BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

78
129 BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN DIFERENSIASINYA Pada bagian ini, penulis akan melakukan pemaparan khusus terhadap ritual Cuci Negeri Soya, khususnya yang berkaitan dengan asal-muasalnya, waktu dan tempat pelaksanaannya, petugas dan partisipannya, simbol-simbol yang dipergunakan, serta tahapan pelaksanaannya. Selanjutnya, diikuti dengan upaya penelusuran terhadap historis “manusia Soya”, sistim kepercayaan dan tatanan adatisnya, corak simbol dan performansinya, filosofi kultural dan perwatakannya, pengaruh agama dan kebudayaan lain (pendatang), serta pengaruh politik dan modernisasi. IV.1. Ritual Cuci Negeri Soya Adapun paparan tentang Ritual Cuci Negeri Soya ini akan diperikan dengan: (1) Ulasan sekilas mengenai asal-usul pelaksanaannya; (2) Waktu dan tempat pelaksanaannya; (3) Para petugas dan partisipan, atau siapa-siapa saja yang terlibat dalam ritual tersebut; (4) Perlengkapan dan simbol apa saja yang digunakan; serta (5) Alur tahapan ritual Cuci Negeri dengan ketentuan adatinya. IV.1.1. Sekilas Awal-Mulanya Ritual Cuci Negeri yang telah memiliki formasi acara dalam bentuk kontemporer saat ini, sesungguhnya memiliki latar kisah asali yang memiliki keterkaitan dengan mitos Naga yang dikenal dan ceritanya diwariskan turun-temurun dari orangtatua Soya kepada keturunannya. Secara ringkas diceritakan 1 antara lain, ....Waktu dahulu itu, acara CN dibuat selama 5 (lima) hari, dan selalu berlangsung pada musim 1 Data tentang cerita mitos Naga ini kembali diceritakan dengan dialek Ambon oleh Kepala soa adat, opa Huwa’a kepada penulis pada tanggal 7 Desember 2017, dan telah penulis olah dalam bahasa baku Indonesia.

Transcript of BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Page 1: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

129

BAB IV

RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN

DIFERENSIASINYA

Pada bagian ini, penulis akan melakukan pemaparan

khusus terhadap ritual Cuci Negeri Soya, khususnya yang berkaitan

dengan asal-muasalnya, waktu dan tempat pelaksanaannya,

petugas dan partisipannya, simbol-simbol yang dipergunakan,

serta tahapan pelaksanaannya. Selanjutnya, diikuti dengan upaya

penelusuran terhadap historis “manusia Soya”, sistim kepercayaan

dan tatanan adatisnya, corak simbol dan performansinya, filosofi

kultural dan perwatakannya, pengaruh agama dan kebudayaan

lain (pendatang), serta pengaruh politik dan modernisasi.

IV.1. Ritual Cuci Negeri Soya

Adapun paparan tentang Ritual Cuci Negeri Soya ini akan

diperikan dengan: (1) Ulasan sekilas mengenai asal-usul

pelaksanaannya; (2) Waktu dan tempat pelaksanaannya; (3) Para

petugas dan partisipan, atau siapa-siapa saja yang terlibat dalam

ritual tersebut; (4) Perlengkapan dan simbol apa saja yang

digunakan; serta (5) Alur tahapan ritual Cuci Negeri dengan

ketentuan adatinya.

IV.1.1. Sekilas Awal-Mulanya

Ritual Cuci Negeri yang telah memiliki formasi acara dalam

bentuk kontemporer saat ini, sesungguhnya memiliki latar kisah

asali yang memiliki keterkaitan dengan mitos Naga yang dikenal

dan ceritanya diwariskan turun-temurun dari orangtatua Soya

kepada keturunannya. Secara ringkas diceritakan1 antara lain,

“....Waktu dahulu itu, acara CN dibuat selama 5 (lima) hari, dan selalu berlangsung pada musim

1 Data tentang cerita mitos Naga ini kembali diceritakan dengan dialek Ambon oleh

Kepala soa adat, opa Huwa’a kepada penulis pada tanggal 7 Desember 2017, dan telah penulis olah dalam bahasa baku Indonesia.

Page 2: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

130 Religiositas Ambon-Kristen …

Barat, karena dipercaya bahwa para leluhur itu datang bersama dengan angin pada musim Barat. Semuanya ini punya keterkaitan dengan kisah yang orangtatua selalu ceritakan. Yaitu, pada malam hari menjelang hari pertama pelaksanaan CN berkumpullah seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Upu Nee bersama sejumlah anak-anak muda di Samarole. Semua personil menggunakan busana cawat (cidaku) dengan muka yang dilaburi arang hitam. Pada saat-saat seperti itu, para wanita di negeri tidak ada yang keluar. Semuanya berdiam di dalam rumah. Selanjutnya, Upu Nee dengan para pemuda itu bergerak menuju ke gunung Sirimau, ke lokasi yang menjadi tempat bersemayam Upulatu Selemau dengan pendamping atau penjaganya seekor ular Naga. Dalam perjalanan itu, Upu Nee lebih dulu berjalan di depan supaya dapat memberitahukan ~dan sekaligus memohon ijin~ kepada Upulatu, bahwarombongan anak negeri (para pemuda) yang berasal dari rumahtau-rumah tau keturunan Soya, sedang datang. Setelah “mendapat restu”, Upu Nee dan rombongan masuk ke lokasi dan memberikan arahan kepada rombongan untuk mengambil posisi duduk sambil membelakangi satu daripada yang lainnya. Menjelang tengah malam, datanglah Naga yang akan menelan para pemuda tersebut dan menyimpan mereka selama 5 (lima) hari di dalam perutnya. Barulah pada hari yang kelima, si Naga memuntahkan para pemuda tersebut. Selanjutnya, kepada setiap pemuda tersebut diberikan tanda seperti tatoo yang berupa lukisan berbentuk segitiga pada dahi, dada, dan perut mereka. Sementara proses yang berlangsung di gunung Sirimau dengan rombongan itu, di negeri sendiri, khususnya di baileo Samasuru (baileonya negeri Soya), berlangsung akta pembersihan baileo, sekaligus persiapan untuk menyambut rombongan yang turun dari gunung Sirimau. Dan ketika rombongan dari gunung Sirimau tiba, lantunan nyanyian adat berupa kapata dan suhat dengan iringan tifa-gong ditampilkan sebagai ekspresi sukacita menyambut rombongan dari gunung Sirimau tersebut.

Page 3: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 131

Kemudian Upulatu (raja) mengambil posisi di tempat duduknya (disebut Peterana) dari berbicara dari tempat itu (disebut Batustori Peterana) sambil mengangkat mukanya ke arah gunung Sirimau, ia pun menyampaikan pasawari adat yang intinya antara lain, menuturkan karya dan peranan para datuk dalam sejarah perjuangan dan kepahlawanan mereka bagi negeri Soya; permohonan kepada sang Ilahi dan para datuk untuk menjaga Soya dari bahaya, kesusahan, penyakit pada satu pihak dan pada lain pihak ia pun meminta berkat bagi negeri Soya dan seluruh warganya. Seusai Upulatu mengucapkan pasawari adat tersebut, berdirilah semua yang hadir di tempat itu, lalu dua orang wanita (mata ina) yang tertua dan berasal dari soa Pera, maju mengambil posisi di depan untuk dililitkan sebuah pita warna putih2 oleh Upulatu.”

Dalam perkembangan kemudian, ritual awal Cuci Negeri ini

lalu mengalami penyesuaian dan sejumlah modifikasinya sesuai

dengan situasi kontemporer3, sebagaimana yang akan diulas pada

paparan tentang alur tahapan Cuci Negeri Soya secara lebih detail.

IV.1.2. Waktu (Tanoar) dan Tempat Pelaksanaannya

Adapun pemilihan waktu dan tempat pelaksanaan Cuci

Negeri bukanlah tanpa alasan dan latar belakang kepercayaan

adati dan pelbagai pertimbangan lainnya yang turut memengaruhi

dan bahkan memberikan pemaknaan yang baru terhadap pilihan

waktu dan tempat itu sendiri.

Sebagai suatu pertimbangan yang diwarisankan dari

leluhur dalam pemilihan waktu yang tepat dan baik, yang disebut

dengan istilah “tanoar” atau “kotika”4, maka penetapan waktu

2 Dalam perkembangan kemudian, pita berwarna putih ini digantikan dengan Kain

gandong panjang berwarna putih pula. Kendati simbol yang digunakan telah berbeda, namun inti maknanya tetap sama, yakni simbol yang menandai sebuah persatuan dan kesatuan di antara sesama orang basudara di negeri Soya sebagai suatu persekutuan adat.

3 John L. Rehatta, Negeri ...,9-10. 4 Dimaknai pula sebagai hari bae, hari yang baik.

Page 4: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

132 Religiositas Ambon-Kristen …

pelaksanaan Cuci Negeri akan berlangsung setahun sekali dan

selalu jatuh pada minggu pertama dan kedua bulan Desember

pada setiap tahun berjalan. Penentuan waktu ini dipengaruhi oleh

pandangan kepercayaan adati bahwa momentum datangnya

musim (angin) Barat ~yang berawal dari bulan Desember hingga

bulan Maret~ merupakan momentum kehadiran dari para leluhur,

yang menjadi prasyarat utama pelaksanaan Cuci Negeri. Sebab

disadari bahwa Cuci Negeri tidak mungkin dapat dilakukan tanpa

kehadiran dari para leluhur.

Berbeda dengan pelaksanaan waktu Cuci Negeri di negeri

tetangga Soya, yakni Naku dan Hukurila yang telah menetapkan

tanggal tertentu sebagai ketentuan baku pelaksanaan Cuci Negeri

(Lihat Lampiran tentang Perbandingan CN Soya, Naku dan

Hukurila), maka waktu Cuci Negeri Soya lebih merujuk pada

penetapan “hari” pelaksanaan. Dan terkait dengan penentuan

“hari” tersebut, hari Jumat diyakini sebagai “kotika” atau hari bae

(hari yang baik).5 Dengan kesadaran “waktu atau kotika” tersebut

maka, Cuci Negeri akan diatur tahapan awalnya pada hari Rabu

Minggu II bulan Desember (tahap Pica Negeri), berlanjut dengan

hari Kamis besoknya sebagai hari ke gunung Sirimau (rombongan

khusus yang “bermeditasi” atau matawana), dan memuncak pada

hari Jumat dengan seluruh rangkaian tahapan yang bersifat

serimonial adati. Untuk tahapan waktu selanjutnya dapat dilihat

pada paparan khusus tentang alur tahapan pelaksanaan Cuci

Negeri.

Terkait dengan tempat pelaksanaannya, tentu bila disimak

pelaksanaan mula-mula dari ritual Cuci Negeri yang dilakukan oleh

para pendahulu atau leluhur Soya, sebagaimana telah

5 Selain hari Jumat, hari “keramat” lainnya dalam pandangan masyarakat adati

(khususnya sebelum masuk kekristenan) di Soya maupun Ambon dan Seram pada umumnya adalah hari Selasa. Dan kedua waktu tersebut (Selasa dan Jumat) dianggap sebagai waktu kehadiran dari arwah para leluhur. Bandingkan, Cooley yang mengkonstatir fenomena “waktu” tersebut dengan kalimat, “....inilah fenomena agama suku (sebelum masuknya Kristen), yang meyakini bahwa para leluhur berkeliaran dan kembali ke tempat yang dihuninya dahulu, khususnya berlaku pada hari kelima dan kedua (Jumat dan Selasa) dalam sepekan. Dan biasanya berlangsung di tempat-tempat tertentu seperti di Baileo dan tempat keramat lainnya.” Cooley, Mimbar..., 219.

Page 5: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 133

dikemukakan pada butir III.1., maka tentunya lokasi pelaksanaan

Cuci Negeri telah mengalami perkembangan dan penyesuaian,

yang antara lain dapat dibedakan sebagai lokasi yang dianggap

keramat dan lokasi yang dianggap tidak terlalu keramat, yakni:

(1) Lokasi yang dianggap keramat:

(a) Baileo Samasuru.

(b) Batu Stori Peterana (batu bicara) di baileo Samasuru.

(c) Batu Pamali di gunung Sirimau.

(d) Situs Air Tempayan di gunung Sirimau.

(e) Batu Pasar (Hatukuil) di gunung Sirimau.

(f) Batu Teung dari masing-masing soa atau rumahtau,

khususnya teung Tunisou (milik Soa Pera) dan teung

Rulimena (milik Soa ).

(g) Sumur (parigi) raja atau Wai Pinang.

(h) Mata Air soa (Werhalouw milik soa Pera dan Unuwei

milik soa ).

(i) Pekuburan.

(j) Rumah raja.

(k) Gedung gereja.

(2) Lokasi yang dianggap tidak terlalu keramat

(a) Pemukiman warga, baik yang asli maupun pendatang.

(b) Lokasi Kantor Negeri (balai pertemuan negeri)

(c) Lokasi Sekolah.

(d) Fasilitas umum (jalan, selokan, jembatan, dll).

IV.1.3. Petugas dan Partisipannya

Berkaitan dengan petugas atau pelaksana dan partisipan

yang turut mengikuti pelaksanaan Cuci Negeri dimaksud, dapat

dikategorisasikan menjadi kelompok khusus dan kelompok umum,

yang terinci sebagai berikut:6

6 Kategorisasi ini dibuat bukan berdasarkan urutan posisi struktural dari seseorang

dengan jabatannya, melainkan lebih mengarah pada tingkat keterlibatan seseorang dalam tahapan-tahapan pelaksanaan CN, yang dipandang signifikan bagi kelancaran berlangsungnya CN tersebut.

Page 6: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

134 Religiositas Ambon-Kristen …

(1) Kelompok Khusus

(a) Raja (Upu Latu).

(b) Kepala soa Adat (Mauweng).

(c) Staf Saniri Negeri (sudah termasuk para Kepala Soa,

Kapitang, Malesi (Wakil Kapitang), Kewang

(“polisi”/penjaga hutan), Sekretaris Negeri.

(d) Pendeta

(e) Marinyo

(f) Kelompok Mata Ina (lama dan Baru7).

(g) Pemusik (Peniup tahuri, Penabuh Tifa-Gong, Totobuang)

& Penari adat (Cakalele, Lenso)

(h) Pembawa Kain Gandong

(i) Pelayan makanan (Makan Patita)

(2) Kelompok Umum

(a) Undangan disesuaikan, misalnya pejabat pemerintahan

seperti Walikota, dll.

(b) Unsur pihak Sekolah dan pimpinan organisasi agama

maupun masyarakat yang ada di Soya (Misalnya pihak

majelis jemaat, muhabet, dll).

(c) Marga dalam 2 kelompok Soa masing-masing (baik orang

dalam maupun orang luar).

(d) Basudara gandong (dari negeri Muslim Morela) dan

Basudara Pela (dari negeri Kristen Urimessing).

(e) Pihak kamtibmas (kepolisian).

(f) Masyarakat Umum (yang tidak tergolong dalam

kelompok soa apapun, namun berkeinginan untuk

menyaksikan ritual CN, termasuk para turis asing

maupun domestik).

(g) Para pemusik band dan artis yang diundang untuk

meramaikan Pesta Negeri.

7 Sekelompok wanita dari “luar” yang baru menikah dengan pria dari negeri setempat.

Page 7: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 135

IV.1.4. Simbol dan Perlengkapannya

Pelaksanaan Cuci Negeri di Soya memiliki ciri khasnya

tersendiri, kendati tentu memiliki beberapa kesamaan juga dengan

yang berlaku di negeri Naku dan Hukurila, dapat dilihat melalui

simbol dan perlengkapan yang dipakai atau diberlakukan selama

kegiatan Cuci Negeri tersebut, yang antara lain sebagai berikut:

1) Seluruh petugas mengenakan busana dan lenso adat atau

asesoris lainnya yang lazim dipakai untuk sebuah acara ritual

adati.

2) Sirih-Pinang, Tembakau (tabaku) Jawa, Kapur makan sirih,

Sebotol Air, Sebotol Sopi, dupa dan kemenyan, belanga.

3) Adanya 3 (tiga) bendera yang terlihat, yakni: (a) Bendera

Merah-Putih, (b) Bendera Negeri Soya, dan (c) Bendera Tana

(Kain Batik bermotif, simbol ular Patola).

4) Tanaman Gadihu(Lihat Lampiran 7, Foto 7d)

5) Sapulidi dan perlengkapan kerja yang disesuaikan.

6) Tombak, Parang & Kuning mai (Kunyit).

7) Tahuri (Kulit Siput/Kerangbesar).

8) Tifa, Gong, dan Totobuang.8

9) Kain Gandong.

10) Makan Patita.

11) Nyanyian Adat (Kapata dan Suhat).

IV.1.5. Alur Tahapan dan Aturannya9

Adapun alur tahapan dan aturan Cuci Negeri Soya dapat

disimpulkan dalam 12 tahapan berikut ini.

Tahap-1 : Rapat Saniri Besar

Sebagai agenda pertama, Cuci Negeri (CN) Soya diawali

dengan Rapat Saniri Besar yang dihadiri oleh seluruh unsur

8 Kalau peralatan musik Tifa-Gong itu telah baku dipakai. Sedangkan untuk

Totobuang, disesuaikan dengan kebutuhan khusus acara. 9 Khusus untuk alur tahapan dan aturan CN ini, penulis susun berdasarkan

rangkuman beberapa rujukan, antara lain: Buku yang ditulis oleh mantan raja Soya: John L. Rehatta, Negeri...., Tesis Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa...., dan hasil riset (keterlibatan langsung) dan wawancara yang penulis lakukan selama pelaksanaan CN tahun 2015 dan 2017.

Page 8: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

136 Religiositas Ambon-Kristen …

elemen pimpinan yang ada di Soya, antara lain: elemen Tiga Batu

Tungku (pemerintah negeri, gereja, sekolah), muhabet, organisasi

masyarakat yang ada, serta seluruh warga masyarakat yang ingin

hadir (tidak dibatasi). Rapat Saniri Besar tersebut dipimpin oleh

bapa raja Soya dan staf saniri negeri dan dilaksanakan beberapa

hari sebelum pelaksanaan CN. Adapun tanggal dan hari

pelaksanaannya tidak dibakukan10 (dalam hal ini disesuaikan

dengan keputusan raja bersama saniri negeri).

Penulis berkesempatan mengikuti Rapat Saniri Besar pada

hari Jumat, tanggal 1 Desember 2017 mulai dari jam 11.00 hingga

jam 12.30, bertempat di Ruang Pertemuan Kantor Negeri Soya.

Gambaran detail hasil Rapat tersebut dapat dilihat pada Lampiran

10 (Prosiding Rapat Saniri Besar). Namun bila dicermati secara

umum, maka ada beberapa hal yang patut dikemukakan terkait

dengan proses, suasana dan hasil Rapat tersebut.

Suasana Rapat Saniri Besar secara umum berlangsung

dalam semangat keterbukaan, demokratis dan persaudaraan,

sambil tetap menghormati posisi dan peranan masing-masing

(sebagai pemimpin maupun warga masyarakat), sesuai dengan

tradisi dan ketentuan adati yang berlaku. Pada sisi lainnya, kendati

Rapat tersebut merupakan bagian dari tatanan adati ritual CN,

namun format dan mekanisme jalannya rapat telah diwarnai

dengan pola pengorganisasian rapat-rapat institusi modern.

Penulis pun mencatat bahwa nuansa penyapaan salam,

pengucapan doa buka dan tutup rapat, semuanya berlangsung

dalam nuansa kristiani. Penempatan ketua majelis jemaat GPM

Soya untuk melayani doa pembukaan rapat, telah memperlihatkan

keterjalinan dan kebersamaan relasi kerjasama, sebagaimana yang

lazim dikenal dengan sebutan “Tiga Batu Tungku”, antara

pemerintah negeri, gereja, dan pendidikan (sekolah).

Pada bagian akhir rapat, pimpinan saniri negeri (bapa raja)

mengingatkan agenda pelaksanaan CN secara detail, dalam rangka

memantapkan seluruh persiapan dan pelaksanaan CN itu sendiri.

10 Berbeda seperti yang berlaku di Hukurila dan Naku.

Page 9: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 137

Pada bagian agenda pembahasan masalah-masalah negeri, baik

yang dikemukakan langsung oleh peserta maupun melalui surat

tertulis yang disampaikan beberapa hari sebelumnya, terlihat

bahwa seluruh tatanan pembahasan dan penyelesaian masalah

ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan daripada upaya

realisasi agenda rapat dalam bingkai pemaknaan CN, yakni

pentingnya pembersihan atau penyelesaian masalah. Artinya,

melalui dialog secara terbuka, jujur dan langsung, terungkap

kuatnya kesan keinginan bersama antara pemimpin (raja) dengan

warganya, dan di antara warga dengan warga senditi. Semua

keterbukaan dan penyelesaian masalah apapun ditempatkan

dalam semangat untuk membangun sikap saling percaya,

menghargai, dan menumbuhkan rasa memiliki negeri dengan

tatanan adatinya.

Tahap-2 : Pica Negeri

Setelah pelaksanaan Rapat Saniri Besar, tahapan

selanjutnya adalah yang dikenal dengan sebutan Pica Negeri atau

disebut juga Pica Baileo, yang waktunya jatuh pada setiap hari

Rabu minggu kedua bulan Desember. Pada pagi hari Rabu itu,

kepala soa dari rumah tau marga Rehatta dan kapitangatau malessi

yang berasal dari rumah tau marga Pesulima berjalan menuju

teung Rulimena dan teung Paisina (milik rumah tau Pesulima)

untuk menyampaikan “tabaos titah” dari raja kepada seluruh

masyarakat Soya, dengan isi titah sebagai berikut:11

Bahasa Tanah (Asli) Terjemahan

Oh...Upu Sapo Hiu

Ama Latu Yisayehu titah heri....

Upu Latu kom Upu Ama Ya

Sai nanoka, oksiwa, utu kehurua

Ingat oras nena, ai masikoa

Saudara-saudara,

Inilah perintah dari bapa raja

Raja kita dan bapa kita

Bahwa pada minggu ini akan

diadakan

11 Likumahwa, Analisa...,132. Untuk padanan terjemahannya, penulis melakukan

adaptasi.

