BAB IV mps

download BAB IV mps

of 47

Transcript of BAB IV mps

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIANKondisi Geografis Kabupaten Hulu Sungai Utara memiliki luas wilayah seluruhnya

892,7 km persegi atau hanya 2,38 % dari luas propinsi Kalimantan Selatan. Secara umum Kabupaten Hulu Sungai Utara terletak pada koordinat 2 sampai 3 Lintang Selatan dan 115 sampai 116 Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Tengah dan kabupaten Tabalong; sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Balangan; dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Selatan Propinsi Kalimantan Tengah. Dari total luas wilayah yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Utara, sebagian besar terdiri atas dataran rendah yang digenangi oleh lahan rawa baik yang tergenang secara monoton maupun yang tergenang secara periodik. Kurang lebih 570 km persegi adalah merupakan lahan rawa dan sebagian besar belum termanfaatkan secara optimal. Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan ibukota Amuntai secara administrasi wilayah terbagi dalam 10 kecamatan, dengan 219 desa dan 5 kelurahan yang ada seperti yan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Nama kecamatan, desa/kelurahan dan luas wilayah No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kecamatan Danau Panggang Babirik Sungai Pandan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara Haur Gading Sungai Tabukan Paminggir JUMLAHSumber : Bappeda Kab. Hulu Sungai Utara, 2009

Ibukota Kecamatan Danau Panggang Babirik Alabio Telaga Silaba Amuntai Banjang Sungai Turak Haur Gading Sungai Tabukan Paminggir

Jumlah Desa/ Kelurahan 16 23 33 30 29 20 26 18 17 7 219

Luas Wilayah (km2) 224,49 77,44 45,00 183,16 57,00 41,00 45,09 34,15 29,24 156,13 892,70

25

Gambar 3. Peta Administrasi Kabupaten Hulu Sungai Utara

26

Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan wilayah yang terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0-7 m dari permukaan laut. Daerah yang tersisa dari pemekaran wilayah dengan Kabupaten Balangan adalah daerah yang didominasi oleh lahan rawa baik yang tergenang terus-menerus maupun tergenang secara periodik. Adapun untuk kelerengan tanah di Kabupaten Hulu Sungai Utara hanya ada satu, yaitu kelas lereng yaitu 0 2% untuk seluruh luas wilayah, sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai lahan yang landai pada seluruh wilayah. Kelas lereng ini sangat cocok untuk budidaya pertanian. Drainase tanah perlu diketahui untuk menentukan dan memilih jenis komoditi yang akan dibudidayakan dalam bidang pertanian. Drainase tanah

terdiri dari tiga kelas, yaitu tidak pernah tergenang (A), tergenang periodik (B), dan tergenang terus-menerus (C). Drainase tanah di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang paling dominan adalah tergenang secara periodik yang mencapai luas 87.916 ha atau 98,48% dari luas wilayah. Sedangkan yang tergenang terusmenerus seluas 1.239 ha atau 1,39% dari luas wilayah, yang terdapat di Kecamatan Danau Panggang dan Amuntai Selatan, dan yang tidak pernah tergenang hanya terdapat di Kecamatan Amuntai Utara seluas 115 ha atau 0,13% dari luas wilayah. Tabel 5 Drainase tanah di Kabupaten Hulu Sungai Utara Drainase Tanah (ha) Kecamatan A Danau Panggang Paminggir Babirik Sungai Pandan Sungai Tabukan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara Haur Gading Jumlah 115 115 B 22.449 14.953 7.744 4.500 2.924 17.746 5.699 4.101 4.385 3.415 87.916 C 669 570 1.239 Jumlah (ha) 22.449 15.622 7.744 4.500 2.924 18.316 5.699 4.101 4.500 3.415 89.270

Sumber : Bappeda Kab. Hulu Sungai Utara, 2009

27

Kedalaman efektif tanah di Kabupaten Hulu Sungai Utara termasuk baik, hal ini terlihat dari besarnya luas tanah yang memiliki kedalaman efektif lebih dari 90 cm yaitu mencapai 54.167 ha atau 60,88% dari luas wilayah. Pada kondisi ini semua tanaman dapat tumbuh dengan baik. Kedalaman efektif tanah 60 90 cm seluas 850 ha atau 0,95% dari luas wilayah, dapat dimanfaatkan untuk budidaya kering dan basah. Sedangkan kedalaman efektif tanah 30 60 cm, seluas

34.253 ha atau 38,37% dari luas wilayah, dapat dimanfaatkan untuk budidaya basah dan kering, tetapi hanya untuk jenis tanaman tertentu. Luas kedalaman efektif tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 6 Kedalaman efektif tanah di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kedalaman Efektif Tanah (ha) Kecamatan 30 60 cm 60 90 cm > 90 cm Jumlah (ha)

Danau Panggang dan Paminggir Babirik Sungai Pandan dan Sungai Tabukan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara dan Haur Gading Jumlah

25.688

-

12.374

38.062

4.690 -

-

3.054 7.424

7.744 7.424

3.875 -

850

14.441 5.699 4.101 7.074

18.316 5.699 4.101 7.924

34.253

850

54.167

89.270

Sumber : Bappeda Kab. Hulu Sungai Utara, 2009

Ada 4 (empat) jenis tanah yang terdapat di kabupaten Hulu Sungai Utara yaitu kompleks podsolik merah kuning dan latosol, podsolik merah kuning, alluvial, dan organosol gleihumus. Tabel berikut menggambarkan persebaran jenis tanah pada masing-masing kecamatan di Hulu Sungai Utara.

28

Tabel 7 Persebaran jenis tanah di Kabupaten Hulu Sungai Utara Jenis Tanah (ha) Kecamatan 1 605 2 2.330 3 19.182 7.744 7.424 7.396 7.470 6.724 4 18.880 10.920 595 Jumlah (ha)

Danau Panggang dan Paminggir Babirik Sungai Pandan dan Sungai Tabukan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara dan Haur Gading JumlahKeterangan : 1 2 3 4

38.062 7.744 7.424 18.316 9.800 7.924

605

2.330

55.940

30.395

89.270

Sumber data : Bappeda Kab. Hulu Sungai Utara, 2009 : kompleks podsolik merah kuning dan latosol : podsolik merah kuning : alluvial : organosol gleihumus

Secara keseluruhan jenis tanah yang terbanyak ditemukan di kabupaten Hulu Sungai Utara adalah alluvial yakni seluas 55.940 ha. Jenis tanah alluvial ini terdapat pada seluruh kecamatan yang ada dimana yang terluas di kecamatan Danau Panggang dan Paminggir seluas 19.182 ha. Pada kecamatan lain juga umumnya didominasi oleh jenis tanah ini dibandingkan dengan jenis tanah lainnya. Jenis tanah lainnya yang agak dominan selain alluvial adalah organosol gleihumus yang terdapat di kecamatan Amuntai Utara seluas 595 ha, Amuntai Selatan seluas 10.920 ha, dan Danau Panggang dengan luas persebaran 18.880 ha. Untuk jenis tanah kompleks podsolik merah kuning dan latosol hanya terdapat di kecamatan Amuntai Utara seluas 605 ha, dan jenis tanah podsolik merah kuning terdapat hanya di Amuntai Tengah dengan luas 2.330 ha. Keadaan hidrologi di Kabupaten Hulu Sungai Utara mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan. Hal ini ditunjang dengan beberapa

sungai besar yang melintasi daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang dijadikan sarana transportasi bagi masyarakat baik antar kabupaten maupun antar

29

propinsi. Selain itu air sungai digunakan sebagai sumber air untuk keperluan pertanian di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Sungai-sungai besar yang mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar bagi masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Utara adalah Sungai Tabalong (mengalir dari arah Kabupaten Tabalong), Sungai Balangan (mengalir dari arah Kabupaten Balangan) dan Sungai Nagara serta sungai-sungai kecil lainnya.

