Abstraks - UKSW
Transcript of Abstraks - UKSW
1
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN YANG TRANSFORMATIF
MENUJU TERWUJUDNYA MASYARAKAT MADANI
Oleh : Wasitohadi
Abstraks
Pendidikan merupakan institusi penting dan strategis untuk mewujudkan
masyarakat madani. Begitu penting dan strategisnya peranan pendidikan itu,
sehingga tak salah bila dikatakan bahwa terwujudnya masyarakat madani itulah
tujuan dari pendidikan kita. Karakteristik masyarakat madani yang dimaksud
mempunyai muatan nilai universal sekaligus juga nilai partikular yang dinyatakan di
dalam masing-masing kebudayaan masyarakat, yang dipengaruhi oleh kondisi lokal,
waktu dan ideologi. Dalam upaya mewujudkan nilai-nilai tersebut, pendidikan
kewarganegaraan memiliki peranan yang strategis, karena melalui pendidikan
kewarganegaraan dikembangkan pengetahuan, sikap dan nilai, serta ketrampilan
peserta didik agar dapat menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang
memahami, menyadari dan mampu menggunakan hak serta menjalankan kewajiban
kenegaraannya secara efektif dan bertanggung jawab. Agar peranan ini bisa
dijalankan, pendidikan kewarganegaraan harus bersifat transformatif. Cirinya, dari
segi paradigmanya merupakan perpaduan antara paradigma konservatif dan
paradigma liberal, berperan sebagai alat rekonstruksi sosial, dan mampu belajar dari
kecenderungan global pendidikan kewarganegaraan, baik menyangkut konsep,
materi maupun metodologi pengajarannya, dengan tetap menyesuaikan dengan
konteks Indonesia.
Kata kunci : tujuan pendidikan, masyarakat madani, pendidikan kewarganegaraan
transformatif.
A. Pendahuluan
Wacana publik tentang reformasi dan pengembangan budaya politik Indonesia
umumnya bersumber dari gagasan tentang pembentukan masyarakat madani
Indonesia. Dalam berwacana tersebut, publik umumnya berbicara bukan hanya
menyangkut konsep dan karakteristik masyarakat madani yang diharapkan, yang
dalam kenyataan cukup beragam, tapi juga mengenai seberapa besar peran dari
berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan dan lain-lain, dalam upaya mewujudkan
masyarakat madani tersebut. Sementara itu, dalam polemik di media massa, juga
dalam pembahasan di banyak buku pustaka, juga sering diperkarakan apakah
2
karakteristik masyarakat madani tersebut sama di semua tempat dan dinamika waktu
perkembangan zaman, atau adakah pengaruh kondisi lokal, waktu dan ideologi,
misalnya, terhadap karakteristik masyarakat madani yang diidealkan.
Dalam wacana publik tentang masyarakat madani semacam itulah, makalah ini
dibuat. Fokusnya selain hendak membahas tentang konsep dan karakteristik
masyarakat madani yang diharapkan, juga ingin memahami bagaimana peranan
pendidikan kewarganegaraan dalam upaya mewujudkan masyarakat madani yang
diharapkan. Umumnya das sollen diyakini bahwa pendidikan kewarganegaraan
merupakan institusi penting dan strategis untuk mewujudkan masyarakat madani yang
demikian. Begitu penting dan strategisnya peranan pendidikan kewarganegaraan itu,
sehingga tak salah bila sementara pihak berpendapat bahwa terwujudnya masyarakat
madani itulah tujuan dari pendidikan politik kita. Meskipun begitu, dalam realitas,
pendidikan kewarganegaraan tidak selalu berperan demikian, sebab berperan tidaknya
pendidikan kewarganegaraan dalam upaya mewujudkan masyarakat madani, amat
tergantung pada model pendidikan yang real dikembangkan. Dalam konteks inilah,
disadari perlunya model pendidikan kewarganegaraan yang transformatif, yang
mampu melepaskan diri dari jebakan status quo, dan berubah berkembang ke arah
semakin terwujudkan masyarakat madani yang diidealkan.
Agar sistematis, pembahasan makalah ini dilakukan dengan sistematika
berfikir demikian. Pembahasan dimulai dengan memahami secara sekilas konsep dari
politik. Sesudah itu, akan dibahas konsep dan karakteristik masyarakat madani yang
diharapkan, dengan tekanan pada upaya untuk menganalisa dan mensintesa atas
berbagai pendapat dan pandangan yang kini berkembang. Setelah hal tersebut jelas
3
dipahami, pembahasan dilanjutkan mengenai bagaimana peranan strategis pendidikan
kewarganegaraan dalam upaya mempercepat terwujudnya masyarakat madani,
dengan menawarkan konsep perlunya dibangun model teori pendidikan
kewarganegaraan yang transformatif.
