BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN...

31
98 BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN KEBERAGAMAAN; PERAN FSMD DALAM ANALISA NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY Peran-peran serta upaya yang dilakukan FSMD dalam mempengaruhi kebijakan penggunaan rumah ibadah di GITJ Dermolo, sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa dominasi FSMD begitu kuat dalam usaha mengelola keberagamaan di Dermolo. Secara kasat mata, ini terlihat dari begitu besarnya otoritas FSMD dalam menentukan nasib warga Kristen Dermolo dalam pemenuhan hak-hak beragama mereka, yakni hak untuk dapat memiliki tempat ibadah dan hak bebas dari ancaman agar dapat beribadah dengan tenang. Dominasi sesungguhnya telah nampak dari semangat ataupun tujuan awal dibentuknya FSMD, yakni sebagai alat kontrol terhadap proses pembangunan GITJ Dermolo agar tidak menciderai ideologi mayoritas. Semangat ini kemudian terealisasi dalam berbagai tindakan dan aksi-aksi intimidatif dan intoleran pada warga jemaat Kristen Dermolo. Materi regulasi yang diskriminatif, serta keberpihakan aparat Pemerintah yang selalu menggunakan opsi-opsi yang diajukan FSMD dalam setiap pengambilan kebijakan telah menjadi alat justifikasi untuk membatasi kebebasan beragama umat Kristen Dermolo. Dengan dalih menjaga stabilitas kerukunan lintas agama, kebijakan yang muncul justru lebih berorientasi pada kepentingan segelintir elit agama yang mencatut nama mayoritas dari pada membela hak umat Kristen yang merupakan

Transcript of BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN...

Page 1: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

98

BAB IV

MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN KEBERAGAMAAN;

PERAN FSMD DALAM ANALISA NEGARA HUKUM, HAM DAN

CIVIL SOCIETY

Peran-peran serta upaya yang dilakukan FSMD dalam mempengaruhi

kebijakan penggunaan rumah ibadah di GITJ Dermolo, sebagaimana diuraikan

pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa dominasi FSMD begitu kuat dalam

usaha mengelola keberagamaan di Dermolo. Secara kasat mata, ini terlihat dari

begitu besarnya otoritas FSMD dalam menentukan nasib warga Kristen Dermolo

dalam pemenuhan hak-hak beragama mereka, yakni hak untuk dapat memiliki

tempat ibadah dan hak bebas dari ancaman agar dapat beribadah dengan tenang.

Dominasi sesungguhnya telah nampak dari semangat ataupun tujuan awal

dibentuknya FSMD, yakni sebagai alat kontrol terhadap proses pembangunan

GITJ Dermolo agar tidak menciderai ideologi mayoritas. Semangat ini kemudian

terealisasi dalam berbagai tindakan dan aksi-aksi intimidatif dan intoleran pada

warga jemaat Kristen Dermolo. Materi regulasi yang diskriminatif, serta

keberpihakan aparat Pemerintah yang selalu menggunakan opsi-opsi yang

diajukan FSMD dalam setiap pengambilan kebijakan telah menjadi alat justifikasi

untuk membatasi kebebasan beragama umat Kristen Dermolo.

Dengan dalih menjaga stabilitas kerukunan lintas agama, kebijakan yang

muncul justru lebih berorientasi pada kepentingan segelintir elit agama yang

mencatut nama mayoritas dari pada membela hak umat Kristen yang merupakan

Page 2: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

99

korban dan minoritas lemah. Pihak Pemerintah dan Keamanan nampak tidak

bernyali ketika berhadapan dengan FSMD. Yang lebih memilukan, aparat

Pemerintah daerah kabupaten Jepara bahkan tidak dapat bertindak tegas meski

FSMD dalam aksi-aksi dan manuvernya telah bersikap otoriter, diskriminatif dan

mengarah pada kekerasan.

Dalam konteks di atas, bab ini akan menganalisis persoalan pengelolaan

keberagamaan di Dermolo yang mengakibatkan munculnya dominasi kelompok

masyarakat agama dalam perspektif negara hukum, HAM dan Civil Society.

Analisa pada bab empat ini akan menunjukkan bahwa sistem hukum yang tidak

menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila akan menyebabkan tidak berfungsinya

hukum dalam mengelola keberagamaan. Fokus analisis pada peran FSMD

memperlihatkan bahwa FSMD sebagai perkumpulan sekelompok elit agama

(agamawan) adalah perwujudan uncivil society dalam sebuah negara hukum

Pancasila karena berlawanan dengan prinsip hak asasi manusia serta mengancam

demokrasi di Indonesia.

A. Dilema Pengelolaan Keberagamaan di Negara Hukum Pancasila;

Studi Kasus GITJ Dermolo

Indonesia adalah negara hukum, para pendiri republik ini (founding

people) telah merumuskan sebuah konsep sebagaimana termaktub dalam UUD

NRI 1945 pra-amandemen, yakni penjelasan umum mengenai sistem

pemerintahan negara yang menyatakan bahwa ―Negara Indonesia ialah negara

yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan

Page 3: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

100

(machtsstaat).‖ Rumusan tersebut oleh Soepomo diartikan bahwa negara harus

tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum dan berlaku bagi seluruh badan

serta alat-alat perlengkapan negara.1

Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) pasca amandemen hal tersebut ditegaskan kembali

dengan menyebutkan ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Dalam sebuah

negara hukum, baik rechtsstaat maupun the rule of law menempatkan jaminan

perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta pembatasan

kekuasaan negara sebagai prasyarat utama. Karena prinsip negara hukum adalah

mengendalikan segala bentuk kekuasaan, baik kekuasaan rakyat maupun

kekuasaan negara. Maka menurut Sri Soemantri, jaminan perlindungan HAM

menjadi sebuah kewajiban dalam sebuah negara hukum agar penguasa tidak

bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.2

Secara konsep, sistem hukum di Indonesia diadopsi dari tradisi politik di

Barat, yaitu freedom under the rule of law, namun konsep hukum di Indonesia

telah disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia dan bersesuaian

dengan semangat menuju Indonesia modern. Pada konteks inilah, Pancasila

diposisikan sebagai landasan identitas hukum yang berdasarkan pada nilai-nilai,

identitas dan karakteristik Pancasila, sebagaimana terdapat dalam lima sila dan

falsafah Pancasila. Maka, negara Indonesia adalah negara hukum Pancasila 3

1Teguh Prasetyo dan Arie Purnomisidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila

(Bandung: Nusa Media, 2014), 1. 2 Sri Soemantri, Bunga Rampai HukumTata Negara (Bandung: Alumni, 1992), 74.

3Prasetyo, Membangun Hukum...48.

