Bab IV Pembahasan

13
BAB IV PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara para pihak terkait, dan data atau dokumen yang diperoleh dari lapangan, maka hasil dari penelitian tersebut dituangkan sebagai berikut : Duduk Permasalahan Kecamatan Songgom terletak di sebelah selatan Ibukota Kabupaten Brebes. Daerah yang berjumlah penduduk 69.615 ini tergolong daerah yang padat penduduknya. Adapun batas-batas Kecamatan Songgom, yaitu : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jatibarang - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tegal - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Larangan - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tegal Desa Songgom merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Songgom. Jumlah penduduk Desa Songgom yaitu 5298 jiwa. 1 Adapun hasil produksi yang dihasilkan Desa Songgom antara lain padi, jagung, bawang merah, dan tebu. 2 Terutama tebu, tebu merupakan hasil dari mata pencaharian sehari-hari rakyat Songgom karena hasil pertanian ini mempunyai harga jual yang tinggi. Selain itu, Desa Songgom dianggap berprestasi dalam memproduksi tebu yang berkualitas. Masyarakat Songgom 1 Proyeksi Penduduk Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip buku Kecamatan Songgom Dalam Angka Tahun 2013. 2 Monografi Kecamatan Songgom sebagaimana dikutip buku Kecamatan Songgom Dalam Angka Tahun 2013.

description

bbb

Transcript of Bab IV Pembahasan

Page 1: Bab IV Pembahasan

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara para pihak terkait,

dan data atau dokumen yang diperoleh dari lapangan, maka hasil dari penelitian tersebut

dituangkan sebagai berikut :

Duduk Permasalahan

Kecamatan Songgom terletak di sebelah selatan Ibukota Kabupaten Brebes. Daerah

yang berjumlah penduduk 69.615 ini tergolong daerah yang padat penduduknya. Adapun

batas-batas Kecamatan Songgom, yaitu :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jatibarang

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tegal

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Larangan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tegal

Desa Songgom merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Songgom.

Jumlah penduduk Desa Songgom yaitu 5298 jiwa.1 Adapun hasil produksi yang dihasilkan

Desa Songgom antara lain padi, jagung, bawang merah, dan tebu.2 Terutama tebu, tebu

merupakan hasil dari mata pencaharian sehari-hari rakyat Songgom karena hasil pertanian ini

mempunyai harga jual yang tinggi. Selain itu, Desa Songgom dianggap berprestasi dalam

memproduksi tebu yang berkualitas. Masyarakat Songgom menggantungkan hidupnya pada

hasil tebu yang ditanam di tanah Songgom. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mengkaji

sengketa penguasaan tanah yang terjadi di Desa Songgom Kecamatan Songgom Kabupaten

Brebes. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para petani penggarap, dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

Sengketa penguasaan tanah ini terjadi antara Perum Perhutani dengan petani

penggarap Desa Songgom. Petani penggarap telah memanfaatkan tanah yang dikenal sebagai

tanah “Bleberan Kalen Rembet” sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tepatnya sejak tahun 1921

secara turun temurun. Tanah tersebut digunakan sebagai lahan mata pencaharian sehari-hari.

Petani penggarap memanfaatkan tanah tersebut karena mereka menganggap bahwa tanah

1 Proyeksi Penduduk Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip buku Kecamatan Songgom Dalam Angka Tahun 2013.2 Monografi Kecamatan Songgom sebagaimana dikutip buku Kecamatan Songgom Dalam Angka Tahun 2013.

Page 2: Bab IV Pembahasan

tersebut merupakan sumber daya alam di wilayahnya yang berhak dimanfaatkan warga

sekitar, meskipun pada saat itu petani penggarap menyadari bahwa tanah tersebut merupakan

tanah negara yang pengelolaanya di bawah Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Propinsi

Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah, dimana petani penggarap wajib membayar retribusi yang

telah ditetapkan dinas terkait karena telah mendapatkan hasil dari tanah tersebut.

