BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

21
84 BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA REFORMASI Mencermati perkembangan Islam mula-mula dari sisi spasialitasnya, bisa dikatakan bahwa Islam di Semarang berkembang sesuai dengan kebanyakan pola penyebaran di Jawa. Kota Semarang, secara umum, merepresentasikan formasi kebudayaan yang multikultur. Sebagai kawasan pesisiran, interaksi lintas budaya merupakan tipologi yang melekat. Pertemuan budaya satu dengan budaya lainnya sangat kental mewarnai Semarang. Relasi kelompok Muslim dengan pelbagai kebudayaan menjadi sebuah aktivitas yang menjangkar kuat. Kebudayaan Arab, Tionghoa, Belanda, Melayu, Jawa, Banjar dan lainnya menjadi identitas masyarakat Semarang. 1 Sehingga prinsip-prinsip ritual dalam aktivitas keberagamaan masyarakat Muslim urban di tengah penduduknya yang beragam, salah satu cara bagaimana kita mengenal Kota Semarang. Religiositas Muslim urban Pasca Reformasi, di sini menunjukkan ada proses di mana masyarakat mengalami kontruksi di era demokratis ini, termasuk Kota Semarang tentunya. Religiositas masyarakat urban merupakan rumusan identitas Muslim di kota Semarang pasca reformasi. Di mana perkembangan masyarakat religius menjadi pengingat atas kebebasan demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998. Menilik munculnya sebuah 1 Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi Di Garis Tepi; Identitas, Pertahanan dan Perlawanan Kultural Masyarakat Etno-Religius (Semarang: eLSA Press, 2018), 65.

Transcript of BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

Page 1: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

84

BAB IV

RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA REFORMASI

Mencermati perkembangan Islam mula-mula dari sisi spasialitasnya, bisa

dikatakan bahwa Islam di Semarang berkembang sesuai dengan kebanyakan pola

penyebaran di Jawa. Kota Semarang, secara umum, merepresentasikan formasi

kebudayaan yang multikultur. Sebagai kawasan pesisiran, interaksi lintas budaya

merupakan tipologi yang melekat. Pertemuan budaya satu dengan budaya lainnya

sangat kental mewarnai Semarang. Relasi kelompok Muslim dengan pelbagai

kebudayaan menjadi sebuah aktivitas yang menjangkar kuat. Kebudayaan Arab,

Tionghoa, Belanda, Melayu, Jawa, Banjar dan lainnya menjadi identitas masyarakat

Semarang.1 Sehingga prinsip-prinsip ritual dalam aktivitas keberagamaan

masyarakat Muslim urban di tengah penduduknya yang beragam, salah satu cara

bagaimana kita mengenal Kota Semarang. Religiositas Muslim urban Pasca

Reformasi, di sini menunjukkan ada proses di mana masyarakat mengalami

kontruksi di era demokratis ini, termasuk Kota Semarang tentunya. Religiositas

masyarakat urban merupakan rumusan identitas Muslim di kota Semarang pasca

reformasi. Di mana perkembangan masyarakat religius menjadi pengingat atas

kebebasan demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998. Menilik munculnya sebuah

1 Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi Di Garis Tepi; Identitas, Pertahanan dan Perlawanan

Kultural Masyarakat Etno-Religius (Semarang: eLSA Press, 2018), 65.

Page 2: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

85

ciri khusus berkembangnya Islam di Indonesia dengan mencuatnya kegemaran

terhadap tradisi mistik dan ibadah tasawuf (sufisme). Kebangkitan sufisme,

terutama di kalangan muslim perkotaan, di era ini melawan arus modernisme Islam

skripturalis yang begitu kuatnya memusuhi sufisme pada abad lalu. Bahkan para

pembaharu modernis yang menonjol di perkotaan dalam organisasi-organisasi, misal

Muhammadiyah, umumnya berpikir bahwa tasawuf mendorong pelanggaran-

pelanggaran terhadap doktrin keesaan Tuhan melalui pujian yang berlebihan melalui

