BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW
Transcript of BAB IV RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN ... - UKSW
129
BAB IV
RITUAL CUCI NEGERI SOYA DAN PENELUSURAN
DIFERENSIASINYA
Pada bagian ini, penulis akan melakukan pemaparan
khusus terhadap ritual Cuci Negeri Soya, khususnya yang berkaitan
dengan asal-muasalnya, waktu dan tempat pelaksanaannya,
petugas dan partisipannya, simbol-simbol yang dipergunakan,
serta tahapan pelaksanaannya. Selanjutnya, diikuti dengan upaya
penelusuran terhadap historis “manusia Soya”, sistim kepercayaan
dan tatanan adatisnya, corak simbol dan performansinya, filosofi
kultural dan perwatakannya, pengaruh agama dan kebudayaan
lain (pendatang), serta pengaruh politik dan modernisasi.
IV.1. Ritual Cuci Negeri Soya
Adapun paparan tentang Ritual Cuci Negeri Soya ini akan
diperikan dengan: (1) Ulasan sekilas mengenai asal-usul
pelaksanaannya; (2) Waktu dan tempat pelaksanaannya; (3) Para
petugas dan partisipan, atau siapa-siapa saja yang terlibat dalam
ritual tersebut; (4) Perlengkapan dan simbol apa saja yang
digunakan; serta (5) Alur tahapan ritual Cuci Negeri dengan
ketentuan adatinya.
IV.1.1. Sekilas Awal-Mulanya
Ritual Cuci Negeri yang telah memiliki formasi acara dalam
bentuk kontemporer saat ini, sesungguhnya memiliki latar kisah
asali yang memiliki keterkaitan dengan mitos Naga yang dikenal
dan ceritanya diwariskan turun-temurun dari orangtatua Soya
kepada keturunannya. Secara ringkas diceritakan1 antara lain,
“....Waktu dahulu itu, acara CN dibuat selama 5 (lima) hari, dan selalu berlangsung pada musim
1 Data tentang cerita mitos Naga ini kembali diceritakan dengan dialek Ambon oleh
Kepala soa adat, opa Huwa’a kepada penulis pada tanggal 7 Desember 2017, dan telah penulis olah dalam bahasa baku Indonesia.
130 Religiositas Ambon-Kristen …
Barat, karena dipercaya bahwa para leluhur itu datang bersama dengan angin pada musim Barat. Semuanya ini punya keterkaitan dengan kisah yang orangtatua selalu ceritakan. Yaitu, pada malam hari menjelang hari pertama pelaksanaan CN berkumpullah seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Upu Nee bersama sejumlah anak-anak muda di Samarole. Semua personil menggunakan busana cawat (cidaku) dengan muka yang dilaburi arang hitam. Pada saat-saat seperti itu, para wanita di negeri tidak ada yang keluar. Semuanya berdiam di dalam rumah. Selanjutnya, Upu Nee dengan para pemuda itu bergerak menuju ke gunung Sirimau, ke lokasi yang menjadi tempat bersemayam Upulatu Selemau dengan pendamping atau penjaganya seekor ular Naga. Dalam perjalanan itu, Upu Nee lebih dulu berjalan di depan supaya dapat memberitahukan ~dan sekaligus memohon ijin~ kepada Upulatu, bahwarombongan anak negeri (para pemuda) yang berasal dari rumahtau-rumah tau keturunan Soya, sedang datang. Setelah “mendapat restu”, Upu Nee dan rombongan masuk ke lokasi dan memberikan arahan kepada rombongan untuk mengambil posisi duduk sambil membelakangi satu daripada yang lainnya. Menjelang tengah malam, datanglah Naga yang akan menelan para pemuda tersebut dan menyimpan mereka selama 5 (lima) hari di dalam perutnya. Barulah pada hari yang kelima, si Naga memuntahkan para pemuda tersebut. Selanjutnya, kepada setiap pemuda tersebut diberikan tanda seperti tatoo yang berupa lukisan berbentuk segitiga pada dahi, dada, dan perut mereka. Sementara proses yang berlangsung di gunung Sirimau dengan rombongan itu, di negeri sendiri, khususnya di baileo Samasuru (baileonya negeri Soya), berlangsung akta pembersihan baileo, sekaligus persiapan untuk menyambut rombongan yang turun dari gunung Sirimau. Dan ketika rombongan dari gunung Sirimau tiba, lantunan nyanyian adat berupa kapata dan suhat dengan iringan tifa-gong ditampilkan sebagai ekspresi sukacita menyambut rombongan dari gunung Sirimau tersebut.
Ritual Cuci Negeri Soya … 131
Kemudian Upulatu (raja) mengambil posisi di tempat duduknya (disebut Peterana) dari berbicara dari tempat itu (disebut Batustori Peterana) sambil mengangkat mukanya ke arah gunung Sirimau, ia pun menyampaikan pasawari adat yang intinya antara lain, menuturkan karya dan peranan para datuk dalam sejarah perjuangan dan kepahlawanan mereka bagi negeri Soya; permohonan kepada sang Ilahi dan para datuk untuk menjaga Soya dari bahaya, kesusahan, penyakit pada satu pihak dan pada lain pihak ia pun meminta berkat bagi negeri Soya dan seluruh warganya. Seusai Upulatu mengucapkan pasawari adat tersebut, berdirilah semua yang hadir di tempat itu, lalu dua orang wanita (mata ina) yang tertua dan berasal dari soa Pera, maju mengambil posisi di depan untuk dililitkan sebuah pita warna putih2 oleh Upulatu.”
Dalam perkembangan kemudian, ritual awal Cuci Negeri ini
lalu mengalami penyesuaian dan sejumlah modifikasinya sesuai
dengan situasi kontemporer3, sebagaimana yang akan diulas pada
paparan tentang alur tahapan Cuci Negeri Soya secara lebih detail.
IV.1.2. Waktu (Tanoar) dan Tempat Pelaksanaannya
Adapun pemilihan waktu dan tempat pelaksanaan Cuci
Negeri bukanlah tanpa alasan dan latar belakang kepercayaan
adati dan pelbagai pertimbangan lainnya yang turut memengaruhi
dan bahkan memberikan pemaknaan yang baru terhadap pilihan
waktu dan tempat itu sendiri.
Sebagai suatu pertimbangan yang diwarisankan dari
leluhur dalam pemilihan waktu yang tepat dan baik, yang disebut
dengan istilah “tanoar” atau “kotika”4, maka penetapan waktu
2 Dalam perkembangan kemudian, pita berwarna putih ini digantikan dengan Kain
gandong panjang berwarna putih pula. Kendati simbol yang digunakan telah berbeda, namun inti maknanya tetap sama, yakni simbol yang menandai sebuah persatuan dan kesatuan di antara sesama orang basudara di negeri Soya sebagai suatu persekutuan adat.
3 John L. Rehatta, Negeri ...,9-10. 4 Dimaknai pula sebagai hari bae, hari yang baik.
132 Religiositas Ambon-Kristen …
pelaksanaan Cuci Negeri akan berlangsung setahun sekali dan
selalu jatuh pada minggu pertama dan kedua bulan Desember
pada setiap tahun berjalan. Penentuan waktu ini dipengaruhi oleh
pandangan kepercayaan adati bahwa momentum datangnya
musim (angin) Barat ~yang berawal dari bulan Desember hingga
bulan Maret~ merupakan momentum kehadiran dari para leluhur,
yang menjadi prasyarat utama pelaksanaan Cuci Negeri. Sebab
disadari bahwa Cuci Negeri tidak mungkin dapat dilakukan tanpa
kehadiran dari para leluhur.
Berbeda dengan pelaksanaan waktu Cuci Negeri di negeri
tetangga Soya, yakni Naku dan Hukurila yang telah menetapkan
tanggal tertentu sebagai ketentuan baku pelaksanaan Cuci Negeri
(Lihat Lampiran tentang Perbandingan CN Soya, Naku dan
Hukurila), maka waktu Cuci Negeri Soya lebih merujuk pada
penetapan “hari” pelaksanaan. Dan terkait dengan penentuan
“hari” tersebut, hari Jumat diyakini sebagai “kotika” atau hari bae
(hari yang baik).5 Dengan kesadaran “waktu atau kotika” tersebut
maka, Cuci Negeri akan diatur tahapan awalnya pada hari Rabu
Minggu II bulan Desember (tahap Pica Negeri), berlanjut dengan
hari Kamis besoknya sebagai hari ke gunung Sirimau (rombongan
khusus yang “bermeditasi” atau matawana), dan memuncak pada
hari Jumat dengan seluruh rangkaian tahapan yang bersifat
serimonial adati. Untuk tahapan waktu selanjutnya dapat dilihat
pada paparan khusus tentang alur tahapan pelaksanaan Cuci
Negeri.
Terkait dengan tempat pelaksanaannya, tentu bila disimak
pelaksanaan mula-mula dari ritual Cuci Negeri yang dilakukan oleh
para pendahulu atau leluhur Soya, sebagaimana telah
5 Selain hari Jumat, hari “keramat” lainnya dalam pandangan masyarakat adati
(khususnya sebelum masuk kekristenan) di Soya maupun Ambon dan Seram pada umumnya adalah hari Selasa. Dan kedua waktu tersebut (Selasa dan Jumat) dianggap sebagai waktu kehadiran dari arwah para leluhur. Bandingkan, Cooley yang mengkonstatir fenomena “waktu” tersebut dengan kalimat, “....inilah fenomena agama suku (sebelum masuknya Kristen), yang meyakini bahwa para leluhur berkeliaran dan kembali ke tempat yang dihuninya dahulu, khususnya berlaku pada hari kelima dan kedua (Jumat dan Selasa) dalam sepekan. Dan biasanya berlangsung di tempat-tempat tertentu seperti di Baileo dan tempat keramat lainnya.” Cooley, Mimbar..., 219.
Ritual Cuci Negeri Soya … 133
dikemukakan pada butir III.1., maka tentunya lokasi pelaksanaan
Cuci Negeri telah mengalami perkembangan dan penyesuaian,
yang antara lain dapat dibedakan sebagai lokasi yang dianggap
keramat dan lokasi yang dianggap tidak terlalu keramat, yakni:
(1) Lokasi yang dianggap keramat:
(a) Baileo Samasuru.
(b) Batu Stori Peterana (batu bicara) di baileo Samasuru.
(c) Batu Pamali di gunung Sirimau.
(d) Situs Air Tempayan di gunung Sirimau.
(e) Batu Pasar (Hatukuil) di gunung Sirimau.
(f) Batu Teung dari masing-masing soa atau rumahtau,
khususnya teung Tunisou (milik Soa Pera) dan teung
Rulimena (milik Soa ).
(g) Sumur (parigi) raja atau Wai Pinang.
(h) Mata Air soa (Werhalouw milik soa Pera dan Unuwei
milik soa ).
(i) Pekuburan.
(j) Rumah raja.
(k) Gedung gereja.
(2) Lokasi yang dianggap tidak terlalu keramat
(a) Pemukiman warga, baik yang asli maupun pendatang.
(b) Lokasi Kantor Negeri (balai pertemuan negeri)
(c) Lokasi Sekolah.
(d) Fasilitas umum (jalan, selokan, jembatan, dll).
IV.1.3. Petugas dan Partisipannya
Berkaitan dengan petugas atau pelaksana dan partisipan
yang turut mengikuti pelaksanaan Cuci Negeri dimaksud, dapat
dikategorisasikan menjadi kelompok khusus dan kelompok umum,
yang terinci sebagai berikut:6
6 Kategorisasi ini dibuat bukan berdasarkan urutan posisi struktural dari seseorang
dengan jabatannya, melainkan lebih mengarah pada tingkat keterlibatan seseorang dalam tahapan-tahapan pelaksanaan CN, yang dipandang signifikan bagi kelancaran berlangsungnya CN tersebut.
134 Religiositas Ambon-Kristen …
(1) Kelompok Khusus
(a) Raja (Upu Latu).
(b) Kepala soa Adat (Mauweng).
(c) Staf Saniri Negeri (sudah termasuk para Kepala Soa,
Kapitang, Malesi (Wakil Kapitang), Kewang
(“polisi”/penjaga hutan), Sekretaris Negeri.
(d) Pendeta
(e) Marinyo
(f) Kelompok Mata Ina (lama dan Baru7).
(g) Pemusik (Peniup tahuri, Penabuh Tifa-Gong, Totobuang)
& Penari adat (Cakalele, Lenso)
(h) Pembawa Kain Gandong
(i) Pelayan makanan (Makan Patita)
(2) Kelompok Umum
(a) Undangan disesuaikan, misalnya pejabat pemerintahan
seperti Walikota, dll.
(b) Unsur pihak Sekolah dan pimpinan organisasi agama
maupun masyarakat yang ada di Soya (Misalnya pihak
majelis jemaat, muhabet, dll).
(c) Marga dalam 2 kelompok Soa masing-masing (baik orang
dalam maupun orang luar).
(d) Basudara gandong (dari negeri Muslim Morela) dan
Basudara Pela (dari negeri Kristen Urimessing).
(e) Pihak kamtibmas (kepolisian).
(f) Masyarakat Umum (yang tidak tergolong dalam
kelompok soa apapun, namun berkeinginan untuk
menyaksikan ritual CN, termasuk para turis asing
maupun domestik).
(g) Para pemusik band dan artis yang diundang untuk
meramaikan Pesta Negeri.
7 Sekelompok wanita dari “luar” yang baru menikah dengan pria dari negeri setempat.
Ritual Cuci Negeri Soya … 135
IV.1.4. Simbol dan Perlengkapannya
Pelaksanaan Cuci Negeri di Soya memiliki ciri khasnya
tersendiri, kendati tentu memiliki beberapa kesamaan juga dengan
yang berlaku di negeri Naku dan Hukurila, dapat dilihat melalui
simbol dan perlengkapan yang dipakai atau diberlakukan selama
kegiatan Cuci Negeri tersebut, yang antara lain sebagai berikut:
1) Seluruh petugas mengenakan busana dan lenso adat atau
asesoris lainnya yang lazim dipakai untuk sebuah acara ritual
adati.
2) Sirih-Pinang, Tembakau (tabaku) Jawa, Kapur makan sirih,
Sebotol Air, Sebotol Sopi, dupa dan kemenyan, belanga.
3) Adanya 3 (tiga) bendera yang terlihat, yakni: (a) Bendera
Merah-Putih, (b) Bendera Negeri Soya, dan (c) Bendera Tana
(Kain Batik bermotif, simbol ular Patola).
4) Tanaman Gadihu(Lihat Lampiran 7, Foto 7d)
5) Sapulidi dan perlengkapan kerja yang disesuaikan.
6) Tombak, Parang & Kuning mai (Kunyit).
7) Tahuri (Kulit Siput/Kerangbesar).
8) Tifa, Gong, dan Totobuang.8
9) Kain Gandong.
10) Makan Patita.
11) Nyanyian Adat (Kapata dan Suhat).
IV.1.5. Alur Tahapan dan Aturannya9
Adapun alur tahapan dan aturan Cuci Negeri Soya dapat
disimpulkan dalam 12 tahapan berikut ini.
Tahap-1 : Rapat Saniri Besar
Sebagai agenda pertama, Cuci Negeri (CN) Soya diawali
dengan Rapat Saniri Besar yang dihadiri oleh seluruh unsur
8 Kalau peralatan musik Tifa-Gong itu telah baku dipakai. Sedangkan untuk
Totobuang, disesuaikan dengan kebutuhan khusus acara. 9 Khusus untuk alur tahapan dan aturan CN ini, penulis susun berdasarkan
rangkuman beberapa rujukan, antara lain: Buku yang ditulis oleh mantan raja Soya: John L. Rehatta, Negeri...., Tesis Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa...., dan hasil riset (keterlibatan langsung) dan wawancara yang penulis lakukan selama pelaksanaan CN tahun 2015 dan 2017.
136 Religiositas Ambon-Kristen …
elemen pimpinan yang ada di Soya, antara lain: elemen Tiga Batu
Tungku (pemerintah negeri, gereja, sekolah), muhabet, organisasi
masyarakat yang ada, serta seluruh warga masyarakat yang ingin
hadir (tidak dibatasi). Rapat Saniri Besar tersebut dipimpin oleh
bapa raja Soya dan staf saniri negeri dan dilaksanakan beberapa
hari sebelum pelaksanaan CN. Adapun tanggal dan hari
pelaksanaannya tidak dibakukan10 (dalam hal ini disesuaikan
dengan keputusan raja bersama saniri negeri).
Penulis berkesempatan mengikuti Rapat Saniri Besar pada
hari Jumat, tanggal 1 Desember 2017 mulai dari jam 11.00 hingga
jam 12.30, bertempat di Ruang Pertemuan Kantor Negeri Soya.
Gambaran detail hasil Rapat tersebut dapat dilihat pada Lampiran
10 (Prosiding Rapat Saniri Besar). Namun bila dicermati secara
umum, maka ada beberapa hal yang patut dikemukakan terkait
dengan proses, suasana dan hasil Rapat tersebut.
Suasana Rapat Saniri Besar secara umum berlangsung
dalam semangat keterbukaan, demokratis dan persaudaraan,
sambil tetap menghormati posisi dan peranan masing-masing
(sebagai pemimpin maupun warga masyarakat), sesuai dengan
tradisi dan ketentuan adati yang berlaku. Pada sisi lainnya, kendati
Rapat tersebut merupakan bagian dari tatanan adati ritual CN,
namun format dan mekanisme jalannya rapat telah diwarnai
dengan pola pengorganisasian rapat-rapat institusi modern.
Penulis pun mencatat bahwa nuansa penyapaan salam,
pengucapan doa buka dan tutup rapat, semuanya berlangsung
dalam nuansa kristiani. Penempatan ketua majelis jemaat GPM
Soya untuk melayani doa pembukaan rapat, telah memperlihatkan
keterjalinan dan kebersamaan relasi kerjasama, sebagaimana yang
lazim dikenal dengan sebutan “Tiga Batu Tungku”, antara
pemerintah negeri, gereja, dan pendidikan (sekolah).
Pada bagian akhir rapat, pimpinan saniri negeri (bapa raja)
mengingatkan agenda pelaksanaan CN secara detail, dalam rangka
memantapkan seluruh persiapan dan pelaksanaan CN itu sendiri.
10 Berbeda seperti yang berlaku di Hukurila dan Naku.
Ritual Cuci Negeri Soya … 137
Pada bagian agenda pembahasan masalah-masalah negeri, baik
yang dikemukakan langsung oleh peserta maupun melalui surat
tertulis yang disampaikan beberapa hari sebelumnya, terlihat
bahwa seluruh tatanan pembahasan dan penyelesaian masalah
ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan daripada upaya
realisasi agenda rapat dalam bingkai pemaknaan CN, yakni
pentingnya pembersihan atau penyelesaian masalah. Artinya,
melalui dialog secara terbuka, jujur dan langsung, terungkap
kuatnya kesan keinginan bersama antara pemimpin (raja) dengan
warganya, dan di antara warga dengan warga senditi. Semua
keterbukaan dan penyelesaian masalah apapun ditempatkan
dalam semangat untuk membangun sikap saling percaya,
menghargai, dan menumbuhkan rasa memiliki negeri dengan
tatanan adatinya.
Tahap-2 : Pica Negeri
Setelah pelaksanaan Rapat Saniri Besar, tahapan
selanjutnya adalah yang dikenal dengan sebutan Pica Negeri atau
disebut juga Pica Baileo, yang waktunya jatuh pada setiap hari
Rabu minggu kedua bulan Desember. Pada pagi hari Rabu itu,
kepala soa dari rumah tau marga Rehatta dan kapitangatau malessi
yang berasal dari rumah tau marga Pesulima berjalan menuju
teung Rulimena dan teung Paisina (milik rumah tau Pesulima)
untuk menyampaikan “tabaos titah” dari raja kepada seluruh
masyarakat Soya, dengan isi titah sebagai berikut:11
Bahasa Tanah (Asli) Terjemahan
Oh...Upu Sapo Hiu
Ama Latu Yisayehu titah heri....
Upu Latu kom Upu Ama Ya
Sai nanoka, oksiwa, utu kehurua
Ingat oras nena, ai masikoa
Saudara-saudara,
Inilah perintah dari bapa raja
Raja kita dan bapa kita
Bahwa pada minggu ini akan
diadakan
11 Likumahwa, Analisa...,132. Untuk padanan terjemahannya, penulis melakukan
adaptasi.
138 Religiositas Ambon-Kristen …
Bahasa Tanah (Asli) Terjemahan
Ku sisi sidiku masing-masing that
kihar
Ingat kubete gereja seperti biasa
Adat yang menyatukan kita
anak-anak negeri
Sebagaimana pesan para
leluhur
Dan janji yang dibuat di gereja
seperti biasa
Usai penyampaian tabaos tersebut, kepala soa adat
menyampaikan pengumuman kepada para pemuda (mongare) dan
pemudi (jojaro) untuk segera membantu mempersiapkan
konsumsi untuk pelaksanaan acara CN, antara lain berupa kayu
bakar dan air yang dikumpulkan di rumah raja. Selanjutnya pada
siang harinya, sekitar jam 15.00, kepala soa adat (dengan
membawa parang sebagai simbol untuk bekerja) beserta isterinya
(yang membawa kuning mai atau kunyit kepala, sebagai simbol
rempah untuk memasak) menuju ke baileo Samasuru (nama untuk
baileo Soya). Selain itu juga dibawa dupa dan kemenyan.
Mengingat tahapan Pica Negeri merupakan tahapan awal
yang penting bagi seluruh rangkaian agenda CN, maka kepala soa
adat sebelum menuju baileo, diwajibkan untuk angka hati (berdoa
dalam hatinya) di depan rumahnya untuk memohon berkat dan
restu Yang Maha Kuasa dan para Leluhur terhadap tahapan Pica
Negeri.
Setelah prosesi angka hati, kepala soa adat berjalan menuju
ke tengah Baileo, lalu meletakkan dupa dan kemenyan. Kemudian
kepala soa adat melakukan akta: membungkukkan badan lalu
memotong rumput yang ada di areal tengah baileo tersebut secara
simbolis sebagai pertanda “pica negeri atau pica baileo, yang
bermakna dimulainya acara CN Soya.
