BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia...

36
25 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sinopsis Novel Manusia Langit Karya Jajang Agus Sonjaya Judul novel : Manusia Langit Pengarang : Jajang Agus sonjaya Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA, seorang arkeolog muda, berusaha melepas diri dari kungkungan peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman pulau Nias, yang diyakini penduduk aslinya sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Di sana ia banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia, dunia kampus di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbedaan yang menyangkut prinsip hidup mati, harga diri, pesta, juga soal perempuan. Bagaimana kegundahan hati Mahendra saat jatuh cinta pada Saita, gadis Nias yang ternyata sudah dibeli pemuda kampung tetangga? Bagaimana kelanjutan nasib Yasmin, gadis asal Lombok, mahasiswinya di Yogyakarta? Bagaimana pula Mahendra akhirnya sampai pada kesadaran diri sebagai manusia langit? Novel ini membawa kita menyelami kultur Nias yang eksotik sekaligus hanyut dalam kehidupan dunia kampus yang penuh romantika. Sebuah kisah cinta mengharukan dengan latar beragam budaya yang berbeda. 4.2 Hasil Penelitian Sikap merupakan pernyataan evaluative seseorang terhadap sebuah objek. Masalah sikap manusia merupakan salah satu telaah utama bidang sosiologi. Meskipun dalam hal ini psikologi memiliki akar telaahnya sendiri. Namun demikian pengertian

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia...

Page 1: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

25

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Sinopsis Novel Manusia Langit Karya Jajang Agus Sonjaya

Judul novel : Manusia Langit

Pengarang : Jajang Agus sonjaya

Penerbit : Kompas

Tahun Terbit : 2010

Jumlah Halaman : 207

MAHENDRA, seorang arkeolog muda, berusaha melepas diri dari kungkungan

peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman pulau Nias,

yang diyakini penduduk aslinya sebagai tempat turunnya manusia dari langit. Di sana

ia banyak belajar soal persamaan dan perbedaan antara dua dunia, dunia kampus di

Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha. Persamaan dan perbedaan yang

menyangkut prinsip hidup mati, harga diri, pesta, juga soal perempuan.

Bagaimana kegundahan hati Mahendra saat jatuh cinta pada Saita, gadis Nias yang

ternyata sudah dibeli pemuda kampung tetangga? Bagaimana kelanjutan nasib

Yasmin, gadis asal Lombok, mahasiswinya di Yogyakarta? Bagaimana pula Mahendra

akhirnya sampai pada kesadaran diri sebagai manusia langit?

Novel ini membawa kita menyelami kultur Nias yang eksotik sekaligus hanyut

dalam kehidupan dunia kampus yang penuh romantika. Sebuah kisah cinta

mengharukan dengan latar beragam budaya yang berbeda.

4.2 Hasil Penelitian

Sikap merupakan pernyataan evaluative seseorang terhadap sebuah objek.

Masalah sikap manusia merupakan salah satu telaah utama bidang sosiologi. Meskipun

dalam hal ini psikologi memiliki akar telaahnya sendiri. Namun demikian pengertian

Page 2: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

26

sikap dalam kajian sosiologi dan psikologi sangatlah bersesuaian. Pembahasan sikap

oleh keduanya digunakan untuk menjelaskan kenapa orang-orang dapat berprilaku

berbeda dalam situasi yang sama (Azwar, 2005: 4).

Sikap berdasarkan uraian di atas dapat dilakukan dengan analisis sosiologi

yang dalam penelitian ini akan dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra. Dalam

penelitian ini maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pertama menurut

Laurenson dan Swingewood yaitu penelitian yang memandang karya sastra sebagai

dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu

diciptakan. Novel ML adalah sebuah karya sastra yang mengungkap sisi sosial

masyarakat suku Nias, yang diungkapkan oleh penulisnya secara mendalam ketika

berinteraksi dengan suku Nias dalam sebuah perjalannya.

Dalam penelitian ini pola sikap yang hendak diungkap terdiri atas 3 komponen

yaitu; 1) Pola sikap masyarakat suku Nias terhadap budaya, 2) Pola sikap terhadap

ekonomi dan terakhir 3) Pola sikap masyarakat suku Nias terhadap status sosial.

Selanjutnya ketiga komponen tersebut akan diulas dan dianalisis dalam kajian berikut

ini.

4.2.1 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Budaya Masyarakatnya

1) Pengetahuan Masyarakat

Terhadap aspek Budaya masyarakat suku Nias cenderung mempertahankan

pengetahuan yang diperolehnya secara turun temurun, apakah hal ini menyangkut

pengetahuannya untuk memanfaatkan alam, mempertahankan keturunan dan lain

sebagainya.

Page 3: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

27

Dalam novel ML hal ini nampak dari percakapan Sayani dengan Mahendra

sebagai tokoh utama cerita dalam novel sebagai berikut.

”Bang!” Sayani membuyarkan lamunanku, “Sejak kapan moyo itu terbang di

atas kita?” Tanya Sayani sambil menunjukkan seekor burung elang yang

sedang terbang di atas kami.

“Ah,Bukan apa-apa Bang....”

“Tapi kamu tampak cemas, ada apa dengan burung itu?”

“Jika ia terbang berputar dan tampak bingung, itu artinya akan ada petaka

bagi kita yang ada di bawahnya”.

“Ah jangan terlalu percaya itu, Sayani” kini giliranku yang berusaha

menenangkan Sayani. “hidup mati urusan Tuhan, bukan burung itu”.

“Tapi Tuhan selalu memberi tanda-tanda pada kita, pada manusia. Aku

diam. Sulit bagiku untuk memperdebatkan hal bagitu dengan orang Banuaha.

Antara keyakinan dan pengetahuan bercampur baur disini. (ML, 2010: 8-9)

Kata „Moyo‟ dalam percakapan di atas berasal dari bahasa Nias yang berarti

burung Elang. Dalam kutipan percakapan novel di atas menunjukkan bahwa

masyarakat suku Nias mempercayai apa-apa yang diajarkan orang tuanya menjadi

sebuah pengetahuan bagi mereka dan hal tersebut dipegang teguh sebagai sebuah

bentuk keyakinan akan kebenaran apa yang mereka ketahui.

Dalam percakapan lainnya.

“Benarkah mereka dimakan roh halus?” tanya Sayani kembali menyambung

pada inti cerita. Ia sangat tertarik pada mitos roh pemakan bayi. Jelas

dimatanya ada kesan bahwa Sayani yang telah mengenyam bangku sekolah

itu tidak percaya akan takhayyul yang seperti itu.

“Ya, orang kami di kampung, terutama yang sudah tua-tua seperti itu, masih

percaya bayi-bayi yang hilang itu dimakan oleh roh halus ujar Ama Budi

tegas. (ML, 2010: 20)

Pengetahuan diperoleh dari hasil penginderaan terhadap sesuatu obyek

atau hasil pekerjaan tahu atau berupa hasil penyampaian yang diperoleh dari

kerja indera pendengar. Sayani dalam novel ini adalah seorang pemuda yang

Page 4: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

28

pernah mengenyam bangku sekolah tentu kurang mempercayai apa yang

diketahui dan disampaikan orang-orang tua yang sulit dijangkau dengan akal

pikirannya.

Percakapan dalam novel di atas menunjukkan adanya, pengetahuan

Ama Budi yang diajarkan oleh orang tuanya terdahulu berusaha ditanamkan

pada diri Sayani anaknya yang ternyata sangsi terhadap anak tersebut. Dengan

demikian nampak bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan yang diperoleh

dari pendidikan formal sekolah seperti Sayani tidak begitu saja menerima

pengetahuan yang dianggapnya kurang logis. Pengetahuan masyarakat suku Nias

tentang roh halus yang kemudian telah membudaya ini selanjutnya melahirkan

kepercayaan umatnya pada golongan tua-tua akan adanya roh halus yang

memangsa anak-anak bayi mereka.

Pada sisi lain, pengetahuan masyarakat yang masih sangat menjunjung

tinggi budaya ini, dalam novel ML mulai mendapatkan bantahan dari kalangan

muda yang diawali dengan penggalian situs oleh Mahendra dibantu oleh Sayani.

