Bab v Pembahasan Edit

download Bab v Pembahasan Edit

If you can't read please download the document

description

laporan

Transcript of Bab v Pembahasan Edit

BAB VPEMBAHASAN

Pada bab IV dan V telah dipaparkan data dan temuan kasus individu yaitu bagaimana proses perubahan pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang berkembang, kemudian tentang kepemimpinan pada pesantren yang berkembang serta bagaimana peran stakeholder dalam proses perubahan pesantren menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas.

5. 1. Perubahan Organisasi Pesantren

Kebanyakan orang memaknai bahwa struktur organisasi berarti pola grafik (chart) dalam organisasi yang terdiri dari kotak-kotak dan garis-garis yang merefleksikan tradisional fungsi, hirarki organisasi dengan seorang bos berada di atas, kontrol jangka pendek, banyak level dalam hirarki yang secara jelas mendefinisikan banyak pekerjaan. Mitos banyak menghubungkan dengan jenis pemikiran ini yang didasarkan pada asumsi yang menyesatkan bahwa grafik organisasi memiliki realitas yang absolut. Hal ini yang menggoda kita percaya bahwa organisasi yang berubah berarti perubahan struktur dan perubahan struktur dapat dengan mudah menyematkan grafik baru dalam organisasi dengan kotak baru dan garis titik-titik. Perlu diketahui bahwa struktur lebih dari grafik organisasi. Grafik organisasi hanya mengindikasikan hubungan laporan secara formal akan tetapi mereka tidak akan mampu menunjukkan bahwa sesuatu itu betul-betul bekerja, siapa yang berperan, dimana sebenamya garis kekuasaan, bagaimana kebijakan dapat digunakan agar sesuatu bisa menjadi berubah. Mereka tidak akan mampu menunjukkan struktur secara fisik di gedung mana mereka bekerja, berapa ukuran ruang kerja mereka dan lain sebagainya. (Clarke,1994)

Sebagaimana kita tahu bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki watak sosial. Artinya lembaga ini, sebenarnya tumbuh memang dari kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensi lembaga ini memang banyak andil dari masyarakat. Namun perlu diketahui bahwa proses menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam yang berkualitas tidak serta merta ditentukan oleh masyarakat saja, akan tetapi memang terjadi sebuah transformasi dan perubahan yang sangat signifikan dari perkembangan pesantren itu sendiri. Mulai dari pengembangan system baru dari pesantren itu sampai pada pembangunan infrastruktur. Sistem salaf merupakan jati diri semua pesantren yang dikembangkan dari sistem pengajian masjid yang masih belum menjadi sistem sekolah muqim/boarding (berasrama). Sistem ini tidak mengenal kelas, jadi seluruh aktivitas akademik pesantren langsung ditangani oleh seorang kyai saja, sehingga tidak ada sistem hirarki yang tercipta di sana. Sistem ini kemudian yang mungkin disebut sebagai flat organization (organisasi yang tidak mengenal sistem hirarki). Flat organisasi merupakan sebutan dari organisasi yang secara tradisional menghilangkan lapisan manajemen, memangkas kedudukan, secara vertical struktur fungsi tidak banyak bekerja. Mereka bisa besar karena kondisi lingkungan yang stabil, tidak memiliki harapan untuk berubah dari dinamika perubahan. (Lize). Sangat menarik memang jika kita melihat bagaimana fenomena pesantren sebagai organisasi datar (flat organization) berupaya untuk melakukan perubahan sistem yaitu sistem salaf menuju sistem diniyah.

Sistem salaf ini kemudian secara berangsur-angsur berkembang menjadi sistem diniyah yang mencoba beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat masa kini yang memiliki pandangan terhadap sistem sekolah yang dipandang lebih maju ketimbang sistem yang tidak memiliki kelas. Sistem diniyah ini bukan berarti pesantren mulai tidak komitmen pada pengembangan ilmu-ilmu agama, akan tetapi pesantren hanya berupaya untuk mulai melakukan penataa, secara sisternatis dan raSsional karena sistem kelas ini ternyata memudahkan sebuah pengelolaan santri yang memiliki kemampuan yang berbeda. kasus ini ditemukan di pesantren Tamhidi Buring, akan tetapi terjadi kasus yang berbeda pada pesantren an-Nur 2, karena kyai Badrudin memandang bahwa pesantren itu visinya adalah mencetak santri solihin-solihat yaitu mereka yang siap untukmenjadi "kyai di masyarakatt" dimana pengajaran di masyarakat sudah barang tentu tidak akan mengenal sistem kelas masy arukatpintar atau inasyarakat bodoh. santri adalah santri yang siap menghadapi berbagai jenis model nasyarakat. Walaupun demikian pesantren an-Nur sendiri pada akhirnya juga memiliki sistem pernetaan kelas bahkan sampai sistem pemetaan latar belakang santri dan factor santri yarrg tidak kerasan mondok.

Pengembangan sistem salaf ke diniyah tersebut tentunya berimplikasi pada struktur organisasi yang semula hanya kyai yang menjadi satu-satunya pengambilan keputusan mulai dari tingkat bawah sampai yang tertinggi, sekarang lebih pada pengarnbil kebijakan tingkat akhir setelah melalui proses administrasi yang diciptakan sendiri. Jadi sistem organisasi pesantren yang mengalami perubahan seperti ini adalah semi administratif, dimana berupaya mengoptimalkanperan-peran dan fungsi santri sebagai tenaga administrasi dan staf-staf pada bidang tertentu seperti staf bidang kebersihan yang dulunya dilakukan secara bersama-sama dengan sistem kesadaran kolektif sekarang lebih ditekankan pada komando dari staf-staf yang menangani bidang seperti kebersihan walaupun masih tetap ada kerja bakti (ro'an) yang sudah sejak dulu tercipta di pesantren.