Page 4: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

101

Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum Pancasila mengandung

konsekuensi bahwa negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya,

dengan berlandaskan pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila, seperti ketuhanan,

kekeluargaan, gotong-royong dan kerukunan. Para ahli mengidentifikasi, terdapat

dua belas prinsip atau unsur yang harus ada dalam negara hukum Pancasila,

dimana agama (ketuhanan) menjadi elemen yang sangat esensial, yang

membedakan dengan konsep negara hukum di tempat lain.4

Dalam negara hukum berdasarkan Pancasila, agama tidak diposisikan

sebagai dasar negara, melainkan negara mengambil nilai-nilai universal semua

agama dalam konstitusi, tanpa membedakan mayoritas maupun minoritas. Posisi

negara dalam hal ini adalah melayani agama bukan mencampuri urusan agama

atau keyakinan warga negaranya. Unsur atau prinsip Ketuhanan dalam negara

hukum Pancasila dimaksudkan bahwa semua agama adalah setara dihadapan

hukum dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga semua warga negara

harus diperlakukan sama dihadapan hukum yang adil. Hal ini pula yang membawa

John Titaley pada suatu keyakinan bahwa Negara Pancasila adalah model terbaik

diantara bangsa-bangsa di dunia.

Dengan demikian, dalam negara hukum Pancasila, negara memiliki

kewajiban menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia sebagai

hak semua warga negara yang sah dan setara sebagai sebuah landasan yuridis

formal untuk keyakinan umat beriman. Sehingga, tugas dan fungsi negara juga

menjadi sangat jelas yakni untuk melindungi, menjamin, memfasilitasi serta

4Unsur-unsur dari negara hukum Pancasila merupakan nilai-nilai yang diramu dari

keseluruhan proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia

Page 5: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

102

memberi pelayanan kepada setiap warga negara untuk menjalankan setiap bentuk

praktik keagamaan secara adil dan netral. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945,

UU No. 39/1999 tentang hak asasi manusia dan beberapa kovenan internasional

yang telah diratifikasi menjadi UU di Indonesia.

Apabila secara konseptual negara hukum Pancasila telah secara normatif

menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negaranya, lalu adakah

yang salah dengan pengelolaan keberagamaan di bumi Pancasila?

Menurut Satjipto Rahardjo, dalam suatu negara hukum disyaratkan untuk

selalu menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum

dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.5 Oleh karena itu, diperlukan

suatu sistem hukum6 yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warga negara

termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Melihat sejauh mana sistem hukum Indonesia berjalan sesuai fungsinya,

teori sistem hukum Lawrence Meir Friedman akan digunakan dalam mengkaji

persoalan di Dermolo. Friedman mengemukakan, efektif dan tidaknya

pelaksanaan suatu hukum, tergantung pada tiga hal; pertama, substansi hukum

(legal substance); kedua, struktur hukum (legal structure); ketiga, budaya hukum

(legal culture). Struktur hukum berkaitan dengan aparat penegak hukum dan

lembaga-lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang.

Substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, materi dan isi regulasi.

Sedangkan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut

5Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), 11.

6Jika sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari elemen yang saling berinteraksi,

maka hukum sebagai sebuah sistem merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari unsur-unsur

yang berkaitan erat satu dengan yang lain.

Page 6: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

103

oleh masyarakat. Adapun budaya hukum menyangkut kepercayaan akan nilai,

pikiran dan harapan masyarakat.7

1. Substansi Hukum dan Problematika Regulasi Rumah Ibadah

Pada konteks kehidupan keagamaan, substansi hukum dapat diartikan

sebagai aturan-aturan yang secara teknis dan operasional mengikat semua

pemeluk agama. Apabila substansi hukum dapat mengakomodasi semua

kepentingan, maka peluang terjadinya konflik menjadi kecil. Sebaliknya, jika

substansi tersebut hanya mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, di sinilah

konflik mendapatkan ruang persemaian.

Pada konteks polemik pendirian GITJ di Desa Dermolo, persoalan yang

ada tak bisa dilepaskan dari substansi hukum yang terkandung dalam PBM. Pada

Bab IV Pasal 13 ayat 1 disebutkan; ―Pendirian rumah ibadah didasarkan pada

keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk

bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.‖

Selanjutnya, pada ayat 3 disebutkan; ―Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan

umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas

wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.‖

Kedua ayat di atas lalu dijelaskan pada Pasal 14 ayat 2 bahwa pihak

pengusul harus memberikan daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 90

orang pengusul rumah ibadah yang disahkan oleh pejabat sesuai dengan batas

7Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran

Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2012), 312.

Page 7: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

104

wilayah setempat.8 Ketika aturan diatas dipahami dan ditafsiri oleh para pemeluk

agama secara ketat, terdapat multi-interpretasi dan tentunya kepentingan yang

berkelindan dibalik tiap interpretasi. Namun persoalan demikian tidak akan

muncul ketika aturan diatas dipahami dan ditafsiri dalam suasana pemeluk agama

yang toleran.

Dalam suasana yang tidak kondusif seperti Dermolo, dimana polemik

gereja telah ada empat tahun sebelum PBM nomor 8 dan 9 lahir, regulasi ini

justru membuat suasana semakin rumit karena baik GITJ maupun FSMD

memiliki tafsir dan kepentingan berbeda. Pihak Kristiani menyimpulkan bahwa

yang terpenting adalah sejumlah jemaat pengusul telah ber-KTP. Mereka

berargumen, bahwa dalam Kristen terdapat tradisi di mana jemaat bisa datang dari

luar daerah dan terhimpun dalam komunitas suatu gereja. Artinya, definisi jemaat

pengusul dalam tradisi Kristen adalah mereka yang terlibat secara rutin dalam

liturgi bersama meskipun dari luar daerah.

Penafsiran GITJ berbeda dengan FSMD. Ketua FSMD yang penulis temui

dikediamannya menyatakan, redaksi ber-KTP sebagaimana dimaksud di atas

adalah warga Desa Dermolo. Meskipun nama desa tidak tercantum secara

eksplisit, namun hal itu menjadi hal yang umum dan dimaklumi karena

pencantuman KTP ini berhubungan dengan tempat domisili di mana gereja itu

didirikan. Atas upaya yang dilakukan GITJ, ia menilai hal itu tak sesuai dengan

aturan yang berlaku. Ia selalu menyatakan, di luar idealitas regulasi yang ada,

terdapat serangkaian kejadian yang kemudian diduga bahwa pendirian GITJ ini

8 Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 tahun 2006.

Page 8: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

105

tak semata-mata berbasis kebutuhan nyata, melainkan bagian dari misi yang

tersembunyi.

Ada dua hal paradoksal yang bisa dicatat. Pada satu sisi, GITJ membaca

PBM secara tekstual (law in books) bahwa apa yang dilakukan telah sesuai

dengan aturan yang berlaku, baik dari aspek pemenuhan jumlah tandatangan

maupun kebutuhan nyata akan gereja. Pada sisi yang lain, FSMD membaca dan

menafsiri PBM tersebut tak secara tekstual (law in action) bahwa KTP dimaksud

harus ber-KTP Dermolo. Ukuran yang dipakai ‗keumuman‘ dalam ukuran tradisi

Islam disana, bahwa anggota jamaah masjid berada dalam satu desa. Penafsiran

seperti ini muncul karena didasari oleh prasangka akan adanya isu kristenisasi.

Di sini jelas bahwa polemik terdapat pada aspek materi hukum yang

dinilai tak cukup memadai, seperti redaksi yang interpretable. Pada situasi ini,

siapakah yang paling sahih tafsirannya; apakah itu menjadi otoritas pemerintah?