Ritual Cuci Negeri Soya … 139
Ketika melakukan konfirmasi terhadap data12
~sebagaimana yang dikemukakan oleh Likumahwa13~, diakui
bahwa momentum tahapan Pica Negeri merupakan tahapan yang
penting dalam mengawali secara resmi agenda CN tersebut. Sebab
jika terjadi kekeliruan dalam tahapan ini (misalnya penetapan
waktu atau tanoar atau kotika) tidak bersesuaian dengan
ketentuan adati, maka diyakini bahwa rangkaian tahapan
selanjutnya dari CN akan mengalami kendala. Hal itu karena para
leluhur marah dan mendatangkan sanksi seperti: adanya
bahaya/musibah, penyakit, gagal panen, hingga kematian.
Tahap-3 : Pembersihan Negeri
Tahapan ini berlangsung setelah Pica Negeri, yang ditandai
dengan tabuhan tifa oleh kepala soa adat sebagai tanda bahwa
semua warga masyarakat agar keluar dari rumah masing-masing
dengan membawa perlengkapan bakti pembersihan negeri, antara
lain seperti parang, sapulidi, dan lainnya, yang dapat digunakan
untuk pameri atau pembersihan. Beberapa lokasi fasilitas umum
yang dibersihkan, antara lain: halaman (kintal) depan gereja,
rumah raja, pastori, batu stori, batu teung, daerah pekuburan,
sekolah, dan fasilitas umum yang disesuaikan serta jalan umum
maupun jalan khusus yang akan dilalui oleh para pelaku dan
partisipan acara CN.
Dalam tahapan pembersihan negeri ini, sekiranya ada
seorang wanita yang baru menikah dengan seorang pria negeri
Soya, maka wanita tersebut diwajibkan untuk terlibat dalam
kegiatan CN tersebut selaku mata-ina baru; demikianpun
sebaliknya bagi seorang pria yang mengawini seorang wanita Soya
dan berdiam di Soya. Adapun sanksi bagi setiap anggota
masyarakat yang tidak aktif terlibat adalah berupa denda yang
harus dibayarkan kepada pemerintah negeri dan nama-nama yang
12 Penulis melakukan konfirmasi melalui wawancara dengan bapa Thom Tamtelahitu
(kepala Soa Pera) dan Opa Huwaa (kepala soa adat) dalam wawancara tanggal 7 Desember 2017 di Soya.
13 Likumahwa, Analisa...,131-135
140 Religiositas Ambon-Kristen …
bersangkutan akan dibacakan pada saat pelaksanaan acara CN,
ketika berlangsungnya upacara adat CN di baileo.
Pelaksanaan CN inipun berkaitan dengan ketentuan yang
telah diwariskan secara turun-temurun, antara lain yang berkaitan
dengan: (1) Penentuan waktu atau tanoar atau kotika; dan (2)
Pembagian tugas bagi kelompok marga atau rumah tau-rumah tau
tertentu pada tempat-tempat keramat. Misalnya, kelompok soa
Pera yang dianggap sebagai kelompok marga yang pertama kali
mendiami Soya, maka hanya kelompok soa Pera yang
diperkenankan melakukan pembersihan dan pemeliharaan di
tempat-tempat keramat tertentu. Sedangkan untuk kelompok soa,
memang mereka terlibat juga dalam pembersihan, namun tidak
diperkenankan di lokasi-lokasi keramat.
Tahap-4 : Naik ke Gunung Sirimau
Tahapan ke-4 ini dimulai pada hari Kamis malam, sekitar
jam 22.00, ketika sekelompok lelaki (pemuda)14 yang berasal dari
soa Pera berkumpul di teung Tunisou. Setelah melakukan
persiapan, antara lain menikmati snack (makan-minum ringan)
yang disediakan,15 arahan dari pemimpin soa,16latihan
menyanyikan suhat17dan kekompakkan menabuh tifa, dilanjutkan
dengan doa oleh salah seorang yang ditunjuk.18 Selanjutnya,
14 Salah satu prasyarat menjadi peserta kelompok ini adalah yang telah diteguhkan
menjadi anggota Sidi gereja. 15Snack atau hidangan ringan yang disediakan, sebagaimana yang penulis amati,
terdiri dari minuman kopi, teh, susu, dan sopi dan kue yang terbuat dari sagu, beras atau tepung.
16 Inti arahan adalah mengingatkan rombongan untuk tidak membawa makanan dan minuman, dilarang bersanda-gurau dan membuat kegaduhan. Sebab bila aturan ini dilanggar, maka diyakini Tuhan dan para leluhur akan marah dan menghukum mereka serta berkat tidak akan diperoleh. Lihat Likumahwa, Analisa..., 138.
17 Walaupun setiap tahun dilakukan CN namun oleh pemimpin Suhat disadari bahwa ada keterlibatan anggota baru (generasi muda yang baru) yang perlu dilatih sehingga pada saat Suhat ditampilkan pada hari Jumat Siang (usai turun dari puncak Sirimau), maka Suhat akan dilantunkan secara baik.
18 Penulis berkesempatan mengikuti tahapan ini pada hari Kamis malam tanggal 7 Desember 2017 dan turut menyimak doa yang dibawakan oleh salah seorang yang dituakan di kelompok. Tercatat bahwa baik sapaan maupun isi doa tersebut sangat bernuansa kristiani. Artinya tidak ada sama sekali sapaan adati dalam narasi si pendoa (misalnya Tuhan dalam sebutan bahasa tana atau sapaan terhadap para leluhur). Doanya berisi
Ritual Cuci Negeri Soya … 141
rombongan yang mengenakan busana dominan berwarna hitam-
hitam (kaos dan celana) bergerak menuju ke puncak gunung
Sirimau dengan tetabuhan tifa dan gong, sekaligus sebagai tanda
bagi masyarakat bahwa aktifitas rombongan matawana ke gunung
Sirimau sedang berlangsung.
Sekitar jam 02.00-03.00 Kamis dinihari, rombongan yang
dipimpin oleh Ketua Soa adat berjalan menuju puncak Sirimau
dengan membawa perlengkapan khusus, a.l.: sopi, anggur cap
orangtua, sirih-pinang, tembakau jawa, belanga, bendera “tana”19
dan bendera merah-putih.Selanjutnya, ketika rombongan tiba di
batu pesan atau hatukuil yang sering disebut juga batu pasar,
rombongan berhenti sekitar 3 menit, kemudian kepala soa adat
meletakkan beberapa lembar gulungan daun siri masa (daun sirih
yang sudah tua) di atas batu tersebut lalu diikuti dengan tiupan
tahuri dan pukulan tifa. Setelah itu, kepala soa adat memohon izin
untuk dapat masuk ke tempat Upu Latu Selemau yang berjarak
sekitar 300 meter dari puncak gunung Sirimau.
Setibanya rombongan di puncak gunung Sirimau, kepala
soa adat memberikan tanda hormat dengan ucapan: “Somba Upu
Latu Selemau” (Hormat Upu Latu Selemau), dilanjutkan dengan
rombongan menempatkan barang-barang simbolik yang dibawa
ke atas sebuah batu yang disebut sebagai batu pamali, dan
mengikatkan bendera merah putih dan bendera tanah pada bambu
yang ditancapkan di sisi kiri dan kanan dari batu tersebut. Adapun
batu pamali yang diperkirakan berukuran lebar 2 meter dan
berdiameter sekitar 3 meter itu diyakini sebagai takhtanya Upu
Latu Selemau.20
Selanjutnya rombongan berkesempatan untuk beristirahat
dengan khusuk sambil berjaga-jaga sebagai wujud dari aktifitas
syukur dan mohon pimpinan serta perlindungan Tuhan untuk rangkaian acara yang akan dijalani. Selanjutnya doa tersebut diakhiri dengan: “....Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa, Amin!”
19 Bendera tana merupakan bendera yang berbentuk panjang dan bermotif batik-lurik (sebagai simbol ular patola). Konon bendera tersebut dililitkan pada pinggang panglima perang Soya yang bernama Sander yang berasal dari rumah tau Huwa’a. Bandingkan Likumahwa, Analisa..., 138.
20 Ibid,139.
142 Religiositas Ambon-Kristen …
matawana. Mengingat kuatnya pembatasan terhadap peserta yang
terlibat dalam kegiatan ke puncak Sirimau ini (penulis atau
peneliti yang tidak memiliki hubungan khusus keturunan adati
tidak diperkenankan terlibat), maka informasi kegiatan di puncak
Sirimau merupakan informasi yang diperoleh selain dari dokumen
yang telah ada juga dari hasil wawancara dengan ketua soa adat
atau peserta yang terlibat. Sebagai contoh, dari dokumen yang
telah ada21 diperoleh data bahwa pada saat rombongan tiba di
tempat (di puncak Sirimau), kepala soa adat menginstruksikan
mereka untuk duduk saling membelakangi di dalam kelompok-
kelompok yang sudah ditetapkan sebelumnya. Kepada mereka
dimintakan untuk melakukan meditasi sambil berpuasa sampai
waktu yang ditentukan oleh kepala soa adat. Selanjutnya mereka
ditugaskan untuk membersihkan lokasi tersebut, sebagai wujud
terima kasih dan tanda hormat kepada para leluhur yang telah
bersama dengan mereka. Sesudah itu mereka pun istirahat sejenak
dan bersiap-siap untuk turun.
Tahap-5 : Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di
Rulimena
Pada Jumat Sore, tepatnya sekitar pukul 15.00 rombongan
dari gunung Sirimau membunyikan Tifa-Gong sebagai pertanda
bahwa mereka akan turun dari puncak Sirimau. Sebagai respons
balasan, dibunyikan pula tifa dari pusat negeri yang memberikan
isyarat bahwa para mata ina yang berada di teung Rulimena telah
siap untuk menyambut rombongan. Selanjutnya terdengar pula
tiupan tahuri dan tabuhan tifa yang menandakan bahwa para
anggota Saniri Negeri (pemerintah) bersiap untuk mengenakan
busana adati22 untuk menyambut rombongan.
21 Ibid,143. 22 Busana adati, bagi kalangan Saniri Negeri mengenakan baju dan celana hitam
panjang yang disebut “borci” dan saputangan adat (lenso badasi).
Ritual Cuci Negeri Soya … 143
Di depan batu pamali, kembali kepala soa adat
mengucapkan pasawari adat, yang antara lain sebagai berikut:23
Kapua Upu Ilah Kahuressi Lebeh Hanua
Kedua Tuhan kami Isa Almaseh
Ketiga Rohul Kudus
Upu Ama Upu Wisawosi
Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang
Mojopahir...
Jangan tinggalkan kami turun sendiri,
Saat ini kami akan menyaksikan upacara ini
Karena setiap tahun kami akan melakukan ini juga
Beta minta dari Upu Wisawosi Upu Latu Selemau
Turun bersama-sama dengan kami ke tempat upacara...
Tahap-6 : Penyambutan di Rulimena
Usai mengucapkan pasawari adat, rombongan bergerak
turun dari gunung Sirimau ditandai dengan tetabuhan tifa-gong.
Selanjutnya rombongan diterima di depan teung Rulimena yang
merupakan teung milik rumah tau Soplanit, dan disambut oleh
kepada soa . Acara penyambutan diwarnai dengan lantunan suhat
(nyanyian adat) oleh seorang “soloist” yang berasal dari soa Pera
(rumah tau Pesulima) dan pada bagian tertentu dibalas oleh
rombongan.
Adapun suhat yang dilantunkan memiliki narasi yang kaya
dengan mitos dan tuturan historis-budaya Soya itu sendiri yang
dipelihara dan diwariskan turun-temurun.24 Salah satu contoh
petikan syair dari suhat yang dapat disebutkan yaitu:25
23 Kutipan dengan penyesuaian, bandingkan Stephanus Petrus Likumahwa,
Analisa...,141. 24 Untuk ulasan tentang Suhat tersebut, penulis cukup berhutang dengan riset dan
data yang dikumpulkan oleh Jenne Pieter melalui Tesis Magisternya, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013).
25 Pieter, Mitos...., 75.
144 Religiositas Ambon-Kristen …
Suhat dalam Bahasa Tanah Terjemahan Adaptasi
E... leke kona
Maso la maso mele oo
La Upu Latu ada maso mele
Somba malam bae Upu Latu
Selemau
Maru maru mena wasasale
huwa amu
Amu latang e horomati Yupu
Yama
Somba malam bae Bapa
Koma Mara Nusa26
Sohi sala Hua sohi sala Mu
tabaku.
Sio sayang e...
Mari masuk, mari masuk
Upu Latu mari masuk
Salam hormat, Upu Latu
Selemau
Mari masuk ke tempat upacara
Tempat yang dihormati oleh
kita bersama
Salam hormat, Bapa Koma
Mara Nusa
Mari sama-sama makan pinang
dan tembakau,
Saat berakhirnya nyanyian adat suhat tersebut, kepala soa
adat sebagai pemimpin rombongan mengatakan kepada kepala soa
: “....Somba malam bae Bapa Koma Mara Nusa !” selanjutnya dibalas
oleh kepala soa dengan kata-kata:
Balasan sapaan dari Kepala soa Terjemahan
Tabea,
Upu wisawosi upu ama, upu
Latu Yisayehu,
Upu Mara Eli27
Maru maru mena maru mena
letengo mutabaku
Silakan masuk.28
Salam,
Upu wisawosi upu ama, upu
Latu Yisayehu,
Upu Mara Eli
Mari masuk, mari masuk,
Mari mencicipi minuman dan
tembakau
Silakan masuk.
26 Bapa Koma Mara Nusa merupakan gelar dari kepala soa dan isterinya. Bapa (upu)
Koma adalah nama pemimpinnya sedangkan Mara Nusa adalah isterinya. Lihat, Likumahwa, Analisa...,147.
27 Gelar yang ditujukan bagi kepala soa Pera. 28 Penulis mendengarkan sendiri bahwa walaupun diawal sapaan digunakan “bahasa
tana”, namun di bagian akhir, kepala soa menggunakan bahasa Indonesia “Silakan masuk!”
Ritual Cuci Negeri Soya … 145
Usai penyambutan itu, kedua kelompok lalu saling berjabat
tangan dan selanjutnya para mata ina dari soa menjamu kelompok
Soa Pera dengan sopi, anggur, sirih-pinang dan rokok. Kemudian
kedua kelompok beserta partisipan lainnya lalu berjalan menuju
Baileu Samasuru (baileo Soya) diiringi tabuhan musik tifa-gong
dan nyanyian Suhat. Syair dari Suhat tersebut memiliki keterkaitan
dengan mitos sejarah negeri dan juga marga atau rumah tau yang
ada di Soya dengan batu teung-nya masing-masing. Oleh karena
itu, dalam perjalanan menuju Baileo, rombongan akan melewati
sejumlah teung antara lain: Paisina milik rumah tau (kelompok
marga) Tamtelahitu, Neurumanguang milik rumah tau Lapui,
Saulana milik rumah tau de Wanna, dan seterusnya. Ketika
rombongan melewati teung-teung tersebut, maka Suhat dengan
syair yang berkenaan dengan suatu teung harus dinyanyikan.
Tahap-7 : Nae Baileo (Menuju Ke Baileo)
Setelah rombongan tiba di baileo, salah seorang mata ina
tertua dari soa Pera yang telah berada di baileo akan menyambut
rombongan dengan ucapan: “malam bae, Upu Ama-Upu Wisawosi,
Upu Latu Selemau, silakan masuk” (Terjemahan: Salam, Upu Ama-
Upu Wisawosi, Upu Latu Selemau, silakan masuk). Kemudian akan
dijawab oleh kepala soa adat dengan mengucapkan: “Somba malam
bae, Upu-Upu Mata Ina, Mata Ina tolulua” (Terjemahan: Salam
hormat, kami ucapkan kepada para Upu Mata Ina). Usai berkata
demikian, pada Mata Ina berteriak “Tifa !”, yang berarti, musik
(tifa-gong) dibunyikan untuk wujudkan sambutan, syukur dan
sukacita bersama karena kelompok yang ke gunung Sirimau telah
berhasil turun dengan selamat29. Setelah itu rombongan memasuki
baileo, lalu musik tifa-gong dihentikan guna memasuki tahapan
istirahat sejenak (memberikan kesempatan kepada kelompok yang
baru turun dari gunung Sirimau untuk makan dan berganti
pakaian).
29 Suatu ekspresi penyambutan yang sangat mirip dengan para pemuda yang telah
lulus dalam ritus inisiasi di ritual Kakehang di Seram. Bandingkan, Likumahwa, Analisa..., 150.
146 Religiositas Ambon-Kristen …
Setelah memasuki fase jeda (istirahat), para kepala soa dan
rumah tau yang berasal dari soa Pera dan menjemput raja dan
istrinya beserta pendeta, para guru dan undangan lainnya, untuk
selanjutnya bersama menuju baileo. Setibanya rombongan di
depan pintu baileo, rombongan disambut oleh para mata ina, yang
berteriak meminta musik tifa-gong ditabuh. Kemudian dengan
iringan musik tersebut para mata ina menari dengan
menggenggam tangkai pohon gadihu (tanaman kroton), dalam
nuansa musik cakalele. Selanjutnya raja dan rombongan
dipersilakan mengambil tempat duduk di baileo.30
Pada saat raja dan rombongan menempati tempat duduk di
sabuah, dengan iringan musik tifa-gong, para mata ina melakukan
pembersihan di areal kosong baileo (hamparan tanah dan sedikit
rerumputan) dengan menggunakan sapu lidi dan gadihu sebagai
pertanda pembersihan negeri secara keseluruhan.
Rangkaian agenda selanjutnya di baileo, mengikuti alur
agenda antara lain sebagai berikut:31
(a) Pembukaan oleh Sekretaris Negeri- 132 dan sekaligus
membacakan urut-urutan acara;
(b) Laporan Pelaksanaan Kegiatan oleh Sekretaris Negeri-2;
(c) Pembacaan Sumbangan-Sumbangan dalam rangka acara CN
oleh Sekretaris Negeri-1;
(d) Petuah oleh raja Soya;33
(e) Penyampaian sambutan oleh kepala Soa dan Pendeta
30 Mengingat model baileo Soya tidak berupa rumah tetapi sebidang tanah lapang,
maka untuk kepentingan acara telah dibuat tempat khusus yang lazim disebut “sabuah” dengan menggunakan plastik terpal dengan beberapa tiang bambu.
31 Penulis menyimak dan menangkap kesan bahwa rangkaian agenda ini telah bernuansa modifikasi antara tatanan adati dengan alur protokoler “modern”, atau agenda yang disesuaikan karena mengingat kehadiran dari para tamu khusus (misalnya Walikota atau unsur eksternal lainnya), sebagaimana yang penulis ikuti pada acara CN tahun 2015, pada saat berlangsungnya acara Pengakuan dan Penganugerahan Tradisi CN Soya sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Pemerintah Republik Indonesia.
32 Sekretaris Negeri-1 bertindak laksana seorang MC (pembawa acara) 33 Alur protokoler akan disesuaikan. Misalnya, bila turut hadir pejabat pemerintah
seperti Walikota, maka usai petuah dari bapa raja Soya, maka dilanjutkan dengan Amanat dari Walikota Ambon.
Ritual Cuci Negeri Soya … 147
(f) Penyampaian pasawari adat oleh kepala soa adat, yang
mengambil tempat di depan batu stori, diawali dengan tiupan
tahuri sebanyak tiga kali.34
(g) Nyanyian Suhat dilantunkan oleh seorang biduan dan dibalas
oleh seluruh peserta, dengan syair yang sungguh bermakna,
sebagai berikut:35
Suhat di Baileo Terjemahan Adaptasi
Ole leke kona
Hai rang ee h ee
Hai rang ee h ee
Hola nito warana latu selemau yana
ee
Malona hiu hawa liu ee yupu sohi
lawa liu
Nunu yela payo, umalete Selemau
Selemau nipa pele, wayanea lahakela
Yupu yama mata, bere janji
Yupu yama bere janji sou,
Merah rulang ee hala tupa mahu,
Ula Wai Samasuru yunang pasale
Samasuru,
Yupu yunang pasal ee lularang ee,
Ole bangsi ura ralio, lao ralang
ralang ee
Mata ina tolu, ula wai Werhalouw
tita Samasuru
Ula wai Werhalouw wai Werhalouw
neka kal,
Ada puti puti
Sio sayang e,
Heran e, sungguh heran e
Heran e, sungguh heran e
Upu latu Selemau
dalam pertemuan dengan
seluruh rakyat ee
mereka berbicara seorang
kepada yang lain
dalam suasana
kekeluargaan
dan mereka berjanji,
berjanji dengan sungguh,
dalam kebersamaan
di Samasuru,
untuk sehidup semati.
34 Adapun formula dari pasawari adat ini dan terjemahannya telah ditampilkan
lengkap dalam bab 1. 35 Lihat Likumahwa, Analisa..., 153-154
148 Religiositas Ambon-Kristen …
Tahap-8 : Kunjungan ke Mata Air
Tahapan selanjutnya, usai nyanyian suhat tersebut di atas,
maka peserta upacara adat CN dibagi dalam dua kelompok, yakni
kelompok soa Pera dan soa Eraang. Dan dengan iringan musik tifa-
gong,36 rombongan kelompok soa Pera menuju ke mata air
Werhalouw (terletak di arah Timur pusat Negeri), sedangkan
rombongan kelompok soa Eraang menuju ke mata air Unuwei
(terletak di arah Barat pusat Negeri). Sementara raja, pendeta,
guru dan para tamu lainnya bergerak menuju Rulimena untuk
dijamu dengan minuman dan kue yang diolah dari bahan baku
lokal. Selanjutnya mereka kembali ke rumah raja untuk menunggu
prosesi selanjutnya.
Di mata air soa masing-masing, setiap orang
diperkenankan untuk mencuci muka, kaki dan lainnya. Bahkan di
mata air khusus seperti mata air atau parigi raja yang terdapat di
soa Pera, diperkenankan untuk dapat meminumnya.37 Kemudian,
usai menuju ke sumber mata air dan sumur masing-masing,
selanjutnya rombongan soa Eraang kembali ke Rulimena untuk
menunggu datangnya rombongan soa Pera yang akan datang
menyambut dengan kain gandong.
Rombongan soa Pera ~usai dari parigi raja dan wai
Werhalouw~ selanjutnya akan bergerak dalam balutan kain
gandong yang cukup panjang, menuju ke soa dengan lantunan
suhat dan iringan musik tifa-gong.
36 Pemusik tifa-gong ini diambil dari para pemusik (pemuda) yang turut ke gunung
Sirimau namun dibagi dalam dua kelompok yang seimbang (termasuk keseimbangan jumlah dan jenis alat musiknya).
