Bab IV Fome Tn. Satiyo

11
BAB IV DIAGNOSTIK HOLISTIK PASIEN DAN PEMBAHASAN A. DIAGNOSTIK HOLISTIK 1. Aspek Personal a. Persepsi Pasien tentang Penyakitnya Pasien mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit diabetes mellitus. Pasien juga sudah mulai mengurangi makanan dengan kandungan gula yang tinggi dan rutin meminum obat yang diberikan. Pasien juga sudah rajin berolahraga dengan cara berjalan kaki setiap pagi di sekitar rumahnya. Namun pasien masih belum memahami komplikasi apa saja yang ditimbulkan oleh penyakitnya tersebut. Keluarga pasien juga terkesan cuek dan tidak terlalu peduli dengan penyakit yang diderita oleh pasien. b. Harapan Pasien Pasien berharap agar penyakitnya tidak bertambah parah dan tidak mengganggu aktivitasnya sehari – hari. c. Kekhawatiran Pasien Pasien tidak merasa khawatir dengan penyakit

description

ikm

Transcript of Bab IV Fome Tn. Satiyo

BAB IV

BAB IV

DIAGNOSTIK HOLISTIK PASIEN DAN PEMBAHASAN

A.DIAGNOSTIK HOLISTIK

1.Aspek Personal

Persepsi Pasien tentang Penyakitnya

Pasien mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit diabetes mellitus. Pasien juga sudah mulai mengurangi makanan dengan kandungan gula yang tinggi dan rutin meminum obat yang diberikan. Pasien juga sudah rajin berolahraga dengan cara berjalan kaki setiap pagi di sekitar rumahnya. Namun pasien masih belum memahami komplikasi apa saja yang ditimbulkan oleh penyakitnya tersebut. Keluarga pasien juga terkesan cuek dan tidak terlalu peduli dengan penyakit yang diderita oleh pasien.

Harapan Pasien

Pasien berharap agar penyakitnya tidak bertambah parah dan tidak mengganggu aktivitasnya sehari hari. Kekhawatiran Pasien

Pasien tidak merasa khawatir dengan penyakit yang dideritanya. Pasien juga tidak merasa khawatir apabila penyakit tersebut nantinya dapat diturunkan ke anak anaknya.

Aspek Klinis

Diagnosis

: Diabetes Mellitus tipe IIDiagnosis banding:

Faktor Internal

a.Perilaku kesehatanPerilaku kesehatan pasien masih kurang baik. Pasien dan keluarga masih belum mengerti tentang komplikasi yang ditimbulkan akibat penyakit yang dideritanya. Pasien sudah mulai mengontrol pola makannya dan rutin berolahraga, namun ia selalu keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki. Padahal apabila terluka, pasien dengan Diabetes Mellitus sulit untuk sembuh bahkan bisa lebih parah.

b.Persepsi tentang kesehatanPasien sudah menyadari bahwa kesehatan itu penting, akan tetapi keluarga pasien masih terkesan tidak peduli pada kesehatan dan selalu takut bila berobat ke dokter atau Puskesmas. Selama ini pasien berobat dengan menggunakan fasilitas kesehatan BPJS.

4.Faktor Eksternal

a.Sosial ekonomiPasien tergolong kepada ekonomi menengah ke bawah. Interaksi sosial pasien dengan masyarakat cukup baik, dan pasien cukup aktif dalam mengikuti kegiatan yang dilaksanakan di masyarakat.b.LingkunganLingkungan di dalam rumah pasien kurang memadai dan terlalu padat. Lingkungan sekitar pasien secara umum masih kurang bersih dan tidak tertata dengan baik. 5.Derajat Fungsional

DERAJAT BERAPA?PEMBAHASAN

Pasien Tn. S, berusia 64 tahun memiliki keluarga yang berbentuk extended family. Keluarga pasien terdiri atas 9 orang yaitu Tn. S yang merupakan kepala keluarga, lalu istrinya Ny. T (58 tahun), 3 orang anaknya (Ny. S, Tn. D dan Ny. E), 2 orang menantunya (Tn. S dan Ny. S) serta 2 orang cucunya yang masih balita (An. S dan An. A) yang tinggal bersama dalam satu rumah. Extended family (keluarga besar) adalah keluarga inti yang terdiri atas suami, istri dan anak kandung ditambah keluarga yang lain (karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejenis (guy/lesbian families) (Sudiharto, 2007).

Kurang lebih 7 tahun yang lalu, pasien dibawa ke IGD RSUD Dr. Moewardi karena tidak sadar. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata didapatkan kadar gula darah pasien 384 mg/dl. Pasien lalu didiagnosis Diabetes Mellitus tipe II. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai dengan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh karena adanya defek pada sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya (Waspandji, 2009). Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Waspandji, 2009; Guntur, 2006).Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl (Suyono S, 2006).

Menurut Suyono (2007), penyakit diabetes. Gaya hidup dengan pola diit yang tinggi lemak, garam, dan gula secara berlebihan mengakibatkan berbagai penyakit termasuk diabetes mellitus. Selain pola makan, faktor lain yang memberikan andil sangat besar pada prevalensi penyakit diabetes melitus tipe II adalah faktor keturunan atau genetik. Hal ini terbukti pada beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa orang yang memiliki riwayat keluarga menderita DM lebih berisiko daripada orang yang tidak memiliki riwayat DM.

