BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT … IV.pdfpembaharuan nasional menurut Hu Jintao,...
Transcript of BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT … IV.pdfpembaharuan nasional menurut Hu Jintao,...
29
BAB IV
KEBIJAKAN LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK &
AMERIKA SERIKAT
Rasionalitas negara-negara terletak dalam bagaimana negara-negara
tersebut menentukan kebijakan dan tindakan yang diambil, sehingga pada
akhirnya berdampak pada hasil yang sesuai dengan target. Fenomena kebijakan
negara yang memperhatikan sifat kausalitas inilah yang kemudian ditegaskan
Hudson (2005: 2), di mana menggambarkan bahwa terdapat proses panjang
sebelum negara benar-benar memutuskan langkah atau sikap kebijakannya. Proses
yang dimaksud dimulai dari penyelidikan, penentuan prioritas tujuan, penilaian
hingga persetujuan. Selanjutnya bilamana berkaitan dengan kebijakan luar negeri,
pertimbangan negara menjadi lebih kompleks dikarenakan kebijakan yang akan
dilaksanakan merupakan representasi dari kebijakan dalam negeri. Adapun Bab
ini akan berfokus pada kebijakan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dan Amerika Serikat (AS) secara berturut-turut melalui kebijakan Chinese Dream
dan kebijakan Free and Open Indo-Pacific.
4.1 Chinese Dream
Xi Jinping pertama kali mengumumkan kebijakan Chinese Dream ketika
beliau berkunjung ke Museum Nasional Tiongkok dalam rangka menghadiri
pameran bertajuk “Jalan Pembaharuan” (The Road of Rejuvenation) bersama
enam petinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT) lainnya pada 29 November 2012.
Pameran itu sendiri ialah pameran yang mengangkat sejarah pilu masa penghinaan
satu abad – dimulai dari Perang Opium Pertama hingga akhir Perang Sino-Jepang.
Dalam pidatonya, Xi menekankan bahwasannya RRT telah melalui masa-masa
sulit yang membutuhkan pengorbanan besar (National Museum of China, 2012).
Penekanan pada narasi-narasi masa kelam dan penghinaan, serta narasi
pembaharuan yang bersirkulasi dalam identitas politik RRT ini kemudian sejalan
dengan pemirikan Zheng Wang (2012) di mana menganggap bahwa penghinaan
30
nasional (national humiliation) adalah bagian integral dari pembangunan identitas
nasional dan pembangunan nasional RRT. Adapun selaras dengan ide tersebut,
dapat dikatakan penghinaan satu abad oleh agresi bangsa asing ialah narasi utama
(master narrative) pendorong sejarah Tiongkok modern (Callahan, 2004: 204).
Narasi Chinese Dream oleh Xi Jinping layaknya anggur tua yang dikemas
dalam botol yang baru (Wang, 2013: 7). Anggur tersebut ialah tujuan
pembaharuan nasional menurut Hu Jintao, kebangkitan Tiongkok menurut Deng
Xiaoping dan penerapan sosialisme dan komunisme berbasis pandangan Mao
Zedong. Secara lebih lanjut, Chinese Dream dikemas secara lebih modern apabila
dibandingkan dengan kebijakan pendahulunya, terutama setelah mendapatkan
basis legalitas dengan direvisinya Konstitusi Partai Komunis Tiongkok pada
Kongres Partai Komunis Tiongkok, 24 Oktober 2017. Hasil revisi Konstitusi
Partai Komunis Tiongkok (2017) ialah sebagai berikut:
“Semua anggota partai harus memegang teguh bendera besar sosialisme
dengan karakteristik Tiongkok, memiliki kepercayaan diri penuh di
dalam setiap jalan, teori, sistem, dan budaya, menerapkan teori dasar
partai, garis dasar, dan kebijakan dasar, berjuang untuk memenuhi tiga
tugas sejarah, yaitu memajukan modernisasi, mencapai reunifikasi
Tiongkok, dan menjaga perdamaian dunia dan meningkatkan
perkembangan saat ini, mencapai tujuan kembar satu abad, dan
merealisasikan “Chinese Dream” mengenai pembaharuan nasional”.
Berhubungan dengan dua tujuan satu abad (two centenary goals) –
menjadi masyarakat madani tahun 2021 dan mencapai modernisasi tahun 2049 –
Chinese Dream oleh Xi Jinping pada dasarnya merupakan bentuk
pengejawantahannya. Untuk itu, selain berlandaskan pada konstitusi PKT,
Chinese Dream oleh Xi bersumber dari China Peaceful Development White
Paper, yaitu stabilitas politik, perekonomian berkelanjutan, dan keamanan
nasional (China’s Peaceful Development, 2011). Guna mewujudkan cita-cita dan
tujuan berabad-abad Tiongkok, Xi Jinping menekankan pada kebijakan berbasis
pertimbangkan potensi yang dimiliki oleh kawasan Indo-Pasifik sebagai batu
loncatan dan instrumen keterpenuhan kebutuhan RRT untuk kembali
mempertahankan „anggur tua‟ kepentingan Tiongkok, namun dengan „botol‟ atau
kemasan baru, yakni regionalisme Indo-Pasifik. Berkenaan dengan kepentingan
31
Tiongkok berabad-abad inilah, Xi mempersepsikan Chinese Dream melalui
pengetahuannya mengenai potensi besar Indo-Pasifik.
4.1.1 Dasar historis Chinese Dream
Selain berangkat dari persepsi Xi Jinping mengenai potensi
penerapan kebijakan Chinese Dream, khususnya bilamana berkaca dari
posibilitas-posibilitas Indo-Pasifik, menjadi sulit dinafikan bahwa Chinese
Dream telah berakar jauh dalam sejarah perkembangan Tiongkok itu
sendiri. Oleh karenanya, memahami kebijakan Chinese Dream
membutuhkan pemaknaan menyeluruh perihal segala sesuatu yang
mempengaruhi sebelum kebijakan tersebut disetujui dan juga hal-hal yang
menjadi katalisator saat penerapan Chinese Dream dieksekusi. Dengan
kalimat lain, pemaknaan Chinese Dream sudah semestinya ditinjau dari
sisi historikal, sehingga pemahaman terseut menjadi lebih komprehensif
atau menyeluruh.
Sisi historis yang dimaksud secara kronologis mengalami empat
fase penting, yakni penghinaan satu abad (1839-1945), Revolusi Mao
Zedong (1949), Reformasi Deng Xiaoping (1978) dan enkapitulasi cita-
cita Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dilakukan oleh Presiden Xi
Jinping (2012 – hingga saat ini). Pada setiap fase sejarah, RRT semakin
memperbaharui dan memperkuat motivasi guna tumbuh sebagai negara
yang makmur dan berdaulat, bahkan lebih dari pada itu, RRT berusaha
membangun kembali sisa-sisa kejayaan Tiongkok seperti pada masa
Dinasti Han (206 SM – 220 M), Dinasti Tang (618 M – 906 M) dan
Dinasti Qing (1644 – 1912).
4.1.1.1 Penghinaan satu abad
Sejarah Chinese Dream ialah sejarah panjang yang berakar dari sisi
historis kelam peradaban Tiongkok selama satu abad penuh, yakni pada
tahun 1839-1945. Perkembangan peradaban RRT selama lebih dari satu
abad tersebut diisi oleh berbagai macam penindasan demi penindasan,
serta imperialisme yang berakhir dengan pertumpahan darah. Sisi gelap
32
dari peradaban inilah yang kemudian dikenal masyarakat modern RRT
sebagai “penghinaan satu abad” atau century of humiliation (bainian
guochi, 百年国耻). Letak narasi-narasi yang memperkuat luka masa lalu –
seperti penekanan pembelajaran sejarah mengenai penjajahan bangsa asing di
tanah RRT pada kurikulum sekolah – selama penghinaan satu abad kemudian
memainkan peran penting sebagai penunjang gairah membangkitkan diri dan
keluar dari kondisi belenggu dan ketergantungan terhadap negara lain.
Pembabakan pertama yang menjadi sorotan ialah dinamika
kesengsaraan masyarakat Tiongkok klasik yang masuk pada ketidakadilan
yang satu kepada ketidakadilan yang lain atau kemudian dikenal dengan
sebutan penghinaan satu abad, yakni kalah dalam Perang Opium Pertama
(1839-1842), dipaksa menandatangani perjanjian yang tidak adil (Nanking,
Whampoa dan Aigun), kalah dalam Perang Opium Kedua (1856-1860),
kalah Perang Sino-Prancis (1884-1885), kalah Perang Sino-Jepang
Pertama (1894-1895), tekanan aliansi delapan negara (1899-1901), invasi
Inggris di Tibet (1903-1904), Dua Puluh Satu Tuntutan (1915) dan Perang
Sino-Jepang Kedua (1937-1945). Berangkat dari runtutan sejarah tersebut,
terdapat momentum yang dijabarkan berikutnya ialah Perang Opium,
perjanjian tidak adil, dan Perang Sino-Jepang dikarenakan mewakili aktor-
aktor yang menekan Tiongkok sepanjang lebih dari satu abad.
Perang Opium Pertama antara Tiongkok dan Britania Raya (pada
berbagai literatur disimplifikasi dengan sebutan „Inggris‟) sekaligus
menandai cerita panjang tentang hubungan RRT dengan bangsa-bangsa
Barat yang tidak terlalu akur. Pada masa Dinansti Qing (1644-1912),
Britania Raya yang kala itu menguasai India memulai perdagangannya di
pesisir selatan Tiongkok atas persetujuan Dinasti dengan kesepakatan
terbatas di pelabuhan Canton (saat ini Guangzhou). Seiring pertambahan
volume permintaan barang-barang dari Tiongkok ke India – daerah koloni
Britania Raya, pihak Britania menuntut akses pasar yang lebih besar bila
dibandingkan dengan kesepakatan awal. Peningkataan permintaan
komoditas Tiongkok, seperti teh mencapai puncaknya pada tahun 1800,
33
yakni sebesar 23 juta pon per tahun atau senilai 3,6 juta pon perak (Perdue,
2010: 3). Menyadari ancaman akan habisnya perak, Britania Raya mencari
komoditas yang bisa dijual ke Tiongkok sehingga neraca perdagangan
tidak defisit. Terlepas dari kecaman Dinasti, Britania memperdagangkan
Opium – dipanen di Bengal, India – secara gelap tanpa menghiraukan
kecaman pemerintahaan Qing (lihat tabel 4.1).
Tabel 4.1
Perdagangan Opium Ilegal oleh Britania Raya kepada Tiongkok
Dinasti Qing baru menyadari praktik perdagangan Opium Britania
kepada Tiongkok setelah pada 1830-an lebih dari 20 persen pegawai
pemerintahan pusat, 30 persen pegawai lokal dan 30 persen pegawai
rendahan mengalami ketergantungan mengonsumsi opium (Perdue, 2010:
10). Mengacu pada peningkatan permintaan dan ketergantungan kepada
Opium, Pemerintahan Qing menunjuk Lin Zexu untuk memusnahkan
semua Opium sehingga memicu Perang Opium Pertama pada 4 September
1839 (Chen, 2017: x). Pemusnahan sepihak oleh Dinasti Qing kemudian
menimbulkan gesekan antara dua negara yang berujung pada pengiriman
kapal bersenjata Britania Raya (gunboat) sehingga Tiongkok menyerah
dipukul mundur. Perang Opium Pertama berakhir dengan Perjanjian
Nanking (1842) yang mengharuskan Tiongkok membuka pelabuhan
perdagangan dan mendirikan Hong Kong sebagai pusat koloni Britania
Raya di Tiongkok (Chen, 2017: 126).
Sumber: Spence, The Search of Modern China, 1990.