37 Dalam pengamatan penulis, ketika mengikuti prosesi CN di tahun 2017, sumber mata air yang dimaksud, umumnya telah dibuat dalam bentuk sumur, baik dalam bentuk permanen (dengan konstruksi beton) maupun hanya sebatas sebuah kolam alami tanpa konstruksi semen-beton. Hal ini terlebih khusus dijumpai di mata air khusus yang disebut sumur raja (atau parigi raja, yang sering juga disebut wai Pinang), yang terdapat di soa Pera. Penulis diperkenankan untuk meminum secara langsung dari sumber air tersebut atas seijin tetua adat soa Pera. Bahkan kepada penulis dituturkan bahwa air dari mata air raja tersebut berkhasiat untuk memberikan kesembuhan bagi yang sakit ataupun memberikan kehamilan bagi pasangan yang telah berkeluarga dan menginginkan anak. Parigi raja tersebut diyakini sebagai sumber air yang digunakan oleh raja Soya yang pertama untuk mengambil air minum atau kebutuhan khusus lainnya (Sebagaimana yang dituturkan oleh bapak B. Pesulima, mantan Sekretaris Negeri Soya, yang turut mendampingi penulis).
Ritual Cuci Negeri Soya … 149
Tahap-9 : Upacara Persatuan Kain Gandong
Selanjutnya tahapan yang cukup bermakna bagi nilai
persatuan dan persaudaraan antar soa di negeri Soya, yakni
tahapan Kain Gandong, yang dipersiapkan di teung Tunisouw oleh
para mata ina dari soa Pera. Kain gandong yang berwarna putih
polos dan panjang tersebut dibuat formasi “U”, dimana kedua
ujungnya dipegang oleh dua orang mata ina soa Pera, lalu diputar
sebanyak tiga kali, mengelilingi rombongan soa Pera yang berada
di dalam kain gandong. Kemudiaan, dengan iringan musik tifa-
gong dan nyanyian suhat, rombongan bergerak, mampir sejenak di
halaman rumah raja dan juga halaman rumah gereja, lalu
melanjutkan perjalanan menuju soa Eraang yang telah berkumpul
di teung Rulimena.
Sesampainya rombongan soa Pera di teung Rulimena,
rombongan soa Eraang menyambut dengan penuh sukacita, dan
ikut masuk dalam kain gandong lalu diikuti dengan akta balele kain
gandong sebanyak tiga kali. Kemudian rombongan soa Pera dijamu
oleh basudara soa Eraang dengan jamuan ala kadarnya (makan-
minum) sebagai ungkapan penghormatan, persatuan dan sukacita.
Bagi para tamu yang (dihormati) tidak sempat mengunjungi wai
Unuwei disediakan meja jamuan khusus.38
Tahap-10 : Kembali ke Rumah Upulatu (Raja)
Tahapan ini dilakukan setelah kedua kelompok soa telah
menyatu dalam persatuan kain gandong selanjutnya bergerak
bersama ke rumah raja dengan iringan musik tifa-gong dan
nyanyian adat (suhat) yang syairnya menyebutkan nama-nama
teung dan leluhur dari kedua soa, yang antara lain:39
38 Ketika berlangsungnya acara CN tahun 2015, penulis turut menikmati praktik ini,
karena beberapa tamu VIP tidak sempat mengikuti tahapan ke mata air dan disediakan meja khusus dengan jamuan menu tradisional (penganan yang khas Soya atau Ambon, seperti kue ampas tarigu, waji, dan sagu gula. Sedangkan minuman yang disediakan adalah minuman susu putih kental manis, yang menurut tuturan bapa raja Rido Rehatta demikian: “Sebetulnya bisa saja katong sediakan minuman modern yang lebih pas bagi bapa-ibu, Cuma katong sengaja menyajikan minuman ini karena ini salah satu contoh ungkapan penghormatan orangtatua dolo-dolo bila dong mau tarima tamu yang dorang hormati.”
39 Lihat Likumahwa, Analisa..., 160-161.
150 Religiositas Ambon-Kristen …
Suhat Bersama
Menuju Rumah Raja
Terjemahan Adaptasi
Ole leke kona ee
Somba malam bae, bapa Koma
Mara Nusa
Bapa Koma suka, mata ina tolu
lua
Rulimena teung ee, Paisina teung
ee
Saupele teung ee, Souhitu juga
teung ee
Samurele teung ee, Saulana teung
ee
Soumulu teung ee, Pelatiti juga
teung ee
Teung ee teung nelua lihut,
lihut lahat jadi tepa tolu yunang
lahat ee,
ole Tunisou yapa yunang lahat ee
nena bure yupu yama, ada nena
bure
yupu yama mata, bere janji yupu
yama
bere janji sou, mera rulang ee
Somba malam bae, bapa Latu
Yisayehu
Bapa Latu suka, mata ina tolu lua
Sio sayang ee
Salam hormat, bapa Koma
Mara Nusa
Rulimena adalah teung,
Paisina adalah teung,
Soupele adalah teung,
Souhitu juga teung
Samurele adalah teung,
Saulana juga teung
Soumulu adalah teung,
Pelatiti juga teung,
Beserta teung-teung yang
lain juga...
Bahwa di Tunisou kami telah
membuat janji
Janji yang dibuat dengan
sungguh-sungguh
Untuk mengulanginya...
Salam hormat, bapa raja Latu
Yisayehu.
Setelah kedua rombongan tiba di halaman depan rumah
raja ~setelah sebelumnya melewati halaman gereja~40, kepala soa
40 Posisi rumah raja berdekatan dengan gedung gereja tua Soya. Adapun
pemandangan yang menarik adalah setiap rombongan yang berjalan di halaman gedung gereja pada saat mengikuti tahap-tahapan ritual CN, maka dengan spontan rombongan itu akan berhenti sejenak, sebagai cerminan penghormatan yang wajib dilakukan terhadap gedung dan pemiliknya (Tuhan Sang Kepala Gereja, “Allah Trinitas” sebagaimana yang disapa dalam doa pasawari adat). Bandingkan Likumahwa , Analisa..., 162.
Ritual Cuci Negeri Soya … 151
adat menjumpai raja, istri dan keluarganya yang telah berdiri
menyambut rombongan di teras depan rumah. Usai kepala soa
adat dan raja saling menyapa dengan penuh hormat dan
kehangatan, tabuhan musik tifa-gong dibunyikan, diikuti dengan
nyanyian suhat sambil pimpinan rombongan mempersilakan raja,
istri dan keluarganya untuk menyatu dalam persekutuan kain
gandong. Dalam tahapan yang penulis ikuti, pada momentum ini
terasa kesukacitaan seluruh warga bersama raja dan keluarganya,
sehingga sejumlah pemuda mengusung (menggendong) bapa raja
diikuti dengan badendang dan bapantun secara berbalasan.
Tahapan ini diakhiri dengan menyimpan kain gandong tersebut di
rumah raja.
Tahap-11 : Pesta Negeri
Sebagai ungkapan sukacita dan kebersamaan atas
berlangsungnya upacara (ritual) CN maka semua warga akan
terlibat dalam kegiatan “Pesta Negeri” yang berlangsung di balai
Saniri Negeri. Lazimnya kegiatan ini berlangsung dari jam 20.00
hingga 01.00 yang dihadiri oleh para pemuda (mungare) dan
pemudi (jujaro), melalui nuansa badonci-badendang diiringi
dengan musik tifa-totobuang. Dalam perkembangannya, nuansa
pesta negeri mengalami proses “modernisasi” dengan peralatan
musik dan soundsystem yang kontemporer, seperti: Keyboard,
Band, tarian budaya yang dipengaruhi atau percampuran dengan
kebudayaan Barat-Kolonial, misalnya tarian Katreji, Dansa Ola-ola,
Polonaize,41dan juga tarian Tujuh Lompat.42
Dalam perkembangan kontemporer, agenda Pesta Negeri
ini sering disesuaikan waktu pelaksanaannya sesuai dengan
kondisi yang ada (misalnya karena padatnya kesibukan menjelang
41 Dari sumber dokumen lainnya diperoleh data bahwa nuansa pesta negeri atau
pesta jujaro-mongare ini sebetulnya tidak ada dalam rangkaian paket ritual CN. Sangat kuat diasumsikan bahwa agenda ini, sebagaimana terindikasi dari nama tari-tariannya, merupakan contoh dari pengaruh kolonial Barat (Portugis dan Belanda). Lihat, Likumahwa, Analisa..., 162..
42 Tarian Tujuh Lompat. Tarian ini terdiri dari 28 orang, terbagi atas 4 pria dan 14 wanita. Formasi tarian ini membentuk huruf W, yang menunjuk pada initial huruf depan raja Wihelmus dari Belanda. Lihat, Pattimahu dkk., “Strategi....”, dalam Menelusuri..., 505.
152 Religiositas Ambon-Kristen …
perayaan Natal dan Akhir Tahun). Sebab ada saatnya pula agenda
Pesta Negeri ini disatukan momentum pelaksanaannya dengan
Pesta Konci Taong, yang waktunya justru jatuh pada tanggal 30
Januari tahun yang baru, untuk mensyukuri berakhirnya tahun
lama dan datangnya tahun yang baru.43
Tahap-12 : Cuci (Sumber) Air
Setelah berpesta semalam-suntuk, esok harinya (Sabtu)
sekitar jam 11, ditandai dengan tabuhan tifa negeri, masyarakat
berkumpul di depan rumah raja untuk mendengarkan arahan dari
kepala soa adat terkait dengan agenda Cuci Air yang dilakukan
secara bersama. Semua warga dari kedua soa diarahkan pertama
untuk bergerak menuju sumber air Wai Werhalouw guna bakti
bersama melakukan pembersihan. Selanjutnya semuanya
diarahkan pula untuk menuju Wai Uruwei agar bersama-sama juga
melakukan pembersihan di sumber air Wai Uruwei. Dan salah satu
kebiasaan yang terjadi di saat kegiatan pembersihan sumber air
adalah baku-siram. Dalam nuansa penuh kebersamaan dan
sukacita warga saling menyiram dengan air yang berasal dari
sumber air tanpa merasa tersinggung atau marah.
Seusai pembersihan di kedua sumber air tersebut maka
tahapan ritual CN dianggap telah selesai. Mengingat keesokkan
harinya bertepatan dengan ibadah Minggu di gereja, maka
menurut kebiasaan orangtatua Soya, kehadiran di gereja seusai
melaksanakan ritual CN, merupakan suatu keharusan untuk
bersyukur dan sekaligus pengharapan untuk tetap diberkati oleh
Tuhan dan Leluhur.44
43 Bandingkan Pieter, Mitos...,70. 44 Bandingkan Likumahwa, Analisa...,164. Sejauh ini momentum ibadah Minggu
tersebut selalu bertepatan dengan momentum perayaan Minggu Adventus, sehingga lazimnya yang digunakan hanyalah Liturgi Minggu Adventus yang telah disediakan oleh gereja melalui Lembaga Pembinaan Jemaat GPM. Dan perayaan 4 (empat) Minggu Adventus sebelum Natal Kristus (25 Desember) secara baku, baru menjadi bentuk perayaan tahun gerejawi di GPM sekitar sejak 2 (dua) dekade lalu. Sementara ibadah Minggu dalam nuansa syukur pelaksanaan ritual CN hanya tampak melalui narasi Khotbah Pendeta dan Pokok Doa Syafaat yang disampaikan.
Ritual Cuci Negeri Soya … 153
IV.2. Penelusuran Diferensiasinya
IV.2.1. Penelusuran Asal-muasal dan Migrasi Manusia Soya-
Ambon
Sebagaimana disadari bahwa menelusuri asal-usul suatu
sukubangsa atau komunitas, sangatlah tidak mudah, mengingat
rentang waktu yang sangat jauh, alat bukti atau jejak sejarah yang
terbatas.Hal tersebut kian dipersulit lagi bila konteks sejarah
tersebut belum mendapatkan sentuhan riset ilmiah yang
tertanggung jawab secara historis-arkeologis. Diakui sendiri oleh
kalangan sejarahwan Ambon-Maluku, bahwa hingga kini belum
ada eksplanasi yang pasti dan tuntas tentang asal-usul penduduk
Maluku dan Ambon45 (yang sudah tentu implisit di dalamnya
manusia Soya itu sendiri). Disadari juga bahwa salah satu
kendalanya adalah karena warisan tradisi oral (oral tradition),
yang jauh lebih dominan tersimpan subur dalam memori-memori
kolektif historis masyarakat Ambon, Maluku, daripada tradisi
tulisan.46Kendati demikian, sejumlah kendala tersebut tidaklah
membuat upaya penelusuran ini terhenti tanpa secercah harapan.
Sebab selalu saja ada jalan dan kemungkinan untuk mengurai
kekusutan problematika ini.
Sehubungan dengan itu pula, maka jalan dan kemungkinan
penelusuran manusia Maluku, Ambon dan Soya secara khusus,
dapat dilakukan dengan menelusuri konteks keberadaan manusia
itu di rentang waktu dan sejarahnya baik pada lingkup lokal-
regional maupun nasional hingga global. Dalam hal ini, dibutuhkan
pula adanya kontribusi keilmuan lintas-disipliner dalam rangka
membantu menyingkapkan tabir asal-muasal manusia Ambon dan
Soya tersebut. Untuk itu, maka disiplin ilmu dengan data dan
kajiannya yang cukup signifikan membantu adalah arkeologi dan
antropologi.47
45 J.A.Pattikayhatu, et al., Sejarah Daerah Maluku (Ambon: DepDikBud.Prop.Maluku,
1993), 6. 46 Izak Y.M. Lattu, Dissertation...,1,7 47 Terkait hal ini, penulis sangat berhutang budi terhadap promotor penulis ~Prof.
Dr.Truman Simanjuntak~, yang melalui diskusi selama pembimbingan maupun tulisannya yang khusus tentang Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
154 Religiositas Ambon-Kristen …
Dari data arkeologis pada umumnya, diketahui bahwa
terdapat dua arus migrasi besar yang masuk ke wilayah Nusantara.
Arus migrasi pertama adalah migrasi Manusia Modern Awal
(MMA) atau Homo Sapiens awal yang terjadi di sekitar 70 ribu
hingga 60 ribu tahun lampau. Sedangkan arus migrasi kedua
berlangsung sekitar tahun 4000 BP (before present),yang terjadi
melalui migrasi kaum Penutur Austronesia yang berasal dari
Taiwan.
Adapun kelompok migrasi MMA ini memiliki pola hidup
dengan budaya berburu dan meramu. Sesuai dengan bukti-bukti
arkeologis, ditemukan bahwa kelompok MMA ini selanjutnya
menyebar ke Timur, mencapai Indonesia bagian Timur dan
kawasan Melanesia. Selain itu ada yang ke Tenggara hingga
mencapai Australia.48 Selanjutnya, melalui proses evolusinya,
maka manusia keturunan MMA ini membentuk kekhasan fisik,
yang oleh para ahli digolongkan sebagai Ras Australomelanesid.
Ras ini sendiri, semenjak akhir Zaman Es, sekitar 12 ribu tahun
lampau, terindikasi sudah mendiami kawasan Asia Tenggara,
Melanesia, dan Australia, serta terus berlanjut pada masa
sesudahnya.
Berkaitan dengan kelompok migrasi kedua, oleh para ahli
mereka disebut sebagai kelompok Penutur Austronesia, yang
hidup dengan budaya neolitiknya (hidup menetap dan
mendomestikasikan hewan dan tanaman). Kelompok yang
tergolong pada Ras Monggolid ini diyakini datang dari Taiwan
University Press, (dalam proses penerbitan), banyak memberikan referensi arkeologi-antropologi yang membantu penulis dalam melakukan penelusuran terhadap manusia Ambon dan Soya.
48 Adapun bukti persebaran dan perkiraan tahun kehadiran kelompok MMA ini antara lain terdapat di gua Golo, pulau Gebe yang menunjuk sekitar 33 ribu tahun lalu, liang Lemdubu di kepulauan Aru sekitar 28 ribu tahun lalu, gua Toé di Ayamaru Papua Barat sekitar 26 ribu tahun lalu, dan ada yang lebih menyebar ke arah Timur, dengan bukti temuan di semenanjung Huon di PNG (Papua New Guinea) sekitar 40 ribu tahun lampau. Sementara penyebaran ke arah Tenggara, terindikasi melalui penemuan bukti di beberapa gua di wilayah Australia Utara, yang menunjuk sekitar 50 ribu hingga 60 ribu tahun lalu. Lihat, Truman Simanjuntak, Ibid.
Ritual Cuci Negeri Soya … 155
dan memasuki wilayah Nusantara sekitar 4000 tahun BP.49 Mereka
ini dikenal sebagai kelompok pelaut ulung, yang relatif cepat
berhasil menduduki kawasan-kawasan kepulauan yang cukup luas
(diperkirakan menjangkau sepanjang lebih dari setengah bola
dunia), yaitu dari wilayah Madagaskar di ujung Barat hingga
Kepulauan Paskah di ujung Timur, serta dari Taiwan dan
Mikronesia di Utara hingga kawasan Selandia Baru di Selatan.
Para ahli mengkonstatir bahwa kehadiran dari kelompok
migrasi kedua ini, telah berpengaruh dalam proses pembauran
budaya, bahkan pembauran biologis dengan Ras
Australomelanesid, yang sudah terlebih dahulu menghuni wilayah-
wilayah kepulauan. Proses pembauran yang terjadi tersebut,
hingga kini turut menciptakan populasi bangsa Indonesia yang
memiliki hibridisasi genetika utama dari kedua ras tersebut.
Dalam proses migrasi selanjutnya, maka kelompok penutur
Austronesia ini mencapai Maluku, dan menyebar kemudian ke
wilayah Pasifik sekitar tahun 3500-3300 BP, sebagaimana terlihat
melalui beberapa bukti hunian yang ditemukan seperti di gua
Uattamdi (pulau Kayoa) sekitar tahun 3300 BP, Pulau Ai (dekat
pulau Banda) sekitar tahun 3150 BP, dan gunung Srobu (Papua)
sekitar tahun 3000 BP.
Melalui pencermatan para ahli, dilihat bahwa ternyata
pembauran kedua populasi ini (Australomelanesia yang datang
terdahulu dan Penutur Austronesia yang datang kemudian), secara
tidak langsung menciptakan percampuran (hibridisasi) budaya
dan genetika antara keduanya dengan karakter fisik
Australomelanesia yang justru lebih dominan.
Selanjutnya untuk menyelami asal-usul Ambon, maka
tentunya tidak dapat dilepaspisahkan dari data regional tersebut
di atas, yang mengisyaratkan bahwa manusia Ambon pun pada
hakikatnya merupakan campuran dari ras Austromelanesia dan
Monggolid Austronesia. Adapun bukti kehadiran kedua ras yang
membaur tersebut, dapat dilihat pada beberapa temuan arkeologis
49 Peter Bellwood, et.al., 35.000 Years of Prehistory in the Northern Molluccas, 1997, dalam Truman Simanjuntak, Ibid.
156 Religiositas Ambon-Kristen …
yang terdapat pada gua-gua di Hatusua (berlokasi di dekat
dermaga penyeban kapal Feri di Waipirit kabupaten Seram Bagian
Barat), dan juga beberapa gua lainnya (seperti di liang Kilbidi,
liang Watu Tea, liang Fanga-Fanga), yang diperkirakan telah dihuni
sejak 5000 BP. Fakta temuan pada situs arkeologi tersebut, antara
lain: pada lapisan hunian bawah ditemukan adanya jejak
Australomelanesia, sementara pada lapisan atas terdapat
pecahan-pecahan tembikar, yang menjadi penanda budaya khas
Austronesia.
Perkembangan selanjutnya, populasi Nusantara menjelang
abad Masehi menerima pengaruh budaya megalitik yang
diperkirakan berasal dari Asia Tenggara Daratan. Budaya yang
berlandaskan pemujaan arwah leluhur dalam rangka
mendatangkan kesejahteraan dan kesuburan bagi yang hidup ini,
bersesuaian dengan konsepsi kepercayaan budaya neolitik
sebelumnya hingga menjadikannya berkembang luas di kepulauan,
bahkan dalam hal tertentu berlangsung hingga sekarang. Hal yang
sama berlangsung di Kepulauan Maluku, dalam hal mana populasi
lanjut dari pembauran kedua ras tadi menerima pengaruh budaya
megalitik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh keberadaan
pelbagai peninggalan yang terdapat di berbagai pulau di Maluku.
Hal yang sama terjadi juga dengan di Ambon; sebagaimana bukti
serapan budaya megalitik seperti yang dijumpai di Soya dalam
bentuk punden berundak dengan pelbagai perangkat fisik yang
ada di dalamnya (arca, dolmen, dan lainnya), serta keletakannya
yang berorientasi ke puncak Gunung Sirimau.
Ritual Cuci Negeri Soya … 157
Keterangan Foto:
Contoh salah satu punden berundak yang terdapat di Baileo Soya,
di salah satu batu keramatnya ditempatkan Dupa dan kemenyan
yang dibakar, sebagai bagian dari Ritual Cuci Negeri. (Sumber:
http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-
soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)
Keberadaan punden berundak tersebut turut membantu
menyingkap asal-muasal leluhur manusia Soya. Sekalipun masih
diperlukan adanya riset yang lebih khusus dan mendalam, namun
bila melihat korelasinya dengan perkembangan budaya megalitik
pada aras regional, maka dapat diasumsikan bahwa manusia Soya
yang datang pertama adalah mereka yang berasal dari masa-masa
awal masehi dan beberapa abad kemudian.
Bila ditelusuri kemudian berdasarkan data arkeologi
maupun folklor, khususnya dengan merujuk pada budaya
megalitik beserta peninggalannya, maka ada kemungkinan bahwa
leluhur manusia Soya tersebut berasal dari Seram, Nunusaku.
Sebagaimana yang tersisa hingga kinidengan kuatnya pengaruh
budaya megalitik yang dalam perkembangan kemudian masih
tetap berpengaruh sampai saat ini, seperti terlihat dalam bentuk
ritual Cuci Negeri. Konstatasi ini didasari atas fenomena akar
budaya megalitik, antara lain yang termanifestasi melalui konsepsi
kepercayaan akan adanya kehidupan baru sesudah kematian. Pada
konsepsi tersebut, diyakini bahwa roh seseorang, teristimewa roh
158 Religiositas Ambon-Kristen …
dari mereka yang terpandang atau pemimpin yang dihormati dan
dituakan selama hidupnya, dipercayai dapat memberikan
kesuburan, kesejahteraan, perlindungan, kepada mereka yang
hidup. Kepercayaan tersebut menyebabkan, warga yang masih
hidup (masyarakat setempat) membentuk ritual dan sarana-
sarana pemujaan yang bertujuan untuk memelihara hubungan
baik dengan para leluhurnya. Fenomena sedemikian itulah yang
sesungguhnya melatari pula praktik ritual Cuci Negeri di Soya.