Pada tahun 1973, dikeluarkan kebijakan penghijauan oleh pemerintah. Kebijakan

tersebut merupakan awal mula Perum Perhutani mengklaim tanah tersebut dibawah

penguasaan Perum Perhutani dan dianggap sebagai kawasan hutan. Pada tahun 1973, Perum

Perhutani menitip sebagian tanaman keras milik Perum Perhutani di tanah Bleberan

Kalenrembet, tanaman tersebut ditanam karena dianggap ampuh untuk mencegah timbulnya

erosi. Namun setelah tanaman tersebut tumbuh besar, Perum Perhutani mencoba menguasai

tanah garapan, yang dalam hal ini petani menganggap hal tersebut sebagai penanaman secara

paksa karena petani penggarap tidak berkenan atas penanaman tanaman keras yang dilakukan

Perum Perhutani. Tanah tersebut sudah menjadi tempat bergantung hidup petani penggarap

sekitar, sehingga terjadi ketertakutan pada petani bahwa cepat atau lambat mereka akan

kehilangan tanah garapanya. Ketertakutan petani penggarap menjadi kenyataan saat

terjadinya pengambilalihan tanah garapan oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani mengambil

alih tanah dengan menggunakan paksaan kepada masyarakat petani kecil/penggarap,

sehingga menimbulkan rasa ketertakutan yang mendalam pada petani dan meninggalkan

garapanya untuk sementara. Negosiasi telah dilakukan antara Perum Perhutani dengan petani

penggarap, namun tidak tercapai kesepakatan. Tanah Bleberan Kalenrembet terus menjadi

obyek sengketa antara Perum Perhutani dengan petani penggarap Desa Songgom sampai

pada tahun 1988.

Pada tahun 1988, Perum Perhutani datang dengan membawa Surat Gubernur Tanggal

14 September 1988 Nomor 593/26325 yang menegaskan bahwa tanah Bleberan Kalenrembet

pengelolaanya dialihkan pada Perum Perhutani. Namun petani penggarap tetap menggarap

tanahnya, karena tanah tersebut merupakan satu-satunya sumber pendapatan sehari-hari.

Tahun 2004 petani penggarap mulai membayar PBB, karena dengan dibayarkanya PBB,

mereka merasa status hukum petani penggarap jauh lebih aman dalam menggarap tanah

tersebut. Namun Perum Perhutani terus mengadakan sosialiasi kepada petani penggarap

untuk menegaskan bahwa penguasaan tanah tersebut milik Perum Perhutani, dan

menerangkan bahwa petani penggarap tidak seharusnya membayar PBB di tanah yang

dikelola oleh Perum Perhutani.

Page 3: Bab IV Pembahasan

Pihak Pemerintah Daerah beberapa kali mengadakan upaya mediasi antara Perum

Perhutani dengan petani penggarap, namun tidak juga menemukan titik temu. Pada tahun

2014 PBB yang dibayarkan petani penggarap secara rutin dihentikan oleh dinas terkait,

sampai akhirnya petani tidak lagi membayar PBB. Diketahui bahwa pejabat daerah terkait

telah mengambil kebijakan untuk membekukan SPPT petani penggarap. Keputusan ini

diambil berlandaskan Surat Gubernur Tahun 1988, dan bertujuan untuk menghindari adanya

pemungutan pajak secara “double” pada petani penggarap dan Perum Perhutani.

Bukti lain yang dipaparkan petani penggarap yang tertulis dalam dokumen DPRD

(surat Nomor 009/FKP/DPRD-II/XI/1992), bahwa telah dilakukan pengukuran oleh P.U

Pengairan Seksi Brebes tahun 1963, dan dibenarkan bahwa telah terdapat petani turun

temurun yang menggarap di kawasan tersebut dengan perijinan untuk menyewa tanah dan

membayar retribusi kepada dinas terkait. Semua petugas Perum Perhutani pada waktu itu

turut datang dan mengakui bahwa tanah tersebut merupakan tanah “lepe-lepe”, dan bukan

kawasan hutan, sehingga tidak pernah ada sengketa sampai saat itu. Dari situ petani

penggarap meyakini bahwa mereka jauh lebih berhak atas tanah tersebut.

Petani penggarap juga melaporkan terjadinya perlakuan yang dilakukan secara paksa

seperti pada tahun 1973, yaitu upaya pengusiran para petani penggarap yang tidak tunduk

untuk datang ke Kantor Perhutani, adanya polisi khusus Perum Perhutani yang berjaga di

tanah garapan dan menakuti petani penggarap dengan suara tembakan.

