BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7...
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Subjek Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan selama satu bulan, yaitu dari bulan Juni
hingga Juli 2019 di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Kota Surakarta. Adapun
responden atau informan dalam penelitian ini antara lain pasien atau keluarga
pasien rawat jalan dan tenaga kefarmasian di IFRJ RSUD Kota Surakarta, serta
penanggungjawab pelayanan medis dan penunjang medis. Penentuan responden
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian
ini.
Pelayanan resep di IFRJ RSUD Kota Surakarta dimulai dari jam 07.00-
14.00 yang meliputi pelayanan resep racikan dan non racikan, dan terdiri dari alur
prosedur pasien BPJS, umum, UGD, dan fast track. Observasi dilakukan selama 6
hari dengan jumlah resep yang diamati masing-masing sebanyak 32 resep BPJS
dikarenakan pelayanan di farmasi rawat jalan 91,30% adalah pasien BPJS.
Adapun tenaga kefarmasian di IFRJ RSUD Kota Surakarta yaitu sebagai berikut:
Kepala IFRS : 1 orang dijabat oleh seorang apoteker
Apoteker : 7 orang
Tenaga teknis kefarmasian : 11 orang berlatar belakang D3 farmasi
Setiap petugas memiliki tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan
keterampilan atau keahlian yang dimiliki dalam melakukan pelayanan di IFRJ
RSUD Kota Surakarta.
B. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner Value Pasien
1. Uji Validitas
Uji validitas pada penelitian ini dilakukan perhitungan koefisien
reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas. Untuk menganilisisnya, peneliti
menggunakan Ms. Excel 2010 yang dapat dilihat pada lampiran 8. Adapun hasil
uji validitas kuesioner value pasien dapat dilihat pada tabel berikut:
51
Tabel 7. Hasil uji validitas kuesioner value pasien
Jumlah
pernyataan
Jumlah
error
Koefisien
reprodusibilitas
Koefisien
skalabilitas
Validitas
Valid Tidak Valid
15 2 0,996 0,777 √ -
Hasil uji validitas pada tabel 7 menunjukkan nilai Kr = 0,996. Menurut
Singarimbun dan Effensi (2011), syarat penerimaan nilai koefisien reprodusibiltas
yaitu apabila nilai Kr >0,90, yang artinya nilai koefisien reprodusibilitas diterima.
Sedangkan untuk hasil perhitungan nilai koefisien skalabilitas adalah 0,777
dimana syarat penerimaan nilai koefisien skalabilitas yaitu apabila nilai Ks >0,60
(Nazir, 2005), sehingga dapat disimpulkan bahwa uji validitas dengan
menggunakan rumus koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas pada
pernyataan kuesioner value pasien dinyatakan valid.
2. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dengan metode Kuder Richardson 20 (KR-20)
dilakukan peneliti dengan menggunakan Ms. Excel 2010 yang dapat dilihat pada
lampiran 9. Berikut ini merupakan hasil pengujian reliabilitas kuesioner value
pasien:
Tabel 8. Hasil uji reliabilitas kuesioner value pasien
Jumlah
pernyataan
Jumlah
responden Varians total KR-20
Kesimpulan
Reliabel
15 30 1,906 0,781 √
Berdasarkan tabel 8 menunjukkan nilai KR-20 = 0,781, dimana menurut
Priyatno (2010) nilai reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, sedangkan
nilai 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik, sehingga dapat disimpulkan
bahwa nilai realibilitas = 0,781 >0,7, maka nilai reliabilitas kuesioner value pasien
dapat diterima untuk digunakan dalam penelitian ini.
C. Value dari Pasien
Pengambilan data berupa kuesioner mengenai value yang diinginkan
pasien dilakukan pada 100 pasien atau keluarga pasien yang berusia minimal 17
tahun dan pernah menerima pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta minimal 1
kali. Kuesioner value pasien yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
52
kuesioner yang sama dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nancy pada
tahun 2014 yang berjudul “Pendekatan Lean Hospital untuk Perbaikan
Berkelanjutan (Continuous Improvement) Proses Pelayanan Instalasi Farmasi RS
Bethesda Yogyakarta” yang bertujuan untuk mengidentifikasi value yang
diinginkan pasien pada pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta. Agar dapat
memuaskan customer dalam hal ini adalah pasien, maka diidentifikasi dahulu apa
yang diinginkan, dibutuhkan, dan diharapkan oleh pasien sebagai penerima
layanan, sehingga pengorbanan yang telah dikeluarkan pasien baik waktu, tenaga
dan biaya sebanding dengan yang didapatkan dari pelayanan yang diberikan oleh
IFRJ RSUD Kota Surakarta. Adapun hasil rekapan perhitungan kuesioner value
pasien dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 9. Hasil rekapan perhitungan kuesioner value pasien
Jenis Pernyataan Ya
(%)
Tidak
(%)
A. Produk
1. Kualitas obat dan alat kesehatan yang diterima
dianggap penting
2. Ketepatan obat dan alat kesehatan yang diterima
dianggap penting
3. Kelengkapan obat dan alat kesehatan yang diterima
dianggap penting
4. Merek obat dan alat kesehatan yang disediakan oleh
instalasi farmasi dianggap penting
5. Label atau etiket obat dan alat kesehatan yang
diterima dianggap penting
6. Pembungkusan obat dan alat kesehatan yang diterima
dianggap penting
100
100
100
86
93
96
-
-
-
14
7
4
B. Pelayanan
1. Kecepatan memperoleh obat dan alat kesehatan yang
dibutuhkan dianggap penting
2. Keahlian apoteker dalam menjawab dan
menyampaikan informasi dianggap penting
3. Ketepatan informasi obat dan alat kesehatan yang
diterima dianggap penting
4. Kelengkapan informasi obat dan alat kesehatan yang
diterima dianggap penting
5. Fasilitas dan area ruangan instalasi farmasi dianggap
penting
100
100
100
100
100
-
-
-
-
-
53
C. Hubungan Pasien dengan IFRJ
1. Keramahan apoteker dalam memberikan pelayanan
dianggap penting
2. Penampilan apoteker dalam memberikan pelayanan
dianggap penting
3. Instalasi farmasi mengerti kondisi dan kebutuhan saya
terkait obat dan alat kesehatan dianggap penting
4. Kemudahan mengontak apoteker atau instalasi
farmasi (via telepon, dll) dianggap penting
100
90
100
90
-
10
-
10
Berdasarkan hasil rekapan kuesioner value pasien dari segi produk yang
diterima menunjukkan bahwa value yang bernilai mutlak (100%) yaitu value
kualitas, ketepatan, serta kelengkapan perbekalan farmasi yang dianggap penting
oleh pasien atau dapat dikatakan bahwa pasien menginginkan value tersebut pada
pelayanan yang diberikan oleh IFRJ RSUD Kota Surakarta. Untuk pernyataan
mengenai merek perbekalan farmasi yang diterima pasien menunjukkan
persentase sebesar 86% pasien menganggap value tersebut penting, sedangkan
sisanya 14% menjawab tidak menganggapnya penting. Persentase untuk
pernyataan mengenai label atau etiket perbekalan farmasi yang dianggap penting
oleh pasien yaitu sebesar 93%, sedangkan untuk pembungkusan perbekalan
farmasi 96% pasien mengganggapnya penting.
Beberapa pernyataan mengenai value yang diinginkan dari segi pelayanan
yang diberikan oleh IFRJ RSUD Kota Surakarta yang mencakup value kecepatan
memperoleh perbekalan farmasi, keahlian apoteker dalam menjawab dan
menyampaikan informasi, ketepatan informasi, dan kelengkapan informasi
perbekalan farmasi, serta fasilitas dan area ruangan instalasi farmasi menunjukkan
value tersebut bernilai mutlak (100%), pada umumnya value tersebut dianggap
penting atau diinginkan oleh pasien. Adapun dari segi hubungan pasien dan IFRJ
yang mencakup value keramahan apoteker dalam memberikan pelayanan, dan
instalasi farmasi mengerti kondisi dan kebutuhan pasien terkait obat dan alat
kesehatan yang diterima dianggap penting oleh pasien dengan persentase 100%.
Pernyataan mengenai penampilan apoteker dalam memberikan pelayanan, dan
kemudahan mengontak apoteker atau instalasi farmasi (via telepon, dll) 90%
pasien menginginkan value tersebut, sedangkan 10% tidak menginginkan value
54
tersebut. Berdasarkan persentase dari 15 value mengenai produk, pelayanan, dan
hubungan pasien dengan IFRJ melebihi 50%, yang artinya bahwa dari ke-15 value
tersebut adalah yang diinginkan atau yang diharapkan pasien saat menerima
pelayanan dari IFRJ RSUD Kota Surakarta.
Hasil penelitian Nancy (2014) menunjukkan value yang diinginkan pasien
rawat jalan di instalasi farmasi RS Bethesda Yogyakarta yang bernilai mutlak
(100%) ada 5, yaitu value kualitas, ketepatan, dan kelengkapan perbekalan
farmasi, serta ketepatan informasi perbekalan farmasi yang diterima stakeholder
dan keramahan apoteker dan pegawai dalam memberikan pelayanan. Menurut
Gaspersz (2007) mengidentifikasi nilai (value) bagi pelanggan merupakan salah
satu prinsip dasar dari lean, dimana nilai suatu produk atau jasa dari sudut
pandang konsumen ialah apabila memiliki fungsi baginya, kecepatan dalam
pengantaran, keindahan, ketahanan, kualitas, dan sebagainya. Olaru et al. (2008)
mengungkapkan bahwa konsumen membuat keputusan untuk menggunakan suatu
produk baik barang maupun jasa didasarkan pada nilai (value) yang diperoleh dari
pelayanan yang diterima sebelumnya, dimana manfaat dari hubungan pelanggan
dan pemberi layanan menjadi jaminan untuk manfaat/keuntungan yang akan
datang. Penelitian yang dilakukan Li (2010), diketahui bahwa nilai kualitas
pelayanan yang dirasakan berhubungan positif dengan niat pasien untuk
memanfaatkan atau menggunakan kembali produk barang maupun jasa yang
pernah diterima. Nilai fungsional berupa kualitas atau performance berkaitan
dengan karakter fisik dari produk serta kinerja pemberi layanan. Hal yang sama
diungkapkan Cengiz et al. (2007) yang menyatakan bahwa faktor paling penting
yang mempengaruhi nilai yang dirasakan (perceived value) pasien adalah nilai
fungsional (kualitas), dimana diungkapkan pula bahwa orang yang datang ke
rumah sakit dikarenakan sakitnya dan dengan alasan ini pula kualitas pelayanan
menjadi faktor yang paling penting. Semakin tinggi perceived value (nilai yang
dirasakan) menyebabkan semakin tinggi level kepuasan pelanggan dan hal ini
akan berpengaruh pula pada niat pelanggan untuk menggunakan kembali produk
barang maupun jasa (Korda et al., 2010, Raza et al., 2012).
55
Value memberikan titik awal yang penting untuk implementasi lean dalam
suatu organisasi. Value terdiri dari semua aktivitas yang dilihat dari sisi pelanggan
yang secara langsung berkontribusi terhadap penciptaan, transformasi atau
penyampaian produk maupun jasa yang telah mereka bayar (Aherne & Whelton,
2010). Dengan adanya identifikasi value dari pasien memungkinkan pemberi
layanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta untuk memahami dengan seksama apa
yang menjadi harapan dan kebutuhan pasien kemudian dapat mengoptimalkannya,
serta meminimalkan pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan bagi pasien,
sehingga meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan pendekatan lean hospital,
diharapkan dapat memangkas aktivitas yang tidak bernilai tambah (waste)
sehingga dapat memenuhi value yang diinginkan pasien sebagai end customer.
D. Value Added Assessment dan Value Stream Mapping
1. Value Added Assessment (VAA) Proses Pelayanan di IFRJ RSUD Kota
Surakarta
Penetapan value added assessment (VAA) proses pelayanan di IFRJ
dilakukan berdasarkan hasil telaah dokumen berupa standar operasional prosedur
(SOP) IFRJ RSUD Kota Surakarta dan hasil observasi peneliti mengenai
aktivitas-aktivitas sepanjang proses pelayanan di IFRJ yang mencakup aktivitas
value added (VA), non value added (NVA), dan necessary but non value added
(NNVA). Hasil VAA pada proses pelayanan resep non racikan dan resep racikan
disajikan pada tabel 10 dan tabel 11.
56
Tabel 10. Value added assessment (VAA) pelayanan resep non racikan
No. Kegiatan
Waktu
Rata-
Rata
(detik)
Tipe
Aktivitas Jenis Waste Keterangan
1.
