Bab IV Pembahasan
description
Transcript of Bab IV Pembahasan
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti melalui wawancara para pihak terkait,
dan data atau dokumen yang diperoleh dari lapangan, maka hasil dari penelitian tersebut
dituangkan sebagai berikut :
Duduk Permasalahan
Kecamatan Songgom terletak di sebelah selatan Ibukota Kabupaten Brebes. Daerah
yang berjumlah penduduk 69.615 ini tergolong daerah yang padat penduduknya. Adapun
batas-batas Kecamatan Songgom, yaitu :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jatibarang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tegal
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Larangan
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tegal
Desa Songgom merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Songgom.
Jumlah penduduk Desa Songgom yaitu 5298 jiwa.1 Adapun hasil produksi yang dihasilkan
Desa Songgom antara lain padi, jagung, bawang merah, dan tebu.2 Terutama tebu, tebu
merupakan hasil dari mata pencaharian sehari-hari rakyat Songgom karena hasil pertanian ini
mempunyai harga jual yang tinggi. Selain itu, Desa Songgom dianggap berprestasi dalam
memproduksi tebu yang berkualitas. Masyarakat Songgom menggantungkan hidupnya pada
hasil tebu yang ditanam di tanah Songgom. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mengkaji
sengketa penguasaan tanah yang terjadi di Desa Songgom Kecamatan Songgom Kabupaten
Brebes. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para petani penggarap, dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
Sengketa penguasaan tanah ini terjadi antara Perum Perhutani dengan petani
penggarap Desa Songgom. Petani penggarap telah memanfaatkan tanah yang dikenal sebagai
tanah “Bleberan Kalen Rembet” sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tepatnya sejak tahun 1921
secara turun temurun. Tanah tersebut digunakan sebagai lahan mata pencaharian sehari-hari.
Petani penggarap memanfaatkan tanah tersebut karena mereka menganggap bahwa tanah
1 Proyeksi Penduduk Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip buku Kecamatan Songgom Dalam Angka Tahun 2013.2 Monografi Kecamatan Songgom sebagaimana dikutip buku Kecamatan Songgom Dalam Angka Tahun 2013.
tersebut merupakan sumber daya alam di wilayahnya yang berhak dimanfaatkan warga
sekitar, meskipun pada saat itu petani penggarap menyadari bahwa tanah tersebut merupakan
tanah negara yang pengelolaanya di bawah Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Propinsi
Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah, dimana petani penggarap wajib membayar retribusi yang
telah ditetapkan dinas terkait karena telah mendapatkan hasil dari tanah tersebut.
Pada tahun 1973, dikeluarkan kebijakan penghijauan oleh pemerintah. Kebijakan
tersebut merupakan awal mula Perum Perhutani mengklaim tanah tersebut dibawah
penguasaan Perum Perhutani dan dianggap sebagai kawasan hutan. Pada tahun 1973, Perum
Perhutani menitip sebagian tanaman keras milik Perum Perhutani di tanah Bleberan
Kalenrembet, tanaman tersebut ditanam karena dianggap ampuh untuk mencegah timbulnya
erosi. Namun setelah tanaman tersebut tumbuh besar, Perum Perhutani mencoba menguasai
tanah garapan, yang dalam hal ini petani menganggap hal tersebut sebagai penanaman secara
paksa karena petani penggarap tidak berkenan atas penanaman tanaman keras yang dilakukan
Perum Perhutani. Tanah tersebut sudah menjadi tempat bergantung hidup petani penggarap
sekitar, sehingga terjadi ketertakutan pada petani bahwa cepat atau lambat mereka akan
kehilangan tanah garapanya. Ketertakutan petani penggarap menjadi kenyataan saat
terjadinya pengambilalihan tanah garapan oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani mengambil
alih tanah dengan menggunakan paksaan kepada masyarakat petani kecil/penggarap,
sehingga menimbulkan rasa ketertakutan yang mendalam pada petani dan meninggalkan
garapanya untuk sementara. Negosiasi telah dilakukan antara Perum Perhutani dengan petani
penggarap, namun tidak tercapai kesepakatan. Tanah Bleberan Kalenrembet terus menjadi
obyek sengketa antara Perum Perhutani dengan petani penggarap Desa Songgom sampai
pada tahun 1988.
