BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI...

15
58 BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan Modal Sosial Mahasiswa penghuni Asrama Mansinam. Karakter sosio-teologis ini tampak dalam aktivitas harian mereka selama menjadi penghuni Asrama Mansinam. Dengan ciri khas diatas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik itu motivasi teologis yaitu kebutuhan akan pencapaian nilai-nilai ideal yang telah dirumuskan oleh pihak Sinode GKI Papua selama mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam, maupun kebutuhan hubungan sosial, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar sebagai persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, khususnya dalam lingkup jaringan diantara sesama mereka sebagai penghuni Asrama Mansinam. Persamaan tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe mereka ini adalah community of interest.Mereka ini disebut sebagai community of interest karena tidak datang dari tempat yang sama, namun hidup dalam tempat yang sama, sekaligus memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah yang mendasari seluruh aktivitas mereka sehari-hari. 1 Dalam konteks kepentingan ini, Tonnies, mendefinisikan sebagaikemauan rasional yang bermuara pada pilihan rasional. Motivasi para penghuni Asrama Mansinam dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh persamaan tujuan semua anggota, akan menggiring setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai 1 Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 85.

Transcript of BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI...

58

BAB IV

KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat

diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan

Modal Sosial Mahasiswa penghuni Asrama Mansinam. Karakter sosio-teologis ini tampak

dalam aktivitas harian mereka selama menjadi penghuni Asrama Mansinam.

Dengan ciri khas diatas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik itu

motivasi teologis yaitu kebutuhan akan pencapaian nilai-nilai ideal yang telah dirumuskan

oleh pihak Sinode GKI Papua selama mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam,

maupun kebutuhan hubungan sosial, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar

sebagai persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, khususnya dalam

lingkup jaringan diantara sesama mereka sebagai penghuni Asrama Mansinam. Persamaan

tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe

mereka ini adalah community of interest.Mereka ini disebut sebagai community of interest

karena tidak datang dari tempat yang sama, namun hidup dalam tempat yang sama,

sekaligus memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah

yang mendasari seluruh aktivitas mereka sehari-hari.1

Dalam konteks kepentingan ini, Tonnies, mendefinisikan sebagaikemauan

rasional yang bermuara pada pilihan rasional. Motivasi para penghuni Asrama Mansinam

dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh persamaan tujuan semua anggota, akan

menggiring setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai

1 Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana

Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 85.

59

tujuan bersama itu. Kemauan yang melandasi tindakan individu adalah dasar utama dalam

konteks kehidupan berasrama. Demikian juga dengan komunitas penghuni Asrama

Mansinam, persamaan tujuan merupakan kemauan bersama yang melandasi keberadaan

komunitas penghuni Asrama Mansinam.2

Dengan ciri khas yang berlandaskan kepentingan, telah membuat mereka

sebagai penghuni Asrama Mansinam, mampu keluar dan melampaui identitas primordial

kultural maupun etnik mereka walaupun mereka semua semua berasal dari Papua, namun

mereka datang dari suku dan juga kota asal yang berbeda-beda. Akibatnya mereka mampu

membangun hubungan interpersonal yang sangat kuat diantara mereka, dimana dalam

aktivitas harian mereka, mereka dapat menjalankan peran mereka sesuai dengan tuntutan

kehidupan berasrama yang telah mereka rumuskan.3

Persamaan kepentingan ini, juga mengkondisikan solidaritas yang kuat di

antara sesama jaringan. Sebagaimana dalam bahasa Emile Durkheim bahwa solidaritas,

khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan yang menunjuk pada

satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan

moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional

bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian dari kesadaran

kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut merupakan kesetiakawanan yang didasarkan

pada pembagian porsi peran dalam menopang sebuah sistem.4

2Ngarbingan, A. A, Komunitas Dibo-Dibo di Sahu Halmahera Barat, Tesis. (Program Pasca Sarjana

Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2010), 87 3 Suranto, Aw, Komunikasi Interpersonal, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011), 38.