Menerima resep,
menelaah resep,
memberi nomor
antrian kepada
pasien
25 NNVA
- Motion
- Over
processing
- Bertanya kepada petugas
lain mengenai resep
- Menanyakan buku BPJS
kepada pasien
2.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak penerimaan
2 NNVA
3.
Mengecek keter-
sediaan obat via
telepon atau
berkonfirmasi
dengan dokter
56 NVA
- Motion
- Waiting
- Menelepon dan/atau
menerima telepon
- Menunggu konfirmasi
4. Entry data resep 68 NNVA
- Motion
- Defect
- Bertanya kepada petugas
lain mengenai resep
- SIMRS trouble
- Resep belum terentry saat
dibawa oleh petugas lain
5.
Mencetak harga
obat di belakang
kertas resep
7 NVA
- Over
processing
- Mencetak informasi yang
tidak dibutuhkan pasien
6. Mencetak etiket
obat 8 VA
- Defect - Memperbaiki mesin cetak
etiket
7.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak entry
SIMRS
2 NNVA
8.
Mengisi/menyalin
catatan peng-
ambilan obat di
buku BPJS secara
manual
79 NVA
- Over
processing
- Melakukan kegiatan yang
kurang efektif dan efisien
9.
Mengambil obat
pada tempat
penyimpanannya
55 VA
- Defect
- Motion
- Salah mengambil
jenis/jumlah obat
- Petugas berjalan tidak
leluasa
- Petugas berputar arah di
dalam ruangan
- Mencari obat yang tidak
berada pada tempatnya
10.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak penyiapan
2 NNVA
11 Menelaah resep 13 NNVA
57
12.
Memasukkan obat
ke dalam plastik
klip, menempel
etiket
82 VA
- Motion
- Waiting
- Mencari peralatan seperti
steples, plastik klip, karet
- Petugas menunggu obat
yang diambil dari gudang
13.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak cek akhir
2 NNVA
14.
Meletakkan obat
yang telah siap ke
bagian penyerah-
an obat
9 NNVA
- Motion
- Petugas penyerahan
bolak- balik mengambil
keranjang obat
15.
Memanggil nomor
antrian/nama
pasien 7 VA
- Over
processing
- Defect
- Petugas memanggil pasien
berkali-kali dengan/tanpa
mikrofon
-Memperbaiki mikrofon
16.
Menunggu pasien
datang ke loket
penyerahan
8 NVA
- Waiting
17. Memastikan
identitas pasien 6 NNVA
18.
Menyerahkan obat
dan memberikan
informasi obat
sesuai kebutuhan
pasien
28 VA
19.
Pasien
membubuhkan
paraf di resep
3 NNVA
20.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak penyerahan
2 NNVA
TOTAL 464
VA : 180
NNVA : 134
NVA : 150
%
VA : 38,79%
NNVA : 28,88%
NVA : 32,33%
Berdasarkan value added assessment (VAA) pada tabel 10 menunjukkan
bahwa terdapat 20 kegiatan pada proses pelayanan resep non racikan, dengan 5
kegiatan yang bernilai tambah (VA) dengan total waktu 180 detik atau 3 menit, 11
kegiatan yang tidak bernilai tambah namun tidak bisa dihindari (NNVA/type 1
waste) dengan total waktu 134 detik atau 2,23 menit, dan 4 kegiatan yang tidak
bernilai tambah (NVA/type 2 waste) dengan total waktu 150 detik atau 2,5 menit.
Persentase waktu untuk kegiatan yang masuk kategori VA pada proses pelayanan
resep non racikan sebesar 38,79%, artinya pasien menerima 38,79% pelayanan
58
yang bernilai tambah dan sisanya 61,21% merupakan kegiatan yang tidak bernilai
tambah (NVA). Berikut ini adalah VAA pada proses pelayanan resep racikan:
Tabel 11. Value added assessment (VAA) pelayanan resep racikan
No. Kegiatan
Waktu
Rata-
Rata
(detik)
Tipe
Aktivitas Jenis Waste Keterangan
1.
Menerima resep,
menelaah resep,
memberi nomor
antrian kepada
pasien
27 NNVA
- Motion
- Over
processing
- Bertanya kepada petugas
lain mengenai resep
- Menanyakan buku BPJS
kepada pasien
2.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak penerimaan
2 NNVA
3.
Mengecek keter-
sediaan obat via
telepon atau
berkonfirmasi
dengan dokter
56 NVA
- Motion
- Waiting
- Menelepon dan/atau
menerima telepon
- Menunggu konfirmasi
4. Entry data 103 NNVA
- Motion
- Defect
- Bertanya kepada petugas
lain mengenai resep
- SIMRS trouble
- Resep belum terentry saat
dibawa oleh petugas lain
5.
Mencetak harga
obat di belakang
kertas resep
7 NVA
- Over
processing
- Mencetak informasi yang
tidak dibutuhkan pasien
6. Mencetak etiket
obat 8 VA
- Defect - Memperbaiki mesin cetak etiket
7.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak entry
SIMRS
2 NNVA
8.
Mengisi/menyalin
catatan peng-
ambilan obat di
buku BPJS secara
manual
108 NVA
- Over
processing
- Melakukan kegiatan yang
kurang efektif dan efisien
9.
Mengambil obat
pada tempat
penyimpanannya
92 VA
- Defect
- Motion
- Salah mengambil jenis/
jumlah obat
- Petugas berjalan tidak
leluasa
- Petugas berputar arah di
dalam ruangan
- Petugas mencari obat yang
tidak berada pada tempatnya
10. Mengecek
kesesuaian obat 56 NNVA
59
11. Meracik obat 187 VA
- Defect -Memblender obat 2x karena
kurang halus dan obat yang
tercecer
12. Membungkus
puyer 178 VA
- Defect - Kesalahan membungkus
puyer
13.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak peracikan
2 NNVA
14 Menelaah resep 6 NNVA
15.
Memasukkan obat
ke dalam plastik
klip, menempel
etiket
52 VA
- Motion - Mencari peralatan seperti
steples, plastik klip, karet
16.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak cek akhir
2 NNVA
17.
Meletakkan obat
yang telah siap ke
bagian penyerah-
an obat
9 NNVA
- Motion
- Petugas penyerahan bolak-
balik mengambil keranjang
obat
18.
Memanggil nomor
antrian/nama
pasien 7 VA
- Over
processing
- Defect
- Petugas memanggil pasien
berkali-kali dengan/tanpa
mikrofon
-Memperbaiki mikrofon
19.
Menunggu pasien
datang ke loket
penyerahan
8 NVA
- Waiting
20. Memastikan
identitas pasien 6 NNVA
21.
Menyerahkan obat
dan memberikan
informasi obat
sesuai kebutuhan
pasien
16 VA
22.
Pasien
membubuhkan
paraf di resep
3 NNVA
23.
Petugas mem-
bubuhkan paraf di
kotak penyerahan
2 NNVA
TOTAL 939
VA : 540
NNVA : 220
NVA : 179
%
VA : 57,51%
NNVA : 23,43%
NVA : 19,06%
60
Value added assessment (VAA) proses pelayanan resep racikan pada tabel
11 menunjukkan terdapat 23 kegiatan dengan 7 kegiatan yang bernilai tambah
(VA) dengan total waktu 540 detik atau 9 menit, 12 kegiatan yang tidak bernilai
tambah namun tidak bisa dihindari (NNVA/type 1 waste) dengan total waktu 220
detik atau 3,66 menit, dan 4 kegiatan yang tidak bernilai tambah (NVA/type 2
waste) dengan total waktu 179 detik atau 2,98 menit. Pada perhitungan waktu
untuk kegiatan yang masuk kategori VA pada proses pelayanan resep racikan
menunjukkan persentase sebesar 57,51%, sisanya 42,49% merupakan kegiatan
yang tidak bernilai tambah (NVA).
Berdasarkan nilai persentase waktu untuk kegiatan yang tidak bernilai
tambah (NVA) baik pada proses pelayanan resep non racikan maupun resep
racikan menandakan perlu diterapkan pendekatan lean hospital untuk mengurangi
atau mengeliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah (waste), sehingga
mempersingkat waktu proses pelayanan dan menambah value kepuasan kepada
customer atau pasien. Dalam melakukan identifikasi terhadap proses pelayanan,
VAA digunakan sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang
berlangsung dalam proses pelayanan, kemudian mengklasifikasikan ke dalam tipe
aktivitas dalam organisasi (Hines dan Taylor, 2000) yaitu value added, necessary
but non value added, dan non value added. Dari hasil observasi, terdapat
aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai dimata pasien, misalnya menunggu dan
menghasilkan produk cacat seperti memperbaiki mesin cetak dan mikrofon yang
bermasalah, kesalahan dalam mengambil jenis atau jumlah obat, kesalahan dalam
meracik obat, menunggu obat dari gudang, dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas
tersebut harus segera dihilangkan dari proses pelayanan. Namun ada juga
beberapa aktivitas yang tidak bernilai dimata pasien akan tetapi masih diperlukan
dalam sistem pelayanan, misalnya pemberian nomor antrian, telaah resep,
mengentry data pasien ke SIMRS, membubuhkan paraf di resep, memastikan
identitas pasien saat penyerahan obat, dan lain sebagainya. Dalam proses
pengerjaan resep, untuk menghindari human error petugas melakukan
pemeriksaan berulang mengenai kesesuaian identitas pasien dengan obat yang
diresepkan, maupun jenis dan jumlah obat pada saat pengerjaan. Kegiatan tersebut
61
digolongkan pada tipe NNVA karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Oleh
karena aktivitas-aktivitas tersebut masih diperlukan dalam sistem, maka hal ini
menjadi tantangan bagi instalasi farmasi maupun pihak rumah sakit untuk mencari
cara meminimalkan atau mengeleminasinya. Menurut Gaspersz (2007) untuk
kelompok NNVA, meskipun tidak harus segera, namun sebisa mungkin dikurangi
atau dihilangkan, sedangkan untuk kelompok NVA harus segera diprioritaskan
untuk dihilangkan.
2. Value Stream Mapping (VSM) Proses Pelayanan di IFRJ RSUD Kota
Surakarta
Berdasarkan hasil observasi, waktu pelayanan resep non racikan berbeda
dengan waktu pelayanan resep racikan, sehingga peneliti menyajikan keduanya
dalam bentuk value stream mapping (VSM) yang berbeda agar lebih mudah
mengetahui perbedaan dari segi waktu pelayanan. Hasil pemetaan VSM sepanjang
proses pelayanan resep non racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta dapat dilihat
pada gambar 8 berikut ini:
62
Keterangan :
: Operator : Timeline : Customer
: Waste : Process WT : Wait Time
: Push : Data CT : Cycle Time
Total CT : 464 detik
LT : 2503 detik
VA : 180 detik
NNVA : 134 detik
NVA : 150 detik
VAR : 7,19%
704 detik
27 detik 141 detik 136 detik 97 detik 63 detik
244 detik 349 detik 444 detik
Motion Motion
Over
processing
Defect Waiting
CT : 141 detik
WT: 349 detik
Entry Data
Resep
CT : 136 detik
WT: 444 detik
Pengambilan
Obat
CT : 97 detik
WT: 244 detik
Pengemasan
Obat
CT : 63 detik
WT: 298 detik
Penyerahan
Obat
Proses Pelayanan Resep
Non Racikan
CT : 27 detik
WT: 704 detik
Penerimaan
Resep
Pasien Pulang Pasien Datang
Over
processing
Motion Motion Defect
Over
processing Defect
Over
processing
Waiting
LT : Lead Time
VA : Value added
NVA : Non value added
NNVA : Necessary but non value added
Gambar 8. Value stream mapping proses pelayanan resep non racikan
Motion
Waiting
62
63
Hasil VSM pada proses pelayanan resep non racikan pada gambar 8
menunjukkan total cycle time (CT) untuk proses pelayanan resep non racikan
yaitu 464 detik atau 7,73 menit, dan lead time (LT) 2503 detik atau 41,71 menit.
Cycle time adalah waktu yang dibutuhkan oleh staf untuk menyelesaikan satu
pekerjaan ataupun urutan aktivitas dalam proses pelayanan kesehatan yang
meliputi aktivitas yang value added dan non value added dalam siklus pekerjaan.