Pada tahun 1988, Perum Perhutani datang dengan membawa Surat Gubernur Tanggal
14 September 1988 Nomor 593/26325 yang menegaskan bahwa tanah Bleberan Kalenrembet
pengelolaanya dialihkan pada Perum Perhutani. Namun petani penggarap tetap menggarap
tanahnya, karena tanah tersebut merupakan satu-satunya sumber pendapatan sehari-hari.
Tahun 2004 petani penggarap mulai membayar PBB, karena dengan dibayarkanya PBB,
mereka merasa status hukum petani penggarap jauh lebih aman dalam menggarap tanah
tersebut. Namun Perum Perhutani terus mengadakan sosialiasi kepada petani penggarap
untuk menegaskan bahwa penguasaan tanah tersebut milik Perum Perhutani, dan
menerangkan bahwa petani penggarap tidak seharusnya membayar PBB di tanah yang
dikelola oleh Perum Perhutani.
Pihak Pemerintah Daerah beberapa kali mengadakan upaya mediasi antara Perum
Perhutani dengan petani penggarap, namun tidak juga menemukan titik temu. Pada tahun
2014 PBB yang dibayarkan petani penggarap secara rutin dihentikan oleh dinas terkait,
sampai akhirnya petani tidak lagi membayar PBB. Diketahui bahwa pejabat daerah terkait
telah mengambil kebijakan untuk membekukan SPPT petani penggarap. Keputusan ini
diambil berlandaskan Surat Gubernur Tahun 1988, dan bertujuan untuk menghindari adanya
pemungutan pajak secara “double” pada petani penggarap dan Perum Perhutani.
Bukti lain yang dipaparkan petani penggarap yang tertulis dalam dokumen DPRD
(surat Nomor 009/FKP/DPRD-II/XI/1992), bahwa telah dilakukan pengukuran oleh P.U
Pengairan Seksi Brebes tahun 1963, dan dibenarkan bahwa telah terdapat petani turun
temurun yang menggarap di kawasan tersebut dengan perijinan untuk menyewa tanah dan
membayar retribusi kepada dinas terkait. Semua petugas Perum Perhutani pada waktu itu
turut datang dan mengakui bahwa tanah tersebut merupakan tanah “lepe-lepe”, dan bukan
kawasan hutan, sehingga tidak pernah ada sengketa sampai saat itu. Dari situ petani
penggarap meyakini bahwa mereka jauh lebih berhak atas tanah tersebut.
Petani penggarap juga melaporkan terjadinya perlakuan yang dilakukan secara paksa
seperti pada tahun 1973, yaitu upaya pengusiran para petani penggarap yang tidak tunduk
untuk datang ke Kantor Perhutani, adanya polisi khusus Perum Perhutani yang berjaga di
tanah garapan dan menakuti petani penggarap dengan suara tembakan.
