BAB V ANALISA · 2015. 4. 23. · BAB V. ANALISA . 5.1. Solo Kota Budaya Jawa (Closing Identity)...

15
BAB V ANALISA 5.1. Solo Kota Budaya Jawa (Closing Identity) Jika dilihat pada garis tertutup, kota Solo diidentikkan dengan Kota Budaya (Jawa), dalam arti masyarakat Solo yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa mencoba menjaga serta membentengi diri dari pengaruh budaya luar. Hal ini tetap dilakukan untuk menjaga nilai-nilai budaya lokal tetap ada ditengah masyarakat Solo sekalipun kota Solo dimasuki oleh berbagai budaya yang tidak hanya dari Indonesia saja akan tetapi juga budaya internasional. Kota Solo yang kini dikenal sebagai “Kota Budaya dikarenakan kota Solo sejak dulu sudah dikenal karenak budayanya. Berbagai situs peninggalan sejarah mulai dari Keraton Kasunanan Surakarta, Museum Radya Pustaka, Istana Mangkunegaran menjadi bukti hubungan yang begitu erat antara kota ini dengan kebudayaan. Kota Solo merupakan sebuah kota yang multi citra. Jika kita mendengar kata “Solo” maka yang terlintas ada bermacam-macam hal di pikiran kita. Mulai dari batik, Sungai Bengawan Solo, keraton, festival, kuliner-kulinernya, bahkan budaya yang lekat dengan kehidupan masyarakat Solo itu sendiri dengan ditandainya adanya beberapa institusi pendidikan kesenian baik itu yang formal maupun yang non-formal seperti sanggar-sanggar yang dapat kita jumpai di Solo. Penguatan nuansa etnik kebudayaan, baik itu budaya kontemporer maupun tradisi, dapat digunakan sebagai upaya untuk menjadikan masyarakat Solo yang sadar terhadap budaya, dengan keberadaan beragam karya seni budaya yang berinduk atau berbasiskan identitas kebudayaan lokal (budaya Jawa) sebagai ciri khas identitas kota Solo. Identitas kota Solo sebagai Kota Budaya diperkuat dengan menonjolkan salah satu unsur kebudayaan, yaitu kesenian sebagai landasan untuk menjadikan Solo Kota Festival. Agar hal ini dapat terlaksana Pemkot Solo telah melaksanakan berbagai festival-festival seni budaya yang besar. Bahkan hampir disetiap eventnya Pemkot Solo selalu melibatkan dan mengundang delegasi asing untuk terlibat dan ikut ambil bagian. Hal ini dilakukan agar masyarakat internasional pun mengakui Solo sebagai Kota Festival dan hal ini dapat menguntungkan karena dapat menjadi salah satu nilai „jual‟ kota Solo dalam bidang pariwisata.

Transcript of BAB V ANALISA · 2015. 4. 23. · BAB V. ANALISA . 5.1. Solo Kota Budaya Jawa (Closing Identity)...

  • BAB V

    ANALISA

    5.1. Solo Kota Budaya Jawa (Closing Identity)

    Jika dilihat pada garis tertutup, kota Solo diidentikkan dengan Kota Budaya (Jawa),

    dalam arti masyarakat Solo yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa mencoba

    menjaga serta membentengi diri dari pengaruh budaya luar. Hal ini tetap dilakukan untuk

    menjaga nilai-nilai budaya lokal tetap ada ditengah masyarakat Solo sekalipun kota Solo

    dimasuki oleh berbagai budaya yang tidak hanya dari Indonesia saja akan tetapi juga budaya

    internasional.

    Kota Solo yang kini dikenal sebagai “Kota Budaya dikarenakan kota Solo sejak dulu

    sudah dikenal karenak budayanya. Berbagai situs peninggalan sejarah mulai dari Keraton

    Kasunanan Surakarta, Museum Radya Pustaka, Istana Mangkunegaran menjadi bukti

    hubungan yang begitu erat antara kota ini dengan kebudayaan.

    Kota Solo merupakan sebuah kota yang multi citra. Jika kita mendengar kata “Solo”

    maka yang terlintas ada bermacam-macam hal di pikiran kita. Mulai dari batik, Sungai

    Bengawan Solo, keraton, festival, kuliner-kulinernya, bahkan budaya yang lekat dengan

    kehidupan masyarakat Solo itu sendiri dengan ditandainya adanya beberapa institusi

    pendidikan kesenian baik itu yang formal maupun yang non-formal seperti sanggar-sanggar

    yang dapat kita jumpai di Solo. Penguatan nuansa etnik kebudayaan, baik itu budaya

    kontemporer maupun tradisi, dapat digunakan sebagai upaya untuk menjadikan masyarakat

    Solo yang sadar terhadap budaya, dengan keberadaan beragam karya seni budaya yang

    berinduk atau berbasiskan identitas kebudayaan lokal (budaya Jawa) sebagai ciri khas

    identitas kota Solo.

    Identitas kota Solo sebagai Kota Budaya diperkuat dengan menonjolkan salah satu

    unsur kebudayaan, yaitu kesenian sebagai landasan untuk menjadikan Solo Kota Festival.

    Agar hal ini dapat terlaksana Pemkot Solo telah melaksanakan berbagai festival-festival seni

    budaya yang besar. Bahkan hampir disetiap eventnya Pemkot Solo selalu melibatkan dan

    mengundang delegasi asing untuk terlibat dan ikut ambil bagian. Hal ini dilakukan agar

    masyarakat internasional pun mengakui Solo sebagai Kota Festival dan hal ini dapat

    menguntungkan karena dapat menjadi salah satu nilai „jual‟ kota Solo dalam bidang

    pariwisata.