Wait time adalah waktu antara akhir dari satu pekerjaan sampai dengan awal
pekerjaan berikutnya atau siklus berikutnya. Jumlah keseluruhan dari cycle time
dan wait time dari awal proses hingga akhir proses disebut lead time (Jackson,
2012). Dari hasil perhitungan lead time menunjukkan bahwa waktu tunggu
pelayanan resep obat non racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta belum sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa waktu tunggu pelayanan obat
jadi adalah ≤30 menit. Pada perhitungan value added rasio (VAR) nilai yang
didapatkan sebesar 7,19% yang menunjukkan bahwa proses pelayanan resep non
racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta saat ini belum dalam kondisi lean. Menurut
Gaspersz (2011) suatu perusahaan dapat dikatakan lean apabila value added ratio
telah mencapai minimum 30%. Apabila perusahaan itu belum lean, perusahaan
tersebut dapat disebut un-lean enterprise dan masuk kategori perusahaan
tradisional. Lean merupakan upaya untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan
meningkatkan nilai tambah (value added) produk baik barang maupun jasa yang
berlangsung secara terus menerus (continuous improvement) dengan tujuan
memberikan nilai yang maksimal dari perspektif pelanggan (Graban, 2009).
Berikut ini merupakan hasil pemetaan VSM sepanjang proses pelayanan resep
racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta:
64
Total CT : 939 detik
LT : 3138 detik
VA : 540 detik
NNVA : 220 detik
NVA : 179 detik
VAR : 17,20%
Over
processing
Defect
Motion
Over
processing
Motion
Over
processing
CT : 176 detik
WT : 341 detik
Entry Data
Resep
CT : 256 detik
WT : 684 detik
Pengambilan
Obat
CT : 60 detik
WT : 238 detik
Pengemasan
Obat
CT : 51 detik
WT : 187 detik
Penyerahan
Obat
Proses Pelayanan Resep
Racikan
CT : 29 detik
WT : 663 detik
Penerimaan
Resep
Pasien Pulang
CT : 367 detik
WT : 86 detik
Peracikan
Obat
Pasien Datang
Motion
Over
processing
Motion Defect
Defect Motion
Waiting
Defect
29 detik
663 detik
176 detik
341 detik
256 detik
684 detik
367 detik
86 detik
60 detik
238 detik
51 detik
Keterangan :
: Operator : Timeline : Customer
: Waste : Process WT : Wait Time
: Push : Data CT : Cycle Time
LT : Lead Time
VA : Value added
NVA : Non value added
NNVA : Necessary but non value added
Gambar 9. Value stream mapping proses pelayanan resep racikan
Waiting
64
65
Hasil pemetaan VSM proses pelayanan resep racikan menunjukkan hasil
perhitungan total cycle time dari proses pelayanan resep racikan yaitu 939 detik
atau 15,65 menit, sedangkan lead time 3138 detik atau 52,3 menit. Dari hasil
perhitungan lead time, menunjukkan bahwa waktu tunggu pelayanan resep di
IFRJ RSUD Kota Surakarta sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor.129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa waktu tunggu pelayanan obat
racikan adalah ≤60 menit. Waktu tunggu pelayanan obat racikan lebih lama
dibandingkan dengan pelayanan resep non racikan karena obat racikan
memerlukan waktu yang lebih, tidak hanya mempersiapkan obat tetapi juga perlu
penghitungan dosis obat, penimbangan bahan obat, serta melakukan peracikan
baik dalam bentuk puyer, kapsul, dan sediaan lainnya (Aryani et al., 2014).
Menurut Pillay et al. (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa sejumlah
faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pasien di Rumah Sakit Umum Malaysia
yang dinilai dari persepsi karyawan, yaitu: (1) beban kerja mempengaruhi waktu
tunggu pasien, seperti kurangnya staff; (2) kesulitan melacak kartu pasien saat
pekerjaan berlangsung dirasakan menambah beban kerja, diikuti gangguan dari
pasien yang memerlukan bantuan informasi sehingga menyebabkan petugas
melakukan tugas lain yang tidak berkaitan; (3) fasilitas yang tidak memadai,
kurangnya ruang konsultasi dianggap berkontribusi pada masalah waktu tunggu
seperti ramainya ruang tunggu; (4) jam praktek dokter sering terlambat dan
kurangnya pengawasan dari pihak manajemen rumah sakit mengakibatkan
terjadinya penumpukan pasien. Menurut Bahadori et al. (2014) waktu tunggu
pada pelayanan farmasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti personil yang
tidak berpengalaman, ketidaktahuan alur proses pelayanan dan penempatan obat-
obatan, kurangnya tenaga kerja, memperbaiki kesalahan pada resep, pengecekan
berulang pada obat yang telah dikemas sebelumnya, serta tingginya jumlah resep
yang dilayani dapat menyebabkan delay sehingga membuat waktu pemrosesan
menjadi lebih lama. Pelayanan resep dengan item psikotropika juga memiliki
waktu tunggu yang lebih lama dibandingkan dengan obat lain karena
membutuhkan pencatatan. Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi waktu
66
tunggu selain faktor antrian adalah jumlah pelayanan, komputer yang kurang dan
software yang lambat, ketersediaan obat tidak lancar, tidak semua petugas paham
administrasi dan sistem administrasi BPJS yang rumit (Purwanto et al., 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wijaya (2012) menyebutkan bahwa waktu
tunggu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien. Waktu
tunggu yang lama merupakan salah satu komponen yang potensial menyebabkan
ketidakpuasan pasien. Bila waktu tunggu lama maka hal tersebut akan
mengurangi kenyamanan pasien dan berpengaruh pada utilitas pasien di masa
mendatang. Hal yang sama juga diungkapkan Slowiak et al. (2008) yang
menyatakan ketidakpuasan pasien dapat menyebabkan kehilangan pelanggan yang
berkelanjutan, mengakibatkan menurunnya jumlah pasien dan berefek negatif
pada reputasi rumah sakit. Jika layanan pelanggan adalah tujuan utama, maka
waktu tunggu pasien harus dipertimbangkan.
Adapun persentase nilai VAR untuk pelayanan resep racikan yaitu sebesar
17,20% dan masih di bawah 30%, sehingga dapat dikatakan bahwa proses
pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta saat ini belum dalam kondisi lean
sehngga masih perlu perbaikan. Perhitungan rasio value added activities to waste
ini, ditujukan untuk mendistribusikan kinerja sistem pelayanan ke dalam angka
yang menunjukkan level skala penilaian dalam bentuk persentase. Rasio ini
merupakan salah satu teknik yang efektif untuk menganalisa berapa besar nilai
tambah yang ada dalam suatu proses pelayanan. Semakin tinggi VAR berarti
semakin besar porsi aktivitas yang bernilai tambah (value added) dibandingkan
pemborosan (waste) yang ada dalam suatu proses pelayanan. Sejalan dengan
konsep lean secara umum menyatakan segala bentuk aktivitas yang tidak
mendatangkan value (non value added) bagi pelanggan merupakan pemborosan
dan harus dihilangkan atau diminimisasi (Graban, 2009). Di Indonesia, rumah
sakit tipe C seperti RSIA Kemang Medical Care, setelah menerapkan lean pada
tahun 2013, diperoleh produktivitas 100% (zero waste) dan indeks kepuasan
pasien meningkat dari 76% menjadi 87% (Iswanto, 2014).
Value Stream Mapping (VSM) digunakan untuk mengidentifikasi
berapa lama waktu yang dibutuhkan pasien dari mulai datang sampai dengan
67
selesai, terutama jumlah waktu tunggu diantara setiap proses, sehingga dapat
mengetahui gambaran utuh (big picture mapping) waktu proses dan kegiatan
yang value added dan non value added. Peta proses membuat jelas langkah-
langkah dalam VSM yang merupakan suatu pemborosan (waste) dan
membuat cara penyelesaian yang lebih mudah dan cepat serta menemukan
jawaban yang tepat sehingga dalam proses VSM bisa memberikan nilai (value
added) bagi pelanggan. Penelitian yang dilakukan Dako et al. (2018) mengenai
penggunaan value stream mapping untuk mengurangi waktu tunggu CT scan
pasien rawat jalan menunjukkan penurunan yang signifikan pada rata-rata waktu
tunggu pasien, dengan total waktu 1,1 jam dari kedatangan pasien hingga
penyelesaian pemeriksaan (sebelumnya 3,1 jam), 32 menit waktu proses
(sebelumnya 87 menit), dan >88% hasil first-pass (sebelumnya <20%).
Perampingan dari proses juga menghasilkan peningkatan efisiensi operasional,
terbukti dengan peningkatan 19% (dari 37 menjadi 44) dalam jumlah rata-rata
CT scan rawat jalan yang dilakukan setiap hari.
Adapun tahapan proses pelayanan baik resep non racikan dan resep
racikan berdasarkan standar operasional prosedur dan hasil observasi pada proses
pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan Resep
Tahap ini dimulai sejak pasien datang menyerahkan blanko resep dari
poliklinik beserta buku BPJS (khusus untuk pasien BPJS) ke loket penerimaan
resep IFRJ RSUD Kota Surakarta. Petugas bagian penerimaan resep akan
menerima resep dan melakukan pengecekan kelengkapan resep seperti identitas
pasien, tanggal resep dibuat, jenis dan jumlah obat, serta memastikan bahwa resep
tersebut berasal dari poliklinik RSUD Kota Surakarta. Selanjutnya petugas akan
mencetak nomor antrian dimana pemberian nomor antrian dibedakan antara
pasien BPJS, umum, UGD dan fast track. Nomor antrian untuk pasien umum
didahului dengan huruf A, untuk pasien BPJS didahului dengan huruf B, untuk
UGD didahului dengan huruf E, sedangkan untuk fast track didahului dengan
huruf F. Satu lembar nomor di stapler bersama blanko resep, dan satu lembar
diserahkan pada pasien. Setelah itu, pasien dipersilahkan untuk duduk di ruang
68
tunggu yang berada di depan loket IFRJ sampai nomor antriannya dipanggil untuk
menerima obat. Namun untuk pasien umum, setelah mendapatkan nomor antrian,
petugas akan memanggil nama pasien dan memberikan struk pembayaran obat
yang berisi total biaya obat yang harus dibayarkan pasien ke kasir yang terletak di
samping kiri pintu masuk RSUD Kota Surakarta. Setelah melakukan pembayaran,
pasien menyerahkan struk pembayaran kepada petugas bagian penerimaan resep
di IFRJ, kemudian pasien dipersilahkan duduk kembali sampai dipanggil untuk
menerima obat. Selanjutnya blanko resep yang sudah disertakan dengan nomor
antrian baik BPJS, umum, UGD, dan fast track diletakkan di keranjang yang sama
untuk kemudian dilakukan entry data resep.
b. Entry Data
Pada tahap entry data, petugas yang berjumlah 2 orang mengambil blanko
resep dari keranjang kemudian mengentry data ke sistem informasi manajemen
rumah sakit (SIMRS). Petugas farmasi akan mengecek ketersediaan obat yang
tertera di resep, apabila stok obat tidak tersedia, maka petugas bagian entry harus
menelepon terlebih dahulu pada bagian yang memiliki stok. Jika stok obat tidak
ada, maka petugas akan bertanya pada pasien apakah mau beli ditempat lain atau
mau mengganti obatnya. Bila obat perlu diganti, petugas akan berkonfirmasi
dengan dokter yang bersangkutan lewat sambungan telepon. Kendala yang terjadi
dimana line telepon tidak bisa langsung tersambung dengan pihak yang
bersangkutan, namun disambungkan dulu ke bagian operator barulah akan
disambungkan ke dokter. Seringkali operator sedang sibuk saat dihubungi,
sehingga petugas harus menunggu beberapa saat sampai bisa dihubungi kembali.
Setelah kendala tersebut teratasi, maka resep akan diinput ke SIMRS. Data yang
diinput untuk resep non racikan berupa nomor rekam medik pasien, nama obat,
signa, dan jumlah obat, sedangkan untuk resep racikan, data yang diinput berupa
nomor rekam medik pasien, nama obat, signa, dosis dan jumlah obat. Waktu
proses penginputan data dipengaruhi oleh banyaknya data resep dalam satu blanko
resep dan kecepatan SIMRS. Apabila SIMRS melambat/trouble maka akan
membuat proses penginputan data menjadi lama, sehingga mengakibatkan proses
berikutnya terhambat dan menambah waktu tunggu pasien. Adapun SIMRS antara
69
IFRJ dan bagian pendaftaran sudah terintegrasi, sehingga petugas farmasi tidak
perlu lagi melakukan penginputan identitas pasien, tetapi hanya menginput nomor
rekam medik, akan secara otomatis identitas pasien muncul di SIMRS IFRJ.
Setelah selesai mengentry data, petugas akan mencetak harga obat di belakang
blanko resep yang berwarna biru untuk keperluan mengklaim obat ke BPJS,
selanjutnya petugas akan mencetak etiket obat dalam bentuk stiker atau tempelan
yang berisi identitas pasien dan keterangan tentang aturan pakai dalam
mengkomsusi obat tersebut. Pada proses pencetakan, terkadang mesin cetak
mengalami gangguan/macet sehingga petugas harus segera memperbaikinya. Hal
ini tentu saja mengganggu proses pelayanan, karena petugas melakukan aktivitas
lain diluar sistem pelayanan. Setelah mencetak etiket, petugas meletakkan etiket
beserta blanko resep di keranjang plastik.
c. Penyiapan Obat
Pada tahap ini, petugas bagian penyiapan obat akan berjalan ke depan
atau ke loket 2 untuk mengambil tumpukan blanko resep yang sudah selesai di
entry. Pada proses penyiapan obat, petugas melakukan beberapa tahap yaitu
sebagai berikut:
1) Pada tahap ini, petugas yang berjumlah 2 orang akan memeriksa barcode
dan identitas pasien yang ada diblanko resep dan menyalin catatan
pengambilan obat di buku BPJS secara manual, kemudian menyiapkan
plastik klip dan memasukkan etiket ke dalam plastik.
2) Petugas bagian pengambilan akan mengambil obat di rak penyimpanan
obat sesuai dengan resep.
3) Untuk resep racikan, tiap blanko resep beserta obat yang telah diambil,
diletakkan di baki kecil dan dilakukan pengecekan kesesuaian obat,
kemudian menyerahkannya pada petugas peracikan. Petugas melakukan
penggerusan atau pemblenderan hingga benar-benar halus dan homogen,
kemudian memasukkannya ke dalam wadah/kemasan yang sudah
ditentukan. Setelah itu, petugas peracikan menyerahkan obat yang sudah
selesai diracik kepada petugas lain dibagian pengemasan obat.
70
4) Baik resep racikan dan non racikan, petugas bagian pengemasan yang
berjumlah 2 orang akan melakukan pengecekan/telaah resep, yang
meliputi identitas pasien, ketepatan nama/jenis obat, dosis, jumlah, dan
aturan pakai.
5) Petugas memasukkan obat ke dalam plastik klip dan menempelkan etiket
yang sesuai dengan jenis obat, kemudian mensteples blanko resep dengan
plastik klip, dan mengikatnya dengan karet bersama buku BPJS.
6) Petugas memberi paraf pada blanko resep sebagai tanda bahwa resep
telah melalui proses telaah petugas.
7) Menumpuk obat-obat yang sudah siap pada keranjang plastik.
d. Penyerahan Obat
Petugas atau apoteker bagian penyerahan obat akan mengambil keranjang
yang sudah terisi penuh, kemudian membawanya kedepan untuk diserahkan
kepada pasien. Penyerahan obat kepada pasien dilakukan dengan cara memanggil
nomor antrian atau nama pasien berdasarkan nomor urut antrian dengan
menggunakan mikrofon. Setelah pasien bersangkutan maju ke depan, petugas
akan memastikan kesesuaian identitas dan nomor antrian pasien agar menghindari
kesalahan dalam penyerahan obat. Selanjutnya, pasien memberikan paraf di
blanko resep yang berwarna putih untuk disimpan oleh petugas sebagai bukti
bahwa obat telah diambil oleh yang bersangkutan. Petugas memberikan informasi
obat sesuai kebutuhan pasien, kemudian menyerahkan obat kepada pasien.
Berdasarkan observasi, apoteker yang menyerahkan obat terkadang hanya 1
orang, sehingga membuat waktu tunggu pasien berikutnya untuk memperoleh
obat menjadi lebih lama.
Adapun denah dan alur proses pelayanan resep non racikan dan resep
racikan dapat dilihat pada gambar 10 berikut:
71
Keterangan:
: Alur pelayanan resep non racikan
: Alur pelayanan resep racikan
Gambar 10. Denah dan Alur Pelayanan Resep di IFRJ RSUD Kota Surakarta
E. Identifikasi Waste Kritis
Sebelum menetapkan waste kritis dari ke-8 tipe waste, peneliti melakukan
observasi langsung dan melakukan wawancara tidak terstruktur kepada petugas
yang telibat langsung dalam pelayanan di IFRJ untuk mengidentifikasi ke-8 tipe
waste yang terjadi sepanjang proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta.
Delapan jenis waste yang diteliti sesuai dengan konsep lean yang telah dibahas
Ruang
Pelayanan Resep
Rawat Inap
Loket Pelayanan Resep Rawat Jalan
72
sebelumnya pada tinjauan pustaka dan sesuai definisi operasional pada penelitian
ini.
Berikut merupakan 8 tipe waste yang teridentifikasi sepanjang proses
pelayanan di IFRJ adalah sebagai berikut:
a. Defect, meliputi kesalahan dalam mengambil obat atau jumlah obat,
kesalahan meracik obat, resep belum dientry saat dibagian penyiapan obat
yang menyebabkan petugas bolak balik mengembalikan resep untuk di
entry, memperbaiki mikrofon dan mesin cetak etiket yang bermasalah saat
melakukan pelayanan.
b. Overproduction, meliputi menyiapkan obat racikan sebelum ada resep
yang menyebabkan jenis obat tertentu mengalami kekosongan.
c. Transportation, meliputi petugas mengambil obat di gudang saat
pelayanan, ketika obat kosong, copy resep diberikan kepada pasien untuk
membeli obat diluar rumah sakit.
d. Waiting, meliputi pasien menunggu antrian obat, SIMRS IFRJ sedang
trouble atau mati, petugas menunggu karena workload (beban kerja) tidak
mencukupi yang biasanya terjadi pada pagi hari/jam-jam yang tidak sibuk
karena jadwal praktek dokter di poli masih sedikit, petugas menunggu
pasien datang mengambil obat (obat yang ditinggal pulang oleh pasien),
menunggu obat diambil dari gudang, dan persedian obat yang diresepkan
habis dan harus menunggu konfirmasi dokter.
e. Inventory, meliputi obat distok berlebihan sehingga menyebabkan
kadarluarsa, meracik obat secara berlebihan sehingga menyebabkan
kadarluarsa.
f. Motion, meliputi petugas menanyakan tulisan resep yang tidak jelas baik
kepada petugas lain maupun kepada dokter melalui telepon, ada kegiatan
mencari obat atau peralatan seperti steples, plastik, gunting, kalkulator,
sudip, dll, petugas berjalan atau bergerak tidak leluasa dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan karena ruangan/jalan yang sempit, dan
akibat layout tempat kerja yang kurang efektif dan efisien, petugas harus
73
berpindah-pindah atau berputar di dalam ruangan untuk menyelesaikan
pekerjaan.
g. Overprocessing, meliputi petugas menulis catatan pengambilan obat di
buku BPJS, petugas memanggil pasien berkali-kali dengan mikrofon,
petugas menanyakan/meminta buku BPJS kepada pasien karena saat
menyerahkan blanko resep, pasien tidak menyertakan buku BPJS.
h. Human potential, meliputi petugas jenuh sehingga memilih tidak
menyampaikan saran ataupun ide untuk perbaikan pelayanan atau
saran/ide dari petugas tidak mendapat respond dari pihak yang
bersangkutan, petugas yang berkompetensi mengundurkan diri.
Setelah mengidentifikasi ke-8 tipe waste tersebut, selanjutnya menetapkan
waste kritis. Penetapan waste kritis dilakukan melalui penyebaran kuesioner
pembobotan waste kepada petugas yang termasuk dalam kriteria penelitian yaitu
petugas yang terlibat langsung dalam proses pelayanan kepada pasien. Jumlah
pemberi pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta berjumlah 18 orang, maka
jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 18 orang yang terdiri dari 7
apoteker dan 11 asisten apoteker. Sebelum responden mengisi kuesioner, peneliti
menjelaskan terlebih dahulu mengenai konsep lean, tujuan dilakukannya
pembobotan waste, dan cara mengisi kuesioner untuk menghindari kekeliruan
dalam pengisian kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan pada saat sebelum
pelayanan dimulai dan setelah proses pelayanan selesai agar tidak mengganggu
aktivitas responden saat melakukan pelayanan. Responden satu per satu
didampingi peneliti saat melakukan pengisian kuesioner. Adapun desain
kuesioner waste kritis yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nancy pada tahun 2014 yang berjudul
“Pendekatan Lean Hospital untuk Perbaikan Berkelanjutan (Continuous
Improvement) Proses Pelayanan Instalasi Farmasi RS Bethesda Yogyakarta”.
Kuesioner pembobotan waste yang telah diisi oleh petugas dilakukan perhitungan
dengan menggunakan metode BORDA, dimana masing-masing tipe waste diberi
peringkat oleh petugas berdasarkan dengan tingkat seringnya terjadi waste
tersebut sepanjang proses pelayanan di IFRJ, jumlah petugas yang memberikan
74
peringkat 1 dikalikan dengan bobot yang sudah ditetapkan. Peringkat 1
mempunyai bobot tertinggi (n-1) sementara peringkat 8 mempunyai bobot
terendah yaitu 0. Dilakukan seterusnya untuk peringkat 2 sampai 8, kemudian
menjumlahkan hasil perkalian peringkat 1 sampai 8 untuk mendapatkan nilai
akhir. Hal yang sama dilakukan untuk tipe waste lainnya. Setelah mendapatkan
nilai akhir untuk tiap jenis waste, ditetapkan ranking 1 sampai 8 berdasarkan nilai
tertinggi sampai nilai terendah. Waste yang mempunyai nilai/ranking tertinggi
ditetapkan sebagai waste kritis atau dapat dikatakan waste yang paling sering
terjadi sepanjang proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta.
Berikut ini adalah hasil perhitungan kuesioner waste di IFRJ dengan
menggunakan BORDA:
Tabel 12. Rekapan hasil perhitungan kuesioner waste di IFRJ RSUD Kota Surakarta
No. Jenis Waste Peringkat
Nilai % Ranking 1 2 3 4 5 6 7 8
1. Defects 0 1 1 2 8 3 1 2 50 10,08 4
2. Overproduction 0 0 0 4 0 8 3 3 35 7,06 7
3. Transportation 0 0 3 3 2 3 6 1 45 9,07 6
4. Waiting 10 6 1 0 0 1 0 0 113 22,7 1
5. Inventory 1 1 1 5 5 1 3 1 50 10,08 5
6. Motion 4 7 3 0 1 2 1 0 93 18,75 2
7. Overprocessing 2 3 7 4 0 0 2 0 85 17,14 3
8. Human
Potential 1 0 2 0 2 0 2 11 25 5,04 8
Bobot 7 6 5 4 3 2 1 0
Total 496
Berdasarkan tabel 12 di atas, maka dapat diketahui bahwa waste kritis
pada proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta adalah tipe waste waiting
yang menempati ranking 1 dengan persentase sebesar 22,7%. Waste kritis di IFRJ
RSUD Kota Surakarta berkaitan dengan waiting atau waktu tunggu sepanjang
proses pelayanan. Hal ini menandakan bahwa IFRJ RSUD Kota Surakarta
mendapatkan permasalahan berkaitan dengan waiting (waktu tunggu) yang sangat
mengganggu selama proses pelayanan berlangsung. Jika terjadi waiting maka
akan mengakibatkan kerugian waktu, tenaga, serta biaya yang mempengaruhi
jumlah produk yang dihasilkan (Reidenbach & Goeke, 2006). Menurut Charron et
al. (2015) waste waiting adalah pemborosan yang terjadi dikarenakan tidak ada
75
aktivitas yang berlangsung atau terjadi proses menunggu. Waiting dapat berupa
waktu tunggu orang, waktu tunggu mesin atau waktu tunggu material untuk
diproses.
Salah satu faktor terjadinya waiting di IFRJ RSUD Kota Surakarta yaitu
pada saat proses penginputan atau entry data resep ke dalam SIMRS dimana
terjadi delay atau waktu tunggu yang lama karena pada pukul 10.00-13.00
merupakan saat puncak pelayanan resep, dimana jam-jam tersebut banyak pasien
yang datang menyerahkan resep dari poliklinik. Waktu proses mengentry data
lebih lambat dibandingkan dengan waktu antar kedatangan pasien, serta jumlah
petugas yang terbatas dibagian entry data menyebabkan terjadinya penumpukan
resep pada tahap tersebut, sehingga membuat waktu tunggu menjadi lebih lama.
Dari VSM pelayanan resep non racikan terlihat bahwa waktu tunggu/delay pada
proses penginputan data lebih lama dibandingkan dengan waktu tunggu antar
kegiatan lainnya. Delay yang terjadi pada tahap ini menghambat proses
selanjutnya karena resep belum bisa dikerjakan oleh petugas penyiapan obat
sebelum resep di entry. Waiting merupakan jenis pemborosan yang disebabkan
karena menunggu untuk proses berikutnya. Waiting merupakan selang waktu
ketika operator tidak menggunakan waktu untuk melakukan value adding activity
dikarenakan menunggu aliran produk dari proses sebelumnya (upstream). Waiting
ini juga mencakup operator dan mesin seperti kecepatan produksi mesin dalam
stasiun kerja lebih cepat atau lambat daripada stasiun yang lainnya (Gaspersz,
2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Puspita Sari (2018) diketahui
bahwa waste yang paling tinggi atau waste kritis dalam proses pelayanan di
instalasi farmasi rawat jalan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates
Yogyakarta yaitu waste waiting dengan persentase 24,4%. Akar penyebab waste
tersebut antara lain kapasitas server menurun karena menyimpan data yang terlalu
banyak pada proses penginputan data, jumlah petugas yang berjaga di instalasi
farmasi rawat jalan kurang memadai, dan tata letak ruangan yang kurang efisien.
Adapun usulan perbaikannya yaitu dengan menerapkan 5S.
76
Waste yang terjadi dalam pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta
akhirnya akan menyebabkan pudarnya loyalitas, hilangnya rasa kepercayaan
pelanggan (customer), berkurangnya profit, dan yang terburuk, terciptanya citra
negatif di mata masyarakat. Setelah mengetahui waste kritis yang terjadi
sepanjang proses pelayanan di IFRJ, maka langkah selanjutnya adalah mencari
akar penyebab (root cause) dari suatu permasalahan dan kemudian mengambil
tindakan perbaikan yang sesuai dengan akar penyebab tersebut.
F. Identifikasi Akar Penyebab Waste Kritis
Identifikasi akar penyebab dari waste kritis berupa waiting di IFRJ RSUD
Kota Surakarta dilakukan dengan wawancara mendalam dengan informan terpilih
menggunakan metode 5 why, dimana peneliti terus bertanya pertanyaan
“mengapa” sebanyak lima kali sampai ditemukan akar penyebab permasalahan.
Informan terpilih adalah petugas yang mempunyai masa kerja 3 tahun atau lebih
di IFRJ RSUD Kota Surakarta. Penentuan jumlah responden dianggap memenuhi
kriteria apabila telah sampai pada titik jenuh, dimana terjadi pengulangan
informasi atau informasi yang diperoleh tidak menambah informasi yang berarti
maka dapat dikatakan proses pengumpulan data dapat dihentikan (Nugrahani,
2014). Adapun hasil dari wawancara mendalam menggunakan metode 5 why
dengan informan terpilih dapat dilihat pada tabel 13 berikut:
77
Tabel 13. Akar penyebab waste kritis di IFRJ RSUD Kota Surakarta
Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5
Why Because Why Because Why Because Why Because Why Because
Mengapa
pasien
menunggu
antrian obat
untuk
waktu yang
lama?
Karena
petugas
membutuhkan
waktu yang
agak lama
untuk meng-
entry data
resep ke
SIMRS
Mengapa
petugas
membutuh-
kan waktu
yang agak
lama untuk
mengentry
data resep
ke SIMRS?
Karena
terkadang
SIMRS
sedang
trouble/
lambat
loading
Mengapa
SIMRS
terkadang
mengalami
trouble/
lambat
loading?
Karena
kecepatan
server
menurun
Mengapa
kecepatan
server
menurun?
Karena
adanya
pengaruh dari
pendaftaran
online dan
banyak yang
mengakses
system disaat
bersamaan
Mengapa pen-
daftaran online
dan banyaknya
yang meng-
akses system
mempengaruhi
kecepatan
server?
Karena jaringan
LAN/Wifi terbagi
disaat beberapa
system dijalankan
dalam waktu yang
sama
Mengapa
pasien menunggu
antrian obat
untuk
waktu yang
lama?
Karena
petugas menunggu
obat diambil
dari gudang
saat proses
pelayanan
Mengapa
petugas menunggu
obat
diambil dari
gudang saat
proses
pelayanan?
Karena stok
obat di rak depo IFRJ
habis
Mengapa
stok obat di rak depo
IFRJ habis?
Karena
petugas PJ tidak
langsung
menambah
stok obat di
rak saat
persediaan
hampir habis
Mengapa
petugas PJ tidak
langsung
menambah
stok obat di
rak saat
persediaan
hampir
habis?
Karena
petugas tersebut tidak
dapat segera
mengetahui
obat mana
saja yang
stoknya perlu
ditambah
Mengapa
petugas tidak segera menge-
tahui obat
mana saja
yang stoknya
perlu
ditambah?
Karena tidak
adanya petunjuk/ tanda bahwa stok
obat tersebut akan
segera habis
Mengapa
pasien
menunggu
antrian obat
untuk waktu yang lama?
Karena proses
pelayanan
resep agak
lama
Mengapa
proses
pelayanan
resep agak
lama?
Karena obat
yang sudah
siap tidak
langsung
diserahkan kepada
pasien
Mangapa
obat yang
sudah siap
tidak
langsung diserahkan
kepada
pasien?
Karena obat-
obatan yang
sudah siap
ditumpuk
dalam satu keranjang
hingga terisi
penuh
Mengapa
obat-obatan
yang sudah
siap di-
tumpuk dalam satu
keranjang
hingga terisi
penuh?
Karena jika
diserahkan
satu per satu
kepada pasien,
akan menye-babkan
petugas
mondar-
mandir untuk
mengambil
obat
Mengapa jika
diserahkan
satu per satu
kepada pasien,
akan menye-babkan
petugas
mondar-
mandir untuk
mengambil
obat?
Karena jarak
antara tempat
penyiapan dan
penyerahan obat
agak berjauhan sehingga akan
menyita waktu
dan tenaga
petugas yang
bersangkutan 77
78
Mengapa
petugas
membutuh-
kan waktu
yang lama
untuk menyiap-
kan obat?
Karena
blanko resep
mengalami
delay/waktu
tunggu yang
lama pada tahap entry
data
Mengapa
blanko
resep meng-
alami delay/
waktu
tunggu yang lama pada
tahap entry
data?
Karena
petugas
bagian entry
data mem-
butuhkan
waktu yang lama untuk
menginput
data ke
SIMRS
Mengapa
petugas
bagian
entry data
membutuh-
kan waktu yang lama
untuk men-
ginput data
ke SIMRS?
Karena
jumlah
operator
dibagian
entry data
terbatas
Mengapa
jumlah
operator
dibagian
entry data
terbatas?
Karena unit
komputer
yang ada
masih terbatas
Mengapa unit
komputer yang
ada masih
terbatas?
Karena belum ada
rencana untuk
penambahan unit
komputer dan
operator di bagian
entry data
Mengapa
petugas
membutuh-
kan waktu
yang lama untuk
menyiap-
kan obat?
Karena
petugas
mengalami
kesulitan
dalam proses penyiapan
obat
Mengapa
petugas
mengalami
kesulitan
dalam proses
penyiapan
obat?
Karena
pergerakan
petugas
terbatas saat
menyiapkan obat
Mengapa
pergerakan
petugas
terbatas
saat menyiap-
kan obat?
Karena akses
jalan di
dalam
ruangan
IFRS sempit
Mengapa
akses jalan
di dalam
ruangan
IFRS sempit?
Karena selain
ruangan yang
terbatas, juga
ada trolley
yang biasa masuk di
dalam ruang-
an, dan jumlah
petugas yang
berada di
dalam banyak
Mengapa ada
trolley yang
biasa masuk di
dalam ruangan
dan mengapa jumlah petugas
yang berada di
dalam banyak?
Karena petugas
melakukan
penyetokan obat
dengan trolley saat
pelayanan ber- langsung, dan
petugas bagian
rawat jalan dan
rawat inap
melakukan
penyiapan obat di
ruangan yang
sama, sehingga
membuat ruangan
semakin sempit
78
79
Tabel 13 menunjukkan beberapa alasan yang menjadi akar penyebab dari
waste kritis yaitu waste waiting pada proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota
Surakarta. Adapun alasan-alasan tersebut yaitu sebagai berikut:
Alasan pertama yang menyebabkan waktu tunggu proses pelayanan lama
dikarenakan saat petugas melakukan penginputan data, SIMRS mengalami
trouble atau lambat loading yang disebabkan oleh kecepatan server yang
menurun. Faktor penyebabnya yaitu karena banyaknya yang mengakses system
disaat bersamaan seperti pendaftaran online maupun system yang diakses di unit
IFRS dan unit lain, yang membuat kecepatan server menurun. Hal ini tentu saja
mempengaruhi kecepatan petugas dalam melakukan penginputan data dan
menambah lead time proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta. Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Gijo dan Antony (2014) yang mengidentifikasi
potensi yang menyebabkan waktu tunggu pasien rawat jalan di farmasi menjadi
lama, salah satunya adalah dari faktor mesin seperti jaringan yang lambat.
Alasan kedua terjadinya waste waiting adalah disaat petugas melakukan
penyiapan obat, stok obat yang diperlukan habis sehingga untuk mendapatkan
obat tersebut harus diambil dari gudang farmasi. Dari pengamatan peneliti,
petugas bagian penyiapan meminta tolong kepada petugas dari gudang farmasi
untuk mengambilkan obat, namun ada kalanya petugas penyiapan yang pergi ke
gudang untuk mengambil obat. Bila obat diambilkan oleh petugas dari gudang,
obat tersebut akan diserahkan kepada petugas farmasi lewat jendela/celah yang
berada di antara ruangan IFRJ dan ruangan gudang farmasi. Terjadinya
kekosongan stok obat saat pelayanan berlangsung disebabkan karena tidak adanya
tanda atau petunjuk khusus bahwa stok obat tersebut sudah hampir habis,
sehingga petugas penanggungjawab rak obat tidak mengetahuinya dengan segera
untuk menambah stok obat tersebut di rak penyimpanan. Hal ini tentunya akan
mengganggu kelancaran proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta jika
tidak segera diatasi.
Alasan ketiga adalah dimana ketika obat-obatan yang sudah selesai
dikemas ditumpuk dalam satu keranjang hingga penuh. Hal ini disebabkan karena
layout yang belum optimal sehingga akan membuat petugas lebih sering mondar-
80
mandir jika membawa obat ke depan satu per satu. Oleh karena itu, untuk
menghemat pergerakan petugas dalam mengambil atau membawa obat ke depan,
obat ditumpuk pada keranjang plastik hingga penuh. Walaupun hal tersebut dapat
dikatakan efisien, namun di sisi lain menambah waktu tunggu obat untuk
diserahkan kepada pasien.
Alasan keempat mengapa proses pelayanan menjadi lama karena jumlah
operator di bagian entry data hanya berjumlah 2 orang. Waktu kedatangan resep
lebih cepat dengan waktu proses penginputan data, sehingga terjadi penumpukan
resep pada tahap entry data. Dari hasil observasi, pada jam-jam sibuk petugas
bagian penerimaan resep akan membantu untuk mengentry data. Namun hal
tersebut belum efektif mengurangi waktu tunggu karena petugas bagian
penerimaan resep pun saat melakukan entry data sering tertunda karena harus
melayani pasien yang datang menyerahkan resep. Banyaknya resep yang masuk
dan kurangnya operator di bagian entry, membuat waktu tunggu menjadi lebih
lama dan menghambat proses berikutnya.
Alasan kelima yang menyebabkan waste waiting adalah karena
terbatasnya ruangan di IFRS dan akses jalan yang sempit, membuat petugas yang
menyiapkan obat tidak leluasa berjalan untuk mencari atau mengambil obat.
Beberapa faktor yang menyebabkan ruangan menjadi semakin sempit yaitu karena
petugas farmasi rawat jalan dan rawat inap secara bersamaan melakukan kegiatan
penyiapan obat. Oleh karena depo farmasi rawat jalan dan depo rawat inap masih
digabung dalam satu ruangan, jumlah petugas yang terlibat pada proses penyiapan
obat tidak sesuai dengan kondisi ruangan dan akses jalan yang sempit, sehingga
membuat petugas saling berdesakan saat berjalan dan menyulitkan petugas saat
mencari atau mengambil obat. Faktor lainnya yaitu dimana pada saat pelayanan,
ada aktivitas penyetokkan obat yang mengharuskan trolley masuk ke dalam
ruangan sehingga menghalangi akses jalan petugas di bagian penyiapan obat.
Berikut ini merupakan beberapa titik tempat/akses jalan yang seringkali terhambat
oleh trolley ketika masuk ke dalam, dan petugas lain yang sedang lalu-lalang
sehingga menghambat pergerakan petugas saat melakukan penyiapan obat:
81
Gambar 11. Beberapa titik tempat/akses jalan yang seringkali terhambat dan menyulitkan
petugas saat menyiapkan obat
Adapun tata letak ruangan IFRS RSUD Kota Surakarta dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 12. Layout ruangan IFRJ RSUD Kota Surakarta
Berdasarkan pengamatan peneliti, tata letak ruangan di IFRJ RSUD Kota
Surakarta saat ini belum optimal. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan
ruangan di IFRS, di mana depo farmasi rawat jalan dan depo farmasi rawat inap
a b c
d e f
82
yang masih digabung, sehingga membuat penempatan atau tata ruang di IFRJ
menjadi tidak efektif dan efisien. Berdasarkan pengamatan peneliti, petugas yang
sedang mencari atau akan mengambil obat di rak penyimpanan, seringkali
kesulitan untuk mengambilnya karena akses jalan terhalangi oleh petugas lain
yang sedang lalu lalang, sehingga membuat petugas melakukan pergerakan yang
berlebihan (motion) karena harus berputar arah ataupun harus menunggu sampai
petugas lain lewat. Hal ini mempengaruhi kecepatan petugas dalam melakukan
pekerjaannya, sehingga membuat waktu tunggu proses pelayanan menjadi lama.
Menurut Chapman dan Bosch (2010) kecepatan dalam proses pelayanan bisa
disebabkan oleh layout ruangan. Layout ruangan yang kurang efektif serta alur
proses pelayanan yang tidak teratur menyebabkan suatu waste yang harus
diminimalkan atau dieleminasi oleh instansi/organisasi. Desain apotek yang tidak
memuaskan dan tidak memadai mengakibatkan hilangnya waktu, uang yang
terbuang, dan kualitas layanan yang buruk.
Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2017) dalam mengidentifikasi waste
kritis di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan
dengan pendekatan lean hospital, berdasarkan hasil pemetaan value stream
mapping (VSM) didapatkan VAR untuk resep non racikan sebesar 16,67 %,
sedangkan untuk resep racikan sebesar 14,52%. Adapun waste dengan peringkat
tertinggi adalah waste motion dengan persentase sebesar 19%. Akar penyebab dari
waste motion adalah tidak adanya jadwal atau standar yang ditetapkan terkait
pengorganisasian tempat kerja. Hal ini berdampak pada efektifitas pegawai dalam
menyelesaikan tugasnya. Usulan perbaikan untuk akar penyebab waste kritis
(motion) adalah dengan menerapakan metode 5S.
Adapun pedoman teknis sarana dan prasarana khusus di instalasi farmasi
yang ditujukan untuk rumah sakit tipe C menurut ketentuan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 diuraikan sebagai berikut:
83
Tabel 14. Kebutuhan ruang, fungsi dan luasan ruang serta kebutuhan fasilitas di IFRS
No. Nama Ruangan Fungsi Besaran
Ruang/ Luas
Kebutuhan
Fasilitas
1 Ruang Peracikan
Obat
Ruang tempat melaksanakan
peracikan obat oleh apoteker
Min. 6 m2/
apoteker
(min. 24 m2)
Peralatan farmasi
untuk persediaan,
peracikan dan
pembuatan obat, baik steril maupun
non steril
2 Depo Bahan Baku
Obat
Ruang tempat penyimpanan
bahan baku obat
Min. 6 m2 Lemari/rak
3 Depo Obat Jadi Ruang tempat penyimpanan
obat jadi
Min. 6 m2 Lemari/rak
4 Gudang
Perbekalan dan
Alat Kesehatan
Ruang tempat penyimpanan
perbekalan dan alat kesehatan
Min. 10 m2 Lemari/rak
5 Depo Obat Khusus Ruang tempat penyimpanan
obat khusus seperti untuk
obat yang termolabil,
narkotika dan obat
psikotropika, dan obat
berbahaya
Min. 10 m2 Lemari khusus,
lemari pendingin
dan AC, kontainer
khusus untuk
limbah sitotoksis,
dll
6 Ruang Administrasi
(Penerimaan dan
distribusi obat)
Ruang untuk melaksanakan kegiatan administrasi
kefarmasian RS meliputi
kegiatan pencatatan keluar,
masuknya obat, penerimaan
dan distribusi obat
Min. 6 m2 Alat tulis kantor, meja+kursi, loket,
lemari, telepon,
faksimili,
komputer, printer
dan alat per-
kantoran lainnya
7 Konter Apotik
(Loket penerimaan
resep, loket pem-
bayaran dan loket
pengambilan obat)
Ruang untuk menyelenggara-
kan kegiatan penerimaan
resep pasien, penyiapan obat,
pembayaran, dan peng-
ambilan obat
Min. 16 m2 Rak/lemari obat,
meja+kursi,
komputer, printer,
dan alat per-
kantoran lainnya
8 Ruang Loker
Petugas (Pria dan Wanita
dipisah)
Tempat ganti pakaian,
sebelum melaksanakan tugas medik yang diperuntukkan
khusus bagi staf medis
@Loker
6-9 m2
Lemari loker
9 Ruang
Rapat/Diskusi
Ruang tempat melaksanakan
kegiatan pertemuan dan
diskusi farmasi
12-30 m2 Meja, kursi,
peralatan meeting
lainnya
10 Ruang Arsip
Dokumen &
Perpustakaan
Ruang menyimpan dokumen
resep dan buku-buku
kefarmasian
9-20 m2 Lemari arsip,
kartu arsip
11 Ruang Kepala
Instalasi Farmasi
Ruang kerja dan istirahat
kepala Instalasi Farmasi
6-9 m2 Tempat tidur,
sofa, lemari, meja/ kursi
12 Ruang Staf Ruang kerja dan istirahat staf 9-16 m2 Tempat tidur,
sofa, lemari, meja/
kursi
13 Ruang Tunggu Ruang tempat pasien dan
pengantarnya menunggu
menerima pelayanan dari
konter apotek
1-1.5 m2/
orang
(min. 25 m2)
Tempat duduk,
televisi & telp
umum (bila rumah
sakit mampu)
84
14 Dapur Kecil
(Pantry)
Sebagai tempat untuk
menyiapkan makanan dan
minuman bagi petugas di
IFRS
Min. 6 m2 Kursi+meja untuk
makan, sink, dan
perlengkapan
dapur lainnya.
15 KM/WC (pasien,
petugas,
pengunjung)
KM/WC @KM/WC
pria/wanita
luas 2–3 m2
Kloset, wastafel,
bak air
G. Usulan Perbaikan untuk Mengurangi Waste Kritis
Berdasarkan identifikasi akar permasalahan yang menjadi waste pada
proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta, usulan ide perbaikan untuk
meminimalkan atau menghilangkan waste kritis berupa waiting sepanjang proses
pelayanan yaitu dilakukan dengan cara expert panel, namun mengingat kondisi
yang tidak memungkinkan dikarenakan kesibukan masing-masing narasumber,
sehingga menyulitkan peneliti untuk mengumpulkan narasumber pada satu waktu
dan tempat yang sama, maka dilakukan wawancara terpisah dengan pihak-pihak
yang mengetahui dengan baik sistem pelayanan di IFRJ antara lain kepala IFRS
dan penanggungjawab pelayanan medis dan penunjang medis. Peneliti juga
mengumpulkan ide-ide perbaikan dari beberapa petugas dengan masa kerja 3
tahun atau lebih yang terlibat langsung dalam proses pelayanan di IFRJ.
Pertimbangan-pertimbangan lain yang disadari peneliti saat mencoba untuk
mengusulkan perbaikan adalah bahwa untuk mengubah dan merencanakan suatu
ide di RSUD Kota Surakarta harus melalui proses yang panjang dan rumit, hal ini
karena menyangkut berbagai kebijakan, aturan-aturan yang berlaku dan
melibatkan pihak-pihak yang berwenang, serta perlunya konsultasi dengan
perencana program dan usulan rumah sakit. Namun berkat bantuan dari kepala
instalasi farmasi dan penanggungjawab pelayanan dan penunjang medis, peneliti
dapat merumuskan suatu ide perbaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di
IFRJ RSUD Kota Surakarta. Adapun usulan ide perbaikan untuk meminimalkan
atau mengeliminasi waste adalah dengan menerapkan 5S dan kanban sebagai
standar pengorganisasian tempat kerja di area IFRJ. Walaupun 5S sudah mulai
diterapkan, namun berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan kepala
IFRS, penerapan 5S belum maksimal, sehingga dari hasil diskusi dengan kepala
85
IFRS telah disepakati untuk mengoptimalkan penerapan 5S di area IFRSUD Kota
Surakarta.
1. 5S
Lima S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke) adalah sebuah
pendekatan dalam mengatur lingkungan kerja yang pada intinya berusaha
mengeliminasi waste sehingga tercipta lingkungan kerja yang efektif, efisien, dan
produktif (Osada, 2000). 5S merupakan suatu bentuk gerakan yang berasal dari
kebulatan tekad untuk mengadakan pemilahan di tempat kerja, mengadakan
penataan, pembersihan, memelihara kondisi yang mantap, dan memelihara
kebiasaan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Bila
tempat kerja tertata rapi, bersih, dan tertib maka dapat memudahkan pekerjaan
perorangan. Tujuan utama 5S adalah untuk mencegah masalah dan menciptakan
lingkungan kerja yang memungkinkan orang untuk memberikan pelayanan yang
terbaik bagi pasien dengan cara yang paling efektif. John Touissant, CEO of The
da Care Health System (Wisconsin) memperkirakan perbaikan dengan 5S telah
mengurangi jumlah pemborosan waktu rata-rata seorang perawat yang memiliki
shift kerja 8 jam, dari 3,5 jam sehari menjadi hanya 1 jam setiap harinya (Graban,
2016).
Menurut Ikuma dan Nahmens (2014) 5S yang diterapkan pada layanan
kesehatan dapat meningkatkan proses, lingkungan kerja, dan dalam beberapa
kasus meningkatkan keselamatan melalui standardisasi. El-Sherbiny et al. (2017)
mengungkapkan penerapan 5S menurunkan waktu siklus pasien >50%,
mengarahkan rumah sakit pada penghematan biaya, waktu dan tenaga,
mengurangi stress yang terkait dengan pekerjaan, mengurangi waste,
meningkatkan keselamatan staf dan pasien, meningkatkan komunikasi, efisiensi,
produktivitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Manfaat lainnya yaitu
mengurangi waktu mencari barang, meningkatkan kapasitas staf untuk bergerak di
tempat kerja, dan mengurangi waktu tunggu pasien (Kanamori et al., 2015). Dari
15 penelitian yang mengamati penerapan 5R/5S di fasilitas pelayanan kesehatan
dan beberapa rumah sakit di Brasil, India, Yordania, Senegal, Sri Lanka,
86
Tanzania, Inggris, dan Amerika Serikat. Berdasarkan hasil pengamatan
menunjukkan bahwa 5S dianggap sebagai langkah awal untuk meningkatkan
kualitas layanan kesehatan, dari sepuluh penelitian mengungkapkan dampaknya
pada peningkatan kualitas. Perubahan yang dihasilkan dari penerapan 5S
diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi yaitu keselamatan, efisiensi, dan berfokus
pada pasien (Kanamori et al., 2016). Fillingham (2007) menyoroti manfaat dari
5S di rumah sakit Boston selama satu minggu, mereka membuat tujuh puluh satu
perbaikan di ruang resusitasi yang mengarah pada pengurangan insiden klinis dan
kesalahan, serta peningkatan moral karyawan.
Adapun bentuk penerapan 5S/5R yang bisa diterapkan di IFRJ RSUD
Kota Surakarta yaitu:
1.1 Seiri/Sort/Ringkas. Seiri merupakan langkah awal dalam
menjalankan budaya 5S, yaitu dengan cara memilah/menyortir barang-barang
atau file-file yang tidak perlukan lagi ke tempat pembuangan, sehingga barang-
barang yang ada di lokasi kerja hanyalah barang yang benar-benar dibutuhkan
dan masih penting untuk aktivitas kerja. Penerapan seiri bisa dilakukan dengan
cara memberi label/stiker merah dan menerangkan tindakan apa yang akan
diambil, apakah akan dibuang atau dipindahkan. Dalam melakukan tindakan ini,
yaitu membuang atau memusnahkan file-file yang tidak diperlukan di IFRJ RSUD
Kota Surakarta, dapat dilakukan sesuai dengan pedoman retensi arsip dibidang
kesehatan menurut Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2015 yang menyatakan untuk jenis arsip mengenai obat publik dan
perbekalan kesehatan (penyediaan, pengelolaan, analisis, pemantauan, dan
evaluasi) dapat dimusnahkan dengan waktu retensi 5 tahun. Selain itu, untuk
memudahkan dalam menyimpan dan mencari arsip, dapat dilakukan dengan
menyalin arsip tersebut dalam bentuk soft copy. Hal ini menjadikan ruangan dan
tempat penyimpanan menjadi lebih efisien, rapi, dan tidak berantakan.
