara social structure, interaction, dan personality, yang

di dalam hubungan tersebut terdapat socialization dan social control, dan,

internalization (ego synthesis abilities)18

. Sebaliknya, hubungan antara

personality, interaction, dan social structure, yang di dalamnya terdapat

16

Cote, James E. & Levine, Charles G. (2002), Identity Formation, Agency, and

Culture: A Social Psychological Synthesis, London: Lawrence Erlbaum

Associates. 17

Karya terkenal Erikson yang banyak dirujuk untuk studi identitas adalah:

Erikson, Erik H. (1963), Childhood and Society, New York: W.W. Norton & Co. 18

Cote, James E. & Levine, Charles G. (2002). Op.cit., hlm. 6-9.

Page 8: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

22

presentation of self (ego executive abilities) dan social construction of

reality (objectivation)19

. Hubungan saling mempengaruhi dua arah ini yang

menyebabkan adanya subjektivitas yang bermuara pada objektivitas, dan

terus berulang. Fokus Cote dan Levine sebenarnya sama dengan Burke dan

Stets, yaitu identitas personal – dapat dilihat pada penggunaan interaksi

simbolik yang membentuk (memformasikan) identitas oleh agen yang

terstruktur.

Baik karya Burke dan Stets maupun Cote dan Levine, keduanya

bisa dipadukan sebagai buku teks tentang Identitas, namun dalam posisi

kajian yang merampat pada identitas personal sebagai identitas secara

keseluruhan. Meskipun demikian, kedua karya ini terkait dengan identitas

personal (individu) sebagai cara melihat identitas secara keseluruhan.

Ulasan dalam kedua karya tersebut masih belum menyentuh kedalaman

tentang Identitas itu sendiri. Cara lain melihat Identitas lebih mendalam

adalah dengan perspektif psikologi / psikoanalisa (sosial), yaitu melalui

sebuah cerita atau narasi, seperti yang dikembangkan oleh McAdams, dkk.

(2006)20

. Dengan kata lain, mereka ingin melihat identitas dari

kedalamannya sendiri, “self”, yang dapat disampaikan melalui sebuah

cerita atau narasi diri. Melalui sebuah cerita seseorang bisa menarasikan

dirinya (self), atau, mengidentifikasikan dirinya seperti apa. Dengan kata

lain, mengkonstruksikan identitas dirinya (identitas personal) melalui

sebuah cerita. Karenanya, aspek psikologi (khususnya psikoanalisa yang

dikembangkan oleh Freud dan Erikson) menjadi sangat penting. Fokusnya

sama-sama personal, baik Burke & Stets, Cote & Levine maupun

McAdams, dkk. Hanya saja, peran struktur sosial yang sebenarnya sedikit

banyak memiliki dominasi atas individu dalam mengidentifikasikan

dirinya (identitasnya) menjadi terabaikan. Kedalaman atas identitas

personal itu dapat tercapai dengan sebuah narasi melalui pisau psikologi

(dan, atau psikoanalisa). Bagi Chris Barker, keempat karya ini (dari

19

Cote, James E. & Levine, Charles G. (2002). Loc.cit. 20

McAdams, Dan P., Josselson, Ruthellen., dan Lieblich, Amia. (Ed.). (2006),

Identity and Story: Creating Self in Narrative, Washington, D.C.: American

Psychological Association.

Page 9: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

23

masyarakat jaringan sampai narasi), dijadikan sebagai sebuah kerangka

pikir tentang Identitas dalam kajian studi kebudayaan21

.

Karya lain yang menarik untuk didiskusikan adalah karya Richard

Jenkins yang berjudul “Social Identity”22

. Bila dibandingkan dengan karya-

karya pemikir sebelumnya yang telah diulas di atas, karya Jenkins tentang

Social Identity atau “Identitas Sosial” adalah karya yang ambigu. Ada

sebuah kesalahan yang dinilai cukup fatal, dan ini diakui oleh Jenkins

disertai alasannya, bahwa Jenkins sebenarnya tidak membahas tentang

“Identitas Sosial”, ia lebih terfokus membahas tentang identitas itu sendiri

atau “identifikasi”. Kata “Sosial” yang diletakkan pada “Identitas” sebagai

sebuah judul besar buku “Identitas Sosial” atau “Social Identity”,

sebenarnya lebih disebabkan (faktor utama) oleh: pertimbangan pemasaran

– agar buku ini memiliki nilai jual dan laku di pasaran. Jadi, Jenkins

sebenarnya tidak membahas tentang “Identitas Sosial”, tetapi “Identitas”

atau “identifikasi”. Tentu, ini akan menjadi masalah jika karya Jenkins ini

digunakan oleh pembacanya sebagai acuan atau kerangka teoritis untuk

membahas “Identitas Sosial”, padahal, Jenkins sendiri dengan tegas

mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak membahas “Identitas Sosial”,

melainkan Identitas atau identifikasi, dan kata “Sosial” yang dimasukkan

dalam judul besar buku digunakan sebagai pertimbangan marketing

(pemasaran) agar karyanya laku di pasaran – mulai dari edisi pertama

sampai edisi ketiga . Seperti yang diutarakan oleh Jenkins dalam edisi

ketiga “Social Identity”-nya:

“Which brings us back to social identity. While this

third edition retains the book‟s original title –

marketing considerations carry some weight, after all –

I prefer, wherever possible, simply to talk about

„identity‟ or „identification‟.”23

21

Lihat: Barker, Chris. (2009), Cultural Studies: Teori dan Praktek (terj.),

Yogyakarta: Kreasi Wacana. 22

Jenkins, Richard. (2008), Social Identity: Third Edition, London & New York:

Routledge-Taylor&Francis Group. 23

Jenkins, Richard. (2008), op.cit., hlm.17.

Page 10: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

24

Argumen yang dikemukakan oleh Jenkins mengapa sebenarnya ia

berbicara tentang “identitas” atau “identifikasi”, bukan Identitas Sosial,

adalah, pertama, (menurut Jenkins jika argumennya benar) semua identitas

manusia, dilihat dari definisinya, merupakan identitas sosial (social

identity); kedua, bahwa untuk membangun secara analitik antara “sosial”

dan “kultural” merancukan realitas manusia yang sesungguhnya24

. Lalu,

definisi apa yang dimaksukan oleh Jenkins yang mendasari bahwa semua

identitas manusia adalah identitas sosial? Secara sederhana Jenkins

mengambil definisi Identitas (“Identity”) dari The Oxford English

Dictionary, di mana bahasa Latin yang menjadi akar dari “Identity” adalah

“identitas” (sama seperti Bahasa Indonesia: identitas), yang terdiri dari

idem, yang berarti “sama” atau “kesamaan” (the same), dan dua makna

dasar: (1) the sameness of object, as in A1 is identical to A2 but not to B1;

(2) the consitency or continuity over time that is the basis for establishing

and grasping the definiteness and distinctiveness of something. Jadi, tema

utama yang dibahas oleh Jenkins “tentang Identitas” – yang berasal dari

definisi tersebut – adalah “persamaan” dan “perbedaan”. Melalui

“persamaan” dan “perbedaan” ini, Jenkins mengkonstruksikan Identitas

“Sosial”-nya. Sama seperti penulis-penulis sebelumnya, Jenkins pun tidak

dapat lepas dari interaksi simbolik, terutama untuk menggambarkan

persamaan dan perbedaan yang melandasi identitas (level individu), dan

struktur sosial.