Keinginan petani penggarap adalah petani penggarap dapat terus memanfaatkan tanah
tersebut dan dikelola oleh petani, dan dapat digarap secara aman karena petani menganggap
bahwa tanah tersebut merupakan warisan leluhur. Kelalaian petani penggarap adalah
kurangnya pengetahuan untuk mengesahkan hak atas tanahnya dalam bentuk sertifikat,
sehingga tanah-tanah lain yang sudah bersertifikat tidak diklaim di bawah penguasaan Perum
Perhutani. Petani penggarap sampai dengan saat ini masih meyakini dan memperjuangkan
tanah garapanya agar dapat kembali dimanfaatkan oleh petani penggarap
Adapun hasil wawancara pada Perum Perhutani, sebagai berikut :
Perum Perhutani KPH Balapulang melalui Wakil Administratur KPH Balapulang
menyampaikan bahwa Perum Perhutani pada dasarnya mengerti bahwa tanah Bleberan
Kalenrembet merupakan tanah yang dikuasai petani secara turun temurun sehingga petani
penggarap merasa berhak atas tanah tersebut. Pada prinsipnya Perhutani tidak pernah
“mengusir” warga dari tanah yang digarapnya yang saat ini ditanami tebu. Namun perlu
dipahami bahwa mengingat kawasan yang digarap warga tersebut termasuk dalam kawasan
hutan negara yang dikelola oleh Perhutani ( berdasarkan Surat Gubernur Tanggal 14
September 1988 Nomor 593/26325), maka harus ada keselarasan antara kepentingan warga
dengan program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Perum Perhutani terkait
dengan kawasan hutan yang digarap/dipakai oleh warga/petani penggarap. Adapun dari pihak
Perhutani pada akhirnya lebih memilih jalan bermusyawarah dengan petani penggarap untuk
mencari solusi yang paling tepat, namun apabila solusi yang dimaksud tidak mencapai titik
temu, maka ranah pengadilan merupakan alternatif terakhir yang harus dihormati oleh semua
pihak.
Salah satu dokumen yaitu Surat Nomor 376/058.2/Kam/BPL.I, yang berisi laporan
pihak Perhutani kepada Kapolres Brebes, tertulis bahwa secara yuridis formal, lokasi yang
menjadi obyek sengketa merupakan kawasan hutan negara, namun Perum Perhutani akan
tetap melibatkan masyarakat untuk pemanfaatan bersama melalui sistem PHBM
( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Upaya yang ditempuh Perum Perhutani selama
ini mengedepankan kebenaran hukum dan azas kemanfaatan masyarakat. Perhutani meyakini
bahwa para petani penggarap akan memahami bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan
hutan negara, dan tetap ingin bersama-sama mengelola hutan tanpa bermaksud memiliki
tanah. Terhadap terhadap orang-orang yang berpotensi memperkeruh kondusifitas terutama
para pemodal dan oknum masyarakat, Perum Perhutani mohon agar oknum-oknum tersebut
diberikan tindakan hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Berdasarkan duduk permasalahan diatas, penulis merumuskan dua rumusan masalah
yaitu :
1. Bagaimana status hukum tanah yang menjadi objek sengketa antara Perum Perhutani
dengan petani penggarap di Desa Songgom?
2. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara Perum Perhutani
dengan petani penggarap di Desa Songgom?
STATUS HUKUM TANAH YANG MENJADI OBJEK SENGKETA ANTARA
PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI PENGGARAP
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis, terdapat dua hasil
wawancara, yaitu Perum Perhutani dan Petani Penggarap. Adapun hasil wawancara
terhadap kedua belah pihak sebagai berikut :
STATUS HUKUM TANAH MENURUT PETANI PENGGARAP
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terhadap petani-petani kecil
dari Desa Songgom dan data-data yang terkait, disimpulkan bahwa petani penggarap
Desa Songgom telah menggarap tanah Bleberan Kalenrembet sejak tahun 1921,
adapun status tanah pada saat itu dikuasai oleh Dinas Pekerjaan Umum, yaitu cabang
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemali Hilir-Kabupaten Daerah Tingkat II Brebes
dan Tegal.
Tetapi sejak tahun 1973, tanah tersebut diambil alih dan diakui oleh Perum
Perhutani KPPH Balapulang Kabupaten Tegal dengan menggunakan paksaan kepada
masyarakat petani penggarap, sehingga menimbulkan rasa ketertakutan yang
mendalam, yang akhirnya membuat petani meninggalkan garapanya untuk sementara.
Adapun luas areal tanah yaitu 111 hektar, dan lokasi objek sengketa yaitu,
A. Blok Kalenrembet terletak di sebelah kiri sungai Pemali yang masuk dalam
wilayah Kabupaten Dati II Brebes.