Keuntungan lainnya yaitu meningkatkan kecepatan waktu pencarian barang atau
dokumen yang dibutuhkan, menghasilkan tempat kerja yang aman, suasana kerja
lebih nyaman dan mencegah tempat, alat dan bahan menjadi rusak lebih awal.
87
1.2 Seiton/Store/Rapi. Setelah membuang barang yang tidak diperlukan,
masalah berikutnya adalah mengambil keputusan berapa banyak yang akan
disimpan dan dimana menyimpannya, ini dinamakan penataan yang berarti
menyimpan barang dengan memperhatikan dari segi efisiensi, mutu, dan
keamanan serta mengoptimalkan cara penyimpanannya. Semua barang
ditempatkan sesuai dengan frekuensi penggunaannya (sering-kadang-jarang) dan
pada tempat yang sesuai dengan peruntukannya dan diberi tanda/label. Untuk rak-
rak obat dapat ditata dengan mengelompokkan obat berdasarkan abjad, jenis,
kelas terapi, suplemen/vitamin, dan obat LASA (Look Alike Sound Alike). Hasil
dari penerapan ini ialah tempat kerja yang tertata rapi, barang atau peralatan
mudah ditemukan, mudah dikembalikan, mempersingkat waktu pekerjaan,
mengurangi kemungkinan salah mengambil barang seperti obat, peralatan,
dokumen dan sebagainya, meningkatkan produktivitas secara umum dengan
menghilangkan pemborosan waktu, dimana meminimalisir gerakan mondar-
mandir dalam mencari barang. Adapun langkah-langkah dalam kegiatan
seiton/rapi antara lain: perlunya pengelompokan barang di tempat kerja, membuat
tempat penyimpanan, membuat garis pembatas untuk penempatan barang,
menamai semua barang, membuat denah lokasi penyimpanan barang. Adapun
kondisi ruangan di IFRS saat dilakukan observasi terdapat beberapa titik yang
belum rapi seperti pada tempat penyimpanan perbekalan farmasi yang dapat
dilihat pada gambar 13 berikut ini, sehingga masih perlu dilakukannya penataan
pada tempat tersebut.
Gambar 13. Dokumentasi kondisi tempat penyimpanan perbekalan farmasi yang
belum seiton
88
1.3 Seiso/Shine/Resik. Seiso merupakan kegiatan untuk menjaga
kebersihan tempat kerja setiap hari yaitu dengan pembersihan dasar pada suatu
area seperti menyapu, mengepel, membersihkan ruangan kerja secara teratur,
membersihkan peralatan, komputer, meja kerja, dan area penyimpanan sehingga
ruangan dan barang-barang atau peralatan tidak kotor dan berdebu. Dari hasil
observasi peneliti, penerapan kegiatan seiso di IFRJ RSUD Kota Surakarta belum
maksimal karena pada saat pelayanan berlangsung dan setelah selesai pelayanan,
tempat kerja tidak langsung dibersihkan. Walaupun adanya tenaga cleaning
service yang akan membersihkan ruangan pada pagi hari, namun alangkah
baiknya bila semua petugas juga ikut andil dalam menjaga kebersihan sehingga
ruangan menjadi lebih nyaman lagi. Lingkungan yang bersih dan tertata rapi dapat
menciptakan kenyamanan bagi petugas saat melakukan pekerjaannya. Berikut
merupakan kondisi di area meja pengemasan obat sebelum dan setelah penerapan
seiso:
Gambar 14. Dokumentasi sebelum penerapan seiso dan setelah penerapan seiso di
area meja pengemasan obat
1.4 Seiketsu/Standardize/Rawat. Setelah keadaan ruangan bersih dan
rapi, maka diperlukan standar kerja agar ruang kerja, mesin, barang atau
peralatan terjaga kebersihan dan kerapiannya. Tahap ini adalah tahap yang
sukar karena membutuhkan komitmen tiap individu untuk tetap mempertahankan
kerapihan dan kebersihan ruangan. Seiketsu atau tahap perawatan/pemeliharaan
ini merupakan kegiatan untuk menjaga ketiga tahap yang sudah dijalankan
sebelumnya secara rutin. Hal ini perlu adanya standarisasi dan konsistensi dari
Before After
89
masing-masing individu untuk melakukan tahapan-tahapan sebelumnya. Akan
lebih baik bila standar kerja yang ditetapkan dibuat dalam bentuk SOP agar semua
karyawan menjadi lebih bertanggungjawab dan meningkatkan kepatuhan dalam
menjalankannya.
1.5 Shitsuke/Sustain/Rajin. Arti kata shitsuke atau rajin, juga diartikan
sebagai pembiasaan untuk menjalankan keempat S sebelumnya secara disiplin dan
dijadikan budaya. Pembiasaan yaitu melakukan pekerjaan secara berulang-ulang
sehingga secara alami tiap individu dapat melakukannya dengan baik. Ini
merupakan cara untuk mengubah kebiasaan buruk dan menciptakan kebiasaan
baik bagi setiap individu. Program 5S tidak akan berhasil tanpa pembiasaan,
sehingga untuk melakukan pekerjaan secara efisien dan tanpa kesalahan, maka
perlu untuk melakukannya setiap hari. Agar dapat memotivasi karyawan untuk
membudayakan 5S, dapat diterapkan sanksi dan penghargaan, dimana karyawan
yang melanggar atau tidak mematuhi peraturan akan diberikan sanksi, dan
sebaliknya karyawan yang dapat mematuhi atau menerapkan 5S ini dengan baik
akan diberikan penghargaan. Dalam memastikan 5S berjalan dengan efektif, dan
memastikan apakah karyawan melakukannya dengan rajin, maka perlu dilakukan
pemantauan untuk memastikan pencapaiannya. Pemeriksaan secara teratur atau
rajin pada kegiatan 5S ini dapat dilakukan dengan menggunakan patroli 5R setiap
hari, setiap minggu atau minimal sebulan sekali. Adapun indikator kesuksesan
penerapan budaya kerja 5S bagi organisasi seperti: menurunkan pemborosan,
menghindari kecelakaan kerja, meningkatkan kinerja tim, meningkatkan mutu dan
produktivitas, peningkatan dan perbaikan kinerja yang berkelanjutan, peralatan
kantor dan lokasi kerja yang teratur, rapi dan bersih, hasil produksi yang
berkualitas baik, dan keunggulan untuk mempunyai karyawan yang bermental
maju, bersikap dan berperilaku positif.
2. Kanban
Kanban adalah metode yang dibangun berdasarkan konsep kerja
terstandarisasi, 5S, dan visual manajemen untuk memberikan rumah sakit metode
yang sederhana namun efektif untuk mengelola persediaan. Kanban merupakan
90
istilah dalam bahasa Jepang yang artinya "sinyal", "kartu", atau "tanda".
Kanban adalah sinyal fisik seperti kartu kertas yang menunjukkan kapan
saatnya untuk memesan lebih banyak, dari siapa, dan dalam jumlah berapa.
Kanban bertujuan untuk membantu pasien dan karyawan dengan memastikan
persediaan yang dibutuhkan ada di tempat yang tepat, dalam jumlah yang tepat,
dan pada waktu yang tepat, dan untuk memastikan ketersediaan material yang
diperlukan dengan tingkat persediaan yang rendah. Kanban juga bisa menjadi
sinyal elektronik yang dikirim otomatis oleh kabinet atau sistem komputer
(Graban, 2016).
Penggunaan kanban di IFRJ RSUD Kota Surakarta dapat dilakukan
dengan cara memberi tanda berupa kartu atau label merah di atas rak
penyimpanan obat jika stok obat telah menipis atau habis. Petugas yang
bertanggungjawab terhadap rak tersebut akan mengenali label ini dan akan
segera mengambil obat dari gudang kemudian mengisi rak obat tersebut
sebelum proses pelayanan dimulai. Berdasarkan observasi dan hasil
identifikasi akar penyebab waste kritis, salah satu faktor penyebab waste
waiting pada proses pelayanan adalah petugas menunggu obat yang diambil
dari gudang pada saat resep dikerjakan. Hal tersebut merupakan suatu
pemborosan dan harus segera dihilangkan pada sistem pelayanan. Untuk
menghindari atau menghilangkan pemborosan tersebut, metode kanban adalah
yang paling tepat untuk diterapkan. Menggunakan kartu kanban adalah
menggunakan informasi yang terdapat di kartu kanban untuk membantu
dalam proses replenishment lebih teratur dan dapat menurunkan lost sales,
dan memberikan kenaikan penjualan dikarenakan jumlah obat yang tersedia
akan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan dari pasien (Arumsari, 2015).
Selain menerapkan metode 5S dan kanban, peneliti memberikan usulan
perbaikan dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang. Usulan perbaikan
tersebut diuraikan sebagai berikut:
91
3. Usulan Jangka Pendek
Yaitu suatu perbaikan yang tidak membutuhkan waktu yang lama, dapat
dilakukan dengan segera, dikarenakan tidak membutuhkan biaya yang besar dan
dapat diimplementasikan dalam jangka waktu 3 bulan hingga 6 bulan. Usulan
perbaikan jangka pendek yaitu:
a) Menempel informasi terkait petunjuk atau ketentuan penyerahan resep
disekitar loket penerimaan resep. Hal ini berdasarkan temuan peneliti pada
saat observasi, terlihat beberapa pasien tidak menyertakan buku BPJS pada
saat penyerahan resep, sehingga petugas harus bertanya terlebih dahulu
kepada pasien dan ada kalanya juga petugas harus menunjukkan contoh
buku karena pasien tidak tahu menahu ataupun bingung dengan buku yang
dimaksud. Selain itu pasien umum yang akan membayar obat ke kasir,
tidak mengetahui letak lokasi kasir karena tidak ada petunjuk, sehingga
pasien harus bertanya kepada petugas yang sedang melakukan pelayanan.
Tentunya hal ini mengganggu atau memperlambat proses penerimaan
resep. Dengan menempel informasi atau petunjuk penyerahan resep,
pasien (BPJS) akan langsung menyertakan buku BPJS pada blanko resep
sebelum diberikan kepada petugas, dan juga dapat meminimalkan pasien
(umum) untuk bertanya letak lokasi kasir kepada petugas farmasi. Dengan
begitu petugas akan lebih fokus dengan pekerjaannya dan juga proses
penerimaan resep akan berjalan dengan lancar.
b) Menambah 1 tenaga apoteker yang standby di loket penyerahan obat,
sehingga akan mempercepat proses penyerahan obat.
c) Mengoptimalkan keahlian petugas dalam melakukan pekerjaannya,
terutama dibagian entry data. Dengan adanya pelatihan bagi petugas maka
akan dapat menambah skill dibidangnya dan dapat mempercepat proses
pengerjaan resep atau obat.
d) Menyelenggarakan training dan tes kompetensi telaah resep sehingga
dapat meminimalkan petugas berkonfirmasi dengan dokter seperti
menanyakan tulisan resep dan sebagainya.
92
e) Mengoptimalkan sistem punish dan reward bagi petugas. Dengan adanya
sistem punish dan reward ini, dapat memotivasi petugas dalam melakukan
pekerjaannya. Reward merupakan salah satu alat pengendalian penting
yang digunakan oleh suatu organisasi untuk memotivasi personelnya agar
dapat mencapai tujuan organisasi tersebut dengan perilaku yang sesuai
atau yang diharapkan. Sedangkan punishment merupakan sesuatu yang
tidak disukai/disenangi oleh karyawan untuk menghasilkan efek jera
sehingga tidak akan melakukan perbuatan yang sama. Bentuk-bentuk
punishment yang dapat diterapkan antara lain memberikan denda, dihapus
dari daftar karyawan yang akan dipromosi, kegagalan mendapatkan
reward, ancaman pemecatan, dan lain sebagainya.
4. Usulan Jangka Menengah
Yaitu perbaikan yang membutuhkan biaya khusus dan tambahan sarana
yang tidak membutuhkan biaya dalam jumlah besar, dan dapat diimplementasikan
dalam jangka waktu 6 bulan hingga 12 bulan. Usulan perbaikan jangka menengah
sebagai berikut:
a) Merealisasikan pembuatan standar prosedur operasional cadangan ketika
SIMRS trouble yang terlalu lama saat penginputan data pasien atau pada
saat mesin cetak bermasalah.
b) Mengoptimalkan penggunaan SIMRS. Hal ini karena SIMRS di IFRJ
RSUD Kota Surakarta belum terintegrasi secara maksimal, contohnya
pada kegiatan menulis catatan pengambilan obat di buku BPJS masih
dilakukan secara manual. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan
memanfaatkan mesin cetak etiket untuk mencetak informasi mengenai
obat dalam bentuk stiker atau tempelan. Selain itu SIMRS apotik dengan
SIMRS BPJS belum terintegrasi sehingga membuat petugas menginput
data di dua SIMRS yang berbeda. Diadakan pelatihan berkelanjutan bagi
operator yang menggunakannya sehingga semua petugas yang terkait
dapat mengaplikasikannya dengan maksimal. Hal ini bertujuan untuk
menghemat waktu dan mengurangi beban kerja petugas farmasi.