Ataukah, pihak yang berpolemik juga diberi hak menafsiri? Jika yang pertama,

apakah menjamin dilakukan tanpa bias dan telah merepresentasikan kepentingan

semua kelompok? Jika yang kedua, tidakkah hal itu justru akan mengarah pada

konflik yang lebih besar? Jika dilihat, materi regulasi dalam SKB tahun 1969 dan

PBM tahun 2006 lebih banyak mengurusi hal administratif, seperti ijin pemerintah

daerah dan jumlah tandatangan. Bahkan, hal administratif ini jauh melampaui hal

lain yang lebih penting, misalnya tentang kealamiahan perbedaan agama,

kerukunan, toleransi, dan pendidikan multikulturalisme.

Premis penting dari uraian ini adalah bahwa PBM nomor 8 dan 9 tahun

2006 yang dijadikan sebagai pedoman pendirian rumah ibadah, belum menyentuh

Page 9: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

106

ranah substantif, dan baru berkutat pada hal-hal administratif. Materi hukum lebih

didominasi oleh klausul tentang hal-hal teknis. Tingginya tingkat sensitifitas

dalam agama, menjadikan persoalan ini menjadi sulit mencapai titik temu.

Mengapa? Agama berangkat dari paradigma ideologis, sementara regulasi-

administratif bertolak dari paradigma normatif-idealis.

Evaluasi terhadap materi hukum dalam regulasi rumah ibadah baik SKB

maupun PBM adalah hal mendesak. Pluralitas agama yang sejak awal dimiliki

bangsa ini, adalah kekayaan. Maka, hal urgen yang dibutuhkan bangsa ini adalah

bagaimana keragaman agama ini dikelola. Jadi, tidak untuk menciptakan miliu

menjadi sama, tetapi menyamakan persepsi untuk membangun kebersamaan di

tengah keberagaman agama. Keberadaan regulasi yang secara komprehensif

menjamin terlaksananya hak beragama dan berkeyakinan menjadi semakin

penting. Regulasi yang dapat memberikan kepastian setiap warga negara dalam

melaksanakan haknya atas kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan di negara

multireligi ini.

Dalam konteks negara hukum Pancasila, materi dalam regulasi harus

memuat nilai-nilai, identitas dan karakter Pancasila. Nilai-nilai dimaksud adalah

bahwa substansi hukum harus melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan

warga negara Indonesia dengan semangat egalitarianisme, toleransi, pluralisme,

kekeluargaan dan gotong royong.

Dengan landasan ini, segala bentuk kebijakan harus berpijak pada prinsip

bahwa seluruh warga negara adalah sama dan setara sehingga harus diperlakukan

secara adil dengan menegasikan tindakan diskriminasi dan kesewenang-wenangan

Page 10: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

107

pada yang lemah. Ini juga mengandung pengertian bahwa tidak boleh ada agama

yang terlalu dominan. Karena dasar negara ini tidak berasal dari doktrin agama

tertentu, melainkan integrasi dari nilai-nilai universal dari agama-agama yang ada.

Indonesia tidak berdasar atas doktrin agama Islam, maka doktrin dan hegemoni

keislaman tak boleh mendominasi kelompok agama lain, dan seterusnya.

Regulasi rumah ibadah harus memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi di

mana ia dirumuskan bukan untuk membela kelompok tertentu dan menindas

kelompok yang lain. Maka SKB Nomor 1 Tahun 1969 dan PBM Nomor 8 dan 9

Tahun 2006 harus disterilkan dari pasal atau ayat yang mendiskriminasikan

kelompok tertentu. Dengan semangat ini, pemerintah perlu mengevaluasi –

misalnya- persyaratan tanda tangan 90 jemaat pengusul dan 60 warga sekitar.

Pada konteks Dermolo, faktanya angka-angka ini membuka polemik baru yang

menghadap-hadapkan mayoritas dengan minoritas. Sehingga nilai-nilai

kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini tak mendapatkan tempat yang

memadai.

2. Struktur Hukum dan Lemahnya Penegakan Hukum

Dalam negara hukum, pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan

terhadap hak warga negara menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar. Menurut

Friedman, struktur hukum akan menentukan; bisa dan tidaknya hukum dapat

dilaksanakan dengan baik. Pada konteks GITJ Dermolo, pemerintah kabupaten

Jepara telah bertindak sewenang-wenang. Pemerintah belum mampu berdiri di

tengah memediasi pihak yang berpolemik secara berkeadilan untuk mengayomi

seluruh warganya.

Page 11: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

108

Meskipun pihak GITJ telah memiliki IMB yang berketetapan hukum, hal

itu tak menjamin bahwa hukum ditegakkan. Bahkan, IMB kemudian dipaksa

untuk dianulir berdasarkan kesepakatan mayoritas peserta forum. Ketika pihak

Kristen mendapatkan perlakuan intimidatif dari sekelompok orang, pemerintah

tak melakukan tindakan riil untuk mencegah terjadinya kembali tindakan tersebut.

Pada akhirnya, pemerintah tak memberikan alternatif rumah ibadah selain

fungsionalisasi rumah tinggal untuk beribadah.

Hal sama juga dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aparat kepolisian

tak berdaya menghadapi intervensi pemerintah dan FSMD. Sebagai contoh, ketika

warga Kristen hendak melaksanakan kebaktian di tengah polemik GITJ, pihaknya

minta agar aparat kepolisian bisa memberikan pengamanan. Pihak kepolisian

justru tak bersedia dengan alasan keamanan dan tekanan publik. Alasannya,

pemerintah mengeluarkan rekomendasi tentang pelarangan kebaktian di bangunan

yang masih berkonflik. Atas laporan berbagai tindakan intimidatif yang menimpa

jemaat Kristen, aparat juga tak melakukan langkah riil. Satu hal yang bisa dicatat,

ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif, lembaga lain akan

mengikuti sebagaimana kebijakan yang telah digariskan.

Fenomena di atas menggambarkan kuatnya relasi antara ambiguitas

substansi hukum dengan problematika struktur hukum. Ketika hukum tak

menyediakan konsep yang memadai, maka struktur tak akan dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Akibatnya, jemaat GITJ tak mendapatkan kepastian

hukum. Dengan kata lain, hukum yang problematis mendorong moralitas yang

tidak ideal. Inilah yang dimaksudkan oleh Friedman, bahwa struktur hukum tak

Page 12: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

109

bisa menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya ketika tidak tersedia substansi

hukum yang memadai.

Pada kasus di Dermolo, ikatan emosional antara aparat pemerintah,

penegak hukum, FKUB, dan FSMD menjadi tak terelakkan. Ketika idealitas

konstitusi telah memberikan aturan meskipun tak sempurna, praktiknya hal itu tak

berjalan karena stigma-stigma terhadap kelompok tertentu muncul lebih dominan.

Di tengah perdebatan tentang PBM, isu Kristenisasi tak jarang dihembuskan di

tengah polemik GITJ. Secara alamiah, ikatan emosional sesama muslim

berkepentingan untuk bersama-sama mencegah hal itu. Di sinilah dilema yang

seringkali dirasakan aparat pemerintah dan penegak hukum antara menjalankan

konstitusi (menjamin hak beragama seluruh warga negara) atau menjaga ideologi

pribadi sebagai mayoritas (eksklusivisme).