B. Konsep dan Karakteristik Masyarakat Madani
Salah satu tujuan negara dalam sebuah negara demokrasi adalah untuk
mewujudkan masyarakat madani yang diharapkan. Meskipun secara formal istilah
tersebut tak tercantum dalam pembukaan UUD 1945, namun dari esensi dan
semangatnya, jelas bahwa masyarakat yang semacam itulah yang hendak dituju.
Pilihan pada paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, beserta implikasi institusi
perangkat pendukungnya, jelas mencerminkan hal itu.
Harus diakui bahwa mengenai konsep masyarakat madani hingga kini belum
ada pemahaman yang sama di kalangan para ahli. Sebagian besar ahli, bertolak dari
kerangka dan pengalaman Eropa Timur dan Amerika Latin, yang memandang
”masyarakat madani” berada dalam posisi yang berlawanan dengan negara, dan
bahkan sebagai alternatif bagi negara. Pada hal, menurut Azyumardi Azra (2002:4),
konsep masyarakat madani tidaklah demikian. Masyarakat madani, menurutnya,
haruslah menjalin hubungan yang lebih kooperatif daripada konflik. Masyarakat
madani justru mengandung makna dan tujuan untuk a better ordering of society”,
bukan penghadapan oposisional antara state dengan society.
Secara etimologi, kata ”madani” berasal dari bahasa Arab yang artinya civil
atau civilized yang artinya beradab. Kemudian ada istilah ”tamaddun”, yang berarti
civilization atau peradaban. Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil
4
atau civilized society (A.Qodri Azizy, 2002:6). Dalam konteks Indonesia, konsep civil
society 1 telah diterjemahkan menjadi ”masyarakat madani”, ”masyarakat sipil”, atau
”masyarakat kewargaan”. (Azyumardi Azra, 2003:240).
Istilah ”masyarakat” madani menunjuk pada sebuah masyarakat yang ideal,
yaitu kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju, yang didasarkan pada
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan
kestabilan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat mendorong upaya serta inisiatif
individu baik dari segi pemikiran, seni maupun pelaksanaan pemerintahan agar
mengikuti undang-undang dan bukan mengikuti nafsu atau keinginan individu. (Dede
Rosyada, 2000: 238).
Sementara itu, Zbigniew Rau (Azyumardi Azra, 2003:139), dengan latar
belakang kajian pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet, mengatakan bahwa
masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang
mengandalkan ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung,
bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini
timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan
hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Oleh
karenanya, yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari
pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan
1 Menurut Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif,dkk (2002), dalam buku mereka berjudul ”Islam & Civil
Society”, istilah atau konsep civil society di Indonesia pertama kali muncul dari kalangan sarjana
Australia, tepatnya Monash university, melalui sebuah konferensi yang diselenggarakan dengan tema
”State and Civil Society in Contemporary Indonesia”, 25-27 Nopember 1988. Pada waktu itu, salah
satu ilmu Indonesia, Arief Budiman, diundang sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre of
Southeast Asian Studies, Monash University. Konferensi ini pula yang kemudian melahirkan sebuah
buku yang disunting oleh Arief Budiman sendiri, dengan judul State and Civil Society in Indonesia.
5
negara dalam masyarakat madani ini diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni
individualisme, pasar dan pluralisme.
Dengan latar belakang kasus Korea Selatan, definisi masyarakat madani
dikemukakan oleh Han Sung-Joo. Ia mengatakan bahwa masyarakat madani
merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar
individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang
mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu
mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-
norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada
akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini.
Konsep yang dikemukakan oleh Han ini, menekankan adanya ruang publik
serta mengandung 4 (empat) ciri dan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat madani,
yakni pertama, diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan
berserikat serta mandiri dari negara. Kedua, adanya ruang publik yang memberikan
kebebasan bagi siapapun dalam mengartikulasikan isu-isu politik. Ketiga, terdapatnya
gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu.
Keempat, terdapat kelompok inti di antara kelompok pertengahan yang mengakar
dalam masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial
ekonomi.
Sementara itu, Kim Sunhyuk, dengan latar belakang kajian konteks Korea
Selatan mengatakan bahwa masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari
kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan
dalam mayarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-
6
satuan dasar dari reproduksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan
politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dalam
memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan
pengelolaan yang mandiri.
