BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

57
31 BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR PENDORONG MENINGKATNYA NILAI TAWAR NATO BAGI TIGA NEGARA BALTIK, FINLANDIA, DAN SWEDIA 4.1 Perspektif keamanan tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dalam beberapa dekade terakhir Vladimir Putin secara terbuka mengumumkan akan membangun kembali imperialisme pengaruh Rusia melalui kebijakan manuver politik Rusia pada wilayah Eropa utara dan Eropa timur. Lantas ambisi politik imperialisme pengaruh Rusia dibutuhkan sebagai pemenuhan kepentingan politik Rusia dalam merespon perluasan pengaruh dunia barat dan program revitalisasi perekonomian Rusia sejak jatuhnya harga minyak. Tentu saja ambisi kebijakan politik luar negeri Rusia ini, pada akhirnya telah memicu meningkatnya tensi politik di wilayah Eropa utara dan Eropa timur. Dengan kata lain meningkatnya tensi politik pada konteks ini berjalan struktural seiring dengan perkembangan realisasi perluasan pengaruh Rusia pada sejumlah negara Eropa utara. Aktivitas politik luar negeri Rusia telah menjadi faktor utama penciptaan direksi agenda politik luar negeri tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia. Tak dapat dipugkiri pencegahan perluasan imperialisme Rusia menjadi orientasi bagi lima negara Eropa utara tersebut. Setelah dibuktikan dengan Russo-Georgia war pada tahun 2008 dan Crimean war sebagai bentuk implementasi dari agenda manuver politik Rusia. Pada tahun 2016, World Economic Forum mengeluarkan penilaian isu dari tahun 2006 hingga 2016 berdasarkan kategori Global Risk dan Trend (Vijar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 38). Dalam penjelasan World Economic Forum dijelaskan bila isu yang dikaitkan kategori Global Risk adalah kondisi tak diharapkan yang biasanya memunculkan dampak negatif bagi aktor lain dalam sistem internasional, sedangkan trend dapat dilihat sebagai peluang yang dapat menimbulkan dampak positif atau konsekuensi negatif (Vijar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 38). Parameter Global Risk dapat dikelompokan menjadi lima bagian antara lain geopolitical risk, economic risk, societal risk, technological risk, dan

Transcript of BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

Page 1: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

31

BAB IV

POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR

PENDORONG MENINGKATNYA NILAI TAWAR NATO

BAGI TIGA NEGARA BALTIK, FINLANDIA, DAN SWEDIA

4.1 Perspektif keamanan tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia

Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dalam beberapa dekade

terakhir Vladimir Putin secara terbuka mengumumkan akan membangun kembali

imperialisme pengaruh Rusia melalui kebijakan manuver politik Rusia pada wilayah Eropa

utara dan Eropa timur. Lantas ambisi politik imperialisme pengaruh Rusia dibutuhkan

sebagai pemenuhan kepentingan politik Rusia dalam merespon perluasan pengaruh dunia

barat dan program revitalisasi perekonomian Rusia sejak jatuhnya harga minyak. Tentu saja

ambisi kebijakan politik luar negeri Rusia ini, pada akhirnya telah memicu meningkatnya

tensi politik di wilayah Eropa utara dan Eropa timur. Dengan kata lain meningkatnya tensi

politik pada konteks ini berjalan struktural seiring dengan perkembangan realisasi perluasan

pengaruh Rusia pada sejumlah negara Eropa utara. Aktivitas politik luar negeri Rusia telah

menjadi faktor utama penciptaan direksi agenda politik luar negeri tiga negara Baltik,

Finlandia, dan Swedia.

Tak dapat dipugkiri pencegahan perluasan imperialisme Rusia menjadi orientasi bagi

lima negara Eropa utara tersebut. Setelah dibuktikan dengan Russo-Georgia war pada tahun

2008 dan Crimean war sebagai bentuk implementasi dari agenda manuver politik Rusia.

Pada tahun 2016, World Economic Forum mengeluarkan penilaian isu dari tahun 2006

hingga 2016 berdasarkan kategori Global Risk dan Trend (Vijar Veebel dan Illimar Ploom,

2016: 38). Dalam penjelasan World Economic Forum dijelaskan bila isu yang dikaitkan

kategori Global Risk adalah kondisi tak diharapkan yang biasanya memunculkan dampak

negatif bagi aktor lain dalam sistem internasional, sedangkan trend dapat dilihat sebagai

peluang yang dapat menimbulkan dampak positif atau konsekuensi negatif (Vijar Veebel

dan Illimar Ploom, 2016: 38). Parameter Global Risk dapat dikelompokan menjadi lima

bagian antara lain geopolitical risk, economic risk, societal risk, technological risk, dan

Page 2: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

32

environmental risk (Vijar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 38). Dalam konteks ini isu

pembangunan kembali imperialisme pengaruh Rusia dapat dikategorikan sebagai isu global

risk dengan parameter geopolitical risk bagi lima negara Eropa utara.

Dengan demikian secara struktural isu ini telah mendorong keberpihakan tiga negara

Baltik, Finlandia dan Swedia pada pihak barat untuk melawan Rusia. Keberpihakan lima

negara Eropa utara pada pihak barat dapat disebut sebagai konsekuensi atas aktivitas politik

luar negeri Rusia, maupun solusi efektif dalam menciptakan metode deterrence mengingat

keterbatasan kemampuan pertahanan keamanan tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia

jika dibandingkan dengan kekuatan militer Rusia. Pembangunan kerjasama keamanan tiga

negara Baltik, Finlandia, dan Swedia bersama dengan NATO dipercaya dapat menjadi

benteng pertahanan dalam menjaga stabilitas politik keamanan di wilayah Eropa utara.

4.1.1 Estonia

4.1.1.1 Faktor historis hubungan Estonia-Rusia

Esensi kehadiran Rusia telah menjadi bagian yang tidak dapat terlepaskan dalam politik

luar negeri Estonia. Rusia memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan kultural beserta

politik domestik Estonia. Secara historis, Estonia memiliki hubungan diplomatik yang

panjang dengan Rusia. Pada tahun 1710, otoritas Estonia menyerah pada kekuasaan Tzar

dari kerajaan Rusia dengan ratifikasi perjanjian bersyarat Balltic Landestaat yang mengacu

pada sistem legal otonomi khusus pemerintah Estonia dan presensi pengaruh Gereja

Lutheran hingga pada akhirnya keruntuhan kerajaan Rusia pada World War I berujung pada

pembentukan Estonia menjadi negara independen (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski

Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 10). Kemerdekaan Estonia dideklarasikan 24

Februari 1918, diikuti dengan penandatanganan Tartu Peace Treaty pada Februari 1920

dengan menempatkan Rusia sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Estonia

secara De Jure (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata

Supinska, 2016: 10).

Pada Agustus 1939, penandatangan Molotov-Ribbentrop Pact antara NAZI Jerman dan

Uni Soviet menjadi titik balik pengembalian kekuasaan Rusia pada willayah Estonia dengan

okupasi yang meruntuhkan Estonia sebagai negara independen pada tahun 1940 (Mariita

Page 3: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

33

Mattiisen; Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Selama

kurang lebih 50 tahun lamanya, Estonia telah menjadi bagian teritorial integral kekuasaan

Rusia.Pada beberapa periode penjajahan Uni Soviet, masyarakat Estonia mendapatkan

banyak hal yang tidak menguntungkan atas tekanan kepentingan rezim Uni Soviet pada

masa tersebut. Beberapa contoh dari narasi historis yang berkembang bagi Estonia ini

dibuktikan dengan deportasi massal populasi Estonia dari Siberia hingga Estonia kehilangan

20 persen dari populasinya pada masa kepemimpinan Stalin (Mariita Mattiisen; Przemyslaw

Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Kematian Stalin pada 1953 telah

sedikit meredakan ketegangan antara masyarakat Estonia dengan otoritas Rusia, namun

perlu diketahui kematian Stalin yang dilanjutkan dengan kepemimpinan Brezhnev bukanlah

menjadi akhir dari ketegangannya dengan otoritas Uni Soviet (Mariita Mattiisen;

Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Dibuktikan dengan

tekanan Rusifikasi pada tahun 1978-1985 sebagai bagian mengasimilasi komunitas non-

Rusia dengan mengharuskan penggunaan bahasa Rusia dalam kehidupan di publik dan

sekolah (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski Vel Grajewski; dan Agata Supinska,

2016: 11) Perluasan dominasi pengaruh Rusia pada masa kepemimpinan Brezhnev

mendapatkan respon negatif dari komunitas Estonia begitupun juga komunitas non-Rusia

lainnya.

Tentu saja tak mengherankan bila beberapa kebijakan rezim Uni Soviet mengundang

protes massal yang dilakukan oleh 300,000 populasi Estonia yang menuntut revolusi dari

okupasi kekuasaan Uni Soviet pada tahun 1988 (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski

Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11). Keruntuhan Uni Soviet pada akhir Cold War

menjadi momentum yang dimanfaatkan komunitas Estonia begitupun juga dengan

komunitas non-Rusia lainnya. Pada akhirnya organisasi Baltic Way terbentuk pada tahun

1989 secara bersamaan terjadi pada Latvia dan Lithuania untuk mengklaim kebebasannya

dari otoritas Uni Soviet yang berujung pada Estonia mendapatkan kemerdekaannya kembali

sebagai negara independen pada 20 Agustus 1991 (Mariita Mattiisen; Przemyslaw Zurawski

Vel Grajewski; dan Agata Supinska, 2016: 11).

Terbentuknya kembali Estonia sebagai negara independen telah membentuk lembaran

baru bagi hubungan diplomatik Estonia-Rusia. Pada konteks ini, redifinisi hubungan

Page 4: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

34

Estonia-Rusia dapat dilihat dalam dimensi sosial dan dimensi politik secara bersamaan.

Terciptanya kembali Estonia sebagai negara independen memunculkan sebuah makna

sebagai pembentukan identitas baru pasca kedudukan Uni Soviet (Jevgenia Viktorova, 2007:

48). Tentu saja hal ini berhubungan dengan identifikasi blok barat dan blok timur (Jevgenia

Viktorova, 2007: 48). Restorasi kemerdekaan Estonia dapat dipandang oleh para elit politik

Estonia sebagai “identifikasi kembali pada dunia barat” (Jevgenia Viktorova, 2007: 48).

Meningkatnya antagonisme politik Estonia terhadap Rusia, berhubungan erat dengan

konseptualisasi Estonia menjadi bagian dari dunia barat beserta perbatasan dengan dunia

timur (Jevgenia Viktorova, 2007: 48). Dalam penelitian Jevgenia Viktorova (2007: 48) juga

memandang konflik perbatasan yang melibatkan Estonia-Rusia dapat dipadang sebagai

bagian dari konflik identifikasi antara dunia barat dan dunia timur. Dari sudut pandang

Rusia, keberhasilan manuver politiknya dapat menciptakan identifikasi Estonia kembali

pada dunia timur. Tentu saja dalam mewujudkan hal ini, menjadi penting bagi Rusia untuk

terus mempertahankan keberlanjutan tekanan politiknya terhadap Estonia. Sebaliknya

keberhasilan manuver politik Rusia dalam menciptakan pengaruhnya kembali dipadang

sama halnya dengan rekolonisasi Estonia. Dengan kata lain Estonia seolah-olah merasa

dapat kehilangan kembali kemerdekaannya seperti yang terjadi kembali pada beberapa

dekade sebelumnya. Hal inilah yang membuat Estonia merasa terancam akan tekanan ambisi

politik Rusia tersebut.

Diihat dari sudut pandang Estonia berdasarkan faktor historis telah terlihat jelas jika

kehadiran Rusia telah memberikan ketidaknyamanan tersendiri. Respon negatif Estonia

terhadap Rusia mengindikasikan pada status negara yang pernah menguasai wilayahnya

sebagai potential aggressor.26 Hal ini diperkuat setelah munculnya kebijakan manuver

politik Rusia yang berujung pada aneksasi Krimea dari Ukraina pada tahun 2014. Tentu saja

peristiwa ini mengingatkan Estonia pada masa kedudukan Rusia di tanahnya pada beberapa

dekade sebelumnya. Persepsi historis Baltik dengan ambisi penciptaan dominasi pengaruh

Rusia kembali saat ini seolah olah memiliki keterikatan yang kuat. Hal inilah yang membuat

peristiwa aneksasi Krimea pada tahun 2014 menjadi penting bagi Estonia selain melihat

persamaan nasib dengan Ukraina sebagai negara pecahan Uni Soviet. Dengan demikian

26 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya.

Page 5: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

35

berdasarkan persamaan faktor historis yang dialami kedua negara tak mengherankan bila

kebangkitan Rusia dilihat sebagai ancaman bagi Estonia.

4.1.1.2 Opini publik Estonia

Berkenaan dengan hubungan Estonia-Rusia pada era modern ini, satu hal menarik yang

dapat dipetik dari konteks tersebut adalah hubungan diplomatik kedua negara masih dapat

dilihat sebagai keberlanjutan dari sentimen historis yang terjadi pada beberapa dekade

sebelumnya. Sentimen kedua negara masih begitu kental terlihat hingga saat ini. Hal ini

dapat dibuktikan dengan isu kebangkitan imperialisme Rusia masih menempati bagian

prioritas utama dari masyarakat Estonia. Kontinuitas tekanan politik Estonia masih dapat

dirasakan hingga saat ini dengan pembentukan pasukan militer Zapad 17, aktifnya ujicoba

misil Iskander dari Kaliningrad, dan deklarasi hybrid warfare oleh Rusia. Dengan demikian

isu kebangkitan imperialisme Rusia tetap dianggap menjadi perhatian penting bagi

masyarakat Estonia.

Tentu saja kegelisahan masyarakat Estonia terhadap eksistensi posisi Rusia dalam dunia

internasional bukanlah tanpa alasan. Hal berkaitan dengan dorongan politik internal Rusia

yang menciptakan ambisi kebangkitan imperialisme Rusia. Pada pihak lain penjelasan akan

kegelisahan masyarakat Estonia tak cukup dijelaskan hanya dengan aktivitas politik luar

negeri Rusia yang mengundang kegelisahan dari kedaulatan Estonia. Melainkan Estonia

dikenal memiliki jumlah etnik Ruskiy atau penutur bahasa Rusia dengan proporsi 24 persen

dari seluruh masyarakat Estonia (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan

Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 121). Tentu saja

penunjukan data ini secara bersamaan menegaskan bahwa etnik Ruskiy adalah bagian

minoritas terbesar di Estonia. Namun yang sebenarnya menjadi masalah bagi Estonia

bukanlah eksistensi etnik Ruskiy dari segi kuantitas, melainkan pada sebagian besar etnik

Ruskiy yang belum terintegerasi penuh menjadi bagian dalam identitas nasional Estonia.

Disparitas pandangan politik masih begitu kental terlihat antara masyarakat lokal Estonia

dan minoritas etnik Ruskiy. Hal inilah yang menjadi persoalan utama bagi Estonia karena

diparitas pandangan politik yang diyakini etnik Ruskiy menciptakan sebuah tren dari

langsung dari politik internal Estonia dalam mensukseskan kebijakan manuver politik Rusia.

Page 6: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

36

Sumber : Viljar Veebel dan Illimar Ploom. Estonian Perception of Security: Not only about

Russia and the refugees. Journal on Baltic Security

Dengan data yang ditujukan telah jelas bahwa terjadi disparitas pandangan politik yang

mengeksklusifkan etnik minoritas Ruskiy dalam kesatuan identifikasi komunitas Estonia

yang lebih mengacu pada western oriented policy. Bahkan pada penelitian Peter Van

Elsuwege (2004: 30) melihat perbedaan kontras ini telah memberikan persepsi jika etnik

minoritas Ruskiy juga memiliki pandangan negatif terhadap NATO. Tentu saja situasi ini

berlawanan dengan otoritas Estonia maupun mayoritas penduduk lokal Estonia yang

memberikan pandangan negatif terhadap Rusia. Maka tak mengherankan bila jika etnik

minoritas Ruskiy berpandangan jika NATO dan Uni Eropa bukanlah “guardian of their

right” (Peter Van Elsuwege, 2004: 30). Inilah situasi yang memunculkan sebuah tren yang

mendukung kesuksesan agenda Ruskiy Mir (Russian World) yang dideklarasikan Vladimir

Putin untuk menempatkan Rusia sebagai pelindung dari seluruh penutur bahasa Rusia di

dunia. Dengan demikian tren ini perlu dijadikan sebagai perhatian penting bagi Estonia.

Page 7: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

37

Terlebih lagi eksistensi tren ini seiring dengan perkembangan upaya pembangunan kembali

imperialisme Rusia.

Sumber : Viljar Veebel dan Illimar Ploom. Estonian Perception of Security: Not only about

Russia and the refugees. Journal on Baltic Security

Walaupun demikian situasi ini bukan berarti mengindikasikan jika isu kebangkitan

imperialisme Rusia adalah satu satunya isu prioritas yang menjadi ketakutan masyarakat

Estonia. Pada data yang ditujukan memang tepat bila isu kebangkitan imperialisme Rusia

pada wilayah bekas jajahan Uni Soviet masih menduduki tempat prioritas dengan persentase

rata-rata 58 persen selama tiga tahun belakangan terhitung dari tahun 2016 (Viljar Veebel

dan Illimar Ploom, 2016: 45). Namun pada beberapa tahun belakangan ini, isu aktivitas

terorisme dan masuknya imigran Islam ke Eropa telah menggantikan posisi isu kebangkitan

imperialisme Rusia sebagai ancaman utama bagi Estonia. Dengan data yang menunjukan

kenaikan pada isu aktivitas ISIS dan konflik militer di Suriah menjadi 67 persen; masuknya

Page 8: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

38

sejumlah refugee27 ke wilayah Eropa menjadi 63 persen; beserta aktivitas jaringan terorisme

menjadi 62 persen pada tahun 2016 (Viljar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 43). Lantas tak

mengherankan bila perhatian utama otoritas Estonia sedikit bergeser diluar isu kebangkitan

imperialisme Rusia.