Adanya relasi kuat antara ambiguitas substansi hukum dan psikologi

aparat Pemerintah maupun penegak hukum telah melahirkan mentalitas struktur

hukum yang tak memihak keadilan, melainkan memihak kepentingan primordial

agama. Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan

non diskriminatif akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh

kelompok-kelompok masyarakat diluar institusi negara.

3. Budaya Hukum dan Ilusi Masyarakat Berkeadilan

Menurut Friedman, budaya hukum berhubungan dengan sikap manusia

terhadap hukum, dimana budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living

law) yang dianut oleh masyarakat. Budaya hukum menyangkut kepercayaan akan

nilai, pikiran dan harapan masyarakat. Hal ini diatribusikan pada suasana

Page 13: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

110

pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan; bagaimana hukum

digunakan, dihindari, dan disalahgunakan.

Budaya hukum berhubungan dengan kesadaran hukum masyarakat.

Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka akan tercipta budaya hukum

yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai pemberlakuan

hukum. Tinggi dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat ditentukan oleh

tinggi rendahnya kewibawaan hukum itu sendiri. Kewibawaan di sini

berhubungan dengan tercipta dan tidaknya hukum yang berkeadilan. Semakin

masyarakat sadar akan tercapainya keadilan hukum, semakin tinggi pula

kepatuhannya terhadap hukum. Sebaliknya, semakin hukum tak mampu

menciptakan keadilan, maka masyarakat akan berapriori. Jadi, tingkat kepatuhan

masyarakat merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

Terdapat dua sikap yang berbeda dari GITJ dan FSMD yang

merefleksikan belum tercapainya keadilan hukum. Beberapa kali jemaat Kristen

menyelenggarakan kebaktian di bangunan yang masih menjadi sengketa. Salah

seorang tokoh agama Kristen Dermolo menyatakan,9 hal ini sebagai ekspresi

kejenuhan pemeluk Kristen yang tak kunjung mendapatkan kepastian hukum dari

pemerintah. Berbagai forum yang diselenggarakan, tak pernah secara serius

memberikan alternatif berkeadilan kepada pemeluk Kristen. Ketika pemerintah

mensyaratkan tandatangan dengan jumlah tertentu dan itu dipenuhi, pemerintah

tak bersikap. Alasannya, tak sesuai dengan aturan. Ketika kebaktian

9 Wawancara dengan tokoh umat Kristen Dermolo, tanggal 10 Juli 2014 di Dermolo.

Page 14: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

111

diselenggarakan di kediaman salah satu pimpinan umat Kristiani di dukuh

Dombang, muncul larangan dengan alasan berada di sekitar wilayah konflik.

Pada sisi yang lain, sikap-sikap intimidatif dan inkonstitusional

sekelompok orang, yang membajak peran negara, tak disikapi secara arif oleh

Pemerintah. Ketika terjadi beberapa kasus insiden sebagai akibat penyikapan

FSMD secara sepihak kepada jemaat GITJ, salah satu tokoh FSMD berargumen

bahwa tindakan tersebut mereka ambil karena pemerintah dinilai lamban

melakukan penanganan. Ia menilai,10

pemerintah kurang peka dan selalu

menunggu informasi dan rekomendasi dari FSMD dalam setiap kasus yang

timbul.

Tindakan intimidatif FSMD ini sesungguhnya bertolak belakang dari

budaya hukum yang sebagian besar masyarakat anut. Masyarakat Dermolo pada

dasarnya adalah masyarakat toleran, yang terbiasa hidup dengan keseimbangan

dan harmoni meski dengan beragam perbedaan. Maka, sikap apriori yang dipilih

oleh sebagian besar masyarakat Dermolo (silent majority) menjadi bukti bahwa

budaya hukum belum ditegakkan.

Melalui perspektif Friedman di atas, polemik GITJ di Desa Dermolo

merefleksikan beberapa hal; pertama, rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat

terhadap hukum; kedua, reduksi moralitas hukum; ketiga, apriori terhadap

pemenuhan hak bersama.

Pertama, berhubungan dengan ketidakmampuan mengartikulasikan pesan

hukum dan mengkonstekstualisasikannya dalam tataran praksis. UUD 1945 dan

10

Wawancara dengan pengurus FSMD, tanggal 13 Juli 2014 di Dermolo.

Page 15: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

112

Pancasila telah menjamin kemerdekaan setiap warga untuk menganut agama dan

kepercayaan. Namun itu baru berlaku bagi sebagian dan tidak bagi sebagian yang

lain. Bukankah agama berhubungan dengan pilihan batiniah? Mengapa pula

agama selalu didekati dengan regulasi-regulasi administratif? Pada situasi ini,

masing-masing pihak pada posisi saling menjustifikasi pihak lain. Pihak Kristiani

menilai, pemerintah berikut pihak yang sepakat dengan kebijakannya, tidak

mentaati amanat konstitusional dalam hak jaminan beragama. Pada pihak FSMD,

pihak Kristiani dinilai bertindak inkonstitusional karena tak mematuhi aturan yang

berlaku. Ketidakpatuhan terhadap hukum ini lalu melahirkan kelompok

hegemonik dan kelompok marjinal. Pada satu sisi, kelompok FSMD dibiarkan

menghegemoni, sementara pada sisi yang lain, kelompok Kristen tak diperlakukan

secara adil, baik sebagai warga negara maupun umat beragama. Sebagai warga

negara mereka berhak dilindungi. Adapun sebagai umat beragama, mereka berhak

diberikan haknya menjalankan ibadah tanpa intimidasi.

Kedua, berhubungan dengan tidak tersedianya materi hukum yang

memadahi. Sebagaimana pada bahasan sebelumnya, penggunaan redaksi yang

interpretable dan tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila, telah membuka ruang

polemik baru. Hukum tidak hadir untuk memberikan keadilan, melainkan

mengadili. Pada situasi ini, sesungguhnya pemerintah memiliki kuasa untuk

melakukan hal tersebut. Pemaknaan inilah bentuk reduksi terhadap pesan hukum.

Jika kedua pihak tak saling menerima atas pemaknaan dan penafsiran pihak lain

tentang status pemilik KTP, siapakah yang akan menjadi mediator? Di sinilah

kewibawaan dan kekuatan hukum akan diuji.

Page 16: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

113

Ketiga, diatribusikan kepada dampak laten dan manifes dari akumulasi

problem hukum yang ada. Ketika pihak Kristiani tak berdaya menghadapi

kekuatan pemerintah dan FSMD, tak ada pilihan bagi mereka selain menerima.

Pada sisi yang lain, pihak pemerintah tak bisa memberikan solusi efektif bagi

penyelesaian polemik ini. Inilah titik jenuh dalam pelaksanaan suatu hukum.

Pemerintah tak kunjung memberikan kepastian hukum atas pendirian gereja dan

alternatif peribadatan bagi pemeluk Kristiani. Disinilah lahir krisis kepercayaan

dari pihak Kristiani terhadap pemerintah dan penegak hukum.

