BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. …eprints.uny.ac.id/18546/7/BAB IV 10401244018.pdf ·...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. …eprints.uny.ac.id/18546/7/BAB IV 10401244018.pdf ·...
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum tentang Kabupaten Sleman
1. Letak Wilayah Kabupaten Sleman
Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110° 33′ 00″
dan 110° 13′ 00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan.
Wilayah Kabupaten Sleman sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang,
Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi
D.I.Yogyakarta (http://www.slemankab.go.id/profil-kabupaten-sleman,
Diakses 21 Juni 2014).
2. Sejarah Pembentukan Kabupaten Sleman
Secara administratif, keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak
pada Rijksblad Nomor 11 Tahun 1916 yang membagi wilayah Kasultanan
Yogyakarta (Mataram) dalam 3 (tiga) kabupaten, yakni Kalasan, Bantul,
dan Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman), dengan seorang bupati
sebagai kepala wilayahnya. Secara hierarkis, kabupaten membawahi
distrik yang dikepalai seorang Panji.
Dalam Rijksblad tersebul juga disebutkan bahwa Kabupaten
Sulaiman terdiri dari 4 (empat) distrik yakni:
a. Distrik Mlati, terdiri dari 5 (lima) onderdistrik dan 46
(empatpuluhenam) kalurahan;
b. Distrik Klegoeng, terdiri dari 6 (enam) onderdistrik dan 52
(limapuluhdua) kalurahan;
c. Distrik Joemeneng, terdiri dari 6 (enam) onderdistrik dan 58
(limapuluhdelapan) kalurahan;
d. Distrik Godean, terdiri dari 8 (delapan) onderdistrik dan 55
(limapuluhlima) kalurahan.
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad Nomor
12 Tahun 1916 yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten
keempat wilayah Kasultanan Yogyakarta, kemudian disusul dengan
Rijksblad Nomor 16 Tahun 1916 yang mengatur keberadaan
Kabupaten/Kota. Sedangkan Rijksblad Nomor 21 Tahun 11916 mengatur
keberadaan kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian pada tahun tersebut
wilayah Kasultanan Yogyakarta berkembang dari 3 (tiga) kabupaten
menjadi 6 (enam) kabupaten.
Pembagian wilayah Kasultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada
tahun 1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad
Nomor 1 Tahun 1927. Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah
Kasultanan disederhanakan menjadi 4 kabupaten yakni: Kabupaten
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Gunung
Kidul. Dalam hal ini, Kabupaten Sleman mengalami penurunan status
menjadi distrik Kabupaten Yogykarta.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami
reorganisasi dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta Nomor 13
Tahun 1940 tanggal 18 Maret 1940. Rijksblad tersebut membagi wilayah
Kasultanan Yogyakarta tetap dalam 4 (empat) kabupaten dengan
pemampatan pada distrik masing-masing kabupaten, yakni:
a. Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) distrik (Distrik Kota dan Distrik
Sleman);
b. Kabupaten Sleman, terdiri dari 4 (empat) distrik;
c. Kabupaten Kulon Progo, terbagi 2 (dua) distrik;
d. Kabupaten Gunung Kidul, terbagi 3 (tiga) distrik.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada
tahun 1942 dengan Jogjakarta Kooti, Kasultanan Yogyakarta lebih
memerinci wilayahnya sebagai berikut:
a. Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT Harjoningrat. Kabupaten
Yogyakarta dibagi menjadi 2 (dua) Kawedanan, yakni Kawedanan
Sleman dengan penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan Kawedanan
Kalasan dengan penguasa R. Ng. Pringgo Biyono.
b. Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT Dirjokusumo dan
wilayahnya dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul,
Kotagede, Godean dan Pandak.
c. Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT Djojodiningrat, dengan
wilayahnya terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari,
Playen, dan Semanu.
d. Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT Pringgohadiningrat,
dengan wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yakni
Nanggulan dan Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui
Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Dalam Koorei tersebut dinyatakan
wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima kabupaten, yakni
Kabupaten Kota Yogyakarta (Yogyakarta Syi), Kabupaten Sleman
(Sleman Ken), Kabupaten Bantul (Bantul Ken), Kabupaten Gunung Kidul
(Gunung Kidul Ken) dan Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo Ken).
Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula sebagai wilayah
Kabupaten.
Jogjakarta Koorei angka 2 menjadikan Sleman sebagai
pemerinthan kabupaten untuk kedua kalinya dengan KRT
Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman
membawahi 17 (tujuhbelas) kapewon (Son) yang terdiri dari 258
(duaratuslimapuluhdelapan) kalurahan (Ku). Ibukota kabupaten berada di
wilayah utara yang saat ini dikenal sebagai Desa Triharjo, di Kecamatan
Sleman.
Bila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten lainnya di
tanah Jawa, infrastruktur yang dimiliki Sleman sangat terbatas. Fasilitas
yang dimiliki adalah gedung pusat pemerintahan, pasar (yang saat ini
dikenal sebagai Pasar Sleman), masjid (Masjid Sleman), dan stasiun
kereta api (lokasinya telah berubah menjadi Taman Segi Tiga Sleman).
Sedangkan infrastruktur seperti alun-alun, penjara, markas prajurit sebagai
syarat ibukota tidak dimiliki.
Pada era revolusi, para pegawai pemerintah meninggalkan ibukota
Sleman ikut keluar kota mengatur strategi. Dalam keadaan demikian
perkantoran Pemerintahan Kabupaten Sleman menjadi sepi dan terjadi
“bumi angkut” oleh gerombolan masyarakat yang tidak
bertanggungjawab. Akibatnya gedung-gedung pemerintah tidak layak lagi
menjadi tempat pelayanan masyarakat. Dalam kondisi gedung-gedung
pelayanan yang memprihatinkan, Bupati Sleman KRT Pringgodiningrat
pada tahun 1947 memindahkan pusat pelayanan kabupaten ke
Ambarukmo, di Petilasan Dalem serta bekas pusat pendidikan perwira
polisi yang pertama di Indonesia (saat ini pendopo Hotel Ambarukmo).
Dalam hal ini, Ambarukmo merupakan pusat kegiatan pelayanan
pemerintahan, bukan ibukota kabupaten.
Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti KRT
Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948, wilayah
Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan formal. Sesuai
dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah
Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Sleman. Pada tahun 1950, Bupati
KRT Projodiningrat digantikan oleh KRT Dipodiningrat hinga tahun
1955. Selanjutnya, KRT Dipodiningrat digantikan oleh KRT
Prawirodiningrat yang menjabat Bupati Sleman hingga tahun 1959.
Pada masa itu Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 mengenai Pembagian Daerah
Republik Indonesia dan Aturan Otonomi Daerah, maka penyebutan
Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah Swatantra. Sebagai
implementasinya, Departemen Dalam Negeri menerbitkan peraturan
bahwa selain memiliki seorang Bupati yang diangkat secara sektoral
sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri, Kabupaten juga harus
memiliki kepala daerah yang dipilih legislatif (DPRD).
Dapat dinyatakan bahwa dalam periode pemerintahan ini, sebuah
kabupaten memiliki 2 (dua) Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala
Daerah Swatantra adalah Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring dengan
dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan
Presiden Nomor 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan kembali UUD
1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai seorang
Bupati/Kepala Daerah, yang dijabat oleh KRT Murdodiningrat.
Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat memindahkan pusat
pemerintahan ke Dusun Beran, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman. Pada
masa ini pula Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman mulai memiliki
lambang daerah.
Munculnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Hak
Otonomi Daerah ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II
Sleman dengan menerbitkan SK. Nomor 19 Tahun 1966 yang mengubah
sebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah
Kabupaten Sleman, dan DPRD Gotong Royong Tingkat II Sleman
menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten Sleman. Pada masa tersebut
ketua DPRD Gotong Royong dijabat oleh Soekirman Tirtoatmodjo.
Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong
pada tahun 1971, jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto.
Selanjutnya pada tahun 1974, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Hak Otonomi Daerah digantikan oleh Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada undang-
undang ini Pemerintah Daerah Sleman menggunakan penyebutan
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974, KRT Murdodiningrat digantikan oleh KRT
Tedjo Hadiningrat yang hanya menjabat selama 3 (tiga) bulan.
Selanjutnya posisi bupati dijabat oleh Drs. KRT. H Prodjosuyoto
Hadiningrat yang menjabat 2 (dua) periode yakni tahun 1974 hingga 1985,
dengan 2 (dua) kali penggantian ketua DPRD. Pada tahun 1977, posisi
Soelanto sebagai ketua DPRD digantikan oleh R. Soelarjo hingga tahun
1982, yang selanjutnya digantikan oleh Samingan H.S.
Pada tahun 1974, Drs. KRT. H Prodjosuyoto Hadiningrat
digantikan Drs. Samirin, yang menjabat selama satu periode yakni tahun
1985 hingga 1990. Pada masa jabatan Drs. Samirin, terdapat satu kali
pergantian ketua DPRD Sleman yakni pada tahun 1987. Pada tahun 1987,
Samingan H.S digantikan Letkol. Sudiyono yang menjabat 2 (dua) periode
masa jabatan yakni tahun 1987 hingga 1997.
B. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Telah Dilaksanakan di Pemerintah
Kabupaten Sleman
Berdasarkan hasil penelitian, batasan budaya Jawa meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa sebagai perwujudan cipta, karsa
dan karyanya. Budaya Jawa disini merupakan salah satu budaya daerah,
yaitu perwujudan budaya nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila
yang diselaraskan dengan jati diri masyarakat setempat, yang tak lain
adalah masyarakat Jawa. Unsur-unsur yang ada di dalam budaya jawa
yakni, meliputi:
1. Bahasa dan kesusasteraan Jawa;
2. Sistem pengetahuan, pemikiran dan filsafat Jawa;
3. Sistem religi atau religiotas Jawa;
4. Sistem mata pencaharian hidup, peralatan hidup dan teknologi;
5. Kesenian Jawa (termasuk arsitektur Jawa);
6. Adat istiadat Jawa; dan
7. Sistem Sosial Jawa.
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta “buddhayah”,
yakni bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Menurut
Koentjaraningrat (2002: 181) kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal
yang bersangkutan dengan akal. Dengan demikian budaya adalah daya
dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah
hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Menurut Budiono Herusatoto (2008: 1) setiap bangsa memiliki
kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku
bangsa lainnya, membuktikan bahwa peradaban suatu bangsa atau suku
bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasar pemikiran
dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Dasar-
dasar pemikiran masyarakat Jawa memiliki kekhasan sendiri, dimana
dalam kebudayaannya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang
sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-
nasehat bagi bangsanya. Dari data sejarah Jawa memang menunjukkan
tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan, bahasa dan religi
orang Jawa yang telah digunakannya sejak jaman prasejarah. Penggunaan
simbol dalam ketiga wujud budayanya itu dilaksanakan dengan penuh
kesadaran, pemahaman, dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara
tradisional dari satu generasi ke generasi yang berikutnya.
Menurut Anas Mubakkir selaku Kepala Seksi Sejarah, Nilai dan
Tradisi, secara umum nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Kabupaten
Sleman masih banyak dijumpai di masyarakat. Hal ini juga didukung oleh
Kardjono selaku Kepala Desa Tirtoadi, yang menyatakan bahwa nilai
kearifan lokal di Kabupaten Sleman banyak mengajarkan ajaran yang
mulia dan adiluhung, salah satu contoh adalah terkait dengan budaya
gotong royong, guyub rukun, golong gilig, dimana ajaran yang terkandung
didalamnya mengajarkan manusia untuk senantiasa bekerja sama dalam
segala aspek. Hal ini sejalan dengan kearifan kebudayaan Jawa yang bisa
dikembangkan sebagai dasar filosofis dan sistem nilai dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Sleman.
Setelah dilakukan cross check antar subjek diatas dapat
disimpulkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat
Kabupaten Sleman masih tumbuh subur khususnya masyarakat pedesaan.
Masih ada dan dipertahankan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
dilaksanakan secara bersama-sama baik dari sisi dana, tenaga, pemikiran,
musyawarah dan sebagainya. Nilai-nilai kearifan lokal dituangkan dalam
bentuk acara-acara seremonial, seperti misalnya pernikahan (mantenan),
kematian, kelahiran, bersih desa dan makam, dan dalam kegiatan swadaya
masyarakat yang memang masih diperlukan adanya kerja kolektif atau
gotong royong dan semangat kekeluargaan, seperti misalnya dalam
memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, dan
peringatan hari besar keagamaan seperti Hari Lebaran (1 Syawal) dan
tahun baru Jawa/Islam (1 Sura/ 1 Muharram), sedangkan dalam lingkup
organisasi kemasyarakatan yakni Rukun Tetangga/Rukun Warga yang
merupakan organisasi swadaya masyarakat dan bukan menjadi bagian
struktur organisasi pemerintahan formal, tetapi keberadaan Rukun
Tetangga/Rukun Warga masih diakui kemanfaatannya sebagai lingkup
kemasyarakatan yang membantu tugas-tugas umum administrasi
pemerintahan Dusun dan Kelurahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal
yang ada di Padukuhan Sanggrahan dan Desa Tirtoadi termasuk
musyawarah, gotong royong antar sesama warga, toleransi. Terutama
toleransi antar umat beragama juga sangat kental dirasakan. terbukti
dengan jarang munculnya konflik antar umat beragama.
Hal ini sesuai dengan sifat dan karakteristik budaya Jawa yakni
menekankan aspek kerukunan, hormat dan keselarasan sosial. Ada
beberapa kegiatan yang rutin dilaksanakan di masing-masing desa yang
ada di Kabupaten Sleman. Kegiatan-kegiatan tersebut diusulkan melalui
Musyawarah Rencana Pembangunan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut
dapat melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di
kehidupan para warga. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa pelatihan-
pelatihan untuk pengembangan Sumber Daya Masyarakat, bidang
kesenian tradisional, pelatihan kewirausahaan dan penanggulangan
kemiskinan. Seluruh kegiatan tersebut dikoordinasikan kepada seluruh
kepala dukuh yang ada di setiap desa. Program-program kemasyarakatan
yang dilakukan sesuai arahan langsung dari Pemerintah Kabupaten
Sleman sebagai upaya memfasilitasi warga masyarakat yang tersebar di
desa-desa di seluruh Kabupaten Sleman.
Kegiatan-kegiatan tersebut diajukan oleh Kepala Dukuh sesuai
dengan permintaan warga masyarakatnya dalam Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang). Musyawarah Rencana Pembangunan
dihadiri setiap Kepala Dukuh yang ada di setiap desa, dan di dalam
musyawarah tersebut dibahas mengenai rencana-rencana kegiatan
terutama kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan, kesenian dan
kebudayaan yang akan dilaksanakan setiap padukuhan.
Nilai-nilai kearifan lokal masih hidup dan berkembang di setiap
padukuhan di Kabupaten Sleman yakni meliputi gotong royong antar
warga, musyawarah, dan toleransi antar umat beragama. Dalam kegiatan
kemasyarakatan warga masih melaksanakan berbagai kegiatan yang
mengarah pada pelestarian nilai-nilai kearifan lokal yakni:
1. Kegiatan Siskamling yang dilaksanakan setiap hari, kegiatan ini
bertujuan untuk menjaga kemanan warga masyarakat;
2. Rapat pertamuan antar ketua RT dan warga setiap dua minggu sekali.
Pertemuan itu bertujuan untuk membahas kemajuan pembangunan di
setiap padukuhan;
3. Gotong royong, yakni kerja bakti yang diadakan setiap 1(satu) bulan
sekali. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai pemupuk rasa persaudaraan
antar warga masyarakat di setiap padukuhan;
4. Merti Dusun. Upacara Merti Dusun biasanya diiringi dengan acara
kenduri, malam tahlilan, dan puncaknya diadakan Pagelaran Wayang
Kulit.
Joko Sumarsono selaku Kepala Bagian Tata Pemerintahan
menjelaskan bahwa dengan latarbelakang berbagai perubahan kebudayaan
di Kabupaten Sleman, Pemerintah Kabupaten Sleman juga memiliki
Program Kecamatan sebagai Pusat Pelestarian Kebudayaan. Hal ini
didukung pula oleh pernyataan Anas Mubakkir bahwa kecamatan dalam
pengertian wilayah kerja, diarahkan sebagai wahana masyarakat untuk
melakukan aktivitas pelestarian kebudayaan agar tetap terjaga eksistensi
kebudayaan yang dimiliki dan berinteraksi dalam masyarakat sehingga
tumbuh kantong-kantong budaya. Selanjutnya, camat sebagai pemimpin
unit kerja diarahkan agar camat mampu memberikan inspirasi dan
keteladanan dalam lingkungan kerjanya, termasuk peningkatan koordinasi
dengan kepala desa sehingga masyarakat termotivasi untuk melestarikan
kebudayaan. Camat juga diharapkan mampu membuat kebijakan yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undanganan yang berlaku,
untuk memberikan ruang gerak terhadap tumbuh dan berkembangnya
kebudayaan baik dalam lingkungan maupun wilayah kerjanya. Kegiatan
yang dapat dilaksanakan dalam program ini adalah:
1. Pendapa Kecamatan digunakan tempat kegiatan budaya masyarakat;
2. Optimalisasi peran forum komunikasi pelestarian kebudayaan;
3. Pembuatan dan pemasangan slogan Bahasa Jawa disertai dengan
maknanya (Bahasa Indonesia);
4. Penamaan ruang kantor bernuansa budaya Jawa;
5. Pemasangan tokoh wayang disertai dengan watak dari tokoh tersebut;
6. Penggunaan Bahasa Jawa atau busana Jawa pada hari tertentu;
7. Pemberian pelayanan pada masyarakat dengan sikap andhapasor;
8. Memperdengarkan musik gamelan pada jam kantor;
9. Membuat kebijakan yang menumbuhkembangkan kebudayaan di
lingkungan kantor;
10. Kegiatan lain yang memberikan ruang gerak terhadap pelestarian
kebudayaan;
11. Pembuatan kelompok budaya di tingkat Desa/Dusun;
12. Mendorong sosialisasi terhadap nilai budaya melalui pemberian nama
gang atau jalan di tingkat Desa atau Dusun;
13. Mengapresiasi terhadap penyelenggaraan kegiatan budaya yang
dilakukan masyarakat, seperti merti desa, upacara adat, dan lain-lain;
14. Mendorong perilaku sadar budaya masyarakat (terpeliharanya rumah
tradisional, terjaganya temuan cagar budaya dan sebagainya;
15. Mendorong forum-forum atau sarasehan budaya yang diselenggarakan
masyarakat; dan
16. Membuat kebijakan yang menumbuhkembangkan kebudayaan di
wilayah kerjanya.