24

Tulisan lengkapnya dalam Jenkins, Richard. (2008), op.cit., hlm.17. adalah:

First, if my argument is correct, all human identities

are, by definition, social identities. Identifying

ourselves, or others, is a matter of meaning, and

meaning always involves interaction: agreement and

disagreement, convention and innovation,

communication and negotiation. To add the „social‟ in

this context is somewhat redundant. Second, I have

argued elsewhere that to distinguish analytically

betweeen the „social‟ and the „cultural‟ misrepresents

the observable realities of the human world. Sticking

with the plain „identity‟ prevents me from being seen

to do so.

Page 11: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

25

Selain Jenkins, ada beberapa penulis lain yang mencoba

mengkonstruksikan identitas berdasarkan persamaan (yang diartikan oleh

mereka sebagai “identitas”) dan perbedaan – identitas itu menjadi ada

karena adanya persamaan dan perbedaan. Berbeda dengan Jenkins dan

penulis sebelumnya, kerangka pemikiran yang digunakan untuk

mengkontruksikan identitas adalah dengan menggunakan logika (the

Science of Logic) dan filsafat Hegel (the Philosophy of Mind dan the

Philosophy of Right). Bila dibandingkan dengan Jenkins, tentu kajian dari

penulis-penulis ini lebih mendasar (dan tentunya lebih berfilosofi).

Tulisan-tulisan mereka terampai dalam sebuah buku berjudul: “Identity

and Difference: Studies in Hegel’s Logic, Philosophy of Spirit, and

Politic” (editor: Philip T. Grier, 2007)25

. Apa yang menarik dari bunga

rampai tulisan mereka? Pertama, dengan menggunakan logika Hegel (the

Science of Logic), para penulis mencoba secara mendasar memahami

Identitas (persamaan) dan perbedaan sebagai landasan yang hakiki tentang

identitas itu sendiri. Kedua, setelah logika identitas tersebut diketahui,

penulis lain mencoba memahami identitas dengan the Philosophy of Mind-

nya Hegel. Dengan kata lain, melalui Philosophy of Mind-nya Hegel, ingin

dilihat persamaan dan perbedaan tersebut dari aspek psikologisnya –

terampatkan pada si individu. Kurang lebih sama seperti dilakukan oleh

penulis lain yang menggunakan interaksionis simbolik atau pun narasi.

Ketiga, beberapa penulis lain menggunakan Dialektika Hegel untuk

memahami persamaan dan perbedaan untuk menggambarkan masyarakat

(peoples), gender, dan bangsa-bangsa (nations). Keempat, menggunakan

the Philosophy of Right untuk memahami identitas lebih ke aspek

politiknya (politik identitas). Singkatnya, para penulis ingin mempertegas

konsep “perbedaan” untuk mengkonstruksikan identitas dengan

menggunakan logika (dan dialektika) dan filsafat Hegel. Baik Jenkins

maupun Grier, dkk., keduanya sama-sama membangun kerangka identitas

berdasarkan persamaan dan perbedaan yang menjadi esensi atau hakikat

identitas itu sendiri sebagai jati diri – dikatakan sebuah identitas atau jati

diri jika ia “berbeda” dengan yang lain. Perbedaan yang mendasar dari

25

Grier, Philip T. (Ed.). (2007), Identity and Difference: Studies in Hegel’s Logic,

Philosophy of Spirit, and Politics, New York: State University of New York.

Page 12: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

26

keduanya terletak pada alat yang digunakan untuk mengontruksikan

identitas, Jenkins lebih menggunakan pendekatan sosiologi, sedangkan

Grier, dkk., lebih menggunakan pendekatan filsafat Hegel.

Menarik juga untuk didiskusikan tentang Identitas dari para

postmodernis dengan pemikiran tentang Identitas yang saling mengisi.

Madan Sarup (1996)26

melihat identitas dari aspek kesejarahan yang

membentuk identitas. Identitas merupakan sesuatu yang bisa diwarisi.

Seperti yang dikemukakan oleh Moya (2000) bahwa: “The difficulty,

critics of identity point out, is that identities are constituted differently in

different historical contexts“27

. Tentu, Sarup pun memahami perdebatan

yang ada tentang Identitas, yaitu apakah keterbentukannya melalui sebuah

interaksi atau konstruksi. Dua model identitas menurut Sarup (1996)28

,

yaitu: (1) dari sudut pandang tradisional, bahwa keseluruhan dinamika

identitas seperti kelas, gender, dan ras beroperasi secara simultan

menghasilkan identitas yang utuh, kebersatuan dan tetap; (2) sudut

pandang terkini, bahwa identitas difabrikasi, konstruksi, dalam proses, dan

karenanya harus dipertimbangkan aspek psikologi dan faktor sosiologi.

Dengan kata lain, identitas yang ada sekarang – dimiliki oleh orang –

terfragmentasi, penuh dengan kontrakdiksi-kontradiksi dan ambiguitas.

Identitas ras, gender, dan diri (the self) sebagai sesuatu yang utuh,

kemersatuan dan tetap, didukung oleh pendapat Alcoff (2006) yang

berpendapat bahwa identitas seperti ras, gender, dan diri, adalah identitas

yang dapat dilihat atau nyata – kesatuan yang nyata (real entity)29

.

Pandangan ini didasari atas kritik terhadap politik identitas yang kerap

dialamatkan sebagai sebuah permasalahan politik, konseling psikologi,

atau kekeliruan metafisik – kritik yang disampaikan oleh akademisi

postmodern, politik liberal dan kiri, politisi konservatif, dan lain-lain.

26

Sarup, Madan. (1996), Identity, Culture and The Postmodern World, USA: The

University of Georgia Press. 27

Moya, Paula M.L. (2000), “Reclaiming Identity”, dalam Moya, Paula M.L. &

Hames-Garcia, Michlael R. (Ed.), Reclaming Identity: Realist Theory and the

Predicament of Postmodernism, London: University of California Press. 28

Sarup, Madan. (1996), op.cit. hlm. 14. 29

Alcoff, Linda Martin. (2006), Visible Identities: Race, Gender, and the Self,

New York: Oxford University Press.

Page 13: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

27

Kebernyataan identitas (sering) bermula dari kenyataan bahwa identitas itu

sendiri secara tampak mata dapat dilekatkan (dicapkan, diplotkan) atas diri

seseorang, menuntunnya tidak hanya menentukan bagaimana seseorang

menerima dan menilai liyan, tapi bagaimana seseorang tersebut diterima

dan dinilai oleh mereka (liyan). Kembali ke Sarup (1996)30

, terkait dengan

studi identitas, ia berpendapat bahwa: pertama, studi identitas harus

ditempatkan dalam ruang dan waktu tertentu. Identitas tidak ditempatkan

abstrak, tapi selalu dalam relasi pada ruang dan waktu yang telah

diberikan. Kedua, studi identitas harus didasarkan atas sesuatu yang

disebut bukti, dan harus harus berhati-hati atas metode persepsi.

Kemudian, untuk memahami identitas, Sarup (1996)31

menggunakan dua

pendekatan. Pendekatan yang objektif berasal dari luar “It is”, kedua,

berasal dari dalam “I am”. Perspektif pertama, “It is”, melihat individu dari

sudut pandang sosial, sedangkan perspektif kedua, “I am”, individu dalam

masyarakat. Dengan kata lain, ada proses identifikasi di dalamnya.

Pandangan yang tidak kalah kritisnya dari posmodernis “tentang identitas”

adalah seperti yang dikemukakan oleh Haraway (1991)32

bahwa semua

identitas (adalah) terbelah. Tidak ada identitas (yang) esensial dari kelas,

etnisitas, gender atau pun seksualitas: semuanya berpotensi mencair dan

bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk yang lain. Identitas yang tetap

hanya bisa terjadi melalui sistem-sistem yang mendominasi. Lalu, apa

yang menjadi pokok “tentang identitas” dari para postmodernis ini?

Sepertinya, mereka ingin memahami identitas lebih ke esensi identitas itu

sendiri, keluar dari pakem yang selama ini dipakai oleh “modernis”. Atau,

dengan kata lain, mereka ingin keluar dari dominasi “strukturalis” yang

mencoba “menaifkan” identitas ke dalam satu bentuk atau format yang

baku nan terstruktur – yang berakibat pada ke-identitas-an itu sendiri.

Penulis terakhir yang menarik untuk disimak gagasannya tentang

Identitas adalah Kwame Anthony Appiah (2005) dengan bukunya yang

30

Sarup, Madan. (1996), op.cit. hlm. 15. 31

Sarup, Madan. (1996), op.cit. hlm. 28. 32

Haraway (1991) dalam McGuidan, Jim. (2006), Modernity and Postmodern

Culture: 2nd

Edition, London: Open University Press.

Page 14: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

28

berjudul The Ethics of Identity33

. Bila dilihat dari isi atau gagasan dalam

bukunya, judul buku tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai “Nilai-

Nilai Identitas” daripada “Etika Identitas”. Ini berangkat dari argumen

Appiah bahwa di dalam setiap identitas terdapat nilai-nilai, yaitu nilai-nilai

yang bersifat etis atau moral yang mempengaruhi individu atau kelompok

yang menggunakan identitas tersebut. Pandangan atau argumen Appiah ini

berpijak dari sebuah asumsi bahwa konsep religious toleration dan theory

of property-nya Locke, serta slogan human equality dan human right

merupakan sebuah “tradisi” yang (diasumsikan) hampir dimiliki setiap

manusia, Appiah (2005) berpendapat bahwa itu merupakan “tradisi” yang

dapat diasumsikan secara etik individualistik – pada akhirnya, segala suatu

merupakan masalah moral karena imbasan individu-individu – jadi, jika itu

masalah bangsa-bangsa, atau komunitas-komunitas religius, atau pun

keluarga-keluarga, menjadi masalah karena mereka menciptakan sebuah

perbedaan kepada masyarakat yang membentuknya. Ini yang mendasari

Appiah mengapa identitas itu perlu etika. Individualistik yang melekat

pada sebuah identitas – identitas personal maupun sosial – pada akhirnya

bermuara pada individu sebagai aktor atau agen yang mengusung

keindividualistikan tersebut. Kebebasan atau pun hak asasi manusia yang

melekat pada identitas sebagai keindividualistisannya bisa menyebabkan

masalah moral, tetapi itu bukan berarti tidak ada etika dalam identitas.

Tentunya, hal ini tidak dapat dilepaskan dari diri Appiah yang merupakan

seorang Afrika (Ghana), yang pernah melihat bagaimana keindividulistisan

dari identitas menyebabkan permasalahan moral di sana. Appiah

berpendapat bahwa etika itu ada di dalam identitas. Identitas merupakan

sumber nilai yang menjadi etiketnya, dan ada kesamaan nilai dalam

identitas, tetapi bekerja dalam cara yang berbeda dalam masyarakat

berbeda dengan identitas yang berbeda. Bahwa salah satu nilai universal

dari identitas adalah solidaritas (sebagai bagian dari rasa kenyamanan,

kepuasan, atau motivasi dan pemaknaan untuk melakukan kebaikan

internal komunitas identitas tersebut), tapi cara kerjanya berbeda,

dicontohkannya pada masyarakat Yahudi. Identitas kepercayaan, seperti

33

Appiah, Kwame Anthony. (2005), The Ethics of Identity, New Jersey:

Princenton University Press.

Page 15: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

29

Yahudi, menjadikan kesolidaritasan (dan kesolidan) kelompok orang

Yahudi – sama seperti identitas kepercayaan masyarakat lainnya yang

membentuk kesolidaritasnya sendiri – tetapi itu hanya berlaku pada orang

Yahudi, tidak bagi masyarakat lain. Orang Yahudi tentu tidak akan

menerima orang non-Yahudi masuk ke dalam komunitasnya. Selain itu,

Appiah berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut menjadi satu dalam

identitas, di mana menjadi bagian dari nilai-nilai seseorang yang

memasukkan identitas tersebut sebagai salah satu identitas dirinya –

berangkat dari kenyataan bahwa seseorang bisa memiliki lebih dari satu

identitas34

. Tentu nilai-nilai tersebut tidak dimiliki orang lain yang tidak

memiliki identitas tersebut.

Jika sebuah identitas dikonstruksikan oleh pihak tertentu (otoritas

atau pun sebuah sistem yang mendominasi), bersifat memaksa dan tanpa

adanya pertimbangan nilai-nilai atas identitas tersebut, maka permasalahan

identitas akan muncul di aras akar rumput. Manifestasinya adalah melalui

politik identitas – oleh Castells (2002) disebut sebagai resistance identity

(identitas perlawanan) dan project identity (identitas proyek). Sebenarnya

ini bukan gagasan abstrak bahwa identitas bisa dikonstruksikan oleh

otoritas tertentu secara sewenang-wenang, baik itu akademisi atau pun

penguasa, dan akhirnya menimbulkan aksi politik identitas yang tidak

toleran sebagai sebuah perlawanan yang mengusung identitas asalnya

(melawan identitas yang terkonstruksi). Ini menjadi kritik tajam dari

akademisi (ilmuan) sosial yang berhaluan postkolonial maupun orientalis

yang sesungguhnya, bahwa ilmuan Barat atau pun non-Barat sebagai

sebuah sistem yang mendominasi, dengan power atau legitimasi intelektual

dan kekuatannya, berhasil mengkonstruksikan identitas sebuah bangsa atau

kelompok masyarakat tertentu yang mereka cap sebagai dunia ketiga atas

sebuah identitas yang tunggal dan bersifat absolut – mengabaikan realitas

bahwa di dalam identitas tersebut terdapat nilai-nilai, keragaman (bersifat

plural), aspek sejarah dan kultural, dan lain-lain.

34

Appiah, Kwame Anthony. (2005), op.cit. hlm. 24.

Page 16: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

30

Amartya Sen (2007)35

dengan tegas mengkritik tesis yang

disampaikan oleh Samuel Huntington (1996)36

tentang benturan antar

peradaban. Dua kritik utama Sen (2007)37

atas teori peradabannya

Huntington (1996) – Sen menyebutkan dua kelemahan Teori Peradaban –

yaitu: pertama, satu bentuk yang sangat ambisius dari ilusi tentang

ketunggalan – menurut Sen ini adalah kelemahan yang mendasar. Kedua,

keserampangan karakterisasi yang diberikan pada peradaban-peradaban

dunia – karakterisasi yang mengabaikan bahwa manusia memiliki banyak

dimensi. Ilusi tentang ketunggalan ditarik dari asumsi bahwa seseorang

tidak mungkin dipahami sebagai satu pribadi dengan banyak afiliasi, tidak

pula sebagai orang yang menjadi bagian dari berbagai kelompok yang

berbeda-beda, melainkan semata sebagai bagian dari satu kolektivitas

tertentu yang memberikannya identitas yang unik dan penting38

.

Kesempitan cara berpikir – ilusi tentang identitas – yang dikritik oleh Sen

bagaimana intelektual menunggalkan identitas sebagai “Barat” dan

menunggalkan lawan-nya dengan “Timur” – khususnya yang menjadi

perhatian Sen adalah menunggalkan peradaban “Islam” sama halnya

menunggalkan peradaban India sebagai “Hindu”. Keserampangan

karakterisasi peradaban ini dengan angkuhnya menyingkirkan fakta-fakta

sejarah dan fakta nyata bahwa setiap peradaban memiliki banyak

karakterisasi atau multidimensi. Tidak mungkin bisa dikerangkeng pada

satu pengklasifikasian peradaban tertentu. Tesis ini pun, pada akhirnya

menyemai pertikaian global antara peradaban Barat versus peradaban

Islam, meskipun tesis ini dibuat sebelum terjadinya aksi terorisme 11

September 2001, tetapi dengan adanya peristiwa tersebut sepertinya

menjadikan pembenaran tesis atas kategori tunggal atas warga-warga

dunia39

. Letak “The Power Identity” – dalam kasus ini kekuatan identitas

tunggal yang dikonstruksikan oleh Powerism – yang bersifat

35

Sen, Amartya. (2007), Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (terj.), Jakarta:

Marjin Kiri (Penerjemah: Arif Susanto). 36

Lihat:Huntington, Samuel P. (1996), The Clash of Civilizations and the

Remaking of th World Order, New York: Simon & Schuster. 37

Sen, Amartya. (2007), op.cit. hlm. 60-62. 38

Sen, Amartya. (2007), op.cit. hlm. 60. 39

Sen, Amartya. (2007), op.cit. hlm. 76.

Page 17: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

31

menghancurkan berpotensi terjadi, dan sebenarnya sudah terjadi, di era

masyarakat global dan masyarakat jaringan. Identitas tunggal

menyebabkan “Sang kekuatan tunggal” dipersatukan dengan “satu

identitas” yang menghimpun kekuatannya (sekutu) untuk melawan musuh

yang sudah dikerangkeng dengan satu identitas tunggal pula – bisa jadi,

Sang kekuatan tunggal menciptakan musuh baru setelah kehancuran

komunisme, di mana menggunakan para intelektualnya sebagai

pembenaran atas identitas tunggal tersebut.

Kritik serupa pun dilontarkan dengan tegas oleh Francis Fukuyama

(2006) dalam sebuah jurnal yang berjudul “Identity, Immigration &

Democracy”40

. Sama seperti Sen (2007), Fukuyama (2006) sebenarnya

mengkritik keangkuhan Barat terhadap dunia Islam. Fukuyama melihat

bagaimana identitas kaum migran Muslim di Eropa dan Amerika Utara

(Barat) yang memarjinalkan imigran Muslim dengan identitas ke-Islam-

annya, dan ini sangat bertolak belakang dengan demokrasi atau pun asas-

asas kemanusiaan yang didengungkan oleh Barat ke seluruh penjuru dunia.

Pemarjinalan ini tidak terlepas dari ketakutan Barat atas potensi

radikalisme dari imigran Muslim di negaranya. Lalu, mengapa mereka

menjadi radikal? Mereka menjadi radikal karena mereka dipinggirkan atas

nama identitas ke-Islam-annya. Fukuyama dengan tegas menyatakan

bahwa modernisasi dan demokratisasi bukan penyelesaian utama atas

radikalisme Islam yang ditakuti oleh dunia Barat41

. Seperti yang telah

disebutkan sebelumnya, bahwa gerakan radikal ini merupakan bentuk dari

identitas perlawanan (resistance identity) dan identitas proyek (project

identity) dalam politik identitas modern. Menurut Fukuyama (2006),

radikalisme ini turut disebabkan oleh adanya kekosongan identitas dari

generasi ketiga imigran Muslim di Barat yang diisi oleh jihadisme

kontemporer. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pengidentitasan tunggal

seperti yang dikemukakan oleh Huntington (1996) menyebabkan

kemarginalan identitas imigran Muslim ini, seolah-olah imigran Muslim

ini adalah musuh nyata yang harus diwaspadai di dalam negara mereka

40

Fukuyama, Francis. (2006), „Identity, Immigration & Democracy‟, Journal of

Democracy, Volume 17, Number 2. 41

Fukuyama, Francis. (2006), op.cit. hlm.12: “… the problem of jihadist terrorism

will not be solved by bringing modernization and democracy to the Middle East.”

Page 18: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

32

(Barat) – yang sebenarnya sebagian dari imigran Muslim ini sudah menjadi

bagian dari warga negara di dunia Barat.

Sebenarnya kritik atas Identitas (tunggal) yang dilontarkan oleh

Sen dan Fukuyama merupakan kritik tentang Identitas atas perspektif

Barat. Barat yang memiliki sedikit pengetahuan tentang kebudayaan Timur

– sebuah kebudayaan yang sama adiluhung-nya dengan Barat, dan lebih

tua dari Barat – dengan kekuasaannya yang mendominasi dunia mencoba

menyempitkan kebudayaan Timur ke dalam satu identitas tunggal. Seperti

yang menjadi pemikiran dan keyakinan orientalis Edward Said (1979 &

2005)42

bahwa identitas suatu individu atau suatu bangsa tidak bisa

dimampatkan, digeneralis, atau disimplifikasikan menjadi “satu dan satu-

satunya Identitas”. Sejarah yang merentang panjang di belakangnya

sesungguhnya mustahil hanya bergerak di satu garis lurus, pasti ada

pelbagai macam pengaruh yang saling bercampur aduk dalam merumuskan

jatidiri yang terbentuk sekarang43

. Singkatnya, Said ingin mengatakan

bahwa identitas tidak bisa diabsolutkan secara esensialis – seperti yang

dilakukan oleh Barat terhadap Timur. Baik Edward Said maupun Frantz

Fanon (yang karya-karyanya berpengaruh besar atas studi pascakolonial,

termasuk Edward Said sendiri), sama-sama (bertujuan) menggugat Eropa

yang telah menyekat-nyekat manusia ke dalam hirarki ras yang mereduksi

dan mendehumanisasikan kaum hamba ke bawah cara pandang ilmiah

maupun kehendak kaum penguasa44

. Salah satu contohnya adalah

bagaimana Pemerintah Kolonial Inggris mengkonstruksikan masyarakat

India ke dalam satu hirarki masyarakat yang statis berdasarkan sistem

kasta. Sebuah konstruksi identitas yang dilakukan pemerintah kolonial

bersama-sama dengan para orientalis dan Brahmana India yang bisa

menikmati keuntungan dari pengkonstruksian ini oleh pemerintah kolonial.