Hal ini menarik jika disandingkan dengan isu kebangkitan imperialisme Rusia yang

justru menunjukan penurunan pada tahun 2016. Situasi ini dapat dijelaskan dengan analisa

kehadiran NATO pada Estonia. Tak dapat dipungkiri eksistensi NATO telah memberikan

keamanan bagi Estonia dari tekanan kebangkitan politik imperialisme Rusia. Bantuan

aktivitas militer NATO di wilayah Baltik dan tekanan konstan yang ditujukan pada Rusia

menjadi beberapa hal yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan Estonia (Viljar Veebel

dan Illimar Ploom, 2016: 45). Bagi mayoritas lokal Estonia lebih memandang NATO

sebagai reliable ally28 dan reliable guarantee29 dalam menjaga keamanan Estonia

dibandingkan dengan potensi ancaman (Viljar Veebel dan Illimar Ploom, 2016: 45).

4.1.1.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Estonia

Dukungan penuh diberikan bagi mayoritas penduduk Estonia dengan persentase 79

persen mendukung kerjasama dengan NATO khususnya dalam bidang politik keamanan

(Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F.

Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 124). Dengan angka persentase 94 persen dari

seluruh penutur Estonia mendukung peran Estonia dalam menjalankan misi beserta menjaga

hubungan dengan NATO (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,

Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 124). Membina hubungan

bersama dengan NATO dipercaya menjadi satu penting bagi Estonia sebagai strategi khusus

dalam mencegah tekanan manuver politik Rusia. Pembinaan hubungannya dengan NATO,

berangkat dari sebuah perhitungan matematis jika Estonia tidak akan mampu membendung

kekuatan militer Rusia yang jauh lebih kuat (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen;

Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 117). 27 Refugee adalah kelompok imigran yang pindah ke satu negara lain dengan alasan terpaksa seperti kondisi perang, bencana alam, dan sebagainya. 28 Reliable ally adalah beberapa negara yang berkomitmen dalam membangun kesepemahaman dan kerjasama secara berkesinambungan. 29 Reliable guarantee adalah beberapa negara yang berkomitmen dalam memberikan jaminan pertahanan pada aliansinya secara berkesinambungan.

Page 9: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

39

Situasi ini tidak hanya dirasakan Estonia, namun juga dirasakan oleh dua negara Baltik

lainnya yakni Latvia dan Lithuania yang merasa sangat inferior untuk melawan kekuatan

Rusia. Lantas tak mengherankan bila memperkuat jaringan persahabatan dengan NATO

dijadikan prioritas utama bagi tiga negara Baltik tersebut (Christopher S. Chivvis; Raphael

S. Cohen; Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017:

129). Dengan demikian tak mengherankan bila pertahanan keamanan Estonia sangat

bergantung pada NATO (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,

Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 117).

Dalam menjaga beserta memperkuat hubungannya dengan NATO, Estonia juga terlibat

pada beberapa misi yang dijalankan NATO diluar misi NATO Northeastern Flank.

Kontribusi Estonia dalam keanggotaan NATO terlihat pada operasi NATO yang dilakukan

di Afganistan, Kosovo, dan Irak (Estonia Ministry of Foreign Affairs: 2016). Estonia juga

menjadi satu dari empat negara anggota NATO yang secara konsisten mengikuti perjanjian

aliansi dengan memberikan dana anggaran militer pada NATO mencapai 2 persen GDP

negara pada setiap tahunnya (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,

Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 130). Estonia juga terlibat

ikut berperan dalam mendukung NATO dalam memberikan sanksi terhadap aktivitas Rusia

pada isu di Ukraina timur dan aneksasi Krimea (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen;

Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 130).

Berbagai dukungan yang diberikan Estonia terhadap berbagai misi NATO mengindikasikan

keinginan kuat beserta harapan kontinuitas kerjasamanya dengan NATO.

Tentu saja hal ini tak dapat dilepaskan dari tekanan politik kebangkitan imperialisme

Rusia hingga mampu mendorong tingkat interpedensinya dengan NATO. Esensi

kepentingan memang terlihat kuat diantara kedua belah pihak baik NATO maupun Estonia.

Namun satu hal yang dapat dipetik melalui ketergantungan pertahanan keamanannya dengan

NATO, Estonia dapat disebut sebagai committed partners bagi NATO walaupun dengan

keterbatasan kapabilitasnya (Christopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick,

Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017: 117). Dalam hal ini

keberhasilan diplomasi Estonia mampu membuat NATO merangkul isu ini menjadi salah

satu agenda penting bagi seluruh aliansi negara anggota. Bagi Estonia mempertahankan,

Page 10: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

40

memperkuat, beserta mendemonstasikan kedekatan hubungannya dengan dunia barat

menjadi satu strategi efektif dalam melawan tekanan manuver politik Rusia sebagai wujud

perluasan pengaruhnya pada negara-negara post-Soviet (Christopher S. Chivvis; Raphael S.

Cohen; Bryan Frederick, Daniel S. Hamilton; F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2017:

117).

4.1.2 Latvia

4.1.2.1 Faktor historis hubungan Latvia-Rusia

Kedaulatan dan kemerdekaan Latvia adalah beberapa momen yang tak dapat dilepaskan

dari hubungan historis antara Latvia dan Rusia. Dilihat dari faktor historis, Rusia

memainkan peranan penting dalam pembentukan sejumlah momen tersebut. Latvia dapat

dipandang sebagai proyek historis Rusia dalam bidang geografis. Kembali pada abad

pertengahan, rumpun suku Baltik untuk pertama kalinya merasakan ekspansi Rusia (Arturs

Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10). Pada tahun 1710, kerajaan Rusia Tsar, Peter

I menaklukan bagian north-east Baltik yang saat ini dikenal sebagai Latvia yakni Vidzeme

dan Riga pada saat yang bersamaan (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10).

Dua kota itu menjadi penting karena menjadi kota pelabuhan menuju Lautan Baltik dan jalur

dagang sehingga diberikan julukan oleh Rusia sebagai window to Europe (Arturs Bikovs,

Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10). Dengan demikian Latvia dan Estonia dijadikan

Rusia sebagai wilayah pembangunan otonomi nomor satu dengan perkembangan edukasi

dan kompetisi industri (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 10).Secara kasat

mata tentunya kita dapat melihat jika pada awalnya Latvia memiliki sense of belonging yang

sangat kuat dengan Rusia.

Namun hal ini bukan berarti rasa keterikatan antara Latvia-Rusia dapat bertahan

selamanya. Hal ini dimulai dengan terciptanya sentimen nasional Latvia yang dilandasi

pandangan Marxisme. Pada abad 19 terjadi gelombang protes di Latvia yang dilandasi

semangat Marxisme menyikapi keterbatasan hak bersuara dan kesenjangan kelas sosial

dengan penempatan etnik Latvia sebagai kelas pekerja, sedangkan etnik Rusia dan Jerman

sebagai aristokrat (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Tentu saja gerakan

revolusi 1905 dapat dianggap menjadi salah satu peristiwa bersejarah bagi Latvia. Hal ini

Page 11: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

41

disebabkan karena gerakan revolusi 1905 telah memunculkan ide pembentukan identitas

nasional Latvia sebagai negara independen untuk pertama kalinya baik dari segi teritorial

maupun politik (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Hasilnya pada

akhirnya Latvia diakui dapat menjadi negara independen pada tanggal 18 November 1918

(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11).

Penandatanganan peace treaty antara Latvia dan Soviet Rusia dapat menjadi bukti kuat

dari pengakuan Soviet Rusia terhadap kemerdekaan Latvia atas wilayah teritorialnya.Pada

Agustus 1920, Latvia menandatangani perjanjian peace treaty dengan Soviet Rusia yang

berisi mengenai “pengakuan kemerdekaan Latvia dan melepaskan klaim terhadap wilayah

teritorial Latvia selamanya” (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Namun

sayangnya ini bukanlah akhir dari perjuangan kemerdekaan Latvia. Sebab penandatanganan

perjanjian peace treaty antar kedua negara tak ditepati oleh pihak Soviet Rusia. Sebelum

World War II berakhir, Rusia mampu mengambil alih kembali teritorial Latvia. Tepatnya

pada tahun 1940, pasukan militer Soviet kembali menaklukan Latvia (Arturs Bikovs, Ilvija

Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Dengan demikian Rusia kembali mengkolonisasi Latvia

hingga akhirnya memunculkan berbagai peristiwa yang dipandang negatif bagi masyarakat

Latvia. Pada 14 Juni 1941, terjadi deportasi massal pertama bagi 15.000 populasi Latvia

yang mayoritas sebagai kaum intelektual ke Siberia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris

Spruds, 2016: 11). Pada 25 Maret 1949, terjadi deportasi massal kedua bagi lebih dari

44.000 populasi Latvia yang bermayoritas tinggal di pedesaan dan menjadi potensi pemicu

protes menuju Siberia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11).

Jika dilakukan penjumlahan total dari Stalin menjabat pada tahun 1940 hingga pada

1953, terjadi lebih dari 190.000 populasi Latvia atau sekitar 10 persen dari populasi Latvia

yang mendapatkan tindakan persekusi rezim Soviet Rusia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge,

Andris Spruds, 2016: 11). Berlanjut pada rezim Uni Soviet selanjutnya, kebijakan

Russification30 diberlakukan pada Latvia bersamaan dengan dua negara Baltik lainnya yang

melimitasi penggunaan bahasa Latvia beserta mengharuskan penggunaan bahasa Rusia

(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Peristiwa ini berdampak pada

kondisi demografi Latvia dibuktikan dengan menurunnya persentase etnik Latvia dari tahun

30 Russification adalah kebijakan politik guna menyeragamkan satu kultural pada beberapa budaya lainnya.

Page 12: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

42

1935 dengan angka persentase 75,5 persen hingga menjadi 52 persen pada tahun 1989

(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 11). Dilengkapi dengan angka

pertumbuhan demografi Rusia di Latvia yang terus menunjukan peningkatan dari angka

170.000 menuju 905.000, disaat angka pertumbuhan demografi Latvia menunjukan

penurunan dari 1.470.000 menuju 1.390.000 (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds,

2016: 11). Pada akhirnya Latvia mendapatkan kemerdekaan untuk kedua kalinya dari Rusia

pada era kepemimpinan Mikhail Gorbachev. Dengan kebijakan Mikhail Gorbachev

perestroika and glasnost, Latvia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 4 Mei 1990

(Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds, 2016: 12). Inilah momen yang dapat dikatakan

menjadi titik akhir kolonisasi Rusia pada Latvia. Namun hal ini bukan berarti Latvia mampu

melepaskan ikatan pengaruh Rusia. Ikatan pengaruh Rusia masih berdampak signifikan

terutama dalam bidang sosial demografi.

Maka tak mengherankan bila okupasi yang dilakukan Rusia bukan saja berdampak

dalam bentuk politik teritorial, melainkan juga berdampak pada sosial demografi bagi

Latvia. Dengan demikian beban traumatik para ekspatriat Latvia dalam memandang Rusia

menjadi sangat kental hingga berdampak secara tidak langsung terhadap perkembangan

persepsi Latvia pada Rusia saat ini. Redifinisi arah kebijakan luar negeri Latvia sejak

menyatakan sebagai negara independen telah menjadi satu topik yang menarik untuk

dibahas secara lebih lanjut. Kemerdekaan Latvia memang tidak mengkonotasikan

terputusnya hubungan diplomatik Latvia-Rusia, melainkan mengindikasikan pada reintegrasi

Latvia menuju komunitas demokrasi barat dalam dunia internasional (Nils Muiznieks, 2006:

89). Beban traumatik historis dapat menjadi indikator utama untuk menjelaskan arah

kebijakan politik luar negeri Latvia. Berdasarkan hubungan historis yang negatif bagi

pandangan Latvia, tentu saja hal inilah yang mendorong Latvia untuk memilih integrasi

pengaruh demokrasi barat. Keberpihakan Latvia menunjukan sejumlah pesan politik bagi

Rusia. Namun yang paling utama adalah Latvia menolak desakan kebijakan reintegrasi

pengaruh Rusia melalui kebijakannya Russia near abroad. Semakin Rusia mencoba

melakukan reintegrasi pengaruhnya pada Latvia, semakin pula Latvia berkomitmen pada

pengaruh barat sebagai bentuk proteksi kemerdekaan Latvia sebagai negara independen

(Nils Muiznieks, 2006: 88). Berhubungan dengan kegelisahan Latvia jika statusnya sebagai

Page 13: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

43

negara independen berpotensi dapat direbut kembali oleh Rusia seiring dengan agenda

kebijakan Ruskiy Mir.

4.1.2.2 Opini publik Latvia

Kebangkitan imperialisme pengaruh Rusia pada sejumlah negara post-Soviet melalui

agenda kebijakan Ruskiy Mir, tak hanya menjadi perhatian bagi Estonia yang dikenal

memiliki populasi etnik minoritas Rusia yang cukup tinggi. Begitupun isu ini juga dianggap

sebagai potensi ancaman bagi Latvia yang memiliki situasi yang sama dengan Estonia.

Latvia dikenal memiliki populasi etnik minoritas Ruskiy dengan persentase sebesar 26,2

persen dari seluruh jumlah populasi Latvia (Arturs Bikovs, Ilvija Bruge, Andris Spruds,

2016: 32). Dengan demikian dilihat dari segi demografi, etnik minoritas Ruskiy dapat

dikatakan sebagai etnik minoritas terbesar yang berada di Latvia.Sama halnya dengan

Estonia, sebenarnya yang membuat angka persentase demografi menjadi penting di Latvia

adalah perbedaan pandangan politik yang melibatkan etnik mayoritas Latvia dengan etnik

minoritas Ruskiy. Maka secara jelas yang menjadi permasalahan dari konteks ini bukan

terletak pada segi pembagian persentase kuantitas antaretnik di Latvia. Melihat perbedaan

dua divisi pandangan politik tersebut, tentu saja hal ini menjadi kegelisahan tersendiri bagi

Latvia karena situasi ini dapat menjadi tren kontinuitas dari perluasan integrasi pengaruh

Rusia bersama dengan CIS melalui agenda kebijakan Ruskiy Mir. Hal ini diperkuat seiring

dengan isu aneksasi Krimea pada tahun 2014 hingga pada akhirnya memunculkan sebuah

kegelisahan bagi Latvia.

Perbedaan persepsi etnik Ruskiy dengan mayoritas etnik Latvia dianggap menjadi

ancaman berkaca dari perkembangan tren dukungan terhadap agenda kebijakan Ruskiy Mir

tersebut. Dari data badan survey opini publik FACTUM pada tahun 2015, 48 persen dari

seluruh masyarakat Latvia masih percaya jika Rusia sebagai ancaman sedangkan 43 persen

dari populasi Latvia tidak menyetujuinya, dengan pembagian persentase 64 persen populasi

Latvia dan 23 persen penutur bahasa Rusia mendukung persepsi tersebut (Toms Rostoks dan

Nora Vanaga, 2016: 90-91). Dari angka pembagian persentase tersebut, telah terlihat jelas

jika etnik Latvia lebih melihat Rusia sebagai ancaman dibandingkan dengan keseluruhan

jumlah penutur bahasa Rusia di Latvia. Perkembangan tren persepsi ini berkembang

popularitasnya hingga mencapai angka persentase 64 persen bagi etnik Latvia seiring

Page 14: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

44

dengan Russia-Georgia War pada tahun 2008 dan konflik militer di Ukraina timur dimulai

pada tahun 2014 (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 91). Tentu saja dua isu ini menjadi

penting karena memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan persepsi antar etnik

di Latvia.

Sumber : Toms Rostoks dan Nora Vanaga. Security and Defence Post-2014. Journal on Baltic

Security

Berkaca dari survey opini publik yang diambil pada isu konflik militer di Krimea dan

Ukrain timur, dapat terlihat secara jelas jika isu ini terlihat lebih populer bagi etnik Latvia

dibandingkan dengan etnik Ruskiy. Disaat yang bersamaan juga terjadi perbedaan divisi

antar kedua pihak dalam memandang isu tersebut. Dilihat dari data survey opini publik

tersebut, mayoritas dari pandangan etnik Latvia mengkondemsasi krisis Ukraina timur yang

dilakukan oleh Rusia dengan angka persentase sebesar 40 persen pada tahun 2015

berbanding dengan hanya 3 persen etnik Rusia yang menyetujui hal tersebut. Sedangkan

etnik minoritas Ruskiy lebih memiliki idealisme yang condong pada mempertahankan

hubungan baik dengan Rusia dengan angka persentase sebesar 55 persen. Selain itu berharap

otoritas Latvia melakukan manuver posisi antara negara-negara barat dan kepentingan

Page 15: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

45

Latvia untuk mempertahankan hubungan baik dengan Rusia juga lebih difavoritkan sebagian

besar oleh etnik Ruskiy dengan perolehan angka persentase sebesar 34 persen dibandingkan

dengan etnik Latvia dengan angka persentase sebesar 21 persen.