Berdasarkan hasil penelitian, dalam meningkatkan pelayanan
terhadap masyarakat. Pemerintah Kabupaten Sleman pada bulan Agustus
2014 mengesahkan Peraturan Bupati Nomor 13 tahun 2014 tentang
Pedoman Pelimpahan Kewenangan Bupati kepada Camat dan Keputusan
Bupati Sleman Nomor 59/Kep. KDH/A/2014 tentang Pelimpahan
Kewenanangan Bupati kepada Camat.
Pendelegasian kewenangan ini muncul untuk merespon dinamika
perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah menuju tata kelola
pemerintahan yang baik. Camat juga diberikan kewenangan untuk
mengelola pelayanan perizinan dan izin gangguan (izin HO). Berkenaan
dengan pelimpahan kewenangan tersebut Pemerintah Kabupaten Sleman
juga akan memberikan bimbingan teknis terkait dengan pelaksanaan dan
aturannya.
Camat pada kemudian hari akan berwenang dalam menyeleksi
permohonan izin berskala kecil di wilayah hukum masing-masing. Prinsip
dari pelimpahan wewenang ini adalah untuk lebih memudahkan pelayanan
terhadap masyarakat. Kebijakan ini untuk mersepon keluhan masyarakat
tentang rumit dan lamanya dalam mengurus perizinan di Kabupaten
Sleman. Bupati membagi kewenangan perizinan didasari tingginya
pengajuan permohonan perizinan di Kantor Pelayanan Perijinan Sleman.
Pelimpahan kewenangan ini menuntut camat lebih profesional, terlebih
pada kewenangan perizinan. Pertimbangannya, bahwa camat berinteraksi
langsung dengan masyarakat sehingga dituntut untuk memberikan
pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat. Diharapkan bahwa camat
bisa meminimalisasi potensi konflik atau friksi antar warga terkait
perizinan oleh lembaga tertentu atau perseorangan.
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui, bahwa dalam
rangka mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sleman,
diperlukan suatu acuan untuk memotivasi dan mengerahkan seluruh
potensi masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut Kabupaten Sleman
mencanangkan slogan gerakan pembangunan desa terpadu SLEMAN
SEMBADA. Dasar hukum landasan kekuatan slogan tersebut adalah
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 1992 tentang Slogan
Gerakan Pembangunan Desa Terpadu SLEMAN SEMBADA. Gerakan
pembangunan desa terpadu SLEMAN SEMBADA merupakan gerakan
dari, oleh dan untuk masyarakat Sleman dengan kekuatan sendiri. Artinya,
hasil-hasil dari dinamika tersebut diharapkan dapat dinikmati dan
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Tak dapat dipungkiri,
SLEMAN SEMBADA merupakan slogan baru. Akan tetapi nilai-nilai
yang dikandungnya bukanlah sesuatu yang baru karena slogan tersebut
merupakan kristalisasi dan formulasi dari nilai-nilai budaya dan kehidupan
keseharian masyarakat Sleman.
Secara harafiah Slogan SLEMAN SEMBADA diartikan sebagai
kondisi:
S : Sehat
E : Elok dan Edi
M : Makmur dan Merata
B : Bersih dan Berbudaya
A : Aman dan Adil
D : Damai dan Dinamis
A : Agamis
Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat menciptakan Dati II
Sleman yang Sejahtera, LEstari dan MANdiri. Ujung tombak gerakan
slogan SLEMAN SEMBADA berada di tingkat dusun, yang
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Kelompok Kerja LKMD bersama
tokoh masyarakat dan semua lembaga masyarakat yang di tingkat dusun.
Sedangkan pelaksanaan di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten pada
hakekatnya merupakan pendukung pelaksanaan slogan SLEMAN
SEMBADA di tingkat dusun. Dalam kehidupan sehari-hari, Slogan
SLEMAN SEMBADA diharapkan mewujud dalam: pembangunan
berwawasan lingkungan, budaya hidup bersih dan sehat, memberikan
motivasi dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan Sleman yang
bersih dan sehat
Kata SEMBADA memiliki makna utuh sebagai sikap dan perilaku
rela berkorban dan bertanggungjawab untuk menjawab dan mengatasi
segala masalah, tantangan, baik yang datang dari luar maupun dalam,
untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, kata
SEMBADA merupakan sikap yang SEMBADA (Bahasa Jawa) yang
merupakan kepribadian pantang menyerah, tabu berkeluh kesah, menepati
janji, taat azas dan bertekad bulat.
SLEMAN SEMBADA dinilai sejalan dengan prinsip-prinsip Good
Governance menurut UNDP/BPKP/LAN yakni, Partisipasi, Akuntabilitas,
Transparansi, Daya tanggap (responsive), Efektivitas dan efisien,
Kesetaraan, Penegakan Hukum, Wawasan ke depan, dan consensus
oriented.
Sunarso (2013: 173) mengutip definisi good governance menurut
UNDP yakni sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif, di antara
negara, sektor swasta dan masyarakat. Secara umum good governance
mengandung unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas, transparansi,
keterbukaan dan aturan hukum. Unsur-unsur tersebut meliputi:
1. Akuntabilitas
2. Transparansi
3. Keterbukaan
4. Aturan hukum
Berdasarkan perihal tersebut UNDP (badan PBB untuk program
pembangunan 1996) merumuskan karakteristik good governance sebagai
berikut:
1. Partisipasi, yaitu setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan, harus mempunyai hak suara yang sama dalam proses
pemilihan umum dengan kebebasan berpendapat secara konstruktif.
2. Penegakan hukum, yaitu kerangka yang dimiliki haruslah berkeadilan
dan dipatuhi.
3. Transparan, yaitu bahwa transparansi pemerintahan harus dibangun
dalam kebebasan aliran informasi yang ingin dimiliki oleh mereka
yang membutuhkan.
4. Daya tanggap, bahwa setiap lembaga dan prosesnya harus diarahkan
pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan
(masyarakat).
5. Berorientasi pada consensus, yaitu bahwa pemerintahan yang baik
adalah yang dapat menjadi penengah bagi berbagai perbedaan dan
memberikan suatu penyelesaian.
6. Berkeadilan, yaitu memberikan kesempatan upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup.
7. Efektivitas dan efisiensi, yaitu bahwa setiap proses kegiatan dan
kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan suatu yang benar-benar
dibutuhkan.
8. Akuntabilitas, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam pemerintah
dapat memiliki pertanggungjawaban pada publik.
9. Bervisi strategis, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam
pemerintah dapat memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang
tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan
manusia.
10.Kesalingterikatan, yaitu bahwa kesuluruhan ciri pemerintah
mempunyai kesalingterikatan yang saling memperkuat dan tidak bisa
berdiri sendiri.
Sebagaimana hasil wawancara terhadap subjek penelitian,
Pemerintah Kabupaten Sleman telah melaksanakan beberapa kebijakan
yang terkait dengan slogan Sleman Sembada. Program-program yang
telah dilaksanakan dan diambil dari nilai-nilai SEMBADA, yakni:
1. S yaitu Sehat, Pemerintah Kabupaten Sleman menyatakan bahwa
masyarakat Kabupaten Sleman harus sehat. Upaya dari Pemerintah
Kabupaten Sleman yakni menggiatkan seluruh Puskesmas memiliki
standar ISO. Standar kesehatan di Kabupaten Sleman lebih tinggi,
misalnya di dalam aturan Jampersal, ibu hamil minimal melakukan
pemeriksaan empat kali, akan tetapi di Kabupaten Sleman menerapkan
standar minimal pemeriksaan ibu hamil adalah dua belas kali.
2. E yaitu Elok, implementasinya adalah Pemerintah Kabupaten Sleman
mengusahakan tentang Ruang Terbuka Hijau. Pemerintah Kabupaten
Sleman juga sedang mengusahakan pembuatan Taman Sehati untuk
penanaman pohon-pohon khas dari Kabupaten Sleman.
3. M adalah Makmur, implementasinya adalah Pemerintah Kabupaten
Sleman memberikan subsidi untuk pupuk kepada petani yang ada di
Kabupaten Sleman.
4. B yaitu Bersih, Pemerintah Kabupaten Sleman sedang menggalakkan
pengelolaan sampah mandiri ditingkat RT dan RW, pada akhirnya
Pemerintah Kabupaten Sleman hanya mengelola residu dari sampah
rumah tangga. Diharapkan dengan kegiatan pengelolaan sampah
mandiri tersebut menciptakan lingkungan yang bersih dan ramah
lingkungan.
5. A yaitu Aman, selain menjadi tugas dari aparat kepolisian, keamanan
dapat tercipta dari sifat kegotongroyongan. Penanaman sifat
kegotongroyongan antar warga terus diupayakan oleh Pemerintah
Kabupaten Sleman. Setiap pos ronda di Kabupaten Sleman diusahakan
tidak dalam kondisi mangkrak (terbengkalai) dan fungsi pos ronda
ditingkatkan untuk keamanan warga masyarakat.