4. Fungsi Hukum dan Internalisasi Pancasila

Uraian pada sub bab sebelumnya menegaskan pendapat Friedman bahwa

substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum saling berhubungan dan

mengikat. Ketika substansi hukum tak memadai untuk dijadikan sebagai landasan

pengelolaan keberagamaan, akan muncul polemik baru yang menggugat

keabsahan hukum tersebut. Dampaknya, ia tak lagi efektif menciptakan kehidupan

masyarakat yang berkeadilan karena ketiga subsistem hukum tidak berjalan.

Dengan demikian hukum harus diposisikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk

mencapai tujuannya agar hukum dapat berfungsi dengan baik.

Dalam konteks sosiologi hukum, fungsi hukum adalah untuk menertibkan

dan mengatur pergaulan serta menyelesaikan konflik yang terjadi dalam

masyarakat.11

Roscoe Pound berpandangan bahwa dalam hukum tercakup dua

fungsi. Pertama, hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering);

kedua, hukum berfungsi sebagai kontrol sosial (social control).

11

Soerdjono Soekamto, Suatu Tinjaun Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial

(Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1989), 274.

Page 17: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

114

Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, mengandaikan bahwa hukum

sebagai sarana untuk mengadakan pembaruan agar perilaku seluruh elemen

bangsa, baik masyarakat maupun aparat negara diarahkan sesuai norma hukum

Pancasila, yakni menjunjung tinggi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan

sebagai hak asasi manusia. Sedangkan fungsi hukum sebagai kontrol sosial adalah

hukum berfungsi sebagai sarana pemaksa khususnya bagi aparatus negara untuk

melindungi warga negara dari segala bentuk intimidasi, ancaman maupun

diskriminasi atas nama agama, karena Indonesia bukan negara agama.

Bagi Pound, kepekaan konstitusi hukum harus bertolak dari kebijakan

evaluatif terhadap hukum yang berlaku agar hukum bisa berfungsi sebagai sarana

rekayasa dan kontrol sosial. Hal ini dimulai dari kesadaran bahwa pluralitas

budaya, suku, etnis, dan agama adalah aset sekaligus kenyataan yang mendasari

pendirian Indonesia. Ini harus disadari oleh pemerintah, sehingga kebebasan

beragama dan berkeyakinan bisa diwujudkan dan semua pihak dapat diperlakukan

secara sama dihadapan hukum yang adil.

Apabila faktanya PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 tak lagi disemangati oleh

toleransi keberagamaan, maka harus dievaluasi. Jika terdapat kelompok-kelompok

yang melakukan tindakan intoleran dan kekerasan yang mengancam hak

kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti FSMD, maka harus ditindak tegas.

Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan non

diskriminatif maka akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh

kelompok-kelompok intoleran di luar institusi negara.

Page 18: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

115

Polemik di Desa Dermolo adalah ―aquarium‖ yang menjadi gambaran

realitas umum situasi keberagamaan di Indonesia. FSMD vis a vis GITJ adalah

bukti kesalahan pendekatan yang dipilih oleh Pemerintah dalam mengelola

keberagamaan. Dilema Pemerintah untuk memilah dan memilih antara konstitusi

dan ideologi, telah mengantarkan pada tindakan sewenang-wenang, diskriminatif

dan melanggar hak asasi manusia. Pada situasi ini, dominasi kelompok elit Islam

berbendera mayoritas atas kelompok Kristiani minoritas semakin dinamis.

Dalam perspektif agama dan demokrasi, kompleksnya permasalahan di

atas merupakan sebuah ilustrasi dari ketidaktepatan memposisikan agama dalam

negara berbhineka, kurangnya kesadaran dari para pemegang kuasa bahwa

pluralitas bangsa adalah ‗nyawa‘ bagi keberlangsungan Indonesia, serta tidak

ditempatkannya hukum sebagai panglima sehingga demokrasi tidak dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Pada konteks inilah, pada bagian selanjutnya akan dikaji

lebih dalam persoalan masyarakat sipil dan pengelolaan keberagamaan dalam

proses demokrasi di negara hukum Pancasila.

B. Masyarakat Sipil dan Pengelolaan Keberagamaan di Negara Hukum

Pancasila

Pembukaan UUD 1945 alenia ke empat, berbunyi ―melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia,

perdamaian abadi dan keadilan sosial‖. Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa

negara hukum Pancasila, telah menjamin secara tegas terpeliharanya hak-hak

Page 19: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

116

warga negara dalam segala aspek kehidupan. Hak-hak tersebut meliputi

terjaminnya keselamatan jiwa dan raga, kepemilikan, kebebasan berakidah,

berorganisasi, berpendapat dan lain sebagainya.

Pernyataan di atas juga menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara

dengan sistem demokrasi yang mensyaratkan adanya masyarakat sipil sebagai

wadah untuk berpartisipasi dalam mengawal, menjaga, dan mengawasi

pemerintah dengan segala kebijakannya. Dalam sebuah negara hukum yang

demokratis, negara dan warga negara harus memiliki ketundukan pada norma

hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sebagai prasyarat

terwujudnya demokrasi. Kebebasan beragama serta kebebasan berpendapat dan

berserikat adalah salah satu hak sipil yang tidak dapat diganggu gugat (non

derogable rights) oleh siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Dengan

asumsi ini, dalam sebuah negara hukum Pancasila yang demokratis disyaratkan

pula sebuah masyarakat sipil yang demokratis.

Alexis de Tocqueville mencatat, dalam konteks demokrasi liberal

Amerika, masyarakat sipil adalah masyarakat yang menjunjung tinggi pluralitas,

kemandirian dan kapasitas politik. Konsep masyarakat sipil dalam pengertian ini

merupakan suatu entitas yang telah melampaui batas-batas kelas sebagai kekuatan

penyeimbang (balancing power) dalam meminimalisir kecenderungan

intervensionis negara, serta melahirkan kekuatan kritis reflektif (reflective power)

yang dapat mencegah atau mengurangi intensitas konflik di masyarakat.12

12

Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Alferd A Knopf, 1994).

Page 20: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

117

Secara eklektik, AS Hikam –salah satu sarjana yang mempopulerkan

wacana masyarakat sipil di Indonesia- menggunakan paradigma Tocquevillian

dalam merumuskan karakteristik masyarakat sipil dalam konteks Indonesia.

Hasilnya, ia mendiskripsikan masyarakat sipil sebagai wilayah sosial

terorganisiryang berorientasi pada kepentingan publik, bersifat sukarela, otonom

dan kuat berhadapan dengan negara, berswasembada dan berswadaya namun tetap

memegang norma hukum yang berlaku sehingga tidak mengahalangi negara

dalam menjalankan peran dan fungsinya. Pada konteks ruang politik, masyarakat

sipil adalah wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan

refleksi mandiri, tidak terkungkung materialisme ataupun terserap dalam jaringan

politik resmi. Didalamnya tersirat pentingnya free public sphere, tempat warga

masyarakat dapat berkomunikasi dan berpublikasi secara bebas.13

Dengan merujuk pada ciri-ciri yang dikemukakan para sarjana dalam

mengkaji masyarakat sipil di Indonesia, penulis mengidentifikasi karakteristik

masyarakat sipil di negara hukum Pancasila, yang menghasilkan sepuluh prasyarat

utama yakni: 1) bersifat sukarela, swasembada dan swadaya; 2) otonom; 3)

terdapat ruang dan wacana publik yang bebas; 4) demokratis; 5) egaliter; 6)

toleran; 7) pluralisme; 8) keadilan Sosial; 9) pembatasan kekuasaan negara; 10)

terikat dengan norma hukum Pancasila.