Definisi ini menekankan adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang
relatif memposisikan secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi
organisasi-organisasi ini mensyaratkan adanya ruang publik yang memungkinkan
untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Berbagai batasan di atas, jelas merupakan analisa yang bersifat kontekstual
terhadap performa yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Akan
tetapi dari batasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri
secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam
mengemukakan pendapat, serta adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Dari uraian konsep masyarakat madani di atas, sedikit banyak tergambar
mengenai apa sesungguhnya karakteristik dari konsep masyarakat madani? Mengenai
masyarakat madani, Azyumardi Azra (2003:247) mengemukakan sejumlah
karakteristik yang merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan
nilai-nilai bagi eksistensi masyarakat madani, meliputi : adanya free public Sphere,
demokratis, toleransi, pluralisme, keadilan sosial dan berkeadaban.
Yang dimaksud dengan free public Sphere adalah adanya ruang publik yang
bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang
7
bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi
wacana dan praksis politik tanpa mengalami kekhawatiran. Lebih lanjut dikatakan
bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat
sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan
masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public Sphere
menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya
ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan
memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam
menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa
yang tiranik dan otoriter.
Karakteristik kedua adalah demokratis. Demokrasi merupakan salah satu syarat
mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Dalam negara demokrasi, warga negara
memiliki kebebasan, dalam arti punya kesempatan untuk melakukan segala sesuatu
yang secara sosial menguntungkan. Dengan demikian, demokratis berarti warga
negara atau masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan
masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama.
Ketiga, toleran. Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam
masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati
aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya
kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta
aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda. Masyarakat
madani mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas
8
meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima
pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
Keempat, pluralisme. Sebagai sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani,
maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan
kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan
sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan
menerima kenyataan masyarakat majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang
tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, dan merupakan
rahmat Allah. Sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam
masyarakat yang majemuk, yang menurut Nurcholish Madjid, hal itu merupakan
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Kelima, keadilan sosial. Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan
keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap
warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak
adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok
masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Sementara itu, Zamroni (2007:113) menegaskan mengenai adanya variasi
bentuk civil society (masyarakat madani) yang dipengaruhi oleh kondisi lokal, waktu
dan ideologi. Dengan kesadaran yang demikian, ia mengemukakan sejumlah
karakteristik masyarakat madani Indonesia sebagai berikut.
Pertama, setiap warga masyarakat memiliki kebebasan untuk melakukan apa
yang diinginkan atau tidak melakukan sesuatu, tanpa ada intervensi dari kekuatan luar
9
baik pemerintah maupun kekuatan yang lain. Yang membatasi perilaku warga
masyarakat adalah undang-undang dan peraturan yang berlaku syah, serta norma-
norma yang hidup di masyarakat.
Kedua, setiap warga memegang bersama secara teguh nilai-nilai: a)
melaksanakan hak-hak individu tanpa menganggu hak-hak orang lain, b)
mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, c) memegang
teguh nilai-nilai kebersamaan yang menekankan gotong royong, saling menghargai
dan toleransi, d) mengedepankan semangat kesetaraan antar individu, baik
menyangkut jenis kelamin, status sosial, dan mereka memiliki derajat yang sama di
mata hukum, dan e) menghargai realita sebagai masyarakat multikultural yang
memiliki berbagai perbedaan. Nilai-nilai ini bisa disebut sebagai modal kultural atau
cultural capital.
Ketiga, dalam masyarakat terdapat jalinan kerja sama yang dijiwai semangat
gotong royong berdasarkan rasa saling percaya. Antar warga atau antar kelompok
warga terdapat suasana saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga dan
memberikan perhatian. Kondisi semacam ini disebut sebagai modal sosial atau social
capital.
Keempat, warga masyarakat aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan dan politik, tanpa harus menjadi partisan politik. Mereka melakukan
kegiatan dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Pengetahuan dan
kemampuan ini mencerminkan apa yang disebut modal intelektual atau intellectual
capital.
10
Ahli lain, H.A.R Tilaar (1999:155) mengemukakan karakteristik masyarakat
madani Indonesia meliputi:
Pertama, masyarakat yang mengakui akan hakikat kemanusiaan (dignity of
man) yang bukan hanya sekedar untuk mengisi kebutuhannya untuk hidup (proses
hominisasi), tetapi juga untuk eksis sebagai manusia (proses humanisasi).