Ironisnya, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Inggris diadopsi

oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam mengkonstruksikan identitas

masyarakat Bali di tahun 1920-an berdasarkan model kasta yang

42

Said, Edward. (1979), Orientalism, New York: Vintage Books.

Said, Edward. (2005), Bukan Eropa:Freud dan Politik Identitas Timur Tengah

(terj), Jakarta: Marjin Kiri (penerjemah: L.P. Hok). 43

Said, Edward. (2005), op.cit. hlm.vi. 44

Said, Edward. (2005), op.cit. hlm. 16.

Page 19: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

33

diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Inggris terhadap masyarakat India

– di Bali, model kasta tersebut menjadi Sistem Wangsa: Triwangsa dan

Jabawangsa. Dengan beranggapan bahwa Hindu di Bali sama dengan

Hindu di India – karena India dianggap sebagai pusat dari perkembangan

dan penyebaran agama Hindu di Nusantara. Akibatnya, seperti yang

dikatakan oleh Said dan Fanon adalah terjadi “pereduksian dan

pendehumanisasikan kaum hamba”. Di India, kaum hambanya adalah

kasta sudra dan paria (out of caste, tidak memiliki kasta), dan di Bali,

adalah Jabawangsa atau sudrawangsa. Ironis, untuk kasus di Indonesia,

gaya kolonial ini masih dipraktekkan oleh pemerintah Republik Indonesia

– yang merupakan pemerintahan di masa pasca kolonial – ketika

mengharuskan kepercayaan masyarakat Bali – Hindu Bali – agar

dikonversikan menjadi Agama Resmi oleh pemerintahan Orde Lama45

.

Pemerintah Orde Lama yang diwakili Kementerian Agama dengan

otoritasnya mengklasifikasikan kepercayaan Indonesia menjadi: Orang

yang ber-Agama dan Orang yang belum ber-Agama. Geertz (1974 dan

1992)46

menyebutnya sebagai “Internal Convertion” – masyarakat Bali

terpaksa meng-Hindu-kan kepercayaan Hindu-Bali-nya menjadi “Hindu

resmi” berdasarkan versi pemerintah. Geertz dengan internal convertion –

bisa diterjemahkan sebagai rasionalisasi agama – sebenarnya mengkritik

dominasi Weberian dalam mengklasifikasikan agama-agama. Max Weber

– dengan karya besarnya yang fenomenal The Protestant Ethics and The

Spirit of Capitalism47

– telah menginspirasi para pengikutnya dan para

orientalis untuk merasionalisasikan “agama-agama” lain di dunia – yang

disebutnya sebagai agama tradisional (kurang rasional) – khususnya ketika

Weber (hampir) berhasil merasionalisasikan agama besar dari Timur –

Hindu dan Budha – sama seperti yang dilakukannya pada kaum protestan

45

Ulasan ringkasnya dapat dilihat pada Bab Lima disertasi ini di sub-bab Aktor. 46

Geertz, Clifford. (1974), The Interpretation of Cultures: Selected Essays,

London: Hutchinson & CO Publisher.

Edisi terjemahan: Geertz, Clifford. (1992), Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta:

Penerbit Kanisius. 47

Lihat: Weber, Max. (1968), The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism

(terj.), New York: Charles Scribner‟s Sons (dialih-bahasakan oleh Talcott Parson

dari Bahasa Jerman ke Inggris).

Page 20: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

34

di Amerika dalam karya berikutnya yang berjudul “The Religion of India:

The Sociology of Hinduism and Budhism48

”. Seperti yang dikritik oleh

Edward Said, Amartya Sen, dan Geertz dengan kasus masyarakat Bali,

cara Barat memandang Timur ini yang menjadi pokok kritik mereka,

bagaimana para orientalis mengklasifikasikan masyarakat di luar Barat,

seolah-olah mereka (Barat) lebih tahu dan pantas mengklasikasikan Timur

berdasarkan pengetahuan rasional yang dimilikinya.

Diskusi singkat tentang Identitas dari beberapa penulis di atas

ditujukan untuk memperkaya pemahaman tentang Identitas, khususnya

bagaimana proses pembentukan atau konstruksi sebuah Identitas. Ada

berbagai sudut pandang (basis teori) yang digunakan para penulis untuk

mengkonstruksikan Identitas. Dari beberapa penulis tersebut, pemikiran

Castells dipilih untuk mengkaji proses pembentukan identitas. Dua poin

utama dari pemikiran Castells yang akan digunakan untuk mengkaji proses

pembentukan identitas adalah tiga bentuk bangunan identitas (legitimizing,

resistance, dan project identity) dan aktor sebagai pengkonstruksi identitas.

Seperti yang telah dijelaskan di Bagian Pendahuluan, pola hubungan pusat-

satelit menjadi sebuah kerangka proses pembentukan identitas. Pusat dan

satelit merupakan aktor pengkonstruksi identitas. Tidak hanya pusat yang

menjadi aktor yang melegitimasikan identitas satelit menjadi identitas yang

sahih (legitimizing identity), tetapi juga satelit sebagai aktor yang

mengkonstruksikan identitasnya dengan membentuk resitance dan project

identity.

Kebalian

Jika diskusi di atas – sebagai sebuah tinjauan literatur tentang

Identitas – lebih ke aras abstrak, maka di bagian ini diskusinya lebih

difokuskan atau lebih mengena ke objek penelitian, yaitu Bali. Seperti

yang telah diketahui bahwa kajian atau literatur mengenai Bali telah

banyak ditulis oleh para peneliti asing dan lokal. Namun, literatur

48

Lihat: Weber, Max. (1958), The Religion of India: The Sociology of Hinduism

and Buddhism (terj.), USA (Glencoe, Illinois): The Free Press (dialih-bahasakan

dan dieditori oleh Hans H. Gerth dan Don Martindale).

Page 21: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

35

mengenai Bali di luar Bali jumlahnya masih sedikit49

, terutama Bali di

Lampung seperti yang menjadi objek penelitian ini. Oleh karena itu, dua

tema yang dirampatkan dalam sub-bab tinjauan literatur ini adalah Bali di

luar Bali dan (sejarah) pengkonstruksian identitas Bali. Pembahasannya

akan disajikan secara singkat, karena selain terlalu jauh dengan konteks

penelitian Bali di Lampung, literatur ini sebenarnya turut disertakan pada

pembahasan isi (bab-bab empirik) dalam disertasi ini (memiliki keterkaitan

dengan data empirik pada konteks tertentu, terutama karena tema ini

terkait dengan sejarah).

Bali di luar Bali. Jika ada Bali di luar Bali, maka ini disebabkan

adanya proses migrasi atau lebih tepatnya disebut transmigrasi. Namun,

pada bagian ini penulis tidak membahas transmigrasi, karena tema

transmigrasi akan dibahas di Bab Tiga (termasuk menggunakan beberapa

literatur penunjang). Tanpa memungkiri kenyataan bahwa literatur Bali di

luar Bali (sangat) terbatas, yang ada dan akan digunakan oleh penulis,

sebenarnya tetap berada pada tema transmigrasi orang Bali yang

menyebabkan mereka berada di luar Bali. Untuk itu ada tiga literatur –

berdasarkan hasil penelitian – yang akan penulis gunakan untuk membahas

secara singkat Bali di luar Bali, yaitu karya Gloria Davis (1976)50

, A. A.