Masyarakat sipil dalam konteks ini, dimaknai sebagai sebuah asosiasi,

organisasi, komunitas ataupun kelompok gerakan masyarakat yang mengacu pada

kepatuhan norma hukum Pancasila seperti egaliterianisme, pluralisme, toleransi,

13

M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society(Jakarta: LP3ES, 1997) 3-55.

Page 21: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

118

dan tidak mencakup kelompok-kelompok yang berupaya memaksakan kehendak

melalui cara-cara kekerasan dan melanggar norma hukum. Dengan asumsi ini,

kelompok-kelompok agama yang seringkali bertindak anarki dan main hakim

sendiri tidak dapat disebut sebagai bagian dari masyarakat sipil karena

kecenderungan mereka untuk berperilaku uncivil (bertentangan dengan norma

hukum Pancasila).

1. Relasi Agama dan Demokrasi: Fenomena Masyarakat dan

Pemerintahan Tak Sipil di Dermolo

Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia,

setiap individu dan kelompok masyarakat memiliki hak yang sama untuk

berekspresi, menyampaikan aspirasi ataupun ketidaksetujuan. Hal ini

sebagaimana tercantum dalam Pasal 28, yang menyebutkan bahwa negara

memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat bagi warganya. Akan tetapi tentunya hal itu harus

dilakukan dengan cara-cara beradab, tidak memaksakan kehendak, toleran dan

menghormati kepelbagian sebagai ciri masyarakat sipil yang demokratis.

Pada kasus Dermolo, munculnya FSMD sebagai asosiasi sosial-

keagamaan yang tujuan awalnya dibentuk sebagai wahana mengontrol kebijakan

penggunaan gereja atas dasar menjaga ideologi agama mayoritas, telah

bersebrangan dengan karakter masyarakat sipil, karena kecenderungan sikap

mereka yang otoriter, membatasi kebebasan beragama dan tidak mencerminkan

sebuah masyarakat demokratis yang beradab.

Page 22: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

119

Ciri yang bertolak belakang ini dapat dilihat dari definisi yang diberikan

Tocqueville yang menyebutkan masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuasaan

negara, memperjuangkan hak-hak warga, serta mengontrol dan mengkritisi

kebijakan negara agar tidak hegemonik dan dapat melindungi kebebasan warga

negara yang sejatinya adalah pemilik negara, dan bukan justru bekerjasama

dengan negara untuk mendominasi kelompok lain demi kepentingan politisnya.

Sebagai kelompok gerakan masyarakat agama yang terlalu yakin dengan

ortodoksi pandangan keagamaanya, menjadikan FSMD bersifat eksklusif,

sektarian dan berkecenderungan memasung kebebasan beragama dan

berkeyakinan warga Kristen Dermolo dalam menikmati hak-hak sebagai warga

negara. Dan yang cukup mengkhawatirkan, dalam peran dan aksinya FSMD telah

bertindak intimidatif, sewenang-wenang, dan mengarah pada kekerasan baik

psikis maupun fisik.14

Laurence Whitehead secara lugas menyatakan bahwa berbagai bentuk

kelompok religius fundamental, tidak dapat disebut sebagai bagian dari

masyarakat sipil yang dalam terminologi modern memiliki kontribusi bagi

penegakan demokrasi. Karena bagi Whitehead, berbagai kelompok etno-religius

ekstrim serta organisasi-organisasi anti sosial lainnya termasuk dalam kategori

kelompok melawan hukum yang berada diantara masyarakat sipil dan masyarakat

14

Penolakan penggunaan gereja diiringi dengan hembusan isu dan prasangka yang

dilancarkan FSMD. Isu kristenisasi yang merupakan isu paling mewarnai dalam polemik di

Dermolo telah menjadi senjata ampuh bagi FSMD untuk mempengaruhi Pemerintah dan

masyarakat. Kecurigaan atas adanya kristenisasi menimbulkan ketegangan di masyarakat.

merenggangnya hubungan sosial antar warga Dermolo yang berbuntut pada sikap saling curiga,

bahkan konflik antaragama maupun intern agama.

Page 23: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

120

politik.15

Dengan demikian, organisasi atau kelompok-kelompok agama semacam

FSMD masuk dalam kategori masyarakat tak sipil (uncivil society) karena tidak

bersesuaian dengan norma hukum dalam Pancasila dan prinsip-prinsip demokrasi.

Sidney Jones, menyebut kemunculan kelompok-kelompok semacam ini sebagai

―sisi gelap demokrasi‖ yang dijalankan di Indonesia.16

Dalam posisi ini, agama (truth claim) telah menjadi kekuatan yang

menghambat laju demokrasi dan bertanggung jawab terhadap munculnya

fundamentalisme yang penuh kekerasan di negara berbhineka. Akibatnya,

ketegangan (chaos) di masyarakat menjadi tak terelakkan, dikarenakan negara

tidak dapat menjadi mediator yang netral terhadap segala konflik yang ada, dan

tegas dalam melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan menjamin

keamanan warganya dari segala bentuk ancaman, dikriminasi, kekerasan demi

menegakkan supremasi hukum. Dalam konteks ini, otoritas negara digunakan

agamawan untuk melegitimasi dan membenarkan tindakan kesewenang-wenangan

yang absolut (despotism) dengan mengambil alih peran Pemerintah dalam

mengelola keberagamaan.

John Titaley menunjukkan bahwa agama (ekslusivisme agama) akan selalu

menjadi persoalan serius dalam menegakkan demokrasi. Selama eksklusivisme

15

Whitehead, Laurence, ―Bowling in the Bronx: The Uncivil Interstices Between Civil

and Political Society‖. Dalam P. Bunnel dan P. Calvert (ed). Civil Society and Democratization

(London: Fran Cass, 2004) 35. 16

Sidney Jones dalam penelitiannya tentang kekerasan dan terorisme di indonesia,

mengklasifikasi tiga varian kelompok agama yang ia sebut sebagai sisi gelap demokrasi. Pertama,

kelompok main hakim sendiri yang salah satunya direpresentasikan FPI, kedua, kelompok

advokasi tingkat akar rumput yang diwakili GARIS di Cianjur yang juga menjadi pendukung ISIS

di Indonesia, ketiga, kelompok transformatif yang ingin menggantikan sistem demokratik di

Indonesia dengan sistem khilafah seperti Hizbut Tahrir. Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi:

Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (ed.) Husni Mubarok dan Irsyad Rafsadi (Jakarta:

Pusad Paramadina, 2015), 8.