4Ngarbingan, Komunitas, 86

60

Dalam perspektif sebagai sebuah komunitas yang utuh, kesetiakawanan ini

ditampakkan oleh penghuni Asrama Mansinam dalam bentuk kerelaan tiap-tiap mahasiswa

penghuni Asrama Mansinam untuk mengutamakan keputusan komunitas, oleh Fukuyama,

hal ini disebutkan sebagai penerimaan sekumpulan nilai-nilai moral, demi menciptakan

pengharapan umum. Lebih lanjut bagi Fukuyama, inilah disebut sebagai kepercayaan.5

meskipun trust yang digambarkan Fukuyama memiliki konteks yang berbeda dengan

penelitian ini, namun begitu, penggambaran trust yang dilakukan olehnya, pada konteks

penelitiannya, juga tampak dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam ini.

Dari titik ini, kesetiakawanan yang melandasi aktivitas Mahasiswa penghuni

Asrama Mansinam dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam pandangan

Durkheim6sebagai solidaritas organik. Fungsi masing-masing penghuni Asrama Mansinam

dalam jaringan mereka menggambarkan fungsi masing-masing unsur dalam menopang

sebuah sistem, yakni alur tata kelola kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas.

Keberadaan seseorang dengan peran dan fungsinya tidak akan bermakna jika fungsi

tersebut tidak didukung oleh peran dan fungsi penghuni lain. kesatuan dari fungsi tersebut

berdasarkan kedudukan, merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam

konteks semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus fungsional.

Parsons, sebagai pencetus pemikiran struktural-fungsional, menggambarkan

kondisi ini sebagai sebuah kondisi ideal dari struktural-fungsional dimana komunitas

terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai tertentu, dimana

5Fukuyama, Francis, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, (New York: Free

Press, 1995), 122

61

nilai-nilai ini mampu meleburkan dan mengatasi perbedaan-perbedaan7. Kondisi ini disebut

ideal karena dalam gambaran Parsons, inilah kondisi suatu keseimbangan yang diharapkan

ada dalam komunitas. Pada komunitas penghuni Asrama Mansinam, struktur itu tampak

dari pembentukan Badan Formatur Pelaksana Harian oleh mereka sendiri, dimana struktur

itu sekaligus mengekspresikan peran yang harus dilakukan oleh setiap penghuni Asrama

Mansinam, tanpa terkecuali.

Dalam logika hubungan interpersonal, tuntutan peranan adalah desakan sosial

yang memposisikan individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan

kepadanya.Desakan sosial dapat berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila

individu menyimpang dari peranannnya. Dalam hubungan interpersonal, desakan halus

atau kasar dikenakan pada orang lain agar ia melaksanakan peranannya8. Desakan-desakan

ini lebih banyak berbentuk pada sanksi-sanksi yang telah mereka sepakati bersama pada

awal mereka menjadi penghuni Asrama Mansinam, misalnya, teguran lisan maupun tertulis

oleh pihak pengurus, dan yang paling terakhir adalah dicabut haknya dan dikeluarkan dari

Asrama Mansinam, maupun dalam aturan-aturan lain yang dibuat oleh mereka sendiri, saat

telah menjadi penghuni Asrama Mansinam dalam rangka tujuan bersama, yaitu

kepentingan untuk keberlangsungan memiliki tempat untuk mondok sekaligus kepentingan

keberlangsungan keberadaan Asrama Mansinam itu.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa Modal Sosial akan berkaitan

dengan aliran norma timbal balik. Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian

dikonstruksikan menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam

7Richard, Grathoff, 2000. Kesesuaian antara Alfred Schutz dan Talcot Parsons: Teori Aksi Sosial,

(Jakarta, Kencana, 2000), 67-87. 8 Jalaludin Rakhmat, Psikologi, 122

62

sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang berada dalam komunitas

penghuni Asrama Mansinam, diketahui bahwa bentuk sanksi yang berlaku di antara sesama

anggota jaringan dalam komunitas penghuni Asrama Mansinam merupakan abstraksi dari

norma timbal balik antar sesama anggota jaringan dalam komunitas. Ekspresinya, akan

sangat nampak dalam apa yang akan terima anggota penghuni Asrama Mansinam apabila

tidak menjalankan norma-norma kesepakatan itu, dimulai dari teguran lisan, tertulis, hingga

dikeluarkan untuk tidak lagi menjadi penghuni Asrama Mansinam.