Biro-biro administras i yang mulai ditata oreh kyai tampaknya tidak cenderung untuk menjaga kekuasaannya sebagai kyai, karena tampaknya posisi kyai sebenanya sudah sangat mapan di mata para santri mengingat lembaga pesantren merupakan Iembaga yang didirikan oleh kyai yang secara otomatis tidak ada sistem pemilihan kyai yang dilakukan seperti sistem demokrasi pada saat sekarang ini sehingga peran biro-biro dalam pesantren sebenarnya hanya sebagai efisiensi kinerja pesantren. Sebelum terbentuk biro-biro atau unit-unit pekerjaan sendiri pesantren sudah membuktikan eksistensinya hidup tanpa menciptakan biro-biro atau unit-unit tersebut, mungkin lebih tepat jika kita sebut itu bukan biro akan tetapi tenaga administrasi atau staf saja yang bertugas untuk mendokumentasikan semua kegiatan yang diserenggarakan oleh pesantren.

Kyai menjaga kekuasaannya di tengah-tengah masyarakat dengan menciptakan semacam biro-biro di masyarakat agar masyarakat mau untuk menjaga eksistensi pesantren di tengah-tengah perubahan paradigma masyarakat sekarang yang lebih cenderung lebih rasional. Biro-biro tersebut menjadi agen perubahan ketika masyarakat sudah mengalami perubahan sistem rnental pada pandangan dunia mereka tentang lernbaga pendidikan, misarnya ketika pesantren an-Nur mengadakan pasar waqi'ah yang dilakukan secara rutin oleh an-Nur 2, dan ketika pesantren al-Furqan mengadakan pengajian keliling oleh alumni sebenarnya lebih cenderung untuk kita maknai sebagai gerakan menciptakan birokrasi-birokrasi di masyarakat, sehingga pesantren bisa bertahan dan diterima oleh masyarakat.

Fungsi dan peran yang tercipta pada sistem administrasi ini tentunya juga merubah gaya pengelolaan yang serba terdokumentasikan, meskipun masih terlihat lemah, misalnya sistem pendataan yang masih menggunakan sistem manual, rnenggunakan hitungan jari, menggunakan hitungan kalender yang diberikan tanda dengan bulatan-bulatan bulpen jika ada momen-momen tertentu yang akan diadakan oleh pesantren. Dengan sistem yang serba terdokumentasikan tersebut menjadikan ada sistem kontrol pada semua kegiatan akademik yang diselenggarakan pada pesantren yang bersangkutan, misalnya buku poin, dokumen cek pada setiap hafalan para santri dan rain sebagainya.

Peraturan Pemerintah no 55 tahun 2007 tampaknya juga berupa untuk mendorong eksistensi pesantren untuk mengarah yang lebih baik. Dampak yang paling nyata adalah pengiriman beberapa santri untuk rnengikuti diklat pengembangan sumber daya manusia yang diadakan oleh lembaga-lembaga tertentu seperti VEDC Malang yang bekerjasama dengan pesantren an-Nur.Meskipun begitu kebijakan pesantren secara menyeluruh adalah tidak mengirim para santri yang masih belajar (ta'lim), akan tetapi santri yang sudah keluar dan sudah berkeluarga, sehingga mereka tidak terbebani dengan tugas-tugas belajar selama mondok di pesantren.

Kontribusi pemerintah dalam pembangunan pesantren ternyata juga menjadi sebuah perdebatan dalam melakukan perombakan dan perubahan sistem di pesantren. Salah satu pesantren yang kita teliti di Singosari yaitu pesantren Bungkuk setengah "memitoskan" bahwa pembangunan pesantren yang dibiayai Oleh pemerintah akan berakibat matinya pesantren. Dalarn rcalitas sosial yarrg terjadi memang masyarakat sekarang sudah mulai anti pati terhadap kehidupan politik yang "seakan-akan" hanya memenuhi kepentingan pribadi saja, sehingga mungkin sangat wajar ketika pesantren yang menerima bantuan dari pemerintah "agak" terpinggirkan oleh persepsi masyarakat terutama dalam peran-peran social yang dilakukan oleh pesantren. Pesantren al-Furqan dan an-Nur 2 sendiri tampaknya sangat berhati-hati terhadap segala bantuan yang datang dari masyarakat lebih-lebih dari pernerintah jika diembeli oleh sesuatu misalnya kepentingan politik dan lain sebagainya.

Konsep barakah tenyata juga masih sangat melekat pada setiap kegiatan yang ada di pesantren. Bagaimanapun juga konsep barakah ini menjadi ruh dan motivasi para santri ketika melakukan sesuatri sehingga hubungan antara kyai dengan santri adalah hubungan emosional tidak transaksional. Hubungan ini menjadi modal yang sangat besar bagi sebuah pesantren untuk lebihmengoptimalkan program-program pengembangan pesantren. Karena bagaimanapun juga sumber keuangan pada pesantren yang sangat pas-pasan tidak diimbangi dengan tenaga kerja yang mampu digaji tinggi tidak akan bisa jalan. Kelebihan pesantren adalah sumber daya manusia yang sangat kuat, mereka sanggup untuk tidak dibayar ketika sang kyai memerintahkan mereka untuk melakukan sesuatu karena barakah tersebut. Walhasil, ini menjadikan efisiensi,pada program pengembangan pesantren.

Memang memanfaatkan semua potensi sumberdaya yang ada di pesantren boleh dibilang sangat menguntungkan. Karakter santri yang jujur, taat kepada seorang kyai akan sangat menguntungkan ketika pesantren menjalankan bisnis teftentu, karena mereka memiliki tenaga kerja yang sangat murah, dengan kejujuran dan ketaatan yang sangat loyal kepada pernimpin. Hampir dipastikan bisnis yang dijalankan oleh pesantren mengalami perkembangan yang sangatsignifikan dan mampu menghidupi seluruh aktivitas yang ada di pesantren.

