BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …
Transcript of BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …
31
BAB IV
POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR
PENDORONG MENINGKATNYA NILAI TAWAR NATO
BAGI TIGA NEGARA BALTIK, FINLANDIA, DAN SWEDIA
4.1 Perspektif keamanan tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia
Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dalam beberapa dekade
terakhir Vladimir Putin secara terbuka mengumumkan akan membangun kembali
imperialisme pengaruh Rusia melalui kebijakan manuver politik Rusia pada wilayah Eropa
utara dan Eropa timur. Lantas ambisi politik imperialisme pengaruh Rusia dibutuhkan
sebagai pemenuhan kepentingan politik Rusia dalam merespon perluasan pengaruh dunia
barat dan program revitalisasi perekonomian Rusia sejak jatuhnya harga minyak. Tentu saja
ambisi kebijakan politik luar negeri Rusia ini, pada akhirnya telah memicu meningkatnya
tensi politik di wilayah Eropa utara dan Eropa timur. Dengan kata lain meningkatnya tensi
politik pada konteks ini berjalan struktural seiring dengan perkembangan realisasi perluasan
pengaruh Rusia pada sejumlah negara Eropa utara. Aktivitas politik luar negeri Rusia telah
menjadi faktor utama penciptaan direksi agenda politik luar negeri tiga negara Baltik,
Finlandia, dan Swedia.
Tak dapat dipugkiri pencegahan perluasan imperialisme Rusia menjadi orientasi bagi
lima negara Eropa utara tersebut. Setelah dibuktikan dengan Russo-Georgia war pada tahun
2008 dan Crimean war sebagai bentuk implementasi dari agenda manuver politik Rusia.
Pada tahun 2016, World Economic Forum mengeluarkan penilaian isu dari tahun 2006
hingga 2016 berdasarkan kategori Global Risk dan Trend (Vijar Veebel dan Illimar Ploom,
2016: 38). Dalam penjelasan World Economic Forum dijelaskan bila isu yang dikaitkan
kategori Global Risk adalah kondisi tak diharapkan yang biasanya memunculkan dampak
negatif bagi aktor lain dalam sistem internasional, sedangkan trend dapat dilihat sebagai
peluang yang dapat menimbulkan dampak positif atau konsekuensi negatif (Vijar Veebel
dan Illimar Ploom, 2016: 38). Parameter Global Risk dapat dikelompokan menjadi lima
bagian antara lain geopolitical risk, economic risk, societal risk, technological risk, dan
32
environmental risk (Vijar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 38). Dalam konteks ini isu
pembangunan kembali imperialisme pengaruh Rusia dapat dikategorikan sebagai isu global
risk dengan parameter geopolitical risk bagi lima negara Eropa utara.
Dengan demikian secara struktural isu ini telah mendorong keberpihakan tiga negara
Baltik, Finlandia dan Swedia pada pihak barat untuk melawan Rusia. Keberpihakan lima
negara Eropa utara pada pihak barat dapat disebut sebagai konsekuensi atas aktivitas politik
luar negeri Rusia, maupun solusi efektif dalam menciptakan metode deterrence mengingat
keterbatasan kemampuan pertahanan keamanan tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia
jika dibandingkan dengan kekuatan militer Rusia. Pembangunan kerjasama keamanan tiga
negara Baltik, Finlandia, dan Swedia bersama dengan NATO dipercaya dapat menjadi
benteng pertahanan dalam menjaga stabilitas politik keamanan di wilayah Eropa utara.
4.1.1 Estonia
4.1.1.1 Faktor historis hubungan Estonia-Rusia
Esensi kehadiran Rusia telah menjadi bagian yang tidak dapat terlepaskan dalam politik
luar negeri Estonia. Rusia memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan kultural beserta
politik domestik Estonia. Secara historis, Estonia memiliki hubungan diplomatik yang
panjang dengan Rusia. Pada tahun 1710, otoritas Estonia menyerah pada kekuasaan Tzar
dari kerajaan Rusia dengan ratifikasi perjanjian bersyarat Balltic Landestaat yang mengacu
pada sistem legal otonomi khusus pemerintah Estonia dan presensi pengaruh Gereja
Lutheran hingga pada akhirnya keruntuhan kerajaan Rusia pada World War I berujung pada
pembentukan Estonia menjadi negara independen (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski
Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 10). Kemerdekaan Estonia dideklarasikan 24
Februari 1918, diikuti dengan penandatanganan Tartu Peace Treaty pada Februari 1920
dengan menempatkan Rusia sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Estonia
secara De Jure (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata
Supinska, 2016: 10).
Pada Agustus 1939, penandatangan Molotov-Ribbentrop Pact antara NAZI Jerman dan
Uni Soviet menjadi titik balik pengembalian kekuasaan Rusia pada willayah Estonia dengan
okupasi yang meruntuhkan Estonia sebagai negara independen pada tahun 1940 (Mariita
33
Mattiisen; Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Selama
kurang lebih 50 tahun lamanya, Estonia telah menjadi bagian teritorial integral kekuasaan
Rusia.Pada beberapa periode penjajahan Uni Soviet, masyarakat Estonia mendapatkan
banyak hal yang tidak menguntungkan atas tekanan kepentingan rezim Uni Soviet pada
masa tersebut. Beberapa contoh dari narasi historis yang berkembang bagi Estonia ini
dibuktikan dengan deportasi massal populasi Estonia dari Siberia hingga Estonia kehilangan
20 persen dari populasinya pada masa kepemimpinan Stalin (Mariita Mattiisen; Przemyslaw
Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Kematian Stalin pada 1953 telah
sedikit meredakan ketegangan antara masyarakat Estonia dengan otoritas Rusia, namun
perlu diketahui kematian Stalin yang dilanjutkan dengan kepemimpinan Brezhnev bukanlah
menjadi akhir dari ketegangannya dengan otoritas Uni Soviet (Mariita Mattiisen;
Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Dibuktikan dengan
tekanan Rusifikasi pada tahun 1978-1985 sebagai bagian mengasimilasi komunitas non-
Rusia dengan mengharuskan penggunaan bahasa Rusia dalam kehidupan di publik dan
sekolah (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska,
2016: 11) Perluasan dominasi pengaruh Rusia pada masa kepemimpinan Brezhnev
mendapatkan respon negatif dari komunitas Estonia begitupun juga komunitas non-Rusia
lainnya.
Tentu saja tak mengherankan bila beberapa kebijakan rezim Uni Soviet mengundang
protes massal yang dilakukan oleh 300,000 populasi Estonia yang menuntut revolusi dari
okupasi kekuasaan Uni Soviet pada tahun 1988 (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski
Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Keruntuhan Uni Soviet pada akhir Cold War
menjadi momentum yang dimanfaatkan komunitas Estonia begitupun juga dengan
komunitas non-Rusia lainnya. Pada akhirnya organisasi Baltic Way terbentuk pada tahun
1989 secara bersamaan terjadi pada Latvia dan Lithuania untuk mengklaim kebebasannya
dari otoritas Uni Soviet yang berujung pada Estonia mendapatkan kemerdekaannya kembali
sebagai negara independen pada 20 Agustus 1991 (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski
Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11).
Terbentuknya kembali Estonia sebagai negara independen telah membentuk lembaran
baru bagi hubungan diplomatik Estonia-Rusia. Pada konteks ini, redifinisi hubungan
34
Estonia-Rusia dapat dilihat dalam dimensi sosial dan dimensi politik secara bersamaan.
Terciptanya kembali Estonia sebagai negara independen memunculkan sebuah makna
sebagai pembentukan identitas baru pasca kedudukan Uni Soviet (Jevgenia Viktorova, 2007:
48). Tentu saja hal ini berhubungan dengan identifikasi blok barat dan blok timur (Jevgenia
Viktorova, 2007: 48). Restorasi kemerdekaan Estonia dapat dipandang oleh para elit politik
Estonia sebagai “identifikasi kembali pada dunia barat” (Jevgenia Viktorova, 2007: 48).
Meningkatnya antagonisme politik Estonia terhadap Rusia, berhubungan erat dengan
konseptualisasi Estonia menjadi bagian dari dunia barat beserta perbatasan dengan dunia
timur (Jevgenia Viktorova, 2007: 48). Dalam penelitian Jevgenia Viktorova (2007: 48) juga
memandang konflik perbatasan yang melibatkan Estonia-Rusia dapat dipadang sebagai
bagian dari konflik identifikasi antara dunia barat dan dunia timur. Dari sudut pandang
Rusia, keberhasilan manuver politiknya dapat menciptakan identifikasi Estonia kembali
pada dunia timur. Tentu saja dalam mewujudkan hal ini, menjadi penting bagi Rusia untuk
terus mempertahankan keberlanjutan tekanan politiknya terhadap Estonia. Sebaliknya
keberhasilan manuver politik Rusia dalam menciptakan pengaruhnya kembali dipadang
sama halnya dengan rekolonisasi Estonia. Dengan kata lain Estonia seolah-olah merasa
dapat kehilangan kembali kemerdekaannya seperti yang terjadi kembali pada beberapa
dekade sebelumnya. Hal inilah yang membuat Estonia merasa terancam akan tekanan ambisi
politik Rusia tersebut.
Diihat dari sudut pandang Estonia berdasarkan faktor historis telah terlihat jelas jika
kehadiran Rusia telah memberikan ketidaknyamanan tersendiri. Respon negatif Estonia
terhadap Rusia mengindikasikan pada status negara yang pernah menguasai wilayahnya
sebagai potential aggressor.26 Hal ini diperkuat setelah munculnya kebijakan manuver
politik Rusia yang berujung pada aneksasi Krimea dari Ukraina pada tahun 2014. Tentu saja
peristiwa ini mengingatkan Estonia pada masa kedudukan Rusia di tanahnya pada beberapa
dekade sebelumnya. Persepsi historis Baltik dengan ambisi penciptaan dominasi pengaruh
Rusia kembali saat ini seolah olah memiliki keterikatan yang kuat. Hal inilah yang membuat
peristiwa aneksasi Krimea pada tahun 2014 menjadi penting bagi Estonia selain melihat
persamaan nasib dengan Ukraina sebagai negara pecahan Uni Soviet. Dengan demikian
26 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya.
35
berdasarkan persamaan faktor historis yang dialami kedua negara tak mengherankan bila
kebangkitan Rusia dilihat sebagai ancaman bagi Estonia.
4.1.1.2 Opini publik Estonia
Berkenaan dengan hubungan Estonia-Rusia pada era modern ini, satu hal menarik yang
dapat dipetik dari konteks tersebut adalah hubungan diplomatik kedua negara masih dapat
dilihat sebagai keberlanjutan dari sentimen historis yang terjadi pada beberapa dekade
sebelumnya. Sentimen kedua negara masih begitu kental terlihat hingga saat ini. Hal ini
dapat dibuktikan dengan isu kebangkitan imperialisme Rusia masih menempati bagian
prioritas utama dari masyarakat Estonia. Kontinuitas tekanan politik Estonia masih dapat
dirasakan hingga saat ini dengan pembentukan pasukan militer Zapad 17, aktifnya ujicoba
misil Iskander dari Kaliningrad, dan deklarasi hybrid warfare oleh Rusia. Dengan demikian
isu kebangkitan imperialisme Rusia tetap dianggap menjadi perhatian penting bagi
masyarakat Estonia.
Tentu saja kegelisahan masyarakat Estonia terhadap eksistensi posisi Rusia dalam dunia
internasional bukanlah tanpa alasan. Hal berkaitan dengan dorongan politik internal Rusia
yang menciptakan ambisi kebangkitan imperialisme Rusia. Pada pihak lain penjelasan akan
kegelisahan masyarakat Estonia tak cukup dijelaskan hanya dengan aktivitas politik luar
negeri Rusia yang mengundang kegelisahan dari kedaulatan Estonia. Melainkan Estonia
dikenal memiliki jumlah etnik Ruskiy atau penutur bahasa Rusia dengan proporsi 24 persen
dari seluruh masyarakat Estonia (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan
Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 121). Tentu saja
penunjukan data ini secara bersamaan menegaskan bahwa etnik Ruskiy adalah bagian
minoritas terbesar di Estonia. Namun yang sebenarnya menjadi masalah bagi Estonia
bukanlah eksistensi etnik Ruskiy dari segi kuantitas, melainkan pada sebagian besar etnik
Ruskiy yang belum terintegerasi penuh menjadi bagian dalam identitas nasional Estonia.
Disparitas pandangan politik masih begitu kental terlihat antara masyarakat lokal Estonia
dan minoritas etnik Ruskiy. Hal inilah yang menjadi persoalan utama bagi Estonia karena
diparitas pandangan politik yang diyakini etnik Ruskiy menciptakan sebuah tren dari
langsung dari politik internal Estonia dalam mensukseskan kebijakan manuver politik Rusia.
36
Sumber : Viljar Veebel dan Illimar Ploom. Estonian Perception of Security: Not only about
Russia and the refugees. Journal on Baltic Security
Dengan data yang ditujukan telah jelas bahwa terjadi disparitas pandangan politik yang
mengeksklusifkan etnik minoritas Ruskiy dalam kesatuan identifikasi komunitas Estonia
yang lebih mengacu pada western oriented policy. Bahkan pada penelitian Peter Van
Elsuwege (2004: 30) melihat perbedaan kontras ini telah memberikan persepsi jika etnik
minoritas Ruskiy juga memiliki pandangan negatif terhadap NATO. Tentu saja situasi ini
berlawanan dengan otoritas Estonia maupun mayoritas penduduk lokal Estonia yang
memberikan pandangan negatif terhadap Rusia. Maka tak mengherankan bila jika etnik
minoritas Ruskiy berpandangan jika NATO dan Uni Eropa bukanlah “guardian of their
right” (Peter Van Elsuwege, 2004: 30). Inilah situasi yang memunculkan sebuah tren yang
mendukung kesuksesan agenda Ruskiy Mir (Russian World) yang dideklarasikan Vladimir
Putin untuk menempatkan Rusia sebagai pelindung dari seluruh penutur bahasa Rusia di
dunia. Dengan demikian tren ini perlu dijadikan sebagai perhatian penting bagi Estonia.
37
Terlebih lagi eksistensi tren ini seiring dengan perkembangan upaya pembangunan kembali
imperialisme Rusia.
Sumber : Viljar Veebel dan Illimar Ploom. Estonian Perception of Security: Not only about
Russia and the refugees. Journal on Baltic Security
Walaupun demikian situasi ini bukan berarti mengindikasikan jika isu kebangkitan
imperialisme Rusia adalah satu satunya isu prioritas yang menjadi ketakutan masyarakat
Estonia. Pada data yang ditujukan memang tepat bila isu kebangkitan imperialisme Rusia
pada wilayah bekas jajahan Uni Soviet masih menduduki tempat prioritas dengan persentase
rata-rata 58 persen selama tiga tahun belakangan terhitung dari tahun 2016 (Viljar Veebel
dan Illimar Ploom, 2016: 45). Namun pada beberapa tahun belakangan ini, isu aktivitas
terorisme dan masuknya imigran Islam ke Eropa telah menggantikan posisi isu kebangkitan
imperialisme Rusia sebagai ancaman utama bagi Estonia. Dengan data yang menunjukan
kenaikan pada isu aktivitas ISIS dan konflik militer di Suriah menjadi 67 persen; masuknya
38
sejumlah refugee27 ke wilayah Eropa menjadi 63 persen; beserta aktivitas jaringan terorisme
menjadi 62 persen pada tahun 2016 (Viljar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 43). Lantas tak
mengherankan bila perhatian utama otoritas Estonia sedikit bergeser diluar isu kebangkitan
imperialisme Rusia.
Hal ini menarik jika disandingkan dengan isu kebangkitan imperialisme Rusia yang
justru menunjukan penurunan pada tahun 2016. Situasi ini dapat dijelaskan dengan analisa
kehadiran NATO pada Estonia. Tak dapat dipungkiri eksistensi NATO telah memberikan
keamanan bagi Estonia dari tekanan kebangkitan politik imperialisme Rusia. Bantuan
aktivitas militer NATO di wilayah Baltik dan tekanan konstan yang ditujukan pada Rusia
menjadi beberapa hal yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan Estonia (Viljar Veebel
dan Illimar Ploom, 2016: 45). Bagi mayoritas lokal Estonia lebih memandang NATO
sebagai reliable ally28 dan reliable guarantee29 dalam menjaga keamanan Estonia
dibandingkan dengan potensi ancaman (Viljar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 45).
4.1.1.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Estonia
Dukungan penuh diberikan bagi mayoritas penduduk Estonia dengan persentase 79
persen mendukung kerjasama dengan NATO khususnya dalam bidang politik keamanan
(Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F.
Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 124). Dengan angka persentase 94 persen dari
seluruh penutur Estonia mendukung peran Estonia dalam menjalankan misi beserta menjaga
hubungan dengan NATO (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,
Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 124). Membina hubungan
bersama dengan NATO dipercaya menjadi satu penting bagi Estonia sebagai strategi khusus
dalam mencegah tekanan manuver politik Rusia. Pembinaan hubungannya dengan NATO,
berangkat dari sebuah perhitungan matematis jika Estonia tidak akan mampu membendung
kekuatan militer Rusia yang jauh lebih kuat (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen;
Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 117). 27 Refugee adalah kelompok imigran yang pindah ke satu negara lain dengan alasan terpaksa seperti kondisi perang, bencana alam, dan sebagainya. 28 Reliable ally adalah beberapa negara yang berkomitmen dalam membangun kesepemahaman dan kerjasama secara berkesinambungan. 29 Reliable guarantee adalah beberapa negara yang berkomitmen dalam memberikan jaminan pertahanan pada aliansinya secara berkesinambungan.
39
Situasi ini tidak hanya dirasakan Estonia, namun juga dirasakan oleh dua negara Baltik
lainnya yakni Latvia dan Lithuania yang merasa sangat inferior untuk melawan kekuatan
Rusia. Lantas tak mengherankan bila memperkuat jaringan persahabatan dengan NATO
dijadikan prioritas utama bagi tiga negara Baltik tersebut (Christopher S. Chivvis; Raphael
S. Cohen; Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017:
129). Dengan demikian tak mengherankan bila pertahanan keamanan Estonia sangat
bergantung pada NATO (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,
Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 117).
Dalam menjaga beserta memperkuat hubungannya dengan NATO, Estonia juga terlibat
pada beberapa misi yang dijalankan NATO diluar misi NATO Northeastern Flank.
Kontribusi Estonia dalam keanggotaan NATO terlihat pada operasi NATO yang dilakukan
di Afganistan, Kosovo, dan Irak (Estonia Ministry of Foreign Affairs: 2016). Estonia juga
menjadi satu dari empat negara anggota NATO yang secara konsisten mengikuti perjanjian
aliansi dengan memberikan dana anggaran militer pada NATO mencapai 2 persen GDP
negara pada setiap tahunnya (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,
Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 130). Estonia juga terlibat
ikut berperan dalam mendukung NATO dalam memberikan sanksi terhadap aktivitas Rusia
pada isu di Ukraina timur dan aneksasi Krimea (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen;
Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 130).
Berbagai dukungan yang diberikan Estonia terhadap berbagai misi NATO mengindikasikan
keinginan kuat beserta harapan kontinuitas kerjasamanya dengan NATO.
Tentu saja hal ini tak dapat dilepaskan dari tekanan politik kebangkitan imperialisme
Rusia hingga mampu mendorong tingkat interpedensinya dengan NATO. Esensi
kepentingan memang terlihat kuat diantara kedua belah pihak baik NATO maupun Estonia.
Namun satu hal yang dapat dipetik melalui ketergantungan pertahanan keamanannya dengan
NATO, Estonia dapat disebut sebagai committed partners bagi NATO walaupun dengan
keterbatasan kapabilitasnya (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,
Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 117). Dalam hal ini
keberhasilan diplomasi Estonia mampu membuat NATO merangkul isu ini menjadi salah
satu agenda penting bagi seluruh aliansi negara anggota. Bagi Estonia mempertahankan,
40
memperkuat, beserta mendemonstasikan kedekatan hubungannya dengan dunia barat
menjadi satu strategi efektif dalam melawan tekanan manuver politik Rusia sebagai wujud
perluasan pengaruhnya pada negara-negara post-Soviet (Christopher S. Chivvis; Raphael S.
Cohen; Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017:
117).
4.1.2 Latvia
4.1.2.1 Faktor historis hubungan Latvia-Rusia
Kedaulatan dan kemerdekaan Latvia adalah beberapa momen yang tak dapat dilepaskan
dari hubungan historis antara Latvia dan Rusia. Dilihat dari faktor historis, Rusia
memainkan peranan penting dalam pembentukan sejumlah momen tersebut. Latvia dapat
dipandang sebagai proyek historis Rusia dalam bidang geografis. Kembali pada abad
pertengahan, rumpun suku Baltik untuk pertama kalinya merasakan ekspansi Rusia (Arturs
Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10). Pada tahun 1710, kerajaan Rusia Tsar, Peter
I menaklukan bagian north-east Baltik yang saat ini dikenal sebagai Latvia yakni Vidzeme
dan Riga pada saat yang bersamaan (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10).
Dua kota itu menjadi penting karena menjadi kota pelabuhan menuju Lautan Baltik dan jalur
dagang sehingga diberikan julukan oleh Rusia sebagai window to Europe (Arturs Bikovs,
Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10). Dengan demikian Latvia dan Estonia dijadikan
Rusia sebagai wilayah pembangunan otonomi nomor satu dengan perkembangan edukasi
dan kompetisi industri (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10).Secara kasat
mata tentunya kita dapat melihat jika pada awalnya Latvia memiliki sense of belonging yang
sangat kuat dengan Rusia.
Namun hal ini bukan berarti rasa keterikatan antara Latvia-Rusia dapat bertahan
selamanya. Hal ini dimulai dengan terciptanya sentimen nasional Latvia yang dilandasi
pandangan Marxisme. Pada abad 19 terjadi gelombang protes di Latvia yang dilandasi
semangat Marxisme menyikapi keterbatasan hak bersuara dan kesenjangan kelas sosial
dengan penempatan etnik Latvia sebagai kelas pekerja, sedangkan etnik Rusia dan Jerman
sebagai aristokrat (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Tentu saja gerakan
revolusi 1905 dapat dianggap menjadi salah satu peristiwa bersejarah bagi Latvia. Hal ini
41
disebabkan karena gerakan revolusi 1905 telah memunculkan ide pembentukan identitas
nasional Latvia sebagai negara independen untuk pertama kalinya baik dari segi teritorial
maupun politik (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Hasilnya pada
akhirnya Latvia diakui dapat menjadi negara independen pada tanggal 18 November 1918
(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11).
Penandatanganan peace treaty antara Latvia dan Soviet Rusia dapat menjadi bukti kuat
dari pengakuan Soviet Rusia terhadap kemerdekaan Latvia atas wilayah teritorialnya.Pada
Agustus 1920, Latvia menandatangani perjanjian peace treaty dengan Soviet Rusia yang
berisi mengenai “pengakuan kemerdekaan Latvia dan melepaskan klaim terhadap wilayah
teritorial Latvia selamanya” (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Namun
sayangnya ini bukanlah akhir dari perjuangan kemerdekaan Latvia. Sebab penandatanganan
perjanjian peace treaty antar kedua negara tak ditepati oleh pihak Soviet Rusia. Sebelum
World War II berakhir, Rusia mampu mengambil alih kembali teritorial Latvia. Tepatnya
pada tahun 1940, pasukan militer Soviet kembali menaklukan Latvia (Arturs Bikovs, Ilvija
Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Dengan demikian Rusia kembali mengkolonisasi Latvia
hingga akhirnya memunculkan berbagai peristiwa yang dipandang negatif bagi masyarakat
Latvia. Pada 14 Juni 1941, terjadi deportasi massal pertama bagi 15.000 populasi Latvia
yang mayoritas sebagai kaum intelektual ke Siberia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris
Spruds, 2016: 11). Pada 25 Maret 1949, terjadi deportasi massal kedua bagi lebih dari
44.000 populasi Latvia yang bermayoritas tinggal di pedesaan dan menjadi potensi pemicu
protes menuju Siberia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11).
Jika dilakukan penjumlahan total dari Stalin menjabat pada tahun 1940 hingga pada
1953, terjadi lebih dari 190.000 populasi Latvia atau sekitar 10 persen dari populasi Latvia
yang mendapatkan tindakan persekusi rezim Soviet Rusia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge,
Andris Spruds, 2016: 11). Berlanjut pada rezim Uni Soviet selanjutnya, kebijakan
Russification30 diberlakukan pada Latvia bersamaan dengan dua negara Baltik lainnya yang
melimitasi penggunaan bahasa Latvia beserta mengharuskan penggunaan bahasa Rusia
(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Peristiwa ini berdampak pada
kondisi demografi Latvia dibuktikan dengan menurunnya persentase etnik Latvia dari tahun
30 Russification adalah kebijakan politik guna menyeragamkan satu kultural pada beberapa budaya lainnya.
42
1935 dengan angka persentase 75,5 persen hingga menjadi 52 persen pada tahun 1989
(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Dilengkapi dengan angka
pertumbuhan demografi Rusia di Latvia yang terus menunjukan peningkatan dari angka
170.000 menuju 905.000, disaat angka pertumbuhan demografi Latvia menunjukan
penurunan dari 1.470.000 menuju 1.390.000 (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds,
2016: 11). Pada akhirnya Latvia mendapatkan kemerdekaan untuk kedua kalinya dari Rusia
pada era kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Dengan kebijakan Mikhail Gorbachev
perestroika and glasnost, Latvia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 4 Mei 1990
(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 12). Inilah momen yang dapat dikatakan
menjadi titik akhir kolonisasi Rusia pada Latvia. Namun hal ini bukan berarti Latvia mampu
melepaskan ikatan pengaruh Rusia. Ikatan pengaruh Rusia masih berdampak signifikan
terutama dalam bidang sosial demografi.
Maka tak mengherankan bila okupasi yang dilakukan Rusia bukan saja berdampak
dalam bentuk politik teritorial, melainkan juga berdampak pada sosial demografi bagi
Latvia. Dengan demikian beban traumatik para ekspatriat Latvia dalam memandang Rusia
menjadi sangat kental hingga berdampak secara tidak langsung terhadap perkembangan
persepsi Latvia pada Rusia saat ini. Redifinisi arah kebijakan luar negeri Latvia sejak
menyatakan sebagai negara independen telah menjadi satu topik yang menarik untuk
dibahas secara lebih lanjut. Kemerdekaan Latvia memang tidak mengkonotasikan
terputusnya hubungan diplomatik Latvia-Rusia, melainkan mengindikasikan pada reintegrasi
Latvia menuju komunitas demokrasi barat dalam dunia internasional (Nils Muiznieks, 2006:
89). Beban traumatik historis dapat menjadi indikator utama untuk menjelaskan arah
kebijakan politik luar negeri Latvia. Berdasarkan hubungan historis yang negatif bagi
pandangan Latvia, tentu saja hal inilah yang mendorong Latvia untuk memilih integrasi
pengaruh demokrasi barat. Keberpihakan Latvia menunjukan sejumlah pesan politik bagi
Rusia. Namun yang paling utama adalah Latvia menolak desakan kebijakan reintegrasi
pengaruh Rusia melalui kebijakannya Russia near abroad. Semakin Rusia mencoba
melakukan reintegrasi pengaruhnya pada Latvia, semakin pula Latvia berkomitmen pada
pengaruh barat sebagai bentuk proteksi kemerdekaan Latvia sebagai negara independen
(Nils Muiznieks, 2006: 88). Berhubungan dengan kegelisahan Latvia jika statusnya sebagai
43
negara independen berpotensi dapat direbut kembali oleh Rusia seiring dengan agenda
kebijakan Ruskiy Mir.
4.1.2.2 Opini publik Latvia
Kebangkitan imperialisme pengaruh Rusia pada sejumlah negara post-Soviet melalui
agenda kebijakan Ruskiy Mir, tak hanya menjadi perhatian bagi Estonia yang dikenal
memiliki populasi etnik minoritas Rusia yang cukup tinggi. Begitupun isu ini juga dianggap
sebagai potensi ancaman bagi Latvia yang memiliki situasi yang sama dengan Estonia.
Latvia dikenal memiliki populasi etnik minoritas Ruskiy dengan persentase sebesar 26,2
persen dari seluruh jumlah populasi Latvia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds,
2016: 32). Dengan demikian dilihat dari segi demografi, etnik minoritas Ruskiy dapat
dikatakan sebagai etnik minoritas terbesar yang berada di Latvia.Sama halnya dengan
Estonia, sebenarnya yang membuat angka persentase demografi menjadi penting di Latvia
adalah perbedaan pandangan politik yang melibatkan etnik mayoritas Latvia dengan etnik
minoritas Ruskiy. Maka secara jelas yang menjadi permasalahan dari konteks ini bukan
terletak pada segi pembagian persentase kuantitas antaretnik di Latvia. Melihat perbedaan
dua divisi pandangan politik tersebut, tentu saja hal ini menjadi kegelisahan tersendiri bagi
Latvia karena situasi ini dapat menjadi tren kontinuitas dari perluasan integrasi pengaruh
Rusia bersama dengan CIS melalui agenda kebijakan Ruskiy Mir. Hal ini diperkuat seiring
dengan isu aneksasi Krimea pada tahun 2014 hingga pada akhirnya memunculkan sebuah
kegelisahan bagi Latvia.
Perbedaan persepsi etnik Ruskiy dengan mayoritas etnik Latvia dianggap menjadi
ancaman berkaca dari perkembangan tren dukungan terhadap agenda kebijakan Ruskiy Mir
tersebut. Dari data badan survey opini publik FACTUM pada tahun 2015, 48 persen dari
seluruh masyarakat Latvia masih percaya jika Rusia sebagai ancaman sedangkan 43 persen
dari populasi Latvia tidak menyetujuinya, dengan pembagian persentase 64 persen populasi
Latvia dan 23 persen penutur bahasa Rusia mendukung persepsi tersebut (Toms Rostoks dan
Nora Vanaga, 2016: 90-91). Dari angka pembagian persentase tersebut, telah terlihat jelas
jika etnik Latvia lebih melihat Rusia sebagai ancaman dibandingkan dengan keseluruhan
jumlah penutur bahasa Rusia di Latvia. Perkembangan tren persepsi ini berkembang
popularitasnya hingga mencapai angka persentase 64 persen bagi etnik Latvia seiring
44
dengan Russia-Georgia War pada tahun 2008 dan konflik militer di Ukraina timur dimulai
pada tahun 2014 (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 91). Tentu saja dua isu ini menjadi
penting karena memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan persepsi antar etnik
di Latvia.
Sumber : Toms Rostoks dan Nora Vanaga. Security and Defence Post-2014. Journal on Baltic
Security
Berkaca dari survey opini publik yang diambil pada isu konflik militer di Krimea dan
Ukrain timur, dapat terlihat secara jelas jika isu ini terlihat lebih populer bagi etnik Latvia
dibandingkan dengan etnik Ruskiy. Disaat yang bersamaan juga terjadi perbedaan divisi
antar kedua pihak dalam memandang isu tersebut. Dilihat dari data survey opini publik
tersebut, mayoritas dari pandangan etnik Latvia mengkondemsasi krisis Ukraina timur yang
dilakukan oleh Rusia dengan angka persentase sebesar 40 persen pada tahun 2015
berbanding dengan hanya 3 persen etnik Rusia yang menyetujui hal tersebut. Sedangkan
etnik minoritas Ruskiy lebih memiliki idealisme yang condong pada mempertahankan
hubungan baik dengan Rusia dengan angka persentase sebesar 55 persen. Selain itu berharap
otoritas Latvia melakukan manuver posisi antara negara-negara barat dan kepentingan
45
Latvia untuk mempertahankan hubungan baik dengan Rusia juga lebih difavoritkan sebagian
besar oleh etnik Ruskiy dengan perolehan angka persentase sebesar 34 persen dibandingkan
dengan etnik Latvia dengan angka persentase sebesar 21 persen.
Sumber : Toms Rostoks dan Nora Vanaga. Security and Defence Post-2014. Journal on Baltic
Security
Melalui data diatas terlihat jelas jika ada perbedaan divisi antara etnik Latvia dan etnik
Ruskiy. Baik etnik Latvia maupun etnik Ruskiy masing-masing memiliki idealismenya dalam
melihat politik luar negeri Latvia. Terlihat secara jelas jika mayotitas etnik Latvia memiliki
pandangan ideal jika politik luar negeri Latvia berbasis pada Western oriented. Sementara
bagi etnik Ruskiy lebih condong memiliki pandangan ideal jika politik luar neger Latvia
berbasis pada Eastern oriented. Oleh karena itu perbedaan dua divisi antar etnik ini
dikahawatirkan Latvia sebagai sebuah tren momentum yang mendukung politik perluasan
pengaruh Rusia. Namun demikian perolehan data ini belum cukup untuk mendefinisikan
46
arah kebijakan politik luar negeri Latvia karena pandangan opini publik Latvia akan sangat
bergantung pada konteks yang dibawanya.