Bagus Wirawan (2008)51

, dan Brian A. Hoey (2003)52

. Meskipun ketiga

49

Seandainya ada, itu pun dalam bentuk tidak dipublikasikan, dan belum

terjangkau oleh penulis karena hambatan teknis, terutama pendanaan dan akses ke

sumber informasi. 50

Davis, Gloria. (1976). “Parigi: A Social History at the Balinese Movement to

Central Sulawesi 1907-1974”, Disertasi Doktor Stanford University. Karya Davis

ini biasanya menjadi rujukan bagi peneliti sejarah bertransmigrasinya orang Bali

dan orang Bali setelah berada di luar Bali, khususnya orang Bali yang berada di

Sulawesi. 51

Wirawan, A. A. Bagus. (2008), „Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di

Sumbawa, 1952-1997‟, Yogyakarta: JANTRA (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III,

No.6 Desember 2008. 52

Hoey, Brian A., „Nationalism in Indonesia: Building Imagined and Intentional

Communities Through Transmigration‟, Ethonology, Spring 2003, Vol. 42 Issue 2,

P 109, 18 p, 1 bw; (AN 10317586).

Page 22: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

36

literatur ini berada pada satu kerangka besar tema “transmigrasi”, namun

ketiganya sama-sama membahas orang Bali yang berada di luar Bali.

Davis (1976) dan Hoey (2003) mengambil kasus orang Bali di Sulawesi

Tengah, sedangkan Wirawan (2008) mengambil kasus orang Bali di

Sumbawa. Uraian yang bersifat sejarah lebih ditonjolkan oleh Davis

(1976) yang menguraikan dengan ringkas dan bernas sejarah perpindahan

(transmigrasi) orang Bali ke Parigi (Sulawesi Tengah) dalam disertasi

doktoralnya dan Wirawan (2008) mengenai sejarah transmigrasi orang Bali

ke Sumbawa dalam sebuah jurnal nasional. Hoey (2003) meskipun

tulisannya dalam tema besar “nasionalisme di Indonesia terkait dengan

bangunan komunitas reka-bayang dan terencana melalui transmigrasi,

objek penelitian yang diambil adalah transmigran Bali di Sulawesi. Apa

yang menarik dari tulisan ketiganya dan relevan dengan penelitian penulis?

Hal yang menarik dari ketiganya adalah bahwa orang Bali yang telah

berada di luar Bali melalui proses transmigrasi berhasil menghadirkan

kosmos Bali – kebudayaan Bali – ke daerah barunya – meskipun harus

melalui waktu dan proses yang panjang agar sebisa mungkin kosmos Bali

tersebut benar-benar sama dengan yang ada di Bali (dan sesungguhnya

tidak bisa menjadi sama seratus persen seperti di Bali). Jadi, orang Bali

yang pindah ke luar Bali – dalam kasus ini di Sulawesi dan Sumbawa –

turut memindahkan (menyertakan) identitas kebalian mereka. Identitas

kebalian sangat melekat pada individu orang Bali – dalam kasus ini

transmigran yang berada di Sulawesi dan Sumbawa – dan mereka wajib

untuk menghadirkan kosmosnya di daerah tersebut meskipun masih dalam

bentuk yang sangat sederhana. Tentu, dalam kasus orang Bali di Sulawesi

(dan Sumbawa), Bali yang dimaksudkan adalah Bali Hindu. Orang Bali

yang beragama nasrani (umumnya berasal dari Bali Utara, Jembarana)

yang turut pindah ke Sulawesi sebenarnya tetap membawa identitas Bali-

nya, tetapi hanya sebagai orang yang lahir di Bali atau ex-Bali (bukan Bali

yang sesungguhnya seperti Bali Hindu), bukan identitas kebalian yang

mencerminkan kebudayaan Bali itu sendiri. Bagi orang Bali yang sudah

menjadi satu dengan Hindu-nya (Bali Hindu), mereka (orang Bali) yang

Page 23: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

37

sudah mengonversikan kepercayaan leluhurnya (dari Hindu Bali ke

“agama resmi”), maka mereka dianggap sudah bukan Bali lagi53

.

Identitas Bali yang terkonstruksi. Untuk kasus di Indonesia, Bali

merupakan (salah satu) contoh kasus bagaimana identitas suatu masyarakat

dikonstruksikan oleh sebuah otoritas (kekuasaan, power). Bagaimana

tidak? Bali yang di masa kerajaan menjadi sebuah pulau yang terisolir

pasca jatuhnya Kerajaan Hindu di Jawa, dan sebuah pulau yang selalu

dipenuhi dengan peperangan sebelum pemerintah kolonial menginvasi Bali

di akhir abad ke-19 dan berhasil menguasainya di permulaan abad ke-20,

“tiba-tiba” menjadi sebuah pulau yang dicitrakan oleh pemerintah kolonial

sebagai paradise – surga dunia – dan living museum (serta pencitraan

keeksotikan dan keindahaan yang lain untuk Bali). Sebuah pencitraan yang

sebenarnya bertolak-belakang dengan penilaian para pejabat kolonial

(Belanda, dan Inggris untuk waktu yang singkat, serta pendatang /

pedagang asing) sebelum menginvasi dan menguasai Bali atas pulau ini

sebagai sebuah tempat yang penuh kebrutalan. Selain kondisi di pulau ini

yang selalu diwarnai dengan peperangan antar kerajaan, Bali dikenal

sebagai pengekspor budak terbesar di wilayah Nusantara di masa

pemerintahan kolonial Belanda, serta praktek “pembakaran janda” masih

dilakukan. Bagaimana sebuah power – yang dalam kasus ini adalah

pemerintah yang berkuasa dengan dukungan pemikiran dari para

intelektual orientalis Barat – berhasil mendongkrak citra Bali sebagai

paradise (dapat dikatakan, penyitraan tersebut masih melekat sampai saat

ini) yang menjadi perhatian banyak peneliti (asing) atas pencitraan

identitas Bali yang terkonstruksi.

Salah satunya adalah Adrian Vickers (1996) melalui bukunya yang

terkenal “Bali: A Paradise Created”54

. Melalui bukunya tersebut, Vickes

53

Mengutip Geertz (1992, edisi terjemahan) dalam Tafsir Kebudayaan, hlm. 137:

“Menjadi entah Kristen atau Muslim, dalam mata

mereka, sama dengan berhenti menjadi orang Bali, dan

memang seseorang individu yang langka yang bertobat

masih dianggap, malah oleh kebanyakan orang yang

toleran dan yang terpelajar, teleh meninggalkan tidak

hanya agama Bali melainkan Bali, dan barangkali

dianggap gila.”