Bagi santri mutu bagi pesantren sebenarnya lebih dimaknai sebagai loyalitas kepada kyai sebagai pimpinan organisasi. Pesantren membangun sistem nilai bahwa kedudukan pengetahuan menempati posisi yang tertinggi, sehingga posisi guru sakral dipandang santri sebagai seseorang yang memberikan pengetahuan. Pada saat kyai rnemberikan amanah pada pekerjaan tertentu, maka bagi santri hal itu merupakan sebuah kepercayaan yang sangat tinggi nilainya dan harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan bagi kyai mutu merupakan upaya melayani kebutuhan masyarakat, sehingga apapun yang diselenggerakan oleh pesantren maka semuanya diorientasikan pada masyarakat. Sejalan dengan itu konsep ini hampir sama dengan definisi mutu dalam konsep Total equality Management (TQM) "Qeuality is what makes it possible for costomer to have a lover affairs with your product or service (Lundqvis t, 1gg7)

Konsep mutu tersebut digunakan acuan oleh pesantren yang menginginkan untuk bertahan atau berkembang lebih maju, sehingga perubahan yang dilakukan oleh pesantren baik dari struktur organisasi, nilai-nilai yang dikembangkan disana itu semuanya hanya dilakukan oleh pesantren untuk bertahan atau berkembang.

Sistem salaf di pesantren an-Nur sendiri sengaja tidak diciptakan sistem kelas, karena memandang bahwa santri di didik untuk menghadapi masyarakat yang pada kenyataannya tidak mungkin mengajari masyarakat secara terpecah-pecah dengan kelas-kelas tertentu, akan tetapi langsung berhadapan dengan masyarakat dan santri harus mampu menghadapi realitas itu. Di pesantren sendiri guru harus mampu mengajari santrinya dengan tidak membedakan anak yangpintar atau bodoh, karena santri dididik untuk menjadi kyai di masyarakat seperti yang sudah dibicarakan diatas.

Pembangunan infrastruktur juga menjadi kebutuhan yan g mendesak bagi pertumbuhan dan perkembangan pesantren, misalnya penambahan gedung mengingat ada peningkatan jumlah santri yang mengaji di pesantren. Meskipun begitu pada hal-hal tertentu yang bernilai sejarah masih dipertahankan oleh pesantren. Mengingat masa perjuangan para pendahulunya yang berjuang tak kenal lelah untuk menghidupkan seluruh aktivitas pesantren di masyarakat. Selainpeningkatan jumlah santri juga karena ada gaya perubahan sistem pengajaran yang semula hanya menggunakan bandongan, sorogan lambat laun menjadi sistem kelas.

Biasanya pesantren didirikan oleh para pemrakarsa kelompok belajar, yang mengadakan perhitungan dan memperkirakan kemungkinan kehidupan bersama bagi para santri dan ustadz. Maka berdirilah sebuah pondok, tempat yang tetap untuk hidup hidup bersama bagi masyarakat pelajar. Dengan kata pondok orang membayangkan "gubuk" atau "saung bamboo suatu lambang yang baik tentang kesederhanaan sebagai dasar perkiraan kelompok. Disini guru dan murid tiap hari bertemu dan berkumpul, dan dalam waktu yang bersama-sama menempuhkehidupan di pondok ini. sesuai dengan dinamika masyarakat belajar ini maka dibuat peraturan tata tertib yang berbeda-beda yang berlaku di pondok-pondok semacam itu : mulai dari saung bambu, dengan sedikit murid berkumpul mengelilingi guru (imam) sarnpai ke pusat-pusat pendidikan universiter yang besar dengan ribua siswa yang hidup dan belajar bersama-sama dalam suatu kampus yang luas antara mahasiswa yang sudah ranjut pelajarannya (santri), antara guru (ustadz) dan para cendikiawan (ulama dan kyai). (ziemek,1986)

Pesantren an-Nur 2 danar-Furqan tampak dirnulai dengan pembangunan infrastruktur yang paling sederhana yaitu mushola dan balai dari bambu yang kemudian akhirnya menjadi sebuah bangunan tempat belajar dan mukim siswa (santri) yang belajar di pesantren tersebut.

Mungkin ada beberapa konsep yang didefinisikan dalam konsep perubahan pesantren menjadi lembaga yang lebih berkualitas ini. pertama bisa diartikan perubahan adalah upaya untuk mempertahankan diri. Kedua perubahan adalah upaya untuk beradaptasi. Ketiga, perubahan adalah upaya untuk belajar pada sesuatu yang baru dalam hal ini adalah sistem yang baru.

Pertama perlu kita kaji bahwa perubahan sistem dalam pesantren ini diduga kuat merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan diri dari perubahan paradigma masyarakat yang sekarang lebih cenderung menyukai sistem sekolah pesantren memang memiliki daya tahan yang cukup kuat dan bahkan seakan-akan tidak akan "mati", meskipun hanya memiliki 1 santri sekalipun' Daya topang dari masyarakat tampaknya berkontribusi pada berdirinya pesantren. Karena memang pada awalnya pesantren berdiri dari pemberdayaan masyarakat. Survival of the Fittest teori darwin ini seakan-akan bisa digunakan pada perubahan sistem yang terjadi pada pesantren. Yang bertahan adalah yang paling cocok dengan habitatnya. Masyarakat Bululawang, Buring atau bahkan Singosari yang notebene NU lebih mampu mempertahankan eksistensi pesantren pada lingkungan mereka sendiri.

Perubahan pada definisi pertama ini bisa kita maknai pada 3 kasus pesantren yaitu pesantren an-Nur, pesantren al-Furqan dan pesantren Bungkuk di Singosari. Pesantren Bungkuk masuk dalam kategori proses perubahan ini, karena pesantrel ini berupaya untuk mempertahankan diri ketika lembaga ini dihadapkan dengan berbagai persoalan seperti konflik keluarga, tidak berfungsi seluruh peran-peran organisasi yang dijalankan karela ada kendala jarak pengurus yang berjauhan, sistem kontrol yang sangat lemah. Sehingga lembaga ini berupaya merubah sistemnya sesuai semula yaitu dengan sistem salaf, menjadi sistem kelas dan sekarang berubah lagi menjadi sistem salaf yang tidak ada sistem kelas lagi. Perubahan itu tak lain hanya sebagai upaya untuk mempertahankan diri agar tidak rusak. Perubahan tersebut jika dianalogkan hampir sama dengan sel yaitu dengan cara membelah diri. Pesantren juga melakukan perubahan dengan metode membelah dirinya menjadi organisme lain yang merniliki nyawa yang dinamakan sebagai diniyah dan madrasah, akan tetapi ketika organisme yang lainnya tidak berfungsi, maka dia kembali seperti semula yaitu dengan cara merapat pada posisi awal agar dia bertahan.kyai

Ustadz (pengurus)

kyaiUstadz (pengurus)

kyai

Gus

Gus

Gambar 5.35. perubahan pesantrenTidak berfungsinya organ belahan itu sebenarnya hanya permasalahan matinya peran-peran struktur organisasi yang memang dalam sejarah pesantren tidak terbiasa hidup dengan struktur organisasi yang terkesan dipaksakan dalam sistem pesantren pada masa sekarang ini. Dan memang terbukti ketika pesantren memaksakan dengan sistem birokrasi ada yang langsung bisa adaptasi dan ada yang bisa langsung mati.