tarekat. Muslim modernis juga menentang beberapa amalan para sufi.2 Mengutip

John Saliba, ia mengatakan bahwa agama menjadi kekuatan integrasi, suatu ikatan

yang mempersatukan yang memberi kontribusi terhadap stabilitas sosial dan kontrol

sosial dan berkontribusi terhadap preservasi pengetahuan.3

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa narasi dialektika

keberagamaan masyarakat muslim urban dengan tradisi lokal menguat pasca

reformasi di Indonesia. Komponen penting dalam masyarakat urban di kota

Semarang, tampak menguatnya peran ekonomi tradisional (pasar tradisional yang

masih dominan) dan karakteristik keberagamaan tradisionalis Muslim telah

dikemukakan pada bab III. Maka, pada bab ini penulis fokus pada deskripsi analisis

kritis bagaimana interaksi ritus-ritus dan simbol-simbol keagamaan dengan

2 Greg Fealy&Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online; Ekspresi Islam

Kontemporer (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), 39. 3 John Saliba, Understanding New Religious Movement (second edition)

(Walnut Creek: Altamira Press, 2003), 148.

Page 3: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

86

kebudayaan masyarakat Muslim urban di kota Semarang tersebut terus

berkembang, sehingga terjadi proses pembentukan sebuah identitas baru pasca

reformasi.

Dalam hal tradisi keagamaan yang masih diselenggarakan oleh pendudukan

muslim Semarang misalnya tradisi selamatan atas syukuran, Yasinan, Tahlilan,

Khataman, Manaqiban, Berzanzii, Takbiran dan Dugderan. Selain tradisi keagamaan

umat Islam, di Kota Semarang juga memiliki tradisi ritual yang dikembangkan oleh

warga umat yang lain. terutama dari etnik Tionghua. Semenjak berakhirnya orde

baru, tradisi-tradisi budaya maupun ritual warga Tionghua kembali semarak hingga

sekarang ini. Tradisi tersebut seperti arak-arakan Dewa Bumi, perayaan Imlek, arak-

arakan Sam Po Kong dan larung sesaji untuk Dewa Samudra.4

A. Transformasi Religiositas Masyarakat Muslim Urban

Perbincangan mengenai genealogis kelas menengah Muslim dalam konteks

Indonesia mengalami transformasi nilai maupun bentuk, mulai dari kelas borjuis,

intelektualisme, lantas kemudian menjadi gaya hidup keseharian. Di antara berbagai

macam rupa tersebut, Islam kemudian tidak lagi diterjemahkan dalam konteks

kanonik, namun menjadi identitas kolektif yang mengikat setiap elemen anggota

4 Lihat Bab III, Catatan kaki no 30.

Page 4: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

87

kelas tersebut.5 Identitas adalah aspek fundamental manusia yang telah banyak

dibahas dalam lingkup studi psikologis, sosial dan politik. Kompleksitas di sektor

publikasi pada lanskap konseptual dan geografis pembentukan identitas Muslim,

beberapa aspek seperti etnis dan religiusitas yang dianggap berpengaruh dalam

membentuk identitas Muslim. Wacana menyeluruh isu Muslim dalam masyarakat

multikultural di Eropa dan Amerika misalnya, identitas Muslim selalu diperhitungkan

dalam negosiasi wacana, integrasi, dan reaksi atau respon seolah-olah identitas

Muslim tersebut hanya fenomena sosial-politik.6 Di sini penulis tidak akan berbicara

identitas Muslim dalam konteks sosial politik meski hal ini akan sedikit disinggung,

namun fokus penelitian ini bagaimana sosial-kultural membentuk sebuah identitas

Muslim.

Ditilik dari sejarah pasca reformasi, dinamika keberagamaan masyarakat

Muslim urban mengalami perubahan secara signifikan. Pengaruh teknologi yang

terjejaring di dunia menjadi ladang ekspresi keagamaan sangat terbuka. Dukungan

televisi, media sosial yang memudahkan perkembangan ekspresi keagamaan,

terbukti maraknya dakwah - dakwah serta majlis dzikir sebagai salah satu aktivitas

spiritualitas masyarakat Muslim urban. Ungkapan - ungkapan sufisme baru di

Indonesia, misalnya yang mengandung tren global dalam pemikiran keagamaan dan

kultur sekuler telah menjadi menarik bagi Muslim kelas menengah dan kelas atas

5 Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 181-210. 6Derya Iner and Salih Yucel (Ed), Muslim Identity Formation in Religiously Diverse Societies

(England: Cambridge Scholars Publishing, 2015), viii.