Kependudukan Berdasarkan data dari BPS kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2009, jumlah penduduk di kabupaten Hulu Sungai Utara berjumlah 216.181 jiwa yang tersebar pada 10 kecamatan, 219 desa/kelurahan dan terdiri dari 53.679 rumah tangga. Pada tabel berikut dapat dilihat penyebaran penduduk di kabupaten Hulu Sungai Utara berdasarkan masing-masing kecamatan. Tabel 8 Jumlah rumah tangga dan penduduk Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2008 Kecamatan Danau Panggang Babirik Sungai Pandan Amuntai Selatan Amuntai Tengah Banjang Amuntai Utara Haur gading Sungai Tabukan Paminggir Jumlah Rumah Tangga 4.837 4912 6864 7504 11.387 3678 5224 3585 3936 1752 53.679 Jenis Kelamin Laki-laki 10551 9552 13.125 13.088 23.292 8.440 10.138 7.595 7945 3597 107.324 Perempuan 10340 9413 13697 13457 23339 8179 11124 7980 7760 3569 108.857 Jumlah Penduduk 20.891 18.965 26.822 26.545 46.631 16.619 21.262 15.575 15.705 7.165 216.181

Sumber data : BPS Kab. Hulu Sungai Utara, 2009

Kecamatan Amuntai Tengah yang merupakan ibukota kabupaten Hulu Sungai Utara berpenduduk sebesar 46.631 jiwa yang tersebar di 5 kelurahan dan 24 desa merupakan kecamatan berpenduduk terpadat dibanding kecamatan lainnya. Daya tarik sebagai ibukota kabupaten merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya penduduk yang bermukim di daerah ini. Kecamatan Sungai

30

Pandan merupakan kecamatan berpenduduk terpadat kedua dengan jumlah penduduk sebesar 26.822 jiwa, dan diikuti oleh kecamatan Amuntai Selatan sebagai kecamatan ketiga terpadat dengan jumlah penduduk 26.545 di kabupaten Hulu Sungai Utara. Kecamatan Paminggir merupakan kecamatan

berpenduduk paling sedikit yakni masing-masing berjumlah 7.165 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk perempuan dengan sex ratio sebesar 98,59. Dari total luas wilayah di kabupaten Hulu Sungai Utara, maka terdapat kepadatan penduduk rata-rata per km2 adalah sebesar 236 jiwa. Pertumbuhan penduduk di kabupaten Hulu Sungai Utara selama 11 tahun terakhir relatif kecil. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2005 terjadi pertambahan jumlah penduduk di bawah 1% pertahun, kecuali pada tahun 2003 terjadi pertumbuhan yang cukup besar mencapai 3,33%. Ketenagakerjaan Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) sekitar 73,90% merupakan angkatan kerja. Dari jumlah tersebut 70,36% adalah mereka yang bekerja sedangkan 3,54% merupakan pengangguran yang didalamnya adalah termasuk mereka yang sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan usaha, dan mereka yang sudah mendapat pekerjaan tapi belum mulai bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) didefinisikan sebagai

perbandingan antara penduduk yang terlihat dengan kegiatan ekonomi atau yang disebut angkatan kerja (berumur 15 tahun ke atas). Sedangkan Tingkat

Pengagguran Terbuka (TPT) adalah perbandingan antara penduduk yang mencari pekerjaan dengan angkatan kerja. Besar kecilnya TPAK dan TPT dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain struktur umur, tingkat pendidikan dan kesempatan kerja. TPAK Hulu Sungai Utara adalah sebesar 73,90%, dimana TPAK perempuan ( 65,11% ) lebih kecil dibanding TPAK laki-laki ( 83,64% ). Hal ini kemungkinan disebabkan karena penduduk perempuan lebih banyak memilih tugas sebagai ibu rumah tangga, selain itu karena rata-rata pendidikan penduduk perempuan yang lebih rendah dari penduduk laki-laki , lebih membatasi peluang perempuan untuk bersaing dengan laki-laki di pasar kerja. Lapangan kerja yang semakin sempit mengakibatkan banyak angkatan kerja yang tidak terserap dalam lapangan kerja. Jika masalah pengagguran ini

31

tidak mendapat perhatian yang serius , maka bisa menimbulkan masalah sosial dalam masyarakat di samping sulitnya mencapai keberhasilan pembangunan / kesejahteraan masyarakat. Pendapatan Regional Kondisi perekonomian suatu daerah sangat tergantung pada potensi sumberdaya alam yang dimiliki dan kemampuan daerah tersebut untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Semua kebijakan, program dan kegiatan dalam rangka pembangunan dilaksanakan. Hasil yang dapat dilihat salah satunya melalui PDRB. Berikut adalah PDRB Kabupaten Hulu Sungai Utara dari tahun 2006 hingga 2009. Tabel 9 PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2006 2009 dalam ribuan rupiah.Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik dan air minum 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Bank & Lembaga Keuangan lainnya 9. Jasa-jasa TOTAL PDRB 2006 230.056.136 145.518 76.822.553 3.813.626 43.656.566 139.886.105 50.435.146 27.968.094 124.591.455 700.956.621 2007 253.295.516 149.444 78.011.900 4.040.932 45.302.292 146.015.355 52.892.312 29.015.165 133.469.262 742.192.179 2008 275.563.276 155.102 80.055.090 4.223.558 48.081.208 154.605.806 55.202.391 31.143.824 141.444.882 790.475.137 2009 291.105.400 160.147 82.348.719 4.408.328 52.430.414 160.385.861 57.266.586 34.029.255 149.834.393 831.969.107

Sumber data : BPS Kab. Hulu Sungai Utara, 2010

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi pertambahan pendapatan PDRB kabupaten Hulu Sungai Utara dari tahun 2006 sampai 2009 berdasarkan harga konstan, hal yang sama juga terjadi berdasarkan atas harga berlaku. Dari sini juga dapat dilihat bahwa struktur perekonomian di Kabupaten Hulu Sungai Utara masih didominasi oleh sektor pertanian. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor pertanian yang menduduki peringkat tertinggi, disusul kemudian dengan lapangan usaha di bidang perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa lain.

32

Potensi Sektor Pertanian Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan kondisi wilayahnya yang banyak digenangi oleh rawa baik yang tergenang secara monoton atau secara periodik (pasang surut) memerlukan pengaturan kedalaman air untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Selama ini telah banyak digunakan sistem polder untuk mengatur elevasi air sesuai dengan kebutuhan penggunaan lahan yang akan diusahakan. Di kabupaten Hulu Sungai Utara terdapat 8 polder dengan luas areal keseluruhan adalah 18.198 hektar. Adapun yang efektif diairi adalah Polder Alabio seluas 6.000 ha, Polder Bakar seluas 2.400 ha, Polder Simpang Empat seluas 1.346 ha, Polder Padang Gusti seluas 471 ha, Polder Pakacangan seluas 1.831 ha, Polder Murung Bayur seluas 1.750 ha, Polder Kaludan seluas 2.400 ha, dan polder Rawa Pinang Habang seluas 2.000 ha. Luas potensi lahan di Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2008 yang dapat digunakan untuk tanaman pangan mencapai lebih kurang 61.067 Ha,

sedangkan fungsional lahan seluas 32.164 Ha. Potensi lahan untuk tanaman pangan, luas yang sudah dimanfaatkan dan yang belum dimanfaatkan dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10 Potensi Lahan untuk Tanaman Pangan, Luas Fungsional dan rawa belum dimanfaatkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara tahuin 2008Potensi untuk tanaman Pangan Rawa Lahan Bukan belum di Sawah sawah usahakan 3.840 300 6.150 3.958 2.426 7.113 3.627 3.385 2.997 1.978 35.782 76 5.376 180 192 125 1.864 389 381 643 670 9.896 5.721 1.457 5 135 7.739 24 203 105 15.389 Fungsional Tanaman Pangan Jumlah Lahan Sawah 2.826 5.464 3.605 2.356 4.224 3.627 3.373 2.392 1.779 29.646 Bukan Sawah 76 24 157 192 125 540 366 381 381 276 2.518 Jumlah

No

Kecamatan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Dn.Panggang Paminggir Babirik Sei.Pandan Sei.Tabukan Amt.Selatan Amt.Tengah Banjang Amt.Utara Haur gading Jumlah

9.637 7.133 6.343 4.150 2.686 16.716 4.040 3.766 3.843 2.753 61.067

2.902 24 5.621 3.797 2.481 4.763 3.993 3.754 2.773 2.055 32.164

Sumber: Dinas Pertanian TP dan Hortikultura Kab. Hulu Sungai Utara, 2009

33

Produksi padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara tahun 2008 sebesar 161.343 ton GKG diperoleh dari luas panen 28.629 Ha dengan rata-rata hasil 56,36 Ku/ha. Pencapaian produksi padi tahun 2009 sebesar 174.842 ton GKG. Produksi tersebut diperoleh dari luas panen 29.833 ha dengan rata-rata hasil 58,61 Ku/ha. Dari data tersebut diketahui produksi padi tahun 2009 terjadi kenaikan sebesar 13.499 ton GKG (8,37%) dibanding tahun 2008. Kenaikan ini disebabkan adanya peningkatan luas panen diikuti dengan peningkatan produktivitas. Pada tahun 2008 terjadi 4 kali bencana banjir dari fase vegetatif sampai panen yang menyebabkan jumlah anakan padi tidak dapat berkembang dengan baik (jumlah anakan kurang). Data areal tanam, panen dan produksi padi Kabupaten Hulu Sungai Utara dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Areal Tanam, Panen dan Produksi Padi di Kabupeten Hulu Sungai Utara Tahun 2005 s/d 2009 (GKG) No 1 2 3 4 Uraian Tanam (Ha) Panen (Ha) Rata-rata (Ku/ha) Produksi (Ton) 2005 26.190 25.103 39,11 98.181 2006 26.190 25.103 39,11 98.181 2007 27.201 25.976 42,86 111.321 2008 29.191 27.854 59,68 166.229 2009 30.677 29.833 58,61 174.842