Penggalian ini kemudian memperoleh hasil dengan ditemukannya guci-guci

yang berisikan rambut halus yang kemudian diyakini oleh Mahendra sebagai

ilmuan adalah rambut bayi.

“Menurutku, yang membunuh bayi-bayi itu adalah para orang tua mereka,

bukan roh jahat. Sekarang bayangkan bagaimana sebuah keluarga bisa

hidup berburu dan berpindah-pindah, sementara perempuannya masih

menyusui dan melahirkan bayi untuk bisa bertahan hidup, mau tidak mau

yang paling lemah dikorbankan. Bayi-bayi yang lemah itu ditimbun

dihanyutkan disungai si orang tua kemudia berteriak histeris. Lalu mereka

membuat cerita bahwa bayinya telah dibawa oleh roh jahat”. (ML, 2010: 21)

Page 5: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

29

Sebagai seorang pemuda yang pernah mengenyam pendidikan formal di

bangku sekolah perbuatan membunuh bayi sebagaimana uraian Mahendra dalam

kutipan novel di atas, dibantah oleh Sayani dengan kalimatnya.

“Ah, masa ada orang tua sejahat itu, harimau saja tidak mungkin memakan

anaknya sendiri!” sanggah Sayani dengan nada tidak percaya. (ML,

2010:21)

Memperhatikan beberapa ulasan dan kutipan percakapan dalam novel di

atas maka dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan yang melahirkan budayanya

lagi masyarakat Nias masih dicampuri dengan unsur-unsur mistis yang

sesungguhnya untuk kepentingan melindungi perbuatan seseorang atau

perbuatan para terdahulu. Pada sisi lain pengetahuan masyarakat dalam hal ini

kaum muda yang pernah mengenyam pendidikan akan bertolak belakang dengan

pengetahuan yang diajarkan oleh para orang tua dan leluhur mereka dengan

perbandingan logika pengetahuan yang mereka peroleh dari bangku sekolah.

Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pola sikap masyarakat

suku Nias terhadap budaya adalah sebagai berikut ini.

(1) Mempertahankan apa yang mereka ketahui sebagai bentuk manivestasi dari

unsur budayanya termasuk sebagai unsur pengetahuannya.

(2) Dengan pergeseran waktu dan pergantian generasi, dimana generasi yang

lebih muda telah memperoleh dasar pengetahuan melalui pendidikan

sekolah.

Page 6: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

30

2) Emosi dan Motivasi

Emosi adalah sebuah perilaku yang dapat dilihat dan dikaji, sementara

motivasi adalah dorongan yang timbul dari dalam diri individu untuk

melakukan sesuatu. Bila emosi digambarkan sebagai sebuah reaksi dari amarah

maka motivasi akan memberikan dorongan bagi seseorang untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu.

Dalam teori psikologi (Ahmadi dan Umar, 1992: 62) disebutkan bahwa

emosi dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang muncul dari organisme

manusia. Emosi adalah suatu pengalaman alam sadar yang mempengaruhi

kegiatan jasmani, yang menghasilkan penginderaan-penginderaan organis dan

kinestetis dan ekspresi yang menampak, serta dorongan-dorongan dan suasana

perasaan yang kuat.

Sementara motivasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk

melakukan sesuatu. Hasibuan (2003: 92) mengemukakan bahwa motivasi

berasal dari kata latin “movere” yang berarti dorongan atau daya penggerak.

Dengan demikian maka yang dimaksudkan dengan motivasi adalah daya

dorong atau daya penggerak dari dalam diri individu yang dapat disebabkan

oleh adanya rangsangan (stimulus) dari dalam dan luar individu terhadap

sebuah objek. Dalam novel digambarkan bahwa masyarakat suku Nias dalam

hal ini masyarakat desa Banuaha dikenal temperamental dan mengedepankan

emosi bila harga diri keluarganya diusik.

Page 7: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

31

Dalam novel ML terjadi digambarkan bagaimana emosi masyarakat suku

Nias sebagai berikut.

“Aku mendesah, mengerikan juga mendengar soal bunuh

membunuh”.

“Ternyata begitu ya cara orang Banuaha marah, menakutkan!”

“Itu belum seberapa, Bang!” kilah Sayani. “ Bila orang Banuaha benar

marah, bukan mulutnya yang bicara, tapi pisaunya dulu”. (ML, 2010: 7)

Diceritakan pula dalam novel ini.

Harus diakui bahwa butuh keberanian untuk datang ke daerah ini.

Teman-temanku di gunung Sitoli selalu mengingatkan sebelum aku

memutuskan pergi kesini. “mereka masih bar-bar, kami orang sini saja

belum pernah kesana!”. (ML, 2010: 8)

Adapun dorongan atau daya gerak individu digambarkan dalam novel

Manusia Langit dalam uraian berikut.

“Begitulah Sayani, aku terpaksa membunuh kakakmu yang baru lahir

karena aku tidak sanggup memberi makan. Dari pada keluargaku dan

bayi itu menderita, lebih baik aku selesaikan penderitaan itu lebih cepat

dengan cara menguburnya hidup-hidup. Masyarakat kami yang masih

bodoh banyak yang percaya jika bayi itu dimakan roh jahat. Sebenarnya

hal itu hanya kerjaanku yang tidak sanggup membesarkan bayi malang

itu”. (ML, 2010: 24)

Ama Budi ayah Sayani memberikan penjelasan tentang motivasi atau hal

apa yang mendorong dia membunuh kakak Sayani. Motivasi yang mendorong

Ama Budi dalam cerita di atas adalah motivasi yang dipengaruhi oleh faktor luar

diri individu, yang kekhawatirannya bila tidak mampu memberi makan anaknya.

Rasa kasih sayang dari dalam diri individu yang nantinya tidak ingin melihat

anaknya kelaparan, melahirkan dorongan untuk menghabisi anaknya dengan

jalan menguburnya hidup-hidup.

Page 8: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

32

Pembunuhan bayi tidak hanya dilakukan oleh Ama Budi orang tua

Sayani melainkan oleh masyarakat lainnya yang juga didorong oleh hal yang

sama yaitu kekhawatiran tidak mampu memberikan makan anak-anaknya.

“Jika kalian menemukan periuk itu, berarti memang ada orang lain

selain aku yang membunuh bayinya lalu menguuburkannya dalam periuk

agar dilahirkan kembali di dunia sana. Akupun baru tahu sekarang

karena penemuan kalian”. (ML, 2010: 25)

Mendengar penjelasan Ama budi di atas Mahendra dan Sayani saling

menatap. Mahendra sama sekali tidak menyangka jika periuk yang mereka

temukan bersama Sayani terkait dengan pembunuhan bayi.

Motivasi dan emosi bagi masyarakat desa Banuaha dalam novel ML

sangat berangkaian. Ada dorongan atau motivasi untuk berbuat baik dari para

tokoh dalam novel dan adapun dorongan atau motivasi yang didasarkan pada

emosi dan dendam yang dilakoni oleh tokoh lainya yang menyebabkan sering

terjadinya perselisihan antara kedua keluarga yaitu Marga Hia (marga keluarga

Ama Budi) dan marga Laiya (marga keluarga Nai Laiya).

“menurut orang itu, “kata Amoli sambil menunjuk ke arahku, periuk di

ladang kami adalah kuburan bayi-bayi, kami tidak bisa terima itu, kami

tidak sudi dituduh seperti itu. Ini penghinaan bagi kita orang-orang

keturunan langit!”. (ML, 2010: 76)

Amoli adalah anak dari Nai Laiya dari ungkapan dalam novel di atas

terlihat jelas menunjukkan sebuah emosi yang dimotivasi oleh keinginan

mempertahankan harga diri keluarga. Ungkapan emosi nampak dari perkataan

Amoli yang disertai dengan mengarahkan telunjuknya pada Mahendra,

sementara motivasi membela harga diri keluarga melalui pernyataan Amoli

Page 9: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

33

“kami tidak bisa terima itu, kami tidak sudi dituduh seperti itu, Ini

penghinaan bagi kita orang-orang keturunan langit”. (ML, 2010: 76)

Motivasi Amoli dalam membela harga diri berbeda halnya dengan apa

yang terjadi dengan Sayani yang termotivasi untuk melakukan pembelaan diri

sekaligus membela Mahendra yang saat itu dipojokkan dalam forum

musyawarah.

“Aku yang bilang, Ama!” Tiba-tiba Sayani angkat bicara. Aku tidak tahu

dampaknya akan seperti ini. Niatku biar kita semua sadar dan mengatasi

masalah memalukan ini bersama-sama. Bahwa bukan roh jahat yang

memakan bayi-bayi di kampung ini, tapi keputusan kitalah yang

menyebabkan mereka mati!”. (ML, 2010: 76)

Pengakuan Sayani yang sangat berani itu membuat diri Mahendra merasa

bersalah. Mahendra membantah apa yang dikatakan Sayani dan menyatakan apa

yang dikatakan Sayani adalah tidak benar, sehingga memojokkan Sayani. Apa

yang dilakukan Mahendra sesungguhnya adalah pembelaan agar Sayani tidak

dipersalahkan tetapi hal ini justru memojokkan Sayani.

“Talifuso sekalian, sore ini kita telah mendengarkan permintaan maaf

seorang manusia yang sudah berusaha hidup disini dan belajar tentang

budaya kita”. Ama Budi angkat bicara lagi. “Sesuatu yang sangat

jarang bagi kita, orang minta maaf, mana ada disini yang berani minta

maaf dimuka umum. Kita selalu menjunjung harga diri dan kokoh

dengan pendapat meskipun salah”. (ML, 2010: 77)

Mahendra kaget dan baru sadar bahwa permintaan maaf bagi masyarakat

desa Banuaha ternyata dianggap luar biasa.

Page 10: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

34

Berdasarkan ulasan cerita di atas terlibat jelas bahwa ada dorongan

orang-orang tua desa Banuaha melakukan upaya pembunuhan bayi mereka

dengan cara menguburnya hidup-hidup hanya karena rasa takut jika suatu saat

tidak akan mampu memberikan makan bagi bayinya. Hal ini banyak dipengaruhi

oleh faktor lingkungan dan kondisi alam dan tentunya kemiskinan dan tingkat

pengetahuan mereka yang masih kurang.

Emosi dan motivasi bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang

kurang, akan menjadi sebuah gejolak emosi amarah, dendam dan dengki. Hal ini

terlihat dari keluarga Nai Laiya yang menaruh dendam pada keluarga Ama Budi,

sehingga ada-ada saja yang mereka lakukan untuk membalaskan dendamnya.

Gambaran motivasi lainnya adalah dorongan yang dinampakkan oleh

Sayani dan Mahendra yang keduanya berusaha saling membela agar salah satu

dari mereka tidak dipersalahkan bahkan keduanya bersedia dipersalahkan demi

membela salah satunya.

3) Kinerja (perilaku dan tindakan)

Kinerja yang hendak digambarkan dalam kajian ini adalah perilaku dan

tindakan yang nampak dalam bentuk sikap masyarakat suku Nias. Baik perilaku

dan tindakan dari definisi-definisi yang ada ditemukan pengertiannya mengarah

pada hal yang sama yaitu adanya tindakan atau perbuatan. Wursanto (2005: 265)

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan perilaku dapat berupa sikap,

tindakan dan tingkah laku.

Page 11: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

35

Masyarakat suku Nias khususnya masyarakat desa Banuaha dalam

kesehariannya adalah petani dan peternakan Babi. Lingkungan alam yang boleh

dikata masih pedalaman, berbukti dan memiliki aliran sungai menunjukkan

sebuah kondisi daerah yang cukup tepat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan

pertanian.

Dalam novel digambarkan oleh penulis dengan uraian.

“Telunjuk Sayani mengarah pada sebuah perkampungan dipinggir

sungai dibawah sana”. Tampak dari atas bukit itu susunan rumah

beratap rumbia, berhadapan membenuk sebuah garis yang sangat

lurus…”. (ML, 2010: 10)

Dalam novel ML digambarkan bagaimana kondisi desa Banuaha dan

pekerjaan masyarakatnya.

“Tak terasa sudah hampir setahun aku tinggal di kampung kecil di

pedalaman itu. Bau cokelat yang dijemur dan gemuruh air di Sungai

Gomo menambahkan keintiman dengan kampung megalit yang masih

bersahaja itu”. (ML, 2010: 97)

Dari cerita di atas jelaskan bahwa desa Banuaha adalah sebuah desa di

pedalaman daerah Nias yang dialiri sungai Gomo, salah satu sungai di daerah

Nias. Sebagian besar bahkan seluruh masyarakatnya adalah petani. Ladang-

ladang pertanian mereka tanami dengan coklat dan pohon karet. Pekerjaan

bertani tidak hanya dikerjakan oleh para lelaki atau suami, melainkan hingga

perempuan atau istri-istri merekapun turut membantu usaha pertanian yang

disadari sebagai pencaharian utama sebuah keluarga.

Page 12: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

36

“Satu atau dua kali dalam seminggu aku turut Ama Budi atau Sayani ke

ladang yang jauhnya hingga tiga kilometer untuk membersihkan kebun

dan memetik coklat...”. (ML, 2010: 97)

Kisah di atas menggambarkan bagaimana rutinitas pekerjaan keluarga

Ama budi dan anak lelakinya Sayani yang terkadang dibantu oleh Mahendra.

Kerja bertani coklat dan menyadap karet adalah sebuah rutinitas keluarga yang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bentuk kinerja yang tampak

dari kisah di atas adalah sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak

mengharapkan imbalan sedikitpun melainkan sebuah keharusan untuk

dilakukan mengingat kebutuhan hidup keluarga.

Dari empat petak kebun yang ditanami cokelat dan karet, Ama Budi bisa

menghidupi keluarganya selama selama belasan tahun”. (ML, 2010: 97)

Mahendra yang merasa terbantu dan tinggal di keluarga yang sangat

disegani di desa Banuaha yaitu keluarga Ama Budi yang berasal dari marga Hia,

sering membantu pekerjaan keluarga ini. Mahendra tidak segan-segan ikut pergi

ke ladang, memetik coklat dan hingga mengupas dan mengeringkan coklat.

Selanjutnya gambaran tentang perilaku hidup masyarakat desa Banuaha

terlihat jelas dari ulasan dalam novel berikut.

“Para orang dewasa tampak bingung dan khawatir dengan banjir yang

terjadi. Sebaliknya, anak-anak justru tampak senang. Anak-anak bermain di

jalan batu. Anak-anak balita bahkan dibiarkan telanjang bulat begitu saja

bermain di halaman, dibiarkan buang air kecil dan besar sendiri. Tanpa harus

dikubur atau dibersihkan, kotoran balita itu akan bersih sendiri dimakan dan

dijilati babi yang berkeliaran di kampung”.

“Hal ini bukan berarti para ibu dan perempuan di Banuaha malas.

Para perempuan terlalu sibuk mengerjakan banyak hal. Pagi-pagi harus

mencuci pakaian, lalu ke ladang hingga siang. Mereka pulang membawa ubi

dan daun untuk ternak. Lalu daun tersebut dicincangnya dan dimasukkan ke

Page 13: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

37

kandang babi dibelakang rumah. Ubi direbus untuk makan siang. Setelah itu ia

mencuci semua perabotan rumah yang kotor di sungai. Pulang ke rumah tidak

bisa istirahat karena harus beres-beres dan memandikan anak. Menjelang

malam saat para suami asik mengobrol didepan rumah, para perempuan

masih sibuk menyiapkan perapian dari kayu untuk memasak makan malam.

Setelah semua beres saat waktunya tidur, kaum hawa ini harus melayani

hasrat suaminya dengan diam-diam karena rumah mereka pada umumnya

tidak memiliki kamar”. (ML, 2010: 131-132)

Perilaku dan tindakan yang tergambarkan melalui ulasan novel di atas

setidaknya terkandung beberapa unsur yaitu:

(1) Istri bagi masyarakat desa Banuaha adalah segalanya, mereka bekerja dari

bangun pagi hingga menjelang tidur suaminya. Mereka menjalani rutinitas

ini apa adanya, dan menjadi sebuah kewajiban sehingga melahirkan sebuah

perilaku yang senantiasa mengalami penguatan dan pengulangan.

(2) Suami masyarakat desa Banuaha adalah pekerja, mereka bekerja ladang dan

kebun-kebun yang kemudian memperoleh hasil berupa uang atau bahan

makanan seluruh pengelolaannya diserahkan kepada istri-istri mereka.

Dalam rutinitasnya mereka para suami masih memiliki waktu senggang

ketika menunggu makan malam yang disediakan istrinya.

(3) Anak-anak desa Banuaha sama seperti anak-anak lainnya yaitu lepas dari hal

perilakunya yang dipenuhi dengan kesenangan. Hal yang membedakan

anak-anak desa Banuaha adalah ketika masa balitanya cenderung dilepaskan

hidup bebas dengan alamnya, bergaul dengan hewan ternak mereka.

Sementara masyarakat kota atau yang memiliki pendidikan anak balita

dilindungi bahkan diberikan pengasuhan yang sebaik-baiknya.

Page 14: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

38

Perilaku positif yang tampak dari komunitas masyarakat pedalaman

Suku Nias ini adalah perlindungan dan penghormatan terhadap kaum

perempuan yang telah digariskan dengan adat dan etika.

Apa yang dikemukakan di atas nampak jelas dari percakapan Mahendra

dengan Ama Budi. Mahendra mempertanyakan kenapa Saita wanita yang telah

menjerat hatinya itu tidak lagi tinggal di rumahnya Ama Budi.

“Sejujuranya aku merasa khawatir,” jelas pria tua itu. “Aku

perhatikan kalian berdua saling suka”. (ML, 2010: 139)

Wajah Mahendra memerah malu. “Benar Ama, aku memang

menyukainya,”

“Nah sepasang lelaki dan perempuan yang saling suka tidak boleh

serumah, tidak enak kepada tetanga,” jelasnya. “Jika Nak Hendra mau

serius, bias saja, namun kita perlu persiapan.

Persiapan bagaimana, Ama?”

Di Banuaha perempuan itu dibeli. Disini ada istilah boli niha, kita

harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan”. (ML,

2010: 140)

Meskipun tergolong masyarakat suku pedalaman masyarakat suku Nias

menempatkan etika dan rasa malu dalam pergaulannya. Salah satu bukti yang

terlihat jelas pada percakapan dalam novel di atas adalah, tata aturan tidak

tertulis yang menyatakan bahwa sepasang lelaki dan perempuan yang saling

suka tidak boleh tinggal serumah. Hal ini selain untuk mencegah terjadinya

hal-hal yang tidak diinginkan juga menghindari cemoohan tetangga.

Page 15: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

39

4.2.2 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias dalam hal Ekonomi Masyarakatnya

1) Pengetahuan Masyarakat Tentang Ekonomi

Pengetahuan masyarakat tentang ekonomi khususnya masyarakat Desa

Banuaha masih sangat rendah yang dapat disebabkan oleh keterpencilan

mereka dari kehidupan modern. Prinsip hidup mereka bila dihubungkan dengan

ekonomi adalah sangat sederhana yaitu mampu membiayai hidup anak-anak

mereka. Pengetahuan sebagai bentuk dari tahu, pemahaman, aplikasi dan

evaluasi adalah sebuah bentuk manifestasi logika yang berjalan seiring dengan

berkembangnya pengetahuan seseorang. Bagi masyarakat Banuaha

pengetahuan akan ekonomi cenderung statis namun setidaknya telah memiliki

bentuk yang merupakan hasil evaluasi dan rangkaian dasar pengetahuan

lainnya.

Dalam novel ML digambarkan melalui percakapan Mahendra dan Ama

Budi sebagai berikut.

“Kenapa sudah jarang orang melaksanakan mangowasa?”

“Mereka takut miskin!”

Aku tertunduk mendengar jawaban itu.

“anggapan bahwa pesta adat membuat miskin muncul dari orang yang

meletakkan harta lebih tinggi dari harga diri.” Lanjut Ama Budi.

“Padahal, harta hanya sarana saja untuk mencari kemuliaan di dunia.

Jika harta tidak dibagikan, maka perbedaan yang kaya dan yang miskin

akan semakin jauh saja.”

“Benar juga Ama.”

“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri

sendiri dan mengharga sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai

orang lain bila kamu sendiri tidak bisa mengharga dan mencintai diri

sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (ML, 2010: 103)

Page 16: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

40

Apa yang terungkap melalui percakapan di atas jelas sebuah prinsip

hidup Ama Budi yang meletakkan harga diri lebih tinggi dari harta

kekayaan. Demikian halnya dengan menghargai orang lain melalui pesta

adalah sebuah ungkapan penghargaan. Meskipun dapat dikatakan

pengetahuan ekonomi masyarakat Desa Banuaha adalah statis, setidaknya

telah ada pola yang membentuk pola pikir masyarakat Banuaha pada

umumnya untuk tidak menghamburkan uang dalam bentuk pesta karena

dipandang akan menyengsarakan. Dengan demikian telah nampak bahwa

pengetahuan ekonomi masyarakat yang rendah tadi selanjutnya membentuk

pola sikap ekonomi masyarakat dalam bentuk menghindari pesta adat yang

menuntut banyak pengorbanan harta dalam bentuk uang, emas dan babi.

Wiradyana (2010: 201) mengemukakan bahwa babi, perhiasan,

senjata merupakan hewan dan bentuk materi yang merupakan salah satu

acuan dalam menentukan struktur masyarakat. Jadi secara tidak langsung

menurutnya aspek-aspek simbolis seperti babi, perhiasan, dan senjata

memiliki makna yang berkaiatan dengan struktur sosial, legitimasi nilai dan

kekuasaan. Dalam novel ML karya J.A Sonjaya nilai ekonomi seseorang

ditentukan seberapa besar ia dapat menyelenggarakan sebuah pesta yang

berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Status kepala desa sebagai

pimpinan masyarakat desa, belum akan dihargai suaranya sebelum dia

mampu menunjukkan kemampuannya untuk menjadi seorang bangsawan.

Page 17: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

41

“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai di

kampung ; tetap yang dihargai adalah mereka tetua marga dan adat,

tutur Ama Budi lirih. Akhirnya keluarga dan kerabatku mendorongku

untuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan

statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tidak didengar”.

Memang mereka minta apa?

“Mangowasa, pesta tertinggi, tapi itu sangat berat”.

“Ama melakukannya?”

“Ya, demi adat aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi

kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan

puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan

untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh

malam”.

“Banyak sekali,Ama?!”

“Ya, banyak sekali. Sejak pesta mangowasa tahun 1985 itu sampai

sekarang ada lagi orang Banuaha yang sanggup mengorbankan babi

sebanyak yang aku korbankan”.

“Benar, kira-kira sebanyak itulah harga yang harus kubayar untuk bisa

didengar, untuk bisa menjadi bangsawan, untuk bisa jadi kepala desa

lagi. Aku puas dan bangga meski harus berutang hingga sekarang”.

(ML, 2010: 101-102)

Kekayaan seseorang bagi masyarakat desa Banuaha lebih banyak

diukur dengan harta beruapa babi apakah itu dalam bentuk hidup sebagai harta

bergerak maupun babi yang dikorbankan saat melaksanakan sebuah pesta yang

berbau adat.

“Orang Nias mengenal istilah “mate bawi mate gego” yang artinya

“mati babi, maka putuslah segala masalah”. Olehnya dalam setiap

pesta adat, tanda sahnya perkawinan. Babi dipilih karena binatang ini

pernah menjadi alat tukar sekaligus tolak ukur kekayaan seseorang.

Perkawinan bagi masyarakat Nias adalah salah satu tahap yang harus

dilalui lelaki Nias untuk mendapat predikat “gagambato” atau

sejahterah”. (ML, 2010: 145)

Memperhatikan beberapa kutipan novel di atas maka dapatlah dikatakan

bahwa pola sikap masyarakat Desa Banuaha tentang ekonomi terbentuk dari

pengalaman hidup dan bukan dalam bentuk pengetahuan formal yang

Page 18: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

42

diperoleh dari pendidikan. Pernikahan dan pesta adat pengukuhan adalah

bentuk dari upaya menunjukkan jati diri dan status kehidupan ekonomi

seseorang, yang kemudian seiring perkembangan jaman mulai dihindari karena

dipandang memiskinkan keluarga. Para pemuda yang takut menikahi gadis

Banuaha dengan harta yang banyak, keluar dari desa dan berkelana keluar

daerah sebagai bentuk pelarian dari keterkungkungan adat dan pelaksanaan

pesta.

2) Emosi dan Motivasi Ekonomi

Emosi dalam istilah ekonomi cenderung dibahasakan dalam kajian ini

dengan motivasi. Hal ini karena belum dapat dijumpainya konsep emosi

berbentuk amarah dalam aspek ekonomi. berkaitan dengan hal tersebut,

motivasi dalam hal ekonomi dapat ditandai dengan dorongan baik dari dalam

diri individu maupun dari luar individu untuk memperbaiki status ekonomi

seseorang atau sebuah keluarga.

Dalam novel ML diceritakan

“satu atau dua kali dalam seminggu aku turut Ama Budi atau Sayani ke

ladang yang jauhnya hingga tiga kilometer untuk membersihkan kebun dan

memetik coklat. Buah coklat yang sudah ranum langsung dikupas di bawah

pohonnya. Kulitnya ditumpuk dan dibusukkan agar menjadi kompos.

Bijinya dimasukkan ke dalam karung lalu dibawa pulang. Satu kilogram

biji coklat basah harganya empat ribu rupiah, sedangkan biji cokelat yang

sudah kering mencapai delapan ribu rupiah. Dari empat petak kebun yang

ditanami cokelat dan karet, Ama Budi bisa menghidupi keluarganya selama

belasan tahun”. (ML, 2010: 97)

Page 19: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

43

Kisah di atas menggambarkan bahwa tidak ada upaya tertentu yang

dilakukan keluarga Ama Budi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi

keluarganya. Apa yang telah mereka miliki saat ini hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhan makan keluarga sehari-hari.

“Untuk ukuranku yang biasa tinggal di kota, hidup Ama Budi pas-

pasan karena tidak ada uang yang bisa ditabung dari hasil ladang

mereka. Dapat uang dari penjualan coklat hari ini habis untuk makan

tiga hari ke depan. Menjelang uang habis, Ama Budi memetik coklat

lagi dan menjualnya. Demikian seterusnya. Jika sedang tidak musim

cokelat, Ama Budi beralih ke pekerjaan menyadap karet. (ML, 2010:

97)

Lain halnya dengan motivasi sebuah keluarga ketika hendak

menikahkan anaknya. Dorongan untuk menunjukkan kemampuan

menikahkan anak-anak mereka terkadang memberikan motivasi yang

sangat besar. Meskipun hal tersebut lebih bersifat sementara dan tidak

berlaku selamanya.

Hal yang memotivasi seorang anak laki pada sebuah keluarga untuk

menikah adalah tuntutan adat yang cukup besar. Kutipan novel ML berikut

ini setidaknya memberikan gambaran motivasi yang telah diuraikan di atas.

“…Menikah bagi lelaki Banuaha adalah anugerah, tetapi sekaligus

juga menjadi bencana. Untuk menikah seorang lelaki Banuaha

sedikitnya harus menyiapkan 20 gram emas, 10 meter kain, 60 ekor

babi serta makanan unuk menjamu 300-an orang. Perhitungan itu jika

si Lelaki yang berstatus sebagai anak Salawa (kepala desa) hendak

menikah gadis Banuaha dari keluarga biasa. Jumlah babi, emas dan

uang yang harus dibayarkan untuk mas kawin tentu akan bertambah

jika gadis tersebut berasal dari keluarga berstatus sosial tinggi seperti

keluarga salawa atau ketua adat”. (ML, 2010: 98)

Page 20: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

44

Dalam uraian sebelumnya dikatakan bahwa perkawinan bagi

masyarakat Nias adalah salah satu tahap yang harus dilalui lelaki berapapun

usianya, apabila belum menikah masih disamakan statusnya dengan anak-

anak yang belum memiliki hak suara. Dibalik gagambato terselip harga diri

yang tinggi karena itulah tujuan hidup orang Nias, bukan harta semata.

Harta hanya menjadi alat bagi mereka untuk menunjukkan harga diri.

Dengan harta yang dimilikinya, orang tersebut dapat menyelenggarakan

pesta adat.

3) Kinerja (perilaku dan tindakan) Ekonomi

Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya kondisi geografis

masyarakat suku Nias yang hidup di daerah berbukit-bukit menyebabkan

mata pencaharian penduduk terbagi atas dua, yaitu penduduk yang tinggal

dipesisir pantai bergerak dalam bidang perikanan yaitu sebagai nelayan dan

penduduk yang berada di pedalaman akan mengusahakan pertanian dan

perladangan sebagai mata pecaharian (Wiradyana, 2010: 7).

Masyarakat Nias yang digambarkan dalam novel ML adalah sebuah

komunitas masyarakat desa Banuaha yang tinggal di daerah pedalaman

sehingga hampir seluruhnya bermata pencaharian sebagai petani.

“Banuaha sungguh terpencil, dikelilingi gunung-gunung”. (ML, 2010:

11)

Nilai-nilai ekonomi masyarakat suku Nias dalam hal ini masyarakat

Banuaha dinilai dari keperluan hidup masyarakatnya dan kemampuannya

Page 21: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

45

melaksanakan pesta atau upacara. Perekonomian masyarakat desa Banuaha

tercermin dari jumlah babi (jantan dan betina), bibit padi rumah yang

ditempati sebuah keluarga.

Sehubungan dengan perilaku dan tindakan yang menggambarkan pola

sikap masyarakat Desa Banuaha dalam aspek ekonomi tergambarkan

melalui berbagai bentuk seperti rutinitas pekerjaan masyarakat yang tidak

sekedar dilakukan oleh kaum pria namun juga banyak melibatkan kaum

perempuan dalam sebuah keluarga.

Setiap perempuan di atas usia tujuh tahun, sehabis mandi dan mencuci

di sungai, selalu pulang membawa batu dan ditaruh di halaman rumah

mereka. Itu dilakukan setiap hari. Jika batu-batu di halaman rumah-

rumah itu telah menggunung, para lelaki dewasa mulai menatanya

untuk fondasi rumah, meninggikan jalan, dan membuat benteng. (ML,

2010: 95)

Hal lain yang diceritakan dalam novel ML, kaum lelaki bekerja

mencari nafkah selanjutnya diserahkan kepada perempuan dan kaum ibu

untuk menjadi bahan makan dan memenuhi semua kebutuhan hidup

sebuah keluarga.

Para perempuan sibuk mencari barang kebutuhan sehari-hari, mulai

dari makanan hingga pakaian. Para lelaki biasanya sibuk mengunjungi

tempat-tempat yang berbau hiburan, misalnya kedai tuak, tempat judi

dan televisi yang dimiliki beberapa rumah saja di sekitar pasar.

Ketika pula, laju jalan perempuan ini tidak secepar saat berangkat

karena saat pulang mereka membawa beban yang sangat berat.

Sedangkan para lelaki pulang tanpa membawa apapun. Merekapun

juga kelihatan tidak ada usaha untuk membantu meringankan beban

para perempuan. (ML, 2010: 150)

Page 22: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

46

Perilaku dan tindakan kaum lelaki yang memposisikan perempuan

sebagai pekerja adalah sebuah bentuk keterkungkungan adat yang tidak

kenal kompromi. Kaum lelaki hanya memiliki tanggungjawab memenuhi

kebutuhan hidup sebuah keluarga selanjutnya kaum ibu dalam hal ini istri

dan anak-anak perempuan yang mengolah hingga menjadi kebutuhan

keluarga yang siap pakai dan siap makan.

Dalam sebuah kutipan pembicaraan antara Ama Budi dan

Mahendra dapat ditemukan adanya perbedaan tanggungjawab suami dan

istri sebagai berikut.

“Maaf Ama, sebenarnya tadi aku sedang berpikir keras, dan aku

juga tidak habis piker dengan perilaku laki-laki terhadap

perempuan di sini. Apakah karena mereka merasa telah membeli

perempuan lalu berhak semena-mena mempekerjakan

perempuan?”

“Memang kenapa?”

“Tadi aku melihat Saita terseong-seok membawa 25 kg beras,

sementara bapaknya yang segar bugar pulang lebih dulu tanpa

membawa apapun.

“Itu sudah biasa, perempuan di sini memanng harus seperti itu”,

(ML, 2010: 158-159)

Posisi perempuan dalam sebuah pola sikap ekonomi masyarakat ini

tergambarkan pula dalam kisah novel ML sebagai berikut.

Saita, baru saja dibeli oleh Arofosi dengan jujuran 50 ekor babi

hasil berutang dari saudara dan kerabatnya. Utang itu harus

dibayar Saita dan suaminya. Seperti yang dihadapi perempuan

Banuaha pada lainnya, Saita harus bekerja keras untuk

melunasi utang tersebut. Jika tidak, tamparan, tendangan dan

pukulan akan mendera tubuhnya. (ML, 2010: 166)

Page 23: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

47

Ulasan novel ML di atas dan ulasan-ulasan sebelumnya setidaknya

menggambarkan kinerja dan perilaku masyarakat Desa Banuaha sebagai

berikut.

(1) Kaum lelaki sebagaimana masyarakat umumnya adalah kepala

keluarga yang harus bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluaga.

(2) Istri bertanggungjawab mengurusi semua urusan keluarga selain

membantu suaminya di lading, juga pekerjaan rumah lainnya.

(3) Pasangan suami istri yang baru menikah akan membayar hutang

suaminya ketika melamarnya dahulu dengan tenaga dan babi selama

kurun waktu yang ditetapkan oleh orang yang memberi hutang.

(4) Kaum istri bagi masyarakat Banuaha pada umumnya, memiliki

tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan tanggungjawab suami

dalam sebuah keluarga.

4.2.3 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias dalam hal Status Sosial Masyarakat

1) Pengetahuan Masyarakat tentang Status Sosial

Dalam novel ML struktur masyarakat sama sekali tidak disinggung atau

dibahas oleh penulis. Struktur masyarakat desa yang tergambarkan dalam

keseharian masyarakat desa Banuaha hanya diulas singkat. Pembagian dan

pengelesan strutur sosial hanya terdiri atas, tetua marga dan tokoh adat, kepala

desa dan guru.

“Posisi guru sangat dihormati di kampung itu.....”.(ML, 2010:78)

Page 24: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

48

Kutipan novel di atas menggambarkan pengetahuan masyarakat yang

diajarkan secara turun temurun kemudian dipintal menjadi sebuah adat, dimana

orang yang memiliki kelebihan patut untuk dihargai dan ditinggikan dalam

sebuah masyarakat. Orang yang dihargai, dihormati dan didengar ucapannya

selain guru adalah mereka yang telah mampu menyelenggarakan pesta sehingga

mampu menunjukkan harga dirinya seperti Ama Budi yang berhasil

menyelenggarakan pesta „mangowasa‟ yaitu pesta tertinggi dalam adat yang

belum ada satupun orang mampu menyelenggarakannya.

Salah satu kutipan percakapan dalam novel yang menunjukkan struktur

sosial adalah sebagai berikut.

“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai

dikampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka tetua marga dan

tetua adat. Tutur Ama Budi”.

....keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku untuk membuat

pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku

sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tidak didengar”. (ML,

2010: 101)

Demi mengukuhkan dirinya sebagai kepala desa dan memperoleh gelar

tetua adat, Ama Budi selama 3 tahun sejak menjadi kepala desa mengumpulkan

harta untuk menyelenggarakan pesta mangowasa.

“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi

menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor

babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-berkarung beras

direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh

hari tujuh malam”. (ML, 2010: 101)

Page 25: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

49

Mahendra tertunduk mendengar jawaban Ama Budi. Hidup keluarga

Ama Budi memang tergolong miskin bila dibandingkan dengan yang lainya

dikampung, tapi disisi lain ia sangat dihargai sebagai tetua adat.

Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan

masyarakat yang membentuk pola sikapnya terhadap struktur social diperoleh

melalui pengajaran adat. Prosesi adat dan penegakkan adat tidak didasarkan pada

kemampuan pribadi seseorang dalam hal memimpin atau hal lainnya, melainkan

diletakkan pada kemampuan seseorang untuk menyelenggarakan pesta yang juga

diyakini oleh Amak Budi sebagai sebuah bentuk penghargaan pada diri sendiri

dan orang lain.

Dalam sebuah kutipan percakapan dalam Novel dijelaskan bahwa pesta

yang begitu banyak menghamburkan harta sebuah keluarga, adalah sebuah

pernyataan dan akan status harga diri, kemampuan ekonomi dan status social

seseorang.

“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri

sendiri dan berbagi dengan sesame. Kamu tidak akan dapat menghargai

dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan

mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha. (ML, 2010:

103)

Harga diri dan status sosial seseorang ataupun keluarga ditentukan pula

oleh keturunan ke atasnya.

“Dalam sebuah “hoho” asal kejadian manusia Nias, disebutkan bahwa

„Sirao‟ leluhur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana‟a.

Sirao adalah anak dari hasil perkawinan dua angin di langit”.(ML,

2010: 110)

Page 26: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

50

Para generasi yang disebutkan dalam hoho di atas kemudian menjadi

tokoh-tokoh penting dalam masyarakat Banuaha termasuk menjadi tetua-tetua

adat. Hal ini pulalah yang kemudian melahirkkan konflik, yang tergambar jelas

antara keluarga Nai Laiya dengan Keluarga Ama Budi bermarga Hia yang

keduanya diyakini berasal dari turunan langsung manusia langit.

Memperhatikan ulasan-ulasan di atas dalam novel ML maka struktur

masyarakat Nias yang tergambarkan melalui novel ini dapat disimpulkan sebagai

berikut.

(1) Tetua adat yaitu mereka yang berasal dari marga besar keturunan langsung

“sirao” yang diyakini sebagai manusia dari langit. Tetua adat sangat

memegang peranan terpenting dalam setiap putusan adat, maupun pesta

adat.

(2) Tetua kampung yaitu mereka para orang tua kampung yang dihargai dan

memiliki hak suara.

(3) Kepala desa yang dapat saja hanya menjadi fomalitas kedudukannya karena

hanya dibentuk berdasarkan struktur pemerintah. Kepala desa akan dihargai

manakala mampu menyelenggarakan pesta besar „mangowasa‟ dengan

menjamu para undangan selama tujuh hari tujuh malam dengan

mengorbankan ratusan ekor babi dan puluhan gram emas.

(4) Lelaki beristri, yang memiliki hak suara.

(5) Anak-anak dan lelaki yang tidak dibatasi umurnya namun belum beristri,

kelompok terakhir ini adalah kelompok yang tidak memiliki hak suara.

Page 27: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

51

(6) Budak dan pembantu, mereka dapat saja terjadi pada seorang wanita yang

berusia 5-10 tahun dan telah dipinang seorang laki-laki dengan 2/3 jujuran.

Perempuan tersebut kemudian dibawa ke rumah calon suaminya untuk

membantu segala urusan keluarga calon suami.

2) Emosi dan Motivasi Terhadap Status Sosial

Emosi dan motivasi masyarakat dalam sebuah bentuk pola sikapnya

terhadap struktur sosial tergambarkan jelas dalam novel ini yang

digambarkan oleh tokoh Ama Budi yang selama kurang lebih 3 tahun

termotivasi dan dimotivasi keluarga untuk mampu menyelenggarakan

sebuah pesta adat. Pesta yang diselenggarakan adalah pesta untuk

mengokohkan dirinya sebagai kepala desa dan ketua adat yang apabila

tidak diselenggarakan maka akan berakibat pada tidak didengar dan

dipatuhinya perkataan seorang kepala desa dan ketua adat oleh masyarakat

yang dipimpinnya.

“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai

dikampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka tetua marga dan

tetua adat. Tutur Ama Budi”.

....keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku untuk membuat

pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku

sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tidak didengar”.

“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi

menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor

babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-berkarung beras

direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh

hari tujuh malam”. (ML, 2010: 101)

Kedua kutipan dari novel di atas menggambarkan hal-hal sebagai

berikut.

Page 28: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

52

(1) Pola sikap masyarakat desa Banuaha akan menghargai seseorang

yang berstruktur social lebih tinggi darinya bila telah mampu

menyelenggarakan sebuah pesta besar, selain menghargai porfesi

seorang guru.

(2) Ketua adat maupun kepala desa tidak akan mendapatkan

penghargaan apabila jabatan dan kedudukan tersebut belum

dikukuhkannya dengan sebuah pesta adat.

3) Perilaku dan tindakan Sehubungan dengan Status Sosial

Perilaku dan tindakan yang menunjukkan pola sikap dalam hal struktur

social masyarakat Desa Banuaha tergambarkan melalui bagaimana bentuk

penghargaan dan persaingan atas status di masyarakat. Sebagaimana

kutipan perkataan Ama Budi dalam novel ML.

“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi

menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor

babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-berkarung beras

direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh

hari tujuh malam”. (ML, 2010: 101)

Gelar yang diperoleh seseorang di masyarakat Desa Banuaha akan

mempoisikan dirinya dan keluarganya untuk dihargai dan dihormati di

lingkungan masyarakatnya, meskipun gelar tersebut hanya nampak ketika

acara-acara adat seperti musyawarah adat dan pesta adat.

”Ya, gelarku tak bias buat makan disini, kecuali jika ada pesta,” kata

lelaki yang sudah menyandang gelar Barasi Awuwukha itu”.

“Jika ada ono Banuaha yang menyelenggarakan pesta, maka aku

mendapat bagian daging babi paling banyak, kepalanya untukku,

penghargaan tertinggi itu”. (ML, 2010: 102)

Page 29: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

53

Bentuk persaingan terhadap struktur social tergambarkan pula dalam

novel ML sebagai berikut.

“Menjadi kepala desa tidak berarti membuat seseorang dihargai

dikampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka tetua marga dan

tetua adat”, tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua

adat ibu banyak yang iri padaku.

“Kenapa bias begitu?”

“adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah

menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya

dikampung. (ML, 2010: 101)

4.3 Pembahasan

Berdasarkan uraian-uraian hasil analisis di atas novel ML karya Jajang

Agus Sonjaya, maka dapatlah dikemukakan beberapa hal sebagai berikut ini.

4.3.1 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Budaya Masyarakatnya

Pola sikap masyarakat suku Nias terhadap budaya digambarkan dengan

jelas dalam novel ML karya Jajang Agus Sonjaya. Pada aspek pengetahuan

masyarakat desa Banuaha diketahui bahwa masih sangat terbelakang, sehingga

hal ini cenderung menyebabkan masyarakat Banuaha menempatkan budaya

sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupannya.

Dalam novel ML, terlihat jelas orang-orang berpendidikan di desa

Banuaha sangat sedikit karena selain dipengaruhi oleh tingkat kemampuan

ekonomi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Orang yang

berpendidikan terbatas pada beberapa kelompok masyarakat mampu seperti

keluarga Hia, dan keluarga Laiya.

Page 30: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

54

Dalam novel ini tergambarkan secara jelas mulai terjadi pergeseran

budaya yang dipolopori oleh mereka generasi muda yang pernah mengeyam

bangku pendidikan formal seperti Budi yang karena tidak mau terbelenggu

budaya memilih meninggalkan kampung halaman dan keluarganya. Sayani

saudaranya Budi, setelah mengalami proses interaksi dengan Mahendra perlahan

mulai melakukan protes terhadap apa yang dilakukan masyarakatnya terhadap

anak-anak bayi mereka termasuk protes pada bapaknya.

Pendidikan sebagaimana dipahami bersama membentuk pengetahuan

seseorang akan mana yang baik dan mana pula yang buruk, termasuk

membentuk sikap dan pandangan seseorang akan lingkungan yang berkembang

disekelilingnya. Dengan rendahnya pengetahuan masyarakat desa Banuaha

sebagaiamana tergambarkan dalam novel ini, maka hal ini selanjutnya

membentuk emosional dikalangan masyarakat, yang sulit menerima kebenaran

apalagi bila kebenaran itu dipandang bertentangan dengan budaya yang menjadi

pegangan mereka selama ini. Katakanlah marga Laiya yang tidak menerima hasil

kajian sementara Mahendra tentang periuk bayi yang menurut mereka telah

menghina para leluhur mereka sehingga Mahendra harus membayar ganti rugi.

Dalam novel ML tergambarkan pula ada beberapa unsur budaya

masyarakat Banuaha yang berlahan-lahan telah ditinggalkan seperti

mengorbankan budak atau pembantu dengan cara melemparkannya dari rumah

yang telah berhasil dibangun keluarga. Namun demikian masih terdapat budaya-

budaya yang tetap dipertahankan seperti seluruh rangkaian dan tahapan

Page 31: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

55

pernikahan yang tetap harus dilalui oleh sebuah pasangan pengantin termasuk

nilai jujuran yang terbagi secara rinci dan semuanya dinilai dengan emas,

maupun ternak babi.

Motivasi masyarakat yang tergambarkan dalam novel ML ini cenderung

datar, karena hanya terbatas pada dorongan untuk mempertahankan hidup,

budaya dan keluarganya. Motivasi untuk berkembang ke arah lebih maju hanya

tergambarkan dari kemauan anak-anak mereka yang meski sudah terlambat

masih mau belajar dan mengikuti pendidikan sekolah. Usia siswa SMP di

Banuaha berkisar antara usia 10 tahun sampai dengan 21 tahun bahkan ada di

antaranya yang telah menikah dan memiliki anak.

Gambaran akan motivasi masyarakat yang menonjolkan dalam novel ini

meskipun masih sebatas pada dorongan untuk mempertahankan hidup, juga

dorongan untuk menunjukkan kemampuan sebuah keluarga yang tergambarkan

jelas dengan cara masyarakat membangun rumah, maupun meminang seorang

perempuan bagi lelakinya dan motivasi untuk bersekolah dan memiliki

pendidikan yang layak.

4.3.2 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Ekonomi

Ekonomi bagi masyarakat suku Nias cenderung diartikan sebagai

kemampuan dan daya sebuah keluarga untuk dapat mendirikan sebuah rumah

besar, kemampuan menyelenggarakan pesta dan harga seorang wanita.

Tolok ukur keberhasilan ekonomi sebuah keluarga diukur dari beberapa

besar jumlah ternak babi yang mereka miliki, termasuk seberapa besar rumah

Page 32: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

56

adat yang berhasil mereka bangun untuk sebuah keluarga. Penggunaan babi

sebagai tolok ukur menilai ekonomi sebuah keluarga dikarenakan babi pernah

menjadi alat tukar bagi masyarakat suku Nias, termasuk untuk dijadikan

standar sebuah perkawinan.

Seorang laki-laki suku Nias dapat dikatakan sejahtera apabila telah

menikahi seorang perempuan dengan harga jujuran minimal 56 ekor babi, 10

paung emas (sama nilainya dengan Rp. 5.000.000) dan 300 Kg beras dalam

sebuah pesta adat perkawinan. Apabila seorang lelaki yang menikah dan belum

dapat memenuhi seluruh tuntutan adat di atas, maka lelaki tersebut dapat

mengutang pada kerabatnya, dan di bayar oleh mereka setelah menikah dengan

tenaga (menjadi pembantu) pada kerabat yang meminjamkan ongkos

pernikahan.