Tahun Jumlah Peti
(1 peti = 140 pon)
1729 200
1750 600
1773 1.000
1790 4.054
1800 4.570
1810 4.968
1816 5.106
1823 7.082
1828 13.131
1832 23.570
34
Kesadaran akan kekalahan Tiongkok dari dunia Barat, khususnya
berkaitan dengan agresi dan kolonialisasi Britania menyisahkan narasi-
narasi antagonis Tiongkok modern menyikapi dinamika politik Barat.
Profesor Zheng kala diwawancarai ABC News menilai kesadaran dan
kemarahan Tiongkok terhadap Barat masih tersisa hingga saat ini dan
memberikan semacam legitimasi untuk memanfaatkan pergeseran
kekuatan berdasarkan pemahaman akan pergeseran geostrategi dan
geopolitik bagi pencapaian cita-cita Tiongkok sendiri (Ross & Quince,
2018). Hawksley (2017) menambahkan bila sejatinya sejarah masa lalu
RRT digunakan sebagai pertimbangan politik agar tidak lagi menjadi
lemah ketika berhadapan dengan bangsa lain yang ingin mengintervensi,
atau pada batasan yang lebih jauh, berusaha menekan Tiongkok seperti
masa penghinaan satu abad:
“Saya pulang dengan perasaan bahwa suatu negara menyalahkan
dirinya sendiri untuk tertinggal di belakang Eropa. Dari pada
memainkan ketidakadilan, mereka sekarang memainkan pengejaran
ketinggalan, dengan suatu determinasi bahwa sejarah [kelam] tidak
boleh terulang. Presiden Tiongkok, Xi Jinping menyebutnya
pembaharuan besar” (Hawksley, 2017).
Lebih lanjut, fenomena faktual antara RRT dan Amerika Serikat
ditilik dari kondisi perang dagang menunjukan kesamaan karakteristik
dengan kondisi sebelum pecah Perang Opium selama tahun 1830an.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari bagaimana ekspor Tiongkok yang
mengalami surplus bila dibandingkan dengan negara penerima berujung
kepada panasnya hubungan politik kedua negara dan tuntutan agar
Tiongkok lebih terbuka bagi aliran barang masuk hingga proteksionisme
pasar. Amerika Serikat mengalami defisit akibat volume pembelian barang
dari Tiongkok lebih besar dari barang nasional yang dijual ke Tiongkok
mengalami kemiripan dengan Britania pada waktu itu. Perihal sejarah yang
berulang kemudian ditegaskan Ian Morris (2018) bahwa jika Washington
dan Beijing gagal untuk melimitasi sisi masing-masing, maka kedua
negara akan membawa malapetaka tersendiri seperti yang terjadi 200
35
tahun lalu. Malapetaka yang dimaksud ialah persaingan ekonomi tidak
sehat yang berakhir dengan peperangan terbuka antara dua negara. Oleh
karenanya pertimbangan kesejarahan mengenai Perang Opium menjadi
relevan bagi Tiongkok masa kini, selama administrasi Xi Jinping.
Selepas dari kekalahan dalam Perang Opium Pertama, bangsa-
bangsa lain kemudian menyadari lemahnya Tiongkok di penghujung
Dinasti Qing. Berangkat dari pengetahuan akan ketidaksiapan Tiongkok
menghadapi agresi eksternal, bangsa-bangsa lain turut serta memanfaatkan
kondisi dengan memaksa Tiongkok menyetujui berbagai perjanjian yang
tidak adil. Selain Britania Raya, Prancis dan Kekaisaran Rusia
menandatangani perjanjian tidak adil, yakni Perjanjian Nanking, Perjanjian
Whampoa dan Perjanjian Aigun.
Treaty of Peace, Friendship, Commerce, Indemnity between Great
Britain and China saat ini dikenal sebagai Perjanjian Nanking dikarenakan
ditandatangani di Nanking (Nanjing), 29 Agustus 1842. Perjanjian
Nanking terdiri dari 13 pasal yang secara garis besar merupakan usaha
Britania Raya untuk mendapatkan wilayah tertentu di Tiongkok dan
mendulang kekayaan dari uang ganti rugi yang harus dibayarkan (Hertslet,
1908: 7-12). Sebagai contoh, pasal 2 dan pasal 3 Perjanjian Nangking
mengharuskan Tiongkok membuka kota-kota strategis yang sebelumnya
tidak dibuka untuk pedagang Britania, yakni kota Canton, Amoy,
Foochowfoo, Ningpo dan Shanghai. Adapun Britania mewajibkan
Tiongkok memberikan Hong Kong selama jangka waktu yang tidak
ditentukan sebagai pusat pelabuhan dan penyimpanan barang-barang milik
Britania. Tekanan Britania terhadap Tiongkok kemudian dilanjutkan
dengan ultimatum penggantian kerugian dengan total 21 juta dolar yang
tercantum dalam pasal 4 hingga pasal 7 menurut rincian berikut: 6 juta
dolar ganti rugi opium yang dimusnahkan oleh utusan Dinansti Qing
selama Maret 1839, 3 juta dolar sebagai ganti kerugian Britania Raya
selama membeli barang-barang dari pedagang Tiongkok, dan 12 juta dolar
untuk memperbaiki kerusakan selama Perang Opium Pertama.
36
Perjanjian Whampoa ditandatangani pada 24 Oktober 1844 dengan
berisikan 36 pasal yang dispesifikasi sebagai perjanjian perdagangan
(Dorothy & Williard-Straight, 1902: 49-58). Dalam Perjanjian Whampoa,
Tiongkok mendapatkan posisi kekuasaan yang timpang bilamana ditinjau
dari tiga peraturan penting. Pertama, pasal 2 mengatur jika terjadi insiden
penyelundupan dan praktik perdagangan ilegal oleh orang berkebangsaan
Prancis, hukumannya hanya penyitaan kargo oleh konsul. Kedua,
Tiongkok tidak diperbolehkan menaikan tarif terhadap berbagai macam
kargo. Ketiga, pasal 22 menjamin orang berkebangsaan Prancis tidak
boleh dijatuhi hukuman apapun oleh pemerintah Tiongkok atas tindakan
kriminal yang dilakukan, sedangkan hanya boleh dikirim ke kantor
konsulat terdekat.
Perjanjian Aigun disahkan oleh pihak Rusia dan Tiongkok pada
tanggal 16 Mei 1858 yang berisi tiga pasal batasan teritorial antara Rusia
dan Tiongkok (Dorothy & Williard-Straight, 1902: 100). Perjanjian Aigun
memberikan Rusia kontrol atas Danau Amur bagian kiri. Menjadi tidak
adil dikarenakan selain proses perjanjian yang dilakukan secara paksa oleh
Rusia dengan mengirimkan kapal bersenjatanya, Rusia otomatis
mendapatkan akses langsung ke Laut Okhotsk yang sebelumnya
merupakan teritorial Dinasti Qing (Rothman, 2006: 11).
Pada 1856, Perang Opium Kedua kembali pecah dan bertahan
hingga tahun 1860, ketika Britania dan Prancis memaksa Tiongkok untuk
memperbaharui perjanjian-perjanjian yang tidak adil, menuntut uang ganti
rugi dan untuk membuka dibukanya 11 pelabuhan tambahan bagi jalur
perdagangan imperialis, akan tetapi mendapat penolakan dari Dinasti
Qing. Dalam serangkaian peristiwa selama Oktober 1856, otoritas
Tiongkok menahan kapal bertanda Tiongkok, namun dioperasikan oleh
orang-orang Britania. Berangkat dari peristiwa penangkapan tersebut
Prancis mendukung Britania agar menghancurkan Istana Dinasti Qing.
Peperangan berakhir dengan Perjanjian Tientsin yang mengharuskan
Tiongkok membayar ganti rugi, membuka pelabuhan lebih banyak dan
37
secara langsung memperlemah Dinasti Qing. Peristiwa ini menjadikan
Tiongkok berpikir kembali terkait hubungannya dengan dunia luar dan
mempertimbangkan usaha modernisasi militer, politik dan struktur
ekonomi (Hayes, 2018: 14).
Cita-cita Dinasti Qing demi memperbaharui dan memodernisasi
militer, politik dan ekonomi duna mempertahankan Tiongkok kemudian
menjadi cita-cita RRT dewasa ini. Pertimbangan historis dari berbagai
perjanjian tidak adil yang mana tidak hanya menyebabkan Tiongkok harus
membayar ganti rugi dalam jumlah yang besar, namun lebih dari pada itu
wajib memangkas dan memberikan kedaulatannya kepada bangsa asing,
khusunya merelakan Hong Kong dan beberapa pelabuhan penting. Untuk
alasan yang sama, RRT secara terus menerus berusaha bergantung pada
diri sendiri, baik melalui usaha memperluas dan meningkatkan
perdagangan melalui investasi dan pembangunan infrastuktur, memperkuat
militer yang dapat ditinjau dari pengeluaran anggaran militer dan
mengintensifkan diplomasi dengan negara-negara di Indo-Pasifik– dibahas
secara komprehensif pada Bab 5 mengenai rivalitas RRT dan AS.
Gambar 2.
Pelabuhan Tiongkok yang terbuka bagi imperialis sebelum dan
sesudah Perang Opium Kedua
Sumber: Jack Hayes, “The Opium Wars in China”. Dalam Asia
Pacific Curriculum.
38
Belum sempat memperbaiki diri setelah mengalami kerugian
akibat aktivitas Britania Raya, Prancis dan Rusia yang berujung pada
kesepakatan tidak adil sehingga memberatkan Tiongkok, Dinasti Qing
kembali harus menghadapi kekuatan asing yang datang dari Jepang.
Jepang datang sebagai kekuatan baru, secara terkhusus setelah mengalami
perombakan dan pembaharuan besar-besaran selama Restorasi Meiji.
Jepang datang dalam bentuk dua kali Perang Sino-Jepang antara tahun
1894-1895 dan 1937-1945. Perang Sino-Jepang Pertama dapat dikatakan
sebagai usaha Jepang untuk memperluas kekuasaannya di Semenanjung
Korea yang secara administratif masih berada di bawah kekuasaan
Tiongkok. Peperangan dimulai pada 1 Agustus 1894 namun harus berakhir
dengan kekalahan Tiongkok yang ditandai oleh Perjanjian Shimonoseki, 8
Mei 1895.
Adapun Perang Sino-Jepang Kedua merupakan kelanjutan pasca
kejatuhan Dinasti Qing. Terlepas dari berbagai macam jual-beli serangan
selama 1937-1945, Pembantaian Nanking (Nanking Messacre) ialah
momentum sejarah yang paling diingat masyarakat RRT saat ini. Betapa
tidak, investigasi pasca perang mendapati pemerkosaan dan pembantaian
di Distrik Nanking (Nanjing) mengakibatkan 295.525 kematian dengan
presentase: 76 persen laki-laki, 22 persen perempuan dan 2 persen anak-
anak (Brook, 2002: 2).
Belajar dari penghinaan yang dialami Tiongkok selama seabad
lebih dan bagaimana Tiongkok mengalami kekalahan demi kekalahan serta
penindasan-penindasan bangsa asing, baik dari Eropa maupun Asia Timur,
berpotensi menjadi substansi utama dalam rangka memahami kebijakan
RRT saat ini. Andreas Forsby secara khusus mengidentifikasi kebijakan
luar negeri RRT sebagai salah satu bentuk inferioritas kompleks
(inferiority complex), di mana nampak dari frasa “wuwang guochi” atau
jangan melupakan penghinaan nasional (Forsby, 2015: 185). RRT
mempotret abad penghinaan sebagai momentum kehilangan teritori,
kehilangan kedaulatan internal dan eksteral, dan kehilangan martabat
39
internasional (Kaufman, 2011: 4). Oleh karena setiap rezim RRT
mendapat pembenaran untuk merebut kembali teritori dan martabatnya
baik secara literal di Kawasan Laut Tiongkok Selatan maupun secara
pengaruh implisit dengan mendorong ketergantungan negara lain.