Keinginan petani penggarap adalah petani penggarap dapat terus memanfaatkan tanah

tersebut dan dikelola oleh petani, dan dapat digarap secara aman karena petani menganggap

bahwa tanah tersebut merupakan warisan leluhur. Kelalaian petani penggarap adalah

kurangnya pengetahuan untuk mengesahkan hak atas tanahnya dalam bentuk sertifikat,

sehingga tanah-tanah lain yang sudah bersertifikat tidak diklaim di bawah penguasaan Perum

Perhutani. Petani penggarap sampai dengan saat ini masih meyakini dan memperjuangkan

tanah garapanya agar dapat kembali dimanfaatkan oleh petani penggarap

Adapun hasil wawancara pada Perum Perhutani, sebagai berikut :

Perum Perhutani KPH Balapulang melalui Wakil Administratur KPH Balapulang

menyampaikan bahwa Perum Perhutani pada dasarnya mengerti bahwa tanah Bleberan

Kalenrembet merupakan tanah yang dikuasai petani secara turun temurun sehingga petani

penggarap merasa berhak atas tanah tersebut. Pada prinsipnya Perhutani tidak pernah

Page 4: Bab IV Pembahasan

“mengusir” warga dari tanah yang digarapnya yang saat ini ditanami tebu. Namun perlu

dipahami bahwa mengingat kawasan yang digarap warga tersebut termasuk dalam kawasan

hutan negara yang dikelola oleh Perhutani ( berdasarkan Surat Gubernur Tanggal 14

September 1988 Nomor 593/26325), maka harus ada keselarasan antara kepentingan warga

dengan program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Perum Perhutani terkait

dengan kawasan hutan yang digarap/dipakai oleh warga/petani penggarap. Adapun dari pihak

Perhutani pada akhirnya lebih memilih jalan bermusyawarah dengan petani penggarap untuk

mencari solusi yang paling tepat, namun apabila solusi yang dimaksud tidak mencapai titik

temu, maka ranah pengadilan merupakan alternatif terakhir yang harus dihormati oleh semua

pihak.

Salah satu dokumen yaitu Surat Nomor 376/058.2/Kam/BPL.I, yang berisi laporan

pihak Perhutani kepada Kapolres Brebes, tertulis bahwa secara yuridis formal, lokasi yang

menjadi obyek sengketa merupakan kawasan hutan negara, namun Perum Perhutani akan

tetap melibatkan masyarakat untuk pemanfaatan bersama melalui sistem PHBM

( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Upaya yang ditempuh Perum Perhutani selama

ini mengedepankan kebenaran hukum dan azas kemanfaatan masyarakat. Perhutani meyakini

bahwa para petani penggarap akan memahami bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan

hutan negara, dan tetap ingin bersama-sama mengelola hutan tanpa bermaksud memiliki

tanah. Terhadap terhadap orang-orang yang berpotensi memperkeruh kondusifitas terutama

para pemodal dan oknum masyarakat, Perum Perhutani mohon agar oknum-oknum tersebut

diberikan tindakan hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Page 5: Bab IV Pembahasan

Berdasarkan duduk permasalahan diatas, penulis merumuskan dua rumusan masalah

yaitu :

1. Bagaimana status hukum tanah yang menjadi objek sengketa antara Perum Perhutani

dengan petani penggarap di Desa Songgom?

2. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara Perum Perhutani

dengan petani penggarap di Desa Songgom?

STATUS HUKUM TANAH YANG MENJADI OBJEK SENGKETA ANTARA

PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI PENGGARAP

Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis, terdapat dua hasil

wawancara, yaitu Perum Perhutani dan Petani Penggarap. Adapun hasil wawancara

terhadap kedua belah pihak sebagai berikut :

STATUS HUKUM TANAH MENURUT PETANI PENGGARAP

Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terhadap petani-petani kecil

dari Desa Songgom dan data-data yang terkait, disimpulkan bahwa petani penggarap

Desa Songgom telah menggarap tanah Bleberan Kalenrembet sejak tahun 1921,

adapun status tanah pada saat itu dikuasai oleh Dinas Pekerjaan Umum, yaitu cabang

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemali Hilir-Kabupaten Daerah Tingkat II Brebes

dan Tegal.