Kedua, pengakuan akan hidup bersama manusia sebagai makhluk sosial
melalui sarana yang berbentuk organisasi sosial seperti negara. Negara menjamin dan
membuka peluang yang kondusif agar para anggotanya dapat berkembang untuk
merealisasikan dirinya baik dalam tatanan horisontal dengan sesamanya maupun
dengan tatanan vertikal dengan Tuhannya.
Ketiga, masyarakat yang mengakui dua karakteristik tersebut, yaitu yang
mengakui akan hak asasi manusia dalam kehidupan yang demokratis.
Sementara itu, Muhammad AS Hikam (1999:3), empat ciri utama masyarakat
madani, yaitu kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi terhadap negara,
dan keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama. Kesukarelaan, artinya
suatu masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena
indoktrinasi. Keanggotaan masyarakat madani adalah keanggotaan dari pribadi yang
bebas, yang secara sukarela membentuk suatu kehidupan bersama dan oleh sebab itu
mempunyai komitmen bersama yang sangat besar untuk mewujudkan cita-cita
bersama. Dengan sendirinya tanggung jawab pribadi sangat kuat karena diikat oleh
keinginan bersama untuk mewujudkan keinginan tersebut.
Keswasembadaan, artinya bahwa keanggotaan yang sukarela untuk hidup
bersama tentunya tidak akan menggantungkan kehidupannya pada orang lain. Dia
11
tidak tergantung pada negara, juga tidak tergantung kepada lembaga-lembaga atau
organisasi lain. Setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, yang percaya akan
kemampuan sendiri untuk berdiri sendiri bahkan untuk dapat membantu sesama yang
lain yang berkekurangan. Keanggotaan yang penuh percaya diri tersebut adalah
anggota yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap
masyarakatnya.
Kemandirian tinggi terhadap negara, artinya bahwa anggota masyarakat
madani adalah manusia-manusia yang percaya diri sehingga tidak tergantung pada
perintah orang lain termasuk negara. Bagi mereka, negara adalah kesepakatan bersama
sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan
dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum
yang disepakati bersama. Ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat
yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.
Dari pendapat para ahli di atas, tampak bahwa ada persamaan dan perbedaan.
Persamaannya antara lain pada keyakinan bahwa karakteristik masyarakat madani
yang dimaksud mempunyai muatan nilai universal sekaligus nilai partikular2, yang
dinyatakan di dalam masing-masing kebudayaan masyarakat, yang dipengaruhi oleh
kondisi lokal, waktu dan ideologi. Persamaan lainnya terletak pada nilai-nilai yang
diyakini sebagai karakteristik masyarakat madani, meskipun dari segi pengungkapan
menggunakan istilah yang berbeda. Azyumardi Azra, misalnya, menggunakan istilah
free public sphere, sementara Zamroni menggunakan istilah kebebasan, sementara
2 Malik Fadjar (1999) menyatakan bahwa kekhasan karakteristik masyarakat madani Indonesia adalah
(a) adanya keragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa
Indonesia dan kebudayaan nasional, (b). pentingnya ada saling pengertian antara sesama anggota
masyarakat, (c). adanya toleransi yang tinggi.
12
Hikam menggunakan istilah kesukarelaan. Dengan membaca keterangan serta uraian-
uraiannya, hal yang sama bisa digunakan untuk menganalisis nilai karakteristik
masyarakat madani lainnya. Sementara perbedaannya, boleh dikatakan, lebih pada
jumlah nilai karakteristik yang dikemukakan, bukan terutama pada esensinya.
C. Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani.
Pendidikan kewarganegaraan dapat dipahami sebagai usaha sadar untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan peserta didik agar dapat menjadi
warga negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami, menyadari dan mampu
menggunakan hak serta menjalankan kewajiban kenegaraan secara efektif dan
bertanggung jawab. Menurut Sulasmono (2002), ada tiga alasan pokok mengapa setiap
bangsa, termasuk bangsa Indonesia memerlukan Pendidikan Kewarganegaraan.
Pertama, menyangkut eksistensi negara itu sendiri, kedua menyangkut komitmen
untuk mewujudkan masyarakat demokratis, dan ketiga menyangkut peran penting civil
society dalam negara demokrasi.
Warga negara memiliki peran penting bagi sebuah negara. Negara dibentuk
oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu tidak ada negara
tanpa manusia. Manusia anggota dari suatu negara itulah yang disebut rakyat atau
lebih tepat sebgai warga negara. Warga negara bukan saja merupakan pihak yang
mendirikan negara, melainkan juga yang berkepentingan untuk memajukan,
membesarkan dan mempertahankan negara. Teguh berdirinya negara, mati hidupnya
negara sangat ditentukan oleh komitmen warga negara itu sendiri.