4.1.1.2 Mao Zedong
Menjadi tidak terelakan bahwa Mao Zedong memainkan peran
penting bagi berdirinya Tiongkok modern seperti saat ini. Peranan Mao
Zedong sebagai pendiri RRT sekaligus menjembatani era klasik
kesejarahan Tiongkok di era dinasti dan republik, menjadi negara dengan
kekuatan Partai Komunis terbesar. Kontribusi besar Mao Zedong sekaligus
beriringan dengan bayangan kelam kepemimpinannya yang mana
menyebabkan wabah kelaparan dan kematian pada eksekusi kebijakannya
selama menjadi pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) sekaligus
pemimpin RRT. Sejalan dengan hal tersebut, jejak sejarah Mao setidaknya
terdiri atas kebijakan Lompatan Besar Ke depan (Great Leap Forward),
kebijakan Revolusi Budaya (Cultural Revolution) dan pemikirannya yang
dikenal dengan Maonisme.
Pidato Mao Zedong pada 1 Oktober 1949 di daerah Tiananmen
menandai terbentuknya RRT dengan posisi PKT sebagai jalan untuk
mengobati kesengsaraan masa lalu dan kelemahan pemerintahan di bawah
tekanan kolonialisme dan imperialisme Britania dan Prancis, serta
ancaman kekuatan Jepang di Timur Jauh. Dalam rangka mengejar
ketertinggalan pasca momentum-momentum kelam selama penghinaan
satu abad, Mao keluar dengan kebijakan Rencana Lima Tahun (Five Year
Plans). Rencana Lima Tahun pertama berakhir dengan sukses besar
melalui investasi pada pabrik milik negara dan redistribusi lahan pertanian
dari tuan tanah kepada petani-petani. Investasi terhadap pabrik milik
negara dan redistribusi lahan inilah yang menjadi pusat gravitasi
perekonomian dikarenakan pabrik-pabrik tersebut difokuskan untuk
memproduksi mesin traktor, mesin pertanian dan pupuk-pupuk kimia
40
dengan tujuan disebarkan kepada petani-petani yang telah mendapatkan
jatah lahan pertanian dari negara. Akhir dari tahapan pertama ini ialah
peniadaan kepemilikan pribadi.
Pada 1958, Mao memulai tahapan kedua Rencana Lima Tahun,
kemudian diketahui sebagai kebijakan Lompatan Besar Kedepan.
Pergerakan kebijakan ini menekankan pada daerah-daerah pinggiran atau
pedesaan Tiongkok untuk mencapai tujuan utopia komunisme, yakni
swasembada agrikultur, industri, pemerintahan, pendidikan dan layanan
kesehatan. Mao menjamin kesetaraan pendapatan terlepas dari jenis
pekerjaan apapun. Bereaksi terhadap tawaran Mao inilah, rakyat RRT
menyambut dengan antusiasme tinggi yang mana tercermin pada alih
pekerjaan dari petani menjadi buruh-buruh pabrik, guna memproduksi besi
dan baja selama siang dan malam. Dalam istilah lain, fenomena
antusiasme pekerja dikenal dengan slogan “Catching the moon and stars”
(Brown, 2012: 31). Mao membakar semangat para buruh dengan
menguatkan narasi-narasi penghinaan satu abad dan upaya untuk
melompati total produksi para kolonialis dan imperialis yang sebelumnya
menjajah RRT dengan ketidakadilan.
Di sisi lain, aktivitas pabrik menjadikan rakyat tidak lain berfokus
pada aspek agrikultur, seperti pada Rencana Lima Tahun pertama.
Produksi barang-barang pabrikan terus-menerus bertambah, sedangkan
bertolak belakang dengan produksi gandum – sebagai makan pokok.
Penurunan produksi makanan pada 1960 mengakibatkan wabah kelaparan
kelaparan besar. Persediaan cadangan makan yang rendah menyebabkan
kematian sekitar 25 juta orang akibat kelaparan (Palese, 2009: 5).
Kematian dalam jumlah besar inilah yang sekaligus menandai berakhirnya
kebijakan Mao Zedong terhadap Lompatan Besar Ke depan. Cita-cita
untuk mengalahkan jumlah produksi Britania Raya dilaksanakan dengan
pertimbangan yang keliru sehingga berimbas pada kerugian yang lebih
besar.
Tabel 4.2
41
Produksi Gandum Berbanding Terbalik dengan Produksi Mesin Pertanian
Revolusi Budaya tidak lain merupakan bentuk perjuangan Mao
Zedong dalam rangka purifikasi Partai Komunis Tiongkok (PKT), di mana
Mao melihat adanya kelas borjuis yang mencoba mengambil alih partai.
Perjuangan Mao tersebut kemudian tidak bisa dilepaskan dari insiden
kemanusiaan. 30 juta orang diperkirakan kehilangan nyawanya selama
tahun 1966 hingga tahun 1976 akibat revolusi (Bai, 2014: 2). Terlepas
revolusi yang memakan puluhan juta nyawa, inti dari revolusi tersebut
ialah usaha Mao dalam rangka menerapkan Maoisme atau Pemikiran Mao
Zedong. Belajar dari Marxisme, Mao menggabungkan sistem
kediktaktoran proletar dengan self-critism, yakni nilai untuk tidak mudah
puas terhadap pencapaian dan untuk mencegah elitis (Ribao & Bao, 1968:
3-4).
Secara lebih mendalam, posisi RRT saat ini dan bagaimana Xi
Jinping menerapkan kebijakan Chinese Dream tidak bisa begitu saja
dilepaskan dari peranan Mao. Mao tidak hanya berperan sebagai bapak
Tiongkok modern, melainkan berhasil mendirikan sistem pemerintahan
dengan kontrol Partai Komunis yang bertahan dan bahkan menguat saat
ini. Oleh karena itu, semangat rejuvenation atau jalan pembaharuan yang
sejak 2012 disebarkan oleh Xi Jinping sebagai narasi utama Chinese
Tahun Produksi Gandum
(Juta Ton)
Mesin Pertanian
(Juta Tenaga Kuda)
1952 164 0,3
1953 167 0,4
1954 170 0,5
1955 184 0,8
1956 193 1,1
1957 195 1,7
1958 200 2,4
1959 170 3,4
1960 143 5,0
Sumber: Li & Yang, The Great Leap Forward: Anatomy of a Central Planning
Disaster, 2005, diolah.
42
Dream pada dasarknya berakar dari pemikiran Mao yang tercantum dalam
konstitusi RRT. Dengan kata lain, kebijakan yang telah dan sedang
digalakan Xi secara substansial bersumber dari moto Mao mengenai
“catching the moon and stars”, namun diterjemahkan ke dalam bentuk-
bentuk yang lebih modern, yakni tidak lagi menggunakan cara revolusi
budaya yang berakibat fatal, akan tetapi melalui pendekatan diplomatis
dan keterbukaan serta kerja sama dunia internasional.
4.1.1.3 Deng Xiaoping
Deng Xiaoping (22 Agustus 1904 – 19 Februari 1997) merupakan
politisi Tiongkok yang berperan penting dalam rangka mengubah wajah
modern RRT seperti saat ini. Terlepas dari posisinya yang tidak pernah
menjadi kepala negara maupun menjadi pemimpin PKT, kehadiran Deng
Xiaoping berhasil mengeluarkan Tiongkok dari defisit dan kemerosotan
ekonomi dan politik RRT setelah kegagalan Lompatan Besar Kedepan dan
Revolusi Budaya semasa kepemimpinan Mao Zedong. Pda tahun 1978,
berkat kontribusi Deng, RRT mengalami perubahan institusional positif,
khususnya bila ditilik dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan status
RRT dalam sistem internasional. Oleh karenanya, pembahasan mengenai
Deng Xiaoping serta kontribusinya bagi RRT, khususnya di masa
mendatang, yaitu Reformasi Ekonomi.
Reformasi ekonomi Tiongkok yang mengarah pada market-
oriented dimulai pada tahun 1978. Mengenai reformasi tersebut Gregory
Chow (2004: 127) mengidentifikasi empat alasan yang mengharuskan
reformasi ekonomi menjadi langkah urgen dan prioritas untuk
dilaksanakan. Pertama, Revolusi Budaya (1966-1976) sangat tidak
populer sehingga PKT dan pemerintah harus mengubah arah
perekonomian sehingga kembali mendapatkan dukungan masyarakat.
Kedua, belajar dari pengalaman, ekonomi terpimpin ialah sistem yang
sangat sulit untuk diatur dan secara ekonomi menjadi tidak efisien. Ketiga,
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan perkembangan lebih akan terjadi
43
pada strategi perekonomian bertetangga yang berorientasi pada pasar,
sehingga RRT harus lebih terbuka pada negara semisal Hong Kong,
Taiwan, Korea Selatan dan Singapura. Keempat, masyarakat Tiongkok
pada saat ini menghendaki keterbukaan ekonomi dikarenakan keterbatasan
komoditas pasar domestik. Reformasi ekonomi sendiri membutuhkan
komponen perubahan, yakni sasaran dari perubahan, pergantian atau
perbaikan suatu kebijakan. Berangkat dari dasar tersebut, Deng Xiaoping
setidaknya menyasar komponen agrikultur, perusahaan milik negara dan
kebijakan terbuka (open-door policy).
Reformasi agrikultur menjadi target pertama Deng mengingat
bidang inilah yang paling terkena dampak kegagalan kebijakan Lompatan
Besar Ke depan dan Revolusi Budaya. Sistem komunal yang diterapkan
Mao di mana petani-petani dikelompokkan menjadi satu untuk menggarap
lahan tertentu dianggap tidak efektif disebabkan oleh tidak adanya upah
tambahan bilamana terdapat petani yang bekerja lembur. Beberapa petani
menyadari bahwa mereka akan menjadi lebih produktif bila bekerja secara
terpisah. Dampak dari reformasi ini ialah pertumbuhan produk pertanian
Gambar 3.
Peningkatan Produksi Pertanian Sejak Reformasi Ekonomi
Sumber: Gerhard Heilig, “Economic Change: Agricultural Land,
Value Added in Agriculture and Export of Goods and
Services”. Dalam China-Profile, 2011.
44
secara besar-besaran seperti yang ditunjukan Gambar 7 ketika luas lahas
agrikultur dan ekspor agrikultur mengalami peningkatan dari tahun 1960
sampai tahun 2006.
Berikutnya, reformasi perusahaan milik negara berlangsung
melalui beberapa tahapan, yaitu negara memberikan otonomi kepada
perusahaan, menjadikan perusahaan independen secara finansial, dan
memperkenalkan sistem yang sama kepada produsen rumahan (Chow,
2004: 130). Pada tahapan pertama, negara memberikan otonomi kepada
perusahaan untuk memproduksi, memasarkan dan mengambil keputusan
investasi dari pada harus mengekang perusahaan dalam sistem ekonomi
terpimpin. Kedua, negara membebaskan pengaturan finansial perusahaan,
memperbolehkan mereka menyimpan keutungan sepanjang telah
membayarkan pajak, dari pada harus mengakuisisi saham perusahaan.
Ketiga, negara menerapkan kebebasan yang sama kepada industri kecil
rumahan pada bidang agrikultur. Hasil dari kebijakan ini ialah peningkatan
kepemilikan pribadi dan kepemilikan kolektif – yang mana berdampak
Gambar 4.
Peningkatan Kepemilikan Perusahaan RRT Selain Milik Negara
Sumber: Ross Garnaut & Ligang Song, “China: Twenty Years of
Economic Reform”. Dalam The Australian National University.
45
pada pertumbuhan pendapatan domestik bruto dari 153,97 miliar dolar AS
pada tahun 1976 menjadi 961,604 milliar dolar AS pada tahun 1997 ketika
Deng Xiaoping meninggal (World Bank, 2018).
