BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7...

50
50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Subjek Penelitian Penelitian ini telah dilakukan selama satu bulan, yaitu dari bulan Juni hingga Juli 2019 di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Kota Surakarta. Adapun responden atau informan dalam penelitian ini antara lain pasien atau keluarga pasien rawat jalan dan tenaga kefarmasian di IFRJ RSUD Kota Surakarta, serta penanggungjawab pelayanan medis dan penunjang medis. Penentuan responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Pelayanan resep di IFRJ RSUD Kota Surakarta dimulai dari jam 07.00- 14.00 yang meliputi pelayanan resep racikan dan non racikan, dan terdiri dari alur prosedur pasien BPJS, umum, UGD, dan fast track. Observasi dilakukan selama 6 hari dengan jumlah resep yang diamati masing-masing sebanyak 32 resep BPJS dikarenakan pelayanan di farmasi rawat jalan 91,30% adalah pasien BPJS. Adapun tenaga kefarmasian di IFRJ RSUD Kota Surakarta yaitu sebagai berikut: Kepala IFRS : 1 orang dijabat oleh seorang apoteker Apoteker : 7 orang Tenaga teknis kefarmasian : 11 orang berlatar belakang D3 farmasi Setiap petugas memiliki tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan keterampilan atau keahlian yang dimiliki dalam melakukan pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta. B. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner Value Pasien 1. Uji Validitas Uji validitas pada penelitian ini dilakukan perhitungan koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas. Untuk menganilisisnya, peneliti menggunakan Ms. Excel 2010 yang dapat dilihat pada lampiran 8. Adapun hasil uji validitas kuesioner value pasien dapat dilihat pada tabel berikut:

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7...

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Subjek Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan selama satu bulan, yaitu dari bulan Juni

hingga Juli 2019 di instalasi farmasi rawat jalan RSUD Kota Surakarta. Adapun

responden atau informan dalam penelitian ini antara lain pasien atau keluarga

pasien rawat jalan dan tenaga kefarmasian di IFRJ RSUD Kota Surakarta, serta

penanggungjawab pelayanan medis dan penunjang medis. Penentuan responden

berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian

ini.

Pelayanan resep di IFRJ RSUD Kota Surakarta dimulai dari jam 07.00-

14.00 yang meliputi pelayanan resep racikan dan non racikan, dan terdiri dari alur

prosedur pasien BPJS, umum, UGD, dan fast track. Observasi dilakukan selama 6

hari dengan jumlah resep yang diamati masing-masing sebanyak 32 resep BPJS

dikarenakan pelayanan di farmasi rawat jalan 91,30% adalah pasien BPJS.

Adapun tenaga kefarmasian di IFRJ RSUD Kota Surakarta yaitu sebagai berikut:

Kepala IFRS : 1 orang dijabat oleh seorang apoteker

Apoteker : 7 orang

Tenaga teknis kefarmasian : 11 orang berlatar belakang D3 farmasi

Setiap petugas memiliki tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan

keterampilan atau keahlian yang dimiliki dalam melakukan pelayanan di IFRJ

RSUD Kota Surakarta.

B. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner Value Pasien

1. Uji Validitas

Uji validitas pada penelitian ini dilakukan perhitungan koefisien

reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas. Untuk menganilisisnya, peneliti

menggunakan Ms. Excel 2010 yang dapat dilihat pada lampiran 8. Adapun hasil

uji validitas kuesioner value pasien dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

51

Tabel 7. Hasil uji validitas kuesioner value pasien

Jumlah

pernyataan

Jumlah

error

Koefisien

reprodusibilitas

Koefisien

skalabilitas

Validitas

Valid Tidak Valid

15 2 0,996 0,777 √ -

Hasil uji validitas pada tabel 7 menunjukkan nilai Kr = 0,996. Menurut

Singarimbun dan Effensi (2011), syarat penerimaan nilai koefisien reprodusibiltas

yaitu apabila nilai Kr >0,90, yang artinya nilai koefisien reprodusibilitas diterima.

Sedangkan untuk hasil perhitungan nilai koefisien skalabilitas adalah 0,777

dimana syarat penerimaan nilai koefisien skalabilitas yaitu apabila nilai Ks >0,60

(Nazir, 2005), sehingga dapat disimpulkan bahwa uji validitas dengan

menggunakan rumus koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas pada

pernyataan kuesioner value pasien dinyatakan valid.

2. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas dengan metode Kuder Richardson 20 (KR-20)

dilakukan peneliti dengan menggunakan Ms. Excel 2010 yang dapat dilihat pada

lampiran 9. Berikut ini merupakan hasil pengujian reliabilitas kuesioner value

pasien:

Tabel 8. Hasil uji reliabilitas kuesioner value pasien

Jumlah

pernyataan

Jumlah

responden Varians total KR-20

Kesimpulan

Reliabel

15 30 1,906 0,781 √

Berdasarkan tabel 8 menunjukkan nilai KR-20 = 0,781, dimana menurut

Priyatno (2010) nilai reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, sedangkan

nilai 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik, sehingga dapat disimpulkan

bahwa nilai realibilitas = 0,781 >0,7, maka nilai reliabilitas kuesioner value pasien

dapat diterima untuk digunakan dalam penelitian ini.

C. Value dari Pasien

Pengambilan data berupa kuesioner mengenai value yang diinginkan

pasien dilakukan pada 100 pasien atau keluarga pasien yang berusia minimal 17

tahun dan pernah menerima pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta minimal 1

kali. Kuesioner value pasien yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

52

kuesioner yang sama dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nancy pada

tahun 2014 yang berjudul “Pendekatan Lean Hospital untuk Perbaikan

Berkelanjutan (Continuous Improvement) Proses Pelayanan Instalasi Farmasi RS

Bethesda Yogyakarta” yang bertujuan untuk mengidentifikasi value yang

diinginkan pasien pada pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta. Agar dapat

memuaskan customer dalam hal ini adalah pasien, maka diidentifikasi dahulu apa

yang diinginkan, dibutuhkan, dan diharapkan oleh pasien sebagai penerima

layanan, sehingga pengorbanan yang telah dikeluarkan pasien baik waktu, tenaga

dan biaya sebanding dengan yang didapatkan dari pelayanan yang diberikan oleh

IFRJ RSUD Kota Surakarta. Adapun hasil rekapan perhitungan kuesioner value

pasien dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9. Hasil rekapan perhitungan kuesioner value pasien

Jenis Pernyataan Ya

(%)

Tidak

(%)

A. Produk

1. Kualitas obat dan alat kesehatan yang diterima

dianggap penting

2. Ketepatan obat dan alat kesehatan yang diterima

dianggap penting

3. Kelengkapan obat dan alat kesehatan yang diterima

dianggap penting

4. Merek obat dan alat kesehatan yang disediakan oleh

instalasi farmasi dianggap penting

5. Label atau etiket obat dan alat kesehatan yang

diterima dianggap penting

6. Pembungkusan obat dan alat kesehatan yang diterima

dianggap penting

100

100

100

86

93

96

-

-

-

14

7

4

B. Pelayanan

1. Kecepatan memperoleh obat dan alat kesehatan yang

dibutuhkan dianggap penting

2. Keahlian apoteker dalam menjawab dan

menyampaikan informasi dianggap penting

3. Ketepatan informasi obat dan alat kesehatan yang

diterima dianggap penting

4. Kelengkapan informasi obat dan alat kesehatan yang

diterima dianggap penting

5. Fasilitas dan area ruangan instalasi farmasi dianggap

penting

100

100

100

100

100

-

-

-

-

-

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

53

C. Hubungan Pasien dengan IFRJ

1. Keramahan apoteker dalam memberikan pelayanan

dianggap penting

2. Penampilan apoteker dalam memberikan pelayanan

dianggap penting

3. Instalasi farmasi mengerti kondisi dan kebutuhan saya

terkait obat dan alat kesehatan dianggap penting

4. Kemudahan mengontak apoteker atau instalasi

farmasi (via telepon, dll) dianggap penting

100

90

100

90

-

10

-

10

Berdasarkan hasil rekapan kuesioner value pasien dari segi produk yang

diterima menunjukkan bahwa value yang bernilai mutlak (100%) yaitu value

kualitas, ketepatan, serta kelengkapan perbekalan farmasi yang dianggap penting

oleh pasien atau dapat dikatakan bahwa pasien menginginkan value tersebut pada

pelayanan yang diberikan oleh IFRJ RSUD Kota Surakarta. Untuk pernyataan

mengenai merek perbekalan farmasi yang diterima pasien menunjukkan

persentase sebesar 86% pasien menganggap value tersebut penting, sedangkan

sisanya 14% menjawab tidak menganggapnya penting. Persentase untuk

pernyataan mengenai label atau etiket perbekalan farmasi yang dianggap penting

oleh pasien yaitu sebesar 93%, sedangkan untuk pembungkusan perbekalan

farmasi 96% pasien mengganggapnya penting.

Beberapa pernyataan mengenai value yang diinginkan dari segi pelayanan

yang diberikan oleh IFRJ RSUD Kota Surakarta yang mencakup value kecepatan

memperoleh perbekalan farmasi, keahlian apoteker dalam menjawab dan

menyampaikan informasi, ketepatan informasi, dan kelengkapan informasi

perbekalan farmasi, serta fasilitas dan area ruangan instalasi farmasi menunjukkan

value tersebut bernilai mutlak (100%), pada umumnya value tersebut dianggap

penting atau diinginkan oleh pasien. Adapun dari segi hubungan pasien dan IFRJ

yang mencakup value keramahan apoteker dalam memberikan pelayanan, dan

instalasi farmasi mengerti kondisi dan kebutuhan pasien terkait obat dan alat

kesehatan yang diterima dianggap penting oleh pasien dengan persentase 100%.

Pernyataan mengenai penampilan apoteker dalam memberikan pelayanan, dan

kemudahan mengontak apoteker atau instalasi farmasi (via telepon, dll) 90%

pasien menginginkan value tersebut, sedangkan 10% tidak menginginkan value

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

54

tersebut. Berdasarkan persentase dari 15 value mengenai produk, pelayanan, dan

hubungan pasien dengan IFRJ melebihi 50%, yang artinya bahwa dari ke-15 value

tersebut adalah yang diinginkan atau yang diharapkan pasien saat menerima

pelayanan dari IFRJ RSUD Kota Surakarta.

Hasil penelitian Nancy (2014) menunjukkan value yang diinginkan pasien

rawat jalan di instalasi farmasi RS Bethesda Yogyakarta yang bernilai mutlak

(100%) ada 5, yaitu value kualitas, ketepatan, dan kelengkapan perbekalan

farmasi, serta ketepatan informasi perbekalan farmasi yang diterima stakeholder

dan keramahan apoteker dan pegawai dalam memberikan pelayanan. Menurut

Gaspersz (2007) mengidentifikasi nilai (value) bagi pelanggan merupakan salah

satu prinsip dasar dari lean, dimana nilai suatu produk atau jasa dari sudut

pandang konsumen ialah apabila memiliki fungsi baginya, kecepatan dalam

pengantaran, keindahan, ketahanan, kualitas, dan sebagainya. Olaru et al. (2008)

mengungkapkan bahwa konsumen membuat keputusan untuk menggunakan suatu

produk baik barang maupun jasa didasarkan pada nilai (value) yang diperoleh dari

pelayanan yang diterima sebelumnya, dimana manfaat dari hubungan pelanggan

dan pemberi layanan menjadi jaminan untuk manfaat/keuntungan yang akan

datang. Penelitian yang dilakukan Li (2010), diketahui bahwa nilai kualitas

pelayanan yang dirasakan berhubungan positif dengan niat pasien untuk

memanfaatkan atau menggunakan kembali produk barang maupun jasa yang

pernah diterima. Nilai fungsional berupa kualitas atau performance berkaitan

dengan karakter fisik dari produk serta kinerja pemberi layanan. Hal yang sama

diungkapkan Cengiz et al. (2007) yang menyatakan bahwa faktor paling penting

yang mempengaruhi nilai yang dirasakan (perceived value) pasien adalah nilai

fungsional (kualitas), dimana diungkapkan pula bahwa orang yang datang ke

rumah sakit dikarenakan sakitnya dan dengan alasan ini pula kualitas pelayanan

menjadi faktor yang paling penting. Semakin tinggi perceived value (nilai yang

dirasakan) menyebabkan semakin tinggi level kepuasan pelanggan dan hal ini

akan berpengaruh pula pada niat pelanggan untuk menggunakan kembali produk

barang maupun jasa (Korda et al., 2010, Raza et al., 2012).

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

55

Value memberikan titik awal yang penting untuk implementasi lean dalam

suatu organisasi. Value terdiri dari semua aktivitas yang dilihat dari sisi pelanggan

yang secara langsung berkontribusi terhadap penciptaan, transformasi atau

penyampaian produk maupun jasa yang telah mereka bayar (Aherne & Whelton,

2010). Dengan adanya identifikasi value dari pasien memungkinkan pemberi

layanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta untuk memahami dengan seksama apa

yang menjadi harapan dan kebutuhan pasien kemudian dapat mengoptimalkannya,

serta meminimalkan pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan bagi pasien,

sehingga meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan pendekatan lean hospital,

diharapkan dapat memangkas aktivitas yang tidak bernilai tambah (waste)

sehingga dapat memenuhi value yang diinginkan pasien sebagai end customer.

D. Value Added Assessment dan Value Stream Mapping

1. Value Added Assessment (VAA) Proses Pelayanan di IFRJ RSUD Kota

Surakarta

Penetapan value added assessment (VAA) proses pelayanan di IFRJ

dilakukan berdasarkan hasil telaah dokumen berupa standar operasional prosedur

(SOP) IFRJ RSUD Kota Surakarta dan hasil observasi peneliti mengenai

aktivitas-aktivitas sepanjang proses pelayanan di IFRJ yang mencakup aktivitas

value added (VA), non value added (NVA), dan necessary but non value added

(NNVA). Hasil VAA pada proses pelayanan resep non racikan dan resep racikan

disajikan pada tabel 10 dan tabel 11.

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

56

Tabel 10. Value added assessment (VAA) pelayanan resep non racikan

No. Kegiatan

Waktu

Rata-

Rata

(detik)

Tipe

Aktivitas Jenis Waste Keterangan

1.

Menerima resep,

menelaah resep,

memberi nomor

antrian kepada

pasien

25 NNVA

- Motion

- Over

processing

- Bertanya kepada petugas

lain mengenai resep

- Menanyakan buku BPJS

kepada pasien

2.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak penerimaan

2 NNVA

3.

Mengecek keter-

sediaan obat via

telepon atau

berkonfirmasi

dengan dokter

56 NVA

- Motion

- Waiting

- Menelepon dan/atau

menerima telepon

- Menunggu konfirmasi

4. Entry data resep 68 NNVA

- Motion

- Defect

- Bertanya kepada petugas

lain mengenai resep

- SIMRS trouble

- Resep belum terentry saat

dibawa oleh petugas lain

5.

Mencetak harga

obat di belakang

kertas resep

7 NVA

- Over

processing

- Mencetak informasi yang

tidak dibutuhkan pasien

6. Mencetak etiket

obat 8 VA

- Defect - Memperbaiki mesin cetak

etiket

7.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak entry

SIMRS

2 NNVA

8.

Mengisi/menyalin

catatan peng-

ambilan obat di

buku BPJS secara

manual

79 NVA

- Over

processing

- Melakukan kegiatan yang

kurang efektif dan efisien

9.

Mengambil obat

pada tempat

penyimpanannya

55 VA

- Defect

- Motion

- Salah mengambil

jenis/jumlah obat

- Petugas berjalan tidak

leluasa

- Petugas berputar arah di

dalam ruangan

- Mencari obat yang tidak

berada pada tempatnya

10.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak penyiapan

2 NNVA

11 Menelaah resep 13 NNVA

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

57

12.

Memasukkan obat

ke dalam plastik

klip, menempel

etiket

82 VA

- Motion

- Waiting

- Mencari peralatan seperti

steples, plastik klip, karet

- Petugas menunggu obat

yang diambil dari gudang

13.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak cek akhir

2 NNVA

14.

Meletakkan obat

yang telah siap ke

bagian penyerah-

an obat

9 NNVA

- Motion

- Petugas penyerahan

bolak- balik mengambil

keranjang obat

15.

Memanggil nomor

antrian/nama

pasien 7 VA

- Over

processing

- Defect

- Petugas memanggil pasien

berkali-kali dengan/tanpa

mikrofon

-Memperbaiki mikrofon

16.

Menunggu pasien

datang ke loket

penyerahan

8 NVA

- Waiting

17. Memastikan

identitas pasien 6 NNVA

18.

Menyerahkan obat

dan memberikan

informasi obat

sesuai kebutuhan

pasien

28 VA

19.

Pasien

membubuhkan

paraf di resep

3 NNVA

20.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak penyerahan

2 NNVA

TOTAL 464

VA : 180

NNVA : 134

NVA : 150

%

VA : 38,79%

NNVA : 28,88%

NVA : 32,33%

Berdasarkan value added assessment (VAA) pada tabel 10 menunjukkan

bahwa terdapat 20 kegiatan pada proses pelayanan resep non racikan, dengan 5

kegiatan yang bernilai tambah (VA) dengan total waktu 180 detik atau 3 menit, 11

kegiatan yang tidak bernilai tambah namun tidak bisa dihindari (NNVA/type 1

waste) dengan total waktu 134 detik atau 2,23 menit, dan 4 kegiatan yang tidak

bernilai tambah (NVA/type 2 waste) dengan total waktu 150 detik atau 2,5 menit.

Persentase waktu untuk kegiatan yang masuk kategori VA pada proses pelayanan

resep non racikan sebesar 38,79%, artinya pasien menerima 38,79% pelayanan

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

58

yang bernilai tambah dan sisanya 61,21% merupakan kegiatan yang tidak bernilai

tambah (NVA). Berikut ini adalah VAA pada proses pelayanan resep racikan:

Tabel 11. Value added assessment (VAA) pelayanan resep racikan

No. Kegiatan

Waktu

Rata-

Rata

(detik)

Tipe

Aktivitas Jenis Waste Keterangan

1.

Menerima resep,

menelaah resep,

memberi nomor

antrian kepada

pasien

27 NNVA

- Motion

- Over

processing

- Bertanya kepada petugas

lain mengenai resep

- Menanyakan buku BPJS

kepada pasien

2.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak penerimaan

2 NNVA

3.

Mengecek keter-

sediaan obat via

telepon atau

berkonfirmasi

dengan dokter

56 NVA

- Motion

- Waiting

- Menelepon dan/atau

menerima telepon

- Menunggu konfirmasi

4. Entry data 103 NNVA

- Motion

- Defect

- Bertanya kepada petugas

lain mengenai resep

- SIMRS trouble

- Resep belum terentry saat

dibawa oleh petugas lain

5.

Mencetak harga

obat di belakang

kertas resep

7 NVA

- Over

processing

- Mencetak informasi yang

tidak dibutuhkan pasien

6. Mencetak etiket

obat 8 VA

- Defect - Memperbaiki mesin cetak etiket

7.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak entry

SIMRS

2 NNVA

8.

Mengisi/menyalin

catatan peng-

ambilan obat di

buku BPJS secara

manual

108 NVA

- Over

processing

- Melakukan kegiatan yang

kurang efektif dan efisien

9.

Mengambil obat

pada tempat

penyimpanannya

92 VA

- Defect

- Motion

- Salah mengambil jenis/

jumlah obat

- Petugas berjalan tidak

leluasa

- Petugas berputar arah di

dalam ruangan

- Petugas mencari obat yang

tidak berada pada tempatnya

10. Mengecek

kesesuaian obat 56 NNVA

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

59

11. Meracik obat 187 VA

- Defect -Memblender obat 2x karena

kurang halus dan obat yang

tercecer

12. Membungkus

puyer 178 VA

- Defect - Kesalahan membungkus

puyer

13.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak peracikan

2 NNVA

14 Menelaah resep 6 NNVA

15.

Memasukkan obat

ke dalam plastik

klip, menempel

etiket

52 VA

- Motion - Mencari peralatan seperti

steples, plastik klip, karet

16.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak cek akhir

2 NNVA

17.

Meletakkan obat

yang telah siap ke

bagian penyerah-

an obat

9 NNVA

- Motion

- Petugas penyerahan bolak-

balik mengambil keranjang

obat

18.

Memanggil nomor

antrian/nama

pasien 7 VA

- Over

processing

- Defect

- Petugas memanggil pasien

berkali-kali dengan/tanpa

mikrofon

-Memperbaiki mikrofon

19.

Menunggu pasien

datang ke loket

penyerahan

8 NVA

- Waiting

20. Memastikan

identitas pasien 6 NNVA

21.

Menyerahkan obat

dan memberikan

informasi obat

sesuai kebutuhan

pasien

16 VA

22.

Pasien

membubuhkan

paraf di resep

3 NNVA

23.

Petugas mem-

bubuhkan paraf di

kotak penyerahan

2 NNVA

TOTAL 939

VA : 540

NNVA : 220

NVA : 179

%

VA : 57,51%

NNVA : 23,43%

NVA : 19,06%

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

60

Value added assessment (VAA) proses pelayanan resep racikan pada tabel

11 menunjukkan terdapat 23 kegiatan dengan 7 kegiatan yang bernilai tambah

(VA) dengan total waktu 540 detik atau 9 menit, 12 kegiatan yang tidak bernilai

tambah namun tidak bisa dihindari (NNVA/type 1 waste) dengan total waktu 220

detik atau 3,66 menit, dan 4 kegiatan yang tidak bernilai tambah (NVA/type 2

waste) dengan total waktu 179 detik atau 2,98 menit. Pada perhitungan waktu

untuk kegiatan yang masuk kategori VA pada proses pelayanan resep racikan

menunjukkan persentase sebesar 57,51%, sisanya 42,49% merupakan kegiatan

yang tidak bernilai tambah (NVA).

Berdasarkan nilai persentase waktu untuk kegiatan yang tidak bernilai

tambah (NVA) baik pada proses pelayanan resep non racikan maupun resep

racikan menandakan perlu diterapkan pendekatan lean hospital untuk mengurangi

atau mengeliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah (waste), sehingga

mempersingkat waktu proses pelayanan dan menambah value kepuasan kepada

customer atau pasien. Dalam melakukan identifikasi terhadap proses pelayanan,

VAA digunakan sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang

berlangsung dalam proses pelayanan, kemudian mengklasifikasikan ke dalam tipe

aktivitas dalam organisasi (Hines dan Taylor, 2000) yaitu value added, necessary

but non value added, dan non value added. Dari hasil observasi, terdapat

aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai dimata pasien, misalnya menunggu dan

menghasilkan produk cacat seperti memperbaiki mesin cetak dan mikrofon yang

bermasalah, kesalahan dalam mengambil jenis atau jumlah obat, kesalahan dalam

meracik obat, menunggu obat dari gudang, dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas

tersebut harus segera dihilangkan dari proses pelayanan. Namun ada juga

beberapa aktivitas yang tidak bernilai dimata pasien akan tetapi masih diperlukan

dalam sistem pelayanan, misalnya pemberian nomor antrian, telaah resep,

mengentry data pasien ke SIMRS, membubuhkan paraf di resep, memastikan

identitas pasien saat penyerahan obat, dan lain sebagainya. Dalam proses

pengerjaan resep, untuk menghindari human error petugas melakukan

pemeriksaan berulang mengenai kesesuaian identitas pasien dengan obat yang

diresepkan, maupun jenis dan jumlah obat pada saat pengerjaan. Kegiatan tersebut

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

61

digolongkan pada tipe NNVA karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Oleh

karena aktivitas-aktivitas tersebut masih diperlukan dalam sistem, maka hal ini

menjadi tantangan bagi instalasi farmasi maupun pihak rumah sakit untuk mencari

cara meminimalkan atau mengeleminasinya. Menurut Gaspersz (2007) untuk

kelompok NNVA, meskipun tidak harus segera, namun sebisa mungkin dikurangi

atau dihilangkan, sedangkan untuk kelompok NVA harus segera diprioritaskan

untuk dihilangkan.

2. Value Stream Mapping (VSM) Proses Pelayanan di IFRJ RSUD Kota

Surakarta

Berdasarkan hasil observasi, waktu pelayanan resep non racikan berbeda

dengan waktu pelayanan resep racikan, sehingga peneliti menyajikan keduanya

dalam bentuk value stream mapping (VSM) yang berbeda agar lebih mudah

mengetahui perbedaan dari segi waktu pelayanan. Hasil pemetaan VSM sepanjang

proses pelayanan resep non racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta dapat dilihat

pada gambar 8 berikut ini:

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

62

Keterangan :

: Operator : Timeline : Customer

: Waste : Process WT : Wait Time

: Push : Data CT : Cycle Time

Total CT : 464 detik

LT : 2503 detik

VA : 180 detik

NNVA : 134 detik

NVA : 150 detik

VAR : 7,19%

704 detik

27 detik 141 detik 136 detik 97 detik 63 detik

244 detik 349 detik 444 detik

Motion Motion

Over

processing

Defect Waiting

CT : 141 detik

WT: 349 detik

Entry Data

Resep

CT : 136 detik

WT: 444 detik

Pengambilan

Obat

CT : 97 detik

WT: 244 detik

Pengemasan

Obat

CT : 63 detik

WT: 298 detik

Penyerahan

Obat

Proses Pelayanan Resep

Non Racikan

CT : 27 detik

WT: 704 detik

Penerimaan

Resep

Pasien Pulang Pasien Datang

Over

processing

Motion Motion Defect

Over

processing Defect

Over

processing

Waiting

LT : Lead Time

VA : Value added

NVA : Non value added

NNVA : Necessary but non value added

Gambar 8. Value stream mapping proses pelayanan resep non racikan

Motion

Waiting

62

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

63

Hasil VSM pada proses pelayanan resep non racikan pada gambar 8

menunjukkan total cycle time (CT) untuk proses pelayanan resep non racikan

yaitu 464 detik atau 7,73 menit, dan lead time (LT) 2503 detik atau 41,71 menit.

Cycle time adalah waktu yang dibutuhkan oleh staf untuk menyelesaikan satu

pekerjaan ataupun urutan aktivitas dalam proses pelayanan kesehatan yang

meliputi aktivitas yang value added dan non value added dalam siklus pekerjaan.

Wait time adalah waktu antara akhir dari satu pekerjaan sampai dengan awal

pekerjaan berikutnya atau siklus berikutnya. Jumlah keseluruhan dari cycle time

dan wait time dari awal proses hingga akhir proses disebut lead time (Jackson,

2012). Dari hasil perhitungan lead time menunjukkan bahwa waktu tunggu

pelayanan resep obat non racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta belum sesuai

dengan standar yang telah ditetapkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan

Minimal Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa waktu tunggu pelayanan obat

jadi adalah ≤30 menit. Pada perhitungan value added rasio (VAR) nilai yang

didapatkan sebesar 7,19% yang menunjukkan bahwa proses pelayanan resep non

racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta saat ini belum dalam kondisi lean. Menurut

Gaspersz (2011) suatu perusahaan dapat dikatakan lean apabila value added ratio

telah mencapai minimum 30%. Apabila perusahaan itu belum lean, perusahaan

tersebut dapat disebut un-lean enterprise dan masuk kategori perusahaan

tradisional. Lean merupakan upaya untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan

meningkatkan nilai tambah (value added) produk baik barang maupun jasa yang

berlangsung secara terus menerus (continuous improvement) dengan tujuan

memberikan nilai yang maksimal dari perspektif pelanggan (Graban, 2009).

Berikut ini merupakan hasil pemetaan VSM sepanjang proses pelayanan resep

racikan di IFRJ RSUD Kota Surakarta:

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

64

Total CT : 939 detik

LT : 3138 detik

VA : 540 detik

NNVA : 220 detik

NVA : 179 detik

VAR : 17,20%

Over

processing

Defect

Motion

Over

processing

Motion

Over

processing

CT : 176 detik

WT : 341 detik

Entry Data

Resep

CT : 256 detik

WT : 684 detik

Pengambilan

Obat

CT : 60 detik

WT : 238 detik

Pengemasan

Obat

CT : 51 detik

WT : 187 detik

Penyerahan

Obat

Proses Pelayanan Resep

Racikan

CT : 29 detik

WT : 663 detik

Penerimaan

Resep

Pasien Pulang

CT : 367 detik

WT : 86 detik

Peracikan

Obat

Pasien Datang

Motion

Over

processing

Motion Defect

Defect Motion

Waiting

Defect

29 detik

663 detik

176 detik

341 detik

256 detik

684 detik

367 detik

86 detik

60 detik

238 detik

51 detik

Keterangan :

: Operator : Timeline : Customer

: Waste : Process WT : Wait Time

: Push : Data CT : Cycle Time

LT : Lead Time

VA : Value added

NVA : Non value added

NNVA : Necessary but non value added

Gambar 9. Value stream mapping proses pelayanan resep racikan

Waiting

64

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

65

Hasil pemetaan VSM proses pelayanan resep racikan menunjukkan hasil

perhitungan total cycle time dari proses pelayanan resep racikan yaitu 939 detik

atau 15,65 menit, sedangkan lead time 3138 detik atau 52,3 menit. Dari hasil

perhitungan lead time, menunjukkan bahwa waktu tunggu pelayanan resep di

IFRJ RSUD Kota Surakarta sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor.129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan

Minimal Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa waktu tunggu pelayanan obat

racikan adalah ≤60 menit. Waktu tunggu pelayanan obat racikan lebih lama

dibandingkan dengan pelayanan resep non racikan karena obat racikan

memerlukan waktu yang lebih, tidak hanya mempersiapkan obat tetapi juga perlu

penghitungan dosis obat, penimbangan bahan obat, serta melakukan peracikan

baik dalam bentuk puyer, kapsul, dan sediaan lainnya (Aryani et al., 2014).

Menurut Pillay et al. (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa sejumlah

faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pasien di Rumah Sakit Umum Malaysia

yang dinilai dari persepsi karyawan, yaitu: (1) beban kerja mempengaruhi waktu

tunggu pasien, seperti kurangnya staff; (2) kesulitan melacak kartu pasien saat

pekerjaan berlangsung dirasakan menambah beban kerja, diikuti gangguan dari

pasien yang memerlukan bantuan informasi sehingga menyebabkan petugas

melakukan tugas lain yang tidak berkaitan; (3) fasilitas yang tidak memadai,

kurangnya ruang konsultasi dianggap berkontribusi pada masalah waktu tunggu

seperti ramainya ruang tunggu; (4) jam praktek dokter sering terlambat dan

kurangnya pengawasan dari pihak manajemen rumah sakit mengakibatkan

terjadinya penumpukan pasien. Menurut Bahadori et al. (2014) waktu tunggu

pada pelayanan farmasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti personil yang

tidak berpengalaman, ketidaktahuan alur proses pelayanan dan penempatan obat-

obatan, kurangnya tenaga kerja, memperbaiki kesalahan pada resep, pengecekan

berulang pada obat yang telah dikemas sebelumnya, serta tingginya jumlah resep

yang dilayani dapat menyebabkan delay sehingga membuat waktu pemrosesan

menjadi lebih lama. Pelayanan resep dengan item psikotropika juga memiliki

waktu tunggu yang lebih lama dibandingkan dengan obat lain karena

membutuhkan pencatatan. Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi waktu

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

66

tunggu selain faktor antrian adalah jumlah pelayanan, komputer yang kurang dan

software yang lambat, ketersediaan obat tidak lancar, tidak semua petugas paham

administrasi dan sistem administrasi BPJS yang rumit (Purwanto et al., 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wijaya (2012) menyebutkan bahwa waktu

tunggu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien. Waktu

tunggu yang lama merupakan salah satu komponen yang potensial menyebabkan

ketidakpuasan pasien. Bila waktu tunggu lama maka hal tersebut akan

mengurangi kenyamanan pasien dan berpengaruh pada utilitas pasien di masa

mendatang. Hal yang sama juga diungkapkan Slowiak et al. (2008) yang

menyatakan ketidakpuasan pasien dapat menyebabkan kehilangan pelanggan yang

berkelanjutan, mengakibatkan menurunnya jumlah pasien dan berefek negatif

pada reputasi rumah sakit. Jika layanan pelanggan adalah tujuan utama, maka

waktu tunggu pasien harus dipertimbangkan.

Adapun persentase nilai VAR untuk pelayanan resep racikan yaitu sebesar

17,20% dan masih di bawah 30%, sehingga dapat dikatakan bahwa proses

pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta saat ini belum dalam kondisi lean

sehngga masih perlu perbaikan. Perhitungan rasio value added activities to waste

ini, ditujukan untuk mendistribusikan kinerja sistem pelayanan ke dalam angka

yang menunjukkan level skala penilaian dalam bentuk persentase. Rasio ini

merupakan salah satu teknik yang efektif untuk menganalisa berapa besar nilai

tambah yang ada dalam suatu proses pelayanan. Semakin tinggi VAR berarti

semakin besar porsi aktivitas yang bernilai tambah (value added) dibandingkan

pemborosan (waste) yang ada dalam suatu proses pelayanan. Sejalan dengan

konsep lean secara umum menyatakan segala bentuk aktivitas yang tidak

mendatangkan value (non value added) bagi pelanggan merupakan pemborosan

dan harus dihilangkan atau diminimisasi (Graban, 2009). Di Indonesia, rumah

sakit tipe C seperti RSIA Kemang Medical Care, setelah menerapkan lean pada

tahun 2013, diperoleh produktivitas 100% (zero waste) dan indeks kepuasan

pasien meningkat dari 76% menjadi 87% (Iswanto, 2014).

Value Stream Mapping (VSM) digunakan untuk mengidentifikasi

berapa lama waktu yang dibutuhkan pasien dari mulai datang sampai dengan

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

67

selesai, terutama jumlah waktu tunggu diantara setiap proses, sehingga dapat

mengetahui gambaran utuh (big picture mapping) waktu proses dan kegiatan

yang value added dan non value added. Peta proses membuat jelas langkah-

langkah dalam VSM yang merupakan suatu pemborosan (waste) dan

membuat cara penyelesaian yang lebih mudah dan cepat serta menemukan

jawaban yang tepat sehingga dalam proses VSM bisa memberikan nilai (value

added) bagi pelanggan. Penelitian yang dilakukan Dako et al. (2018) mengenai

penggunaan value stream mapping untuk mengurangi waktu tunggu CT scan

pasien rawat jalan menunjukkan penurunan yang signifikan pada rata-rata waktu

tunggu pasien, dengan total waktu 1,1 jam dari kedatangan pasien hingga

penyelesaian pemeriksaan (sebelumnya 3,1 jam), 32 menit waktu proses

(sebelumnya 87 menit), dan >88% hasil first-pass (sebelumnya <20%).

Perampingan dari proses juga menghasilkan peningkatan efisiensi operasional,

terbukti dengan peningkatan 19% (dari 37 menjadi 44) dalam jumlah rata-rata

CT scan rawat jalan yang dilakukan setiap hari.

Adapun tahapan proses pelayanan baik resep non racikan dan resep

racikan berdasarkan standar operasional prosedur dan hasil observasi pada proses

pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta adalah sebagai berikut:

a. Penerimaan Resep

Tahap ini dimulai sejak pasien datang menyerahkan blanko resep dari

poliklinik beserta buku BPJS (khusus untuk pasien BPJS) ke loket penerimaan

resep IFRJ RSUD Kota Surakarta. Petugas bagian penerimaan resep akan

menerima resep dan melakukan pengecekan kelengkapan resep seperti identitas

pasien, tanggal resep dibuat, jenis dan jumlah obat, serta memastikan bahwa resep

tersebut berasal dari poliklinik RSUD Kota Surakarta. Selanjutnya petugas akan

mencetak nomor antrian dimana pemberian nomor antrian dibedakan antara

pasien BPJS, umum, UGD dan fast track. Nomor antrian untuk pasien umum

didahului dengan huruf A, untuk pasien BPJS didahului dengan huruf B, untuk

UGD didahului dengan huruf E, sedangkan untuk fast track didahului dengan

huruf F. Satu lembar nomor di stapler bersama blanko resep, dan satu lembar

diserahkan pada pasien. Setelah itu, pasien dipersilahkan untuk duduk di ruang

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

68

tunggu yang berada di depan loket IFRJ sampai nomor antriannya dipanggil untuk

menerima obat. Namun untuk pasien umum, setelah mendapatkan nomor antrian,

petugas akan memanggil nama pasien dan memberikan struk pembayaran obat

yang berisi total biaya obat yang harus dibayarkan pasien ke kasir yang terletak di

samping kiri pintu masuk RSUD Kota Surakarta. Setelah melakukan pembayaran,

pasien menyerahkan struk pembayaran kepada petugas bagian penerimaan resep

di IFRJ, kemudian pasien dipersilahkan duduk kembali sampai dipanggil untuk

menerima obat. Selanjutnya blanko resep yang sudah disertakan dengan nomor

antrian baik BPJS, umum, UGD, dan fast track diletakkan di keranjang yang sama

untuk kemudian dilakukan entry data resep.

b. Entry Data

Pada tahap entry data, petugas yang berjumlah 2 orang mengambil blanko

resep dari keranjang kemudian mengentry data ke sistem informasi manajemen

rumah sakit (SIMRS). Petugas farmasi akan mengecek ketersediaan obat yang

tertera di resep, apabila stok obat tidak tersedia, maka petugas bagian entry harus

menelepon terlebih dahulu pada bagian yang memiliki stok. Jika stok obat tidak

ada, maka petugas akan bertanya pada pasien apakah mau beli ditempat lain atau

mau mengganti obatnya. Bila obat perlu diganti, petugas akan berkonfirmasi

dengan dokter yang bersangkutan lewat sambungan telepon. Kendala yang terjadi

dimana line telepon tidak bisa langsung tersambung dengan pihak yang

bersangkutan, namun disambungkan dulu ke bagian operator barulah akan

disambungkan ke dokter. Seringkali operator sedang sibuk saat dihubungi,

sehingga petugas harus menunggu beberapa saat sampai bisa dihubungi kembali.

Setelah kendala tersebut teratasi, maka resep akan diinput ke SIMRS. Data yang

diinput untuk resep non racikan berupa nomor rekam medik pasien, nama obat,

signa, dan jumlah obat, sedangkan untuk resep racikan, data yang diinput berupa

nomor rekam medik pasien, nama obat, signa, dosis dan jumlah obat. Waktu

proses penginputan data dipengaruhi oleh banyaknya data resep dalam satu blanko

resep dan kecepatan SIMRS. Apabila SIMRS melambat/trouble maka akan

membuat proses penginputan data menjadi lama, sehingga mengakibatkan proses

berikutnya terhambat dan menambah waktu tunggu pasien. Adapun SIMRS antara

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

69

IFRJ dan bagian pendaftaran sudah terintegrasi, sehingga petugas farmasi tidak

perlu lagi melakukan penginputan identitas pasien, tetapi hanya menginput nomor

rekam medik, akan secara otomatis identitas pasien muncul di SIMRS IFRJ.

Setelah selesai mengentry data, petugas akan mencetak harga obat di belakang

blanko resep yang berwarna biru untuk keperluan mengklaim obat ke BPJS,

selanjutnya petugas akan mencetak etiket obat dalam bentuk stiker atau tempelan

yang berisi identitas pasien dan keterangan tentang aturan pakai dalam

mengkomsusi obat tersebut. Pada proses pencetakan, terkadang mesin cetak

mengalami gangguan/macet sehingga petugas harus segera memperbaikinya. Hal

ini tentu saja mengganggu proses pelayanan, karena petugas melakukan aktivitas

lain diluar sistem pelayanan. Setelah mencetak etiket, petugas meletakkan etiket

beserta blanko resep di keranjang plastik.

c. Penyiapan Obat

Pada tahap ini, petugas bagian penyiapan obat akan berjalan ke depan

atau ke loket 2 untuk mengambil tumpukan blanko resep yang sudah selesai di

entry. Pada proses penyiapan obat, petugas melakukan beberapa tahap yaitu

sebagai berikut:

1) Pada tahap ini, petugas yang berjumlah 2 orang akan memeriksa barcode

dan identitas pasien yang ada diblanko resep dan menyalin catatan

pengambilan obat di buku BPJS secara manual, kemudian menyiapkan

plastik klip dan memasukkan etiket ke dalam plastik.

2) Petugas bagian pengambilan akan mengambil obat di rak penyimpanan

obat sesuai dengan resep.

3) Untuk resep racikan, tiap blanko resep beserta obat yang telah diambil,

diletakkan di baki kecil dan dilakukan pengecekan kesesuaian obat,

kemudian menyerahkannya pada petugas peracikan. Petugas melakukan

penggerusan atau pemblenderan hingga benar-benar halus dan homogen,

kemudian memasukkannya ke dalam wadah/kemasan yang sudah

ditentukan. Setelah itu, petugas peracikan menyerahkan obat yang sudah

selesai diracik kepada petugas lain dibagian pengemasan obat.

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

70

4) Baik resep racikan dan non racikan, petugas bagian pengemasan yang

berjumlah 2 orang akan melakukan pengecekan/telaah resep, yang

meliputi identitas pasien, ketepatan nama/jenis obat, dosis, jumlah, dan

aturan pakai.

5) Petugas memasukkan obat ke dalam plastik klip dan menempelkan etiket

yang sesuai dengan jenis obat, kemudian mensteples blanko resep dengan

plastik klip, dan mengikatnya dengan karet bersama buku BPJS.

6) Petugas memberi paraf pada blanko resep sebagai tanda bahwa resep

telah melalui proses telaah petugas.

7) Menumpuk obat-obat yang sudah siap pada keranjang plastik.

d. Penyerahan Obat

Petugas atau apoteker bagian penyerahan obat akan mengambil keranjang

yang sudah terisi penuh, kemudian membawanya kedepan untuk diserahkan

kepada pasien. Penyerahan obat kepada pasien dilakukan dengan cara memanggil

nomor antrian atau nama pasien berdasarkan nomor urut antrian dengan

menggunakan mikrofon. Setelah pasien bersangkutan maju ke depan, petugas

akan memastikan kesesuaian identitas dan nomor antrian pasien agar menghindari

kesalahan dalam penyerahan obat. Selanjutnya, pasien memberikan paraf di

blanko resep yang berwarna putih untuk disimpan oleh petugas sebagai bukti

bahwa obat telah diambil oleh yang bersangkutan. Petugas memberikan informasi

obat sesuai kebutuhan pasien, kemudian menyerahkan obat kepada pasien.

Berdasarkan observasi, apoteker yang menyerahkan obat terkadang hanya 1

orang, sehingga membuat waktu tunggu pasien berikutnya untuk memperoleh

obat menjadi lebih lama.

Adapun denah dan alur proses pelayanan resep non racikan dan resep

racikan dapat dilihat pada gambar 10 berikut:

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

71

Keterangan:

: Alur pelayanan resep non racikan

: Alur pelayanan resep racikan

Gambar 10. Denah dan Alur Pelayanan Resep di IFRJ RSUD Kota Surakarta

E. Identifikasi Waste Kritis

Sebelum menetapkan waste kritis dari ke-8 tipe waste, peneliti melakukan

observasi langsung dan melakukan wawancara tidak terstruktur kepada petugas

yang telibat langsung dalam pelayanan di IFRJ untuk mengidentifikasi ke-8 tipe

waste yang terjadi sepanjang proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta.

Delapan jenis waste yang diteliti sesuai dengan konsep lean yang telah dibahas

Ruang

Pelayanan Resep

Rawat Inap

Loket Pelayanan Resep Rawat Jalan

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

72

sebelumnya pada tinjauan pustaka dan sesuai definisi operasional pada penelitian

ini.

Berikut merupakan 8 tipe waste yang teridentifikasi sepanjang proses

pelayanan di IFRJ adalah sebagai berikut:

a. Defect, meliputi kesalahan dalam mengambil obat atau jumlah obat,

kesalahan meracik obat, resep belum dientry saat dibagian penyiapan obat

yang menyebabkan petugas bolak balik mengembalikan resep untuk di

entry, memperbaiki mikrofon dan mesin cetak etiket yang bermasalah saat

melakukan pelayanan.

b. Overproduction, meliputi menyiapkan obat racikan sebelum ada resep

yang menyebabkan jenis obat tertentu mengalami kekosongan.

c. Transportation, meliputi petugas mengambil obat di gudang saat

pelayanan, ketika obat kosong, copy resep diberikan kepada pasien untuk

membeli obat diluar rumah sakit.

d. Waiting, meliputi pasien menunggu antrian obat, SIMRS IFRJ sedang

trouble atau mati, petugas menunggu karena workload (beban kerja) tidak

mencukupi yang biasanya terjadi pada pagi hari/jam-jam yang tidak sibuk

karena jadwal praktek dokter di poli masih sedikit, petugas menunggu

pasien datang mengambil obat (obat yang ditinggal pulang oleh pasien),

menunggu obat diambil dari gudang, dan persedian obat yang diresepkan

habis dan harus menunggu konfirmasi dokter.

e. Inventory, meliputi obat distok berlebihan sehingga menyebabkan

kadarluarsa, meracik obat secara berlebihan sehingga menyebabkan

kadarluarsa.

f. Motion, meliputi petugas menanyakan tulisan resep yang tidak jelas baik

kepada petugas lain maupun kepada dokter melalui telepon, ada kegiatan

mencari obat atau peralatan seperti steples, plastik, gunting, kalkulator,

sudip, dll, petugas berjalan atau bergerak tidak leluasa dalam

menyelesaikan suatu pekerjaan karena ruangan/jalan yang sempit, dan

akibat layout tempat kerja yang kurang efektif dan efisien, petugas harus

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

73

berpindah-pindah atau berputar di dalam ruangan untuk menyelesaikan

pekerjaan.

g. Overprocessing, meliputi petugas menulis catatan pengambilan obat di

buku BPJS, petugas memanggil pasien berkali-kali dengan mikrofon,

petugas menanyakan/meminta buku BPJS kepada pasien karena saat

menyerahkan blanko resep, pasien tidak menyertakan buku BPJS.

h. Human potential, meliputi petugas jenuh sehingga memilih tidak

menyampaikan saran ataupun ide untuk perbaikan pelayanan atau

saran/ide dari petugas tidak mendapat respond dari pihak yang

bersangkutan, petugas yang berkompetensi mengundurkan diri.

Setelah mengidentifikasi ke-8 tipe waste tersebut, selanjutnya menetapkan

waste kritis. Penetapan waste kritis dilakukan melalui penyebaran kuesioner

pembobotan waste kepada petugas yang termasuk dalam kriteria penelitian yaitu

petugas yang terlibat langsung dalam proses pelayanan kepada pasien. Jumlah

pemberi pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta berjumlah 18 orang, maka

jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 18 orang yang terdiri dari 7

apoteker dan 11 asisten apoteker. Sebelum responden mengisi kuesioner, peneliti

menjelaskan terlebih dahulu mengenai konsep lean, tujuan dilakukannya

pembobotan waste, dan cara mengisi kuesioner untuk menghindari kekeliruan

dalam pengisian kuesioner. Penyebaran kuesioner dilakukan pada saat sebelum

pelayanan dimulai dan setelah proses pelayanan selesai agar tidak mengganggu

aktivitas responden saat melakukan pelayanan. Responden satu per satu

didampingi peneliti saat melakukan pengisian kuesioner. Adapun desain

kuesioner waste kritis yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nancy pada tahun 2014 yang berjudul

“Pendekatan Lean Hospital untuk Perbaikan Berkelanjutan (Continuous

Improvement) Proses Pelayanan Instalasi Farmasi RS Bethesda Yogyakarta”.

Kuesioner pembobotan waste yang telah diisi oleh petugas dilakukan perhitungan

dengan menggunakan metode BORDA, dimana masing-masing tipe waste diberi

peringkat oleh petugas berdasarkan dengan tingkat seringnya terjadi waste

tersebut sepanjang proses pelayanan di IFRJ, jumlah petugas yang memberikan

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

74

peringkat 1 dikalikan dengan bobot yang sudah ditetapkan. Peringkat 1

mempunyai bobot tertinggi (n-1) sementara peringkat 8 mempunyai bobot

terendah yaitu 0. Dilakukan seterusnya untuk peringkat 2 sampai 8, kemudian

menjumlahkan hasil perkalian peringkat 1 sampai 8 untuk mendapatkan nilai

akhir. Hal yang sama dilakukan untuk tipe waste lainnya. Setelah mendapatkan

nilai akhir untuk tiap jenis waste, ditetapkan ranking 1 sampai 8 berdasarkan nilai

tertinggi sampai nilai terendah. Waste yang mempunyai nilai/ranking tertinggi

ditetapkan sebagai waste kritis atau dapat dikatakan waste yang paling sering

terjadi sepanjang proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta.

Berikut ini adalah hasil perhitungan kuesioner waste di IFRJ dengan

menggunakan BORDA:

Tabel 12. Rekapan hasil perhitungan kuesioner waste di IFRJ RSUD Kota Surakarta

No. Jenis Waste Peringkat

Nilai % Ranking 1 2 3 4 5 6 7 8

1. Defects 0 1 1 2 8 3 1 2 50 10,08 4

2. Overproduction 0 0 0 4 0 8 3 3 35 7,06 7

3. Transportation 0 0 3 3 2 3 6 1 45 9,07 6

4. Waiting 10 6 1 0 0 1 0 0 113 22,7 1

5. Inventory 1 1 1 5 5 1 3 1 50 10,08 5

6. Motion 4 7 3 0 1 2 1 0 93 18,75 2

7. Overprocessing 2 3 7 4 0 0 2 0 85 17,14 3

8. Human

Potential 1 0 2 0 2 0 2 11 25 5,04 8

Bobot 7 6 5 4 3 2 1 0

Total 496

Berdasarkan tabel 12 di atas, maka dapat diketahui bahwa waste kritis

pada proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta adalah tipe waste waiting

yang menempati ranking 1 dengan persentase sebesar 22,7%. Waste kritis di IFRJ

RSUD Kota Surakarta berkaitan dengan waiting atau waktu tunggu sepanjang

proses pelayanan. Hal ini menandakan bahwa IFRJ RSUD Kota Surakarta

mendapatkan permasalahan berkaitan dengan waiting (waktu tunggu) yang sangat

mengganggu selama proses pelayanan berlangsung. Jika terjadi waiting maka

akan mengakibatkan kerugian waktu, tenaga, serta biaya yang mempengaruhi

jumlah produk yang dihasilkan (Reidenbach & Goeke, 2006). Menurut Charron et

al. (2015) waste waiting adalah pemborosan yang terjadi dikarenakan tidak ada

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

75

aktivitas yang berlangsung atau terjadi proses menunggu. Waiting dapat berupa

waktu tunggu orang, waktu tunggu mesin atau waktu tunggu material untuk

diproses.

Salah satu faktor terjadinya waiting di IFRJ RSUD Kota Surakarta yaitu

pada saat proses penginputan atau entry data resep ke dalam SIMRS dimana

terjadi delay atau waktu tunggu yang lama karena pada pukul 10.00-13.00

merupakan saat puncak pelayanan resep, dimana jam-jam tersebut banyak pasien

yang datang menyerahkan resep dari poliklinik. Waktu proses mengentry data

lebih lambat dibandingkan dengan waktu antar kedatangan pasien, serta jumlah

petugas yang terbatas dibagian entry data menyebabkan terjadinya penumpukan

resep pada tahap tersebut, sehingga membuat waktu tunggu menjadi lebih lama.

Dari VSM pelayanan resep non racikan terlihat bahwa waktu tunggu/delay pada

proses penginputan data lebih lama dibandingkan dengan waktu tunggu antar

kegiatan lainnya. Delay yang terjadi pada tahap ini menghambat proses

selanjutnya karena resep belum bisa dikerjakan oleh petugas penyiapan obat

sebelum resep di entry. Waiting merupakan jenis pemborosan yang disebabkan

karena menunggu untuk proses berikutnya. Waiting merupakan selang waktu

ketika operator tidak menggunakan waktu untuk melakukan value adding activity

dikarenakan menunggu aliran produk dari proses sebelumnya (upstream). Waiting

ini juga mencakup operator dan mesin seperti kecepatan produksi mesin dalam

stasiun kerja lebih cepat atau lambat daripada stasiun yang lainnya (Gaspersz,

2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Puspita Sari (2018) diketahui

bahwa waste yang paling tinggi atau waste kritis dalam proses pelayanan di

instalasi farmasi rawat jalan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates

Yogyakarta yaitu waste waiting dengan persentase 24,4%. Akar penyebab waste

tersebut antara lain kapasitas server menurun karena menyimpan data yang terlalu

banyak pada proses penginputan data, jumlah petugas yang berjaga di instalasi

farmasi rawat jalan kurang memadai, dan tata letak ruangan yang kurang efisien.

Adapun usulan perbaikannya yaitu dengan menerapkan 5S.

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

76

Waste yang terjadi dalam pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta

akhirnya akan menyebabkan pudarnya loyalitas, hilangnya rasa kepercayaan

pelanggan (customer), berkurangnya profit, dan yang terburuk, terciptanya citra

negatif di mata masyarakat. Setelah mengetahui waste kritis yang terjadi

sepanjang proses pelayanan di IFRJ, maka langkah selanjutnya adalah mencari

akar penyebab (root cause) dari suatu permasalahan dan kemudian mengambil

tindakan perbaikan yang sesuai dengan akar penyebab tersebut.

F. Identifikasi Akar Penyebab Waste Kritis

Identifikasi akar penyebab dari waste kritis berupa waiting di IFRJ RSUD

Kota Surakarta dilakukan dengan wawancara mendalam dengan informan terpilih

menggunakan metode 5 why, dimana peneliti terus bertanya pertanyaan

“mengapa” sebanyak lima kali sampai ditemukan akar penyebab permasalahan.

Informan terpilih adalah petugas yang mempunyai masa kerja 3 tahun atau lebih

di IFRJ RSUD Kota Surakarta. Penentuan jumlah responden dianggap memenuhi

kriteria apabila telah sampai pada titik jenuh, dimana terjadi pengulangan

informasi atau informasi yang diperoleh tidak menambah informasi yang berarti

maka dapat dikatakan proses pengumpulan data dapat dihentikan (Nugrahani,

2014). Adapun hasil dari wawancara mendalam menggunakan metode 5 why

dengan informan terpilih dapat dilihat pada tabel 13 berikut:

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

77

Tabel 13. Akar penyebab waste kritis di IFRJ RSUD Kota Surakarta

Why 1 Why 2 Why 3 Why 4 Why 5

Why Because Why Because Why Because Why Because Why Because

Mengapa

pasien

menunggu

antrian obat

untuk

waktu yang

lama?

Karena

petugas

membutuhkan

waktu yang

agak lama

untuk meng-

entry data

resep ke

SIMRS

Mengapa

petugas

membutuh-

kan waktu

yang agak

lama untuk

mengentry

data resep

ke SIMRS?

Karena

terkadang

SIMRS

sedang

trouble/

lambat

loading

Mengapa

SIMRS

terkadang

mengalami

trouble/

lambat

loading?

Karena

kecepatan

server

menurun

Mengapa

kecepatan

server

menurun?

Karena

adanya

pengaruh dari

pendaftaran

online dan

banyak yang

mengakses

system disaat

bersamaan

Mengapa pen-

daftaran online

dan banyaknya

yang meng-

akses system

mempengaruhi

kecepatan

server?

Karena jaringan

LAN/Wifi terbagi

disaat beberapa

system dijalankan

dalam waktu yang

sama

Mengapa

pasien menunggu

antrian obat

untuk

waktu yang

lama?

Karena

petugas menunggu

obat diambil

dari gudang

saat proses

pelayanan

Mengapa

petugas menunggu

obat

diambil dari

gudang saat

proses

pelayanan?

Karena stok

obat di rak depo IFRJ

habis

Mengapa

stok obat di rak depo

IFRJ habis?

Karena

petugas PJ tidak

langsung

menambah

stok obat di

rak saat

persediaan

hampir habis

Mengapa

petugas PJ tidak

langsung

menambah

stok obat di

rak saat

persediaan

hampir

habis?

Karena

petugas tersebut tidak

dapat segera

mengetahui

obat mana

saja yang

stoknya perlu

ditambah

Mengapa

petugas tidak segera menge-

tahui obat

mana saja

yang stoknya

perlu

ditambah?

Karena tidak

adanya petunjuk/ tanda bahwa stok

obat tersebut akan

segera habis

Mengapa

pasien

menunggu

antrian obat

untuk waktu yang lama?

Karena proses

pelayanan

resep agak

lama

Mengapa

proses

pelayanan

resep agak

lama?

Karena obat

yang sudah

siap tidak

langsung

diserahkan kepada

pasien

Mangapa

obat yang

sudah siap

tidak

langsung diserahkan

kepada

pasien?

Karena obat-

obatan yang

sudah siap

ditumpuk

dalam satu keranjang

hingga terisi

penuh

Mengapa

obat-obatan

yang sudah

siap di-

tumpuk dalam satu

keranjang

hingga terisi

penuh?

Karena jika

diserahkan

satu per satu

kepada pasien,

akan menye-babkan

petugas

mondar-

mandir untuk

mengambil

obat

Mengapa jika

diserahkan

satu per satu

kepada pasien,

akan menye-babkan

petugas

mondar-

mandir untuk

mengambil

obat?

Karena jarak

antara tempat

penyiapan dan

penyerahan obat

agak berjauhan sehingga akan

menyita waktu

dan tenaga

petugas yang

bersangkutan 77

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

78

Mengapa

petugas

membutuh-

kan waktu

yang lama

untuk menyiap-

kan obat?

Karena

blanko resep

mengalami

delay/waktu

tunggu yang

lama pada tahap entry

data

Mengapa

blanko

resep meng-

alami delay/

waktu

tunggu yang lama pada

tahap entry

data?

Karena

petugas

bagian entry

data mem-

butuhkan

waktu yang lama untuk

menginput

data ke

SIMRS

Mengapa

petugas

bagian

entry data

membutuh-

kan waktu yang lama

untuk men-

ginput data

ke SIMRS?

Karena

jumlah

operator

dibagian

entry data

terbatas

Mengapa

jumlah

operator

dibagian

entry data

terbatas?

Karena unit

komputer

yang ada

masih terbatas

Mengapa unit

komputer yang

ada masih

terbatas?

Karena belum ada

rencana untuk

penambahan unit

komputer dan

operator di bagian

entry data

Mengapa

petugas

membutuh-

kan waktu

yang lama untuk

menyiap-

kan obat?

Karena

petugas

mengalami

kesulitan

dalam proses penyiapan

obat

Mengapa

petugas

mengalami

kesulitan

dalam proses

penyiapan

obat?

Karena

pergerakan

petugas

terbatas saat

menyiapkan obat

Mengapa

pergerakan

petugas

terbatas

saat menyiap-

kan obat?

Karena akses

jalan di

dalam

ruangan

IFRS sempit

Mengapa

akses jalan

di dalam

ruangan

IFRS sempit?

Karena selain

ruangan yang

terbatas, juga

ada trolley

yang biasa masuk di

dalam ruang-

an, dan jumlah

petugas yang

berada di

dalam banyak

Mengapa ada

trolley yang

biasa masuk di

dalam ruangan

dan mengapa jumlah petugas

yang berada di

dalam banyak?

Karena petugas

melakukan

penyetokan obat

dengan trolley saat

pelayanan ber- langsung, dan

petugas bagian

rawat jalan dan

rawat inap

melakukan

penyiapan obat di

ruangan yang

sama, sehingga

membuat ruangan

semakin sempit

78

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

79

Tabel 13 menunjukkan beberapa alasan yang menjadi akar penyebab dari

waste kritis yaitu waste waiting pada proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota

Surakarta. Adapun alasan-alasan tersebut yaitu sebagai berikut:

Alasan pertama yang menyebabkan waktu tunggu proses pelayanan lama

dikarenakan saat petugas melakukan penginputan data, SIMRS mengalami

trouble atau lambat loading yang disebabkan oleh kecepatan server yang

menurun. Faktor penyebabnya yaitu karena banyaknya yang mengakses system

disaat bersamaan seperti pendaftaran online maupun system yang diakses di unit

IFRS dan unit lain, yang membuat kecepatan server menurun. Hal ini tentu saja

mempengaruhi kecepatan petugas dalam melakukan penginputan data dan

menambah lead time proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta. Hal ini

didukung dengan hasil penelitian Gijo dan Antony (2014) yang mengidentifikasi

potensi yang menyebabkan waktu tunggu pasien rawat jalan di farmasi menjadi

lama, salah satunya adalah dari faktor mesin seperti jaringan yang lambat.

Alasan kedua terjadinya waste waiting adalah disaat petugas melakukan

penyiapan obat, stok obat yang diperlukan habis sehingga untuk mendapatkan

obat tersebut harus diambil dari gudang farmasi. Dari pengamatan peneliti,

petugas bagian penyiapan meminta tolong kepada petugas dari gudang farmasi

untuk mengambilkan obat, namun ada kalanya petugas penyiapan yang pergi ke

gudang untuk mengambil obat. Bila obat diambilkan oleh petugas dari gudang,

obat tersebut akan diserahkan kepada petugas farmasi lewat jendela/celah yang

berada di antara ruangan IFRJ dan ruangan gudang farmasi. Terjadinya

kekosongan stok obat saat pelayanan berlangsung disebabkan karena tidak adanya

tanda atau petunjuk khusus bahwa stok obat tersebut sudah hampir habis,

sehingga petugas penanggungjawab rak obat tidak mengetahuinya dengan segera

untuk menambah stok obat tersebut di rak penyimpanan. Hal ini tentunya akan

mengganggu kelancaran proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta jika

tidak segera diatasi.

Alasan ketiga adalah dimana ketika obat-obatan yang sudah selesai

dikemas ditumpuk dalam satu keranjang hingga penuh. Hal ini disebabkan karena

layout yang belum optimal sehingga akan membuat petugas lebih sering mondar-

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

80

mandir jika membawa obat ke depan satu per satu. Oleh karena itu, untuk

menghemat pergerakan petugas dalam mengambil atau membawa obat ke depan,

obat ditumpuk pada keranjang plastik hingga penuh. Walaupun hal tersebut dapat

dikatakan efisien, namun di sisi lain menambah waktu tunggu obat untuk

diserahkan kepada pasien.

Alasan keempat mengapa proses pelayanan menjadi lama karena jumlah

operator di bagian entry data hanya berjumlah 2 orang. Waktu kedatangan resep

lebih cepat dengan waktu proses penginputan data, sehingga terjadi penumpukan

resep pada tahap entry data. Dari hasil observasi, pada jam-jam sibuk petugas

bagian penerimaan resep akan membantu untuk mengentry data. Namun hal

tersebut belum efektif mengurangi waktu tunggu karena petugas bagian

penerimaan resep pun saat melakukan entry data sering tertunda karena harus

melayani pasien yang datang menyerahkan resep. Banyaknya resep yang masuk

dan kurangnya operator di bagian entry, membuat waktu tunggu menjadi lebih

lama dan menghambat proses berikutnya.

Alasan kelima yang menyebabkan waste waiting adalah karena

terbatasnya ruangan di IFRS dan akses jalan yang sempit, membuat petugas yang

menyiapkan obat tidak leluasa berjalan untuk mencari atau mengambil obat.

Beberapa faktor yang menyebabkan ruangan menjadi semakin sempit yaitu karena

petugas farmasi rawat jalan dan rawat inap secara bersamaan melakukan kegiatan

penyiapan obat. Oleh karena depo farmasi rawat jalan dan depo rawat inap masih

digabung dalam satu ruangan, jumlah petugas yang terlibat pada proses penyiapan

obat tidak sesuai dengan kondisi ruangan dan akses jalan yang sempit, sehingga

membuat petugas saling berdesakan saat berjalan dan menyulitkan petugas saat

mencari atau mengambil obat. Faktor lainnya yaitu dimana pada saat pelayanan,

ada aktivitas penyetokkan obat yang mengharuskan trolley masuk ke dalam

ruangan sehingga menghalangi akses jalan petugas di bagian penyiapan obat.

Berikut ini merupakan beberapa titik tempat/akses jalan yang seringkali terhambat

oleh trolley ketika masuk ke dalam, dan petugas lain yang sedang lalu-lalang

sehingga menghambat pergerakan petugas saat melakukan penyiapan obat:

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

81

Gambar 11. Beberapa titik tempat/akses jalan yang seringkali terhambat dan menyulitkan

petugas saat menyiapkan obat

Adapun tata letak ruangan IFRS RSUD Kota Surakarta dapat dilihat pada

gambar di bawah ini:

Gambar 12. Layout ruangan IFRJ RSUD Kota Surakarta

Berdasarkan pengamatan peneliti, tata letak ruangan di IFRJ RSUD Kota

Surakarta saat ini belum optimal. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan

ruangan di IFRS, di mana depo farmasi rawat jalan dan depo farmasi rawat inap

a b c

d e f

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

82

yang masih digabung, sehingga membuat penempatan atau tata ruang di IFRJ

menjadi tidak efektif dan efisien. Berdasarkan pengamatan peneliti, petugas yang

sedang mencari atau akan mengambil obat di rak penyimpanan, seringkali

kesulitan untuk mengambilnya karena akses jalan terhalangi oleh petugas lain

yang sedang lalu lalang, sehingga membuat petugas melakukan pergerakan yang

berlebihan (motion) karena harus berputar arah ataupun harus menunggu sampai

petugas lain lewat. Hal ini mempengaruhi kecepatan petugas dalam melakukan

pekerjaannya, sehingga membuat waktu tunggu proses pelayanan menjadi lama.

Menurut Chapman dan Bosch (2010) kecepatan dalam proses pelayanan bisa

disebabkan oleh layout ruangan. Layout ruangan yang kurang efektif serta alur

proses pelayanan yang tidak teratur menyebabkan suatu waste yang harus

diminimalkan atau dieleminasi oleh instansi/organisasi. Desain apotek yang tidak

memuaskan dan tidak memadai mengakibatkan hilangnya waktu, uang yang

terbuang, dan kualitas layanan yang buruk.

Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2017) dalam mengidentifikasi waste

kritis di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan

dengan pendekatan lean hospital, berdasarkan hasil pemetaan value stream

mapping (VSM) didapatkan VAR untuk resep non racikan sebesar 16,67 %,

sedangkan untuk resep racikan sebesar 14,52%. Adapun waste dengan peringkat

tertinggi adalah waste motion dengan persentase sebesar 19%. Akar penyebab dari

waste motion adalah tidak adanya jadwal atau standar yang ditetapkan terkait

pengorganisasian tempat kerja. Hal ini berdampak pada efektifitas pegawai dalam

menyelesaikan tugasnya. Usulan perbaikan untuk akar penyebab waste kritis

(motion) adalah dengan menerapakan metode 5S.

Adapun pedoman teknis sarana dan prasarana khusus di instalasi farmasi

yang ditujukan untuk rumah sakit tipe C menurut ketentuan Departemen

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 diuraikan sebagai berikut:

Page 34: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

83

Tabel 14. Kebutuhan ruang, fungsi dan luasan ruang serta kebutuhan fasilitas di IFRS

No. Nama Ruangan Fungsi Besaran

Ruang/ Luas

Kebutuhan

Fasilitas

1 Ruang Peracikan

Obat

Ruang tempat melaksanakan

peracikan obat oleh apoteker

Min. 6 m2/

apoteker

(min. 24 m2)

Peralatan farmasi

untuk persediaan,

peracikan dan

pembuatan obat, baik steril maupun

non steril

2 Depo Bahan Baku

Obat

Ruang tempat penyimpanan

bahan baku obat

Min. 6 m2 Lemari/rak

3 Depo Obat Jadi Ruang tempat penyimpanan

obat jadi

Min. 6 m2 Lemari/rak

4 Gudang

Perbekalan dan

Alat Kesehatan

Ruang tempat penyimpanan

perbekalan dan alat kesehatan

Min. 10 m2 Lemari/rak

5 Depo Obat Khusus Ruang tempat penyimpanan

obat khusus seperti untuk

obat yang termolabil,

narkotika dan obat

psikotropika, dan obat

berbahaya

Min. 10 m2 Lemari khusus,

lemari pendingin

dan AC, kontainer

khusus untuk

limbah sitotoksis,

dll

6 Ruang Administrasi

(Penerimaan dan

distribusi obat)

Ruang untuk melaksanakan kegiatan administrasi

kefarmasian RS meliputi

kegiatan pencatatan keluar,

masuknya obat, penerimaan

dan distribusi obat

Min. 6 m2 Alat tulis kantor, meja+kursi, loket,

lemari, telepon,

faksimili,

komputer, printer

dan alat per-

kantoran lainnya

7 Konter Apotik

(Loket penerimaan

resep, loket pem-

bayaran dan loket

pengambilan obat)

Ruang untuk menyelenggara-

kan kegiatan penerimaan

resep pasien, penyiapan obat,

pembayaran, dan peng-

ambilan obat

Min. 16 m2 Rak/lemari obat,

meja+kursi,

komputer, printer,

dan alat per-

kantoran lainnya

8 Ruang Loker

Petugas (Pria dan Wanita

dipisah)

Tempat ganti pakaian,

sebelum melaksanakan tugas medik yang diperuntukkan

khusus bagi staf medis

@Loker

6-9 m2

Lemari loker

9 Ruang

Rapat/Diskusi

Ruang tempat melaksanakan

kegiatan pertemuan dan

diskusi farmasi

12-30 m2 Meja, kursi,

peralatan meeting

lainnya

10 Ruang Arsip

Dokumen &

Perpustakaan

Ruang menyimpan dokumen

resep dan buku-buku

kefarmasian

9-20 m2 Lemari arsip,

kartu arsip

11 Ruang Kepala

Instalasi Farmasi

Ruang kerja dan istirahat

kepala Instalasi Farmasi

6-9 m2 Tempat tidur,

sofa, lemari, meja/ kursi

12 Ruang Staf Ruang kerja dan istirahat staf 9-16 m2 Tempat tidur,

sofa, lemari, meja/

kursi

13 Ruang Tunggu Ruang tempat pasien dan

pengantarnya menunggu

menerima pelayanan dari

konter apotek

1-1.5 m2/

orang

(min. 25 m2)

Tempat duduk,

televisi & telp

umum (bila rumah

sakit mampu)

Page 35: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

84

14 Dapur Kecil

(Pantry)

Sebagai tempat untuk

menyiapkan makanan dan

minuman bagi petugas di

IFRS

Min. 6 m2 Kursi+meja untuk

makan, sink, dan

perlengkapan

dapur lainnya.

15 KM/WC (pasien,

petugas,

pengunjung)

KM/WC @KM/WC

pria/wanita

luas 2–3 m2

Kloset, wastafel,

bak air

G. Usulan Perbaikan untuk Mengurangi Waste Kritis

Berdasarkan identifikasi akar permasalahan yang menjadi waste pada

proses pelayanan di IFRJ RSUD Kota Surakarta, usulan ide perbaikan untuk

meminimalkan atau menghilangkan waste kritis berupa waiting sepanjang proses

pelayanan yaitu dilakukan dengan cara expert panel, namun mengingat kondisi

yang tidak memungkinkan dikarenakan kesibukan masing-masing narasumber,

sehingga menyulitkan peneliti untuk mengumpulkan narasumber pada satu waktu

dan tempat yang sama, maka dilakukan wawancara terpisah dengan pihak-pihak

yang mengetahui dengan baik sistem pelayanan di IFRJ antara lain kepala IFRS

dan penanggungjawab pelayanan medis dan penunjang medis. Peneliti juga

mengumpulkan ide-ide perbaikan dari beberapa petugas dengan masa kerja 3

tahun atau lebih yang terlibat langsung dalam proses pelayanan di IFRJ.

Pertimbangan-pertimbangan lain yang disadari peneliti saat mencoba untuk

mengusulkan perbaikan adalah bahwa untuk mengubah dan merencanakan suatu

ide di RSUD Kota Surakarta harus melalui proses yang panjang dan rumit, hal ini

karena menyangkut berbagai kebijakan, aturan-aturan yang berlaku dan

melibatkan pihak-pihak yang berwenang, serta perlunya konsultasi dengan

perencana program dan usulan rumah sakit. Namun berkat bantuan dari kepala

instalasi farmasi dan penanggungjawab pelayanan dan penunjang medis, peneliti

dapat merumuskan suatu ide perbaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di

IFRJ RSUD Kota Surakarta. Adapun usulan ide perbaikan untuk meminimalkan

atau mengeliminasi waste adalah dengan menerapkan 5S dan kanban sebagai

standar pengorganisasian tempat kerja di area IFRJ. Walaupun 5S sudah mulai

diterapkan, namun berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan kepala

IFRS, penerapan 5S belum maksimal, sehingga dari hasil diskusi dengan kepala

Page 36: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

85

IFRS telah disepakati untuk mengoptimalkan penerapan 5S di area IFRSUD Kota

Surakarta.

1. 5S

Lima S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke) adalah sebuah

pendekatan dalam mengatur lingkungan kerja yang pada intinya berusaha

mengeliminasi waste sehingga tercipta lingkungan kerja yang efektif, efisien, dan

produktif (Osada, 2000). 5S merupakan suatu bentuk gerakan yang berasal dari

kebulatan tekad untuk mengadakan pemilahan di tempat kerja, mengadakan

penataan, pembersihan, memelihara kondisi yang mantap, dan memelihara

kebiasaan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Bila

tempat kerja tertata rapi, bersih, dan tertib maka dapat memudahkan pekerjaan

perorangan. Tujuan utama 5S adalah untuk mencegah masalah dan menciptakan

lingkungan kerja yang memungkinkan orang untuk memberikan pelayanan yang

terbaik bagi pasien dengan cara yang paling efektif. John Touissant, CEO of The

da Care Health System (Wisconsin) memperkirakan perbaikan dengan 5S telah

mengurangi jumlah pemborosan waktu rata-rata seorang perawat yang memiliki

shift kerja 8 jam, dari 3,5 jam sehari menjadi hanya 1 jam setiap harinya (Graban,

2016).

Menurut Ikuma dan Nahmens (2014) 5S yang diterapkan pada layanan

kesehatan dapat meningkatkan proses, lingkungan kerja, dan dalam beberapa

kasus meningkatkan keselamatan melalui standardisasi. El-Sherbiny et al. (2017)

mengungkapkan penerapan 5S menurunkan waktu siklus pasien >50%,

mengarahkan rumah sakit pada penghematan biaya, waktu dan tenaga,

mengurangi stress yang terkait dengan pekerjaan, mengurangi waste,

meningkatkan keselamatan staf dan pasien, meningkatkan komunikasi, efisiensi,

produktivitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Manfaat lainnya yaitu

mengurangi waktu mencari barang, meningkatkan kapasitas staf untuk bergerak di

tempat kerja, dan mengurangi waktu tunggu pasien (Kanamori et al., 2015). Dari

15 penelitian yang mengamati penerapan 5R/5S di fasilitas pelayanan kesehatan

dan beberapa rumah sakit di Brasil, India, Yordania, Senegal, Sri Lanka,

Page 37: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

86

Tanzania, Inggris, dan Amerika Serikat. Berdasarkan hasil pengamatan

menunjukkan bahwa 5S dianggap sebagai langkah awal untuk meningkatkan

kualitas layanan kesehatan, dari sepuluh penelitian mengungkapkan dampaknya

pada peningkatan kualitas. Perubahan yang dihasilkan dari penerapan 5S

diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi yaitu keselamatan, efisiensi, dan berfokus

pada pasien (Kanamori et al., 2016). Fillingham (2007) menyoroti manfaat dari

5S di rumah sakit Boston selama satu minggu, mereka membuat tujuh puluh satu

perbaikan di ruang resusitasi yang mengarah pada pengurangan insiden klinis dan

kesalahan, serta peningkatan moral karyawan.

Adapun bentuk penerapan 5S/5R yang bisa diterapkan di IFRJ RSUD

Kota Surakarta yaitu:

1.1 Seiri/Sort/Ringkas. Seiri merupakan langkah awal dalam

menjalankan budaya 5S, yaitu dengan cara memilah/menyortir barang-barang

atau file-file yang tidak perlukan lagi ke tempat pembuangan, sehingga barang-

barang yang ada di lokasi kerja hanyalah barang yang benar-benar dibutuhkan

dan masih penting untuk aktivitas kerja. Penerapan seiri bisa dilakukan dengan

cara memberi label/stiker merah dan menerangkan tindakan apa yang akan

diambil, apakah akan dibuang atau dipindahkan. Dalam melakukan tindakan ini,

yaitu membuang atau memusnahkan file-file yang tidak diperlukan di IFRJ RSUD

Kota Surakarta, dapat dilakukan sesuai dengan pedoman retensi arsip dibidang

kesehatan menurut Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor

17 Tahun 2015 yang menyatakan untuk jenis arsip mengenai obat publik dan

perbekalan kesehatan (penyediaan, pengelolaan, analisis, pemantauan, dan

evaluasi) dapat dimusnahkan dengan waktu retensi 5 tahun. Selain itu, untuk

memudahkan dalam menyimpan dan mencari arsip, dapat dilakukan dengan

menyalin arsip tersebut dalam bentuk soft copy. Hal ini menjadikan ruangan dan

tempat penyimpanan menjadi lebih efisien, rapi, dan tidak berantakan.

Keuntungan lainnya yaitu meningkatkan kecepatan waktu pencarian barang atau

dokumen yang dibutuhkan, menghasilkan tempat kerja yang aman, suasana kerja

lebih nyaman dan mencegah tempat, alat dan bahan menjadi rusak lebih awal.

Page 38: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

87

1.2 Seiton/Store/Rapi. Setelah membuang barang yang tidak diperlukan,

masalah berikutnya adalah mengambil keputusan berapa banyak yang akan

disimpan dan dimana menyimpannya, ini dinamakan penataan yang berarti

menyimpan barang dengan memperhatikan dari segi efisiensi, mutu, dan

keamanan serta mengoptimalkan cara penyimpanannya. Semua barang

ditempatkan sesuai dengan frekuensi penggunaannya (sering-kadang-jarang) dan

pada tempat yang sesuai dengan peruntukannya dan diberi tanda/label. Untuk rak-

rak obat dapat ditata dengan mengelompokkan obat berdasarkan abjad, jenis,

kelas terapi, suplemen/vitamin, dan obat LASA (Look Alike Sound Alike). Hasil

dari penerapan ini ialah tempat kerja yang tertata rapi, barang atau peralatan

mudah ditemukan, mudah dikembalikan, mempersingkat waktu pekerjaan,

mengurangi kemungkinan salah mengambil barang seperti obat, peralatan,

dokumen dan sebagainya, meningkatkan produktivitas secara umum dengan

menghilangkan pemborosan waktu, dimana meminimalisir gerakan mondar-

mandir dalam mencari barang. Adapun langkah-langkah dalam kegiatan

seiton/rapi antara lain: perlunya pengelompokan barang di tempat kerja, membuat

tempat penyimpanan, membuat garis pembatas untuk penempatan barang,

menamai semua barang, membuat denah lokasi penyimpanan barang. Adapun

kondisi ruangan di IFRS saat dilakukan observasi terdapat beberapa titik yang

belum rapi seperti pada tempat penyimpanan perbekalan farmasi yang dapat

dilihat pada gambar 13 berikut ini, sehingga masih perlu dilakukannya penataan

pada tempat tersebut.

Gambar 13. Dokumentasi kondisi tempat penyimpanan perbekalan farmasi yang

belum seiton

Page 39: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

88

1.3 Seiso/Shine/Resik. Seiso merupakan kegiatan untuk menjaga

kebersihan tempat kerja setiap hari yaitu dengan pembersihan dasar pada suatu

area seperti menyapu, mengepel, membersihkan ruangan kerja secara teratur,

membersihkan peralatan, komputer, meja kerja, dan area penyimpanan sehingga

ruangan dan barang-barang atau peralatan tidak kotor dan berdebu. Dari hasil

observasi peneliti, penerapan kegiatan seiso di IFRJ RSUD Kota Surakarta belum

maksimal karena pada saat pelayanan berlangsung dan setelah selesai pelayanan,

tempat kerja tidak langsung dibersihkan. Walaupun adanya tenaga cleaning

service yang akan membersihkan ruangan pada pagi hari, namun alangkah

baiknya bila semua petugas juga ikut andil dalam menjaga kebersihan sehingga

ruangan menjadi lebih nyaman lagi. Lingkungan yang bersih dan tertata rapi dapat

menciptakan kenyamanan bagi petugas saat melakukan pekerjaannya. Berikut

merupakan kondisi di area meja pengemasan obat sebelum dan setelah penerapan

seiso:

Gambar 14. Dokumentasi sebelum penerapan seiso dan setelah penerapan seiso di

area meja pengemasan obat

1.4 Seiketsu/Standardize/Rawat. Setelah keadaan ruangan bersih dan

rapi, maka diperlukan standar kerja agar ruang kerja, mesin, barang atau

peralatan terjaga kebersihan dan kerapiannya. Tahap ini adalah tahap yang

sukar karena membutuhkan komitmen tiap individu untuk tetap mempertahankan

kerapihan dan kebersihan ruangan. Seiketsu atau tahap perawatan/pemeliharaan

ini merupakan kegiatan untuk menjaga ketiga tahap yang sudah dijalankan

sebelumnya secara rutin. Hal ini perlu adanya standarisasi dan konsistensi dari

Before After

Page 40: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

89

masing-masing individu untuk melakukan tahapan-tahapan sebelumnya. Akan

lebih baik bila standar kerja yang ditetapkan dibuat dalam bentuk SOP agar semua

karyawan menjadi lebih bertanggungjawab dan meningkatkan kepatuhan dalam

menjalankannya.

1.5 Shitsuke/Sustain/Rajin. Arti kata shitsuke atau rajin, juga diartikan

sebagai pembiasaan untuk menjalankan keempat S sebelumnya secara disiplin dan

dijadikan budaya. Pembiasaan yaitu melakukan pekerjaan secara berulang-ulang

sehingga secara alami tiap individu dapat melakukannya dengan baik. Ini

merupakan cara untuk mengubah kebiasaan buruk dan menciptakan kebiasaan

baik bagi setiap individu. Program 5S tidak akan berhasil tanpa pembiasaan,

sehingga untuk melakukan pekerjaan secara efisien dan tanpa kesalahan, maka

perlu untuk melakukannya setiap hari. Agar dapat memotivasi karyawan untuk

membudayakan 5S, dapat diterapkan sanksi dan penghargaan, dimana karyawan

yang melanggar atau tidak mematuhi peraturan akan diberikan sanksi, dan

sebaliknya karyawan yang dapat mematuhi atau menerapkan 5S ini dengan baik

akan diberikan penghargaan. Dalam memastikan 5S berjalan dengan efektif, dan

memastikan apakah karyawan melakukannya dengan rajin, maka perlu dilakukan

pemantauan untuk memastikan pencapaiannya. Pemeriksaan secara teratur atau

rajin pada kegiatan 5S ini dapat dilakukan dengan menggunakan patroli 5R setiap

hari, setiap minggu atau minimal sebulan sekali. Adapun indikator kesuksesan

penerapan budaya kerja 5S bagi organisasi seperti: menurunkan pemborosan,

menghindari kecelakaan kerja, meningkatkan kinerja tim, meningkatkan mutu dan

produktivitas, peningkatan dan perbaikan kinerja yang berkelanjutan, peralatan

kantor dan lokasi kerja yang teratur, rapi dan bersih, hasil produksi yang

berkualitas baik, dan keunggulan untuk mempunyai karyawan yang bermental

maju, bersikap dan berperilaku positif.

2. Kanban

Kanban adalah metode yang dibangun berdasarkan konsep kerja

terstandarisasi, 5S, dan visual manajemen untuk memberikan rumah sakit metode

yang sederhana namun efektif untuk mengelola persediaan. Kanban merupakan

Page 41: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

90

istilah dalam bahasa Jepang yang artinya "sinyal", "kartu", atau "tanda".

Kanban adalah sinyal fisik seperti kartu kertas yang menunjukkan kapan

saatnya untuk memesan lebih banyak, dari siapa, dan dalam jumlah berapa.

Kanban bertujuan untuk membantu pasien dan karyawan dengan memastikan

persediaan yang dibutuhkan ada di tempat yang tepat, dalam jumlah yang tepat,

dan pada waktu yang tepat, dan untuk memastikan ketersediaan material yang

diperlukan dengan tingkat persediaan yang rendah. Kanban juga bisa menjadi

sinyal elektronik yang dikirim otomatis oleh kabinet atau sistem komputer

(Graban, 2016).

Penggunaan kanban di IFRJ RSUD Kota Surakarta dapat dilakukan

dengan cara memberi tanda berupa kartu atau label merah di atas rak

penyimpanan obat jika stok obat telah menipis atau habis. Petugas yang

bertanggungjawab terhadap rak tersebut akan mengenali label ini dan akan

segera mengambil obat dari gudang kemudian mengisi rak obat tersebut

sebelum proses pelayanan dimulai. Berdasarkan observasi dan hasil

identifikasi akar penyebab waste kritis, salah satu faktor penyebab waste

waiting pada proses pelayanan adalah petugas menunggu obat yang diambil

dari gudang pada saat resep dikerjakan. Hal tersebut merupakan suatu

pemborosan dan harus segera dihilangkan pada sistem pelayanan. Untuk

menghindari atau menghilangkan pemborosan tersebut, metode kanban adalah

yang paling tepat untuk diterapkan. Menggunakan kartu kanban adalah

menggunakan informasi yang terdapat di kartu kanban untuk membantu

dalam proses replenishment lebih teratur dan dapat menurunkan lost sales,

dan memberikan kenaikan penjualan dikarenakan jumlah obat yang tersedia

akan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan dari pasien (Arumsari, 2015).

Selain menerapkan metode 5S dan kanban, peneliti memberikan usulan

perbaikan dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang. Usulan perbaikan

tersebut diuraikan sebagai berikut:

Page 42: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

91

3. Usulan Jangka Pendek

Yaitu suatu perbaikan yang tidak membutuhkan waktu yang lama, dapat

dilakukan dengan segera, dikarenakan tidak membutuhkan biaya yang besar dan

dapat diimplementasikan dalam jangka waktu 3 bulan hingga 6 bulan. Usulan

perbaikan jangka pendek yaitu:

a) Menempel informasi terkait petunjuk atau ketentuan penyerahan resep

disekitar loket penerimaan resep. Hal ini berdasarkan temuan peneliti pada

saat observasi, terlihat beberapa pasien tidak menyertakan buku BPJS pada

saat penyerahan resep, sehingga petugas harus bertanya terlebih dahulu

kepada pasien dan ada kalanya juga petugas harus menunjukkan contoh

buku karena pasien tidak tahu menahu ataupun bingung dengan buku yang

dimaksud. Selain itu pasien umum yang akan membayar obat ke kasir,

tidak mengetahui letak lokasi kasir karena tidak ada petunjuk, sehingga

pasien harus bertanya kepada petugas yang sedang melakukan pelayanan.

Tentunya hal ini mengganggu atau memperlambat proses penerimaan

resep. Dengan menempel informasi atau petunjuk penyerahan resep,

pasien (BPJS) akan langsung menyertakan buku BPJS pada blanko resep

sebelum diberikan kepada petugas, dan juga dapat meminimalkan pasien

(umum) untuk bertanya letak lokasi kasir kepada petugas farmasi. Dengan

begitu petugas akan lebih fokus dengan pekerjaannya dan juga proses

penerimaan resep akan berjalan dengan lancar.

b) Menambah 1 tenaga apoteker yang standby di loket penyerahan obat,

sehingga akan mempercepat proses penyerahan obat.

c) Mengoptimalkan keahlian petugas dalam melakukan pekerjaannya,

terutama dibagian entry data. Dengan adanya pelatihan bagi petugas maka

akan dapat menambah skill dibidangnya dan dapat mempercepat proses

pengerjaan resep atau obat.

d) Menyelenggarakan training dan tes kompetensi telaah resep sehingga

dapat meminimalkan petugas berkonfirmasi dengan dokter seperti

menanyakan tulisan resep dan sebagainya.

Page 43: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

92

e) Mengoptimalkan sistem punish dan reward bagi petugas. Dengan adanya

sistem punish dan reward ini, dapat memotivasi petugas dalam melakukan

pekerjaannya. Reward merupakan salah satu alat pengendalian penting

yang digunakan oleh suatu organisasi untuk memotivasi personelnya agar

dapat mencapai tujuan organisasi tersebut dengan perilaku yang sesuai

atau yang diharapkan. Sedangkan punishment merupakan sesuatu yang

tidak disukai/disenangi oleh karyawan untuk menghasilkan efek jera

sehingga tidak akan melakukan perbuatan yang sama. Bentuk-bentuk

punishment yang dapat diterapkan antara lain memberikan denda, dihapus

dari daftar karyawan yang akan dipromosi, kegagalan mendapatkan

reward, ancaman pemecatan, dan lain sebagainya.

4. Usulan Jangka Menengah

Yaitu perbaikan yang membutuhkan biaya khusus dan tambahan sarana

yang tidak membutuhkan biaya dalam jumlah besar, dan dapat diimplementasikan

dalam jangka waktu 6 bulan hingga 12 bulan. Usulan perbaikan jangka menengah

sebagai berikut:

a) Merealisasikan pembuatan standar prosedur operasional cadangan ketika

SIMRS trouble yang terlalu lama saat penginputan data pasien atau pada

saat mesin cetak bermasalah.

b) Mengoptimalkan penggunaan SIMRS. Hal ini karena SIMRS di IFRJ

RSUD Kota Surakarta belum terintegrasi secara maksimal, contohnya

pada kegiatan menulis catatan pengambilan obat di buku BPJS masih

dilakukan secara manual. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan

memanfaatkan mesin cetak etiket untuk mencetak informasi mengenai

obat dalam bentuk stiker atau tempelan. Selain itu SIMRS apotik dengan

SIMRS BPJS belum terintegrasi sehingga membuat petugas menginput

data di dua SIMRS yang berbeda. Diadakan pelatihan berkelanjutan bagi

operator yang menggunakannya sehingga semua petugas yang terkait

dapat mengaplikasikannya dengan maksimal. Hal ini bertujuan untuk

menghemat waktu dan mengurangi beban kerja petugas farmasi.

Page 44: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

93

c) Menyediakan monitor nomor antrian. Dengan adanya monitor di ruang

tunggu pasien dapat membuat proses penyerahan obat menjadi lebih cepat

karena pasien dapat melihat urutan nomor antrian di monitor tanpa

bertanya kepada petugas. Selain itu, pasien dengan nomor antrian

selanjutnya akan standby di dekat loket penyerahan, sehingga ketika

nomor antriannya disebut, pasien akan segera berada di loket penyerahan

obat. Pada proses penyerahan obat, pasien sering menanyakan nomor urut

antrian kepada petugas, dan terkadang mikrofon sedang bermasalah,

sehingga petugas tidak menggunakan mikrofon saat memanggil nama atau

nomor antrian pasien, yang mengakibatkan pasien kurang mendengarkan

saat nomor antriannya dipanggil. Hal ini membuat petugas harus

memanggil nama atau nomor antrian pasien secara berulang-ulang, dan

juga membuat pekerjaan petugas terganggu karena harus melayani

pertanyaan pasien mengenai nomor urut antrian pada saat pelayanan.

d) Membuat loker khusus untuk menyimpan tas atau barang-barang pribadi.

Dengan membuat loker akan membuat ruangan terlihat lebih rapih dan

memberi kenyamanan bagi pegawai saat berada di tempat kerja.

e) Menambah satu unit komputer dan operator di bagian entry data, serta

menambah mesin cetak etiket. Berdasarkan pengamatan peneliti, waktu

tunggu terlama pada proses pelayanan adalah pada kegiatan entry data

resep. Kurangnya operator di bagian entry data menjadi salah satu faktor

yang membuat proses tersebut berjalan lambat, mesin cetak yang sering

bermasalah juga merupakan faktor penyebab lainnya yang membuat waktu

tunggu menjadi lebih lama. Oleh karena itu, dengan menambah operator

dan mesin cetak, diharapkan akan mempercepat kegiatan entry data dan

mengurangi waktu tunggu proses pelayanan.

5. Usulan Jangka Panjang

Yaitu perbaikan yang membutuhkan biaya besar dan kebijakan-kebijakan

manajemen rumah sakit dalam penerapannya, serta membutuhkan waktu diatas 12

bulan. Usulan perbaikan jangka panjang yaitu:

Page 45: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

94

a) Menerapkan sistem peresepan secara elektronik (e-prescribing). Beberapa

keunggulan penggunaan e-prescribing dibanding dengan peresepan

manual antara lain dapat mencegah terjadinya risiko kesalahan membaca

resep, input data lebih cepat, dapat memberikan dosis obat yang tepat,

menghemat penggunaan kertas dan lebih praktis. Sedangkan pada

peresepan manual, tulisan dokter terkadang tidak terbaca atau tidak terlalu

jelas sehingga dapat menyebabkan kesalahan, penulisan resep seringkali

harus diulang. Pada proses pemesanan, pencatatan dilakukan secara

manual dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan e-

prescribing (Kusumarini et al., 2011). Manfaat e-prescribing telah banyak

dirasakan seperti pada penelitian oleh Hellstrom et al. (2009) terhadap

dokter di Swedia menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa sistem

peresepan secara elektronik (e-prescribing) mudah digunakan (88%),

membuat pelayanan menjadi lebih baik (92%), dan menghemat waktu

pelayanan (83%) dibandingkan dengan resep yang ditulis manual. Di

Indonesia sudah ada beberapa rumah sakit yang menerapkan e-

prescribing, diantaranya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang sudah

menerapkannya dari tahun 2014. Dengan menerapkan e-prescribing maka

kejadian konfirmasi antara petugas farmasi dengan dokter

penanggungjawab pasien bisa dihilangkan karena dokter hanya akan

memberikan resep sesuai dengan obat yang ada di dalam sistem. Selain itu

pasien tidak perlu lagi membawa dan menyerahkan resep kepada petugas

farmasi ataupun mengambil nomor antrian diloket, karena data resep

dikirimkan langsung oleh dokter secara online ke IFRS dalam jaringan

rumah sakit. Namun untuk menerapkan e-prescribing ini memerlukan

biaya yang tidak murah, selain itu diperlukan juga pelatihan-pelatihan

khusus bagi pihak-pihak terkait yang akan menggunakannya terutama

para dokter.

b) Merenovasi atau memodifikasi ruangan IFRJ RSUD Kota Surakarta dan

memisahkan ruang pelayanan farmasi rawat jalan dan farmasi rawat inap.

Jika ruang IFRJ di renovasi, akan membuat ruangan menjadi lebih luas

Page 46: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

95

dan adanya penambahan ruang khusus racikan, ruang tempat makan atau

ruang istirahat dapat terpenuhi. Berdasarkan hasil observasi peneliti

sepanjang proses pelayanan, ketika ada kegiatan peracikan obat disaat

bersamaan beberapa petugas sedang makan di meja racikan tersebut. Hal

ini disebabkan karena di IFRJ tidak ada tempat/ruang makan khusus,

sehingga petugas memanfaatkan meja racikan untuk dijadikan tempat

makan. Dengan kondisi seperti ini, menimbulkan ketidaknyamanan bagi

petugas yang sedang makan maupun yang sedang melakukan kegiatan

peracikan.

Apabila ruang pelayanan farmasi rawat jalan dan rawat inap

dipisah, maka tata ruangan IFRJ dan alur pelayanan pengerjaan resep

racikan maupun non racikan dapat di perbaiki menjadi lebih efektif dan

efisien dari sebelumnya. Hal ini karena layout di IFRJ pada saat ini,

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan proses pelayanan resep

menjadi lebih lama, dimana petugas yang melakukan pekerjaannya

seringkali terhambat oleh karena akses jalan yang sempit, sehingga

membuat pergerakan petugas menjadi terbatas. Selain itu, obat-obat yang

telah siap atau telah selesai dikemas ditumpuk dalam satu keranjang

hingga terisi penuh agar petugas bagian penyerahan obat tidak sering

mondar-mandir untuk mengambil obat di meja pengemasan dikarenakan

letak meja pengemasan dan meja penyerahan agak berjauhan, sehingga

membuat akan menyita waktu dan tenaga petugas tersebut. Dari hambatan-

hambatan tersebut, peneliti memberikan usulan perbaikan layout (tata

ruang) dan alur pelayanan resep racikan dan non racikan di IFRJ RSUD

Kota Surakarta yang dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 47: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

96

Keterangan:

: Alur pelayanan resep non racikan

: Alur pelayanan resep racikan

Gambar 15. Usulan Perbaikan Layout dan Alur Pelayanan Resep di

IFRJ RSUD Kota Surakarta

Pada layout usulan, untuk pelayanan farmasi rawat inap telah

dipisahkan dari ruangan pelayanan farmasi rawat jalan, sehingga untuk

ruang tempat klaim BPJS dapat dipindahkan di ruang pelayanan farmasi

rawat inap sebelumnya, dengan begitu akan membuat ruangan dan akses

jalan menjadi lebih luas. Kemudian peneliti juga mengusulkan untuk

mengubah posisi rak dan meja pengemasan obat, serta membuat

celah/jendela di dinding yang saling berdekatan dengan meja pengemasan

dan loket penyerahan obat. Hal tersebut dapat menghemat waktu dan

tenaga, serta memudahkan petugas bagian penyerahan untuk mengambil

obat-obatan yang telah siap karena jarak pengambilannya sudah lebih

dekat daripada jarak sebelumnya. Untuk area meja racikan, dapat diperluas

M.Blender

Page 48: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

97

dengan mengatur kembali tumpukan kardus-kardus tempat penyimpanan

perbekalan farmasi sehingga dapat menghemat tempat. Dengan begitu, rak

obat III (rak narkotika dan psikotropika) dapat digeser sehingga tidak

mempersempit area tempat peracikan obat dan juga memudahkan petugas

lainnya yang akan mengambil obat narkotika ataupun psikotropika, oleh

karena akses jalan tidak lagi terhalangi oleh petugas yang sedang

melakukan peracikan.

Adapun usulan perbaikan alur pelayanan resep berdasarkan gambar

15 yaitu dimana resep yang telah selesai dientry, akan diambil oleh

petugas bagian penyiapan kemudian meletakkannya di meja pengemasan.

Dari alur sebelumnya, petugas penyiapan obat melakukan aktivitas

mengecek kesesuaian barcode di resep dan menulis/menyalin jenis dan

jumlah obat-obatan yang akan diambil oleh pasien dari resep ke buku

BPJS. Namun pada tahap ini, peneliti mengusulkan untuk IFRJ dapat

memanfaatkan SIMRS dan mesin cetak etiket untuk mencetak informasi

mengenai obat yaitu dalam bentuk stiker atau tempelan, sehingga petugas

(P1) hanya akan melakukan aktivitas mengecek kesesuaian barcode di

resep dan menempel stiker di buku BPJS. Langkah selanjutnya, petugas

lainnya akan mengambil obat sesuai dengan resep, kemudian

menyerahkannya kepada petugas bagian pengemasan (P2 ataupun P3).

Untuk resep racikan, terlebih dahulu dicek kesesuaian jenis dan jumlah

obat yang diambil serta dosis, kemudian diserahkan kepada petugas bagian

peracikan untuk diracik. Setelah obat selesai diracik, maka petugas

peracikan akan menyerahkan ke petugas pengemasan (P3). Pada saat obat

telah siap atau selesai dikemas, ada baiknya obat racikan dan non racikan

dipisah atau diletakkan di keranjang yang berbeda. Untuk obat non racikan

dapat diletakkan di keranjang dengan ukuran sedang, sedangkan untuk

obat racikan diletakkan di keranjang ukuran kecil, dikarenakan pelayanan

resep racikan lebih sedikit daripada pelayanan resep non racikan. Hal ini

juga bertujuan untuk membedakan waktu tunggu pelayanan resep racikan

dan non racikan, dimana untuk proses pengerjaan resep racikan

Page 49: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

98

membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan waktu proses

pengerjaan resep non racikan. Oleh karena itu, diharapkan IFRJ dapat

mengubah alur pelayanan resep dengan memisahkan nomor antrian

pelayanan resep non racikan dan racikan. Tahap terakhir yaitu petugas

bagian pengemasan akan menyerahkan obat yang telah siap kepada

petugas bagian penyerahan obat lewat celah/jendela, kemudian obat

diserahkan kepada pasien sesuai dengan nomor antrian. Usulan layout dan

alur pelayanan resep ini, diharapkan dapat memudahkan petugas dalam

melakukan pekerjaannya dan meminimalkan waktu tunggu pelayanan

resep, sehingga dapat meningkatkan kepuasaan pasien.

c) Membuat ruangan khusus pelayanan informasi obat (PIO) yang

bersampingan dengan loket penyerahan obat. Pasien dengan beberapa

kondisi tertentu, tentunya membutuhkan informasi khusus terkait

penggunaan obat dan membutuhkan waktu yang agak lebih lama dalam

menyampaikan informasi. Dengan adanya ruangan PIO maka privasi

pasien tersebut akan lebih terjaga, dan apoteker dapat memberikan

pelayanan informasi obat dengan maksimal tanpa mempengaruhi waktu

tunggu pelayanan di loket penyerahan obat.

H. Keterbatasan Penelitian

1. Jumlah observer pada penelitian ini terbatas yakni hanya dua orang dengan

waktu yang terbatas, sehingga pengamatan waste selama observasi yang

terjadi sepanjang proses pelayanan di IFRJ kurang maksimal.

2. Jumlah sampel resep yang diamati selama observasi adalah minimal

sampel yang dibutuhkan, namun kemungkinan penelitian ini akan

menghasilkan data yang lebih baik apabila dilakukan pada jumlah sampel

yang lebih besar.

3. Selama observasi, peneliti kesulitan mencari waktu luang untuk

melakukan wawancara dengan petugas IFRJ karena padatnya beban kerja

petugas farmasi dalam melakukan pelayanan, sehingga wawancara

dilakukan dalam kondisi yang tidak kondusif dimana peneliti melakukan

Page 50: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...repository.setiabudi.ac.id/4066/3/BAB 4.pdfkertas resep 7 NVA -Over processing-Mencetak informasi yang tidak dibutuhkan pasien 6. Mencetak

99

wawancara saat informan sedang melakukan pekerjaannya. Hal ini

membuat informasi yang didapatkan peneliti dari petugas IFRJ belum

maksimal.