Dari riwayat penyakit keluarga pasien Tn. S, diketahui bahwa salah satu saudara kandung pasien memiliki riwayat sakit gula. Terjadinya diabetes melitus tipe II akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini. Hal ini menandakan bahwa faktor genetik (keturunan) berperan sangat penting.

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Manifestasi dari komplikasi diabetes mellitus dapat berupa komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut misalnya terjadi hipoglikemi atau hiperglikemia, seperti KAD (ketoasidosis diabetikum) dan HHS (Hyperosmolar Hyperglicemic State) (Guntur, 2006). Pada saat pertama kali terdiagnosis Diabetes Mellitus, Tn. S dibawa ke IGD RSUD Dr. Moewardi karena tidak sadar. Penurunan kesadaran disertai kadar gula darah yang tinggi pada pasien mengindikasikan terjadinya suatu komplikasi akut. Komplikasi akut tersebut dapat berupa ketoasidosis diabetikum atau HHS (Hyperosmolar Hyperglicemic State).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, pasien dan keluarga belum sepenuhnya mengerti mengenai komplikasi yang mungkin terjadi kepada pasien DM. Bahkan terdapat suatu persepsi yang salah dalam keluarga pasien. Menurut keluarga pasien, penyakit gula dibedakan menjadi dua macam yaitu gula basah dan gula kering. Gula basah dipahami sebagai suatu penyakit gula yang disertai dengan adanya luka yang semakin besar. Sedangkan gula kering tidak ditandai dengan adanya luka. Keluarga dan pasien menganggap bahwa sakit gula yang diderita Tn. S adalah gula kering. Sehingga tidak perlu khawatir akan terjadinya luka yang sulit sembuh seperti sanak saudaranya yang harus diamputasi karena komplikasi DM.

Pemahaman ini mempengaruhi pola hidup pasien dan keluarga. Seperti misalnya, pasien tidak pernah menggunakan alas kaki apabila berpergian ke luar rumah. Pasien merasa tidak nyaman bila menggunakan alas kaki, selain itu keluarga juga terkesan tidak peduli dengan kebiasaan pasien tersebut. Padahal DM dapat mengakibatkan neuropati dimana terdapat gangguan sistem saraf perifer yang bisa mengakibatkan pasien tidak sadar bila terluka. Luka pada pasien DM akan lebih sulit sembuh dibandingkan orang normal akibat gangguan mikrovaskuler. Sehingga diperlukan adanya edukasi yang lebih lanjut dan mudah dipahami oleh keluarga dan pasien sendiri mengenai komplikasi yang bisa disebabkan akibat Diabetes Mellitus.

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2011).

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan (Piette, 2003). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, diperlukan edukasi terutama mengenai komplikasi penyakit Diabetes Mellitus kepada Tn. S dan keluarganya. Keluarga pasien juga perlu diberikan edukasi untuk bisa melakukan screening atau deteksi awal kadar gula darah sebab mereka juga memiliki risiko untuk terkena Diabetes Mellitus. Mengingat keluarga Tn. S yang masih takut untuk pergi ke dokter diperluka adanya suatu motivasi yang kuat supaya lebih menyadari pentingnya kesehatan itu sendiri.

Menurut pengakuan pasien, ia sudah berusaha mengatur porsi makannya supaya lebih sehat dan terhindar dari peningkatan kadar gula darahnya. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20% (Perkeni, 2011). Pasien juga sudah melakukan olahraga rutin berupa jalan-jalan pagi sebanyak 4x putaran keliling rumahnya. Latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien DM dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani yang dianjurkan bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang.

Pasien Tn. S mengkonsumsi obat metformin dalam menjaga kadar gula darahnya. Metformin (biguanid) merupakan penghambat glukoneogenesis yang selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi glukosa hati. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya di hati dan otot. Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas insulin melalui efek peningkatan ambilan glukosa di perifer (Mari, 2010).

Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American Diabetes Association/European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak meningkatkan berat badan (Perkeni, 2011; Rodbard et al., 2009).

Pasien mengaku sejak 1 bulan terakhir, padangannya menjadi kabur. Keluhannya ini sering muncul tiba tiba dan hilang timbul. Pasien mengatakan tidak mengetahui hal apa saja yang mungkin menyebabkan munculnya keluhan tersebut. Pandangan kabur yang dialami pasien Tn. S dapat menjurus ke arah salah satu komplikasi DM yaitu retinopati diabetikum. Retinopati DM pada tahap awal tidak menimbulkan gejala sehingga diperlukan skrining secara regular untuk mengidentifikasi dan menatalaksana retinopati. Program skrining DM adalah foto retina, mengirimkan gambar ke spesialis mata di pusat grading, menentukan komplikasi retinopati dan derajat keparahan, serta menawarkan penanganan yang tepat pasien.

DM dapat dicegah dengan tidak hanya berfokus pada pengobatan, tetapi juga pencegahan melalui upaya preventif dan promosi kesehatan. Deteksi dini dengan skrining telah menunjukkan hasil yang baik bahwa kadar glukosa darah dapat dikendalikan, terutama bila DM didiagnosis lebih dini. Diagnosis dini tidak hanya dilakukan pada pasien saja namun bagi keluarga pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terkena penyakit yang sama.

HUBUNGAN DENGAN TENSI TINGGI TN. S

HUBUNGAN DENGAN LINGKUNGAN RUMAH DAN SEKITAR

HUBUNGAN DENGAN KELUARGA

APALAGI?