BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Citra...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Citra...
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Analisis Citra Digital
Koreksi geometri yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk
menghilangkan kesalahan non sistematik yang terdapat pada citra dan sekaligus
menambahkan koordinat citra yang sesuai dengan letak yang sebenarnya di
lapangan. Jumlah GCPs yang digunakan adalah 10 pasang. sedangkan syarat
minimum yang diperlukan untuk proses transformasi, yaitu 6 pasang (Tabel 2).
Tabel 2. Daftar Pasangan Ground Cek Points (GCPs)
No Koordinat Citra Koordinat Peta Delta
Baris Delta Kolom
Baris Kolom mT mU
1 778 536 318190 9044934 -173157 0,219116
2 913 471 316320 9040866 0,260071 -0,284821
3 890 397 316305 9040854 -0,135986 0,219727
4 654 532 318011 9048688 0,155151 -0,148010
5 179 261 309590 9063038 -0,063583 0,127411
6 548 206 308135 9051884 0,150085 -0,167465
7 503 226 308705 9053237 -0,128937 0,135773
8 493 226 308709 9053548 0,152649 -0,173920
9 769 287 310689 9045190 -0,273193 -0,104706
10 862 182 307563 9042381 0,056946 0,176865
Ketelitian (Root Mean Square) = 0,42 pixel
Bedasarkan batas toleransi tingkat ketelitian yang masih dapat diterima
yang ditetapkan oleh National Map Accuracy Standard (NMAS) yaitu 1,7 pixel
(51 m), Root Mean Square (RMS) yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 0,42
(12,6 m) masih dapat diterima karena nilainya lebih kecil dari batas maksimal
yang ditentukan. Setelah dilakukan proses transformasi dengan menggunakan
GCPs, kemudian dilanjutkan dengan proses resampling.
Penajaman citra yang digunakan adalah perentangan kontras, proses ini
menghasilkan citra dengan tingkat kekontrasan yang lebih tinggi. Hasil
perbandingan citra yang belum dilakukan pengolahan (koreksi radiometrik,
28
geometrik dan penajaman citra) (Gambar 11) dengan citra yang telah diolah
menunjukan adanya peningkatan kualitas citra baik dari aspek radiometrik
maupun geometrik citra.
Perbaikan aspek radiometrik citra dapat dilihat dan meningkatkan
kemampuan pengenalan dan pembedaan obyek, sedangkan peningkatan aspek
geometrik ditunjukan ketepatan posisi obyek baik secara relatif dengan obyek
yang ada disekitarnya maupun secara absolut dengan kordinat yang sebenarnya di
lapangan. Citra yang sudah dikoreksi dipotong untuk mereduksi ukuran data
hingga lebih ringan ketika diolah komputer. Selain itu, pemotongan citra juga
bertujuan untuk membuat deliniasi area sebagai batas kajian, yaitu batas wilayah
tersebut adalah peta digital kecamatan di wilayah pesisir Jawa Barat yang di
peroleh dari peta administrasi bakosurtanal.
Citra komposit RGB-542 yang telah dipotong di export ke dalam data
*.tiff kemudian diolah pada software ArcGis 9.3 untuk dilakukan penentuan kelas
penutupan hutan mangrove berdasarkan pada perbedaan warna, pola spektral dan
posisi bentang lanskap. Data tersebut di bandingkan dengan tampilan visual
dengan resolusi tinggi yang diperoleh dari Google earth.
(a) (b)
Gambar 11. Data Citra Kab. Bekasi Belum Terkoreksi (a) dan Terkoreksi (b)
29
4.2. Persebaran Hutan Mangrove di Jawa Barat
Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlindungan dari ombak,
masukan air tawar dari sungai, sedimentasi dan aliran air pasang surut (Setyawan
2006). Persebaran hutan mangrove Jawa Barat tersebar di 36 Kecamatan di 10
Kabupaten di Pesisir Utara dan Pesisir Selatan Jawa Barat.