Sumber : Toms Rostoks dan Nora Vanaga. Security and Defence Post-2014. Journal on Baltic

Security

Melalui data diatas terlihat jelas jika ada perbedaan divisi antara etnik Latvia dan etnik

Ruskiy. Baik etnik Latvia maupun etnik Ruskiy masing-masing memiliki idealismenya dalam

melihat politik luar negeri Latvia. Terlihat secara jelas jika mayotitas etnik Latvia memiliki

pandangan ideal jika politik luar negeri Latvia berbasis pada Western oriented. Sementara

bagi etnik Ruskiy lebih condong memiliki pandangan ideal jika politik luar neger Latvia

berbasis pada Eastern oriented. Oleh karena itu perbedaan dua divisi antar etnik ini

dikahawatirkan Latvia sebagai sebuah tren momentum yang mendukung politik perluasan

pengaruh Rusia. Namun demikian perolehan data ini belum cukup untuk mendefinisikan

Page 16: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

46

arah kebijakan politik luar negeri Latvia karena pandangan opini publik Latvia akan sangat

bergantung pada konteks yang dibawanya.

Sumber : Toms Rostoks dan Nora Vanaga. Security and Defence Post-2014. Journal on Baltic

Security

Pada konteks ekonomi kedua etnik menyepakati untuk terus menjaga hubungan baik

dengan Rusia. Sebanyak 80 persen opini publik populasi Latvia menyetujui jika kerjasama

ekonomi dengan Rusia masih sangat penting bagi perkembangan ekonomi Latvia (Toms

Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 95). Dengan angka persentase 69 persen etnik Latvia, 85

persen penutur bahasa Rusia, dan 80 persen pengguna dialek Latgalian menyetujui

hubungan baik Latvia-Rusia berkenaan pada konteks ekonomi (Toms Rostoks dan Nora

Vanaga, 2016: 95-96). Namun disisi lain situasi akan berbeda bagi persepsi etnik Latvia dan

penutur bahasa Rusia jika berkenaan pada konteks politik perluasan pengaruh Rusia. Dari

data diatas telah terlihat jelas jika perbedaan pandangan politik menjadi pemisah antara etnik

Latvia dan penutur bahasa Rusia. Dari sudut pandang etnik Latvia, kontinuitas dari agenda

Page 17: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

47

Ruskiy Mir ditentang oleh sebagian besar etnik Latvia dengan angka persentase sebesar 83

persen. Berbeda halnya bagi penutur bahasa Rusia yang masih memberikan dukungan pada

agenda Ruskiy Mir dengan angka persentase sebesar 42 persen

4.1.2.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Latvia

Pada beberapa dekade terkahir ini, Latvia mengidentifikasin posisi negaranya dalam

situasi vulnerable. Hal ini dapat terjadi seiring dengan kebijakan luar negeri Vladimir Putin

yang mencoba kembali membangun pengaruh Rusia pada sejumlah negara post-Soviet.

Dengan keberhasilan Rusia dalam aneksasi Krimea dan memicu konflik militer di Ukraina

timur. Latvia memiliki alasan kuat untuk merasa terancam sebab Latvia memiliki kondisi

yang serupa dengan Ukraina. Sebagaimana terbagi divisi pandangan politik antar etnik pada

kondisi Latvia di bidang sosial demografi. Tentu saja situasi ini menjadikan tren momentum

dari dalam politik internal Latvia bagi kontinuitas agenda kebijakan Ruskiy Mir. Maka tak

mengherankan bila kehadiran NATO diharapkan bagi Latvia untuk mencegah ancaman

tersebut. Bahkan Latvia menjadikan keterikatan hubungan kerjasama kolektifnya bersama

dengan NATO sebagai basis National Security Concept (European Values, 2016). Dalam

arti Latvia menjadikan NATO sebagai prioritas agenda kebijakan pertahanannya seiring

dengan meningkatnya tensi politik Latvia-Rusia.

Dalam meningkatkan hubungan dengan NATO, Latvia dapat terbilang sebagai salah

satu negara anggota NATO yang berkomitmen penuh pada setiap misi yang dijalankan

aliansi keamanan tersebut. Latvia memang sudah menjadi anggota NATO pada tahun 1994.

Namun bergabungnya Latvia kedalam aliansi keanggotaan NATO belumlah cukup untuk

mengangkat isu keamanan Latvia dibawah tekanan manuver politik Rusia untuk dijadikan

agenda prioritas NATO. Maka dalam menanggapi hal tersebut, partisipasi Latvia dalam

operasi internasional bersama NATO dijadikan sebagai pilar utama strategi pertahanan

Latvia (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 79). Partisipasi Latvia dalam misi operasi

internasional NATO di Balkan, Iraq, dan Afghanistan menjadi penting dalam meluruskan

kepentingan Latvia pada NATO (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 79). Tentu saja

strategi ini berdampak signifikan baik secara positif maupun negatif. Dilihat dari sudut

pandang positif, strategi ini terbilang efektif dalam meningkatkan nilai tawar Latvia dalam

aliansi keanggotaan NATO. Alhasil ancaman manuver politik Rusia diangkat menjadi satu

Page 18: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

48

agenda prioritas keamanan kolektif NATO. Di lain pihak strategi ini dapat menjadi

kelemahan bagi pertahanan domestik Latvia. Hal ini disebabkan karena partisipasi Latvia

dalam misi operasi internasional NATO telah menghasilkan degredasi pertahan teritorial

Latvia disaat yang bersamaan (Toms Rostoks dan Nora Vanaga, 2016: 80). Aktifnya

keikutsertaan Latvia dalam misi operasi internasional NATO menghasilkan perkembangan

kapabilitas self-defence Latvia menjadi sangat minim (Toms Rostoks dan Nora Vanaga,

2016: 80).

Menariknya komitmen penuh terhadap misi operasi internasional NATO tetap

dipertahankan Latvia sebagai bagian dari pilar utama strategi pertahanan Latvia. Sejak

dikeluarkannya The State Defence Concept 2012, Latvia secara terbuka menyatakan bahwa

keberlanjutan perkembangan beserta modernisasi kapabilitas pertahanan nasional Latvia

dapat dicapai dengan kontribusi Latvia baik bilateral maupun multilateral melalui hubungan

diplomatiknya bersama NATO untuk meminimalisir resiko ancaman eksternal nasional

Latvia (European Values, 2016). Situasi ini berawal dari sebuah kesadaran jika masalah

keterbatasan kapabilitas Latvia di bidang pertahanan tak akan mampu membendung

kapabilitas militer Rusia. Kondisi inilah yang menjadi alasan kuat Latvia tetap

membutuhkan NATO sebagai bagian dari strategi pertahanan Latvia untuk menciptakan

kondisi deterrence dari manuver politik Rusia. Dibawah tekanan manuver politik Rusia yang

dikerahkan melalui hybrid warfare, masih banyak kelemahan yang ditinggalkan Latvia

bahkan untuk memproteksi keamanan negara sendiri. Melalui publikasi The State Defence

Concept 2016, selain masalah keterbatasan kapabilitas, Latvia mengidentifikasi segala

bentuk yang perlu dikhawatirkan dari kontinuitas hybrid warfare Rusia jika berada dalam

kondisi minimnya presensi militer NATO di wilayah Baltik; lemahnya kerjasama dan

kordinasi antara sektor pertahanan dan interior; dan potensi dukungan politik dari presensi

besarnya jumlah penutur bahasa Rusia pada wilayah kedaulatan Latvia (Toms Rostoks dan

Nora Vanaga, 2016: 81). Melalui publikasi The State Defence Concept 2016 telah jelas

bahwa menjaga beserta meningkatkan hubungan diplomatik Latvia bersama dengan NATO

dapat menjadi solusi efektif dalam membendung ancaman eksternal aktivitas manuver

politik Rusia.

Page 19: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

49

4.1.3 Lithuania

4.1.3.1 Faktor historis hubungan Lithuania-Rusia

Eksistensi pengaruh Rusia di wilayah Baltik meruoakan sebuah fakta yang tidak dapat

terbantahkan keberadaanya. Lithuania adalah satu negara Baltik yang termasuk kedalam

kategori tersebut. Bersama dengan Estonia dan Latvia, sejarah yang serupa juga

mencerminkan politik domestik Lithuania dibawah pengaruh Rusia. Pengaruh Rusia dapat

disebut sebagai sebuah warisan historis Lithuania.. Dalam melihat hubungan diplomatik

Lithuania-Rusia saat ini, sejarah hubungan kedua negara menjadi penting untuk dipaparkan

karena memiliki relevansi kuat terhadap pembentukan persepsi politik Lithuania hingga

berdampak pada kebijakan politik luar negeri Lithuania. Dalam hal ini telah terlihat jelas

bahwa hubungan historis kedua negara telah menjadi implikasi yang menciptakan perspektf

Lithuania dalam melihat hubungan internasional.

Lantas untuk mengetahui seberapa jauh hubungan historis kedua negara mempengaruhi

kondisi peran kedua negara dalam lingkup sistem internasional. Akan menjadi bijaksana bila

kita mengetahui terlebih dahulu hubungan diplomatik kedua negara dari sudut pandang

historis. Secara lebih mudah, sejarah hubungan diplomatik kedua negara dapat dirangkum

dalam dua momen penting yakni persetujuan Act of Independence of Lithuania pada tahun

1918 dan persetujuan Act of Re-Establishment of the state of Lithuania pada tahun 1944.

Masing-masing dari penandatangan persetujuan tersebut memiliki peranan signifikan

terhadap eksistensi Lithuania sebagai negara independen hingga mampu membentuk

persepsi politik luar negeri Lithuania.

Sebelumnya Lithuania pernah diakui sebagai negara independen dengan

penandatanganan Act of Independence of Lithuania pada tahun 1918 sejak berakhirnya era

Polish-Lithuanian Commonwealth dimulai dari tahun 1795 (Linas Kojala dan Wojciech

Jakobik, 2016: 11). Setelah tahun 1918, Rusia bukanlah negara yang ditakuti oleh Lithuania,

melainkan Polandia melalui asumsi buruknya hubungan kedua negara disaat Lithuania

melepaskan status Commonwealth untuk menjadi negara independen (Linas Kojala dan

Wojciech Jakobik, 2016: 11). Pada momen itu Polandia adalah negara yang dianggap

sebagai ancaman oleh Lithuania. Sementara Jerman dan Soviet Rusia dapat dikatakan

Page 20: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

50

sebagai commited partner untuk melawan desakan Polandia. Bahkan melalui perjanjian

bilateral antara Soviet Rusia dan Lithuania pada tahun 1920, pihak Soviet Rusia telah

mengakui status Lithuania sebagai negara independen (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik,

2016: 12).

Dalam hal ini pihak Soviet Rusia juga ikut terlibat dalam memberikan support di bidang

militer kepada Lithuania untuk melawan Polandia (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik,

2016: 13). Melalui perjanjian Molotov-Ribbentrop yang dibentuk pada tahun 1939, militer

NAZI Jerman dan Soviet Rusia bebas masuk wilayah Lithuania dengan alasan bantuan

militer untuk melawan Polandia (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13). Dengan

pembaharuan perjanjian Molotov-Ribbentrop pada tahun 1940 oleh NAZI Jerman dan

Soviet Rusia, Lithuania dianggap sebagai bagian dari wilayah Soviet Rusia dan Kremlin

telah mendapatkan hak ultimatum untuk menempatkan militer Soviet Rusia di wilayah

Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech jakobik, 2016: 13). Tentu saja secara tak disadari,

eksistensi dari perjanjian Molotov-Ribbentrop telah sedikit menggeruskan hak kedaulatan

wilayah Lithuaia secara perlahan. Oleh karena itu secara perlahan Lithuania kembali

menentang dominasi Soviet Rusia di wilayahnya.

Dimulai pada tahun 1944 hingga pada tahun 1953, lebih dari dua puluh ribu pasukan

guerillas Lithuania melakukan gerakan resistensi (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik,

2016: 13). Tentu saja beberapa gerakan resistensi itu memberikan pengaruh terhadap

pemutusan hubungan kerjasama untuk menentang kekuasaan Uni Soviet pada masa cold war

atas hak kemerdekaan Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13). Terlebih

lagi kebijakan Russification31 dan deportasi massal populasi Lithuania yang sebagian besar

adalah para intelektual, politisi, guru, dan burjois telah memicu semangat resistensi

Lithuania untuk melawan kekuasaan Uni Soviet di wilayahnya sendiri (Linas Kojala dan

Wojciech Jakobik, 2016: 13). Perlawanan Lithuania ini dilakukan baik secara resistensi

militer maupun penarikan simpati dukungan internasional. Dalam hal ini para diplomat

Lithuania memiliki peran penting dalam menarik simpati negara-negara barat seperti

Amerika Serikat, Kanada, Brazil, Kolombia, Uruguay, Britania Raya, Perancis, Swiss, dan

31 Russification adalah kebijakan politik guna menyeragamkan satu kultural pada beberapa budaya lainnya.

Page 21: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

51

Vatikan untuk tidak mengakui okupasi wilayah yang dilakukan oleh Uni Soviet (Linas

Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13).

Berkenaan dengan pembangunan ide restorasi kemerdekaan Lithuania, gerakan

resistensi Katolik Lithuania dalam melawan Atheist Soviet policies memiliki andil penting

hingga mampu merestorasi semangat kemerdekaan Lithuania dari kekuasaan Uni Soviet

(Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13). Gerakan resistensi Katolik Lithuania ini

kemuadian dinamakan Chronicle of the Catholic Church in Lithuania dari tahun 1972

hingga pada tahun 1990 yang mempublikasikan perlawanan persekusi Katolik Lithuania

terhadap rezim totalitarian Uni Soviet (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 13).

Hingga pada akhirnya pada tanggal 11 Maret 1990, Lithuanian supreme Soviet telah

mendeklarasikan kemerdekaan Lithuania sebagai negara independen (Linas Kojala dan

Wojciech Jakobik, 2016: 13). Namun ini bukanlah akhir dari cerita sebab Uni Soviet tetap

berusaha untuk memblokade hal tersebut. Secara resmi Uni Soviet mengakui kemerdekaan

Lithuania sebagai negara independen pada tanggal 6 September 1991 (Linas Kojala dan

Wojciech Jakobik, 2016: 13).

Berdasarkan fakta sejarah yang dipaparkan tersebut, telah jelas jika secara historis

Lithuania tidak memiliki hubungan diplomatik yang tidak baik dengan Rusia. Demikian pula

kondisi initelah mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Lithuania. Sejak Lithuania

mendapatkan kemerdekaannya sebagai negara independen pada tahun 1991, terjadi redifinisi

arah kebijakan politik luar negeri Lithuania. Dilihat dari sudut pandang historis, okupasi

perlahan Rusia melalui perjanjian Molotov-Ribbentrop telah menjadi dasar bagi Lithuania

untuk memulai hubungannnya dengan negara-negara barat. Secara eksplisit pembangunan

hubungan Lithuania dengan negara-negara barat sudah berjalan secara struktural sejak awal

kemerdekaan Lithuania menjadi negara independen. Tentu saja fakta ini telah terbukti

berdasarkan penolakan Lithuania terhadap organisasi internasional Commonwealth

Independence States yang dibangun sebagai sarana proteksi pengaruh Rusia. Jika dilihat dari

sudut pandang politik keamanan, aktivitas politik luar negeri Rusia telah dianggap sebagai

ancaman bagi Lithuania hingga saat ini. Kemunculan konsepsi Russia near abroad telah

mendorong Lithuania untuk membangun hubungan diplomatik bersama negara-negara barat.

Bahkan pada beberapa dekade terakhir ini, implementasi manuver politik Rusia pada kasus

Page 22: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

52

Russo-Georgia war di tahun 2008 dan Crimean war di tahun 2014 telah memperkuat

pembangunan persepsi negatif Lithuania terhadap aktivitas politik luar negeri Rusia. Oleh

karena itu pembangunan hubungan diplomatik antara Lithuania dan negara-negara barat

berjalan struktural berdasarkan pada pengaruh kebijakan politik luar negeri Rusia.

4.1.3.2 Opini publik Lithuania

Tak memiliki perbedaan siginifikan dengan dua negara Baltik lainnya, Lithuania juga

merasa terancam dibawah tekanan politik perluasan pengaruh Rusia pada negara post-Soviet.

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya pembangunan persepsi ini sudah dimulai sejak

kemerdekaan Lithuania menjadi negara independen. Dengan demikian telah dapat disepakati

satu hal yakni perluasan pengaruh Rusia pada sejumlah negara post-Soviet tak memiliki nilai

tawar bagi Lithuania. Bahkan terlihat dari arah kebijakan politik luar negeri Lithuania yang

semakin mendekatkan diri dengan negara-negara barat, Lithuania telah mengekspresikan

ketidaknyamanannya pada aktivitas politik luar negeri Rusia. Tentu saja hal ini berangkat

dari sebuah persepsi jika Rusia adalah ancaman bagi posisi Lithuania dalam sistem

internasional. Serangkaian aktivitas manuver politik Rusia di Georgia pada tahun 2008 dan

Ukraina pada tahun 2014 telah menjadi concern tersendiri bagi Lithuania. Maka tak

mengherankan bila aktivitas manuver politik Rusia tersebut, telah membentuk perspesi

negatif Lithuania terhadap Rusia.

Lantas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan hingga menjadi ketakutan tersendiri

bagi Lithuania. Ketakutan Lithuania mengacu pada eksistensi populasi etnik Ruskiy sebesar

5 persen dari seluruh total populasi Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016 .