Harga seorang perempuan dalam masyarakat Nias yang hendak di

nikahi akan menunjukkan status ekonomi sebuah keluarga atau laki-laki secara

individu. Olehnya, di masyarkat Nias dikenal tata hubungan babi, perempuan,

harga diri. Dengan demikian kekayaan berupa babi, maka seorang laki-laki

dapat mempersunting seorang perempuan dengan jumlah jujuran tertentu, dan

dengan menikahi seorang perempuan maka lelaki tersebut akan memperoleh

harga dirinya dan secara adat telah memiliki hak suara dalam masyarakatnya.

Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pola sikap dalam

bentuk model penilaian seseorang terhadap seoarang masyarakat Nias

ditentuksn dari aspek ekonomi di ukur dari kemampuan seseorang untuk

Page 33: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

57

menyelenggarakan sebuah pesta perkawinan, dimana seorang perempuan akan

ditaksir dengan sejumlah harta berupa babi, emas, dan beras. Kepemilikan babi

bagi masyarakat Banuaha, menunjukkan tingkat kesejahteraan seseorang atau

sebuah keluarga. Hal ini terjadi karena memang pada dasarnya babi pernah

dijadikan sebagai alat tukar yang senilai dengan uang bagi masyarakat modern.

Dalam novel ML sang tokoh utama Mahendra memberikan

perbandingan bahwa sesungguhnya bila sebuah pesta pernikahan bagi

masyarakat Banuaha adalah hampir sama dengan pesta masyarakat akademik

di lingkungan kampus seperti pesta pengukuhan gelar. Dalam novel ini terlihat

jelas pula bagaimana Mahendra memberikan perbandingan budaya antara

masyarakat Jawa dan masyarakat Nias yang digambarkan melalui kehidupan

masyarakat Banuaha.

Pola sikap ini selanjutnya membentuk sikap berupa penilaian

masyarakat akan status ekonomi seseorang. Bila telah menikah maka seorang

laki-laki akan disebut sebagai seorang yang telah sejahtera. Sebaliknya bila

belum menikah maka seseorang masih dikelompokkan sebagai orang yang

belum sejahtera atau miskin.

Memperhatikan ulasan-ulasan novel ML maka dapatlah dikatakan

bahwa sikap masyarakat Banuaha dalam aspek ekonomi tidak pernah terlepas

dari, babi, dan perempuan. Babi menunjukkan kesejahteraan sementara

perempuan dalam arti pernikahan menunjukkan sebuah kemapanan hidup

seorang pemuda maupun keluarga. Seorang lelaki yang telah menikah berarti

Page 34: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

58

menunjukkan bahwa dirinya telah menunjukkan harga diri dan berwibawa di

mata masyarakat dan keluarga.

Pola sikap masyarakat desa Banuaha yang cenderung masih primitif

masih menunjukkan sikap gotongroyong, meskipun tergambarkan pada sikap

gotongroyong sebuah keluarga ketika melakukan sebuah pesta. Pihak keluarga

laki-laki biasanya memberikan pinjaman atau hutang kepada pemuda yang

harus dibayar ditebus oleh pasangan suami istri. Hal ini menunjukkan pula

pada bahwa tanggungjawab pemuda yang berhutang ketika menikah menjadi

tanggungjawab pula perempuan yang dinikahi.

4.3.3 Pola Sikap Masyarakat Suku Nias terhadap Status Sosial

Status sosial masyarakat suku Nias hampir sama penilaiannya dengan

tolak ukur ekonomi. Status sosial seseorang akan baik manakala dia telah

mampu menyelenggarakan sebuah pesta yang akan menempatkan kedudukan

sosialnya di masyarakat. Ama Budi dalam cerita novel ML, terpilih menjadi

kepala desa oleh masyarakatnya karena memang berasal dari marga besar

turunan “Sirau” juga dipilih oleh masyarakatnya. Namun demikian,

kedudukannya sebagai kepala desa tidak serta merta menempatkan dirinya

sebagai tokoh yang di dengar selruh perkataan dan ucapannya.

Struktur sosial Ama Budi naik, ketika mampu melaksanakan sebuah

pesta terbesar dalam sejarah masyarakat desa Banuaha yaitu Mangoasa. Sejak

menyelenggarakan pesta inilah baru Ama Budi memeperoleh kedudukannya

Page 35: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

59

sebagai tetua adat yang didengar segala ucapannya dan dipatuhi seluruh

keputusannya melalui dewan adat.

Begitu besarnya pengaruh kedudukan sosial seseorang bagi masyarakat

Banuaha yang terus terbawa hingga generasi selanjutnya. Adapun bagi generasi

yang mewarisi status sosial ini wajib mempertahankan kedudukan tersebut,

meskipun disadari bahwa struktur sosial bagi masyarakat Banuaha tidaklah

mendatangkan keuntungan ekonomi. Struktur sosial masyarakat dari istilah

suku mulai mengalami perubahan ketika masyarakat ini telah dimasuki dengan

sistem pemerintahan Negara yang mengharuskan pimpinan sebuah komunitas

atau masyarakat adalah kepala desa yang dipilih oleh masyarakatnya.

Status sosial bagi masyarakat Banuaha dapat diperoleh melalui dua cara

yaitu status sosial yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya, dan

status sosial yang diperoleh seseorang ketika ia atau sebuah keluarga telah

nampak nilai kesejahteraannya yang ditunjukkan melalui kemampuan

menyelenggarakan sebuah pesta. Selain itu stuktur sosial seseorang secara

pribadi dapat diperoleh ketika ia telah mampu menikah sehingga seorang

pemuda pantas disebut memiliki harga diri dan berwibawa. Status pernikahan

ini juga memposisikan hak seseorang dalam sebuah musyawarah yaitu hak

mengeluarkan pendapat. Struktur sosial masyrakat suku Nias yang

tergambarakan secara singkat dalam cerita novel ML, hanya terdiri atas tetua

adat, tetua marga, kepala desa, lelaki yang telah menikah, lelaki tanpa dibatasi

umurnya dan anak-anaknya, serta budak.

Page 36: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Manusia …eprints.ung.ac.id/6640/9/2012-1-88201-311406075-bab4...Penerbit : Kompas Tahun Terbit : 2010 Jumlah Halaman : 207 MAHENDRA ...

60

Dalam sebuah dewan adat atau pesta adat, tetua adat memiliki pengaruh

dan kedudukan teringgi kemudian disusul oleh para tetua marga (orang tua

yang memiliki marga tertentu) dan kemudian masyarakat biasa termasuk di

dalamnya kaum laki-laki yang telah menikah. Barulah kemudian kelompok

lelaki belum menikah dan anak-anak, dan terakhir adalah budak atau pembantu.

Sama halnya dengan pola sikap masyarakat dalam aspek ekonomi dan

budaya, status sosial masyarakat Banuaha tidak lepas dari istilah babi,

perempuan dan harga diri. Dengan memiliki ternak babi yang banyak maka

seorang perempuan dan harga diri. Dengan menikahi seorang perempuan maka

orang tersebut secara otomatis memiliki harga diri dan kewibawaannya akan di

pandang oleh masyarakatnya. Sebaliknya, seorang pemuda bagaimanapun

pandainya, namun tidak memiliki kemampuan menikahi seorang perempuan

dengan mempersembahkan sejumlah babi dan telah berusia lanjut, maka orang

tersebut dalam pandangan masyarakat belum memiliki harga diri dan tidak

berwibawa karena dalam sebuah dewan adat orang dimaksud tidak memiliki

hak suara.

Memperhatikan ulasan-ulasan pembahasan di atas maka dapat

dikatakan pola sikap masyarakat desa Banuaha baik dari aspek budaya,

ekonomi dan status sosial, tidak pernah lepas dari tuntutan adat dan ditentukan

oleh babi, perempuan dan harga diri. Pola sikap ini jelas hanya dapat

dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang nantinya akan

terus mengalami perkembangan.