4.2.1 Persebaran Hutan Mangrove Pesisir Utara Jawa Barat
Persebaran hutan mangrove di Pesisir Utara Jawa Barat terdapat di dalam
tambak maupun berada di sekeliling tambak tersebut (tambak silvofishery). Hutan
mangrove di Kabupaten Subang tersebar di Kecamatan Balanakan dan Legon
Kulon dengan spesies mangrove Rhizophora stylosa, Avicennia marina, Soneratia
alba, Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera cylindrica, Nypa fruticans, Hibiscus
tiliaceus, terminalia cattapa, Exceocaria agallocha dan Achanthus ilicifolius
(Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang 2007).
Hutan mangrove di Kabupaten Karawang tersebar di dua Kecamatan yaitu
Tirtajaya dan Cibuaya dengan spesies yang ditemukan Rhizophora apicullata,
Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Soneratia alba dan Lumnitzera
racemoza (BPLHD 2010). Hutan mangrove di Kabupaten Indramayu tersebar di
enam Kecamatan yaitu Kadanghaur, Losarang, Cantigi, Sindang, Indramayu dan
Balongan. Spesies yang ditemukan yaitu Rhizophora mucronata, Rhizopora
apiculata, Avicennia marina, Achanthus ilicifolius, Acrotichum aureum, Denis
heterophyl dan Fimbristylis scalhacea (Mustari 1992).
Hutan Mangrove di Kabupaten Cirebon tersebar di delapan Kecamatan
yaitu Kapetakan, Cirebon Utara, Lemahwungkuk, Mundu, Astanajapura,
Pangenan, Gebang dan Losari. Spesies yang ditemukan Avicennia spp dan
Rhizophora spp (Phihastuti 2009). Hutan mangrove di Kabupaten Bekasi tersebar
tiga Kecamatan yaitu Muara Gembong, Babelan dan Tarumajaya. Spesies yang
ditemukan Avicennia spp, Rhizophora spp dan Soneratia spp (Sumitro 1985).
30
4.2.2 Persebaran Hutan Mangrove Pesisir Selatan Jawa Barat
Mangrove di Pesisir Selatan Jawa Barat terdiri dari mangrove sejati dan
mangrove asosiasi khususnya pada rawa payau. Hutan Mangrove di Kabupaten
Tasikmalaya tersebar di tiga kecamatan, yaitu Cikalong, Karangnunggal dan
Cipatujah dengan didominasi oleh spesies Nypa fruticans. Hutan Mangrove di
Kabupaten Sukabumi tersebar di empat kecamatan, yaitu Pelabuhan Ratu,
Simpenan, Ciemas dan Ciracap. Spesies yang ditemukan Padanus spp, Bambusa
spp, Stercoelia foetida, Terminalia cattapa, Rhizophora spp., Bruguiera spp.,
Sonneratia alba, Avicennia spp., Callophylum inophylum, Nypa frutican dan
Baringtonia asiatica (Hartini 2010).
Hutan mangrove di Kabupaten Garut tersebar di Kecamatan Cibalong
dengan spesies yang ditemukan Rhizophora mucronata, Rhizophora gymnorhiza,
Soneratia alba, Aegiceras comoculatum, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus
granatum, Ceriops tagal, Acanthus ilicifolius dan Avicennia alba (Rochmah
2001). Spesies mangrove di Kabupaten Cianjur tersebar Nypa fruticans di
Kecamatan Cidaun. Hutan Mangrove di Kabupaten Ciamis tersebar di enam
kecamatan, yaitu Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan
Kalipucang. Spesies yang ditemukan yaitu Thespesia vovulnea, Nypa fruticans,
Acanthus ilicifolius, Rhizophora apiculata, Scyphiphora hydrophyllaceae,
Acrosticum aureum, Pongmia pinnata, Terminalia cattapa, Padanus tektorius,
Cerbera mangas dan Hibiscus spp. (Sukmawan 2004).