  • Pemkot Solo sedang berusaha mengenalkan kembali kebudayaan jawa seperti

    wayang, gamelan kepada nasional bahkan internasional dan mengenalkan kembali kepada

    anak-anak tentang permainan daerah yang dulu dimainkan, yang sekarang mulai tidak dikenal

    oleh anak-anak karena pengaruh permainan elektronik yang sekarang mulai menjamur

    dikalangan masyarakat. Dalam segi kebudayaan, anak-anak sekolah mempunyai komunitas

    “kemah budaya” dalam komunitas ini terdiri sekitar 300 anak. Dalam hal ini dinas pariwisata

    kota Surakarta mengadakan kegiatan “Dolanan Bocah”. Hal tersebut diimplementasikan

    dengan wayang orang yang di selenggarakan di Sriwedari, acara ini digelar setiap sabtu siang

    dan diikuti oleh para siswa-siswi SMA dan SMP.

    5.2. Solo Kota Festival Seni Budaya (Opening Identity)

    Dalam perjalanan waktu, kota Solo mengalami perkembangan di berbagai bidang,

    termasuk kebudayan. Kebudayaan tumbuh sangat subur dan mengakar sangat kuat di Solo, di

    antaranya bahasa, religi, transportasi, seni, festival, dan perayaan. Hal ini sangat disadari oleh

    Pemkot Solo yang juga memiliki cita-cita untuk menjadikan kota Solo identik dengan

    festival-festival seni budaya. Orientasi Pemkot Solo untuk mengkukuhkan identitas Kota

    Festival Seni Budaya bagi kotanya sangatlah rasional jika dilihat dari bagaimana Pemkot

    Solo mengadakan event-event kebudayaan dengan intensitas kegiatan yang cukup tinggi pada

    beberapa tahun belakangan ini. Hal ini sangat bisa dilakukan karena pada dasarnya Kota Solo

    merupakan salah satu pilar peradaban di Indonesia. Dengan upaya pencitraan yang dilakukan

    Pemkot Solo dari sisi budaya tentu merupakan pilihan yang sangat tepat untuk dapat

    mengangkat citra kota. Karena ketika kompetisi antar kota terjadi, maka setiap kota berupaya

    mencari keunikan-keunikan identitas yang membuat berbeda dengan kota-kota yang lainnya

    yang hampir memiliki keunikan yang sama.

    Pemkot Solo bersama-sama dengan masyarakat terutama generasi muda bangkit dari

    krisis identitas dengan berbagai upaya-upaya, dimulai dengan mengenalkan,

    mensosialisasikan membiasakan kemudian diharapkan mencintai kebudayaan. Melalui aneka

    kegiatan yang dapat meningkatkan minat masyarakat luas dan generasi muda untuk lebih

    mengenal kebudayaan. Seperti festival kesenian, wisata budaya, parade kesenian, pameran,

    konser budaya, dan kegiatan lainnya yang tidak hanya bertaraf nasional tetapi internasional

    sebagai upaya Pemkot Solo untuk melakukan city branding “Solo Kota Festival Seni

    Budaya”.

  • Jika harus bersaing dari segi ekononi menjadi kurang efisien, dikarenakan ekonomi

    dapat terpengaruh oleh beberapa faktor dengan sangat mudah. Akan tetapi bila sebuah kota

    bersaing dari segi keunikan budaya yang dimiliki oleh masing-masing kota itu akan menjadi

    sangat menarik. Di kota Solo, budaya merupakan sebuah hal yang sangat mendominasi dari

    keseluruhan sumber daya yang dimiliki oleh Kota Solo. Hal ini menjadi sebuah keunggulan

    untuk dapat bersaing dengan kota-kota lain yang telah terlebih dahulu menemukan identitas

    dari kotanya.

    Kota Solo memiliki acara festival dan perayaan tradisional berbasis kerakyatan yang

    diadakan setiap setahun sekali. Oleh sebab itu, kota Solo memiliki banyak tempat wisata

    yang menampilkan kebudayaan lokal, seperti taman seni Balekambang, Taman Budaya

    Sriwedari, dan masih banyak lagi. Kesenian tradisional lokal yang sering ditampilkan adalah

    Tari Srimpi dan Tari Bedhaya yang diadakan setahun sekali di Keraton Kasunanan dan

    Kraton Mangkunegaran, wayang orang yang sering digelar di Taman Sriwedari, Alat musik

    tradisional yaitu gamelan yang masih sering kita dengar terutama ketika ada sebuah

    pertunjukan sendratari, tembang Jawa, pertunjukan wayang orang maupun wayang kulit,

    upacara adat malam satu suro, termasuk dalam pernikahan, batik Solo yang tak hanya

    menjadi produk budaya akan tetapi telah menjadi produk ekonomi yang bernilai sangat tinggi

    sehingga munculah kampung batik seperti di Kampung Batik Laweyan, dan Kampung Batik

    Kauman.

    Berbagai event festival seni budaya yang dikonsep secara apik dan digelar sesuai

    dengan kebudayaan lokal Solo. Seperti World Heritage City (WHC), yang konsen pada

    warisan budaya dunia termasuk Solo, Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM),

    yang menyajikan musik tradisi etnik, Solo International Performing Art (SIPA), yang

    menampilkan berbagai seni tari hingga seni theater dan Solo Batik Carnival (SBC) yang

    fokus pada seni batik sebagai ikon kota Solo dan Indonesia melalui karnaval batiknya.