Sumber : Toms Rostoks dan Nora Vanaga. Security and Defence Post-2014. Journal on Baltic
Security
Pada konteks ekonomi kedua etnik menyepakati untuk terus menjaga hubungan baik
dengan Rusia. Sebanyak 80 persen opini publik populasi Latvia menyetujui jika kerjasama
ekonomi dengan Rusia masih sangat penting bagi perkembangan ekonomi Latvia (Toms
Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 95). Dengan angka persentase 69 persen etnik Latvia, 85
persen penutur bahasa Rusia, dan 80 persen pengguna dialek Latgalian menyetujui
hubungan baik Latvia-Rusia berkenaan pada konteks ekonomi (Toms Rostoks dan Nora
Vanaga, 2016: 95-96). Namun disisi lain situasi akan berbeda bagi persepsi etnik Latvia dan
penutur bahasa Rusia jika berkenaan pada konteks politik perluasan pengaruh Rusia. Dari
data diatas telah terlihat jelas jika perbedaan pandangan politik menjadi pemisah antara etnik
Latvia dan penutur bahasa Rusia. Dari sudut pandang etnik Latvia, kontinuitas dari agenda
47
Ruskiy Mir ditentang oleh sebagian besar etnik Latvia dengan angka persentase sebesar 83
persen. Berbeda halnya bagi penutur bahasa Rusia yang masih memberikan dukungan pada
agenda Ruskiy Mir dengan angka persentase sebesar 42 persen
4.1.2.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Latvia
Pada beberapa dekade terkahir ini, Latvia mengidentifikasin posisi negaranya dalam
situasi vulnerable. Hal ini dapat terjadi seiring dengan kebijakan luar negeri Vladimir Putin
yang mencoba kembali membangun pengaruh Rusia pada sejumlah negara post-Soviet.
Dengan keberhasilan Rusia dalam aneksasi Krimea dan memicu konflik militer di Ukraina
timur. Latvia memiliki alasan kuat untuk merasa terancam sebab Latvia memiliki kondisi
yang serupa dengan Ukraina. Sebagaimana terbagi divisi pandangan politik antar etnik pada
kondisi Latvia di bidang sosial demografi. Tentu saja situasi ini menjadikan tren momentum
dari dalam politik internal Latvia bagi kontinuitas agenda kebijakan Ruskiy Mir. Maka tak
mengherankan bila kehadiran NATO diharapkan bagi Latvia untuk mencegah ancaman
tersebut. Bahkan Latvia menjadikan keterikatan hubungan kerjasama kolektifnya bersama
dengan NATO sebagai basis National Security Concept (European Values, 2016). Dalam
arti Latvia menjadikan NATO sebagai prioritas agenda kebijakan pertahanannya seiring
dengan meningkatnya tensi politik Latvia-Rusia.
Dalam meningkatkan hubungan dengan NATO, Latvia dapat terbilang sebagai salah
satu negara anggota NATO yang berkomitmen penuh pada setiap misi yang dijalankan
aliansi keamanan tersebut. Latvia memang sudah menjadi anggota NATO pada tahun 1994.
Namun bergabungnya Latvia kedalam aliansi keanggotaan NATO belumlah cukup untuk
mengangkat isu keamanan Latvia dibawah tekanan manuver politik Rusia untuk dijadikan
agenda prioritas NATO. Maka dalam menanggapi hal tersebut, partisipasi Latvia dalam
operasi internasional bersama NATO dijadikan sebagai pilar utama strategi pertahanan
Latvia (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 79). Partisipasi Latvia dalam misi operasi
internasional NATO di Balkan, Iraq, dan Afghanistan menjadi penting dalam meluruskan
kepentingan Latvia pada NATO (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 79). Tentu saja
strategi ini berdampak signifikan baik secara positif maupun negatif. Dilihat dari sudut
pandang positif, strategi ini terbilang efektif dalam meningkatkan nilai tawar Latvia dalam
aliansi keanggotaan NATO. Alhasil ancaman manuver politik Rusia diangkat menjadi satu
48
agenda prioritas keamanan kolektif NATO. Di lain pihak strategi ini dapat menjadi
kelemahan bagi pertahanan domestik Latvia. Hal ini disebabkan karena partisipasi Latvia
dalam misi operasi internasional NATO telah menghasilkan degredasi pertahan teritorial
Latvia disaat yang bersamaan (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 80). Aktifnya
keikutsertaan Latvia dalam misi operasi internasional NATO menghasilkan perkembangan
kapabilitas self-defence Latvia menjadi sangat minim (Toms Rostoks dan Nora Vanaga,
2016: 80).
Menariknya komitmen penuh terhadap misi operasi internasional NATO tetap
dipertahankan Latvia sebagai bagian dari pilar utama strategi pertahanan Latvia. Sejak
dikeluarkannya The State Defence Concept 2012, Latvia secara terbuka menyatakan bahwa
keberlanjutan perkembangan beserta modernisasi kapabilitas pertahanan nasional Latvia
dapat dicapai dengan kontribusi Latvia baik bilateral maupun multilateral melalui hubungan
diplomatiknya bersama NATO untuk meminimalisir resiko ancaman eksternal nasional
Latvia (European Values, 2016). Situasi ini berawal dari sebuah kesadaran jika masalah
keterbatasan kapabilitas Latvia di bidang pertahanan tak akan mampu membendung
kapabilitas militer Rusia. Kondisi inilah yang menjadi alasan kuat Latvia tetap
membutuhkan NATO sebagai bagian dari strategi pertahanan Latvia untuk menciptakan
kondisi deterrence dari manuver politik Rusia. Dibawah tekanan manuver politik Rusia yang
dikerahkan melalui hybrid warfare, masih banyak kelemahan yang ditinggalkan Latvia
bahkan untuk memproteksi keamanan negara sendiri. Melalui publikasi The State Defence
Concept 2016, selain masalah keterbatasan kapabilitas, Latvia mengidentifikasi segala
bentuk yang perlu dikhawatirkan dari kontinuitas hybrid warfare Rusia jika berada dalam
kondisi minimnya presensi militer NATO di wilayah Baltik; lemahnya kerjasama dan
kordinasi antara sektor pertahanan dan interior; dan potensi dukungan politik dari presensi
besarnya jumlah penutur bahasa Rusia pada wilayah kedaulatan Latvia (Toms Rostoks dan
Nora Vanaga, 2016: 81). Melalui publikasi The State Defence Concept 2016 telah jelas
bahwa menjaga beserta meningkatkan hubungan diplomatik Latvia bersama dengan NATO
dapat menjadi solusi efektif dalam membendung ancaman eksternal aktivitas manuver
politik Rusia.
49
4.1.3 Lithuania
4.1.3.1 Faktor historis hubungan Lithuania-Rusia
Eksistensi pengaruh Rusia di wilayah Baltik meruoakan sebuah fakta yang tidak dapat
terbantahkan keberadaanya. Lithuania adalah satu negara Baltik yang termasuk kedalam
kategori tersebut. Bersama dengan Estonia dan Latvia, sejarah yang serupa juga
mencerminkan politik domestik Lithuania dibawah pengaruh Rusia. Pengaruh Rusia dapat
disebut sebagai sebuah warisan historis Lithuania.. Dalam melihat hubungan diplomatik
Lithuania-Rusia saat ini, sejarah hubungan kedua negara menjadi penting untuk dipaparkan
karena memiliki relevansi kuat terhadap pembentukan persepsi politik Lithuania hingga
berdampak pada kebijakan politik luar negeri Lithuania. Dalam hal ini telah terlihat jelas
bahwa hubungan historis kedua negara telah menjadi implikasi yang menciptakan perspektf
Lithuania dalam melihat hubungan internasional.
Lantas untuk mengetahui seberapa jauh hubungan historis kedua negara mempengaruhi
kondisi peran kedua negara dalam lingkup sistem internasional. Akan menjadi bijaksana bila
kita mengetahui terlebih dahulu hubungan diplomatik kedua negara dari sudut pandang
historis. Secara lebih mudah, sejarah hubungan diplomatik kedua negara dapat dirangkum
dalam dua momen penting yakni persetujuan Act of Independence of Lithuania pada tahun
1918 dan persetujuan Act of Re-Establishment of the state of Lithuania pada tahun 1944.
Masing-masing dari penandatangan persetujuan tersebut memiliki peranan signifikan
terhadap eksistensi Lithuania sebagai negara independen hingga mampu membentuk
persepsi politik luar negeri Lithuania.
Sebelumnya Lithuania pernah diakui sebagai negara independen dengan
penandatanganan Act of Independence of Lithuania pada tahun 1918 sejak berakhirnya era
Polish-Lithuanian Commonwealth dimulai dari tahun 1795 (Linas Kojala dan Wojciech
Jakobik, 2016: 11). Setelah tahun 1918, Rusia bukanlah negara yang ditakuti oleh Lithuania,
melainkan Polandia melalui asumsi buruknya hubungan kedua negara disaat Lithuania
melepaskan status Commonwealth untuk menjadi negara independen (Linas Kojala dan
Wojciech Jakobik, 2016: 11). Pada momen itu Polandia adalah negara yang dianggap
sebagai ancaman oleh Lithuania. Sementara Jerman dan Soviet Rusia dapat dikatakan
50
sebagai commited partner untuk melawan desakan Polandia. Bahkan melalui perjanjian
bilateral antara Soviet Rusia dan Lithuania pada tahun 1920, pihak Soviet Rusia telah
mengakui status Lithuania sebagai negara independen (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik,
2016: 12).
Dalam hal ini pihak Soviet Rusia juga ikut terlibat dalam memberikan support di bidang
militer kepada Lithuania untuk melawan Polandia (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik,
2016: 13). Melalui perjanjian Molotov-Ribbentrop yang dibentuk pada tahun 1939, militer
NAZI Jerman dan Soviet Rusia bebas masuk wilayah Lithuania dengan alasan bantuan
militer untuk melawan Polandia (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13). Dengan
pembaharuan perjanjian Molotov-Ribbentrop pada tahun 1940 oleh NAZI Jerman dan
Soviet Rusia, Lithuania dianggap sebagai bagian dari wilayah Soviet Rusia dan Kremlin
telah mendapatkan hak ultimatum untuk menempatkan militer Soviet Rusia di wilayah
Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech jakobik, 2016: 13). Tentu saja secara tak disadari,
eksistensi dari perjanjian Molotov-Ribbentrop telah sedikit menggeruskan hak kedaulatan
wilayah Lithuaia secara perlahan. Oleh karena itu secara perlahan Lithuania kembali
menentang dominasi Soviet Rusia di wilayahnya.
Dimulai pada tahun 1944 hingga pada tahun 1953, lebih dari dua puluh ribu pasukan
guerillas Lithuania melakukan gerakan resistensi (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik,
2016: 13). Tentu saja beberapa gerakan resistensi itu memberikan pengaruh terhadap
pemutusan hubungan kerjasama untuk menentang kekuasaan Uni Soviet pada masa cold war
atas hak kemerdekaan Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13). Terlebih
lagi kebijakan Russification31 dan deportasi massal populasi Lithuania yang sebagian besar
adalah para intelektual, politisi, guru, dan burjois telah memicu semangat resistensi
Lithuania untuk melawan kekuasaan Uni Soviet di wilayahnya sendiri (Linas Kojala dan
Wojciech Jakobik, 2016: 13). Perlawanan Lithuania ini dilakukan baik secara resistensi
militer maupun penarikan simpati dukungan internasional. Dalam hal ini para diplomat
Lithuania memiliki peran penting dalam menarik simpati negara-negara barat seperti
Amerika Serikat, Kanada, Brazil, Kolombia, Uruguay, Britania Raya, Perancis, Swiss, dan
31 Russification adalah kebijakan politik guna menyeragamkan satu kultural pada beberapa budaya lainnya.
51
Vatikan untuk tidak mengakui okupasi wilayah yang dilakukan oleh Uni Soviet (Linas
Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13).
Berkenaan dengan pembangunan ide restorasi kemerdekaan Lithuania, gerakan
resistensi Katolik Lithuania dalam melawan Atheist Soviet policies memiliki andil penting
hingga mampu merestorasi semangat kemerdekaan Lithuania dari kekuasaan Uni Soviet
(Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13). Gerakan resistensi Katolik Lithuania ini
kemuadian dinamakan Chronicle of the Catholic Church in Lithuania dari tahun 1972
hingga pada tahun 1990 yang mempublikasikan perlawanan persekusi Katolik Lithuania
terhadap rezim totalitarian Uni Soviet (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13).
Hingga pada akhirnya pada tanggal 11 Maret 1990, Lithuanian supreme Soviet telah
mendeklarasikan kemerdekaan Lithuania sebagai negara independen (Linas Kojala dan
Wojciech Jakobik, 2016: 13). Namun ini bukanlah akhir dari cerita sebab Uni Soviet tetap
berusaha untuk memblokade hal tersebut. Secara resmi Uni Soviet mengakui kemerdekaan
Lithuania sebagai negara independen pada tanggal 6 September 1991 (Linas Kojala dan
Wojciech Jakobik, 2016: 13).
Berdasarkan fakta sejarah yang dipaparkan tersebut, telah jelas jika secara historis
Lithuania tidak memiliki hubungan diplomatik yang tidak baik dengan Rusia. Demikian pula
kondisi initelah mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Lithuania. Sejak Lithuania
mendapatkan kemerdekaannya sebagai negara independen pada tahun 1991, terjadi redifinisi
arah kebijakan politik luar negeri Lithuania. Dilihat dari sudut pandang historis, okupasi
perlahan Rusia melalui perjanjian Molotov-Ribbentrop telah menjadi dasar bagi Lithuania
untuk memulai hubungannnya dengan negara-negara barat. Secara eksplisit pembangunan
hubungan Lithuania dengan negara-negara barat sudah berjalan secara struktural sejak awal
kemerdekaan Lithuania menjadi negara independen. Tentu saja fakta ini telah terbukti
berdasarkan penolakan Lithuania terhadap organisasi internasional Commonwealth
Independence States yang dibangun sebagai sarana proteksi pengaruh Rusia. Jika dilihat dari
sudut pandang politik keamanan, aktivitas politik luar negeri Rusia telah dianggap sebagai
ancaman bagi Lithuania hingga saat ini. Kemunculan konsepsi Russia near abroad telah
mendorong Lithuania untuk membangun hubungan diplomatik bersama negara-negara barat.
Bahkan pada beberapa dekade terakhir ini, implementasi manuver politik Rusia pada kasus
52
Russo-Georgia war di tahun 2008 dan Crimean war di tahun 2014 telah memperkuat
pembangunan persepsi negatif Lithuania terhadap aktivitas politik luar negeri Rusia. Oleh
karena itu pembangunan hubungan diplomatik antara Lithuania dan negara-negara barat
berjalan struktural berdasarkan pada pengaruh kebijakan politik luar negeri Rusia.
4.1.3.2 Opini publik Lithuania
Tak memiliki perbedaan siginifikan dengan dua negara Baltik lainnya, Lithuania juga
merasa terancam dibawah tekanan politik perluasan pengaruh Rusia pada negara post-Soviet.
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya pembangunan persepsi ini sudah dimulai sejak
kemerdekaan Lithuania menjadi negara independen. Dengan demikian telah dapat disepakati
satu hal yakni perluasan pengaruh Rusia pada sejumlah negara post-Soviet tak memiliki nilai
tawar bagi Lithuania. Bahkan terlihat dari arah kebijakan politik luar negeri Lithuania yang
semakin mendekatkan diri dengan negara-negara barat, Lithuania telah mengekspresikan
ketidaknyamanannya pada aktivitas politik luar negeri Rusia. Tentu saja hal ini berangkat
dari sebuah persepsi jika Rusia adalah ancaman bagi posisi Lithuania dalam sistem
internasional. Serangkaian aktivitas manuver politik Rusia di Georgia pada tahun 2008 dan
Ukraina pada tahun 2014 telah menjadi concern tersendiri bagi Lithuania. Maka tak
mengherankan bila aktivitas manuver politik Rusia tersebut, telah membentuk perspesi
negatif Lithuania terhadap Rusia.
Lantas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan hingga menjadi ketakutan tersendiri
bagi Lithuania. Ketakutan Lithuania mengacu pada eksistensi populasi etnik Ruskiy sebesar
5 persen dari seluruh total populasi Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016 .
Walaupun tidak memiliki proporsi etnik Ruskiy dalam jumlah besar seperti Estonia dan
Latvia, namun Lithuania turut khawatir akan dukungan politik yang diberikan etnik Ruskiy
terhadap kontinuitas manuver politik Rusia. Terlebih lagi agenda Ruskiy Mir semakin giat
dipublikasikan oleh Vladimir Putin selaku presiden Rusia. Dengan asumsi pelaksanaan
agenda Ruskir Mir untuk memberikan proteksi pada setiap penutur bahasa Rusia, seringkali
asumsi ini dipublikasikan sebagai justifikasi kontinuitas manuver politik Rusia. Setelah
melihat pelaksanaan agenda Ruskiy Mir di wilayah Krimea pada tahun 2014, Lithuania
memiliki alasan kuat untuk merasa terancam sebab demografi Lithuania juga menunjukan
proporsi etnik Ruskiy dalam jumlah signifikan. Dengan kondisi jika etnik Ruskiy di
53
Lithuania, dapat menjadi pendukung utama dalam hal pandangan politik bagi keberlanjutan
agenda Ruskiy Mir atau the Russian World pada wilayah Lithuania.
