Bab IV Kesimpulan dan Saran - · PDF filekebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta isi...
Click here to load reader
Transcript of Bab IV Kesimpulan dan Saran - · PDF filekebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta isi...
Bab IV
Kesimpulan dan Saran
Sebagai bagian akhir, bab ini akan membahas mengenai temuan studi,
kesimpulan serta beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk lebih
memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia
dalam rangka pelaksanaan pemberlakuan AATHP (ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollutin). Pada bab ini juga akan dipaparkan tentang
kelemahan studi yang mempengaruhi kesimpulan studi. Selanjutnya akan
diberikan beberapa saran studi lanjutan untuk menyempurnakan studi ini.
IV.1 Temuan Studi
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan, maka temuan studi yang diperoleh
adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelusuran terdapat literatur serta kesamaan pendapat diantara
berbagai literatur yang menjadi rujukan, maka teridentifikasi 13 (tiga belas)
persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia. Ketiga belas persoalan tersebut adalah : (1) banyaknya
institusi yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi, (2) pola
kepemimpinan yang non-struktural dan ad-hoc, (3) kapasitas dan
manajemen sumberdaya manusia dan peralatan belum memadai, (4)
peraturan atau pun kebijakan belum sepenuhnya mendukung upaya
pengendalian kebakaran hutan dan lahan, (5) lemah atau tidak efektifnya
upaya penegakan hukum, (6) pengelolaan informasi kebakaran yang belum
efektif, (7) tidak adanya peraturan, program atau pun kebijakan yang
sistematis, komprehensif dan terpadu, (8) pengelolaan kebakaran hutan dan
lahan lebih memfokuskan kepada upaya pemadaman daripada upaya
pencegahan, (9) belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab
yang jelas antar institusi terkait, (10) Belum adanya organisasi yang khusus
bertanggung jawab terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan, (11)
kurangnya kepedulian dan dukungan masyarakat dan dunia usaha dalam
97
memenuhi ketentuan penyiapan lahan tanpa bakar, (12) belum adanya SOP
dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran, dan (13) alokasi pendanaan
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tidak memadai.
2. Berdasarkan kajian terhadap persoalan kelembagaan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta isi AATHP, maka secara
umum dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut : (1) AATHP berimplikasi
terhadap perbaikan koordinasi antar institusi khususnya koordinasi di dalam
melakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan, (2) AATHP
berimplikasi terhadap perbaikan dan peningkatan kapasitas dan manajamen
sumberdaya manusia dan peralatan, (3) AATHP berimplikasi terhadap
perbaikan pengelolaan informasi kebakaran yang lebih efektif, (4) AATHP
berimplikasi terhadap pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang
lebih jelas dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan, (5)
AATHP berimplikasi terhadap perbaikan kepedulian masyarakat dan dunia
usaha dalam memenuhi ketentuan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB),
(6) AATHP berimplikasi dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan
Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan, dan (7) AATHP berimplikasi
terhadap perbaikan alokasi dana yang lebih memadai untuk menanggapi dan
memitigasi dampak kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran asap lintas
batas. Hal ini mununjukkan bahwa dari 13 (tiga belas) persoalan
kelembagaan yang ada di Indonesia, maka ketentuan yang ada pada
AATHP dapat berimplikasi sedikitnya terhadap 7 (tujuh) buah persoalan
kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
3. Berdasarkan hasil penggalian pendapat dan iterasi yang dilakukan terhadap
para responden, maka diperoleh 12 (dua belas) implikasi kelembagaan atas
AATHP (Delphi tahap I). Pada Delphi tahap II terdapat 4 (empat) implikasi
kelembagaan yang memiliki kesamaan pendapat diantara para responden
dan pada tahap akhir (Delphi tahap III) pendapat yang memiliki kesamaan
meningkat menjadi 5 (lima). Kelima implikasi kelembagaan tersebut adalah:
(1) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peralatan
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan, (2) Perbaikan
pengelolaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan, (3) Pembagian
98
peran, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih jelas antar institusi
dalam penanggulangan bencana kebakaran, (4) Pembuatan SOP (Standard
Operating Procedures) penanggulangan bencana kebakaran hutan dan
lahan, dan (5) Pembangunan ASEAN Centre memudahkan kerjasama dan
koordinasi antar Pihak. Berdasarkan hasil iterasi diketahui bahwa
responden cenderung memliki pendapat yang sama terhadap implikasi
kelembagaan atas AATHP. Hal ini terlihat dari jumlah pendapat yang
memiliki kesamaan diantara para responden tidak banyak berubah, yaitu dari
4 (empat) pendapat hanya meningkat menjadi 5 (lima) pendapat. Hal ini
menunjukkan proses iterasi tidak merubah banyak sikap atau pendapat
responden terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP.