4.3 Luasan Hutan Mangrove
Luasan Hutan mangrove di Jawa Barat dengan menggunakan data citra
satelit dilakukan setelah pengolahan data citra dilihat secara visual dan di
bandingkan dengan citra resolusi tinggi google earth setelah menyamakan titik
kordinat pada citra Landsat-ETM dengan citra resolusi tinggi, kemudian dilakukan
digitasi untuk mengetahui tutupan luasan hutan mangrove dan persebarannya.
Pengklasifikasian kelas berdasarkan tampilan visual (Tabel 3).
31
Tabel 3. Perbandingan Kelas Penutupan Lahan Berdasarkan Tampilan Visual
Kelas Pola warna RGB - 542 Tampilan Google Earth
Laut 1
Laut 2
Mangrove
Perumahan
Tambak
Sungai
32
4.3.1 Luasan Hutan Mangrove di Jawa Barat Tahun 1999 - 2012
Hasil pengolahan data citra satelit didapat luas hutan mangrove di Jawa
Barat pada tahun 1999 seluas 8758,52 ha, sedangkan pada tahun 2012 seluas
6861,25 ha. Penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu ±13 tahun seluas
1897,27 ha atau sebesar 22% luas tahun 1999. Luas Hutan Mangrove di Pesisir
Utara Jawa Barat memiliki luas yang lebih tinggi dibandingkan Pesisir Selatan
Jawa Barat dengan luas Pesisir Utara seluas 5.216,31 ha dan Luas Pesisir Selatan
Jawa Barat pada tahun 1999 seluas 3.542, 21 ha. Pada perkembangannya ditahun
2012 terjadi penurunan yang besar di Pesisir Utara Jawa Barat seluas 1.622,25 ha
atau sebesar 31%, sedangkan pada Pesisir Selatan Jawa Barat penurunan luas
mangrove tidak terlalu besar yaitu seluas 275,02 ha atau sebesar 8%.
Perbedaan luasan Hutan mangrove di Pesisir Utara lebih luas
dibandingkan Pesisir Selatan Jawa Barat dikarenakan adanya beberapa perbedaan,
diantranya karakteristik pesisir dan pantai, jenis tanah, kontur, dan letak geografis.
Karakteristik pesisir dan pantai Utara Jawa Barat menghadap Laut Jawa yaitu
ditandai oleh paparan landai yang luas dengan alur sungai panjang dan air
mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan limpahan air ke pantai berawa
1787
348
1338
102
1641
262
610
1230
388
1053
1567
177
842
359
380
1500
154
1162
113
665
316
381
1262
389
919
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Lu
asa
n M
an
gro
ve
(ha)
1999
2006
2012
Gambar 12. Luas Hutan Mangrove Jawa Barat Tahun 1999 – 2012
33
sehinggga menyebabkan banyak terdapat endapan lumpur dan memiliki tutupan
mangrove yang tebal pada umumnya, serta ketinggian kurang dari 3 M diatas
permukaan laut, walupun mangrove yang teridentifikasi keberadaannya berada di
lahan pertambakan karena kondisi lahan yang landai ini dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk dijadikan kawasan tambak. Pesisir Selatan memiliki
karakteristik pesisir dan pantai menghadap kearah Samudera Hindia ditandai oleh
tebing perbukitan curam dan terjal dengan gelombang yang kuat dan pantai datar
berpasir yang menyelingi pesisir ini. karakteristik ini menyebabkan rendahnya
luas hutan mangrove dan jenis mangrove yang dapat bertahan dalam kondisi ini
kebanyakan mangrove asosiasi.
Penyumbang luas hutan mangrove yang besar di Jawa Barat dengan rata –
rata diatas 1.000 ha adalah Kabupaten Subang, Indramayu, Bekasi, Garut dan
Ciamis pada tahun 1999, sedangkan pada tahun 2012 terjadi penurunan hutan
mangrove yang drastis di Kabupaten Bekasi sebesar 975,46 ha atau 59% dari luas
pada tahun 1999. Menurut Forestian (2011) Hutan Mangrove di Kabupaten
Bekasi memiliki tingkat ancaman degradasi relatif tinggi, seperti konversi lahan
dan alih fungsi status lahan. Seperti yang terjadi di Muara Gembong pada tahun
1954 ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung tetapi berubah pada tahun 2006
statusnya menjadi Hutan Produksi Tetap (HPT), hal ini menyebabkan sebagian
wilayahnya menjadi tambak, sawah, kebun dan pemukiman.