Page 10: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

138 Religiositas Ambon-Kristen …

Bahasa Tanah (Asli) Terjemahan

Ku sisi sidiku masing-masing that

kihar

Ingat kubete gereja seperti biasa

Adat yang menyatukan kita

anak-anak negeri

Sebagaimana pesan para

leluhur

Dan janji yang dibuat di gereja

seperti biasa

Usai penyampaian tabaos tersebut, kepala soa adat

menyampaikan pengumuman kepada para pemuda (mongare) dan

pemudi (jojaro) untuk segera membantu mempersiapkan

konsumsi untuk pelaksanaan acara CN, antara lain berupa kayu

bakar dan air yang dikumpulkan di rumah raja. Selanjutnya pada

siang harinya, sekitar jam 15.00, kepala soa adat (dengan

membawa parang sebagai simbol untuk bekerja) beserta isterinya

(yang membawa kuning mai atau kunyit kepala, sebagai simbol

rempah untuk memasak) menuju ke baileo Samasuru (nama untuk

baileo Soya). Selain itu juga dibawa dupa dan kemenyan.

Mengingat tahapan Pica Negeri merupakan tahapan awal

yang penting bagi seluruh rangkaian agenda CN, maka kepala soa

adat sebelum menuju baileo, diwajibkan untuk angka hati (berdoa

dalam hatinya) di depan rumahnya untuk memohon berkat dan

restu Yang Maha Kuasa dan para Leluhur terhadap tahapan Pica

Negeri.

Setelah prosesi angka hati, kepala soa adat berjalan menuju

ke tengah Baileo, lalu meletakkan dupa dan kemenyan. Kemudian

kepala soa adat melakukan akta: membungkukkan badan lalu

memotong rumput yang ada di areal tengah baileo tersebut secara

simbolis sebagai pertanda “pica negeri atau pica baileo, yang

bermakna dimulainya acara CN Soya.

Page 11: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 139

Ketika melakukan konfirmasi terhadap data12

~sebagaimana yang dikemukakan oleh Likumahwa13~, diakui

bahwa momentum tahapan Pica Negeri merupakan tahapan yang

penting dalam mengawali secara resmi agenda CN tersebut. Sebab

jika terjadi kekeliruan dalam tahapan ini (misalnya penetapan

waktu atau tanoar atau kotika) tidak bersesuaian dengan

ketentuan adati, maka diyakini bahwa rangkaian tahapan

selanjutnya dari CN akan mengalami kendala. Hal itu karena para

leluhur marah dan mendatangkan sanksi seperti: adanya

bahaya/musibah, penyakit, gagal panen, hingga kematian.

Tahap-3 : Pembersihan Negeri

Tahapan ini berlangsung setelah Pica Negeri, yang ditandai

dengan tabuhan tifa oleh kepala soa adat sebagai tanda bahwa

semua warga masyarakat agar keluar dari rumah masing-masing

dengan membawa perlengkapan bakti pembersihan negeri, antara

lain seperti parang, sapulidi, dan lainnya, yang dapat digunakan

untuk pameri atau pembersihan. Beberapa lokasi fasilitas umum

yang dibersihkan, antara lain: halaman (kintal) depan gereja,

rumah raja, pastori, batu stori, batu teung, daerah pekuburan,

sekolah, dan fasilitas umum yang disesuaikan serta jalan umum

maupun jalan khusus yang akan dilalui oleh para pelaku dan

partisipan acara CN.

Dalam tahapan pembersihan negeri ini, sekiranya ada

seorang wanita yang baru menikah dengan seorang pria negeri

Soya, maka wanita tersebut diwajibkan untuk terlibat dalam

kegiatan CN tersebut selaku mata-ina baru; demikianpun

sebaliknya bagi seorang pria yang mengawini seorang wanita Soya

dan berdiam di Soya. Adapun sanksi bagi setiap anggota

masyarakat yang tidak aktif terlibat adalah berupa denda yang

harus dibayarkan kepada pemerintah negeri dan nama-nama yang

12 Penulis melakukan konfirmasi melalui wawancara dengan bapa Thom Tamtelahitu

(kepala Soa Pera) dan Opa Huwaa (kepala soa adat) dalam wawancara tanggal 7 Desember 2017 di Soya.

13 Likumahwa, Analisa...,131-135

Page 12: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

140 Religiositas Ambon-Kristen …

bersangkutan akan dibacakan pada saat pelaksanaan acara CN,

ketika berlangsungnya upacara adat CN di baileo.

Pelaksanaan CN inipun berkaitan dengan ketentuan yang

telah diwariskan secara turun-temurun, antara lain yang berkaitan

dengan: (1) Penentuan waktu atau tanoar atau kotika; dan (2)

Pembagian tugas bagi kelompok marga atau rumah tau-rumah tau

tertentu pada tempat-tempat keramat. Misalnya, kelompok soa

Pera yang dianggap sebagai kelompok marga yang pertama kali

mendiami Soya, maka hanya kelompok soa Pera yang

diperkenankan melakukan pembersihan dan pemeliharaan di

tempat-tempat keramat tertentu. Sedangkan untuk kelompok soa,

memang mereka terlibat juga dalam pembersihan, namun tidak

diperkenankan di lokasi-lokasi keramat.

Tahap-4 : Naik ke Gunung Sirimau

Tahapan ke-4 ini dimulai pada hari Kamis malam, sekitar

jam 22.00, ketika sekelompok lelaki (pemuda)14 yang berasal dari

soa Pera berkumpul di teung Tunisou. Setelah melakukan

persiapan, antara lain menikmati snack (makan-minum ringan)

yang disediakan,15 arahan dari pemimpin soa,16latihan

menyanyikan suhat17dan kekompakkan menabuh tifa, dilanjutkan

dengan doa oleh salah seorang yang ditunjuk.18 Selanjutnya,

14 Salah satu prasyarat menjadi peserta kelompok ini adalah yang telah diteguhkan

menjadi anggota Sidi gereja. 15Snack atau hidangan ringan yang disediakan, sebagaimana yang penulis amati,

terdiri dari minuman kopi, teh, susu, dan sopi dan kue yang terbuat dari sagu, beras atau tepung.

16 Inti arahan adalah mengingatkan rombongan untuk tidak membawa makanan dan minuman, dilarang bersanda-gurau dan membuat kegaduhan. Sebab bila aturan ini dilanggar, maka diyakini Tuhan dan para leluhur akan marah dan menghukum mereka serta berkat tidak akan diperoleh. Lihat Likumahwa, Analisa..., 138.

17 Walaupun setiap tahun dilakukan CN namun oleh pemimpin Suhat disadari bahwa ada keterlibatan anggota baru (generasi muda yang baru) yang perlu dilatih sehingga pada saat Suhat ditampilkan pada hari Jumat Siang (usai turun dari puncak Sirimau), maka Suhat akan dilantunkan secara baik.

18 Penulis berkesempatan mengikuti tahapan ini pada hari Kamis malam tanggal 7 Desember 2017 dan turut menyimak doa yang dibawakan oleh salah seorang yang dituakan di kelompok. Tercatat bahwa baik sapaan maupun isi doa tersebut sangat bernuansa kristiani. Artinya tidak ada sama sekali sapaan adati dalam narasi si pendoa (misalnya Tuhan dalam sebutan bahasa tana atau sapaan terhadap para leluhur). Doanya berisi

Page 13: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 141

rombongan yang mengenakan busana dominan berwarna hitam-

hitam (kaos dan celana) bergerak menuju ke puncak gunung

Sirimau dengan tetabuhan tifa dan gong, sekaligus sebagai tanda

bagi masyarakat bahwa aktifitas rombongan matawana ke gunung

Sirimau sedang berlangsung.

Sekitar jam 02.00-03.00 Kamis dinihari, rombongan yang

dipimpin oleh Ketua Soa adat berjalan menuju puncak Sirimau

dengan membawa perlengkapan khusus, a.l.: sopi, anggur cap

orangtua, sirih-pinang, tembakau jawa, belanga, bendera “tana”19

dan bendera merah-putih.Selanjutnya, ketika rombongan tiba di

batu pesan atau hatukuil yang sering disebut juga batu pasar,

rombongan berhenti sekitar 3 menit, kemudian kepala soa adat

meletakkan beberapa lembar gulungan daun siri masa (daun sirih

yang sudah tua) di atas batu tersebut lalu diikuti dengan tiupan

tahuri dan pukulan tifa. Setelah itu, kepala soa adat memohon izin

untuk dapat masuk ke tempat Upu Latu Selemau yang berjarak

sekitar 300 meter dari puncak gunung Sirimau.

Setibanya rombongan di puncak gunung Sirimau, kepala

soa adat memberikan tanda hormat dengan ucapan: “Somba Upu

Latu Selemau” (Hormat Upu Latu Selemau), dilanjutkan dengan

rombongan menempatkan barang-barang simbolik yang dibawa

ke atas sebuah batu yang disebut sebagai batu pamali, dan

mengikatkan bendera merah putih dan bendera tanah pada bambu

yang ditancapkan di sisi kiri dan kanan dari batu tersebut. Adapun

batu pamali yang diperkirakan berukuran lebar 2 meter dan

berdiameter sekitar 3 meter itu diyakini sebagai takhtanya Upu

Latu Selemau.20

Selanjutnya rombongan berkesempatan untuk beristirahat

dengan khusuk sambil berjaga-jaga sebagai wujud dari aktifitas

syukur dan mohon pimpinan serta perlindungan Tuhan untuk rangkaian acara yang akan dijalani. Selanjutnya doa tersebut diakhiri dengan: “....Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa, Amin!”

19 Bendera tana merupakan bendera yang berbentuk panjang dan bermotif batik-lurik (sebagai simbol ular patola). Konon bendera tersebut dililitkan pada pinggang panglima perang Soya yang bernama Sander yang berasal dari rumah tau Huwa’a. Bandingkan Likumahwa, Analisa..., 138.

20 Ibid,139.

Page 14: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

142 Religiositas Ambon-Kristen …

matawana. Mengingat kuatnya pembatasan terhadap peserta yang

terlibat dalam kegiatan ke puncak Sirimau ini (penulis atau

peneliti yang tidak memiliki hubungan khusus keturunan adati

tidak diperkenankan terlibat), maka informasi kegiatan di puncak

Sirimau merupakan informasi yang diperoleh selain dari dokumen

yang telah ada juga dari hasil wawancara dengan ketua soa adat

atau peserta yang terlibat. Sebagai contoh, dari dokumen yang

telah ada21 diperoleh data bahwa pada saat rombongan tiba di

tempat (di puncak Sirimau), kepala soa adat menginstruksikan

mereka untuk duduk saling membelakangi di dalam kelompok-

kelompok yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kepada mereka

dimintakan untuk melakukan meditasi sambil berpuasa sampai

waktu yang ditentukan oleh kepala soa adat. Selanjutnya mereka

ditugaskan untuk membersihkan lokasi tersebut, sebagai wujud

terima kasih dan tanda hormat kepada para leluhur yang telah

bersama dengan mereka. Sesudah itu mereka pun istirahat sejenak

dan bersiap-siap untuk turun.

Tahap-5 : Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di

Rulimena

Pada Jumat Sore, tepatnya sekitar pukul 15.00 rombongan

dari gunung Sirimau membunyikan Tifa-Gong sebagai pertanda

bahwa mereka akan turun dari puncak Sirimau. Sebagai respons

balasan, dibunyikan pula tifa dari pusat negeri yang memberikan

isyarat bahwa para mata ina yang berada di teung Rulimena telah

siap untuk menyambut rombongan. Selanjutnya terdengar pula

tiupan tahuri dan tabuhan tifa yang menandakan bahwa para

anggota Saniri Negeri (pemerintah) bersiap untuk mengenakan

busana adati22 untuk menyambut rombongan.

21 Ibid,143. 22 Busana adati, bagi kalangan Saniri Negeri mengenakan baju dan celana hitam

panjang yang disebut “borci” dan saputangan adat (lenso badasi).

Page 15: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 143

Di depan batu pamali, kembali kepala soa adat

mengucapkan pasawari adat, yang antara lain sebagai berikut:23

Kapua Upu Ilah Kahuressi Lebeh Hanua

Kedua Tuhan kami Isa Almaseh

Ketiga Rohul Kudus

Upu Ama Upu Wisawosi

Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang

Mojopahir...

Jangan tinggalkan kami turun sendiri,

Saat ini kami akan menyaksikan upacara ini

Karena setiap tahun kami akan melakukan ini juga

Beta minta dari Upu Wisawosi Upu Latu Selemau

Turun bersama-sama dengan kami ke tempat upacara...

Tahap-6 : Penyambutan di Rulimena

Usai mengucapkan pasawari adat, rombongan bergerak

turun dari gunung Sirimau ditandai dengan tetabuhan tifa-gong.

Selanjutnya rombongan diterima di depan teung Rulimena yang

merupakan teung milik rumah tau Soplanit, dan disambut oleh

kepada soa . Acara penyambutan diwarnai dengan lantunan suhat

(nyanyian adat) oleh seorang “soloist” yang berasal dari soa Pera

(rumah tau Pesulima) dan pada bagian tertentu dibalas oleh

rombongan.

Adapun suhat yang dilantunkan memiliki narasi yang kaya

dengan mitos dan tuturan historis-budaya Soya itu sendiri yang

dipelihara dan diwariskan turun-temurun.24 Salah satu contoh

petikan syair dari suhat yang dapat disebutkan yaitu:25

23 Kutipan dengan penyesuaian, bandingkan Stephanus Petrus Likumahwa,

Analisa...,141. 24 Untuk ulasan tentang Suhat tersebut, penulis cukup berhutang dengan riset dan

data yang dikumpulkan oleh Jenne Pieter melalui Tesis Magisternya, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013).

25 Pieter, Mitos...., 75.

Page 16: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

144 Religiositas Ambon-Kristen …

Suhat dalam Bahasa Tanah Terjemahan Adaptasi

E... leke kona

Maso la maso mele oo

La Upu Latu ada maso mele

Somba malam bae Upu Latu

Selemau

Maru maru mena wasasale

huwa amu

Amu latang e horomati Yupu

Yama

Somba malam bae Bapa

Koma Mara Nusa26

Sohi sala Hua sohi sala Mu

tabaku.

Sio sayang e...

Mari masuk, mari masuk

Upu Latu mari masuk

Salam hormat, Upu Latu

Selemau

Mari masuk ke tempat upacara

Tempat yang dihormati oleh

kita bersama

Salam hormat, Bapa Koma

Mara Nusa

Mari sama-sama makan pinang

dan tembakau,

Saat berakhirnya nyanyian adat suhat tersebut, kepala soa

adat sebagai pemimpin rombongan mengatakan kepada kepala soa

: “....Somba malam bae Bapa Koma Mara Nusa !” selanjutnya dibalas

oleh kepala soa dengan kata-kata:

Balasan sapaan dari Kepala soa Terjemahan

Tabea,

Upu wisawosi upu ama, upu

Latu Yisayehu,

Upu Mara Eli27

Maru maru mena maru mena

letengo mutabaku

Silakan masuk.28

Salam,

Upu wisawosi upu ama, upu

Latu Yisayehu,

Upu Mara Eli

Mari masuk, mari masuk,

Mari mencicipi minuman dan

tembakau

Silakan masuk.

26 Bapa Koma Mara Nusa merupakan gelar dari kepala soa dan isterinya. Bapa (upu)

Koma adalah nama pemimpinnya sedangkan Mara Nusa adalah isterinya. Lihat, Likumahwa, Analisa...,147.

27 Gelar yang ditujukan bagi kepala soa Pera. 28 Penulis mendengarkan sendiri bahwa walaupun diawal sapaan digunakan “bahasa

tana”, namun di bagian akhir, kepala soa menggunakan bahasa Indonesia “Silakan masuk!”

Page 17: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 145

Usai penyambutan itu, kedua kelompok lalu saling berjabat

tangan dan selanjutnya para mata ina dari soa menjamu kelompok

Soa Pera dengan sopi, anggur, sirih-pinang dan rokok. Kemudian

kedua kelompok beserta partisipan lainnya lalu berjalan menuju

Baileu Samasuru (baileo Soya) diiringi tabuhan musik tifa-gong

dan nyanyian Suhat. Syair dari Suhat tersebut memiliki keterkaitan

dengan mitos sejarah negeri dan juga marga atau rumah tau yang

ada di Soya dengan batu teung-nya masing-masing. Oleh karena

itu, dalam perjalanan menuju Baileo, rombongan akan melewati

sejumlah teung antara lain: Paisina milik rumah tau (kelompok

marga) Tamtelahitu, Neurumanguang milik rumah tau Lapui,

Saulana milik rumah tau de Wanna, dan seterusnya. Ketika

rombongan melewati teung-teung tersebut, maka Suhat dengan

syair yang berkenaan dengan suatu teung harus dinyanyikan.

Tahap-7 : Nae Baileo (Menuju Ke Baileo)

Setelah rombongan tiba di baileo, salah seorang mata ina

tertua dari soa Pera yang telah berada di baileo akan menyambut

rombongan dengan ucapan: “malam bae, Upu Ama-Upu Wisawosi,

Upu Latu Selemau, silakan masuk” (Terjemahan: Salam, Upu Ama-

Upu Wisawosi, Upu Latu Selemau, silakan masuk). Kemudian akan

dijawab oleh kepala soa adat dengan mengucapkan: “Somba malam

bae, Upu-Upu Mata Ina, Mata Ina tolulua” (Terjemahan: Salam

hormat, kami ucapkan kepada para Upu Mata Ina). Usai berkata

demikian, pada Mata Ina berteriak “Tifa !”, yang berarti, musik

(tifa-gong) dibunyikan untuk wujudkan sambutan, syukur dan

sukacita bersama karena kelompok yang ke gunung Sirimau telah

berhasil turun dengan selamat29. Setelah itu rombongan memasuki

baileo, lalu musik tifa-gong dihentikan guna memasuki tahapan

istirahat sejenak (memberikan kesempatan kepada kelompok yang

baru turun dari gunung Sirimau untuk makan dan berganti

pakaian).

29 Suatu ekspresi penyambutan yang sangat mirip dengan para pemuda yang telah

lulus dalam ritus inisiasi di ritual Kakehang di Seram. Bandingkan, Likumahwa, Analisa..., 150.

Page 18: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

146 Religiositas Ambon-Kristen …

Setelah memasuki fase jeda (istirahat), para kepala soa dan

rumah tau yang berasal dari soa Pera dan menjemput raja dan

istrinya beserta pendeta, para guru dan undangan lainnya, untuk

selanjutnya bersama menuju baileo. Setibanya rombongan di

depan pintu baileo, rombongan disambut oleh para mata ina, yang

berteriak meminta musik tifa-gong ditabuh. Kemudian dengan

iringan musik tersebut para mata ina menari dengan

menggenggam tangkai pohon gadihu (tanaman kroton), dalam

nuansa musik cakalele. Selanjutnya raja dan rombongan

dipersilakan mengambil tempat duduk di baileo.30

Pada saat raja dan rombongan menempati tempat duduk di

sabuah, dengan iringan musik tifa-gong, para mata ina melakukan

pembersihan di areal kosong baileo (hamparan tanah dan sedikit

rerumputan) dengan menggunakan sapu lidi dan gadihu sebagai

pertanda pembersihan negeri secara keseluruhan.

Rangkaian agenda selanjutnya di baileo, mengikuti alur

agenda antara lain sebagai berikut:31

(a) Pembukaan oleh Sekretaris Negeri- 132 dan sekaligus

membacakan urut-urutan acara;

(b) Laporan Pelaksanaan Kegiatan oleh Sekretaris Negeri-2;

(c) Pembacaan Sumbangan-Sumbangan dalam rangka acara CN

oleh Sekretaris Negeri-1;

(d) Petuah oleh raja Soya;33

(e) Penyampaian sambutan oleh kepala Soa dan Pendeta

30 Mengingat model baileo Soya tidak berupa rumah tetapi sebidang tanah lapang,

maka untuk kepentingan acara telah dibuat tempat khusus yang lazim disebut “sabuah” dengan menggunakan plastik terpal dengan beberapa tiang bambu.

31 Penulis menyimak dan menangkap kesan bahwa rangkaian agenda ini telah bernuansa modifikasi antara tatanan adati dengan alur protokoler “modern”, atau agenda yang disesuaikan karena mengingat kehadiran dari para tamu khusus (misalnya Walikota atau unsur eksternal lainnya), sebagaimana yang penulis ikuti pada acara CN tahun 2015, pada saat berlangsungnya acara Pengakuan dan Penganugerahan Tradisi CN Soya sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Pemerintah Republik Indonesia.

32 Sekretaris Negeri-1 bertindak laksana seorang MC (pembawa acara) 33 Alur protokoler akan disesuaikan. Misalnya, bila turut hadir pejabat pemerintah

seperti Walikota, maka usai petuah dari bapa raja Soya, maka dilanjutkan dengan Amanat dari Walikota Ambon.

Page 19: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 147

(f) Penyampaian pasawari adat oleh kepala soa adat, yang

mengambil tempat di depan batu stori, diawali dengan tiupan

tahuri sebanyak tiga kali.34

(g) Nyanyian Suhat dilantunkan oleh seorang biduan dan dibalas

oleh seluruh peserta, dengan syair yang sungguh bermakna,

sebagai berikut:35

Suhat di Baileo Terjemahan Adaptasi

Ole leke kona

Hai rang ee h ee

Hai rang ee h ee

Hola nito warana latu selemau yana

ee

Malona hiu hawa liu ee yupu sohi

lawa liu

Nunu yela payo, umalete Selemau

Selemau nipa pele, wayanea lahakela

Yupu yama mata, bere janji

Yupu yama bere janji sou,

Merah rulang ee hala tupa mahu,

Ula Wai Samasuru yunang pasale

Samasuru,

Yupu yunang pasal ee lularang ee,

Ole bangsi ura ralio, lao ralang

ralang ee

Mata ina tolu, ula wai Werhalouw

tita Samasuru

Ula wai Werhalouw wai Werhalouw

neka kal,

Ada puti puti

Sio sayang e,

Heran e, sungguh heran e

Heran e, sungguh heran e

Upu latu Selemau

dalam pertemuan dengan

seluruh rakyat ee

mereka berbicara seorang

kepada yang lain

dalam suasana

kekeluargaan

dan mereka berjanji,

berjanji dengan sungguh,

dalam kebersamaan

di Samasuru,

untuk sehidup semati.

34 Adapun formula dari pasawari adat ini dan terjemahannya telah ditampilkan

lengkap dalam bab 1. 35 Lihat Likumahwa, Analisa..., 153-154

Page 20: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

148 Religiositas Ambon-Kristen …

Tahap-8 : Kunjungan ke Mata Air

Tahapan selanjutnya, usai nyanyian suhat tersebut di atas,

maka peserta upacara adat CN dibagi dalam dua kelompok, yakni

kelompok soa Pera dan soa Eraang. Dan dengan iringan musik tifa-

gong,36 rombongan kelompok soa Pera menuju ke mata air

Werhalouw (terletak di arah Timur pusat Negeri), sedangkan

rombongan kelompok soa Eraang menuju ke mata air Unuwei

(terletak di arah Barat pusat Negeri). Sementara raja, pendeta,

guru dan para tamu lainnya bergerak menuju Rulimena untuk

dijamu dengan minuman dan kue yang diolah dari bahan baku

lokal. Selanjutnya mereka kembali ke rumah raja untuk menunggu

prosesi selanjutnya.