Sumber: Dinas Pertanian TP dan Hortikultura Kab. Hulu Sungai Utara, 2009

HASIL DAN PEMBAHASANPenggunaan Lahan Eksisting Tahun 2010 Peta penggunaan lahan eksisting (landuse) pada penelitian ini diperoleh dari interpretasi citra ALOS AVNIR, landsat dan geoeye tahun 2010. ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumberdaya alam dan pengembangan teknologi (JAXA, 2008). Satelit ALOS dengan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) memiliki resolusi spasial 10 m sehingga diharapkan dapat menganalisa daerah-daerah yang mempunyai tutupan lahan yang heterogen. Untuk pembuatan peta penggunaan lahan ini dilakukan interpretasi secara manual (on screen digitation) terhadap citra ALOS AVNIR. Selain itu juga dibantu dengan landsat untuk daerah yang berawan serta citra geoeye di bagian utara. Metode ini dipilih karena dinilai paling bagus dan memberikan hasil yang diharapkan. Interpretasi manual (visual) citra satelit merupakan adaptasi dari teknik interpretasi foto udara. Adaptasi teknik ini bisa dilakukan karena baik citra satelit maupun foto udara sama-sama merupakan rekaman nilai pantulan dari obyek. Kelebihan dari teknik interpretasi visual ini dibandingkan dengan interpretasi otomatis adalah dasar interpretasi tidak semata-mata kepada nilai kecerahan, tetapi konteks keruangan pada daerah yang dikaji juga ikut dipertimbangkan. Dalam interpretasi manual ini peranan interpreter dalam mengontrol hasil klasifikasi menjadi sangat dominan, sehingga hasil klasifikasi yang diperoleh relatif lebih baik (realistis). Oleh karena itu pengetahuan interpreter terhadap wilayah yang diinterpretasikan sangat diperlukan. Untuk penafsiran manual/visual (on

screen

digitation),

perlu

memperhatikan pola jaringan sungai, danau atau garis pantai dan pola jaringan jalan, hal ini akan membantu dalam penafsiran obyek-obyek atau vegetasi yang terliput pada citra yang ada. Selanjutnya dilakukan deteksi pada obyek-obyek dengan melakukan delineasi batas luar pada kelompok yang mempunyai warna yang sama dan memisahkannya dari yang lain. Langkah terakhir adalah

35

mengidentifikasi dan menganalisis obyek dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan asosiasi dan situs (Lillesand dan Kiefer, 1979). Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan, terdapat sembilan kelas penggunaan lahan/tutupan lahan, yaitu belukar rawa, hutan rawa sekunder, kebun campuran, perkebunan, permukiman, rawa, sawah, tanah terbuka dan tubuh air. Klasifikasi penggunaan/tutupan lahan ini mengikuti kriteria yang dibuat oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Kementerian Kehutanan. Besarnya luasan dan persentase penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada tabel 12 dengan sebaran penggunaan/tutupan lahan seperti pada gambar 4. Tabel 12 Klasifikasi penggunaan lahan di Kab. Hulu Sungai Utara No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelas Penggunaan lahan Belukar rawa Hutan rawa sekunder Kebun campuran Perkebunan Permukiman Rawa Sawah Tanah terbuka Tubuh air Jumlah Luas (Ha) 29.133 13.682 1.984 3.662 2.980 10.445 24.205 3.108 654 89.853 Persentase (%) 32,4 15,2 2,2 4,1 3,3 11,6 26,9 3,5 0,7 100,00

Dari tabel 12 dan Gambar 5 terlihat bahwa penggunaan lahan terbesar di Kabupaten Hulu Sungai Utara masih berupa belukar rawa yaitu hampir sepertiga luas wilayah. Selanjutnya diikuti oleh sawah (26,9%), hutan rawa sekunder (15,2%) dan rawa (11,6%). Sawah kebanyakan berada di sepanjang sungai dan di antara dua sungai yang melintasi kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu Sungai Tabalong dan Sungai Balangan. Penggunaan lahan untuk permukiman sangat kecil sekali (3,3%), sesuai dengan jumlah penduduknya yang memang relatif kecil. Umumnya permukiman penduduk berada di sepanjang jalan atau di sepanjang sungai. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat yang masih sangat tergantung dengan sungai, baik untuk kegiatan sehari-hari, transportasi maupun sebagai mata pencaharian (nelayan).

36

Gambar 4 Peta penggunaan/tutupan lahan Kab. Hulu Sungai Utara Tahun 2010.

37

Kelas Penggunaan Lahan4% 1% 27% 32% Belukar rawa Hutan rawa sekunder Kebun campuran Perkebunan 12% 4% Permukiman 15% Rawa Sawah 3% 2% Tanah terbuka Tubuh air

Gambar 5 Persentase kelas penggunaan lahan. Perkebunan hanya terdapat di bagian timur, yaitu perkebunan milik perusahaan swasta yang mengembangkan sawit di lahan gambut dengan luasan yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten. Di sekitar wilayah ini juga masih terdapat belukar rawa yang cukup luas yang merupakan tanah gambut. Adapun untuk kebun campuran kebanyakan adalah karet yang ditanam tidak jauh dari wilayah permukiman. Area ini kebanyakan berada di bagian utara hingga timur laut yang memiliki elevasi cukup tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Sebagian besar tanah terbuka yang teridentifikasi adalah lahan yang ada akibat penebangan pohon di wilayah yang merupakan hutan rawa sekunder di bagian utara kabupaten. Pada kondisi ini terlihat bekas pohon-pohon yang ditebang dan saluran air yang sengaja dibuat lurus memanjang untuk membawa kayu-kayu hasil tebangan. Kegiatan yang kemungkinan besar adalah illegal logging ini yang harus mendapat perhatian pemerintah untuk dihentikan, karena wilayah ini merupakan lahan gambut yang mempunyai peranan penting untuk kelestarian lingkungan sekitarnya. Sebagai gambaran kondisi eksisting penggunaan lahan di Kabupaten Hulu Sungai Utara dapat dilihat pada Gambar 6. Dari gambar terlihat wilayah rawa yang tergenang air serta semak belukar yang mempunyai potensi untuk perluasan lahan padi. Selain itu juga terlihat kondisi sawah eksisting dengan tanaman padi siap dipanen. Perkebunan sawit yang terlihat adalah kebun sawit di lahan gambut dengan saluran-saluran air untuk drainase. Hutan rawa

38

sekunder berupa pohon jingah yang banyak terdapat di bagian barat (kecamatan Paminggir), sedangkan hutan rawa sekunder terluas terdapat di bagian utara yang kebanyakan berupa pohon gelam. Adapun kebun campuran kebanyakan berupa karet dan bambu.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 6 Kondisi penggunaan lahan eksisting (a) rawa, (b) belukar rawa, (c) sawah, (d) perkebunan sawit, (e) hutan rawa sekunder, (f) kebun campuran

39

Penggunaan lahan ini bersifat dinamis dan dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan kegiatan manusia. Penggunaan lahan (landuse) dan perubahan tutupan lahan (landcover) adalah sebuah subjek multi-disiplin di mana bio-fisika dan sosio-ekonomi bertemu satu sama lain. Perubahan tutupan lahan (landcover) terdeteksi dalam 2 bentuk, yaitu konversi dari satu kategori landcover ke kategori lain, seperti dari hutan ke padang rumput dan modifikasi dalam satu kategori, seperti perubahan dari kawasan sawah tadah hujan menjadi kawasan budidaya irigasi (Jansen dan Gregorio, 2002).