Penurunan luas hutan mangrove yang drastis pada tahun 2012 terjadi pula
di Kabupaten Karawang yaitu sebesar 194,07 ha atau sebesar 56% dari tahun
1999. Penurunan luas mangrove di karawang ini lebih banyak dikarenakan
pembukaan lahan tambak, penggalakan hutan mangrove untuk kawasan
pariwisata dan terjadinya abrasi pada green belt yang teridentifikasi pada data
citra satelit tahun 1999, sedangkan pada tahun 2012 kawasan green belt hilang.
Hutan mangrove di Kabupaten Subang memiliki persebaran hutan
mangrove yang terluas di Jawa Barat. Tetapi kondisinya habitat hutan mangrove
di Kabupaten Subang berada di dalam tambak atau di sekeliling tambak (tambak
34
silvofishery), di pinggiran sungai dan membentuk green belt sepanjang garis
pantai. Penurunan luas hutan mangrove cukup besar di sini yaitu seluas 287,48 ha
tetapi bila dibandingkan dengan tahun 1999 penurunan ini hanya sebesar 16%.
Selain penurunan hutan mangrove, di beberapa Kabupaten terjadi
peningkatan luas hutan mangrove di tahun 2012. Peningkatan luasan hutan
mangrove terjadi di Kabupaten Cirebon, Tasikmalaya, Garut dan Cianjur. Luasan
hutan mangrove di Kabupaten Cirebon dibandingkan tahun 1999 mengalami
peningkat sebesar 11% atau 10,94 ha pada tahun 2012. Walaupun mengalami
peningkatan sebaran mangrove di Kabupaten Cirebon relatif sedikit, penggunaan
lahan banyak di gunakan untuk perumahan.
Hutan mangrove di Kabupaten Garut merupakan hutan mangrove terluas
yang berada di Pesisir Selatan Jawa Barat. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan
seluas 32,83 ha atau sebesar 3% dari tahun 1999. Hutan mangrove tersebar di
Kecamatan Cibalong dimana hutan ini dijadikan Cagar Alam Leuweung Sancang
sejak tahun 1978 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
370/Kpts/Um/6/1978. Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari hutan
mangrove dan hutan non mangrove (hutan tropis). Menurut Rochmah (2001)
kondisi hutan mangrove di Leuweung Sancang bersifat heterogen berpengaruh
terhadap komponen biotik antara lain menyebabkan terjadinya strata – strata dari
vegetasi mangrove disana atau menurut Nybakken (1988) kondisi tersebut
dikatakan hutan mangrove dengan tegakan alami.
35
4.4 Perubahan Luasan Hutan Mangrove
Perubahan hutan mangrove adalah bertambahnya atau berkurangnya
luasan hutan mangrove, hal ini berbeda dengan penurunan atau peningkatan
luasan hutan mangrove pada suatu periode. Perubahan hutan mangrove terjadi
apabila terjadi peningkatan luasan hutan mangrove akibat adanya pertumbuhan
hutan mangrove atau persebaran biji mangrove yang kemudian tumbuh di daerah
yang asalnya tidak terdapat mangrove, ataupun pengurangan hutan mangrove
terjadi apabila suatu daerah terdapat mangrove kemudian mangrove tersebut mati
atau hilang digantikan dengan tata guna lahan lainnya (Gambar 14).