Di mata air soa masing-masing, setiap orang

diperkenankan untuk mencuci muka, kaki dan lainnya. Bahkan di

mata air khusus seperti mata air atau parigi raja yang terdapat di

soa Pera, diperkenankan untuk dapat meminumnya.37 Kemudian,

usai menuju ke sumber mata air dan sumur masing-masing,

selanjutnya rombongan soa Eraang kembali ke Rulimena untuk

menunggu datangnya rombongan soa Pera yang akan datang

menyambut dengan kain gandong.

Rombongan soa Pera ~usai dari parigi raja dan wai

Werhalouw~ selanjutnya akan bergerak dalam balutan kain

gandong yang cukup panjang, menuju ke soa dengan lantunan

suhat dan iringan musik tifa-gong.

36 Pemusik tifa-gong ini diambil dari para pemusik (pemuda) yang turut ke gunung

Sirimau namun dibagi dalam dua kelompok yang seimbang (termasuk keseimbangan jumlah dan jenis alat musiknya).

37 Dalam pengamatan penulis, ketika mengikuti prosesi CN di tahun 2017, sumber mata air yang dimaksud, umumnya telah dibuat dalam bentuk sumur, baik dalam bentuk permanen (dengan konstruksi beton) maupun hanya sebatas sebuah kolam alami tanpa konstruksi semen-beton. Hal ini terlebih khusus dijumpai di mata air khusus yang disebut sumur raja (atau parigi raja, yang sering juga disebut wai Pinang), yang terdapat di soa Pera. Penulis diperkenankan untuk meminum secara langsung dari sumber air tersebut atas seijin tetua adat soa Pera. Bahkan kepada penulis dituturkan bahwa air dari mata air raja tersebut berkhasiat untuk memberikan kesembuhan bagi yang sakit ataupun memberikan kehamilan bagi pasangan yang telah berkeluarga dan menginginkan anak. Parigi raja tersebut diyakini sebagai sumber air yang digunakan oleh raja Soya yang pertama untuk mengambil air minum atau kebutuhan khusus lainnya (Sebagaimana yang dituturkan oleh bapak B. Pesulima, mantan Sekretaris Negeri Soya, yang turut mendampingi penulis).

Page 21: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 149

Tahap-9 : Upacara Persatuan Kain Gandong

Selanjutnya tahapan yang cukup bermakna bagi nilai

persatuan dan persaudaraan antar soa di negeri Soya, yakni

tahapan Kain Gandong, yang dipersiapkan di teung Tunisouw oleh

para mata ina dari soa Pera. Kain gandong yang berwarna putih

polos dan panjang tersebut dibuat formasi “U”, dimana kedua

ujungnya dipegang oleh dua orang mata ina soa Pera, lalu diputar

sebanyak tiga kali, mengelilingi rombongan soa Pera yang berada

di dalam kain gandong. Kemudiaan, dengan iringan musik tifa-

gong dan nyanyian suhat, rombongan bergerak, mampir sejenak di

halaman rumah raja dan juga halaman rumah gereja, lalu

melanjutkan perjalanan menuju soa Eraang yang telah berkumpul

di teung Rulimena.

Sesampainya rombongan soa Pera di teung Rulimena,

rombongan soa Eraang menyambut dengan penuh sukacita, dan

ikut masuk dalam kain gandong lalu diikuti dengan akta balele kain

gandong sebanyak tiga kali. Kemudian rombongan soa Pera dijamu

oleh basudara soa Eraang dengan jamuan ala kadarnya (makan-

minum) sebagai ungkapan penghormatan, persatuan dan sukacita.

Bagi para tamu yang (dihormati) tidak sempat mengunjungi wai

Unuwei disediakan meja jamuan khusus.38

Tahap-10 : Kembali ke Rumah Upulatu (Raja)

Tahapan ini dilakukan setelah kedua kelompok soa telah

menyatu dalam persatuan kain gandong selanjutnya bergerak

bersama ke rumah raja dengan iringan musik tifa-gong dan

nyanyian adat (suhat) yang syairnya menyebutkan nama-nama

teung dan leluhur dari kedua soa, yang antara lain:39

38 Ketika berlangsungnya acara CN tahun 2015, penulis turut menikmati praktik ini,

karena beberapa tamu VIP tidak sempat mengikuti tahapan ke mata air dan disediakan meja khusus dengan jamuan menu tradisional (penganan yang khas Soya atau Ambon, seperti kue ampas tarigu, waji, dan sagu gula. Sedangkan minuman yang disediakan adalah minuman susu putih kental manis, yang menurut tuturan bapa raja Rido Rehatta demikian: “Sebetulnya bisa saja katong sediakan minuman modern yang lebih pas bagi bapa-ibu, Cuma katong sengaja menyajikan minuman ini karena ini salah satu contoh ungkapan penghormatan orangtatua dolo-dolo bila dong mau tarima tamu yang dorang hormati.”

39 Lihat Likumahwa, Analisa..., 160-161.

Page 22: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

150 Religiositas Ambon-Kristen …

Suhat Bersama

Menuju Rumah Raja

Terjemahan Adaptasi

Ole leke kona ee

Somba malam bae, bapa Koma

Mara Nusa

Bapa Koma suka, mata ina tolu

lua

Rulimena teung ee, Paisina teung

ee

Saupele teung ee, Souhitu juga

teung ee

Samurele teung ee, Saulana teung

ee

Soumulu teung ee, Pelatiti juga

teung ee

Teung ee teung nelua lihut,

lihut lahat jadi tepa tolu yunang

lahat ee,

ole Tunisou yapa yunang lahat ee

nena bure yupu yama, ada nena

bure

yupu yama mata, bere janji yupu

yama

bere janji sou, mera rulang ee

Somba malam bae, bapa Latu

Yisayehu

Bapa Latu suka, mata ina tolu lua

Sio sayang ee

Salam hormat, bapa Koma

Mara Nusa

Rulimena adalah teung,

Paisina adalah teung,

Soupele adalah teung,

Souhitu juga teung

Samurele adalah teung,

Saulana juga teung

Soumulu adalah teung,

Pelatiti juga teung,

Beserta teung-teung yang

lain juga...

Bahwa di Tunisou kami telah

membuat janji

Janji yang dibuat dengan

sungguh-sungguh

Untuk mengulanginya...

Salam hormat, bapa raja Latu

Yisayehu.

Setelah kedua rombongan tiba di halaman depan rumah

raja ~setelah sebelumnya melewati halaman gereja~40, kepala soa

40 Posisi rumah raja berdekatan dengan gedung gereja tua Soya. Adapun

pemandangan yang menarik adalah setiap rombongan yang berjalan di halaman gedung gereja pada saat mengikuti tahap-tahapan ritual CN, maka dengan spontan rombongan itu akan berhenti sejenak, sebagai cerminan penghormatan yang wajib dilakukan terhadap gedung dan pemiliknya (Tuhan Sang Kepala Gereja, “Allah Trinitas” sebagaimana yang disapa dalam doa pasawari adat). Bandingkan Likumahwa , Analisa..., 162.

Page 23: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 151

adat menjumpai raja, istri dan keluarganya yang telah berdiri

menyambut rombongan di teras depan rumah. Usai kepala soa

adat dan raja saling menyapa dengan penuh hormat dan

kehangatan, tabuhan musik tifa-gong dibunyikan, diikuti dengan

nyanyian suhat sambil pimpinan rombongan mempersilakan raja,

istri dan keluarganya untuk menyatu dalam persekutuan kain

gandong. Dalam tahapan yang penulis ikuti, pada momentum ini

terasa kesukacitaan seluruh warga bersama raja dan keluarganya,

sehingga sejumlah pemuda mengusung (menggendong) bapa raja

diikuti dengan badendang dan bapantun secara berbalasan.

Tahapan ini diakhiri dengan menyimpan kain gandong tersebut di

rumah raja.

Tahap-11 : Pesta Negeri

Sebagai ungkapan sukacita dan kebersamaan atas

berlangsungnya upacara (ritual) CN maka semua warga akan

terlibat dalam kegiatan “Pesta Negeri” yang berlangsung di balai

Saniri Negeri. Lazimnya kegiatan ini berlangsung dari jam 20.00

hingga 01.00 yang dihadiri oleh para pemuda (mungare) dan

pemudi (jujaro), melalui nuansa badonci-badendang diiringi

dengan musik tifa-totobuang. Dalam perkembangannya, nuansa

pesta negeri mengalami proses “modernisasi” dengan peralatan

musik dan soundsystem yang kontemporer, seperti: Keyboard,

Band, tarian budaya yang dipengaruhi atau percampuran dengan

kebudayaan Barat-Kolonial, misalnya tarian Katreji, Dansa Ola-ola,

Polonaize,41dan juga tarian Tujuh Lompat.42

Dalam perkembangan kontemporer, agenda Pesta Negeri

ini sering disesuaikan waktu pelaksanaannya sesuai dengan

kondisi yang ada (misalnya karena padatnya kesibukan menjelang

41 Dari sumber dokumen lainnya diperoleh data bahwa nuansa pesta negeri atau

pesta jujaro-mongare ini sebetulnya tidak ada dalam rangkaian paket ritual CN. Sangat kuat diasumsikan bahwa agenda ini, sebagaimana terindikasi dari nama tari-tariannya, merupakan contoh dari pengaruh kolonial Barat (Portugis dan Belanda). Lihat, Likumahwa, Analisa..., 162..

42 Tarian Tujuh Lompat. Tarian ini terdiri dari 28 orang, terbagi atas 4 pria dan 14 wanita. Formasi tarian ini membentuk huruf W, yang menunjuk pada initial huruf depan raja Wihelmus dari Belanda. Lihat, Pattimahu dkk., “Strategi....”, dalam Menelusuri..., 505.

Page 24: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

152 Religiositas Ambon-Kristen …

perayaan Natal dan Akhir Tahun). Sebab ada saatnya pula agenda

Pesta Negeri ini disatukan momentum pelaksanaannya dengan

Pesta Konci Taong, yang waktunya justru jatuh pada tanggal 30

Januari tahun yang baru, untuk mensyukuri berakhirnya tahun

lama dan datangnya tahun yang baru.43

Tahap-12 : Cuci (Sumber) Air

Setelah berpesta semalam-suntuk, esok harinya (Sabtu)

sekitar jam 11, ditandai dengan tabuhan tifa negeri, masyarakat

berkumpul di depan rumah raja untuk mendengarkan arahan dari

kepala soa adat terkait dengan agenda Cuci Air yang dilakukan

secara bersama. Semua warga dari kedua soa diarahkan pertama

untuk bergerak menuju sumber air Wai Werhalouw guna bakti

bersama melakukan pembersihan. Selanjutnya semuanya

diarahkan pula untuk menuju Wai Uruwei agar bersama-sama juga

melakukan pembersihan di sumber air Wai Uruwei. Dan salah satu

kebiasaan yang terjadi di saat kegiatan pembersihan sumber air

adalah baku-siram. Dalam nuansa penuh kebersamaan dan

sukacita warga saling menyiram dengan air yang berasal dari

sumber air tanpa merasa tersinggung atau marah.

Seusai pembersihan di kedua sumber air tersebut maka

tahapan ritual CN dianggap telah selesai. Mengingat keesokkan

harinya bertepatan dengan ibadah Minggu di gereja, maka

menurut kebiasaan orangtatua Soya, kehadiran di gereja seusai

melaksanakan ritual CN, merupakan suatu keharusan untuk

bersyukur dan sekaligus pengharapan untuk tetap diberkati oleh

Tuhan dan Leluhur.44

43 Bandingkan Pieter, Mitos...,70. 44 Bandingkan Likumahwa, Analisa...,164. Sejauh ini momentum ibadah Minggu

tersebut selalu bertepatan dengan momentum perayaan Minggu Adventus, sehingga lazimnya yang digunakan hanyalah Liturgi Minggu Adventus yang telah disediakan oleh gereja melalui Lembaga Pembinaan Jemaat GPM. Dan perayaan 4 (empat) Minggu Adventus sebelum Natal Kristus (25 Desember) secara baku, baru menjadi bentuk perayaan tahun gerejawi di GPM sekitar sejak 2 (dua) dekade lalu. Sementara ibadah Minggu dalam nuansa syukur pelaksanaan ritual CN hanya tampak melalui narasi Khotbah Pendeta dan Pokok Doa Syafaat yang disampaikan.

Page 25: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 153

IV.2. Penelusuran Diferensiasinya

IV.2.1. Penelusuran Asal-muasal dan Migrasi Manusia Soya-

Ambon

Sebagaimana disadari bahwa menelusuri asal-usul suatu

sukubangsa atau komunitas, sangatlah tidak mudah, mengingat

rentang waktu yang sangat jauh, alat bukti atau jejak sejarah yang

terbatas.Hal tersebut kian dipersulit lagi bila konteks sejarah

tersebut belum mendapatkan sentuhan riset ilmiah yang

tertanggung jawab secara historis-arkeologis. Diakui sendiri oleh

kalangan sejarahwan Ambon-Maluku, bahwa hingga kini belum

ada eksplanasi yang pasti dan tuntas tentang asal-usul penduduk

Maluku dan Ambon45 (yang sudah tentu implisit di dalamnya

manusia Soya itu sendiri). Disadari juga bahwa salah satu

kendalanya adalah karena warisan tradisi oral (oral tradition),

yang jauh lebih dominan tersimpan subur dalam memori-memori

kolektif historis masyarakat Ambon, Maluku, daripada tradisi

tulisan.46Kendati demikian, sejumlah kendala tersebut tidaklah

membuat upaya penelusuran ini terhenti tanpa secercah harapan.

Sebab selalu saja ada jalan dan kemungkinan untuk mengurai

kekusutan problematika ini.

Sehubungan dengan itu pula, maka jalan dan kemungkinan

penelusuran manusia Maluku, Ambon dan Soya secara khusus,

dapat dilakukan dengan menelusuri konteks keberadaan manusia

itu di rentang waktu dan sejarahnya baik pada lingkup lokal-

regional maupun nasional hingga global. Dalam hal ini, dibutuhkan

pula adanya kontribusi keilmuan lintas-disipliner dalam rangka

membantu menyingkapkan tabir asal-muasal manusia Ambon dan

Soya tersebut. Untuk itu, maka disiplin ilmu dengan data dan

kajiannya yang cukup signifikan membantu adalah arkeologi dan

antropologi.47

45 J.A.Pattikayhatu, et al., Sejarah Daerah Maluku (Ambon: DepDikBud.Prop.Maluku,

1993), 6. 46 Izak Y.M. Lattu, Dissertation...,1,7 47 Terkait hal ini, penulis sangat berhutang budi terhadap promotor penulis ~Prof.

Dr.Truman Simanjuntak~, yang melalui diskusi selama pembimbingan maupun tulisannya yang khusus tentang Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada

Page 26: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

154 Religiositas Ambon-Kristen …

Dari data arkeologis pada umumnya, diketahui bahwa

terdapat dua arus migrasi besar yang masuk ke wilayah Nusantara.

Arus migrasi pertama adalah migrasi Manusia Modern Awal

(MMA) atau Homo Sapiens awal yang terjadi di sekitar 70 ribu

hingga 60 ribu tahun lampau. Sedangkan arus migrasi kedua

berlangsung sekitar tahun 4000 BP (before present),yang terjadi

melalui migrasi kaum Penutur Austronesia yang berasal dari

Taiwan.

Adapun kelompok migrasi MMA ini memiliki pola hidup

dengan budaya berburu dan meramu. Sesuai dengan bukti-bukti

arkeologis, ditemukan bahwa kelompok MMA ini selanjutnya

menyebar ke Timur, mencapai Indonesia bagian Timur dan

kawasan Melanesia. Selain itu ada yang ke Tenggara hingga

mencapai Australia.48 Selanjutnya, melalui proses evolusinya,

maka manusia keturunan MMA ini membentuk kekhasan fisik,

yang oleh para ahli digolongkan sebagai Ras Australomelanesid.

Ras ini sendiri, semenjak akhir Zaman Es, sekitar 12 ribu tahun

lampau, terindikasi sudah mendiami kawasan Asia Tenggara,

Melanesia, dan Australia, serta terus berlanjut pada masa

sesudahnya.

Berkaitan dengan kelompok migrasi kedua, oleh para ahli

mereka disebut sebagai kelompok Penutur Austronesia, yang

hidup dengan budaya neolitiknya (hidup menetap dan

mendomestikasikan hewan dan tanaman). Kelompok yang

tergolong pada Ras Monggolid ini diyakini datang dari Taiwan

University Press, (dalam proses penerbitan), banyak memberikan referensi arkeologi-antropologi yang membantu penulis dalam melakukan penelusuran terhadap manusia Ambon dan Soya.

48 Adapun bukti persebaran dan perkiraan tahun kehadiran kelompok MMA ini antara lain terdapat di gua Golo, pulau Gebe yang menunjuk sekitar 33 ribu tahun lalu, liang Lemdubu di kepulauan Aru sekitar 28 ribu tahun lalu, gua Toé di Ayamaru Papua Barat sekitar 26 ribu tahun lalu, dan ada yang lebih menyebar ke arah Timur, dengan bukti temuan di semenanjung Huon di PNG (Papua New Guinea) sekitar 40 ribu tahun lampau. Sementara penyebaran ke arah Tenggara, terindikasi melalui penemuan bukti di beberapa gua di wilayah Australia Utara, yang menunjuk sekitar 50 ribu hingga 60 ribu tahun lalu. Lihat, Truman Simanjuntak, Ibid.

Page 27: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 155

dan memasuki wilayah Nusantara sekitar 4000 tahun BP.49 Mereka

ini dikenal sebagai kelompok pelaut ulung, yang relatif cepat

berhasil menduduki kawasan-kawasan kepulauan yang cukup luas

(diperkirakan menjangkau sepanjang lebih dari setengah bola

dunia), yaitu dari wilayah Madagaskar di ujung Barat hingga

Kepulauan Paskah di ujung Timur, serta dari Taiwan dan

Mikronesia di Utara hingga kawasan Selandia Baru di Selatan.

Para ahli mengkonstatir bahwa kehadiran dari kelompok

migrasi kedua ini, telah berpengaruh dalam proses pembauran

budaya, bahkan pembauran biologis dengan Ras

Australomelanesid, yang sudah terlebih dahulu menghuni wilayah-

wilayah kepulauan. Proses pembauran yang terjadi tersebut,

hingga kini turut menciptakan populasi bangsa Indonesia yang

memiliki hibridisasi genetika utama dari kedua ras tersebut.

Dalam proses migrasi selanjutnya, maka kelompok penutur

Austronesia ini mencapai Maluku, dan menyebar kemudian ke

wilayah Pasifik sekitar tahun 3500-3300 BP, sebagaimana terlihat

melalui beberapa bukti hunian yang ditemukan seperti di gua

Uattamdi (pulau Kayoa) sekitar tahun 3300 BP, Pulau Ai (dekat

pulau Banda) sekitar tahun 3150 BP, dan gunung Srobu (Papua)

sekitar tahun 3000 BP.

Melalui pencermatan para ahli, dilihat bahwa ternyata

pembauran kedua populasi ini (Australomelanesia yang datang

terdahulu dan Penutur Austronesia yang datang kemudian), secara

tidak langsung menciptakan percampuran (hibridisasi) budaya

dan genetika antara keduanya dengan karakter fisik

Australomelanesia yang justru lebih dominan.

Selanjutnya untuk menyelami asal-usul Ambon, maka

tentunya tidak dapat dilepaspisahkan dari data regional tersebut

di atas, yang mengisyaratkan bahwa manusia Ambon pun pada

hakikatnya merupakan campuran dari ras Austromelanesia dan

Monggolid Austronesia. Adapun bukti kehadiran kedua ras yang

membaur tersebut, dapat dilihat pada beberapa temuan arkeologis

49 Peter Bellwood, et.al., 35.000 Years of Prehistory in the Northern Molluccas, 1997, dalam Truman Simanjuntak, Ibid.

Page 28: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

156 Religiositas Ambon-Kristen …

yang terdapat pada gua-gua di Hatusua (berlokasi di dekat

dermaga penyeban kapal Feri di Waipirit kabupaten Seram Bagian

Barat), dan juga beberapa gua lainnya (seperti di liang Kilbidi,

liang Watu Tea, liang Fanga-Fanga), yang diperkirakan telah dihuni

sejak 5000 BP. Fakta temuan pada situs arkeologi tersebut, antara

lain: pada lapisan hunian bawah ditemukan adanya jejak

Australomelanesia, sementara pada lapisan atas terdapat

pecahan-pecahan tembikar, yang menjadi penanda budaya khas

Austronesia.

Perkembangan selanjutnya, populasi Nusantara menjelang

abad Masehi menerima pengaruh budaya megalitik yang

diperkirakan berasal dari Asia Tenggara Daratan. Budaya yang

berlandaskan pemujaan arwah leluhur dalam rangka

mendatangkan kesejahteraan dan kesuburan bagi yang hidup ini,

bersesuaian dengan konsepsi kepercayaan budaya neolitik

sebelumnya hingga menjadikannya berkembang luas di kepulauan,

bahkan dalam hal tertentu berlangsung hingga sekarang. Hal yang

sama berlangsung di Kepulauan Maluku, dalam hal mana populasi

lanjut dari pembauran kedua ras tadi menerima pengaruh budaya

megalitik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh keberadaan

pelbagai peninggalan yang terdapat di berbagai pulau di Maluku.

Hal yang sama terjadi juga dengan di Ambon; sebagaimana bukti

serapan budaya megalitik seperti yang dijumpai di Soya dalam

bentuk punden berundak dengan pelbagai perangkat fisik yang

ada di dalamnya (arca, dolmen, dan lainnya), serta keletakannya

yang berorientasi ke puncak Gunung Sirimau.

Page 29: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 157

Keterangan Foto:

Contoh salah satu punden berundak yang terdapat di Baileo Soya,

di salah satu batu keramatnya ditempatkan Dupa dan kemenyan

yang dibakar, sebagai bagian dari Ritual Cuci Negeri. (Sumber:

http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-

soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)

Keberadaan punden berundak tersebut turut membantu

menyingkap asal-muasal leluhur manusia Soya. Sekalipun masih

diperlukan adanya riset yang lebih khusus dan mendalam, namun

bila melihat korelasinya dengan perkembangan budaya megalitik

pada aras regional, maka dapat diasumsikan bahwa manusia Soya

yang datang pertama adalah mereka yang berasal dari masa-masa

awal masehi dan beberapa abad kemudian.