Dalam kaitan dengan itu, Ngarbingan dalam temuan penelitiannya pada

komunitas Dibo-dibo di Sahu,9menjelaskan bahwa dalam arus fungsional seperti yang

terpapar di atas, terlihat bahwa ada hubungandi antara sesama anggota. Dalam

hubungantersebut ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal balik ini

kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan yang tercipta pada komunitas

penghuni Asrama Mansinam yang bisa dilihat sebagai trust dalam komunitas penghuni

Asrama Mansinam.

Trust sebagai penyokong Modal Sosial, menjadi signifikan dalam kaitannya

dengan negosiasi harapan dengan tindakan setiap individu.10

Kata „negosiasi‟ yang dipakai

pada pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawar-menawar pada

setiap individu antara tindakan dengan harapan diri sendiri maupun harapan pada orang lain

terhadap hasil dari tindakan tersebut. Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari

pengaruh variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang.

9 Ngarbingan, Komunitas, 88

10Möllering, “The Nature of Trust” 403-420

63

Negosiasi tindakan atau re-aktualisasi dan re-organisasi tindakan akan muncul

dengan sendirinya ketika seorang anggota tidak bisa memenuhi perannya dengan maksimal,

yang biasanya dilakukan melalui rapat rutin untuk melakukan evaluasi. Pada setiap rapat

rutin bulanan, setiap penghuni dalam fungsi dan perannya masing-masing, secara terbuka

memberikan laporan-laporan kegiatan terkait dengan fungsi dan perannya, dimana setiap

anggota yang lain, secara terbuka untuk memberikan evaluasi berdasarkan pada rujukan

gambaran kerja yang telah disepakati sebelumnya.

Negosiasi dilakukan dalam upaya untuk menjaga keutuhan keberadaan mereka

dalam sebuah sistim yang disebut Asrama Mansinam. Negosiasi juga terjadi sebagai upaya

untuk menjaga keberlangsungan keberadaan mereka, dan keberlangsungan sistim yang

menaungi keberlangsungan keberadaan mereka. Di samping itu juga, hal ini dilakukan

dalam kerangka menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin

selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan dalam menjaga

keutuhan sistim.

Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap muka yang sering

dilakukan oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam merupakan salah satu kondisi yang

sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewey, bahwa peran interaksi tatap

muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan.Terlihat bahwa Dewey

menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada

hubungan interpersonal.11

Dari titik berangkat komunikasi antar pribadi yang intens, yang

sering dilakukan dalam bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada

sesama penghuni Asrama Mansinam.

11

Jalaludin Rakhmat, Psikologi, 122

64

Telah disebutkan terdahulu bahwa kebutuhan pencapaian nilai-nilai, kebutuhan

survive, dan kebutuhan keberadaan yang lain merupakan kebutuhan utama penyokong

keberadaan mereka di Asrama Mansinam. Thibault dan Kelley, terkait dengan kebutuhan

sosial ini, maka untuk memenuhi kebutuhan ini setiap individu akan secara sukarela

memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial, selama hubungan tersebut cukup

memuaskan dari segi timbal-balik pada apa yang diperolehnya.12

Mereka yang menjadi

penghuni Asrama Mansinam, rupanya menjadi sangat betah menjadi penghuni, dan

biasanya mereka baru benar-benar keluar dari Asrama Mansinam, setelah menyelesaikan

studinya, karena mereka mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya. Berulang-ulang,

kata nyaman tinggal dan juga nyaman dengan penghuni yang lain, digunakan untuk

menjelaskan bagaimana kebutuhan mereka terpenuhi saat mondok di Asrama Mansinam.

Kenyamanan diantara mereka, juga menghasilkan distrust pada hubungannya

dengan jejaring yang lain, di luar sesama penghuni Asrama Mansinam. Kelemahan-

kelemahan dalam keteraturan yang mereka buat, adalah komunitas penghuni Asrama

Mansinam kemudian terkesan menjadi eksklusif dan tertutup. Seiring dengan pemikiran

Luhman dalam upaya untuk memperbaiki pemikiran Parsons tentang struktural fungsional,

bagi Luhman, Parsons dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan sistem

untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini, Luhman walaupun

menggunakan autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah

mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup.13

Dalam arti bahwa sistem

12

Thibault, J & Kelley. H. 1959. The Social Psychology of Group, (Newyork, Wiley, 1959), 232 13

Ritzer, G dan Goodman, D. Teori Sosiologi Modern, 88

65

tersebut tidak bersangkut paut dengan lingkungan. Keterhubungan antara lingkungan

dengan sistem hanyalah relasi pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan.

Hal ini sangat nampak dalam situasi yang diperlihatkan di Asrama

Mansinam.Lingkungan sekitar tampak dianggap sebagai ancaman dalam keteraturan yang

telah dibuat secara interal oleh mereka sendiri.Tembok yang tinggi dan juga pagar yang

tinggi dan selalu tertutup baik siang maupun malam, dan lebih lagi setelah malam, adalah

jejak fisik yang tidak bisa dinafikan sikap ketertutupan mereka terhadap lingkungan di

luarnya. Meskipun begitu, kekuatan penghuni Asrama Mansinam terletak pada pola dalam

jaringan mereka sendiri sebagai komunitas. Menariknya, meskipun mereka terkesan

tertutup terhadap lingkungan di luar dirinya, tetapi kesadaran tiap individu tentang

tanggungjawab terhadap komunitas sangat tinggi.

Berangkat dari pola tanggung jawab dalam jaringan tersebut di atas, menurut

Maturana dan Varella, bahwa dalam komunitas, selalu ada dimensi kesadaran dalam diri

setiap anggotanya14

. Kesadaran individu ini akan terus memberikan jaminan alur tanggung

jawab berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota komunitas. Kesadaran

tersebut menurut Maturana dan Varella muncul karena setiap individu terlibat dalam

jaringan makna (mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa

bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan relasi tersebut juga

dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab individu dalam jaringan sosial.

Pada titik ini, penulis menemukan titik yang sama dengan kedua peneliti

(Maturana dan Varella) tersebut. Kesadaran akan kebermakaan dirinya benar-benar sebuah

14

Ngarbingan, Komunitas, 2010.

66

kesadaran intensionalitas menggunakan istilah Husserl,15

sebuah kesadaran akan makna

kehadiran dirinya, sebagai bermakna, ketika kehadiran dirinya benar-benar memiliki

manfaat bagi orang lain. Pada mahasisa penghuni Asrama Mansinam, kesadaran

intensionalitas ini benar-benar terwujudkan, diantara mereka sebagai sesama penghuni.

Hal ini menarik terutama dalam konteks kebebasan, dimana mereka bisa saja

memilih indekos untuk menemukan kebebasan dari segala aturan yang mengikatnya. Hal

ini tentu sangat menantang apa yang paling hakiki dalam kemanusiaan manusia yaitu soal

eksistensinya. Pemikir eksistensialisme semisal Sartre mengungkapkan “aku dikutuk

bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri,

atau jika mau kita tidak bebas untuk berhenti bebas”16

Kebebasan yang dimiliki oleh para

penghuni Asrama Mansinam untuk boleh saja dapat indekos dan tidak mondok di Asrama

Mansinam, namun dalam kebebasan yang sama mereka tetap memilih untuk menjadi

penghuni Asrama Mansinam. Kebebasan juga menjadi dasar bagi keteraturan yang mereka

sepakati bersama, ketika menjadi penghuni Asrama Mansinam. Kebebasan ini juga menjadi

modal bagi trust yang mereka bangun diantara mereka sendiri sebagai sesama penghuni

Asrama Mansinam.