Data informatif lainnya diperoleh melalui penyelidikan
beberapa ahli geologi-arkeologi lainnya50yang bersesuaian dengan
temuan Charles A. Fisher, yang menyebutkan bahwa ciri-ciri ras
Melanesia tersebut berkulit hitam, tinggi kurang lebih 5 ft (sekitar
150 cm). Sedangkan ras Australoid berbentuk kepala agak panjang
dan kecil, berambut tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus,
yang memiliki kesesuaian dengan Alfurs (atau dalam dialek lokal
Maluku Tengah disebut Alifuru), yang oleh Fisher disebut sebagai “
a collective name for the interior peoples of the Moluccas”.51
Penelusuran etnogenik terhadap apa yang disebut sebagai
komunitas Alifuru yang dianggap sebagai penduduk asli Seram
atau Maluku Tengah52, sesungguhnya memperoleh pengayaan
dengan temuan lainnya bahwa ternyata sebutan Alifuru itu pun
bukan hanya khas Maluku Tengah, melainkan juga ada di Maluku
Utara (Halmahera)53. Bartels sendiri mengindikasikan bahwa
istilah Alifuru yang memiliki akar kata semitis (Arab: Alif, artinya
yang pertama, yang awal; dan Uru,bahasa tanah, yang berarti
50 Pernah dilakukan oleh para ahli dari barat pada akhir abad ke-19 dan permulaan
abad ke-20, antara lain: Knuttel, Yunghun, Molengraaf, Verbeck, Brouwer, Rutten, van der Valk, van der Sluis dan van Bemmelen. Sedangkan dari Indonesia antara lain oleh S.Sigit, M.J. Rachmad, Kusumadinata, Tim Ekspedisi Baruna 1964. Lihat. J.A. Pattikayhatu, et.al., Sejarah Daerah Maluku..., 108.
51 Charles A. Fisher, South-East Asia – A Social, Economic and Political Geography (London: Methuen and Co.Ltd; New York: E.P. Dutton & Co.Inc.1966), 66.
52Antara lain dalam tulisan J.Th.F.Pattiselanno, “Tradisi ULI, PELA dan GANDONG pada Masyarakat Seram, Ambon dan Uliase”. Artikel dalam Jurnal Antropologi Indonesia edisi Th.XXIII, No.58- Jan-Apr. 1999 (Jakarta: FISIP UI, Jurusan Antropologi & Yayasan Obor Indonesia, 1999) pada catatan kaki halaman 60 dikatakan bahwa: “ ...Pendudukasli Kepulauan Maluku, terutama di Seram, dijuluki halfoer (setengah purba) karena kebiasaan mengayaunya. Dalam ucapan penduduk setempat, halfoer menjadi alefuru....”
53 R.Z. Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 57.
Ritual Cuci Negeri Soya … 159
kepala), sesungguhnya lebih mengarah pada penggunaan istilah
yang dipakai oleh Belanda terhadap kelompok suku-suku di
pedalaman Seram yang mengandung konotasi “liar, primitif, tidak
beradab”.54 Sementara fakta historis menunjukkan bahwa suku
bangsa asli yang berdiam di Pulau Seram (Maluku Tengah) adalah
suku bangsa Alune (yang berpusat di desa Riring)dan Wemale
(yang berpusat di desa Hunitetu).55Menurut Antropolog
F.J.P.Sachse dan O.D. Tauern,56 suku bangsa Alune ini berasal dari
Utara, kemungkinan dari Sulawesi Utara atau Halmahera (mereka
memiliki persamaan dalam rambut dan warna kulit serta
kebiasaan mengukurkan mayat: kepala jenazah diletakkan ke arah
Barat); sedangkan suku bangsa Wemale datangnya dari Timur,
kemungkinan Melanesia.
Kedua suku bangsa inilah yang pada saat migrasi mula-
mula, bercampur dengan suku-suku bangsa Austro-Melanesia,
yakni orang-orang negrito dan wedda, dan selanjutnya diikuti
dengan suku bangsa Proto-Melayu57, Deutero Melayu dan
Mongolid.58 Sekarang ini dikenal bahwa suku bangsa Wemale
sebagian besar termasuk dalam kelompok masyarakat Patalima;
sedangkan Alune sebagian besar tergolong masyarakat Patasiwa.59
Selanjutnya tentang sejarah migrasi orang Ambon yang
lebih kemudian, oleh, A.E. Jansen ~seorang Antropolog
berkebangsaan Jerman~ menggolongkan proses pergerakan dan
migrasinya berlangsung dalam 4 (empat) kelompok, yakni:60
54 Dieter Bartels, Di Bawah Naungan...., 441. 55 Band. Tim Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Maluku Kosmologi
Orang Wemale di Seram Barat (Ambon: Kanwil Dikbud Prop.Maluku, 1998), 1. 56 J.A. Pattikayhatu, et al, Sejarah Daerah...., 9. 57 Penelusuran Tapilatu tentang keturunan Proto-Melayu yang mendiami Maluku,
berdasarkan informasi Vlekke, menyebutkan bahwa keturunan ini berasal dari Tiongkok bagian Selatan (Provinsi Yunnan), yang datang sekitar 3000 tahun sebelum Masehi dan selanjutnya mengalami pembauran baik secara biologis maupun kebudayaan dengan etnis Melanesia. Lihat B.H.M.Vlekke, Nusantara – A History of The East Indian Archipelago (Cambridge-Massachusetts: Harvard University Press,1943),5, dalam Tapilatu, Sejarah Gereja Protestan Maluku...,2-3.
58 J.A.Pattikayhatu,et al., Sejarah Daerah....,9. 59 Tim, Kosmologi Orang Wemale...,1. 60 Dalam Jacob W.Ajawaila, “Orang Ambon dan Perubahan Kebudayaan”, Artikel
dalam Jurnal Antropologi Indonesia edisi Th.XXIV, No.61, Jan-Apr. 2000., (Jakarta: FISIP UI, Jurusan Antropologi & Yayasan Obor Indonesia, 2000), 16a-b.
160 Religiositas Ambon-Kristen …
(a) Kelompok Tuni yang bermigrasi ke Pulau Seram dan
sekitarnya untuk kemudian melanjutkan migrasi ke Pulau
Ambon dengan menggunakan perahu secara bergelombang;
(b) Kelompok Wakan yang datang dari Kepulauan Banda dan Kei;
(c) Kelompok Moni, yang berasal dari Halmahera, Ternate dan
Tidore;
(d) Kelompok Mahu yang berasal dari Jawa, khususnya dari
wilayah sekitar Tuban.
Dari penelusuran sekilas tentang keberadaan penduduk
asli Maluku Tengah, yang diikuti pula dengan pergerakan (migrasi)
dan penyebaran penduduk, maka dapatlah disimpulkan bahwa
konfigurasi etnogenik orang Maluku Tengah dan Ambon tidaklah
bersifat tunggal, melainkan sangat majemuk dan konfiguratif.
Bahkan dapat dikatakan Ambon dan Seram laksana melting pot,
melalui konfigurasi etnik, dan tentunya pula termasuk kultur
keagamaannya. Beberapa benda dan artifak61 seperti Gong dan
Totobuang (alat musik sejenis gamelan, yang dipakai juga sebagai
benda pembayaran harta atau denda), Piring Cina (sebagai
perlengkapan harta adat), Tombak Besi (sebagai perlengkapan
perang), menjadi contoh indikasi kuatnya pengaruh multikultral
dan lintas-etnis terhadap keberadaan orang Ambon-Maluku itu
sendiri di masa lalu.
Kebanyakan orang Ambon dan Maluku meyakini bahwa
Nunusaku merupakan tempat asal mulanya mereka.62 Oleh karena
itu, ketika terjadi peristiwa Heka Nunusaku (Perpecahan kerajaan
Nunusaku63), dalam penelusurannya Bartels mengemukakan
61 Artifak adalah benda fisik yang mengalami olahan tangan manusia untuk
memenuhi keperluan tertentu. Keberadaan artifak tidaklah terisolasi, melainkan berada dalam pengaruh sistemik lingkungan dan manusia yang membuat artifak tersebut. Band. E.K.M.Masinambow & Rahayu S. Hidayat, Semiotik – Mengkaji Tanda dalam Artifak (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 1-2.
62Nunusaku sendiri merupakan sebuah gunung misteri yang terdapat di Pulau Seram dan dipandang suci. Lihat, Izak Y.M. Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,56.
63 Adapun salah satu penyebab dari peristiwa yang disebut juga dengan istilah “pica Nunusaku” tersebut adalah karena pembunuhan putri Hainuwele. Bandingkan, Lattu, Ibid.
Ritual Cuci Negeri Soya … 161
bahwa peristiwa tersebut merupakan momentum formatif bagi
hadirnya kelompok negeri-negeri dengan lokasi kediaman yang
cukup permanen hingga kini. Mereka keluar dari pulau Seram dan
mencari lokasi huniannya yang baru di wilayah-wilayah seperti:
pulau Ambon, Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut), Buru, Banda
hingga ke Tenggara.64 Khususnya terhadap kelompok migrasi
pertama dari orang Soya yang keluar dari Seram menuju ke lokasi
Soya yang sekarang ini, dapat dilihat pada penceritaan
“masyarakat perahu” yang datang dari Seram secara berkelompok,
dan berdiam di negeri Soya. Penuturan terhadap fenomena
tersebut telah dikemukakan pada Bab III, dalam bagian awal
pengulasan tentang sejarah negeri Soya.
Adapun proses diferensiasi tentang sejarah negeri Soya
dapat dilihat pula dari perubahan nama Soya itu sendiri. Merujuk
pada informasi dari bapa Ateng Huwa’a (salah satu warga asli Soya
yang turut menguasai cerita-cerita historis budaya Soya dan
Maluku), dinyatakan bahwa sebetulnya Soya memiliki nama
aslinya, yaitu Latu Sohia Siwo (Latu = Raja, Sohia = Soya, dan
Siwo/Siwa = Sembilan, yang menunjuk pada 9 soa/aman atau
negeri di Soya) yang dapat diartikan sebagai “raja atau kerajaan
Soya dengan sembilan soa/aman/negeri”. Namun dalam
perkembangan kemudian, 2 dari 9 soa/aman atau negeri yang
bernaung di bawah kekuasaan kerajaan Soya tersebut, yakni
64 Hal ini menjadi semacam “pengetahuan umum” bagi masyarakat Ambon dan
Maluku tentang Seram sebagai pusat (karena itu pulau Seram disebut sebagai Nusa Ina, yang artinya Pulau Ibu, laksana “ibu yang mengandung dan melahirkan pulau-pulau lainnya di Maluku sebagai anak-anaknya.”). Bahkan dari 6 periode penting yang dikategorisasikan sebagai periode sejarah orang Maluku, Bartels menempatkan periode pertama, yang disebutnya dengan Zaman Nenek Moyang, sebagai zaman yang tidak dapat ditentukan waktunya, namun diyakini sebagai periode awal kehidupan di Nunusaku sampai dengan periode masuknya Islam dan mencakup pula periode nenek moyang dari setiap klan yang masih tinggal tidak menetap sampai mereka mendiami kawasan pesisir secara permanen dan terjadinya pepan antara berbagai kelompok. Lima periode berikutnya adalah (1) Zaman Portugis, (2) Zaman Vlaming, yang mencakup masa kekuasaan VOC di Maluku dan termasuk gerakan monopoli VOC dengan operasi “hongi-tochten”-nya, (3) Zaman Pattimura, masa ketika orang-orang Ambon Kristen dan Muslim bersatu mematahkan belenggu kolonialisme Belanda, (4) Zaman Kompeni, yakni masa ketika banyak orang Ambon menjadi tentara Belanda (KNIL), hingga berakhir pada tahun 1950 dengan diredamnya usaha mendirikan RMS, serta (5) Zaman Republik, semenjak kemerdekaan RI hingga kini. Lihat, Bartels, Di Bawah Naungan....,437-438.
162 Religiositas Ambon-Kristen …
negeri Hatuela dan negeri Haumalang, terhapus keberadaannya
akibat penyerangan Portugis ke Soya pada tahun 1572, sehingga
nama itu pun berubah hingga tersisa nama Soya saja yang
dipertahankan hingga kini.65 Dengan demikian, maka fenomena
inipun dapat dimengerti sebagai suatu proses diferensiasi
terhadap nama negeri Soya itu sendiri.
Dengan menelusuri fenomena historis manusia Soya-
Ambon awal yang berdiam di Seram66 dan kemudian bermigrasi
sebagai “masyarakat perahu” hingga mendiami negeri Soya saat ini
pada satu pihak, lalu pada lain pihak diikuti dengan hadirnya
warga pendatang (orang luar) yang ikut berdiam dan
diinventarisasi (disensus) pula sebagai masyarakat Soya
~sebagaimana terlihat dalam fakta demografis melalui sensus
penduduk Soya yang tercatat di kantor pemerintah negeri Soya~,
maka terlihat adanya proses diferensiasi sosio-demografis pada
lingkup masyarakat Soya sendiri. Dari komunitas Soya yang asli
(mula-mula), lalu kemudian berkembang dan bercampur
(termasuk melalui proses kawin-mawin) dengan hadirnya kaum
pendatang dengan komposisi yang cukup berimbang dengan
penduduk asli, sehingga melahirkan generasi Soya masa kini yang
cukup majemuk dan hibrid.
IV.2.2. Penelusuran Sistim Kepercayaan dan Tatanan Adati
Ketika menelusuri tentang akar formasi sistim
kepercayaan dan ritual adati orang Maluku, Watloly ~pakar filsafat
sosiologi Maluku~ mengemukakan tentang fenomena Empat
Lapisan Kesadaran Religius orang Maluku, yaitu:67(1) Kesadaran
65 Transkrip Wawancara Penelitian pada tanggal Selasa 20 Sep 2018 di Soya, dengan
bapa Ateng Huwa’a (57 th), keluarga dari keturunan matarumah Huwa’a yang menjadi kepala soa adat di Soya.
66 Telah dikemukakan pada bagian awal bab III tentang Soya mula-mula” yang memiliki tempat asal di pulau Seram kemudian bermigrasi ke pulau Ambon, terlepas dari adanya 2 versi penuturan, yakni dari sebuah lokasi tinggal di kawasan Sawai Seram Utara, yang juga bernama “Soya” dan versi lainnya tentang leluhur Soya yang datang dari sekitar daerah Tala di Seram Barat.
67 Aholiab Watloly, Cermin Eksistensi Masyarakat Kepulauan Dalam Pembangunan Bangsa – Perspektif Indigenous Orang Maluku (Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara,2013), 338-342.
Ritual Cuci Negeri Soya … 163
Alam (Bentuk Kesadaran Awal), (2) Kesadaran Magis (Sistim
Keyakinan yang Non Bendawi/Personal), (3) Kesadaran Kritis
(sistim keyakinan yang rasional), dan (4) Kesadaran Sosial (Sistim
Kepercayaan dengan Pola Kontekstualisasi).
Menurut penulis, kesadaran religius tersebut apabila
ditempatkan dalam bingkai penelusuran terhadap elemen
kepercayaan yang lebih difokuskan kepada orang Ambon (Soya),
maka tidak bisa terelakkan untuk dilakukan penelusuran
korelasinya dengan “Agama Nunusaku”68, yang merupakan inti
dari identitas etnik-religius orang Maluku. Beberapa fenomena
yang dikemukakan oleh Bartels dalam penelusurannya terhadap
“agama Nunusaku” ini, antara lain:69
Pertama, Adanya Satu Tuhan. Bartels mengisyaratkan
bahwa sesungguhnya “monoteisme” itu telah berakar kuat dalam
kesadaran religiositas orang Ambon, Maluku. Kesadaran tersebut
terbangun pula dari suatu “sinkretisme vertikal maupun
horisontal.” Dan fenomena ini merupakan suatu konvergensi
penuh atau sebagian agama di tingkat yang sama.70 Lebih lanjut
ditambahkan bahwa, justru melalui peleburan parsial ini maka
orang-orang Ambon dimungkinkan untuk dapat mempertahankan
kesatuan etnis, terlepas dari perbedaan agama akibat kedatangan
Islam dan Kristen di antara mereka.71 Bagi orang Ambon, Kristen
maupun Islam, sama-sama memiliki keyakinan terhadap adanya
Tuhan Langit yang tertinggi dari para leluhur, yakni Upu Lanite.72
Kedua, Menempatkan gunung (Nunusaku) sebagai simbol
penting, yang tidak terlihat namun terdapat sebuah pohon
beringin besar yang tumbuh dan berbentuk payung, sebagai
simbol perlindungan.
68 Bartels mengisyaratkan bahwa agama Nunusaku itu sesungguhnya tidak memiliki
struktur ataupun semacam organisasi, juga tidak ada pemimpin religius dan tidak ada kuil-kuil tempat penyembahan. Namun apa yang dihidupi dan dijalani oleh masyarakat dalam religiositasnya, tanpa sadar mereka sedang mempraktikkan agama Nunusaku tersebut dengan pengaruhnya. Lihat, Bartels, Di Bawah Naungan ...,385.
69 Bartels, Di Bawah Naungan,377-386. 70Ibid. 71Ibid. 72Ibid,379.
164 Religiositas Ambon-Kristen …
Ketiga, Agama Nunusaku bercorak seperti agama sipil yang
terbuka dan merangkul warganya, dengan aksentuasi pada upaya
untuk melestarikan nilai-nilai identitas etnis Ambon.
Keempat, Jangkauan keterlibatan keanggotaan agama
Nunusaku, tentunya pertama-tama merujuk pada latar etnis
(Ambon). Selanjutnya terbuka bagi bukan hanya yang masih hidup,
melainkan juga para leluhur yang sudah meninggal, roh-roh, para
dewa, generasi yang akan datang, serta tanah dan alam sekitar
secara umum.
Kelima, Adapun isi, arti dan pokok utama agama Nunusaku
adalah masyarakat Ambon itu sendiri. Agama ini mencakup
seluruh sifat-sifat dari masyarakat Ambon, dan sekaligus memberi
arti bagi identitas Ambon, dan melestarikannya serta membangun
hubungan harmonis antara Kristen dan Muslim Ambon (Salam-
Sarane). Orientasi agama ini menghadap ke dalam, yakni
kepeduliannya pada masyarakat dan budaya orang Ambon. Dan
karena itu, agama ini pun tidak mengklaim diri sebagai kebenaran
tertinggi bagi semua orang, terkecuali bagi orang Ambon sendiri.
Keenam, Pela sebagai Pusat dan Sarana Peribadatan
“agama Nunusaku”. Bagi Bartels Pela merupakan pusat budaya
agama etnis Ambon. Melaluinya tercipta persatuan di Nunusaku.
Karena pelembagaan adat pela memungkinkan para leluhur untuk
menghapus kesalahan-kesalahan yang terjadi di Nunusaku dan
memulihkan hubungan persaudaraan di antara semua orang
Ambon.
Singkatnya, patut dikonstatir bahwa Nunusaku (dan juga
Nusaina) telah menjadi worldview dan sekaligus sumber
religiositas bagi orang Maluku pada umumnya, dan orang Ambon
pada khususnya.73Ketika melakukan penelusuran riset terhadap
ritual CN Soya, maka fenomena “agama Nunusaku” yang
dikonstatir oleh Bartels ini, penulis menjumpaifenomena tersebut,
73Bandingkan Weldemina Yudit Tiwery, Teologi Ina, Menggali dari Nusa Ina, Pusat
Leluhur Orang Maluku, Disertasi(Yogyakarta: Program Doktor UKDW,2015),166-184.
Ritual Cuci Negeri Soya … 165
misalnya melalui formulasi tentang Sang Ilahi yang tertinggi
(Kapua Upu Ila Kahuressy Lebe Hanua74), yang diyakini dan
rumuskan oleh masyarakat Soya melalui doa adat mereka
(pasawari) di ritual CN. Dalam kenyataannya, formulasi tersebut
juga bukanlah khas Soya, melainkan memiliki korelasi dengan
sapaan-sapaan ilahi, sang penguasa tertinggi, sebagaimana yang
ada di masyarakat Seram (Nusaina).
Hetharia ketika menelusuri tentang filsafat Siwalima dalam
disertasinya,75 merilis tentang adanyatradisi oral orang Maluku
yang menceritakan bahwa Nunusaku merupakan tempat di mana
Upu Yama EE (Ibu Bumi) melahirkan Alif Uru (Manusia Awal),
sebagaimana yang dinyatakan oleh Bouland dengan menyebutkan
sapaan yang hampir sama dengan sapaan ilah Kapua Upu Ila
Kahuressi Labe Hanua,76
Pada awalnya Kapua Upu Ilah Kahuressi menciptakan alam semesta (asa) dengan menampilkan Bapak Matahari (Upu Tahola), Ibu Bumi (Upu Yama EE), dan pengawalnya bumi yakni Bulan (Upu Ila Kee). Selama pertumbuhan mereka dari masa kanak-kanak hingga dewasa, terjadilah bahwa sang Bapak Matahari menaruh hati pada ibu Bumi dan sebaliknya. Maka ketika sinar pertama dari Bapak Matahari menyentuh ibu Bumi, hamillah ibu Bumi sembilan zaman lamanya. Sesudah genap waktunya, lahirlah Alif Uru (Manusia Awal). Tempat kelahiran tersebut adalah Nunusaku.
74 Dalam bahasa tanh, sapaan tersebut dapat dirinci artinya sebagai berikut: Kapua=
merupakan kata sandang atau sapaan untuk yang dihormati; Upu = sering dipakai sebagai bentuk sapaan kepada raja atau kepala atau orang yang dianggap lebih tua; Ila = Yang memiliki kuasa; Kahuressy= Gagah perkasa, tangguh, kuat; Lebe = Lebih dan Hanua = dari segala-galanya. Lihat: Madlyne Vivian Aunalal, Kapua Upu Ila Kahuressy Lebe Hanua – Tinjauan Sosiologis Terhadap Konsep Kapua Upu Ila Kahuressy Lebe Hanua dalam Upacara Adat Cuci Negeri di desa Soya – Ambon. Skripsi (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW 2010),20.
75 Henky Herzon Hetharia, Nilai-Nilai Filsafat Hidup Siwalima Sebagai Sarana Penguatan Karakter Masyarakat Multikultural di Maluku, Studi Filsafat Terhadap Orang Maluku di Ambon, Disertasi (Yogyakarta: Program Doktor Program Studi Ilmu Filsafat UGM, 2014), Tidak diterbitkan.