13
Selain itu, mengingat begitu pentingnya kedudukan warga negara dalam
sebuah negara maka banyak negara yang mengelola kehidupannya dengan melibatkan
seluruh warga negara dalam bentuk pemerintahan demokrasi. Dalam negara
demokrasi rakyat adalah asal usul, titik berangkat, pemeran proses dan sasaran dari
proses kehidupan bernegara.
Lain dari itu, ada satu syarat yang harus dipenuhi agar kehidupan demokrasi
benar-benar dapat berjalan dengan baik, yaitu tersedianya civil society. Civil society
dapat dipahami sebagi masyarakat yang relatif bebas atau mandiri dari kekuasaan
negara. Hikam (1966:6) mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan yang
terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan, keswasembadaan, dan
keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan
norma-norma hukum yang diikuti oleh warganya. Civil society mewujud dalam
berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah setiap warga negara otomatis
mampu menunaikan peran-peran penting mereka dalam hidup bernegara? Sejarah
menunjukkan bahwa hal semacam itu jarang terjadi. Kegagalan atau kelambanan
dalam upaya mewujudkan gagasan demokasi di dunia ketiga menunjukkan bahwa ada
faktor ketidaksiapan warga negara dalam menopang proses itu. Menjauhkan urusan
negara dari tangan warga negara hanya akan membawa kehancuran negara itu sendiri.
Dominasi pemerintahan diktator atau warga negara yang dibuat pasif, menyebabkan
rapuhnya bangunan negara yang bersangkutan. Dalam negara demokrasi setiap warga
negara mempunyai hak untuk memerintah negaranya. Namun demikian, hak tanpa
kemampuan untuk menggunakannya tentu tidak bermakna apa-apa. Oleh karena itu,
14
setiap dan semua warga negara harus terdidik secara politik. Rakyat, termasuk
mahasiswa memerlukan pendidikan kewarganegaraan agar mereka dapat memahami
dan melatih diri untuk menunaikan tanggung jawab kenegaraan mereka dalam
kehidupan bernegara.
Bagi terwujudnya masyarakat madani, H.A.R. Tilaar (1999:168), mengusulkan
pentingnya pendidikan dari, oleh dan bersama-sama masyarakat. Pendidikan dari
masyarakat, artinya bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada
kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari
atas, dari kepentingan pemerintah semata-mata apalagi dari penguasa, tetapi
pendidikan yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri.
Pendidikan oleh masyarakat, artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan
obyek pendidikan, yaitu untuk melaksanakan kemauan negara atau suatu kelompok
semata-mata tapi partisipasi yang aktif dari masyarakat, di mana masyarakat
mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Hal ini berarti
masyarakat bukanlah sekedar penerima belas kasihan dari pemerintah, tetapi suatu
sistem yang percaya kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas
pendidikan generasi mudanya. Pendidikan oleh masyarakat bukan artinya melepaskan
tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah dalam pendidikan nasional adalah
menjaga dan mengarahkan agar supaya tanggung jawab masyarakat dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Kalau perlu, pemerintah dapat mengulurkan tangan untuk
memecahkan masalah-masalah yang memang meminta intervensi pemerintah.
Pendidikan bersama-sama masyarakat, artinya masyarakat diikutsertakan di
dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat
15
karena lahir dari kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri. Penyelenggaraan
pendidikan bersama-sama dengan masyarakat bukan didalam arti masyarakat
disubordinasikan pada pemerintah karena misalnya pemerintah menyediakan dana
untuk itu. Subsidi dan partisipasi pemerintah tidak mengurangi tanggung jawab
masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan, malahan uluran tangan pemerintah
akan memperbesar tanggung jawab masyarakat secara bertahap atas penyelenggaraan
pendidikan itu sendiri.
Untuk mewujudkan karakteristik masyarakat madani Indonesia, dibutuhkan
pendidikan kewarganegaraan yang bukan berorientasi untuk mempertahankan status
quo, tapi yang transformatif. Artinya, pendidikan kewarganegaraan haruslah mampu
berubah (change), berkembang (develop), ke arah yang semakin baik (improve),
menuju terwujudnya masyarakat madani Indonesia. Untuk itu perlu dibangun,
katakanlah, teori pendidikan kewarganegaraan yang transformatif. Seperti apakah
pendidikan kewarganegaraan yang transformatif itu?