Identifikasi Kesesuaian Lahan untuk Padi Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Penilaian potensi lahan berdasarkan kesesuaiannya memperhatikan berbagai karakteristik alamiah dari komponen-komponen lahan. Evaluasi lahan dilakukan untuk menemukan daerah yang cocok secara fisik untuk jenis pengembangan yang dipertimbangkan. Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan yang mencakup

persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada lahan rawa lebak penilaian kesesuaian lahan untuk padi agak berbeda dengan padi pada lahan sawah biasa. Untuk itu penilaian kesesuaian dilakukan dengan memperhatikan banyak parameter, diantaranya yang cukup menentukan adalah ketersediaan air (ketinggian muka air), drainase, genangan banjir, ketebalan dan kematangan gambut, tekstur tanah, serta kedalaman sulfidik. Selain itu juga ada persyaratan karakteristik lahan yang lain seperti, kejenuhan basa, pH H2O, KTK liat, C-organik dan lain-lain yang umumnya bisa diperkaya pada saat budidaya. Parameter-parameter tersebut di atas sebagian diuraikan dari peta jenis tanah tingkat sub group berdasarkan data yang dimiliki oleh Bappeda Kabupaten Hulu Sungai Utara (Gambar 7). Pada penelitian ini kesesuaian lahan padi pada sawah lebak didasarkan pada kriteria yang disusun oleh Djaenudin et al. (2003) dan dilakukan pemetaan terhadap hasil analisis kesesuaian lahan padi aktual dan potensial.

40

Gambar 7 Peta jenis tanah Kabupaten Hulu Sungai Utara

41

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktorfaktor pembatas yang ada di setiap satuan peta. Adapun kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah dilakukan usahausaha perbaikan lahan. Berdasarkan hasil analisa kesesuaian lahan padi secara aktual di Kabupaten Hulu Sungai Utara terlihat bahwa secara keseluruhan hanya ada tiga kelas yaitu S2, S3 dan N. Kelas S1 tidak ada karena pada dasarnya lahan lebak merupakan lahan yang dianggap marjinal dan umumnya hanya diusahakan sekali setahun (IP 100) dengan produktifitas yang bervariasi dari rendah sampai sedang. Adapun sebaran lahan dengan kesesuaian S2, S3 dan N pada semua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 13. Secara aktual lahan yang tidak sesuai lebih dari setengah luasan wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, namun dengan sentuhan teknologi kemungkinan untuk perluasan lahan yang potensial tetap ada. Kelas kesesuaian S2 dan S3 persentasenya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing hampir seperempat dari luas wilayah kabupaten. Secara spasial kesesuaian lahan aktual padi dapat dilihat pada gambar 9. Tabel 13 Luas kelas kesesuaian lahan padi aktual di Kab. Hulu Sungai Utara No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kecamatan AMUNTAI SELATAN AMUNTAI TENGAH AMUNTAI UTARA BABIRIK BANJANG DANAU PANGGANG HAUR GADING PAMINGGIR SUNGAI PANDAN SUNGAI TABUKAN Jumlah Persentase (%) Luas kelas kesesuaian lahan (ha) S2 2.018 1.787 4.201 1.402 2.072 1.677 1.676 380 3.819 1.423 20.454 22,8 S3 179 2.128 2.756 3.504 2.511 7.398 2.192 363 21.031 23,4 N 13.711 4.161 3.291 2,772 10.584 2.005 11.766 19 57 48.367 53,8 15.907 8.077 4.201 7.449 8.348 14.773 3.680 19.544 6.030 1.843 89.853 100,0 Jumlah

42

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa secara aktual kesesuaian S2 yang luas terdapat di Kecamatan Amuntai Utara dan Sungai Pandan, sedangkan yang luasannya kecil di kecamatan Paminggir. Hal ini sesuai dengan kondisi biofisik wilayah, dimana di kecamatan Sungai Pandan jenis tanahnya sebagian besar adalah fluvaquent aerik, fluvaquent histik dan udifluent akuik yang sesuai untuk budidaya padi. Adapun untuk kecamatan Paminggir secara aktual memang tidak ditemukan sawah dan kondisi tanahnya kebanyakan gambut serta mempunyai ketinggian muka air yang cukup dalam. Untuk kesesuaian lahan S3, yang terluas adalah di kecamatan Paminggir, kemudian Danau Panggang. Wilayah yang luas kebanyakan berupa belukar rawa dan rawa yang belum termanfaatkan seperti terlihat pada Gambar 8. Kecamatan Sungai Pandan memiliki luasan kesesuaian S2 yang besar sedangkan S3 dan N dengan luasan yang kecil, selain karena jenis tanahnya juga karena di wilayah ini terdapat polder Alabio yang berfungsi sebagai irigasi setengah teknis.

Gambar 8 Kondisi rawa dan belukar rawa di Kecamatan Paminggir

43

Gambar 9 Peta kelas kesesuaian lahan aktual untuk padi sawah.

44

Analisa kesesuaian lahan padi secara potensial dilakukan untuk melihat kemungkinan pengembangan wilayah untuk areal sawah rawa lebak jika dilakukan perbaikan kondisi aktual lahan. Berdasarkan hasil analisa didapatkan bahwa kelas kesesuaian lahan dapat dinaikkan dari S3 menjadi S2 ketika dilakukan perbaikan kondisi kejenuhan basa dan dari N menjadi S3 dengan dilakukan perbaikan keasaman tanah (menaikkan pH) dan kondisi genangan (pembuatan saluran air). Adapun kondisi ketidaksesuaian karena pembatas ketebalan gambut sulit untuk diperbaiki, sehingga kesesuaiannya tetap tidak dapat dinaikkan. Selain itu gambut dengan kedalaman tertentu juga tidak dianjurkan untuk dijadikan kawasan budidaya. Luas kesesuaian lahan potensial untuk padi yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten dapat dilihat pada Tabel 14 dan digambarkan pada Gambar 11. Tabel 14 Luas kelas kesesuaian lahan padi potensial di Kab. Hulu Sungai Utara No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecamatan AMUNTAI SELATAN AMUNTAI TENGAH AMUNTAI UTARA BABIRIK BANJANG DANAU PANGGANG HAUR GADING PAMINGGIR SUNGAI PANDAN SUNGAI TABUKAN Jumlah Persentase (%) Luas kelas kesesuaian lahan (Ha) S2 2.196 3.915 4.201 4.158 5.576 4.189 1.676 7.777 6.011 1.786 41.485 46,2 S3 222 1.826 4.887 2 9.224 11 57 16,229 18,1 N 13.490 4.161 1.465 2.772 5.696 2.003 2.542 8 32,138 35,8 Jumlah 15.907 8.077 4.201 7.449 8.348 14.773 3.680 19.544 6.030 1.843 89.853 100,0

Berdasarkan tabel 14 terlihat bahwa kesesuaian lahan potensial padi terluas terdapat di Kecamatan Paminggir dan luasan terkecil terdapat di Kecamatan Sungai Tabukan. Hal ini sesuai dengan luasan wilayah

administrasinya. Di semua kecamatan terdapat kelas kesesuaian S2, namun untuk kelas S3 dan N di beberapa kecamatan tidak ada.

45

Kelas Kesesuaian lahan aktual23%

N54% 23%

S2 S3

Kelas kesesuaian lahan potensial18% 36%

N S2

46%

S3

Gambar 10 Persentase Kesesuaian lahan aktual dan potensial.

Dengan adanya upaya perbaikan terlihat adanya kenaikan kesesuaian lahan S3 menjadi S2 yang cukup signifikan dan pengurangan persentase kelas lahan yang tidak sesuai (Gambar 10). Faktor pembatas ketidaksesuaian (kelas N) adalah ketebalan gambut, dimana faktor pembatas ini sulit untuk dinaikkan kelasnya dan tidak direkomendasikan untuk dinaikkan.

46

Gambar 11 Peta kelas kesesuaian lahan potensial untuk padi sawah.

47

Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk padi ini juga dilakukan pengamatan langsung ke lapangan (ground check) untuk mengetahui bagaimana pendapat (judgement) masyarakat terhadap lokasi yang ada, apakah sesuai untuk budidaya padi atau tidak. Hasil pengamatan pada 84 titik yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 12. Secara umum terlihat bahwa areal yang secara aktual sesuai untuk padi sawah juga dinyatakan cocok untuk budidaya padi oleh masyarakat karena memberikan hasil yang lumayan bagus, demikian sebaliknya. Areal yang secara aktual tidak sesuai seperti lahan bergambut juga dinyatakan tidak sesuai untuk budidaya padi. Di beberapa tempat ada juga yang secara aktual tidak sesuai untuk budidaya padi, namun kenyataannya telah diusahakan dan memberikan hasil yang cukup tinggi. Hal ini seperti yang terdapat di kecamatan Babirik dan Amuntai Selatan. Untuk wilayah Kecamatan Paminggir terdapat perbedaan dalam hal ini. Wilayah ini merupakan areal yang punya potensi paling besar untuk pengembangan padi, namun kebanyakan pendapat (judgement) masyarakatnya menyatakan tidak sesuai karena mereka memang belum pernah

mengusahakannya. Masyarakat di wilayah kecamatan ini umumnya adalah peternak kerbau rawa atau nelayan tangkap/budidaya, sehingga secara kultur mereka tidak biasa bertani padi. Namun beberapa tahun terakhir ini, telah mulai ada yang mencoba untuk menanam padi, dengan alasan karena beras semakin mahal. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Messing et al. (2003) yang menunjukkan bahwa bukan hanya sifat biofisik pada evaluasi kesesuaian lahan yang penting diperhatikan tetapi juga penting memperhatikan aspek sosial ekonomi seperti pilihan jenis pemanfaatan lahan. Untuk itu adanya peta kesesuaian lahan akan sangat bermanfaat bagi para pemangku kepentingan (baik petani maupun pemerintah) untuk menyusun rencana

selanjutnya dengan pola pendekatan partisipatif. Dengan adanya peta tersebut, maka dapat diketahui potensi atau kendala pemanfaatan lahan. Dalam hal kendala, seringkali bukan solusi terbaik yang dilakukan tetapi lebih kepada solusi terpraktis yang dapat diterima dan dilakukan oleh masyarakat setempat.