Tentu saja tak mengeherankan bila kondisi ini dijadikan sebagai kekhawatiran tersendiri
bagi Lithuania. Perbedaan pandangan politik cukup terlihat jelas dengan perbedaan proporsi
mencolok berdasarkan pada latar belakang individu tersebut. Sebesar 72 persen diambil dari
perspektif populasi etnik Lithuania pada tahun 2016 melihat Rusia sebagai negara unfriendly
neighbour (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 17). Sedangkan bagi penutur bahasa
Rusia di Lithuania diambil dari data pada tahun 2016 sebanyak 66 persen melihat Rusia
sebagai friendly neighbor (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik: 2016: 18). Melihat
pembagian divisi pandangan politik tersebut, lantas tak mengherankan bila kondisi ini
berimbas pada bagaimana perspektif populasi Lithuania dalam merespon berbagai isu
internasional. Diambil dari data keseluruhan opini publik Lithuania sebanyak 55 persen
masyarakat Lithuania percaya bahwa keberlangsungan konflik di Ukraina timur adalah
kesalahan Rusia (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 17). Sedangkan sebanyak 18
persen masyarakat Lithuania mendukung kelompok separatis pro-Rusia pada
keberlangsungan konflik di Ukraina timur (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 17).
Sumber : Linas Kojala dan Wojciech Jakobik. Russia’s influence and presence in Lithuania.
European Reform
54
Berdasarkan survey diatas telah jelas terlihat bahwa dari jumlah keseluruhan populasi
Lithuania melihat Rusia sebagai non-friendly neighbor dengan persentase sebesar 70 persen.
Tentu saja hal ini tak dapat dilepaskan dari konfrontasi manuver politik Rusia di Georgia
pada tahun 2008 dan Ukraina pada tahun 2014. Menariknya data tersebut juga menunjukan
jika persepsi opini publik populasi Lithuania terhadap Polandia menunjukan hasil sebaliknya
dari hubungan historis yang pernah mewarnai kedua negara. Dengan data yang menunjukan
bahwa 70 persen dari seluruh populasi Lithuania melihat Polandia sebagai friendly neighbor.
Kemungkinan kuat dari terjalinnya hubungan diplomatik Lithuania-Polandia dapat dilihat
berdasarkan sebuah isu yang sedang dihadapi bersama. Dalam hal ini posisi Rusia dalam
dunia internasional dapat dijelaskan sebagai musuh yang dihadapi bersama bagi Lithuania
dan Polandia. Sementara posisi Amerika Serikat dalam dunia internasional memiliki nilai
tawar yang tinggi bagi mayoritas populasi Lithuania. Dari data yang ditampilkan 85 persen
dari keseluruhan populasi Lithuania melihat Amerika Serikat sebagai friendly neighbor.
Tentu saja asas kepentingan Lithuania sangat terlihat jelas melalui konteks ini dilihat dari
sudut pandang sistem internasional yang memaksa kebijakan politik luar negeri berjalan
secara struktural. Hubungan historis Lithuania-Rusia, Russo-Georgia war pada tahun 2008,
hingga pada aneksasi Krimea dari Ukraina pada tahun 2014 telah mendefinisikan posisi
Rusia sebagai ancaman bagi Lithuania. Akhirnya serangkaian isu tersebut telah mampu
mendorong relasi persahabatan antara Lithuania dan Amerika Serikat yang secara bersamaan
mempromosikan prinsip pertahanan kolektif untuk mencegah manuver politik Rusia.
55
Sumber : Linas Kojala dan Wojciech Jakobik. Russia’s influence and presence in Lithuania.
European Reform
Melalui data yang ditampilkan pada tahun 2016, telah dapat diketahui jika Vladimir
Putin adalah politisi yang tidak difavoritkan bagi mayoritas populasi Lithuania. Dengan
jumlah persentase sebesar 62 persen dari total populasi Lithuania menilai buruk kebijakan
Vladimir Putin terhadap politik luar negeri Rusia. Dengan perolehan data persepsi populasi
Lithuania tersebut, kita telah dapat mengklarifikasi posisi Rusia dalam dunia internasional
sebagai ancaman. Maka tak mengherankan bila aktivitas politik luar negeri Rusia dipandang
negatif bagi mayoritas persepsi masyarakat Lithuania. Tentu saja situasi ini berbanding
terbalik dengan pihak oposisi Rusia. Melalui perolehan data persepsi populasi Lithuania,
telah diketahui jika Barack Obama selaku presiden Amerika Serikat dan Dalia Grybauskaite
selaku presiden Lithuania lebih difavoritkan dibandingkan dengan Vladimir Putin. Lebih
dari 60 persen persepsi masyarakat Lithuania mendukung setiap kebijakan politik luar negeri
yang dicetuskan oleh Barack Obama dan Dalia Grybauskaite.
Dari pengumpulan data yang dipaparkan diatas telah terlihat jelas jika Lithuania
memiliki idealisme politik luar negeri yang Western oriented. Sejak kemerdekaan Lithuania
menjadi negara independen, sejumlah elit politik Lithuania berperan penting dalam
mempromosikan western integration (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 16).
Beserta menolak berbagai bentuk integrasi Rusia melalui Commonwealth of Independence
States (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 16). Tentu saja berbagai hal tersebut telah
menimbulkan beragam makna politik. Namun satu hal yang dapat disepakati dalam
mempengaruhi persepsi Lithuania adalah Lithuania merasa kecewa dan terancam terhadap
berbagai bentuk aktivitas politik perluasan integrasi pengaruh Rusia, hingga akhirnya
mendorong Lithuania untuk lebih memihak pada western integration.
4.1.3.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Lithuania
Manuver politik Rusia telah mendorong Lithuania untuk membuka pintu terhadap
western integration. Pada konteks ini telah dijelaskan bahwa posisi Rusia dalam dunia
internasional diklasifikasikan menjadi potential aggressor32 bagi Lithuania. Terlihat
32 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya.
56
berdasarkan dualitas opini publik yang terbangun dalam masyarakat Lithuania, Rusia sudah
memiliki momentum untuk melaksanakan agenda Ruskiy Mir atau Russian World. Setelah
isu konflik yang terjadi di Krimea pada tahun 2014, 87 persen dari seluruh populasi
Lithuania menyatakan ketakutannya akan kemungkinan Rusia untuk melakukan okupasi
pada Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 9). Konsepsi potential
aggressor33 yang ditujukan pada Rusia telah mendesak Lithuania untuk membuka jalur
diplomatiknya bersama dengan NATO.
Dengan keterbatasan kapabilitas pertahanan keamanan yang dimiliki Lithuania, tentu
saja NATO memiliki nilai tawar yang tinggi untuk menjamin pertahanan keamanan
Lithuania. Nilai tawar NATO bagi Lithuania meningkat seiring dengan kemunculan tekanan
manuver politik Rusia yang berambisi untuk memperluas pengaruhnya. Dari publikasi yang
dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Lithuania mencetuskan jika NATO adalah
bagian terpenting dan kerangka efektif bagi pertahanan kolektif yang mampu menjamin
keamanan nasional beserta deterrence efektif melawan potential aggresors (Ministry of
Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Bahkan dalam publikasi dokumen yang
sama dari Kementerian Luar Negeri Lithuania melihat Lithuania akan meningkatkan
kebijakan pertahanan sebagai bagian dari kebijakan pertahanan NATO (Ministry of Foreign
Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Melalui pernyataan yang dicetuskan oleh
Kementerian Luar Negeri Lithuania tersebut telah jelas jika Lithuania menempatkan NATO
sebagai penjamin pertahanan keamanannya. Secara lebih lanjut keterikatan Lithuania
terhadap NATO dianggap menjadi penting bagi pertahanan keamanan Lithuania sebab
keterbatasan kapabilitas nasional, material, hingga pada industri militer Lithuania (Ministry
of Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Tentu saja kondisi ini menimbulkan
sebuah permasalahan bagi Lithuania disaat harus membendung laju manuver politik Rusia
disaat yang bersamaan.
Melalui keterbatasan kapabilitas militer Lithuania tersebut, sangat tak mengherankan
bila Lithuania dapat dikatakan menggantungkan pertahanan keamanannya pada aliansi
pertahanan NATO. Tentu saja kondisi ini mendorong Lithuania membangun relasi
diplomatiknya bersama dengan NATO. Membangun beserta menjaga relasi diplomatik
33 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya.
57
dengan NATO adalah bagian penting dari strategi pertahanan Lithuania. Asumsi ini
diperkuat melalui dokumen yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Lithuania
yang menyatakan bahwa memperkuat ikatan NATO dan kontribusi dalam memperkuat relasi
antara Eropa dan Amerika Serikat menjadi strategi utama yang perlu dicapai Lithuania
(Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Bagi perspektif otoritas
Lithuania, memperkuat relasi dengan NATO menjadi hal paling rasional yang perlu dicapai
Lithuania. Berdasarkan survey yang diambil secara demokratis oleh Kementerian Luar
Negeri Lithuania, sebanyak 73 persen populasi Lithuania mendukung jika kebijakan politik
luar negeri dan diplomasi ini memiliki kontribusi signifikan dalam menjaga pertahanan
negara (Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2018). Dengan demikian
diplomasi dan kontribusi Lithuania untuk meningkatkan nilai tawar utamanya pada NATO
telah menjadi pilar utama dalam menjaga pertahanan keamanannya dari tekanan manuver
politik Rusia.
Sumber : Ministry of National Defence of the Republic of Lithuania. Lithuania’s membership in
the North Atlantic Treaty Organization (NATO)
58
Dengan dukungan opini publik populasi Lithuania hingga mencapai angka 81 persen
terhadap presensi militer NATO di wilayah Lithuania (Ministry of National Defence of the
Republic of Lithuania, 2017: 15). Lithuania memiliki komitmen besar untuk terus
mempererat hubungan diplomatiknya bersama dengan NATO. Dalam hal meningkatkan
nilai tawar kepentingan Lithuania pada NATO, Lithuania telah berkontribusi penting dalam
mendukung berbagai kemajuan fasilitas, teknologi, maupun materialistis di bidang militer.
Dari tabel yang dipaparkan diatas, beberapa macam kontribusi Lithuania terhadap
modernisasi NATO juga termasuk sebagai bagian dari program pertahanan Lithuania. Selain
itu Lithuania juga terbilang sebagai salah satu negara naggota yang memenuhi standar
NATO dalam menyisihkan 2 persen GDP untuk modal pertahanan kolektif (Ministry of
National Defence of the Republic of Lithuania, 2017: 2). Dengan demikian telah jelas
berbagai langkah dan kontribusi Lithuania dalam terus mempererat hubungan
persahabatannya dengan NATO.
Sumber : Ministry of National Defence of the Republic of Lithuania. Lithuania’s membership in
the North Atlantic Treaty Organization (NATO)
59
Secara implisit menjaga beserta meningkatkan hubungan bersama dengan NATO adalah
bagian dari strategi pertahanan Lithuania untuk membendung manuver politik Rusia.
Keseriusan Lithuania dapat terlihat dari berbagai partisipasi yang diberikan pada sejumlah
misi operasional NATO. Pada gambar yang dipaparkan diatas, Lithuania telah memberikan
support pada misi operasi internasional NATO di Kosovo, Turki, dan Afghanistan (Ministry
of National Defence of the Republic of Lithuania, 2017: 12). Selain itu Lithuania juga ikut
terlibat dalam misi kemanusiaan bersama Amerika Serikat dalam menciptakan resolusi
konflik di Iraq, ikuserta mendukung reformasi pertahanan Ukraina, dan mendukung
pemberian sanksi ekonomi pada Rusia setelah isu aneksasi Krimea pada tahun 2014
(Ministry of National Defence of the Republic of Lithuania, 2017: 13). Dari penjabaran
partisipasi Lithuania dalam misi operasi internasional NATO tersebut, telah dapat dipetik
satu hal penting yakni keikutsertaan Lithuania pada misi operasi internasional NATO dalam
dunia internasional adalah bagian diplomasi Lithuania untuk meningkatkan nilai tawarnya
pada NATO. Pada konteks ini, telah terlihat jelas jika peran intervensi NATO sangat
dibutuhkan sebagai bagian dari program strategi pertahanan Lithuania untuk mencegah
manuver politik Rusia. Dengan demikian lantas tak mengherankan bila presensi militer
NATO ditanggapi positif oleh baik mayoritas masyarakat maupun otoritas Lithuania.
Hingga pada penciptaan implementasi program NATO Eastern Flank sangat diharapkan
Lithuania sebagai metode efektif dalam menciptakan deterrence terhadap manuver politik
Rusia.
4.1.4 Finlandia
4.1.4.1 Hubungan diplomatik Finlandia-Rusia
Dalam konteks bipolaritas sistem internasional yang terbangun sejak masa cold war,
Finlandia adalah salah satu negara yang menarik untuk dibahas secara lebih lanjut. Dilihat
secara politik geografis, Finlandia bukan hanya dapat dilihat sebagai bagian dari negara
Nordik. Melainkan posisi letak geografis Finlandia telah diapit oleh dua sivilisasi great
power34 dalam sistem internasional. Tentu saja dua sivilisasi yang dimaksud adalah blok
barat dan blok timur. Inilah yang kemudian menjadi menarik untuk membahas peran
34 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon.
60
Finlandia dalam menanggapi kondisi tersebut. Esensi perebutan pengaruh antar dua sivilisasi
great power35 telah mampu mendeskripsikan politik domestik Finlandia sejak
berlangsungnya cold war. Secara garis besar politik domestik Finlandia dapat dilukiskan
sebagai wadah perebutan pengaruh antar sivilisasi great power.36
Posisi netralitas telah diambil Finlandia dalam menanggapi sistem internasional. Dilihat
dari sudut pandang politik geografis, Finlandia adalah negara yang menjaga keseimbangan
antara Western world dan Rusia. Lantas yang menjadi pertanyaan menarik adalah apa yang
mendorong Finlandia untuk bersikap netral pada posisi bipolaritas sistem internasional.
Tentu saja langkah yang telah diambil Finlandia mengesankan sebuah makna politik, seiring
dalam memenuhi kepentingan Finlandia pada posisi perebutan pengaruh antar sivilisasi
tersebut. Makna politik yang dimaksud adalah mampu menjaga hubungan diplomatik
dengan dua sivilisasi great power37 pada saat yang bersamaan. Maka benefit yang dapat
diambil kedua pihak mampu menghasilkan sebuah profit yang maksimal untuk memenuhi
kepentingan Finlandia.
Pada beberapa dekade terakhir ini, hubungan diplomatik antara Finlandia dan Rusia
sedikit memburuk seiring dengan munculnya isu konflik militer di Krimea pada tahun 2014.
Kemunculan isu tersebut telah direspon negatif oleh Finlandia dengan mengutuk aktivitas
manuver politik Rusia di Krimea dan Ukraina timur. Namun satu hal yang perlu
diperhatikan pada konteks ini adalah kemunculan sentimen negatif Finlandia pada Rusia
tidak semata-mata mengindikasikan terputusnya hubungan diplomatik kedua negara. Tentu
saja hukum relasi antarnegara ini akan berlaku terutama jika mengacu pada konteks
kerjasama perekonomian antar kedua negara. Ketergantungan dan keterikatan dalam hal
perekonomian masih tak dapat dilepaskan dalam menunjang pembangunan standar hidup
kedua negara.
Dalam bidang perekonomian, Rusia dikenal sebagai partner perdagangan terbesar
Finlandia hingga pada tahun 2013 (Piotr Szymanski, 2018: 15). Bahkan hubungan kerjasama
ekonomi yang baik antar kedua negara masih tetap dipertahankan memasuki periode tahun
35 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon. 36 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon. 37 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon.
61
2014. Walaupun pada tahun 2014, hubungan kerjasama perekonomian antara Finlandia dan
Rusia menunjukan penurunan. Namun hal ini bukan berarti tingkat ketergantungan ekonomi
antar kedua negara dapat dilepaskan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan
intensitas perdagangan kedua negara tersebut yakni pengaruh finansial krisis pada tahun
2008, pemberian sanksi ekonomi Uni Eropa terhadap Rusia setelah tahun 2014, devaluasi
mata uang Russian Rouble, dan turunnya harga minyak (Piotr Szymanski, 2018: 15). Namun
dari seluruh faktor yang dipaparkan tersebut, pemberian sanksi ekonomi yang diberikan Uni
Eropa terhadap Rusia setelah tahun 2014 menjadi kendala utama bagi keberlanjutan
kerjasama ekonomi kedua negara.
Dari data yang dipublikasikan oleh Finnish foreign trade 2016, nilai ekspor Finlandia
pada Rusia terhitung dari tahun 2008-2016 terus menunjukan penurunan lebih dari tiga kali
lipat (Piotr Szymanski, 2018: 16). Maka tak mengherankan bila pemberian sanksi Uni Eropa
terhadap Rusia setelah tahun 2014 memiliki dampak yang cukup signifikan bagi
keberlangsungan hubungan perdagangan antara Finlandia dan Rusia. Terlepas dari
pemberian sanksi ekonomi dari Uni Eropa terhadap Rusia setelah isu aneksasi Krimea pada
tahun 2014 dilihat dari sudut pandang Uni Eropa. Rusia tetap memiliki peran penting bagi
pemenuhan standar hidup Finlandia terutama pada sektor energi. Pada tahun 2016, angka
impor Finlandia pada Rusia masih mencapai angka 11,2 persen atau Rusia menempati
pengekspor produk terbesar ketiga untuk Finlandia (Piotr Szymanski, 2018: 16). Total impor
Finlandia dari Rusia mencapai angka 70,5 persen pada sektor energi dengan penjabaran 58,2
persen minyak dan 7,1 persen gas alam (Piotr Szymanski, 2018: 16). Sementara pada tahun
2016, angka ekspor Finlandia untuk Rusia masih mencapai angka 5,7 persen atau Rusia
menempati pengimpor produk terbesar kelima untuk Finlandia (Piotr Szymanski, 2018: 16).