Page 5: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

88

sejak akhir abad yang lalu. Bentuk-bentuk sufisme ini telah dipromosikan melalui

jalur-jalur komunikasi baru, terutama institusi-institusi pendidikan Islam bergaya

universitas dan siaran-siaran di televisi islami.7

Aspek sosial keagamaan di atas bukanlah persoalan tunggal di Indonesia.

Laju politik yang kuat di negeri ini bukan tidak mungkin berpengaruh pada

karakteristik spiritualitas keagamaan masyarakat Muslim urban, dan potensi

turbulasi sosial pun akan sangat mudah meledak ditengah-tengah masyarakat.

1. Religiousitas Masyarakat Muslim Urban

Keberagamaan masyarakat urban cenderung rasional dan kental

dengan pengaruh modernitas sebuah kota di mana mereka bermukim.

Perubahan kota berpengaruh pada tingkat keberagamaan masyarakat

urban, baik pada wilayah interaksi maupun intensitas amalan

peribadatannya. Bagaimana mereka mencari sebuah identitas

keberagamaan yang dianggap berkontribusi dalam kehidupan mereka di

sebuah lingkungan perkotaan. Pola keberagamaan yang diciptakan

masyarakat urban tentu memiliki keunikan yang tidak ada dalam

masyarakat pedesaan.

Karakteristik keberagamaan masyarakat perkotaan memiliki

kecenderungan rasional dan paktis. Prinsip keagmaan yang dikembangkan

7 Ustadz Seleb; Bisnis Moral dan Fatwa Online (54

Page 6: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

89

tidak sekhusyuk masyarakat pedesaan dengan kolektifitasnya. Dewasa ini

ruang publik menjadi panggung dominan bagi ekspresi keagamaan

masyarakat perkotaan. Sarana yang dicari masyarakat urban untuk

memenuhi kebutuhan religiositasnya, yakni majlis-majlis yang

teridentifikasi sebagai bagian dari diri mereka sebagai individu. Adanya

transformasi pemikiran transendental dalam iklim masyarakat perkotaan

yang serba modernis dan hedonistik merupakan suatu anomali tersendiri.

Transformasi ritus-ritus keagamaan masyarakat urban kental

dengan nuansa zaman yang terus berkembang. Pasca reformasi, kebebasan

berekspresi dan berserikat menjadi modal lebih bagi masyarakat

perkotaan. Sehingga bukan tidak mungkin jika muncul kelompok-kelompok

yang dengan leluas mengekspresikan keagamaannya di ruang publik.

Kebutuhan spiritualisme masyarakat urban yang semakin tinggi dibuktikan

dengan kian ramainya majlis pengajian di berbagai sudut kota. Munculnya

berbagai macam ekspresi religiositas yang ditampilkan masyarakat

perkotaan tersebut selain sebagai bentuk peningkatan religiositas juga

dapat dimaknai sebagai bentuk era rekontruksi agama, atau lebih tepatnya

Page 7: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

90

gerakan agama. Gejala tersebut juga dapat diistilahkan sebagai bentuk dari

rekontruksi baru mengenai makna ketuhanan di tengah modernitas.8

Kemajuan teknologi yang berkembang telah membuat masyarakat

modern menjadi gamang. Ketika kemajuan teknologi menjadi besar dan

pengarusutamaan logika rasional menjadi utama menyebabkan

masyarakat mengalami kekeringan iman. Adanya rekayasa genetika dan

teknologi yang menjadi ikon manusia modern dalam menyelesaikan

masalah justeru tidak menemukan solusi yang kuratif. 9 Kesalehan sosial

secara sederhana dimaknai sebagai ekspresi dan praktik perilaku orang-

orang Islam yang peduli terhadap nilai-nilai Islam secara sosial, seperti

menyumbang dana bantuan berupa infaq, shadaqah, maupun amal jariyah,

namun cenderung “abai” terhadap ibadah pribadi. Munculnya praktik

kesalehan sosial tersebut merupakan bentuk ekspresi flantropis dan juga

spiritualis yang hendak dilakukan kelas menengah muslim Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi tinggi dengan semakin meratanya redistribusi

pendapatan berkelindan dengan kebutuhan akan donasi sosial tersebut.10

2. Kesalehan Sosial dalam Masyarakat Urban

8 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES,

2017), 119-120. 9 John Naisbitt, High Tech, High Touch: Technology and Our Search for Meaning (New York:

Broadway, 1999). 10 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,,101.

Page 8: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

91

Religiositas masyarakat perkotaan tercermin pada interaksi

simbolik dan identitas sebagai kekuatan komunikasi di ruang publik.

Sehingga muncul kelompok keagamaan atau gerakan keagamaan yang

terlembagakan, sebagaimana dijelaskan di atas, yakni majlis-majlis sebagai

realitas ekspresi keagamaan masyarakat urban. Dorongan spiritualitas

masyarakat urban melalui perilaku amal merupakan salah satu elemen

pribada yang tertanam dalam manusia religius. Dalam konteks kapitalisme

industri, menyediakan adanya permintaan kebutuhan yang aktif

mengkontruksi cita rasa, imaji, nalar dan selera sebagai bagian dari gaya

hidup masyarakat modern. Maka semakin meningkatnya jumlah kelas

menengah (urban) muslim diberbagai negara di dunia, memunculkan

hasrat dan kenikmatan gaya hidup lainnya sebagaimana layaknya ikon gaya

hidup masyarakat modern. Kelas menengah muslim ini memunculkan cita

rasa tersendiri dalam memenuhi hasrat dan kebutuhan spiritualnya pula

yang sama sekali bisa berbeda dengan tradisi keberagamaan sebelumnya.

Sebagaimana terlihat misalnya pada kasus menjamurnya majelis-majelis

dzikir di kelas menengah muslim perkotaan (urban society).11

Masyarakat kota yang sarat dengan gaya hidup modern barangkali

menjadi pusat penentu dalam dimensi masyarakat pada umumnya. Dan

11 Lihat Abdur Rozaki, “Komodifikasi Islam; Kesalehan dan Pergulatan Identitas di Ruang

Publik, Jurnal Dakwah” Vol. XIV, No. 2 Tahun 2013, 201-202.

Page 9: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

92

identitas merupakan wacana yang mengharuskan kita menjadi terafiliasi

dengan simbolisme yang mengikat pada diri seseorang. Hal inilah yang

kemudian acap kali menjadi pola sedimentasi sekaligus pula segregasi

antara “dia” dan “mereka”. Adanya kesenjangan interaksi yang timbul dari

proses tersebut dikarenakan adanya perbedaan simbol melekat pada diri

seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Permasalahan

identitas sebenarnya gejala post-modernisme maupun post-strukturalisme

yang menggejala dalam masyarakat selama iklim globalisasi. Adanya

dualisme yang melekat pada pola diskursus identitas tersebut merupakan

bentuk dari suatu pelarian gejala modernisasi yang sudah mendekati rasa

jenuh dalam masyarakat.12

Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia

merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosi-kultural. Dalam momen

ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia

menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan sosio-kulturalnya.

Pada momen ini pula, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi

dan juga ada yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan

tergantung eqri mampu tidaknya individu untuk menyesuaikan dengan

12 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,153.

Page 10: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

93

dunia sosio-kultrual tersebut. Secara konseptual, momen penyesuaian diri

dengan dunia sosio - kultural tersebut.13

Dalam konteks pencapaian keagamaan masyarakat muslim sarat

dengan nilai-nilai amalan sebagai kesalehan sosial, baik material maupun

non-material. Dalam Islam kita mengenal shadaqah ataupun infak sebagai

salah satu aktifitas keagamaan, yang diproyeksikan sebagai nilai-nilai

kesalehan sosial. Pada aspek ini, secara substansi masyarakat muslim

didorong oleh norma agama untuk saling memberi pada sesama manusia.

