BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS …

24
142 BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS PERSPEKTIF KEADILAN JENDER TERHADAP POLIGAMI DALAM ISLAM 4.1. Pendahuluan Analisis data penelitian terbagi kedalam dua bagian. Bagian pertamaberisitentang analisis deskriptifterhadap keragaman penafsiran tentang poligami oleh para mufasir, fukaha, dan feminis Muslim sehingga diperoleh gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya hakikat poligami di dalam Islam. Selanjutnya, dilakukan pemetaan atas keragaman penafsiran tentang poligami oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim tersebut ke dalam sebuah tipologi pemikiran Islam melalui tiga kategori: fundamental, moderat, dan liberal. Adapun bagian kedua, berisi tentang analisis kritis perspektif keadilan jender (tinjauan kritis studi jender dan teori keadilan jender Susan Moller Okin) terhadap poligami di dalam Islam. Dalam hal ini, analisis keadilan jender dilakukan terhadap dua hal, yakni: Pertama, ketentuan hukum positif di Indonesia (UUP No.1 tahun 1974 dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI) yang mengatur tentang pelaksanaan poligami di Indonesia; Kedua, data hasil penelitian LBH APIK Jakarta tentang praktik poligami di Indonesia. Secara umum, Bab IV ini berisi: pendahuluan, analisis data penelitian, dan penutup.

Transcript of BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS …

142

BAB IV

ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS PERSPEKTIF KEADILAN

JENDER TERHADAP POLIGAMI DALAM ISLAM

4.1. Pendahuluan

Analisis data penelitian terbagi kedalam dua bagian. Bagian

pertamaberisitentang analisis deskriptifterhadap keragaman penafsiran tentang

poligami oleh para mufasir, fukaha, dan feminis Muslim sehingga diperoleh

gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya hakikat poligami di dalam Islam.

Selanjutnya, dilakukan pemetaan atas keragaman penafsiran tentang poligami

oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim tersebut ke dalam sebuah tipologi

pemikiran Islam melalui tiga kategori: fundamental, moderat, dan liberal. Adapun

bagian kedua, berisi tentang analisis kritis perspektif keadilan jender (tinjauan

kritis studi jender dan teori keadilan jender Susan Moller Okin) terhadap poligami

di dalam Islam. Dalam hal ini, analisis keadilan jender dilakukan terhadap dua

hal, yakni: Pertama, ketentuan hukum positif di Indonesia (UUP No.1 tahun 1974

dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI) yang

mengatur tentang pelaksanaan poligami di Indonesia; Kedua, data hasil penelitian

LBH APIK Jakarta tentang praktik poligami di Indonesia. Secara umum, Bab IV

ini berisi: pendahuluan, analisis data penelitian, dan penutup.

143

4.2. Analisis Deskriptif terhadap Keragaman Penafsiran tentang Poligami

dalam Islam

4.2.1. Analisis Deskriptif terhadap Keragaman Penafsiran tentang Poligami

dalam Islam oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim.

Munculnya persoalan jender dewasa ini tidak terlepas dari adanya

benturan antara teks Kitab Suci, penafsiran terhadap teks Kitab Suci dan konteks

sosial yang melingkupinya. Ketika umat Muslim mengklaim dirinya sama-sama

berpegang pada teks Kitab Suci yang sama, namun kemudian terdapat keragaman

persepsi terhadap persoalan keadilan jender yang ada, maka hal ini menjadi

penting untuk dikritisi.1

Menurut penulis, pernyataan di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan

persoalan poligami di dalam Islam. Meski sama-sama mengacu pada Alquran,

khususnya dalam hal ini Q.S. an-Nisa’/4:3, namun penafsiran dan pemahaman

umat Islam terhadap poligami berbeda-beda. Hal ini, sebagaimana dinyatakan

oleh Umul Baroroh dalam Sukri (ed.), bahwa pada umumnya para fukaha dan

mufasir dalam membicarakan perihal poligami selalu mengacu Q.S. An-Nisa’/4:3.

Meski demikian, pemahaman mereka sangat beragam dan berkembang seiring

dengan perkembangan zaman dan konteks kehidupan. Pada masa lalu, para fukaha

telah menafsirkan ayat tersebut sebagai sebuah kewenangan bagi kaum laki-laki

untuk melakukan poligami, tanpa disertai adanya batasan persyaratan tertentu.