    Promosi ke luar negri memang dapat dijadikan kekuatan untuk mempertahankan kebudayaan

    lokal dan memanfaatkan kepedulian tinggi masyarakat Indonesia. Aan tetapi dalam hal ini

    identitas Solo sebagai Kota Festival Budaya ini hanya dalam tingkat tontonan, dan belum

    mencapai tingkat tuntunan dan tatanan. Maksudnya adalah ketika peneliti melakukan

    penelitian menemukan bahwa diakui oleh Pemkot pada saat ini semua unsur kebudayaan

    yang dikemukakan oleh Pemkot Solo hanya mencangkup tontonan yang diupayakan untuk

    mendatangkan banyak wisatawan yang menghasilkan pemasukan bagi masyarakat Solo serta

    bagi Pemkot Solo itu sendiri.

  • 5.3. City Branding Solo sebagai Kota Budaya Jawa dan Kota Festival Seni Budaya

    Branding adalah upaya untuk membangun merk. Merk atau brand bukan hanya

    sebuah rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun jasa tanpa sebuah

    makna mengikutinya. Logo, tagline, simbol, apapun nama dan bentuknya merupakan bagian

    dari merk atau brand untuk membedakan satu produk atau jasa dengan yang lain. Brand atau

    merk secara tradisional dapat diartikan sebagai nama, terminologi, logo, simbol atau desain

    yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi produk yang ditawarkan kepada

    konsumen Kartajaya, (2006:184). Sedangkan menurut Arnold, (2006:5) branding adalah

    proses mendesain, merencanakan dan mengkomunikasikan nama dan identitas dengan tujuan

    untuk membangun atau mengelola reputasi.

    Tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu tempat atau wilayah pada

    saat ini maupun nanti, termasuk cara promosinya, pariwisatanya, cara mereka bersikap dalam

    lingkup domestik maupun asing, cara mereka merepresentasikan budayanya, atau

    membangun lingkungan alamnya serta bagaimana mereka ditampilkan dalam media dunia

    memberikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan suatu wilayah dalam scope

    internal maupun eksternal. Mihalizt Kavaratzist, (2004:58)

    Suatu tempat atau wilayah dapat memunculkan keunikannya dan dapat tampil berbeda

    dengan para kompetitornya, tidak hanya dalam slogan atau taglinenya saja, yang kini

    terkesan me too product, namun dalam kemampuannya menawarkan sesuatu yang unik dan

    berbeda dan mengkristalisasi sebagai identitas yang kuat dalam persepsi customer. Merk

    merupakan value indicator yang mencerminkan seberapa kokoh dan solidnya sebuah value

    yang ditawarkan.

    Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merek untuk sebuah kota,

    mempengaruhi bahkan membentuk kota itu sendiri. Dan merek yang melekat pada kota

    sangat bergantung pada identitas kota. Setiap kota akan memiliki identitasnya, kota memiliki

    emosinya sendiri-sendiri, sebuah dialektis antara masyarakat dan fisik kotanya. Ini seperti

    halnya sebuah mata uang dengan dua sisinya, bahwa pembangunan fisik sebuah kota tidak

    terlepas dari masyarakat dan budaya yang dimiliki. Membangun fisik (city) pada dasarnya

    adalah membangun roh dan jiwa masyarakatnya. Kota yang berhasil membangun identitas

    yang kuat tidak hanya dari segi fisik tetapi juga kehidupan sosial masyarakatnya.

  • Identitas bukanlah sesuatu yang tanpa adanya sebuah batasan. Dengan batasan ini,

    seseorang akan sadar akan identitasnya. Identitas sebuah kota memiliki batasan antara satu

    dengan yang lainnya. Ada keterikatan dan keterikatan sosial, sehingga muncul apa yang

    disebut sebagai home atau rumah.

    Pengelolaan merk sebuah tempat tujuan merupakan rangkaian upaya-upaya

    pembentukan identitas merk (brand identity) yang kemudian dilanjutkan dengan upaya

    memposisikan merk (brand positioning) dalam benak pendatang / wisatawan (customer)

    sebelum akhirnya terbentuk menjadi citra merk (brand image) sebuah tempat/kota. Kaitannya

    dengan penggunaan merk dalam mempromosikan sebuah kota memiliki beberapa

    keuntungan. Yang pertama, kota dapat memiliki sebuah Hak Cipta yang dapat menjadikan

    hal tersebut menjadikan ciri khas yang dapat mengingatkan di benak para wisatawan

    (customer). Apabila Pemkot Solo menciptakan identitas “Solo Kota Festival Seni Budaya”

    dan “Solo Kota Budaya” maka hal ini dapat menjadi keuntungan besar. Seperti yang telah di

    tulis, keuntungan ini berupa masyarakat luas baik nasional maupun international mengenal

    kota Solo sebagai kota tempat tujuan wisata budaya. Budaya yang disuguhkan di sini bukan

    saja hanya dengan kebudayaan kearifan lokal yaitu budaya jawa, akan tetapi juga kebudayaan

    secara global. Hal ini ditujukan dengan cita cita “Solo Kota Festival Seni Budaya” dengan

    arti kota Solo dijadikan pusat Festival Seni dan kebudayaan dunia. Serta “Solo Kota Budaya”

    yang menjadi local identity bagi masyarakat Solo, untuk menjaga kebudayaan asli leluhur

    sehingga tidak terdesak oleh budaya-budaya luar yang masuk melalui festival-festival seni

    budaya yang ditampilkan dengan mengundang banyak budayawan dan seniman nasional

    bahkan internasional.