Bila ditelusuri kemudian berdasarkan data arkeologi

maupun folklor, khususnya dengan merujuk pada budaya

megalitik beserta peninggalannya, maka ada kemungkinan bahwa

leluhur manusia Soya tersebut berasal dari Seram, Nunusaku.

Sebagaimana yang tersisa hingga kinidengan kuatnya pengaruh

budaya megalitik yang dalam perkembangan kemudian masih

tetap berpengaruh sampai saat ini, seperti terlihat dalam bentuk

ritual Cuci Negeri. Konstatasi ini didasari atas fenomena akar

budaya megalitik, antara lain yang termanifestasi melalui konsepsi

kepercayaan akan adanya kehidupan baru sesudah kematian. Pada

konsepsi tersebut, diyakini bahwa roh seseorang, teristimewa roh

Page 30: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

158 Religiositas Ambon-Kristen …

dari mereka yang terpandang atau pemimpin yang dihormati dan

dituakan selama hidupnya, dipercayai dapat memberikan

kesuburan, kesejahteraan, perlindungan, kepada mereka yang

hidup. Kepercayaan tersebut menyebabkan, warga yang masih

hidup (masyarakat setempat) membentuk ritual dan sarana-

sarana pemujaan yang bertujuan untuk memelihara hubungan

baik dengan para leluhurnya. Fenomena sedemikian itulah yang

sesungguhnya melatari pula praktik ritual Cuci Negeri di Soya.

Data informatif lainnya diperoleh melalui penyelidikan

beberapa ahli geologi-arkeologi lainnya50yang bersesuaian dengan

temuan Charles A. Fisher, yang menyebutkan bahwa ciri-ciri ras

Melanesia tersebut berkulit hitam, tinggi kurang lebih 5 ft (sekitar

150 cm). Sedangkan ras Australoid berbentuk kepala agak panjang

dan kecil, berambut tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus,

yang memiliki kesesuaian dengan Alfurs (atau dalam dialek lokal

Maluku Tengah disebut Alifuru), yang oleh Fisher disebut sebagai “

a collective name for the interior peoples of the Moluccas”.51

Penelusuran etnogenik terhadap apa yang disebut sebagai

komunitas Alifuru yang dianggap sebagai penduduk asli Seram

atau Maluku Tengah52, sesungguhnya memperoleh pengayaan

dengan temuan lainnya bahwa ternyata sebutan Alifuru itu pun

bukan hanya khas Maluku Tengah, melainkan juga ada di Maluku

Utara (Halmahera)53. Bartels sendiri mengindikasikan bahwa

istilah Alifuru yang memiliki akar kata semitis (Arab: Alif, artinya

yang pertama, yang awal; dan Uru,bahasa tanah, yang berarti

50 Pernah dilakukan oleh para ahli dari barat pada akhir abad ke-19 dan permulaan

abad ke-20, antara lain: Knuttel, Yunghun, Molengraaf, Verbeck, Brouwer, Rutten, van der Valk, van der Sluis dan van Bemmelen. Sedangkan dari Indonesia antara lain oleh S.Sigit, M.J. Rachmad, Kusumadinata, Tim Ekspedisi Baruna 1964. Lihat. J.A. Pattikayhatu, et.al., Sejarah Daerah Maluku..., 108.

51 Charles A. Fisher, South-East Asia – A Social, Economic and Political Geography (London: Methuen and Co.Ltd; New York: E.P. Dutton & Co.Inc.1966), 66.

52Antara lain dalam tulisan J.Th.F.Pattiselanno, “Tradisi ULI, PELA dan GANDONG pada Masyarakat Seram, Ambon dan Uliase”. Artikel dalam Jurnal Antropologi Indonesia edisi Th.XXIII, No.58- Jan-Apr. 1999 (Jakarta: FISIP UI, Jurusan Antropologi & Yayasan Obor Indonesia, 1999) pada catatan kaki halaman 60 dikatakan bahwa: “ ...Pendudukasli Kepulauan Maluku, terutama di Seram, dijuluki halfoer (setengah purba) karena kebiasaan mengayaunya. Dalam ucapan penduduk setempat, halfoer menjadi alefuru....”

53 R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 57.

Page 31: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 159

kepala), sesungguhnya lebih mengarah pada penggunaan istilah

yang dipakai oleh Belanda terhadap kelompok suku-suku di

pedalaman Seram yang mengandung konotasi “liar, primitif, tidak

beradab”.54 Sementara fakta historis menunjukkan bahwa suku

bangsa asli yang berdiam di Pulau Seram (Maluku Tengah) adalah

suku bangsa Alune (yang berpusat di desa Riring)dan Wemale

(yang berpusat di desa Hunitetu).55Menurut Antropolog

F.J.P.Sachse dan O.D. Tauern,56 suku bangsa Alune ini berasal dari

Utara, kemungkinan dari Sulawesi Utara atau Halmahera (mereka

memiliki persamaan dalam rambut dan warna kulit serta

kebiasaan mengukurkan mayat: kepala jenazah diletakkan ke arah

Barat); sedangkan suku bangsa Wemale datangnya dari Timur,

kemungkinan Melanesia.

Kedua suku bangsa inilah yang pada saat migrasi mula-

mula, bercampur dengan suku-suku bangsa Austro-Melanesia,

yakni orang-orang negrito dan wedda, dan selanjutnya diikuti

dengan suku bangsa Proto-Melayu57, Deutero Melayu dan

Mongolid.58 Sekarang ini dikenal bahwa suku bangsa Wemale

sebagian besar termasuk dalam kelompok masyarakat Patalima;

sedangkan Alune sebagian besar tergolong masyarakat Patasiwa.59

Selanjutnya tentang sejarah migrasi orang Ambon yang

lebih kemudian, oleh, A.E. Jansen ~seorang Antropolog

berkebangsaan Jerman~ menggolongkan proses pergerakan dan

migrasinya berlangsung dalam 4 (empat) kelompok, yakni:60

54 Dieter Bartels, Di Bawah Naungan...., 441. 55 Band. Tim Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Maluku Kosmologi

Orang Wemale di Seram Barat (Ambon: Kanwil Dikbud Prop.Maluku, 1998), 1. 56 J.A. Pattikayhatu, et al, Sejarah Daerah...., 9. 57 Penelusuran Tapilatu tentang keturunan Proto-Melayu yang mendiami Maluku,

berdasarkan informasi Vlekke, menyebutkan bahwa keturunan ini berasal dari Tiongkok bagian Selatan (Provinsi Yunnan), yang datang sekitar 3000 tahun sebelum Masehi dan selanjutnya mengalami pembauran baik secara biologis maupun kebudayaan dengan etnis Melanesia. Lihat B.H.M.Vlekke, Nusantara – A History of The East Indian Archipelago (Cambridge-Massachusetts: Harvard University Press,1943),5, dalam Tapilatu, Sejarah Gereja Protestan Maluku...,2-3.

58 J.A.Pattikayhatu,et al., Sejarah Daerah....,9. 59 Tim, Kosmologi Orang Wemale...,1. 60 Dalam Jacob W.Ajawaila, “Orang Ambon dan Perubahan Kebudayaan”, Artikel

dalam Jurnal Antropologi Indonesia edisi Th.XXIV, No.61, Jan-Apr. 2000., (Jakarta: FISIP UI, Jurusan Antropologi & Yayasan Obor Indonesia, 2000), 16a-b.

Page 32: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

160 Religiositas Ambon-Kristen …

(a) Kelompok Tuni yang bermigrasi ke Pulau Seram dan

sekitarnya untuk kemudian melanjutkan migrasi ke Pulau

Ambon dengan menggunakan perahu secara bergelombang;

(b) Kelompok Wakan yang datang dari Kepulauan Banda dan Kei;

(c) Kelompok Moni, yang berasal dari Halmahera, Ternate dan

Tidore;

(d) Kelompok Mahu yang berasal dari Jawa, khususnya dari

wilayah sekitar Tuban.

Dari penelusuran sekilas tentang keberadaan penduduk

asli Maluku Tengah, yang diikuti pula dengan pergerakan (migrasi)

dan penyebaran penduduk, maka dapatlah disimpulkan bahwa

konfigurasi etnogenik orang Maluku Tengah dan Ambon tidaklah

bersifat tunggal, melainkan sangat majemuk dan konfiguratif.

Bahkan dapat dikatakan Ambon dan Seram laksana melting pot,

melalui konfigurasi etnik, dan tentunya pula termasuk kultur

keagamaannya. Beberapa benda dan artifak61 seperti Gong dan

Totobuang (alat musik sejenis gamelan, yang dipakai juga sebagai

benda pembayaran harta atau denda), Piring Cina (sebagai

perlengkapan harta adat), Tombak Besi (sebagai perlengkapan

perang), menjadi contoh indikasi kuatnya pengaruh multikultral

dan lintas-etnis terhadap keberadaan orang Ambon-Maluku itu

sendiri di masa lalu.

Kebanyakan orang Ambon dan Maluku meyakini bahwa

Nunusaku merupakan tempat asal mulanya mereka.62 Oleh karena

itu, ketika terjadi peristiwa Heka Nunusaku (Perpecahan kerajaan

Nunusaku63), dalam penelusurannya Bartels mengemukakan

61 Artifak adalah benda fisik yang mengalami olahan tangan manusia untuk

memenuhi keperluan tertentu. Keberadaan artifak tidaklah terisolasi, melainkan berada dalam pengaruh sistemik lingkungan dan manusia yang membuat artifak tersebut. Band. E.K.M.Masinambow & Rahayu S. Hidayat, Semiotik – Mengkaji Tanda dalam Artifak (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 1-2.

62Nunusaku sendiri merupakan sebuah gunung misteri yang terdapat di Pulau Seram dan dipandang suci. Lihat, Izak Y.M. Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,56.

63 Adapun salah satu penyebab dari peristiwa yang disebut juga dengan istilah “pica Nunusaku” tersebut adalah karena pembunuhan putri Hainuwele. Bandingkan, Lattu, Ibid.

Page 33: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 161

bahwa peristiwa tersebut merupakan momentum formatif bagi

hadirnya kelompok negeri-negeri dengan lokasi kediaman yang

cukup permanen hingga kini. Mereka keluar dari pulau Seram dan

mencari lokasi huniannya yang baru di wilayah-wilayah seperti:

pulau Ambon, Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut), Buru, Banda

hingga ke Tenggara.64 Khususnya terhadap kelompok migrasi

pertama dari orang Soya yang keluar dari Seram menuju ke lokasi

Soya yang sekarang ini, dapat dilihat pada penceritaan

“masyarakat perahu” yang datang dari Seram secara berkelompok,

dan berdiam di negeri Soya. Penuturan terhadap fenomena

tersebut telah dikemukakan pada Bab III, dalam bagian awal

pengulasan tentang sejarah negeri Soya.

Adapun proses diferensiasi tentang sejarah negeri Soya

dapat dilihat pula dari perubahan nama Soya itu sendiri. Merujuk

pada informasi dari bapa Ateng Huwa’a (salah satu warga asli Soya

yang turut menguasai cerita-cerita historis budaya Soya dan

Maluku), dinyatakan bahwa sebetulnya Soya memiliki nama

aslinya, yaitu Latu Sohia Siwo (Latu = Raja, Sohia = Soya, dan

Siwo/Siwa = Sembilan, yang menunjuk pada 9 soa/aman atau

negeri di Soya) yang dapat diartikan sebagai “raja atau kerajaan

Soya dengan sembilan soa/aman/negeri”. Namun dalam

perkembangan kemudian, 2 dari 9 soa/aman atau negeri yang

bernaung di bawah kekuasaan kerajaan Soya tersebut, yakni

64 Hal ini menjadi semacam “pengetahuan umum” bagi masyarakat Ambon dan

Maluku tentang Seram sebagai pusat (karena itu pulau Seram disebut sebagai Nusa Ina, yang artinya Pulau Ibu, laksana “ibu yang mengandung dan melahirkan pulau-pulau lainnya di Maluku sebagai anak-anaknya.”). Bahkan dari 6 periode penting yang dikategorisasikan sebagai periode sejarah orang Maluku, Bartels menempatkan periode pertama, yang disebutnya dengan Zaman Nenek Moyang, sebagai zaman yang tidak dapat ditentukan waktunya, namun diyakini sebagai periode awal kehidupan di Nunusaku sampai dengan periode masuknya Islam dan mencakup pula periode nenek moyang dari setiap klan yang masih tinggal tidak menetap sampai mereka mendiami kawasan pesisir secara permanen dan terjadinya pepan antara berbagai kelompok. Lima periode berikutnya adalah (1) Zaman Portugis, (2) Zaman Vlaming, yang mencakup masa kekuasaan VOC di Maluku dan termasuk gerakan monopoli VOC dengan operasi “hongi-tochten”-nya, (3) Zaman Pattimura, masa ketika orang-orang Ambon Kristen dan Muslim bersatu mematahkan belenggu kolonialisme Belanda, (4) Zaman Kompeni, yakni masa ketika banyak orang Ambon menjadi tentara Belanda (KNIL), hingga berakhir pada tahun 1950 dengan diredamnya usaha mendirikan RMS, serta (5) Zaman Republik, semenjak kemerdekaan RI hingga kini. Lihat, Bartels, Di Bawah Naungan....,437-438.

Page 34: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

162 Religiositas Ambon-Kristen …

negeri Hatuela dan negeri Haumalang, terhapus keberadaannya

akibat penyerangan Portugis ke Soya pada tahun 1572, sehingga

nama itu pun berubah hingga tersisa nama Soya saja yang

dipertahankan hingga kini.65 Dengan demikian, maka fenomena

inipun dapat dimengerti sebagai suatu proses diferensiasi

terhadap nama negeri Soya itu sendiri.

Dengan menelusuri fenomena historis manusia Soya-

Ambon awal yang berdiam di Seram66 dan kemudian bermigrasi

sebagai “masyarakat perahu” hingga mendiami negeri Soya saat ini

pada satu pihak, lalu pada lain pihak diikuti dengan hadirnya

warga pendatang (orang luar) yang ikut berdiam dan

diinventarisasi (disensus) pula sebagai masyarakat Soya

~sebagaimana terlihat dalam fakta demografis melalui sensus

penduduk Soya yang tercatat di kantor pemerintah negeri Soya~,

maka terlihat adanya proses diferensiasi sosio-demografis pada

lingkup masyarakat Soya sendiri. Dari komunitas Soya yang asli

(mula-mula), lalu kemudian berkembang dan bercampur

(termasuk melalui proses kawin-mawin) dengan hadirnya kaum

pendatang dengan komposisi yang cukup berimbang dengan

penduduk asli, sehingga melahirkan generasi Soya masa kini yang

cukup majemuk dan hibrid.

IV.2.2. Penelusuran Sistim Kepercayaan dan Tatanan Adati

Ketika menelusuri tentang akar formasi sistim

kepercayaan dan ritual adati orang Maluku, Watloly ~pakar filsafat

sosiologi Maluku~ mengemukakan tentang fenomena Empat

Lapisan Kesadaran Religius orang Maluku, yaitu:67(1) Kesadaran

65 Transkrip Wawancara Penelitian pada tanggal Selasa 20 Sep 2018 di Soya, dengan

bapa Ateng Huwa’a (57 th), keluarga dari keturunan matarumah Huwa’a yang menjadi kepala soa adat di Soya.

66 Telah dikemukakan pada bagian awal bab III tentang Soya mula-mula” yang memiliki tempat asal di pulau Seram kemudian bermigrasi ke pulau Ambon, terlepas dari adanya 2 versi penuturan, yakni dari sebuah lokasi tinggal di kawasan Sawai Seram Utara, yang juga bernama “Soya” dan versi lainnya tentang leluhur Soya yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.

67 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan Dalam Pembangunan Bangsa – Perspektif Indigenous Orang Maluku (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara,2013), 338-342.

Page 35: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 163

Alam (Bentuk Kesadaran Awal), (2) Kesadaran Magis (Sistim

Keyakinan yang Non Bendawi/Personal), (3) Kesadaran Kritis

(sistim keyakinan yang rasional), dan (4) Kesadaran Sosial (Sistim

Kepercayaan dengan Pola Kontekstualisasi).

Menurut penulis, kesadaran religius tersebut apabila

ditempatkan dalam bingkai penelusuran terhadap elemen

kepercayaan yang lebih difokuskan kepada orang Ambon (Soya),

maka tidak bisa terelakkan untuk dilakukan penelusuran

korelasinya dengan “Agama Nunusaku”68, yang merupakan inti

dari identitas etnik-religius orang Maluku. Beberapa fenomena

yang dikemukakan oleh Bartels dalam penelusurannya terhadap

“agama Nunusaku” ini, antara lain:69

Pertama, Adanya Satu Tuhan. Bartels mengisyaratkan

bahwa sesungguhnya “monoteisme” itu telah berakar kuat dalam

kesadaran religiositas orang Ambon, Maluku. Kesadaran tersebut

terbangun pula dari suatu “sinkretisme vertikal maupun

horisontal.” Dan fenomena ini merupakan suatu konvergensi

penuh atau sebagian agama di tingkat yang sama.70 Lebih lanjut

ditambahkan bahwa, justru melalui peleburan parsial ini maka

orang-orang Ambon dimungkinkan untuk dapat mempertahankan

kesatuan etnis, terlepas dari perbedaan agama akibat kedatangan

Islam dan Kristen di antara mereka.71 Bagi orang Ambon, Kristen

maupun Islam, sama-sama memiliki keyakinan terhadap adanya

Tuhan Langit yang tertinggi dari para leluhur, yakni Upu Lanite.72

Kedua, Menempatkan gunung (Nunusaku) sebagai simbol

penting, yang tidak terlihat namun terdapat sebuah pohon

beringin besar yang tumbuh dan berbentuk payung, sebagai

simbol perlindungan.

68 Bartels mengisyaratkan bahwa agama Nunusaku itu sesungguhnya tidak memiliki

struktur ataupun semacam organisasi, juga tidak ada pemimpin religius dan tidak ada kuil-kuil tempat penyembahan. Namun apa yang dihidupi dan dijalani oleh masyarakat dalam religiositasnya, tanpa sadar mereka sedang mempraktikkan agama Nunusaku tersebut dengan pengaruhnya. Lihat, Bartels, Di Bawah Naungan ...,385.

69 Bartels, Di Bawah Naungan,377-386. 70Ibid. 71Ibid. 72Ibid,379.

Page 36: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

164 Religiositas Ambon-Kristen …

Ketiga, Agama Nunusaku bercorak seperti agama sipil yang

terbuka dan merangkul warganya, dengan aksentuasi pada upaya

untuk melestarikan nilai-nilai identitas etnis Ambon.

Keempat, Jangkauan keterlibatan keanggotaan agama

Nunusaku, tentunya pertama-tama merujuk pada latar etnis

(Ambon). Selanjutnya terbuka bagi bukan hanya yang masih hidup,

melainkan juga para leluhur yang sudah meninggal, roh-roh, para

dewa, generasi yang akan datang, serta tanah dan alam sekitar

secara umum.

Kelima, Adapun isi, arti dan pokok utama agama Nunusaku

adalah masyarakat Ambon itu sendiri. Agama ini mencakup

seluruh sifat-sifat dari masyarakat Ambon, dan sekaligus memberi

arti bagi identitas Ambon, dan melestarikannya serta membangun

hubungan harmonis antara Kristen dan Muslim Ambon (Salam-

Sarane). Orientasi agama ini menghadap ke dalam, yakni

kepeduliannya pada masyarakat dan budaya orang Ambon. Dan

karena itu, agama ini pun tidak mengklaim diri sebagai kebenaran

tertinggi bagi semua orang, terkecuali bagi orang Ambon sendiri.

Keenam, Pela sebagai Pusat dan Sarana Peribadatan

“agama Nunusaku”. Bagi Bartels Pela merupakan pusat budaya

agama etnis Ambon. Melaluinya tercipta persatuan di Nunusaku.

Karena pelembagaan adat pela memungkinkan para leluhur untuk

menghapus kesalahan-kesalahan yang terjadi di Nunusaku dan

memulihkan hubungan persaudaraan di antara semua orang

Ambon.

Singkatnya, patut dikonstatir bahwa Nunusaku (dan juga

Nusaina) telah menjadi worldview dan sekaligus sumber

religiositas bagi orang Maluku pada umumnya, dan orang Ambon

pada khususnya.73Ketika melakukan penelusuran riset terhadap

ritual CN Soya, maka fenomena “agama Nunusaku” yang

dikonstatir oleh Bartels ini, penulis menjumpaifenomena tersebut,

73Bandingkan Weldemina Yudit Tiwery, Teologi Ina, Menggali dari Nusa Ina, Pusat

Leluhur Orang Maluku, Disertasi(Yogyakarta: Program Doktor UKDW,2015),166-184.

Page 37: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 165

misalnya melalui formulasi tentang Sang Ilahi yang tertinggi

(Kapua Upu Ila Kahuressy Lebe Hanua74), yang diyakini dan

rumuskan oleh masyarakat Soya melalui doa adat mereka

(pasawari) di ritual CN. Dalam kenyataannya, formulasi tersebut

juga bukanlah khas Soya, melainkan memiliki korelasi dengan

sapaan-sapaan ilahi, sang penguasa tertinggi, sebagaimana yang

ada di masyarakat Seram (Nusaina).

Hetharia ketika menelusuri tentang filsafat Siwalima dalam

disertasinya,75 merilis tentang adanyatradisi oral orang Maluku

yang menceritakan bahwa Nunusaku merupakan tempat di mana

Upu Yama EE (Ibu Bumi) melahirkan Alif Uru (Manusia Awal),

sebagaimana yang dinyatakan oleh Bouland dengan menyebutkan

sapaan yang hampir sama dengan sapaan ilah Kapua Upu Ila

Kahuressi Labe Hanua,76

Pada awalnya Kapua Upu Ilah Kahuressi menciptakan alam semesta (asa) dengan menampilkan Bapak Matahari (Upu Tahola), Ibu Bumi (Upu Yama EE), dan pengawalnya bumi yakni Bulan (Upu Ila Kee). Selama pertumbuhan mereka dari masa kanak-kanak hingga dewasa, terjadilah bahwa sang Bapak Matahari menaruh hati pada ibu Bumi dan sebaliknya. Maka ketika sinar pertama dari Bapak Matahari menyentuh ibu Bumi, hamillah ibu Bumi sembilan zaman lamanya. Sesudah genap waktunya, lahirlah Alif Uru (Manusia Awal). Tempat kelahiran tersebut adalah Nunusaku.