Modal Sosial sering dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi. Pada pembahasan

teoritik sebelumnya, baik Coleman, Putnam, Bourdieu, dan Fukuyama, sama-sama melihat

bahwa hasil akhir dari bentukan Modal Sosial adalah akumulasi ekonomi. Pada skala

komunitas penghuni Asrama Mansinam, tesis ini terpatahkan. Modal Sosial yang dibentuk

oleh tiap individu, tidak selalu memiliki kaitan dengan aspek ekonomi. Ada kebutuhan lain,

15

Firdaus, M. Yunus “Kebebasan dan Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre” 267-282. 16

T.Z Lavine 2002. Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre.Alih Bahasa Andi Iswanto dan

Deddy Andrian Utama, (Yogyakarta, Jendela, 2002), 350.

67

yaitu kebutuhan kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial tersebut berbentuk dalam wujud

kebutuhan untuk memenuhi harapan orang tua agar dapat menyelesaikan studi, kebutuhan

akan kenyamanan dalam berelasi dan keteraturan, juga kebutuhan akan keberlangsungan

keberadaan demi memenui harapan orangtua tentang keberhasilan dalam studi menjadi

dasar bagi pembentukan Modal Sosial. Karena itu, dalam kebebasan mereka, mereka

memilih menggunakan kebebasan tersebut untuk memilih menjadi penghuni Asrama

Mansinam daripada indekos. Kenyamanan, keteraturan dan perasaan diterima sebagai

bagian dari yang lain, membuat mereka terus memilih untuk tinggal dan mondok hingga

mereka menyelesaikan perkuliahannya di UKSW.

Dengan begitu, maka dapat dikatakan bahwa pada level komunitas,

pembentukan Modal Sosial diantara para anggota komunitas, tidak serta-merta didorong

oleh faktor akumulasi ekonomi, tetapi lebih kepada faktor-faktor sosiologis. Hal ini juga

dapat dimengerti, karena konteks penelitian ini adalah mahasiswa dalam sebuah komunitas,

dimana mereka ditempatkan untuk tinggal pada satu tempat yang telah merumuskan

berbagai nilai-nilai yang harus diwujudkan, dengan harapan-harapan yang diberikan

orangtua kepada mereka, tetapi dalam kondisi tekanan perkuliahan yang tinggi, membuat

kebutuhan-kebutuhan menjadi sangat tinggi ada pada mereka untuk dipenuhi.

Menengok catatan-catatan teoritik yang sudah terpaparkan pada bab

sebelumnya, modal sosial dalam hasil penelitian ini lebih mengarah pada apa yang

disampaikan oleh Fukuyama. Fukuyama melihat modal sosial sebagai kekuatan-kekuatan

yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam komunitas, dimana unsur trust (rasa

percaya) yang diberikan terhadap masing-masing individu, lebih diutamakan dalam rangka

pencapaian tujuan yang lebih besar. Meskipun, dalam bahasannya, Fukuyama lebih banyak

68

bicara pada aspek pengembangan bisnis, namun begitu, catatan Fukuyama memberikan

pandangan bahwa dengan demikian, rasa percaya (trust) merupakan unsur yang universal

pada dasar dan proses pembentukan modal sosial.

Meskipun Putnam juga berbicara tentang tiga unsur modal sosial, dan terutama

trust, sebagai jembatan, pengikat sekaligus penghubung antar jaringan, namun begitu,

Putnam bicara dalam konteks asosiasi politik. Karenanya, rasa percaya itu sendiri di antara

jejaring, sangat bergantung pada kepentingan yang sama dalam asosiasi politik ini. Artinya,

para individu sebagai jejaring membangun rasa percaya mereka apabila ada kepentingan

yang sama. Disini, terdapat titik temu antara yang disampaikan Putnam dengan hasil

penelitian ini. Tampak bahwa kepentingan bersama untuk bisa tinggal dan mondok di

Asrama Mansinam dalam rangka menyelesaikan studi, juga kepentingan untuk

menyelamatkan Asrama Mansinam, menjadi dasar pengikat bersama untuk membangun

trust, juga jejaring di antara mereka. Namun begitu, terdapat perbedaan signifikan antara

hasil kajian ini dengan yang disampaikan Putnam. Putnam membahas asosiasi kepentingan.