    Tempat dimana kota Solo dapat menjadi tempat berkumpulnya kebudayaan

    kebudayaan yang dapat melebur secara harmonis dan dijaga bersama-sama demi lestarinya

    budaya-budaya di dunia. Hal ini tentunya harus tetap sesuai dengan nilai-nilai identitas

    kebudayaan lokal yaitu Budaya Jawa sebagai pusatnya. Yang kedua adalah, kota juga dapat

    menjadi sebuah simbol kualitas yang dapat menyakinkan pengunjung, kualitas yang dapat

    merepresentasikan kepribadian pengunjungnya yang ditunjukkan melalui tampilan-tampilan

    yang disampaikan oleh merk sebuah kota.

    Kota Solo yang hendak dibangun, menunjukkan bahwa pola pikir marketing

    merupakan landasan yang melatar belakangi upaya membangun identitas Solo. Solo perlu

    memiliki mapping survey, competitive analysis, cetak biru dan implementation yang

    menunjukkan identitasnya. sehingga dapat membuat perbedaan atau deferensiasi dengan

  • kota-kota lainnya dan dapat “dipasarkan” kepada investor maupun wisatawan. Hal ini

    tentunya dapat menjadi pemasukan yang sangat besar bagi kota Solo terutama bagi Dinas

    Pariwisata dan DEPKOINFO yang bertanggung jawab dengan proses city branding kota Solo

    ini.

    Yang hendak dikomunikasikan oleh Pemkot Solo saat ini adalah bagaimana Pemkot

    Solo memiliki harapan untuk menjadikan kota Solo menjadi Kota Festival Seni Budaya

    sekaligus menajadi Kota Budaya Jawa. Kota pusat diadakannya festival-festival seni budaya-

    budaya secara global. Tidak hanya festival kesenian nasional Indonesia tetapi juga kesenian

    dunia. Tetapi juga bagaimana Pemkot Solo tetap mempertahankan Budaya Jawa sebagai

    identitas utama (tertutup) bagi masyarakat Solo. Untuk mewujudkan harapan Pemkot Solo,

    pemerintah menggunakan strategi komunikasi yang disebut city branding.

    Tujuan dari city branding ini sendiri adalah (1) memberikan kesadaran untuk

    masyarakat terhadap nilai-nilai identitas budaya (Jawa) yang dimiliki oleh masyarakat Solo

    itu sendiri. (2) menjadikan generasi muda kota Solo menjadi generasi muda yang kreatif

    dengan mengikutsertakan mereka dalam setiap event kebudayaan yang diselenggarakan. (3)

    menjadikan Solo sebagai kota tujuan wisata budaya serta kota pusat kebudayaan dunia,

    melalui Festival-Festival Seni Budaya yang bertaraf internasional. (4) dengan menjadikan

    kota Solo sebagai kota tujuan wisata budaya, maka Pemkot terutama Dinas Pariwisata

    berharap akan banyaknya pendatang / wisatawan yang datang ke Solo yang tentunya akan

    meningkatkan pendapatan masyarakat Solo dari berbagai sektor ekonomi. Sasaran dari city

    branding ini tentunya adalah masyarakat Solo terutama generasi mudanya dan wisatawan

    baik dari wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Para delegasi asing yang diundang dalam

    tiap event international tentunya memiliki pengaruh yang sangat tinggi dalam membantu

    Pemkot Solo dalam mengkomunikasikan tujuan serta gagasan untuk menjadikan kota Solo

    sebagai kota budaya dan menjadi pusat kebudayaan dunia. Para delegasi asing ini mampu

    menyampaikan pesan ini kepada paling tidak negaranya mengenai kota Solo yang menjadi

    salah satu kota tujuan wisata budaya.

    City branding dilakukan dengan berbagai event kebudayaan. Event-event ini tidak

    hanya budaya lokal (budaya Jawa) saja yang yang ditampilkan di setiap eventnya, akan tetapi

    juga budaya-budaya nasional Indonesia bahkan budaya-budaya dari seluruh dunia.

    Identifikasi budaya yang ingin ditekankan oleh Pemkot Solo adalah Solo sebagai Kota

    Festival Seni Budaya.

  • Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan daerah terbesar dari

    sebuah kota / kabupaten. Sebuah kota dituntut untuk lebih mandiri terlebih dalam

    pengelolaan keuangan untuk operational pemerintahan dan teknis dengan cara mengolah

    berbagai potensi dari kota tersebut. Oleh karena itu, kepekaan pemerintahan kota dalam

    melihat serta menggali setiap kesempatan dan sumber pendapatan sangatlah penting. Kota

    Solo merupakan salah satu kota yang pemerintahan kotanya penulis nilai cukup jeli dan

    cermat dalam memanfaatkan potensi daerahnya yaitu dari segi nilai-nilai budaya yang

    dikandung di kota Solo. Nilai-nilai budaya yang cukup kuat ini diolah dan digali terus-

    menerus sehingga menghasilkan sebuah slogan atau tagline “Solo Kota Budaya”. Harapan

    Pemkot Solo sendiri yaitu dengan menjadikan Solo identik dengan unsur-unsur budaya yang

    kuat dan pada akhirnya dapat menjadikan kota Solo sebagai Kota Festival seni Budaya dan

    menajdi salah satu kota tujuan wisata budaya.