Walaupun tidak memiliki proporsi etnik Ruskiy dalam jumlah besar seperti Estonia dan

Latvia, namun Lithuania turut khawatir akan dukungan politik yang diberikan etnik Ruskiy

terhadap kontinuitas manuver politik Rusia. Terlebih lagi agenda Ruskiy Mir semakin giat

dipublikasikan oleh Vladimir Putin selaku presiden Rusia. Dengan asumsi pelaksanaan

agenda Ruskir Mir untuk memberikan proteksi pada setiap penutur bahasa Rusia, seringkali

asumsi ini dipublikasikan sebagai justifikasi kontinuitas manuver politik Rusia. Setelah

melihat pelaksanaan agenda Ruskiy Mir di wilayah Krimea pada tahun 2014, Lithuania

memiliki alasan kuat untuk merasa terancam sebab demografi Lithuania juga menunjukan

proporsi etnik Ruskiy dalam jumlah signifikan. Dengan kondisi jika etnik Ruskiy di

Page 23: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

53

Lithuania, dapat menjadi pendukung utama dalam hal pandangan politik bagi keberlanjutan

agenda Ruskiy Mir atau the Russian World pada wilayah Lithuania.

Tentu saja tak mengeherankan bila kondisi ini dijadikan sebagai kekhawatiran tersendiri

bagi Lithuania. Perbedaan pandangan politik cukup terlihat jelas dengan perbedaan proporsi

mencolok berdasarkan pada latar belakang individu tersebut. Sebesar 72 persen diambil dari

perspektif populasi etnik Lithuania pada tahun 2016 melihat Rusia sebagai negara unfriendly

neighbour (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 17). Sedangkan bagi penutur bahasa

Rusia di Lithuania diambil dari data pada tahun 2016 sebanyak 66 persen melihat Rusia

sebagai friendly neighbor (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik: 2016: 18). Melihat

pembagian divisi pandangan politik tersebut, lantas tak mengherankan bila kondisi ini

berimbas pada bagaimana perspektif populasi Lithuania dalam merespon berbagai isu

internasional. Diambil dari data keseluruhan opini publik Lithuania sebanyak 55 persen

masyarakat Lithuania percaya bahwa keberlangsungan konflik di Ukraina timur adalah

kesalahan Rusia (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 17). Sedangkan sebanyak 18

persen masyarakat Lithuania mendukung kelompok separatis pro-Rusia pada

keberlangsungan konflik di Ukraina timur (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 17).

Sumber : Linas Kojala dan Wojciech Jakobik. Russia’s influence and presence in Lithuania.

European Reform

Page 24: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

54

Berdasarkan survey diatas telah jelas terlihat bahwa dari jumlah keseluruhan populasi

Lithuania melihat Rusia sebagai non-friendly neighbor dengan persentase sebesar 70 persen.

Tentu saja hal ini tak dapat dilepaskan dari konfrontasi manuver politik Rusia di Georgia

pada tahun 2008 dan Ukraina pada tahun 2014. Menariknya data tersebut juga menunjukan

jika persepsi opini publik populasi Lithuania terhadap Polandia menunjukan hasil sebaliknya

dari hubungan historis yang pernah mewarnai kedua negara. Dengan data yang menunjukan

bahwa 70 persen dari seluruh populasi Lithuania melihat Polandia sebagai friendly neighbor.

Kemungkinan kuat dari terjalinnya hubungan diplomatik Lithuania-Polandia dapat dilihat

berdasarkan sebuah isu yang sedang dihadapi bersama. Dalam hal ini posisi Rusia dalam

dunia internasional dapat dijelaskan sebagai musuh yang dihadapi bersama bagi Lithuania

dan Polandia. Sementara posisi Amerika Serikat dalam dunia internasional memiliki nilai

tawar yang tinggi bagi mayoritas populasi Lithuania. Dari data yang ditampilkan 85 persen

dari keseluruhan populasi Lithuania melihat Amerika Serikat sebagai friendly neighbor.

Tentu saja asas kepentingan Lithuania sangat terlihat jelas melalui konteks ini dilihat dari

sudut pandang sistem internasional yang memaksa kebijakan politik luar negeri berjalan

secara struktural. Hubungan historis Lithuania-Rusia, Russo-Georgia war pada tahun 2008,

hingga pada aneksasi Krimea dari Ukraina pada tahun 2014 telah mendefinisikan posisi

Rusia sebagai ancaman bagi Lithuania. Akhirnya serangkaian isu tersebut telah mampu

mendorong relasi persahabatan antara Lithuania dan Amerika Serikat yang secara bersamaan

mempromosikan prinsip pertahanan kolektif untuk mencegah manuver politik Rusia.

Page 25: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

55

Sumber : Linas Kojala dan Wojciech Jakobik. Russia’s influence and presence in Lithuania.

European Reform

Melalui data yang ditampilkan pada tahun 2016, telah dapat diketahui jika Vladimir

Putin adalah politisi yang tidak difavoritkan bagi mayoritas populasi Lithuania. Dengan

jumlah persentase sebesar 62 persen dari total populasi Lithuania menilai buruk kebijakan

Vladimir Putin terhadap politik luar negeri Rusia. Dengan perolehan data persepsi populasi

Lithuania tersebut, kita telah dapat mengklarifikasi posisi Rusia dalam dunia internasional

sebagai ancaman. Maka tak mengherankan bila aktivitas politik luar negeri Rusia dipandang

negatif bagi mayoritas persepsi masyarakat Lithuania. Tentu saja situasi ini berbanding

terbalik dengan pihak oposisi Rusia. Melalui perolehan data persepsi populasi Lithuania,

telah diketahui jika Barack Obama selaku presiden Amerika Serikat dan Dalia Grybauskaite

selaku presiden Lithuania lebih difavoritkan dibandingkan dengan Vladimir Putin. Lebih

dari 60 persen persepsi masyarakat Lithuania mendukung setiap kebijakan politik luar negeri

yang dicetuskan oleh Barack Obama dan Dalia Grybauskaite.

Dari pengumpulan data yang dipaparkan diatas telah terlihat jelas jika Lithuania

memiliki idealisme politik luar negeri yang Western oriented. Sejak kemerdekaan Lithuania

menjadi negara independen, sejumlah elit politik Lithuania berperan penting dalam

mempromosikan western integration (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 16).

Beserta menolak berbagai bentuk integrasi Rusia melalui Commonwealth of Independence

States (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 16). Tentu saja berbagai hal tersebut telah

menimbulkan beragam makna politik. Namun satu hal yang dapat disepakati dalam

mempengaruhi persepsi Lithuania adalah Lithuania merasa kecewa dan terancam terhadap

berbagai bentuk aktivitas politik perluasan integrasi pengaruh Rusia, hingga akhirnya

mendorong Lithuania untuk lebih memihak pada western integration.

4.1.3.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Lithuania

Manuver politik Rusia telah mendorong Lithuania untuk membuka pintu terhadap

western integration. Pada konteks ini telah dijelaskan bahwa posisi Rusia dalam dunia

internasional diklasifikasikan menjadi potential aggressor32 bagi Lithuania. Terlihat

32 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya.

Page 26: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

56

berdasarkan dualitas opini publik yang terbangun dalam masyarakat Lithuania, Rusia sudah

memiliki momentum untuk melaksanakan agenda Ruskiy Mir atau Russian World. Setelah

isu konflik yang terjadi di Krimea pada tahun 2014, 87 persen dari seluruh populasi

Lithuania menyatakan ketakutannya akan kemungkinan Rusia untuk melakukan okupasi

pada Lithuania (Linas Kojala dan Wojciech Jakobik, 2016: 9). Konsepsi potential

aggressor33 yang ditujukan pada Rusia telah mendesak Lithuania untuk membuka jalur

diplomatiknya bersama dengan NATO.

Dengan keterbatasan kapabilitas pertahanan keamanan yang dimiliki Lithuania, tentu

saja NATO memiliki nilai tawar yang tinggi untuk menjamin pertahanan keamanan

Lithuania. Nilai tawar NATO bagi Lithuania meningkat seiring dengan kemunculan tekanan

manuver politik Rusia yang berambisi untuk memperluas pengaruhnya. Dari publikasi yang

dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Lithuania mencetuskan jika NATO adalah

bagian terpenting dan kerangka efektif bagi pertahanan kolektif yang mampu menjamin

keamanan nasional beserta deterrence efektif melawan potential aggresors (Ministry of

Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Bahkan dalam publikasi dokumen yang

sama dari Kementerian Luar Negeri Lithuania melihat Lithuania akan meningkatkan

kebijakan pertahanan sebagai bagian dari kebijakan pertahanan NATO (Ministry of Foreign

Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Melalui pernyataan yang dicetuskan oleh

Kementerian Luar Negeri Lithuania tersebut telah jelas jika Lithuania menempatkan NATO

sebagai penjamin pertahanan keamanannya. Secara lebih lanjut keterikatan Lithuania

terhadap NATO dianggap menjadi penting bagi pertahanan keamanan Lithuania sebab

keterbatasan kapabilitas nasional, material, hingga pada industri militer Lithuania (Ministry

of Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Tentu saja kondisi ini menimbulkan

sebuah permasalahan bagi Lithuania disaat harus membendung laju manuver politik Rusia

disaat yang bersamaan.

Melalui keterbatasan kapabilitas militer Lithuania tersebut, sangat tak mengherankan

bila Lithuania dapat dikatakan menggantungkan pertahanan keamanannya pada aliansi

pertahanan NATO. Tentu saja kondisi ini mendorong Lithuania membangun relasi

diplomatiknya bersama dengan NATO. Membangun beserta menjaga relasi diplomatik

33 Potential aggressor adalah potensi ancaman yang dapat merugikan aktor hubungan internasional lainnya.

Page 27: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

57

dengan NATO adalah bagian penting dari strategi pertahanan Lithuania. Asumsi ini

diperkuat melalui dokumen yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Lithuania

yang menyatakan bahwa memperkuat ikatan NATO dan kontribusi dalam memperkuat relasi

antara Eropa dan Amerika Serikat menjadi strategi utama yang perlu dicapai Lithuania

(Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2019). Bagi perspektif otoritas

Lithuania, memperkuat relasi dengan NATO menjadi hal paling rasional yang perlu dicapai

Lithuania. Berdasarkan survey yang diambil secara demokratis oleh Kementerian Luar

Negeri Lithuania, sebanyak 73 persen populasi Lithuania mendukung jika kebijakan politik

luar negeri dan diplomasi ini memiliki kontribusi signifikan dalam menjaga pertahanan

negara (Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Lithuania, 2018). Dengan demikian

diplomasi dan kontribusi Lithuania untuk meningkatkan nilai tawar utamanya pada NATO

telah menjadi pilar utama dalam menjaga pertahanan keamanannya dari tekanan manuver

politik Rusia.

Sumber : Ministry of National Defence of the Republic of Lithuania. Lithuania’s membership in

the North Atlantic Treaty Organization (NATO)

Page 28: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

58

Dengan dukungan opini publik populasi Lithuania hingga mencapai angka 81 persen

terhadap presensi militer NATO di wilayah Lithuania (Ministry of National Defence of the

Republic of Lithuania, 2017: 15). Lithuania memiliki komitmen besar untuk terus

mempererat hubungan diplomatiknya bersama dengan NATO. Dalam hal meningkatkan

nilai tawar kepentingan Lithuania pada NATO, Lithuania telah berkontribusi penting dalam

mendukung berbagai kemajuan fasilitas, teknologi, maupun materialistis di bidang militer.

Dari tabel yang dipaparkan diatas, beberapa macam kontribusi Lithuania terhadap

modernisasi NATO juga termasuk sebagai bagian dari program pertahanan Lithuania. Selain

itu Lithuania juga terbilang sebagai salah satu negara naggota yang memenuhi standar

NATO dalam menyisihkan 2 persen GDP untuk modal pertahanan kolektif (Ministry of

National Defence of the Republic of Lithuania, 2017: 2). Dengan demikian telah jelas

berbagai langkah dan kontribusi Lithuania dalam terus mempererat hubungan

persahabatannya dengan NATO.

Sumber : Ministry of National Defence of the Republic of Lithuania. Lithuania’s membership in

the North Atlantic Treaty Organization (NATO)

Page 29: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

59

Secara implisit menjaga beserta meningkatkan hubungan bersama dengan NATO adalah

bagian dari strategi pertahanan Lithuania untuk membendung manuver politik Rusia.

Keseriusan Lithuania dapat terlihat dari berbagai partisipasi yang diberikan pada sejumlah

misi operasional NATO. Pada gambar yang dipaparkan diatas, Lithuania telah memberikan

support pada misi operasi internasional NATO di Kosovo, Turki, dan Afghanistan (Ministry

of National Defence of the Republic of Lithuania, 2017: 12). Selain itu Lithuania juga ikut

terlibat dalam misi kemanusiaan bersama Amerika Serikat dalam menciptakan resolusi

konflik di Iraq, ikuserta mendukung reformasi pertahanan Ukraina, dan mendukung

pemberian sanksi ekonomi pada Rusia setelah isu aneksasi Krimea pada tahun 2014

(Ministry of National Defence of the Republic of Lithuania, 2017: 13). Dari penjabaran

partisipasi Lithuania dalam misi operasi internasional NATO tersebut, telah dapat dipetik

satu hal penting yakni keikutsertaan Lithuania pada misi operasi internasional NATO dalam

dunia internasional adalah bagian diplomasi Lithuania untuk meningkatkan nilai tawarnya

pada NATO. Pada konteks ini, telah terlihat jelas jika peran intervensi NATO sangat

dibutuhkan sebagai bagian dari program strategi pertahanan Lithuania untuk mencegah

manuver politik Rusia. Dengan demikian lantas tak mengherankan bila presensi militer

NATO ditanggapi positif oleh baik mayoritas masyarakat maupun otoritas Lithuania.

Hingga pada penciptaan implementasi program NATO Eastern Flank sangat diharapkan

Lithuania sebagai metode efektif dalam menciptakan deterrence terhadap manuver politik

Rusia.

4.1.4 Finlandia

4.1.4.1 Hubungan diplomatik Finlandia-Rusia

Dalam konteks bipolaritas sistem internasional yang terbangun sejak masa cold war,

Finlandia adalah salah satu negara yang menarik untuk dibahas secara lebih lanjut. Dilihat

secara politik geografis, Finlandia bukan hanya dapat dilihat sebagai bagian dari negara

Nordik. Melainkan posisi letak geografis Finlandia telah diapit oleh dua sivilisasi great

power34 dalam sistem internasional. Tentu saja dua sivilisasi yang dimaksud adalah blok

barat dan blok timur. Inilah yang kemudian menjadi menarik untuk membahas peran

34 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon.

Page 30: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

60

Finlandia dalam menanggapi kondisi tersebut. Esensi perebutan pengaruh antar dua sivilisasi

great power35 telah mampu mendeskripsikan politik domestik Finlandia sejak

berlangsungnya cold war. Secara garis besar politik domestik Finlandia dapat dilukiskan

sebagai wadah perebutan pengaruh antar sivilisasi great power.36

Posisi netralitas telah diambil Finlandia dalam menanggapi sistem internasional. Dilihat

dari sudut pandang politik geografis, Finlandia adalah negara yang menjaga keseimbangan

antara Western world dan Rusia. Lantas yang menjadi pertanyaan menarik adalah apa yang

mendorong Finlandia untuk bersikap netral pada posisi bipolaritas sistem internasional.

Tentu saja langkah yang telah diambil Finlandia mengesankan sebuah makna politik, seiring

dalam memenuhi kepentingan Finlandia pada posisi perebutan pengaruh antar sivilisasi

tersebut. Makna politik yang dimaksud adalah mampu menjaga hubungan diplomatik

dengan dua sivilisasi great power37 pada saat yang bersamaan. Maka benefit yang dapat

diambil kedua pihak mampu menghasilkan sebuah profit yang maksimal untuk memenuhi

kepentingan Finlandia.

Pada beberapa dekade terakhir ini, hubungan diplomatik antara Finlandia dan Rusia

sedikit memburuk seiring dengan munculnya isu konflik militer di Krimea pada tahun 2014.

Kemunculan isu tersebut telah direspon negatif oleh Finlandia dengan mengutuk aktivitas

manuver politik Rusia di Krimea dan Ukraina timur. Namun satu hal yang perlu

diperhatikan pada konteks ini adalah kemunculan sentimen negatif Finlandia pada Rusia

tidak semata-mata mengindikasikan terputusnya hubungan diplomatik kedua negara. Tentu

saja hukum relasi antarnegara ini akan berlaku terutama jika mengacu pada konteks

kerjasama perekonomian antar kedua negara. Ketergantungan dan keterikatan dalam hal

perekonomian masih tak dapat dilepaskan dalam menunjang pembangunan standar hidup

kedua negara.

Dalam bidang perekonomian, Rusia dikenal sebagai partner perdagangan terbesar

Finlandia hingga pada tahun 2013 (Piotr Szymanski, 2018: 15). Bahkan hubungan kerjasama

ekonomi yang baik antar kedua negara masih tetap dipertahankan memasuki periode tahun

35 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon. 36 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon. 37 Great power adalah pemberian istilah untuk penyandang status negara-negara hegemon.