Produk ekspor Finlandia untuk Rusia berupa bahan kimia, kayu, industri kertas, dan mesin
elektrik (Piotr Szymanski, 2018: 16). Dengan demikian tak dapat dipungkiri bila
ketergantungan perekonomian antara Finlandia dan Rusia tak dapat dilepaskan bagi kedua
negara.
Dengan ketergantungan perekonomian yang dimiliki antara Finlandia dan Rusia,
kemudian inilah yang membuat menjaga posisi netralitas menjadi penting bagi Finlandia.
Hubungan diplomatik di bidang perekonomian tidak dapat terlepaskan bagi kedua negara.
62
Namun persepsi yang ditanamkan antar kedua negara ini dapat dikatakan sudah sedikit
bergeser. Aktivitas manuver politik Rusia yang menyebabkan kontinuitas konflik militer di
Krimea dan Ukraina timur telah menjadi momentum bagi Finlandia untuk meredifinisi arah
pandangan politiknya mengenai dunia internasional. Kemunculan isu konflik militer di
Krimea dan Ukraina timur tidak hanya menghasilkan sanksi ekonomi untuk Rusia setelah
tahun 2014, melainkan juga telah memicu persepsi negatif Finlandia terhadap kebijakan
politik luar negeri Rusia. Selain itu momentum ini juga dimanfaatkan Finlandia untuk lebih
mendekatkan diri bersama dengan NATO. Hal ini dapat dibuktikan dengan keikutsertaan
Finlandia pada program NATO Eastern Flank guna untuk mencegah manuver politik Rusia
di wilayah Eropa utara dan Eropa timur.
Tentu saja bergabungnya Finlandia pada sidang Transatlantic Partnership antara 28
negara anggota NATO + 2 (Finlandia dan Swedia) telah mengindikasikan sebuah pesan jika
Finlandia merasa tidak puas dan tidak sepakat terhadap kebijakan politik luar negeri Rusia.
Manuver politik Rusia di Georgia pada tahun 2008 dan Ukraina pada tahun 2014 telah
mendorong Finlandia untuk lebih membuka diri pada politik Western integration. Bagi
Finlandia, konseptualisasi Rusia dalam dunia politik internasional dapat dianggap sebagai
unsatisfied power (Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2016: 12). Demikianlah yang
dicetuskan oleh Kementerian Luar Negeri Finlandia, bahwa Rusia telah mendemonstrasikan
cara koersif pada wilayah sekitarnya sama halnya seperti isu yang terjadi di Georgia pada
tahun 2008 dan Ukraina pada tahun 2014 (Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2016: 12-
13). Tentu saja tujuan yang ingin dicapai Rusia sangatlah jelas yakni membatasi zona
integrasi pengaruh Western World dan seiring dengan memperluas pengaruh Rusia pada
sejumlah negara sekitarnya.
Pada saat yang bersamaan Finlandia sedang dalam kondisi mengintegrasikan diri
dengan negara-negara barat untuk durasi waktu jangka panjang (Piotr Szymanski, 2018: 18).
Persepsi ini muncul berangkat dari sebuah anggapan bahwa otoritas Rusia tidak memiliki
kesiapan dalam menjaga kestabilan perekonomiannya dari gelombang krisis finasial pada
tahun 2008 dan menurunnya harga minyak pada tahun 2011 (Ministry of Foreign Affairs of
Finland , 2016: 12). Maka asumsi bergabungnya Finlandia pada blok ekonomi Rusia yakni
Eurasian Economic Union kurang memiliki nilai tawar bagi Finlandia, dibandingkan lebih
63
memprioritaskan pada kerjasama ekonomi yang dibangun oleh Uni Eropa. Inilah salah satu
faktor yang membuat Finlandia merasa terancam terhadap keberadaan aktivitas manuver
politik Rusia di dunia internasional. Sebab Rusia akan mencoba menggunakan berbagai cara
termasuk jalur perang atau diplomasi koersif untuk menggagalkan laju Finlandia dan Swedia
untuk bergabung dalam keanggotaan NATO berdasarkan pada keterangan dari Kementerian
Luar Negeri Finlandia (Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2016: 7). Pemberian proposal
Finlandia untuk mencalonkan diri menjadi negara anggota NATO telah mengindikasikan
sebuah pesan negatif bagi Rusia. Maka telah diketahui pula jika posisi Rusia dalam dunia
internasional pada konteks ini dapat diklasifikasikan sebagai pengahambat utama dalam
menggagalkan usaha Finlandia untuk semakin berintegrasi dengan pengaruh yang dibangun
oleh negara-negara barat.
Beberapa usaha sudah diimplikasikan dari pihak Rusia untuk mencoba membatasi
pergerakan Finlandia untuk semakin mengintegrasikan diri terhadap pengaruh yang
dibangun negara-negara barat tersebut. Satu cara utama yang digunakan Rusia pada konteks
ini adalah memperluas pengaruhnya di bidang informasi digital. Tentu saja usaha ini
dipercaya sebagai metode efektif dalam mempengaruhi opini publik masyarakat Finlandia
(Piotr Szymanski, 2018: 19). Melalui metode ini tujuan Rusia dapat dijabarkan berupa
kondisi disaat publik mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah Finlandia,
melemahkan orientasi kelompok pro-European, dan mengurangi dukungan publik untuk
bergabung dalam NATO membership (Piotr Szymanski, 2018: 19). Beberapa tindak nyata
telah diluncurkan oleh pihak Rusia yakni kemunculan media internet pro-Kremlin sejak
tahun 2014, kemunculan radio LoveFM pada tahun 2016 sebagai radio pro-Rusia, beserta
fasilitasi para aktivis pro-Kremlin seperti Anti-Facist Committee (Piotr Szymanski, 2018,
19). Dengan ambisi Rusia yang demikian, kondisi ini telah menempatkan Finlandia sebagai
salah satu front perang informasi dengan Rusia (Piotr, Szymanski, 2018: 19). Maka tak
mengherankan bila situasi hybrid war dengan Rusia, telah menjadi concern tersendiri bagi
Finlandia sehingga situasi ini terus mendorong Finlandia untuk lebih mempersiapkan diri
pada NATO membership.
64
4.1.4.2 Opini Publik Finlandia
Perlu diketahui Finlandia bukanlah bagian dari negara anggota NATO hingga saat ini.
Menariknya pada beberapa dekade terakhir ini, Finlandia semakin memperlihatkan
keinginannya untuk membangun ikatan kerjasama bersama dengan NATO. Tekanan
manuver politik Rusia setelah isu yang terjadi di Georgia pada tahun 2008 dan Ukraina pada
tahun 2014 telah menumbuhkan fear bagi Finlandia. Implementasi manuver politik Rusia
pada Finlandia telah berjalan dalam bentuk hybrid warfare. Hingga saat ini satu elemen
hybrid warfare yakni information war telah menjadi perlombaan dalam memppengaruhi
opini publik Finlandia. Finlandia merasa terancam karena opini publik pro-Rusia ditakutkan
akan menjadi awal mula dari sebuah okupasi yang dilakukan Rusia. Asumsi ini dipercaya
berkaca dari kasus yang terjadi di Georgia pada tahun 2008 yang harus kehilangan wilayah
Abkhazia dan Osetia selatan; beserta Ukraina pada tahun 2014 yang harus kehilangan
wilayah Krimea yang diawali kemenangan opini publik pro-Rusia pada beberapa wilayah
tersebut. Metode yang serupa seolah-olah kembali digunakan pada Finlandia dengan cara
memenangkan perlombaan opini publik masyarakat terlebih dahulu. Bagi Finlandia, inilah
yang menjadi sebuah dorongan kuat untuk membangun hubungan kerjasama yang baik
bersama dengan NATO.
Walaupun demikian ternyata menjadi bergabungnya Finlandia pada NATO membership
diyakini bukanlah menjadi solusi yang tepat bagi mayoritas opini publik Finlandia.
Sebanyak 62 persen opini publik Finlandia menentang Finlandia untuk bergabung dalam
keanggotaan NATO (Piotr Szymanski, 2018: 28). Sementara hanya 22 persen opini publik
Finlandia mendukung Finlandia untuk bergabung dalam keanggotaan NATO (Piotr
Szymanski, 2018: 28). Perolehan data ini juga didukung dengan hanya 2 dari 9 partai
parlementer Finlandia yang mendukung penuh bergabungnya Finlandia sebagai negara
anggota baru NATO (Piotr Szymanski, 2018: 28). Melalui paparan data tersebut, telah
diketahui jika bergabungnya Finlandia pada keanggotaan NATO tidak difavoritkan oleh
opini publik Finlandia.
Tentu saja situasi ini telah menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Apakah ini
mengindikasikan pada ketidaksepmehaman antara otoritas dan masyarakat Finlandia atau
mayoritas opini publik Finlandia lebih menginginkan ikatan kerjasama yang lebih dekat
65
dengan Rusia? Sebenarnya kedua hal itu bukanlah jawaban yang tepat untuk menjelaskan
kondisi tersebut. Melainkan dari data opini publik Swedia yang diambil pada tahun 2018,
disaat hanya 22 persen opini publik Finlandia yang mendukung keanggotaan penuh NATO,
sebanyak 50 persen opini publik Finlandia menyatakan akan lebih ideal jika membangun
sebatas ikatan kerjasama yang lebih dekat bersama dengan NATO (Michael Miklaucic,
2018). Salah satu bukti implementasi itu dapat dicerminkan melalui pembangunan
kerjasama keamanan kolektif 28 negara anggota NATO +2 yakni Finlandia dan Swedia
dalam sidang Transatlantic hingga menciptakan program kerjasama keamanan kolektif
NATO eastern flank pada konteks ini. Dengan demikian telah jelas jika satu hal yang
diinginkan opini publik Finlandia bukanlah bergabung dalam keanggotaan penuh NATO.
Melainkan membangun ikatan kerjasama yang lebih dekat bersama dengan NATO tanpa
bergabung menjadi negara anggota pada aliansi pertahanan tersebut.
4.1.4.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Finlandia
Bagi mayoritas opini publik Finlandia, membangun ikatan kerjasama bersama dengan
NATO tanpa bergabung menjadi negara anggota didalamnya menjadi solusi yang paling
ideal. Hal ini disebabkan mulai dari sebuah keyakinan dari sebagian besar opini publik
Finlandia jika Rusia akan merespon negatif dengan menggunakan jalur koersif terhadap
Finlandia. Tentu saja bergabungnya Finlandia sebagai negara anggota baru NATO telah
mengundang tindakan koersif Rusia, bahkan melalui jalur perang sekalipun sehingga
membuat posisi Finlandia dalam dunia internasional merasa terancam. Sebab Rusia diyakini
akan melakukan berbagai cara apapun untuk membatasi hal tersebut. Maka membangun
ikatan kerjasama yang lebih dekat bersama dengan NATO tanpa bergabung menjadi negara
anggota pada aliansi pertahanan tersebut sudah diperhitungkan untuk menjadi pilihan yang
paling rasional. Ikatan hubungan kerjasama pertahanan yang dibangun Finlandia bersama
dengan NATO tetaplah menjadi instrumen penting dalam menghadapi intervensi Rusia pada
perlombaan di bidang media informasi. Manajemen pengawasan opini publik Finlandia telah
menjadi keprihatinan utama disaat media informasi dipercaya sebagai alat yang dapat
menggiring opini publik secara efektif. Sejak berlangsungnya konflik militer di Krimea pada
tahun 2014, intervensi Rusia di bidang media informasi Finlandia terus diperlihatkan. Inilah
66
faktor yang membuat NATO nilai tawar bagi Finlandia. Dengan kepercayaan NATO dapat
menjadi solusi efektif bagi Finlandia dalam melawan tekanan hybrid war dari Rusia.
Dengan mengklasifikasikan posisi NATO dalam dunia internasional sebagai commited
partner, beberapa langkah diplomatik telah dilakukan untuk menciptakan ikatan hubungan
persahabatan antara Finlandia dan NATO. Mempererat ikatan hubungannya bersama dengan
NATO telah menjadi bagian dari strategi pertahanan Finlandia. Walaupun Finlandia tidak
menjadi salah satu bagian dari negara anggota NATO, Finlandia seringkali aktif dalam
berbagai misi operasi internasional NATO. Beberapa diantaranya adalah keikutsertaan
Finlandia dalam misi operasi internasional di wilayah Afghanistan dan Balkan (Piotr
Szymanski, 2018: 61). Tentu saja kontribusi Finlandia pada beberapa program NATO telah
mendapatkan sebuah penghargaan. Hingga pada akhirnya kondisi vulnerable yang dialami
Finlandia atas tekanan manuver politik Rusia juga diikusertakan sebagai kebijakan
pertahanan kolektif NATO.
Walaupun Finlandia bukanlah salah satu negara anggota NATO, menariknya
keberhasilan diplomasi Finlandia telah mampu membawa pertahanan Finlandia menjadi
bagian dari agenda pertahanan kolektif NATO. Dengan substansi dokumen artikel 5 NATO
yang berisi “an attack on one will be considered an attack on all” juga diberlakukan pada
Finlandia tanpa harus bergabung dalam aliansi pertahanan tersebut (Michael Miklaucic,
2018). Terciptanya sidang transatlantic Wales Summit 2014 dengan format 28 negara
anggota NATO + 2 (Finlandia dan Swedia) telah menjadi bukti jika pertahanan keamanan
Finlandia juga menjadi bagian dari concern agenda pertahanan kolektif NATO. Dalam hal
menjaga ikatan hubungan diplomatik tersebut, Finlandia telah menunjukan komitmennya
dalam kebijakan pertahanan kolektif NATO. Dengan kebijakan meningkatkan anggaran
dana pertahanan dari 1,5 persen GDP untuk mencapai target 2 persen GDP pada tahun 2024
sesuai dengan kebijakan kolektif yang terbentuk dalam sidang Wales Summit 2014 (Michael
Miklaucic, 2018). Keberlanjutan komitmen Finlandia dalam meningkatan ikatan hubungan
kerjasama pertahanan bersama dengan NATO juga terus dipererat seiring dengan
keikutsertaan Finlandia pada sidang Warsaw Summit 2016 yang menghasilkan program
NATO Eastern Flank. Dengan demikian telah dapat diketahui jika usaha diplomasi Finlandia
tak terlepas dari kepentingan pertahanan keamanannya untuk mengikat NATO sebagai
67
benteng pertahanan Finlandia dalam menghadapi implementasi aktivitas manuver politik
Rusia.
4.1.5 Swedia
4.1.5.1 Hubungan diplomatik Swedia-Rusia
Esensi perlombaan power secara strukural merupakan satu hal yang tak dapat
terbantahkan keberadaanya dalam sistem internasional. Seperti yang sudah diketahui pada
masa cold war, sistem internasional dapat diidentifikasikan berada dalam posisi bipolar.
Bipolaritas antar super power dalam sistem internasional telah membuat posisi Swedia
dalam dunia internasional menjadi satu hal yang menarik untuk dibahas secara lebih lanjut.
Pada konteks politik geografis, Swedia bukanlah sekedar dapat diklasifikasikan sebagai
bagian dari negara-negara Nordik. Melainkan letak geografis Swedia telah berada di posisi
sentral dalam sistem percaturan sistem internasional yang bipolar. Bipolaritas kekuatan
dunia antara blok barat dan blok timur telah meletakan posisi geografis Swedia sebagai
perbatasan antar dua super power tersebut. Dengan demikian kondisi ini telah
memungkinkan Swedia untuk memilih arah kebijakan politik luar negerinya untuk lebih
berpihak blok barat maupun blok timur. Pada beberapa dekade terakhir paska cold war, saat
ini posisi Swedia masih dapat dilukiskan sebagai wadah perebutan pengaruh antar kekuatan
dunia internasional.
Posisi netralitas telah diambil Swedia dalam merespon bipolaritas sistem internasional
tersebut. Bagi perspektif politik geografis Swedia, menjaga keseimbangan hubungan antar
dua kekuatan dunia dapat menjadi sebuah keputusan yang paling ideal dalam merespon
bipolaritas sistem internasional. Baik Western world maupun Rusia masing-masing memiliki
nilai tawar yang cukup kuat bagi kepentingan Swedia. Maka berdasarkan asumsi keuntungan
yang didapatkan tersebut, akan menjadi sebuah pilihan yang rasional bila Swedia tetap
mempertahankan posisi netralitasnya dalam bipolaritas sistem internasional. Dengan
substansi selama ada faktor kepentingan struktural yang mampu mendorong hubungan
diplomatik Swedia terhadap dua kekuatan dunia internasional tersebut.