6. D yaitu Damai, Pemerintah Kabupaten Sleman telah mengupayakan
kedamaian warga masyarakatnya dengan adanya koordinasi di
pemerintah di bawah, yakni RT, RW dan Dukuh, jadi ketika ada
permasalahan antar warga diharapakan ada penyelesaian secara
musyawarah dan mufakat.
7. A yaitu Agamis, Kabupaten Sleman telah mengupayakan rasa
tenggang rasa antar umat beragama yang ada di Kabupaten Sleman
dengan rutin mengadakan acara-acara keagamaan baik ditingkat
pemerintahan maupun di masyarakat.
Upaya lainnya dalam melayani masyarakat, mempunyai program
indeks kepuasan masyarakat (IKM). Pemerintah Kabupaten Sleman
menargetkan untuk indeks kepuasan masyarakat (IKM) di tahun 2015
mencapai 79%, karena peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan
perubahan program reformasi birokrasi yang paling strategis dan
dampaknya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Pelayanan ini
termasuk pelayanan publik infrastruktur perhubungan, pertanisan,
pendidikan, kesehatan, air bersih, bahan pangan, perumahan, dan fasilitas
umum. Sedangkan dalam pelayanan jasa, termasuk kesehatan, pelayanan
administrasi perizinan maupun non-perizinan.
Pengaduan masyarakat terhadap Pemerintah Kabupaten Sleman
masih sering terjadi karena pelayanan publik masih sering terjadi pula.
Terutama dalam salah satu indikator dalam survey kepuasan masyarakat
yakni keramahan petugas. Pegawai front office sebagai aparat yang
melakukan hubungan dan komunikasi langsung dengan masyarakat perlu
dibangun dan dikembangkan sikap dan perilaku yang melayani, bukan
dilayani.
2. Nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang Dapat Diangkat
dalam Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Pengelolaan
Pemerintahan.
Sebagaimana hasil wawancara terhadap subjek penelitian, nilai-
nilai kearifan lokal yang ada di Kabupaten Sleman pada hakekatnya
merupakan nilai-nilai yang berasal dari Nilai Budaya Jawa Yogyakarta.
Nilai adalah ukuran yang harus ditegakkan untuk melestarikan irama
kehidupan yang sesuai dengan kodrat alam dan cita-cita luhur suatu
komunitas, masyarakat maupun bangsa. Nilai juga bisa diartikan sebagai
sesuatu yang dipandang penting, berharga, yang diprioritaskan atau
diutamakan.
Sebagai bagian dari wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Kabupaten Sleman juga menerima arus dari nilai-nilai
kearifan lokal yang bersumber dari Keraton Yogyakarta. Tidak bisa
dipungkiri bahwa sampai saat ini Keraton masih merupakan pusat
kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa. Selain sebagai pusat
kebudayaan Jawa, Keraton juga sebagai pusat etika, estetika, filsafat dan
bermacam-macam adat. Sebagai pusat kebudayaan, nilai-nilai dari
Keraton sering dipakai sebagai acuan oleh masyarakat (khususnya
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta) dalam pengembangan
kebudayaan mereka. Dari Keraton lah mengalir nilai-nilai dan simbol ke
bawah paling deras.
Makna kata budaya Jawa pada umumnya dan budaya Daerah
Istimewa Yogyakarta pada khususnya adalah nilai-nilai luhur (value),
keyakinan-keyakinan (beliefs), ideologi atau anggapan (assumption) yang
digunakan sebagai rencana atau pedoman perilaku dari generasi ke
generasi di kalangan masyarakat Jawa pada umumnya dan Daerah
Istimewa Yogyakarta pada khususnya.
Nilai (values) diartikan sebagai ukuran yang harus ditegakkan
untuk melestarikan irama kehidupan sesuai dengan kodrat alam dan cita-
cita luhut suatu komunitas masyarakat maupun bangsa. Keyakinan
(beliefs) diartikan sebagai sesuatu yang diterima sebagai hal yang benar
atau salah (right or wrong) dan tidak perlu diperdebatkan, dan yang
terakhir asumsi (assumption) adalah sesuatu yang diterima sebagaimana
adanya tanpa disadari (taken for granted) dan tidak perlu dibuktikan. Ada
banyak sekali nilai-nilai, keyakinan-keyakinan maupun asumsi-asumsi
yang dipergunakan oleh masyarakat di sekitar Keraton Yogyakarta
sebagai pedoman perilaku dalam memecahkan masalah. Beberapa
ungkapan budaya Jawa yang sarat dengan makna dan selaras dengan
karakteristik masyarakat Yogyakarta adalah:
1. Manunggaling Kawula Gusti
Ungkapan manunggaling kawulo gusti (prinsip tentang
kepemimpinan dari Keraton Yogyakarta yang berpihak kepada rakyat)
bermakna bahwa pemimpin berasal dari rakyat dan harus
mengabdikan diri hanya untuk kepentingan rakyat. Kepemimpinan
yang merakyat atau memihak kepada rakyat seharusnya menjadi dasar
bagi kepemimpinan di Kabupaten Sleman. Dimulai dari Kepala bupati,
sampai dengan Ketua RT dan RW harus mau merakyat, karena
pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan penindas rakyat.
2. Berbudi Bawa Leksana Ambeg Adil Para Marta
Dalam pandangan Jawa, seorang raja harus memiliki watak
berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (selalu memberikan
keadilan kepada segenap rakyat) berarti bahwa melalui
kepemimpinannya segenap rakyat dipuaskan karena menerima
keadilan. Berkaitan dengan itu, seorang raja haruslah seorang yang
gung binathara yaitu adil, berwatak mulia, pembela rakyat, dan
pelindung rakyat. Ciri kepemimpinan seperti yang digambarkan diatas
harus ditegakkan dan menjadi dasar evaluasi integritas.
3. Sabda Pandhita Ratu Tan Kena Wola-wali
Salah satu ciri kearifan yang berasal dari Keraton adalah sabda
pandhita ratu tan kena wola-wali (seorang pemimpin harus memiliki
komitmen) bermakna bahwa apa yang sudah dikatakannya harus
dilakukan. Perkataannya tidak berubah-ubah, plin-plan, tidak jelas,
apalagi dusta.
4. Keutamaan Integritas
Seorang pemimpin harus memiliki integritas yang sangat
tinggi. Dalam serat Nitipraja dikatakan bahwa: lamun sira tinitah
nrepati, wonten ta kecaping nitipraja, nista madya utamane, nista reke
jentan wruh, ing durgama mungsuhe prapti, katungkul ing pangulah,
dan-reksa ing ayun, ajrih kang kalungsura, jenengipun gara-gara
babo wani, asanggup ing ayunan (jika kamu ditakdirkan menjadi raja,
ada nasihat dalam Nitipraja, yang nista, sedang, dan utama. Nista jika
tidak paham, hingga musuh datang, terlalu bersuka ria, diselimuti oleh
nafsu, berjiwa penakut terhadap orang, namanya gara-gara itu,
dikuasai nafsu pribadi).
Sudah seharusnya jika di dalam pemerintahan tercipta
kewibawaan, dan bersih. Nilai-nilai kearifan lokal yang ditegakkan
dan yang benar-benar dipraktikkan akan membersihkan pemerintahan
dari segala praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
5. Pemimpin Harus Peka oleh Kritik
Dalam kearifan Jawa, seorang pemimpin tidak imun terhadap
kritik. Bahkan semakin tinggi level kepemimpinan seseorang maka
semakin tinggi kepekaannya terhadap kritik. Prinsip itu terlihat terlihat
dari ungkapan dupak bujang, esem bupati, sasmita narendra. Bujang
adalah buruh atau pelayan yang berperadaban rendah dan berpikiran
dangkal. Untuk menasehatinya, kita harus memberi teguran yang
keras, harfiah dan langsung. Pada level bupati, dia akan lebih peka,
hanya dengan senyuman (esem) ia sudah sadar diri dan menangkap
hal-hal yang bersifat simbolik (sasmita). Kepemimpinan yang terbuka
dan peka akan kritik semacam itu akan memberi kesempatan luas bagi
seluruh masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan bahkan kritik.
6. Pemimpin sebagai Kreator Budaya
Para pemimpin dituntut tidak hanya berbudaya tinggi, tetapi
juga menjadi para penggagas kebudayaan. Hal ini berarti pemimpin
harus kreatif, banyak ide dan inovatif.
7. Spiritual Quotient (SQ)
Seorang pemimpin Jawa adalah wakil Tuhan di muka bumi.
Oleh karena itulah Sultan mempunyai gelar Kalifatullah. Seorang yang
menjadi pemimpin harus mendapat visi dan karunia dari Tuhan,
disebut pulung, wahyu, atau ndaru (kedekatan seorang pemimpin
dengan Tuhan, dan memiliki kedalaman kehidupan rohani).
Spiritualitas yang dalam membawa mereka untuk bisa menghargai
pluralitas dan multikulturalitas, sehingga mereka dapat menjadi
pengayom bagi masyarakat yang jamak.