Page 31: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

61

2014. Walaupun pada tahun 2014, hubungan kerjasama perekonomian antara Finlandia dan

Rusia menunjukan penurunan. Namun hal ini bukan berarti tingkat ketergantungan ekonomi

antar kedua negara dapat dilepaskan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan

intensitas perdagangan kedua negara tersebut yakni pengaruh finansial krisis pada tahun

2008, pemberian sanksi ekonomi Uni Eropa terhadap Rusia setelah tahun 2014, devaluasi

mata uang Russian Rouble, dan turunnya harga minyak (Piotr Szymanski, 2018: 15). Namun

dari seluruh faktor yang dipaparkan tersebut, pemberian sanksi ekonomi yang diberikan Uni

Eropa terhadap Rusia setelah tahun 2014 menjadi kendala utama bagi keberlanjutan

kerjasama ekonomi kedua negara.

Dari data yang dipublikasikan oleh Finnish foreign trade 2016, nilai ekspor Finlandia

pada Rusia terhitung dari tahun 2008-2016 terus menunjukan penurunan lebih dari tiga kali

lipat (Piotr Szymanski, 2018: 16). Maka tak mengherankan bila pemberian sanksi Uni Eropa

terhadap Rusia setelah tahun 2014 memiliki dampak yang cukup signifikan bagi

keberlangsungan hubungan perdagangan antara Finlandia dan Rusia. Terlepas dari

pemberian sanksi ekonomi dari Uni Eropa terhadap Rusia setelah isu aneksasi Krimea pada

tahun 2014 dilihat dari sudut pandang Uni Eropa. Rusia tetap memiliki peran penting bagi

pemenuhan standar hidup Finlandia terutama pada sektor energi. Pada tahun 2016, angka

impor Finlandia pada Rusia masih mencapai angka 11,2 persen atau Rusia menempati

pengekspor produk terbesar ketiga untuk Finlandia (Piotr Szymanski, 2018: 16). Total impor

Finlandia dari Rusia mencapai angka 70,5 persen pada sektor energi dengan penjabaran 58,2

persen minyak dan 7,1 persen gas alam (Piotr Szymanski, 2018: 16). Sementara pada tahun

2016, angka ekspor Finlandia untuk Rusia masih mencapai angka 5,7 persen atau Rusia

menempati pengimpor produk terbesar kelima untuk Finlandia (Piotr Szymanski, 2018: 16).

Produk ekspor Finlandia untuk Rusia berupa bahan kimia, kayu, industri kertas, dan mesin

elektrik (Piotr Szymanski, 2018: 16). Dengan demikian tak dapat dipungkiri bila

ketergantungan perekonomian antara Finlandia dan Rusia tak dapat dilepaskan bagi kedua

negara.

Dengan ketergantungan perekonomian yang dimiliki antara Finlandia dan Rusia,

kemudian inilah yang membuat menjaga posisi netralitas menjadi penting bagi Finlandia.

Hubungan diplomatik di bidang perekonomian tidak dapat terlepaskan bagi kedua negara.

Page 32: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

62

Namun persepsi yang ditanamkan antar kedua negara ini dapat dikatakan sudah sedikit

bergeser. Aktivitas manuver politik Rusia yang menyebabkan kontinuitas konflik militer di

Krimea dan Ukraina timur telah menjadi momentum bagi Finlandia untuk meredifinisi arah

pandangan politiknya mengenai dunia internasional. Kemunculan isu konflik militer di

Krimea dan Ukraina timur tidak hanya menghasilkan sanksi ekonomi untuk Rusia setelah

tahun 2014, melainkan juga telah memicu persepsi negatif Finlandia terhadap kebijakan

politik luar negeri Rusia. Selain itu momentum ini juga dimanfaatkan Finlandia untuk lebih

mendekatkan diri bersama dengan NATO. Hal ini dapat dibuktikan dengan keikutsertaan

Finlandia pada program NATO Eastern Flank guna untuk mencegah manuver politik Rusia

di wilayah Eropa utara dan Eropa timur.

Tentu saja bergabungnya Finlandia pada sidang Transatlantic Partnership antara 28

negara anggota NATO + 2 (Finlandia dan Swedia) telah mengindikasikan sebuah pesan jika

Finlandia merasa tidak puas dan tidak sepakat terhadap kebijakan politik luar negeri Rusia.

Manuver politik Rusia di Georgia pada tahun 2008 dan Ukraina pada tahun 2014 telah

mendorong Finlandia untuk lebih membuka diri pada politik Western integration. Bagi

Finlandia, konseptualisasi Rusia dalam dunia politik internasional dapat dianggap sebagai

unsatisfied power (Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2016: 12). Demikianlah yang

dicetuskan oleh Kementerian Luar Negeri Finlandia, bahwa Rusia telah mendemonstrasikan

cara koersif pada wilayah sekitarnya sama halnya seperti isu yang terjadi di Georgia pada

tahun 2008 dan Ukraina pada tahun 2014 (Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2016: 12-

13). Tentu saja tujuan yang ingin dicapai Rusia sangatlah jelas yakni membatasi zona

integrasi pengaruh Western World dan seiring dengan memperluas pengaruh Rusia pada

sejumlah negara sekitarnya.

Pada saat yang bersamaan Finlandia sedang dalam kondisi mengintegrasikan diri

dengan negara-negara barat untuk durasi waktu jangka panjang (Piotr Szymanski, 2018: 18).

Persepsi ini muncul berangkat dari sebuah anggapan bahwa otoritas Rusia tidak memiliki

kesiapan dalam menjaga kestabilan perekonomiannya dari gelombang krisis finasial pada

tahun 2008 dan menurunnya harga minyak pada tahun 2011 (Ministry of Foreign Affairs of

Finland , 2016: 12). Maka asumsi bergabungnya Finlandia pada blok ekonomi Rusia yakni

Eurasian Economic Union kurang memiliki nilai tawar bagi Finlandia, dibandingkan lebih

Page 33: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

63

memprioritaskan pada kerjasama ekonomi yang dibangun oleh Uni Eropa. Inilah salah satu

faktor yang membuat Finlandia merasa terancam terhadap keberadaan aktivitas manuver

politik Rusia di dunia internasional. Sebab Rusia akan mencoba menggunakan berbagai cara

termasuk jalur perang atau diplomasi koersif untuk menggagalkan laju Finlandia dan Swedia

untuk bergabung dalam keanggotaan NATO berdasarkan pada keterangan dari Kementerian

Luar Negeri Finlandia (Ministry of Foreign Affairs of Finland, 2016: 7). Pemberian proposal

Finlandia untuk mencalonkan diri menjadi negara anggota NATO telah mengindikasikan

sebuah pesan negatif bagi Rusia. Maka telah diketahui pula jika posisi Rusia dalam dunia

internasional pada konteks ini dapat diklasifikasikan sebagai pengahambat utama dalam

menggagalkan usaha Finlandia untuk semakin berintegrasi dengan pengaruh yang dibangun

oleh negara-negara barat.

Beberapa usaha sudah diimplikasikan dari pihak Rusia untuk mencoba membatasi

pergerakan Finlandia untuk semakin mengintegrasikan diri terhadap pengaruh yang

dibangun negara-negara barat tersebut. Satu cara utama yang digunakan Rusia pada konteks

ini adalah memperluas pengaruhnya di bidang informasi digital. Tentu saja usaha ini

dipercaya sebagai metode efektif dalam mempengaruhi opini publik masyarakat Finlandia

(Piotr Szymanski, 2018: 19). Melalui metode ini tujuan Rusia dapat dijabarkan berupa

kondisi disaat publik mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah Finlandia,

melemahkan orientasi kelompok pro-European, dan mengurangi dukungan publik untuk

bergabung dalam NATO membership (Piotr Szymanski, 2018: 19). Beberapa tindak nyata

telah diluncurkan oleh pihak Rusia yakni kemunculan media internet pro-Kremlin sejak

tahun 2014, kemunculan radio LoveFM pada tahun 2016 sebagai radio pro-Rusia, beserta

fasilitasi para aktivis pro-Kremlin seperti Anti-Facist Committee (Piotr Szymanski, 2018,

19). Dengan ambisi Rusia yang demikian, kondisi ini telah menempatkan Finlandia sebagai

salah satu front perang informasi dengan Rusia (Piotr, Szymanski, 2018: 19). Maka tak

mengherankan bila situasi hybrid war dengan Rusia, telah menjadi concern tersendiri bagi

Finlandia sehingga situasi ini terus mendorong Finlandia untuk lebih mempersiapkan diri

pada NATO membership.

Page 34: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

64

4.1.4.2 Opini Publik Finlandia

Perlu diketahui Finlandia bukanlah bagian dari negara anggota NATO hingga saat ini.

Menariknya pada beberapa dekade terakhir ini, Finlandia semakin memperlihatkan

keinginannya untuk membangun ikatan kerjasama bersama dengan NATO. Tekanan

manuver politik Rusia setelah isu yang terjadi di Georgia pada tahun 2008 dan Ukraina pada

tahun 2014 telah menumbuhkan fear bagi Finlandia. Implementasi manuver politik Rusia

pada Finlandia telah berjalan dalam bentuk hybrid warfare. Hingga saat ini satu elemen

hybrid warfare yakni information war telah menjadi perlombaan dalam memppengaruhi

opini publik Finlandia. Finlandia merasa terancam karena opini publik pro-Rusia ditakutkan

akan menjadi awal mula dari sebuah okupasi yang dilakukan Rusia. Asumsi ini dipercaya

berkaca dari kasus yang terjadi di Georgia pada tahun 2008 yang harus kehilangan wilayah

Abkhazia dan Osetia selatan; beserta Ukraina pada tahun 2014 yang harus kehilangan

wilayah Krimea yang diawali kemenangan opini publik pro-Rusia pada beberapa wilayah

tersebut. Metode yang serupa seolah-olah kembali digunakan pada Finlandia dengan cara

memenangkan perlombaan opini publik masyarakat terlebih dahulu. Bagi Finlandia, inilah

yang menjadi sebuah dorongan kuat untuk membangun hubungan kerjasama yang baik

bersama dengan NATO.

Walaupun demikian ternyata menjadi bergabungnya Finlandia pada NATO membership

diyakini bukanlah menjadi solusi yang tepat bagi mayoritas opini publik Finlandia.

Sebanyak 62 persen opini publik Finlandia menentang Finlandia untuk bergabung dalam

keanggotaan NATO (Piotr Szymanski, 2018: 28). Sementara hanya 22 persen opini publik

Finlandia mendukung Finlandia untuk bergabung dalam keanggotaan NATO (Piotr

Szymanski, 2018: 28). Perolehan data ini juga didukung dengan hanya 2 dari 9 partai

parlementer Finlandia yang mendukung penuh bergabungnya Finlandia sebagai negara

anggota baru NATO (Piotr Szymanski, 2018: 28). Melalui paparan data tersebut, telah

diketahui jika bergabungnya Finlandia pada keanggotaan NATO tidak difavoritkan oleh

opini publik Finlandia.

Tentu saja situasi ini telah menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Apakah ini

mengindikasikan pada ketidaksepmehaman antara otoritas dan masyarakat Finlandia atau

mayoritas opini publik Finlandia lebih menginginkan ikatan kerjasama yang lebih dekat

Page 35: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

65

dengan Rusia? Sebenarnya kedua hal itu bukanlah jawaban yang tepat untuk menjelaskan

kondisi tersebut. Melainkan dari data opini publik Swedia yang diambil pada tahun 2018,

disaat hanya 22 persen opini publik Finlandia yang mendukung keanggotaan penuh NATO,

sebanyak 50 persen opini publik Finlandia menyatakan akan lebih ideal jika membangun

sebatas ikatan kerjasama yang lebih dekat bersama dengan NATO (Michael Miklaucic,

2018). Salah satu bukti implementasi itu dapat dicerminkan melalui pembangunan

kerjasama keamanan kolektif 28 negara anggota NATO +2 yakni Finlandia dan Swedia

dalam sidang Transatlantic hingga menciptakan program kerjasama keamanan kolektif

NATO eastern flank pada konteks ini. Dengan demikian telah jelas jika satu hal yang

diinginkan opini publik Finlandia bukanlah bergabung dalam keanggotaan penuh NATO.

Melainkan membangun ikatan kerjasama yang lebih dekat bersama dengan NATO tanpa

bergabung menjadi negara anggota pada aliansi pertahanan tersebut.

4.1.4.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Finlandia

Bagi mayoritas opini publik Finlandia, membangun ikatan kerjasama bersama dengan

NATO tanpa bergabung menjadi negara anggota didalamnya menjadi solusi yang paling

ideal. Hal ini disebabkan mulai dari sebuah keyakinan dari sebagian besar opini publik

Finlandia jika Rusia akan merespon negatif dengan menggunakan jalur koersif terhadap

Finlandia. Tentu saja bergabungnya Finlandia sebagai negara anggota baru NATO telah

mengundang tindakan koersif Rusia, bahkan melalui jalur perang sekalipun sehingga

membuat posisi Finlandia dalam dunia internasional merasa terancam. Sebab Rusia diyakini

akan melakukan berbagai cara apapun untuk membatasi hal tersebut. Maka membangun

ikatan kerjasama yang lebih dekat bersama dengan NATO tanpa bergabung menjadi negara

anggota pada aliansi pertahanan tersebut sudah diperhitungkan untuk menjadi pilihan yang

paling rasional. Ikatan hubungan kerjasama pertahanan yang dibangun Finlandia bersama

dengan NATO tetaplah menjadi instrumen penting dalam menghadapi intervensi Rusia pada

perlombaan di bidang media informasi. Manajemen pengawasan opini publik Finlandia telah

menjadi keprihatinan utama disaat media informasi dipercaya sebagai alat yang dapat

menggiring opini publik secara efektif. Sejak berlangsungnya konflik militer di Krimea pada

tahun 2014, intervensi Rusia di bidang media informasi Finlandia terus diperlihatkan. Inilah

Page 36: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

66

faktor yang membuat NATO nilai tawar bagi Finlandia. Dengan kepercayaan NATO dapat

menjadi solusi efektif bagi Finlandia dalam melawan tekanan hybrid war dari Rusia.

Dengan mengklasifikasikan posisi NATO dalam dunia internasional sebagai commited

partner, beberapa langkah diplomatik telah dilakukan untuk menciptakan ikatan hubungan

persahabatan antara Finlandia dan NATO. Mempererat ikatan hubungannya bersama dengan

NATO telah menjadi bagian dari strategi pertahanan Finlandia. Walaupun Finlandia tidak

menjadi salah satu bagian dari negara anggota NATO, Finlandia seringkali aktif dalam

berbagai misi operasi internasional NATO. Beberapa diantaranya adalah keikutsertaan

Finlandia dalam misi operasi internasional di wilayah Afghanistan dan Balkan (Piotr

Szymanski, 2018: 61). Tentu saja kontribusi Finlandia pada beberapa program NATO telah

mendapatkan sebuah penghargaan. Hingga pada akhirnya kondisi vulnerable yang dialami

Finlandia atas tekanan manuver politik Rusia juga diikusertakan sebagai kebijakan

pertahanan kolektif NATO.

Walaupun Finlandia bukanlah salah satu negara anggota NATO, menariknya

keberhasilan diplomasi Finlandia telah mampu membawa pertahanan Finlandia menjadi

bagian dari agenda pertahanan kolektif NATO. Dengan substansi dokumen artikel 5 NATO

yang berisi “an attack on one will be considered an attack on all” juga diberlakukan pada

Finlandia tanpa harus bergabung dalam aliansi pertahanan tersebut (Michael Miklaucic,

2018). Terciptanya sidang transatlantic Wales Summit 2014 dengan format 28 negara

anggota NATO + 2 (Finlandia dan Swedia) telah menjadi bukti jika pertahanan keamanan

Finlandia juga menjadi bagian dari concern agenda pertahanan kolektif NATO. Dalam hal

menjaga ikatan hubungan diplomatik tersebut, Finlandia telah menunjukan komitmennya

dalam kebijakan pertahanan kolektif NATO. Dengan kebijakan meningkatkan anggaran

dana pertahanan dari 1,5 persen GDP untuk mencapai target 2 persen GDP pada tahun 2024

sesuai dengan kebijakan kolektif yang terbentuk dalam sidang Wales Summit 2014 (Michael

Miklaucic, 2018). Keberlanjutan komitmen Finlandia dalam meningkatan ikatan hubungan

kerjasama pertahanan bersama dengan NATO juga terus dipererat seiring dengan

keikutsertaan Finlandia pada sidang Warsaw Summit 2016 yang menghasilkan program

NATO Eastern Flank. Dengan demikian telah dapat diketahui jika usaha diplomasi Finlandia

tak terlepas dari kepentingan pertahanan keamanannya untuk mengikat NATO sebagai

Page 37: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

67

benteng pertahanan Finlandia dalam menghadapi implementasi aktivitas manuver politik

Rusia.

4.1.5 Swedia

4.1.5.1 Hubungan diplomatik Swedia-Rusia

Esensi perlombaan power secara strukural merupakan satu hal yang tak dapat

terbantahkan keberadaanya dalam sistem internasional. Seperti yang sudah diketahui pada

masa cold war, sistem internasional dapat diidentifikasikan berada dalam posisi bipolar.

Bipolaritas antar super power dalam sistem internasional telah membuat posisi Swedia

dalam dunia internasional menjadi satu hal yang menarik untuk dibahas secara lebih lanjut.

Pada konteks politik geografis, Swedia bukanlah sekedar dapat diklasifikasikan sebagai

bagian dari negara-negara Nordik. Melainkan letak geografis Swedia telah berada di posisi

sentral dalam sistem percaturan sistem internasional yang bipolar. Bipolaritas kekuatan

dunia antara blok barat dan blok timur telah meletakan posisi geografis Swedia sebagai

perbatasan antar dua super power tersebut. Dengan demikian kondisi ini telah

memungkinkan Swedia untuk memilih arah kebijakan politik luar negerinya untuk lebih

berpihak blok barat maupun blok timur. Pada beberapa dekade terakhir paska cold war, saat

ini posisi Swedia masih dapat dilukiskan sebagai wadah perebutan pengaruh antar kekuatan

dunia internasional.