Dari segi pilihan paradigmanya, pendidikan kewarganegaraan yang
transformatif itu menggunakan perpaduan antara paradigma yang konservatif dengan
yang liberal. Terlepas dari persoalan-persoalan filosofis yang mungkin muncul dibalik
pemaduan paradigma itu namun secara praktis perpaduan antara pembelajaran hak dan
kewajiban yang tepat bagi subyek yang terikat hukum dan peningkatan ketrampilan-
ketrampilan warga masyarakat untuk melakukan partisipasi dan mempengaruhi
jalannya pemerintahan negara memang amat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat
ini, dalam rangka mewujudkan masyarakat madani Indonesia.
16
Selain itu, sifat transformatif dari pendidikan kewarganegaraan perlu
diupayakan agar ia dapat berperan sebagai alat rekonstruksi sosial. Artinya,
pendidikan yang dapat memahami struktur sosial masyarakat dan menjalankan fungsi
melakukan perubahan struktur masyarakat tersebut. Pendidikan kewarganegaraan
sebagai alat rekonstruksi sosial menekankan pada hasil pendidikan yang bersifat
ganda. Pertama, lulusan yang memiliki pengetahuan dan kemampuan serta memiliki
kemauan untuk aktif dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Kedua, lulusan
yang memiliki kemampuan dan senantiasa memiliki kemauan untuk hidup
berkelompok dalam upaya mencapai tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat
(Zamroni, 2007:117). Oleh karena itu, pendidikan menekankan pada pengembangan
diri peserta didik berupa moral yang senantiasa ingin berbuat baik bagi kepentingan
umum melebihi kepentingan diri sendiri dan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
ikhlas. Demikian pula, segala karakteristik masyarakat madani Indonesia yang disebut
dimuka, yaitu adanya kebebasan, demokratis, toleran, menjunjung pluralisme,
keadilan sosial, kerja sama, partisipasi, kemandirian, memegang teguh nilai-nilai dan
lain sebagainya, diharapkan bisa tertanam pada peserta didik melalui peran
pendidikan kewarganegaraan sebagai alat rekonstruksi sosial ini.
Dalam membangun sifat transformatif pendidikan kewarganegaraan, yang
penting pula adalah belajar dari pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di negara-
negara demokrasi konstitusional, mungkin di sana ada ”best practice” pendidikan
kewarganegaraan yang bisa diadopsi dan diadaptasikan sesuai dengan konteks
Indonesia. Hasil kajian Charles N.Quigley (2003:3), menyimpulkan ada sembilan
kecenderungan global dalam pendidikan kewarganegaraan, yaitu:
17
1. Konseptualisasi PKN ke dalam tiga komponen yang saling terkait, yaitu
”civic knowledge, civic skill and civic virtues”.
2. Pengajaran sistematis ide-ide dasar atau konsep-konsep kunci.
3. Analisa studi kasus.
4. Pengembangan ketrampilan-ketrampilan pembuatan keputusan.
5. Analisa internasional dan perbandingan pemerintahan dan
kewarganegaraan.
6. Pengembangan ketrampilan-ketrampilan partisipatoris dan kebajikan-
kebajikan kewarganegaraan melalui kegiatan-kegiatan ”cooperatif
learning”.
7. Penggunaan pustaka dalam mengajarkan kebajikan-kebajikan kenegaraan.
8. Pembelajaran aktif (actif learning) tentang pengetahuan, ketrampilan dan
kebajikan-kebajikan kenegaraan;
9. Keterpaduan antara konten dan proses dalam proses belajar mengajar
pengetahuan, ketrampilan dan kebajikan-kebajikan kenegaraan.
Bila dicermati, kecenderungan global itu bersifat multidimensi dan
menyangkut banyak hal mulai dari konsep dan bagaimana menerjemahkan konsep
tersebut secara transformatif, baik berkaitan dengan materi, variasi metodologi yang
dipakai, maupun hasil yang diharapkan. Dari segi konsep, perlu konseptualisasi PKN
ke dalam tiga komponen yang saling terkait yaitu memfokuskan program kepada
pengembangan ”civic knowledge, civic skill and civic virtues”. Selain itu, perlu
pengajaran sistematis ide-ide dasar atau konsep-konsep kunci pemerintahan dan
kewarganegaraan demokratis, seperti kedaulatan rakyat, hak-hak individual, kebaikan
bersama, otoritas, keadilan, kebebasan, konstitusionalisme, dan rule of law, serta
demokrasi perwakilan.