Komponen utama terakhir selama reformasi ekonomi ialah pada
kebijakan terbuka (open-door policy). RRT yang sebelumnya tertutup pada
dunia luar, mulai membuka dirinya bagi perdagangan luar negeri dan
investasi asing. Deng Xiaoping mendorong kebijakan yang dimaksud agar
terjadi sirkulasi ekspor dan impor RRT. Perusahaan-perusahaan yang
berdagang bertanggung jawab atas keuntungan mereka sendiri, terlepas
dari ikut campur negara yang terlalu besar. Di sisi lain, negara berperan
dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan akibat prosedur
birokratis berkepanjangan yang mana pola tersebut bertahan hingga
pengimplementasian Chinese Dream oleh Xi Jinping. Selain dari pada itu
kebijakan membuka diri yang berbeda dari gaya rezim Mao menjadi
relevan dengan Chinese Dream.
4.1.1.4 Zheng Bijian
Zheng Bijian adalah salah satu intelektual penting di dalam Partai
Komunis Tiongkok (PKT). Zheng terakhir kali bertanggung jawab sebagai
Gambar 5.
Peningkatan Ekspor RRT
Sumber: Ross Garnaut & Ligang Song, “China: Twenty Years of
Economic Reform”. Dalam The Australian National University.
46
anggota Komite Pusat pada tahun 2002 yang mempertemukannya dengan
Presiden Hu Jintao dan Perdana Menteri Wen Jiabao. Setahun setelah
pertemuannya dengan dua tokoh penting PKT sekaligus pemimpin RRT,
Zheng berkesempatan untuk memberikan pidato selama sesi pleno Forum
Bo‟ao untuk Asia (Bo’ao Forum for Asia), 3 November 2003. Pidato yang
diberi judul “A New Path for China’s Peaceful Rise and the Future of
Asia” kemudian memperkenalkan pendekatan baru Tiongkok dalam
rangka menyongsong kebangkitan Tiongkok, yaitu “kebangkitan damai”
Tiongkok (China’s peaceful rise, 和平觉醒) (Bijian, 2005: 14-19).
Menurut Zheng Bijian, dalam dua atau tiga dekade ke depan, atau selama
awal abad ke-21, Asia akan menghadapi kesempatan sejarah yang langka
untuk kebangkitan damai, dan kebangkitan damai Tiongkok akan menjadi
bagian dari kebangkitan Asia itu sendiri. Artinya, Tiongkok akan
memainkan peran penting dan aktif dalam pembangunan, kesejahteraan,
dan stabilitas negara-negara Asia (Bijian, 2005: 19).
Perdana Menteri Wen Jiabao kemudian memformulasikan
pendekatan yang ditawarkan Zheng Bijian selama pidato pleno tersebut
menjadi strategi RRT yang bertujuan untuk menjadikan Tiongkok sebagai
kekuatan masa depan. Wen Jiabao mengkarakterisasi RRT dalam tiga
zaman, yakni pada masa lalu Tiongkok merupakan negara kuno besar yang
menciptakan peradaban hebat, saat ini (masa pemerintahan Hu Jintao,
(2003-2008) Tiongkok sedang mengalami reformasi dan proses membuka
diri, dan di masa depan Tiongkok akan menjadi negara besar yang
berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas dunia (Jiabao, 2003).
Berkenaan dengan tujuan masa depan kebangkitan damai Tiongkok,
Jiabao merumuskan lima poin penting, yaitu: memajukan perdamaian
dunia melalui pembangunan Tiongkok, bergerak berbadasarkan kekuatan
dan kerja keras independen Tiongkok sendiri, membuka diri terhadap
perdagangan internasional, memastikan kebangkitan damai berjalan dari
zaman ke zaman, dan tidak menjadi ancaman bagi negara lain (Jiabao,
2014).
47
4.1.2 Pertimbangan multifaktor: Chinese Dream
Sun Tzu dalam “Art of War” pernah menjelaskan bahwasannya
menang atau tidaknya peperangan ditentukan dari seberapa banyak
pertimbangan atau kalkulasi, yang artinya semakin besar dan
komprehensif pertimbangan, maka semakin tinggi pula peluang
memenangkan pertempuran (Giles, 1910: 3-4). Tidak banyak berbeda dari
pandangan Sun Tzu – di era kolosan Tiongkok – kebijakan luar negeri pun
membutuhkan berbagai macam pertimbangan dan kalkulasi. Hudson
(2005: 2; 2014: 175) misalnya menggarisbawahi keperluan akan
pertimbangan multifaktor dan penggunaan level analisis yang tepat.
Multifaktor berarti kalkulasi sebelum pencanangan suatu kebijakan luar
negeri membutuhkan berbagai bidang pertimbangan, di antaranya
pertimbangan potensi ekonomi, politik dan keamanan-militer. Adapun
dalam hal ini, Hudson (2014: 175) menggunakan analisis sistem guna
menganalisis kebijakan suatu negara. Terakhir, Palmer dan Morgan (2006:
21) menjelaskan keberadaan dua jenis kebijakan luar negeri, yaitu untuk
mengubah status quo atau mempertahankan status quo.
Indo-pasifik menjadi kawasan baru yang sangat diperhitungkan
dewasa ini tidak lepas dari dua komponen penting penyusunnya, yaitu
populasi dan geografi. Dalam kalimat lain, keutamaan Indo-Pasifik
dikatakan sebagai pusat gravitasi dunia disebabkan oleh besarnya kawasan
dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah cakupannya. Modal populasi
dan luas wilayah sekaligus membentuk dasar-dasar pertimbangan
ekonomi, politik, dan keamanan-militer.
Selanjutnya, Xi Jinping melalui kebijakan Chinese Dream
merupakan enkapitulasi dari tujuan kembar pendiri dan masyarakat
Tiongkok selama berabad-abad, yakni mencapai masyarakat yang madani
atau sejahtera dan memasuki masyarakat yang modern. Kesemua tujuan
tersebut pada dasarnya berkaitan dengan ikhwal pembaharuan
(rejuvenation) RRT kearah pembangunan nasional. Untuk tujuan luhur
berabad-abad ini, Indo-Pasifik menjadi ranah yang tepat dalam rangka
48
memenuhi kebutuhan RRT. Searah dengan posisi Indo-Pasifik bagi RRT,
Medcalf (2018) melalui Australian Financial Review menyatakan sebagai
berikut:
Tiongkok berusaha mengecilkan persepsi bahwa itu [Indo-Pasifik]
harus mencapai kesepakatan dengan kepentingan dan kedaulatan yang
setara. Karena itu, ia memilih untuk melihat Indo-Pasifik sebagai kode
untuk realitas yang tidak mengenakan. Tetapi istilah itu tidak perlu
dimuat secara politis. Ini adalah gambaran objektif tentang wilayah
maritim kebangkitan Tiongkok.
Melalui istilah berbeda, Indo-Pasifik menyajikan potensi bagi RRT untuk
dieksplorasi sebagai katalisator atau pemercepat keterpenuhan tujuan
Chinese Dream. Pertama, Indo-Pasifik menyajikan potensi ekonomi yaitu
berhubungan dengan pasar, sumber daya manusia, dan rute perdagangan.
Kawasan Indo-Pasifik tersusun atas regional-regional lain di
bawahnya, yakni Asia Selatan, Asia Timur dan Pasifik, Asia Tenggara,
dan Australia dan Selanda Baru. Berangkat dari luasnya regional
penyusunnya, World Bank (2018) mencatat pada tahun 2017 Indo-Pasifik
terdiri atas lebih dari 4,7 miliar penduduk atau 60 persen dari total
populasi dunia. Luas kawasan dan jumlah populasi yang mencapai lebih
dari setengah populasi dunia berasal dari regional-regional berikut:
Tabel 4.3
Luas Wilayah dan Populasi Indo-Pasifik tahun 2017
WTO (2018) mencatat, RRT secara konsisten mampu
mempertahankan dirinya sebagai negara eksportir terbesar di dunia dengan
total ekspor dalam rentang tahun 2016-2017 mencapai 2.100 miliar dolar
AS – bahkan lebih tinggi dari total nilai bilamana negara eksportir teratas
Regional Luas Wilayah
(tidak termasuk luas perairan) Populasi
Asia Selatan 0,413 juta km2 1,788 miliar
Asia Timur dan Pasifik 11,839 juta km2 2,314 miliar
Asia Tenggara 4,494 juta km2 648,780 juta
Australia dan Selandia Baru 7,7 juta km2 24,598 juta
Total 24 juta km2 4,775 miliar
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
49
kedua dan ketiga digabungkan. Beranjak dari kekuatan RRT sebagai
negara pengekspor terbesar, potensinya menjadi lebih positif di kawasan
Indo-Pasifik, sebab kawasan tersebut menjadi salah satu tujuan utama
ekspor RRT di tahun 2016 menjelang 2017. Oleh karenanya, bukan
merupakan harapan kosong jika Indo-Pasifik (Asia Timur, Pasifik dan
Asia Selatan) berpotensi sebagai target pasar Xi Jinping melalui kebijakan
Chinese Dream.
Tabel 4.4
Tujuan dan Nilai Ekspor RRT Selama 2016-2017
Potensi ekonomi Indo-Pasifik bagi kebijakan Chinese Dream
selanjutnya dipengaruhi oleh struktur demografi penduduk di tahun-tahun
mendatang. Secara khusus, Indo-Pasifik ditempati oleh beberapa negara
berkembang dengan populasi besar, seperti India, Indonesia dan Pakistan.
Di sisi lain, populasi ketiga negara tersebut, kemudian berbanding terbalik
dengan penerimaan ketenagakerjaan. Baik India, Indonesia dan Pakistan
belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang optimal. Pakistan
belum mampu memberikan 3,62 juta penduduknya lapangan pekerjaan di
tahun 2016, disusul Indonesia sebanyak 6,87 juta pengangguran di tahun
2018 dan India sebesar 44,85 juta penduduk yang tidak bekerja pada usia
produktif di tahun 2017 (Trading Economics, 2018).
Tabel 4.5
Tujuan Ekspor RRT Nilai Ekspor (Dollar AS) Persentase (%)
Asia Timur dan Pasifik 820.846.549,56 39,13
Eropa dan Asia Tengah 423.479.174,46 20,19
Amerika Utara 413.220.160,85 19,70
Timur Tengah dan Afrika Utara 123.331.681,51 5,88
Amerika Latin dan Karibian 113.116.468,59 5,39
Asia Selatan 95.840.241,74 4,57
Sub-Sahara Afrika 64.069.550,85 3,05
Total 2.097.637.171.90 100
Sumber: World Bank, China 2016 Export Partner Share, 2018, diolah.
50
Populasi Usia Produktif
Ketidaksiapan negara-negara berkembang untuk secara optimal
menyerap penduduk dalam usia produktif kedalam dunia kerja, sekaligus
menjadi potensi bagi RRT dalam rangka mengimplementasikan Chinese
Dream, baik melalui pendirian perusahaan, investasi, maupun pinjaman.
Chinese Dream selanjutnya menjadi rasional bilamana menilik demografi
kawasan di tahun 2030, bahkan tahun 2050, di mana beberapa negara
memiliki penduduk usia produktif lebih besar dari pada penduduk usia tua
dan anak-anak. Menjadi lebih potensial bilamana membandingkan rata-
rata upah RRT dengan beberapa negara dengan populasi tinggi yang lebih
murah bila disejajarkan dengan RRT.
Atas dasar keberadaan penduduk yang tidak mampu diserap
keterbatasan lapangan pekerjaan, prediksi pertambahan usia produktif
Gambar 6.
Pendapatan Bulanan RRT dan Negara Lain
Sumber: ILO, “Wages in Asia and the Pacific and the Arab States”.
Dalam International Labour Organization, 2016.