48

Gambar 12 Peta Titik pengamatan (ground check) untuk kesesuaian lahan padi sawah.

49

Potensi Pengembangan Lahan untuk Budidaya Padi Analisa kesesuaian lahan padi secara potensial dilakukan untuk melihat kemungkinan pengembangan wilayah untuk areal sawah rawa lebak. Untuk itu dilakukan proses matching antara kesesuaian lahan padi potensial dengan kondisi eksisting wilayah (peta penggunaan lahan) dari hasil interpretasi citra. Berdasarkan penggunaan/tutupan lahan, area yang berpotensi untuk dijadikan sawah adalah belukar/semak rawa dan rawa. Luas potensi pengembangan lahan untuk padi ini tersebar di seluruh wilayah kabupaten seperti terlihat pada Gambar 14 dengan luasan yang tertera pada Tabel 15. Tabel 15 Potensi pengembangan lahan untuk budidaya padiLuas kelas kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk padi (Ha) No. KecamatanPotensial S2 (Eksisting sawah) Potensial S3 (Eksisting sawah) N (Eksisting sawah) Potensial S2 (eksisting belukar rawa dan rawa) 528 994 230 684 1.709 1.804 259 6.567 549 378 13.705 15,3 Potensial S3 (eksisting belukar rawa dan rawa) 158 404 3.467 7.795 1 34 11.860 13,2 Tidak potensial

Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

AMUNTAI SELATAN AMUNTAI TENGAH AMUNTAI UTARA BABIRIK BANJANG DANAU PANGGANG HAUR GADING PAMINGGIR SUNGAI PANDAN SUNGAI TABUKAN Jumlah Persentase (%)

1.261 2.327 2.357 3.212 1.805 1.987 934 4.922 1.240 20.046 22,3

61 1.370 506 1 9 19 1.966 2,2

663 906 49 95 476 3 2.193 2,4

13.235 3.850 1.613 1.730 4.834 6.914 2.009 5.180 545 171 40.082 44,6

15.907 8.077 4.201 7.449 8.348 14.773 3.680 19.544 6.030 1.843 89.853 100,0

Berdasarkan tabel 15 di atas terlihat bahwa potensi untuk pengembangan padi masih cukup luas, yaitu pada lahan potensial S2 dan S3 yang eksistingnya adalah belukar rawa dan rawa. Wilayah yang paling luas berpotensi untuk pengembangan padi sawah ini adalah Kec. Paminggir, kemudian Danau Panggang. Dua kecamatan ini memang masih memiliki lahan yang sangat luas berupa belukar rawa dan rawa. Namun daerah ini memiliki kedalaman muka air yang cukup tinggi di beberapa tempat sehingga terlambat mengalami penurunan muka air di musim kemarau. Wilayah lain yang juga cukup luas adalah Kec. Banjang dan Amuntai Tengah. Selain itu terdapat pula wilayah yang secara

50

aktual tidak sesuai untuk budidaya padi karena merupakan gambut dalam, namun kenyataannya di lokasi tersebut telah eksisting sawah dan dari hasil ground check diketahui memiliki produktivitas yang lumayan bagus. Kondisi ini terdapat di Kecamatan Amuntai Selatan, Amuntai Tengah, Babirik, Danau Panggang, Haur Gading dan Sungai Pandan. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan areal ini memang tidak direkomendasikan untuk budidaya padi, namun masyarakat telah membukanya. Dengan kearifan lokal mereka membukanya tidak langsung luas namun sedikit demi sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan yang tidak sesuai bukan berarti tidak bisa dimanfaatkan untuk lahan budidaya padi, namun untuk keberlanjutannya ke depan yang harus diperhatikan. Ketika lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya dalam luasan kecil hasilnya masih terlihat bagus dan menguntungkan, namun ketika dibuka dalam luasan besar hal yang terjadi kemungkinan akan menyebabkan kegagalan bahkan kerusakan lahan.

22% 45%

Potensial S2 (Eksisting sawah) Potensial S3 (Eksisting

2% sawah) 3% N (Eksisting sawah) 15% 13%Potensial S2 (eksisting belukar rawa dan rawa) Potensial S3 (eksisting belukar rawa dan rawa)

Gambar 13 Kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk budidaya padi. Dari seluruh luas wilayah administrasi Kabupaten Hulu Sungai Utara, wilayah yang telah eksisting sawah ada sekitar 27 % dan yang berpotensi untuk dikembangkan sekitar 28 %. Adapun yang tidak sesuai hampir setengahnya (45%) seperti yang terlihat pada Gambar 13. Luasnya potensi yang belum dikembangkan ini dapat dijadikan perencanaan untuk pengembangan lahan padi sawah dengan memperhatikan banyak faktor, diantaranya aksesibilitas jalan, kepemilikan lahan dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan skala prioritas wilayah yang akan lebih dulu dikembangkan untuk budidaya padi (seperti kegiatan cetak sawah, optimalisasi lahan dan lain-lain).

51

Gambar 14 Peta potensi pengembangan lahan untuk padi

52

Keunggulan Komparatif Wilayah Sentra Produksi Padi Keunggulan komparatif suatu komoditas tertentu pada suatu wilayah dapat dilihat dari adanya pemusatan komoditas dengan luas areal lahan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang dinilai pada satu titik tahun. Komoditas yang dikembangkan diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lahan sumberdaya lokal. Keunggulan komparatif ini dapat dinilai berdasarkan nilai LQ (Location Quotient). Analisis LQ (Location Quotient) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Analisis LQ dapat digunakan sebagai indikator komoditas unggulan berdasarkan luas areal tanam menurut wilayah kecamatan yang ada. Menurut Hendayana (2003), areal panen merupakan resultan kesesuaian tumbuh tanaman dengan kondisi agroekologi yang secara implisit mencakup unsur-unsur (peubah) iklim, fisiografi dan jenis tanah. Hal ini menunjukkan bahwa secara agregat di wilayah kecamatan tersebut produksi tanaman menghasilkan surplus produksi yang memungkinkan untuk mengekspor surplus itu keluar wilayah dan akhirnya mampu mendatangkan pendapatan wilayah. Untuk memetakan komoditas unggulan wilayah, data yang digunakan bisa berupa data produksi atau produktivitas. Data produksi digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas aktual dari aktivitas produksi. Sedangkan data produktivitas digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan berdasarkan kapasitas potensial dari aktivitas produksi (Pribadi, et al., 2009). Pada penelitian ini analisis LQ dilakukan dengan berdasarkan pada data luas areal tanam padi di setiap kecamatan pada tahun 2009. Hasil analisis LQ untuk melihat pemusatan aktivitas budidaya jenis komoditas pada suatu kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Utara dapat dilihat pada tabel 16. Dalam hal ini dilakukan pembandingan komoditas padi dengan komoditas tanaman pangan lainnya berdasarkan luas tanam pada tahun 2009. Berdasarkan nilai LQ komoditas tanaman pangan dapat dijelaskan bahwa nilai LQ yang lebih besar dari satu (LQ>1) merupakan basis untuk prioritas pengembangan wilayah berdasarkan pertanian tanaman pangan, sedangkan LQ kurang dari satu (LQ1, dimana artinya kecamatan tersebut merupakan kecamatan basis untuk budidaya padi sawah. Hanya tiga kecamatan yang nilai LQ1 terbanyak yang artinya diusahakan hampir di semua kecamatan. Adapun untuk komoditi tanaman pangan lainnya hanya jagung yang diusahakan di semua kecamatan, sedangkan yang lainnya cenderung hanya diusahakan di kecamatan-kecamatan tertentu. Pemusatan wilayah basis padi yang ditandai dengan nilai LQ>1 secara spasial dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar terlihat bahwa pemusatan wilayah budidaya padi terdapat di sekitar aliran dua sungai yang melintas di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang tersebar di Kecamatan Amuntai Utara, Amuntai Selatan, Babirik, Sungai Pandan, Sungai Tabukan, Haur Gading, dan Danau Panggang. Wilayah di sekitar aliran dua sungai tersebut merupakan wilayah yang berkembang karena pemusatan permukiman juga terdapat di wilayah ini.