Bagi masyarakat Muslim urban, barangkali ini bagian dari komunikasi

simbolik sebagai ekspresi keagamaan yang kerap menjadi prioritas

dibanding praktik keagamaan secara personal. Komunikasi masyarakat

urban melalui tanda (bahasa) mampu membangun simbol-simbol yang

dapat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, juga mengembalikan

simbol-simbol itu sebagai unsur-unsur obyektif dalam kehidupan sehari-

hari. Dengan demikian, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-

unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari masyarakat urban.14

Kesalehan sosial merupakan bagian dari sebuah proses

pendefinisian ibadah agama Islam secara terapan dalam konteks kekinian.

Artinya telah terjadi tafsir baru dalam memahami agama Islam pada kasus

13 Nur Syam, Islam Pesisir,, 249-250. 14 Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan,, 55.

Page 11: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

94

kalangan kelas menengah muslim. Ritual kesalehan sosial menjadi definisi

baru bagi ritual keagamaan kelas menengah muslim dewasa ini, di mana

melahirkan Islam gaya baru yang disesuaikan dengan tingkat religiositas

kelas menengah Muslim Indonesia. Kejenuhan hidup manusia modern

kemudian berupaya menoleh pada agama nampaknya telah menjadi suatu

indikator dalam memasuki trend paska modernisasi. Sedangkan cara

keberagamaan sufisme memberikan penguatan atas gejala tersebut.

Karena kenyataannya cara ini ditempuh bukan saja oleh para penganut

agama Islam, tetapi oleh hampir setiap penganut agama di berbagai

belahan dunia. Di sana terdapat bagian umat dengan berbekal kesadaran

baru yang sengaja mendalami spiritual secara spesifik.15

Dalam konteks religiusitas masyarakat kelas menengah Muslim

Indonesia, muncul istilah urban sufisme di perkotaan sebagai kontruksi

keimanan baru kelas menengah muslim. Sufisme dapat diartikan sebagai

bentuk ritual untuk mendekatkan diri secara intim kepada sang kholik.

Tujuan pendekatan diri ini adalah mencari ketenangan dan solusi atas

segala permasalahan hidup. Pada umumnya, orang menjalani kegiatan

sufisme untuk mencari solusi atas masalah setelah rasio dan akal tidak

berhasil menyelesaikannya. Hal inilah yang mendorong masyarakat mencari

15 Lihat juga hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, ”Sufi

Perkotaan”( Jakarta: 2009), 67-68.

Page 12: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

95

solusi melalui jalan spiritual. Adanya transformasi pemikiran transendental

dalam iklim masyarakat perkotaan yang serba modernis dan hedonistik

merupakan suatu anomali tersendiri.16 Persoalan modernisasi yang paling

besar dan mendasar bagi Islam barangkali bukan apakah ia dapat memberi

sumbangan pada modernisasi politik, keluarga atau personal, melainkan

apakah ia dapat secara efektif memenuhi berbagai kebutuhan religius kaum

Muslim modern itu sendiri.17

B. Islam dan Identitas Komunal dalam Masyarakat Multikultural

Perkembangan Islam di Jawa mengalami perubahan secara signifikan dan

dinamis. Interaksi kebudayaan lokal dengan prinsip-prinsip Islam tradisional lahir

sebagai warna ritual keberagamaan masyarakat Muslim urban di Kota Semarang.

Sehingga kekuatan tradisi ritual yang berkembang dalam prinsip-prinsi pluralisme

beragama dalam konteks masyarakat multikultural. Di sini, pluralisme dalam

beragama erat berkaitan dengan ciri masyarakatnya yang beragam. Masyarakat

Muslim urban dengan hibriditas kebudayaannya merupakan kekuatan kultural

dalam aktivitas keberagamaannya. Ciri kota dengan karkter penduduk yang beragam

dapat membentuk sikap keberagamaan masyarakatnya yang cenderung inklusif atau

moderat. Seperti munculnya berbagai macam praktik kesalehan di atas sosial yang

16 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,119-121 17 Robet N. Bellah, Beyond Belief on Religion in a Post-Tradisionalist World (Jakarta:

Paramadina, 200), 235.