Negara Populasi Usia Produktif (15-64)
2015 (Juta) 2030 (Juta) 2050 (Juta)
RRT 1007,5 962,6 794,5
India 860 1033,3 1144, 6
Indonesia 172,9 201,1 212,5
Pakistan 114,3 156,3 206,2
Sumber: Kang dan Magoncia, How to Fill the Working-Age Population
Gap in Asia, 2016, diolah
51
yang sulit dibarengi kepastian akan akses terhadap pekerjaan dan rata-rata
gaji yang relatif kecil bila dibandingkan dengan RRT setiap bulannya,
maka potensi ekonomi Indo-Pasifik bagi kebijakan Chinese Dream
menjadi relevan teruntuk pertimbangan operasional menurut Hudson
(2005: 7).
Pertimbangan ekonomis Chinese Dream lainnya bertalian erat
dengan posisi strategis Indo-Pasifik yang membujur di dua Samudra
sekaligus, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. sebagai contoh, posisi
strategis dari Indo-Pasifik sebagai lahan potensial bagi implementasi
Chinese Dream tercermin jelas dari pengaruhnya terhadap rute
perdagangan internasional di Samudra Hindia. Berlandaskan pentingnya
rute Samudra Hindia, secara langsung mengacu pada nosi bahwa negara
manapun yang mampu menguasai di Samudra Hindia akan secara otomatis
menguasai perdagangan dunia. Fenomena tersebut memungkinkan sebab
tiap tahunnya terdapat sekitar 100.000 kapal yang berlayar di Samudra
Hindia dan 84 persen di antara distribusi energi ke seluruh dunia juga
melewati samudra tersebut, selanjutnya Gambar 7 di bawah menunjukan
38 juta barel minyak melintasi samudra ini setiap harinya (Albert, 2016).
52
Faktor pertimbangan kedua ialah dimensi potensi politik bagi
implementasi Chinese Dream di kawasan Indo-Pasifik. Pengaplikasian
Chinese Dream merupakan perpanjangan tangan dari tujuan Tiongkok
guna menciptakan pembangunan perdamaian di kawasan, sekaligus
menyeimbangkan pengaruh Amerika Serikat di regonal Indo-Pasifik.
Ihwal pembangunan perdamaian kawasan inilah yang kemudian
diterapkan RRT pada kebijakan-kebijakannya terhadap Korea Utara
sebagai contoh nyata. Potensi RRT dalam rangka memperluas pengaruh
politiknya di kawasan dapat di mulai dari Korea Utara dikarenakan hingga
tahun 2017, ketergantungan Korea Utara akan suplai pangan dan energi
mencapai 90 persen dari total volume perdagangan yang dilakukan Korea
Utara (Albert, 2018).
Hingga saat ini ketergantungan Korea Utara akan suplai kebutuhan
domestik dari RRT dan secara langsung menghindari instabilitas dari
rezim Kim Jon-un seperti yang terjadi pada tahun 1990an ketika mencapai
3 juta warga Korea Utara meninggal akibat wabah kelaparan (Manyin &
Nikitin, 2014: 10). Di sisi lain, RRT membutuhkan Korea Utara sebagai
aliansi politiknya di Asia Timur, terutama jika melihat demografi Asia
Timur, khususnya Jepang dan Korea Selatan sebagai aliansi AS. Selain itu,
ketakutan RRT terletak pada kemungkinan keruntuhan Korea Utara akibat
wabah kelaparan atau instabilitas politik bisa mengarah kepada pengabil-
53
alihan Korea Utara oleh Korea Selatan akan mengikutsertakan AS dan
kekuatan militernya yang bermarkas di Pantai Timur Korea Selatan.
Ketakutan ini searah dengan pendapat Profesor Jennifer Lind ketika
diwawancarai CCN: “Tiongkok lebih akan lebih memilih kepemilikan
nuklir oleh Korea Utara, karena ketakutan yang lebih besar adalah
keruntuhan rezim tersebut” (Lind, 2017).
Faktor pertimbangan ketiga adalah potensi keamanan-militer.
Tiongkok berusaha mengamankan potensi mencapai tujuan keamanan-
militer secara berhati-hati agar tidak membahayakan stabilitas regional
yang hingga saat ini masih kritis – khususnya bila melihat beberapa
sengketa perbatasan darat di Indo-Pasifik. Searah dengan dukungan
terhadap kebijakan Chinese Dream, keseriusan Tiongkok terrefleksi pada
tahun 2017, di mana RRT menganggarkan 228 miliar dolar AS –
meningkat 110 persen dari tahun 2008 – atau setara dengan 13 persen dari
total anggaran militer dunia (SIPRI, 2018).
4.2 Free and Open Indo-Pacific
Sejak terpilih untuk memimpin administrasi di awal tahun 2017, Free and
Open Indo-Pacific telah menjadi kebijakan luar negeri yang paling disoroti
Presiden Donald Trump selama kunjungan dan pidato kenegaraannya. Pada 10
Gambar 8.
Persentase Anggaran Militer Negara-Negara Tahun 2017
Sumber: SIPRI, “Trends in World Military expenditure 2017”. Dalam
SIPRI Fact Sheet, Mei 2018.
54
November 2017 misalnya, Trump memperkenalkan Free and Open Indo-Pacific
ketika memberikan pidato kunci pada pertemuan Asia-Pacific Economic
Cooperation (APEC) di Vietnam. Trump menggaris bawahi bahwasannya
kebijakan yang sedang diusahakannya tersebut menjadi sangat penting tidak
hanya untuk Amerika Serikat (AS), namun terkhusus bagi negara-negara yang
berada di kawasan Indo-Pasifik. Kepentingan atau urgensi dari penerapan
kebijakan Free and Open Indo-Pacific terlebih didasarkan pada keberadaan RRT
yang dianggap tidak adil dikarenakan memproteksi pasar dalam negerinya,
sementara secara terus menerus mengirim produk nasionalnya kepada negara-
negara lain, sehingga menjadi relevan bilamana pada bagian pertimbangan
multifaktor, kebijakan AS lebih berfokus pada perkembangan RRT di kawasan,
bila dibandingkan dengan potensi Indo-Pasifik sendiri. White House (2017)
mencatat pidato Trump sehubungan dengan pengenalan dan tantangan AS dalam
rangka menerapkan kebijakan Free and Open Indo-Pacific sebagai berikut:
“Saya merasa terhormat untuk membagikan visi kami untuk Indo Pasifik
yang bebas dan terbuka ... Sayangnya, sudah terlalu lama dan di banyak
tempat, hal sebaliknya terjadi. Bertahun-tahun Amerika Serikat secara
sistematis membuka ekonomi kai dengan sedikit persyaratan. Kami
menurunkan atau menghapus tarif, menyederhanakan hambatan
perdagangan, dan mengijinkan aliran barang luar negeri untuk masuk
secara bebas ke dalam negara kami. Akan tetapi, ketika kami
menurunkan hambatan perdagangan, negara-negara lain tidak membuka
pasar mereka kepada kami ... Ketidakseimbangan perdagangan saat ini
tidak dapat diterima. Saya tidak menyalhkan Tiongkok atau negara lain
yang mana hanya mengambil keuntungan dari perdagangan Amerika
Serikat”.
Presiden Trump membangun terma Indo-Pasifik bukan dimaknai secara
sempit guna memberikan sentuhan baru bagi kawasan Asia dan Asia-Pasifik
secara tradisional – bila mengacu pada administrasi sebelumnya, namun searah
dengan pernyataan Dindo Manhit (2017) yang menjelaskan pergantian istilah
Asia-Pasifik menjadi Indo-Pasifik di mana bukan sekedar perubahan nomeklatur,
juga tidak hanya menegaskan pergantian pandangan tentang lingkup regionalisme
tertentu; akan tetapi sebagai manifestasi dari antisipasi terhadap pergeseran
kerangka strategi, sehingga Free and Open Indo-Pacific juga berarti kebijakan
55
yang dilandaskan pada ancaman atau ketakutan AS terhadap pergerakan kebijakan
RRT. Antisipasi terhadap pergeseran strategi yang dimaksud selanjutnya
dijabarkan Alex Wong (2018) – Deputi Asisten Sekeretaris Biro Hubungan Asia
Timur dan Pasifik Amerika Serikat – dengan menguraikan perihal dua sokoguru
yang menyusun kebijakan Free and Open Indo-Pacific, yaitu prinsip bebas (free)
dan terbuka (open).
Melalui prinsip bebas, Trump sedang memberikan dua pandangan.
Pertama-tama adalah keinginan akan kebebasan bagi negara-negara di Indo-
Pasifik dari tekanan, sehingga mereka mampu mencapai kepentingannya di
kawasan. Kedua, Presiden Trump menginginkan masyarakat Indo-Pasifik agar
bebas secara progresif – dalam pengertian good governance, jaminan pada hak
asasi dan transparansi. Selanjutnya, pada bagian keterbukaan, pertama ialah visi
Trump guna membuka komunikasi jalur laut dan udara. Secara khusus, jalur laut
merupakan nadi bagi regional mengingat 50 persen dari perdagangan dunia
melalui Indo-Pasifik, terutama melalui Laut Tiongkok Selatan (Wong, 2018).
Kedua, AS melalui kebijakan Free and Open Indo-Pacific mendorong
pembangunan infrastuktur regional dan peningkatan investasi. Terakhir, kebijakan
ini bermaksud agar mendorong perdagangan bebas yang resiprokal, sehingga
setiap negara tidak mengalami defisit akibat gap antara ekspor dan impor.
Di sisi lain, berbeda dengan Chinese Dream yang bersifat revisionis atau
bermaksud mengubah status quo dengan slogan rejuvenation sebagai narasi
utama, kebijakan Free and Open Indo-Pacific merupakan cara AS guna
mempertahankan status quo. Sifat kebijakan sebagai instrumen mempertahankan
posisi AS secara eksplisit dinampakan dalam National Security Strategy terbitan
Desember 2017 yang mana menjelaskan ikhwal respon AS terhadap pertumbuhan
kekuatan politik, ekonomi dan militer dunia (White House, 2017). Trump menilai
Tiongkok sedang menguji kekuatan, pengaruh dan kepentingan AS, serta ingin
mengikis keamanan dan kesejahteraan nasionalnya melalui penciptaan
perdagangan tidak bebas dan adil dan pengembangan militer (White House, 2017).
Oleh karena perspektif Trump inilah, bilamana penerapan revisionisme RRT
melalui Chinese Dream mempertimbangkan potensi Indo-Pasifik, AS melalui
56
Free and Open Indo-Pacific diambil berdasarkan pertimbangan tantangan atau
ancaman jika AS membiarkan RRT memanfaatkan potensi Indo-Pasifik.
Kepentingan AS dalam Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka dapat
ditarik kembali ke masa-masa paling awal republik ... Walaupun Amerika
Serikat berusaha untuk melanjutkan kerja sama dengan Tiongkok,
Tiongkok menggunakan dorongan dan hukuman ekonomi, operasi
pengaruh, dan menerapkan ancaman militer untuk mempersuasi negara
lain untuk mengindahkan agenda keamanan dan politik mereka. Investasi
infrastruktur Tiongkok dan strategi perdagangan yang menguatkan
aspirasi geopolitik mereka. Usaha mereka untuk membangun dan
memiliterisasi pangkalan di Laut Tiongkok Selatan membahayakan
kebebasan arus perdagangan, mengancam kedaulatan bangsa lain, dan
merusak stabilitas kawasan [Indo-Pasifik] (White House, 2017: 46).
4.2.1 Dasar historis Free and Open Indo-Pacific
Kebijakan Free and Open Indo-Pacific yang hingga saat ini
didengungkan Presiden Trump tidak bisa dipisahkan dari pengalaman-
pengalaman historis AS yang begitu kental akan rivalitas dengan negara
lain. AS sebagai negara ekspansionis bisa ditelusuri dari dasar
terbentuknya negara itu sendiri. Berawal dari hasrat akan kebebasan dan
pencarian kebahagiaan (pursuit of happiness), sekelompok orang Eropa –
khususnya dari Britania – melakukan penjelajahan ke tempat-tempat asing
untuk ditempati. Filosofi ekspansionis ini kemudian mengakar dan
diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih moderat. Keinginan
AS untuk menguasai tempat-tempat baru di belahan dunia sudah tidak lagi
dilakukan dengan cara tradisional dengan menaklukan ras dan daerah
tertentu untuk ditinggali. Sejalan dengan hal tersebut, sejarah kontemporer
mencatat kebijakan luar negeri AS cenderung berfungsi untuk
mempertahankan hegemoninya.