B. Blok Bleberan terletak disebelah kanan sungai pemali yang termasuk wilayah
Kabupaten Dati II Tegal.
(Surat DPRD Nomor 009/FKP/DPRD-II/XI/1992 kepada Bapak Gubernur Jawa
Tengah)
Menurut masyarakat, status hukum kedua tanah tersebut adalah dikuasai oleh
Dinas Pekerjaan Umum yang dipercayakan kepada cabangnya, yaitu kepada cabang
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemali Hilir Kabupaten Dati II Brebes dan
Kabupaten Dati II Brebes dan Tegal. Terbukti sejak tahun 1921 tanah-tanah tersebut
disewakan dan digarap oleh masyarakat petani kecil dengan membayar retribusi
kepada dinas terkait. Pada tahun 1963 oleh P. U Pengairan Seksi Brebes yaitu
pengamat pengairan Songgom Kecamatan Jatibarang Kabupaten Dati II Brebes
mengadakan pengukuran di tanah sepanjang sungai Pemali termasuk Blok Bleberan
dan Kalenrembet, dilaporkan ke Cabang Dinas P. U Pemali Hilir Kabupaten Dati II
Brebes, bahwa ternyata Blok Bleberan dan Kalenrembet sudah terdapat daftar para
petani yang memperoleh ijin menyewa dan menggarap tanah tersebut dengan
membayar retribusi kepada dinas terkait. Dalam pengukuranya sampai delapan blok
dalam satu lokasi yang berdampingan, semua petugas Perum Perhutani (baik mantri
kehutanan maupun mandor Perum Perhutani) waktu itu membenarkan dan tidak
satupun petugas Perhutani yang mengatakan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan
hutan. Sehingga saat itu tetap dikuasai oleh Cabang DPU Pemali Hilir Kab Brebes.
Pada bulan Juni 1972 Mandor Perhutani yang bertugas di lapangan mengambil
alih pemilikan wilayah Bleberan dan Kalenrembet serta mengusir para penggarap,
yang tidak tunduk untuk dipanggil ke Kantor Perhutani Balapulang Kabupaten Tegal.
Selanjutnya tanah tersebut dikuasai oleh Polisi Khusus Perhutani dan semua
penggarap ditakut-takuti dengan tembakan-tembakan dan sebagian dibawa ke kantor
Perhutani Balapulang Kabupaten Tegal.
Petani penggarap mendapatkan informasi dari Cabang DPU Pemali Hilir
Kabupaten Brebes, bahwa setelah diadakan pengecekan ke lokasi, dan disesuaikan
dengan peta yang dibuat Perhutani setiap 10 tahun , ternyata peta perhutani tidak
cocok, yang benar adalah Dinas Pekerjaan Umum Pemali Hilir Kabupaten Brebes dan
Tegal ( berdasar Surat Kepala Dinas PU Propinsi Dati I Jawa Tengah Nomor 593.7/1
Tanggal 17 Januari 1986 yang dialamatkan pada Bapak Gubernur Jawa Tengah terkait
permasalahan tanah Bleberan dan Kalenrembet).
Maka atas dasar-dasar tersebut, rakyat masih meyakini bahwa status hukum
tanah Bleberan dan Kalenrembet adalah dibawah penguasaan Dinas Pekerjaan Umum
Propinsi Jawa Tengah yang dipercayakan kepada Dinas Pekerjaan Umum Pemali
Hilir Kabupaten Dati II Brebes dan Tegal, sehingga tanah tersebut masih tetap dapat
dimanfaatkan masyarakat petani penggarap yang selama ini menggunakan tanah
tersebut untuk menghidupi keluarganya, dan agar terbebas dari belenggu penderitaan
selama tanah dikuasai Perhutani.