76 Bouland dalam Ibid, 87.
166 Religiositas Ambon-Kristen …
Bahkan dalam “perjanjian damai Siwalima”yang
berlangsung di tempat pertemuan tiga batang air di wilayah
Nunusaku pulau Seram, Hetharia, dengan mengutip tuturan Atus
Kailuhu (tokoh adat negeri Hutumury), mengemukakan adanya
sebuah kapata yang juga eksplisit menyebutkan Upu Ila Kahuressi,
antara lain: “Ami pusuma bei, patasiwa mesike, saisa onani, ami
tumbanu pimoo, Upu ila Kahuressi, moyang-moyang upu ama upu
ini bei nunusaku, yana kapale tapate kenamu, ini kakurale mese-
mese, Upu Ila Kahuressi barakte ami pusuma.” (Artinya: Kami dari
patasiwa berjanji, biarpun apa yang akan terjadi, kami harus saling
membantu. Jikalau tidak, Tuhan Allah, Tete nene moyang, tete
bapa dari Nunusaku, berikan kutuk bagi kami. Kiranya Tuhan Allah
memberkati kami).77
Penelusuran terhadap sistim kepercayaan tradisional yang
mewarnai religiositas orang Soya, memperlihatkan bahwa bagi
orang Soya, dan Ambon, struktur kepercayaan tersebut dipahami
dalam 2 (dua) golongan, yakni: Upu Lanite (langit)dan Upu Umi
(bumi) sebagai golongan I, serta arwah para tokoh/leluhur, roh-
roh tempat tertentu, nitu (dewa hutan) sebagai golongan II, yang
peranannya sebagai perantara manusia dengan golongan I. Para
ilah dan roh ini dilihat pula sebagai sumber segala kebajikan dan
keburukan yang menimpa manusia. Bencana atau musibah yang
terjadi, dimengerti sebagai akibat marahnya para ilah/roh kepada
masyarakat yang lalai melakukan kewajibannya. Solusi yang
dituntut adalah bahwa masyarakat harus segera membereskan
relasinya dengan para ilah/roh, melalui kegiatan-kegiatan seperti:
cuci negeri, atur adat, naik baileo.78
Yang menarik pula adalah ketika formulasi “ketuhanan” a’la
Soya ini mengalami diferensiasi dengan penambahan formula
“trinitas” dalam kekristenan, sehingga rumusannya menjadi:
Kapua Upu Ilah Kahuressy Lebehanua,
77 Dalam Ibid, 105. 78 Bandingkan: Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa Sosio-Budaya...,Tesis,4 -5.
Ritual Cuci Negeri Soya … 167
Kedua Yang Maha Besar Tuhan kami, Isa Almasih,
Ketiga Rohul Kudus.
Bagi orang Soya, sebagaimana yang penulis temukan
melalui hasil wawancara dengan beberapa informan dan
kelompok focus group discussion,79 hampir sebagian besar
mengakui bahwa rumusan tersebut merupakan rumusan keesaan
trinitas. Dengan demikian, paham “monoteisme” yang dianut oleh
“agama Nunusaku” masih kuat dipertahankan, kendati telah
mengalami diferensiasi dengan paham trinitas dalam kekristenan.
Dengan kata lain, telah terjadi hibridisasi ketuhanan antara
keambonan dengan kekristenan itu sendiri, yang mengalami suatu
proses yang mirip dengan yang penulis sebut dengan istilah
“sayur kol-nisasi”, sebagai wujud adaptasi dalam suatu arena
strategi survival.80
Disadari sungguh bahwa, fenomena pemahaman dan
kesadaran religiositas tersebut sangat kuat, karena adat bagi orang
Ambon dan Maluku Tengah, merupakan fondasi dan inti dari
79 Antara lain dengan bapa raja Soya, kepala adat (Opa Huwa’a), dan juga bapa
Pendeta P. Kempa (Ketua Majelis Jemaat GPM Soya), juga dalam kelompok FGD. 80 Beberapa waktu belakangan ini sangat viral di jagat maya, lagu Sayur Kol yang
bernuansa Batak oleh group band Punxgoaran, dan sempat menjadi trending topic. Lagu tersebut justru diviralkan oleh si bocah cilik yang bernama Avika boru Siahaan. Pada penggalan syair lagunya terdapat kata-kata, “...makan daging anjing dengan sayur kol....” Ketika lagu ini dinyanyikan oleh Nella Kharisma, lagu tersebut mengalami perubahan adaptasi pada irama dan syairnya. Iramanya dirubah menjadi irama dangdut reggae. Sementara dari keseluruhan syair lagu asli, perubahan hanya terjadi pada penggalan syair tersebut, yakni dirubah menjadi “...makan daging kambing dengan sayur kol....”
Dalam pencermatan penulis, fenomena ini dapat dimengerti dengan apa yang dinamakan sebagai sebuah proses adaptasi dalam suatu arena strategi survivaldengan pelbagai motif dan kepentingannya. Sebagaimana diketahui bahwa Nella Kharisma berasal dari daerah Nganjuk Jawa Timur, beragama Islam dan populer dikenal sebagai penyanyi dangdut. Tentunya, bagi si penyanyi maupun beberapa kalangan dari sub etnis dan agama tertentu, kosakata “makan daging anjing” tidaklah begitu “sedap dinyanyikan” bila dikaitkan dengan nuansa latar kultur mereka. Fenomena ini berbeda bila dibandingkan dengan mereka yang bernyanyi atau mendengar dari latar kultur Batak, sebagaimana yang menjadi latar dominan kultur group band Punxgoaran. Oleh karena itulah, kita dapat mengerti bila kosakata tersebut kemudian lalu dirubah menjadi “makan daging kambing”, sebagai sebuah kosakata yang lebih dapat diterima bagi kalangan pendengar dan penggemar (fans), yang memiliki latar belakang kultur dan agama tertentu. Konon, respons yang menyukai lagu Sayur Kol versi Nella Kharisma sebanyak 12 ribu pengguna (Sumber: jogja.tribunnews.com). Dalam konteks seperti inilah yang penulis maksudkan dengan sebuah proses “sayur kol-nisasi” dalam strategi survival.
168 Religiositas Ambon-Kristen …
identitas keambonan itu sendiri.81 Dalam hubungan itu, maka adat
dan para leluhur memiliki korelasi yang sangat kuat bagi orang
Ambon. Pada satu pihak adat-istiadat diyakini sebagai “jalan para
leluhur”, sementara pada pihak lainnya, para leluhur dipandang
sebagai penjaga dan pelindung kehidupan, generasi anak-cucu
dengan segala warisannya.82 Itulah sebabnya, dalam pasawari (doa
adat), setelah rumusan “trinitas a’la Soya” tersebut, maka sebutan
para leluhur Soya diikutsertakan. Dituturkan secara eksplisit
dalam kapata pasawari tersebut bahwa penyebutan tersebut sama
sekali bukanlah dalam konteks pemujaan berhala atau
penyembahan kepada para leluhur, tete nene moyang, melainkan
diakui dan dihayati sebagai wujud dari suatu penghormatan para
leluhur tersebut.
Adapan rumusan tersebut dapat dilihat jelas dalam kutipan
berikut ini:
Doa Adat (Pasawari) Terjemahan Adaptasi
Kapua Upu Ilah Kahuressy Lebehanua, Kedua Yang Maha Besar Tuhan kami, Isa Almasih, Ketiga Rohul Kudus. Upu Ama Upu Wisawosi83, Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit,84 Upu Latu Yisayehu Guru Latu Yisayehu85
Allah yang Tertinggi, Kedua Tuhan Yesus Kristus, Ketiga Roh Kudus. Upu Ama Upu Wisawosi Upu Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit Upu Latu Yisayehu Guru Latu Yisayehu Upu Ama yang disembah semua orang,
81 Bartels, Di Bawah Naungan....,258-259. Bartels pun merilis suatu perbandingan
dalam konteks Islam Ambon dan Kristen Ambon yang berdiam di Belanda. Bila bagi Muslim Ambon, yang lebih ditekankan adalah keislamannya, maka bagi kalangan Kristen-Ambon, justru adatlah yang lebih ditekankan, sekaligus sebagai pembeda dari orang Belanda. Dengan kata lain, melalui sinyalemen ini, terlihat bahwa bagi orang Ambon-kristen, sekalipun telah berdiam jauh di negeri orang (seperti Belanda), namun akar dan ekspresi religiositas seperti ini tak dapat dipungkiri.
82Ibid,260. 83 Sebutan untuk leluhur komunal Soya. 84 Gelar bagi raja Soya yang pertama. Diduga pemberian gelar ini berkaitan dengan
relasi perdagangan dan juga pernikahan antara raja Soya dengan salah satu anggota dari kerajaan Majapahit yang bernama Dewi Ayu Putu Sarini Nyi Sia.
Ritual Cuci Negeri Soya … 169
Upu Ama sembahan kupaharehu, ....karena itu bukan barang areka urung sakakenu menyembah berhala-berhala, bukan sekali-kali,
... karena kami sama sekali bukanlah para penyembah berhala tetapi merupakan perintah dari pendeta (mauweng) kami
Selanjutnya, salah satu ritus yang berkaitan erat dengan
religiositas orang Ambon adalah ritus kakehan.Dari pencermatan
penulis, terlihat bahwa ritus kakehan ini sangat kuat melatari
prosesi ritual CN Soya. Pada pemaparannya tentang ritus ini,
Cooley bahkan menyebutkan bahwa Kakehan merupakan salah
satu lembaga asli yang penting di Seram (Barat) dan beberapa
bagian di Ambon-Lease.86 Dalam lingkup perkumpulan sosial,
khususnya Patasiwa Hitam, kakehan merupakan perkumpulan
rahasia bagi orang lelaki dewasa yang memiliki kemampuan
tertentu. Kakehan ini berhubungan dengan kepercayaan kepada
Roh Besar, Nitu Elake, yang diyakini menghuni rumah kakehan
bersama (dengan) rombongan besar roh atau nitu lainnya, yaitu
arwah para anggota perkumpulan yang sudah meninggal. Salah
satu ciri dari kultus ini pula terlihat dalam hal ritus inisiasi bagi
anak laki-laki yang akil-balik, sebagai bagian dari proses mediasi
(rites de passages) yang mempersiapkan seorang remaja lelaki
secara spiritual menuju tahap kedewasaan. Proses ritual yang
harus dilalui antara lain, sang anak dibawa ke hutan oleh para
tetua suku dan hidup selama beberapa bulan di hutan. Segala
kebutuhan hidup harus dipenuhi sendiri. Pada waktu yang
ditentukan ia harus kembali ke komunitas suku dengan membawa
kepala manusia dari suku yang lain yang ditemuinya dalam masa
“pendidikan”-nya.87 Selanjutnya kepala manusia tersebut dibawa
dan ditanamkan di bawah tiang tegak (disebut tiang pamali)
85 Gelar yang diberikan kepada mauweng (pendeta) adat, yang berperan juga sebagai
guru bagi masyarakat di bidang spiritual. Gelar ini pun dikenakan kepada raja Soya, sebagai indikasi bahwa pada masa dulu raja juga memiliki peran rangkap, termasuk sebagai “mauweng” tersebut.
86 F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta...,330. 87 Bandingkan Steve G.Ch. Gaspersz, Analisa Sosio-Budaya dan Refleksi
Teologis...,Tesis,17.
170 Religiositas Ambon-Kristen …
rumah kakehan yang sedang dibangun. Para anggota yang telah
diterima akan di-tato dengan simbol-simbol Matahari dan benda-
benda langit lainnya. Seluruh proses pelaksanaan kultus dilakukan
oleh Mauweng atau imam kakehan.
Kendati pada tahun-tahun akhir abad ke-19 kultus kakehan
dilarang oleh kolonial Belanda, karena sifatnya yang rahasia dan
dikuatirkan dapat menjadi ancaman politik, namun Cooley
mengakui bahwa kultus tersebut tidaklah mati. Pada peristiwa
RMS tahun 1950-an, kecenderungan kakehan ini muncul pula.
Bahkan dalam realitas konflik-sosial di Ambon dan beberapa
tempat di Pulau Seram, terlihat adanya praktek-praktek a’la
kakehan yang dimunculkan lagi. Hal itu terlihat misalnya dengan
aktifitas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan beberapa
kelompok pemuda yang hendak “menuju ke medan laga”,
selanjutnya dilakukan apa yang dikenal dengan istilah atur adat
(dalam beberapa kasus kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh
pemuka masyarakat atau ketua adat tetapi melibatkan pula
pendeta atau imam/uztad setempat) untuk melepas
“rombongan/kelompok”. Dalam beberapa konflik (seperti di Passo
versus Leihitu, Waai versus Liang dan Tulehu, Porto versus Kulur,
dan di Piru, Seram Barat), rombongan yang “berhasil melakukan
pengayauan” terhadap lawan, membawa pulang “hasilnya” ke
masyarakat/komunitasnya dan pemuka adat (bahkan ada yang
membawa ke pendeta jemaat) untuk selanjutnya ditempatkan di
Baileo.
Ritus Kakehan sendiri terdiri atas tiga tahap: Pertama, ritus
pemisahan ketika anak laki-laki diambil dari keluarga untuk
memasuki tahap kematian simbolis; Kedua, tahap transisi
liminalitas, yang menandai bahwa anak-anak tersebut sudah tidak
lagi dikategorikan sebagai anak-anak, tetapi juga belum jadi lelaki
dewasa; Ketiga, merupakan tahap terakhir, yakni tahap
reintegrasi, dipercaya sebagai orang (laki-laki) dewasa.88
88 Bartels, Di Bawah Naungan....,73.
Ritual Cuci Negeri Soya … 171
Ketika para kelompok remaja-pemuda laki-laki mengikuti
ritual matawana di puncak gunung Sirimau, di lokasi tempayang,
maka mereka menjalani suatu prosesi yang hampir tidak berbeda
dengan yang dijalani dalam ritual Kakehan. Kesamaan tersebut
misalnya: (1) Semua anak-anak dan perempuan diwajibkan untuk
tidak terlibat (kalau di Kakehang kelompok ini diungsikan ke
hutan); (2) Mitos ular naga atau ular besar, dapat disandingkan
dengan cerita kelompok matawana yang akan “ditelan oleh ular
naga”. Kalau di Kakehan, roh dari anak atau saudara laki-laki yang
ikut ritual ini akan ditelan oleh Nitu Ela (Roh Agung), yakni sang
roh pelindung Kakehan yang berwujud ular besar.89 Dengan
merujuk pada temuan Deacon dan Cooley, Lattu dalam
penelusurannya tentang korelasi antara ritual CN Soya dengan
tradisi Kakehan, mengemukakan bahwa Oral tradition in Soya
supports this understanding of cuci negeri as a legacy of “indigenous
religion.” Agama Nunusaku, in Seram influenced the cuci negeri in
Soya.90
Pemaknaan lainnya dari latar kepercayaan dan ritus
kultural yang ada, jelas mengekspresikan watak religiositas orang
Soya-Ambon yang erat terkait antara kepercayaan (agama) dan
adat itu sendiri. Perwatakan ini pun nantinya akan kuat menonjol
ketika masuknya agama Kristen maupun Islam. Sehingga baik
kekristenan maupun keislaman orang Ambon menjadi khas
sebagai unsur yang berpadu dengan karakter kebudayaan orang
Ambon sendiri.91 Bahkan keterkaitan unsur agama dan budaya
dalam watak orang Ambon itu sering dianalogikan dengan “kue
lapis”: lapisan keambonan dengan kekristenan atau keislaman
misalnya saling berpengaruh satu dengan lainnya.
F.L. Cooley sendiri melihat bahwa penyapaan Tete Manis
dalam kekristenan Ambon (untuk Tuhan [Yesus]), sesungguhnya
89 Ibid,71. 90 A.B. Deacon, “The Kakihan Society of Ceram and New Guinea Initiation Cults,”
Folklore 36,no.4 (December 31,1925), 223-61 dan Frank L. Cooley, “Altar and Throne in Central Moluccan Societies,” Indonesia, no.2 (1966), 135-56, dalam Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,121.
91 Band. F.L.Cooley, Mimbar dan Takhta....,281, 335-339
172 Religiositas Ambon-Kristen …
dipengaruhi kuat oleh kepercayaan adati terhadap Tete Lanite.92
Bahkan sikap terhadap tempat dan simbol-simbol peribadahan
suatu agama misalnya (antara lain seperti: Gereja, Mesjid, Salib,
Alkitab atau Alquran) ataupun ekspresi warna (seperti warna kain
pengikat kepala ~berang~ merah atau putih) sesungguhnya
dipengaruhi kuat oleh watak religiositas-kultural orang Ambon itu
sendiri. Fenomena perwatakan religius sedemikian
memungkinkan kita untuk dapat memaknai betapa aksi provokasi
konflik Maluku seperti perusakan atau pembakaran gedung Ibadah
atau simbol-simbol kekristenan atau keislaman, merupakan salah
satu modus operandi provokatif yang cukup jitu dalam meletupkan
konflik di Ambon-Maluku. Begitupun halnya dalam penggunaan
Alkitab atau simbol-simbol agama lainnya pada saat berada di
medan konflik, patut dikatakan bahwa fenomena tersebut tidaklah
dapat dipisahkan dari pemahaman religius kultural masyarakat
seperti magis, tabu dan manna (atau yang dalam istilah orang
Ambon dikenal dengan sebutan pakatang, tali kaeng).
Selanjutnya, terkait dengan penelusuran terhadap tatanan
adati masyarakat Soya-Ambon, dapat dilihat pula diferensiasinya
pada pola-pola pengorganisasian masyarakat adati Ambon-
Maluku, semenjak dari tempat hunian lamanya di Seram, Maluku
Tengah, hingga migrasi ke pulau Ambon. Perubahan tatanan
masyarakat adati itu terlihat pada pengorganisasian kelompok
mata-rumah (marga), yang berhimpun dalam suatu soa, kemudian
sejumlah kumpulan soa menjadi Aman atau Hena. Demikian pun
terhadap peran-peran kepemimpinan, antara lain dari seorang upu
yang dipercayakan memimpin soa atau hena. Kemudian posisi dan
peran dari seorang Kapitang, yang semula merupakan pemimpin
dari suatu negeri (desa atau kampung), namun seiring dengan
masuknya pengaruh kolonial yang mengintrodusir jabatan raja,
maka posisi Kapitang pun bergeser.93
92Ibid. 93 Bandingkan Elifas Tomix Maspaitella, “Tiga Batu Tungku: Mekanisme Sosial
Hubungan Antarinstitusi dan Sumbangannya Bagi Strategi Pengelolaan Pemerintahan
Ritual Cuci Negeri Soya … 173
Apabila ditautkan dengan fenomena pengorganisasian
masyarakat adat yang ada di Soya, tampak terlihat akar
korelasinya dengan apa yang berlaku di Seram dan selanjutnya
mengalami diferensiasinya ketika Soya mengorganisir dirinya
melalui institusi pemerintahan adati sebagai sebuah negeri adat.
Hal tersebut terlihat dari kian meluasnya struktur dan peran
dalam kepemimpinan masyarakat adat Soya saat ini. Pada
lampiran 4, dapat terlihat contoh pola dan struktur pemerintahan
Soya, yang turut mengalami dua kali diferensiasi pada tahun 2000
dan tahun 2017.
IV.2.3. Penelusuran Corak Simbol dan Performansi
Dalam ritual CN Soya, ada sejumlah simbol dan
performansi kultural-adati yang turut mewarnai ritual itu sendiri.
Pada bagian penelusuran ini, penulis memperhadapkan beberapa
contoh penelusuran terhadap simbol dan performansi, yang antara
lain akan diuraikan sebagai berikut.
Satu, Simbol Bendera dan Lambang Negeri. Yang
pertama adalah simbol bendera tana, yang dibuat dari kain
denganbermotif batik-lurik panjang, dan dianalogikan juga sebagai
simbol dari ular patola.94 Ditelusuri bahwa simbol ini memiliki
keterkaitan dengan bahan yang digunakan oleh para leluhur di
Seram sebagai cawat atau cidaku, yang bermakna kejantanan,
gambaran dari sifat nenek moyang orang Seram.95 Sementara
simbol bendera yang kedua adalah bendera merah-putih. Sudah
dapat dipastikan bahwa fenomena penggunaan bendera nasional
merah-putih tersebut baru digunakan dalam konteks kedaulatan
republik Indonesia. Selain kedua bendera tersebut, Soya sendiri
memiliki lambang negeri Soya yang telah dibuat sebagai panji atau
pataka, dan karena itu sama sekali tidak diusung pada saat
Berbasis Budaya Maluku”, dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas....,79-91.
94 Diduga corak kain patola ini pengaruh dari agama Hindu, karena asal-muasal kain patola ini merupakan kain tenunan dengan motif bersuluk-suluk yang menyerupai seekor ular sawa, dan berasal dari Gujarat, India. Lihat: Bartels, Di Bawah Naungan..., 397.
95 F.L. Cooley, Mimbar dan Takhta...,133.
174 Religiositas Ambon-Kristen …
berlangsungnya ritual CNseperti kedua bendera lainnya,
melainkanhanya ditempatkan di kantor negeri Soya.
Keterangan Foto:
Kiri, Panji Lambang Negeri Soya yang pada bagian tengahnya
tergambar seorang perempuan Soya yang sedang memangku kota
Ambon, dan di bagian bawah tertulis: ZOJA. Kanan, Bendera
Merah-Putih, pada ujungnya diikat Daun Gadihu; dan Bendera
Tanah, pada ujungnya diikat Daun Damar.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi dan :
http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-
soya-08-desember-2017/) Diunduh 2 Mei 2018.)
Dua, Peralatan musik instrumentalia pengiring. Salah
satu alat musik yang dipakai dalam ritual CN Soya adalah gongdan
tifa-totobuang. Tamaela dalam penelusurannya tentang alat musik
ini mengkonstatir bahwa sangat diduga kuat alat musik gong
diperkenalkan oleh para pedagang Muslim yang datang dari Jawa
pada abad ke-15.96 Sementara untuk musik totobuang, diduga kuat
datang dari pengaruh kerajaan Ternate pada abad ke-15.97 Dalam
perkembangan kontemporer, peralatan musik yang dipergunakan
sudah mengalami diferensiasi dengan hadirnya alat-alat musik
96 I. Chr. Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy in the Moluccan Church,
With special Reference to the Protestant Church of the Moluccas, Disertation (Amsterdam: Vrije Universiteit, Unpublished,2015),51-52. Dalam ritual CN Soya, peralatan musik Tifa-Gong itu telah baku dipakai. Sedangkan untuk Totobuang, biasanya disesuaikan dengan kebutuhan khusus acara.
97Ibid, 68.
Ritual Cuci Negeri Soya … 175
modern, seperti Keyboard dan fasilitas elektronik penunjang
seperti soundsystem dan CD Player, yang dipakai menopang
tahapan akhir dari ritual CN Soya, yakni tahap Pesta Negeri.
Keterangan Foto:
Para penabuh dan alat musicTifa-Totobuangmilik sanggar
Wairanang (anak negeri Soya), yang dipakai pada acara CN.
(Sumber: http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-
cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)
Tiga,Folklore berupa nyanyian Adat, yang dikenal dengan
Kapata dan Suhat. Dalam prosesi ritual CN Soya, terdapat
performansi Kapata dan Suhat yang sangat khas Soya. Dan
ternyata performansi kedua folklore tersebut memang telah
menjadi bagian dari tradisi Siwalima di Seram. Khususnya tentang
Kapata, Bouland mengungkapkan bahwa di dalam tradisi
Siwalima, kapata berarti Kapa Pata Tita. Kapa berarti puncak
gunung yang berbentuk tajam, seperti jari telunjuk menunjuk ke
langit. Pata berarti diputuskan, tak dapat diubah. Sedangkan Tita
berarti sabda, ucapan tegas. Jadi secara hurufiah, Kapa Pata Titah
berarti ucapan-ucapan tegas yang tidak dapat diubah, yang naik ke
atas sebagai gunung berpucuk tombak, tertuju ke Allah (Sang
Penguasa).98 Melalui Kapata, masyarakat Ambon-Maluku
mengekspresikan pemujaannya kepada Yang Ilahi, dan sekaligus
98 Dalam Hetharia, Nilai-Nilai Filsafat...,Disertasi,87.
176 Religiositas Ambon-Kristen …
penghormatannya kepada para leluhur, beserta kisah-kisah
monumental mereka di masa lampau.99 Corak yang hampir tidak
berbeda, terlihat pula pada Suhat sebagaimana yang
diperformansikan dalam ritual CN Soya.Penelusuran yang
dilakukan oleh Pieter dalam riset tesisnya tentang Suhat di ritual
CN Soya, antara lain mengungkapkan bahwa:100
Suhat adalah nyanyian pengiring prosesi ritual Cuci Negeri, ...dinyanyikan secara kolektif oleh masyarakat Soya....Menurut ketua dari soa , Suhat adalah nyanyian adat atau nyanyian tanah, dan sama dengan Kapata. Perbedaan yang terjadi disebabkan mungkin karena pengaruh Islam di Soya oleh karena pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate....Hal ini yang mungkin menjadi latar belakang masyarakat Soya, oleh karena pengaruh bersentuhan dengan kebudayaan Islam sehingga menyebutkan nyanyian mereka sebagai Suhat.
Kendati penamaan jenis musik ini mengalami pengaruh
Islam, namun Pieter tetap pada kesimpulan bahwa berdasarkan
analisis terhadap temponya, biramanya, gaya bernyanyinya, teknis
bernyanyinya (ostinato), serta ambitusnya, maka musik Suhat
merupakan jenis musik asli orang Soya-Ambon, yang memiliki
kesamaan pula dengan Kapata.101 Dan ketika dilakukan analisis
struktural terhadap mitos dalam Suhat dengan mencermati isi dan
kandungan filosofis kultural di balik syair-syair Suhat yang dipakai
dalam ritual CN Soya, maka Pieter pun melihat korelasi yang
sangat kuat dengan pola atau skema filosofi manusia “Uru” dalam
falsafah Siwalima, sebagaimana yang dikemukakan oleh Boulan.102
99 Bandingkan Hetharia, Ibid, 88 dan Talupun Johanna Silavana, “Pertama Tuhan,
Kedua Tete Nene Moyang, Hermeneutik Poskolonial Terhadap Ulangan 26:1-15 Dan Upaya Memahami Praktik Penghormatan Kepada Nenek Moyang Dalam Konteks Masyarakat Kamarian”, Disertasi (Yogyakarta: Program Pascasarjana Teologi UKDW, Tidak diterbitkan, 2018),160.
100 Pieter Jenne, Mitos Dalam Suhat Masyarakat Soya, Sebuah Pendekatan Metodologi Strukturalisme Levi-Strauss, Tesis (Jogyakarta: Pascasarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, 2013), 73-74.
101 Ibid, 78-81. 102 Lihat, Ibid,85-102
Ritual Cuci Negeri Soya … 177
Seiring dengan masuknya Portugis pada abad ke-16 dan
Belanda pada abad ke-17, maka nuansa musikal dan performansi
dari Eropa turut berpengaruh terhadap musik dan performansi
ritual oang Ambon, termasuk di Soya. Tamaela melihat salah satu
pengaruh tersebut, tampak juga dengan karakteristik skala notasi,
di mana umumnya tradisi musik Barat menggunakan diatonis atau
heptatonic (7 nada), sementara pola nada pentatonic (5 nada) lebih
dominan mewarnai ciri musik tradisional orang Ambon-Maluku.103
Melalui ritual dan simbol-simbol performansi musikal-
adatinya, orang Ambon-Maluku, termasuk orang Soya pun
mengekspresikan dan sekaligus merawat memori-memori kolektif
mereka, yang tentunya berdampak pada integrasi sosial warga.
Lebih khusus tentang korelasi ritual dan simbol-simbol
performansinya, Lattu melihat bahwa jauh sebelum datangnya
agama Islam dan Kristen di Maluku, fenomena tersebut
merupakan social mechanisms to establish and to maintain the
social order.104 Bila Kapata lebih bersifat monologis, maka Suhat
merupakan bentuk nyanyian adat yang dinyanyikan secara
kelompok dengan pola berbalas-balasan (dialogis).
Empat, Khususnya terhadap simbol seperti sesembahan,
siri pinang dan pasawari (doa adat), penelusuran Lattu
memperlihatkan bahwa beberapa simbol yang dipakai dalam ritual
CN Soya tersebut, memiliki kesamaan dengan yang lazim
digunakan dalam “agama Nunusaku”, antara lain seperti:
sesembahan atau natzar, siri pinang, pasawari.105
103 Tamaela, Contextualization of Music and Liturgy ...., Dissertation,52-53. 104 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,120. 105 Ibid,122.
178 Religiositas Ambon-Kristen …
Keterangan Foto:
Kiri Atas, Sirih-Pinang dan Tembakau ditempatkan di meja pimpinan rapat Saniri Besar Soya, sebagai bagian dari tahapan ritual CN. Simbol-simbol tersebut hanya ditempatkan, tidak dicicipi. Kanan Atas, usai dipergunakan tempat kotak sirih-pinang tersebut dibawa dan ditempatkan di meja khusus di lokasi Baileo Soya, tempat berlangsungnya Upacara CN Soya. Kanan Bawah, Sirih-Pinang dengan kotak khusus berwarna putih dipegang oleh salah satu mata-ina, ketika berlangsung penyambutan rombongan matawana di teung Rulimena. Dan pada momentum penyambutan tersebut, sirih-pinang beserta sopi dan rokok dinikmati oleh para rombongan, dijamu oleh para mataina Rulimena. (Sumber: Dokumentasi Pribadi dan http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)
Peralatan simbolik sirih-pinang dan tabaku (tembakau)
yang dipersiapkan untuk menyambut rombongan matawana yang
baru turun dari puncak Sirimau, merupakan simbol pernyataan
Ritual Cuci Negeri Soya … 179
kesediaan dan kesaturasaan, kesatuhatian dari semua pihak untuk
menjalin tali persaudaraan dalam menjalani ritual cuci negeri.
Dengan kata lain, ungkapan dan simbol sirih-pinang: Sohi sala hua
sohi sala mu tabaku (Sirih-pinang dan tabaku telah tersedia),
mengisyaratkan makna tentang acara cuci negeri siap dimulai dan
semua pihak telah siap melaksanakannya. Dengan demikian, tidak
ada lagi salah paham di antara masyarakat negeri Soya yang akan
menjalani ritual cuci negeri tersebut. Makna simbolik tersebut
sangat melekat jamak dalam tradisi penggunaan simbol makan
sirih-pinang dalam agama Nunusaku.106
Lima, Simbol tanaman (daun) gadihu. Dalam ritual
inisiasi Pataheri (ritual peralihan bagi remaja lelaki untuk
memasuki fase kesiapan dan kematangan sebagai pemuda) di suku
Nuaulu misalnya, peralatan daun gadihu (Sinsite) ini telah
dipergunakan, dengan jenis daun yang bertangkai lima dan
berwarna kuning.
Keterangan Foto:
Kiri, para mataina menari (badendang) sukacita sambil mengangkat daun gadihu, menyambut datangnya bapa raja ke lokasi Baileo. Kanan, dengan menggunakan daun gadihu aneka jenis, para mataina juga melakukan akta simbolik pembersihan Baileo negeri Soya. (Sumber: http://soya.desa.id/2017/12/13/galeri-photos-adat-cuci-negeri-soya-08-desember-2017/Diunduh 2 Mei 2018.)
106Ibid.
180 Religiositas Ambon-Kristen …
Adapun warna dan corak tersebut bermakna kehidupan
(kuning, cahaya matahari yang meni dan menghidupkan) dan
sekaligus keamanan atau perlindungan.107Menurut Tamaela,
simbol daun gadihu ini memang khas Nunusaku, yang memiliki
makna kehidupan dan perlindungan (dari pelbagai kuasa-kuasa
jahat).
Kendati diakui bahwa, telah terjadi diferensiasi
materialnya, sehingga ~seperti juga yang penulis lihat di ritual CN
Soya~ jenis daun gadihu yang dipergunakan dalam ritual adati
saat ini, tidak lagi dengan satu jenis (seperti bertangkai lima),
melainkan jenis daun gadihu apa saja, dapat dipergunakan.108Pada
gambar (foto) tersebut, terlihat para ibu-ibu Soya (mataina), baik
yang lama maupun yang baru (mataina baru, yang menjadi warga
Soya karena pernikahan misalnya), terlihat begitu antusias menari
dengan memegang daun gadihu.
Enam, Tarian Cakalele. Tarian cakalele yang diragakan
dalam acara CN Soya, secara umum diakui bahwa tarian tersebut
merupakan tarian tradisional yang dilakukan oleh orang Alifuru di
Seram, yang biasa ditarikan sebelum mereka memasuki arena
perburuan atau perang.109 Peralatan yang turut digunakan untuk
mengiringi tarian ini, antara lain: tahuri (kulit bia/k laut yang
besar), tifa gong. Sementara, para penarinya menggunakan
peralatan tombak, parang, salawaku, dan mengenakan cawat atau
cidaku, dengan bertelanjang dada.110Walau dalam observasi yang
dilakukan, penulis telah melihat nuansa diferensiasinya, yang
tampak pada busana yang digunakan, seperti ada yang menari
Cakalele dengan menggunakan kaos berwarna hitam dan tidak
107 Lihat, Abd. Khalik Latuconsina, Pataheri dan Posuno, Ritual Inisiasi Masyarakat
Nuaulu di Seram Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Disertasi (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,2008),140,141.
108 Transkrip Wawancara dengan Chr. Tamaela. 109 Kunst, “Indonesian Music and Dance: Traditional Music and Its Interaction with the
West” (p.207-210) dalam Tamaela, Disertation..., 58. Peralatan tombak, parang, salawaku, ikat kepala (kain berangyang berwarna merah), juga merupakan peralatan yang khas dan sama juga digunakan dalam ritual inisiasi di suku Nuaulu, suku asli di Pulau Seram yang masih ada hingga kini. Lihat, Abd. Khalik Latuconsina, Pataheri dan Posuno..., Disertasi, 103-105,109.
110Ibid.
Ritual Cuci Negeri Soya … 181
menggunakan cawat, melainkan celana pendek yang dominannya
berwarna merah.
Dalam riset disertasinya tentang kontekstualisasi musik
dan tarian di Maluku, Tamaela merilis data bahwa tak dapat
disangkali, selain adanya pengaruh dari Barat, tetapi juga ada
pengaruh dari Muslim (Arab dan Jawa) terhadap traditional
Maluku dances. Antara lain dapat terlihat, seperti dari latar muslim
ada tarian Sawat, Dana-dana, Japin; sedangkan dari latar Barat
(Kristen) ada tarian Katreji, Tari Gaba-gaba empat buah, Dansa
Tali.111 Apa yang dikonstatir oleh Tamaela, penulis jumpai dalam
tahapan pesta negeri di ritual CN Soya, yakni ketika nuansa
badendang dan badonci dipadukan dengan tarian Katreji, sebagai
salah satu contoh konkret pengaruh dari tarian Barat (Portugis).
Selain itu tari Lenso menjadi tarian khas tradisional Ambon yang
ditempatkan dalam rangkaian acara penyambutan tamu khusus,
sebagaimana yang berlangsung juga dalam tahapan ritual CN Soya.
Keterangan Foto:
Para jujaro (anak gadis) Soya sedang meragakan tarian Lensodi
depan rumah raja Soya, sebagai bagian dari penyambutan tamu
khusus di acara CN Soya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Tujuh, Peralatan Tempayang. Dari Penelusuran Bartels,
disebutkan bahwa dalam “agama Nunusaku”, ada praktik
mengunjungi tempat keramat yang rahasia, yakni berupa
111Ibid, 58-59.
182 Religiositas Ambon-Kristen …
tempayan (tempayang) di Nunusaku. Tempat tersebut dijaga oleh
para tetua kakehang yang bertugas selalu mengisi tempayang
tersebut dengan air, karena diyakini bahwa tempat tersebut
sebagai tempat kedudukan “Nitu Ela” (roh yang agung) itu. Bagi
siapapun yang berkunjung untuk mendapatkan ilmu kekebalan,
dipersilakan untuk membasuh tubuh dan peralatan apapun yang
diperlukan untuk menjalankan misi khusus, termasuk dalam
menghadapi kolonial Belanda.
Keterangan Foto:
Dalam kesempatan riset, penulis mengunjungi situs tempayang
yang terletak di puncak Sirimau (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Dalam perkembangan kemudian, pihak Belanda justru
mencurigai tempat rahasia tersebut sebagai tempat berkumpul
para konspirator untuk merencanakan aksi pemberontakan.112
Dengan demikian, terlihat sekali pengadopsian ritual CN Soya
dengan menggunakan Tempayang, yang saat ini telah dijadikan
sebagai salah satu situs wisata yang cukup melegenda di Maluku,
dan sering dikunjungi masyarakat umum.
Delapan, Kain Gandong.Simbol kain gandong (kain putih
polos yang panjang) yang dipergunakan dalam ritual CN Soya,
mengandung makna yang mendalam tentang perihal merangkul
dan mengakomodasi semua peserta baik dari lingkup kelompok
112 Bartels, Di Bawah Naungan...., 439.
Ritual Cuci Negeri Soya … 183
kedua soa, maupun juga dalam relasi Pela dengan negeri Morela
yang muslim, sebagaimana dijelaskan oleh Lattu, antara lain:
When the migrants are covered by the kain gandong in the ritual of cuci negeri, they become part of the community....In the case of the cuci negeri in Soya, the kain gandong is the symbol of the kinship relationship between Soya and Morela. In this ritual, the cultural side of the ritual invites the two communities to cross over the religious boundaries. ”113
Menurut bapa Ateng Huwa’a, simbolisasi kain gandong
memiliki keterhubungan simbolisasi dengan ritus Kakehan. Hal
tersebut, menurutnya terlihat pada penempatan kain gandong di
salah satu tiang yang terdapat di Baileo Samasuru, Baileo negeri
Soya, tempat berlangsungnya ritual CN Soya. Menurut bapa Ateng,
itulah ciri Kakehan yang telah mengalami diferensiasi. Artinya, di
Kakehan biasanya ditempatkan simbol-simbol adati di tiang Baileo
(disebut: tiang pamali), antara lain seperti kepala manusia, yang
diperoleh dari hasil pengayauan. Namun saat ini, kain gandong
yang ditempatkan.114
Keterangan Foto:
Kiri, Kain Gandong yang belum dipergunakan, dilipat dan
ditempatkan di ujung tiang bambu sabuah (Tenda) di lokasi Baileo,
di saat berlangsungnya upacara ritual CN.
113 Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation, 125-126. 114 Transkrip Wawancara Penelitian pada tanggal Selasa 20 Sep 2018 di Soya.
184 Religiositas Ambon-Kristen …
Kanan, Ketika upacara ritual di Baileo selesai, kain gandong
tersebut dipakai untuk menyatukan warga dari dua kelompok soa
utama di Soya (soa Pera dan soa Eraang), seusai kedua kelompok
melakukan pembersihan di mata-air dan sumur masing-masing,
wai Werhalouw untuk soa Pera dan wai Unuwei untuk soa Eraang.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Sembilan, Mitos Naga. Ketika mengulas tentang asal-
muasal tradisi CN Soya, telah disebutkan bahwa salah satu mitos
yang melatari tradisi tersebut adalah mitos naga. Dalam tahap-
tahapan proses CN, mitos ini melatari ritual tahap-4, yakni: Naik
ke Gunung Sirimau. Detail tuturan tentang mitos naga ini telah
dikemukakan pada awal bab IV ini, khususnya bagian IV.1.1.
Bartels dalam penelusurannya tentang ritus Kakehan,
menemukan adanya mitologi seekor ular raksasa yang
menciptakan Kakehan. Diceritakan bahwa,
“....Segera setelah menyelesaikan pembangunan rumahnya di Paunusa, Ular Kakehan memerintahkan laki-laki dari Eti itu masuk ke dalam Kakehan dan menelannya sebagai anggota pertama. Tiga hari kemudian ular tersebut memuntahkan ke luar laki-laki dari Eti itu. Si laki-laki kini ditandai dengan rajah (tato) di lengan, dari, dan dadanya....”115
Ketika mewawancarai Morits Huwa’a (47 th), salah satu
pemuda yang ikut langsung dalam rombongan yang matawana di
puncak gunung Sirimau,116 yang bersangkutan menuturkan bahwa
salah satu persyaratan untuk menjadi peserta rombongan
matawana adalah sudah menjadi anggota sidi gereja, selain berasal
pula dari marga-marga tertentu saja. Sesampainya rombongan di
lokasi, semuanya duduk di sekitar (mengelilingi) batu tempat
115 Bartels, Di Bawah Naungan....,67. 116 Aturan diberlakukan sangat keras, tentang larangan orang luar (seperti penulis
atau peneliti siapapun) untuk terlibat langsung dalam rombongan matawana di puncak gunung Sirimau. Transkrip wawancara penelitian dengan Moritz Huwa’a.
Ritual Cuci Negeri Soya … 185
duduk Latu Selemau. Dan Tidak ada satu pun yang duduk di batu
itu. Rombongan tidak diperbolehkan makan. Konsumsi yang dapat
disediakan adalah rokok, anggur 1 botol. Rombongan hanya duduk
diam sambil bercerita atau mendengarkan tuturan yang lebih tua
yang bertutur tentang sejarah, budaya dan petuah-petuah
kehidupan yang baik. Hingga berakhirnya matawana tidak
dijumpainya seekor naga atau ular besar yang datang menelan
mereka. Bagi Morits, secara tuturan tradisi, memang ia dan teman-
teman lainnya tahu tentang mitologi naga tersebut,namun mereka
tidak takut untuk mengikuti ritual CN tersebut. Yang diakuinya
pula adalah, ternyata ada yang memimpin doa secara kristen,
ketika rombongan mulai tiba di tempat matawana itu. Suatu
indikasi yang kuat terhadap proses diferensiasi dari hibridisasi
kekristenan dengan ritual adati dalam CN Soya. Dan hakikat
makna daripada mitos naga dalam konteks ritual CN Soya, adalah
sebagai momentum dimulainya akta pembaharuan dan integrasi
diri yang baru dengan masyarakat. Sebagaimana berlangsung
dalam 3 tahapan ritus Kakehan (pemisahan, liminalitas atau
“kematian diri” dengan segala yang buruk atau kotor, dan
reintegrasi), demikian pula dalam ritual CN Soya, momentum
kembalinya rombongan matawane dari gunung Sirimau,
memberikan makna bahwa akta cuci negeri sebagai perwujudan
dari proses pembersihan diri, keluarga, negeri dan lingkungan, kini
siap untuk diejawantahkan.
Sepuluh, Makan Patita. Souisa dalam penelusurannya
tentang tradisi “makan patita” di Soya menemukan bahwa
sesungguhnya, tradisi tersebut bukanlah semata menjadi khas
negeri Soya. Sebab yang terjadi adalah memori kolektif
masyarakatlah yang menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam
sejarah suatu komunitas dengan tradisi makan patita tersebut.
Ada yang berkaitan dengan peristiwa musyawarah untuk
menyambut dan mensyukuri perjuangan para kapitangyang baru
pulang dari “medan laga”; ada yang berkaitan dengan ritual panas
pela, pelantikan raja, panen, pemberian nama adat, dan
186 Religiositas Ambon-Kristen …
sebagainya. 117 Pada masyarakat asli di pulau Seram, seperti
masyarakat adat Sopa Maraina di Seram bagian Tengah, tradisi
makan patita telah lama dikenal, walau dengan sebutan
bahasatanamereka, yaitu Ita Kae Haki, yang berarti “kita makan
bersama”. Istilah yang mirip pula dipakai di negeri Piliana (Seram
Timur) untuk menunjukkan nilai kebersamaan dalam aktivitas
makan bersama yang dilakukan sebelum dan atau sesudah panen
tetanaman.118 Bahkan, seperti yang ditemukan dan disimpulkan
oleh Souisa, merujuk pada makan patita dalam ritual CN Soya,
maka bukan hanya nilai kebersamaan, melainkan adapula 13 nilai
lainnya yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) Kesetaraan, (2)
Kesejahteraan, (3) Keadilan, (4) Kesetiaan, (5) Kesederhanaan, (6)
Penerimaan, (7) Persahabatan, (8) Keterbukaan, (9) Kejujuran,
(10) Berbagi, (11) Keramahtamahan, (12) Kegembiraan, dan (13)
Pembagian dan Persaingan.119
Ketika berlangsung ritual CN Soya pada tahun 2015,
penulis ikut mengambil bagian dalam acara makanpatita, yang
kebetulan dihadiri pula oleh bapak Walikota Ambon (R.