Page 13: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

96

dijelaskan di atas sangat erat kaitannya dengan munculnya pemahaman Islam

moderat. Dalam konteks Indonesia pilihan kata tersebut merujuk pada terbentuknya

Islam Indonesia yang insklusif dan mampu menjadi pedoman nilai dalam

menentukan peradaban bangsa. Secara politis, Islam moderat ini merupakan

respons dan juga sinergitas antara Islam Nusantara yang dipelopori oleh Nahdlatul

Ulama dengan Islam Berkemajuan yang diinisiasi oleh Muhammadiyah. Dengan

demikian, Islam moderat dapat dimaknai sebagai tampilan Islam khas Indonesia

yang insklusif dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. 18

Berbasis jaringan global yang semakin ketat, lokalitas dan identitas semakin

terkikis, di mana yang terjadi kemudian adalah krisis identitas sekaligus kehilangan

makna kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, kehidupan modern yang terglobalkan

telah memarjinalisir beberapa segmen masyarakat dan menimbulkan disorientasi

hingga krisis sosial. Keadaan ini menurut Habermas bisa menganggu kemandirian

integrasi masyarakat, yaitu integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem

berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup melalui kerja

dan berproduksi. Sedangkan integrasi sosial berkaitan dengan tatanan normatif,

identitas sosial yang stabil, makna simbolis, dan tujuan dalam hidup.26 Dalam

pandangan Habermas, munculnya gerakan sosial baru (new social movement)

18 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,103

Page 14: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

97

berkaitan dengan perjuangan terhadap bentuk-bentuk baru pengetahuan

instrumental dan komunikatif serta perubahan sosial ekonomi.19

Kesadaran komunal masyarakat Muslim urban diiringi dengan tumbuhnya

komunitas-komunitas pengajian di Masjid-Masjid. Bangkitnya modernitas yang

diiringi dengan munculnya budaya global pada akhirnya menimbulkan alienasi

hingga melahirkan krisis kepercayaan dan identitas pribadi. Dengan perkembangan

dunia yang serba modern, kepercayaan terhadap prinsip impersonal maupun

terhadap orang lain yang tidak dikenal menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan

dari eksistensi sosial.20 Hal ini dikuatkan oleh Gidden bahwa di era modern

kepercayaan pada level personal menjadi suatu proyek yang dikerjakan oleh pihak-

pihak yang terlibat, dan hal itu semua membutuhkan keterbukaan seorang individu

terhadap orang lain. Ketika tidak dapat dikontrol oleh aturan-aturan normatif yang

tetap, maka kepercayaan harus diperoleh, sedangkan sarana untuk mencapainya

adalah kehangatan dan keterbukaan. Lebih lanjut Gidden memberikan penjelasan

tentang hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, di mana kepercayaan bukan

sesuatu yang telah ada sebelumnya, melainkan sesuatu yang harus dikerjakan, dan

kerja yang dimaksud dalam hal ini adalah proses timbal balik kerterbukaan diri.21

Tuntutan untuk bersikap terbuka ini tidak jarang menimbulkan ketakmampuan dan

19 Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 195. 20 Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 191-192. 21 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2011),169-160.

Page 15: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

98

ketakberdayaan, maka yang terjadi kemudian adalah keterasingan diri. Untuk

menghindarinya, mereka mencoba menjelma menjadi orang lain supaya lebih

dikenal. Interpretasi pencarian identitas diri ini cenderung menghasilkan sikap narsis

dan bergaya hedonis.22

Ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm yang menyatakan bahwa perilaku

seseorang itu selalu diiringi oleh dua modus atau motif, yaitu “mempunyai” dan

“menjadi”. Pada kondisi khusus seseorang mempunyai keinginan menunjukkan

eksistensi dirinya, di mana yang ini adalah kebutuhan inheren untuk mengatasi

keterasingan seseorang dengan jalan menyatukan diri dengan orang lain.

Selanjutnya Fromm menegaskan bahwa kebudayaan dapat menumbuhkan

ketamakan, yang berarti eksistensi “memiliki” satu potensi manusia, dan pada sisi

lainnya kebudayaan juga dapat menumbuhkan keadaan “menjadi” atau “membagi”.

Pada kondisi inilah nilai-nilai hedonis terpupuk dan pada gilirannya sikap narsis

bermunculan, dan pada satu titik mengakibatkan kekaburan identitas.23

The two sides differed in the ways they thought human beings could be saved from the danger of being transformed into things. The romantics on the right believed that the only way to stop the unhindered “progress” of the industrial system and to return to prevous forms of the social order, though with some modifications. The protest from the left may be called radical humanism, even though it was sometimes expressed in theistic and sometimes in nontheistic terms. The socialists believed that the economi development not be halted, that one could return to a prevous from of

22 Giddens, The Consequences 23 Lihat juga, Erich Fromm, To Have or To Be (Continuum: London - New York, 1976), 124-

126.

Page 16: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

99

social order, and that the only way to salvation lay in going forward and creating a new society that would free people from alienation, from submission to the machine, from the fate of being dehumanized. Socialism was the synthesis of medieval religious tradition and the post-Renaissance spirit of scientific thinking an political action. It was, like Buddhism, a “religious” mass movement that, even though speaking in secular and atheistic terms, aimed at the liberation of human beings from selfshiness and greed.

Gejala modernisme di atas berdampak pada kedangkalan dalam beragama,

bersosial dan identitas Indonesia. Mempertahankan tradisi lokalitas yang

dirumuskan di publik merupakan identitas baru masyarakat urban sebagai eksistensi

sosialnya. Sehingga kesadaran komunal sebagai identitas masyarakat urban dapat

dielaborasi dengan lahirnya hibriditas kebudayan serta kolektifitas masyarakat

urban dalam multikulturalisme ini. Karenanya, Kota Semarang sebagai kota

multikultural dapat dirumuskan melalui relasi kebudayaan antar etnis yang telah

berkembang menjadi sebuah identitas baru.

1. Hibriditas Kebudayaan masyarakat Muslim Urban

Konsep budaya harus bersedia untuk menerima kontradiksi juga

mampu memahami bentuk hibrida, menoleransi perbedaan dan menerima

konsekuensi potensi kontruksi atas realitas yang ada.24 Masyarakat Muslim

di Kota Semarang mampu merumuskan ruang bersama dalam membangun

kekuatan kultural sebagai masyarakat urban. Berkembangnya perayaan

24 Claudio Baraldi (ed.), Andrea Borsari (ed.), Augusto Carli (ed.), Hybrids, Differences,

Visions On The Study of Culture (The Davies Group, 2011), 1.

Page 17: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

100

kebudayaan etnis di Kota Semarang tak lepas dari kontribusi relasi etnisitas

masyarakat urban yang begitu beragam. Adanya kampung-kampung etnis

dengan struktur ruang kota turut berkontribusi membangun karakteristik

masyarakatnya. Sebagaimana rumah-rumah rakyat di Jawa, rumah asli

orang Semarang pada umumnya sama dengan rumah orang-orang

kebanyakan di daerah lain. Namun yang sedikit membedakan adalah

struktur pembagian ruang, dinding, dan daun pintu. Pembagian ruang

rumah orang Jawa pedalaman apalagi kaum priyayi sangat detil. Menurut

Kevin Lynch, kota sebagai tempat pemukiman, pemusatan dan distribusi

pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi

dianggap baik bila anak-anak dapat tumbuh dan berkembang. Jadi,

merupakan tempat mereka membangun kepercayaan diri dan menjalani

kegiatannya di dunia mereka, menjadi mandiri dan mampu mengatur

pekerjaan mereka.25

Identitas dan karakteristik masyarakat urban di kota Semarang

adalah salah satu ekspresi keberagamaan dalam multikulturalisme di

Indonesia. Di samping itu masyarakatnya yang mayoritas pedagang, kota

Semarang secara geografis juga merupakan salah satu kota dengan nuansa

kampung santri dari sekian banyak kota di Indonesia. Meminjam apa yang

25 Lynch, A Theory,, 22-23.

Page 18: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

101

disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang

bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota

perdagangan, masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai

pedagang. Pasalnya pedagang memiliki prinsi bahwa lebih baik jadi juragan

kecil daripada jadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh

terhadap pola keberislamannya.26

2. Kolektifitas masyarakat Muslim Urban dalam Multikulturalisme

Kenyataan sosial masyarakat multikultural menjadi salah satu

alasan kuat solidaritas sosial itu terbentuk. Mengingat bahwa solidaritas

sosial diperlukan dalam konteks pergumulan nasional dan internasional.