    Pemerintah kota Solo bukan saja melihat budaya sebagai suatu kebiasaan dalam

    sebuah masyarakat yang dilakukan terus-menerus dan konsisten. Lebih dari itu, budaya

    dilihat dapat menjadi sebuah kekuatan yang menghasilkan. Kota Solo merupakan salah satu

    dari banyak kota di Indonesia yang memiliki akar budaya yang kuat. Hal ini tidak terlepas

    dari latar belakang sejarah kekuasaan kerajaan Mataram yang sangat kuat. Melalui kekuatan

    kantong-kantong budaya yang telah ada dan cukup kuat di masyarakat Solo sendiri, Solo

    bertransformasi menjadi sebuah kota dengan sektor pariwisata berbasis budaya yang cukup

    dikenal bahkan disegani.

    City Branding yang dilakukan oleh Pemkot Solo juga tercantum dalam PERATURAN

    DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA

    PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2005 –

    2025 dengan beberapa poin yang menunjukkan bagaimana Pemkot Solo serius dalam

    melaksanakan program city branding yaitu, RPJMD II (Tahun 2010 – 2014) 4.3.2.1.

    Mewujudkan sumber daya manusia yang ber-kualitas Butir ke (8). Peningkatan

    penyelenggaraan pendidikan budi pekerti dalam rangka pembinaan akhlak mulia termasuk

    etika dan estetika sejak dini di kalangan peserta didik, dan pengembangan wawasan budaya

    serta lingkungan hidup; (13) Peningkatan pelaksanaan pembinaan generasi muda dalam

    mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi, minat dan bakat untuk mencapai prestasi

    di bidang sosial budaya dan olah raga; (22) Peningkatan pembinaan sanggar-sanggar seni dan

    paguyuban kebudayaan tradisional, baik pada tingkatan anak-anak, remaja maupun dewasa;

    (23) Peningkatan fasilitasi dan kerjasama pengembangan keragaman budaya daerah, agar

  • dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tradisi daerah. 4.3.2.7. Mewujudkan kualitas

    dan kuantitas sarana dan prasarana perkotaan Butir ke (4) Peningkatan jumlah dan kualitas

    sarana prasarana komunikasi dan informatika dalam rangka meningkatkan kelancaran kegiatan

    sosial, seni budaya dan ekonomi masyarakat; (6) Peningkatan sarana prasarana penanggulangan

    dan antisipasi terhadap bencana yang mengancam tata kehidupan sosial, ekonomi dan budaya

    masyarakat.

    5.4 Faktor-faktor Pembentuk Identitas :

    5.4.1 Faktor patronase yang kuat dari pusat

    Melalui legitimasi secara formal untuk meyakinkan masyarakat mengenai

    identitasnya agar tidak terjadi kekeliruan. Akan tetapi sebelum mendapatkan sebuah

    pengakuan / legitimasi, sebuah kelompok msyarakat harus melihat atau menilik

    kembali latar belakang sejarah dari masyarakat Solo sendiri. Bagi warga pendatang

    yang datang dan tinggal di Solo mungkin hal ini menjadi tidak terlalu penting. Akan

    tetapi berbeda halnya dengan masyarakat asli Solo dan yang bermukim di Solo, masih

    sangat menghormati nilai2 budaya yang menjadi identitas dalam kehidupan mereka

    sehari-hari. Mereka masih sangat ingin terlibat secara langsung terhadap proses

    budaya yang terjadi di Solo. Bahkan mereka sangat antusias ketika Pemkot akan

    memiliki progam untuk menjadikan kota Solo kota budaya, dengan diadakannya

    berbagai event-event budaya di Solo. Seperti yang telah diungkapkan oleh Retno

    (SIPA Community, 20th) dalam interview yang saya lakukan secara acak di dalam

    komunitas SIPA sebagai berikut,

    “Saya ikut serta dalam komunitas SIPA ini dengan suka rela. Dengan rasa

    bangga saya terhadap kekayaan budaya yang dimiliki kota Solo. Saya bangga

    menjadi „Wong Solo‟. Saya senang ketika saya turut ambil bagian dalam

    program pemerintah untuk menjadikan kota Solo sebagai kota budaya.”

    5.4.2 Faktor otoritas (kekuasaan)

    Faktor otoritas (kekuasaan) sebagai salah satu faktor penting dalam proses

    pembentukan identitas mereka. Pemkot berupaya dalam proses pemenuhan harapan

    untuk menjadikan kota Solo identik dengan unsur-unsur kebudayaan. Salah satunya

    adalah dengan menggunakan festival budaya. Event ini tidak hanya menyasar salah

    satu unsur budaya, akan tetapi beberapa unsur budaya seperti yang tertulis dalam

    tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, yaitu (1) Religi, (2)

    Kemasyarakatan / Organisasi Sosial, (3) Sisitem Pengetahuan, (4) Kesenian, (5)

  • Sistem Mata Pencaharian, (6) Sistem Peralatan Hidup, dan (7) Bahasa. Dalam hal ini

    Pemkot tidak hanya sebagai tim pelaksana tetapi juga pencetus ide dalam upaya city

    branding “Solo Kota Festival Seni Budaya”. Pihak yang memiliki otoritas ini dalam

    proses pembentukan identitas serta proses city branding “Solo Kota Festival Seni

    Budaya” adalah Dinas Pariwisata.