Dalam rangka menterjemahkan konsep tersebut, khusus dalam soal materi,
ditekankan perlunya keterpaduan antara konten dan proses dalam proses belajar
mengajar pengetahuan, ketrampilan dan kebajikan-kebajikan kenegaraan. Dalam
pengembangan kurikulum dan rencana pengajaran para pengajar mengakui bahwa
kebajikan dan ketrampilan-ketrampilan partisipatoris maupun intelektual merupakan
18
hal yang tidak terpisahkan dari konten atau satuan pengetahuan kenegaraan. Mereka
berpendapat bahwa jika siswa/mahasiswa harus berfikir kritis dan bertindak efektif
dalam merespon isu-isu politik, mereka harus memahami pengertian dalam isu
tersebut, asal mulanya, pilihan reaksi terhadapnya dan konsekuensi logis dari reaksi
itu. Pemahaman itu berlandaskan pada pengetahuan mereka. Penerapan pengetahuan
untuk menjelaskan, menilai dan memecahkan isu bergantung pada ketrampilan-
ketrampilan proses kognitif siswa. Materi bahan pelajaran dan proses-proses atau
operasi-operasi kognitif pokok merupakan faktor-faktor yang saling terkait dalam
belajar mengajar. Baik materi akademis maupun proses-proses harus diajarkan dan
dipelajari bersama-sama agar misi PKN untuk mengembangkan kemampuan individu
dalam membangun, memelihara dan memperbaiki pemerintahan dan kewarganegaraan
demokratis di negaranya atau di seluruh dunia terpenuhi.
Dari metodologi pengajarannya, ditekankan pentingnya variasi metodologi
karena masing-masing akan memberi sumbangan bagi sifat transformatifnya
pendidikan kewarganegaraan. Pertama, analisa studi kasus. Penggunaan studi kasus
dapat membawa drama dan vitalitas kehidupan kenegaraan yang sebenarnya ke dalam
ruang kelas, serta menuntut penerapan praktis ide-ide dasar atau konsep-konsep untuk
memahami data yang berasal dari kehidupan kenegaraan.
Kedua, pengembangan ketrampilan-ketrampilan pembuatan keputusan. Para
pengajar menggunakan studi-studi kasus tentang isu politik dan hukum untuk
menolong siswa agar berkembang ketrampilannya dalam membuat keputusan. Para
siswa/mahasiswa diajari mengenali isu, menguji alternatif-alternatif pilihan, dan
19
konsekuensi dari masing-masing pilihan, serta mempertahankan satu pilihan yang
mereka anggap lebih baik ketimbang pilihan lain.
Ketiga, analisa internasional dan perbandingan pemerintahan dan
kewarganegaraan. Kebangkitan global demokrasi konstitusional telah merangsang
minat pada metode belajar mengajar perbandingan tentang pemerintahan dan
kewarganegaraan. Para pengajar meminta siswa/mahasiswa untuk membandingkan
lembaga-lembaga demokrasi konstitusional di negaranya dengan lembaga-lembaga di
negara demokrasi lainnya. Harapannya adalah bahwa analisa perbandingan itu akan
memperdalam pemahaman siswa/mahasiswa tentang lembaga-lembaga demokrasi di
negaranya sendiri, serasa memperluas pengetahuan mereka tentang prinsip-prinsip
demokrasi. Lebih dari itu, analisa perbandingan itu juga cenderung mengurangi
semangat etnosentrisme.
Keempat, pengembangan ketrampilan-ketrampilan partisipatoris dan
kebajikan-kebajikan kewarganegaraan melalui kegiatan-kegiatan ”cooperatif
learning”. Para pengajar menekankan pembelajaran kooperatif dalam kelompok-
kelompok kecil yang mendorong siswa/mahasiswa untuk bekerja bersama-sama.
Melalui kegiatan belajar secara kooperatif itu siswa/mahasiswa mengembangkan
berbagai ketrampilan partisipatoris dan kebajikan-kebajikan kewarganegaraan yang
terkait. Siswa/mahasiswa yang secara reguler terlibat dalam pembelajaran kooperatif
cenderung berkembang ketrampilan-ketrampilannya seperti kepemimpinan, negosiasi,
kompromi, penyelesaian konflik, dan kritik yang membangun. Kebajikan mereka
seperti toleransi, keberadaban dan kejujuran juga berkembang.