Kebijakan Trump melalui Free and Open Indo-Pacific sejatinya
bukan yang pertama kali dicanangkan AS dalam rangka mempertahankan
hegemoni atau menjaga status quo. Kebijakan-kebijakan tersebut
selanjutnya dikategorikan berdasarkan periode berlangsungnya Perang
Dingin, yakni selama Perang Dingin dan setelah Perang Dingin. Pertama,
selama Perang Dingin AS terlibat aktif melaksanakan kebijakan menurut
57
Truman Doctrine serta terlibat dalam perang sipil, misalnya di
Semenanjung Korea. Kondisi pada saat Perang Dingin Tersebut memaksa
AS untuk menggalakan segala cara melalui kebijakan luar negerinya guna
menahan pengaruh Uni Soviet di dunia. Kemudian, berbeda dengan
periode selama Perang Dingin, saat ini ketika Perang Dingin telah usai –
ditandai dengan perpecahan Uni Soviet menjadi beberapa negara – dunia
tidak lagi terpolarisasi pada dua kubu saja. Oleh karena itu, tantangan bagi
AS tidak hanya datang dari satu polar tertentu, melainkan setiap negara
memiliki posisi tawar masing-masing dalam hubungan internasional.
Berangkat dari fakta tersebut, pada periode kedua atau periode setelah
Perang Dingin, peneliti mengambil dua kebijakan dari dua rezim terakhir
sebelum administrasi Presiden Trump, yaitu kebijakan Presiden George W.
Bush dan Presiden Barrack Obama. Selain terkenal dengan kebijakan
melawan terorisme akibat serangan 9/11, Presiden Bush menjadi rantai
sejarah penting bagi Free and Open Indo-Pacific dikarenakan memiliki
fokus kebijakan luar negeri terhadap Asia Timur (termasuk di dalamnya
Asia Tenggara) dan Presiden Obama memperluas fokus menjadi Asia
Pasifik melalui kebijakan Asia Pivot.
Truman Doctrine menjadi dogma awal yang mendasari kebijakan
membendung pengaruh Uni Soviet dan penyebaran ideologi komunisme,
khususnya di Yunani dan Turki (White House, 1947: 1-5). Dalam
pengertian tersebut, kebijakan luar negeri AS pada beberapa kasus tidak
hanya berfungsi untuk merespon Uni Soviet, melainkan juga untuk
menekan kelompok komunis dan gerakan revolusioner negara-negara yang
tidak memiliki sangkut paut dengan Uni Soviet. Pada kasus Yunani
misalnya, kelompok komunis dan sayap kanan pro pemerintah terlibat
konflik sipil. Konflik tersebut berujung dengan kemenangan kelompok
komunis diakibatkan oleh penarikan bantuan dari Britania yang
sebelumnya memasok pasukannya guna membantu sayap kanan. Di sisi
lain, AS turut cemas akan kemenangan kelompok komunis bilamana
kelompok tersebut memperkuat kekuasaannya melalui kerja sama afiliasi
58
dengan Uni Soviet. Lantaran kecemasan yang sama pula, Presiden Truman
kala itu mendesak kongres untuk segera menyetujui pengiriman bantuan
ekonomi dan militer, serta menginjeksikan demokrasi – kemudian dikenal
sebagai Doktrin Truman.
Terlepas dari sejarah panjang yang melibatkan AS berhubungan
dengan pandangan negara tersebut untuk menjaga status quo, Doktrin
Truman dapat dikatakan sebagai landasan dan bukti pertama AS ketika
memainkan kebijakan yang berfungsi untuk membendung pengaruh
negara lain. Dengan kata lain, kebijakan Free and Open Indo-Pacific yang
saat ini dipimpin Presiden Trump lebih kurang merupakan terjemahan dari
usaha AS dewasa ini guna menahan pengaruh Tiongkok di kawasan Indo-
Pasifik, layaknya yang tercantum dalam dokumen National Security
Strategy tahun 2017, walaupun tidak seintensif pada saat perlawanan
terhadap ideologi komunisme selama Perang Dingin. Kehadiran Tiongkok
di Indo-Pasifik dianggap Presiden Trump sebagai ancaman: “Tiongkok
berusaha untuk mengganti Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik,
memperluas model ekonomi yang didorong oleh negara, dan menata
kembali kawasan sesuai keinginannya” (White House, 2018: 25).
Adapun, selain kebijakan luar negeri berupa bantuan ekonomi dan
pembangunan, selama Perang Dingin AS turut serta mengintervensi
negara-negara dunia ketiga yang mengalami perang sipil lantaran
perpecahan ideologi internal. Kala itu, Semenanjung Korea menjadi salah
satu fokus AS di Asia Timur akibat posisinya yang berdekatan dengan
Tiongkok dan berbatasan darat dengan Korea Utara. Terlepas dari
kejayaan komunisme di Tiongkok, invasi Korea Utara kepada Korea
Selatan merupakan momentum penting pergeseran strategi containment
(membendung kekuatan komunisme selama Perang Dingin) yang berupa
ancaman diplomatis menjadi pembentukan aliansi militer yang secara aktif
melakukan agresi. AS selanjutnya mengirimkan militernya ke
Semenanjung Korea dalam upaya mencegah komunisme Korea Utara
menguasai seantero semenanjung. Pengiriman militer AS ke Semenanjung
59
Korea selama peperangan di tahun 1950an tersebut inilah yang kemudian
bertahan dan menjadi basis atau pangkalan militer AS hingga adminstrasi
Presiden Trump guna pengimplementasian Free and Open Indo-Pacific.
Gambar 9.
Basis Militer AS di Korea Selatan
Sumber: Joseph Bermudez Jr, dkk, “The The Conventional Military
Balance on the Korean Peninsula”. Dalam International Institute
for Strategic Studies.
60
Bagian kedua dari pertimbangan historis mengenai kebijakan Free
and Open Indo-Pacific ialah pada periode setelah Perang Dingin hingga
pada akhirnya Presiden Trump mengambil alih administrasi. Presiden
George Bush dan Barrack Obama dipilih sebagai rezim yang paling aktual
sebelum Trump menjabat. Di samping itu, penerapan politik dan kebijakan
luar negeri kedua mantan presiden paling tidak ikut membuka jalan bagi
implementasi Free and Open Indo-Pacific. Kebijakan Bush yang paling
terkenal lahir dari penciptaan diskursus internasional mengenai
peperangan atau perlawanan terhadap terorisme (war on terrorism). Dalam
berbagai kesempatan kunjungan kenegaraan di Asia-Pasifik, baik pada saat
menghadiri Asia-Pacific Economic Partnership (APEC), menjadi
perwakilan AS sebagai mitra wicara Association of Southeast Asia Nations
(ASEAN), maupun pada ASEAN Regional Forum (ARF) Presiden Bush
cenderung mereduksi bagian ekonomi dan memperbanyak diskursus-
diskursus politik-keamanan, khususnya mengenai aksi terorisme global.
Fokus administrasi Bush pada terorisme global, secara otomatis menuntun
kebijakan rezim tersebut pada wilayah Timur Tengah yang dianggap
sebagai pusat terorisme dunia dengan mendorong dukungan APEC
terhadap pemberantasan terorisme: “I want to thank the APEC nations who
are standing with young democracies in the Middle East that are under
assault by the terrorists and extremists” (US Department of State, 2007).
61
Fokus administrasi Bush kepada isu terorisme di regional Timur
Tengah dengan menghabiskan tenaga dan biaya di pihak lain
memperlemah sentralitas AS di Indo-Pasifik (khususnya di Asia Tenggara)
terhadap pertumbuhan pengaruh Tiongkok. Dengan kata lain, administrasi
Bush belum mampu mengartikulasikan respon yang tepat bagi signifikansi
Tiongkok di kawasan. Indikasi ketidakmampuan Bush dan AS dalam
menghadapi pengaruh RRT terutama di Asia Tenggara dapat ditemukan
dari berbaliknya kecenderungan mitra dagang dari AS ke Tiongkok. Di
mana pada tahun 2000 dan 2005 AS masih kokoh sebagai mitra dagang
utama ASEAN dengan nilai berturut-turut 122.218 juta dolar AS dan
153.823 juta dolar AS, yang mana berada di atas RRT senilai 32.316 juta
dolar AS dan 113.347 juta dolar; sedangkan bilamana beranjak lima tahun
setelahnya, RRT berhasil mengungguli AS dengan 178.223 juta dolar
Gambar 10.
Pengiriman Tentara AS ke Timur Tengah Desember 2008
Sumber: Amy Belasco, “Troop Levels in the Afghanistan and Iraq
Wars FY2001-FY2012”. Dalam Congressional Research
Service.
62
berbanding 148.780 juta dolar AS (ASEAN Secretariat, 2014: 14)
dikarenakan AS mengalami krisis subprime mortgage pada tahun 2006
akibat pejualan surat hutang secara berlebihan oleh bank. Nosi lemahnya
kemampuan Bush dalam rangka menanggapi perkembangan RRT dalam
upaya mengikis pengaruh AS sejalan dengan pendapat Cronin (2007:12):
“Kelemahan pendekatan administrasi [Presiden Bush]yang
paling mencolok adalah ketidakmampuannya sejauh ini untuk
mengembangkan respon efektif terhadap pertumbuhan peranan
dan pengaruh Tiongkok. Administrasi [Presiden Bush] tidak
mengartikulasikan visi secara jelas untuk peranan yang
seharusnya dimainkan Tiongkok di Asia Tenggara, dan
kekurangan dan keinginan akan berkurangnya bengaruh
signifikan kebijakan Beijing”.
Penekanan administrasi Bush kepada terorisme dan kawasan Timur
Tengah, kekalahan AS dari RRT bila ditinjau dari persaingan perdagangan
di Indo-Pasifik dan pergeseran bahkan memudarnya sentralitas AS
menjadi pertimbangan tertentu bagi penerapan Free and Open Indo-
Pacific. Adapun sebelum sampai pada kebijakan tersebut, pada dasarnya
administrasi Obama telah berusaha mengembalikan pengaruh AS di
kawasan Indo-Pasifik (Presiden Obama menggunakan istilah Asia-
Pasifik). Pada Januari 2012 administrasi Obama mengumumkan kebijakan
guna mengimbangi kembali (rebalance) posisi AS terhadap Tiongkok di
kawasan Asia Pasifik. kebijakan tersebut juga disebut dengan pivot Asia-
Pasifik yang berangkat dari dua hal, yakni konsentrasi Bush kepada perang
Afghanistan dan Irak bermuara terhadap terbengkalainya kepentingan AS
di Asia Pasifik dan dibarengi revisionisme RRT (Robertson, 2017: 1).
Perbedaan mencolok dari pendekatan pivot Obama dibandingkan
dengan kebijakan Free and Open Indo-Pacific terletak pada peranan
oorganisasi multilateral. Presiden Obama kala mengoperasikan pivot Asia
Pasifik aktif memainkan peranan di dalam APEC, ASEAN, ARF dan
bahkan TPP (Trans Pacific Partnership). Melalui ARF, AS berusaha
menggiring dan mewadahi anggota lainnya guna menempatkan Laut
63
Tiongkok Selatan (LTS) sebagai bagian dari kawasan navigasi yang bebas,
atau bukan bagian dari negara tertentu – atas klaim RRT. Adapun bila
Obama aktif terlibat selama keanggotannya di TPP. Obama berkesimpulan
bahwasannya TPP merupakan solusi untuk melawan Tiongkok dengan
cara mendorong perubahan kebijakan internal TPP yang menguntungkan
AS, terutama bagi golongan menengah: “With the TPP, we can rewrite the
rules of trade to benefit America’s middle class. Because if we don’t,
competitors who don’t share our values, like China, will step in to fill that
void”(Bruce Kennedy, 2015).