Meski ada dari sebagian mereka yang mensyaratkan berlaku adil terhadap para

istri, tetapi hal tersebut hanya sebatas keadilan lahiriah. Selanjutnya, para mufasir,

1 Lihat Pengantar Redaksi, Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (terj. Agus

Nuryatno), (Yogyakarta: LKis, 2007), v.

144

meski tidak secara tegas melarang poligami, namun mereka cenderung sedikit

lebih mempersulit pelaksanaan poligami yakni dengan mempersyaratkan

perlakuan adil terhadap istri, sebagai perihal yang sulit untuk dipenuhi. Sementara

itu, dengan memperhitungkan konteks, para feminis Muslim melarang poligami

karena persyaratan keadilan yang ditetapkan di dalam Alquran menurutnya adalah

hal yang mustahil untuk dapat dipenuhi. Adapun dalam hukum positif di

Indonesia, poligami diperkenankan dengan alasan dan kondisi khusus serta harus

mendapatkan izin dari pengadilan.2

Para fukaha yang dimaksud oleh Baroroh dalam tulisannya tersebut adalah

fukaha klasik seperti Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Sementara itu, yang disebut

mufasir adalah Ibnu Katsir dan Al-Zamakhsyari. Selanjutnya, dalam tesis ini

penulis menambahkan para mufasir Indonesia seperti: HAMKA dan Hasbi ash-

Shiddiqy. Adapun feminis Muslim yang disebut adalah Asghar Ali Engineer dan

Amina Wadud Mukhsin. Di sini, penulis juga menambahkan tokoh lain yang

masuk dalam kategori modernis Islam dan feminis Muslim. Tokoh tersebut, antara

lain: Muhammad Abduh (Mesir), Nawal El-Saadawi (Mesir), dan Siti Musdah

Mulia (Indonesia).

Perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang poligami, juga dikemukakan

oleh Anik Farida yang menyatakan bahwa dalam memandang persoalan poligami,

para ulama telah terbelah kedalam tiga spektrum pandangan yang berbeda.

Pertama, kalangan yang berpendirian bahwa poligami merupakan salah satu

sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani oleh kaum laki-laki, khususnya bagi

2Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Bias Jender

dalam Pemahaman Islam, (Ed. Sri Suhandjati Sukri), 69-78.

145

mereka yang memiliki kemampuan secara material dan kesanggupan untuk

bertindak adil. Menurut kelompok ini, tidak ada batasan jumlah maksimal

perempuan yang bisa dinikahi. Kedua, ulama yang berpandangan bahwa poligami

dapat diperbolehkan dengan batasan maksimal 4 orang istri. Mengenai perihal

pernikahan Nabi Muhammad saw yang lebih dari empat istri, oleh kelompok ini

diposisikan sebagai khususiyat al-Nabi.3 Sebagaimana pendapat kelompok

pertama, pada kelompok kedua ini juga masih dimungkinkan atau dibolehkannya

laki-laki menikah lebih dari satu orang istri, namun disini disertai dengan

persyaratan mampu dan dapat berlaku adil diantara istri-istrinya. Ketiga, ulama

yang melarang praktik poligami. Pendapat ini banyak dikemukakan oleh modernis

Islam dan feminis Muslim.4

Pendapat Baroroh dan Farida di atas, memberikan gambaran yang cukup

jelas bahwa di dalam memandang persoalan poligami di dalam Islam telah terjadi

adanya perbedaan penafsiran oleh para ulama (fukaha dan mufasir), modernis

Islam dan feminis Muslim. Dari kedua pendapat tersebut, secara tersirat dapat

diketahui bahwa penyebab bagi terjadinya perbedaan penafsiran tentang poligami

oleh para ulama, modernis Islam dan feminis Muslim adalah terletak pada

perbedaan metode pendekatan yang digunakan. Para fukaha klasik cenderung

menggunakan metode tekstual, para mufasir menggunakan metode tekstual-

kontekstual, sementara itu, para modernis Islam dan feminis Muslim

menggunakan metode kontekstual.

3Khususiyat al-Nabi atau khususiyat al-Rasul adalah arti dari kata “kekhususan bagi Nabi

sendiri”. 4 Farida, Menimbang Dalil Poligami:antara teks, konteks dan praktek, 25-28.