Pada kasus pesantren Bungkuk singosari yang mencoba untuk memaksakan pada sistem baru yaitu dengan membelah diri rnenjadi sistem diniyah, akan tetapi tidak berhasil, lebih banyak disebabkan lernbaga ini dihadapkan pada persoalan teknis seperti kesibukan kyai yang kebetulan rnenjadi pegawai Kantor Urusan Agama yang peran beliau disini juga tak kalah pentingnya dengan peran di pesantren karena kyai langsung harus terus menerus dihadapkan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat. Kyai rnenjadi posisi yang penting dalarn serrua keputusan yang ada di sebuah pesantren rneskipun sudah didelegasikan pada putranya sekalipun mengingat secara fitrah organisasi pesantren mernang didirikan oleh kyai.

Berbeda dengan pesantren al-Furan yang berani menggunakan sistem diniyah meskipun sumber daya manusia yang serba tidak rnendukung menurut paradigma masyarakat modern, karena alasan tidak mengenyam pendidikan umm, akan tetapi pesantren ini rnampu rnenjaga sistem diniyah ini dengan baik. Posisi kyai mernang sangat sentral pada kasus selnacam ini. Peran gus Hawa dalam kasus ini selain sebagai desaigner juga sebagai pengontrol semua aktivitas santri, sehingga aktivitas pesantren tampak hidup.

Pesantren al-Furqan dalam hal ini merniliki sistem status santri yang belajar di lembaga pendidikan ini antara lain (a) santri yang dibiayai penuh olehorang tua. Santri semacaln ini diharuskan urembantu perawatan dan perkembangan fisik pesantren selama lebih kurang 3 jam setiapharinya, ini sebagai pembekalan untuk bersosial kelak di kemudian hari; (b) santri yang biayanya meryadi tanggungan pesantren dan sebaliknya santri harus menjadi pelayan (berkhidmat) pada pesantren dengan cara antara lain ; membantu memasak (khusus untuk wanita), membantu rnerawat fisik pesantren. Pada umumnya santri yang memiliki status ini adalah santri yang selama 3 tahun menjalani status A; (c) santri nduduk yaitu santri yang belajar di pesantren tetapi semua biaya di tanggung oleh wali santri; (d) santri yang belajar di luar pesantren. Santri semacam ini hanya diberikan santunan ala kada.rnya oleh pesantren. (lihat; dokumen status santri PTIQ).

Tampaknya dengan sistem semacam itu pesantren al-Furqan mencoba untuk membuat sebuah manajemen baru bagi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh pesantren. Manajemen ini sengaja diciptakan untuk menciptakan semacam simbiosis antara satnri yang berstatus A atau B atau C dan lain sebagainya. Ini berarti manajemen pesantren mulai menciptakan fungsi dan peran pacla status sosial santri agar mereka rnemiliki sistem berfikir terhaclap aktivitas yang harus rnereka jalani di pesantren tersebut.

Pesantren an-Nur 2 sendirijuga sangat peduli dengan sistern ctiniyah ini dan memang ditunjang dengan surnberclaya manusia yang sangat trewadai seperti putra-putranya yang mengenyam pendidikan umum bahkan ada ya,g sarnpai jenjang S3. Jadi perubahan sistem yang terjadi di pesantren bukan terletak pada keunggulan sumber daya manusianya, akan tetapi kepedulian kyai untuk terus menjaga dan mengontrol dengan senuhan-sentuhan kharismatiknya. Ini yang disebut sebagai total control sebagai pemimpin kyai mentransformasikan seluruh potensi yang ada dalam dirinya mulai dari pengetahuan, kekharismatikannya, sampai dengan keputusan-keputusan yang penting bagi perkembangan pesantren itu sendiri. Selain itu juga kyai mentransfer nilai-nilai yang dia miliki dan dia yakini agar menjadi sebuah karakter organisasi (organizational characteristic). Artinya semua gaya, perilaku, budaya yang diciptakan dalam kehidupan pesantren merupakan hasil transfonnasi keyakinan kyai pada nilai-nilai tertentu.

Memang setiap pesantren tampaknya memiliki cara khas tersendiri ketika melakukan sebuah aktivitas tertentu, rnisalnya di pesantren al-Furqan yang notaben pesantren minus pengetahuan umum merniliki prinsip-prinsip perilaku yang langsung nierujuk pada teks-teks al-Qur'an secara fundamental. Karena kyai pada lembaga pendidikan tersebut memang sangat kuat mentransfonnasikan nilainilai al-Qur'an sesuai dengan penafsiran-penafsiran ulama' terdahulu. Sementara itu pesautren an-Nur agak moderat ketika memaknai nilai-nilai dalam al-Qur,an, sehingga meskipun sama-sama rnemiliki keyakinan tentang ai-Qur'an pesantren ini lebih kontekstual, sehingga perilaku yang tercipta di pesantren tersebut lebih agak rnoderat dibanding pesantren al-Furqan. Pesantren ini lebih terfokus pada bagaimana rnengelola pengetahua n (knowledge organized)ketimbang mengelola pekerjaan. Pesantren ini mengelola pengetahuan yang mereka pelajari dalam ilm-ilmu al-Qur'an, sehingga struktur dan fungsi manajemen yang mereka ciptakan pada hakikatnya adalah rnenjaga ilmu-ihnu al-Qur'an. Mereka cliberikal tugasmelakukan aktivitas pesantren, sebenamya merupakan aktivitas pengetahuan (knowledge activity) yang mereka kembangkan sendiri dari ilmu-ilmu yang ada dalam al-Qur'an.