74 Dalam bahasa tanh, sapaan tersebut dapat dirinci artinya sebagai berikut: Kapua=

merupakan kata sandang atau sapaan untuk yang dihormati; Upu = sering dipakai sebagai bentuk sapaan kepada raja atau kepala atau orang yang dianggap lebih tua; Ila = Yang memiliki kuasa; Kahuressy= Gagah perkasa, tangguh, kuat; Lebe = Lebih dan Hanua = dari segala-galanya. Lihat: Madlyne Vivian Aunalal, Kapua Upu Ila Kahuressy Lebe Hanua – Tinjauan Sosiologis Terhadap Konsep Kapua Upu Ila Kahuressy Lebe Hanua dalam Upacara Adat Cuci Negeri di desa Soya – Ambon. Skripsi (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW 2010),20.

75 Henky Herzon Hetharia, Nilai-Nilai Filsafat Hidup Siwalima Sebagai Sarana Penguatan Karakter Masyarakat Multikultural di Maluku, Studi Filsafat Terhadap Orang Maluku di Ambon, Disertasi (Yogyakarta: Program Doktor Program Studi Ilmu Filsafat UGM, 2014), Tidak diterbitkan.

76 Bouland dalam Ibid, 87.

Page 38: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

166 Religiositas Ambon-Kristen …

Bahkan dalam “perjanjian damai Siwalima”yang

berlangsung di tempat pertemuan tiga batang air di wilayah

Nunusaku pulau Seram, Hetharia, dengan mengutip tuturan Atus

Kailuhu (tokoh adat negeri Hutumury), mengemukakan adanya

sebuah kapata yang juga eksplisit menyebutkan Upu Ila Kahuressi,

antara lain: “Ami pusuma bei, patasiwa mesike, saisa onani, ami

tumbanu pimoo, Upu ila Kahuressi, moyang-moyang upu ama upu

ini bei nunusaku, yana kapale tapate kenamu, ini kakurale mese-

mese, Upu Ila Kahuressi barakte ami pusuma.” (Artinya: Kami dari

patasiwa berjanji, biarpun apa yang akan terjadi, kami harus saling

membantu. Jikalau tidak, Tuhan Allah, Tete nene moyang, tete

bapa dari Nunusaku, berikan kutuk bagi kami. Kiranya Tuhan Allah

memberkati kami).77

Penelusuran terhadap sistim kepercayaan tradisional yang

mewarnai religiositas orang Soya, memperlihatkan bahwa bagi

orang Soya, dan Ambon, struktur kepercayaan tersebut dipahami

dalam 2 (dua) golongan, yakni: Upu Lanite (langit)dan Upu Umi

(bumi) sebagai golongan I, serta arwah para tokoh/leluhur, roh-

roh tempat tertentu, nitu (dewa hutan) sebagai golongan II, yang

peranannya sebagai perantara manusia dengan golongan I. Para

ilah dan roh ini dilihat pula sebagai sumber segala kebajikan dan

keburukan yang menimpa manusia. Bencana atau musibah yang

terjadi, dimengerti sebagai akibat marahnya para ilah/roh kepada

masyarakat yang lalai melakukan kewajibannya. Solusi yang

dituntut adalah bahwa masyarakat harus segera membereskan

relasinya dengan para ilah/roh, melalui kegiatan-kegiatan seperti:

cuci negeri, atur adat, naik baileo.78

Yang menarik pula adalah ketika formulasi “ketuhanan” a’la

Soya ini mengalami diferensiasi dengan penambahan formula

“trinitas” dalam kekristenan, sehingga rumusannya menjadi:

Kapua Upu Ilah Kahuressy Lebehanua,

77 Dalam Ibid, 105. 78 Bandingkan: Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa Sosio-Budaya...,Tesis,4 -5.

Page 39: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 167

Kedua Yang Maha Besar Tuhan kami, Isa Almasih,

Ketiga Rohul Kudus.

Bagi orang Soya, sebagaimana yang penulis temukan

melalui hasil wawancara dengan beberapa informan dan

kelompok focus group discussion,79 hampir sebagian besar

mengakui bahwa rumusan tersebut merupakan rumusan keesaan

trinitas. Dengan demikian, paham “monoteisme” yang dianut oleh

“agama Nunusaku” masih kuat dipertahankan, kendati telah

mengalami diferensiasi dengan paham trinitas dalam kekristenan.

Dengan kata lain, telah terjadi hibridisasi ketuhanan antara

keambonan dengan kekristenan itu sendiri, yang mengalami suatu

proses yang mirip dengan yang penulis sebut dengan istilah

“sayur kol-nisasi”, sebagai wujud adaptasi dalam suatu arena

strategi survival.80

Disadari sungguh bahwa, fenomena pemahaman dan

kesadaran religiositas tersebut sangat kuat, karena adat bagi orang

Ambon dan Maluku Tengah, merupakan fondasi dan inti dari

79 Antara lain dengan bapa raja Soya, kepala adat (Opa Huwa’a), dan juga bapa

Pendeta P. Kempa (Ketua Majelis Jemaat GPM Soya), juga dalam kelompok FGD. 80 Beberapa waktu belakangan ini sangat viral di jagat maya, lagu Sayur Kol yang

bernuansa Batak oleh group band Punxgoaran, dan sempat menjadi trending topic. Lagu tersebut justru diviralkan oleh si bocah cilik yang bernama Avika boru Siahaan. Pada penggalan syair lagunya terdapat kata-kata, “...makan daging anjing dengan sayur kol....” Ketika lagu ini dinyanyikan oleh Nella Kharisma, lagu tersebut mengalami perubahan adaptasi pada irama dan syairnya. Iramanya dirubah menjadi irama dangdut reggae. Sementara dari keseluruhan syair lagu asli, perubahan hanya terjadi pada penggalan syair tersebut, yakni dirubah menjadi “...makan daging kambing dengan sayur kol....”

Dalam pencermatan penulis, fenomena ini dapat dimengerti dengan apa yang dinamakan sebagai sebuah proses adaptasi dalam suatu arena strategi survivaldengan pelbagai motif dan kepentingannya. Sebagaimana diketahui bahwa Nella Kharisma berasal dari daerah Nganjuk Jawa Timur, beragama Islam dan populer dikenal sebagai penyanyi dangdut. Tentunya, bagi si penyanyi maupun beberapa kalangan dari sub etnis dan agama tertentu, kosakata “makan daging anjing” tidaklah begitu “sedap dinyanyikan” bila dikaitkan dengan nuansa latar kultur mereka. Fenomena ini berbeda bila dibandingkan dengan mereka yang bernyanyi atau mendengar dari latar kultur Batak, sebagaimana yang menjadi latar dominan kultur group band Punxgoaran. Oleh karena itulah, kita dapat mengerti bila kosakata tersebut kemudian lalu dirubah menjadi “makan daging kambing”, sebagai sebuah kosakata yang lebih dapat diterima bagi kalangan pendengar dan penggemar (fans), yang memiliki latar belakang kultur dan agama tertentu. Konon, respons yang menyukai lagu Sayur Kol versi Nella Kharisma sebanyak 12 ribu pengguna (Sumber: jogja.tribunnews.com). Dalam konteks seperti inilah yang penulis maksudkan dengan sebuah proses “sayur kol-nisasi” dalam strategi survival.

Page 40: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

168 Religiositas Ambon-Kristen …

identitas keambonan itu sendiri.81 Dalam hubungan itu, maka adat

dan para leluhur memiliki korelasi yang sangat kuat bagi orang

Ambon. Pada satu pihak adat-istiadat diyakini sebagai “jalan para

leluhur”, sementara pada pihak lainnya, para leluhur dipandang

sebagai penjaga dan pelindung kehidupan, generasi anak-cucu

dengan segala warisannya.82 Itulah sebabnya, dalam pasawari (doa

adat), setelah rumusan “trinitas a’la Soya” tersebut, maka sebutan

para leluhur Soya diikutsertakan. Dituturkan secara eksplisit

dalam kapata pasawari tersebut bahwa penyebutan tersebut sama

sekali bukanlah dalam konteks pemujaan berhala atau

penyembahan kepada para leluhur, tete nene moyang, melainkan

diakui dan dihayati sebagai wujud dari suatu penghormatan para

leluhur tersebut.

Adapan rumusan tersebut dapat dilihat jelas dalam kutipan

berikut ini:

Doa Adat (Pasawari) Terjemahan Adaptasi

Kapua Upu Ilah Kahuressy Lebehanua, Kedua Yang Maha Besar Tuhan kami, Isa Almasih, Ketiga Rohul Kudus. Upu Ama Upu Wisawosi83, Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit,84 Upu Latu Yisayehu Guru Latu Yisayehu85

Allah yang Tertinggi, Kedua Tuhan Yesus Kristus, Ketiga Roh Kudus. Upu Ama Upu Wisawosi Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit Upu Latu Yisayehu Guru Latu Yisayehu Upu Ama yang disembah semua orang,

81 Bartels, Di Bawah Naungan....,258-259. Bartels pun merilis suatu perbandingan

dalam konteks Islam Ambon dan Kristen Ambon yang berdiam di Belanda. Bila bagi Muslim Ambon, yang lebih ditekankan adalah keislamannya, maka bagi kalangan Kristen-Ambon, justru adatlah yang lebih ditekankan, sekaligus sebagai pembeda dari orang Belanda. Dengan kata lain, melalui sinyalemen ini, terlihat bahwa bagi orang Ambon-kristen, sekalipun telah berdiam jauh di negeri orang (seperti Belanda), namun akar dan ekspresi religiositas seperti ini tak dapat dipungkiri.

82Ibid,260. 83 Sebutan untuk leluhur komunal Soya. 84 Gelar bagi raja Soya yang pertama. Diduga pemberian gelar ini berkaitan dengan

relasi perdagangan dan juga pernikahan antara raja Soya dengan salah satu anggota dari kerajaan Majapahit yang bernama Dewi Ayu Putu Sarini Nyi Sia.

Page 41: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 169

Upu Ama sembahan kupaharehu, ....karena itu bukan barang areka urung sakakenu menyembah berhala-berhala, bukan sekali-kali,

... karena kami sama sekali bukanlah para penyembah berhala tetapi merupakan perintah dari pendeta (mauweng) kami

Selanjutnya, salah satu ritus yang berkaitan erat dengan

religiositas orang Ambon adalah ritus kakehan.Dari pencermatan

penulis, terlihat bahwa ritus kakehan ini sangat kuat melatari

prosesi ritual CN Soya. Pada pemaparannya tentang ritus ini,

Cooley bahkan menyebutkan bahwa Kakehan merupakan salah

satu lembaga asli yang penting di Seram (Barat) dan beberapa

bagian di Ambon-Lease.86 Dalam lingkup perkumpulan sosial,

khususnya Patasiwa Hitam, kakehan merupakan perkumpulan

rahasia bagi orang lelaki dewasa yang memiliki kemampuan

tertentu. Kakehan ini berhubungan dengan kepercayaan kepada

Roh Besar, Nitu Elake, yang diyakini menghuni rumah kakehan

bersama (dengan) rombongan besar roh atau nitu lainnya, yaitu

arwah para anggota perkumpulan yang sudah meninggal. Salah

satu ciri dari kultus ini pula terlihat dalam hal ritus inisiasi bagi

anak laki-laki yang akil-balik, sebagai bagian dari proses mediasi

(rites de passages) yang mempersiapkan seorang remaja lelaki

secara spiritual menuju tahap kedewasaan. Proses ritual yang

harus dilalui antara lain, sang anak dibawa ke hutan oleh para

tetua suku dan hidup selama beberapa bulan di hutan. Segala

kebutuhan hidup harus dipenuhi sendiri. Pada waktu yang

ditentukan ia harus kembali ke komunitas suku dengan membawa

kepala manusia dari suku yang lain yang ditemuinya dalam masa

“pendidikan”-nya.87 Selanjutnya kepala manusia tersebut dibawa

dan ditanamkan di bawah tiang tegak (disebut tiang pamali)

85 Gelar yang diberikan kepada mauweng (pendeta) adat, yang berperan juga sebagai

guru bagi masyarakat di bidang spiritual. Gelar ini pun dikenakan kepada raja Soya, sebagai indikasi bahwa pada masa dulu raja juga memiliki peran rangkap, termasuk sebagai “mauweng” tersebut.

86 F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta...,330. 87 Bandingkan Steve G.Ch. Gaspersz, Analisa Sosio-Budaya dan Refleksi

Teologis...,Tesis,17.

Page 42: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

170 Religiositas Ambon-Kristen …

rumah kakehan yang sedang dibangun. Para anggota yang telah

diterima akan di-tato dengan simbol-simbol Matahari dan benda-

benda langit lainnya. Seluruh proses pelaksanaan kultus dilakukan

oleh Mauweng atau imam kakehan.

Kendati pada tahun-tahun akhir abad ke-19 kultus kakehan

dilarang oleh kolonial Belanda, karena sifatnya yang rahasia dan

dikuatirkan dapat menjadi ancaman politik, namun Cooley

mengakui bahwa kultus tersebut tidaklah mati. Pada peristiwa

RMS tahun 1950-an, kecenderungan kakehan ini muncul pula.

Bahkan dalam realitas konflik-sosial di Ambon dan beberapa

tempat di Pulau Seram, terlihat adanya praktek-praktek a’la

kakehan yang dimunculkan lagi. Hal itu terlihat misalnya dengan

aktifitas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan beberapa

kelompok pemuda yang hendak “menuju ke medan laga”,

selanjutnya dilakukan apa yang dikenal dengan istilah atur adat

(dalam beberapa kasus kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh

pemuka masyarakat atau ketua adat tetapi melibatkan pula

pendeta atau imam/uztad setempat) untuk melepas

“rombongan/kelompok”. Dalam beberapa konflik (seperti di Passo

versus Leihitu, Waai versus Liang dan Tulehu, Porto versus Kulur,

dan di Piru, Seram Barat), rombongan yang “berhasil melakukan

pengayauan” terhadap lawan, membawa pulang “hasilnya” ke

masyarakat/komunitasnya dan pemuka adat (bahkan ada yang

membawa ke pendeta jemaat) untuk selanjutnya ditempatkan di

Baileo.

Ritus Kakehan sendiri terdiri atas tiga tahap: Pertama, ritus

pemisahan ketika anak laki-laki diambil dari keluarga untuk

memasuki tahap kematian simbolis; Kedua, tahap transisi

liminalitas, yang menandai bahwa anak-anak tersebut sudah tidak

lagi dikategorikan sebagai anak-anak, tetapi juga belum jadi lelaki

dewasa; Ketiga, merupakan tahap terakhir, yakni tahap

reintegrasi, dipercaya sebagai orang (laki-laki) dewasa.88

88 Bartels, Di Bawah Naungan....,73.

Page 43: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 171

Ketika para kelompok remaja-pemuda laki-laki mengikuti

ritual matawana di puncak gunung Sirimau, di lokasi tempayang,

maka mereka menjalani suatu prosesi yang hampir tidak berbeda

dengan yang dijalani dalam ritual Kakehan. Kesamaan tersebut

misalnya: (1) Semua anak-anak dan perempuan diwajibkan untuk

tidak terlibat (kalau di Kakehang kelompok ini diungsikan ke

hutan); (2) Mitos ular naga atau ular besar, dapat disandingkan

dengan cerita kelompok matawana yang akan “ditelan oleh ular

naga”. Kalau di Kakehan, roh dari anak atau saudara laki-laki yang

ikut ritual ini akan ditelan oleh Nitu Ela (Roh Agung), yakni sang

roh pelindung Kakehan yang berwujud ular besar.89 Dengan

merujuk pada temuan Deacon dan Cooley, Lattu dalam

penelusurannya tentang korelasi antara ritual CN Soya dengan

tradisi Kakehan, mengemukakan bahwa Oral tradition in Soya

supports this understanding of cuci negeri as a legacy of “indigenous

religion.” Agama Nunusaku, in Seram influenced the cuci negeri in

Soya.90

Pemaknaan lainnya dari latar kepercayaan dan ritus

kultural yang ada, jelas mengekspresikan watak religiositas orang

Soya-Ambon yang erat terkait antara kepercayaan (agama) dan

adat itu sendiri. Perwatakan ini pun nantinya akan kuat menonjol

ketika masuknya agama Kristen maupun Islam. Sehingga baik

kekristenan maupun keislaman orang Ambon menjadi khas

sebagai unsur yang berpadu dengan karakter kebudayaan orang

Ambon sendiri.91 Bahkan keterkaitan unsur agama dan budaya

dalam watak orang Ambon itu sering dianalogikan dengan “kue

lapis”: lapisan keambonan dengan kekristenan atau keislaman

misalnya saling berpengaruh satu dengan lainnya.

F.L. Cooley sendiri melihat bahwa penyapaan Tete Manis

dalam kekristenan Ambon (untuk Tuhan [Yesus]), sesungguhnya

89 Ibid,71. 90 A.B. Deacon, “The Kakihan Society of Ceram and New Guinea Initiation Cults,”

Folklore 36,no.4 (December 31,1925), 223-61 dan Frank L. Cooley, “Altar and Throne in Central Moluccan Societies,” Indonesia, no.2 (1966), 135-56, dalam Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,121.

91 Band. F.L.Cooley, Mimbar dan Takhta....,281, 335-339

Page 44: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

172 Religiositas Ambon-Kristen …

dipengaruhi kuat oleh kepercayaan adati terhadap Tete Lanite.92

Bahkan sikap terhadap tempat dan simbol-simbol peribadahan

suatu agama misalnya (antara lain seperti: Gereja, Mesjid, Salib,

Alkitab atau Alquran) ataupun ekspresi warna (seperti warna kain

pengikat kepala ~berang~ merah atau putih) sesungguhnya

dipengaruhi kuat oleh watak religiositas-kultural orang Ambon itu

sendiri. Fenomena perwatakan religius sedemikian

memungkinkan kita untuk dapat memaknai betapa aksi provokasi

konflik Maluku seperti perusakan atau pembakaran gedung Ibadah

atau simbol-simbol kekristenan atau keislaman, merupakan salah

satu modus operandi provokatif yang cukup jitu dalam meletupkan

konflik di Ambon-Maluku. Begitupun halnya dalam penggunaan

Alkitab atau simbol-simbol agama lainnya pada saat berada di

medan konflik, patut dikatakan bahwa fenomena tersebut tidaklah

dapat dipisahkan dari pemahaman religius kultural masyarakat

seperti magis, tabu dan manna (atau yang dalam istilah orang

Ambon dikenal dengan sebutan pakatang, tali kaeng).

Selanjutnya, terkait dengan penelusuran terhadap tatanan

adati masyarakat Soya-Ambon, dapat dilihat pula diferensiasinya

pada pola-pola pengorganisasian masyarakat adati Ambon-

Maluku, semenjak dari tempat hunian lamanya di Seram, Maluku

Tengah, hingga migrasi ke pulau Ambon. Perubahan tatanan

masyarakat adati itu terlihat pada pengorganisasian kelompok

mata-rumah (marga), yang berhimpun dalam suatu soa, kemudian

sejumlah kumpulan soa menjadi Aman atau Hena. Demikian pun

terhadap peran-peran kepemimpinan, antara lain dari seorang upu

yang dipercayakan memimpin soa atau hena. Kemudian posisi dan

peran dari seorang Kapitang, yang semula merupakan pemimpin

dari suatu negeri (desa atau kampung), namun seiring dengan

masuknya pengaruh kolonial yang mengintrodusir jabatan raja,

maka posisi Kapitang pun bergeser.93

92Ibid. 93 Bandingkan Elifas Tomix Maspaitella, “Tiga Batu Tungku: Mekanisme Sosial

Hubungan Antarinstitusi dan Sumbangannya Bagi Strategi Pengelolaan Pemerintahan

Page 45: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 173

Apabila ditautkan dengan fenomena pengorganisasian

masyarakat adat yang ada di Soya, tampak terlihat akar

korelasinya dengan apa yang berlaku di Seram dan selanjutnya

mengalami diferensiasinya ketika Soya mengorganisir dirinya

melalui institusi pemerintahan adati sebagai sebuah negeri adat.

Hal tersebut terlihat dari kian meluasnya struktur dan peran

dalam kepemimpinan masyarakat adat Soya saat ini. Pada

lampiran 4, dapat terlihat contoh pola dan struktur pemerintahan

Soya, yang turut mengalami dua kali diferensiasi pada tahun 2000

dan tahun 2017.

IV.2.3. Penelusuran Corak Simbol dan Performansi

Dalam ritual CN Soya, ada sejumlah simbol dan

performansi kultural-adati yang turut mewarnai ritual itu sendiri.

Pada bagian penelusuran ini, penulis memperhadapkan beberapa

contoh penelusuran terhadap simbol dan performansi, yang antara

lain akan diuraikan sebagai berikut.

Satu, Simbol Bendera dan Lambang Negeri. Yang

pertama adalah simbol bendera tana, yang dibuat dari kain

denganbermotif batik-lurik panjang, dan dianalogikan juga sebagai

simbol dari ular patola.94 Ditelusuri bahwa simbol ini memiliki

keterkaitan dengan bahan yang digunakan oleh para leluhur di

Seram sebagai cawat atau cidaku, yang bermakna kejantanan,

gambaran dari sifat nenek moyang orang Seram.95 Sementara

simbol bendera yang kedua adalah bendera merah-putih. Sudah

dapat dipastikan bahwa fenomena penggunaan bendera nasional

merah-putih tersebut baru digunakan dalam konteks kedaulatan

republik Indonesia. Selain kedua bendera tersebut, Soya sendiri

memiliki lambang negeri Soya yang telah dibuat sebagai panji atau

pataka, dan karena itu sama sekali tidak diusung pada saat

Berbasis Budaya Maluku”, dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas....,79-91.

94 Diduga corak kain patola ini pengaruh dari agama Hindu, karena asal-muasal kain patola ini merupakan kain tenunan dengan motif bersuluk-suluk yang menyerupai seekor ular sawa, dan berasal dari Gujarat, India. Lihat: Bartels, Di Bawah Naungan..., 397.

95 F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta...,133.

Page 46: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

174 Religiositas Ambon-Kristen …

berlangsungnya ritual CNseperti kedua bendera lainnya,

melainkanhanya ditempatkan di kantor negeri Soya.

Keterangan Foto:

Kiri, Panji Lambang Negeri Soya yang pada bagian tengahnya

tergambar seorang perempuan Soya yang sedang memangku kota

Ambon, dan di bagian bawah tertulis: ZOJA. Kanan, Bendera

Merah-Putih, pada ujungnya diikat Daun Gadihu; dan Bendera

Tanah, pada ujungnya diikat Daun Damar.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi dan :

http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-

soya-08-desember-2017/) Diunduh 2 Mei 2018.)