    “Setiap kota harus memiliki identitas khusus yang membedakan kota satu

    dengan kota lainnya, oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta perlu memiliki

    identitas khusus itu, yaitu sebagai Kota Budaya, yang diharapkan bisa

    menunjang kegiatan pariwisata.”

    “Strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan city

    branding, terutama branding sebagai Kota Budaya adalah dengan

    memberdayakan segenap potensi budaya Surakarta, untuk ditampilkan sebagai

    sebuah identitas kota.”

    5.4.3 Faktor ekonomi

    Faktor ekonomi terkait dengan pembentukan identitas adalah seberapa kuat ekonomi

    suatu masyarakat dapat melegitimasi identitas masyarakat Solo yang berbudaya.

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, patronase terhadap pusat dalam

    pembentukan identitas adalah harga mati, jika identitas mereka ingin tetap eksis dan

    diakui. Ada banyak kebutuhan yang wajib dipenuhi untuk melegitimasi identitas

    mereka. Salah satunya adalah kebutuhan ekonomi demi sejahteranya masyarakat.

    Faktor ekonomi ini terdiri atas beberapa sektor, antara lain sektor pariwisata,

    perhotelan, transportasi, bahkan kuliner. Konsekuensinya adalah mereka harus bekerja

    keras dan sedikit perhitungan untuk mengukuhkan kota Solo sebagai kota tujuan

    wisata budaya. Kemapanan atau keberhasilan dalam faktor ekonomi merupakan faktor

    utama dalam membentuk identitas mereka yang butuh dilegitimasi oleh pusat, lebih

    dari itu, perekonomian yang kuat dapat digunakan untuk mempertajam lagi eksistensi

    dan status sosial atas identitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Heru (SBC, 40 th)

    “diharapkan dengan adanya SBC maka banyak tamu-tamu wisata datang ke

    Solo. Dengan begitu otomatis pariwisata dan perekonomian kota solo menjadi

    meningkat. Jadi semuanya berkaitan.”

    5.5 Model Pembentukan Identitas

    Dalam proses pembentukan identitas membutuhkan aktor / agen berotoritas guna

    membentuk identitas yang sahih (legitimizing identity), identitas perlawanan (resistance

    identity), identitas proyek (project identity) ; proses pembentukan identitas, kedinamisan

  • identitas sesuai dengan waktu dan tantangannya, serta keterkaitan dan penyesuaian dengan

    proses pembangunan di tingkat lokal.

    Tabel 5.1 Model Pembentukan Identitas

    Garis lingkaran tebal pada identitas warga merupakan bagaimana mereka membentengi

    identitas kejawaan mereka terhadap tantangan eksternal ; sedangkan garis lingkaran

    putus-putus pada identitas lokal adalah bagaimana mereka membuka diri dalam interaksi

    ekonominya dalam proses pembangunan di tingkat lokal maupun menjawab tantangan

    masyarakat di luar wilayah Solo, apakah kota Solo telah siap untuk menjadi kota tujuan

    wisata budaya.

    5.5 Langkah-langkah dalam city branding :

    5.6.1 Mapping Survei: meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik

    dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai

    keterkaitan dengan daerah itu. Seperti yang diketahui bersama, Kota Solo

    merupakan kota yang sangat kental dengan nilai-nilai kebudayaan terutama budaya

    Jawa. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan tersebut.

    Terbukti dengan banyaknya sanggar-sanggar tari tradisional dan komunitas-

    komunitas pecinta kesenian di Solo. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Heru

    Kota Festival

    Budaya

    Solo Kota

    Budaya (Jawa)

    Kebutuhan: berpromosi / city

    branding

    Perubahan: waktu dan

    tantangan

    Politik identitas:

    pembangunan

  • (SBC Community, 40th) dalam interview yang penulis laksanakan pada tanggal 7

    Juni 2012 di Kantor Komunitas SBC,

    “kalau kita melihat Solo secara keseluruhan ya ada kampung, ada pasar

    tradisional yang sangat dicintai oleh masyarakat Solo pada umumnya, ada

    sanggar tari, dll”

    “saya pikir sebelum ada event pun, masyarakat Solo juga tetap kreatif, tetap

    tumbuh, tetap cinta cinta dengan kebudayaannya.”

    Sedangkan pihak-pihak luar yang berkaitan dengan Kota Solo menilai bahwa Solo

    yang kental dengan nilai-nilai budaya tersebut diolah dan dikelola sedemikian rupa

    maka akan menjadi kota tujuan wisata yang menarik. Akan tetapi setelah melakukan

    proses penelitian, penulis menemukan bahwa Pemkot Solo tidak melakukan proses ini

    dalam melakukan City Branding. Hal ini dikarenakan ide kreatif awal dari pemikiran

    beberapa festival yang diadakan berasal dari beberapa komunitas seni (SIPA

    Community, SBC, dll).