Selain itu hampir seluruh komponen sumberdaya manusia yang ada di pesantren al-Furqan dan an-Nur berupaya mengembangkan potensi dirinya dan mengikuti pengajian-pengajian di luar pesantren serta mengikuti pelatihanpelatihan yang dilakukan oleh lernbaga pelatihan atau lembaga pendidikan sepedi VEDC atau lernba ga yang lainnya. Seluruh proses belajar dari unsur ustadz maupun santri tersebut memang dianjurkan oleh pihak manajemen pesantren karena manajemen pesantren merasa perlu untuk menguatkan sumberdayanya mulai dari rnanusia sampai pernbangunan infrastruktur. Sumberdaya manusia dipandang sangat berarti oleh pihak manajemen pesantren dengan tendensi regenerasi para penerusnya. Jadi mungkin fenomena ini yang clinarnakan sebagai organisasi belajar (learning organization). Dibandingkan dengan pesantren Bungkuk yang tampak belum ada komitmen manajemen untuk mengarahkan seluruh komponen sumberdaya manusia untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh pesantren.

Pada kasus ini yang disebut sebagai manajemen perubahan adalah upaya untuk belajar pada sistem baru agar seluruh komponen pesantren melakukan hal-hal yang baru pula. Upaya belajar ini tak lain hanya demi meng update kemampuan organisasi yang memang membutuhkan tenaga-tenaga handal untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Di pesantren al-Furqan sendiri meskipun tidak memiliki kurikulum pengembangan ilmu-ihnu umum, akan tetapi pesantren ini berupaya mencari terobosan-terobosan baru terutama teknologi untuk mempermudah metode hafalan al-Qur'an. Salah satu contoh konkrit adalah membuat laboratorium al-Qur'an dengan menggunakan mp3, selain itu juga satu: satunya komputer yang dimiliki pesantren dijadikan sebagai pembelajaran untuk menulis urusan-urusan administrasi selain untuk mengembangkan kemampuan akademik sebagian pengurus seperti menulis kitab dan memang kebetulan salah satu pengurus pesantren ini memiliki semangat untuk menulis sebuah kitab seperti kyainya yang sudah menulis beberapa kitab tentang ilmu qiroat. Tradisi menulis ini memang tampak tidak tersistemkan dalam kurikulum pesantren akan tetapi kyai langsung mentransformasikan pengetahuan dan pengalamannya sendiri kepada pengurus dan santri untuk menulis.6.2. Kepemimpinan pada pesantren yang BerkernbangDalam perspektif teori klasik, lingkungan kepemimpinan berasumsi secara rasional terhadap kemampuan seseorang, proses, serta struktur. upaya untuk memahami kompleksitas dalam sebuah proses dinamika organisasi, seseorang mampu menyederhanakan dunia atau lingkungan yang ada di sekeliling mereka dengan memaknai semua peristiwa yang mampu dipahami oleh manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut lebih dikenal sebagai perilaku rasional seseorang ketimbang sebagai masyarakat yang tidak mampu mengontrol (uncontrollable social) dan daya dorong ekonomi (economic forces). pemimpin menempatkan dirinya pada posisi yang tertinggi karena dia adalah elitist of sorts (orang yang elit) atau superior dalam pikiran, pengetahuan dan pengalaman. pemimpin harus mampu menguasai mengikat (to bind) segala kehendak seseorang untuk mencapai tujuan melampoi tujuan akhir terdekat mereka. Karenanya tidak ada satu orang pun yang mampu menyederhanakan kekacauan berbagai masalah dan menata kembali organisasinya untuk kembali pada jalur secara efisien. Untuk mengejar ini, pemimpin didukung dengan bobot hirarki formal serta kekuatan penuh, informasi dan sumber yang ada dalam organisasi yang mampu digerakan kembali dengan fokus oleh hirarki tersebut. (Hanson, Educational Administration and Organizational Behavior, 1991)

Kenyataan bahwa nama dan pengaruh sebuah pesantren berkaitan erat dengan masing-masing kyai, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadian seorang pimpinan pesantren menentukan kedudukan dan tingkat suatu pesantren. Bila pada saat pendirian sebuah pesantren kepemimpinan dan kecakapan scorang kyai menggerakkan massa merupakan faktor menentukan, untuk mengajak penduduk sekitamya bekerja dan turut serta dalam pembiayaan, selanjutnya seorang kyai sering dapat membangun peran strategisnya sebagai pimpinan masyarakat yang nonformal melalui komunikasi yang intensif dengan penduduk. Kedudukannya yang penting di lingkungan pedesaan sarta sekali buka, hal baru, malahan dalam zaman kolonial tampaknya lebili ,menonjol ketimbang sekarang.(Ziemek, 138)

Kepemimpinan pada pesantren sebenarnya sudah diteorikan secara umum oleh para pemerhati pesantren yaitu kepemimpinan yang kharismatik. Kepemimpinan ini memang sampai sekarang masih berlaku pada duia. pesantren, akan tetapi mungkin perlu dicermati perkernbangan mutkahir tentang lembaga pendidikan tradisional ini' Pada perkembangan terakhir ini pesantren yang mulai menerapkan sistem birokrasi mulai memiliki gaya tersendiri dalam memimpin lembaganya tersebut. Kyai lebih suka untuk mengembangkan struktur organisasi Dari pada langsung secara sentalistik menghidupkan peran-peran nya sebagai pimpinan organisasi.

Kepemimpinan kharismatik lebih banyak digunakan pada lembaga-lembaga tradisional dimana lembaga tersebut masih mempertahankan teori genetic determinisme yaitu keturunan sebagai penentu perilaku seseorang. Keturunan kyai atau lebih akrab disebut sebagai "gus dianggap sebagai pewaris tahta dari "kerajaan pesantren". Kyai akan memilih pewaris tahta orang jika memiliki keturunan perempuan, akan tetapi jika masih rnemiliki keturunan laki-laki, maka kyai lebih suka untuk mendidik putranya sendiri untuk mewarisi harta kekayaan" yang sudah dimiliki oleh kyai tersebut. Harta kekayaan ini dimaksud bukan hanya sekedar harla kekayaan saja, akan tetapi juga lembaga pendidikan, santri, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.