Seperti yang sudah dijelaskan menjaga posisi netralitas menjadi penting bagi Swedia,
terutama dalam mempengaruhi hubungan diplomatiknya dengan Rusia. Dengan menjaga
68
posisi netralitas dalam kondisi bipolaritas sistem internasional, situasi ini telah
memungkinkan Swedia untuk dapat menjaga hubungan baik dengan Rusia pada saat yang
bersamaan. Perlu diketahui keterikatan hubungan diplomatik antara Swedia dan Rusia
tetaplah menjadi satu hal yang penting dalam menunjang perkembangan perekonomian bagi
kedua negara. Ketergantungan perekonomian antar kedua negara inilah yang kemudian
menjadi faktor pendorong Swedia untuk tetap mempertahankan hubungan diplomatiknya
dengan Rusia.
Sumber : Torbjorn Becker. The Nature of Swedish-Russian Capital Flows. Stockholm Institute
of Transition Economics
Berdasarkan data yang diambil statistik badan keuangan kedua negara yakni Central
Bank of Sweden dan Central Bank of Rusia, hubungan keterikatan perekonomian yang
menguntungkan antar kedua negara menjadi satu hal yang dapat terbantahkan. Dalam
melihat perspektif perdagangan Swedia, Rusia masih menempati posisi penting dalam
menunjang laju pertumbuhan perekonomian Swedia. Berdasarkan komparasi data dari
Central Bank of Sweden dan Central Bank of Russia, sebesar 5 persen nilai impor Swedia
berasal dari Rusia (Torbjorn Becker, 2016: 4). Selain itu perlu diketahui sebesar 70 persen
impor komoditas minyak bumi Swedia juga didatangkan melalui hasil impor dari Rusia (Leo
69
G. Michel, 2011: 11). Sementara berdasarkan komparasi data yang ditampilkan oleh Central
Bank of Sweden dan Central Bank of Russia telah menunjukan sebesar 2 persen nilai ekspor
Swedia telah didapat melalui hasil perdagangan dengan Rusia (Torbjorn Becker, 2016: 4).
Dengan demikian tak dapat dipungkiri bila hubungan kerjasama perekonomian yang
dibangun kedua negara dapat dinilai saling menguntungkan. Maka disisi lain menjaga
hubungan diplomatik dengan Rusia tetaplah menjadi sebuah agenda penting bagi agenda
kebijakan politik luar negeri Swedia.
Namun posisi netralitas atau non-alligment dalam menanggapi bipolaritas sistem
internasional ini mulai memudar. Posisi Swedia dalam mempertahankan netralitasnya dalam
dunia internasional telah bertransformasi menjadi konsepsi yang bias. Konflik militer yang
terjadi di Georgia pada tahun 2008 telah menjadi awal mula memudarnya konsepsi netralitas
Swedia. Hingga pada akhirnya hal ini mencapai titik klimaks dengan munculnya konflik
militer yang terjadi di Krimea pada tahun 2014 dan kontinuitas konflik militer di wilayah
Ukraina timur yang masih berlangsung. Kedua peristiwa ini telah menjadi momentum yang
membawa pergeseran pandangan Swedia dalam menanggapi dunia internasional. Pernyataan
ini kemudian didukung oleh Komisi Pertahanan Swedia, dengan menjelaskan bahwa
berbagai aktivitas manuver politik Rusia pada sejumlah negara post-Soviet telah
meredefinisikan pandangan Swedia terhadap Rusia (Barbara Kunz, 2015: 17). Tentu saja
redifinisi pandangan Swedia terhadap Rusia yang dimaksud, menunjukan pada arah yang
negatif. Keberadaan fakta ini dapat ditunjukan dengan data opini publik Swedia yang
menunjukan jika 43 persen opini publik Swedia memandang sangat negatif aktivitas politik
luar negeri Rusia, kemudian sebesar 43 persen opini publik Swedia lainnya juga memandang
pada arah yang negatif mengenai aktivitas politik luar negeri Rusia, sementara hanya 12
persen opini publik Swedia melihat aktivitas politik luar negeri Rusia pada arah yang positif
(European values, 2016). Dengan demikian persepsi negatif Swedia terhadap aktivitas
politik luar negeri Rusia sejak munculnya isu konflik militer di Georgia pada tahun 2008 dan
konflik militer di Ukraina pada tahun 2014 menjadi suatu hal yang tak dapat dipungkiri
keberadaannya.
Persepsi negatif yang bertumbuh pada kalangan opini publik Swedia tak hanya menjadi
sebatas narasi masyarakat Swedia, melainkan mempengaruhi kebijakan politik luar negeri
70
Swedia. Sejak paska berlangsungnya konflik militer di Georgia pada tahun 2008, Carl Bildt
selaku Menteri Luar Negeri Swedia saat itu, telah mempublikasikan kritiknya terhadap
agresi militer Rusia di Georgia (Leo G. Michel, 2011: 11). Pernyataan inipun didukung oleh
Sten Tolgfors selaku Menteri Pertahanan Swedia saat itu, yang menyatakan secara eksplisit
jika Rusia adalah potential threat (Leo G. Michel, 2011: 11). Setelah itu kemunculan isu
Crimean war telah menjadi titik klimaks yang akhirnya merubah persepsi Swedia terhadap
Rusia. Hal ini ditekankan oleh Komisi Pertahanan Swedia yang menyatakan “in 2013,
Europeans were living throught the most secure and peaceful times ever, in it’s 2014, the
security environment has changed as a result of the Russian aggression against Ukraine”
(Barbara Kunz, 2015: 18). Melalui pernyataan tersebut telah dijelaskan jika Rusia
dipoposisikan sebagai ancaman bagi Swedia sejak kemunculan isu konflik militer Krimea
pada tahun 2014.
Sejak dimulainya konflik militer Krimea, berbagai insiden serangan konvensional Rusia
seringkali mewarnai pertahanan keamanan Swedia. Insiden Russian Easter pada Maret 2013
mungkin adalah satu isu tak yang terlupakan bagi masyarakat Swedia, dengan kondisi disaat
Kremlin meluncurkan serangan melalui dua Tu-22M3 Backfire bombers dan empat Su-27
Flanker fighter jets yang memasuki wilayah udara Swedia, kemudian menstimulasikan
serangan di wilayah Swedia selatan dan wilayah dekat Stockholm (Barbara Kunz, 2015: 17).
Peristiwa ini dikonfirmasikan oleh Peter Hultqvist selaku Menteri Pertahanan Swedia lalu
memberikan komentar pada Oktober 2014 terhadap serangan agresi militer Rusia dengan
pernyataan sejumlah peristiwa itu telah membawa masyarakat Swedia déjà vu pada masa
cold war (Barbara Kunz, 2015: 18). Selain itu serangan hybrid war di bidang informasi juga
gencar dilakukan oleh pihak Kremlin untuk mempengaruhi opini publik Swedia.
Perlombaan informasi seringkali diluncurkan melalui akun Twitter dan media pro-Kremlin
yang beroperasi di Swedia seperti Sputnik News (Jon Henley, 2017). Hingga saat ini
ancaman hybrid war terutama perlombaan dalam bidang informasi digital telah menjadi
concern utama pertahanan keamanan Swedia.
Keberlangsungan hybrid war dari Rusia telah dapat dikonfirmasi sebagai ancaman
utama pertahanan keamanan Swedia saat ini. Inilah faktor utama yang menjadi pemicu
Swedia untuk mengembangkan hubungan diplomatik bersama dengan NATO. Keikutsertaan
71
Swedia dalam sidang transatlantic yang dihadiri oleh 28 negara anggota NATO + 2 yakni
Finlandia dan Swedia telah mengindikasikan secara nyata jika Swedia ingin mempererat
hubungan kerjasama pertahanan bersama dengan NATO. Ketakutan akan terbentuknya
kerjasama pertahanan ini telah dirasakan Rusia dengan memberikan peringatan terbuka pada
Swedia akan konsekuensi yang diterima jika bergabung menjadi negara anggota baru
NATO. Melihat dari situasi demikian telah jelas jika Swedia seolah-olah telah meninggalkan
posisi netralitasnya untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan NATO. Dalam hal ini
persepsi yang ditampilkan Swedia terhadap NATO berbanding terbalik dengan cara pandang
Swedia dalam melihat aktivitas politik luar negeri Rusia. Berdasarkan dokumentasi
keamanan Swedia pada tahun 2014, telah diklarifikasikan bahwa ancaman intelejensi
keamanan selalu datang dari Rusia (European values, 2016). Telah dijelaskan juga melalui
berdasarkan pada dokumentasi pertahanan Swedia, jika posisi Swedia dalam memandang
Rusia, dapat dilihat melalui aktivitas politik luar negeri ilegal Rusia terhadap Ukraina
(European values, 2016). Dilanjutkan dengan otoritas pemerintah Swedia mengutuk aksi
agresi militer Rusia terhadap Ukraina beserta menekankan jika Swedia akan menjalin
hubungan kerjasama pertahanan keamanan yang lebih dekat dengan Finlandia dan NATO
(European values, 2016). Pada konteks ini, NATO dilihat sebagai solusi pertahanan
keamanan dari hybrid war yang mengancam Swedia. Maka tak mengherankan bila
memprioritaskan hubungan diplomatiknya dengan NATO sebagai bagian dari strategi
pertahanan Swedia untuk melawan aktivitas manuver politik Rusia.
4.1.5.2 Opini Publik Swedia
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, secara jelas Swedia telah menekankan
posisinya dalam bipolaritas sistem internasional pada posisi yang netral. Namun posisi
netralitas Swedia perlahan mulai ditinggalkan seiring dengan kemunculan aktivitas manuver
politik Rusia yang memicu konflik militer di wilayah Krimea pada tahun 2014 dan masih
berlangsungya konflik militer di wilayah Ukraina timur. Tak dapat dipungkiri bahwa
aktivitas politik luar negeri Rusia yang ditujukan pada sejumlah negara post-Soviet tersebut
telah membangun persepsi negatif opini publik Swedia terhadap Rusia. Secara terbuka
melalui dokumentasi kebijakan pertahanan Swedia mempublikasikan bahwa “Russia’s
illegal annexation of Crimea and military presence in eastern Ukraine constitute flagrant
72
breaches of international law” (European values, 2019). Pernyataan hasil dokumentasi
kebijakan pertahanan Swedia itupun kemudian diiringi dengan keikutsertaan Swedia untuk
mendukung sanksi ekonomi yang diberikan pada Rusia (European values, 2019).
Dukungan Swedia dalam pemberian sanksi ekonomi pada Rusia dapat dijelaskan
dengan beberapa faktor. Aktivitas manuver politik Rusia telah mengingatkan kembali
masyarakat Swedia pada trauma yang terjadi pada masa cold war. Selain itu yang lebih
penting adalah keberlanjutan hyrid war terutama dalam bidang informasi digital dengan
Rusia. Hingga hal ini telah membentuk persepsi jika Swedia merupakan bagian dari proyek
perluasan pengaruh Rusia diluar negara-negara post-Soviet. Berkaca pada kasus konflik
militer yang terjadi di wilayah Krimea dan masih berlangsungnya konflik militer di wilayah
Ukraina timur, penggunaan strategi hybrid war yang serupa dengan dua kasus tersebut telah
kembali coba diimplementasikan dimulai dengan menarik dukungan pada bidang media
informasi politik domestik Swedia. Inilah sebuah momentum yang membuat Swedia merasa
terancam dengan proyek aktivitas politik luar negeri Rusia.
Dengan kemunculan aktivitas manuver politik Rusia di Ukraina pada tahun 2014, secara
implisit momentum ini telah meredefinisi arah kebijakan politik luar negeri Swedia untuk
mengikat kerjasama yang lebih dekat lagi dengan NATO. Paska krisis militer di Krimea,
nilai tawar NATO terus menunjukan peningkatan bagi opini publik Swedia. Sebelum
kemunculan isu konflik militer di Krimea pada tahun 2014, mayoritas dari opini publik
Swedia menolak proposal bergabungnya Swedia untuk masuk sebagai bagian dari negara
anggota NATO (Barbara Kunz, 2015: 33). Pada tahun 2000, data opini publik Swedia hanya
menunjukan 24 persen responden yang menginginkan Swedia untuk bergabung dalam
aliansi pertahanan NATO, sementara 62 persen responden memilih untuk tidak memihak
atau tetap berada dalam posisi netral (Barbara Kunz, 2015: 33). Pada saat itu menjaga posisi
netralitas adalah agenda utama politik luar negeri Swedia sehingga bergabung dalam
keanggotaan NATO tidak difavoritkan oleh masyarakat Swedia.
Pandangan favoritisme pada NATO muncul seiring dengan sentimen opini publik
Swedia terhadap hasil kebijakan politik luar negeri Rusia. Sejak kemunculan isu konflik
militer di Krimea pada tahun 2014 dan keberlangsungan konflik militer di Ukraina timur,
posisi NATO di mata opini publik Swedia telah menunjukan peningkatan yang signifikan.
73
Pada data opini publik yang diambil pada tahun 2014, terjadi peningkatan dukungan
responden untuk bergabung dalam organisasi NATO dari 28 persen hingga menunjukan
angka 33 persen, sementara yang menentang kebijakan inipun menunjukan penurunan dari
angka 56 persen hingga menunjukan angka 47 persen (Barbara Kunz, 2015: 34). Pada data
opini publik yang diambil pada tahun 2015, dukungan responden agar Swedia bergabung
dalam organisasi NATO terus menunjukan peningkatan hingga mencapai angka 41 persen,
sementara sebanyak 39 persen responden menentang kebijakan tersebut, dan sebanyak 20
persen tidak menentukan pilihan (Barbara Kunz, 2015: 34). Pada data opini publik yang
diambil pada tahun 2018, dukungan responden terus meningkat untuk proposal
bergabungnya Swedia untuk menjadi negara anggota baru NATO hingga mencapai angka 43
persen, sementara yang menentang kebijakan tersebut kembali menunjukan penurunan
dengan perolehan data sebesar 37 persen (Michael Miklaucic, 2018). Melalui siginifikansi
yang ditampilkan data tersebut, tentu saja telah membawa kita pada satu asumsi jika
aktivitas politik luar negeri Rusia yang telah mendorong Swedia untuk meningkatkan
hubungan diplomastiknya dengan NATO. Menariknya dukungan opini publik Swedia terus
menunjukan peningkatan dari setiap pergantian periode tahun politik.
4.1.5.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Swedia
Kondisi vulnerable (kerapuhan) atas berlangsungnya hybrid war dari Rusia terhadap
politik domestik Swedia menciptakan sebuah opsi baru dalam hal arah kebijakan politik luar
negeri Swedia khususnya di bidang keamanan. Dalam hal ini NATO telah menjadi opsi ideal
berdasarkan data opini publik yang ditunjukan sebelumnya. Mengikat hubungan diplomatik
yang baik bersama dengan NATO telah menjadi bagian dari strategi pertahanan Swedia
dalam menciptakan deterrence terhadap manuver politik Rusia. Beberapa usaha diplomatik
ini sebenarnya sudah ditunjukan bahkan sebelum kemunculan isu konflik militer di wilayah
Krimea pada tahun 2014. Posisi Swedia memang bukan menjadi bagian dari negara anggota
NATO, namun Swedia memiliki hubungan kerjasama pertahanan yang baik bersama NATO.
Hubungan kerjasama ini dapat dibuktikan melalui keikutsertaan Swedia pada beberapa misi
operasi internasional NATO seperti KFOR di Kosovo, ISAF di Afghanistan, dan operasi
intervensi kemanusiaan di Libya (Barbara Kunz, 2015: 27). Sejak saat itu Swedia sudah
terbilang menjadi aktif dalam berbagai misi operasi internasional NATO. Maka tak
74
mengherankan bila Swedia dapat disebut sebagai commited partner bagi NATO diluar
aliansinya.
Keterikatan hubungan diplomatik antara Swedia dan NATO telah mencapai
kesepakatan pada Wales Summit 2014 (Barbara Kunz, 2015: 27). Secara khusus
pembentukan sidang Transatlantic ini membentuk sebuah forum untuk 28 negara anggota
NATO dan mengundang dua negara diluar aliansinya yakni Finlandia dan Swedia.
Kesepakatan sidang Transatlantic tersebut dipersatukan pada sebuah pembentukan agenda
pertahanan bersama dengan mengikutsertakan Finlandia dan Swedia didalamnya termasuk
pemberlakuan artikel 5 NATO. Dengan berjalannya proses sidang Transatlantic hingga pada
Warsaw Summit 2016, keikutsertaan Finlandia dan Swedia pada sidang yang dibentuk
NATO telah membentuk dokumentasi kebijakan pertahanan NATO Eastern Flank. Dengan
substansi jika setiap pihak yang ikutserta dalam sidang Warsaw Summit 2016 menyetujui
untuk menempatkan kontinuitas ancaman manuver politik Rusia sebagai agenda pertahanan
kolektif NATO. Dengan terciptanya kerjasama antara Swedia dan NATO tersebut,
tercapailah sebuah makna politik bahwa Swedia membutuhkan NATO sebagai media dalam
menciptakan deterrence terhadap kontinuitas aktivitas manuver politik Rusia.