Page 24: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

121

masih bersemayam dalam kehidupan beragama masyarakat, krisis kemanusiaan

masih akan terus terjadi di negara hukum Pancasila. Maka, mengatasi

eksklusivisme menjadi penting dalam hubungan antara agama, demokrasi dan hak

asasi manusia. Pembedahan terhadap akar eksklusivisme agama baginya

merupakan hal mendesak untuk mengetahui benar tidaknya pandangan agama--

yang eksklusif dan diskriminatif- berasal dari Tuhan seru sekalian alam (ajaran

otentik agama).17

Merujuk pada sejarah perkembangan demokrasi di Eropa, Titaley

berargumen demokrasi hanya bisa diwujudkan jika pengaruh agama dijauhkan

dari negara. Pada era konstantin yang menetapkan kekristenan sebagai agama

resmi, demokrasi mengalami kejumudan karena para raja yang berkuasa dikuasai

oleh para pemuka agama yang mendasarkan segala sesuatunya melalui legitimasi

ajaran-ajaran agama. Dan demokrasi baru berkembang secara signifikan ketika

Marhin Luther (1517) meruntuhkan kekuasaan dan kewenangan mutlak elit

agama atas negara, yang mengakibatkan berkurangnya dominasi agama terhadap

kehidupan masyarakat dan negara.18

Dengan ungkapan lain, pembedaan atau pemisahan antara otoritas negara

dengan otoritas keagamaan diperlukan agar negara tidak selalu dijadikan alat oleh

agama (agamawan), atau sebaliknya agama tidak direndahkan menjadi legitimasi

kepentingan politik dan pembenar bagi sebuah tindakan kejahatan yang

mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal yang telah dijamin oleh DUHAM

1948. Berkaitan dengan ini, Khaled Abou el-Fadl berpendapat jika klaim bahwa

17

John A. Titaley Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi

Agama-agama (Satya Wacana University Press, 2013) 18

Ibid, 11- 12.

Page 25: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

122

wahyu Tuhan dalam teks kitab suci sebagai satu-satunya sumber hukum yang sah

dan anggapan bahwa kecerdasan manusia tidak memadai untuk mengetahui

kehendak Tuhan, hanya akan menjadikan agama sebagai alat bagi otoritarianisme

dan hambatan demokrasi. Yang itu justru merendahkan kedaulatan Tuhan.19

Hal

itu dapat dipahami karena pada posisi ini, agama akan menolak setiap pemecahan

masalah secara inklusifistik, mengabaikan realitas pluralistik serta mementingkan

dirinya sendiri (egois).

Relasi diametral antara agama dan demokrasi oleh Komarudin Hidayat,

dipaparkan dari sisi filosofis, teologis hingga sosio-historis. Secara filosofis,

keterikatan pada doktrin (klaim) agama secara total akan menggeser otonomi dan

kemerdekaan manusia, yang secara tidak langsung akan menggeser prinsip-

prinsip yang ada dalam demokrasi. Adapun secara teologis, agama bersifat

deduktif, metafisis dan selalu mencari rujukannya pada Tuhan—meski Tuhan

tidak hadir secara empiris- sementara demokrasi adalah persoalan konkrit dan

dinamis, sehingga agama tidak memiliki kompetensi dalam berbicara tentang

demokrasi. Hanya ketika agama disingkirkan, maka manusia akan lebih leluasa

dan mandiri dalam berdemokrasi.20

Dari sudut pandang historis-sosiologis, Hidayat mengamini pendapat

Titaley, jika sejarah agama memang tidak terbebaskan dari kenyataan bahwa

peran-peran agama seringkali hanya digunakan oleh para penguasa politik dan

tokoh atau pimpinan agama (mayoritas) tertentu untuk mendukung kepentingan

19

Khaled Abou el Fadl, Islam dan Tantangan Demokrasi (Jakarta: Ufuk Press, 2004), 18. 20

Komarudin Hidayat, Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi dalam

―Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi‖ (ed.) Elza Peldi Taher (Jakarta: Yayasan Wakaf

Paramadina, 1994), 192.

Page 26: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

123

kelompoknya. Kehadiran agama selalu melahirkan pengelompokan sosial

sehingga pada gilirannya akan memunculkan paham dan gerakan sektarianisme.21

Dalam pandangan Titaley, proses demokrasi dalam negara terancam oleh

agama (eksklusivisme) karena persoalan keadilan dan penghargaan atas

keberadaan seorang manusia pada akhirnya selalu berpulang pada pemahaman

agama. Sekalipun telah dijamin konstitusi, praktik kehidupan bersama selalu

dipengaruhi oleh pandangan (klaim) agama yang konservatif ini. Akibatnya,

negara yang seharusnya bertugas menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak

asasi manusia tidak sanggup melaksanakan kewajibannya ketika berhadapan

dengan klaim tersebut, sehingga negara justru akan berkecenderungan menjadi

uncivil states.

Hal ini nampak nyata dalam rentang waktu 13 tahun terjadinya polemik di

Dermolo, eksklusivisme telah mengakibatkan Pemerintah daerah berada dalam

dilema mengelola keberagamaan di Dermolo. Pemerintah tidak memiliki

keberanian untuk menegakkan konstitusi dan menjamin implementasi hukum

karena terikat dengan doktrin dan hukum agama absolut yang disabdakan oleh

para pemuka agama (MUI, FKUB dan FSMD) yang dianggap sebagai ―wakil

Tuhan‖ di dunia. Kolaborasi antara Aparat Pemerintah tak sipil (uncivil states)

dan masyarakat tak sipil (uncivil societies) telah menyebabkan konflik

berkepanjangan. Selain menjadi alat justifikasi atas segala bentuk intimidasi dan

intoleransi, keberpihakan Pemerintah pada FSMD telah memposisikan GITJ yang

sesungguhnya adalah korban ketidakadilan, sebagai kriminal yang harus diganjar

21

Ibid.

Page 27: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

124

dengan hukuman dan sanksi sosial atas hal yang tidak pernah terbukti dilakukan

(prasangka).

Fenomena di atas adalah potret berkelindannya otoritas negara dan otoritas

agama dalam mengatur kehidupan manusia. Agama memang tidak mungkin

terbebas dari persoalan-persoalan publik (masyarakat) dalam sebuah negara.

Agama yang dianut oleh warga negara akan berhubungan dengan sistem politik,

ekonomi dan budaya yang berkembang dalam sebuah negara. Namun, ketika

agama yang dianut dan dikembangkan adalah paham keagamaan yang eksklusif,

tidak bersedia melakukan diskusi atas realitas, maka yang terjadi adalah tragedi

kemanusiaan dan prahara. Agama kemudian justru menjadi sumber ketakutan,

keresahan dan kecemasan, khususnya bagi yang minoritas dan berbeda.

Dalam konteks masyarakat Dermolo, agama oleh para pemegang kuasa

memang lebih dimaknai sebagai organisasi sosial dari pada seperangkat nilai dan

spiritualitas. Agama bukan hanya urusan privat antara seseorang dengan

Tuhannya, tetapi juga landasan bagi sebuah tindakan sosial, budaya, ekonomi dan

politik. Konsekuensinya, terjadi tarik menarik antara agama dan kekuasaan, serta

kompetisi pada internal agama maupun antaragama. Hal ini nampak jelas terlihat

dari relasi konfliktual yang terjadi antara FSMD vs GITJ yang mengakibatkan

―mangkraknya‖ bangunan Gereja, serta konflik NU vs MD yang ditandai dengan

berakhirnya kebersamaan dalam menjalankan ibadah dalam bangunan masjid

yang sama, dengan dibangunnya masjid khusus bagi warga Muhammadiyah baru-

baru ini.