Gambar 13. Peta Persebaran Hutan Mangrove Jawa Barat di Pesisir Utara Tahun
1999 (a) dan Tahun 2012 (b), Pesisir Selatan Tahun 1999 (c) dan Tahun 2012 (d)
(a) (b)
(c) (d)
36
Lingkaran merah pada gambar diatas menunjukan adanya abrasi di
Kabupaten Bekasi dimana pada tahun 1999 daerah tersebut merupakan daerah
pertambakan. Di sepanjang tanggul tambak di tumbuhi oleh vegetasi mangrove
dan pada garis pantai vegetasi mangrove membentuk green Belt, tetapi pada tahun
2006 tambak tersebut hilang tergerus air laut, beserta persebaran vegetasi
mangrove pada tahun 1999 dan menyebabkan pengurangan luasan hutan
mangrove. Abrasi di Kabupaten Bekasi selain terjadi pengurangan luasan terjadi
juga penambahan luasan hutan mangrove pada daerah abrasi diatas. Munculnya
spektrum warna hijau pada lingkaran merah tahun 2006 yang lebih luas di
bandingkan pada tahun 1999, terlihat pada daerah pada tahun 1999 lahan tambak
menjadi daerah perkembangan hutan mangrove pada tahun 2006 membentuk
green belt baru.
(a) (b)
Gambar 14. Garis Pantai di Kabupaten Bekasi Tahun 1999 (a) dan Tahun 2006 (b)
37
4.4.1 Faktor Penyebab Perubahan Luasan Hutan Mangrove
Gambar 15. Penambahan dan Pengurangan Luasan Hutan Mangrove
di Jawa Barat
Penambahan luasan hutan mangrove yang terjadi dari tahun 1999 sampai
dengan tahun 2012. Terlihat Kabupaten Subang mengalami penambahan luasan
yang cukup besar, yaitu sebesar 865,3 ha. Kabupaten Subang merupakan
kabupaten yang terletak di pesisir Utara Jawa Barat dengan morfologis dan
topografis pantainya yang dicirikan oleh bentuk pantai yang menjorok ke arah
daratan berbentuk teluk, seperti di wilayah Pantai Blanakan, serta menjorok
kearah laut berbentuk tanjung, seperti wilayah Pantai Legonkulon. Hal ini
menyebabkan adanya penambahan daratan atau akresi, pada penambahan daratan
ini menjadikan tumbuhnya mangrove baru (Gambar 16).
1152.7
26
9.5
829.8
5
89.0
7
1353.3
2
25.5
2
292.0
7
37.0
3
34.3
6
0
865.3
152.9
4
652.2
5
100.0
1
377.8
7
80.1
7
62
.75
69.8
6
17.4
9 133.2
1
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Lu
asa
n M
an
gro
ve
(ha) (-) mangorve
(+) mangrove
38
Terlihat pada daerah akresi terdapat mangrove yang tumbuh pada tahun
2006 tetapi sebelumnya terlihat pada data citra satelit pada tahun 1999 tidak
terdapat penambahan daratan sehingga setelah bertambahnya daratan tumbuh
mangrove baru menjadi green belt. Adapula mangrove yang sebelumnya tidak
terdapat pada tambak pada tahun 1999, pada tahun 2006 terklasifikasi adanya
mangrove yang tumbuh dan di verifikasi melalui google earth mangrove pada
tahun 1999 masih dalam tingkat tiang sehingga belum dapat teridentifikasi,
sedangkan pada tahun 2006 tumbuh menjadi pohon sehingga dapat teridentifikasi
pada data citra satelit. Adanya fungsi ekologis hutan mangrove di daerah ini
sebagai pelindung daratan dari abrasi dan penahan sedimentasi sungai dan pantai
sehingga terbentuk daratan baru sebagai tempat mencari, memijah dan
berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang (nursery ground).