20
Kelima, penggunaan pustaka dalam mengajarkan kebajikan-kebajikan
kenegaraan. Para pengajar PKN mengakui bahwa studi pustaka baik yang bersifat
kesejarahan maupun fiksi dapat mengenalkan siswa/mahasiswa pada pribadi-pribadi
menarik yang memberikan contoh penerapan kebajikan kewarganegaraan dalam
keadaan-keadaan dramatis. Karakter-karakter dalam cerita itu dapat menjadi model
peran bagi siswa/mahasiswa. Paling tidak mereka dapat menjadi contoh positif tentang
kebajikan kewarganegaraan tertentu sehingga dapat membantu dalam memahami
makna dan arti pentingnya moralitas dalam kehidupan kenegaraan.
Keenam, pembelajaran aktif (actif learning) tentang pengetahuan, ketrampilan
dan kebajikan-kebajikan. Para pengajar PKN melibatkan siswa/mahasiswa secara aktif
dalam pemerolehan pengetahuan, ketrampilan dan kebajikan. Termasuk dalam
pembelajaran aktif, misalnya, adalah belajar konsep secara sistematis, analisa studi
kasus, pengembangan ketrampilan-ketrampilan pengambilan keputusan, tugas-tugas
belajar kooperatif, dan diskusi kelompok interaktif yang terkait dengan pengajaran
kebajikan kewarganegaraan melalui studi pustaka.
D. Kesimpulan
Pendidikan merupakan institusi penting dan strategis untuk mewujudkan
masyarakat madani. Begitu penting dan strategisnya peranan pendidikan itu, sehingga
tak salah bila dikatakan bahwa terwujudnya masyarakat madani itulah tujuan dari
pendidikan kita. Karakteristik masyarakat madani yang dimaksud mempunyai muatan
nilai universal sekaligus juga nilai partikular yang dinyatakan di dalam masing-masing
kebudayaan masyarakat, yang dipengaruhi oleh kondisi lokal, waktu dan ideologi.
21
Dalam upaya mewujudkan nilai-nilai tersebut, pendidikan kewarganegaraan
memiliki peranan yang strategis, karena melalui pendidikan kewarganegaraan
dikembangkan pengetahuan, sikap dan nilai, serta ketrampilan peserta didik agar dapat
menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami, menyadari dan
mampu menggunakan hak serta menjalankan kewajiban kenegaraannya secara efektif
dan bertanggung jawab.
Agar peranan ini bisa dijalankan, pendidikan kewarganegaraan harus bersifat
transformatif. Cirinya, dari segi paradigmanya merupakan perpaduan antara
paradigma konservatif dan paradigma liberal, berperan sebagai alat rekonstruksi
sosial, dan mampu belajar dari kecenderungan global pendidikan kewarganegaraan,
baik menyangkut konsep, materi maupun metodologi pengajarannya, dengan tetap
menyesuaikan dengan konteks Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Affan Gaffar. (2005). Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azyumardi Azra (2000). Pendidikan Kewargaan (civic education). Tim ICCE UIN
Jakarta.
Azyumardi Azra (2002). Civic Education di PT Sebagai Modal dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: Tim ICCE UIN Jakarta.
Bambang Suteng S. (2002). Materi Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. P3KD.
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif,dkk. (2002). Islam & Civil Society. Jakarta : PT
Gramedia.
Komaruddin Hidayat, dkk. (2005). Islam Negara & Civil Society. Jakarta: Paramadina.
Kompas. (1999). Masyarakat Versus Negara. Paradigma baru Membatasi Dominasi
Negara. Jakarta.
Kutut Suwondo. (2003). Civil Society di Aras Lokal. Salatiga: Yayasan Percik.
22
Larry Diamond. (2003). Developoing democracy toward consolidation. Yogyakara:
IRE Press.
Margaret S. Branson, dkk.(1999). Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta:
LKIS dan The Asia Foundation.
Muhammad AS Hikam. (1999). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta : LP3ES.
Neera Chandhoke. (2001). Benturan negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta:
Istawa Wacana.
Ramlan Surbakti. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.
R.M.S.Gultom.(1999). Tanggung Jawab Warga Negara. Jakarta: Kerjasama Yayasan
Bina Darma – Salatiga dengan PT BPK Gunung Mulia.
Tilaar. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yayasan Bhumiksara. (2003). Refleksi Tentang Pendidikan Bermakna Menuju
Indonesia Baru.
Zamroni. (2001). Pendidikan Untuk Demokrasi, Tantangan Menuju Civic Society.
Yogyakarta : Bigraf Publishing.
Zamroni. (2007). Pendidikan, dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi menuju era
Globalisasi). Jakarta: PSAP Muhammadiyah.