146

Terkait dengan penggunaan metode tafsir oleh para ulama di dalam

menafsirkan ayat tentang poligami, penulis menemukan sejumlah literatur yang

didalamnya membahas tentang metode tafsir yang lazim digunakan oleh para

mufasir di dalam menafsirkan ayat-ayat poligami di dalam Alquran. Literatur

tersebut berupa buku-buku yang dikarang oleh para pemerhati masalah jender dan

tafsir jender di Indonesia, antara lain: Nashruddin Baidan, Nurjannah Ismail,

Hamka Hasan, Nasaruddin Umar dan Siti Ruhaini Dzuhayatin. Dalam literatur

tersebut dijelaskan bahwa ada empat metode yang lazim digunakan oleh para

mufasir di dalam menafsirkan ayat tentang poligami dalam Alquran. Keempat

metode tafsir tersebut meliputi: ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Secara

lebih detail, Nurjannah Ismail menjelaskan keempat metode tafsir tersebut sebagai

berikut: pertama, tafsir ijmali adalah penjelasan ayat-ayat Alquran secara ringkas

tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak

dibaca; Kedua, tafsir tahlili adalah cara penafsiran yang menggunakan penalaran

dimana mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari

berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana

tercantum di dalam mushaf. Ketiga, tafsir Muqarin adalah membandingkan teks

ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua

kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang

sama; membandingkan ayat Alquran dengan hadits yang pada lahirnya terlihat

bertentangan; membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan

Alquran; dan Keempat, tafsir maudhu’i adalah membahas ayat-ayat Alquran

147

sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan.5 Sementara itu, Nurjannah

membedakan tafsir tahlili, menjadi dua macam yakni tafsir bi al-ma’tsur dan

tafsir bi ar-ra’yi.6 Terkait tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra’yi, Dzuhayatin

menyatakan bahwa di dalam menafsirkan Alquran, sebagian mufasir ada yang

menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur (penafsiran Alquran yang bersandarkan

pada Alquran, hadist atau ijtihad sahabat) dan sebagian yang lain menggunakan

metode tafsir bi ar-ra’yi (penafsiran Alquranyang bersandar pada logika berpikir

penafsir sendiri).7

Terkait dengan adanya perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para

fukaha, mufasir dan feminis Muslim di dalam memandang persoalam poligami

dalam Islam, di dalam teori Okin telah disebutkan, bahwa “sudah menjadi sebuah

keharusan, bahwa segala sesuatu itu akan terus berada dibawah perbedaan

pendapat.”8 Dengan demikian, berarti bahwa, perbedaan penafsiran tentang

perihal poligami dalam Islam oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim

merupakan hal yang wajar terjadi. Apalagi hal ini terkait erat dengan pembahasan

tentang keadilan sebagai salah satu syarat dibolehkannya poligami dalam Islam.

Selanjutnya beralih kepada persoalan keadilan jender, bahwa seiring

dengan munculnya kesadaran akan keadilan dan kesetaraan jender dikalangan

perempuan, persoalan poligami dalam Islam kini menjadi sebuah persoalan

5 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran,

(Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-18. 6 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran,

(Yogyakarta: LKiS, 2003), 16. 7 Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam

Islam, Kata Pengantar, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002), viii-

ix. 8 Okin, Justice, Gender, and The Family, 68.

148

keadilan jender yang sangat penting untuk dikritisi. Menurut Hamka Hasan, untuk

mewujudkan kesetaran jender, kesadaran jender dapat muncul dengan melibatkan

faktor teologis yakni melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama.9 Adapun Fakih

berpendapat bahwa dengan dilakukannya kajian kritis, diharapkan akan

mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama.10

Jika kedua pendapat

tersebut kemudian dikaitkan dengan maraknya kemunculan pandangan para

feminis Muslim terhadap poligami dalam Islam khususnya pada beberapa dekade

terakhir ini, maka dapat dikatakan bahwa penafsiran tentang poligami oleh

feminis Muslim merupakan hasil kajian kritis yang dilakukan melalui

reinterpretasi terhadap ayat tentang poligami yang dianggap bias jender.