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Subang (2007) Pemanfaatan
mangrove di Kabupaten Subang diperuntukan bagi kebutuhan sehari-hari
masyarakat yang tinggal di sekitarnya, terutama untuk dijadikan areal
Gambar 16. Perubahan Luasan Hutan Mangrove di Kabupaten Subang
Penambahan
Penambahan
Pengurangan
Pengurangan
39
pertambakan tumpangsari (silvofishery). Persebaran hutan mangrove di Subang
berada pada kawasan tambak. Adanya penambahan luasan mangrove di
Kabupaten subang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18. Pada tahun 1999 terdapat
mangrove sedangkan pada tahun 2006 mangrove tersebut hilang. Hal ini terjadi
karena adanya pemanfaatan kayu pohon mangrove untuk dijadikan bahan bakar
dan bahan bangunan, serta perkembangan keberadaan pohon mangrove di tambak
yang cenderung tetap atau dibatasi oleh tanggul ataupun digalakan oleh petani
tambak. Pengurangan terjadi pada tambak yang berada kearah daratan pada tahun
1999 merupakan lahan tambak yang berubah menjadi lahan pemukiman pada
tahun 2012.
Di Kabupaten Garut, Kecamatan Cibalong terjadi penambahan luasan
hutan mangrove, penambahan ini di sebabkan hutan mangrove di sana terjadi
perluasan secara alami. Dilihat dari karakteristik hutan di sana terdapat hutan
mangrove dan hutan tropis. Pada perkebangannya hutan mangrove di Kecamatan
Cibalong di dominasi oleh spesies Rhizophora mucronata (Rochmah 2001). Jenis
Gambar 17. Perubahan Luasan Hutan Mangrove di Kabupaten Garut
Pengurangan
Penambahan
40
mangrove Rhizophora mucronata mempunyai perakaran tunjang atau akar yang
keluar dari batang dan tumbuh kedalam substrat sehingga dapat merangkap
sedimentasi dan membentuk pertumbuhan pohon baru yang menyebabkan
semakin majunya vegetasi mangrove kearah laut (Gambar 17).
Penambahan luasan mangrove terjadi seperti yang di tunjukan lingkaran
berwarna kuning, terdapat penambahan luasan mangrove kearah daratan oleh
genus Aegiceras dan Xylocarpus (Rochmah 2001). Kedua jenis tersebut
penyebarannya pada kondisi tanah yang tidak terlalu sering mengalami genangan
air dan penyebarannya banyak di temukan ke arah daratan. Adapula terjadi
pengurangan luasan hutan mangrove seperti ditunjukan lingkaran berwarna
merah, kondisi dimana pada tahun 1999 teridentifikasi sebagai hutan mangrove
dan pada tahun 2012 teridentifikasi menjadi hutan tropis, hal ini menunjukan
adanya suksesi antara hutan mangrove dengan hutan tropis dimana menurut
Onrizal (2008) terjadinya suksesi hutan tropis dan hutan mangrove diakibatkan
adanya perubahan kondisi habitat tempat hidup seperti berkurangnya pasokan air
laut pada saat pasang atau pasokan air tawar pada saat surut, hal ini
mengakibatkan perubahan kualitas tanah yang menjadi tempat hidup tumbuhan
tersebut.
4.5 Hubungan Luasan Hutan Mangrove dengan Tambak dan Produksi
Budidaya Tambak dari Tahun 1999 – 2012
Hubungan luasan hutan mangrove dengan tambak dan produksi budidaya
tambak di Jawa Barat dari tahun 1999 sampai dengan 2012 ditunjukan dengan
perubahan luasan mangrove dan luasan tambak dengan perubahan produksi
budidaya tambak. Kondisi tersebut dapat terlihat berdasarkan data time series dari
luas tambak dan produksi budidaya tambak di Jawa Barat berdasarkan data dari
Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat (2011) (Gambar 18).
41
Gambar 18. Luas Tambak dan Produksi Budidaya Tambak di Jawa Barat dari
Tahun 1999 - 2011
Luas tambak di Jawa Barat pada tahun 1999 – 2000 hampir tidak terjadi
penambahan yang signifikan, tetapi pada tahun 2001 mulai terjadi penggalakan
tambak yang cukup luas yaitu sebesar 569 ha. Peningkatan tersebut berlanjut
sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2003 terjadi peningkatan yang sangat
signifikan yaitu sebesar 5.105 ha. Sampai dengan tahun 2006 hampir tidak terjadi
perubahan luas tambak yang berarti.