Dua, Peralatan musik instrumentalia pengiring. Salah

satu alat musik yang dipakai dalam ritual CN Soya adalah gongdan

tifa-totobuang. Tamaela dalam penelusurannya tentang alat musik

ini mengkonstatir bahwa sangat diduga kuat alat musik gong

diperkenalkan oleh para pedagang Muslim yang datang dari Jawa

pada abad ke-15.96 Sementara untuk musik totobuang, diduga kuat

datang dari pengaruh kerajaan Ternate pada abad ke-15.97 Dalam

perkembangan kontemporer, peralatan musik yang dipergunakan

sudah mengalami diferensiasi dengan hadirnya alat-alat musik

96 I. Chr. Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy in the Moluccan Church,

With special Reference to the Protestant Church of the Moluccas, Disertation (Amsterdam: Vrije Universiteit, Unpublished,2015),51-52. Dalam ritual CN Soya, peralatan musik Tifa-Gong itu telah baku dipakai. Sedangkan untuk Totobuang, biasanya disesuaikan dengan kebutuhan khusus acara.

97Ibid, 68.

Page 47: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 175

modern, seperti Keyboard dan fasilitas elektronik penunjang

seperti soundsystem dan CD Player, yang dipakai menopang

tahapan akhir dari ritual CN Soya, yakni tahap Pesta Negeri.

Keterangan Foto:

Para penabuh dan alat musicTifa-Totobuangmilik sanggar

Wairanang (anak negeri Soya), yang dipakai pada acara CN.

(Sumber: http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-

cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)

Tiga,Folklore berupa nyanyian Adat, yang dikenal dengan

Kapata dan Suhat. Dalam prosesi ritual CN Soya, terdapat

performansi Kapata dan Suhat yang sangat khas Soya. Dan

ternyata performansi kedua folklore tersebut memang telah

menjadi bagian dari tradisi Siwalima di Seram. Khususnya tentang

Kapata, Bouland mengungkapkan bahwa di dalam tradisi

Siwalima, kapata berarti Kapa Pata Tita. Kapa berarti puncak

gunung yang berbentuk tajam, seperti jari telunjuk menunjuk ke

langit. Pata berarti diputuskan, tak dapat diubah. Sedangkan Tita

berarti sabda, ucapan tegas. Jadi secara hurufiah, Kapa Pata Titah

berarti ucapan-ucapan tegas yang tidak dapat diubah, yang naik ke

atas sebagai gunung berpucuk tombak, tertuju ke Allah (Sang

Penguasa).98 Melalui Kapata, masyarakat Ambon-Maluku

mengekspresikan pemujaannya kepada Yang Ilahi, dan sekaligus

98 Dalam Hetharia, Nilai-Nilai Filsafat...,Disertasi,87.

Page 48: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

176 Religiositas Ambon-Kristen …

penghormatannya kepada para leluhur, beserta kisah-kisah

monumental mereka di masa lampau.99 Corak yang hampir tidak

berbeda, terlihat pula pada Suhat sebagaimana yang

diperformansikan dalam ritual CN Soya.Penelusuran yang

dilakukan oleh Pieter dalam riset tesisnya tentang Suhat di ritual

CN Soya, antara lain mengungkapkan bahwa:100

Suhat adalah nyanyian pengiring prosesi ritual Cuci Negeri, ...dinyanyikan secara kolektif oleh masyarakat Soya....Menurut ketua dari soa , Suhat adalah nyanyian adat atau nyanyian tanah, dan sama dengan Kapata. Perbedaan yang terjadi disebabkan mungkin karena pengaruh Islam di Soya oleh karena pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate....Hal ini yang mungkin menjadi latar belakang masyarakat Soya, oleh karena pengaruh bersentuhan dengan kebudayaan Islam sehingga menyebutkan nyanyian mereka sebagai Suhat.

Kendati penamaan jenis musik ini mengalami pengaruh

Islam, namun Pieter tetap pada kesimpulan bahwa berdasarkan

analisis terhadap temponya, biramanya, gaya bernyanyinya, teknis

bernyanyinya (ostinato), serta ambitusnya, maka musik Suhat

merupakan jenis musik asli orang Soya-Ambon, yang memiliki

kesamaan pula dengan Kapata.101 Dan ketika dilakukan analisis

struktural terhadap mitos dalam Suhat dengan mencermati isi dan

kandungan filosofis kultural di balik syair-syair Suhat yang dipakai

dalam ritual CN Soya, maka Pieter pun melihat korelasi yang

sangat kuat dengan pola atau skema filosofi manusia “Uru” dalam

falsafah Siwalima, sebagaimana yang dikemukakan oleh Boulan.102

99 Bandingkan Hetharia, Ibid, 88 dan Talupun Johanna Silavana, “Pertama Tuhan,

Kedua Tete Nene Moyang, Hermeneutik Poskolonial Terhadap Ulangan 26:1-15 Dan Upaya Memahami Praktik Penghormatan Kepada Nenek Moyang Dalam Konteks Masyarakat Kamarian”, Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana Teologi UKDW, Tidak diterbitkan, 2018),160.

100 Pieter Jenne, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss, Tesis (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013), 73-74.

101 Ibid, 78-81. 102 Lihat, Ibid,85-102

Page 49: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 177

Seiring dengan masuknya Portugis pada abad ke-16 dan

Belanda pada abad ke-17, maka nuansa musikal dan performansi

dari Eropa turut berpengaruh terhadap musik dan performansi

ritual oang Ambon, termasuk di Soya. Tamaela melihat salah satu

pengaruh tersebut, tampak juga dengan karakteristik skala notasi,

di mana umumnya tradisi musik Barat menggunakan diatonis atau

heptatonic (7 nada), sementara pola nada pentatonic (5 nada) lebih

dominan mewarnai ciri musik tradisional orang Ambon-Maluku.103

Melalui ritual dan simbol-simbol performansi musikal-

adatinya, orang Ambon-Maluku, termasuk orang Soya pun

mengekspresikan dan sekaligus merawat memori-memori kolektif

mereka, yang tentunya berdampak pada integrasi sosial warga.

Lebih khusus tentang korelasi ritual dan simbol-simbol

performansinya, Lattu melihat bahwa jauh sebelum datangnya

agama Islam dan Kristen di Maluku, fenomena tersebut

merupakan social mechanisms to establish and to maintain the

social order.104 Bila Kapata lebih bersifat monologis, maka Suhat

merupakan bentuk nyanyian adat yang dinyanyikan secara

kelompok dengan pola berbalas-balasan (dialogis).

Empat, Khususnya terhadap simbol seperti sesembahan,

siri pinang dan pasawari (doa adat), penelusuran Lattu

memperlihatkan bahwa beberapa simbol yang dipakai dalam ritual

CN Soya tersebut, memiliki kesamaan dengan yang lazim

digunakan dalam “agama Nunusaku”, antara lain seperti:

sesembahan atau natzar, siri pinang, pasawari.105

103 Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy ...., Dissertation,52-53. 104 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,120. 105 Ibid,122.

Page 50: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

178 Religiositas Ambon-Kristen …

Keterangan Foto:

Kiri Atas, Sirih-Pinang dan Tembakau ditempatkan di meja pimpinan rapat Saniri Besar Soya, sebagai bagian dari tahapan ritual CN. Simbol-simbol tersebut hanya ditempatkan, tidak dicicipi. Kanan Atas, usai dipergunakan tempat kotak sirih-pinang tersebut dibawa dan ditempatkan di meja khusus di lokasi Baileo Soya, tempat berlangsungnya Upacara CN Soya. Kanan Bawah, Sirih-Pinang dengan kotak khusus berwarna putih dipegang oleh salah satu mata-ina, ketika berlangsung penyambutan rombongan matawana di teung Rulimena. Dan pada momentum penyambutan tersebut, sirih-pinang beserta sopi dan rokok dinikmati oleh para rombongan, dijamu oleh para mataina Rulimena. (Sumber: Dokumentasi Pribadi dan http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)

Peralatan simbolik sirih-pinang dan tabaku (tembakau)

yang dipersiapkan untuk menyambut rombongan matawana yang

baru turun dari puncak Sirimau, merupakan simbol pernyataan

Page 51: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 179

kesediaan dan kesaturasaan, kesatuhatian dari semua pihak untuk

menjalin tali persaudaraan dalam menjalani ritual cuci negeri.

Dengan kata lain, ungkapan dan simbol sirih-pinang: Sohi sala hua

sohi sala mu tabaku (Sirih-pinang dan tabaku telah tersedia),

mengisyaratkan makna tentang acara cuci negeri siap dimulai dan

semua pihak telah siap melaksanakannya. Dengan demikian, tidak

ada lagi salah paham di antara masyarakat negeri Soya yang akan

menjalani ritual cuci negeri tersebut. Makna simbolik tersebut

sangat melekat jamak dalam tradisi penggunaan simbol makan

sirih-pinang dalam agama Nunusaku.106

Lima, Simbol tanaman (daun) gadihu. Dalam ritual

inisiasi Pataheri (ritual peralihan bagi remaja lelaki untuk

memasuki fase kesiapan dan kematangan sebagai pemuda) di suku

Nuaulu misalnya, peralatan daun gadihu (Sinsite) ini telah

dipergunakan, dengan jenis daun yang bertangkai lima dan

berwarna kuning.

Keterangan Foto:

Kiri, para mataina menari (badendang) sukacita sambil mengangkat daun gadihu, menyambut datangnya bapa raja ke lokasi Baileo. Kanan, dengan menggunakan daun gadihu aneka jenis, para mataina juga melakukan akta simbolik pembersihan Baileo negeri Soya. (Sumber: http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)

106Ibid.

Page 52: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

180 Religiositas Ambon-Kristen …

Adapun warna dan corak tersebut bermakna kehidupan

(kuning, cahaya matahari yang meni dan menghidupkan) dan

sekaligus keamanan atau perlindungan.107Menurut Tamaela,

simbol daun gadihu ini memang khas Nunusaku, yang memiliki

makna kehidupan dan perlindungan (dari pelbagai kuasa-kuasa

jahat).

Kendati diakui bahwa, telah terjadi diferensiasi

materialnya, sehingga ~seperti juga yang penulis lihat di ritual CN

Soya~ jenis daun gadihu yang dipergunakan dalam ritual adati

saat ini, tidak lagi dengan satu jenis (seperti bertangkai lima),

melainkan jenis daun gadihu apa saja, dapat dipergunakan.108Pada

gambar (foto) tersebut, terlihat para ibu-ibu Soya (mataina), baik

yang lama maupun yang baru (mataina baru, yang menjadi warga

Soya karena pernikahan misalnya), terlihat begitu antusias menari

dengan memegang daun gadihu.

Enam, Tarian Cakalele. Tarian cakalele yang diragakan

dalam acara CN Soya, secara umum diakui bahwa tarian tersebut

merupakan tarian tradisional yang dilakukan oleh orang Alifuru di

Seram, yang biasa ditarikan sebelum mereka memasuki arena

perburuan atau perang.109 Peralatan yang turut digunakan untuk

mengiringi tarian ini, antara lain: tahuri (kulit bia/k laut yang

besar), tifa gong. Sementara, para penarinya menggunakan

peralatan tombak, parang, salawaku, dan mengenakan cawat atau

cidaku, dengan bertelanjang dada.110Walau dalam observasi yang

dilakukan, penulis telah melihat nuansa diferensiasinya, yang

tampak pada busana yang digunakan, seperti ada yang menari

Cakalele dengan menggunakan kaos berwarna hitam dan tidak

107 Lihat, Abd. Khalik Latuconsina, Pataheri dan Posuno, Ritual Inisiasi Masyarakat

Nuaulu di Seram Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Disertasi (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,2008),140,141.

108 Transkrip Wawancara dengan Chr. Tamaela. 109 Kunst, “Indonesian Music and Dance: Traditional Music and Its Interaction with the

West” (p.207-210) dalam Tamaela, Disertation..., 58. Peralatan tombak, parang, salawaku, ikat kepala (kain berangyang berwarna merah), juga merupakan peralatan yang khas dan sama juga digunakan dalam ritual inisiasi di suku Nuaulu, suku asli di Pulau Seram yang masih ada hingga kini. Lihat, Abd. Khalik Latuconsina, Pataheri dan Posuno..., Disertasi, 103-105,109.

110Ibid.

Page 53: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 181

menggunakan cawat, melainkan celana pendek yang dominannya

berwarna merah.

Dalam riset disertasinya tentang kontekstualisasi musik

dan tarian di Maluku, Tamaela merilis data bahwa tak dapat

disangkali, selain adanya pengaruh dari Barat, tetapi juga ada

pengaruh dari Muslim (Arab dan Jawa) terhadap traditional

Maluku dances. Antara lain dapat terlihat, seperti dari latar muslim

ada tarian Sawat, Dana-dana, Japin; sedangkan dari latar Barat

(Kristen) ada tarian Katreji, Tari Gaba-gaba empat buah, Dansa

Tali.111 Apa yang dikonstatir oleh Tamaela, penulis jumpai dalam

tahapan pesta negeri di ritual CN Soya, yakni ketika nuansa

badendang dan badonci dipadukan dengan tarian Katreji, sebagai

salah satu contoh konkret pengaruh dari tarian Barat (Portugis).

Selain itu tari Lenso menjadi tarian khas tradisional Ambon yang

ditempatkan dalam rangkaian acara penyambutan tamu khusus,

sebagaimana yang berlangsung juga dalam tahapan ritual CN Soya.

Keterangan Foto:

Para jujaro (anak gadis) Soya sedang meragakan tarian Lensodi

depan rumah raja Soya, sebagai bagian dari penyambutan tamu

khusus di acara CN Soya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Tujuh, Peralatan Tempayang. Dari Penelusuran Bartels,

disebutkan bahwa dalam “agama Nunusaku”, ada praktik

mengunjungi tempat keramat yang rahasia, yakni berupa

111Ibid, 58-59.

Page 54: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

182 Religiositas Ambon-Kristen …

tempayan (tempayang) di Nunusaku. Tempat tersebut dijaga oleh

para tetua kakehang yang bertugas selalu mengisi tempayang

tersebut dengan air, karena diyakini bahwa tempat tersebut

sebagai tempat kedudukan “Nitu Ela” (roh yang agung) itu. Bagi

siapapun yang berkunjung untuk mendapatkan ilmu kekebalan,

dipersilakan untuk membasuh tubuh dan peralatan apapun yang

diperlukan untuk menjalankan misi khusus, termasuk dalam

menghadapi kolonial Belanda.

Keterangan Foto:

Dalam kesempatan riset, penulis mengunjungi situs tempayang

yang terletak di puncak Sirimau (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Dalam perkembangan kemudian, pihak Belanda justru

mencurigai tempat rahasia tersebut sebagai tempat berkumpul

para konspirator untuk merencanakan aksi pemberontakan.112

Dengan demikian, terlihat sekali pengadopsian ritual CN Soya

dengan menggunakan Tempayang, yang saat ini telah dijadikan

sebagai salah satu situs wisata yang cukup melegenda di Maluku,

dan sering dikunjungi masyarakat umum.

Delapan, Kain Gandong.Simbol kain gandong (kain putih

polos yang panjang) yang dipergunakan dalam ritual CN Soya,

mengandung makna yang mendalam tentang perihal merangkul

dan mengakomodasi semua peserta baik dari lingkup kelompok

112 Bartels, Di Bawah Naungan...., 439.

Page 55: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 183

kedua soa, maupun juga dalam relasi Pela dengan negeri Morela

yang muslim, sebagaimana dijelaskan oleh Lattu, antara lain:

When the migrants are covered by the kain gandong in the ritual of cuci negeri, they become part of the community....In the case of the cuci negeri in Soya, the kain gandong is the symbol of the kinship relationship between Soya and Morela. In this ritual, the cultural side of the ritual invites the two communities to cross over the religious boundaries. ”113

Menurut bapa Ateng Huwa’a, simbolisasi kain gandong

memiliki keterhubungan simbolisasi dengan ritus Kakehan. Hal

tersebut, menurutnya terlihat pada penempatan kain gandong di

salah satu tiang yang terdapat di Baileo Samasuru, Baileo negeri

Soya, tempat berlangsungnya ritual CN Soya. Menurut bapa Ateng,

itulah ciri Kakehan yang telah mengalami diferensiasi. Artinya, di

Kakehan biasanya ditempatkan simbol-simbol adati di tiang Baileo

(disebut: tiang pamali), antara lain seperti kepala manusia, yang

diperoleh dari hasil pengayauan. Namun saat ini, kain gandong

yang ditempatkan.114

Keterangan Foto:

Kiri, Kain Gandong yang belum dipergunakan, dilipat dan

ditempatkan di ujung tiang bambu sabuah (Tenda) di lokasi Baileo,

di saat berlangsungnya upacara ritual CN.

113 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation, 125-126. 114 Transkrip Wawancara Penelitian pada tanggal Selasa 20 Sep 2018 di Soya.

Page 56: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

184 Religiositas Ambon-Kristen …

Kanan, Ketika upacara ritual di Baileo selesai, kain gandong

tersebut dipakai untuk menyatukan warga dari dua kelompok soa

utama di Soya (soa Pera dan soa Eraang), seusai kedua kelompok

melakukan pembersihan di mata-air dan sumur masing-masing,

wai Werhalouw untuk soa Pera dan wai Unuwei untuk soa Eraang.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sembilan, Mitos Naga. Ketika mengulas tentang asal-

muasal tradisi CN Soya, telah disebutkan bahwa salah satu mitos

yang melatari tradisi tersebut adalah mitos naga. Dalam tahap-

tahapan proses CN, mitos ini melatari ritual tahap-4, yakni: Naik

ke Gunung Sirimau. Detail tuturan tentang mitos naga ini telah

dikemukakan pada awal bab IV ini, khususnya bagian IV.1.1.

Bartels dalam penelusurannya tentang ritus Kakehan,

menemukan adanya mitologi seekor ular raksasa yang

menciptakan Kakehan. Diceritakan bahwa,

“....Segera setelah menyelesaikan pembangunan rumahnya di Paunusa, Ular Kakehan memerintahkan laki-laki dari Eti itu masuk ke dalam Kakehan dan menelannya sebagai anggota pertama. Tiga hari kemudian ular tersebut memuntahkan ke luar laki-laki dari Eti itu. Si laki-laki kini ditandai dengan rajah (tato) di lengan, dari, dan dadanya....”115

Ketika mewawancarai Morits Huwa’a (47 th), salah satu

pemuda yang ikut langsung dalam rombongan yang matawana di

puncak gunung Sirimau,116 yang bersangkutan menuturkan bahwa

salah satu persyaratan untuk menjadi peserta rombongan

matawana adalah sudah menjadi anggota sidi gereja, selain berasal

pula dari marga-marga tertentu saja. Sesampainya rombongan di

lokasi, semuanya duduk di sekitar (mengelilingi) batu tempat

115 Bartels, Di Bawah Naungan....,67. 116 Aturan diberlakukan sangat keras, tentang larangan orang luar (seperti penulis

atau peneliti siapapun) untuk terlibat langsung dalam rombongan matawana di puncak gunung Sirimau. Transkrip wawancara penelitian dengan Moritz Huwa’a.

Page 57: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 185

duduk Latu Selemau. Dan Tidak ada satu pun yang duduk di batu

itu. Rombongan tidak diperbolehkan makan. Konsumsi yang dapat

disediakan adalah rokok, anggur 1 botol. Rombongan hanya duduk

diam sambil bercerita atau mendengarkan tuturan yang lebih tua

yang bertutur tentang sejarah, budaya dan petuah-petuah

kehidupan yang baik. Hingga berakhirnya matawana tidak

dijumpainya seekor naga atau ular besar yang datang menelan

mereka. Bagi Morits, secara tuturan tradisi, memang ia dan teman-

teman lainnya tahu tentang mitologi naga tersebut,namun mereka

tidak takut untuk mengikuti ritual CN tersebut. Yang diakuinya

pula adalah, ternyata ada yang memimpin doa secara kristen,

ketika rombongan mulai tiba di tempat matawana itu. Suatu

indikasi yang kuat terhadap proses diferensiasi dari hibridisasi

kekristenan dengan ritual adati dalam CN Soya. Dan hakikat

makna daripada mitos naga dalam konteks ritual CN Soya, adalah

sebagai momentum dimulainya akta pembaharuan dan integrasi

diri yang baru dengan masyarakat. Sebagaimana berlangsung

dalam 3 tahapan ritus Kakehan (pemisahan, liminalitas atau

“kematian diri” dengan segala yang buruk atau kotor, dan

reintegrasi), demikian pula dalam ritual CN Soya, momentum

kembalinya rombongan matawane dari gunung Sirimau,

memberikan makna bahwa akta cuci negeri sebagai perwujudan

dari proses pembersihan diri, keluarga, negeri dan lingkungan, kini

siap untuk diejawantahkan.

Sepuluh, Makan Patita. Souisa dalam penelusurannya

tentang tradisi “makan patita” di Soya menemukan bahwa

sesungguhnya, tradisi tersebut bukanlah semata menjadi khas

negeri Soya. Sebab yang terjadi adalah memori kolektif

masyarakatlah yang menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam

sejarah suatu komunitas dengan tradisi makan patita tersebut.

Ada yang berkaitan dengan peristiwa musyawarah untuk

menyambut dan mensyukuri perjuangan para kapitangyang baru

pulang dari “medan laga”; ada yang berkaitan dengan ritual panas

pela, pelantikan raja, panen, pemberian nama adat, dan

Page 58: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

186 Religiositas Ambon-Kristen …

sebagainya. 117 Pada masyarakat asli di pulau Seram, seperti

masyarakat adat Sopa Maraina di Seram bagian Tengah, tradisi

makan patita telah lama dikenal, walau dengan sebutan

bahasatanamereka, yaitu Ita Kae Haki, yang berarti “kita makan

bersama”. Istilah yang mirip pula dipakai di negeri Piliana (Seram

Timur) untuk menunjukkan nilai kebersamaan dalam aktivitas

makan bersama yang dilakukan sebelum dan atau sesudah panen

tetanaman.118 Bahkan, seperti yang ditemukan dan disimpulkan

oleh Souisa, merujuk pada makan patita dalam ritual CN Soya,

maka bukan hanya nilai kebersamaan, melainkan adapula 13 nilai

lainnya yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) Kesetaraan, (2)

Kesejahteraan, (3) Keadilan, (4) Kesetiaan, (5) Kesederhanaan, (6)

Penerimaan, (7) Persahabatan, (8) Keterbukaan, (9) Kejujuran,

(10) Berbagi, (11) Keramahtamahan, (12) Kegembiraan, dan (13)

Pembagian dan Persaingan.119

Ketika berlangsung ritual CN Soya pada tahun 2015,

penulis ikut mengambil bagian dalam acara makanpatita, yang

kebetulan dihadiri pula oleh bapak Walikota Ambon (R.