Gelar gus memiliki arti yang sangat penting karena dalam sistem pendidikan pesantren telah dikembangkan secara kuat suatu tradisi dimana seorang gus yang meneruskan pelajarannya di pesantren lain akan menerima perhatian istimewa dari kyainya hingga hasil-hasil yang dapat dicapai selama belajar di pesantren tersebut (baik dalam pengetahuan maupun kepemimpinan)akan melebihi yang dicapai oleh santri-santri lain. Di pesantren an-Nur bahkan gus ditempatkan pada rumah khusus atau bahkan bisa di dalem kyai sendiri.

Gus atau putra kyai memang the next generetion dari figur kyai dan dia menjadi semacam management representatif (meminjam istilah dari ISO) dari manajemen yang dikembangkan oleh kyai, Di pesantren an-Nur sendiri yang mengelola secara keseluruhan struktur-struktur organisasi adalah gus Fathul Bari. Gus Fathul inilah yang mewakili kyai sebagai pengelola lembaga pesantren secara keseluruhan (management representatifl) sekilas memang gaya pengelolaan yang dikembangka, oleh gus Fathur hampir sama dengan ayah nya sendiri yaitu kyai Badrudin dengan cara mengedepankan kekharismatikannya, akan tetapi gus Fathul lebih condong untuk menciptakan fungsi manajemen dalm sistem pengelolaan dengan prinsip-prinsip modern yaitu dengan model perencanaan/ planning, pengorganisasian/organizing, pelaksanaan/actuating danpengontrolan/controring (POAC). Gus fathul membuat buku poin yang digunakan untuk rnengontrol semua aktivitas santri mulai di kamar, di kelas bahkan sampai ketika santri pulang ke rumahpun akan dikontrol dengan bukutersebut. Buku poin muhasabah santri adalah buku catatan amal, perilaku atau kegiatan santri yang baik maupun yang buruk, yang,menjadi sarana muhasabah (instropeksi) santri yang bersangkutan, dan menjadi acuan bagi pengurus pondok dalam nremberikan hadiah (reward) atau hukuman (punishment) secara obyektif serta menjadi tolok ukur keberhasilan, dan kemampuan pengurus dalam mencetak solihin solihat. (lihat dokumen, buku panduan wali santri, 6)

Dalam buku tersebut memang ada unsur pengontrol yaitu orang tua. Santri yang izin pulang ke rumah harus menyerahkan buku poin tersebut ke orang tuanuntuk di cek bagaimana sebenamya perilaku santri ketika berada di luar pesantren. Menurut gus Fathul hal itu dilakukan oleh pesantren sebenarnya hanya sebagai bentuk tanggungjawab manajemen pesantren terhadap santri yang ada di sana.

Berbeda dengan pesantren al-Furqan yang hanya memiliki keturunan putri, sehingga tampaknya peran-peran sebagai manajemen representatif dialihfungsikan pada santri senior yang paling dipercaya dan paling mumpuni secara akademis, meskipun tampaknya masih juga mengfungsikan kerabat terdekatnya yaitu adik kandungnya sendiri. Santri senior yang ditunjuk untuk mengelola pesantren al-Furqan ini juga mencoba menerapkan prinsip-prinsip fungsi manajemen modern yaitu POAC (planning, organizing, actuating, controlling). Misalnya membuat struktur organisasi, membuat kriteria-kriteria santri yang ngaji disana dan lainscbagainya. Pesantren Miftahul Falah (Bungkuk) sendiri juga menerapkan sistem kaderisasi putranya sendiri sebagai management representatif yang mengelola semua kegiatan akademik yang berada di lingkungan pesantren. pesantren ini tampaknya sudah cukup lama tidak mencoba melakukan perubahan-perubahan sistem yang mereka kembangkan, sehingga tarnpak ada sedikit shock ketika gus atau putra kyai ini mencoba melakukan penataan terhadap sistem yang ia kelola tersebut. Gus ini juga membuat struktur organisasi dengan harapan menghidupkan kembali peran-peran pengurus pesantren yang terdiri dari ustadz dan santrinya. Upaya ini sebenarnya sangat bagus akan tetapi pelaksanaannya masih belum efektif, mengingat para pengurus ternyata bertempat tinggal agak jauh dari pesantren, jadi total control dari pengurus tampaknya tidak bisa berjalan sebagaimana yang terjadi pada pesantren-pesantren an-Nur dan al-Furqan.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Imron Arifin tentang model kepemimpinan kepala sekolah memiliki empat tipologi: (1) pengubah/pesulap keadaan dari yang biasa menjadi berprestasi dengan memadukan dan mengakomodasi nilai budaya lokal keagamaan (values basect juggler); (2) pembina hubungan manusiawi dengan memotivasi bawahan, tut wuri handayani (humanist); (3) pendinamisasi keadaan sehingga memunculkan visi, inisiatif dan kreativitas kelompok dalam inovasi dan perbaikan sekolah (catalist); dan (4) perantara ide dalam inovasi dan perubahan sekolah yang berorientasi pada keuntungan semua pihak (broker) terutama bagi kepentinga, murid. (Arifin,1998)

Sangat menarik memang empat tipologi yang telah dipaparkan oleh Imron Arifin, karena memang sangat bisa dihubungkan dengan kepemimpinan dalam organisasi pesantren. Kyai merupakan sosok pemimpin yang mampu mentransfer nilai-nilai yang dianut melalui doktrin-doktrin yang telah diajarkan oleh guru-guru sebelumnya, sehingga nilai yang ditransformasikan ke pesantren menjadi perilaku organisasi bagi seluruh komponen yang ada dalam struktur organisasi pesantren. Hampir seiuruh pesantren tradisional menganut karakter kyai semacam ini, karena sosok kyai sebagai pengganti para nabi merupakan sosok tak tergantikan bagi santri khususnya umumnya umat Islam.