Sejarah munculnya kearifan lokal ini juga mengacu pada Tata
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kemudian juga
diterapkan di seluruh Kabupaten/ Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di bidang birokrasi, nilai-nilai kearifan diaplikasikan kedalam watak
pemimpin sebagai representasi birokrasi. Berikut ini nilai-nilai kearifan
lokal yang diwujudkan dalam watak kepemimpinan:
1. Ajaran dari Ki Hajar Dewantara
a. Ing ngarsa sung tuladha
Ing ngarso itu didepan /dimuka, sun berasal dari kata ingsun
yang artinya saya, tuladha berarti tauladan. Jadi makna ing ngarso
sun tuladha adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu
memberikan suri tauladan bagi orang-orang disekitarnya. Sehingga
yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
b. Ing madya mangun karsa
Ing madya artinya di tengah-tengah, mangun berarti
membangkitan atau menggugah dan karso diartikan sebagai bentuk
kemauan atau niat. Dapat disimpulkan bahwa seseorang ditengah
kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah
semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan
inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang
lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan.
c. Tut wuri handayani
Tut wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani
berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Tut
wuri handayani mempunyai makna bahwa seseorang harus
memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
2. Hamangku, Hamengku, Hamengkoni
a. Hamangku.
Mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam berbagai
aspek kehidupan dengan pengabdian tanpa pamrih. Membesarkan
hati, dengan lebih banyak memberi daripada menerima. Hakekat dari
berbudi bawaleksana itulah Hamangku diaktualisasikan.
b. Hamengku.
Mengandung makna hangrengkuh atau ngemong,
melindungi dan mengayomi secara adil,tanpa membeda-bedakan
golongan, keyakinan, dan agama. Hamengku identik dengan hambeg
adil paramarta.
c. Hamengkoni.
Mengandung makna keteladanan dan watak gung
binathara. Dalam situasi sulit, pemimpin adalah juga pengayom
yang berdiri paling depan, menjadi panutan dan tampil
mengambil tanggung jawab dengan segala resikonya.
Apabila sifat kepemimpinan ini dilandasi dengan falsafah Sawiji,
Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dan dijiwai dengan idealisme yang kuat,
komitmen yang tinggi, integritas moral, serta nurani yang bersih disertai
dengan semangat Golong-Gilig, maka lengkaplah sebutan Wataking
Satriya Ngayogyakarta. Hal hal inilah salah satu faktor hal mendasari
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan di kabupaten/kota.
Dalam rangka menerapkan asas umum pemerintahan negara yang
baik yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, norma hukum,
serta untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
dari kolusi, korupsi, dan nepotisme diperlukan budaya pemerintahan.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali nilai-nilai kearifan
lokal yang sifatnya luhur, akan tetapi nilai-nilai kearifan lokal yang paling
menonjol dan mumpuni untuk dikembangkan dalam prinsip-prinsip umum
tata kelola pemerintahan yang baik, yakni nilai filosofi Hamemayu
Hayuning Bawana, semangat Golong Gilig, dan Sawiji Greget Sengguh
Ora Mingkuh. Kekhasan budaya yang telah disebutkan di atas perlu
dimiliki oleh setiap aparatur di Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh karena
itu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan
Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Gubernur
Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta, ruang lingkup dari Peraturan Gubernur ini adalah aparatur
pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kabupaten Sleman sebagai bagian dari Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta juga melaksanakan budaya pemerintahan tersebut.
Budaya organisasi merupakan tata nilai dan kerangka kerja yang
menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari, pedoman dalam membuat
keputusan, serta mengarahkan tindakan anggota organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi yang ideal harus sejalan
dengan tindakan-tindakan organisasi, mulai dari kepemimpinan,
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian hingga
pertanggungjawaban dalam pelaksanaan tugas. Keberhasilan sebuah
organisasi dalam mencapai visi dan misinya salah satunya sangat
ditentukan oleh kuat lemahnya budaya organisasi yang dimiliki dan
dilakukan oleh organisasi tersebut.
Filosofi yang mendasari pembangunan daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-
cita luhur untuk mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta
berdasarkan nilai budaya. Hakikat budaya adalah hasil cipta, karsa, dan
rasa yang diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah.
Demikian pula budaya Jawa yang diyakini oleh masyarakat Yogyakarta
sebagai salah satu acuan dalam hidup bermasyarakat, baik ke dalam
maupun ke luar. Ini berarti bahwa budaya tersebut bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat gemah ripah loh jinawi, ayom, ayem, tata,
tentrem, karta raharja. Dengan perkataan lain bahwa budaya tersebut
akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan
kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar.
Hamemayu Hayuning Bawana mengandung makna sebagai
kewajiban melindungi, memelihara serta membina keselamatan dunia dan
lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi
ambisi pribadi. Dunia yang dimaksud mencakup seluruh peri kehidupan
baik dalam skala kecil (keluarga), ataupun masyarakat dan lingkungan
hidupnya, dengan mengutamakan darma bakti untuk kehidupan orang
banyak, tidak mementingkan diri sendiri. Deferensiasi atau turunan dari
filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dalam konteks aparatur dapat
dijabarkan menjadi tiga aspek. Pertama, Rahayuning Bawana Kapurba
Waskithaning Manungsa (kelestarian dan keselamatan dunia ditentukan
oleh kebijaksanaan manusia). Kedua, Darmaning Satriya Mahanani
Rahayuning Nagara (pengabdian ksatriamenyebabkan kesejahteraan dan
ketentraman negara). Ketiga, Rahayuning Manungsa Dumadi Karana
Kamanungsane (kesejahteraan dan ketentraman manusia terjadi karena
kemanusiaannya).
Menurut Yuwono Sri Suwito, dalam makalahnya yang berjudul
Substansi Keistimewaan Yogyakarta dalam Kebudayaan dan
Kepariwisataan, meskipun filosofi Hamemayu Hayuning Bawana adalah
filosofi yang sudah ada sebelum jaman kerajaan Mataram Ngayogyakarta
Hadiningrat, namun falsafah Hamemayu Hayuning Bawana merupakan
buah Budaya Ide Sri Sultan Hamengku Buwono I di dalam mengemban
tugas dan menggerakkan jiwa untuk menuju cita-cita yang diidamkan
(vision).
Saat ini dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-
cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat
Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan
dikembangkan. Secara harfiah arti hamemayu hayuning bawana adalah
membuat dunia menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat atau lestari).
Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah sikap dan perilaku
manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan
manusia dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan
hidup dan kehidupannya. Muara dari sikap hamemayu hayuning bawana
ini akan terwujudnya negara yang panjang, punjung, gemah ripah loh
jinawi, karta tur raharja.
Terwujudnya negara tersebut tidak terlepas dari pembangunan
yang disertai dengan pencagaran (conservation) pusaka alam dan budaya,
baik fisik maupun non fisik. Ini berarti, apabila dalam proses
pembangunan terjadi konflik antara budaya dan ekonomi, maka budayalah
yang didahulukan dan dimenangkan, bukan sebaliknya. Tujuannya bukan
menghambat pembangunan ekonomi, melainkan justru untuk memberi
landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi, melainkan justru untuk
memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.
Budaya Pemerintahan SATRIYA merupakan nilai-nilai yang
terkandung di dalam filsofi Hamemayu Hayuning Bawana. SATRIYA
memiliki dua makna. Pertama, SATRIYA dimaknai sebagai watak ksatria.
Watak ksatria adalah sikap memegang teguh ajaran moral: sawiji, greget,
sengguh, ora mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah
hati, dan bertanggung jawab). Semangat yang dimaksud adalah golong
gilig yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan
Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus
menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya. Makna kedua,
SATRIYA sebagai singkatan dari: Selaras, Akal budi Luhur-jatidiri,
Teladan-keteladanan, Rela Melayani, Inovatif, Yakin dan percaya diri, dan
Ahli-profesional.
Masing-masing merupakan butir-butir dari falsafah Hamemayu
Hayuning Bawana yang memiliki makna dan pengertian luhur, akan tetapi
Budaya Pemerintahan Satriya yang berisi nilai-nilai yang luhur tersebut
nyatanya belum menjadi pokok perhatian Pemerintah Kabupaten Sleman.
Pemerintah Kabupaten Sleman belum mengeluarkan produk-produk
hukum yang ada kaitannya langsung dengan Budaya Pemerintahan
Satriya. Nilai-nilai luhur dari Hamemayu Hayuning Bawana selanjutnya
dijabarkan dalam indikator-indikator perilaku sebagaimana uraian berikut.
1. Selaras artinya dalam kehidupan selalu menjaga kelestarian dan
keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, alam dan sesama
manusia. Kata kuncinya adalah selaras. Indikator perilaku :
a. Taqwa, taat dan patuh pada nilai-nilai ajaran agama;
b. Mencintai lingkungan hidup dengan peduli dan menjaga
lingkungan alam sekitar;
c. Memelihara kebersihan dan keindahan lingkungan kerja dan
lingkungan hidup;
d. Menjaga hubungan yang harmonis dengan keluarga, rekan kerja
dan masyarakat.
2. Akal budi luhur-jatidiri artinya keluhuran jatidiri seseorang merupakan
pengejawantahan perikemanusiaannya. Kata kuncinya adalah budi
luhur. Indikator perilaku:
a. Sadar akan rasa benar dan salah;
b. Menjunjung tinggi integritas (jujur dan dapat dipercaya);
c. Taat terhadap norma agama dan hukum;
d. Menjunjung tinggi etika;
e. Berkomunikasi dengan santun dan bersedia menerima masukan;
f. Adaptif terhadap perubahan.