4.2 Politik revisionisme Rusia sebagai manifestasi kebijakan politik luar
negeri Vladimir Putin
Dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia internasional dikejutkan dengan isu konflik
militer di wilayah Ukraina timur dan Krimea pada tahun 2014. Terlepas dari perdebatan para
sarjana studi hubungan internasional dalam melihat isu ini dari berbagai perspektif. Namun
satu hal yang disepakati untuk menjadi bagian analisa secara lebih lanjut mengenai isu ini
adalah motif politik yang mendasari aktivitas politik luar negeri Rusia. Tentu saja hal ini
menjadi menarik serta menimbulkan pertanyaan besar bagi para pengamat politik
internasional. Hingga munculah sebuah asumsi kuat dari sejumlah penelitian jika Rusia
sedang berada dalam sebuah proses untuk membangun integrasi pengaruhnya kembali paska
cold-war. Pandangan terhadap aktivitas politik luar negeri Rusia ini didasari seiring dengan
sejumlah isu internasional atas keterkaitan Rusia pada konflik militer di Georgia dan
Ukraina. Menariknya dari sejumlah isu tersebut, sebenarnya Rusia tidak menjadi aktor
75
tunggal. Melainkan keterlibatan NATO dan Rusia telah menjadi bagian menarik yang perlu
diperhatikan pada beberapa isu tersebut. Maka terlihat jelas jika keterlibatan kedua aktor ini
telah mengindikasikan sebuah esensi kontestasi antar aktor dalam percaturan sistem
internasional. Dengan demikian menjadi satu hal yang tak dapat terbantahkan bila sejumlah
isu ini telah membawa Rusia sebagai revisionist states.
Perlu diketahui pengidentifikasian Rusia sebagai revisionist states tak terlepas dari
rezim kepemimpinan yang memberikan pengaruh terhadap arah kebijakan luar negeri Rusia.
Setiap pemangku posisi kepemimpinan di Kremlin, memiliki selera masing-masing dalam
membangun arah kebijakan politik luar negeri Rusia. Pada konteks ini, kepemimpinan
Vladimir Putin dipercaya sebagai aktor pembangun Rusia sebagai revisionist states. Persepsi
ini berjalan seiring dengan perkembangan kebijakan politik luar negeri Vladimir Putin yang
lebih pragmatis dalam menyikapi sistem internasional dibandingkan dengan dua pemangku
kepemimpinan rezim Kremlin lainnya. Baik Boris Yeltsin maupun Dmitry Medvedev
dipercaya sejumlah kalangan studi hubungan internasional telah membawa politik luar
negeri Rusia pada arah yang lebih liberal dalam menyikapi sistem internasional. Tak dapat
dipungkiri perbedaan kedua pandangan dalam menyikapi sistem internasional telah
membawa politik luar negeri Rusia kedalam dua dimensi. Disaat Boris Yeltsin dan Dmitry
Medvedev membawa arah kebijakan politik luar negeri Rusia berada dalam dimensi status
quo states. Sementara Vladimir Putin membawa arah kebijakan politik luar negeri Rusia
berada dalam dimensi revisionist states. Maka tak mengherankan bila politik revisionisme
Rusia dapat dipandang sebagai manifestasi kebijakan politik luar negeri Rusia pada era
kepemimpinan Vladimir Putin.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kita telah menyepakati jika Vladimir Putin
memilih jalan yang berbeda dengan Boris Yeltsin dan Dmitry Medvedev dalam memandang
arah kebijakan politik luar negeri Rusia. Arah kebijakan politik luar negeri Rusia yang dapat
dipandang secara pragmatisme adalah bagian dari manifestasi politik luar negeri Rusia pada
masa kepemimpinan Vladimir Putin. Perbedaan cara pandang Vladimir Putin dengan dua
pemangku kursi Kremlin lainnya sudah terlihat jelas melalui respon setiap pemimpin Rusia
dalam melihat era paska cold war. Disaat Boris Yeltsin dan Dmitry Medvedev mencoba
untuk menghilangkan sentimen dan ketegangan yang terjadi pada masa cold war, Vladimir
76
Putin mendesak untuk membangun kembali pengaruh sentral Rusia pada sejumlah negara
disekitarnya khususnya pada negara-negara yang diidentifikasikan sebagai negara post-
Soviet. Dalam pidato Vadimir Putin, dirinya melihat kejatuhan rezim Uni Soviet sebagai
“national tragedy of immense proportion and the biggest geopolitical catastrophe of the 20th
century” (Hannes Adomeit, 2011: 9). Pernyataan inilah yang kemudian mempengaruhi cara
pandang Vladimir Putin berkenaan dengan arah kebijakan politik luar negeri Rusia menuju
revisionist states. Maka tak mengherankan bila Vladimir Putin dapat dipandang sebagai
aktor utama dalam menciptakan maneuver politik Rusia.
Dalam perspektif Vladimir Putin, politik internasional masih disebut sebagai arena
kompetisi dan konflik dengan pembangunan konsep balance of power38 beserta power
vacuum yang masih dipertahankannya (Hannes Adomeit, 2011: 13). Berkenaan dengan
hubungan internasional, Vladimir Putin mengatakan kepada para diplomatnya bahwa “no
power vacuum could exist and that if Russia were abstain from an active policy in the CIS or
even embark on an unwarranted pause, this would inevitably lead to nothing but other, more
active states resolutely filling this political space” (Hannes Adomeit, 2011: 13). Dengan
demikian telah jelas jika Vladimir Putin mengajak agar Rusia dapat menjadi pemeran aktif
dalam sistem internasional yang dipandang anarkis. Inisiasi Vladimir Putin dalam
menciptakan Rusia sebagai revisionist power telah dimulai melalui pemutusan hubungan
baik Rusia dengan negara-negara barat seiring secara bersamaan berusaha menciptakan
reintegrasi geo-ekonomi dan geo-politik pada beberapa negara disekitarnya khususnya
sejumlah negara post-Soviet.
Berdasarkan pada survey yang dikeluarkan oleh Kementrian Luar Negeri Rusia yakni
Obzor Vneshney Politiki Rossiiskoi Federatzii pada Maret 2007, sejumlah perhatian bagi
Rusia dalam sistem internasional tak terlepas dari aktivitas politik luar negeri negara-negara
barat (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell H. Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 85).
Dalam survey yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Rusia tersebut, ada tiga
hal yang perlu dijadikan perhatian penting mengenai negara-negara barat antara lain (1)
negara barat dapat mengintervensi urusan domestik internal Rusia; (2) Usaha negara barat
38 Balance of power adalah perimbangan kekuatan antar dua aktor hubungan internasional atau lebih yang saling berhadapan satu sama lain.
77
untuk menciptakan unipolar world39 dimana sistem internasional dijadikan sarana diplomasi
koersi terhadap kebijakan luar negeri Rusia; (3) Negara barat membentuk aliansi militer
superpower yang dijadikan sebagai instrumen kebijakan luar negerinya (Olga Oliker; Keith
Crane; Lowell H. Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 85). Melalui survey yang
dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Rusia maka telah jelas jika kehadiran negara-
negara barat dalam sistem internasional dapat diklasifikasikan sebagai ancaman eksternal
bagi Rusia. Inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi Vladimir Putin untuk
memilih arah kebijakan politik luar negeri Rusia sebagai revisionist states.
Sejumlah politisi Rusia menyepakati bahwa jalan sebagai revisionist states harus
diambil sebagai respon terhadap perluasan pengaruh NATO dan Uni Eropa pada sejumlah
negara Warsaw Pact dan post-Soviet. Hal ini dapat dijadikan sebagai justifikasi Rusia
sebagai revisionist states sebab dunia barat telah menjadi penghambat utama bagi tujuan
politik luar negeri Rusia pada masa kepemimpinan Vladimir Putin untuk memperluas
pengaruh Rusia pada beberapa negara sekitarnya dan negara post-Soviet di kawasan Eurasia.
Sergei Lavrov selaku Menteri Luar Negeri Rusia pun seringkali mempublikasikan kritiknya
terhadap berbagai kebijakan NATO bloc (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell H. Schwartz;
dan Catherine Yusupov, 2009: 86). Pada Februari 2007 di Munich Security Conference,
Vladimir Putin bahkan memperkuat kritik Sergei Lavrov terhadap NATO bloc dengan
memperingati Amerika Serikat dan aliansi baratnya untuk tidak menciptakan dunia
internasional berdasarkan pada “one boss, one sovereign” (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell
H. Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 86). Pada konteks yang sama, dalam pidatonya
Vladimir Putin juga menekankan mengenai dunia barat jika “they are constantly trying to
sweep us into a corner” (Maximilian Klotz, 2017: 272). Ekpansi pengaruh NATO inilah
yang kemudian dinamakan Vladimir Putin sebagai NATO Eastward expansion.
39 Unipolar order adalah kondisi distribusi power yang dikuasai oleh satu aktor negara baik dari segi pengaruh politik, ekonomi, maupun social budaya.
78
Sumber : Finance twitter. NATO Eastward Expansion – 1990 vs 2009
Secara jelas telah diklarifikasi bila NATO Eastward expansion disebut sebagai ancaman
bagi agenda politik luar negeri Rusia. Kontinuitas dari NATO Eastward expansion masih
dapat terlihat pada berbagai isu yang mewarnai dunia internasional seperti yang terjadi di
Georgia dan Ukraina. Sejak masa kepemimpinan Vladimir Putin yang pertama, aktivitas
NATO sudah terlihat untuk memperluas ekspansi pengaruhnya pada beberapa negara post-
Soviet. Dilihat dalam perspektif Rusia, kasus rose revolution di Georgia pada tahun 2003
dan orange revolution di Ukraina pada tahun 2004 dapat menjadi cermin dari NATO
Eastward expansion (Ingmar Oldberg, 2010: 8). Perlu diketahui bila rose revolution dan
orange revolution merupakan bagian dari coloured revolution yang terjadi pada sejumlah
negara post-Soviet. Keterbukaan demokrasi barat diyakini sebagai penyebab beserta peluang
bagi NATO untuk menanamkan pengaruhnya pada kedua negara tersebut. Sebagaimana
pada awalnya Georgia dan Ukraina merupakan negara anggota dari Commonwealth of
79
Independence States (CIS) yang dijadikan sebagai instrumen politik perluasan pengaruh
Rusia di kawasan regional Eurasia.
Gelombang coloured revolution yang terjadi pada Georgia dan Ukraina terbukti
memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan agenda perluasan pengaruh Rusia pada
negara-negara post-Soviet. Dengan demikian tak mengherankan bila kasus coloured
revolution dijadikan sebagai sarana justifikasi keterlibatan Rusia untuk melakukan tindakan
koersif kepada dua negara tersebut. Asumsi ini berangkat dari jatuhnya rezim kepemimpinan
Eduard Shevardnadze yang dikenal sebagai pemimpin yang menandatangani perjanjian CIS
digantikan dengan rezim kepemimpinan pro-barat Mikheil Saakashvili pada tahun 2004.
Kenaikan Mikheil Saakashvili merupakan hasil dari rose revolution yang terjadi di Georgia
pada tahun 2003. Mikheil Saakashvili dikenal sebagai seorang politisi yang memimpin
pergerakan rose revolution bersama dengan Amerika Serikat dan aliansinya. Berangkat dari
naiknya kepemimpinan Mikheil Saakashvili di Georgia secara resmi pada tahun 2004,
hubungan Georgia dan NATO telah mendekat. Tentu saja situasi ini telah mempengaruhi
aktivitas politik luar negeri Rusia. Terlebih lagi dengan pengajuan proposal keikutsertaan
Georgia untuk menjadi negara anggota NATO pada tahun 2003.
Dalam merespon kondisi yang terjadi di Georgia, Vladimir Putin kemudian
meluncurkan serangan militer kepada Georgia pada tahun 2008. Perang inilah yang
kemudian dinamakan Russo-Georgia war. Pesan politik yang diberikan Vladimir Putin
sangat jelas yakni proteksi pengaruh Rusia di Georgia dibawah rezim kepemimpinan pro-
barat Mikheil Saakhashvili. Alhasil Rusia berhasil merebut wilayah Abkhazia dan Ossetia
selatan sebagai prestasi dari langkah kebijakan politik luar negeri yang diambil Vladimir
Putin. Namun sayangnya peristiwa Russo-Georgia war gagal dalam menjatuhkan rezim
kepemimpinan pro-barat Mikheil Saakhashvili. Pada momen yang bersamaan juga, Georgia
resmi keluar dari keanggotaan CIS pada tahun 2008. Berangkat pada peristiwa Russo-
Georgia war, kemudian Georgia secara resmi ditetapkan bergabung dalam keanggotaan
NATO melalui Bucharest Summit pada tahun 2008 (NATO, 2018).
Kondisi yang serupa juga terjadi pada Ukraina. Peristiwa orange revolution pada tahun
2004 telah memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan politik domestik
Ukraina. Jatuhnya rezim kepemimpinan Leonid Kuchma yang dikenal memiliki hubungan
80
baik dengan Rusia bersama dalam keanggotaan aliansi CIS, secara eksplisit telah merubah
peta politik kebijakan luar negeri Ukraina. Hal ini disebabkan karena Viktor Yushchenko
sebagai aktor pemicu orange revolution di Ukraina telah menggantikan jabatan Leonid
Kuchma sebagai Presiden Ukraina pada tahun 2005. Tentu saja rezim kepemimpinan pro-
barat Viktor Yanukovich telah membawa dampak signifikan terhadap perkembangan
hubungan diplomatik Ukraina dengan NATO. Hal ini dapat dibuktikan dengan perencanaan
pengajuan diri Ukraina dalam keanggotaan baru NATO yang dicanangkan semasa era
kepemimpinan Viktor Yushchenko pada tahun 2008 (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell H.
Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 87). Namun berselang beberapa tahun kemudian,
era kepemimpinan Viktor Yushchenko tidak berlangsung lama. Pada tahun 2010, Viktor
Yushchenko dikalahkan oleh dalam pemilu Ukraina oleh Viktor Yanukovich. Tentu saja
naiknya rezim kepemimpinan pro-Rusia Viktor Yushchenko dapat menjadi turning point
bagi Rusia dalam mempertahankan pengaruhnya di Ukraina.
Namun sayangnya pada tahun 2014, rezim kepemimpinan pro-Rusia Viktor Yanukovich
mendapatkan kudeta dari kursi kepemimpinan Ukraina setelah menolak Ukraine-European
Union Association Agreement. Patut diketahui bila Viktor Yanukovich lebih memilih untuk
terus memperkuat hubungan diplomatik dalam keanggotaan CIS. Namun kebijakan Viktor
Yanukovich mendapatkan pertentangan atau protes besar dari kelompok pro-Uni Eropa.
Gelombang protes di Ukraina ini terjadi pada tahun 2014 yang kemudian dinamakan
gelombang Euromaiden. Jatuhnya rezim kepemimpinan Viktor Yanukovich digantikan oleh
Petro Poroshenko, inilah yang telah memicu pergerakan aktivitas politik luar negeri Rusia
untuk bertindak koersif pada Ukraina. Pada tahun yang bersamaan juga, Rusia meluncurkan
serangan militer di wilayah Ukraina timur dan berhasil merebut wilayah Krimea dari
Ukraina. Tentu saja isu ini dapat dipandang sebagai cermin dari maneuver politik Rusia
sebagai respon terhadap perluasan pengaruh NATO dan Uni Eropa pada Ukraina. Namun
respon yang diberikan Rusia ini tak cukup berhasil sebab Petro Poroshenko telah membawa
Ukraina untuk bergabung menuju keanggotaan Uni Eropa dan NATO pada tahun 2017.
Selain itu Petro Poroshenko selaku presiden Ukraina juga telah memutuskan untuk secara
formal keluar dari organisasi regional CIS pada tahun 2018.
81
Melalui dua kajian kasus tersebut, kita telah melihat secara jelas implikasi dari politik
revisionisme Rusia yang dicanangkan semasa kepemimpinan Vladimir Putin. Baik Russo-
Georgia war maupun Crimean war, keduanya adalah cermin dari manuver politik Rusia
dalam hal menciptakan proteksi pengaruh Rusia pada kedua negara tersebut. Menariknya
dari sederet aktivitas politik luar negeri Rusia adalah bagian dari agenda yang dibentuk oleh
Vladimir Putin. Dengan demikian menjadi sangat jelas bila maneuver politik Rusia dapat
disebut sebagai manifestasi kebijakan politik luar negeri Vladimir Putin. Kontinuitas
kebijakan manuver politik Rusia tidak cukup berhenti sampai pada titik dua kasus tersebut
saja. Melainkan maneuver politik Rusia kembali terimplikasikan melalui hybrid war pada
negara-negara di wilayah Eropa utara. Pada konteks tiga negara Baltik, setelah momen
pecahnya Uni Soviet, Rusia telah kehilangan pengaruh politiknya pada Estonia, Latvia,
hingga pada Lithuania. Hal ini dapat dibuktikan dengan menolaknya ketiga negara Baltik
untuk bergabung bersama dengan organisasi regional CIS. Sementara pada konteks
Finlandia dan Swedia, kedua negara terlihat telah meninggalkan posisi netralitasnya untuk
lebih memihak pada blok NATO sehingga Rusia merasa NATO masih terus mencoba untuk
memperluas pengaruhnya.