54

Gambar 15 Peta wilayah basis budidaya padi.

55

Identifikasi wilayah yang harus dilindungi (kawasan konservasi) Dalam perencanaan penatagunaan penggunaan lahan pada suatu wilayah diperlukan identifikasi yang seksama untuk menentukan dimana kawasan budidaya dan dimana kawasan lindung. Kawasan lindung diperlukan untuk keberlanjutan budidaya itu sendiri. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Salah satu yang dimaksud dengan kawasan lindung adalah kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yaitu kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air. Dalam penatagunaan lahan di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang sebagian besar wilayahnya adalah lahan rawa, hal yang sangat penting diperhatikan adalah kawasan bergambut. Wosten et al. (2007) menyatakan bahwa lahan gambut tropis memberikan banyak fungsi sumber daya alam penting. Nilai gambut dalam hal ini meningkat karena luas tutupan wilayah lansekap dan simpanan karbonnya, pelestarian keanekaragaman hayati dan peran pengaturan air. Selain itu, berpengaruh pada beberapa skala lokal, regional dan global. Karena sensitivitas ini ekosistem lahan gambut tropis harus diperlakukan dengan hati-hati dan perlu pertimbangan sebelum konversi ke penggunaan lahan lainnya. Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Hulu Sungai Utara pada bagian barat hingga utara berada pada Daerah Aliran Sungai Barito. Pada wilayah fungsional ini, terdapat kesatuan hidrologis gambut yang secara administrasi termasuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Dalam pengelolaannya harus terjadi sinergi dan pandangan yang sama tentang wilayah gambut ini, yaitu dimana yang harus dijadikan kawasan lindung dan dimana kawasan budidaya. Kesatuan hidrologis gambut pada wilayah ini merupakan daerah depresi yang berada pada bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Siklus banjir/genangan di wilayah ini merupakan siklus banjir dan genangan yang bersifat musiman (seasonal). Genangan musiman yang dalam terjadi karena areal ini merupakan zone depresi yang berada di selatan dataran berbahan pasir

56

kuarsa, yang juga merupakan rawa belakang dari Sungai Barito. Variasi topografi dan elevasi lahan ini mempengaruhi proses deposisi bahan aluvial dan akumulasi bahan organik di areal ini. Adanya genangan pada daerah depresi menyebabkan terjadinya akumulasi bahan organik secara topogenik dan lambat laun akumulasi bahan organik terus bertambah elevasinya secara ombrogenik (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010). Dalam kesatuan hidrologis gambut tersebut, daerah yang merupakan gambut sangat dalam atau kubah gambut sebagian besar berada di wilayah Kalimantan Tengah, hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara. Berdasarkan peta kesatuan hidrologis gambut, wilayah Kab. Hulu Sungai Utara memiliki ketebalan gambut bervariasi dari 40 cm hingga 600 cm. Luasan ketebalan gambut dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa kawasan bergambut terluas adalah dengan ketebalan 200-300 cm yang mencapai 15.655 ha dan berada di bagian utara. Adapun gambut sangat tebal hanya 1.888 ha yang berada pada wilayah administrasi Kabupaten Hulu Sungai Utara dari sebaran yang sangat luas di wilayah administrasi Kalimantan Tengah seperti yang terlihat pada peta sebaran kesatuan hidrologis gambut lintas provinsi Kalsel-Kalteng (Gambar 17). Tabel 17 Ketebalan gambut di Kabupaten Hulu Sungai Utara No. 1. 2. 3. 4. 5. Ketebalan gambut (cm) 0 40 40 100 100 200 200 300 300 600 Jumlah Luas (Ha) 4.928 9.782 1.985 15.655 1.888 34.238 Persentase (%) 14,39 28,57 5,80 45,72 5,51 100,00

Selanjutnya untuk keperluan kawasan lindung, berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung bahwa kriteria kawasan bergambut yang dijadikan kawasan lindung adalah tanah bergambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa. Jika mengacu pada aturan tersebut, maka yang dijadikan kawasan lindung hanya seluas 1.888 ha, yaitu yang memiliki ketebalan gambut 300-600 cm. Namun untuk kepentingan fungsi lingkungan hidup tidak ada salahnya jika wilayah yang bergambut dengan kedalaman lebih dari dua meter dijadikan kawasan lindung dalam penataan penggunaan lahan di Kabupaten

57

Hulu Sungai Utara. Berdasarkan peta kesatuan hidrologis gambut wilayah yang memiliki ketebalan gambut lebih dari 200 cm ada di bagian utara, dan di dalam wilayah ini terdapat gambut dengan ketebalan lebih dangkal yaitu 100-200 cm. Untuk mempermudah penatagunaan lahan maka wilayah yang dijadikan sebagai kawasan lindung adalah wilayah dengan ketebalan gambut 100-600 cm. Hal ini juga dengan pertimbangan bahwa wilayah ini berdasarkan peta penggunaan lahan (landuse) sebagian besarnya masih berupa hutan rawa sekunder, belukar rawa dan rawa seperti terlihat pada Gambar 16, sehingga tidak menjadi permasalahan jika dijadikan kawasan lindung. Luasan kawasan lindung ini adalah 19.528 ha di bagian utara seperti pada Gambar 18. Wilayah yang juga dijadikan kawasan lindung adalah sempadan sungai. Kabupaten Hulu Sungai Utara dilintasi banyak sungai dan anak sungai, yaitu sungai besar (Sungai Barito) dengan anak sungainya yaitu Sungai Paminggir. Selain itu juga terdapat Sungai Tabalong dan Sungai Balangan yang melintasi daerah pemukiman dan dekat dengan jalan besar. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka sempadan sungai besar sekurang-kurangnya 100 m kanan kiri sungai. Sempadan anak sungai yang berada di luar pemukiman 50 m dan Sempadan anak sungai yang berada di dalam pemukiman 10-15 m. Mengikuti ketentuan tersebut, maka dibuatlah sempadan sungai sebagai kawasan lindung seperti yang terlihat pada Gambar 18. Sempadan untuk Sungai Barito adalah 100 m, Sungai Paminggir 50 m serta Sungai Tabalong dan Sungai Balangan 10 m. Adapun untuk sempadan danau sebesar 50 m yang berada di Kecamatan Danau Panggang.

(a)

(b)

Gambar 16 Kondisi eksisting di Kawasan Hidrologis Gambut (a) Semak/belukar rawa dan (b) Hutan rawa sekunder

58

Gambar 17 Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Kalteng-Kalsel

59

Gambar 18 Peta kawasan lindung, sempadan sungai dan sempadan danau.

60

Arahan Penatagunaan Lahan di Kabupaten Hulu Sungai Utara

Perencanaan keberlanjutan.

penggunaan

lahan

harus

mempertimbangkan pembangunan

aspek dengan

Keberlanjutan

bisa

dicapai

dalam

memperhatikan keberlanjutan

dari aspek fisik, ekonomi maupun sosial.

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu mencukupi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuannya dalam

pencukupan kebutuhan pada masa yang akan datang.