Louhenapessy) dan beberapa petinggi di jajaran pemerintahan

kota Ambon. Penulis mengalami dan merasakan sendiri suasana

makan patita dengan 13 nilai, sebagaimana yang disimpulkan oleh

Souisa tersebut. Namun ada satu nilai yang bagi penulis patut

ditambahkan, yakni nilai adaptif, karena ritual makan patita

tersebut mengalami proses diferensiasi yang muncul dari proses

adaptasi Soya dengan realita kehidupan kontemporer (modern).

Salah satu contoh dari nilai adaptif ini adalah penataan meja dan

penganan (sajian kue dan minuman) yang disediakan. Bila Souisa

menyebutkan ada nilai kesetaraan dalam makan patita (termasuk

pada posisi duduk yang setara), maka yang penulis lihat dan alami

sendiri, pihak pemerintah Soya justru menyediakan meja khusus,

117 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita – Nilai dan Maknanya dalam Membangun

Pendidikan Kristiani yang Kontekstual, Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKSW, 2017),96.

118 Ibid,94. 119 Ibid, 106-108.

Page 59: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 187

dengan bertaplak meja putih, dan hanya ditempati oleh beberapa

“tetamu VIP” (kebetulan penulis dipersilakan oleh bapa raja Soya

untuk ikut menempati salah satu kursi yang tersedia di bagian

“kaki” meja), sementara warga lainnya mengambil posisi duduk

yang disesuaikan, di luar “meja khusus” tersebut. Selain itu, diakui

sendiri oleh bapa raja bahwa, jenis kue dan minuman yang

disajikan juga telah mengalami modifikasi dan kreatifitas dalam

pengolahannya, disesuaikan dengan situasi Soya kontemporer.120

Dari penelusuran tentang latar simbol dan performansi

ritual yang berlangsung dalam CN Soya, secara fenomenologis,

dapat disimpulkan bahwa fenomena tersebut juga menjadi wahana

(the way) religiositas orang Soya untuk menyatukan dan

menjembatani manusia dengan Tuhannya dan juga para

leluhurnya (ancestor).121

IV.2.4. Penelusuran Filosofi-Kultural dan Perwatakan

Penelusuran terhadap filosofi-kultural orang Ambon-

Maluku, tidak dapat menafikan filosofi kultural Siwalima yang

cukup kuat memengaruhi orang Ambon-maluku, di waktu dulu,

kini dan mendatang.

Terkait dengan itu, maka penting untuk mengikuti

penelusuran Huliselan dan Hetharia122 serta dilengkapi juga

dengan penelusuran Watloly dan Gaspersz terhadap perspektif

dialektika Heka-Leka, yang dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, Filsafat hidup Siwalima menegaskan hakikat dan

realitas sosial-budaya masyarakat Maluku dalam dua komunitas

120 Menurut bapa raja, kalau sajian kue di waktu dulu diwajibkan untuk menyediakan

jenis kue yang diolah dengan menggunakan bahan baku beras, sebagai “simbol penghormatan kepada para tamu. Namun saat ini, para ibu yang menyediakan, telah menyesuaikan dengan bahan baku non beras juga, antara lain dengan tepung terigu dan ada juga dari tepung sagu. Begitupun dengan minuman. Pada waktu dulu, wajib disajikan minuman susu manis, yang dianggap sebagai sajian istimewa dalam menghormati para tamu VIP. Namun saat ini, telah disesuaikan. Sehingga tersaji pula ada jenis kopi, teh, bahkan airputih, bagi yang tidak dapat mengkonsumsikan minuman manis.

121 Bandingkan, Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,104. 122 Dalam Hetharia, Nilai-Nilai Filsafat...,Disertasi, 106-109 dan Mus Huliselan,

“Berdampingan dalam Perbedaan, Konsep Hidup Anak Negeri” dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Maluku Menyambut Masa Depan (Ambon:Indahjaya Adipratama,2005), 228.

Page 60: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

188 Religiositas Ambon-Kristen …

asali suku Alune dan Wemale di pulau Seram123 yang

monodualistik.

Kedua, Corak monodualis tersebut terkonsepkan pula

dalam kosmologi masyarakat Ambon-Maluku yang membagi dunia

dan membentuk cara pandang tetapi sekaligus memperlihatkan

keseimbangan kosmos dalam perbedaan, yang bukan untuk saling

menghancurkan melainkan saling tergantung dan melengkapi.

Dunia dibagi dua: Secara vertikal ada langit yang dikuasai oleh Upu

Lanite dan bumi yang dikuasai oleh Ina Ume. Sedangkan secara

horisontal, terbagi pula atas lau (laut) – dara (darat), atas

(gunung) – bawa (bawah = tanah), atau gunung (langit) – pante

(tanah).

Ketiga, Fenomena dialektika kultural orang Ambon-Maluku

ditegaskan oleh Watloly bahwa cara berpikir dialektisme ini

mengandaikan bahwa setiap kenyataan, termasuk klaim-klaim

kebenaran, misalnya tradisi, agama, pandangan hidup, dan

sebagainya, sebagai kenyataan hidup anak negeri selalu bersifat

majemuk dan otonom.” 124 Bahkan fondasi dan struktur filsafat

dialektis itulah yang membenam dalam aneka kebudayaan anak

negeri Maluku, seperti Pela, Salam-Sarane, Masohi, atau demokrasi

Baileo (di Maluku Tengah).125 Selanjutnya, fenomena yang patut

dikemukakan adalah bahwa corak dialektisme manusia Ambon-

maluku tersebut dilatari pula oleh nilai filosofis-kultural Heka-

Leka.

Sebagaimana yang diuraikan oleh Gaspersz, bahwa dalam

sistem budaya, ideologi (kepercayaan) dan filasafat kultural orang

Ambon, heka-leka dimengerti sebagai bagian integral dari Asa

(Yang Tunggal), yakni “hukum” yang menata kosmos dan menjadi

tujuan perjalanan hidup manusia. Heka berarti pecahan,

123 Kelompok Alune umumnya mendiami pegunungan Seram (karena itu sering

disebut “orang gunug”, sedangkan kelompok Wemale umumnya mendiami kawasan pesisir, sering disebut “orang pantai”. Ketika konflik kedua suku, maka terjadi migrasi ke pulau-pulau Ambon, Lease dan sekitarnya. Lihat, Ibid.

124 Aholiab Watloly, Maluku Baru, Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri (Yogyakarta: Kanisius,2005),106

125Ibid,107.

Page 61: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 189

pembagian, hancur, perang; sedangkan Leka berarti kelahiran

baru. Hukum heka menjelaskan prinsip diferensiasi, diversifikasi

dan konflik yang bertumbuh kembali ke totalitas Leka.126Asa

sendiri diyakini mencakup tiga entitas yakni alam-manusia-

masyarakat, yang ketiganya diwarnai oleh heka yang berlangsung

hingga mencapai titik sublimasi. Pada momentum sedemikianlah

terjadi leka, kelahiran totalitas kosmos baru, yang meliputi korelasi

substansial ketiga entitas tersebut. Melalui filsafat heka-leka ini

kita bukan hanya memahami worldview orang Ambon tetapi

sekaligus pula tentang spirit psiko-kultural yang dibangun atas

dasar nilai-nilai127: keberanian untuk hidup dalam ketegangan

(koeksistensi), menampung ketegangan (dialektis), upaya menjaga

keseimbangan (harmonis), berpengharapan (optimis),

penentangan dominasi (ekualitas) serta penolakkan terhadap

kemapanan (dinamis).

Selanjutnya, terkait dengan fenomena perwatakan orang

Ambon-Maluku, yang mengacu pada filosofis kultural tersebut di

atas, menarik untuk mengikuti paparan yang lugas dan reflektif

dari P.Tanamal (seorang teolog yang mendalami psiko-budaya

manusia Maluku/Ambon), antara lain:

Sikap seorang Maluku tidak ingin untuk bermain tusuk dari belakang. Sekiranya ia ditantang, selalu kita dengar perkataan, “kalau berani, muka sama muka”. Ia berani bakupukul tetapi segera pula ingin hidup rukun kembali, apabila diadakan penyelesaian. Ia bisa cepat panas dan jumawa (ungkapan kultural yang menunjuk pada kegeraman terhadap sesuatu yang tidak baik/ benar), tetapi bisa juga menjadi dingin. Ia emosional tetapi ikhlas jika didekati, dan dapat bersedia diajak berunding. Sifat khasnya menginginkan penyelesaian langsung atas hak dan keadilan. Apabila hal tersebut tidak saja dihiraukan, ia dapat saja bersikap nekad dan bertempur. Ia setia dan malah

126 Steve G.Ch. Gaspersz, Analisa Sosio-Budaya....,Tesis, 16. 127Ibid, x.

Page 62: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

190 Religiositas Ambon-Kristen …

dapat menyerahkan nyawanya, sekiranya ia diberikan kepercayaan yang penuh. Terdapat semacam sifat kombinasi antara watak pemberani dan pendobrak dengan rasa simpati kemanusiaan yang menuntut keadilan pada sesama. Ia musikal dan suka bernyanyi serta badendang (menari), di tengah alamnya yang keras dan ganas, baik di laut maupun di darat, di musim hujan dan musim panas. Semuanya membuat dia dapat lemah lembut, tetapi juga bisa keras dan tak mengenal rasa takut.128

Pada sisi lainnya, salah satu karakter dan perwatakan

orang Ambon terungkap dari penelusuran Bartels, yang

mengkonstatir kecenderungan orang Ambon yang menghargai

kolektivisme dan keselarasan, namun pada sisi lainnya pula

~dapat dipastikan turut dilatari oleh corak dialektisme dari

karakter orang ambon tersebut~ ada dorongan yang kuat juga

untuk mengekspresikan peran dirinya agar dapat tampil

menonjol.129 Karena itu, sulit bagi orang Ambon untuk

mendefinisikan dirinya di luar konteks kelompok tertentu. Bahkan,

menurut Bartels, bila hierarki loyalitas negara lazimnya menuntut

loyalitas tertinggi, sesudah itu baru loyalitas kepada subkelompok,

maka dalam masyarakat Ambon, justru terbalik. Dimulai dari unit

terkecil, yaitu keluarga, kemudian kepada klan, soa, kampung, pela,

pulau, dan akhirnya masyarakat secara keseluruhan. Hierarki

loyalitas tersebut bila diurutkan maka urutannya sebagai

128 Pieter Tanamal,Pengabdian dan Perjuangan (Ambon: PNRI, 1985), 30-31. Huruf

tebal (bold) sengaja dibuat oleh penulis. 129 Dalam kaitan dengan penonjolan peran diri (personal) ini, Bartels menyebutkan

ada dua peran yang menjadi penyaluran ekspresi individualitas orang Ambon, yaitu sebagai jago dan sebagai pelawak. Peran pertama diperluas dalam kemampuan bela diri atau berp hingga orang rela mengambil resiko demi kebaikan masyarakat, misalnya bertindak menghadapi otoritas atau bertindak sebagai pemimpin dalam situasi krisis. Dari peran ini, tampaknya kita pun dapat mengerti fenomena jagoan-jagoan atau yang kerap disebut sebagai bijiruku dalam suatu komunitas pemuda Ambon, yang dianggap dan disanjungkan sebagai pemimpin komunitas tersebut (kelompok atau geng). Sedangkan peran kedua dihargai karena mampu membuat orang tertawa, menciptakan suasana gembira di pesta-pesta atau pertemuan tertentu. Dan kedua peran tersebut terbuka secara tradisional bagi kaum laki-laki ataupun perempuan. Lihat, Bartels, Di Bawah Naungan....,246-247.

Page 63: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 191

berikut:130 (1) ego, (2) rumah tangga, (3) famili, (4) klan, (5) soa,

(6) kampung (negeri), (7) pela, (8) pulau, (9) masyarakat Ambon,

(10) Maluku, (11) Indonesia, (12) Dunia.

Dalam hierarkhi loyalitas ini, Bartels tidak menempatkan

elemen agama sebagai elemen loyalitas yang patut diperhitungkan

dan sangat rentan untuk terpicu dalam suatu reaksi fanatisme

untuk tampil keluar, ketika emosi elemen keagamaan ini terusik

atau diusik. Dalam konteks kehadiran agama-agama samawi,

seperti Islam dan Kristen (salam dan sarane), tentunya patut

diakui bahwa elemen keagamaan ini sesungguhnya merupakan

lapisan elemen “baru” yang melekat dan menyatu dari keambonan

sebagai elemen dasariah. Sehingga kehadiran elemen yang baru

tersebut sekaligus melahirkan diferensiasi karakter daripada

keambonan dan kekristenan (atau keislaman) itu sendiri. Fakta

fenomenal yang tak terbantahkan adalah realita konflik Ambon-

Maluku, yang secara langsung ataupun tidak langsung, turut

dipengaruhi dan memengaruhi pula elemen sentimen keagamaan

ini.131

Bila ditelusuri perwatakan orang Ambon-Maluku, maka

fenomena yang patut diakui adalah bahwa perwatakan orang

Ambon-Maluku, selalu menyatu dengan alamnya, dengan gunung-

tanah, air (lautan), pepohonan, margasatwa dan sebagainya.

Sebagai salah satu contoh yang dapat diidentifikasikan terhadap

130 Bila penulis mendeskripsikan secara urutan sedemikian, Bartels

mendeskripsikannya melalui pola lingkaran, dari yang terkecil (sebagai yang pertama), yakni lingkaran ego, kemudian keluar membesar ke lingkaran rumah tangga, famili, dan seterusnya, hingga yang terakhir lingkaran dunia. Lihat, Ibid, 248.

131 Terhadap fenomena ini, ketika menggarap kajian tesis tentang relevansi 5 (lima) tesis Kimball yang melatari agama menjadi evil atau tetemomo (jahat) dalam konteks konflik Ambon, penulis tiba pada salah satu kesimpulan yang mengisyaratkan kesulitan kita untuk tidak mengakui bahwa faktor agama pun dengan pelbagai variabelnya, ternyata turut melatari fenomena konflik Ambon. Lihat Ferry Nahusona, Ketika Agama Menjadi Tetemomo - Menimbang Relevansi Tesis Charles Kimball Dalam Fenomena Agama dan Kekerasan Di Kalangan Pemuda Kristen-Ambon Selama Konflik “19“, Tesis (Salatiga: PpsAM-UKSW, 2004), Tidak diterbitkan.

Page 64: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

192 Religiositas Ambon-Kristen …

fenomena ini adalah corak perwatakan orang Ambon-Maluku yang

dianalogikan sebagai “manusia sagu”.132

Adapun corak perwatakan yang mengalami proses

pematangan di tengah realita perubahan sejarah dan konteks

pergulatan hidup, digambarkan oleh Watloly seperti manusia sagu

yang “putih” dengan karakternya yang luhur, jujur, tangguh,

terbuka, unggul dan transparan, tiak munafik, ikhlas, dapat

dipercaya, arif, dan tidak bercela di mata dirinya sendiri, sesama

maupun dunia. Itu sama sekali tidak berarti bahwa “manusia sagu”

tersebut tanpa dosa. Namun diisyaratkan bahwa ia tetap bergumul

dalam kemanusiaannya, tidak dengan cara yang jahat, kotor dan

munafik, melainkan terbuka untuk mengakui kesalahannya,

bertanggung jawab atas perbuatannya, dan sedia melakukan

otokritik. Bagi Watloly, “manusia sagu” tersebut tidak pendendam,

pengkhianat, memiliki etika pengembangan diri.133 Menurutnya,

“manusia sagu yang putih” tersebut kini terasa hilang dan berubah

menjadi manusia berwajah buram penuh kemunafikan, fitnah, dan

krisis identitas. Oleh karena itu, dibutuhkan semangat

pembaharuan diri untuk terus mencari mata rantai yang hilang

dalam tatanan identitas manusia Maluku itu.134

Ketika mencermati kakehan dengan pelbagai ritus dan

prasyaratnya, tampak kuat adanya pembentukan watak warga

dalam sikap militansi-agresif (dalam terminologi lokal: jumawa,

bijiruku, sebagai spiritkapitang), kuatnya mentalitas gengsi dalam

suatu perjuangan harga diri yang berpadu dengan fanatisme

terhadap apa yang diyakini. Spirit kakehan membentuk watak

orang Ambon untuk bukan hanya berani membunuh (mengayau)

orang tetapi bersedia pula untuk mati demi sebuah kehormatan

dan keyakinan.

132 Bandingkan Novistianus Salenussa, Teologi Pohon Sagu (Suatu Upaya Berteologi

Konstekstual Melalui Mitos Terciptanya Manusia dari Pohon Sagu), Tesis (Ambon: Fakultas Teologi, Program Pascasarjana Teologi UKIM,2002), dan Watloly, 244-245.

133 Watloly,Ibid. 134Ibid.

Page 65: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 193

Fenomena perwatakan lainnya dari orang Ambon-Maluku

adalah pada keterikatan pada tatanan adat-budaya, termasuk pada

para tokoh atau pemimpin, khususnya terhadap tokoh pendeta

sebagai tokoh sentral di dalam jemaat. Terkait hal ini, de Jong

dalam penelusurannya menulis,

Betapapun orang Eropa mengecam pengaruh agama tradisional dalam kekristenan Maluku, mutu rendah religiositas penduduk asli dan rendahnya tingkat pendidikan para guru pribumi, namun keterikatan penduduk pada adat-kebiasaan dan pranata yang ada tetap merupakan dasar kehidupan itu, sedangkan guru/penghentar jemaat tetap menjadi tokoh sentral di jemaat.135

Tentunya, sebagai tokoh sentral dan dihormati, pendeta

mendapat tempat penghargaan tersendiri, selain bapa Raja dan

juga para guru, sebagai tokoh-tokoh yang berada dalam lingkup

Tiga Batu Tungku, yakni Pemerintah-Gereja-Sekolah (Pendidikan).

IV.2.5. Penelusuran Pengaruh Agama dan Kebudayaan lain

(Pendatang)

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa orang Ambon

tidaklah berada di ruang hampa bebas pengaruh. Dari latar

pengaruh keagamaan “modern” misalnya, telah diakui bahwa

semenjak abad ke-2 sebelum Masehi, agama Budha dan Hindu

telah ikut memengaruhi wilayah nusantara, melalui hadirnya

orang-orang India. Selanjutnya, Budha dan Hindu ini berkembang

pesat di abad ke-7 (pada masa kerajaan Sriwijaya) sampai pada

akhir abad ke-15 (masa kejayaan kerajaan Majapahit).136 Lebih

135 Chr. G.F. de Jong, Sumber-Sumber...., 10. 136 M.D.Poesponegoro,cs., Sejarah Nasional Indonesia I (Jakarta: Balai

Pustaka,1990),8,22 dalam M.Tapilatu, Sejarah Gereja Protestan Maluku...,10. Menurut penuturan bapa Ateng Huwa’a, salah satu indikasi pengaruh kekuasaan Majapahit adalah melalui tanaman majan, nama latinnya Aegle marmelos, atau di Ambon, Maluku dikenal dengan sebutan pohon Kalabasa. Sebab dari legenda tentang buah Majanyang pahit, muncullah nama Majapahit. Kini, legenda asal-muasal nama Majapahit dari buah Maja yang Pahit, dapat dijumpai cukup banyak dari sumber internet. Dalam pengamatan penulis, memang jenis pohon ini cukup banyak terdapat di Soya. Lihat Lampiran 7, Foto 7c.

Page 66: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

194 Religiositas Ambon-Kristen …

jauh pula, Bartels sendiri secara khusus mengkonstatir tentang

fenomena sinkretisme religius, yang menurutnya terbagi dalam

dua periode, yaitu: (1) periode ketika agama-agama dunia

dipribumisasikan (yakni melalui kehadiran dari Hindu, Islam dan

Kristen di Maluku), dan (2) periode ketika sistem kepercayaan

tradisional mengalami proses Kristenisasi dan Islamisasi.137

Selain Budha dan Hindu, agama Islam pun turut

berpengaruh, ketika pada bad ke-7, para saudagar muslim juga

memasuki wilayah Nusantara. Terlebih lagi ketika kerajaan

Sriwijaya (pada akhir abad ke-13) dan Majapahit (pada tahun

1500) mengalami fase kemunduran, maka dominasi Islam di aspek

agama dan perdagangan menampakkan pengaruhnya. Bahkan,

semenjak abad ke-14, agama Islam telah merambah wilayah

Maluku Utara melalui jalur perdagangan dan perkawinan.138

Menurut Yamin, sampai dengan parohan pertama abad ke-16,

Islam telah berkembang di wilayah Sumatera, sebagian besar Jawa,

Sulawesi (khususnya bagian Selatan dan Gorontalo), Nusa

Tenggara Barat (Lombok dan Sumbawa), dan Maluku (sebagian

Maluku Utara dan sebagian Maluku Tengah).139

Realitas sejarah tak dapat memungkiri bahwa kota Ambon

(termasuk negeri Soya sebagai bagian daripadanya), sejak dulu

memang telah menjadi pusat kebudayaan masyarakat Ambon.

Namun dalam perkembangan sosial-politik-ekonomi di kemudian

hari ~sebagaimana dengan merujuk pada penelusuran Knaap,

Souisa dalam disertasinya mengkonstatir bahwa~, (Kota) Ambon

“...telah menjadi kota para migran oleh keperluan dagang dan

kolonialisme, dan kota tempat pendidikan Barat diterapkan.”140

Beberapa pengaruh kedatangan “orang luar” terlihat pula

pada beberapa istilah dan bahasa, yang antara lain dapat

dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut:Pertama,

137 Bartels, Di Bawah Naungan....,376. 138 Tapilatu, Ibid,11. 139 M.Yamin, Atlas Sejarah (Djakarta: Djambatan,1956),15, dalam Tapilatu,Ibid. 140 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita – Nilai dan Maknanya..., 111, merujuk pada

Gerit Knaap, “ A City pf Migrants: Kota Ambon at the End of Seventeenth Century, INDONESIA, No.51, April 1991: 105-128.

Page 67: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 195

Pengaruh Kolonial. Misalnya pengaruh Portugis dalam beberapa

kata seperti: mancado (kapak), kadera (kursi), canela (sandal).