3. Teladan–keteladanan artinya dapat dijadikan anutan/sebagai
teladan/contoh oleh lingkungannya. Kata kuncinya adalah
keteladanan. Indikator perilaku:
a. Menjadi teladan dalam perilaku;
b. Menjalankan perannya secara adil dan arif bijaksana;
c. Menjadi pendorong kemajuan.
4. Rela Melayani artinya memberikan pelayanan yang lebih dari yang
diharapkan masyarakat. Kata kuncinya adalah kepuasan masyarakat.
Indikator perilaku:
a. Menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi
atau kelompok;
b. Mengantisipasi kebutuhan masyarakat;
c. Membangun kerjasama yang produktif.
1. Inovatif artinya selalu melakukan pembaharuan yang bersifat positif
ke arah kemajuan individu dan kelompok. Kata kuncinya adalah
pembaharuan. Indikator perilaku:
a. Berkemauan keras untuk mencari dan menciptakan sesuatu yang
baru menuju kemajuan;
b. Senantiasa belajar, baik secara individual maupun berkelompok
untuk memperoleh materi pembaharuan;
c. Tidak bersikap egois dan tetap menjunjung tinggi etika.
2. Yakin dan percaya diri artinya dalam melaksanakan tugas selalu
didasari atas keyakinan dan penuh percaya diri bahwa apa yang
dilaksanakan akan membawa kemajuan dan manfaat baik ke intern
maupun ke ekstern. Kata Kuncinya adalah kemajuan dan manfaat.
Indikator perilaku:
a. Selalu mengasah ketajaman rasa untuk memilih dan memilah jenis
tugas dan pekerjaan yang diyakini akan membawa manfaat dan
kemajuan yang positif;
b. Menjunjung tinggi azas kejujuran sebagai modal utama keyakinan
dan percaya diri dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan;
c. Memegang teguh ajaran falsafah : sawiji, greget, sengguh, ora
mingkuh (konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati,
dan bertanggung jawab).
3. Ahli–profesional artinya mempunyai kompetensi, komitmen dan
prestasi pada pekerjaanya. Kata kuncinya adalah kompetensi,
komitmen dan prestasi. Indikator perilaku:
a. Bertanggung jawab terhadap pekerjaannya;
b. Mempunyai komitmen yang tinggi dalam melakukan
pekerjaannya;
c. Dengan keahlian dan kecerdasan yang dimiliki selalu ingin
mencapai yang terbaik;
d. Disiplin yang didasari ketulusan dan keikhlasan;
e. Cermat, tepat dan cepat;
f. Bertindak secara efektif dan efisien;
g. Mempunyai kreativitas dalam bekerja;
h. Bekerja mandiri dalam kebersamaan;
Berfikir jauh ke depan dengan melihat peluang inovasi.
3. Faktor pendukung dan Faktor Penghambat dalam Implementasi Nilai-
nilai Kearifan Lokal dalam Produk-produk Hukum Daerah di Daerah
Istimewa Yogyakarta
1. Faktor Pendorong dalam Implementasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Produk-produk Hukum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa faktor yang
mendukung dari implementasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam produk-
produk hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni, nilai-nilai kearifan
lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan karakter dan sifat
masyarakat khususnya di Kabupaten Sleman. Pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta telah menuangkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada
tumbuh dan berkembang di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4
Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta.
Dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta
dilatarbelakangi oleh beberapa hal yakni:
1. Dalam memahami aktivitas manusia sebagai makhluk sosio-kultural
diperlukan pemahaman sistem atau konfigurasi nilai-nilai yang
melandasi cara berpikir, cara berekspresi, cara berperilaku, dan hasil
tindakan manusia yang pada dasarnya bukan hanya sekadar reaksi
spontan atas situasi objektif yang menggejala di sekitarnya, melainkan
jauh lebih dalam dikerangkai oleh suatu sistem atau tata nilai tertentu
yang berlaku dalam suatu kebudayaan;
2. Manusia pada hakikatnya bukan hanya produk kebudayaan, tetapi juga
pencipta kebudayaan yang dapat merancang suatu strategi kebudayaan
bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih
berkeadaban;
3. Tata Nilai Budaya Yogyakarta merupakan kekayaan daerah tidak
berwujud (intangible) yang tak ternilai sehingga perlu dilestarikan,
dikembangkan, dan dilindungi dengan peraturan daerah;
4. Proses globalisasi dapat mengakibatkan pergeseran tata nilai budaya,
tidak terkecuali Tata Nilai Budaya Yogyakarta;
5. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memberi jaminan serta amanat kepada setiap orang untuk menjaga,
melestarikan serta mengimplementasikan tata nilai budaya lokal yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya
Yogyakarta maka diharapkan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
dapat melestarikan nilai-nilai budaya Jawa dalam setiap aspek kehidupan
bermasyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai
Budaya Yogyakarta, Tata Nilai Budaya Yogyakarta bertujuan untuk:
a. pedoman pelaksana bagi setiap warga masyarakat dalam bertingkah
laku dan dalam melaksanakan pembangunan di daerah;
b. pedoman pelaksana bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
dalam melaksanakan pembangunan di daerah; dan
c. acuan pembentukan produk hukum daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011, Tata Nilai Budaya
Yogyakarta meliputi:
1. Tata Nilai Religio-Spriritual
Agar dalam hidupnya manusia banyak mendapatkan
keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan dijauhkan dari
malapetaka (rahayu ingkang sami pinanggih, widada nir ing
sambikala), maka manusia harus senantiasa mendekatkan diri kepada
Tuhan. Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan benar hendaklah
dimulai dengan membersihkan diri dari perbuatan tercela lima M (ma-
lima), yakni membunuh (mateni), mencuri (maling), berjudi (main),
berzina (madon), menghisap candu atau narkoba jenis apa pun dan
meminum minuman keras yang dapat mengakibatkan lupa diri (madat;
mendem; mabuk).
2. Tata Nilai Moral
Artinya, menjaga kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia
harus dimulai dari diri manusia sendiri dengan menjaga kebenaran
pemikiran dan ucapan, kebaikan perilaku, keharmonisan dan
keindahan tatanan pergaulan hidup, baik dengan sesama manusia,
dengan alam semesta, maupun terutama dengan Tuhan. Kebenaran
pemikiran dan ucapan membuahkan kejujuran, dan kejujuran
membuahkan kebaikan.
3. Tata Nilai Kemasyarakatan
Artinya, masyarakat (bebrayan agung) dipahami sebagai suatu
keluarga tetapi keluarga yang besar. Landasan utama suatu keluarga
ialah kasih sayang (sih kinasihan; asih ing sesami) di antara para
anggotanya. Hidup bermasyarakat haruslah dilandasi oleh kasih
sayang dengan mewujudkan dan senantiasa menjaga kerukunan.
Kerukunan merupakan tiang utama kehidupan kemasyarakatan, karena
kerukunan memberikan kekuatan, sedangkan pertikaian mendatangkan
kehancuran (rukun agawé santosa, crah agawé bubrah). Apabila
timbul persoalan di antara anggota masyarakat, maka harus
diselesaikan sebaik-baiknya dengan bermusyawarah secara
kekeluargaan (ana rembug ya dirembug), karena masyarakat itu
sejatinya merupakan suatu keluarga besar.
4. Tata Nilai Adat dan Tradisi
Adat berarti sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang
sehingga menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau
masyarakat tertentu. Adat berupa nilai-nilai yang dikemas dalam
norma-norma tertentu. Adat yang melembaga dan dijalankan terus-
menerus secara turun-temurun disebut tradisi. Dengan kata lain, tradisi
merupakan pemberlangsungan adat secara terus-menerus, turun-
temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adat yang
diekspresikan dalam kehidupan kongkrit sehari-hari disebut “cara
hidup” yang bagi penganutnya dianggap biasa, wajar, lazim, dan sudah
semestinya. Sedangkan pengekspresian suatu adat yang dilaksanakan
secara resmi dan melibatkan banyak orang biasanya disebut “upacara”.
Upacara merupakan media atau wahana bagi ekspresi suatu adat.
Dengan upacara, adat yang bermuatan nilai dan norma tertentu yang
bersifat abstrak itu kemudian “diikrarkan”, dinyatakan, diwujudkan.
5. Tata Nilai Pendidikan dan Pengetahuan
Pendidikan merupakan proses pembudayaan manusia yang
bertujuan untuk menumbuhkan, mengelola, dan meningkatkan kualitas
kecerdasan kehidupannya, baik kecerdasan kejiwaan yang meliputi
religio-spiritualitas (takwa), moralitas (karsa), emosionalitas (rasa),
dan intelektualitasnya (cipta), maupun kesehatan dan pengembangan
raganya. Pengetahuan merupakan daur proses dan hasil pengenalan
secara akumulatif dan terus-menerus yang dilakukan manusia terhadap
diri sendiri dan apa saja di luar dirinya, baik mengenai benda-benda
tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan, sesama manusia, maupun hal-
hal yang bersifat adi-duniawi (supranatural).
Dalam konteks hidup bersama dan konteks kesejarahan,
pengetahuan sebagai hasil pengenalan manusia secara kolektif
dipraktekkan, dipertukarkan, diajarkan, dihimpun, dikoreksi,
dikembangkan, dan diwariskan dari zaman ke zaman. Pengetahuan
merupakan sarana yang penting bagi manusia dalam rangka
menunaikan tugas mulianya, yakni mengusahakan dan menjaga
kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan kelestarian dunia
(hamemayu hayuning bawana).
6. Tata Nilai Teknologi
Dalam sejarah peradaban yang panjang, budaya Jawa
Yogyakarta telah memiliki begitu banyak dan beragam kecakapan dan
ketrampilan teknologis. Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang
berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam, meliputi kegiatan
pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pemukiman, dan
pengelolaan lingkungan hidup, telah dipraktekkan dengan prinsip
keselarasan, serasian, dan keseimbangan antara ekploitasi dan
konservasi, antara pemenuhan kebutuhan masa kini dan
keberlanjutannya bagi masa depan (lumintu; sustainable), jangan
sampai terjadi keserakahan eksploitasi secara berlebihan (angkara
murka) sehingga dapat mengguncangkan dan merusak harmoni alam.
Kelestarian alam amat ditentukan oleh kecakapan dan kebijaksanaan
manusia (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa).
Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya manusia dipraktekkan
dengan dilandasi oleh prinsip kemanusiaan.
7. Tata Nilai Penataan Ruang dan Arsitektur
Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang
Yogyakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sultan Hamengku
Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi
topografis keraton (baik sebagai pusat spiritual, kekuasaan, maupun
budaya), penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga
detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit bangunan,
penentuan dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan
jalan, bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman, kesemuanya
itu secara simbolis-filosofis melambangkan nilai-nilai perjalanan
hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Perjalanan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit
bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari
Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan.
Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir
dari rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”,
representasi gender perempuan) dan benih manusia (wiji;
dilambangkan dengan nama Kampung Mijen di sebelah utara
Panggung Krapyak), kemudian memasuki masa remaja (enom; sinom;
dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa
menyenangkan hati (nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran
tanaman pohon asam jawa) dan penuh sanjungan (dilambangkan
dengan jajaran tanaman pohon tanjung). Setelah melewati masa
remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil
baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian
(wani; dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih
peluang dan menjangkau jauh ke masa depan, melesat laksana anak
panah yang lepas dari busurnya (dilambangkan dengan tanaman ringin
kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi pagar berbentuk busur).
Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan,
sampailah kehidupan manusia pada tahap saling menyukai lawan
jenis, yang kemudian dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Konsekuensi
perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki (dilambangkan dengan
tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di Sitihinggil
Kidul) dan “darah” perempuan (dilambangkan dengan tanaman soka
yang berbunga merah). Percampuran darah lelaki dan perempuan itu
dilandasi kemauan bersama (gelem; dilambangkan dengan pohon
pelem atau mangga di halaman Kamandhungan Kidul). Dengan
didasari kemauan dan cinta kasih di antara keduanya (kaderesan sihing
sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu dersana), sehingga
menggumpallah kedua unsur itu (kempel; dilambangkan dengan
tanaman pohon kepel) menjadi bakal bayi (embrio). Bayi itu kelak
akan lahir sebagai calon (magang; dilambangkan dengan
Kemagangan) manusia dewasa.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga
akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu
Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton melambangkan
perjalanan manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh
perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus memulainya
dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig; dilambangkan dengan
Tugu Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk
menyucikan hati (dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu
Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai
Tugu Pal Putih). Tekad menyucikan diri itu harus melalui jalan
keutamaan (dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke
selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama
Jalan Pangeran Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor;
dilambangkan dengan nama jalan Malioboro) berupa ajaran para wali,
lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya; dilambangkan dengan
Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro
dengan Alun-Alun Utara). Dalam menempuh perjalanan itu,
diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang
(sengsem; dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam
jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon
gayam yang dahulu ditanam di sepanjang jalan Margatama - Maliabara
- Margamulya).
Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap
hawa nafsu dan perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan
Pangurakan). Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik,
laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang dahsyat
(alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah perjalanan hidup
berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan
Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti;
dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti) di alam kubur
menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal
baik dan buruknya (ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal
Trajumas) selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian
memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan
dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu
yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sultan Hamengku Bowono
I hingga sekarang). Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan,
beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan
asal mula dan tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit
dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke Kraton melambangkan
jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik
(sangkan paraning dumadi).
Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam seluruh tata
rakit keruangan yang telah dirintis Sultan Hamengku Buwono I dan
para penerusnya itu pada dasarnya, pertama, mengingatkan manusia
agar senantiasa sadar diri (éling) tentang asal-muasal kehidupannya
dan tempat kembalinya kelak (Sang Khalik). Kedua, nilai penting
yang dipesankan dari perlambangan tata rakit keruangan Yogyakarta
ialah terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan
harmonis. Ketiga, nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara
manusia dan alam. Dengan perkataan lain, penataan atau tata rakit
keruangan harus menjunjung tinggi nilai-nilai ekologis dan mematuhi
norma-normanya.
8. Tata Nilai Mata Pencaharian
Artinya, meskipun hidup di dunia hanya sementara, tetapi
tugas mulia yang harus ditunaikan manusia ialah bersungguh-sungguh
berusaha keras secara terus-menerus (sepi ing pamrih ramé ing gawé)
mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan,
keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana).
Wujud nyata tugas mulia itu dilakukan manusia dengan bekerja. Orang
tidak boleh berpangku tangan saja tanpa bekerja (lungguh jégang sila
tumpang), dengan mengharap rejeki seakan-akan bakal jatuh dengan
sendirinya dari langit (thenguk-thenguk nemu kethuk; ngentèni endogé
blorok).
9. Tata Nilai Kesenian
Terdapat beraneka ragam kesenian yang tergelar di tengah-
tengah masyarakat Yogyakarta. Secara garis besar, kesenian itu dapat
digolongkan menjadi empat golongan, yakni (1) seni rupa, (2) seni
pertunjukan, (3) seni sastra, dan (4) seni multimedia. Secara garis
besar, kelompok seni rupa mencakup (a) seni kriya, (b) seni lukis, dan
(c) seni patung. Sedangkan seni pertunjukan mencakup (a) seni musik,
(b) seni tari, dan (c) seni teater/drama; baik seni musik tradisional
maupun modern, seni tari tradisional maupun modern, dan seni
teater/drama tradisional maupun modern. Kesenian juga berfungsi
sebagai ekspresi simbolik kehidupan manusia: siklus hidupnya,
kegembiraannya, kesedihannya, penjelajahan baik lahir maupun
batinnya, kegelisahannya, kecemasannya, dan juga pengharapannya.
Di samping sebagai media komunikasi dan ekspresi simbolik,
kesenian juga menjadi sarana hiburan dan sekaligus media edukasi
(tontonan lan tuntunan).
10. Tata Nilai Bahasa
Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah Yogyakarta yang masih
dipergunakan dalam keseharian masyarakat Yogyakarta, di samping
bahasa Indonesia dan bahasa asing. Sebagai “arsip kebudayaan”,
Bahasa Jawa memuat begitu banyak kearifan yang telah diciptakan
dan dipraktekkan oleh komunitas Jawa dalam sepanjang sejarahnya.
Sebagai sarana komunikasi, Bahasa Jawa menunjukkan dan sekaligus
mengatur hubungan antarmanusia, baik strata usia, strata sosial,
hubungan kekerabatan, maupun konteks komunikasinya. Oleh sebab
itu, dalam Bahasa Jawa dikenal tingkatan-tingkatan berbahasa dalam
berkomunikasi (unggah ungguhing basa) sesuai posisi masing-masing
pihak dalam tata komunikasi, agar harmoni pergaulan sosial tetap
terjaga dengan baik.
11. Tata Nilai Benda Cagar Budaya
Wujud fisik kebudayaan (budaya material) sebagai hasil
aktualisasi kemampuan cipta, karsa, dan rasa masyarakat Yogyakarta
yang kasat mata (tangible) merepresentasikan tahap-tahap peradaban
beserta ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Dari segi
bentangan waktu kronometris (temporal), peninggalan benda-benda
budaya di Yogyakarta menunjukkan jejak-jejak peradaban prasejarah,
Hindu-Buddha, Islam, Kolonial, hingga zaman modern. Dari segi
keruangan (spacial), benda-benda budaya bersejarah itu tersebar mulai
dari pegunungan, daratan, hingga pesisir laut selatan. Dari segi bentuk
(formal), benda-benda budaya yang ditemukan menunjukkan
bermacam-ragam varian dan tingkat-tingkat kemajuan teknologi
zaman pembuatan benda-benda itu mulai dari peralatan sederhana
yang dipergunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup hingga
bangunan-bangunan megah baik sebagai tempat pemujaan maupun
tempat kebesaran pusat pemerintahan.
Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang berbudaya
wajib dan harus berusaha keras agar setiap benda budaya bersejarah
dan kawasan situs yang melingkupinya senantiasa dijaga, dilestarikan,
dan dilindungi sebagai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya.
12. Tata Nilai Kepemimpinan dan Pemerintahan
Dalam hidup bersama, sekumpulan manusia membutuhkan
pemimpin. Seorang pemimpin dituntut memiliki kelebihan dibanding
yang dipimpin baik dalam hal pengetahuan, keberanian, maupun
kearifan. Seorang pemimpin harus berani tampil di depan memberi
teladan bagi yang dipimpin (ing ngarsa sung tuladha), seorang
pemimpin harus mampu menggugah semangat atau memotivasi yang
dipimpin (ing madya mangun karsa) agar lebih giat dalam perjuangan
hidup, dan memberi dorongan, kekuatan, dan perlindungan (ing
wuntat tut wuri handayani) agar yang dipimpin kian percaya diri dan
senantiasa memperoleh kemajuan dalam menapaki kehidupan.