Page 28: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

125

Kompetisi itu tentunya bertujuan untuk menghadirkan nilai-nilai dan

pandangan-pandangan keagamaanya ke ruang publik, mempengaruhi etika publik

dan untuk merebut ruang kekuasaan bagi kebesaran organisasi agamanya. Dalam

sebuah masyarakat yang demokratis, kompetisi sesungguhnya wajar dan tak

terhindarkan. Hanya saja, ketika kompetisi melebar ke arena politik kekuasaan,

yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik dan pengaruh

politik yang berujung pada kekerasan oleh aktor negara (uncivil states) dan

masyarakat (uncivil society).

Dalam konteks inilah, sesungguhnya kehadiran sebuah kebijakan atau

regulasi yang adil dan dapat mempertahankan kemajemukan, menjadi sebuah

kebutuhan dalam sebuah negara hukum demokratis. Sebuah kebijakan yang tidak

saja diperuntukkan bagi perlindungan hak warga negara tetapi juga untuk

mengatur wewenang dan posisi negara ketika kompetisi berlangsung tidak

seimbang, diskriminatif dan mengakibatkan kerugian sosial bagi yang minoritas

dan menjadi korban. Pada sisi lain, diperlukan pula kesadaran para pemangku

negeri akan pentingnya menjaga dan melindungi kemajemukan bangsa yang

merupakan pondasi berdirinya republik ini, sehingga aparat Pemerintah tidak

bertindak otoriter, lebih fair dan netral dalam mengelola keberagamaan.

2. Reinterpretasi Ajaran Agama: Upaya Menumbuhkan Masyarakat Sipil

Menuju Agama Sipil

Sebagai institusi yang memiliki klaim kebenaran yang transenden dan

absolut, agama memang berpotensi menjadi faktor laten bagi bahaya disintegrasi

bangsa. Terlebih, dalam bangsa yang plural seperti Indonesia, kebenaran agama

Page 29: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

126

yang tidak dapat menerima kehadiran agama lain sebagai kenyataan sosial telah

memunculkan undemocratic states dan undemocratic societies. Untuk

mengatasinya, yang dibutuhkkan bukan hanya demokrasi negara tetapi juga upaya

demokrasi agama.

Demokratisasi dalam kehidupan beragama menjadi sebuah keharusan yang

mutlak diperlukan, karena tanpa adanya demokrasi dalam kehidupan beragama

yang akan terjadi adalah kecurigaan kepada pemeluk agama lain sehingga

berdampak pada konflik, permusuhan bahkan perang. Upaya demokratisasi agama

dapat dilakukan dengan melakukan reinterpretasi, redefinisi dan revitalisasi dalam

konteks masa kini terhadap klaim kebenaran agama (truth laim) yang eksklusif,

mutlak dan dogmatis untuk mendapatkan makna terdalam dari kebenaran-

kebenaran tersebut dalam dunia yang plural dan terus berubah.

Reinterpretasi ajaran agama secara sungguh-sungguh akan memberikan

nuansa baru untuk menghasilkan pemahaman lebih baik dalam konteks

keberagamaan kehidupan manusia, khususnya umat beragama di zaman ini.

Kesadaran baru tersebut tidak lain adalah dunia dengan kebersamaan.

Inklusivisme yang merupakan lawan dari ekslusivisme adalah sikap kemanusiaan,

persaudaraan dan persahabatan. Ia menghendaki manusia semata-mata menjadi

manusia bukan menjadi Tuhan. Eksklusivisme mungkin saja dapat dibenarkan

jika tidak akan terjebak dalam anarkisme. Namun jaminan terhadap ini amat sulit

dikarenakan eksklusivisme lebih menekankan pada kebenaran diri sendiri dengan

berbagai cara bahkan dengan harus berbuat aniaya terhadap yang lain.

Page 30: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

127

Secara otentik, semua agama mengajarkan nilai-nilai persamaan,

kedaulatan, keadilan dan nilai-nilai etika moral universal, Tuhan bersifat tak

terbatas, namun pemeluk agama yang memiliki pengetahuan yang terbatas

sehingga menjadikan agama dipahami secara parsial dan korup. Menurut Charles

Kimball, terdapat lima hal atau tanda yang harus diwaspadai karena bisa membuat

agama terlihat ―garang‖. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran agamanya

sebagai kebenaran mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta kepada

peemimpin keagamaan mereka. Ketiga, agama ―gandrung‖ merindukan zaman

ideal. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang

membenarkan cara. Kelima, agama yang ―latah‖ memekikkan perang suci.22

Masyarakat sipil akan tumbuh dan berkembang ketika antar pemeluk

agama dengan keragaman ekspresinya masing-masing mampu mengembangkan

sikap saling percaya dan memiliki kesamaan visi dalam memberikan pelayanan

pada warga negara. Ini hanya bisa dilakukan jika agama tidak diekspresikan

dalam bentuk simbol-simbol yang formal, namun diekspresikan dalam wujudnya

yang substansial. Agama yang bergumul dengan problem kemanusiaan seperti

kemiskinan, kebodohan dan korupsi. Disinilah perlunya dasar integrasi bangsa,

yaitu suatu agama bagi seluruh rakyat Indonesia yang sifatnya umum, terbuka dan

menyatukan seluruh masyarakat Indonesia, yang oleh Robert N bellah

dipopulerkan dengan agama sipil.23

22

Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (terj.) Kala Agama Jadi Bencana,

(Jakarta: Mizan, 2013) 23

Robert N. Bellah, Beyond Believe: Essays on Religion in a Post-Traditionalist World

(terj.) Beyond Believe: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000)

Page 31: BAB IV MASYARAKAT SIPIL DAN PENGELOLAAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12396/4/T2_752013019_BAB IV... · keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah

128

Oleh karena itu, perlu dirumuskan ―aturan main‖ atau etika di ruang publik

yang mengakomodasi semua kepentingan, mayoritas dan minoritas secara adil,

setara, terbuka dan demokratis. Ia bersifat multiagama, ras, etnik, dan budaya.

Disinilah momentum Pancasila dapat menjadi etika bersama di negara hukum

Pancasila. Sebab Pancasila meniscayakan pengakuan terhadap pluralisme dalam

semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam beragama.

Dengan tumbuhnya pemahaman pluralisme yang menempatkan kesetaraan dalam

kebenaran agama, akan terbangun saling percaya (mutual trust) antarumat

beragama.

Dengan demikian, dalam konteks Islam misalnya, gagasan

mereformulasikan kembali hubungan agama dan negara dalam masyarakat

pluralistik seperti Indonesia, merupakan gagasan yang berupaya mendialogkan

unsur-unsur esensial dari Syariah Islam secara kontekstual dalam tatanan

masyarakat sipil yang pluralis. Bangunan baru agama dan negara yang

berdasarkan pada pondasi yang kuat akan adanya penghormatan atas hak-hak

individu dan kelompok dalam masyarakat secara setara dihadapan hukum dan

dihadapan Tuhan Sang Maha Pencipta.