Terkait dengan ini,

Menurut Hurni (2000) perlu dikembangkan suatu konsep Sustainable Land Mangement yang merupakan suatu sistem teknologi dan atau perencanaan yang bertujuan untuk mengintegrasikan antara ekologi dengan faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik yang berhubungan dengan manajemen lahan pertanian atau sektor lain untuk mencapai keseimbangan. Menurut Sitorus (2004) dimensi pembangunan berkelanjutan meliputi aspek ekonomi yang mencakup pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisiensi; aspek sosial mencakup keadilan, kohesi sosial atau keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; sedangkan aspek ekologi mencakup keterpaduan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan dan keanekaragaman hayati. Pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara sumberdaya alam, aspek sosio-ekonomi dan budaya (kultural). Disadari adanya batas-batas pemanfaatan sumberdaya alam dan batas kemampuan biosphere untuk dapat menyerap kegiatan manusia, meskipun melalui penggunaan teknologi batas tersebut dapat menjadi bersifat relatif. Perencanaan penggunaan lahan untuk pengembangan budidaya padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara tidak hanya melihat manfaat ekonomi atas pengusahaannya, namun juga memperhatikan aspek kesesuaian lahan dan pemusatan kegiatan budidaya padi sebagai bentuk preferensi masyarakat terhadap usaha ini. Selain itu untuk keberlanjutan, perlindungan wilayah gambut terutama gambut dalam harus menjadi perhatian disamping sempadan sungai dan sempadan danau. Untuk itu arahan pemanfaatan lahan untuk budidaya padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara tetap harus melindungi gambut, sungai dan danau seperti yang terlihat pada Gambar 20. Prioritas lahan untuk pengembangan budidaya padi juga memperhatikan pemusatan kegiatan atau wilayah basis untuk budidaya padi seperti yang

61

diuraikan di atas. Sehingga tetap harus dipilah wilayah yang akan dikembangkan lebih dulu berdasarkan wilayah basis ini, karena meskipun sesuai untuk budidaya padi namun masyarakatnnya tidak terbiasa mengusahakan pertanian padi maka akan tidak relevan juga untuk dikembangkan. Kemungkinan prioritas

pengembangan wilayah untuk perluasan lahan padi dapat dilihat seperti Gambar 20 dengan luasan seperti pada Tabel 18. Adanya prioritas untuk perluasan lahan padi ini diharapkan dapat menjawab salah satu tujuan dari penggunaan lahan itu sendiri. Dimana menurut Shi-yin (2007) tujuan penggunaan lahan adalah untuk mencapai efisiensi ekonomi, sosial, ekologi dan lingkungan, yang seharusnya menjadi hasil akhir dari pemanfaatan sumber daya tanah. Evaluasi efisiensi penggunaan lahan secara umum sangat penting dalam revisi perencanaan penggunaan lahan dan peraturan penggunaan lahan. Hal tersebut diharapkan dapat memberi pengaruh yang besar pada penggunaan lahan yang berkelanjutan dan pembangunan masyarakat dan ekonomi secara berkelanjutan. Untuk meningkatkan

pembentukan ekologi lingkungan, dibutuhkan adanya peraturan struktur dan pola penggunaan lahan.

eksisting sawah 1% 2% 20% 27% Pengembangan sawah pada wilayah basis Pengembangan sawah pada wilayah non basis Tidak potensial untuk sawah 22% 19% Kawasan lindung sempadan danau Kawasan lindung sempadan sungai 9% Kawasan lindung gambut

Gambar 19 Persentase Luas arahan penatagunaan lahan untuk padi.

Tabel 18 Arahan penatagunaan lahan untuk padi di Kabupaten Hulu Sungai Utara

62

63

Gambar 20 Peta arahan penatagunaan lahan untuk padi di Kab. Hulu Sungai Utara.

64

Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 19 terlihat bahwa wilayah yang eksisting sawah lebih dari seperempat luas wilayah kabupaten. Adapun potensi pengembangan sawah berdasarkan kesesuaian lahannya sebanyak kurang lebih 27,8% dari luas wilayah, dimana terdapat 9,2% di wilayah basis dan 18,6% di wilayah non basis. Prioritas pengembangan dilakukan terhadap wilayah basis yang potensial, setelah itu baru wilayah non basis. Wilayah basis yang berpotensi besar untuk pengembangan padi adalah di Kec. Danau Panggang dan Kec. Babirik, sedangkan wilayah non basis yang berpotensi besar adalah di Kec. Paminggir dan Kec. Banjang. Wilayah yang tidak berpotensi untuk dikembangkan padi lebih dari seperlima luas kabupaten. Sebagai kawasan penyangga untuk keberlanjutan budidaya dan

kelestarian lingkungan terdapat tiga wilayah kawasan lindung, yaitu kawasan lindung gambut, kawasan lindung sempadan sungai dan kawasan lindung danau. Luas kawasan lindung ini sekitar 23 % dari luas kabupaten. Namun pada wilayah kawasan lindung gambut terdapat lahan sawah eksisting seluas 1.140 ha (1%). Adanya sawah di kawasan lindung gambut ini sebagai gambaran bahwa masyarakat mempunyai keinginan untuk terus memperluas lahan padinya. Sawah yang terdapat di wilayah lindung ini berada pada ketebalan gambut 100200 cm. Secara yuridis tidak menyalahi aturan untuk budidaya, namun untuk kebaikan bersama sebaiknya tidak dilakukan lagi perluasan areal tanam di wilayah ini. Untuk wilayah yang sudah eksisting sawah diberikan kebijakan untuk tetap diusahakan sebagai lahan sawah. Analisis SWOT

Dalam menyusun suatu strategi pengembangan wilayah berdasarkan budidaya padi perlu dilakukan analisis secara komprehensif untuk melihat potensi, kelemahan, peluang dan kendala yang ada. Pada penelitian ini digunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity dan Threat), yaitu analisis potensi/kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman/kendala. Untuk itu dilakukan inventarisasi dan klasifikasi terhadap potensi/kekuatan dan kelemahan/ permasalahan sebagai faktor internal serta peluang dan ancaman sebagai faktor eksternal dalam pengembangan lahan padi di Kabupaten Hulu sungai Utara. Langkah-langkah yang dilakukan adalah : (1) input stage (analisis data input),

65

(2) matching stage (analisis pencocokan), dan (3) decision stage (analisis pengambilan keputusan). Analisis data input dimulai dengan identifikasi lingkungan, dilanjutkan dengan analisis faktor internal dan faktor eksternal. Proses analisis akan menghasilkan beberapa asumsi atau peluang strategis untuk tujuan keberhasilan kebijakan. Dalam mengidentifikasi faktor-faktor tersebut, penulis mencoba mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang menjadi faktor kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman. Selanjutnya dilakukan wawancara serta pengisian kuesioner terhadap para pemegang kebijakan maupun stakeholder selaku pelaku usaha tani. Hasil dari kegiatan ini adalah teridentifikasinya faktorfaktor yang diperlukan untuk analisis SWOT yaitu sebagai berikut : 1. Kekuatan (Strength) a. Sumberdaya alam berupa areal yang sangat luas dan potensial b. Sumberdaya manusia yang bekerja di sektor pertanian c. Kelembagaan petani (jumlah kelompok tani yang besar) d. Dukungan/kebijakan pemerintah e. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi f. Output berupa padi organik g. Biaya input untuk produksi (Ex : pupuk, bibit, dll) yang rendah h. Tingkat keuntungan usaha i. Koordinasi antar instansi pemerintah daerah maupun pusat dalam kegiatan-kegiatan di bidang pertanian j. Produktivitas padi yang dihasilkan cukup tinggi 2. Kelemahan (Weakness) : a. Kondisi fisik rawa lebak (fluktuasi ketersediaan air yang tidak jelas) b. Permasalahan pada kegiatan pasca panen sehingga kualitas gabah kurang bagus c. Kemampuan modal usaha petani yang rendah 3. Peluang (Oppurtunity) a. Permintaan gabah/beras yang terus meningkat b. Berkembangnya teknologi informasi sehingga mempermudah komunikasi c. Potensi pasar yang masih terbuka luas d. Potensi pasar untuk beras organik

66

e. Adanya kebijakan otonomi daerah sehingga kebijakan pemerintah daerah lebih tepat sasaran f. Adanya ketersediaan kredit/permodalan g. Ketersediaan teknologi 4. Ancaman (Threat) : a. Tingkat inflasi yang tinggi b. Fluktuasi harga gabah yang tidak jelas c. Adanya kebijakan impor beras d. Kemungkinan persaingan penggunaan lahan dengan perkebunan Faktor internal dan faktor eksternal dibuat dalam bentuk matriks SWOT. Masing-masing kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki dalam upaya pengembangan budidaya padi diberi bobot penilaian sesuai dengan bobot kepentingan (Tabel 19). Penilaian bobot ini berdasarkan pada analisis yang dilakukan penulis, pengamatan lapangan, hasil wawancara serta pengisian kuesioner oleh para pengambil kebijakan dan stakeholder. Analisis pencocokan dilakukan dengan mencocokkan faktor-faktor yang terdapat dalam matriks SWOT untuk mendapatkan beberapa strategi alternatif dalam upaya menentukan prioritas kebijakan dalam pengembangan wilayah untuk perluasan lahan padi. Matriks ini dapat dilihat pada Tabel 20. Dari matriks ini terlihat beberapa asumsi alternatif strategi yang dapat dilakukan, yaitu : 1. Strategi Strength-Oppurtunity, yaitu memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang 2. Strategi Weakness-Oppurtunity, yaitu meminimalkan kelemahan untuk mencapai dan memanfaatkan peluang yang ada 3. Strategi Strength-Threat, yaitu memanfaatkan kekuatan untuk

mengurangi ancaman; 4. Strategi Weakness-Threat, yaitu taktik untuk bertahan yang diarahkan untuk menguragi kelemahan-kelemahan internal serta menghindar dari ancaman-ancaman lingkungan luar.