    “ide awalnya bisa saya katakan berasal dari Solo center point saat itu memang

    memiliki ide ini, kemudian mengajak Dina Faris dari Jember Fashion Carnival

    untuk mengagas konsepnya lalu saya masuk kesana untuk mengajak

    masyarakatnya. Jadi idenya sebetulnya dari masyarakat yang diwakili oleh

    Solo Center Point. Lalu mulai berbicara dengan pemerintah kota. Akan tetapi

    SBC tidak akan sampai sejauh ini tanpa dukungan dan peran dari pemerintah

    kota.” –SBC Community-

    “SIPA pertama kali diselenggarakan pada tahun 2009. Saat itu saya sebagai

    penggagas pertama sebuah event tari besar di Solo. Gagasan ini berupa, di

    adakannya sebuah event tari bertaraf internasional di Solo, sekaligus untuk

    mengenalkan kepada masyarakat dunia bahwa Solo memiliki branding sebagai

    kota seni atau budaya.” –SIPA Community-

    Ide-ide kreatif awal yang berasal dari masyarakat (komunitas) ini yang kemudian

    dijadikan landasan atau pemikiran awal untuk melakukan city branding kota Solo

    sebagai Kota Festival Seni Budaya. Ide ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah

    Kota dengan cara ikut mendukung, mendanai, bahkan terlibat secara langsung dalam

    setiap festival.

    5.6.2 Competitive Analysis: melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun

    mikro daerah itu sendiri. Pemkot Solo melihat peluang yang mampu dikembangkan.

    Daya saing yang dimiliki dan ditonjolkan dalam proses ini adalah sisi budaya dan

    pariwisata yang dinilai memiliki nilai lebih baik di masyarakat Solo sendiri maupun

    masyarakat di luar Solo. Di level makro, kota Solo dilihat dapat menjadi kota wisata

    budaya dengan event-event kebudayaan besar yang sering dilakukan di Solo.

  • Sedangkan di level mikro, masyarakat Solo sendiri mampu lebih berdaya saing dalam

    mengembangkan dan meningkatkan ekonominya di segala aspek baik aspek

    pariwisata berupa hotel, kuliner, souvenir (batik), dll. Maka dapat dikatakan kota Solo

    merupakan salah satu kota paling produktif di Indonesia.

    “Setiap kota harus memiliki identitas khusus yang membedakan kota satu

    dengan kota lainnya, oleh sebab itu Pemerintah Kota Surakarta perlu memiliki

    identitas khusus itu, yaitu sebagai Kota Budaya, yang diharapkan bisa

    menunjang kegiatan pariwisata.”

    “Cita-citanya adalah Solo menjadi kota yang bertumpu pada seni budaya dan

    meningkatkan kegiatan kepariwisataan.”

    Dalam penelitian, penulis menemukan bahwa Pemkot Solo pun tidak melakukan

    tahapan ini dalam proses city branding yang Pemerintah Kota Solo lakukan. Kedua

    tahapan awal dalam city branding ini tidak sampai dilakukan dikarenakan pada

    dasarnya Pemkot Solo sendiri kurang memahami akan tahapan-tahapan dalam proses

    city branding yang secara teoritis. Akan tetapi Pemkot hanya menyatakan pada

    interview yang penulis lakukan bahwa,

    “Peluang yang kami (Pemkot) lihat ketika ada beberapa komunitas di

    msyarakat yang memiliki ide atau gagasan untuk mengadakan event Festival

    Seni Budaya maka kami pun menyadari bahwa hal ini dapat dijadikan peluang

    untuk kota Solo dapat bersaing dengan kota-kota yang lain.”

    Maka daya saing yang mampu dikembangkan oleh kota Solo adalah kekuatan budaya

    terutama dibidang kesenian yang dikemas secara apik dan lebih terkonsep dalam

    setiap festival-festival seni budaya yang diadakan. Dengan tujuan untuk menjadikan

    kota Solo sebagai Kota Festival Seni Budaya yang besar. Seperti yang diungkapkan

    oleh salah satu pencetus ide awal event Solo Batik Carnival (SBC) yaitu Heru (40)

    dalam interview yang penulis lakukan bahwa,

    “Jadi program parieisata pemerintah dan karya kreatif masyarakt ini dapat

    berjalan beriringan tanpa mengintervensi satu sama lain. Jadi SBC jangan

    sampai hanya jadi produk pariwisata, tetapi juga harus menjadi produk

    kebudayaan masyarakat kota solo. Jadi ini harus di letakkan di ruang

    kebudayaan.”

    5.6.3 Blueprint: penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik

    logo, semboyan, tag line, dan lain sebagainya beserta strategi branding dan strategi

    komunikasinya. Berdasarkan Mapping Survey dan Competitive Analysis yang telah

    dilakukan maka Pemkot Solo mengeluarkan slogan “Solo Kota Budaya” sebagai

    strategi promosi kota Solo. Dalam slogan/tagline ini sudah sangat jelas dan gamblang

  • ditulis mengenai tujuan, visi, serta misi Pemkot Solo untuk menjadikan kota Solo

    sebagai kota kebudayaan.

    “Strategi yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta dalam melakukan city

    branding, terutama branding sebagai Kota Budaya adalah dengan

    memberdayakan segenap potensi budaya Surakarta, untuk ditampilkan sebagai

    sebuah identitas kota.”

    Kenapa Pemkot memilih slogan “Solo Kota Budaya”? kembali ke hasil mapping

    survey dan competitive analysis bahwa daya saing yang kuat di Solo adalah nilai-nilai

    budaya yang masih dipegang teguh serta memiliki perputaran ekonomi yang besar di

    sektor pariwisatanya. Maka nilai jual tadi lah yang „dipasarkan‟ oleh Pemkot Solo.

    Setelah ide-ide dikumpulkan dan ditampung maka Pemerintah Kota Solo beserta

    pihak pelaksana mulai merancang bagaimana setiap event festival tersebut dapat

    terlaksana dengan baik dan dapat menjadikan kota Solo semakin dikenal sebagai Kota

    Festival Budaya oleh masyarakat luas.