Page 24: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

38

mengulas bagaimana penyitraan Bali sebagai paradise dikonstruksikan –

pertama kali – oleh pemerintah kolonial Belanda setelah berhasil

menguasai Bali di awal abad ke-20 (sekitar tahun 1908) melalui sebuah

invasi militer berdarah. Ada kekontrasan yang terjadi ketika pencitraan

tersebut berhasil dikontruksikan seolah-olah adalah Bali yang

sesungguhnya, seperti yang ditulis oleh Vickers (1996):

“The nineteenth-century sailor who was

challenged in th market of north Bali bya kris-

wielding warriors, and the twenttieth-century

tourist who watched astounding dances in the

Bali Beach Hotel both experienced something

of the real Bali.” 55

Selama tahun 1920-an dan 1930-an penyitraan atas Bali mulai ditancapkan

oleh pemerintah kolonial, dan tahun 1950-an – pasca-kolonial – penyitraan

tersebut sudah menjadi tetap (paten) dan melekat pada masyarakat Bali

sebagai objek dari penyitraan tersebut. Tahun 1920-an adalah permulaan

proyek Balinisasi atau Baliseering oleh pemerintah kolonial, dan

permulaan pengontruksian identitas atas Bali. Melalui proyek Balinisasi

tersebut pemerintah kolonial ingin mengembalikan Bali seperti sedia kala

– menjadi Bali seperti di masa kerajaan sebelum dihancurkan oleh invasi

Belanda. Dengan kata lain, mentradisionalkan Bali seperti aslinya. Melalui

proyek Balinisasi juga, pihak Belanda menginginkan agar masyarakat Bali

secara mandiri dan otonom bisa terus mempertahankan dan melestarikan

identitas kebaliannya – sebuah tindakan yang ceroboh karena di sisi yang

lain Belanda telah menghancurkan tatanan sosial masyarakat Bali pasca

invasi militer bedarahnya dan menunjuk bangsawan-bangsawan yang mau

tunduk kepada Belanda sebagai punggawa kembalinya Bali ke tatanan

aslinya, dan ini telah menimbulkan permasalahan sosial dan politik di

54

Vickers, Adrian. (1996), Bali: A Paradise Created, Singapore: Periplus Edition. 55

Vickers, Adrian. (1996), op.cit. hlm. 4-5. Terjemahan bebasnya oleh penulis:

“Abad ke-19 pelaut (pedagang) dihadang (ditantang) dalam sebuah pasar di Bali

utara oleh pasukan berkeris, dan abad ke-20 wisatawan disuguhkan tarian yang

memukau di Hotel Bali Beach, keduanya menunjukkan (pengalaman) sesuatu

yang riil (nyata) dari Bali.”

Page 25: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

39

dalam masyarakat Bali, seperti yang diungkapkan Robinson (1995) 56

dan

Schulte Nordholt (2009) 57

. Salah satu pertimbangan utama pihak Belanda

waktu itu adalah fakta Bali sebagai satu-satunya wilayah (pulau) Hindu di

tengah dominasi Islam di kepulauan Nusantara. Bali merupakan satu-

satunya wilayah Hindu yang masih bertahan, dan ini merupakan warisan

dari Kerajaan Hindu Jawa yang harus dipertahankan dan dilestarikan

eksistensinya dari ancaman (kegiatan misioner) Islam dan Kristen58

. Di

samping itu, dengan mentradisionalkan Bali dengan proyek Balinisasi dan

melibatkan orang Bali sendiri (elit-elit, atau bangsawan pilihan Belanda)

maka, selain melindungi Bali dari kedua ancaman tersebut, juga yang

terpenting bagi Belanda adalah melindungi Bali (sebagai bagian dari

wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda) dari gerakan-gerakan

nasionalis yang sudah berkembang luas di Hindia Belanda, khususnya

Jawa yang sangat dekat dengan Bali secara geografis. Pertimbangan utama

berikutnya adalah ekonomi – (hanya) melalui sektor pariwisata Bali bisa

memperkokoh perekonomian, karena pulau yang kecil tidak memiliki

sumber daya yang mumpuni untuk kegiatan perdagangan hasil bumi,

kecuali keeksotisan Bali (di masa kerajaan mengandalkan perdagangan

budak), dan pemerintah kolonial bisa mengambil keuntungan melalui

sektor pariwisata ini. Karenanya, identitas Bali harus dikontruksikan ulang,

dari citra yang “brutal” menjadi “paradise” agar bisa mendongkrak

industri pariwisata di Bali59

.

56

Lihat: Robinson, Geoffrey. (1995), The Dark Side of Paradise: Political

Violence in Bali, Ithaca and London: Cornell University Press. Edisi terjemahan:

Robinson, Geoffrey. (2006), Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik

(terj.), Yogyakarta: LkiS (dialih-bahasakan oleh Arif B. Prasetyo). 57

Lihat: Schulte Nordholt, Henk. (2009), The Spell of Power: Sejarah Politik Bali

1650-1940, Denpasar: Pustaka Larasan dan KITLV-Jakarta. 58

Lihat: Robinson (1995), op.cit, dan Vickers (1996), op.cit. 59

Tahun 1908 Bali sudah mulai dikuasai utuh oleh Belanda, dan tahun 1914 Bali

sudah dijadikan salah satu daerah tujuan pariwista yang diikuti dengan

pengontrolan keamanan oleh pasukan pemerintah kolonial. Tidak sampai tahun

1924 pariwisata Bali sudah dikembangkan setelah perusahaan pelayaran Belanda

rute Singaraja dengan Batavia dan Makassar. Akhirnya, di tahun 1928 “Bali

Hotel” dibangun di Denpasar untuk menampung wisatawan yang akan berkunjung

ke Bali. Lihat: Picard, Michel. (1997), “Cultural Tourism, Nation-Building, and

Page 26: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

40

Berdasarkan Vickers (1996) dan Picard (1997, 1999, 2005,

2008)60

, penulis mengklasifikasikan setidaknya dua alasan mendasar

mengapa identitas Bali dikatakan sebagai sebuah identitas yang

dikontruksikan, di antaranya: (1) ada aktor atau agen, dalam kasus ini

adalah pihak yang memiliki kekuasaan (power), yang mengontruksikan

identitas Bali dengan otoritasnya. Bila mengacu pada Castells (2002)

pengonstruksian (salah bentuk pengonstruksian identitas) identitas ini

dapat dikategorikan sebagai legitimizing identity61

(identitas yang sahih);

(2) kontradiksi fakta sejarah antara citra paradise yang ditanamkan

(identitas yang dikontruksikan) oleh otoritas dengan realitas yang ada,

seperti: surga dunia versus brutalisme62

. Ini yang menjadi pertanyaan

Regional Culture: The Making of a Balinese Identity”, dalam Picard, Michel &

Wood, Robert E. (Ed.), Tourism, Ethnicity, and the State in Asian and Pacific

Societies, USA: University of Hawai‟I Press Honolulu. 60

Picard, Michel. (1997), op.cit. .

Picard, Michel. (1999), “The Discourse of Kebalian: Transcultural

Constructions of Balinese Identity”, dalam Rubinstein, Raechelle & Connor,

Linda H. (Ed.), Staying Local in the Global Village: Bali in the Twentieth

Century, Honolulu-USA: University of Hawai‟i Press.