Posisi netralitas telah diambil Swedia dalam merespon bipolaritas sistem internasional

tersebut. Bagi perspektif politik geografis Swedia, menjaga keseimbangan hubungan antar

dua kekuatan dunia dapat menjadi sebuah keputusan yang paling ideal dalam merespon

bipolaritas sistem internasional. Baik Western world maupun Rusia masing-masing memiliki

nilai tawar yang cukup kuat bagi kepentingan Swedia. Maka berdasarkan asumsi keuntungan

yang didapatkan tersebut, akan menjadi sebuah pilihan yang rasional bila Swedia tetap

mempertahankan posisi netralitasnya dalam bipolaritas sistem internasional. Dengan

substansi selama ada faktor kepentingan struktural yang mampu mendorong hubungan

diplomatik Swedia terhadap dua kekuatan dunia internasional tersebut.

Seperti yang sudah dijelaskan menjaga posisi netralitas menjadi penting bagi Swedia,

terutama dalam mempengaruhi hubungan diplomatiknya dengan Rusia. Dengan menjaga

Page 38: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

68

posisi netralitas dalam kondisi bipolaritas sistem internasional, situasi ini telah

memungkinkan Swedia untuk dapat menjaga hubungan baik dengan Rusia pada saat yang

bersamaan. Perlu diketahui keterikatan hubungan diplomatik antara Swedia dan Rusia

tetaplah menjadi satu hal yang penting dalam menunjang perkembangan perekonomian bagi

kedua negara. Ketergantungan perekonomian antar kedua negara inilah yang kemudian

menjadi faktor pendorong Swedia untuk tetap mempertahankan hubungan diplomatiknya

dengan Rusia.

Sumber : Torbjorn Becker. The Nature of Swedish-Russian Capital Flows. Stockholm Institute

of Transition Economics

Berdasarkan data yang diambil statistik badan keuangan kedua negara yakni Central

Bank of Sweden dan Central Bank of Rusia, hubungan keterikatan perekonomian yang

menguntungkan antar kedua negara menjadi satu hal yang dapat terbantahkan. Dalam

melihat perspektif perdagangan Swedia, Rusia masih menempati posisi penting dalam

menunjang laju pertumbuhan perekonomian Swedia. Berdasarkan komparasi data dari

Central Bank of Sweden dan Central Bank of Russia, sebesar 5 persen nilai impor Swedia

berasal dari Rusia (Torbjorn Becker, 2016: 4). Selain itu perlu diketahui sebesar 70 persen

impor komoditas minyak bumi Swedia juga didatangkan melalui hasil impor dari Rusia (Leo

Page 39: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

69

G. Michel, 2011: 11). Sementara berdasarkan komparasi data yang ditampilkan oleh Central

Bank of Sweden dan Central Bank of Russia telah menunjukan sebesar 2 persen nilai ekspor

Swedia telah didapat melalui hasil perdagangan dengan Rusia (Torbjorn Becker, 2016: 4).

Dengan demikian tak dapat dipungkiri bila hubungan kerjasama perekonomian yang

dibangun kedua negara dapat dinilai saling menguntungkan. Maka disisi lain menjaga

hubungan diplomatik dengan Rusia tetaplah menjadi sebuah agenda penting bagi agenda

kebijakan politik luar negeri Swedia.

Namun posisi netralitas atau non-alligment dalam menanggapi bipolaritas sistem

internasional ini mulai memudar. Posisi Swedia dalam mempertahankan netralitasnya dalam

dunia internasional telah bertransformasi menjadi konsepsi yang bias. Konflik militer yang

terjadi di Georgia pada tahun 2008 telah menjadi awal mula memudarnya konsepsi netralitas

Swedia. Hingga pada akhirnya hal ini mencapai titik klimaks dengan munculnya konflik

militer yang terjadi di Krimea pada tahun 2014 dan kontinuitas konflik militer di wilayah

Ukraina timur yang masih berlangsung. Kedua peristiwa ini telah menjadi momentum yang

membawa pergeseran pandangan Swedia dalam menanggapi dunia internasional. Pernyataan

ini kemudian didukung oleh Komisi Pertahanan Swedia, dengan menjelaskan bahwa

berbagai aktivitas manuver politik Rusia pada sejumlah negara post-Soviet telah

meredefinisikan pandangan Swedia terhadap Rusia (Barbara Kunz, 2015: 17). Tentu saja

redifinisi pandangan Swedia terhadap Rusia yang dimaksud, menunjukan pada arah yang

negatif. Keberadaan fakta ini dapat ditunjukan dengan data opini publik Swedia yang

menunjukan jika 43 persen opini publik Swedia memandang sangat negatif aktivitas politik

luar negeri Rusia, kemudian sebesar 43 persen opini publik Swedia lainnya juga memandang

pada arah yang negatif mengenai aktivitas politik luar negeri Rusia, sementara hanya 12

persen opini publik Swedia melihat aktivitas politik luar negeri Rusia pada arah yang positif

(European values, 2016). Dengan demikian persepsi negatif Swedia terhadap aktivitas

politik luar negeri Rusia sejak munculnya isu konflik militer di Georgia pada tahun 2008 dan

konflik militer di Ukraina pada tahun 2014 menjadi suatu hal yang tak dapat dipungkiri

keberadaannya.

Persepsi negatif yang bertumbuh pada kalangan opini publik Swedia tak hanya menjadi

sebatas narasi masyarakat Swedia, melainkan mempengaruhi kebijakan politik luar negeri

Page 40: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

70

Swedia. Sejak paska berlangsungnya konflik militer di Georgia pada tahun 2008, Carl Bildt

selaku Menteri Luar Negeri Swedia saat itu, telah mempublikasikan kritiknya terhadap

agresi militer Rusia di Georgia (Leo G. Michel, 2011: 11). Pernyataan inipun didukung oleh

Sten Tolgfors selaku Menteri Pertahanan Swedia saat itu, yang menyatakan secara eksplisit

jika Rusia adalah potential threat (Leo G. Michel, 2011: 11). Setelah itu kemunculan isu

Crimean war telah menjadi titik klimaks yang akhirnya merubah persepsi Swedia terhadap

Rusia. Hal ini ditekankan oleh Komisi Pertahanan Swedia yang menyatakan “in 2013,

Europeans were living throught the most secure and peaceful times ever, in it’s 2014, the

security environment has changed as a result of the Russian aggression against Ukraine”

(Barbara Kunz, 2015: 18). Melalui pernyataan tersebut telah dijelaskan jika Rusia

dipoposisikan sebagai ancaman bagi Swedia sejak kemunculan isu konflik militer Krimea

pada tahun 2014.

Sejak dimulainya konflik militer Krimea, berbagai insiden serangan konvensional Rusia

seringkali mewarnai pertahanan keamanan Swedia. Insiden Russian Easter pada Maret 2013

mungkin adalah satu isu tak yang terlupakan bagi masyarakat Swedia, dengan kondisi disaat

Kremlin meluncurkan serangan melalui dua Tu-22M3 Backfire bombers dan empat Su-27

Flanker fighter jets yang memasuki wilayah udara Swedia, kemudian menstimulasikan

serangan di wilayah Swedia selatan dan wilayah dekat Stockholm (Barbara Kunz, 2015: 17).

Peristiwa ini dikonfirmasikan oleh Peter Hultqvist selaku Menteri Pertahanan Swedia lalu

memberikan komentar pada Oktober 2014 terhadap serangan agresi militer Rusia dengan

pernyataan sejumlah peristiwa itu telah membawa masyarakat Swedia déjà vu pada masa

cold war (Barbara Kunz, 2015: 18). Selain itu serangan hybrid war di bidang informasi juga

gencar dilakukan oleh pihak Kremlin untuk mempengaruhi opini publik Swedia.

Perlombaan informasi seringkali diluncurkan melalui akun Twitter dan media pro-Kremlin

yang beroperasi di Swedia seperti Sputnik News (Jon Henley, 2017). Hingga saat ini

ancaman hybrid war terutama perlombaan dalam bidang informasi digital telah menjadi

concern utama pertahanan keamanan Swedia.

Keberlangsungan hybrid war dari Rusia telah dapat dikonfirmasi sebagai ancaman

utama pertahanan keamanan Swedia saat ini. Inilah faktor utama yang menjadi pemicu

Swedia untuk mengembangkan hubungan diplomatik bersama dengan NATO. Keikutsertaan

Page 41: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

71

Swedia dalam sidang transatlantic yang dihadiri oleh 28 negara anggota NATO + 2 yakni

Finlandia dan Swedia telah mengindikasikan secara nyata jika Swedia ingin mempererat

hubungan kerjasama pertahanan bersama dengan NATO. Ketakutan akan terbentuknya

kerjasama pertahanan ini telah dirasakan Rusia dengan memberikan peringatan terbuka pada

Swedia akan konsekuensi yang diterima jika bergabung menjadi negara anggota baru

NATO. Melihat dari situasi demikian telah jelas jika Swedia seolah-olah telah meninggalkan

posisi netralitasnya untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan NATO. Dalam hal ini

persepsi yang ditampilkan Swedia terhadap NATO berbanding terbalik dengan cara pandang

Swedia dalam melihat aktivitas politik luar negeri Rusia. Berdasarkan dokumentasi

keamanan Swedia pada tahun 2014, telah diklarifikasikan bahwa ancaman intelejensi

keamanan selalu datang dari Rusia (European values, 2016). Telah dijelaskan juga melalui

berdasarkan pada dokumentasi pertahanan Swedia, jika posisi Swedia dalam memandang

Rusia, dapat dilihat melalui aktivitas politik luar negeri ilegal Rusia terhadap Ukraina

(European values, 2016). Dilanjutkan dengan otoritas pemerintah Swedia mengutuk aksi

agresi militer Rusia terhadap Ukraina beserta menekankan jika Swedia akan menjalin

hubungan kerjasama pertahanan keamanan yang lebih dekat dengan Finlandia dan NATO

(European values, 2016). Pada konteks ini, NATO dilihat sebagai solusi pertahanan

keamanan dari hybrid war yang mengancam Swedia. Maka tak mengherankan bila

memprioritaskan hubungan diplomatiknya dengan NATO sebagai bagian dari strategi

pertahanan Swedia untuk melawan aktivitas manuver politik Rusia.

4.1.5.2 Opini Publik Swedia

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, secara jelas Swedia telah menekankan

posisinya dalam bipolaritas sistem internasional pada posisi yang netral. Namun posisi

netralitas Swedia perlahan mulai ditinggalkan seiring dengan kemunculan aktivitas manuver

politik Rusia yang memicu konflik militer di wilayah Krimea pada tahun 2014 dan masih

berlangsungya konflik militer di wilayah Ukraina timur. Tak dapat dipungkiri bahwa

aktivitas politik luar negeri Rusia yang ditujukan pada sejumlah negara post-Soviet tersebut

telah membangun persepsi negatif opini publik Swedia terhadap Rusia. Secara terbuka

melalui dokumentasi kebijakan pertahanan Swedia mempublikasikan bahwa “Russia’s

illegal annexation of Crimea and military presence in eastern Ukraine constitute flagrant

Page 42: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

72

breaches of international law” (European values, 2019). Pernyataan hasil dokumentasi

kebijakan pertahanan Swedia itupun kemudian diiringi dengan keikutsertaan Swedia untuk

mendukung sanksi ekonomi yang diberikan pada Rusia (European values, 2019).

Dukungan Swedia dalam pemberian sanksi ekonomi pada Rusia dapat dijelaskan

dengan beberapa faktor. Aktivitas manuver politik Rusia telah mengingatkan kembali

masyarakat Swedia pada trauma yang terjadi pada masa cold war. Selain itu yang lebih

penting adalah keberlanjutan hyrid war terutama dalam bidang informasi digital dengan

Rusia. Hingga hal ini telah membentuk persepsi jika Swedia merupakan bagian dari proyek

perluasan pengaruh Rusia diluar negara-negara post-Soviet. Berkaca pada kasus konflik

militer yang terjadi di wilayah Krimea dan masih berlangsungnya konflik militer di wilayah

Ukraina timur, penggunaan strategi hybrid war yang serupa dengan dua kasus tersebut telah

kembali coba diimplementasikan dimulai dengan menarik dukungan pada bidang media

informasi politik domestik Swedia. Inilah sebuah momentum yang membuat Swedia merasa

terancam dengan proyek aktivitas politik luar negeri Rusia.

Dengan kemunculan aktivitas manuver politik Rusia di Ukraina pada tahun 2014, secara

implisit momentum ini telah meredefinisi arah kebijakan politik luar negeri Swedia untuk

mengikat kerjasama yang lebih dekat lagi dengan NATO. Paska krisis militer di Krimea,

nilai tawar NATO terus menunjukan peningkatan bagi opini publik Swedia. Sebelum

kemunculan isu konflik militer di Krimea pada tahun 2014, mayoritas dari opini publik

Swedia menolak proposal bergabungnya Swedia untuk masuk sebagai bagian dari negara

anggota NATO (Barbara Kunz, 2015: 33). Pada tahun 2000, data opini publik Swedia hanya

menunjukan 24 persen responden yang menginginkan Swedia untuk bergabung dalam

aliansi pertahanan NATO, sementara 62 persen responden memilih untuk tidak memihak

atau tetap berada dalam posisi netral (Barbara Kunz, 2015: 33). Pada saat itu menjaga posisi

netralitas adalah agenda utama politik luar negeri Swedia sehingga bergabung dalam

keanggotaan NATO tidak difavoritkan oleh masyarakat Swedia.

Pandangan favoritisme pada NATO muncul seiring dengan sentimen opini publik

Swedia terhadap hasil kebijakan politik luar negeri Rusia. Sejak kemunculan isu konflik

militer di Krimea pada tahun 2014 dan keberlangsungan konflik militer di Ukraina timur,

posisi NATO di mata opini publik Swedia telah menunjukan peningkatan yang signifikan.

Page 43: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

73

Pada data opini publik yang diambil pada tahun 2014, terjadi peningkatan dukungan

responden untuk bergabung dalam organisasi NATO dari 28 persen hingga menunjukan

angka 33 persen, sementara yang menentang kebijakan inipun menunjukan penurunan dari

angka 56 persen hingga menunjukan angka 47 persen (Barbara Kunz, 2015: 34). Pada data

opini publik yang diambil pada tahun 2015, dukungan responden agar Swedia bergabung

dalam organisasi NATO terus menunjukan peningkatan hingga mencapai angka 41 persen,

sementara sebanyak 39 persen responden menentang kebijakan tersebut, dan sebanyak 20

persen tidak menentukan pilihan (Barbara Kunz, 2015: 34). Pada data opini publik yang

diambil pada tahun 2018, dukungan responden terus meningkat untuk proposal

bergabungnya Swedia untuk menjadi negara anggota baru NATO hingga mencapai angka 43

persen, sementara yang menentang kebijakan tersebut kembali menunjukan penurunan

dengan perolehan data sebesar 37 persen (Michael Miklaucic, 2018). Melalui siginifikansi

yang ditampilkan data tersebut, tentu saja telah membawa kita pada satu asumsi jika

aktivitas politik luar negeri Rusia yang telah mendorong Swedia untuk meningkatkan

hubungan diplomastiknya dengan NATO. Menariknya dukungan opini publik Swedia terus

menunjukan peningkatan dari setiap pergantian periode tahun politik.

4.1.5.3 NATO sebagai resolusi pertahanan Swedia

Kondisi vulnerable (kerapuhan) atas berlangsungnya hybrid war dari Rusia terhadap

politik domestik Swedia menciptakan sebuah opsi baru dalam hal arah kebijakan politik luar

negeri Swedia khususnya di bidang keamanan. Dalam hal ini NATO telah menjadi opsi ideal

berdasarkan data opini publik yang ditunjukan sebelumnya. Mengikat hubungan diplomatik

yang baik bersama dengan NATO telah menjadi bagian dari strategi pertahanan Swedia

dalam menciptakan deterrence terhadap manuver politik Rusia. Beberapa usaha diplomatik

ini sebenarnya sudah ditunjukan bahkan sebelum kemunculan isu konflik militer di wilayah

Krimea pada tahun 2014. Posisi Swedia memang bukan menjadi bagian dari negara anggota

NATO, namun Swedia memiliki hubungan kerjasama pertahanan yang baik bersama NATO.

Hubungan kerjasama ini dapat dibuktikan melalui keikutsertaan Swedia pada beberapa misi

operasi internasional NATO seperti KFOR di Kosovo, ISAF di Afghanistan, dan operasi

intervensi kemanusiaan di Libya (Barbara Kunz, 2015: 27). Sejak saat itu Swedia sudah

terbilang menjadi aktif dalam berbagai misi operasi internasional NATO. Maka tak

Page 44: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

74

mengherankan bila Swedia dapat disebut sebagai commited partner bagi NATO diluar

aliansinya.

Keterikatan hubungan diplomatik antara Swedia dan NATO telah mencapai

kesepakatan pada Wales Summit 2014 (Barbara Kunz, 2015: 27). Secara khusus

pembentukan sidang Transatlantic ini membentuk sebuah forum untuk 28 negara anggota

NATO dan mengundang dua negara diluar aliansinya yakni Finlandia dan Swedia.