4. Hasil analisis terhadap kesamaan dan ketidaksamaan pendapat terhadap
implikasi kelembagaan atas AATHP, maka peneliti berpendapat bahwa
selain 5 (lima) buah implikasi kelembagaan yang memiliki kesamaan
pendapat yang diperoleh melalui metode Delphi, maka terdapat 2 (dua)
buah implikasi kelembagaan yang juga dapat memacu perbaikan
kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia. Kedua
implikasi kelembagaan tersebut adalah Pengembangan penerapan
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan Perbaikan alokasi dana
penanggulangan bencana kebakaran.
IV.2 Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Adanya AATHP yang telah ditandatangani pada tanggal 10 Juni 2002 dan
telah berlaku pada 25 November 2003 memberikan momentum dan peluang
bagi Indonesia untuk membenahi persoalan kelembagaan penanggulangan
bencana kebakaran hutan dan lahannya. Keberadaan AATHP juga
membuktikan bahwa Indonesia memberikan penghargaan yang besar terhadap
upaya bersama untuk mengatasi kebakaran dan dampak asapnya bersama-
sama Pihak lainnya (negara ASEAN lainnya maupun dunia internasional).
99
2. Berdasarkan hasil analisis terhadap implikasi kelembagaan yang disepakati
maupun tidak disepakati oleh seluruh responden, maka studi ini merumuskan
hal-hal sebagai berikut :
a. AATHP berimplikasi terhadap peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia dan peralatan dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia melalui mekanisme perbantuan dan kerjasama
teknis,
b. AATHP berimplikasi terhadap perbaikan pengelolaaan informasi dan
data kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif di Indonesia melalui
mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi dengan ASEAN
Centre,
c. AATHP berimplikasi terhadap kejelasan tugas dan fungsi institusi dalam
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
melalui penunjukan dan pembentukan NFP, NMC dan CA,
d. AATHP berimplikasi dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan
Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia,
e. AATHP berimplikasi terhadap Pembangunan ASEAN Centre yang dapat
memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar para Pihak dalam upaya
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,
f. AATHP berimplikasi terhadap peningkatan pengembangan penerapan
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Indonesia melalui adanya
penjaminan bahwa langkah legislatif, administratif dan langkah relevan
lainnya akan diambil untuk mempromosikan Pembukaan Lahan Tanpa
Bakar (PLTB) serta adanya kerjasama teknis antar para Pihak untuk
lebih mempromosikan PLTB, dan
g. AATHP berimplikasi dalam memacu alokasi dana yang lebih memadai
dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
3. Hasil rumusan implikasi kelembagaan di atas menunjukkan bahwa dengan
pemberlakuan AATHP maka cukup banyak persoalan-persoalan kelembagaan
penanggulangan bencana kebakaran yang ada di Indonesia dapat dipacu
perbaikannya. Oleh karena itu, agar peluang pemberlakuan AATHP tersebut
dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin, maka pembenahan kelembagaan
100
penanggulangan kebakaran di Indonesia harus segera dilakukan agar AATHP
dapat memberikan manfaat yang besar bagi upaya penanggulangan kebakaran
hutan dan lahan di Indonesia.
4. Berdasarkan hasil rumusan implikasi kelembagaan yang telah dijabarkan di
atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah :
a. Untuk mengoptimalkan mekanisme perbantuan dan kerjasama teknis
yang ada pada ketentuan AATHP, maka Indonesia sebaiknya
memanfaatkan mekanisme tersebut tidak hanya pada saat terjadi
bencana kebakaran dan asap namun juga pada kegiatan-kegiatan
sebelum dan sesudah terjadi bencana kebakaran khususnya pada
kegiatan-kegiatan penelitian atau kerjasama antar Pihak dalam
meningkatkan kapasitas dan kemampuan sumberdaya manusia dan
peralatan.
b. Mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi yang ada pada
AATHP dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai momentum untuk
membangun pengelolaan informasi kebakaran hutan dan lahan yang
lebih efektif di tingkat nasional dan lokal. Oleh karena itu, untuk
memanfaatkan peluang tersebut, maka Indonesia sebaiknya melakukan
perbaikan sarana dan prasarana serta pembangunan sistem komunikasi
yang baik antar institusi di tingkat nasional maupun lokal untuk
menjamin keakuratan data yang dilaporkan ke tingkat regional. Hal ini
selain berguna untuk memastikan bahwa Indonesia dapat
mengkomunikasikan secara cepat dan tepat mengenai semua informasi
dan data kebakaran yang dibutuhkan oleh ketentuan AATHP namun
juga dapat mendorong pengelolaan informasi kebakaran hutan dan lahan
yang lebih efektif di tingkat pusat (nasional) dan lokal,
c. Untuk memastikan adanya pembagian kewenangan dan kejelasan peran
dan tanggung jawab antar institusi yang ditunjuk sebagai NFP, NMC
dan CA, maka pemerintah sebaiknya melakukan kajian yang mendalam
dan komprehensif untuk menentukan institusi yang paling tepat
mengemban tugas dan fungsi sebagai NFP, NMC dan CA serta
membuat suatu mekanisme kerja yang jelas antar institusi tersebut untuk
101
menjalankan ketentuan yang berlaku pada AATHP. Untuk itu, maka
dalam penentuan dan pelaksanaannya tidak hanya perlu didasarkan
kepada peraturan perundangan yang berlaku, namun juga kepada
kebutuhan mekanisme yang ada pada AATHP,
d. Untuk memenuhi implikasi AATHP maka Indonesia harus memilki SOP
Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat
nasional yang juga dikaitkan dengan kerjasama regional, padahal hingga
saat ini Indonesia belum mempunyai SOP Penanggulangan Bencana
Kebakaran Hutan dan Lahan yang terpadu antar sektor terkait di tingkat
nasional. Oleh karena itu pembuatan SOP Penanggulangan Bencana
terpadu di tingkat nasional menjadi mendesak. Hal ini berguna untuk
mengintegrasikan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan
Lahan di tingkat regional tersebut dengan SOP Penanggulangan
Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di tingkat nasional,
e. Indonesia sebaiknya memanfaatkan keberadaan dan fungsi yang
dijalankan ASEAN Centre untuk mengoptimalkan kerjasama dan
koordinasi antar Pihak dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan
khususnya pada aspek-aspek yang belum dikuasai sepenuhnya oleh
Indonesia,
f. Adanya ketentuan pada AATHP untuk menerapkan Pembukaan Lahan
Tanpa Bakar (PLTB) dapat digunakan oleh Indonesia sebagai
momentum untuk lebih mengembangkan peraturan perundangan hingga
pedoman penerapan PLTB yang dapat diimplementasikan di seluruh
daerah rawan kebakaran,
g. Untuk memastikan adanya alokasi dana yang lebih memadai terhadap
upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah
sebaiknya menyediakan dana siap pakai yang dapat dipergunakan
sewaktu-watu apabila terjadi bencana kebakaran serta memastikan
bahwa pemerintah juga telah menyediakan anggaran yang memadai
untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang ada dalam ketentuan AATHP.
102
IV.3 Kelemahan Studi
Kesimpulan studi di atas dihasilkan dengan mengabaikan beberapa
kelemahan studi. Kelemahan tersebut antara lain adalah :
1. Literatur persoalan kelembagaan. Analisis studi ini didasarkan pada
identifikasi persoalan kelembagaan yang dihasilkan dari hasil penelusuran
peneliti terhadap literatur yang berkaitan dengan persoalan kelembagaan
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Mengingat
terbatasnya literatur yang berkaitan dengan tema tersebut serta dengan
kedalaman pembahasan yang berbeda-beda, maka rumusan implikasi
kelembagaan yang dihasilkan oleh studi ini sangat dibatasi oleh literatur yang
berhasil dikumpulkan oleh peneliti dan interpretasi peneliti terhadap literatur
tersebut.
2. Kegiatan sejak pemberlakuan AATHP. Sejak pemberlakuan AATHP pada
November 2003 hingga saat ini telah banyak kegiatan yang telah dilaksanakan
dalam rangka implementasi AATHP baik di tingkat regional, nasional atau
pun lokal di Indonesia, namun karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya
peneliti maka analisis yang dilakukan belum memasukkan implikasi kegiatan
tersebut terhadap perbaikan kelembagaan penanggulangan kebakaran di
Indonesia.
3. Peraturan kelembagaan terkait. Dalam studi ini tidak dilakukan pembahasan
mengenai peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang terkait dengan
kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan, sehingga
hasil akhir studi ini tidak menganalisa lebih jauh implikasi atas pemberlakuan
AATHP terhadap peraturan perundangan yang ada.
4. Kesiapan kelembagaan atas pemberlakuan AATHP. Studi ini hanya
memfokuskan kepada upaya untuk lebih mengenali bentuk-bentuk implikasi
kelembagaan atas AATHP yang dapat memacu perbaikan kelembagaan
penanggulangan kebakaran di Indonesia, namun belum menilai sejauh mana
kesiapan kelembagaan di Indonesia untuk melaksanakan mekanisme yang ada
pada AATHP tersebut, sehingga hasil akhir studi ini belum membahas lebih
jauh mengenai kesiapan kelembagaan di Indonesia untuk melaksanakan
mekanisme yang diperlukan atas pemberlakuan AATHP tersebut.
103
IV.4 Saran Studi Lanjutan
Berdasarkan kelemahan studi di atas, maka diajukan beberapa saran studi
lanjutan, yaitu:
1. Studi mengenai keefektifan pemberlakuan AATHP terhadap perbaikan
kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,
2. Studi mengenai implikasi atas pemberlakuan AATHP ditinjau dari sudut
peraturan perundangan dan kebijakan yang terkait dengan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia,
3. Studi mengenai kesiapan kelembagaan di Indonesia dalam melaksanakan
ketentuan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP).