BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi ...
-
Upload
vuongkhuong -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi ...
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Iqbal
1. Kelahiran
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, kawasan Punjab pada 9
Nopember 1877 (Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006: 86). Sebelum
tahun 1947, kawasan tersebut masih termasuk dalam wilayah India.
Setelah Pakistan menyatakan sebagai negara merdeka dan berpisah dari
India, kawasan Punja otomatis masuk dalam wilayah Pakistan (Danusiri,
1996: 3). Iqbal meninggal dunia sembilan tahun sebelum Pakistan
menyatakan kemerdekaannya sehingga banyak dari kalangan pemerhati
memasukkan nama Iqbal dalam tokoh pembaharu dari India bukan
Pakistan. (Nasution, 1995: 8)
Kakeknya bernama Sheikh Muhammad Rofiq (Hilal, 1995: 1).
Ayahnya bernama Nur Muhammad. Ibunya bernama Imam Bibi.
Ayahnya adalah seorang sufi dan sangat mementingkan nilai-nilai
kerohanian. Dibawah pimpinan spiritual ayahnya, dan pengawasan
gurunya yang terkenal, Maulbi Mir Hasan, perkembangan pertama
kerohanian dan pikiran Iqbal telah berlangsung. Dari sejak lahir Iqbal
merupakan anak yang luar biasa (Ahmad, 2003: 267). Pengaruh dari
keturunan bapak dan ibunya mempunyai dampak yang kuat terhadap
kehidupannya. Bapak dan ibunya yang dikenal akan kesalehannya diduga
26
membentuk suatu bentuk kepribadian Iqbal. Nenek moyangnya adalah
orang-orang Brahmana Kasymir yang telah memeluk agama Islam kira-
kira tiga abad sebelum Iqbal lahir. Iqbal tidak lupa pada keturunannya
tersebut dan hal ini pernah disyairkannya dengan kata-kata:
“tengoklah daku ini, karena bakal tidak kau lihat lagi di Hindi, seorang
keturunan Brahmana yang ahli dalam ilmu kebatinan dari Rum dan
Tabriz.” ( Iqbal, 1983: 13)
2. Pendidikan
Iqbal pertama kali memperoleh pendidikan non formal dari kedua
orangtuanya. Ia dididik ke sebuah maktab (surau) untuk belajar al-Qur‟an
(Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006: 4). Pendidikan formal Iqbal
dimulai di Scottish Mission School di Sialkot. Di sekolahan ini, ia
mendapat bimbinan secara intensif dari Mir Hasan, seorang guru dan
sastrawan yang ahli tentang sastra persia dan menguasai bahasa Arab. Ia
menamatkan oendidikan ini di tahun 1985 (Danusiri, 1996:4). Pada tahun
itu juga, sesuadah lulus universitas pertama dari Scottish Mission School
di Sialkot, Iqbal pindah ke Lahore, pusat intelektual di barat laut India.
Pada Goverment College di Lahore, Iqbal juga mendapat gelar studinya
yaitu BA (Bachelor of Arts) pada tahun 1987 dan MA (Master or Arts)
pada tahun 1899 (Ahmad, 2003: 267). Kedua gelar itu mengantarkan
Iqbal untuk mendapatkan medali emas. Di tempat itu Iqbal menjumpai
dan berhubungan dengan Sir Thomas Arnold. Iqbal juga merupakan
mahasiswa kesayangan dari gurunya sendiri yaitu Sir Thomas Arnold
27
(Ali, 1985: 174). Beliau pada saat itu membimbing Iqbal dalam bidang
filsafat Islam. Thomas Arbold adalah orang orientalis yang mampu
mendorong Iqbal untuk melanjutkan studi di Eropa (Danusiri, 1996:4).
Atas dasar adanya sebiah motivasi dan saran dari Thomas Arnold
akhirnya Iqbal melanjutkan studinya di Cambridge University pada tahun
1905 (Hilal, 1995: 32). Pada saat di Inggris Iqbal lebih suka mengambil
konsentrasi tentang filsafat moral dan mendapatkan bimbingan dari
James Ward dan J.E. Mac Taggart(Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006:
87). Pada saat di Inggris ia juga belajar di Lincoln‟s Inn (Hilal, 1995: 33).
Pada saat di Eropa Iqbal juga belajar di Universitas Munich. Ia
mendapatkan gelar doktornya dengan disertasi yang berjudul “The
Development of Methaphysic in Persia” di bawah bimbingan F. Hommel
pada tanggal 4 November 1907 (Danusiri, 1996:6). Disertasinya ini juga
yang dijadikan sebagai buku pertama yang secara khusus
dipersembahkan kepada gurunya yaitu Thomas Arnold.
Keberadaan Iqbal pada sat di negeri Barat benar-benar sangan
dimanfaatkan untuk menyelami watak-watak dan sikap bangsa barat.
Iqbal berpendapat bahwa timbulnya suatu kesulitan, perebutan,
keributan, dan pertentanagn di dunia ini lantaran sifat-sifat
individualisme dan egoisme yang masih bersemayam pada diri mereka
serta suatu paham nasionalisme yang sempit. Namun Iqbal juga
mengagumi sikap dinamiuk yang ditunjukkan bangasa Barat yaitu tidak
kenal malas, putus asa, atau tidur pulas manakala usahanya tercapai.
28
Disamping ilmu yang didapatkan dari perguruan tinggi di Eropa ia juga
mendapatkan ilmu dari berbagai perpustakaan yang tersebar di
Cambridge, Berlin, dan London yang seringkali dikunjungi.
3. Karir
Banyak hal yang dilakukan seorang Iqbal dalam menjalani masa
kehidupannya di dunia ini, oleh sebab itulah banyak yang menobatkan
Iqbal sebagai penyair, praktisi, dan pemikir. Semua itu tidak terlepas dari
kemampuan lebih yang dimiliki Iqbal dalam membaca situasi kondisi
pada saat itu.
Bakat seorang Iqbal dalam menulis syair-syair telah terlihat pada
saat ia menempuh pendidikan di Scotish Mission. Untuk mengukur bobot
syair gubahannya, Iqbal mengirimkan syair-syair kepada Dagh. Beliau
adalah seorang penyair terkenal dalam bahasa Urdu supaya dikoreksi dan
dimintakan beberapa saran. Ia berpendapat bahwa syair-syair Iqbal sudah
baik (Danusiri, 1996: 6).
Pada saat Iqbal di Eropa, ia menulis beberapa sajak romantik yang
baik, yang menggambarkan adgen-adegan romantik dengan sentuhan
imajinatif, yang mana pada saat itu mengantarkan Iqbal dekat dengan
penyair Inggris terkenal 9 (Ahmad, 2003: 268), yaitu Wordseworth. Ada
nada pribadi yang khusus dalam perlakuannya terhadap alam:
“Bangkitlah! Di bukit dan lembah
Musim semi telah tiba
Burung bulbul bernyanyi gila
29
Terukur, ayam hutan dan puyuh,
Sepanjang tepi selokan
Memekar mawar dan bunga apium,
Mari keluar dan saksikan,
Bangkitlah! Di bukit dan lembah
Musim semi telah tiba”
Sebagian sajak-sajak romantik dan alamnya yang terkenal selama
periode ini adalah Love, End of Beauty (Akhir dari keindahan), The Star
of Dawn (Bintang Fajar), The Bud (Kuntum), A Glimpse of Beauty
(Sekilas pandang Keindahan), An Evening and Separation (Suatu Malam
dan Perpisahan). (Ahmad, 2003: 269)
Sebelum Iqbal berangkat ke Eropa, ia pernah mengajar di Oriental
Goverment College, Lahore (Iqbal, 2008: viii). Ketika di Inggris pula ia
pernah menjabat guru besar bahasa dan sastra Arab pada Universitas
London selama enam bulan. Sekembalinya dari London, Iqbal mengajar
filsafat dan sastra Inggris di India tanah kelahirannya (Mustofa, 1997:
331). Hal ini terbukti dari tujuan Iabwal di Eropa untuk menuntut ilmu
dengan kemauan yang begitu besar sehingga profesi keguruannya sangat
menyatu dengan dirinya. Sekembalinya dari Eropa pada tahun 1908,
Iqbal memimpin Govermence College.
Selain mengajar, Iqbal juga mempunyai profesi sebagai pengacara
yang ditekuninya hingga tahun 1934. Di samping itu Iqbal juga terjun di
dunia politik yakni sebagai anggota Dewan Legislatif Punjab (1926-
30
1930). Pada tahun itu pula yaitu tahun 1930, Iqbal diangkat untuk
menjadi Presiden Liga Muslim sekaligus menjadi Presiden Dewan
Legislatif. (Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006: 88)
Iqbal menghadiri konferensi meja bundar dan ia juga sekaligus
menjadi perwakilan muslim India. Di sini Iqbal bertemu dengan
Muhamamd Ali Jennah yang mana Iqbal mampu menarik perhatian
tentang rencana ke depan India yang akan menjadikan impian puisinya
menjadi sebuah realitas yang hidup (Ali, 1985: 183). Realisasi gagasan
tersebut akhirnya terwujud dengan berdirinya negara Pakistan sekarang.
Iqbal tidak diberi umur panjang untuk melihat realisasi dari
pembentukan negara Pakistan. Ia meninggal pada 18 Maret atau sekitar
sepuluh tahun sebelum berdirinya negara Pakistan (Ali, 1985: 189).
Meninggalnya Iqbal sangat diratapi dan memunculkan rasa
belasungkawa dari pemimpin besar dan tokoh-tokoh ahli pikir.
Kepergiannya merupakan suatu kerugian bagi kaum muslim India dan
dunia Islam pada umumnya. (Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006: 89)
4. Corak Pemikiran
Sebuah kenyataan pada saat itu berbicara bahwasanya muslim
India adalah kaum minoritasyang bisa dibilang sangat memprihatinkan.
Seorang Iqbal menawarkan sebuah integrasi moral dan politik kaum
muslim India yang mana nantinya akan menciptakan sebuah semangat
nasionalisme yang di dasarkan atas kesamaan negara. Iqbal berpendapat
bahwa suatu komunias muslim adalah masyarakat yang didasarkam pada
31
sebuah keyakinan yang sama, dengan realitas tunggal yang tidak dapat
dipisahkan. (Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006: 89)
Pemikiran yang dituangkan dalam bentuk puisi dan sikap-sikap
Iqbal tidak terlepas dari peran guru yang berpengaruh dalam perjalanan
karir Iqbal, yaitu Thomas Arnold. Begitu juga dengan pendidikan yang ia
terima di Eropa. Hal tersebut cukup menjadi bukti latar belakang sebuah
pola pemikiran seorang Iqbal.
Dalam pandangan Iqbal sudah saatnya kaum muslim melakukan
sebuah rekonstruksi atas segala pemikiran yang telah berkembang di
dunia Islam. Cita-cita yang berasal dari idealisme dan kenyataan yang
bersumber dari realisme itu bukanlah sesuatu yang saling bertentangan di
antara keduanya. Hal tersebut yang membuka sebuah inspirasi untuk
menuju jalan kepada dunia filsafat modern dalam mendekati semangat
Islam.
Paradigma pemikiran yang telah dibangun oleh Iqbal dalam
menciptakan sebuah gagasan rekonstruksi adalah penggunaan
metodologi berfikir yang bersifat sintesa. Iqbal berhasil memadukan
tradisi intelektual Barat dan Timur dalam suatu paradigma berfikir.
Dalam hal ini Iqbal mengambil yang baik tentang Barat dan kemudian
dipadukan dengan tradisi Timur sehingga cara berfikirnya tetap
komprehensif (Abdullah Idi dan Tato Suharto, 2006: 91). Ia tak segan-
segan mengambil hal positif dari Barat. Orang-orang Barat tidak akan
tidur terlebih dahulu disaat mereka belum menemukan jawaban atas
32
pertanyaan yang dihadapi. Hal tersebutlan yang disinergikan dengan
tradisi Timur untuk selalu meminta pertolongan Allah SWT akan segala
usaha yang telah dilakukan
5. Karya-karya
Karya Iqbal cukup banyak dan bervariasi. Ada karyanya yang
berbentuk prosa, puisi, surat-surat jawaban pada orang lain yang
mengkritiknya atas berbagai konsep, dan pengantar atas karya orang lain.
Bahasa yang digunakan Iqbal dlam mengekspresikan gagasan-
gagasannya pun bervariasi pula, seperti: bahasa Arab, bahasa Urdu,
bahasa Persi, dan bahasa Inggris.(Danusiri, 1996: 11)
Berikut merupakan rincian karya-karya Iqbal:
1. The Development of Metaphysic in Persia adalah karya disertasinya
yang terbit pada tahun 1908 di London. Isi pokok buku itu adalah
deskripsi mengenai sejarah pemikiran keagamaan di Persia sejak
Zoroaster hingga sufisme Mulla Hadi dan Sabzawar yang hidup pada
abad ke-18. Pemikiran keagamaan sejak yang paling kuno di Persia
hingga yang terakhir merupakan kesinambungan pemikiran Islamis,
bagian kedua menjelaskan kebudayaan Barat dan berbagai
manifestasinya, dan bagian ketiga menjelaskan munculnya Islam
hingga peran Turki dalam Perang Dunia Pertama dan kemenangan
Turki dalam perang kemerdekaan dari tekanan-tekanan Barat.
Artinya, pemikiran keagamaan Mulla Hadi dan Sabzawar
mempunyai akar Zoroasterianisme.
33
2. Asrar-i Al-Khud diterbitkan oleh pengarangnya pada tahun 1915
(Iqbal, 1993: 18). Buku ekspresi puisi yang menggunakan bahasa
Persia ini menjelaskan bagaimana seseorang dapat mencapai
predikat insan kamil. Dalam buku ini Iqbal menekankan pentingnya
ego dan penegasan dirinya. Dia percaya bahwa moralitas individu
dan bangsa sangat ditentukan oleh jawaban yang diberikan atas
pertanyaan: “Apakah sebenarnya hakikat ego itu?”. Penekanan ini
dimaksudkan sebagian untuk menyeimbangkan satu kecenderungan
tertentu dalam pemikiran dan spiritualitas Timur yang menekankan
sudut pandang kesatuan, yang memandang kemaujudan diri
seseorang hanya sebuah bayangan menyesatkan. (Iqbal, 1992: 145)
3. Rumuz-i Bikhudi (Secrets of Non-Ego) diterbitkan oleh pengarangnta
pada tahun 1918 di Lahore (Iqbal, 1993: 18). Bahasa Persia sebagai
pengantar buku tersebut. Buku ini merupakan kelanjutan pemikiran
mengenai insan kamil. Insan kamil harus bekerja sama dengan
pribadi-probadi lain untuk mewujudkan kerajaan Tuhan di bumi.
Jika insan kamil hidup menyendiri, tenaganya suatu waktu akan
sirna. Arti leksikal Rumuz-i Bikhudi adalah peniadaan diri.
4. Payam-i Masyriq (pesan dari Timur) menggunakan pengantar bahasa
Persia. Buku ini terbit pada tahun 1923 di Lahore (Iqbal, 1993: 18).
Tema pokok buku ini adalah menjelaskan cara berfikir Timur dalam
hal ini Islam, dan kekeliruan cara berfikir Barat.
34
5. Bang-in Dara terbit di Lahore pada tahun 1924. Bahasa yang
digunakan dalam buku ini adalah bahasa Urdu. Arti harfiah judul
buku ini adalah Genta Lonceng. Secara keseluruhan buku ini dibagi
tiga bagian. Bagian pertama buku ini bertemakan nasionalistik dan
patriotik yang bercorak humanis. (Danusiri: 1996: 18)
6. Zaboor-i „Ajam (Taman Rahasia Baru) terbit di Lahore pada tahun
1927. Bahasa pengantarnya adalah Persia. Tema sentral buku ini
antara lain mengenai konsep makrifat. Pengang buku ini sinis
terhadap konsep makrifat sufisme klasik. Buku ini diakhiri uraian
mengenai perbudakan.
7. Tulisan Iqbal terbesar dalam bidang filsafat dan berbentuk prosa
adalah The Reconstruction of Thought in Islam. Buku ini terbit di
Londodn pada tahun 1934. Ada tujuh bagian dalam buku ini, yaitu:
(1)pengalaman dan pengetahuan keagamaan, (2) pembuktian secara
filosofis mengenai pengalaman keagamaan, (3) konsepsi tentang
Tuhan dan sembahyang, (4) tentang ego-insani, kemerdekaan, dan
keabadiannya (5) jiwa dan kebudayaan Islam, (6) prinsip gerakan
dalam struktur Islam, dan (7) bahwa agama bukan sekedar mungkin,
tetapi pasti ada kritik terhadap Hegel, filusuf besar idealisme Jerman.
8. Javid Nama tertulis dalam bahasa Persia, terbit pada tahun 1932 di
Lahore. Buku ini menjelaskan tentang pertualangan rohani ke
berbagai planet. Pengarang buku ini mengadakan dialog dengan para
pemikir, sufi, fiolosof, politikus, maupun pahlawan. Bagian akhir
35
buku ini berisi pesan kepada anaknya, Javid Nama dan generasi
baru.
9. Pasche Bayad Kard Aye Aqwam-i Sarq mengandung arti leksikal
„apakah yang kau lakukan wahai rakyat Timur?‟ buku ini terbit di
Lahore pada tahun 1936. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Persia.
Untaian syair-syair dalam buku ini menjelaskan tentang perang di
Ethiopia, Liga bangsa-bangsa, pesan matahari, kebijakan Musa,
kebijakan Fir‟aun, tak ada Tuhan selain Allah, kemiskinan, tokoh-
tokoh bebas, rahasia-rahasia syariat, dan nasehat untuk bangsa Arab.
10. Musafir tertulis dalam bahasa Persia. Buku ini terbit di Lahore pada
tahun 1936. Inspirasi penulisan buku ini didapat oleh pengarang
ketika mengadakan perjalanan ke Turki dan Afganistan. Di dalam
buku ini, pengarang menggambarkan pengalamannya ketika
mengunjungi makam Sultan Mahmud al-Gaznawi Yamin al-Dawlat,
Sinai perintis penyair tasawuf berbahasa Persia, Amin al-Dawlat
putera Subuktikin, dan Ahmad Syahbaba yang bergelar Durani.
Buku ini juga mengandung pesan kepada Sultan Nadir Syah dan
anaknya Zahir Syah, maupun kepada suku-suku bangsa Afganistan
mengenai bagaimana baiknya menjalani hidup berbangsa ,
bernegara, dan beragama.
11. Bal-i Jibril (Sayap Jibril) tertulis dalam bahasa Urdu. Buku ini terbit
pada tahun 1938 di Lahore. Tema-tema buku ini antara lain: doa di
Masjid Kordofa, M‟tamid Ibn „Ibad dalam penjara, pohon kurma
36
yang pertama yang ditanam oleh Abd al-Rahman al-Dakhl di
Andalusia, Spanyol, doa Thariq bin Ziyad, ucapan selamat malaikat
kepada Adam ketika orang ini ke luar surga, dan di makam
Napoleon Bonaparte maupun Musolini.
12. Zarb-i Kalim (Pukulan Nabi Musa) terbit dalam bahasa Urdu di
Lahore pada tahun 1937. Pengarang menggambarkan tentang: Islam,
wanita, politik, dan seni rupa.
13. Ar-Maghan-i Hijaz (Hadiah dari Hijaz) terbit dalam bahasa Urdu
pada tahun 1937 di Lahore. Sebagian di antaranya berbahasa Persia,
yaitu bertema: kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada umat
manusia, dan kepada teman seperjalanan. Bagian bahasa Urdu berisi
tentang majelis permusyawaratan Iblis dan dialog iblis dengan para
pendukungnya. Isi dialog iblis adalah kekhawatiran munculnya
kebangkitan Islam. Pengarang memaksudkan iblis dan para
pendukungnya adalah paham demokrasi ala Barat dan Komunisme.
14. Koleksi-koleksi syair yang tidak diterbitkan oleh pengarangnya
sendiri, kemudian koleksi-koleksi tersebut diterbitkan orang lain.
Karya Iqbal dalam bentuk ini antara lain:
a. Kulliyat-i Iqbal. Abdurrazaq Heyderabati adalah orang yang
mempublikasikan karya itu tanpa seizin Iqbal. Karya itu terbit
pada tahun 1923.
b. Baqiyat-i Iqbal diterbitkan oleh nawa-i Waqt pada tahun 1954 di
Lahore.
37
c. Rakh-i Safar diterbitkan oleh Haris Anwar pada tahun 1952.
d. Sette Poisi Ine dite de Muhammad Iqbal. Karya ini diterbitkan
oleh Bausani pada tahun 1953.
e. Islahat-i Iqbal: Iqbal ke Bazi Nazmun ke Ibtida‟imen terbit pada
tahun 1953 di Lahore. Tabarrukat-i Iqbal terbit pada tahun
1959. Ketiganya diterbitkan oleh Muhammad Bashir al-Haq
Dinsawi.
f. There Poems of Iqbal diterbitkan oleh Indonesian Culture pada
tahun 1954.
g. Surau-i Rafta‟ diterbitkan oleh Ghulam Rasul Mehr dan Shadiq
Ali Dilawari di Karachi (tanpa ada keterangan tahun
penerbitan).
h. Akhbar-i Iqbal diterbitkan oleh K.Hassan Nizami pada tahun
1918 di Lahore.
15. Karya Iqbal dalam bentuk artikel atau sambutan kata pengantar
terhadap karya-karya orang lain. Karya Iqbal semacam ini
diantaranya:
a. Doctrine of Absolute Unity as Explained karya Abdul Karim al-
Jaylani, tulisan ini ia terbitkan pada tahun 1900.
b. „Ilm-i Iqtishad (ilmu ekonomi) ditulisnya pada tahun 1961.
c. Islam and Khilafat diterbitkan dalam majalah Sociological
Review di London pada tahun 1908.
38
d. Urdu Zaban Panjab men diterbitkan dalam majalah Mahzan
edisi Oktober 1902 dan dimuat juga dalam Madamin-i Iqbal.
e. Islam as a Moral and Political Ideal adalah artikel Iqbal yang
disampaikan oada Himayat-i Islam (Lembaga dakwah Islam)
pada tahun 1910. Artikel itu juga direproduksi dalam bahasa
Indonesia oleh PT. Al-Ma‟arif Jakarta.
f. Ceramah Iqbal di Aligarh pada tahun 1910 disusun kembali oleh
Maulana Zafar Ali Khan dengan judul Millat-i Baida per
ek‟Umroni Nazar. Tulisan ini dimuat pada Cencus of India pada
tahun 1911 volume XIV.
g. Stray Reflection, a Note Book of Allama Iqbal merupakan
himpunan pernyataan-pernyataan Iqbal yang diedit oleh Javid
Iqbal (anak Iqbal sendiri).
h. Political Thought in Islam dimuat dalam majalah Hindustan
Review edisi Desember 1910 Januari 1911.
i. Our Prophet‟s Critism if Contemporary Arabic Poetri dimuat
dalam majalah The Bew Era Alahabat pada tahun 1915.
j. Urdu Coure adalah sebuah artikel yang ditulis Iqbal bersama
Hakim Suja‟ pada tahun 1924.
k. Note on Muslim Democracy adalah artikel yang Iqbal tulis
bersama Hakim Suja‟ pada tahun 1916.
l. Self in the Light Relativity dimuat dalam The Cressent Lahore
pada tahun 1925.
39
m. Indian Review di Madras pad tahun 1927 memuat artikel Iqbal
yang berjudul Inner Syithesis of Life.
n. Mc. Taggart‟s Philosophy dimuat dalam majalah Muslil Revial
edisi September 1932.
o. On Corporeal Resurrection after Death dimuat dalam Indian
Art and Letters, VI. (Hilal, 1995: 62)
p. Iqbal memberikan kata pengantar pada buku Muraqqayi
Chuhtay karya M.A. Rahmah Chuhtay.
q. Iqbal memberikan kata pengantar pada buku A History of
Persian Navigation karangan Hadi Hasan.
r. Iqbal memberikan kata pengantar pada buku Afganistan a Brief
Survey karangan Jamaludin Ahmad dan Muhammad Abdul
Azizi.(Danusiri, 1996: 15)
16. Koleksi-koleksi artikel dan kumpulan surat-surat Iqbal. Bentuk karya
yang demikian itu milik orang lain. Karya Iqbal yang semacam ini
diantaranya:
a. Madamin-i Iqbal milik Tasadduq Husein, merupakan kumpulan
lima buah artikel Iqbal
b. Speeches and Statment of Iqbal kumpulan karangan milik Samlo
yang diterbitkan pada tahun 1945
c. Kumpulan surat Iqbal milik Syaikh Muhammad Atta. Kolektor
memberikan judul koleksinya itu dengan Iqbal Name.
40
d. Maktubat-i Iqbal diedit oleh Nazir Nisai dan diterbitkan di
Karachi pada Iqbal Academy. Berisi 182 surat mengenai
berbagai subjek seperti penyakit Iqbal dan pengobatannya, dan
penerbitan karya-karyanya. (Iqbal, 1992: 167)
e. Letters of Iqbal to Jinnah berisi ide-ide Iqbal mengenai
pembentukan negara Pakistan. Koleksi ini berisi tiga belas surat
yang dikirim oleh Iqbal kepada Muhammad Ali Jinnah, antara
Mei 1936 sampai November 1937, yang memperlihatkan
pandangannya mengenai masa depan politik masyarakat Muslim
India.(Iqbal, 1992: 66)
f. Iqbal Letters to Atiya Begum adalah surat Iqbal kepada sahabat
karibnya Atia Begum.
g. Maktib-i Iqbal milik Muhammad Niyazuddin, merupakan
kumpulan surat Iqbal untuknya
h. Kumpulan surat Iqbal mengenai politik nasional yang
dikirimkan kepada Rais Ahmad Jafri diberi judul Our Siyasati
Milli. Koleksi ini kemudian diterbitkan oleh Ahmad Jafri pada
tahun 1960.
i. Kumpulan surat Iqbal pada Reinold Alayne Nocholson
mengenai penerjemahan Asrar-i Khudi ke dalam bahasa Inggris.
j. Kumpulan surat Iqbal yang ditujukan kepada Dixon berisi
sanggahannya bahwa konsep insan kamilnya menggunakan
Uber mens”nya Neitche.
41
k. Tiga buah amanar Iqbal yang dibukukan oleh razia Farhat Bano
dengan judul Kutubat-i Iqbal terbit di Dehli pada tahun
1946.(Danusiri, 1996: 15)
B. Pemikiran Muhammad Iqbal
Memahami pemikiran Iqbal bukanlah hal sederhana. Sebab, filosof
sekaligus penyair ini memiliki pemikiran yang kompleks. Karya-karya yang
dihasilkannya tidak hanya berbicara tentang filsafat saja, tetapi juga berbicara
mengenai persoalan hidup manusia. Secara garis besar, setidaknya ada tiga
tema pokok dalam pemikiran Iqbal (Maitre, 1981: 5). Tiga tema tersebut
adalah filsafat Iqbal tentang pribadi, gagasan Iqbal tentang Insan kamil, dan
wawasan Iqbal tentang metafisika dan filsafat agama.
Sedangkan pemikiran Iqbal yang erat kaitannya dengan penelitian ini
adalah konsepnya tentang ego (individualitas) dan insan kamil. Sehingga
pada penjelasan ini, akan diuraikan sepintas pemikiran Iqbal mengenai
konsep individualitas dan insan kamil. Sesungguhnya pemikiran konsep
individualitas dan insan kamil inilah yang menjadi permulaan dari segala
pemikiran filosofis Iqbal.
Pemikiran filosofis Iqbal bermula dari keresahannya terhadap keadaan
bangsa-bangsa Timur yang berada dalam keadaaan memprihatinkan. Bangsa
Timur selalu dikalahkan dan dihina oleh musuh yang merasa sangat berkuasa
(Barat). Untuk menyelidiki dan mencari sumber persoalan tersebut, Iqbal
melakukan perenungan. Dalam pencarian ini, ia didukung oleh perkembangan
pengetahuannya yang pesat tentang masyarakat dan sejarah.
42
Sebagai tokoh filosof muslim, Iqbal merupakan sosok pemikir yang unik.
Berbeda dengan umumnya umat Islam pada saat itu yang menanggapi
pemikiran barat dengan fundamental-eksklusif, Iqbal adalah sosok inklusif
yang menanggapi pemikiran barat dengan cara argumentatif. Ia mengagumi
semangat dan kemajuan ilmu pengetahuan serta gemerlap kejayaan Barat di
satu sisi. Namun di sisi lain ia juga melempar kritik terhadap superioritas
Barat atas Timur.
Kritik Iqbal ditujukan terutama pada sikap orang-orang Bangsa Timur
yang seolah menghamba terhadap kemajuan Barat. Mereka yang mencoba
mendekati kebudayaan Barat dengan jalan menjiplak lahiriyahnya tanpa
menghayati dan menghargai nilai hakiki yang terkandung di dalamnya, Iqbal
secara tegas mengharapkan adanya pengkajian dan tidak begitu saja
menjiplak secara menta-mentah peradaban Barat. Sebab, sikap demikian
sama halnya dengan melemahkan harga diri kita sebagai bangsa Timur.
Pesan demikian disampaikan Iqbal dalam salah satu pusisinya yang
ditujukan pada anaknya, Javid. Pada saat itu Javid adalah wakil angkatan
muda yang sedang bangkit dan semangat berjuang. Semangat dan percaya
pada kemampuan diri menjadi hal yang selalu dikampanyekan oleh Iqbal.
Berikit penggalan sajaknya:
Jangan kau gadaikan dirimu
Ke berbagai pabrik gelas di belahan Barat
Buatlah sendiri cawan dan gendimu!
Walau hanya dari tanah liat.
Keberanian dan kepercayaan diri menjadi sikap yang selalu
diperjuangkan oleh Iqbal agar menjadi karakter para pemuda penerus bangsa.
43
Sikap yang ditunjukkan oleh Iqbal tersebut tidak terlepas dari inti
pemikirannya tentang individualitas. Konsepnya tentang individualitas inilah
yang membuatnya berpindah dari pantheisme yang menolak ego kepada
eksistensialisme yang menekankan kehendak kreatif. (Adian, 2012: 103)
Iqbal mengambil kesimpulan bahwa kemerosotan Timur, sebagian besar
disebabkan oleh sistem filsafat yang mengajarkan penyangkalan Diri dan
peniadaan Pribadi. Kecenderungan untuk tidak menghiraukan dan
menjauhkan diri dari benda-benda di dunia ini. Seluruh kejahatan itu berasal
dari masuknya gagasan-gagasan Plato dan Neo-platonisme ke dalam Islam,
yang menganggap dunia ini sekedar rupa dan maya.
Gagasan-gagasan ini juga melempar pukulan yang sama seperti gagasan-
gagasan yang dilahirkan Weda kaum buda, yang terkenal dalam doktrin
Monisme. Doktrin ini mengajarkan kepercayaan pada Tuhan yang Immanent
dan menganggap dunia sekedar emanasi. Ia menempatkan paham ketuhanan
yang pantheistik sebagai ganti Tuhan yang transenden. Sebelum Iqbal,
pemikir-pemikir Muslim yang lain telah menyerang doktrin Monisme. Akan
tetapi, mereka melakukannya atas dasar telologi semata. Sedangkan Iqbal
menyerangnya di satu titik tolak praktik.
Iqbal menyerangnya dengan keyakinan bahwa kehidupan ini adalah
kenyataan. Bahwa kita bukanlah korban angan-angan yang tragis. Terhadap
pertanyaan: apakah hidup ini? Iqbal menjawab; hidup adalah pribadi, bentuk
tertingginya adalah Ego, yang mana pribadi menjadi pusat eksklusif yang
mengandung diri. Filsafat Iqbal sepenuhnya didasarkan pada gagasan pribadi.
44
Sebab, rahasia ketuhanan terletak pada keteguhan iman terhadap diri sendri.
Perkembangan diri adalah kebangkitan alam semesta. (Adian, 2012: 22-23)
1. Konsep Diri
Konsep diri merupakan awal sekaligus pusat dari pemikiran filosofis Iqbal
(Enver, 2004: 46). Diri menjadi titik tolak Iqbal dalam kajiannya tentang
alam dan Tuhan (Adian, 2003: 111). Dalam beberapa karya Iqbal dalam
bahasa parsi, diri disebut dengan istilah khudi, yang memiliki arti diri atau
pribadi, ego, self (Rafi, 2009: 340).
Khudi sendiri memiliki pengertian bentuk eksistensi akibat dari diri,
sehingga dapat disamakan dengan paham jati diri manusia yang mencakup
eksistensi manusia di dunia. Ia merupakan kesatuan nyata manusia yang
menjadi pusat dari seluruh organisasi kehidupan manusia (Iqbal, 2008: 117).
Dengan kata lain diri merupakan hakikat keberadaan individu manusia.
Dalam mengemukakan konsepnya tentang realitas diri, Iqbal mengkritik
beberapa pemikiran-pemikiran yang meniadakan diri/ego. Beberapa paham
tersebut adalah patheisme, empirisme, dan rasioanalisme. Paham pantheisme
menganggap dunia yang tampak itu tidak nyata (Enver, 2004: 47). Para
penganut pantheisme menganggap diri manusia sebagai non-eksistensi,
karena eksistensi sesungguhnya Diri/Ego Absolut, Tuhan (Adian, 2003: 112).
Sedangkan sesuatu yang tampak itu merupakan pancaran atau penjelmaan
Tuhan.
Pantheisme berpendapat bahwa tujuan tetinggi manusia adalah untuk
melenyapkan dirinya dengan Yang Mutlak, bagaikan setetes air yang melarut
45
dalam samudera (Saiyidain, 1981: 25). Jelas Iqbal menolak paham tersebut,
meskipun ia pernah terpengauh oleh pemikiran ini (Enver, 2004: 51). Sebab,
Iqbal dalam teorinya tentang khudi, menyatakan diri sebagai realitas yang ada
dan nyata.
Aliran lain yang menolak adanya diri adalah empirisme. Aliran empirisme
terutama yang dikemukakan oleh David Hume memandang konsep diri
sebagai pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti dan bisa
dipisahkan satu sama lain (Adian, 2003: 112). Hume mengatakan bahwa
orang tidak bisa merasakan, mengalami “aku” yang tetap. Tetapi selalu aku
yang sedang melihat kebun, mencium bau asam rokok, dan lain-lain. Hume
menganggap bahwa akal manusia layaknya panggung teater bagi
pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti.
Iqbal menolak empirisme dengan mengatakan bawa orang tidak bisa
menyangkal terdapatnya pusat yang menyatukan pengalaman-pengalaman
yang datang silih berganti, yaitu ego. Selanjutnya Iqbal juga menolak
rasionalisme Cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang
diperoleh melalui penalaran.
Konsep diri Iqbal merupakan gagasan yang unik dan berbeda dengan
pemikiran tokoh-tokoh lain yang juga memiliki konsep tentang diri.
Meskipun gagasan Iqbal mengenai konsep diri ini bukan yang pertama.
Namun bukan berarti Iqbal hanya menyalin pemkiran orang dan
mengklaimnya menjadi pemikiran khasnya. Diri atau ego Iqbal adalah
46
gagasan yang berbeda dan unik dari sedemikian banyak konsep dari tokoh-
tokoh yang lain.
Sigmund Freud (1856-1939) misalnya, tokoh psikoanalisis yang terkenal
dengan konsepnya tentang struktur kepribadian manusia. Gagasan freud
beragkat dari konsepnya tentang alam sadar (conscious mind) dan alam
bawah sadar (unconscious mind). Alam sadar merupakan apa yang manusia
sadari pada saat-saat tertentu, seperti: penginderaan langsung, ingatan,
pemikiran fantastik, dan perasaan. Alam bawah sadar adalah segala sesuatu
yang dengan mudah dapat dipanggil ke alam sadar atau biasa disebut dengan
kenangan yang sudah tersedia (available memory).
Dari keduanya alam bawah sadar mengambil peran paling besar. Bagian
ini mencangkup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar.
Termasuk segala sesuatu yang memang asalnya dari alam bawah sadar,
seperti nafsu dan insting. Freud berpendapat bahwa alam bawah sadar adalah
sumber motivasi dan dorongan yang ada dalam diri manusia. Namun
anehnya, manusia seringkali mengingkari atau menghalangi seluruh bentuk
motif ini naik ke alam sadar.
Berangkat dari konsep di atas, lahirlah konsepnya tentang stuktur jiwa
manusia. Psikolog sekaligus dokter ini membagi struktur kepribadian
manusia menjadi tiga, yaitu Id, Ego, dan Superego. Bagian pertama adalah id,
merupakan sistem syaraf yang memiliki kepekaan terhadap apa yang
dibutuhkan oleh organisme menjadi daya-daya motivasional yang disebut
47
denga insting atau nafsu. Id bekerja sejalan dengan kenikmatan-kenikmatan
dan merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan secara serta merta.
Bagian kedua adalah ego, berfungsi menghubungkan organisme dengan
realitas dunia melalui alam sadar yang ia tempati. Dia mencari objek-objek
untuk memuaskan keinginan dan nafsu yang dimunculkan id untuk
merepresentasikan kenyataan dan sampai tingkat akhir tertentu juga
merepresentasikan akal.
Bagian terakhir adalah superego, yang terdiri dari nurani dan ego ideal.
Nurani merupakan internalisasi dari hukuman dan peringata, sedangkan ego
ideal adalah internalisasi dari pujian dan contoh-contoh positif. Dengan kata
lain, superego merepresentasikan masyarakat, dan masyarakat sering tidak
menuntut sesuatu dari pribadi selain harus mengingkari kebutuhannya sendiri
(Boeree, 2010: 32-35).
Konsep Freud tersebut jelas berbeda degan diri/ego Iqbal. Freud membagi
kepribadian manusia menjadi tiga bagian yang ketiganya memiliki tugas
berbeda-beda. Ego dalam struktur kepribadian menurut Freud hanya
berfungsi sebagai jembatan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan id dan
superego. Hal itu berbeda dengan konsep Iqbal yang menganggap diri sebagai
kesatuan nyata yang tidak bisa dipisahkan (Iqbal, 2008: 142). Keberadaannya
menjadi pusat segala organisasi kehidupan dan aktivitas manusia.
Perbedaan pemikiran freud dan Iqbal juga terletak pada konsepnya tentang
hasrat dan kehendak. Freud menyatakan bahwa semua hasrat manusia berasal
dari dorongan seks (Enver, 2004: 37). Segala aktivitas manusia hanya
48
bertujuan untuk memenuhi seks semata. Tidak ada motif lain, semua
keinginan adalah bentuk dari impuls seks. Bahkan agama sekaliun bekerja
dengan impuls yang sama.
Pemikiran demikian erat kaitannya dengan fakta bahwa Freud adalah
seorang atheism abad 20 (Rahmat, 2003: 94). Berbeda dengan Iqbal sebagai
filosof berketuhanan. Iqbal menyatakan bahwa segala aktvitas manusia adalah
upaya untuk menjadi manusia seutuhnya. Diri manusia selalu bergerak untuk
mencapai kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada Diri Mutlak atau
Tuhan (Sholeh, 2012: 303).
Tokoh lain yang juga memiliki pemikiran tentang diri/ego adalah
Immanuel Kant (1724-1804). Kant menamakan teorinya tentang ego sebagai
trancedental unity apperception atau teori tentang ego transedental.
Menurutnya, ego bukanlah substansi maupun benda. Melainkan aktivitas
yang mensintesakan berbagai pengalaman menjadi satu kesatuan pengetahuan
tentang objek (Adian, 2003: 64).
Kant menyatakan ego sebagai kesatuan transedental yang berfungsi
menyatukan keberagamaan pengalaman manuisa. Menurutnya, kesadaran
akan adanya pengalaman yang beragam harus disertai kesadaran akan ego
yang berkesatuan. Agar pemahaman yang beragama dapat terkait satu sama
lain menjadi satu pengetahuan yang utuh, bisa dikatakan bawa ego transedetal
Kant bersifat mempersatukan.
Di lain pihak, Kant juga mengemukaka konepnya tentang ego empiris. Ego
empiris merupakan ego yang memuat segala kualitas particular yang kita
49
miliki, yang membuat kita menjadi individu yang berbeda. Misalnya
perbedaan bentuk tubuh, wajah, ukuran, kekuatan, kepribadian, dan pikiran.
Ego empiris lah yang membedkan kita sebagai sosok individu-individu
konkret. Sedangkan ego transedental mempersatukan kita sebagai manusia.
Kant mengklaim ego transedental sebagai sesuatu yang terdapat pada
semua manuisa (universal) tanpa menghiraukan sifat-sifat particular ego.
Berdasarkan ego empiris, manusia dapat berkulit putih, bertubuh besar,
berwajah bulat dan sebagainya. Namun, sesungguhnya kondisi-kondisi
demikian hanya merupakan hal-hal yang bersifat menerangkan substansinya
(ego transedental). Berdasarkan ego transedental, manusia tetap manusia
walalupun tidak berkulit putih, betubuh besarm berwajah bulat dan
sebagainya. Ego transedental sebagai substansi merupaan suatukehadiran
permanen dibalik segala sifat ego yang potensial mengalami perubahan.
Pemikiran Iqbal dan Kant bersebarangan dalam hal pengetahuan diri yang
bebas dan immortal. Kant berargumen bahwa diri yang berbas dan immortal
adalah sesuatu yang tidak ditemukan dalam pengalaman konkret. Iqbal
menolak pandangan Kant tersebut dengan mengatakan bahwa keberadaan ego
yang bebas dan immortal bisa diketahui secara pasti dan tidak sekedar
pengandaian logis. Diri manusia adalah nyata dan unik secara mutlak (Iqbal,
1995: 40-41). Dalam karyanya, Iqbal menjabarkan sifat diri/ego adalah
sebagai berikut:
Pertama, diri tidak terikat oleh ruang sebagaimana halnya dengan tubuh.
Peristiwa-peristiwa mental dan fisik sekaligus ada dalam waktu. Namun
50
secara fundamental jarak dan waktu ego berbeda dengan jarak dan waktu
fisik.
Kedua, kepribadian pada dasarnya tersendiri dan unik. Dikatakan unik,
sebab manusia yang meiliki pribadi lah yang dapat mempersoalkan
keberadaan dirinya. Bedanya terletak pada fakta bahwa Tuhan unik sebagai
pencipta, manusia unik dan berbeda jika dibandingkan makhluk Tuhan yang
lain. Salah satu keunikan manusia terletak pada otonomi. Hal itu disebabkan
karena otonomi mengandaikan kemandirian.
Ketiga, ego menyatakan diri sebagai satu kesatuan yang sering disebut
dengan keadaan mental. Keadaan mental ini tidak berdiri sendiri dan
terisolasi antara satu dengan lainnya. Mereka berada sebagai fasa keseluruhan
rumit yang dinamakan pikiran.
Diri senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara
mendekatkan diri pada Ego Mutlak. Manusia dapat memahami dan
menegaskan realitas diri secara langsung melalui intuisi (Enver, 2004: 53).
Namun, intuisi ini hanya dapat berlangsung ketika manusia melakukan
keputusan, tindakan yang sangat menentukan (Adian, 2003: 113). Pada saat
demikian, manusia bisa merasakan adanya diri. Ia Nampak sebagai pusat
seluruh aktivitas tindakan manusia (Enver, 2004: 52)
Aktivitas diri pada dasarnya berupa aktivitas kehendak, seperti tindakan,
harapan, dan keinginan. Ishrat memperjelas hal tersebut dengan ungkapannya
bahwa kehidupan diri pada dasarnya terletak dalam sikap kehendaknya
(Enver, 2004: 56). Keberadaan kita bergantung pada adanya kehendak atau
51
hasrat dan tindakan-tindakan. Tanpa adanya hal-hal tersebut, hidup menjadi
hampa. Sehingga bisa dikatakan bahwa manusia yang menolak aktivitas diri
berarti menolak hidup (Adian, 2003: 113).
Aktivitas diri merupakan aktivtas yang memiliki tujuan. Sebab, diri
bersifat apresiatif terhadap setiap tindakannya. Sedangkan perngahargaan ini
akan datang kepadanya hanya jika tindakannya memiliki tujuuan. Tidak akan
ada penghargaan tanpa prestasi, dan tidak akan ada prestasi tanpa tujuan.
Dengan demikian, diri akan selalu bergerak untuk mencapai tujuannya
(Iqbal, 2008: 97).
Iqbal menkaankan pentingnya tujuan hidup dalam salah satu puisinya
dalam Asrar-I Khuld. Menurutnya, kepribadian menjadi hidup dengan
mebentuk tujuan dan bersunggung-sungguh untuk emncapainya. Kebesaran
kepribadian diukur berdasarkan besar kecilnya tujuan itu. Besar kecilnya
kekuatan yang dimiliki bergantung pada sejauhmana kesulitan yang
dialaminya.
Life is preaseved by purpose:
Because of the goal is caravan-bell thinkles.
Life is latent in seeking,
Its origin is hidden in desire
Keep desire alive in thy heart (Iqbal, 1920: 19)
Diri juga disebut sebagai kehendak kreatif yang dalam bahasa Iqbal
dikenal dengan istilah soz (Enver, 2004: 57). Pemikiran kehendak kreatif
Iqbal banyak dipengaruhi oleh Bergson dan Nietsche. Manusia sebagai
kehendak kreatif harus bebas, lepas dari belenggu takdir sebagai rencana
52
Tuhan sebelum penciptaan. Sedangkan mereka mengartikan kehendak kreatif
sebagai khoatis, buta, tanpa tujuan.
Inilah yang membedakan kehendak kreatif Iqbal dengan kedua tokoh
tersebut. Kehendak kreatif Iqbal memiliki tujuan, menurut Iqbal
bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan.
Sebab, tanpa tujuan kehendak menjadi tidak berarti. Namun demikian, Iqbal
menolak jika tujuan disebut sebagai ketentuan yang ditetapkan oleh hukum
sejarah maupun takdir sebagai rencana Tuhan (Adian, 2003: 113).
Berdasarkan asumsi bahwa manusia sebagai kehendak kreatif, Iqbal
menolak segala bentuk determinisme dan kepasifan. Diri adalah pelaku aktif
yang bebas. Ia selalu menentukan dirinya bebas melalui keinginandan cita-
citanya.
Dalam hal ini, Iqbal menolak pantheisme yang menekankan kepasifan dan
menolak ego sebagai keutamaan. Sebaliknya, Iqbal menekankan bahwa diri
otentik adalah diri yang kuat, bersemengat, dan otonom. Semangat dan
otonomi itulah yang mempertinggi kualitas diri.
Demikianlah konsep diri Muhammad Iqbal. Diri yang aktif, penuh
semangat dan optimisme. Filsafat Iqbal sepenuhnya meletakkan kepercayaan
pada manusia yang dilihatnya memegang kekuasaan tidak terbatas. Yakni
kemampuan mengubah dirinya sendiri dan dunia. Optimisme dan semangat
Iqbal terpancar dalam salah satu syairnya:
Be void of fear, grief, and axiesty;
53
Be hard as stone, be a diamond!
Whosoever strives hard and grips thigh,
The two worlds are illumined by him (Iqbal, 1920: 53)
2. Diri Mutlak/Tuhan
Pembahasan tentang Tuhan menjadi sangat menarik dalam pemikiran
Iqbal. Sebab, pemikiran filosofisnya yang menekankan eksistensi manusia,
mengundang pertanyaan bagaimanakah hubungan antara diri manusia dengan
Tuhan? Di mana letak peran Tuhan dalam diri manusia?
Iqbal percaya pada keterbatasan rasio manusia untuk memahami Tuhan.
Namun, kepercayannya itu tidak lantas membuatnya skeptis. Ia tetap
meyakini bahwa manusia mampu meperoleh pengetahuan langsung tentang
Tuhan, yakni melalui poses intuisi (Adian, 2003: 114).
Namun demikian, konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi
kaum mistikus. Iqbal menolak konsep intuisi kaum mistik yang berasumsi
bahwa kontak langsung dengan Tuhan diperoleh melalui intuisi. Menurut
Iqbal, yang tersingkap pertama lewat intuisi adalah keberadaan ego/diri
kreatif, bebas, dan immortal. Sedangkan Tuhan dapat ditemui setelah manusia
meraih kesadaran tinggi akan ego kreatifnya.
Pemikiran Iqbal tentang Tuhan menurut Sharif terbagi menjadi tiga fase
(Sharif, 1984: 28). Fase pertama, berlangsung dari tahun 1901 sampai 1908.
Ini adalah masa-masa Iqbal menganut paham pantheisme. Pada saat itu, Iqbal
meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadi. Keberadaannya tidak teragantung
pada apapun dan mendahului segala sesuatu. Oleh karena itu, Tuhan
menampakkan diri dalam segala sesuatu.
54
Tuhan sebagai keindahan abadi adalah penyebab gerak segala sesuatu.
Karen itu, keindagan abadi adalah sumber, esensi, dan ideal. Than bersifat
universal melingkupi segala sesuatu. Tuhan diibaratkan lautan, sedangkan
manusia seperti setetes air yang larut di dalamnya.
Fsae kedua, berlangsung mulai tahun 1908-1920. Masa ini bisa dikatakan
sebagai awal berkembangnya pemikiran Iqbal. Perubahan pemikiran Iqbal
pada masa ini tampak pada pandangannya tentang keindahan. Jika pada masa
pertama, ia menganggap bahwa keindangan sebagai yang kekal, efisien, serta
kausalitas terakhir dari cinta, gerakan, dan keinginan. Pada fase ini Iqbal
mulai sanksi dan pesimis terhadap kekekalan dari keindahan.
Pemikirannya pada masa ini banyak dipengaruhi oleh gurunya Mc Tagart
dan James Ward. Iqbal mulai tertarik pada konsepsi Mc Tagart tentang
keabadian pribadi. Iqbal juga melihat adanya cirri yang sama antara pluralis-
teistiknya Ward dan posisi metafisisnya Rumi. Lebih jauh Iqbal mengagumi
dan menjadikan Rumi sebagai pemimpin ruhaninya. Hal itu dikarenakan ide-
ide rumi yang mampu mengantisipasi ide fundamental Nietsche dan Bergson.
Demikianlah perkembangan pemikiran tokoh filsafat abad 20 ini, di bawah
pemikir Timur kuno dan beberapa pemikir Eropa Modern, Iqbal
mengembangkan filsafatnya. Melalui pemikiran „filsafat pribadi‟nya ini,
Iqbal menekankan perhatian pada efisiensi dan keabadian keindahan. Ia juga
berusaha menjauhkan diri dari filsafat platonisme dan mistik panteisme.
Pada masa ini, pandangan Iqbal mengenai Tuhan berubah. Tuhan sebagai
Hakikat Terakhir, Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi kini dianggap sebagai
55
kemauan Abadi. Sedangkan keindahan adalah sebagai sifat dari Tuhan. Tuhan
menyatukan dirinya bukan dalam dunia yang terindera, melainkan dalam
pribadi terbatas. Karena itu, uaha mendekatkan diri kepadaNya hanya bisa
ditempuh melalui pribadi. Sehingga bisa dikatakan pencarian Tuhan bersifat
kondisional terhadap pencarian diri.
Mendekati Tuhan haruslah konsisten dengan ketinggian martabat pribadi.
Hal demikian hanya dapat diraih dengan kekuatan dan kemauan sendiri.
Sebab, Tuhan tidak bisa didekati hanya dengan meminta-minta dan memohon
semata. Sedangkan sifat meminta-minta dan memohon hanya
mempresentasikan kelemahan dan ketidakberdayaan.
Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya
terserap ke dalam Tuhan dan melenyap. Sebaliknya, manusia harus menyerap
Tuhan ke dalam dirinya. Dengan menyerap Tuhan ke dalam diri, tumbuhlah
ego. Ketika ego tumbuh menjadi superego, ia naik ke tingkatan wakil Tuhan.
Demikianlah gambaran konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase kedua
pemikir ini dapatannya. Masa ketiga perkembangan pemikiran Iqbal
berlangsng sekitar tahun 1920 hingga wafatnya 1938. Jika masa kedua
dianggap sebagai masa pertumbuhan, maka masa ketiga ini bisa dianggap
sebagai masa kedewasaan.
Pada masa ini, Tuhan menurut Iqbal adalah hakikat sebagai keseluruhan
yang spiritual -dalam arti individu dan satuan ego. Dia adalah suatu prinsip
kesatuan yang mengorganisasai dan berpangkal pada fitrah organism untuk
tujuan konstruktif. Ia dianggap ego karena seperti pribadi manusia. Ia adalah
56
ego karea menanggapi refleksi dan shalat manuisa. Tepatnya, dia adalah Ego
Mutlak.
Ego Mutlak adalah jiwa kreatif yang memiliki kemauan dinamis.
Kreativitasnya tidak sekedar menyusun dan membuat sesuatu yang sudah ada
(Enver, 2004: 109). Sebab, hal demikian hanya akan membuatNya tidak
sempurna dan tidak berdaya. Tidak ada sesuatu pun yang bisa membatasi
tenaga kreatifnya, Dia sepenuhnya jiwa kretif yang bebas.
Meski demikan, kebebasannya tersebut bukan dalam arti keruangan. Sebab
ketidakterbatasan ruang tidak bersifat mutlak. Tenaga hidup yang bebas
dengan kemungkinan tidak terbaas tersebut menunjukkan bahwa Dia Maha
Kuasa (Iqbal, 2008: 78). KeMahakuasaannya bukan berarti kekuatan yang
tanpa batas yang buta dan tidak terduga. Dalam beberapa hal, Dia dibatasi
oleh sifatNya, kebijaksanannya dan kebaikanNya sendiri.
Namun, batasan ini bukan berarti membuat Tuhan tidak berdaya ataupun
tidak mempunyai kekuatan. KekuatanNya dikaitkan secara inhern dengan
kebaikan dan kebijaksanaanNya. Maksudnya, kekuatan tak terbatas Tuhan
tidak muncul dalam kesewenang-wenangan. Tetapi tampak sebagai sesuatu
yang terulang-ulang, teratur dan tersusun. Karena kehendak Ilahi pada
dasarnya bergerak menuju arah kebaikan (Enver, 2004: 113).
Ego Mutlak adalah keseluruhan hakikat. Dalam hal ini, Ego terakhir
bersifat sempurna. Namun, kesempurnaannya bukan mengisayaratkan sesuatu
yang pasif dan mandeg (Sharif, 1984: 39). Kesempurnaannya
57
memperlihatkan ketidakterbatasan visi kreatifnya. Dia Maha Sempurna
sebagai wujud yang tidak putus-putus yang meliputi segalanya.
Kesempurnaan Ego Mutlak juga berarti tidak adanya reproduksi dalam
Dirinya. Sebagai Ego sempurna, Dia Mutlak unik. Dia tidak menciptakan
kembali „saingan-sainganya‟. Oleh sebab itu, Dia tidak berketurunan (Iqbal,
reconstruction, 1983: 117).
Ego Mutlak juga bersifat Mengetahui. PengetahuanNya tidak dapat
disamakan dengan wawasan pengetahuan manusia. Pengetahuan Ilahiah
digambarkan sebagai suatu kreatif yang hidup. pengetahuanNya tidak bisa
disamakan dengan pantulan cermin yang menyajikan deail-detail benda yang
ada di hadapannya. (Iqbal, reconstruction, 1983: 140).
Jika demikan, maka arti Tuhan hanya sekedar membuat catatan saja dari
segala ssuatu yang telah ada (Enver, 2004: 111). Sehingga memungkinkan
inisiatif dan kreatifitas bebas dari Tuhan menjadi tidak ada. Karena itu
semestinya kita memaknai pengetahuanNya sebagai kegiatan yang sadar diri
sepenuhnya. Suatu kegiatan yang di dalamnya mengetahui dan menciptakan
secara bersamaan (Sharif: 1984: 42). Artinya, pada saat yang sama kegiatan
Tuhan adalah mengetahui sekaligus menciptakan obyek pengetahuan.
Tidak hanya itu, melengkapi kesempurnaanNya, Tuhan juga abadi. Tetapi
abadi disini bukan dimaknai sebagai ada untuk selama-lamanya. Ini adalah
pandangan yang salah tentang waktu dan membua waktu sebagai sesuatu di
luar Dia. Waktu Tuhan bukanlah waktu serial yang bisa kita kenal.
58
Iqbal menyebutnya dengan istilah waktu jasad yang kasar (Iqbal, 2008:
89). Yakni waktu yang tercipta dari perubahan-perubahan langit. Waktu
tersebut akhirnya dapat terbagi menjadi masa lalu, masa kini, dan masa
depan. Sehingga waktu itu berjalan sesuai kodrat, jika hari ini belum berlalu
tidak akan datang hari esok untuk menggantikannya. Sebaliknya, ada juga
waktu dari wujud-wujud ruhaniah yang juga memiliki sifat berurutan.
Perjalanan waktu ini sedemikian rupa sehingga masa satu tahun dalam waktu
jasad-jasad kasar, tidak lebih dari satu hari dalam waaktu ruhaniah (Iqbal,
2008: 89).
Di tingkat yang paling tinggi dari waktu-waktu ruhaniah, kita akan
menemukan waktu Ilahiyah, yaitu waktu yang secara mutlak terbebas dari
sifat-sifat rang dan tidak bisa dibagi-bagi. Waktu tersebut tidak mempunyai
pergantian dan perubahan. Sebab, Ego Mutlak adalah durasi murni (Sharif:
1984, 43). Maksudnya, waktu di dalamnya masa lalu tidak tertinggal di
belakang, ia bergerak dan beroperasi hingga masa sekarang.
Singkatnya, waktu murni dari diri sejati bukanlah rangkaian saat-saat yang
terpisah. Melainkan waktu yang diperlakukan sebagai pendahulu pengungkap
rahasia kemungkinan-kemungkinan. Yaitu waktu sebagaimana yang
dirasakan, bukan waktu sebagaimana yang dipikirkan dan diperhitungkan
(Sharif, 1984: 44).
Lebih lanjut, Iqbal menjelaskan bahwa hubungan antara Diri Mutlak
dengan diri terbatas bisa digambarkan melalui tiga cara (Enver, 2004: 99):
59
a. Ego mutlak adalah realitas satu-satunya, dan ego-ego terbatas terserap
ke dalamnya. Ego terbatas tidak memiliki eksistensi, ia menyatu
dengan Ego Mutlak.
b. Ego Mutlak menarik ego-ego terbatas ke dalam dirinya tanpa
menghilangkan keberadaannya.
c. Ego Mutlak mungkin bisa dianggap terpisah dan mengatasi ego-ego
terbatas.
Pandangan yang pertama sarat dengan paham Pantheisme yang sering
dikutuk oleh Iqbal. Iqbal meyakini eksistensi ego terbatas yang mewujud
melalui intuisi diri. Dalam hidupnya, ego terbatas lah yang menyerap sifat-
sifat Ego Mutlak untuk mencapai kesempurnaan. Bukan Ego Mutlak yang
menyerap ego teratas bagaikan setetes air yang larut dalam samudera.
Demikian juga pandangan yang ketiga. Iqbal menolak bahwa super ego
bukan terpisah (transenden) seperti paham kaum theis klasik. Sebab ia
merupakan suatu kenyataan personal (Miss Luce dan Clauide Maitre, 1981:
56), bukan impersonal layaknya kekuatan, kemauan, cahaya, dan lain-lain. Ia
adalah kesadaran diri. Terbukti dari adanya respon Ego Mutlak terhadap ego
terbatas. Ia tidak tuli dari panggilan kita dan tidak buta terhadap perasaan dan
pikiran manusia.
Secara sederhana, Iqbal menempatkan Ego Mutlak dalam hidup bukan
sebagai Tuhan sebagaimana yang dimaknai oleh kaum pantheis dan theis
klasik. Ia menolak Tuhan sebagai pencipta yang menguasai dan menentukan
60
ihwal ciptaanNya. Tuhan menurut Iqbal mencipta secara tak terbatas, kreatif,
dan terus menerus.
Sedangkan posisi manusia terhadap Tuhan bukanlah boneka pasif bagi
kehendak Tuhan. Melainkan sebagai partner (co-creator) yang aktif
berpasrtisipasi dalam penciptaan kreatif Tuhan. Manusia dibekali Tuhan
kebebasan untuk dapat berpartisipasi aktif daam proses kreatif penciptaannya
(Adian, 2003: 115).
Manusia sebagai partner Tuhan mempunyai kebebasan untuk memilih dan
melakukan tindakan. Sehingga segala sesuatu yang terjadi pada manusia
bukanlah semata-mata kehendak Tuhan, tetapi pilihan manusia itu sendiri,
sedangkan Tuhan hanya sebagai partner kerja manusia. Singkatnya, Tuhan
tidak akan menciptakan perubahan tanpa usaha dari manusia sendiri.
Melalui proses inilah manusia akan bermuara pada derajat insane kamil,
yaitu derajat tertinggi pencapain ego manusia. Insan kamil hanya dapat diraih
oleh manusia yang selalu aktif, mengerahkan segala daya kreatifnya untuk
menuju kesempurnaan.
3. Insan Kamil
Ego dalam pandangan Iqbal menunjukkan diri yang kuat, optimis, dan
membenci kelemahan. Iqbal meyakini bahwa Tuhan yang menyatakan
diriNya bukan dalam dunia yang terindra melainkan dalam pribadi yang
terbatas. Maksudnya, Tuhan menampakkan diri dalam pribadi manusia.
Karna itu, usaha mendekatkan diri kepada Tuhan hanya mungkin dilakukan
melalui pribadi. (Sharif, 1984: 35)
61
Dengan demikian, usaha mencari Tuhan bersifat kondisional terhadap
pencarian diri sendiri. Sebab, Tuhan menurut Iqbal tidak bisa diperoleh
dengan meminta-minta dan memohon semata. Sikap demikian tak ubahya
hanya akan menunjukkan kelemahan dan ketidakberdaaan manusia.
Paham Iqbal mengenai Tuhan merupakan paham yang menekankan
eksistensi diri manusia. Iqbal tidak mengangggap Tuhan sebagai pencipta,
penguasa alam, maupun anggapan lain yang menyatakan bahwa Tuhan
sebagai zat yang patut disembah, tempat untuk meminta dan lain sebagainya.
Sebab, menurut Iqbal paham demikian hanya menunjukkan ketidak
berdayaan dan kelemahan manusia. Singkatnya, hal itu akan menodai
eksistensi ego manusia.
Sebaliknya, Iqbal dengan teorinya tentang konsep diri menegaskan bahwa
Tuhan adalah partner hidup manusia. Selain mempertegas eksistensi diri
manusia, hal ini juga mennjukkan bahwa manusia merupakan daya kreatif.
Paham demikian sekaligus memberi gambaran bahwa manusia memiliki
kemampuan dan kekuatan untuk mencipta apapun saja, sedangkan Tuhan
berperan sebaai rekan kerja manusia.
Manusia sebagai daya kreatif harus berperan aktif dalam menentukan
hidupnya sendiri. Sehingga, dalam setiap peristiwa yang terjadi manusia tidak
akan menyalahkan takdir Tuhan. Sebab, dalam setiap usaha yang dilakukan,
manusia menjadi tokoh utama sekaligus penent keberhasilan dari setiap
usahanya Tuhan sebagai partner hanya bertugas mengiringi dan membant
kapanpun manusia membutuhkan.
62
Paham yang berakar pada konsep Iqbal tentang individualitas ini jelas
mempertegas eksistensi manusia. Manusia bukan hanya dianggap sebagai
hamba Tuhan yang pasrah terhadap takdir yang menimpanya. Tetapi manusia
sebaga ego kreatif yang mampu menentukan hidupnya sendiri.
Jika hubungan antara manusia dan Tuhan sudah berjalan layaknya partner
kerja, maka kedekatan akan terjalin. Kedekatan dengan Tuhan ini lah yang
akan mengantarkan manusia menuju insan kamil. Pendekatan itu tidak hanya
dapat diperoleh melalui kesadaran akan diri. Dalam pandangan ini, Iqbal
seolah menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah dzat yang jauh melampaui
apapun hingga tak dapat dijangkau oleh manusia. Sebaliknya, Iqbal
merepresantasikan Tuhan sebagai Ego Mutlak yang dekat dan berada pada
pribadi manusia yang telah mencapai individualitasnya.
Paham ini menunjukkan optimisme konsep diri Iqbal dalam mencapai Ego
Mutlak. Melalui upaya pencarian dan pengenalan pada diri manusia itu
sendiri, dengan mudah akan mengenal Tuhan. Sebab, usaha mengenal Tuhan
berjalan searah dengan upaya mengenal diri sendiri. Inilah konsepnya yang
diebut dengan insan kamil.
Konsep insan kamil dalam filsafat Iqbal merupakan sintesis dari
pandangan filsafat Barat dan filsafat Islam. Insan kamil adalah mukmin yang
di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kearifan. Sifat-
sifat luhur ini ada dalam akhlak nabawiI sehingga sang mukmin akan menjadi
tuan bagi nasibnya sendiri secara bertahap mencapai tingkat kesempurnaan.
63
Kesempurnaan atau insan kamil tersebut, hanya dapat dicapai hinga ego
melampuaui proses yang mencangkup tiga tahap (Miss Lucw dan Claude
Maitre, 36-37):
1. Ketaatan kepada hukum, hal ini merupakan realisasi dari sikap disiplin
diri secara tepat.
2. Penguasaan diri sendiri yang merupakan bentuk tertinggi dari
kesadaran pribadi.
3. Pencapaian kekhalifahan Ilahi, dalam hal ini Nabi adalah manusia
ungul dengan diri paling sempurna. Dia lah khalifah Allah di muka
bumi yang menjadi figure panutan dalam mewujudkan insan kamil
C. Relevansi Pemikiran Muhammad Iqbal Terhadap Pendidikan Islam
1. Kehendak Kreatif Sebagai Dasar Pendidikan Islam
Kehendak kreatif merupakan istilah Iqbal yang paling tpat untuk
mengawali embahasan mengenai pendidikan. Kehendak kreatif mengandung
pengertian keinginan dan keecnderungan manusia untuk selalu bergerak,
mengembangkan diri kea rah yang lebih bak. Istilah ini terlahir dari inti
pemikiran filosofisnya tentang diri manusia. Diri sebagai kehendak kreatif
memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri, tanpa campur
tangan sesuatu di luar dirinya (Saiyidain, 1981: 21).
Manusia dengan kebebasannya adalah penentu bagi kehidupannya sendiri.
Oleh karena itu keaktifan adalah kunci manusia dalam mengarungi
kehidupan. Hal ini menuntut adanya inisiatif manusia untuk menentukan
tujuan hidupnya sendiri. Sehingga dalam setiap sesuatu yang terjadi, manusia
64
tidak semestinya menyalahan takdir Tuhan yang telah ditetapkan saat
penciptaan manusia.
Namun demikian, kebebasan dalam kehendak kreatif Iqbal bukanlah
kebebasan yang bua tana tanggung jawab (Roswantoro, 2008: 162). Diri
manusia bertanggung jawab atas keaktifan dan kepasifan tindakannya sendiri.
Setiap keputusan yang diambil akan menimbulkan akibat dan resiko ang akan
ditanggungna sendiri. Di sinilah letak tanggung jawab dalam kebebasan
manusia. Selain itu, kebebasan individu juga dibatasai oleh kebebasan orang
lain.
Kebebasan dalam kehendak kreatif Iqbal ini berbeda denan konsep
Bergson dan Nietsche. Kedua tokoh yang mempengaruhi pemikiran filosofis
Iqbal ini mengartikan kehendak kreatf sebagai khoatis, buta tanpa tujuan.
Sedangkan Iqbal menolak pandangan terebut dengan mengatakan bahwa
kehendak kreatif adalah sesuatu yang bertujuan (Adian, 113). Eksistensiaisme
religious Iqbal mengantarkan pada pemahaman bahwa diri selalu bergerak
menuju realitas ultim: Tuhan. Tuhan lah sebagai tujuan tertinggi dari seluruh
kehendak kreatif manusia.
Kehendak kreatif merupakan kekuatan yang mendorong manusia menuju
individualitasnya. Filosof eksistensialis ini menganggap kehendak sebagai
hakikat inti kepribadian manusia (Enver, 2004: 61). Sehingga bisa dikatakan
bahwa manusia yang tidak berkehedak sama halnya dengan kehilangan
kemanusiaannya. Sebab, kehendak ini lah yang mendorong manusia untuk
terus aktif dan berkreasi.
65
Manusia yang tidak memiliki kehendak dan hanya menjadi pengikut orang
lain tidak akan menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Manusia demikian jauh dari
tingkatan kesadaran diri apalagi individualitas. Sebab, manusia tersebut tidak
memiliki insiatif untuk mengembangkan kepribadiannya. Padahal kehendak
kreatif Iqbal mengisyaratkan diri yang mampu berperan aktif dalam
mengembangkan kepribadian dan menentkan ujun hidupnya sendiri.
Berdasarkan asumsi bahwa manusia adalah kehendak kreatif, Iqbal
menolak determinisme dan kepasifan. Keaktifan dan kebebasan manusia
menjadi hakikat yang akan mempertinggi kualitas diri. Kehendak kreatif ini
juga yang menjadi pembeda antara diri manusia dengan diri-diri yang lain.
Berbekal kehendak kreatif, manusia dapat mencapai tingkatan wakil
Tuhan. Sebab otonomi yang diberikan Tuhan ini memungkinkan manusia
untuk sebanyak mungkin menyerap sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Sifat-
sifat dasa dari individualitas Tuhan yang diserap tersebut adalah kreatif, aktif,
dan dinamis. Dengan menyerap sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya
berdasarkan pilihan dan putusannya sendiri akan tumbuhlah ego. Dalam
keadaan demikian dia menjadi wakil Tuhan. Menjadi wakil Tuhan adalah
kesadaran puncak kebebasan dan kemandirian diri sebagai akibat dari
penemuan ego terbatas terhadap ego Mutlak, Tuhan.
Dalam konsep pendidikan, diri sebagai kehendak kreatif adalah potret dari
sifat asli manusia yang masih perlu dikembangkan. Di sinilah letak peluang
bagi usaha pendidikan dalam pengembangan kepribadian manusia.
Bahwasanya dalam kehendak kreatif ini manusia selalu memiliki
66
kecenderungan untuk bergerak dan mengembangkan dirinya untuk mencapai
kesempurnaaan.
Selain itu, kehendak kreatif manusia mengandung arti kebebasan manusia
dalam menentukan hidupnya sendiri. Manusia bebas melakukan kreativitas
untuk menciptakan perubahan dalam hidupnya. Ihwal demikian memberi
bukti relevanasi gagasan Iqbal dengan pendidikan Islam sebagaimana yang
termaktub daam salah satu aat al-qur‟an yang menjadi sumber bagi
pendidikan Islam.
ن ب ي يديو ومن خلفو يفظونو من . بات م ر ما بقوم لو معق أمر اللو إن اللو ال ي غي
ن دونو من روا ما بأن فسهم وإذا أراد اللو بقوم سوءا فال مرد لو وما لم م حت ي غي
وال
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah . Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia (Q.S. Ar-Ra‟du: 11)
Ayat di atas membuktikan bahwa Allah memberikan kebebasan bagi gerak
manusia untuk merubah hidupnya sendiri. Allh tidak akan merubah keadaan
seseorang sampai ia berusaha menciptakan perubahan bagi dirinya
sendiri.dalam ayat ini tersirat makna untuk tidak begitu saja tunduk dan
menyerah trhada segala yang terjadi dalam hidup. Tetapi, manusia memiliki
67
otonomi untuk melakukan perubahan. Dalam bahasa Iqbal, otonomi itulah
yang akan meninggikan derajat diri manusia dibandingkan makhluk-makhluk
yang lain.
Tidak hanya itu, ada alasan mendasar yang membuktikan bahwa kehendak
kreatif Iqbal memiliki relevansi dengan dasar pendidikan Islam. Selain fakta
bahwa pemikiran-pemikiran Iqbal secara keseluruhan bersumber dari ajaran
al-Qur‟an dan hadis yang juga merupaan sumber bagi pendidikan agama
Islam. Terdapat fakta lain yang sesungguhnya ada pada diri Iqbal. Penetapan
kehendak kreatif sebagai dasar pendidikan Islam mengisyaratkan bahw ada
suber lain yang dapat menjadi landasan dan sumber kebenaran.
Iqbal meyakini ijtihan sebagai sumber norma kehidupan manusia.
Sedangkan ijtihan merupakan salah satu bentuk kehendak kreatif manusia
dalam menafsiri ayat-ayat tertulis. Sebab, jika hanya mengandalkan
penafsiran al-quran dan hadis manusia kan terperangkap dalam penafsiran
tekstal al-quran dan hadis yag seringkali sudah tidak relevan degan kehidupan
sosial saat ini. Sebagai penengah, iqbal meyakini ijtihad sebagai upaya
menafsiri teks-teks kitab suci secara kontekstual.
Namun demikian, Iqbal tetap menempatkan kehendak bebas manusia pada
psisi pertama. Menurutnya, sumber kebenaran adalah sesuatu yang lahir atas
dasar kesadaran dan berasal dari dalam dirinya sendiri. Sebab, dalam keadaan
demikian manusia bebas dari determinasi dan pengauh orang lain untuk
menaati pedoman kebenaran yang berlaku umum. Dengan catatan, kehendak
kreatif manusia ini tidak berlawanan dengan al-qur‟an dan hadis.
68
2. Manusia Otentik Sebagai Tujuan Pendidikan Islam
Gagasan mengenai manusia otentik merupakan implikasi dari
eksistensialisme religius Iqbal. Secara bahasa, otentik memiliki arti asli,
murni, dan benar (kamus ilmiah populer). Sedangkan manusia otentik dalam
pandangan Iqbal adalah manusia yang bebas dan tidak terpengaruh oleh orang
lain (Roswantoro, 2008: 148). Keasliannya terletak pada keteguhan
pndiriannya untuk tidak begitu saja terpengaruh leh dunia di luar dirinya.
Gagasan manusia otentik ini berangkat dari konsepnya tentang
individualitas. Menjadi manusia otentik berarti sepenuhnya sadar terhadap
dirinya sendiri, bahwa dirinya bebas menilai, menimbang dan menentukan
nasibnya sendiri. Manusia otentik berasal dari dalam diri bukan dari luar.
Karakteristik utama dari manusai otentik adalah sadar diri, bebas, kritis, dan
bertanggung jawab (Roswantoro, 2008: 83).
Manusia otentik adalah manusia yang sadar akan eksistensinya di dunia.
Dengan demikian, manusia otentik akan dengan mudah menjalani hidup
sesuai dengan perannya. Sedangkan, peran manusia otentik dalam hidup ini
adalah sebagai actor, yang menentukan sendiri arh hidunya dan tidak
terpengaruh oleh diri di luar dirinya.
Dalam bahasa pendidikan, manusia otentik adalah gambaran manusia ideal
yang telah mencapai segala aspek dalam dirinya. Manusia tersebut telah
matang secara kognitif, akfektif, dan psikomotorik. Matang secara kognitif
maksudnya, manusia terbut telah mampu mengaktualisasikan akalnya secara
69
optimal. Ihwal demikian memungkinkan manusia ini memiliki kecerdasan
intelektual.
Matang secara afektif berarti manusia tersebut tlah memiliki sikap ideal
yang dicita-citakan dalam pendidikan. Dalam dunia pendidikan Islam
manusia tersebut biasa disebut dengan manusia yang berakhlakul karimah.
Sehingga dengan berakhlak, manusia tersebut telah memiliki kecerdasan
spiritual yang mantap. Manusia tesebut telah paham bagaimana bersikap dan
berperan dalam hubungan dengan Tuhan dan dengan sesama manusia
maupun alam sekitarnya.
Tidak hanya itu, manusia otentik juga memiliki cirri matang secara
psikomotrik. Hal ini memungkinkan manusia ini untuk tidak hanya cerdas
secara intelektual dan spiritual saja, namun juga memiliki ketrampilan.
Dengan kecerdasan ini manusia otetik minimal pandai berperilaku sesuai
denan kapasitasnya sebagai manusia terdidik.
Manusia otentik akan cerdas menjalani perannya sebagai actor dalam
hidup. Ia mampu menciptakan sendiri tujuan hidup dan gambaraan manusia
ideal yang akan dicapainya. Tidak berhenti sampai di sini, usaha keras untuk
mencapai tujuan pun akan dilakukannya dengan sukarela dan bangga, sebab
tujuannya ini murni berangkat dari dalam dirinya. Bukan hasil bentukan
orang lain, apalagi paksaan dari kelompok universal yang ada.
Inilah yang disebut oleh kaum eksistensials bahwa menjadi manusa harus
berangkat dari dalam dirinya (Roswantoro, 2008: 84). Bernagkat dlam didi
yang dimaksud dalah seseorang memuliki kesadaran diri dan kebebasan daam
70
meentukan siapa dirinya dan akan menajdi apa. Manusia memiliki pilihan-
pilihan bebas dan sadar atas penentuan dirinya sendiri
Untuk menjadi manusia otentik, diri manusia harus memiliki sifat bebas,
kritis, dan bertanggung jawab. Kebebasannya terletak pada kemampuannya
dalam menentukan tujuan hidupnya yang ebbas dari campur tangan orang
lain. Sedangkan kritiknya dalah bagian dari proses eksistensialnya yang
betujuan.
Tanggung jawabnya terletak di balik kebebasan diri yang dimilikinya,
bahwa kaibat dari setiap keputusan yang diambul denga kebebasan akan
menyisakan resiki yang harus ditanggun oleh dirinya sendiri. Sehingga
menjadi diri otentik di sini berarti mengaktualisasikan kebebasan dengan
tanggung jawab yang harus dipikulny sendiri. Buka berbuat bebas tanpa batas
dan semaunya sendiri tanpa pertangungawaban
Manusia otentik memiliki pribadi yang tangguh dan tidak mudah
terpengruh. Laku hidupnya selalu berasal dari inisiatifnya sendiri sebagai
penentu. Hidup aktif menjadi konsekuensi yang harus dijalani untuk
mencapai cita hidup yang telah ditentukanya sendiri. Dengan demikian,
kegiatan meniru dan mengikuti kebiasaan dan kecenderungan masyarakat
pada umumnya menjadi hal yang haram dilakukan bagi manusia otentik versi
Iqbal.
Menjadi wajar jika manuia otentik menjadi gambawan manusia ideal yang
akan dicapai dalam proses pendidikan. Dalam hal ini, usaha pendidikan
sepenhnya diarahkan untuk membentuk individu yang sadar diri, beas, kritis,
71
dan bertanggung jawab. Manusia otentik bukan sekedar diri yang telah
mencapai individualitasnya. Tetapi manusia yang juga mampu
mengaktualisasikan segala kemampuan dirinya. Sehingga manusia otentik
dalam dunia pendidikan ini adalah manusia yang memiliki kecerdasan
intelektual, spiritual, dan ketrampilan.
Kesempuranaan kecerdasan manusia otentik tersebut yang akan
mengantarkan manusia menjadi wakil Tuhan di bumi. Sebagai mana tersurat
dalam Q.S. Fathir: 39.
الذي جعلكم خالئف ف الرض فمن كفر ف عليو كفره وال يزيد الكافرين كفرىم ىو
م إال مقتا وال يزيد الكافرين كفرىم إال خسارا عند رب
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.
Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya
sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah
akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian
mereka belaka (Q.S. Fathir: 39).
Namun demikian, gagasan manusia otentik sebagai tujuan pendidikan
Islam yang ditawarkan Iqbal ini bukanlah berlawanan dengan insan kamil
seabagai tujuan pendidikan Islam yang telah banyak dikenalkan oleh tokoh-
tokoh lain. Jika insane kamil adalah konsep tentang manusia sempurna, maka
manusia otentik adalah tangga untuk mencapainya.
Insane kamil menggambarkan sosok manusia yang memliki akhlak nabawi
dan sifat-sifat ketuhanan. Akhlak nabawi yang dimaksud adalah manusia yang
72
memiliki perilaku sesuai akhlak Rasulullah. Sedangkan sifat ketuhanan,
ditujukan pada manusia yang sebisa mungkin menyerap sifat-sifat Tuhan
dalam dirinya. Ketika sifat-sifat ketuhanan memancar dalam diri seorang
muslim, saat itu lah predikat insan kamil telah ditaklukkan.
Namun demikian, Iqbal memiliki pemahamam bahwa cita insan kamil ini
adalah sebuah tujuan yang tidak akan pernah sepenuhnya dapat dicapai oleh
manusia (Saiyidain, 1981: 143). Insane kamil terlalu utopis untuk
diwujudkan. Cita demikian hanya menjadi petunjuk dan tolak ukut seberapa
jauh usaha manusia telah berhasil. Selain itu, cita yang tidak dapat
sepenuhnya teraih tersebut, hanya merupaan daya pendorong bagi gerak
manuia yang berusaha mewujudkannya.
Manusia, dengan segala usahanya hanya akan mampu mendekati
kesempurnaan. Semakin dekat diri seserang dengan kesempurnaan., maka
akan semakin tinggi derajat kemanusiaannya. Denga demikian, insan kamil
hanya dapat didekati oleh diri yang tangguh, semangat, dan tidak kenal
menyerah.
Pemahaman ini bukan bertujuan untuk menghakimi apalagi
menghancurkan keyakinan akan insan kamil yang selama ini telah menjadi
cita manusia ideal sekaligus tujuan akhir hidup dan proses pendidikan.
Sebaliknya, Iqbal berupaya memberikan gambaran konkret mengenai
manausia dea yang dicita-citakan, yang dengannya insane kamil bukan lagi
sebagai cita yang mengawang dan sulit dijangkau. Insan kamil yang diarikan
73
manusia yang mampu menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat Tuhan, baginya
telah terwjud dalam manusia otentik miliknya.
Manusia otentik dengan karakteristiknya yang sadar diri, telah mampu
menghayati dan melampahkan perannya sebagai actor dalam hidup.
Kehendak bebasnya telah mamu menciptakan sendiri tujuan hidupnya,
sehingga tidak lagi mengekor pada keumuman masyarakat. Kreatifitasnya
menuntut keaktifan untuk senantiasa bergerak dan mengembangkan diri,
hingga mampu mengantarkannya menjadi co-worker (partner kerja) Tuhan.
Dengan demikian, manusia otentik ecara otomatis telah mampu menyerap
sifat-sifat dasar dari individualitas Tuhan yang berkehendak, aktif, bebas,
dinamis dan kreatif. Ini lah yang disebut dengan menemukan Tuhan sebagai
Diri, yaitu Diri Mutlak. Dalam keadaan demikian, manusia menjelma menuju
tingkatan wakil Tuhan (wakil Allah). Menjadi wakil Tuhan adalah kesadaran
puncak kebebasan dan kemandirian menjadi diri, sebagai akibat dari
penemuan diri terhadap diri mutlak.
Demikianlah potret manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan Islam,
manusia yang sadar diri dan mampu menjalankan perannya sebagai wakil
Tuhan di bumi. Sehingga hal mendasar yang perlu dilakukan dalam
pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran diri peserta didik hingga
mencapai individualitasnya. Individualitas inilah yang menjadi dasar
terbentuknya diri yang otentik.
74
3. Relasi pendidik dan peserta didik.
Pendidik merupakan salah satu komponen terpenting dala proses
pendidikan. Secara umum, pendidik adlaah mereka yang memiliki tanggung
jawab mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan
kewajibannya melakasanakan proses pendidian (Marimba, 1986: 37).
Peran pendidik selain harus mampu transfer of knowledge juga mampu
transver of value. Oleh karena itu pendidik seringkali berperan sebagai
motiator dan fasilitator agi peserta didiknya. Dengan paradigma ini seorang
pendidik harus mampu memotivasi dan memfasilitasi peserta didik agar dapat
mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan sebagai potensi tersimpan yang perlu
dikembangkannya (Langgulung, 1988: 86).
Sedangkan peserta didik dalam pendidikan Islam merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejmlah potensi dasar (fitrah) yang perlu
dikembangkan (Suharto, 2013: 119). Dalam hal ini peserta didik adalah
makhluk Allah yang belum mencapai kematangan, baik fisik, mental,
intelektual, maupun psikologisnya. Oleh sebab itu, ia senantiasa memerlukan
bantuan, bimbingan, dan arahan dari pendidik. Dengan tujuan agar dapat
mengembangkan potensinya secara optimal dan menuju kedewasaan.
Sebutan pendidik bagi istilah guru disini bukan tanpa alasan. Istilah
pendidik dan peserta didik digunakan untuk mengisyaratkan adanya
partisipasi guru dan murid dala proses pembelajaran (Tafsir, 2012: 146).
Partisipasi tersebut menunjukkan adanya peran yang sama dari pendidik dan
peserta didik dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan. Kedudukan
75
pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan adalah subjek
pendidikan. Sehingga hubungan keduanya terjalin secara interaktif dan
komunikatif.
Muhammad Iqbal, dalam teorinya tentang konsep diri seacra implisit juga
mengulas hal tersebut. Dalam pandangannya mengenai pendidikan, Iqbal
memiliki pandangan tersendiri mengenai relasi antara pendidik dan peserta
didik dalam proses pembelajaran. Pandangan Iqbal ini sangat berlainan
dengan konsep pendidik dan peserta didik dalam sistem pembelajaran
konservatif yang biasanya meletakkan peserta didik sebagai objek dari proses
pendidikan. Hal ini sebagaimana tersirat dalam puisi Iqbal yang termaktub
dalam Bal-I Jibril:
Apakah gerangan guru itu?
Guru bagaikan Pembina insan!
O, betapa tepat ucapan filosof Qaani
Dalam mengulas cara membimbing siswa;
„bila kau inginkan tamanmu bermandi cahaya,
Jangan kau bentangkan benteng pembendung pancaran surya‟ (Saiyidain,
1981: 56)
Mengacu pada puisi ini dapat dipahami bahwa penddik dalam pandangan
Iqbal memang diangap sebagai pembimbing. Namun pembimbing disini tidak
diartikan sebagai orang yang selalu menuntun dan mengarahkan apapun yang
akan dikerjakan oleh peserta didik. Cara membimbing peserta didik menurut
Iqbal adalah dengan membiarkan peserta didik berkembang dengan
sendirinya dan tidak membatasi peserta didik dari dunia luar. Sebab dengan
demikian peserta didik akan mampu menemukan kecenderungan dan
76
keinginan yang akan menjadi tujuan hidupnya. Dengan menentukan
tujuannya sendiri, sikap tanggung jawabpun akan tumbuh dengan sendirinya.
Sehingga peserta didik akan mampu sadar diri dan mencapai individualitas.
Ihwal demikian semakin memperkuat gagasan konsep diri Iqbal yang
menganggap pendidik sebagai Diri Mutlak (Tuhan). Sedangkan peserta didik
adalah diri terbatas atau co-worker Diri Mutlak. Kedudukan manusia atau
peserta didik sebagai co-worker Diri Mutlak menunjukkan relasi keduanya
sebagai rekan kerja. Rekan kerja dalam melaksanakan proses bernama
pendidkan dan bekerja sama dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Gagasan Iqbal mengenai pendidik sebagai Diri Mutlak ini sesuai dengan
ayat al-Qur‟an yang menjelaskan bahwa seorang pendidik harus berjiwa
rabbani (Budianto, 2010: 71), sifat-sifat ketuhanan.
بشر أن ي ؤتيو اللو الكتاب والكم والنب وة ث ي قول للناس كونوا عبادا ل من ما كان ل
دون اللو ول كن كونوا ربانيي با كنتم ت علمون الكتاب وبا كنتم تدرسون
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al
Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang
rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu
tetap mempelajarinya.(Q.S. Al-Imran: 79)
Dalam proses pendidikan, pendidik sebagai Diri Mutlak berperans sebagai
partner bagi peserta didik dalam mencapai individualitasnya menuju manusia
otentik. Diri Mutlak sebagai figure sentral dan menjadi tujuan dalam setiap
77
aktivitas pendidikan. Maksudnya, Diri Mutlak di sini berperan sebagai
teladan yang sifat dan perilakunya akan diserap sebanyak mungkin oleh diri
terbatas (peserta didik). Namun demikian penyerapan sifat-sifat tersebut
bukan untuk menenggelamkan diri peserta didik ke dalam diri pendidik dan
menghilangkan sama sekali individualitas peserta didik. Sebaliknya, hal
demikian akan mempertegas individualitas peserta didik.
Penegasan individualitas yang dimaksud terletak pada kebebasan yang
diberikan oleh Diri Mutlak. Kebebasan tersebut berupa kebebasan berkreasi
sesuai dengan kehendaknya sendiri. Diri terbatas memiliki kebebasan untuk
menilai dan memertimbangkan sifat-sifat Diri Mutlak, untuk kemudian
memutuskanakan berkreasi atau tidak, akan menyerap sifat-sifat Diri Mutlak
atau tidak.
Namun dalam proses penyerapan sifat-sifat Diri Mutlak tidak sepenuhnya
diri terbatas meniru sifat-sifat tersebut hingga seolah menjadi duplikasi dari
gurunya. Dalam proses tersebut terdapat ruang di mana diri terbatas dapat
berkreasi seusai kehendaknya sendiri. Meskipun kebebasannya tersebut tidak
sepenuhnya berlawanan dan menentang Diri Mutlak. Sebab kebebasan yang
dimaksud bukanlah kebebasan tanpa tanggung jawab.
Jika sudah demikian, yang terjadi bukanlah penenggalaman diri terbatas ke
dalam Diri Mutlak dan menghilangkan individualitas diri terbatas sama
sekali. Kebebasan berkreasi justru akan melahirkan diri terbatas yang
memiliki karakternya sendiri. Karakter yang tidak sama dengan Diri Mutlak,
78
dan juga tidak menentang Diri Mutlak. Memiliki karakter yang khas dan
berbeda dengan yang lain menjadi ciri utama manusia otentik. Sehingga bisa
dikatakan penyerapan sifat-sifat Diri Mutlak dalam proses pendidikan akan
menghasilkan manusia otentik.
4. Pendidikan Kepribadian Sebagai Karakter Pendidikan Islam
Iqbal berpandangan bahwa pedidikan adalh proses menuju individualitas
tertinggi manusia. Bahkan, menurut Iqbal semua organism hidup selalu
berjuang untuk mencapai tingkat individualitasn yang lebih kompleks dan
sempurna. Hanya saja, dari keseluruhan makhluk hidup, hanya manusia lah
yang mampu mencapai tingkat kedirian tertinggi. Manusia pula lah yang
erupakan makhluk paling sadar terhadap realitasnya.
Memupuk individualitas baginya merupakan tujuan tertinggi dari segala
usaha pendidikan maupun usaha kegiatan sosial lainnya. Individualitas
merupakan suatu hasil yang hanya dapat dicapai melalui jerih-jerih payag dan
perjuangan yang tekun (Saiyidain, 1981: 34). Sedangkan proses tersebut, di
antaranya berlangsng dalam kegiatan pendidikan.
Iqbal sepenuhnya percaya pada ineraksi antara individu dengan
lingkungannya sebagai media aktualisasi diri. Terlibat dalam sebuah
organisasi misalnya, dipandang Iqbal sebagai titik temu atau kesepakaan
bersama antar individu. Tetapi yang menjadi catatan adalah komunitas
kolektif tersebut tidak menjelma sebagai hegemoni terhadap individu-
individu yang ada di dalamnya (Roswantoro, 2008: 152). Kolektivisme Ibqal
leih merpakan komunitas terbuka bagi perubahan dan perkembangan bagi
79
indiidu-individu di dalamnya. Singkatnya, individu tetap sebagai mtor
penggeraksuatu organisasi atau kolektivisme, bukan sebaliknya.
Lebih lanjut, Iqbal menegaskan bahwa sikap menyendiri dan tertutup
terhadap segala kejadian sosial di sekelilingnya hanya akan menimbulkan
penyakit egosentris (Roswantoro, 2008: 34). Maksudnya, manusia itu hanya
memusatkan perhatiannya pada diri sendiri, tanpa memperhatikan realitas
sosial yang ada. Padahal manusia hidup di dunia tidak pernah dapat lepas dari
realitas sosial yang mengelilinginya.
Individualitas merupakan perkembangan dari kepribadian manusia. Sejak
lahir, setiap manusia dibekali oleh Tuhan suatu kepribadian. Kemudian,
setelah memperoleh pngaruh dari lingkungan sekitarnya, kepribadian tersebut
dapat berkembang menuju individualitas. Tidak mudah bagi sseorang untuk
mencapai individualitas selain harus melalui usaha keras tanpa kenal lelah.
Komitmen dalam menenun kepercayaan diri, memperkuat ego dan
membuang ketergantungan pada orang lain menjadi frmula ampuh untuk
mencapai individualitas.
Sebab dibutuhkan perjuangan dan usaha keras itulah, tidak semua orang
dapat meraih individualitas. Jalaludin dan Usman Said menyatakan bahwa
mengembangkan kepribadian menuju individualitas adalah hak seseorang
(Jalaludin dan Usman Said. 1994: 90). Jadi tidak ada tuntutan bagi seseorang
untuk mengambangkan kepribadiannya. Hanya saja, pencapaian individuaitas
dengan jalan mengembangkan kepribadian adalah yang utama.
80
Pada dasarnya, kepribadian merupakan ciri khas yang dapat membedakan
satu orang dengan orang lainnya. Kepribadian tersebut dapa dibentuk melalui
bimbingan darai luar (Jalaludin dan sman Said. 1994: 91). Kenyataan ini lah
yang memberi peluang bagi usaha pendidikan untuk memberi andil dalam
upaya pembentuka kepribadian menuju individualitas. Dalam hal ini,
pendidikan yang bercorak Islam harus mampu mengantarkan pribadi manusia
menuju individualitas tertinggi yang pada akhirnya akan bermuara pada
tingkatan manusia otentik.
Individualitas tertinggi dalam pandangan Iqbal merupakan kesadaran
tertinggi manusia, yaitu kesadaran atas diri dan realitasnya sebagai khalifah
Allah di muka bumi, ini lah yang disebut Iqbal dengan manusia otentik.
Sebab, ketika manusia telah mampu mencapai kesdaran tertinggi akan
dirinya, manusia tersebut akan mengerti bagaimana cara menempatkan diri
dan berperan dalam kehidupan. Baik berperan sebagai individu dalam
hubungannya dengan diri sendiri, sebagai makhluk sosial dalam interaksi
dean masyarakat, maupun manusia sebagai khalifah Allah.
Hal demikian tentu saja sejalan dengan tujuan pendidikan Islam untuk
mewujudkan manusia otentik. Sedangkan individualitas merupakan
parasayarat bagi seseorang untuk mencapai manusia otentik. Singkatnya,
derajat otentik hanyadapat diraih oleh individu yang telah mencapai
individualitasnya. Sehingga semua pembelajaran diarahkan untuk mencapai
tujuan mulia tersebut.
81
Dengan demikian, tidak heran jika dalam pendidikan Islam, pendidikan
kepribadian menjadi sasaran utama dalam seluruh proses kegiatan
pembelajaran. Pendidikan untuk mengembangkan kepribadian juga menjadi
karateristik pendidikan Islam itu sendiri. Inilah konsep pendidikan Islam yang
diusung oleh Iqbal, filosof yang pemikirannya berpusat pada kajian tentang
manusia.
Sumbangan terbesar Iqbal bagi dunia pendidikan terletak pada konsepnya
tentang individualitas. Menurutnya, setiap pengembangan teori pendidikan
yang mantap harus memiliki konsep tertentu tentang individualitas dan
kriteria manusia ideal yang dicita-citakan. Baginya, manusia otentik (sebutan
iqbal bagi manusia ideal) inilah yang menajadi tujuan pendidikan dan tujuan
hidup manusia (Saiyidain, 1981: 113).
Konsep Iqbal tentang individualitas ini berangkat dari pemikiran
filosofisnya tentang diri, atau dalam bahasa Parsi disebut dengan khudi. Diri
dalam pandangan Iqbal merupakan pusat dari seluruh organisasi manusia
(Saiyidain, 1981: 24). Sehingga tidak heran jika dalam setiap karyanya, Iqbal
berusaha sedemikian rupa utuk mempertegas eksistensi diri manusia. Tidak
jarang, dalam karya-karya puisinya Iqbal menyampaikan pesan-pesan yang
menggugah semangat hidup dan pentingnya menyadari realitas diri.
Move round thy self! Be a circling flame!
What is Life but to be freed from moving round others
And to regard thys self as Holy Temple?
Beat thy wings and escape from the attraction of Earth;
Like a birds, be safe from falling.
Unless thou art a bird, thou wilt do wisely
Not to build thy nest on the top of cave. (Iqbal, 1920: 61)
82
Kebebasan, kehendak, dan kreatifitas diri menjadi karakteristik manusia
ideal yang diperjuangkan Iqbal. Bahkan, seringkali puisi-puisi Iqbal berusaha
untuk mengajak kaum muda untuk percaya pada kemampuan diri dan
membuah jauh sifat bergantung pada orang lain. Sebab ketergantungan pada
sesuatu di luar dirinya hanya mengisyaratkan kematian.
Iqbal berusaha untuk mengajak kaum muda percaya kepada kemampuan
diri dan memmbuang jauh sifat tergantung pada orang lain, bahkan pada
Tuhan sekalipun. Sebab, ketergantungan pada sesuatu di luar dirinya hanya
mengisayaratkan kematian.
Iqbal juga secara khusus membahas tentang fase perkembangan pribadi
manusia dalam karyanga Asrar-I-Khudi. Dalam puisinya tersebut Iqbal
menjelaskan bahwa diri atau ego dalam gerak kebebasannya melewati tiga
tahap perkembangan mental. Tiga fase ini merupakan tahapan-tahapan dalam
mencapai kesempurnaan pribadi. Ketiga tahap yang dimaksud adalah ketaatan
diri, kontrol diri, dan wakil Tuhan.
First Phrase: Obedience
Service and toil are traits of the camel,
Patience and perseverance are ways of the camel.
Oiselessy he steps along the sandy track,
He is the ship of those who voyage in the desert.
Every thicket knows the print of his foot:
He eats seldom, sleeps little, and is inured to toil
He carries rider, baggage, and litter;
He trots on and on the journey‟s end,
83
Rejoicing in his speed,
More patient in travel that his rider.
Thou, too, do not refuse the burden of Duty;
So wilt thou enjoy the best dwelling—place, which is with God.
Endeavour to obey, O heedless one!
Liberty is the fruit of compulsion ...... (Iqbal, 1920: 39)
Pada tahap ketaatan, manusia bergama memiliki keyakinan untuk
menyerahkan dan mengabdikan diri pada yang diyakininya. Pada situasi ini,
Iqbal mengumpamakan manusia seperti unta. Kepatuhan unta yang tanpa
kritik terhada tuannya menjadi sorotan utama Iqbal. Menurutnya beban
seberat apapun yang diberikan kepadanya jika atas nama keyakinan akan
diterima dengan senang hati.
Simpulan yang dapat diambil dari tahap ini adalah kepatuhan dan ketaatan
sebagai tahap awal adalah baik, tetapi kepatuhan selamanya yang muncul
bukan atas kesadaran diri adalah kejumudan. Kepatuhan yang dimaksud
hanya akan menenggelamkan ego pada diri yang lain. Tahap patuh yang
demikian ini menunjukkan ketidakotentikan individualitas manusia dalam
proses keberagamaannya.
Dengan kepatuhan yang nerawal dari keterpaksaan dan menimbulkan
kejumudan, manusia memasuki tahap kedua eksistensinya, yaitu control diri.
Pada tahap ini manusia mulai menyoal dirinya sebagai subjek yang
menentukan dan mulai meninggalkan dirinya sebagai objek yang
84
dideterminasi. Kontrol diri dimulai dari diri yang sadar akan kediriannya.
Puisi Iqbal pada fase kedua ini sebagai berikut.
Second Phrase: Self-Control
Thy soul cares only itself, like the camel:
Is is self-conceited, self governed, and self-willed
Be a man, get its halter into thine hand,
That thou mayst become a pearl albeit thou art a potter‟s vessel
He that does not commands from others.
When they moulded thee of clay,
Love and fear were mingled in thy making:
Fear of this world and of the world to come, fear of death,
Fear off all the pains of earth and heaven;
Love of riches and power, love of country,
Love of self and kindread and wife.
The mixing of clay with water nourichesn the body,
But he that is drowned in sin dies an evil death/
So long as thou hold‟st the staff of “There is no God but He,”
Thou wilt break every spell of fear. (Iqbal, 1920: 40)
.......
Penggalan puisi tersebut mengajak manusia untuk berhubungan langsung
dengan Tuhan untuk menemukan dirinya yang kuat sehingga tidak mudah
terpengaruh tipu daya dunia dan berada di bawah kendali orang lain.
Mendekatkan diri pada Tuhannya akan menjadikan diri semakin kuat, jiwa
yang mampu mengendalikan diri dan mengembangkan diri serta ridak mudah
larut pada orang lain.
85
Tahap ketiga adalah menjadi wakil Tuhan. Manusia yang sampai pada
tahap ini telah mencapai eksistensi diri yang tinggi. Sebab, hidup dan seluruh
aktivitas dirinya menggambarkan kehendak Tuhan.
Third Phrase: Divine Vigerency
If thou canst rule thy camel, thou wilt rule the world
And wear on thine head the crown of Solomon
Thou wilt be the glory of the world whilst the world lasts,
And thou wild reign in the kingdom incorruptible.
„Tis sweet to be God;s vicegerent in the world
And exercise sway over the elements.
God‟s vicegerent is as the soul of universe,
His being is the shadow of Greatest Name.
He knows the mysteries of part and whole,
He excutes the command of Allah in the world.
When he pitches his tent in the wide world.
He rolls up this ancient carpet.
His genius abounds with life adn desires to manifest itself. ( Iqbal, 1920:
41)
Menjadi wakil Tuhan merupakan puncak dari pencapaian diri. Menjadi
diri adalah upaya mengaktualisasikan individualitas dalam kehidupan di
dunia sebagaimana Tuhan menunjukkan individualitasnya melalui penciptaan
yang trus menerus. Dengan menjadi diri seperti ini, manuisa tidak akan
mudah tenggelam pada masa lalu, namun sebaliknya, pandangannya selalu
mengubah ke hal baru di masa depan.
86
Tahapan ini merupakan cermin manusia yang menghubungkan dirinya
dengan Tuhan secara langsung dalam kehidupan duniawi. Iqbal berupaya
merasionalkan proses manusia mendekati Tuhan. Menurutnya, manusia
mendekati Tuhan. Menurutnya, manusia mendekati Tuhan melalui ketinggian
martabat dirinya. Sedangkan ketinggian martabat tidak bisa diperoleh dengan
meminta-minta dan tunduk terhadap norma yang berlaku secara umum.
Mengenai norma dan moralitas, Iqbal memiliki pandangannya sendiri
yang bersumber pada kebebasan individual manusia. Menurutnya, norma
adalah sesuatu yang berasal dari keputusan diri individu. Sedangkan moralitas
menurutnya bersifat terbuka, artinya manusia menciptakan nilainya sendiri
dan tidak terikat oleh norma tradisional yang berlaku umum. Sebab, lagi-lagi
Iqbal adalah tojoh yang selalu menjunjung tinggi pada kebebasan kehendak
manusia.
Manusia yang telah mampu menaati norma-norma yang berasal dari dalam
dirinya, ia telah mencapai ketunggian martabat. Karena manuisa yang
demikian tidak terpengaruh oleh sesuatu dari luar dirinya. Mendekati Tuhan
dengan ketinggian martabat adalah usaha mengenal Tuhan melalui diri. Pada
tahap ini manusia menemukan Tuhan sebagai diri, yaitu Diri Mutlak.
Manusia selalu bergerak mendekati Diri Mutlak dengan berupaya
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat Diri Mutlak. Sifat-sifat tersebut
merupakan sifat-sifat dadsar dari individualitas Tuhan, yaitu aktif, dinamis,
dan kreatif. Dengan menyerap Tuhan ke dalam dirinya, ia akan menemukan
87
kesejatian dirinya, yaitu ketika ia menemukan Tuhan berdasar kesadaran dan
keputusannya sendiri. Dalam keadaan seperti itulah ia menjadi wakil Tuhan
(Sharif, 35-36).
Tiga tahap perkembangan pribadi menurut Iqbal ini juga merupakan
tahapan perkembangan keberadaan manusia. Pada tahap permulaan, manusia
masih belum terlalu sadar akan individualitasnya, pilihan untuk taat pada
kehendak sesuatu di luar dirinya menjadi hal niscaya. Setelah itu, masuk oada
tingkatan kontrol diri, di mana manusia telah sadar akan kediriannya sehingga
manusia ini telah terbebas dari kepatuhan buta yang tanpa kritik terhadap
keyakinan yang diyakininya. Pada tahap selanjutnya, manusuai yang sadar
diri akan mencapai pada tingkatan wakil Tuhan. Tahap di mana manusia telah
mampu menemukan mendekati Tuhan melalui dirinya.
Ketiga fase pendidikan pribadi di atas akan mengantarkan manusia menuju
individualitas, untuk kemudian mencapai keotentikannya. Manusia sempurna
yang memiliki individualitas dan mampu menjalankan perannya sebagai
khalifah Tuhan di bumi. Untuk mendapatkan derajat yang tinggi tersebut,
manusia hendaknya pandai menempatkan diri pada kedudukan yang
terhormay. Maksudnya kedudukan di mana manusia itu sadar akan
kediriannya.
Secara rinci Iqbal memberikan langkah bagi tercapainya manusia ideal
yang dicita-citakan dalam proses pendidikan. Manusia ideal yang dimaksud
oleh Iqbal adalah amnusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya hingga
88
mencapai individualitas. Hal ini merupakan gagasan khas Iqbal yang tersirat
dan terimplikasi dari filsafatnya.
Menurut Iqbal memiliki watak tangguh merupakan prasyarat bagi
tercapainya individualitas seseorang. Watak yang tangguh tersebut dimiliki
oleh mukmin yang senantiasa gigih berjuang untuk menemukan diri,
mewujudkan diri dan mengembangkan dirinya, sedangkan untuk
mengembangkan watak yang tersebut menurut Iqbal pendidikan hendaknya
mampu memupuk tiga sifat yang merupakan komponen pribadi yang
tangguh.
Tiga komponen tersebut adalah keberanian, toleransi, dan faqr (Saiyidain,
1981: 126). Masing-masing sifat tersebut memiliki makna dan implikasi
terhadap pendidikan watak. Ketiganya merupakan komposisi yang
ditawarkan Iqbal untuk meracik manusia ideal melalui pendidikan.
a. Keberanian
Menurut Iqbal, untuk melaksanakan pendidikan watak yang
pertama-tama harus dipupuk adalah keberanian. Keberanian yang
dimaksud adalah keberanian yang berprinsip pada tauhid. Di sini Iqbal
memaknai tauhid bukan sekedar ucapan syahadatain, bukan pula sekedar
keimanan yang menancap dalam hati. Iqbal berupaya mengaktualisasikan
makna tauhid dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan tauhid dalam kehidupan sehari-hari dalam pandangan
iqbal mengandung arti penolakan terhadap segala bentuk kekuatan yang
89
datangnya selain dari Allah. Penolakan terhadap segala macam
kemungkaran. Bisa dikatakan keberanian disini adalah keberanian yang
berdasar pada kebenaran.
Pendidikan yang menekankan keberanian ini hendaknya dirancang
sedemikian rupa hingga dapat meminimalisir sikap takut, termasuk takut
pada pendidik. Menurut iqbal ketakutan terhadap pendidik hanya akan
menurunkan kreatifitas dan menghambat kepekaan emosi (Saiyidain,
1980: 127). Ketakutan pada pendidik sama halnya dengan tunduk pada
sesuatu di luar dirinya, dan itu merupakan akan menghilangkan
individualitas seseorang.
Selain itu perasaan takut kepad pendidik juga akan memperlemah
kemampuan untuk bertindak. Hal ini biasanya terjadi pada saat proses
pembelajaran di mana siswa dituntut untuk aktif. Apabila seorang peserta
didik memiliki rasa takut pada pendidik, keinginan untuk berpartisipasi
dalam pembelajaran pun akan berkurang. Jika sudah demikian, proses
penyampaian ilmu pengetahuan pun akan terhambat.
Ajaran Iqbal mengenai keberania ini semakin menemukan
bentuknya tatkala pendidikan saat ini berlangsung dalam suasana
menegangkan dan penuh tekanan. Dominasi bahkan hegemoni guru
terhadap murid seringkali terjadi dalam proses pembelajaran. Bahkan
terkadang dominasi itu dilakukan oleh sesama murid yang seolah
menampakkan istilah si kuat dan si lemah. Ihwal demikian bukan hanya
90
menjadi penghambat kreatifitas siswa namun juga mampu mematikan
karakter siswa.
Dalam perspektif konsep diri Iqbal, ketakutan hanya akan
melenyapkan realitas diri seseorang. Diir yang menjadi inti dari seluruh
organisasi kehidupan manusia mencerminkan eksistensi seseorang. Jika
realitas diri seseorang telah musnah, maka eksistensi orang tersebut dalam
kehidupan perlu dipertanyakan. Jika sudah demikian, segala kegiatan
pendidikan akan sisa-sia. Sebab sejatinya pendidikan adalah upaya
mempertegas diri.
Realitas diri seseorang tercermin dalam sikap berani dan percaya
diri. Semangat pantang menyerah dan menghilangkan sifat ketergantungan
terhadap orang lain. Demikianlah seharusnya segala proses pendidikan
yang berlangsung dalam atmosfer pendidikan Islam mampu mengantarkan
peserta didiknya untuk menggapai keberanian sebagai tameng menjalani
kehidupan.
b. Toleransi
Komponen kedua yang harus dipupuk dalam proses pendidikan
Islam adalah toleransi. Menurut Iqbal, toleransi mencerminkan watak
tinggi seseorang. Perhatian Iqbal terhadap toleransi ini tersirat dalam
pemikirannya yang menekankan individualitas (Saiyidain, 1981: 133).
Sikap toleran akan memperlancar perkembangan ego secara
optimal. Sebaliknya, sikap tidak toleran akan menggagalkan bahkan
menghancurkan laju perkembangan ego menuju individualitas. Sebab,
91
sikap demikian hanya akan menumbuhkan konflik yang akan menghambat
perkembangan diri.
Prinsip dari perbuatan yang mendukung perkembangan ego
menurut Iqbal adalah menghargai ego diri sendiri maupun ego orang lain
(Saiyidain, 1981: 133). Menuruti kehendak pribadi adalah bentuk
menghargai kebebasan ego sendiri. Sedangkan menghargai ego orang lain
adalah ketika kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan orang lain,
artinya ketika diri tidak merenggut dan merampas kebebasan orang lain.
Singkatnya, toleransi yang dimaksudkan Iqbal adalh sikap menghargai diri
dan orang lain.
Toleransi yang diajarkan Iqbal lahir dari suatu kekuatan, bukan
dari kelamahan. Toleransinya adalah toleransi orang beriman yang penih
kepercayaan diri dan dijalin dengan kasih sayang. Dalam artian ini, Iqbal
memandan toleransi sebagai landasan perikemanusiaan yang
sesungguhnya. Hal ini tercermin dalam salah satu karya puiisinya dalam
Javid Nama.
Agama adalah damba abadi akan kesempurnaan,
Berpangkal pada pengabdian,
Berujung pada kasih.
Adalah dosa untuk menghamburkan sumpah-serapah.
Mukmin maupun kafir sama-sama makhluk Allah.
Apakah „adamiyah‟ itu? Apakah inti kemanusiaan?
Inti kemanusiaan adalah menghormati kemanusiaan!
Belajarlah untuk menghayati nilai dan makna insani.
Manusia ialah penuh cinta
Melangkah di jalan Allah
Yang iman dan yak beriman sama-sama dapat tempat.
Bila hati bertiada kasih.
Apa gerangan akan terjadi?
Hati akan terkunci rapat-rapat.
92
Terbelenggu di penjara tanah liat.
Padahal seluruh semesta
Adalah tempat hati bertahta! (Iqbal, 1987: 241-242)
Demikian agung toleransi dalam pandangan Iqbal. Sikap ini
berlaku bagi seluruh insan dengan prinsip kesamaan. Mukmin dan kafir,
laki-laki atau perempuan, kaya dan miskin tiada perbedaan, sebab
keduanya sama-sama makhluk. Jika prinsip tersebut dikantongi oleh
seseorang, tidak akan ada perilaku menyakiti mapun menindas orang lain.
Sebab tidak akan dumbuh dalam hati seseorang tersebut perasan lebih dari
individu yang lain. Merasa paling superior dan merendahkan orang lain.
Sebaliknya yang tumbuh hanyalah sikap meghargai dan menyayangi antar
sesama manusia.
Dalam fase perkembangan pribadi yang dicanangkan oleh Iqbal,
toleransi ini menduduki fase kedua, yaitu kontrol diri. Fase ini
berimplikasi pada pengendalian diri seseorang. Pengendalian diri untuk
tidak berperilaku menyakiti sesama misalnya. Dengan demikian jelaslah
bahwa tolerasni merupakan landasan perikemanusiaan.
Dengan dipupuknya sikap toleransi melalui proses pendidikan,
secara otomatis akan mencipta perdamaian hidup. Analisis gagasan ini
memberi bukti betapa kompleks pemikiran filosofis Iqbal. Meskipun
demikian, Iqbal tidak absen memerhatikan hal-hal sederhana perihal
keseharian hidup manusia. Hal-hal kecil yang seringkali dianggap remeh
oleh kebanyakan orang namun memberi pengaruh besar bagi kehidupan
93
mampu diungkap oleh Iqbal. Fakta demikian sekaligus memberi bukti
besarnya sumbangsih pemikiran Iqbal bagi dunia pendidikan.
c. Faqr
Sulit mencari kata yang tepat untuk memaknai istilah faqr. Namun,
dalam salah satu bait puisi Iqbal, terdapat sedikit petunjuk mengenai
makna istilah faqr yang dikampanyekan oleh Iqbal.
Seorang faqr yang memiliki harga diri
Akan menjelang kemenangannya segera
Nafsu serakah untuk merebut emas dan perak
Telah merobel-robek dan merusak jiwa Barat. (Saiyidain, 1981:
135)
Merujuk pada puisi di atas, frase „tidak serakah‟ barangkali mampu
mewakili kata faqr. Iqbal memang berbeda dalam memaknai kata faqr
yang seringkali dimaknai „miskin‟ ini. Faqr dalam pandangan Iqbal
merujuk pada kesederhanaan hidup, tidak berlebih-lebihan dan tidak
serakah terhadap materi. Namun demikian, kesederhanaan dalam
menunaikan hidup di dunia menjadi makna yang paling mendekati istilah
faqr.
Sikap faqr inilah yang mampu menghindarkan diri dari perbudakan
materi. Orang yang memiliki sikap faqr tidak akan terbelenggu oleh
materi. Namun sebaliknya materi dijadikannya sebagai alat untuk
mengembangkan dan memperluas kehidupan rohani.
Seseorang membentengi dirinya dengan faqr tidak akan melakukan
hal-hal yang merugikan apalagi mengeksploitasi orang lain. Materi
dijadikannya sebagai media untuk saling membantu dan melayani sesama
94
manuisa. Inilah sikap yang jarang sekali dimiliki oleh manusia-manusia
yang hidup di abad ini.
Dalam hidup manusia, faqr menjadi semacam tameng yang
melindungi diri pemiliknya. Bagi seseorang yang tengah jaya dan
berkuasa, faqr mampu melindungi dari sikap sombong. Lebih lanjut Iqbal
mendefinisikan istilah faqr dengan upaya membandingkankannya dengan
zuhud yang sering dianjurkan oleh kaum agamawan. Zuhud seringkali
dimaknai sebagai sikap menghindar dari kenyataan. Zuhu dyang memiliki
makna demikian ini jelas bertentangan dengan faqr.
Iqbal berupaya meluruskan makna zuhud yang sudah terlanjur
disalah artikan tersebut. Dalam slah satu sajaknya diuraikan dengan
kalimat dan nada yang lugas mengenai makna zuhud yang sesungguhnya.
Sikap menghindar dari dunia materi
Bukan tujuan dari “zuhud” yang murni
Zuhud justru berarti penaklukan langit dan bumi!
Yang hanya punya duka dan nestapa!
Bangsa yang tak punya keberanian seperti Timur
Tak kan mampu memupuk manusia berjiwa “faqr”
Dan tak kan pula mampu menaklukkan penjajah (Saiyidain, 1981:
38)
Demikianlah faqr dalam pandangan Iqbal, jauh dari sifat lemah
yang selalu menghindari kenyataan. Buka pula faqr mengisyaratkan
pribadi yang mudah meyerah, kalah dan tidak memiliki inisiatif. Faqr
yang sesungguhnya merupakan sumber kekuatan yang kokoh dan tangguh.
Oleh karena itu, sitilah faqr hendaknya tidak diartikan sebagai julukan
95
yang mengandung nada pengecut. Bukan pula istilah faqr disandangkan
pada kaum misikin yang telah dirampas hak-haknya.
Faqr sebagai sumber kekuatan adalah ketika seseorang mengenal
sikap faqr sebagai prisnirp hidup. Hidup sederhana seharusnya menjadi
baju dan acsesories yang selalu dikenakan dalam mengarungi kehidupan.
Artinya dalam keadaaan apapun seseorang hendaknya menjadikan
kesederhanaan sebagai dasar dalam bersikap.
Q.S. Luqman: 18-19
Kesederhanaan hidup yang dimaksud bukan hanya terkait hal-hal
yang bersifat materi saja. Kesederhanaan dalam bersikap juga menjadi
ihwal yang tidak kalah pentingnya. Meskipun demikian, sederhana secara
materi adalah hal yang paling utama. Sebab, manusia hidup tak pernah
lepas dari persoalan materi. Persoalan materi juga lah yang biasanya
memicu adanya konflik terhadap sesama yang menyebabkan
ketidakbersamaan dalam bersikap.
Karena persoalan materi seringkali manusisa bisa berbuat apa saja
yang dapat merugikan sesama. Mencuri, merampok, bahkan korupsi
adalah manifestasi dari ketidaksederhanaan secara materi. Serakah dan
tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki menjadi pemicu
peroalan-persoalan tersebut.
Jika sudah demikian, kesederhanaan dalam bersikap pun semakin
jauh. Motivasi untuk mendpatkan kenikmatan-kenikmatan yang sifatnya
instan dan sesaat menjadi pendorong dalam melakukan apapun. Akibatnya,
96
sikap mementingkan diri sendiri maupun kelompoknya sendiri mewarnai
setiap langkah. Jika sudah demikian, nuansa persaingan tidak bisa
dihindarkan. Sedangkan persaingan yang negatif hanya akan memicu
terjadinya konflik. Sehingga tidak heran jika dikatakan Iqbal bahwa sikap
faqr serupa tameng bagi hidup manusia.
Sikap faqr inilah yang seharusnya dikembangkan dalam proses
pendidikan. Istilah yang dikenalkan Iqbal ini telah memasuki fase darurat
untuk segera ditunaikan. Dikatakan demikian karena melihat realita saat
ini yang semakin meprihatinkan. Tindakan konkret untuk mengatasi segala
persoalan ini dibutuhkan segeram dan upaya tersebut dapat dicapai melalui
pendidikan.
5. Bebas, Kritis, dan Bertanggungjawab Sebagai Prinsip Pendidikan Islam
Menurut Iqbal, syarat utama bagi pembinaan individu adalah kebebasan
(Saiyidain, 1981: 41). Kebebasan adalah amanat Tuhan yang tidak ternilai
harganya. Dalam al-Qur‟an Allah telah memberikan penjelasan perihal
kebebasan tersebut. Salah satu ayatnya adalah sebagai berikut:
اىا .فألمها فجورىا وت قواىا .ون فس وما سواىا لح من زك وقد خاب من .قد أف
اىا . دس
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya (Q.S. Al-Syam:7-10).
97
Kebebasan di sini berarti bebas dalam berkehendak untuk menentukan
sendiri tujuan hidupnya dan bebas dari pengaruh sesuatu di luar dirinya.
Menurutnya, kebebasan lah yang membuka kesempatan kepada individu
untuk belajar dan mengembangkan pilihannya.
Namun demikian, bebas bagi Iqbal adalah kebebasan yang bertanggung
jawab dan betujuan. Dalam proses pendidikan Iqbal menghendaki suasana
belajar yang bebas bagi peserta didik. Bebas dari pengaruh tekanan pendidik,
hingga peserta didik mampu berkembang dengan sendirinya. Agar tercipta
pribadi-pribadi yang pemberani dan kreatif, bukan pribadi yang dikekang dan
dikuras segala dayanga dengan kendali yang menjaratnya.
Gagasan Iqbal ini sangat relevan jika dipadukan dengan pendidikan
pribadi yang menjadi karakteristik pendidikan Islam. Menjalani fase
perkembangan pribadi, tidak bisa berlangsung dakan situasi keterpaksaan.
Semua harus berangkat dari kesadaran dan kemauan sendiri untuk mencapai
individualitas.
Oaham kebebasannya ini juga berangkat dari konsepnya tentang
individualitas. Ia mengaitkan hal ini dengan riwayat turunnya Adam ke muka
bumi. Bumi dalam pandangan Iqbal merupakan sebuah tahapan dalam
kelangsungan hidup manusia. Dengan diturunkannya Adal dari surga, berarti
manusia telah diberi kesempatan untuk memilih dan menentukan hidupnya
sendiri.
Terlebih dengan bekal akal yang dikaruniakan oleh Tuhan, manusia
diharapkan mampu menjalankan peran sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
98
Kebebasan untuk memilih ini merupakan sebuah karunia yang hanya
diberikan kepada manusia. Oleh karena itu manusia harus mampu
mengembangkan dirinya dan menggunakan kebebasannya secara baik dan
benar.
Situasi ini menempatkan manusia pada status yang paling tinggi di antara
segala makhluk dan meningkatkannya sebagai khalifah di muka bumi.
Dengan dibekali kemampuan untuk merubah dunia dari apa adanya menjadi
apa yang seharusnya, ego yang ada pada seseorang meningkat menjadi
individualitas yang unik.
Sebagai konsekuensi dari kebebasan adlah timbulnya naluri kritis. Nalar
kritis yang timbul dari suasana kebebasan muncul dari dalam diri manusia
sendiri. Kritiknya bukan berangkat dari orang lain maupun kelompok yang
bertujuan untuk membela suatu kepentingan. Kritiknya merupakan ekspresi
dari kebebasan.
Nuansa kritis dalam pendidikan Islam sangat penting agar tidak begitu saja
menerima dengan rangan terbuka apapun yang telah mapan. Segala sesuatu
perlu dipertanyakan dan dikritisi untuk tidak mudah terperangkap dalam
ketundukan yang buta. Dengan catatan, kritik yang bersumber dari kebebasan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.
Secara esensial, diri yang memiliki kebebasan ini memiliki konsekuensi,
yaitu bertanggung jawab. Dalams setiap keputusan dan langkah yang diambil
berdasarkan kebebasan, manusia bertanggung jawab untuk menghadapi
resikonya sendiri. Dengan kata lain dalam proses menjadi manusia otentik
99
bukan berarti berbuat bebas tanpa batas atau semaunya sendiri tanpa
tanggung jawab. Justru karena kebebasannya ini manusia mengemban beban
berat dalam hidupnya. Sebab, nasibnya sepenuhnya diserahkan pada dirinya
sendiri, bukan pada orang lain.