Adapun terlepas dari aktivitas keanggotan Obama di berbagai organisasi
regional TPP dan APEC, Presiden Trump menawarkan Free and Open Indo-
Pacific dikarenakan menilai organisasi multilateral tersebut sebagai langkah yang
kurang efektif. Kurangnya efektifitas keanggotaan AS dalam organisasi
multilateral melalui framework pivot Asia Pasifik tidak banyak berdampak bagi
tujuan mengimbangi kembali pengaruh Tiongkok. Fenomena tersebut nampak
dari defisit perdagangan AS di dalam transaksi ekspor-impor dengan negara-
negara anggota APEC seperti yang ditunjukan Gambar 16.
Gambar 11.
Transaksi Ekspor-Impor Intra-APEC tahun 2016
Sumber: APEC, “APEC in Charts 2017”. Dalam Asia-Pacific
Economic Cooperation.
64
4.2.2 Pertimbangan multifaktor: Free and Open Indo-Pacific
Selama perjalanan presidensial pertama di Asia pada bulan
November 2017, Presiden Trump selalu menekankan frasa “free and open
Indo-Pacific”. Frasa tersebut dibawakan hanya berselang beberapa minggu
setelah PKT meresmikan pemikiran Xi Jinping mengenai proyek Belt and
Road Initiative (BRI) di dalam konstitusi RRT pada 24 Oktober 2017.
Dengan kata lain, Trump sedang merespon percobaan RRT untuk
mengkapitalisasi dominasi ekonomi di kawasan Indo-Pasifik melalui
proyek-proyek ambisiusnya. Kebangkitan RRT menjadi kekuatan ekonomi
selama paling tidak satu dekade ini kemudian menjadi tidak bisa
dipisahkan dari kebijakan fundamentalnya guna mempercepat
industrialisasi produksi barang – seperti pada rezim Mao Zedong yang
menggenjot produksi agrikultur dan industri – dan penciptaan pasar
internasional.
Bentuk ancaman Tiongkok bagi posisi hegemoni AS di Indo-
Pasifik inilah yang berujung dengan publikasi National Security Strategy
(NSS), Desember 2017, yang mana menyebutkan „China‟ lebih dari 30
kali. Bahkan, secara lebih jauh Alyssa Ayres (2017) memandang
karakterisasi AS terhadap RRT di kawasan Indo-Pasifik sama dengan
karakterisasi AS terhadap Uni Soviet di saat Perang Dingin.
“Tiongkok adalah rival strategis yang menggunakan ancaman ekonomi
untuk mengintimidasi tetangganya sementara memiliterisasi Laut
Tiongkok Selatan. Rusia telah melanggar perbatasan dekat negara lain
dan mengejar kekuasaan veto terkait keputusan ekonomi, diplomasi,
dan keamanan. Begitpun tindakan melanggar hukum dan retorika
gegabah Korea Utara terlepas dari kecaman dan sanksi Perserikatan
Bangsa-Bangsa” (US Department of Defense, 2018: 1).
Kebijakan Free and Open Indo-Pacific sebagai bentuk reaski AS
terhadap Chinese Dream diejawantahkan melalui tiga aksi prioritas dalam
rangka menghadapi ancaman RRT di kawasan. Adapun dikarenakan
dikarenakan Free and Open Indo-Pacific ialah kebijakan reaksioner, maka
kemudian pertimbangan yang diangkat penulis tidak secara langsung
menjelaskan butir-butir implementasi dan potensi Indo-Pasifik terhadap
65
AS, namun respon AS terhadap kebangkitan RRT yang mencakup
ancaman bidang prioritas ekonomi, politik dan militer-keamanan.
Ancaman pertama datang dari sisi ekonomi. Melalui Free and Open Indo-
Pacific AS bertujuan mendorong kerja sama untuk menjaga keterbukaan
jalur laut dan transparansi praktik pembiayaan infrastruktur dan
menghapus hambatan perdagangan.
Semua ancaman perekonomian tersebut di kawasan Indo-Pasifik
dalam hubungannya dengan jalur laut erat kaitannya dengan manfaat
perairan Hindia dan Pasifik yang menjadi nadi bagi berbagai macam
perdagangan internasional. Trump melalui staf Biro Hubungan Asia Timur
dan Pasifik saat memberikan konferensi pers, 2 April 2018, meyakini
dengan memutus hambatan jalur laut dapat berdampak bagi distribusi
logistik dan investasi, serta meningkatkan kualitas infrastruktur. Akan
tetapi cita-cita tersebut diperhadapkan pada Jalur Sutra Maritim –
merupakan bagian dari BRI – sehingga menjadi tumpang tindih (overlap)
dengan strategi Presiden Trump. Fenomena kehadiran jalur maritim hasil
gagasan RRT semakin menjadi ancaman dan tantangan bagi penerapan
Free and Open Indo-Pacific jika melihat konektivitas yang telah dibangun
Tiongkok melalui Asia Tenggara, Oceania, Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik.
66
Pelabuhan-pelabuhan penting yang menghubungkan transportasi
perdagangan di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah berada di
bawah otoritas RRT. Pelabuhan tersebut di antaranya Kyaukpyu di
Myanmar, Hambantota di Sri Lanka dan Gwadar di Pakistan. Ketiga
pelabuhan tersebut menjadi pilihan RRT dikarenakan dapat memotong
ketergantungan terhadap Selat Malaka yang selama ini menjadi pilihan
satu-satunya transportasi dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik atau
sebaliknya. Adapun penguasaan RRT terhadap ketiga pelabuhan tersebut
ialah sebagai berikut:
Gambar 12.
Pelabuhan yang Dimiliki RRT
Sumber: Rani Mullen, “The New Great Game in the Indo-Pacific”.
Dalam National University of Singapore.
67
Tabel 4.6
Pelabuhan Milik RRT di Indo-Pasifik
Tingginya kepentingan RRT terhadap beberapa pelabuhan yang
telah dijabarkan menyebabkan negara tersebut berani untuk
menggelontorkan pinjaman dalam jumlah besar bagi pembangunan
infrastruktur. Di pihak Lain, Trump melalui Free and Open Indo-Pacific
bertujuan menegaskan dampak buruk dari beratnya hutang tersebut.
Negara seperti Sri Lanka pada akhirnya terpaksa memberikan kontrol
penuh bagi RRT terhadap pelabuhan Hambantota selama 99 tahun
dikarenakan tidak mampu membayar hutang. Untuk itu AS akan
mengutamakan kesepakatan perdagangan bilateral yang adil dan
resiprokal. Bekerja sama dengan mitra-mitra di Indo-Pasifik, yaitu
Australia dan Selandia Baru.
“Kita akan mengejar kesepakatan perdagangan bilateral yang
berlandaskan kepada asas keadilan dan resiprokal ... kita akan bekerja
bersama mitra untuk membangun suatu jaringan negara yang
mendedikasikan diri terhadao pasar bebas dan melindungi negara
mitra dari tekanan yang akan merusak kedaulatan ... Bekerja bersama
Australia dan Selandia Baru, kita akan menopang negara mitra di
kawasan Indo-Pasifik untuk meminimalir kerentanan terhadap fluktuasi
ekonomi dan bencana alam” (White House, 2017: 47).
Sumber: Rani Mullen, The New Great Game in the Indo-Pacific, 2018,
diolah.
No. Pelabuhan Perusahaan Asal
RRT
Besar Pinjaman
Pendanaan
(Dollar AS)
Lama
Kontrak
1 Kyaukpyu,
Myanmar
China CITIC Group 10 Milliar -
2 Hambantota,
Sri Lanka
Chinese Merchants
Port Holdings
Company (CM Ports)
1,1 Milliar 99 Tahun
3 Gwadar,
Pakistan
China Overseas Port
Holding
198 Juta 40 Tahun
68
Tantangan ekonomi berikutnya bagi AS ialah hambatan
perdagangan yang dipraktikkan RRT sejak beberapa dekade ke belakang.
Berbeda dengan negara-negara dengan perekonomian maju lainnya yang
menjaga nilai tukar sesuai dengan besaran pasar, RRT secara sengaja
menekan nilai tukar renminbi atau Yuan terhadap dolar AS. Sejak tahun
1998, pemerintahan Tiongkok menjaga nilai tukar dolar AS pada kisaran
8,28 yuan – saat ini kembali dtitekan pada angka 6,96 yuan (Morrison,
2018: 54). Kebijakan RRT inilah yang menyebabkan negara tersebut tidak
bersifat konsumtif terhadap produk-produk asing, lantaran biaya yang
sangat mahal. Selain untuk menekan konsumsi warga Tiongkok terhadap
barang impor, kebijakan penekan nilai mata uang atau kurs di lain pihak
menyebabkan barang ekspor dari RRT menjadi lebih murah di negara
penerima. Dengan kata lain RRT mendapatkan keuntungan ganda, baik
dari dalam, maupun dari luar. Adapun hambatan lain yang menjadi
ancaman bagi pengimplementasian Free and Open Indo-Pacific ialah
bagaimana RRT menjaga sirkulasi ekspor dengan menaikan atau
menurunkan pajak barang-barang sejenis yang masuk – disebut juga value-
added tax (VAT). Aktivitas Tiongkok ini selanjutnya berdampqk bagi
ketidakpastian pasar global, khususnya bagi produsen dan pemasok pasar
global.
Kedua, kebijakan Free and Open Indo-Pacific oleh Presiden
Trump pada dasarnya ditujukan untuk menjalankan fungsi politik. Sejalan
dengan kepentingan tersebut, bila mengacu pada penjelasan Ashley Tellis
dalam “Protecting American Primacy in the Indo-Pacific”, kebijakan AS
saat ini sudah seharusnya menjadi instrumen sebagai peredam pengaruh
RRT di Indo-Pasifik (Tellis, 2017). Oleh karenanya, menjadi sulit untuk
tidak mengakui bahwa Tiongkok dewasa ini telah bangkit sebagai
tandingan atau kompetitor AS. Tujuan politik yang didengungkan Free
and Open Indo-Pacific dalam rangka membawa perdamaian dan kerja
sama inklusif diterjemahkan melalui penguatan komitmen terhadap
kebebasan kelautan dan resolusi damai maritim dengan berdasarkan
69
kepada hukum internasional. Selain itu, AS bersama aliansi berniat agar
mencapai mampu menghentikan proliferasi nuklir di Semenanjung Korea.
Meneruskan komitmen AS terhadap kebebasan maritim dan
resolusi damai, Free and Open Indo-Pacific pada dasarnya merupakan
respon terhadap sikap ekspansionis RRT, khususnya di Laut Tiongkok
Selatan (LTS), sengketa kemaritiman tersebut berlangsung di antara RRT,
Taiwan dan empat negara anggota ASEAN (Malaysia, Filipina, Vietnam
dan Brunei Darussalam) di bagian selatan Tiongkok atau di pesisir pantai
timur Vietnam. Sengketa LTS sejatinya telah terjadi sejak 1980an, akan
tetapi mengalami eskalasi yang lebih tinggi sejak pecah baku tembak
antara kapal patroli RRT dan Filipina selama hampir satu setengah jam di
Kepulauan Spartly (Suharna, 2012 34). Secara lebih dalam, LTS menjadi
penting bagi pertimbangan kebjakan AS bilamana bersandar pada
pertimbangan politis dari LTS itu sendiri yang mana menjadi daerah
integral bagi jalur komunikasi maritim internasional (Sea Line of Code,
SLOC) sekaligus penghubung utama dan paling efisien antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik. Terkhusus bagi AS, 1,2 trilun dolar
perdagangan AS ditransfer melalui LTS setiap tahunnya.