Kesepakatan sidang Transatlantic tersebut dipersatukan pada sebuah pembentukan agenda

pertahanan bersama dengan mengikutsertakan Finlandia dan Swedia didalamnya termasuk

pemberlakuan artikel 5 NATO. Dengan berjalannya proses sidang Transatlantic hingga pada

Warsaw Summit 2016, keikutsertaan Finlandia dan Swedia pada sidang yang dibentuk

NATO telah membentuk dokumentasi kebijakan pertahanan NATO Eastern Flank. Dengan

substansi jika setiap pihak yang ikutserta dalam sidang Warsaw Summit 2016 menyetujui

untuk menempatkan kontinuitas ancaman manuver politik Rusia sebagai agenda pertahanan

kolektif NATO. Dengan terciptanya kerjasama antara Swedia dan NATO tersebut,

tercapailah sebuah makna politik bahwa Swedia membutuhkan NATO sebagai media dalam

menciptakan deterrence terhadap kontinuitas aktivitas manuver politik Rusia.

4.2 Politik revisionisme Rusia sebagai manifestasi kebijakan politik luar

negeri Vladimir Putin

Dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia internasional dikejutkan dengan isu konflik

militer di wilayah Ukraina timur dan Krimea pada tahun 2014. Terlepas dari perdebatan para

sarjana studi hubungan internasional dalam melihat isu ini dari berbagai perspektif. Namun

satu hal yang disepakati untuk menjadi bagian analisa secara lebih lanjut mengenai isu ini

adalah motif politik yang mendasari aktivitas politik luar negeri Rusia. Tentu saja hal ini

menjadi menarik serta menimbulkan pertanyaan besar bagi para pengamat politik

internasional. Hingga munculah sebuah asumsi kuat dari sejumlah penelitian jika Rusia

sedang berada dalam sebuah proses untuk membangun integrasi pengaruhnya kembali paska

cold-war. Pandangan terhadap aktivitas politik luar negeri Rusia ini didasari seiring dengan

sejumlah isu internasional atas keterkaitan Rusia pada konflik militer di Georgia dan

Ukraina. Menariknya dari sejumlah isu tersebut, sebenarnya Rusia tidak menjadi aktor

Page 45: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

75

tunggal. Melainkan keterlibatan NATO dan Rusia telah menjadi bagian menarik yang perlu

diperhatikan pada beberapa isu tersebut. Maka terlihat jelas jika keterlibatan kedua aktor ini

telah mengindikasikan sebuah esensi kontestasi antar aktor dalam percaturan sistem

internasional. Dengan demikian menjadi satu hal yang tak dapat terbantahkan bila sejumlah

isu ini telah membawa Rusia sebagai revisionist states.

Perlu diketahui pengidentifikasian Rusia sebagai revisionist states tak terlepas dari

rezim kepemimpinan yang memberikan pengaruh terhadap arah kebijakan luar negeri Rusia.

Setiap pemangku posisi kepemimpinan di Kremlin, memiliki selera masing-masing dalam

membangun arah kebijakan politik luar negeri Rusia. Pada konteks ini, kepemimpinan

Vladimir Putin dipercaya sebagai aktor pembangun Rusia sebagai revisionist states. Persepsi

ini berjalan seiring dengan perkembangan kebijakan politik luar negeri Vladimir Putin yang

lebih pragmatis dalam menyikapi sistem internasional dibandingkan dengan dua pemangku

kepemimpinan rezim Kremlin lainnya. Baik Boris Yeltsin maupun Dmitry Medvedev

dipercaya sejumlah kalangan studi hubungan internasional telah membawa politik luar

negeri Rusia pada arah yang lebih liberal dalam menyikapi sistem internasional. Tak dapat

dipungkiri perbedaan kedua pandangan dalam menyikapi sistem internasional telah

membawa politik luar negeri Rusia kedalam dua dimensi. Disaat Boris Yeltsin dan Dmitry

Medvedev membawa arah kebijakan politik luar negeri Rusia berada dalam dimensi status

quo states. Sementara Vladimir Putin membawa arah kebijakan politik luar negeri Rusia

berada dalam dimensi revisionist states. Maka tak mengherankan bila politik revisionisme

Rusia dapat dipandang sebagai manifestasi kebijakan politik luar negeri Rusia pada era

kepemimpinan Vladimir Putin.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kita telah menyepakati jika Vladimir Putin

memilih jalan yang berbeda dengan Boris Yeltsin dan Dmitry Medvedev dalam memandang

arah kebijakan politik luar negeri Rusia. Arah kebijakan politik luar negeri Rusia yang dapat

dipandang secara pragmatisme adalah bagian dari manifestasi politik luar negeri Rusia pada

masa kepemimpinan Vladimir Putin. Perbedaan cara pandang Vladimir Putin dengan dua

pemangku kursi Kremlin lainnya sudah terlihat jelas melalui respon setiap pemimpin Rusia

dalam melihat era paska cold war. Disaat Boris Yeltsin dan Dmitry Medvedev mencoba

untuk menghilangkan sentimen dan ketegangan yang terjadi pada masa cold war, Vladimir

Page 46: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

76

Putin mendesak untuk membangun kembali pengaruh sentral Rusia pada sejumlah negara

disekitarnya khususnya pada negara-negara yang diidentifikasikan sebagai negara post-

Soviet. Dalam pidato Vadimir Putin, dirinya melihat kejatuhan rezim Uni Soviet sebagai

“national tragedy of immense proportion and the biggest geopolitical catastrophe of the 20th

century” (Hannes Adomeit, 2011: 9). Pernyataan inilah yang kemudian mempengaruhi cara

pandang Vladimir Putin berkenaan dengan arah kebijakan politik luar negeri Rusia menuju

revisionist states. Maka tak mengherankan bila Vladimir Putin dapat dipandang sebagai

aktor utama dalam menciptakan maneuver politik Rusia.

Dalam perspektif Vladimir Putin, politik internasional masih disebut sebagai arena

kompetisi dan konflik dengan pembangunan konsep balance of power38 beserta power

vacuum yang masih dipertahankannya (Hannes Adomeit, 2011: 13). Berkenaan dengan

hubungan internasional, Vladimir Putin mengatakan kepada para diplomatnya bahwa “no

power vacuum could exist and that if Russia were abstain from an active policy in the CIS or

even embark on an unwarranted pause, this would inevitably lead to nothing but other, more

active states resolutely filling this political space” (Hannes Adomeit, 2011: 13). Dengan

demikian telah jelas jika Vladimir Putin mengajak agar Rusia dapat menjadi pemeran aktif

dalam sistem internasional yang dipandang anarkis. Inisiasi Vladimir Putin dalam

menciptakan Rusia sebagai revisionist power telah dimulai melalui pemutusan hubungan

baik Rusia dengan negara-negara barat seiring secara bersamaan berusaha menciptakan

reintegrasi geo-ekonomi dan geo-politik pada beberapa negara disekitarnya khususnya

sejumlah negara post-Soviet.

Berdasarkan pada survey yang dikeluarkan oleh Kementrian Luar Negeri Rusia yakni

Obzor Vneshney Politiki Rossiiskoi Federatzii pada Maret 2007, sejumlah perhatian bagi

Rusia dalam sistem internasional tak terlepas dari aktivitas politik luar negeri negara-negara

barat (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell H. Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 85).

Dalam survey yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Rusia tersebut, ada tiga

hal yang perlu dijadikan perhatian penting mengenai negara-negara barat antara lain (1)

negara barat dapat mengintervensi urusan domestik internal Rusia; (2) Usaha negara barat

38 Balance of power adalah perimbangan kekuatan antar dua aktor hubungan internasional atau lebih yang saling berhadapan satu sama lain.

Page 47: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

77

untuk menciptakan unipolar world39 dimana sistem internasional dijadikan sarana diplomasi

koersi terhadap kebijakan luar negeri Rusia; (3) Negara barat membentuk aliansi militer

superpower yang dijadikan sebagai instrumen kebijakan luar negerinya (Olga Oliker; Keith

Crane; Lowell H. Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 85). Melalui survey yang

dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Rusia maka telah jelas jika kehadiran negara-

negara barat dalam sistem internasional dapat diklasifikasikan sebagai ancaman eksternal

bagi Rusia. Inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi Vladimir Putin untuk

memilih arah kebijakan politik luar negeri Rusia sebagai revisionist states.

Sejumlah politisi Rusia menyepakati bahwa jalan sebagai revisionist states harus

diambil sebagai respon terhadap perluasan pengaruh NATO dan Uni Eropa pada sejumlah

negara Warsaw Pact dan post-Soviet. Hal ini dapat dijadikan sebagai justifikasi Rusia

sebagai revisionist states sebab dunia barat telah menjadi penghambat utama bagi tujuan

politik luar negeri Rusia pada masa kepemimpinan Vladimir Putin untuk memperluas

pengaruh Rusia pada beberapa negara sekitarnya dan negara post-Soviet di kawasan Eurasia.

Sergei Lavrov selaku Menteri Luar Negeri Rusia pun seringkali mempublikasikan kritiknya

terhadap berbagai kebijakan NATO bloc (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell H. Schwartz;

dan Catherine Yusupov, 2009: 86). Pada Februari 2007 di Munich Security Conference,

Vladimir Putin bahkan memperkuat kritik Sergei Lavrov terhadap NATO bloc dengan

memperingati Amerika Serikat dan aliansi baratnya untuk tidak menciptakan dunia

internasional berdasarkan pada “one boss, one sovereign” (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell

H. Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 86). Pada konteks yang sama, dalam pidatonya

Vladimir Putin juga menekankan mengenai dunia barat jika “they are constantly trying to

sweep us into a corner” (Maximilian Klotz, 2017: 272). Ekpansi pengaruh NATO inilah

yang kemudian dinamakan Vladimir Putin sebagai NATO Eastward expansion.

39 Unipolar order adalah kondisi distribusi power yang dikuasai oleh satu aktor negara baik dari segi pengaruh politik, ekonomi, maupun social budaya.

Page 48: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

78

Sumber : Finance twitter. NATO Eastward Expansion – 1990 vs 2009

Secara jelas telah diklarifikasi bila NATO Eastward expansion disebut sebagai ancaman

bagi agenda politik luar negeri Rusia. Kontinuitas dari NATO Eastward expansion masih

dapat terlihat pada berbagai isu yang mewarnai dunia internasional seperti yang terjadi di

Georgia dan Ukraina. Sejak masa kepemimpinan Vladimir Putin yang pertama, aktivitas

NATO sudah terlihat untuk memperluas ekspansi pengaruhnya pada beberapa negara post-

Soviet. Dilihat dalam perspektif Rusia, kasus rose revolution di Georgia pada tahun 2003

dan orange revolution di Ukraina pada tahun 2004 dapat menjadi cermin dari NATO

Eastward expansion (Ingmar Oldberg, 2010: 8). Perlu diketahui bila rose revolution dan

orange revolution merupakan bagian dari coloured revolution yang terjadi pada sejumlah

negara post-Soviet. Keterbukaan demokrasi barat diyakini sebagai penyebab beserta peluang

bagi NATO untuk menanamkan pengaruhnya pada kedua negara tersebut. Sebagaimana

pada awalnya Georgia dan Ukraina merupakan negara anggota dari Commonwealth of

Page 49: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

79

Independence States (CIS) yang dijadikan sebagai instrumen politik perluasan pengaruh

Rusia di kawasan regional Eurasia.

Gelombang coloured revolution yang terjadi pada Georgia dan Ukraina terbukti

memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan agenda perluasan pengaruh Rusia pada

negara-negara post-Soviet. Dengan demikian tak mengherankan bila kasus coloured

revolution dijadikan sebagai sarana justifikasi keterlibatan Rusia untuk melakukan tindakan

koersif kepada dua negara tersebut. Asumsi ini berangkat dari jatuhnya rezim kepemimpinan

Eduard Shevardnadze yang dikenal sebagai pemimpin yang menandatangani perjanjian CIS

digantikan dengan rezim kepemimpinan pro-barat Mikheil Saakashvili pada tahun 2004.

Kenaikan Mikheil Saakashvili merupakan hasil dari rose revolution yang terjadi di Georgia

pada tahun 2003. Mikheil Saakashvili dikenal sebagai seorang politisi yang memimpin

pergerakan rose revolution bersama dengan Amerika Serikat dan aliansinya. Berangkat dari

naiknya kepemimpinan Mikheil Saakashvili di Georgia secara resmi pada tahun 2004,

hubungan Georgia dan NATO telah mendekat. Tentu saja situasi ini telah mempengaruhi

aktivitas politik luar negeri Rusia. Terlebih lagi dengan pengajuan proposal keikutsertaan

Georgia untuk menjadi negara anggota NATO pada tahun 2003.

Dalam merespon kondisi yang terjadi di Georgia, Vladimir Putin kemudian

meluncurkan serangan militer kepada Georgia pada tahun 2008. Perang inilah yang

kemudian dinamakan Russo-Georgia war. Pesan politik yang diberikan Vladimir Putin

sangat jelas yakni proteksi pengaruh Rusia di Georgia dibawah rezim kepemimpinan pro-

barat Mikheil Saakhashvili. Alhasil Rusia berhasil merebut wilayah Abkhazia dan Ossetia

selatan sebagai prestasi dari langkah kebijakan politik luar negeri yang diambil Vladimir

Putin. Namun sayangnya peristiwa Russo-Georgia war gagal dalam menjatuhkan rezim

kepemimpinan pro-barat Mikheil Saakhashvili. Pada momen yang bersamaan juga, Georgia

resmi keluar dari keanggotaan CIS pada tahun 2008. Berangkat pada peristiwa Russo-

Georgia war, kemudian Georgia secara resmi ditetapkan bergabung dalam keanggotaan

NATO melalui Bucharest Summit pada tahun 2008 (NATO, 2018).

Kondisi yang serupa juga terjadi pada Ukraina. Peristiwa orange revolution pada tahun

2004 telah memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan politik domestik

Ukraina. Jatuhnya rezim kepemimpinan Leonid Kuchma yang dikenal memiliki hubungan

Page 50: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

80

baik dengan Rusia bersama dalam keanggotaan aliansi CIS, secara eksplisit telah merubah

peta politik kebijakan luar negeri Ukraina. Hal ini disebabkan karena Viktor Yushchenko

sebagai aktor pemicu orange revolution di Ukraina telah menggantikan jabatan Leonid

Kuchma sebagai Presiden Ukraina pada tahun 2005. Tentu saja rezim kepemimpinan pro-

barat Viktor Yanukovich telah membawa dampak signifikan terhadap perkembangan

hubungan diplomatik Ukraina dengan NATO. Hal ini dapat dibuktikan dengan perencanaan

pengajuan diri Ukraina dalam keanggotaan baru NATO yang dicanangkan semasa era

kepemimpinan Viktor Yushchenko pada tahun 2008 (Olga Oliker; Keith Crane; Lowell H.

Schwartz; dan Catherine Yusupov, 2009: 87). Namun berselang beberapa tahun kemudian,

era kepemimpinan Viktor Yushchenko tidak berlangsung lama. Pada tahun 2010, Viktor

Yushchenko dikalahkan oleh dalam pemilu Ukraina oleh Viktor Yanukovich. Tentu saja

naiknya rezim kepemimpinan pro-Rusia Viktor Yushchenko dapat menjadi turning point

bagi Rusia dalam mempertahankan pengaruhnya di Ukraina.

Namun sayangnya pada tahun 2014, rezim kepemimpinan pro-Rusia Viktor Yanukovich

mendapatkan kudeta dari kursi kepemimpinan Ukraina setelah menolak Ukraine-European

Union Association Agreement. Patut diketahui bila Viktor Yanukovich lebih memilih untuk

terus memperkuat hubungan diplomatik dalam keanggotaan CIS. Namun kebijakan Viktor

Yanukovich mendapatkan pertentangan atau protes besar dari kelompok pro-Uni Eropa.

Gelombang protes di Ukraina ini terjadi pada tahun 2014 yang kemudian dinamakan

gelombang Euromaiden. Jatuhnya rezim kepemimpinan Viktor Yanukovich digantikan oleh

Petro Poroshenko, inilah yang telah memicu pergerakan aktivitas politik luar negeri Rusia

untuk bertindak koersif pada Ukraina. Pada tahun yang bersamaan juga, Rusia meluncurkan

serangan militer di wilayah Ukraina timur dan berhasil merebut wilayah Krimea dari

Ukraina. Tentu saja isu ini dapat dipandang sebagai cermin dari maneuver politik Rusia

sebagai respon terhadap perluasan pengaruh NATO dan Uni Eropa pada Ukraina. Namun

respon yang diberikan Rusia ini tak cukup berhasil sebab Petro Poroshenko telah membawa

Ukraina untuk bergabung menuju keanggotaan Uni Eropa dan NATO pada tahun 2017.

Selain itu Petro Poroshenko selaku presiden Ukraina juga telah memutuskan untuk secara

formal keluar dari organisasi regional CIS pada tahun 2018.