Tetapi sejak tahun 1973, tanah tersebut diambil alih dan diakui oleh Perum

Perhutani KPPH Balapulang Kabupaten Tegal dengan menggunakan paksaan kepada

masyarakat petani penggarap, sehingga menimbulkan rasa ketertakutan yang

mendalam, yang akhirnya membuat petani meninggalkan garapanya untuk sementara.

Adapun luas areal tanah yaitu 111 hektar, dan lokasi objek sengketa yaitu,

A. Blok Kalenrembet terletak di sebelah kiri sungai Pemali yang masuk dalam

wilayah Kabupaten Dati II Brebes.

Page 6: Bab IV Pembahasan

B. Blok Bleberan terletak disebelah kanan sungai pemali yang termasuk wilayah

Kabupaten Dati II Tegal.

(Surat DPRD Nomor 009/FKP/DPRD-II/XI/1992 kepada Bapak Gubernur Jawa

Tengah)

Menurut masyarakat, status hukum kedua tanah tersebut adalah dikuasai oleh

Dinas Pekerjaan Umum yang dipercayakan kepada cabangnya, yaitu kepada cabang

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemali Hilir Kabupaten Dati II Brebes dan

Kabupaten Dati II Brebes dan Tegal. Terbukti sejak tahun 1921 tanah-tanah tersebut

disewakan dan digarap oleh masyarakat petani kecil dengan membayar retribusi

kepada dinas terkait. Pada tahun 1963 oleh P. U Pengairan Seksi Brebes yaitu

pengamat pengairan Songgom Kecamatan Jatibarang Kabupaten Dati II Brebes

mengadakan pengukuran di tanah sepanjang sungai Pemali termasuk Blok Bleberan

dan Kalenrembet, dilaporkan ke Cabang Dinas P. U Pemali Hilir Kabupaten Dati II

Brebes, bahwa ternyata Blok Bleberan dan Kalenrembet sudah terdapat daftar para

petani yang memperoleh ijin menyewa dan menggarap tanah tersebut dengan

membayar retribusi kepada dinas terkait. Dalam pengukuranya sampai delapan blok

dalam satu lokasi yang berdampingan, semua petugas Perum Perhutani (baik mantri

kehutanan maupun mandor Perum Perhutani) waktu itu membenarkan dan tidak

satupun petugas Perhutani yang mengatakan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan

hutan. Sehingga saat itu tetap dikuasai oleh Cabang DPU Pemali Hilir Kab Brebes.

Pada bulan Juni 1972 Mandor Perhutani yang bertugas di lapangan mengambil

alih pemilikan wilayah Bleberan dan Kalenrembet serta mengusir para penggarap,

yang tidak tunduk untuk dipanggil ke Kantor Perhutani Balapulang Kabupaten Tegal.

Selanjutnya tanah tersebut dikuasai oleh Polisi Khusus Perhutani dan semua

penggarap ditakut-takuti dengan tembakan-tembakan dan sebagian dibawa ke kantor

Perhutani Balapulang Kabupaten Tegal.

Petani penggarap mendapatkan informasi dari Cabang DPU Pemali Hilir

Kabupaten Brebes, bahwa setelah diadakan pengecekan ke lokasi, dan disesuaikan

dengan peta yang dibuat Perhutani setiap 10 tahun , ternyata peta perhutani tidak

cocok, yang benar adalah Dinas Pekerjaan Umum Pemali Hilir Kabupaten Brebes dan

Tegal ( berdasar Surat Kepala Dinas PU Propinsi Dati I Jawa Tengah Nomor 593.7/1

Page 7: Bab IV Pembahasan

Tanggal 17 Januari 1986 yang dialamatkan pada Bapak Gubernur Jawa Tengah terkait

permasalahan tanah Bleberan dan Kalenrembet).

Maka atas dasar-dasar tersebut, rakyat masih meyakini bahwa status hukum

tanah Bleberan dan Kalenrembet adalah dibawah penguasaan Dinas Pekerjaan Umum

Propinsi Jawa Tengah yang dipercayakan kepada Dinas Pekerjaan Umum Pemali

Hilir Kabupaten Dati II Brebes dan Tegal, sehingga tanah tersebut masih tetap dapat

dimanfaatkan masyarakat petani penggarap yang selama ini menggunakan tanah

tersebut untuk menghidupi keluarganya, dan agar terbebas dari belenggu penderitaan

selama tanah dikuasai Perhutani.