Pada level nasional, Indonesia berjuang untuk membangun kehidupan

bersama berdasarkan pancasila. Pada tataran politik, pancasila menjadi

kekuatan struktural. Hanya saja, ideologi nasional itu tidak berperan tanpa

solidaritas sosial. Pancasila hanya menyediakan landasan filosofis bernegara

dan menginspirasi produk hukum nasional. Membatasi hubungan hanya

berdasarkan filosofi bernegara dan aturan hukum saja berarti memasung

relasi sosial dalam kerangka legalitas formal, yang berarti hubungan

dibangun karena kekuatan yang memaksa. Proses politik gagal menciptakan

solidaritas communion of communities. Relasi sosial dibatasi pada kelompok

26Lihat Bab III, catatan kaki no 6.

Page 19: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

102

monokultur, kebenaran dikerdilkan dengan single story dan dogma

primordial dipaksakan pada ruang publik.27 Pada situasi demikian kerap

terjadi persinggungan antara identitas primordial-nasional yang saling

mendominasi, karenanya perlu ada formulasi yang tepat untuk menjadikan

dua identitas (primordial dan nasional) itu untuk tidak saling

berpunggungan.

Prinsip religiositas masyarakat Muslim urban di Kota Semarang

juga memiliki ritual-ritual simbol keagamaan yang dilaksanakan sebagai

tradisi masyarakat. Selain ritual ibadah yang telah diwajibkan agama

masing-masing, ritual tersebut telah mentradisi dan dilakukan kolektif oleh

masyarakat secara turun-temurun dengan tata cara tertentu. Melalui

proses tersebut terjadi akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut

dengan budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi

multikultural (hibryd culture). Terlebih dalam sejarahnya Kota Semarang

menjadi kota banyak disinggahi dari berbagai etnis pendatang dari berbagai

negara.28 Desiminasi sebuah tradisi melalui simbol-simbol lokalitas etnis

salah satu upaya membangun solidaritas sosial keagamaan. Di Kota

27Izak Y. M. Lattu, Menolak Narasi Tunggal; Diskursus Agama, Pluralisme dan Demokrasi

(Salatiga: UKSW Press, 2018), 132-133 28 Lihat Bab III, catatan kaki no 45.

Page 20: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

103

Semarang, hal tersebut tumbuh sdengan proses yang panjang sejak kota

tersebut dibentuk.29

Relasi sosial keagamaan melalui tradisi yang berkembang di Kota

Semarang ini menunjukkan bahwa tradisi masyarakat Muslim urban tetap

terjaga. Warna keislaman masyarakat urban Kota Semarang memiliki

kekhasan dengan basis Islam tradisional yang masih kuat di wilayah pinggir.

Tradisi ini juga merupakan ritual yang dapat menguatkan solidaritas sosial

masyarakat urban di Kota Semarang. Hal demikian mampu merumuskan

simbol-simbol ritual warisan leluhur sebagai tameng tradisi yang kuat

sebagai masyarakat urban. Masyarakat urban membangun tradisi kolektif

tidak melulu dihubungkan dengan pembagian kerja, namun di Kota

Semarang masyarakatnya masih memiliki perayaan kebudayaan mengikat

sebagai solidaritas sosial.30

29 Lihat Bab III,,,. 30 Lihat Bab III, catatan kaki no 51.

Page 21: BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …

104

Dukungan historis tentang semarang dan Islam di Semarang

Hibriditas Muslim urban bagian dari identitas urban

Sosiologi perkotaan

Mobilisasi sosial dari masjid k masjid

Proses sosial masyarakat urban di kota semarang

Terbentuknya identitas muslim urban:

Majlis-Masjlis di Masjid

Tasawuf urban/Sufisme urban