Louhenapessy) dan beberapa petinggi di jajaran pemerintahan
kota Ambon. Penulis mengalami dan merasakan sendiri suasana
makan patita dengan 13 nilai, sebagaimana yang disimpulkan oleh
Souisa tersebut. Namun ada satu nilai yang bagi penulis patut
ditambahkan, yakni nilai adaptif, karena ritual makan patita
tersebut mengalami proses diferensiasi yang muncul dari proses
adaptasi Soya dengan realita kehidupan kontemporer (modern).
Salah satu contoh dari nilai adaptif ini adalah penataan meja dan
penganan (sajian kue dan minuman) yang disediakan. Bila Souisa
menyebutkan ada nilai kesetaraan dalam makan patita (termasuk
pada posisi duduk yang setara), maka yang penulis lihat dan alami
sendiri, pihak pemerintah Soya justru menyediakan meja khusus,
117 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita – Nilai dan Maknanya dalam Membangun
Pendidikan Kristiani yang Kontekstual, Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKSW, 2017),96.
118 Ibid,94. 119 Ibid, 106-108.
Ritual Cuci Negeri Soya … 187
dengan bertaplak meja putih, dan hanya ditempati oleh beberapa
“tetamu VIP” (kebetulan penulis dipersilakan oleh bapa raja Soya
untuk ikut menempati salah satu kursi yang tersedia di bagian
“kaki” meja), sementara warga lainnya mengambil posisi duduk
yang disesuaikan, di luar “meja khusus” tersebut. Selain itu, diakui
sendiri oleh bapa raja bahwa, jenis kue dan minuman yang
disajikan juga telah mengalami modifikasi dan kreatifitas dalam
pengolahannya, disesuaikan dengan situasi Soya kontemporer.120
Dari penelusuran tentang latar simbol dan performansi
ritual yang berlangsung dalam CN Soya, secara fenomenologis,
dapat disimpulkan bahwa fenomena tersebut juga menjadi wahana
(the way) religiositas orang Soya untuk menyatukan dan
menjembatani manusia dengan Tuhannya dan juga para
leluhurnya (ancestor).121
IV.2.4. Penelusuran Filosofi-Kultural dan Perwatakan
Penelusuran terhadap filosofi-kultural orang Ambon-
Maluku, tidak dapat menafikan filosofi kultural Siwalima yang
cukup kuat memengaruhi orang Ambon-maluku, di waktu dulu,
kini dan mendatang.
Terkait dengan itu, maka penting untuk mengikuti
penelusuran Huliselan dan Hetharia122 serta dilengkapi juga
dengan penelusuran Watloly dan Gaspersz terhadap perspektif
dialektika Heka-Leka, yang dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, Filsafat hidup Siwalima menegaskan hakikat dan
realitas sosial-budaya masyarakat Maluku dalam dua komunitas
120 Menurut bapa raja, kalau sajian kue di waktu dulu diwajibkan untuk menyediakan
jenis kue yang diolah dengan menggunakan bahan baku beras, sebagai “simbol penghormatan kepada para tamu. Namun saat ini, para ibu yang menyediakan, telah menyesuaikan dengan bahan baku non beras juga, antara lain dengan tepung terigu dan ada juga dari tepung sagu. Begitupun dengan minuman. Pada waktu dulu, wajib disajikan minuman susu manis, yang dianggap sebagai sajian istimewa dalam menghormati para tamu VIP. Namun saat ini, telah disesuaikan. Sehingga tersaji pula ada jenis kopi, teh, bahkan airputih, bagi yang tidak dapat mengkonsumsikan minuman manis.
121 Bandingkan, Lattu, Orality and Interreligous Relationships...,Dissertation,104. 122 Dalam Hetharia, Nilai-Nilai Filsafat...,Disertasi, 106-109 dan Mus Huliselan,
“Berdampingan dalam Perbedaan, Konsep Hidup Anak Negeri” dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Maluku Menyambut Masa Depan (Ambon:Indahjaya Adipratama,2005), 228.
188 Religiositas Ambon-Kristen …
asali suku Alune dan Wemale di pulau Seram123 yang
monodualistik.
Kedua, Corak monodualis tersebut terkonsepkan pula
dalam kosmologi masyarakat Ambon-Maluku yang membagi dunia
dan membentuk cara pandang tetapi sekaligus memperlihatkan
keseimbangan kosmos dalam perbedaan, yang bukan untuk saling
menghancurkan melainkan saling tergantung dan melengkapi.
Dunia dibagi dua: Secara vertikal ada langit yang dikuasai oleh Upu
Lanite dan bumi yang dikuasai oleh Ina Ume. Sedangkan secara
horisontal, terbagi pula atas lau (laut) – dara (darat), atas
(gunung) – bawa (bawah = tanah), atau gunung (langit) – pante
(tanah).
Ketiga, Fenomena dialektika kultural orang Ambon-Maluku
ditegaskan oleh Watloly bahwa cara berpikir dialektisme ini
mengandaikan bahwa setiap kenyataan, termasuk klaim-klaim
kebenaran, misalnya tradisi, agama, pandangan hidup, dan
sebagainya, sebagai kenyataan hidup anak negeri selalu bersifat
majemuk dan otonom.” 124 Bahkan fondasi dan struktur filsafat
dialektis itulah yang membenam dalam aneka kebudayaan anak
negeri Maluku, seperti Pela, Salam-Sarane, Masohi, atau demokrasi
Baileo (di Maluku Tengah).125 Selanjutnya, fenomena yang patut
dikemukakan adalah bahwa corak dialektisme manusia Ambon-
maluku tersebut dilatari pula oleh nilai filosofis-kultural Heka-
Leka.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Gaspersz, bahwa dalam
sistem budaya, ideologi (kepercayaan) dan filasafat kultural orang
Ambon, heka-leka dimengerti sebagai bagian integral dari Asa
(Yang Tunggal), yakni “hukum” yang menata kosmos dan menjadi
tujuan perjalanan hidup manusia. Heka berarti pecahan,
123 Kelompok Alune umumnya mendiami pegunungan Seram (karena itu sering
disebut “orang gunug”, sedangkan kelompok Wemale umumnya mendiami kawasan pesisir, sering disebut “orang pantai”. Ketika konflik kedua suku, maka terjadi migrasi ke pulau-pulau Ambon, Lease dan sekitarnya. Lihat, Ibid.
124 Aholiab Watloly, Maluku Baru, Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri (Yogyakarta: Kanisius,2005),106
125Ibid,107.
Ritual Cuci Negeri Soya … 189
pembagian, hancur, perang; sedangkan Leka berarti kelahiran
baru. Hukum heka menjelaskan prinsip diferensiasi, diversifikasi
dan konflik yang bertumbuh kembali ke totalitas Leka.126Asa
sendiri diyakini mencakup tiga entitas yakni alam-manusia-
masyarakat, yang ketiganya diwarnai oleh heka yang berlangsung
hingga mencapai titik sublimasi. Pada momentum sedemikianlah
terjadi leka, kelahiran totalitas kosmos baru, yang meliputi korelasi
substansial ketiga entitas tersebut. Melalui filsafat heka-leka ini
kita bukan hanya memahami worldview orang Ambon tetapi
sekaligus pula tentang spirit psiko-kultural yang dibangun atas
dasar nilai-nilai127: keberanian untuk hidup dalam ketegangan
(koeksistensi), menampung ketegangan (dialektis), upaya menjaga
keseimbangan (harmonis), berpengharapan (optimis),
penentangan dominasi (ekualitas) serta penolakkan terhadap
kemapanan (dinamis).
Selanjutnya, terkait dengan fenomena perwatakan orang
Ambon-Maluku, yang mengacu pada filosofis kultural tersebut di
atas, menarik untuk mengikuti paparan yang lugas dan reflektif
dari P.Tanamal (seorang teolog yang mendalami psiko-budaya
manusia Maluku/Ambon), antara lain:
Sikap seorang Maluku tidak ingin untuk bermain tusuk dari belakang. Sekiranya ia ditantang, selalu kita dengar perkataan, “kalau berani, muka sama muka”. Ia berani bakupukul tetapi segera pula ingin hidup rukun kembali, apabila diadakan penyelesaian. Ia bisa cepat panas dan jumawa (ungkapan kultural yang menunjuk pada kegeraman terhadap sesuatu yang tidak baik/ benar), tetapi bisa juga menjadi dingin. Ia emosional tetapi ikhlas jika didekati, dan dapat bersedia diajak berunding. Sifat khasnya menginginkan penyelesaian langsung atas hak dan keadilan. Apabila hal tersebut tidak saja dihiraukan, ia dapat saja bersikap nekad dan bertempur. Ia setia dan malah
126 Steve G.Ch. Gaspersz, Analisa Sosio-Budaya....,Tesis, 16. 127Ibid, x.
190 Religiositas Ambon-Kristen …
dapat menyerahkan nyawanya, sekiranya ia diberikan kepercayaan yang penuh. Terdapat semacam sifat kombinasi antara watak pemberani dan pendobrak dengan rasa simpati kemanusiaan yang menuntut keadilan pada sesama. Ia musikal dan suka bernyanyi serta badendang (menari), di tengah alamnya yang keras dan ganas, baik di laut maupun di darat, di musim hujan dan musim panas. Semuanya membuat dia dapat lemah lembut, tetapi juga bisa keras dan tak mengenal rasa takut.128
Pada sisi lainnya, salah satu karakter dan perwatakan
orang Ambon terungkap dari penelusuran Bartels, yang
mengkonstatir kecenderungan orang Ambon yang menghargai
kolektivisme dan keselarasan, namun pada sisi lainnya pula
~dapat dipastikan turut dilatari oleh corak dialektisme dari
karakter orang ambon tersebut~ ada dorongan yang kuat juga
untuk mengekspresikan peran dirinya agar dapat tampil
menonjol.129 Karena itu, sulit bagi orang Ambon untuk
mendefinisikan dirinya di luar konteks kelompok tertentu. Bahkan,
menurut Bartels, bila hierarki loyalitas negara lazimnya menuntut
loyalitas tertinggi, sesudah itu baru loyalitas kepada subkelompok,
maka dalam masyarakat Ambon, justru terbalik. Dimulai dari unit
terkecil, yaitu keluarga, kemudian kepada klan, soa, kampung, pela,
pulau, dan akhirnya masyarakat secara keseluruhan. Hierarki
loyalitas tersebut bila diurutkan maka urutannya sebagai
128 Pieter Tanamal,Pengabdian dan Perjuangan (Ambon: PNRI, 1985), 30-31. Huruf
tebal (bold) sengaja dibuat oleh penulis. 129 Dalam kaitan dengan penonjolan peran diri (personal) ini, Bartels menyebutkan
ada dua peran yang menjadi penyaluran ekspresi individualitas orang Ambon, yaitu sebagai jago dan sebagai pelawak. Peran pertama diperluas dalam kemampuan bela diri atau berp hingga orang rela mengambil resiko demi kebaikan masyarakat, misalnya bertindak menghadapi otoritas atau bertindak sebagai pemimpin dalam situasi krisis. Dari peran ini, tampaknya kita pun dapat mengerti fenomena jagoan-jagoan atau yang kerap disebut sebagai bijiruku dalam suatu komunitas pemuda Ambon, yang dianggap dan disanjungkan sebagai pemimpin komunitas tersebut (kelompok atau geng). Sedangkan peran kedua dihargai karena mampu membuat orang tertawa, menciptakan suasana gembira di pesta-pesta atau pertemuan tertentu. Dan kedua peran tersebut terbuka secara tradisional bagi kaum laki-laki ataupun perempuan. Lihat, Bartels, Di Bawah Naungan....,246-247.
Ritual Cuci Negeri Soya … 191
berikut:130 (1) ego, (2) rumah tangga, (3) famili, (4) klan, (5) soa,
(6) kampung (negeri), (7) pela, (8) pulau, (9) masyarakat Ambon,
(10) Maluku, (11) Indonesia, (12) Dunia.
Dalam hierarkhi loyalitas ini, Bartels tidak menempatkan
elemen agama sebagai elemen loyalitas yang patut diperhitungkan
dan sangat rentan untuk terpicu dalam suatu reaksi fanatisme
untuk tampil keluar, ketika emosi elemen keagamaan ini terusik
atau diusik. Dalam konteks kehadiran agama-agama samawi,
seperti Islam dan Kristen (salam dan sarane), tentunya patut
diakui bahwa elemen keagamaan ini sesungguhnya merupakan
lapisan elemen “baru” yang melekat dan menyatu dari keambonan
sebagai elemen dasariah. Sehingga kehadiran elemen yang baru
tersebut sekaligus melahirkan diferensiasi karakter daripada
keambonan dan kekristenan (atau keislaman) itu sendiri. Fakta
fenomenal yang tak terbantahkan adalah realita konflik Ambon-
Maluku, yang secara langsung ataupun tidak langsung, turut
dipengaruhi dan memengaruhi pula elemen sentimen keagamaan
ini.131
Bila ditelusuri perwatakan orang Ambon-Maluku, maka
fenomena yang patut diakui adalah bahwa perwatakan orang
Ambon-Maluku, selalu menyatu dengan alamnya, dengan gunung-
tanah, air (lautan), pepohonan, margasatwa dan sebagainya.
Sebagai salah satu contoh yang dapat diidentifikasikan terhadap
130 Bila penulis mendeskripsikan secara urutan sedemikian, Bartels
mendeskripsikannya melalui pola lingkaran, dari yang terkecil (sebagai yang pertama), yakni lingkaran ego, kemudian keluar membesar ke lingkaran rumah tangga, famili, dan seterusnya, hingga yang terakhir lingkaran dunia. Lihat, Ibid, 248.
131 Terhadap fenomena ini, ketika menggarap kajian tesis tentang relevansi 5 (lima) tesis Kimball yang melatari agama menjadi evil atau tetemomo (jahat) dalam konteks konflik Ambon, penulis tiba pada salah satu kesimpulan yang mengisyaratkan kesulitan kita untuk tidak mengakui bahwa faktor agama pun dengan pelbagai variabelnya, ternyata turut melatari fenomena konflik Ambon. Lihat Ferry Nahusona, Ketika Agama Menjadi Tetemomo - Menimbang Relevansi Tesis Charles Kimball Dalam Fenomena Agama dan Kekerasan Di Kalangan Pemuda Kristen-Ambon Selama Konflik “19“, Tesis (Salatiga: PpsAM-UKSW, 2004), Tidak diterbitkan.
192 Religiositas Ambon-Kristen …
fenomena ini adalah corak perwatakan orang Ambon-Maluku yang
dianalogikan sebagai “manusia sagu”.132
Adapun corak perwatakan yang mengalami proses
pematangan di tengah realita perubahan sejarah dan konteks
pergulatan hidup, digambarkan oleh Watloly seperti manusia sagu
yang “putih” dengan karakternya yang luhur, jujur, tangguh,
terbuka, unggul dan transparan, tiak munafik, ikhlas, dapat
dipercaya, arif, dan tidak bercela di mata dirinya sendiri, sesama
maupun dunia. Itu sama sekali tidak berarti bahwa “manusia sagu”
tersebut tanpa dosa. Namun diisyaratkan bahwa ia tetap bergumul
dalam kemanusiaannya, tidak dengan cara yang jahat, kotor dan
munafik, melainkan terbuka untuk mengakui kesalahannya,
bertanggung jawab atas perbuatannya, dan sedia melakukan
otokritik. Bagi Watloly, “manusia sagu” tersebut tidak pendendam,
pengkhianat, memiliki etika pengembangan diri.133 Menurutnya,
“manusia sagu yang putih” tersebut kini terasa hilang dan berubah
menjadi manusia berwajah buram penuh kemunafikan, fitnah, dan
krisis identitas. Oleh karena itu, dibutuhkan semangat
pembaharuan diri untuk terus mencari mata rantai yang hilang
dalam tatanan identitas manusia Maluku itu.134
Ketika mencermati kakehan dengan pelbagai ritus dan
prasyaratnya, tampak kuat adanya pembentukan watak warga
dalam sikap militansi-agresif (dalam terminologi lokal: jumawa,
bijiruku, sebagai spiritkapitang), kuatnya mentalitas gengsi dalam
suatu perjuangan harga diri yang berpadu dengan fanatisme
terhadap apa yang diyakini. Spirit kakehan membentuk watak
orang Ambon untuk bukan hanya berani membunuh (mengayau)
orang tetapi bersedia pula untuk mati demi sebuah kehormatan
dan keyakinan.
132 Bandingkan Novistianus Salenussa, Teologi Pohon Sagu (Suatu Upaya Berteologi
Konstekstual Melalui Mitos Terciptanya Manusia dari Pohon Sagu), Tesis (Ambon: Fakultas Teologi, Program Pascasarjana Teologi UKIM,2002), dan Watloly, 244-245.
133 Watloly,Ibid. 134Ibid.
Ritual Cuci Negeri Soya … 193
Fenomena perwatakan lainnya dari orang Ambon-Maluku
adalah pada keterikatan pada tatanan adat-budaya, termasuk pada
para tokoh atau pemimpin, khususnya terhadap tokoh pendeta
sebagai tokoh sentral di dalam jemaat. Terkait hal ini, de Jong
dalam penelusurannya menulis,
Betapapun orang Eropa mengecam pengaruh agama tradisional dalam kekristenan Maluku, mutu rendah religiositas penduduk asli dan rendahnya tingkat pendidikan para guru pribumi, namun keterikatan penduduk pada adat-kebiasaan dan pranata yang ada tetap merupakan dasar kehidupan itu, sedangkan guru/penghentar jemaat tetap menjadi tokoh sentral di jemaat.135
Tentunya, sebagai tokoh sentral dan dihormati, pendeta
mendapat tempat penghargaan tersendiri, selain bapa Raja dan
juga para guru, sebagai tokoh-tokoh yang berada dalam lingkup
Tiga Batu Tungku, yakni Pemerintah-Gereja-Sekolah (Pendidikan).
IV.2.5. Penelusuran Pengaruh Agama dan Kebudayaan lain
(Pendatang)
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa orang Ambon
tidaklah berada di ruang hampa bebas pengaruh. Dari latar
pengaruh keagamaan “modern” misalnya, telah diakui bahwa
semenjak abad ke-2 sebelum Masehi, agama Budha dan Hindu
telah ikut memengaruhi wilayah nusantara, melalui hadirnya
orang-orang India. Selanjutnya, Budha dan Hindu ini berkembang
pesat di abad ke-7 (pada masa kerajaan Sriwijaya) sampai pada
akhir abad ke-15 (masa kejayaan kerajaan Majapahit).136 Lebih
135 Chr. G.F. de Jong, Sumber-Sumber...., 10. 136 M.D.Poesponegoro,cs., Sejarah Nasional Indonesia I (Jakarta: Balai
Pustaka,1990),8,22 dalam M.Tapilatu, Sejarah Gereja Protestan Maluku...,10. Menurut penuturan bapa Ateng Huwa’a, salah satu indikasi pengaruh kekuasaan Majapahit adalah melalui tanaman majan, nama latinnya Aegle marmelos, atau di Ambon, Maluku dikenal dengan sebutan pohon Kalabasa. Sebab dari legenda tentang buah Majanyang pahit, muncullah nama Majapahit. Kini, legenda asal-muasal nama Majapahit dari buah Maja yang Pahit, dapat dijumpai cukup banyak dari sumber internet. Dalam pengamatan penulis, memang jenis pohon ini cukup banyak terdapat di Soya. Lihat Lampiran 7, Foto 7c.
194 Religiositas Ambon-Kristen …
jauh pula, Bartels sendiri secara khusus mengkonstatir tentang
fenomena sinkretisme religius, yang menurutnya terbagi dalam
dua periode, yaitu: (1) periode ketika agama-agama dunia
dipribumisasikan (yakni melalui kehadiran dari Hindu, Islam dan
Kristen di Maluku), dan (2) periode ketika sistem kepercayaan
tradisional mengalami proses Kristenisasi dan Islamisasi.137
Selain Budha dan Hindu, agama Islam pun turut
berpengaruh, ketika pada bad ke-7, para saudagar muslim juga
memasuki wilayah Nusantara. Terlebih lagi ketika kerajaan
Sriwijaya (pada akhir abad ke-13) dan Majapahit (pada tahun
1500) mengalami fase kemunduran, maka dominasi Islam di aspek
agama dan perdagangan menampakkan pengaruhnya. Bahkan,
semenjak abad ke-14, agama Islam telah merambah wilayah
Maluku Utara melalui jalur perdagangan dan perkawinan.138
Menurut Yamin, sampai dengan parohan pertama abad ke-16,
Islam telah berkembang di wilayah Sumatera, sebagian besar Jawa,
Sulawesi (khususnya bagian Selatan dan Gorontalo), Nusa
Tenggara Barat (Lombok dan Sumbawa), dan Maluku (sebagian
Maluku Utara dan sebagian Maluku Tengah).139
Realitas sejarah tak dapat memungkiri bahwa kota Ambon
(termasuk negeri Soya sebagai bagian daripadanya), sejak dulu
memang telah menjadi pusat kebudayaan masyarakat Ambon.
Namun dalam perkembangan sosial-politik-ekonomi di kemudian
hari ~sebagaimana dengan merujuk pada penelusuran Knaap,
Souisa dalam disertasinya mengkonstatir bahwa~, (Kota) Ambon
“...telah menjadi kota para migran oleh keperluan dagang dan
kolonialisme, dan kota tempat pendidikan Barat diterapkan.”140
Beberapa pengaruh kedatangan “orang luar” terlihat pula
pada beberapa istilah dan bahasa, yang antara lain dapat
dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut:Pertama,
137 Bartels, Di Bawah Naungan....,376. 138 Tapilatu, Ibid,11. 139 M.Yamin, Atlas Sejarah (Djakarta: Djambatan,1956),15, dalam Tapilatu,Ibid. 140 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita – Nilai dan Maknanya..., 111, merujuk pada
Gerit Knaap, “ A City pf Migrants: Kota Ambon at the End of Seventeenth Century, INDONESIA, No.51, April 1991: 105-128.
Ritual Cuci Negeri Soya … 195
Pengaruh Kolonial. Misalnya pengaruh Portugis dalam beberapa
kata seperti: mancado (kapak), kadera (kursi), canela (sandal).