Petani penggarap melalui kuasa hukum nya Hascaryo Wimboh SH, MH

menginginkan untuk tetap menggarap kawasan hutan/lahan tersebut dengan tanaman

tebu, mengingat hal tersebut sudah menjadi mata pencaharian dari petani penggarap

sejak turun temurun sejak 1921, selain itu petani penggarap dan kuasa hukumnya

memohon diberikan kesempatan untuk tetap melakukan kerja sama dengan Pabrik

Gula Jatibarang dalam hal bantuan pinjaman untuk pembelian pupuk dan penjualan

hasil tebu nya.

STATUS HUKUM TANAH MENURUT PERUM PERHUTANI

Pada tahun 1973 Perhutani melakukan upaya untuk mengembalikan fungsi

kawasan hutan, sehingga Perum Perhutani melalui Wakil Administratur KPH

Balapulang menyampaikan bahwa pada prinsipnya Perhutani tidak pernah mengusir

warga dari tanah yang digarapnya yang saat ini ditanami tebu, namun demikian perlu

dipahami mengingat kawasan yang digarap warga tersebut masuk ke dalam kawasan

hutan negara yang dikelola oleh Perhutani, maka harus ada keselarasan antara

kepentingan warga dengan program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan

Perhutani terkait dengan kawasan hutan yang dipakai atau digarap petani penggarap.

Adapun dari kuasa hukum Perhutani KPH Balapulang menyampaikan pada

prinsipnya klien nya lebih mengutamakan musyawarah dnegan petani penggarap

untuk mencari solusi yang paling tepat, namun apabila jalan tersebut tidak kunjung

menemui titik temu, maka ranah pengadilan menjadi alternatif terakhir yang harus

dihormati semua pihak apapun hasilnya.

Pada tahun 1988, Gubernur mengeluarkan Surat Gubernur Tanggal 14

September 1988 Nomor 593/26325 yang berisi bahwa tanah Bleberan Kalenrembet

Page 8: Bab IV Pembahasan

maka pengelolaanya menjadi wewenang Departemen kehutanan atau Perum Perhutani

Unit I Jawa Tengah. Surat tersebut menjadi landasan Perum Perhutani dalam

penguasaan wilayah Bleberan dan Kalenrembet sampai saat ini.

Dalam surat Nomor 376/058.2/Kam/BPL/I yang berisi laporan perkembangan

penanganan blok Bleberan dan Kalenrembet kepada Kapolres Brebes, dipaparkan

bahwa secara yuridis formal lokasi yang menjadi obyek sengketa merupakan kawasan

hutan negara, walaupun menjadi kawasan hutan negara, Perum Perhutani akan tetap

melibatkan masyarakat untuk pemanfaatan bersama melalui sistem PHBM

( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), adapun upaya yang selama ini dilakukan

Perhutani senantiasa mengedepankan kebenaran hukum dan asaz kemanfaatan

masyarakat.

Secara yuridis, Perum Perhutani memegang hak atas penguasaan tanah

tersebut, karena adanya Surat Gubernur Tanggal 14 September 1988 Nomor

593/26325. Adanya surat tersebut memberikan kekuasaan penuh kepada Perum

Perhutani untuk menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut, sepanjang tidak

bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Secara hukum, pihak Perum

Perhutani akan dilindungi hukum karena alas hak yang dimilikinya (Surat Gubernur),

walaupun dalam kasus ini petani penggarap sudah menggarap tanah tersebut secara

turun temurun, namun kekuatan hukumnya sangatlah lemah karena hanya

berlandaskan SPPT. Seperti yang diketahui, pembayaran pajak bukan bukti

kepemilikan, setiap orang yang mendapatkan manfaat dari tanah yang dikelolanya,

harus membayar pajak, dalam arti pembayaran pajak merupakan kewajiban. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa status hukum tanah yang menjadi obyek sengketa

yaitu, tanah negara yang hak pengelolaanya diberikan kepada Departemen Kehutanan

atau Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Page 9: Bab IV Pembahasan

UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PENGUASAAN TANAH

ANTARA PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI PENGGARAP DI DESA

SONGGOM