4.3 Kebijakan kerjasama preventif NATO Northeastern Flank dalam
menciptakan kondisi deterrence di wilayah Lautan Baltik
Secara gasis besar NATO Northeastern Flank dapat dijelaskan sebagai bentuk kebijakan
kolektif dari hasil beberapa perundingan Transatlantic dalam hal merespon aktivitas politik
politik luar negeri Rusia di Lautan Baltik. Dalam kebijakan kolektif NATO Northeastern
Flank, agenda ini melibatkan perhatian khusus pada bidang politik keamanan empat negara
Fizgard (Polandia, Hunggaria, Republik Ceko, dan Slovakia), tiga negara Baltik (Estonia,
Latvia, dan Lithuania), dan dua negara Nordik (Finlandia dan Swedia). Dalam hal ini
aktivitas manuver politik Rusia di Lautan Baltik menjadi agen struktural dari teciptanya
bentuk kerjasama ini. Berdasarkan yang sudah dipaparkan sebelumya, telah ditujukan
sebuah data bahwa NATO telah difavoritkan bagi tiga negara Baltik, Finlandia dan Swedia
seiring dengan kemunculan isu konflik militer di Georgia pada tahun 2008 dan konflik
militer di Ukraina pada tahun 2014. Dengan substansi NATO telah menjadi pelopor
82
penciptaan kondisi deterrence bagi tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia dari potensi
ancaman keamanan manuver politik Rusia di Lautan Baltik.
Dalam usaha untuk menciptakan kondisi deterrence, pembentukan agenda kerjasama
pertahanan keamananan ini dirundingtkan dalam Wales Summit 2014. Kemudian melalui
persetujuan kolektif hasil Wales Summit 2014 mengklasifikasikan bahwa ada dua bentuk
ancaman yang perlu dijadikan sebagai perhatian khusus bagi 28 negara anggota NATO
ditambah Finlandia dan Swedia. Dua bentuk ancaman yang dimaksud antara lain ancaman
dari timur yang berasal dari Rusia dan ancaman dari selatan yang berasal dari terorisme.
Dalam hasil perundingan Wales Summmit 2014 dijelaskan bahwa manifestasi ancaman ini
muncul berdasarkan aktivitas politik luar negeri Rusia yang dinilai agresif terhadap Ukraina
beserta meningkatnya instabilitas politik yang muncul dari wilayah Timur Tengah dan
Afrika utara (NATO, 2014).
Berkenaan dengan manifestasi konsepsi ancaman dari timur, konsepsi ini muncul paska
pengambilalihan wilayah Krimea dari Ukraina beserta kontinuitas konflik militer di Ukraina
timur yang dirancang oleh Rusia. Berdasarkan hasi perundingan agenda Wales Summit 2014,
secara tegas seluruh negara ikatan Euro-Atlantic telah mengutuk aktivitas intervensi militer
ilegal Rusia di wilayah Ukraina, besera menuntut Rusia untuk menghentikan aktivitas politik
luar negeri Rusia pada Ukraina yang tidak dapat dilegitimasi oleh hukum internasional
(NATO, 2014). Selain itu seluruh negara anggota ikatan Euro-Atlantic tersebut menyepakati
untuk mendukung pemberian sanksi ekonomi yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap
aktivitas militer ilegal Rusia beserta pembentukan kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina
(NATO, 2014). Mengacu pada persetujuan terhadap pemberian sanksi ekonomi tersebut,
seluruh negara anggota Uni Eropa, Norwegia, Amerika Serikat, beserta Kanada menyetujui
untuk membatasi arus capital market untuk Rusia, termasuk mengurangi ketergantungannya
pada sektor energi (NATO, 2014). Implementasi sanksi ekonomi ini telah menjadi bentuk
nyata NATO bukan saja untuk terus meminimalisir eskalasi militer Rusia di Ukraina,
melainkan juga meminimilasir potensi perluasan manuver politik Rusia pada sejumlah
negara di sekitar wilayah Lautan Baltik.
Dalam perundingan Transatlantic itu juga dibahas mengenai kekhawatiran akan
meluasnya potensi aktivitas manuver politik Rusia. Tiga negara Baltik, Finlandia, dan
83
Swedia adalah sejumlah negara di sekitar wilayah Lautan Baltik yang dimaksud dalam
dokumen hasil perundingan Wales Summit 2014 tersebut. Mengutip dari hasil perundingan
Wales Summit 2014, telah ditekankan jika NATO perlu memiliki strategi efektif untuk
melawan tekanan hybrid warfare dari Rusia (NATO, 2014). Berkaca dari keberhasilan Rusia
dalam pengambilalihan wilayah Krimea, aktivitas Rusia untuk memicu information war
telah menjadi modal awal Rusia dalam mensukseskan agenda politik luar negerinya yang
dinilai ilegal oleh seluruh negara anggota ikatan Euro-Atlantic. Situasi inipun ditakutkan
berpotensi kembali terulang pada tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia dengan masih
berlangsungnya perlombaan di bidang informasi sebagai intrumen dari hybrid warfare.
Secara lebih jelas situasi inipun kemudian diperjelas dalam dokumen hasil perundingan
Warsaw Summit 2016. Pada hasil perundingan Warsaw Summit 2016 telah dijelaskan bahwa
NATO beserta aliansinya mendapatkan tantangan dari evolusi aktivitas manuver politik
Rusia yang sudah mencapai hingga pada sejumlah negara di sekitar wilayah Lautan Baltik
(NATO, 2016). Sirkumtasi ancaman yang dimaksud, tentu saja datang dalam bentuk hybrid
warfare yang sudah dialami beberapa negara tersebut. Dengan demikian diperlukan
beberapa strategi resolusi khusus yang disepakati dalam sidang Transatlantic dalam
membendung kontinuitas bentuk ancaman hybrid warfare.
Tentu saja implementasi prinsip one against all yang dicanangkan dalam artikel 5
Washington treaty juga akan terus dipertahankan dalam upaya menciptakan kondisi
deterrence dan stabilitas politik internasional (NATO, 2016). Maka kebijakan kolektif
NATO dibutuhkan dalam mengupayakan tujuan tersebut. Melanjutkan dari dokumen hasil
perundingan Wales Summit 2014, satu kebijakan kolektif NATO yang ditekankan tersebut
adalah sejumlah ketentuan untuk mengajak seluruh negara anggota NATO dalam
memberikan kontribusi minimal sebesar 2 persen GDP negara di bidang pertahanan; beserta
memberikan kontribusi lebih dari 20 persen dari pengeluraan negara di bidang pertahanan
untuk persenjataan dan perkembangan teknologi (NATO, 2014). Pembahasan kemudian
dilanjutkan pada Warsaw Summit 2016 yang berfungsi untuk memperkuat beserta
melengkapi isi dokumen Wales Summit 2014.
Selain itu pada Warsaw Summit 2016, diatur sebuah resolusi terkhusus pada tiga negara
Baltik, agar kerjasama pertahanan multinasional NATO menunjukan presensinya pada
84
Estonia, Latvia, dan Lithuania dalam menjamin pertahanan beberapa negara tersebut
(NATO, 2016). Sementara bagi dua negara Nordik, ikatan kerjasama multinasional antara
NATO, Finlandia, dan Swedia akan terus ditingkatkan guna menjamin pertahanan kolektif
dari agenda ancaman yang datang dari timur (NATO, 2016). Maka tak mengherankan bila
keberadaan presensi NATO dinilai penting bagi sejumlah negara di kawasan Lautan Baltik
seiring dengan evolusi ancaman hybrid warfare Rusia yang sudah meluas hingga kawasan
tersebut. Dalam hal usaha membendung ancaman hybrid warfare, dibentuklah dua
mekanisme preventif berbeda antara menangani potensi ancaman conventional warfare dan
irregular warfare.
Pada tahap irregular warfare diperkenalkan tiga tahap dalam usaha untuk
menanggulanginya yakni prepare, deter, dan defend (NATO, 2018). Tiga tahap konsep
strategi pencegahan ini sudah diperkenalkan sejak tahun 2015 (NATO, 2018). Namun
seiring dengan perkembangannya konsep ini terus diperbaharui sejalan dengan meluasnya
kerja sama yang dibangun NATO mengenai metode ancaman tesebut. To be prepared,
NATO terus mengumpulkan, membagi, serta memeriksa perkembangan informasi dengan
tujuan untuk mendeteksi segala aktivitas hybrid warfare (NATO, 2018). To deter hybrid
threats, NATO perlu bereaksi dengan segera kapanpun dan dimanapun aksi preventif ini
dibutuhkan dengan meningkatkan kesiapan, memperkuat proses decision-making,
memperjelas strukturalisasi (NATO, 2018). Jika gagal dalam menciptakan kondisi
deterrence, NATO siap berdiri to defend any ally against any threat (NATO, 2018). Jika
dilihat secara seksama, perwujutan artikel 5 Washington treay cukup ditekankan oleh NATO
dalam mencapai tujuan untuk menciptakan kondisi deterrence.
Dalam hal mencapai tujuan tersebut, NATO telah membangun ikatan kerjasama
preventif terkait kemunculan ancaman dalam bentuk hybrid warfare. Beberapa bagian dari
usaha untuk membangun ikatan kerjasama telah dibangun NATO dengan ikut mengundang
sejumlah aktor internasional lainnya yang sedang menghadapi isu yang serupa seperti
Finlandia, Swedia, Ukraina, dan Uni Eropa (NATO, 2018). Dalam agenda ikatan kerjasama
ini lebih difokuskan dalam mencari resolusi kolektif untuk mencegah berbagai macam
cyber attack seperti propaganda, disinformation, dan sebagainya (NATO, 2018). Mengingat
dominasi ancaman yang datang pada sejumlah negara di wilayah Lautan Baltik berasal dari
85
jaringan interkoneksi media informasi. Maka dibangunlah sebuah lembaga khusus untuk
menangani ancaman ini yaitu Centre of Excellence.
Saat ini lembaga Centre of Excellence berpusat di Helsinki, Finlandia (NATO, 2018).
Centre of Excellence dibentuk pada Oktober 2017 berdasarkan kesepakatan yang dibentuk
antara NATO dan Uni Eropa (NATO, 2018). Tentu saja tujuan pembentukan lembaga ini
jelas sebagai upaya pencegahan khususnya terhadap berbagai jenis ancaman dalam bentuk
irregular warfare. Centre of Excellence adalah organisasi militer internasional yang
dibentuk untuk memberikan pelatihan dan mengedukasi para pemimpin dan spesialis dari
seluruh negara anggota NATO dan sekutunya (NATO, 2019). Pembentukan Centre of
Excellence berperan dalam hal perkembangan doktrin, identifikasi pembelajaran,
meningkatkan kapabilitas pertukaran informasi dan validasi sebuah konsep melalui
penggunaan metode eksperimen (NATO, 2019). Melalui penanganan hybrid threat yang
dilakukan lembaga ini diharapkan jika NATO mampu mendistribusikan doktrin dan
pandangannya hingga pada elemen civil society.
Dalam menanggulangi bentuk ancaman ini yang sudah meluas hingga sejumlah negara
di wilayah Lautan Baltik, keberhasilan NATO mendistribusikan doktrin dan pandangan
dalam perdebatan media informasi lokal dapat menjadi strategi yang untuk menghambat laju
manuver politik Rusia. Asumsi ini diperkuat dengan melihat isu konflik militer sebelumnya
di wilayah Krimea pada tahun 2014 yang seolah olah memberikan ruang pada aktivitas
manuver politik Rusia melalui dukungan politik masyarakat domestik Krimea melalui garis
keturunan etnik. Maka strategi preventif khusus pada tahap irregular warfare ini dibentuk
untuk mencegah aktivitas manuver politik Rusia pada ruang yang ditinggalkan tersebut.
Tentu saja upaya preventif tidak dapat dicapai dengan upaya yang cenderung hanya
terbilang normatif, melainkan dibutuhkan sebuah upaya praktis yang dapat menarik simpati
setiap elemen baik pemerintah maupun masyarakat pada setiap negara yang dituju.
Tindakan praktis yang diimplementasikan melalui Centre of Excellence seperti
pelatihan, konferensi, seminar, pembentukan konsep, doktrinasi, pendidikan, dan media
papers dapat dipandang menjadi sebuah resolusi yang dibutuhkan pada konteks ini (NATO,
2019). Saat ini juga didirikan cabang lembaga Centre of Excellence seperti Strategic
Communications Centre of Excellence di Riga, Latvia; Cooperative Cyber Defence Cenre of
86
Excellence di Talinn, Estonia; dan Energy Security Centre of Excellence di Vilnius,
Lithuania (NATO, 2018). Namun sebenarnya berbagai program Centre of Excellence ini tak
cukup dapat dipandang untuk mengukur tingkat keberhasilan dari upaya preventif tersebut.
Melainkan eksekusi dari berbagai program Centre of Excellence akan bergantung dari setiap
negara yang mengelolanya tak terkecuali sejumlah negara di wilayah Lautan Baltik seperti
Estonia, Latvia, Lithuania, Finlandia, Swedia, dan beberapa negara lainnya. Dengan kata
lain tingkat keberhasilan program ini bergantung pada bagaimana proses distribusi
pandangan hingga pada elemen masyarakat sehingga perkembangan bipolaritas pandangan
politik dapat menjadi cermin tolak ukur keberhasilan program tersebut.
Berbagai tindakan preventif irregular warfare melalui program Centre of Excellence
merupakan strategi yang baik dicetuskan oleh NATO. Namun berbagai program preventif
ini belumlah cukup jika tidak dilengkapi dengan sebuah kesiapan akan potensi ancaman
yang dapat berevolusi hingga bentuk conventional warfare. Maka dalam dokumen NATO
Northeastern Flank, strategi khusus dalam membendung potensi ancaman conventional
warfare juga tak luput menjadi sebuah agenda yang dibahas pada beberapa perundingan
Euro-Atlantic. Dalam strategi membendung manuver politik Rusia di wilayah Lautan Baltik,
koordinasi kerjasama pertahanan NATO beserta sekutunya mengeluarkan beberapa program
kebijakan pertahanan terkhusus pada bidang pertahanan angkatan udara. Beberapa
implementasi program kebijakan pertahanan pada setiiap negara pun juga tidaklah sama
bergantung pada kebutuhan yang perlu dicukupi.
Dalam konteks kesepakatan kerjasama pertahanan konvensional yang dibentuk NATO
beserta sekutunya untuk Finlandia dan Swedia. NATO mengajak Finlandia dan Swedia
untuk mengikuti latihan militer gabungan Red Flag dan Green Flag di Amari Air Base
(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.
Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Kedua negara aliansi NATO tersebut juga tak
lupa diundang untuk berpartisipasi pada Baltic and Icelandic Air Policing Missions
(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.
Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Selain itu latihan gabungan bersama Amerika
Serikat di wilayah Nordik berdasarkan implementasi model Arctic Challenge 2015 juga
87
dipertahankan keberlanjutannya (Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan
Frederick; Daniel S. Hamilton, F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6).
Sementara implementasi program kerjasama pertahanan konvensional yang dibentuk
NATO beserta sekutunya untuk tiga negara Baltik pun sedikit memiliki perbedaan dengan
program kebijakan pertahanan yang diimplementasikan pada Finlandia dan Swedia. Dalam
hasil perundingannya, perkembangan kemajuan kapabilitas pertahanan udara berdasarkan
program kebijakan Baltic Air Policing Missions cukup ditekankan (Chrishtopher S. Chivvis;
Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F. Stephen Larabee; dan Bonny
Lin, 2016: 7). Dengan substansi NATO perlu membantu mencukupi aset bserta kontrol
pertahanan udara di wilayah Baltik (Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan
Frederick; Daniel S. Hamilton, F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Selain itu
berbagai bentuk bantuan supply seperti bahan bakar, amunisi, dan sebagainya juga
disepakati pada kondisi operasi krisis khususnya pada beberapa lokasi yang diprioritaskan
seperti wilayah Amari, Lielvarde, dan Siauliai untuk kepentingan future improvement
(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.
Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Penguatan koordinasi pertahanan antara tiga
negara Baltik dan Nordic Defence Cooperation, terutama dengan Finlandia dan Swedia juga
dipererat dalam upaya mencari resolusi terkait isu keamanan yang dihadapi bersama
(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.
Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6).