    5.6.4 Implementation: pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti

    pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya. Dalam hampir

    setiap event setelah ide tadi dikemas dan disusun untuk menjadi sebuah acara yang

    besar. Contohnya dalam event SBC,

    “Setelah tema besar selesai, lalu evaluasi tentang tema, kita sosialisasikan ke

    pak walikota, ke dinas-dinas terkait, setelah itu kita baru membuka

    pendaftaran peserta untuk mengikuti program ini ke sekolah-sekolah, ke

    masyarakat umum melalui publikasi itu, setelah seselai pendaftaran lalu kita

    mulai workshop yang dimulai dari merancang kostum, dll. Lalu masuk ke pra

    event dan baru masuk ke acara. Setelah acara baru ada evaluasi

    penyelenggaraan itu. Kebanyakan, evaluasinya itu malah pada pengaturan

    penonton.”

    Setelah slogan/tagline dibuat maka Pemkot menyusun strategi promosi dengan

    mengeluarkan banyak event kebudayaan bertaraf nasional bahkan internasional

    sebagai bentuk pelaksanaan grand design. Event-event ini tidak hanya merupakan

    kegiatan bersama antara Pemkot Solo dengan masyarakat Solo saja, akan tetapi juga

    banyak pihak yang turut terlibat dalam kegiatan ini. Tak hanya seniman lokal dalam

    negri bahkan di beberapa event seperti SIPA, SIEM, dan masih banyak lagi, juga

    mendatangkan banyak delegasi asing bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga

    terlibat secara langsung dalam pertunjukkannya. Media-media berupa media TV, surat

    kabar, media online, radio menjadi media partner bagi Pemkot Solo dan

  • penyelenggara event untuk ikut mempromosikan event-event tersebut kepada

    khalayak luas.

    5.7 Efektifitas dalam perspektif ilmu komunikasi

    Jika dilihat dari strategi-strategi yang diterapkan oleh Pemkot Solo dalam

    upaya membranding Solo menjadi “Solo Kota Budaya” cukup efektif. Hal ini dapat

    diamati dari setiap event yang diadakan masyarakat Solo sendiri sangat antusias

    dalam mengikuti setiap event yang digelar oleh Pemkot Solo. Masyarakat bahkan

    tidak hanya pasif sebagai penikmat acara, tetapi juga turut serta dalam penyelenggara

    bahkan beberapa ide kreatif event besar di Solo datangnya berasal dari masyarakat

    (komunitas) sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Heru (SBC, 40th)

    “Jadi idenya sebetulnya dari masyarakat yang diwakili oleh Solo Center Point.

    Lalu mulai berbicara dengan pemerintah kota. Akan tetapi SBC tidak akan

    sampai sejauh ini tanpa dukungan dan peran dari pemerintah kota.”

    Masyarakat di luar Solo pun antusias dalam menyambut setiap event yang

    dilaksanakan oleh Pemkot Solo. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya paket-

    paket wisata yang dibuat oleh agen-agen wisata di Solo yang menawarkan diskon dan

    beberapa tawaran menarik lainnya untuk dapat berwisata di Solo dengan lebih

    nyaman. Serta peningkatan ekonomi yang terjadi ketika event berlangsung berkali-

    kali lipat. Hal ini tentunya dapat menjadi indikator efektivitas dari program

    pemerintah ini. Bapak Heru (SBC, 40th)

    “lalu di harapkan dengan adanya SBC maka banyak tamu-tamu wisata datang

    ke solo. Dengan begitu otomatis pariwisata dan perekonomian kota solo

    menjadi meningkat.”

    Bagaimana kedua hal yang sangat berlawanan antara Solo Kota Budaya Jawa (closing

    identity) dengan Solo Kota Festival Budaya (opening idenity) dapat berjalan bersama-

    sama bahkan masyarakat Solo sangat antusias dengan setiap event yang diadakan?

    Hal ini dikarenakan pada dasarnya masyarakat Solo sendiri memang mencintai seni

    budaya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya sanggar-sanggar seni yang berdiri

    serta komunitas-komunitas berbasis seni budaya yang berdiri. Closing identity berupa

    pembentukan Solo Kota Budaya merupakan bentuk Pemkot Solo untuk membentengi

    diri kebudayaan asli Solo yaitu Budaya Jawa dari pengaruh-pengaruh budaya luar

    yang memang disengaja diundang masuk oleh Pemerintah Kota sebagai salah satu

    upaya promosi budaya. Sedangkan opening identity yang berupa pembentukan kota

  • Solo sebagai Kota Festival Seni Budaya merupakan salah satu upaya Pemkot Solo

    untuk menjadikan kota Solo mampu bersaing dengan kota-kota besar yang lain di

    Indonesia. Dibuktikan dengan festival-festival seni yang diadakan tidak hanya

    bertaraf nasional, bahkan bertaraf internasional. Festival bertaraf internasional ini,

    dengan mengundang delegasi asing disetiap event internasional yang diadakan oleh

    Pemkot.

    5.8 Kredibilitas Data

    Peneliti menggunakan teknik triangulasi data untuk melakukan Uji Kredibilitas Data.

    Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari Pemkot Solo, komunitas kesenian di Solo selaku

    penyelenggara event (SBC Community dan SIPA Community), dan Budayawan memiliki

    data dan pendapat yang sama sehingga data dalam penelitian ini dapat dikatakan valid.