93
c) Menyediakan monitor nomor antrian. Dengan adanya monitor di ruang
tunggu pasien dapat membuat proses penyerahan obat menjadi lebih cepat
karena pasien dapat melihat urutan nomor antrian di monitor tanpa
bertanya kepada petugas. Selain itu, pasien dengan nomor antrian
selanjutnya akan standby di dekat loket penyerahan, sehingga ketika
nomor antriannya disebut, pasien akan segera berada di loket penyerahan
obat. Pada proses penyerahan obat, pasien sering menanyakan nomor urut
antrian kepada petugas, dan terkadang mikrofon sedang bermasalah,
sehingga petugas tidak menggunakan mikrofon saat memanggil nama atau
nomor antrian pasien, yang mengakibatkan pasien kurang mendengarkan
saat nomor antriannya dipanggil. Hal ini membuat petugas harus
memanggil nama atau nomor antrian pasien secara berulang-ulang, dan
juga membuat pekerjaan petugas terganggu karena harus melayani
pertanyaan pasien mengenai nomor urut antrian pada saat pelayanan.
d) Membuat loker khusus untuk menyimpan tas atau barang-barang pribadi.
Dengan membuat loker akan membuat ruangan terlihat lebih rapih dan
memberi kenyamanan bagi pegawai saat berada di tempat kerja.
e) Menambah satu unit komputer dan operator di bagian entry data, serta
menambah mesin cetak etiket. Berdasarkan pengamatan peneliti, waktu
tunggu terlama pada proses pelayanan adalah pada kegiatan entry data
resep. Kurangnya operator di bagian entry data menjadi salah satu faktor
yang membuat proses tersebut berjalan lambat, mesin cetak yang sering
bermasalah juga merupakan faktor penyebab lainnya yang membuat waktu
tunggu menjadi lebih lama. Oleh karena itu, dengan menambah operator
dan mesin cetak, diharapkan akan mempercepat kegiatan entry data dan
mengurangi waktu tunggu proses pelayanan.
5. Usulan Jangka Panjang
Yaitu perbaikan yang membutuhkan biaya besar dan kebijakan-kebijakan
manajemen rumah sakit dalam penerapannya, serta membutuhkan waktu diatas 12
bulan. Usulan perbaikan jangka panjang yaitu:
94
a) Menerapkan sistem peresepan secara elektronik (e-prescribing). Beberapa
keunggulan penggunaan e-prescribing dibanding dengan peresepan
manual antara lain dapat mencegah terjadinya risiko kesalahan membaca
resep, input data lebih cepat, dapat memberikan dosis obat yang tepat,
menghemat penggunaan kertas dan lebih praktis. Sedangkan pada
peresepan manual, tulisan dokter terkadang tidak terbaca atau tidak terlalu
jelas sehingga dapat menyebabkan kesalahan, penulisan resep seringkali
harus diulang. Pada proses pemesanan, pencatatan dilakukan secara
manual dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan e-
prescribing (Kusumarini et al., 2011). Manfaat e-prescribing telah banyak
dirasakan seperti pada penelitian oleh Hellstrom et al. (2009) terhadap
dokter di Swedia menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa sistem
peresepan secara elektronik (e-prescribing) mudah digunakan (88%),
membuat pelayanan menjadi lebih baik (92%), dan menghemat waktu
pelayanan (83%) dibandingkan dengan resep yang ditulis manual. Di
Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang menerapkan e-
prescribing, diantaranya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang sudah
menerapkannya dari tahun 2014. Dengan menerapkan e-prescribing maka
kejadian konfirmasi antara petugas farmasi dengan dokter
penanggungjawab pasien bisa dihilangkan karena dokter hanya akan
memberikan resep sesuai dengan obat yang ada di dalam sistem. Selain itu
pasien tidak perlu lagi membawa dan menyerahkan resep kepada petugas
farmasi ataupun mengambil nomor antrian diloket, karena data resep
dikirimkan langsung oleh dokter secara online ke IFRS dalam jaringan
rumah sakit. Namun untuk menerapkan e-prescribing ini memerlukan
biaya yang tidak murah, selain itu diperlukan juga pelatihan-pelatihan
khusus bagi pihak-pihak terkait yang akan menggunakannya terutama
para dokter.
b) Merenovasi atau memodifikasi ruangan IFRJ RSUD Kota Surakarta dan
memisahkan ruang pelayanan farmasi rawat jalan dan farmasi rawat inap.
Jika ruang IFRJ di renovasi, akan membuat ruangan menjadi lebih luas
95
dan adanya penambahan ruang khusus racikan, ruang tempat makan atau
ruang istirahat dapat terpenuhi. Berdasarkan hasil observasi peneliti
sepanjang proses pelayanan, ketika ada kegiatan peracikan obat disaat
bersamaan beberapa petugas sedang makan di meja racikan tersebut. Hal
ini disebabkan karena di IFRJ tidak ada tempat/ruang makan khusus,
sehingga petugas memanfaatkan meja racikan untuk dijadikan tempat
makan. Dengan kondisi seperti ini, menimbulkan ketidaknyamanan bagi
petugas yang sedang makan maupun yang sedang melakukan kegiatan
peracikan.
Apabila ruang pelayanan farmasi rawat jalan dan rawat inap
dipisah, maka tata ruangan IFRJ dan alur pelayanan pengerjaan resep
racikan maupun non racikan dapat di perbaiki menjadi lebih efektif dan
efisien dari sebelumnya. Hal ini karena layout di IFRJ pada saat ini,
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses pelayanan resep
menjadi lebih lama, dimana petugas yang melakukan pekerjaannya
seringkali terhambat oleh karena akses jalan yang sempit, sehingga
membuat pergerakan petugas menjadi terbatas. Selain itu, obat-obat yang
telah siap atau telah selesai dikemas ditumpuk dalam satu keranjang
hingga terisi penuh agar petugas bagian penyerahan obat tidak sering
mondar-mandir untuk mengambil obat di meja pengemasan dikarenakan
letak meja pengemasan dan meja penyerahan agak berjauhan, sehingga
membuat akan menyita waktu dan tenaga petugas tersebut. Dari hambatan-
hambatan tersebut, peneliti memberikan usulan perbaikan layout (tata
ruang) dan alur pelayanan resep racikan dan non racikan di IFRJ RSUD
Kota Surakarta yang dapat dilihat pada gambar berikut:
96
Keterangan:
: Alur pelayanan resep non racikan
: Alur pelayanan resep racikan
Gambar 15. Usulan Perbaikan Layout dan Alur Pelayanan Resep di
IFRJ RSUD Kota Surakarta
Pada layout usulan, untuk pelayanan farmasi rawat inap telah
dipisahkan dari ruangan pelayanan farmasi rawat jalan, sehingga untuk
ruang tempat klaim BPJS dapat dipindahkan di ruang pelayanan farmasi
rawat inap sebelumnya, dengan begitu akan membuat ruangan dan akses
jalan menjadi lebih luas. Kemudian peneliti juga mengusulkan untuk
mengubah posisi rak dan meja pengemasan obat, serta membuat
celah/jendela di dinding yang saling berdekatan dengan meja pengemasan
dan loket penyerahan obat. Hal tersebut dapat menghemat waktu dan
tenaga, serta memudahkan petugas bagian penyerahan untuk mengambil
obat-obatan yang telah siap karena jarak pengambilannya sudah lebih
dekat daripada jarak sebelumnya. Untuk area meja racikan, dapat diperluas
M.Blender
97
dengan mengatur kembali tumpukan kardus-kardus tempat penyimpanan
perbekalan farmasi sehingga dapat menghemat tempat. Dengan begitu, rak
obat III (rak narkotika dan psikotropika) dapat digeser sehingga tidak
mempersempit area tempat peracikan obat dan juga memudahkan petugas
lainnya yang akan mengambil obat narkotika ataupun psikotropika, oleh
karena akses jalan tidak lagi terhalangi oleh petugas yang sedang
melakukan peracikan.
Adapun usulan perbaikan alur pelayanan resep berdasarkan gambar
15 yaitu dimana resep yang telah selesai dientry, akan diambil oleh
petugas bagian penyiapan kemudian meletakkannya di meja pengemasan.
Dari alur sebelumnya, petugas penyiapan obat melakukan aktivitas
mengecek kesesuaian barcode di resep dan menulis/menyalin jenis dan
jumlah obat-obatan yang akan diambil oleh pasien dari resep ke buku
BPJS. Namun pada tahap ini, peneliti mengusulkan untuk IFRJ dapat
memanfaatkan SIMRS dan mesin cetak etiket untuk mencetak informasi
mengenai obat yaitu dalam bentuk stiker atau tempelan, sehingga petugas
(P1) hanya akan melakukan aktivitas mengecek kesesuaian barcode di
resep dan menempel stiker di buku BPJS. Langkah selanjutnya, petugas
lainnya akan mengambil obat sesuai dengan resep, kemudian
menyerahkannya kepada petugas bagian pengemasan (P2 ataupun P3).
Untuk resep racikan, terlebih dahulu dicek kesesuaian jenis dan jumlah
obat yang diambil serta dosis, kemudian diserahkan kepada petugas bagian
peracikan untuk diracik. Setelah obat selesai diracik, maka petugas
peracikan akan menyerahkan ke petugas pengemasan (P3). Pada saat obat
telah siap atau selesai dikemas, ada baiknya obat racikan dan non racikan
dipisah atau diletakkan di keranjang yang berbeda. Untuk obat non racikan
dapat diletakkan di keranjang dengan ukuran sedang, sedangkan untuk
obat racikan diletakkan di keranjang ukuran kecil, dikarenakan pelayanan
resep racikan lebih sedikit daripada pelayanan resep non racikan. Hal ini
juga bertujuan untuk membedakan waktu tunggu pelayanan resep racikan
dan non racikan, dimana untuk proses pengerjaan resep racikan
98
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan waktu proses
pengerjaan resep non racikan. Oleh karena itu, diharapkan IFRJ dapat
mengubah alur pelayanan resep dengan memisahkan nomor antrian
pelayanan resep non racikan dan racikan. Tahap terakhir yaitu petugas
bagian pengemasan akan menyerahkan obat yang telah siap kepada
petugas bagian penyerahan obat lewat celah/jendela, kemudian obat
diserahkan kepada pasien sesuai dengan nomor antrian. Usulan layout dan
alur pelayanan resep ini, diharapkan dapat memudahkan petugas dalam
melakukan pekerjaannya dan meminimalkan waktu tunggu pelayanan
resep, sehingga dapat meningkatkan kepuasaan pasien.
c) Membuat ruangan khusus pelayanan informasi obat (PIO) yang
bersampingan dengan loket penyerahan obat. Pasien dengan beberapa
kondisi tertentu, tentunya membutuhkan informasi khusus terkait
penggunaan obat dan membutuhkan waktu yang agak lebih lama dalam
menyampaikan informasi. Dengan adanya ruangan PIO maka privasi
pasien tersebut akan lebih terjaga, dan apoteker dapat memberikan
pelayanan informasi obat dengan maksimal tanpa mempengaruhi waktu
tunggu pelayanan di loket penyerahan obat.
H. Keterbatasan Penelitian
1. Jumlah observer pada penelitian ini terbatas yakni hanya dua orang dengan
waktu yang terbatas, sehingga pengamatan waste selama observasi yang
terjadi sepanjang proses pelayanan di IFRJ kurang maksimal.
2. Jumlah sampel resep yang diamati selama observasi adalah minimal
sampel yang dibutuhkan, namun kemungkinan penelitian ini akan
menghasilkan data yang lebih baik apabila dilakukan pada jumlah sampel
yang lebih besar.
3. Selama observasi, peneliti kesulitan mencari waktu luang untuk
melakukan wawancara dengan petugas IFRJ karena padatnya beban kerja
petugas farmasi dalam melakukan pelayanan, sehingga wawancara
dilakukan dalam kondisi yang tidak kondusif dimana peneliti melakukan
99
wawancara saat informan sedang melakukan pekerjaannya. Hal ini
membuat informasi yang didapatkan peneliti dari petugas IFRJ belum
maksimal.