Karena itu, rasa percaya itu bersifat longgar. Sementara komunitas ini berbicara tentang

keberlangsungan studi mereka. Asosiasi dapat saja berganti jejaring, apabila sudah tidak

ada titik temu atau kompromi politik terkait kepentingan. Namun tidak dengan komunitas

yang bertahan untuk survive. Ada sebuah desakan untuk saling membutuhkan. Situasinya

adalah mereka dikondisikan untuk harus saling percaya. Tidak ada pilihan asosiasi lain.

Meskipun mereka sendiri memiliki pilihan untuk bergabung dengan asosiasi lain yang lebih

longgar juga, misalnya keluar dari Asrama Mansinam dan menjadi penghuni kos-kosan.

Di sini, juga letak perbedaan signifikan hasil temuan ini dengan kajian Putnam.

Kebebasan dan kesetaraan untuk boleh memilih asosiasi yang lain saat kepentingan atau

69

tujuan yang dicapai jejaring sudah berbeda, namun tidak dengan komunitas penghuni

Asrama Mansinam ini. Kebebasan mereka tidak digunakan untuk membentuk atau

bergabung dengan asosiasi yang lain, tetapi kebebasan itu di arahkan untuk menjadi

bermakna bagi yang lain. Di sini, para penghuni menyadari apa yang dikatakan Husserl,

tentang kesadaran intensionalitas. Kesadaran bukan saja terkait dengan kepentingan diri,

tetapi kesadaran akan kepentingan yang lebih besar; dan terutama menyadari kebermaknaan

kehadirannya bagi sesama.

Coleman membicarakan Modal Sosial sebagai jembatan penolong bagi mereka

yang lemah secara ekonomi. Coleman adalah salah satu tokoh yang optimis dalam

memandang kekuatan modal sosial. Coleman melihat modal sosial sebagai akses yang

dimiliki individu untuk memperoleh akses dan jejaring dalam pencapaian tujuan-tujuan

pribadi. Terinspirasi dari ide sosiologi pilihan rasional, Coleman berpendapat bahwa modal

sosial tidak lain daripada kalkulasi rasional individu dalam rangka pencapaian tujuan

pribadi. Jika menengok pada motivasi yang menggerakan para individu penghuni Asrama

Mansinam ini, Coleman ada benarnya. Ada tujuan-tujuan pribadi menjadi dasar dalam

membentuk modal sosial di antara mereka sebagai sesama penghuni. Namun begitu, tujuan

pribadi ini tidak terkait dengan akses modal ekonomi dan jejaring yang lebih berpengaruh

seperti demi pencapaian tujuan individu seperti yang diceritakan Coleman. Setelah diteliti,

para individu yang membentuk komunitas penghuni Asrama Mansinam ini, tidak didorong

oleh sebuah kalkulasi rasional tentang kemudahan memperoleh modal ekonomi serta

jejaring yang lebih berpengaruh terkait pencapaian tujuan pribadi mereka masing-masing.

Motif awalnya murni karena kepentingan untuk memperoleh pemondokan. Tidak ada

70

jejaring di antara mereka yang memiliki pengaruh atau akses yang lebih luas kepada

kekuasaan dalam rangka memuluskan kepentingan pribadi yang lain.

Di sini, maka modal sosial yang dibentuk oleh komunitas penghuni Asrama

Mansinam, lebih dekat dengan apa yang digagas oleh penggagas modal sosial pertama kali

yaitu Hanifan. Hanifan memberikan catatan penting tentang dasar modal sosial yaitu

perasaan saling empati, kemauan untuk saling menolong, dan kesadaran intensionalitas atau

kesadaran sebagai individu yang bermakna saat menjadi bermakna bagi orang lain. Pada

titik ini, trust yang terbentuk di antara mereka, lebih dekat pada apa yang digagas oleh

Rousseau bahwa rasa percaya terjadi karena kesediaan seseorang untuk bertumpu dan

memiliki perasaan yakin yang kemudian diberikan kepada orang lain dan dasarnya adalah

ketidakpaksaan dan perasaan menerima apa adanya. Rasa percaya ini lebih didorong oleh

semangat persaudaraan, oleh kehendak untuk dapat maju bersama, oleh hasrat individu-

individu yang sama, yaitu sama-sama berhasil dalam mencapai harapan orangtua yaitu

menyelesaikan studi mereka di UKSW.