Menurut Zamakhsari Dhofier yang menyebabkan seorang kyai berhasil mengembangkan pesantren pada pokoknya adalah pengetahuannya yang luar biasa dalam berbagai cabang pengetahuan Islam, kemampuan berorganisasi dan kepemimpinannya dalam mengembangkan pesantren, dengan memperluas hubungan tali kekerabatan dengan kyai-kyai yang masyhur atau dengan mendidik sekelompok santri yang benar-benar tinggi pengetahuannya untuk menjadi calon kyai. (Dhofier,1994)

Ketika saya berjalan dengan kyai Badrudin suatu malam untuk menemani putri beliau berjalan ke arah ndalem, saya mendapati seluruh santri yang semula duduk-duduk untuk mengaji, dengan spontan mereka langsung berdiri dengan menundukkan wajahnya, sampai kyai melewati jalan yang mereka ada di situ, (observasi tanggal 27 februai 2010, jam 18.30).

Pemandangan semacam ini menunjukkan bahwa ada pandangan yang sama antar santri bahwa kyai adalah sosok yang harus dihormati. Di pesantren Bungkuk juga saya mendapati ketika salah seorang guru ngaji membacakan kitabnya, maka hampir semua santri hanya menulis, menundukkan kepala dan tidak banyak bicara ataupun memberikan respon kepada gurunya. Di pesantren al-Furqan juga demikian dan begitu pula perilaku universal santri terhadap gurunya.Saya mendapati salah seorang santri yang kebetulan juga menjadi tenaga pengajar di pesantren ini ketika menghadap kyainya dia langsung menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap wajah sang kyai.

Kyai sebagai transformer nilai-nilai keagamaan kepada santri tampaknya dimulai dari pembiasaan yang diaktifkan oleh kyai kepada santrinya sejak santri memulai mondok disana. Pembiasaan tersebut biasanya didapatkan pada doktrin-doktrin pengajaran ustadz atau kyai kepada santrinya. Doktrin-doktrin yang dimaksud sebenamya berupa penanaman nilai-nilai berperilaku yang mulya, baik kepada Tuha, maupun sesama manusia (akhlaq al-karimah). Sesama manusia biasanya lebih ditekankan pada bagaimana berperilaku baik (ber akhlaqul, karimah) kepada gurunya sebagai seseorang yang mulya dan harus dihormati, karena telah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada mereka (santri).

Secara garis besar mengapa pesantren menjadi berkembang dan mengapa pesantren menjadi menurun itu sebenarnya terletak bagaimana kyai sebagai seorang pemimpin mampu menghidupkan fungsi-fungsi manajemennya dengan baik, seperti merencanakan, mengorganisasikan , melaksanakan rencana serta mengontrol perencanaan tersebut. Selain itu juga kyai mampu nemberikan sentuhan-sentuhan jiwa kemandirian (enterpreunership) kepada seluruh jajaran organisasi pesantren mulai dari ustadz maupun santrinya.

6.3. Perubahan Model Pembelajaran Pesantren

Sistern akademik pesantren juga mengalami pengembangan yang semula hanya didominasi pengembangan ilmu-ilmu agama, akan tetapi berkembang menjadi sistem yang terintegrasi yaitu ada "penggabungan" antara ilmu agama. dengan ilmu umum atau juga penggabungan antara ilmu al-Qur'an dengan ilmu membaca kitab pada kasus yang kedua yaitu pesantren al-Tamhidi di Buring.

Saya menulis "penggabungan" antara ilmu agama dengan ilmu umum dengan tanda kutip sebenrnya terletak pada persoalan yang sangat mendasar (funclamental) dimana pesantren sebenarnya sangat terkonsentrasi pada pengembangan ilmu agama dan pesantren sangat menolak jika dikatakan bahwa mereka mulai beralih pada pengembangan ilmu-ilmu umum. Meskipun pada realitasnya pesantren seakan-akan agak pragmatis demi mempertahankan eksistensinya dengan cara mulai mendirikan madrasah-madrasah serta perguruan tinggi agama seperti Sekolah Tinggi Ilmu kitab kuning (STIK). Namun, hal itu sangat wajar ketika melihat kebutuhan masyarakat yang memang mengalami perubahan paradigma dimana pengembangan ilmu umum mulai lebih diminati oleh masyarakat. Dalam salah satu pembicaraan saya dengan seorang teman yang sudah lama di an-Nur dan sangat dekat dengan kyai Badrudin menyatakan bahwa "Kyai Badrudin sebenarnya tidak begitu senang jika pesantren an-Nur diributi dengan permasalahan-perrnasalahan dunia khususnya jika diributi dengan pengembangan ilmu umum.

Pesantren al-Tamhidi (al-Furqan) sendiri dengan sangat jelas menolak untuk mengembangkan ilmu-ilmu umum, karena ilmu umum sudah ada lembaga yang mengembangkannya sendiri yaitu lembaga pendidikan umum seperti sekolah atau madrasah. Hanya saja pesantren ini juga melakukan penggabungan atau mengintegrasikan antara ilmu al-Qur'an dengan pengembangan ilmu kitab kuning. Kyai pesantren ini melihat bahwa kebanyakan pesantren hanya mengembangkan satu bidang kajian saja kalau tidak al-Qr'an saja ya kitab kuning, sehingga kyaiHawa tainpaknya melihat peluang yang cukup marketable di masyarakat ditunjang dengan kemampuan akademiknya yang memang sangat kuat dalam pengembangan ilmu al-Quran dan ilmu kitab.

Secara umum sebenarnya kedua pesantren tersebut sama-sama lebih memprioritaskan pada pengembangan ilmu-ilmu agama saja, sehingga hamper seluruh program pesantren diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keagamaan Seperti pengiriman ustadz ke masyarakat untuk bisa menjadi tenaga pengajar disana.

6. 4. P erun S takeh ol d er D ai am pros es p erub ah attpesan f en

stakeholder atau pihak-pihak masyarakat yang memiliki keterikatan pada pengelolaan pesantren dan mandapatkan kebermanfaatan baik secara langsung maupun tidak langsung tentunya sangat berperan pada pengembangan manajeman pesantren pada umumnya. Keterlibatan stakeholder inilah yang menjadikan pesantren semakin eksis dan mendapakant legegitmasi yang tinggi di masyarukat. Bagi pesantren stakeholder pada level yang paling sederhana adalah dewankeluarga, santri, pengajar.