Sebutan untuk ayah = pai, ibu = mai;sebutan terhadap perilaku
seseorang: laipose (penggoda), cakadidi (terlalu bergerak, tidak
tinggal diam), galojo (rakus). Sebutan untuk peran tertentu:
kapitang(kapten, komandan), marinyo (kurir).141Kedua, Pengaruh
bahasa Austronesia142.Misalnya terindikasi pada kata Telu untuk
nama dari sub negeri Soya di waktu dulu yakni Amantelu, yang
artinya Kampung Tiga (Aman = Kampung; Telu = Tiga). Istilah
Siwalima, kata Siwa = Sembilan, dan Lima = Lima. Ungkapan atau
kata somba (sembah) yang kerap digunakan dalam sapaan
maupun kapata, seperti yang berlangsung pada rangkaian cuci
negeri Soya, misalnya: Somba malam bae Upu Latu Selemau
(Sembah malam baik, bapa raja Sirimau); Somba malam bae, bapa
Pesi Mara Eli (Sembah malam baik, bapa Pesi Mara Eli), dan
sebagainya, sesungguhnya memberikan makna pembahasaan yang
memiliki kandungan makna yang khas dan mendalam, yang
berbeda dengan pengertian denotatif maupun konotatif dalam
bahasa Indonesia atau melayu. Karena makna dari kata somba
tersebut bukanlah menunjuk pada penyembahan terhadap
seorang raja sama seperti menyembah berhala. Melainkan justru
menunjuk pada makna penghormatan yang tulus dan mendalam
dari rakyat terhadap pemimpinnya.Demikian halnya dengan
pengertian kata Malam Bae. Kata tersebut telah memiliki
kandungan makna filosofi kultural orang Ambon tentang ketiadaan
rasa takut atau kuatir terhadap kegelapan, karena sesungguhnya
telah hadir kebaikan (bae). Oleh karena itu, pada hakikatnya di
masyarakat asli Ambon tidak ada ucapan salam pagi bae atau siang
bae. Selalu yang diucapkan adalah malam bae, kendatipun waktu
pengucapan tersebut berlangsung bukan pada malam
141 Bartels, Di Bawah Naungan...,578. 142 Menurut Prof. T. Simanjuntak, banyak istilah di wilayah Timur Indonesia yang
memiliki kemiripan dengan rumpun bahasa Austronesia, seperti yang terdapat pula di kawasan Filiphina.
196 Religiositas Ambon-Kristen …
hari.143Fenomena tersebut penulis jumpai dalam ucapan salam
yang dipergunakan pada saat berlangsungnya CN Soya maupun di
Hukurila, yakni: “Somba Malam Bae Upulatu...”. Ketiga, Pengaruh
budaya nusantara. Contoh penggunaan “payung raja” yang
ditampilkan di depan rumah raja pada saat berlangsungnya CN
Soya, memperlihatkan pengaruh budaya raja-raja keraton Jawa
yang turut merasuki budaya Soya.
Keterangan Foto:
Penulis berdiri dengan contoh Payung
Keraton Jawa yang turut memengaruhi
Soya. Payung tersebut dipajang di
depan teras rumah raja Soya, setiap
momentum pelaksanaan ritual Cuci
Negeri Soya. Setelah itu akan disimpan
di rumah raja.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Selanjutnya, contoh Pengaruh Agama (Kekristenan) dan
Politik dalam Tatanan Ritual CN Soya, terlihat sebagai berikut:
Pertama, Praktik dan mekanisme pelaksanaan Rapat Saniri
Besar menyebutkan antara lain:144
“....Menurut raja, kepala soa adat dan para pemuka adat (tua-tua adat) bahwa pada zaman dahulu penyelenggaraan Rapat Saniri Besar, biasanya berlangsung di baileu Samurele dan dipimpin langsung oleh raja tanpa dibantu oleh sekretaris I dan II, sebab pada zaman itu terdapat ‘juru tulis’ yang bertugas mencatat semua pembicaraan yang
143 Herlina Tomasoa, Gayda Bachmid, Salea-Warouw, Ungkapan Bermakna Budaya
pada Upacara Adat Cuci Negeri Soya di Kota Ambon (Menado: Universitas Sam Ratulangie), Tanpa tahun dan halaman.
144 Stephanus Petrus Likumahwa, Analisa....,Tesis,130.
Ritual Cuci Negeri Soya … 197
berlangsung tersebut. Selain itu, tidak terdapat ....Doa Pembukaan ... dan ...Doa Penutup yang dipimpin oleh Pendeta dalam agenda tersebut. Penambahan sekretaris I dan II untuk membantu raja memimpin Rapat....merupakan pengaruh dari kebudayaan barat, khususnya kebudayaan Belanda (tahun 1605-1945) dalam menerapkan struktur pemerintahan negeri berdasarkan sistem pemerintahan modern, sedangkan penambahan klosul Doa oleh Pendeta merupakan pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh para misionaris Portugis (tahun 1534-1605) dan para pekabar Injil Belanda (tahun 1605-1935).”
Kedua, Pengucapan Salam Pembuka oleh bapa Raja saat
membuka Rapat Saniri Besar dengan ucapan “Selamat Siang.... dan
Syalom” menunjuk tentang penggunaan bahasa dan pengaruh
kontemporer. Penggunaan “Selamat Siang” jelas menunjukkan
pengaruh bahasa Indonesia. Sedangkan untuk penggunaan sapaan
“Syalom” mengindikasikan suatu penyesuaian kontemporer
terhadap sapaan di kalangan masyarakat Kristen, sebagaimana
yang kurang lebih dalam satu dasarwarsa terakhir (sekitar mulai
tahun 90-an) sapaan tersebut mulai populer dipakai di kalangan
Kristen.145
Terkait dengan pengaruh bahasa dari kebudayaan lainnya,
Bartels merilis bahwa penggunaan bahasa versi Melayu-Ambon
atau Maluku pertama-tama direkam oleh Antonio Pigafetta. Di
Maluku Tengah sendiri, sejumlah bahasa asli yang disebut sebagai
“bahasa tana” masih dipergunakan secara dominan di wilayah
perkampungan muslim. Sedangkan di wilayah Kristen, bahasa
tanatersebut sudah punah akibat kebijakan pemerintah kolonial
Belanda, yang melarang penggunaannya dan menuntut orang-
orang untuk menggunakan bahasa Melayu-ambon.146
145 Seingat penulis, sapaan “syalom” tersebut awal-mulanya lebih khas digunakan
dalam lingkup komunitas organisasi GMKI. 146 Bartels, Di Bawah Naungan....,16-17.
198 Religiositas Ambon-Kristen …
Pengaruh agama dan kebudayaan lainnya terlihat pula
pada pengaruh kerajaan Malaka, sebagaimana disinyalir oleh
Andaya, bahwa dampak dari besarnya pamor dari kekuasaan
Malaka pada awal abad XV dan XVI, maka banyak kerajaan,
termasuk di Maluku, yang turut mengadopsi beberapa adat
istiadat, pakaian dan bahasa dari kerajaan Malaka, dalam hal ini
bahasa Melayu.147
Dengan mengadopsi istilah yang digunakan oleh Hildred
Geertz dalam tulisannya tentang “Indonesian Cultures and
Communities”, Bartels menyimpulkan bahwa, “inti budaya Ambon
berasal dari budaya Alifuru tapi kemudian bercampur-baur dengan
konsep budaya dan kepercayaan orang Melanesia, Hindu-Jawa dan
Bali, Ternate, Tionghoa, Arab, Portugis, Belanda, dan ~yang kini
berlangsung~ Amerika, yang juga tercermin dalam dialek Melayu-
ambon dari bahasa Indonesia. Percampuran ini telah menghasilkan
budaya yang sangat majemuk, yang dapat diklasifikasi sebagai
kreol Maluku.”148
Termasuk dalam fenomena kreol Maluku ini adalah suatu
proses percampuran yang dipengaruhi pula melalui jalur
amalgamasi budaya, yang lahir dari perkawinan campur.149 Dalam
konteks Soya, bukti amalgamasi tersebut terlihat melalui fakta
sejarah perkawinan salah satu raja Soya dengan putri keturunan
majapahit, yang bernama Dewi Gusti Ayu Putu Sarini Nyi Sia,
sehingga memungkinkan disandingnya gelar bagi raja Soya
147 Andaya, Dunia Maluku....,43. 148 Bartels, Di Bawah Naungan....,36. 149 Pengertian amalgamasi secara sosiologis adalah suatu proses sosial yang
meleburkan berbagai kelompok budaya yang ada di suatu wilayah yang sama menjadi satu kesatuan, yang pada akhirnya akan memunculkan sesuatu yang baru namun tidak meninggalkan budaya dasarnya/budaya awal yang dianut oleh masing-masing kelompok yang berbeda tersebut. Amalgamasi juga merupakan salah satu solusi untuk menghilangkan berbagai pertentangan dan perselisihan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Secara umum, dalam konteks sosiologis, istilah amalgamasi ini menunjuk kepada perkawinan campuran antar etnik dan ras yang berbeda. Istilah amalgamasi digunakan di Inggris pada abad ke-20 dan di Amerika Serikat mulai berlaku digunakan pada tahun 1863 dengan sebutan lain, yaitu perkawinan campuran antar etnis kulit hitam dan kulit putih, terutama dari kaum Afrika dan Amerika. (Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, 2006). Sumber: https://pengertianmenurutparaahli.org/pengertian-amalgamasi-dalam-sosiologi/ Diunduh 1 Desember 2018.
Ritual Cuci Negeri Soya … 199
pertama, Latu Selemau, dengan sebutan yang cukup panjang:
Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit, Raden Sultan Prabu
Piring Mojopahit, Nusa Piring Pahlawan, Piring Pekanusa.
Terkait dengan pengaruh budaya luar terhadap ritual CN
Soya tersebut, hal yang patut dikemukakan bahwa dari
penelusuran yang dilakukan, ditemukan bahwa fenomena cuci
negeri itu sendiri, sesungguhnya bukanlah suatu ritual yang
berakar dari tradisi Soya, atau bahkan dari Ambon-Maluku pada
umumnya. Tapilatu dalam riset disertasinya tentang sejarah GPM
pun mengakui bahwa ternyata fenomena tersebut datang dari
pengaruh Hindu-Buddha yang melalui kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit menancapkan pengaruh kulturalnya yang tak dapat
diabaikan. Mengutip informasi dari Hadiwijono, Tapilatu merilis
demikian:
Di beberapa tempat, kehadiran agama Buddha dan Hindu dalam kenyataan, tidak mendesak malahan sebaliknya memperkaya agama asli (di Tapanuli dan Maluku) atau bercampur dengannya (di Jawa). Upacara “cuci negeri” kemungkinan sekali mempunyai kaitan dengan upacara “bersih desa” yang dipraktekerangkan di Jawa, paling tidak dalam hal tujuannya, yakni untuk pemujaan bagi para dewa.150
Apa yang dikemukakan oleh Tapilatu ini, tampaknya
sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Geertz, ketika melihat
fenomena ritual slametan Bersih Desa dalam rentetetan kegiatan
sosial tahunan. 151 Geertz melihat bahwa Slametan Bersih Desa
berhubungan dengan pengudusan perhubungan dalam ruang,
dengan merayakan dan memberikan batas-batas kepada salah satu
dasar kesatuan teritorial struktur sosial orang Jawa, desa. Apa
yang ingin dibersihkan dari desa itu tentu saja adalah roh-roh yang
berbahaya. Ini dilakukan dengan mengadakan slametan, di mana
150 Tapilatu, Sejarah Gereja...,10. 151 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1981),110-111.
200 Religiositas Ambon-Kristen …
hidangan dipersembahkan kepada danyang desa (roh penjaga
desa) di tempat pemakamannya. Di desa yang kuat santrinya,
slametan bersih desa itu bisa berlangsung di mesjid dan seluruhnya
terdiri dari para pembaca doa Muslimin.
Terkait dengan ritual tersebut, maka simbol air yang
digunakan memiliki relevansi, ketika dipandang sebagai sesuatu
yang dapat memiliki kekuatan gaib (magi), dijadikan air suci (toya
tirta), dapat berguna untuk menyembuhkan penyakit serta
membebaskan orang dari maut. Dari latar ini pula dapat
dimaklumi konstatasi dari Hadiwijono bahwa: “Kebudayaan
campuran Hindu/Buddha dengan kepercayaan asli itu sudah
menguasai pemikiran orang sedemikian mendalam, hingga
sekalipun agama Hindu/Buddha sudah lama secara resmi
meninggalkan bumi Indonesia, namun kebudayaan itu belum
musnah. Bermacam-macam upacara serta adat kebiasaan (bersih
desa, menanamkan kepala kerbau, dsb), masih terdapat di tengah-
tengah masyarakat.” 152
Dalam komunikasi penulis dengan Bartels melalui email,
terkait dengan upaya menelusuri asal-muasal dari ritual CN baik di
Soya maupun di pulau Seram (Nunusaku), penulis mendapatkan
jawaban dari Bartels, yang dapat diringkaskan sebagai berikut:153
Dear Ferry, ....At any rate, to be honest, I never spent any thoughts on the origin of cuci negeri since usually tracing such rituals are very difficult if not impossible.
I tend to agree that cuci negeri doesn't originate as part of Nunusaku religion in West Seram. If this would be the case, one would expect that it is still practiced in the interior of Seram (in which I never have done fieldwork and thus don't know if the custom exists there) and also in many more villages
152 Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989),
134. 153Dieter Baetels dari [email protected]. Diunduh pada tanggal 10 Oct 2018, 8:18
AM
Ritual Cuci Negeri Soya … 201
in coastal Seram and on Ambon-Lease would follow this tradition.
Cuci negeri seems to be concentrated only in a few villages on Leitimor. This area had indeed fallen under Hindu (Majapahit) influence. However, it is not performed in Nusaniwe, arguably the most powerful Hindu "kingdom" on Leitimor....
I suspect, if there is a plausible answer, it is hidden in the history of Soya itself. Perhaps it was brought by one of the clans that moved to Soya from somewhere where exorcism of evil spirits was practiced. Sorry, that I can't be of more help and hope that my thoughts at least stimulate you to search in other directions as well....Salam hangat,Om Prof.
Dari respons Bartels, menjadi jelas pula bahwa ritual CN
Soya tidaklah luput dari pengaruh agama dan budaya luar.
Penelusuran lainnya yang dilakukan oleh Lopuhaa, pun
memperlihatkan fenomena yang sama. Bahkan ketika menelusuri
asal-muasal Cuci Negeri dengan melakukan perbandingan antara
yang berlangsung di Hukurila dan beberapa desa lainnya di Jawa,
Lopuhaa cenderung pada kesimpulan bahwa ritual Cuci Negeri
yang berlangsung itu merupakan genus yang umum, yang
bermuara pada sifat dan kepentingan pelestarian dan
keseimbangan alam bagi kehidupan generasi selanjutnya.154
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat dirumuskan
tentang penelusuran diferensiasi dari ritual CN Soya dalam
kaitannya dengan unsur-unsur agama dan budaya luar yang
memengaruhinya adalah, bahwa ritual CN Soya pada hakikatnya
memiliki kandungan lapisan religiositas yang mengakar pada
agama asli, yakni “agama Nunusaku” pada satu pihak, namun pada
pihak lainnya, ia mengalami pula proses sentuhan pengaruh dari
luar, sebagai akibat dari perjumpaan Ambon-Maluku dengan
154 Agustinus O. Lopuhaa, Cuci Negeri, Interpretasi Agama Suku dan Agama Kristen
dalam Upacara Cuci Negeri di Hukurila, Tesis (Ambon: Program Pascasarjana Teologi Agama dan Kebudayaan UKIM,2012),55-57.
202 Religiositas Ambon-Kristen …
agama dan peradaban pendatang dari luar, baik dari dalam
wilayah Nusantara maupun dari luar Nusantara, antara lain seperti
dari Hindu, Islam, Katolik dan Protestan.
IV.2.5. Penelusuran Pengaruh Politik dan Modernisasi
Tak dapat dipungkiri, bahwa zit im leben (konteks
kehidupan) keagamaan di Maluku semenjak abad XVI,
sebagaimana yang dikonstatir oleh Andaya, lebih dipengaruhi oleh
gejolak politik dan ekonomi daripada gejolak agama itu sendiri.155
Sebagaimana dalam paparan pada Bab III telah diulas tentang
perjumpaan Injil dengan Adat-Budaya setempat di Ambon-Maluku,
maka sesungguhnya tak dapat disangkali tentang fenomena
pengaruh kekuasaan politik terhadap pelbagai ritual adati,
termasuk CN Soya itu sendiri.
Keterangan Foto:
Salah satu contoh jejak pengaruh pertautan agama dan kekuasaan
(politik) yang berdampak pada penataan ruang liturgis (tata-ruang
ibadah), sebagaimana terlihat dengan adanya tempat duduk
khusus (lazim disebut khas raja) bagi raja negeri Soya dan
keluarganya, sebagaimana yang terdapat di gereja tua Soya.
Fenomena ini sudah tidak diberlakukan di gedung gereja lainnya
155Ibid,197,202-203.
Ritual Cuci Negeri Soya … 203
(yang baru dibangun) di akhir abad 20, yakni gereja Lazarus
ataupun gereja Betfage yang terletak di Kayuputih Soya.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Hampir dapat dipastikan bahwa pengaruh kekuasaan
politik “orang luar” (baca: Kolonial) terhadap “orang dalam”
(orang Soya-Ambon) begitu dominan memengaruhi pula respons
“orang dalam” terhadap keagamaan yang “ditawarkan” oleh “orang
luar”. Pengaruh ancaman dari kekuasaan kerajaan Islam di Hitu,
turut menyebabkan beberapa negeri di wilayah Leitimor
(termasuk kerajaan Soya) seakan “mengharapkan” perlindungan
dari pihak kolonial, yang notabene menganut kepercayaan kristen.
Selain itu pula, kebanggaan menyandang status “pangkat” Serani
(agama Kristen) seakan pula melatari dorongan untuk memiliki
status sosial yang lebih terpandang. Latar politis ini pula yang
turut membantu kita memahami bahwa sekalipun adat dan
kepercayaan tradisional beserta pelbagai simbolnya mendapatkan
upaya pemberangusan dan resistensi yang keras dari para kolonial
(melalui para zendeling atau misionarisnya), namun warga Ambon
tetap bersikukuh untuk memeluk agama Kristen.156
156 Bandingkan Pieter Tanamal, Bentuk dan Latar Belakang Keagamaan di Maluku
(Belanda, Vucht: Badan Pengurus Angkatan Muda GPM di Belanda,1968), 26-27.
204 Religiositas Ambon-Kristen …
Keterangan Foto: Contoh pengaruh kekuasaan politik kolonial terhadap
kepemimpinan pribumi, sebagaimana terlihat pada penampilan
busana para raja di negeri-negeri Ambon, termasuk Soya pada
masa kolonial. Penulis belum berhasil memperoleh data yang pasti
tentang figur, tempat dan tahun pengambilan gambar. Namun
sumber foto diambil dari situs khusus warga Soya: Sumber:
http://soya.desa.id/profil/sejarah/diunduh 17 Maret 2018
Dalam konteks era kedaulatan Indonesia, maka CN Soya
pun tak dapat mengelakkan diri dari kemampuan untuk
beradaptasi dengan realita politik dan pembangunan bangsa.
Simbol-simbol penggunaan bendera merah-putih yang bersanding
dengan bendera tana dalam ritual CN Soya, sudah menjadi indikasi
kuat tentang proses dan sekaligus strategi survival dalam rangka
mengadaptasikan tatanan budaya pada satu pihak dan pada pihak
lainnya tentang upaya untuk merawat dan melestarikan warisan
adat-budaya negeri melalui ritual CN tersebut, sebagai suatu
identitas religius kultural orang Soya-Kristen.
Upaya pengadaptasian budaya ini, kian menguat meronai
orang Ambon, sebagaimana yang dikonstatir oleh Soselisa dan
Sihasale,
Pasca konflik Maluku, orang Ambon dan kota Ambon berusaha sekuat tenaga memulihkan dan mengejar ketertinggalan, baik dalam pembangunan infrastruktur maupun pembangunan ekonomi dan sosial budaya. Perkembangan teknologi komunikasi dan arus informasi dari luar Maluku yang mengalir dengan cepat memposisikan orang Ambon secara “update” sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia.157
157 Hermien L. Soselisa dan Wellem R. Sihasale, “Orang Ambon, Nasionalisme dan
Piala Dunia – Kajian tentang Karakter Budaya dan Pemosisian Orang Ambon dalam Ruang Nasional dan Global”, dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM), Menelusuri Identitas...,671.
Ritual Cuci Negeri Soya … 205
Keputusan (politik) pemerintah RI pada tanggal 20 Oktober
2015, melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang
memberikan keputusan monumental dengan menetapkan ritual
adatiCuci Negeri Soya sebagai salah satu Warisan Budaya Tak
Benda di Maluku dan Indonesia, telah menjadi cukup bukti untuk
menempatkan sebuah fenomena baru, bahwa ritual CN Soya
tersebut, telah memasuki sebuah arena baru, yang tidak semata
lagi harus dilihat dalam bingkai kultural-adati murni, melainkan
~suka atau tidak suka, siap atau tidak siap~ ritual CN Soya akan
selalu tampil di panggung hibriditas yang baru, yang merajut
wajah dan perlakuan ritual CN Soya dalam kepentingan dan
~bukan tidak mungkin~ persaingan dinamika politik, budaya,
agama, ekonomi, dan modernisasi. secara berkelindan.
Dalam pengamatan penulis, fenomena modernisasi dan
pembangunan kontemporer saat ini, turut berpengaruh terhadap
penghayatan religiositas orang Soya Kristen dalam melakukan
ritual CN. Selain banyak warga yang turut mengikuti jalannya
ritual dengan khusuk, namun ada pula yang menjalaninya seperti
sedang menyaksikan sebuah “tontonan pertunjukan” wisata religi-
budaya semata. Sehingga tidak jarang dijumpai, bersamaan dengan
berjalannya ritual CN, para warga lebih memilih untuk merekam
(dengan menggunakan kamera handphone atau peralatan foto
elektronik lainnya) ritual CN tersebut pada tempat dan moment-
moment tertentu, ketimbang menjalani ritual dengan penuh
penghayatan. Kendati demikian, pada sisi lainnya, penulis
mendapatkan informasi bahwa, penggunaan fasilitas teknologi
modern, sama sekali tidak diijinkan berada pada lokasi matawana
para pemuda di areal Tempayan, di puncak gunung Sirimau.
Menurut informan yang ikut terlibat (bapa Morits Huwa’a),
memang momentum tersebut dipandang sakral, sehingga tidak
ada yang diijinkan membawa peralatan elektronik seperti
handphone.Suatu diferensiasi religius yang survive tetapi sekaligus
adaptif terhadap realita modernisasi yang tak terelakkan.[]
206 Religiositas Ambon-Kristen …