67

Tabel 19 Penilaian tingkat kepentingan SWOT Strategi Bobot

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 W1 W2 W3 O1 O2 O3 O4 O5 O6 O7 T1 T2 T3 T4

Sumberdaya alam berupa areal yang sangat luas dan potensial Sumberdaya manusia yang bekerja di sektor pertanian Kelembagaan petani (jumlah kelompok tani yang besar) Dukungan/kebijakan pemerintah Ketersediaan sarana dan prasarana produksi Output berupa padi organik Biaya input untuk produksi (Ex : pupuk, bibit, dll) yang rendah Tingkat keuntungan usaha Koordinasi antar instansi pemerintah daerah maupun pusat dalam kegiatan-kegiatan di bidang pertanian Produktivitas padi yang dihasilkan cukup tinggi Kondisi fisik rawa lebak (fluktuasi ketersediaan air yang tidak jelas) Permasalahan pada kegiatan pasca panen sehingga kualitas gabah kurang bagus Kemampuan modal usaha petani yang rendah Permintaan gabah/beras yang terus meningkat Berkembangnya teknologi informasi sehingga mempermudah komunikasi Potensi pasar yang masih terbuka luas Potensi pasar untuk beras organik Adanya kebijakan otonomi daerah sehingga kebijakan pemerintah daerah lebih tepat sasaran Adanya ketersediaan kredit/permodalan Ketersediaan teknologi Tingkat inflasi yang tinggi Fluktuasi harga gabah yang tidak jelas Adanya kebijakan impor beras Kemungkinan persaingan penggunaan lahan dengan perkebunan

4 4 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3

4 3 3 3 3 3 3

2 3 3 3

Sumber : Hasil olahan dari wawancara dan pengisian kuesioner

Langkah selanjutnya adalah Analisis pengambilan keputusan dengan memilih keputusan yang terbaik untuk dilaksanakan. Dalam hal ini setiap alternatif strategis pada matriks SWOT diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, kemudian diberi rangking. Pemberian nilai berdasarkan penjumlahan nilai-nilai dari faktor-faktor yang membangun alternatif strategi. Pemberian ranking berdasarkan pada point nilai tertinggi. Penggambaran pengambilan tingkat prioritas ini dapat dilihat pada Tabel 21.

68

Tabel 20 Matriks SWOTKekuatan (Strenght) : 1. Sumberdaya alam berupa areal yang sangat luas 2. Sumberdaya manusia yang bekerja di sektor pertanian 3. Kelembagaan petani (jumlah kel. Tani yang besar) 4. Dukungan/kebijakan pemerintah 5. Ketersediaan sarana dan prasarana produksi 6. Output berupa padi organik 7. Biaya input untuk produksi (Ex : pupuk, bibit, dll) yang rendah 8. Tingkat keuntungan usaha 9. Koordinasi antar instansi pemerintah daerah maupun pusat dalam kegiatan-kegiatan di bidang pertanian 10. Produktivitas padi yang dihasilkan cukup tinggi Kelemahan (Weakness) : 1. Kondisi fisik rawa lebak (fluktuasi ketersediaan air yang tidak jelas) 2. Permasalahan pada kegiatan pasca panen sehingga kualitas gabah kurang bagus 3. Kemampuan modal usaha petani yang rendah

Internal

Eksternal

Peluang (Oppurtunity) : 1. Permintaan gabah/beras yang terus meningkat 2. Berkembangnya teknologi informasi sehingga mempermudah komunikasi 3. Potensi pasar yang masih terbuka luas 4. Potensi pasar untuk beras organik 5. Adanya kebijakan otonomi daerah sehingga kebijakan pemerintah daerah lebih tepat sasaran 6. Adanya ketersediaan kredit/permodalan 7. Ketersediaan teknologi

1. Memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai secara fisik di daerah sektor basis dengan kebijakan pemerintah untuk pengembangan padi 2. Meningkatkan peran kelembagaan petani untuk melakukan kemitraan dengan pedagang dan stakeholder 3. Meningkatkan keuntungan dengan menjual kelebihan produksi berupa beras bukan gabah 4. Meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengembangan padi organik

1. Membangun sarana dan prasarana pendukung untuk pengaturan tata air 2. Meningkatkan sistem kelembagaan terutama untuk permodalan 3. Menambah sarana prasarana on farm maupun off farm (pasca panen) untuk budidaya secara semi mekanik seperti alat penggulung rumput, lantai jemur, drier, power thresher, dll.

Ancaman (Threat) : 1. Tingkat inflasi yang tinggi 2. Fluktuasi harga gabah yang tidak jelas 3. Adanya kebijakan impor beras 4. Kemungkinan persaingan penggunaan lahan dg perkebunan

1. Melakukan kerjasama teknologi dan peningkatan SDM dengan daerah lain yang lebih maju 2. Meningkatkan kapasitas penyuluhan yang efektif dan efisien kepada petani

1. Meningkatkan kualitas gabah agar memiliki harga yang bersaing 2. Adanya kebijakan pemerintah dalam penggunaan lahan.

69

Tabel 21 Pemilihan analisis prioritas yang diunggulkan No. 1. Alternatif strategi Keterkaitan Kepentingan 34 Ranking 1

Memanfaatkan potensi wilayah (S 1,2,4,5, 7,9 yang sesuai secara fisik di daerah O 1,3,5,7) sektor basis dengan kebijakan pemerintah untuk pengembangan padi. Meningkatkan peran kelembagaan (S 2, 3 O 2, 6) petani untuk melakukan kemitraan dengan pedagang dan stakeholder. Meningkatkan keuntungan dengan (S 5,8,10 O 1, 3, 7) menjual kelebihan produksi berupa beras bukan gabah. Meningkatkan nilai tambah (S 1, 6, 7 O 1,4) dengan melakukan pengembangan padi organik. Membangun sarana dan prasarana (W 1,2 O 1, 3, 5,7) pendukung untuk pengaturan tata air. Meningkatkan sistem kelembagaan (W 3 O 1, 3, 5, 6) terutama untuk permodalan. Menambah sarana prasarana on (W 2 O 1, 3, 5, 7) farm maupun off farm (pasca panen) untuk budidaya secara semi mekanik seperti alat penggulung rumput, lantai jemur, drier, power thresher, dll.

2.

13

7

3.

21

2

4.

17

4

5.

19

3

6. 7.

16 16

5 6

Dari hasil analisa peringkat kepentingan, maka prioritas kebijakan yang menempati ranking pertama yang merupakan kebijakan yang pertama

dilaksanakan. Prioritas utama adalah kebijakan pada kuadran I dan II, selanjutnya baru kuadran III dan IV. Berdasarkan Tabel 21 di atas, maka prioritas kebijakan yang direkomendasikan berturut-turut sebagai berikut : 1. Memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai secara fisik di daerah sektor basis dengan kebijakan pemerintah untuk pengembangan padi. 2. Meningkatkan keuntungan dengan menjual kelebihan produksi berupa beras bukan gabah. 3. 4. Membangun sarana dan prasarana pendukung untuk pengaturan tata air. Meningkatkan organik. nilai tambah dengan melakukan pengembangan padi

70

5. 6.

Meningkatkan sistem kelembagaan terutama untuk permodalan. Menambah sarana prasarana on farm maupun off farm (pasca panen) untuk budidaya secara semi-mekanik seperti alat penggulung rumput, lantai jemur, drier, power thresher, dll.

7.

Meningkatkan peran kelembagaan petani untuk melakukan kemitraan dengan pedagang dan stakeholder.

Berbagai alternatif kebijakan untuk pengembangan lahan padi yang akan dilaksanakan untuk dijabarkan menjadi program maupun kegiatan pembangunan di Kabupaten Hulu Sungai Utara perlu memperhatikan banyak aspek, baik aspek biofisik, sosial budaya masyarakat maupun kebijakan pemerintah. Aspek biofisik meliputi kesesuaian lahan maupun daya dukungnya, sedangkan aspek sosial budaya lebih kepada mental masyarakat itu sendiri yang tidak terlepas dari adatistiadat, budaya, kebiasaan maupun pola fikir. Adapun kebijakan pemerintah sangat diperlukan terutama dalam hal pengadaan sarana prasarana fisik yang menunjang untuk pengembangan budidaya padi, selain adanya kemauan yang kuat dari pemegang kebijakan (penguasa) untuk kemajuan daerah dan kemakmuran masyarakat.