Petani penggarap melalui kuasa hukum nya Hascaryo Wimboh SH, MH
menginginkan untuk tetap menggarap kawasan hutan/lahan tersebut dengan tanaman
tebu, mengingat hal tersebut sudah menjadi mata pencaharian dari petani penggarap
sejak turun temurun sejak 1921, selain itu petani penggarap dan kuasa hukumnya
memohon diberikan kesempatan untuk tetap melakukan kerja sama dengan Pabrik
Gula Jatibarang dalam hal bantuan pinjaman untuk pembelian pupuk dan penjualan
hasil tebu nya.
STATUS HUKUM TANAH MENURUT PERUM PERHUTANI
Pada tahun 1973 Perhutani melakukan upaya untuk mengembalikan fungsi
kawasan hutan, sehingga Perum Perhutani melalui Wakil Administratur KPH
Balapulang menyampaikan bahwa pada prinsipnya Perhutani tidak pernah mengusir
warga dari tanah yang digarapnya yang saat ini ditanami tebu, namun demikian perlu
dipahami mengingat kawasan yang digarap warga tersebut masuk ke dalam kawasan
hutan negara yang dikelola oleh Perhutani, maka harus ada keselarasan antara
kepentingan warga dengan program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan
Perhutani terkait dengan kawasan hutan yang dipakai atau digarap petani penggarap.
Adapun dari kuasa hukum Perhutani KPH Balapulang menyampaikan pada
prinsipnya klien nya lebih mengutamakan musyawarah dnegan petani penggarap
untuk mencari solusi yang paling tepat, namun apabila jalan tersebut tidak kunjung
menemui titik temu, maka ranah pengadilan menjadi alternatif terakhir yang harus
dihormati semua pihak apapun hasilnya.
Pada tahun 1988, Gubernur mengeluarkan Surat Gubernur Tanggal 14
September 1988 Nomor 593/26325 yang berisi bahwa tanah Bleberan Kalenrembet
maka pengelolaanya menjadi wewenang Departemen kehutanan atau Perum Perhutani
Unit I Jawa Tengah. Surat tersebut menjadi landasan Perum Perhutani dalam
penguasaan wilayah Bleberan dan Kalenrembet sampai saat ini.
Dalam surat Nomor 376/058.2/Kam/BPL/I yang berisi laporan perkembangan
penanganan blok Bleberan dan Kalenrembet kepada Kapolres Brebes, dipaparkan
bahwa secara yuridis formal lokasi yang menjadi obyek sengketa merupakan kawasan
hutan negara, walaupun menjadi kawasan hutan negara, Perum Perhutani akan tetap
melibatkan masyarakat untuk pemanfaatan bersama melalui sistem PHBM
( Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), adapun upaya yang selama ini dilakukan
Perhutani senantiasa mengedepankan kebenaran hukum dan asaz kemanfaatan
masyarakat.
Secara yuridis, Perum Perhutani memegang hak atas penguasaan tanah
tersebut, karena adanya Surat Gubernur Tanggal 14 September 1988 Nomor
593/26325. Adanya surat tersebut memberikan kekuasaan penuh kepada Perum
Perhutani untuk menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut, sepanjang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Secara hukum, pihak Perum
Perhutani akan dilindungi hukum karena alas hak yang dimilikinya (Surat Gubernur),
walaupun dalam kasus ini petani penggarap sudah menggarap tanah tersebut secara
turun temurun, namun kekuatan hukumnya sangatlah lemah karena hanya
berlandaskan SPPT. Seperti yang diketahui, pembayaran pajak bukan bukti
kepemilikan, setiap orang yang mendapatkan manfaat dari tanah yang dikelolanya,
harus membayar pajak, dalam arti pembayaran pajak merupakan kewajiban. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa status hukum tanah yang menjadi obyek sengketa
yaitu, tanah negara yang hak pengelolaanya diberikan kepada Departemen Kehutanan
atau Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PENGUASAAN TANAH
ANTARA PERUM PERHUTANI DENGAN PETANI PENGGARAP DI DESA
SONGGOM