Gambar 13.
Jalur Komunikasi Maritim (SLOC) LTS
Sumber: Karl Claxton, “China sea lines of communication”. Dalam
Australian Strategic Policy Institute.
70
Di sisi lain, Semenanjung Korea juga sedang dan akan menjadi
ancaman bagi penerapan Free and Open Indo-Pacific. Korea Utara secara
konsisten menantang kebijakan luar negeri AS pasca Perang Dingin
dengan cara mengejar kepemilikan senjata pemusnah massal dalam rangka
menantang aliansi AS di Asia Timur. Proliferasi senjata pemusnah massal
– senjata nuklir dan rudal balistik – telah mengubah Korea Utara dari
negara kecil yang hancur pasca Perang Korea, menjadi pembawa
kecemasan bagi kepentingan politis AS teruntuk aliansinya di Jepang dan
Korea Selatan. Bahkan Trump tidak pernah bisa memastikan dan
bersandar pada kesepakatan dengan Kim selama pertemuan mereka di
Singapura, 12 Juni 2018. Ketidakpastian tersebut menjadi jelas bilamana
berkaca dari aktivitas proliferasi rudal yang tidak berhenti atau sekedar
melambat setelah pertemuan di Singapura.
Ketiga, dinamika Indo-Pasifik menghadirkan tantangan dan
ancaman militer-keamanan bagi keberlangsungan pengaruh AS di
kawasan. RRT dengan segala kemajuannya paling tidak selama satu
dekade belakangan ikut serta memberikan corak tantangan militer-
keamanan itu sendiri. Di samping itu, kebijakan Free and Open Indo-
Pacific mengetengahkan kepentingan akan penguatan militer sebagai
bagian integral dan krusial dari usaha memperkuat kemitraan dan aliansi
dalam rangka menciptakaan arsitektur keamanan yang mampu menekan
potensi agresi, menjaga stabilitas dan memastikan kebebasan aksesi.
Departemen Pertahanan AS bahkan tidak berhenti pada cita-cita militer
keamanan, kebijakan Free and Open Indo-Pacific turut serta
menambahkan Tiongkok sebagai kompetitor atau pesaing strategis yang
dianggap mengintimidasi negara tetangga melalui kegiatan militerisasi:
“China is a strategic competitor using predatory economics to intimidate
its neighbors while militarizing features in the South China Sea” (US
Department of Defense, 2018: 1).
Keberadaan RRT sebagai kompetitor penerapan cita-cita
fundamental kebijakan Free and Open Indo-Pacific menjadi jelas bila
71
ditilik dari anggaran belanja miliyer kedua negara. Meskipun data SIPRI
(2018: 2) menunjukan AS masih terus bertengger di peringkat pertama
negara dengan pengeluaran militer terbesar di angka 610 miliar dolar AS,
RRT pun tetap membayangi AS di peringkat kedua dengan estimasi 228
miliar dolar AS di tahun 2017. Berdasarkan data yang sama, walaupun AS
mendominasi dengan 3 kali lipat anggaran militer AS, namun kondisi
tersebut mencerminkan kecenderungan terbalik, yakni terjadi penurunan di
sisi AS sebesar 14 persen dan kenaikan 110 persen di pihak RRT dalam
hal anggaran militer. Selain, ancaman ekstrenal RRT yang secara
konsisten menerapkan kebijakan anggaran militer besar, AS juga ditantang
akibat fokus yang terlalu besar, tidak hanya untuk mempertahankan
perimbangan kekuatan (balance of power) di kawasan Indo-Pasifik saja,
melainkan di kawasan lain, yakni Timur Tengah dan Eropa.
Gambar 14.
Bantuan Asistensi Militer AS
Sumber: Angela O‟Mahony, dkk, “US Presence and the Incidence of
Conflict”. Dalam Rand Corporation.
72
Grafik di atas mencerminkan fokus AS militer AS yang terlalu
banyak, tidak hanya ke kawasan Indo-pasifik, melainkan semua regional di
dunia. Hingga tahun 2012 bahkan Timur Tengah masih menjadi prioritas
utama. Keadaan seperti ini yang kemudian secara langsung membiarkan
ekspansi militer RRT leluasa di kawasan Indo-Pasifik tanpa perimbangan
kekuatan yang signifikan. Berangkat dari fenomena ini, kemudian Trump
melalui Free and Open Indo-Pacific mengutamakan kawasan tersebut
dengan cara memperluas aliansi dan kemitraan (US Department of
Defense, 2018: 9).
Pertimbangan-pertimbangan multifaktor yang telah dijabarkan,
baik dari sisi RRT dengan kebijakan Chinese Dream maupun pada sisi AS
yang meletakan kebijakan Free and Open Indo-Pacific sebagai alternatif
penangan terkait ancaman akibat aktivitas RRT di Indo-Pasifik. Oleh
karena itu, berikut penulis sertakan perbandingan singkat dari
pertimbangan multifaktor tersebut.
73
Tabel 4.7
Komparasi Pertimbangan Kebijakan Luar Negeri RRT dan AS
Faktor
Pertimb-
angan
Chinese Dream - RRT Free and Open Indo-Pacific - AS
Potensi Implementasi Ancaman Implementasi
Ekonomi 1. Potensi
Indo-Pasifik
sebagai
pasar dan
tujuan
ekspor RRT.
2. Potensi
kuantitas
populasi usia
produktif di
Indo-Pasifik
yang besar.
3. Potensi
kawasan
Indo-Pasifik
sebagai rute
perdagangan
dunia.
1. Membangun
proyek Belt and
Road Inititiative
bersama aliansi
sebagai institusi
ekonomi global
dengan tujuan
memberikan
barang publik,
seperti piutang,
infrastruktur
jalan, jembatan,
jalur kereta dan
pelabuhan.
1. Ancaman
RRT bagi
keterbukaan
jalur laut di
Samudra
Hindia dan
Pasifik.
2. Ancaman
RRT dalam
praktek
jebakan
hutang.
3. Ancaman bagi
jalur
perdagangan
maritim ketika
berbagai
pelabuhan di
Indo-Pasifik
telah dikuasai
RRT.
1. AS menguasai
investasi di
Bank Dunia
(IDA-IBRD)
untuk
membangun
proyek industri
dan transportasi
kepada negara
aliansi di Indo-
Pasifik.
2. Mengalokasi-
kan dana
nasional untuk
pembangunan
infratsruktur
dan mendorong
ekspansi bisnis
di negara-
negara Indo-
Pasifik.
Politik 1. Potensi
menyebar-
kan
pengaruh
melalui
organisasi
multilateral
di Indo-
Pasifik
2. Potensi
menciptakan
stabilitas
politik
Semenan-
jung Korea
1. Membantu rezim
politik
pemerintah
negara anggota
CICA, seperti
Kamboja dan
Pakistan dari
ancaman konflik
melalui bantuan
persenjataan dan
bantuan
kemanusiaan.
2. RRT memasukan
agenda antisipasi
politik
proteksionisme
AS ke dalam
rangkaian
pertemuan Joint
Leaders’
Statement RCEP
tahun 2017.
1. Ancaman
persebaran
pengaruh
politik RRT di
Indo-Pasifik
2. Ancaman
instabilitas
Semenanjung
Korea
dipolitisasi
RRT.
1. Membentuk
satuan kerja
Quadrilateral
dengan
Australia, India
dan Jepang
untuk melawan
pengaruh RRT.
2. Melakukan
embargo dan
menerbitkan
sanksi
CAATSA
terhadap Korea
Utara.
3. Donald Trump
dan Kim Jon-
Un menanda-
tangani
deklarasi
damai, serta
mempertahan-
74
3. Menerapkan
konsensus
bilateral yang
telah disepakati
dengan Korea
Selatan dan
mengadakan
pertemuan
berkala dengan
Korea Utara
untuk membahas
pelucutan nuklir
Korea Utara.
kan pertemuan
berkala dengan
pemimpin
Korea Selatan,
Moon Je-in.
Militer-
Kemanan 1. Potensi dari
modernisasi
Pasukan
Pembebasan
Nasional
(People’s
Liberation
Army, PLA) 2. Potensi
perluasan
pengaruh
militer di
Laut
Tiongkok
Selatan.
1. Penguatan
teknologi
persenjataan
pasukan angkatan
darat, laut, udara,
dan satuan
khusus yang
menangani
fasilitas rudal dan
nuklir balistik.
2. Membangun
pangkalan militer
di Kepulauan
Spratly dan
Paracels
1. Ancaman
peningkatan
kualitas
angkatan
bersenjata
RRT. 2. Ancaman
militerisasi
RRT di Laut
Tiongkok
Selatan.
1. Mempertahan-
kan kapabilitas
alutsista militer
AS di dalam
satuan angkatan
darat, angkatan
laut, korps
marinir dan
angkatan udara.
2. Membangun
USINDOPAC
OM atau
komando
militer khusus
di Kawasan
Indo-Pasifik.
3. Menggelar
patroli
Kebebasan
Navigasi di
sekitar
Kepulauan
Spratly dan
Paracels.
Kebijakan Chinese Dream selama era kepemimpinan Xi Jinping
pada dasarnya merupakan usaha internal RRT dalam rangka mencapai
kepentingan domestiknya melalui maksimalisasi potensi yang disediakan
kawasan Indo-Pasifik. Sejalan dengan hal tersebut, teori kebijakan luar
negeri mengkonfirmasi adanya pertimbangan multifaktor, dalam hal ini
ialah pertimbangan kebijakan Chinese Dream bilamana berkenaan dengan
potensi ekonomi sebagai tujuan ekspor dengan angka populasi tinggi, serta
75
menjadi rute bagi perdagangan internasional; potensi politik berkaitan
dengan peranan RRT di Semenanjung Korea yang menjadi salah satu
negara dalam memainkan peranan penting untuk menjaga stabilitas
perdamaian; dan potensi militer di mana RRT merupakan negara dengan
anggaran dan kekuatan militer terbesar kedua di dunia.
Di sisi lain, nilai potensi yang dimaknai RRT berbanding terbalik
dengan pertimbangan Donald Trump ketika mengeluarkan paket kebijakan
Free and Open Indo-Pacific. Secara mendasar, Free and Open-Indo
Pacific diperlukan AS guna menghadapi ancaman yang datang dari
kebijakan RRT. Pertimbangan ancaman tersebut di antaranya ancaman
ekonomi bilamana jalur laut di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik
menjadi tidak terbuka, metode jebakan piutang RRT (mengakuisisi
infrastruktur yang tidak mampu dilunasi negara peminjam), dan kondisi
ketika RRT menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Indo-Pasifik;
ancaman politik, yakni kedekatan relasi RRT dengan Korea Utara
sehingga menyulitkan AS mempengaruhi perdamaian Semenanjung Korea
sesuai agenda AS sendiri; dan ancaman militer RRT di Laut Tiongkok
Selatan yang mana sedang memiliterisasi kepulauan-kepulauan di laut
tersebut.
Berangkat dari pertimbangan potensi maupun pertimbangan ancaman, selanjutnya
BAB V berguna menguraikan kebijakan Chinese Dream yang awalnya dipakai
sebagai alat memaksimalisasi kepentingan RRT di kawasan, kemudian bergeser
sebagai instrumen rivalitas antara RRT dan AS. Adapun Chinese Dream ialah
kebijakan revisionisme Tiongkok guna mengubah status quo AS sebagai negara
hegemon di kawasan. Di pihak lain, Free and Open Indo-Pacific berfungsi untuk
mempertahankan hegemoni AS di Indo-Pasifik. Rivalitas antara kedua negara
terejawantahkan melalui implementasi kekuatan atau rivalitas pada aspek
ekonomi, politik dan militer (lihat tabel 4.7).