Picard, Michel. (2005), “Otonomi Daerah in Bali: The Call for Special

Outonomy Status in the Name of Kebalian”, dalam Erb, Maribeth; Sulistiyanto,

Priyambudi; & Faucher, Carole. (Ed.), Regionalism in Post-Suharto Indonesia,

USA and Canada: RoutledgeCurzon.

Picard, Michel. (2008), „Balinese Identity as Tourist Attraction: From „Cultural

Tourism‟ (pariwisata budaya) to „Bali Erect‟ (ajeg Bali)‟, SAGE

PUBLICATIONS: Tourist Studies 2008; 8; 155. 61

Mengutip Castells (2002), op.cit., hlm. 8:

“Legitimizing identity: introduced by the dominant institution

of society to extend and rationalize their domination vis a vis

social actors, a theme that is at the heart of Sennett‟s theory of

authority and domination, but also fits with various theories of

nationalism.” 62

Untuk melihat kontradiksi sejarah ini – khususnya tragedi-tragedi sejarah atau

“sisi gelap” Bali – yang kontras dengan citra “paradise” secara detail dan

mendalam baca: Robinson (1995), op.cit. dan Schulte Nordholt (2009), op.cit.

Uraian detail Robinson mengambil waktu sejarah mulai dari masa kolonial sampai

pasca kolonial (berdirinya Orde Baru), sedangkan Schulte Nordholt dari masa

Page 27: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

41

mendasar kedua penulis ini, apakah itu paradise yang sesungguhnya.

Kontradiksi ini yang memperkuat tesis mereka bahwa identitas Bali

merupakan identitas yang dikonstruksikan, atau dalam bahasanya Vickers

(1996) a paradise created.

Lalu, identitas apa yang dikontruksikan atas Bali? Identitas yang

dikonstruksikan tersebut adalah identitas kebalian. Atau, oleh Picard

(1997, 1999, 2005, 2008) bisa disebut atau diartikan sebagai kebudayaan

Bali atau gabungan dari elemen penting kebudayaan Bali seperti

kepercayaan, adat atau tradisi dan kesenian. Kebudayaan Bali atau

kebalian ini yang kemudian dijadikan sebagai modal utama bagi industri

pariwisata di Bali, dalam bahasanya Picard disebut pariwisata budaya.

Ironisnya, identitas kebalian tersebut mengalami paradoks yang

menyebabkan menghangatnya wacana Ajeg Bali di Bali saat ini. Identitas

kebalian menjadi modal utama bagi industri pariwisata Bali – yang

menyebabkan mereka harus terbuka karena ketergantungan ekonomi Bali

dari sektor industri pariwisata – diperhadapkan dengan tergerusnya

kebudayaan Bali63

. Situasi paradoksal dan dilematis ini yang disebutkan

oleh Schulte Nordholt (2007) bagaimana menjadikan Bali sebagai sebuah

“benteng terbuka” – melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri

terhadap dunia luar.

Untuk konteks Indonesia, mengapa Identitas menjadi penting?

Identitas menjadi penting di Indonesia – terutama pasca Suharto –

dikarenakan berkembangnya fenomena politik identitas – selain masalah

identitas ke-Indonesia-an (kebangsaan, nasionalisme) yang masih

dipertanyakan seperti yang dikritik oleh Benedict Anderson untuk

kerajaan sampai kolonial mulai melakukan ekspansi dan invasi sampai berhasil

menguasai Bali (sebelum Jepang menguasai Bali). 63

Lihat: Picard (2008), op.cit. dan Schulte Nordholt, Henk. (2007), Bali: An Open

Fortress 1995-2005 (Regional Autonomy, Electoral Democracy and Entrenched

Identities, Singapore: NUS Press. Edisi terjemahan: Schulte Nordholt, Henk.

(2007), Bali: Benteng Terbuka 1995-2005 (Otonomi Daerah, Demokrasi

Elektoral, dan Identitas-Identitas Defensif) (terj.), Denpasar: Pustaka Larasan dan

KITLV-Jakarta.

Page 28: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

42

Indonesia pasca kolonial64

. Identitas bisa menjadi masalah dan sumber

permasalahan dikarenakan adanya kesolidaritasan kelompok berdasarkan

identitasnya. Dengan kata lain, ada penguatan identitas, baik penguatan

identitas berbasiskan agama, etnis, golongan atau pun kepentingan.

Permasalahan ini menjadi pelik dan mengganggu proses pembangunan

ketika ada di antara kelompok yang mengalami penguatan identitas

bertemu dalam satu arena yang sama, konflik atau kekerasan bisa dan

berpotensi terjadi – seperti yang dikemukakan Stuart Hall (2000), dalam

konteks globalisasi, bahwa globalisasi menyebabkan penguatan identitas

lokal atau menciptakan identitas-identitas baru, dan ini disebabkan oleh

keterancaman atas dominasi identitas etnik dominan65

. Hal ini dapat

dibuktikan dari hasil penelitian Gerry van Klinken (2007)66

yang

menggambarkan kekerasan yang terjadi di Indonesia (terutama kekerasan

berbasiskan identitas etnis dan agama) di saat Indonesia mulai memasuki

masa demokrasi modern pasca Suharto – Van Klinken menyebutkannya

dengan “small town wars”. Pemaparan contoh kasus seperti perang sipil

yang terjadi pada kasus di Kalimantan dan Ambon, cukup jelas bahwa

konflik tersebut menggunakan Identitas etnis dan agama sebagai akar

konflik. Jika tidak ada kesolidan kelompok berbasiskan identitas etnis dan

agama, maka konflik (hampir) tidak dimungkinkan terjadi. Penguatan

identitas kelompok-kelompok berbasis massa ini yang digunakan sebagai

alat propaganda pihak tertentu untuk mengadu domba, dengan menjadikan

Identitas sebagai masalah utamanya. Pembahasan yang lebih menyeluruh

tentang fenomena politik identitas di Indonesia pasca Suharto juga diulas

secara komprehensif dalam buku “Politik Lokal di Indonesia” yang

64

Anderson, B. R. O. G. (1991), Imagined Communities: Reflections on the

Origin and Spread of Nationalism, London: Verso. “Imagined Communities”

dalam Indonesia bisa diartikan sebagai komunitas terbayang atau komunitas reka-

bayang. 65

Hall, Stuart (2000), “The Question of Cultural Identity”, dalam Nash, Kate.

(Ed.), Readings in Contemporary Political Sociology, Oxford: Blackwell.

Hlm.117. 66

Van Klinken, Gerry. (2007), Communal Violence and Democratization in

Indonesia: Small Town Wars, London and New York: Roudledge.

Page 29: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

43

dieditori oleh Gerry van Klinken dan Henk Schulte Nordholt (2007)67

.

Dalam buku tersebut, yang diulas secara komprehensif dari berbagai kasus

politik lokal di Indonesia, nuansa atau fenomena politik identitas pasca

Suharto – ketika demokrasi diartikan sebagai kebebasan berpendapat dan

bereskpresi seenaknya – menjadi warna dalam politik lokal di Indonesia.

67

Schulte Nordholt, Henk & Van Klinken, Gerry. (2007), Politik Lokal di

Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV Jakarta.

Page 30: BAB II. IDENTITAS dan KEBALIAN - Institutional Repositoryrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/3/D_902008001_BAB II.pdf · dan pengalaman, serta atribut kultural diperuntukkan

44