Menurut Yasadipura I (1729-1803 M) dari keraton Surakarta,
Hastha Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru
filosofi/sifat alam, yaitu:
(1) Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi). Seperti halnya bumi,
seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber
kebutuhan hidup bagi siapa pun.
(2) Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air). Seperti sifat air,
mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin.
Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga
bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya.
(3) Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin). Seperti halnya
sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil
kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua
strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah
diskriminatif (membeda-bedakan).
(4) Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan). Seperti sifat bulan,
yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati
rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan
keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik.
(5) Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari). Seperti sifat
matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh
seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi
petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi
rakyatnya.
(6) Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra). Seperti
sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air
dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala
kotoran yang dibuang ke pinggir pantai.
(7) Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung). Seperti sifat
gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki
keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah
untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya.
(8) Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api). Seperti sifat api,
energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu
menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah
kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan
perlindungan kepada rakyatnya.
Kedelapan watak dan kecakapan tersebut amat penting bagi
pemimpin yang berjiwa kesatriya sebagai sarana untuk
mendharmabaktikan dirinya kepada negara dan rakyat, karena dharma
bakti pemimpin yang benar akan menjamin kesejahteraan dan
keselamatan negara dan rakyatnya (darmaning satriya mahanani
rahayuning nagara).
13. Tata Nilai Kejuangan Dan Kebangsaan
Yogyakarta merupakan salah satu komponen yang amat
penting dalam sejarah Republik Indonesia. Semua itu dipersembahkan
tampa pamrih (sepi ing pamrih) demi tegaknya eksistensi Negara
Republik Indonesia. Semangat berani dan rela berkorban,
kesetiakawanan sosial (solidaritas; sabaya pati, sabaya mukti),
persatuan dan kekompakan (saiyek saéka praya) baik antarpemimpin,
antarrakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin (manunggaling
kawula gusti), jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air (patriotisme), rasa
kebangsaan (nasionalisme), dan kegigihan menjaga martabat bangsa
dan negara (sedumuk bathuk senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja
wutahing ludira) merupakan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi
masyarakat Yogyakarta.
14. Tata Nilai Semangat Keyogyakartaan
Dalam mengaktualisasikan nilai-nilai luhur (adiluhung)
sebagaimana diuraikan di atas, dan dalam rangka meraih cita-cita
mulia yakni menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kelestarian
dunia (hamemayu hayuning bawana), masyarakat Yogyakarta
memiliki nilai-nilai khas sebagai penciri khusus keyogyakartaan dan
dijadikan semangat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai luhur itu.
Sebelum dituangkannya nilai-nilai kearifan lokal ke dalam
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun
2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta, Kabupaten Sleman telah
memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang juga dituangkan dalam Slogan
SLEMAN SEMBADA dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman
Nomor 4 Tahun 1992 tentang Slogan Pembangunan Daerah Terpadu
SLEMAN SEMBADA. SLEMAN SEMBADA dinilai sangat strategis
untuk digunakan sebagai Visi, Misi, Slogan Pembangunan dan prioritas
pembangunan pemerintahan.
Secara umum pengangkatan nilai-nilai kearifan lokal memang
senantiasa diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang
baik, karena kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang adiluhung dan makna
filosofi yang tinggi. Nilai-nilai kearifan lokal yang luhur itu dapat
memberikan kontribusi dalam pemerintahan. Banyak nilai-nilai luhur yang
berasal dari luar, akan tetapi dipilih nilai-nilai yang tumbuh dan merasuk
dalam daerah emosional dari jiwa para individu yang menjadi warga
masyarakat, sehingga nilai-nilai kearifan lokal dalam suatu kebudayaan
tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu
singkat. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono X (2008: 27), dalam masyarakat modern sekarang ini
memang tengah dibutuhkan nilai-nilai lama kearifan lokal yang
diharapkan bisa memberi jawaban atas kebutuhan masa kini terutama
kepemimpinan yang pantas dijadikan suri tauladan.
Masyarakat di Kabupaten Sleman dan Kabupaten/Kota di Daerah
Istimewa Yogyakarta memiliki sosok suri tauladan yakni Sri Sultan
Hamengkubuwana X yang sampai saat ini menjabat sebagai Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwana X memiliki
visi yakni bersatu dan merangkul aspirasi masyarakat untuk
mengembangkan Daerah Istimewa Yogyakarta demi kesejahteraan rakyat.
Sri Sultan Hamengku Buwana X bersikap netral, dan memang itulah yang
diharapkan oleh rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak dinobatkan
sebagai Sultan pada 7 Maret 1989, masyarakat sangat berharap sebagai
panutan dan pengayom rakyat Sri Sultan Hamengku Buwana X bisa
berdiri di atas semua golongan. Harapan ini memahami makna Hamengku
Buwana, yang pada dasarnya menyandang tiga substansi yang bersumber
dari Hamangku, Hamengku dan Hamengkoni.
Sri Sultan Hamengku Buwana X dinilai sangat demokratis dan
selalu mengakomodir bawahan disetiap jajaran pemerintahan. Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta tengah dijadikan percontohan bagi provinsi-
provinsi lain di Indonesia, agar setiap kepala daerah dapat meninggalkan
jubah partai politik setelah dilantik menjadi kepala daerah. Baik Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta, maupun Bupati Kabupaten Sleman dapat
ditemui oleh semua lapisan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hal itu mencerminkan bahwa Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Bupati Kabupaten Sleman memiliki sifat yang mengayomi rakyatnya.
Dalam upaya melayani masyarakat, Pemerinah Kabupaten Sleman
selalu berusaha menciptakan suasana yang baik di dalam pemerintahan
yakni pamong praja. Pamong berasal dari bahasa Jawa yang kata dasarnya
adalah among. Kata ini serupa dengan momong yang artinya mengasuh,
misalnya seperti kata mengemong seorang bayi atau anak berarti
mengasuh anak kecil. Sedangkan praja adalah pegawai pemerintahan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pamong Praja berarti Pegawai
Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Pegawai Pemerintah baik di
Provinsi maupun di Kabupaten Sleman dibekali dengan nilai-nilai karakter
melalui Budaya SATRIYA melalui diklat.
2. Faktor Penghambat dalam Implementasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Produk-produk Hukum Daerah di Kabupaten Sleman
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan
Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan
di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan alasan bahwa dengan adanya
nilai-nilai kearifan lokal yang luar biasa yang tumbuh dari masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta. Nilai-nilai luhur tersebut diharapkan
mampu memberikan kontribusi di dalam pemerintahan, akan tetapi selama
6 (enam) tahun Peraturan Gubernur tersebut dijalankan, pejabat
pemerintahan baik di Pemerintah Provinsi maupun di Pemerintah
Kabupaten/Kota masih ada yang belum memahami dan melaksanakan
sepenuhnya kewajiban mereka sebagai pelayan masyarakat.
Sebagaimana hasil wawancara terhadap subjek penelitian,
diketahui bahwa dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal dalam
produk-produk hukum daerah selalu diupayakan oleh Pemerintah
Kabupaten Sleman akan tetapi implementasi dari nilai-nilai kearifan lokal
ke dalam produk-produk hukum di Kabupaten Sleman masih secara
implisit dan belum secara gamblang. Nilai-nilai kearifan lokal memang
tidak tersurat dalam pasal-pasal secara langsung, tetapi akan tersirat dalam
pasal-pasal setiap produk hukum yang ada di Kabupaten Sleman.
Walaupun nilai-nilai kearifan lokal berfungsi sebagai pedoman hidup
manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, nilai-nilai kearifan
lokal itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Sebagai contoh dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Daerah
Kabupaten Sleman Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Kerja Sama
Desa, Kerja sama desa dilakukan dengan prinsip efisiensi; efektivitas;
sinergi; saling menguntungkan; kesepakatan bersama; itikad baik;
mengutamakan kepentingan desa dan daerah; persamaan kedudukan;
transparansi; keadilan; dan kepastian hukum, di dalam pasal ini
menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai kearifan lokal yakni kebersamaan,
saling menghormati, dan integritas.
Selanjutnya melihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Bupati Sleman Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah, menyebutkan bahwa
Musyawarah Perencanaan Pembangunan desa merupakan wahana
partisipasi masyarakat di desa. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat nilai-
nilai musyawarah mufakat dan kebersamaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Bupati Sleman
Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah, menyebutkan bahwa peserta
musrenbang desa paling sedikit terdiri atas unsur Pemerintahan Desa,
Lembaga Kemasyarakat Desa, organisasi sosial atau organisasi
kemasyarakatan, tim penanggulangan kemiskinan desa, organisasi
keagamaan, tokoh masyarakat, organisasi/forum anak yang didampingi
aparat SKPD kecamatan, tokoh dan organisasi perempuan setempat.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal yakni,
manunggaling kawula gusti, yakni menyatunya rakyat dengan pemerintah,
kebersamaan dan musyawarah mufakat.