Dewan keluarga dan kyai (ringu tama) Dewan ustadz (ring 1) Santri dan wali santri ( ring 2) Masyarakat sekitar dan alumni dan sponsorship (ring 3) Pemerintah (ring 4)

Gambar 6.36. posisi Stakeholder pesanfi.en

Pada level ini yang menjadikan nyawa pada perubahan pesantren adalah komitmen keluarga. Keluarga atau ikatan keruarga menjadi agen perubahan yang dahsyat bagi pesantren karena manajemen atau tata kelola pesantren sebenarnya dibangun dari komitmen keluarga, mirip sebuah kerajaan yang memang berupaya untuk melestarikan ikatan geneologisnya agar terus bertahan hidup. Temuan pada dua kasus pesantren yang mengalami perkembangan salah satunya adalah peran keluarga yang sangat dominan. Manajemen pesantren tampaknya tidak serta mediamemilih orang lain dalam pengambilan beberapa keputusan strategis seperti pengelolaan sistem perekonomian yang dibangun oleh pesantren. Pemilihan terhadap orang lain akan terpaksa dilakukan jika pesantren memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yaitu tidak memiliki keturunan laki-laki atau bisa juga ketika manajemen pesantren membutuhkan orang-orang yang mampu dan memang memiliki kapasitas bagus untuk mengembangkan pesantren. Dua hal tersebut ditemukan pada pesantren Buring dan an-Nur yang memiliki kepentingan itu. Pesantren Buring sendiri meskipun kyai tidak memiliki anak laki-laki akan tetapi masih meminta bantuan pada salah seorang kerabatnya sendiri untuk ikut mengelola pengembangan pesantren. Santri yang berbakat dijadikan sebagai manajer di wilayah pengajaran. Peneliti menjumpai pada kasus tiga yaitu pesantren yang mengalami penurunan akibat dari konflik keluarga. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh kyai di Buring sebelum mendirikan pesantren di sana, dimana terjadi konflik keluarga pada pengelolaan pesantren yang ada di Singosari yang kebetulan juga warisan dari ayah dari kyai yang mendirikan pesantren di Burirrg.

Stakeholder pada level ini dijadikan sebagai acuan untuk stakeholder pada Ievel yang lebih tinggi misalnya masyarakat. Keterlibatan masyarakat akan berpengaruh juga pada kehidupan manajemen pesantren, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memang berorientasi pada masyarakat. Pesantren akan hidup jika masyarakat berperan secara aktif ikut mempublikasikan pesantren. Kebiasaan pesantren memang selalu memakai tenaga masyarakat agar bisa menjadi mesin pemasaran pesantren yang mungkin efektif dan efisien karena tidak menghabiskan dana yang mungkin bagi pesantren itu sangat riskan untuk dilakukan mengingat pesantren membutuhkan dana juga untuk pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya.

Biasanya pesantren menciptakan forum-forum sosial keagamaan untuk dapat lebih dikenal oleh masyarakat, seperti yang dilakukan oleh pesantren an-Nur dengan pasar waqiah, di pesantren al-Furqan ada jamaah pembacaan al-Quran. Masyarakat disini bisa masyarakat secara umum atau bisa jamaah alumni yang memiliki ikatan emosional terhadap pesantren.

Saya membuat kategorisasi yang sangat sederhana saja, karena pesantren dianggap sebuah pabrik yang memproduksi barang yang disitu terdapat agen-agen yang sengaja diciptakan untuk mendongkrak procluksi atau bisa disebut mesin pengungkit (leverage) yang mampu melemparkan produk pada tempat-tempat yang strategis sehingga dengan cepat produk akan tersosialisasika, denga, baik. Keluarga merupakan pengungkit (leverage) yang sangat efektif bagi pesantren, mengingat pesantren sebenamya sebuah perusahaan koloni keluarga bukan sebuah perusahaan miliki umum yang disana siapapun berhak memimpin perusahaan itu. Solidaritas keluarga sebuah keuntungan tersendiri bagi pesantren untuk melemparkan produk-produk unggulan ke masyarakat.

Masyarakat akan mendukung pesantren jika keluarga tidak mengalami konflik. Masyarakat merupakan pengguna (usser) bagi pesantren, karena masyarakat menggunakan produk-produk pesantren untuk bisa memberikan pendidikan agama kepada masyarakat. Pelayanan pesantren kepada masyarakatt ini berakibat pada dukungan dari masyarakat untuk eksistensi pesantren, sehingga masyarakat menciptakan sebuah pencitraan yang bagus bagi pesantren. Peneitraan dari masyarakatt inilah yang akan memunculkan pelanggan-pelanggan bagi pesantren.

Pelanggan bagi pesantren bisa dari golongan petani, pedagang, guru atau pegawai negeri seperti yang ada pada pesantren an-Nur 2, pesantren Buring atau pesantren Bungkuk. Pelanggan ada yang dikategorisasikan sebagai pelanggan loyal atau pelanggan yang tidak loyal.

Pelanggan loyal adalah pelanggan yang memandang bahwa semua produk pesantren dianggap memiliki berkah yang luar biasa bagi kehidupan mereka. Sedangkan pelanggan yang tidak loyal adalah pelanggan yang menganggap bahwa semua produk pesantren tidak memliki makna berkah, sehingga mereka tidak begitu menganjurkan pada anak-anaknya untuk "nyantri" ke pondok tersebut. Para santri yang nyantri biasanya memiliki motivasi mondok hanya sebatas karena pesantren tersebut lebih bebas tidak mengekang seperti pesantren yang lail dan bukan karena dorongan orang tua.

Pelanggan loyal selalu antusias mencari peluang agar mereka bisa turut serta mengembangkan pesantrennya. Mereka biasanya melakukan.ritual "sowan kepada kyainya untuk sekedar memberikan dukungan kepada pengelolaan pesantren baik berupa modal, maupun dalam bentuk dukungan moral bagi perkembangan pesantren.