Agar semangat persaudaraan dan perasaan menjadi bagian yang utuh dari

komunitas ini boleh terjadi, maka rasa percaya itu diekspresikan dengan memberikan fungsi

dan peran kepada setiap penghuni, sehingga semua merasa menjadi bagian dari satu

komunitas. Pada titik ini, Bourdieu boleh menjadi benar, bahwa modal sosial diproduksi

melalui sebuah kultur tertentu. Meskipun, Bourdieu berbicara dalam rangka kepentingan

kelas. Artinya, produksi kultural itu dimaksudkan untuk melanggengkan kelas tertentu. Di

sini, produksi kultur tertentu lewat aktivitas-aktivitas yang menjadi rutinitas harian

komunitas penghuni tampak lebih dekat dengan pemahaman struktural fungsional yang

dimaksdukan Parsons. Artinya bahwa, produksi kultur tertentu, tidak saja selalu bermakna

71

untuk melangggengkan struktur kekuasaan dalam kelas, tetapi produksi kultural bisa juga

terjadi karena ada kepentingan demi berlangsungnya sebuah sistim sosial. Disebut lebih

dekat dengan skema teoritik Parsons dibandingkan dengan skema produksi kultural

Bourdieu demi menguatkan Modal Sosial kelas tertentu karena produksi kultur melalui

pembiasaan mirip dengan skema AGIL ala Parsons.

Ada kesadaran untuk mengadaptasikan sebuah model ideal yaitu model

pembinaan yang diinginkan oleh Sinode GKI Papua melalui aktivitas harian, dimana

adaptasi itu dilakukan dengan memberikan fungsi dan peran terkait dengan rutinitas harian

yang dilakukan oleh komunitas penghuni Asrama Mansinam. Proses saling dan

memberikan rasa percaya (trust) terjadi pada tahapan ini. Dikatakan demikian karena dua

hal: pertama bahwa fungsi dan peran dari masing-masing individu penghuni komunitas

Asrama Mansinam berbeda-beda. Dibutuhkan rasa saling dan memberikan kepercayaan

kepada tiap individu untuk menjalankan peran dan fungsi yang berbeda itu, mengingat

masing-masing memiliki kapasitas dan kapabilitas yang juga berbeda. Kedua, meskipun

masing-masing individu memiliki kapasitas dan kapabilitas yang berbeda-beda,

mempercayakan peran dan fungsi kepada tiap-tiap individu dilakukan karena terkait dengan

pencapaian tujuan yang lebih besar.

Adaptasi ini terkait dengan goal achievement (pencapaian tujuan) yang

terumuskan secara mendetail dalam job description terkait fungsi dan peran setiap individu

penghuni Asrama Mansinam. Lewat pembiasaan fungsi dan peran itu, diharapkan dapat

mengintergrasikan setiap komponen dalam hal ini para penghuni Asrama Mansinam terkait

dengan Asrama Mansinam sebagai sebuah sistim pembinaan. Pada akhirnya, fungsi dan

72

peran ini menjadi latensi (pemeliharan pola), yang terwariskan secara turun temurun pada

saat ada penghuni baru masuk menjadi bagian dari komunitas ini.

Bourdieu mungkin saja sehati dengan Parsons saat membahas tentang proses

produksi model kultur terkait dengan membentuk modal sosial dalam komunitas maupun

masyarakat. Skema AGIL tentu saja dapat menjelaskan proses produksi kultur yang

dimaksudkan Bourdieu ini. Namun begitu, muara terakhir yang diharapkan Bourdie dengan

produksi kultur ini adalah menjaga posisi kelas tertentu. Sementara, hasil penelitian ini

dikatakan lebih dekat dengan pemahaman struktural fungsional ala Parsons karena produksi

kultur dalam arena Asrama Mansinam lebih tertuju pada kepentingan sistim yaitu Asrama

sebagai arena pembinaan karakter mahasiswa asal Papua.