Pada tahun 2007 kembali terjadi peningkatan luas tambak sebesar 8.268 ha
tetapi pada tahun berikutnya tahun 2008 terjadi penurunan luas tambak sebesar
1.594 ha. Kejadian ini berlanjut sampai dengan tahun 2009, dan pada tahun 2010
terjadi peningkatan kembali sebesar 5.358 ha dan 953 ha pada tahun 2011.
Adanya program Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat untuk meningkatkan
produksi budidaya tambak menyebabkan banyaknya penggalakan lahan tambak
pada tahun 2007.
Nilai produksi budidaya tambak pada tahun 1999 – 2000 terjadi penurunan
nilai produksi sebesar 423 ton bila dilihat dari luas tambak pada tahun 2000 tidak
ada penambahan luas hingga menyebabkan turunnya produksi budidaya tambak,
tetapi pada tahun 2001 terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
200,000
Produksi (ton)
Tambak (Ha)
42
14.217 ton hal ini diimbangi dengan adanya peningkatan luasan tambak pada
tahun 2001. Pada tahun 2002 terjadi penurunan yang drastis sebesar 9.745 ton,
padahal terjadi penambahan luas tambak pada tahun 2001 – 2002 artinya pada
tahun tersebut produksi budidaya tambak masih belum optimal.
Pada tahun 2003 – 2004 mulai terjadi peningkatan nilai produksi secara
bertahap, tahun 2005 terjadi penurunan produksi kembali tetapi hal tersebut
digantikan dengan nilai produksi yang meningkat drastis pada tahun 2006 yaitu
sebesar 18.295 ton. Dan berlanjut pada tahun 2007 sebesar 12.983 ton, tahun 2008
sebesar 5.990 ton, tahun 2009 sebesar 24.171 ton dan peningkatan yang sangat
drastis pada tahun 2010 sebesar 44.341 ton, kemudian peningkatan terjadi kembali
di tahun 2011 sebesar 25.069 ton. Hingga total produksi di tahun 2011 mencapai
195.875 ton. Peningkatan nilai produksi ini sebanding dengan peningkatan luas
tambak yang terjadi di tahun 2007 sampai dengan 2011.
Akibat dari peningkatan luas tambak mengakibatkan banyaknya lahan
mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak, atau pembukaan tambak
intensif menggantikan tambak-tambak silvofishery, walaupun pada dasarnya
terjadi peningkatan produksi budidaya tambak yang drastis pada tahun 2007
sampai dengan 2011, di tahun 2012 terjadi penurunan luas hutan mangrove di
Jawa Barat.
Menurut Puspita (2005) perkembangan tambak yang pesat ini telah
memicu pembukaan areal mangrove secara besar-besaran untuk pembangunan
tambak. Pola budidaya yang diterapkan juga telah mengalami perubahan, sistem
budidaya yang tadinya bersifat tradisional telah bergeser ke arah sistem budidaya
semi intensif dan intensif menggunakan pakan buatan, pestisida (misalkan diazon
dan thiodan) dan penenbaran benih yang padat untuk memaksimalkan produksi.
Pengembangan dan pembangunan tambak yang dilakukan tanpa
memperhatikan kondisi lingkungan, telah berdampak negatif yang sangat besar.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Karawang pembukaan hutan mangrove untuk
43
pertambakan telah mengganggu kehidupan berbagai satwa liar, serta
menimbulkan abrasi pantai dan instruisi air laut ke daratan.
Keberadaan hutan mangrove di Jawa Barat saat ini sudah mulai terdesak
oleh pesatnya pembangunan dan telah banyak mengalami perubahan fisik dan
fungsi. Disisi lain, di beberapa daerah seperti di Selatan Jawa Barat ekosistem
mangrove yang alami terdesak oleh pembangunan untuk peruntukan lain.
Penurunan luasan mangrove ini tidak hanya berakibat pada hilangnya
keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya, namun lebih jauh telah
menimbulkan berbagai bencana atau ancaman serius bagi lingkungan pesisir.