Sebutan untuk ayah = pai, ibu = mai;sebutan terhadap perilaku

seseorang: laipose (penggoda), cakadidi (terlalu bergerak, tidak

tinggal diam), galojo (rakus). Sebutan untuk peran tertentu:

kapitang(kapten, komandan), marinyo (kurir).141Kedua, Pengaruh

bahasa Austronesia142.Misalnya terindikasi pada kata Telu untuk

nama dari sub negeri Soya di waktu dulu yakni Amantelu, yang

artinya Kampung Tiga (Aman = Kampung; Telu = Tiga). Istilah

Siwalima, kata Siwa = Sembilan, dan Lima = Lima. Ungkapan atau

kata somba (sembah) yang kerap digunakan dalam sapaan

maupun kapata, seperti yang berlangsung pada rangkaian cuci

negeri Soya, misalnya: Somba malam bae Upu Latu Selemau

(Sembah malam baik, bapa raja Sirimau); Somba malam bae, bapa

Pesi Mara Eli (Sembah malam baik, bapa Pesi Mara Eli), dan

sebagainya, sesungguhnya memberikan makna pembahasaan yang

memiliki kandungan makna yang khas dan mendalam, yang

berbeda dengan pengertian denotatif maupun konotatif dalam

bahasa Indonesia atau melayu. Karena makna dari kata somba

tersebut bukanlah menunjuk pada penyembahan terhadap

seorang raja sama seperti menyembah berhala. Melainkan justru

menunjuk pada makna penghormatan yang tulus dan mendalam

dari rakyat terhadap pemimpinnya.Demikian halnya dengan

pengertian kata Malam Bae. Kata tersebut telah memiliki

kandungan makna filosofi kultural orang Ambon tentang ketiadaan

rasa takut atau kuatir terhadap kegelapan, karena sesungguhnya

telah hadir kebaikan (bae). Oleh karena itu, pada hakikatnya di

masyarakat asli Ambon tidak ada ucapan salam pagi bae atau siang

bae. Selalu yang diucapkan adalah malam bae, kendatipun waktu

pengucapan tersebut berlangsung bukan pada malam

141 Bartels, Di Bawah Naungan...,578. 142 Menurut Prof. T. Simanjuntak, banyak istilah di wilayah Timur Indonesia yang

memiliki kemiripan dengan rumpun bahasa Austronesia, seperti yang terdapat pula di kawasan Filiphina.

Page 68: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

196 Religiositas Ambon-Kristen …

hari.143Fenomena tersebut penulis jumpai dalam ucapan salam

yang dipergunakan pada saat berlangsungnya CN Soya maupun di

Hukurila, yakni: “Somba Malam Bae Upulatu...”. Ketiga, Pengaruh

budaya nusantara. Contoh penggunaan “payung raja” yang

ditampilkan di depan rumah raja pada saat berlangsungnya CN

Soya, memperlihatkan pengaruh budaya raja-raja keraton Jawa

yang turut merasuki budaya Soya.

Keterangan Foto:

Penulis berdiri dengan contoh Payung

Keraton Jawa yang turut memengaruhi

Soya. Payung tersebut dipajang di

depan teras rumah raja Soya, setiap

momentum pelaksanaan ritual Cuci

Negeri Soya. Setelah itu akan disimpan

di rumah raja.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Selanjutnya, contoh Pengaruh Agama (Kekristenan) dan

Politik dalam Tatanan Ritual CN Soya, terlihat sebagai berikut:

Pertama, Praktik dan mekanisme pelaksanaan Rapat Saniri

Besar menyebutkan antara lain:144

“....Menurut raja, kepala soa adat dan para pemuka adat (tua-tua adat) bahwa pada zaman dahulu penyelenggaraan Rapat Saniri Besar, biasanya berlangsung di baileu Samurele dan dipimpin langsung oleh raja tanpa dibantu oleh sekretaris I dan II, sebab pada zaman itu terdapat ‘juru tulis’ yang bertugas mencatat semua pembicaraan yang

143 Herlina Tomasoa, Gayda Bachmid, Salea-Warouw, Ungkapan Bermakna Budaya

pada Upacara Adat Cuci Negeri Soya di Kota Ambon (Menado: Universitas Sam Ratulangie), Tanpa tahun dan halaman.

144 Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa....,Tesis,130.

Page 69: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 197

berlangsung tersebut. Selain itu, tidak terdapat ....Doa Pembukaan ... dan ...Doa Penutup yang dipimpin oleh Pendeta dalam agenda tersebut. Penambahan sekretaris I dan II untuk membantu raja memimpin Rapat....merupakan pengaruh dari kebudayaan barat, khususnya kebudayaan Belanda (tahun 1605-1945) dalam menerapkan struktur pemerintahan negeri berdasarkan sistem pemerintahan modern, sedangkan penambahan klosul Doa oleh Pendeta merupakan pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh para misionaris Portugis (tahun 1534-1605) dan para pekabar Injil Belanda (tahun 1605-1935).”

Kedua, Pengucapan Salam Pembuka oleh bapa Raja saat

membuka Rapat Saniri Besar dengan ucapan “Selamat Siang.... dan

Syalom” menunjuk tentang penggunaan bahasa dan pengaruh

kontemporer. Penggunaan “Selamat Siang” jelas menunjukkan

pengaruh bahasa Indonesia. Sedangkan untuk penggunaan sapaan

“Syalom” mengindikasikan suatu penyesuaian kontemporer

terhadap sapaan di kalangan masyarakat Kristen, sebagaimana

yang kurang lebih dalam satu dasarwarsa terakhir (sekitar mulai

tahun 90-an) sapaan tersebut mulai populer dipakai di kalangan

Kristen.145

Terkait dengan pengaruh bahasa dari kebudayaan lainnya,

Bartels merilis bahwa penggunaan bahasa versi Melayu-Ambon

atau Maluku pertama-tama direkam oleh Antonio Pigafetta. Di

Maluku Tengah sendiri, sejumlah bahasa asli yang disebut sebagai

“bahasa tana” masih dipergunakan secara dominan di wilayah

perkampungan muslim. Sedangkan di wilayah Kristen, bahasa

tanatersebut sudah punah akibat kebijakan pemerintah kolonial

Belanda, yang melarang penggunaannya dan menuntut orang-

orang untuk menggunakan bahasa Melayu-ambon.146

145 Seingat penulis, sapaan “syalom” tersebut awal-mulanya lebih khas digunakan

dalam lingkup komunitas organisasi GMKI. 146 Bartels, Di Bawah Naungan....,16-17.

Page 70: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

198 Religiositas Ambon-Kristen …

Pengaruh agama dan kebudayaan lainnya terlihat pula

pada pengaruh kerajaan Malaka, sebagaimana disinyalir oleh

Andaya, bahwa dampak dari besarnya pamor dari kekuasaan

Malaka pada awal abad XV dan XVI, maka banyak kerajaan,

termasuk di Maluku, yang turut mengadopsi beberapa adat

istiadat, pakaian dan bahasa dari kerajaan Malaka, dalam hal ini

bahasa Melayu.147

Dengan mengadopsi istilah yang digunakan oleh Hildred

Geertz dalam tulisannya tentang “Indonesian Cultures and

Communities”, Bartels menyimpulkan bahwa, “inti budaya Ambon

berasal dari budaya Alifuru tapi kemudian bercampur-baur dengan

konsep budaya dan kepercayaan orang Melanesia, Hindu-Jawa dan

Bali, Ternate, Tionghoa, Arab, Portugis, Belanda, dan ~yang kini

berlangsung~ Amerika, yang juga tercermin dalam dialek Melayu-

ambon dari bahasa Indonesia. Percampuran ini telah menghasilkan

budaya yang sangat majemuk, yang dapat diklasifikasi sebagai

kreol Maluku.”148

Termasuk dalam fenomena kreol Maluku ini adalah suatu

proses percampuran yang dipengaruhi pula melalui jalur

amalgamasi budaya, yang lahir dari perkawinan campur.149 Dalam

konteks Soya, bukti amalgamasi tersebut terlihat melalui fakta

sejarah perkawinan salah satu raja Soya dengan putri keturunan

majapahit, yang bernama Dewi Gusti Ayu Putu Sarini Nyi Sia,

sehingga memungkinkan disandingnya gelar bagi raja Soya

147 Andaya, Dunia Maluku....,43. 148 Bartels, Di Bawah Naungan....,36. 149 Pengertian amalgamasi secara sosiologis adalah suatu proses sosial yang

meleburkan berbagai kelompok budaya yang ada di suatu wilayah yang sama menjadi satu kesatuan, yang pada akhirnya akan memunculkan sesuatu yang baru namun tidak meninggalkan budaya dasarnya/budaya awal yang dianut oleh masing-masing kelompok yang berbeda tersebut. Amalgamasi juga merupakan salah satu solusi untuk menghilangkan berbagai pertentangan dan perselisihan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Secara umum, dalam konteks sosiologis, istilah amalgamasi ini menunjuk kepada perkawinan campuran antar etnik dan ras yang berbeda. Istilah amalgamasi digunakan di Inggris pada abad ke-20 dan di Amerika Serikat mulai berlaku digunakan pada tahun 1863 dengan sebutan lain, yaitu perkawinan campuran antar etnis kulit hitam dan kulit putih, terutama dari kaum Afrika dan Amerika. (Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2006). Sumber: https://pengertianmenurutparaahli.org/pengertian-amalgamasi-dalam-sosiologi/ Diunduh 1 Desember 2018.

Page 71: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 199

pertama, Latu Selemau, dengan sebutan yang cukup panjang:

Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit, Raden Sultan Prabu

Piring Mojopahit, Nusa Piring Pahlawan, Piring Pekanusa.

Terkait dengan pengaruh budaya luar terhadap ritual CN

Soya tersebut, hal yang patut dikemukakan bahwa dari

penelusuran yang dilakukan, ditemukan bahwa fenomena cuci

negeri itu sendiri, sesungguhnya bukanlah suatu ritual yang

berakar dari tradisi Soya, atau bahkan dari Ambon-Maluku pada

umumnya. Tapilatu dalam riset disertasinya tentang sejarah GPM

pun mengakui bahwa ternyata fenomena tersebut datang dari

pengaruh Hindu-Buddha yang melalui kerajaan Sriwijaya dan

Majapahit menancapkan pengaruh kulturalnya yang tak dapat

diabaikan. Mengutip informasi dari Hadiwijono, Tapilatu merilis

demikian:

Di beberapa tempat, kehadiran agama Buddha dan Hindu dalam kenyataan, tidak mendesak malahan sebaliknya memperkaya agama asli (di Tapanuli dan Maluku) atau bercampur dengannya (di Jawa). Upacara “cuci negeri” kemungkinan sekali mempunyai kaitan dengan upacara “bersih desa” yang dipraktekerangkan di Jawa, paling tidak dalam hal tujuannya, yakni untuk pemujaan bagi para dewa.150

Apa yang dikemukakan oleh Tapilatu ini, tampaknya

sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Geertz, ketika melihat

fenomena ritual slametan Bersih Desa dalam rentetetan kegiatan

sosial tahunan. 151 Geertz melihat bahwa Slametan Bersih Desa

berhubungan dengan pengudusan perhubungan dalam ruang,

dengan merayakan dan memberikan batas-batas kepada salah satu

dasar kesatuan teritorial struktur sosial orang Jawa, desa. Apa

yang ingin dibersihkan dari desa itu tentu saja adalah roh-roh yang

berbahaya. Ini dilakukan dengan mengadakan slametan, di mana

150 Tapilatu, Sejarah Gereja...,10. 151 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka

Jaya, 1981),110-111.

Page 72: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

200 Religiositas Ambon-Kristen …

hidangan dipersembahkan kepada danyang desa (roh penjaga

desa) di tempat pemakamannya. Di desa yang kuat santrinya,

slametan bersih desa itu bisa berlangsung di mesjid dan seluruhnya

terdiri dari para pembaca doa Muslimin.

Terkait dengan ritual tersebut, maka simbol air yang

digunakan memiliki relevansi, ketika dipandang sebagai sesuatu

yang dapat memiliki kekuatan gaib (magi), dijadikan air suci (toya

tirta), dapat berguna untuk menyembuhkan penyakit serta

membebaskan orang dari maut. Dari latar ini pula dapat

dimaklumi konstatasi dari Hadiwijono bahwa: “Kebudayaan

campuran Hindu/Buddha dengan kepercayaan asli itu sudah

menguasai pemikiran orang sedemikian mendalam, hingga

sekalipun agama Hindu/Buddha sudah lama secara resmi

meninggalkan bumi Indonesia, namun kebudayaan itu belum

musnah. Bermacam-macam upacara serta adat kebiasaan (bersih

desa, menanamkan kepala kerbau, dsb), masih terdapat di tengah-

tengah masyarakat.” 152

Dalam komunikasi penulis dengan Bartels melalui email,

terkait dengan upaya menelusuri asal-muasal dari ritual CN baik di

Soya maupun di pulau Seram (Nunusaku), penulis mendapatkan

jawaban dari Bartels, yang dapat diringkaskan sebagai berikut:153

Dear Ferry, ....At any rate, to be honest, I never spent any thoughts on the origin of cuci negeri since usually tracing such rituals are very difficult if not impossible.

I tend to agree that cuci negeri doesn't originate as part of Nunusaku religion in West Seram. If this would be the case, one would expect that it is still practiced in the interior of Seram (in which I never have done fieldwork and thus don't know if the custom exists there) and also in many more villages

152 Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989),

134. 153Dieter Baetels dari [email protected]. Diunduh pada tanggal 10 Oct 2018, 8:18

AM

Page 73: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 201

in coastal Seram and on Ambon-Lease would follow this tradition.

Cuci negeri seems to be concentrated only in a few villages on Leitimor. This area had indeed fallen under Hindu (Majapahit) influence. However, it is not performed in Nusaniwe, arguably the most powerful Hindu "kingdom" on Leitimor....

I suspect, if there is a plausible answer, it is hidden in the history of Soya itself. Perhaps it was brought by one of the clans that moved to Soya from somewhere where exorcism of evil spirits was practiced. Sorry, that I can't be of more help and hope that my thoughts at least stimulate you to search in other directions as well....Salam hangat,Om Prof.

Dari respons Bartels, menjadi jelas pula bahwa ritual CN

Soya tidaklah luput dari pengaruh agama dan budaya luar.

Penelusuran lainnya yang dilakukan oleh Lopuhaa, pun

memperlihatkan fenomena yang sama. Bahkan ketika menelusuri

asal-muasal Cuci Negeri dengan melakukan perbandingan antara

yang berlangsung di Hukurila dan beberapa desa lainnya di Jawa,

Lopuhaa cenderung pada kesimpulan bahwa ritual Cuci Negeri

yang berlangsung itu merupakan genus yang umum, yang

bermuara pada sifat dan kepentingan pelestarian dan

keseimbangan alam bagi kehidupan generasi selanjutnya.154

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat dirumuskan

tentang penelusuran diferensiasi dari ritual CN Soya dalam

kaitannya dengan unsur-unsur agama dan budaya luar yang

memengaruhinya adalah, bahwa ritual CN Soya pada hakikatnya

memiliki kandungan lapisan religiositas yang mengakar pada

agama asli, yakni “agama Nunusaku” pada satu pihak, namun pada

pihak lainnya, ia mengalami pula proses sentuhan pengaruh dari

luar, sebagai akibat dari perjumpaan Ambon-Maluku dengan

154 Agustinus O. Lopuhaa, Cuci Negeri, Interpretasi Agama Suku dan Agama Kristen

dalam Upacara Cuci Negeri di Hukurila, Tesis (Ambon: Program Pascasarjana Teologi Agama dan Kebudayaan UKIM,2012),55-57.

Page 74: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

202 Religiositas Ambon-Kristen …

agama dan peradaban pendatang dari luar, baik dari dalam

wilayah Nusantara maupun dari luar Nusantara, antara lain seperti

dari Hindu, Islam, Katolik dan Protestan.

IV.2.5. Penelusuran Pengaruh Politik dan Modernisasi

Tak dapat dipungkiri, bahwa zit im leben (konteks

kehidupan) keagamaan di Maluku semenjak abad XVI,

sebagaimana yang dikonstatir oleh Andaya, lebih dipengaruhi oleh

gejolak politik dan ekonomi daripada gejolak agama itu sendiri.155

Sebagaimana dalam paparan pada Bab III telah diulas tentang

perjumpaan Injil dengan Adat-Budaya setempat di Ambon-Maluku,

maka sesungguhnya tak dapat disangkali tentang fenomena

pengaruh kekuasaan politik terhadap pelbagai ritual adati,

termasuk CN Soya itu sendiri.

Keterangan Foto:

Salah satu contoh jejak pengaruh pertautan agama dan kekuasaan

(politik) yang berdampak pada penataan ruang liturgis (tata-ruang

ibadah), sebagaimana terlihat dengan adanya tempat duduk

khusus (lazim disebut khas raja) bagi raja negeri Soya dan

keluarganya, sebagaimana yang terdapat di gereja tua Soya.

Fenomena ini sudah tidak diberlakukan di gedung gereja lainnya

155Ibid,197,202-203.

Page 75: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 203

(yang baru dibangun) di akhir abad 20, yakni gereja Lazarus

ataupun gereja Betfage yang terletak di Kayuputih Soya.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Hampir dapat dipastikan bahwa pengaruh kekuasaan

politik “orang luar” (baca: Kolonial) terhadap “orang dalam”

(orang Soya-Ambon) begitu dominan memengaruhi pula respons

“orang dalam” terhadap keagamaan yang “ditawarkan” oleh “orang

luar”. Pengaruh ancaman dari kekuasaan kerajaan Islam di Hitu,

turut menyebabkan beberapa negeri di wilayah Leitimor

(termasuk kerajaan Soya) seakan “mengharapkan” perlindungan

dari pihak kolonial, yang notabene menganut kepercayaan kristen.

Selain itu pula, kebanggaan menyandang status “pangkat” Serani

(agama Kristen) seakan pula melatari dorongan untuk memiliki

status sosial yang lebih terpandang. Latar politis ini pula yang

turut membantu kita memahami bahwa sekalipun adat dan

kepercayaan tradisional beserta pelbagai simbolnya mendapatkan

upaya pemberangusan dan resistensi yang keras dari para kolonial

(melalui para zendeling atau misionarisnya), namun warga Ambon

tetap bersikukuh untuk memeluk agama Kristen.156

156 Bandingkan Pieter Tanamal, Bentuk dan Latar Belakang Keagamaan di Maluku

(Belanda, Vucht: Badan Pengurus Angkatan Muda GPM di Belanda,1968), 26-27.

Page 76: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

204 Religiositas Ambon-Kristen …

Keterangan Foto: Contoh pengaruh kekuasaan politik kolonial terhadap

kepemimpinan pribumi, sebagaimana terlihat pada penampilan

busana para raja di negeri-negeri Ambon, termasuk Soya pada

masa kolonial. Penulis belum berhasil memperoleh data yang pasti

tentang figur, tempat dan tahun pengambilan gambar. Namun

sumber foto diambil dari situs khusus warga Soya: Sumber:

http://soya.desa.id/profil/sejarah/diunduh 17 Maret 2018

Dalam konteks era kedaulatan Indonesia, maka CN Soya

pun tak dapat mengelakkan diri dari kemampuan untuk

beradaptasi dengan realita politik dan pembangunan bangsa.

Simbol-simbol penggunaan bendera merah-putih yang bersanding

dengan bendera tana dalam ritual CN Soya, sudah menjadi indikasi

kuat tentang proses dan sekaligus strategi survival dalam rangka

mengadaptasikan tatanan budaya pada satu pihak dan pada pihak

lainnya tentang upaya untuk merawat dan melestarikan warisan

adat-budaya negeri melalui ritual CN tersebut, sebagai suatu

identitas religius kultural orang Soya-Kristen.

Upaya pengadaptasian budaya ini, kian menguat meronai

orang Ambon, sebagaimana yang dikonstatir oleh Soselisa dan

Sihasale,

Pasca konflik Maluku, orang Ambon dan kota Ambon berusaha sekuat tenaga memulihkan dan mengejar ketertinggalan, baik dalam pembangunan infrastruktur maupun pembangunan ekonomi dan sosial budaya. Perkembangan teknologi komunikasi dan arus informasi dari luar Maluku yang mengalir dengan cepat memposisikan orang Ambon secara “update” sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia.157

157 Hermien L. Soselisa dan Wellem R. Sihasale, “Orang Ambon, Nasionalisme dan

Piala Dunia – Kajian tentang Karakter Budaya dan Pemosisian Orang Ambon dalam Ruang Nasional dan Global”, dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas...,671.

Page 77: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

Ritual Cuci Negeri Soya … 205

Keputusan (politik) pemerintah RI pada tanggal 20 Oktober

2015, melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang

memberikan keputusan monumental dengan menetapkan ritual

adatiCuci Negeri Soya sebagai salah satu Warisan Budaya Tak

Benda di Maluku dan Indonesia, telah menjadi cukup bukti untuk

menempatkan sebuah fenomena baru, bahwa ritual CN Soya

tersebut, telah memasuki sebuah arena baru, yang tidak semata

lagi harus dilihat dalam bingkai kultural-adati murni, melainkan

~suka atau tidak suka, siap atau tidak siap~ ritual CN Soya akan

selalu tampil di panggung hibriditas yang baru, yang merajut

wajah dan perlakuan ritual CN Soya dalam kepentingan dan

~bukan tidak mungkin~ persaingan dinamika politik, budaya,

agama, ekonomi, dan modernisasi. secara berkelindan.

Dalam pengamatan penulis, fenomena modernisasi dan

pembangunan kontemporer saat ini, turut berpengaruh terhadap

penghayatan religiositas orang Soya Kristen dalam melakukan

ritual CN. Selain banyak warga yang turut mengikuti jalannya

ritual dengan khusuk, namun ada pula yang menjalaninya seperti

sedang menyaksikan sebuah “tontonan pertunjukan” wisata religi-

budaya semata. Sehingga tidak jarang dijumpai, bersamaan dengan

berjalannya ritual CN, para warga lebih memilih untuk merekam

(dengan menggunakan kamera handphone atau peralatan foto

elektronik lainnya) ritual CN tersebut pada tempat dan moment-

moment tertentu, ketimbang menjalani ritual dengan penuh

penghayatan. Kendati demikian, pada sisi lainnya, penulis

mendapatkan informasi bahwa, penggunaan fasilitas teknologi

modern, sama sekali tidak diijinkan berada pada lokasi matawana

para pemuda di areal Tempayan, di puncak gunung Sirimau.

Menurut informan yang ikut terlibat (bapa Morits Huwa’a),

memang momentum tersebut dipandang sakral, sehingga tidak

ada yang diijinkan membawa peralatan elektronik seperti

handphone.Suatu diferensiasi religius yang survive tetapi sekaligus

adaptif terhadap realita modernisasi yang tak terelakkan.[]

Page 78: BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW

206 Religiositas Ambon-Kristen …