Page 51: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

81

Melalui dua kajian kasus tersebut, kita telah melihat secara jelas implikasi dari politik

revisionisme Rusia yang dicanangkan semasa kepemimpinan Vladimir Putin. Baik Russo-

Georgia war maupun Crimean war, keduanya adalah cermin dari manuver politik Rusia

dalam hal menciptakan proteksi pengaruh Rusia pada kedua negara tersebut. Menariknya

dari sederet aktivitas politik luar negeri Rusia adalah bagian dari agenda yang dibentuk oleh

Vladimir Putin. Dengan demikian menjadi sangat jelas bila maneuver politik Rusia dapat

disebut sebagai manifestasi kebijakan politik luar negeri Vladimir Putin. Kontinuitas

kebijakan manuver politik Rusia tidak cukup berhenti sampai pada titik dua kasus tersebut

saja. Melainkan maneuver politik Rusia kembali terimplikasikan melalui hybrid war pada

negara-negara di wilayah Eropa utara. Pada konteks tiga negara Baltik, setelah momen

pecahnya Uni Soviet, Rusia telah kehilangan pengaruh politiknya pada Estonia, Latvia,

hingga pada Lithuania. Hal ini dapat dibuktikan dengan menolaknya ketiga negara Baltik

untuk bergabung bersama dengan organisasi regional CIS. Sementara pada konteks

Finlandia dan Swedia, kedua negara terlihat telah meninggalkan posisi netralitasnya untuk

lebih memihak pada blok NATO sehingga Rusia merasa NATO masih terus mencoba untuk

memperluas pengaruhnya.

4.3 Kebijakan kerjasama preventif NATO Northeastern Flank dalam

menciptakan kondisi deterrence di wilayah Lautan Baltik

Secara gasis besar NATO Northeastern Flank dapat dijelaskan sebagai bentuk kebijakan

kolektif dari hasil beberapa perundingan Transatlantic dalam hal merespon aktivitas politik

politik luar negeri Rusia di Lautan Baltik. Dalam kebijakan kolektif NATO Northeastern

Flank, agenda ini melibatkan perhatian khusus pada bidang politik keamanan empat negara

Fizgard (Polandia, Hunggaria, Republik Ceko, dan Slovakia), tiga negara Baltik (Estonia,

Latvia, dan Lithuania), dan dua negara Nordik (Finlandia dan Swedia). Dalam hal ini

aktivitas manuver politik Rusia di Lautan Baltik menjadi agen struktural dari teciptanya

bentuk kerjasama ini. Berdasarkan yang sudah dipaparkan sebelumya, telah ditujukan

sebuah data bahwa NATO telah difavoritkan bagi tiga negara Baltik, Finlandia dan Swedia

seiring dengan kemunculan isu konflik militer di Georgia pada tahun 2008 dan konflik

militer di Ukraina pada tahun 2014. Dengan substansi NATO telah menjadi pelopor

Page 52: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

82

penciptaan kondisi deterrence bagi tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia dari potensi

ancaman keamanan manuver politik Rusia di Lautan Baltik.

Dalam usaha untuk menciptakan kondisi deterrence, pembentukan agenda kerjasama

pertahanan keamananan ini dirundingtkan dalam Wales Summit 2014. Kemudian melalui

persetujuan kolektif hasil Wales Summit 2014 mengklasifikasikan bahwa ada dua bentuk

ancaman yang perlu dijadikan sebagai perhatian khusus bagi 28 negara anggota NATO

ditambah Finlandia dan Swedia. Dua bentuk ancaman yang dimaksud antara lain ancaman

dari timur yang berasal dari Rusia dan ancaman dari selatan yang berasal dari terorisme.

Dalam hasil perundingan Wales Summmit 2014 dijelaskan bahwa manifestasi ancaman ini

muncul berdasarkan aktivitas politik luar negeri Rusia yang dinilai agresif terhadap Ukraina

beserta meningkatnya instabilitas politik yang muncul dari wilayah Timur Tengah dan

Afrika utara (NATO, 2014).

Berkenaan dengan manifestasi konsepsi ancaman dari timur, konsepsi ini muncul paska

pengambilalihan wilayah Krimea dari Ukraina beserta kontinuitas konflik militer di Ukraina

timur yang dirancang oleh Rusia. Berdasarkan hasi perundingan agenda Wales Summit 2014,

secara tegas seluruh negara ikatan Euro-Atlantic telah mengutuk aktivitas intervensi militer

ilegal Rusia di wilayah Ukraina, besera menuntut Rusia untuk menghentikan aktivitas politik

luar negeri Rusia pada Ukraina yang tidak dapat dilegitimasi oleh hukum internasional

(NATO, 2014). Selain itu seluruh negara anggota ikatan Euro-Atlantic tersebut menyepakati

untuk mendukung pemberian sanksi ekonomi yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap

aktivitas militer ilegal Rusia beserta pembentukan kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina

(NATO, 2014). Mengacu pada persetujuan terhadap pemberian sanksi ekonomi tersebut,

seluruh negara anggota Uni Eropa, Norwegia, Amerika Serikat, beserta Kanada menyetujui

untuk membatasi arus capital market untuk Rusia, termasuk mengurangi ketergantungannya

pada sektor energi (NATO, 2014). Implementasi sanksi ekonomi ini telah menjadi bentuk

nyata NATO bukan saja untuk terus meminimalisir eskalasi militer Rusia di Ukraina,

melainkan juga meminimilasir potensi perluasan manuver politik Rusia pada sejumlah

negara di sekitar wilayah Lautan Baltik.

Dalam perundingan Transatlantic itu juga dibahas mengenai kekhawatiran akan

meluasnya potensi aktivitas manuver politik Rusia. Tiga negara Baltik, Finlandia, dan

Page 53: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

83

Swedia adalah sejumlah negara di sekitar wilayah Lautan Baltik yang dimaksud dalam

dokumen hasil perundingan Wales Summit 2014 tersebut. Mengutip dari hasil perundingan

Wales Summit 2014, telah ditekankan jika NATO perlu memiliki strategi efektif untuk

melawan tekanan hybrid warfare dari Rusia (NATO, 2014). Berkaca dari keberhasilan Rusia

dalam pengambilalihan wilayah Krimea, aktivitas Rusia untuk memicu information war

telah menjadi modal awal Rusia dalam mensukseskan agenda politik luar negerinya yang

dinilai ilegal oleh seluruh negara anggota ikatan Euro-Atlantic. Situasi inipun ditakutkan

berpotensi kembali terulang pada tiga negara Baltik, Finlandia, dan Swedia dengan masih

berlangsungnya perlombaan di bidang informasi sebagai intrumen dari hybrid warfare.

Secara lebih jelas situasi inipun kemudian diperjelas dalam dokumen hasil perundingan

Warsaw Summit 2016. Pada hasil perundingan Warsaw Summit 2016 telah dijelaskan bahwa

NATO beserta aliansinya mendapatkan tantangan dari evolusi aktivitas manuver politik

Rusia yang sudah mencapai hingga pada sejumlah negara di sekitar wilayah Lautan Baltik

(NATO, 2016). Sirkumtasi ancaman yang dimaksud, tentu saja datang dalam bentuk hybrid

warfare yang sudah dialami beberapa negara tersebut. Dengan demikian diperlukan

beberapa strategi resolusi khusus yang disepakati dalam sidang Transatlantic dalam

membendung kontinuitas bentuk ancaman hybrid warfare.

Tentu saja implementasi prinsip one against all yang dicanangkan dalam artikel 5

Washington treaty juga akan terus dipertahankan dalam upaya menciptakan kondisi

deterrence dan stabilitas politik internasional (NATO, 2016). Maka kebijakan kolektif

NATO dibutuhkan dalam mengupayakan tujuan tersebut. Melanjutkan dari dokumen hasil

perundingan Wales Summit 2014, satu kebijakan kolektif NATO yang ditekankan tersebut

adalah sejumlah ketentuan untuk mengajak seluruh negara anggota NATO dalam

memberikan kontribusi minimal sebesar 2 persen GDP negara di bidang pertahanan; beserta

memberikan kontribusi lebih dari 20 persen dari pengeluraan negara di bidang pertahanan

untuk persenjataan dan perkembangan teknologi (NATO, 2014). Pembahasan kemudian

dilanjutkan pada Warsaw Summit 2016 yang berfungsi untuk memperkuat beserta

melengkapi isi dokumen Wales Summit 2014.

Selain itu pada Warsaw Summit 2016, diatur sebuah resolusi terkhusus pada tiga negara

Baltik, agar kerjasama pertahanan multinasional NATO menunjukan presensinya pada

Page 54: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

84

Estonia, Latvia, dan Lithuania dalam menjamin pertahanan beberapa negara tersebut

(NATO, 2016). Sementara bagi dua negara Nordik, ikatan kerjasama multinasional antara

NATO, Finlandia, dan Swedia akan terus ditingkatkan guna menjamin pertahanan kolektif

dari agenda ancaman yang datang dari timur (NATO, 2016). Maka tak mengherankan bila

keberadaan presensi NATO dinilai penting bagi sejumlah negara di kawasan Lautan Baltik

seiring dengan evolusi ancaman hybrid warfare Rusia yang sudah meluas hingga kawasan

tersebut. Dalam hal usaha membendung ancaman hybrid warfare, dibentuklah dua

mekanisme preventif berbeda antara menangani potensi ancaman conventional warfare dan

irregular warfare.

Pada tahap irregular warfare diperkenalkan tiga tahap dalam usaha untuk

menanggulanginya yakni prepare, deter, dan defend (NATO, 2018). Tiga tahap konsep

strategi pencegahan ini sudah diperkenalkan sejak tahun 2015 (NATO, 2018). Namun

seiring dengan perkembangannya konsep ini terus diperbaharui sejalan dengan meluasnya

kerja sama yang dibangun NATO mengenai metode ancaman tesebut. To be prepared,

NATO terus mengumpulkan, membagi, serta memeriksa perkembangan informasi dengan

tujuan untuk mendeteksi segala aktivitas hybrid warfare (NATO, 2018). To deter hybrid

threats, NATO perlu bereaksi dengan segera kapanpun dan dimanapun aksi preventif ini

dibutuhkan dengan meningkatkan kesiapan, memperkuat proses decision-making,

memperjelas strukturalisasi (NATO, 2018). Jika gagal dalam menciptakan kondisi

deterrence, NATO siap berdiri to defend any ally against any threat (NATO, 2018). Jika

dilihat secara seksama, perwujutan artikel 5 Washington treay cukup ditekankan oleh NATO

dalam mencapai tujuan untuk menciptakan kondisi deterrence.

Dalam hal mencapai tujuan tersebut, NATO telah membangun ikatan kerjasama

preventif terkait kemunculan ancaman dalam bentuk hybrid warfare. Beberapa bagian dari

usaha untuk membangun ikatan kerjasama telah dibangun NATO dengan ikut mengundang

sejumlah aktor internasional lainnya yang sedang menghadapi isu yang serupa seperti

Finlandia, Swedia, Ukraina, dan Uni Eropa (NATO, 2018). Dalam agenda ikatan kerjasama

ini lebih difokuskan dalam mencari resolusi kolektif untuk mencegah berbagai macam

cyber attack seperti propaganda, disinformation, dan sebagainya (NATO, 2018). Mengingat

dominasi ancaman yang datang pada sejumlah negara di wilayah Lautan Baltik berasal dari

Page 55: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

85

jaringan interkoneksi media informasi. Maka dibangunlah sebuah lembaga khusus untuk

menangani ancaman ini yaitu Centre of Excellence.

Saat ini lembaga Centre of Excellence berpusat di Helsinki, Finlandia (NATO, 2018).

Centre of Excellence dibentuk pada Oktober 2017 berdasarkan kesepakatan yang dibentuk

antara NATO dan Uni Eropa (NATO, 2018). Tentu saja tujuan pembentukan lembaga ini

jelas sebagai upaya pencegahan khususnya terhadap berbagai jenis ancaman dalam bentuk

irregular warfare. Centre of Excellence adalah organisasi militer internasional yang

dibentuk untuk memberikan pelatihan dan mengedukasi para pemimpin dan spesialis dari

seluruh negara anggota NATO dan sekutunya (NATO, 2019). Pembentukan Centre of

Excellence berperan dalam hal perkembangan doktrin, identifikasi pembelajaran,

meningkatkan kapabilitas pertukaran informasi dan validasi sebuah konsep melalui

penggunaan metode eksperimen (NATO, 2019). Melalui penanganan hybrid threat yang

dilakukan lembaga ini diharapkan jika NATO mampu mendistribusikan doktrin dan

pandangannya hingga pada elemen civil society.

Dalam menanggulangi bentuk ancaman ini yang sudah meluas hingga sejumlah negara

di wilayah Lautan Baltik, keberhasilan NATO mendistribusikan doktrin dan pandangan

dalam perdebatan media informasi lokal dapat menjadi strategi yang untuk menghambat laju

manuver politik Rusia. Asumsi ini diperkuat dengan melihat isu konflik militer sebelumnya

di wilayah Krimea pada tahun 2014 yang seolah olah memberikan ruang pada aktivitas

manuver politik Rusia melalui dukungan politik masyarakat domestik Krimea melalui garis

keturunan etnik. Maka strategi preventif khusus pada tahap irregular warfare ini dibentuk

untuk mencegah aktivitas manuver politik Rusia pada ruang yang ditinggalkan tersebut.

Tentu saja upaya preventif tidak dapat dicapai dengan upaya yang cenderung hanya

terbilang normatif, melainkan dibutuhkan sebuah upaya praktis yang dapat menarik simpati

setiap elemen baik pemerintah maupun masyarakat pada setiap negara yang dituju.

Tindakan praktis yang diimplementasikan melalui Centre of Excellence seperti

pelatihan, konferensi, seminar, pembentukan konsep, doktrinasi, pendidikan, dan media

papers dapat dipandang menjadi sebuah resolusi yang dibutuhkan pada konteks ini (NATO,

2019). Saat ini juga didirikan cabang lembaga Centre of Excellence seperti Strategic

Communications Centre of Excellence di Riga, Latvia; Cooperative Cyber Defence Cenre of

Page 56: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

86

Excellence di Talinn, Estonia; dan Energy Security Centre of Excellence di Vilnius,

Lithuania (NATO, 2018). Namun sebenarnya berbagai program Centre of Excellence ini tak

cukup dapat dipandang untuk mengukur tingkat keberhasilan dari upaya preventif tersebut.

Melainkan eksekusi dari berbagai program Centre of Excellence akan bergantung dari setiap

negara yang mengelolanya tak terkecuali sejumlah negara di wilayah Lautan Baltik seperti

Estonia, Latvia, Lithuania, Finlandia, Swedia, dan beberapa negara lainnya. Dengan kata

lain tingkat keberhasilan program ini bergantung pada bagaimana proses distribusi

pandangan hingga pada elemen masyarakat sehingga perkembangan bipolaritas pandangan

politik dapat menjadi cermin tolak ukur keberhasilan program tersebut.

Berbagai tindakan preventif irregular warfare melalui program Centre of Excellence

merupakan strategi yang baik dicetuskan oleh NATO. Namun berbagai program preventif

ini belumlah cukup jika tidak dilengkapi dengan sebuah kesiapan akan potensi ancaman

yang dapat berevolusi hingga bentuk conventional warfare. Maka dalam dokumen NATO

Northeastern Flank, strategi khusus dalam membendung potensi ancaman conventional

warfare juga tak luput menjadi sebuah agenda yang dibahas pada beberapa perundingan

Euro-Atlantic. Dalam strategi membendung manuver politik Rusia di wilayah Lautan Baltik,

koordinasi kerjasama pertahanan NATO beserta sekutunya mengeluarkan beberapa program

kebijakan pertahanan terkhusus pada bidang pertahanan angkatan udara. Beberapa

implementasi program kebijakan pertahanan pada setiiap negara pun juga tidaklah sama

bergantung pada kebutuhan yang perlu dicukupi.

Dalam konteks kesepakatan kerjasama pertahanan konvensional yang dibentuk NATO

beserta sekutunya untuk Finlandia dan Swedia. NATO mengajak Finlandia dan Swedia

untuk mengikuti latihan militer gabungan Red Flag dan Green Flag di Amari Air Base

(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.

Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Kedua negara aliansi NATO tersebut juga tak

lupa diundang untuk berpartisipasi pada Baltic and Icelandic Air Policing Missions

(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.

Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Selain itu latihan gabungan bersama Amerika

Serikat di wilayah Nordik berdasarkan implementasi model Arctic Challenge 2015 juga

Page 57: BAB IV POLITIK LUAR NEGERI RUSIA SEBAGAI FAKTOR …

87

dipertahankan keberlanjutannya (Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan

Frederick; Daniel S. Hamilton, F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6).

Sementara implementasi program kerjasama pertahanan konvensional yang dibentuk

NATO beserta sekutunya untuk tiga negara Baltik pun sedikit memiliki perbedaan dengan

program kebijakan pertahanan yang diimplementasikan pada Finlandia dan Swedia. Dalam

hasil perundingannya, perkembangan kemajuan kapabilitas pertahanan udara berdasarkan

program kebijakan Baltic Air Policing Missions cukup ditekankan (Chrishtopher S. Chivvis;

Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F. Stephen Larabee; dan Bonny

Lin, 2016: 7). Dengan substansi NATO perlu membantu mencukupi aset bserta kontrol

pertahanan udara di wilayah Baltik (Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan

Frederick; Daniel S. Hamilton, F. Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Selain itu

berbagai bentuk bantuan supply seperti bahan bakar, amunisi, dan sebagainya juga

disepakati pada kondisi operasi krisis khususnya pada beberapa lokasi yang diprioritaskan

seperti wilayah Amari, Lielvarde, dan Siauliai untuk kepentingan future improvement

(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.

Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6). Penguatan koordinasi pertahanan antara tiga

negara Baltik dan Nordic Defence Cooperation, terutama dengan Finlandia dan Swedia juga

dipererat dalam upaya mencari resolusi terkait isu keamanan yang dihadapi bersama

(Chrishtopher S. Chivvis; Raphael S. Cohen; Bryan Frederick; Daniel S. Hamilton, F.

Stephen Larabee; dan Bonny Lin, 2016: 6).