Melalui tafsir jender, para feminis Muslim mencoba mengkritisi persoalan

poligami di dalam Alquran. Terkait hal ini, Yunahar Ilyas dengan menyitir

Engineer, menyatakan bahwa sesungguhnya yang digugat oleh para feminis

Muslim bukanlah teks kitab suci Alquran itu sendiri, tetapi lebih kepada

penafsiran para mufasir yang dianggap tekstual dan bias jender. Engineer

mengkritik dengan tajam penggunaan metode para mufasir yang dalam

memahami ayat Alquran semata-mata hanya berdasarkan pendekatan teologis

semata tanpa mempertimbangkan pendekatan sosiologis. Bagi Engineer,

penafsiran terhadap teks Alquran seharusnya dilakukan dengan menggunakan

pendekatan sosio-teologis.11

Sederet nama terkenal dengan latar belakang yang

berbeda, seperti: Asghar Ali Engineer, Nawal El-Saadawi, Fatima Mernissi, dan

9 Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, Seri

Disertasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 99. 10

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), 134. 11

Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir, 4.

149

Amina Wadud Muchsin, telah membahas perihal poligami dalam Islam. Adapun

feminis Muslim Indonesia yang sangat keras menentang terjadinya praktik

poligami adalah Siti Musdah Mulia, sebagaimana terdapat dalam karyanya Islam

menggugat Poligami.

Dari pembahasan mengenai metode tafsir yang lazim digunakan di dalam

penafsiran terhadap ayat tentang poligami, maka dapat disimpulkan bahwa dalam

menafsirkan ayat tentang poligami, ada kecenderungan para fukaha menggunakan

metode tafsir tahlili, sementara itu para mufasir menggunakan metode tafsir

muqarin. Adapun kaitannya dengan metode tafsir bi al-ma’tsur dan metode tafsir

bi ar-ra’yi sebagaimana yang dinyatakan oleh Dzuhayatin, maka ada

kecenderungan bahwa para fukaha telah menggunakan metode tafsir bi al-

ma’tsur, para mufasir menggunakan gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dan

tafsir bi ar-ra’yi, adapun para feminis Muslim menggunakan tafsir bi ar-ra’yi.

Poligami merupakan sebuah fenomena sosial keagamaan yang

keberadaannya dari dulu hingga kini terus diperdebatkan oleh berbagai kalangan.

Jika dicermati secara seksama, maka terjadinya perdebatan tentang poligami di

dalam Islam sesungguhnya bersumber pada adanya perbedaan metode pendekatan

yang digunakan di dalam menafsirkan ayat tentang poligami di dalam Alquran

oleh para ulama (baik Fukaha maupun Mufasir). Perbedaan tersebut menjadi

semakin jelas terlihat ketika para feminis Muslim yang dengan melibatkan

konteks turunnya Alquran, telah mengkritisi penafsiran ayat poligami yang

dianggap tekstual dan bias jender. Intinya disini dapat disimpulkan bahwa,

perbedaan penggunaan metode pendekatan dan sudut pandang di dalam penafsiran

150

ayat tentang poligami dalam Alquran, telah menjadi penyebab bagi terjadinya

perbedaan pemahaman terhadap ayat tentang poligami diantara para ulama dan

feminis Muslim. Perbedaan penafsiran tersebut selanjutnya berimbas kepada

adanya keragaman pemahaman umat Islam dalam memandang persoalan poligami

di dalam Islam.

4.2.2. Tipologi Pemikiran Islam (Fundamental, Moderat dan Liberal) tentang

Penafsiran tentang Poligami dalam Islam.

Untuk membuat sebuah tipologi pemikiran terhadap penafsiran tentang

poligami dalam Islam, penulis mengalami tingkat kesulitan tersendiri karena harus

diakui bahwa term yang dipilih (fundamental, moderat dan liberal), belum lazim

diterapkan khususnya dalam pembahasan mengenai tipologi pemikiran Islam. Di

sini penulis benar-benar harus melakukannya dengan penuh kehati-hatian agar

nantinya “tidak terpeleset ke arah bias dan pejoratif” (meminjam istilah Syahrin

Harahap). Hal ini sebagaimana dinyatakan Syahrin Harahap ketika membahas

tentang “Islam dan fundamentalisme”. Menurutnya, term “fundamentalisme”

sangat merepotkan bila dihubungkan dengan Islam. Selain karena tidak tepat jika

digunakan terhadap corak keberagaman, berbagai diskusi di kalangan umat Islam

juga telah menolak penggunaan istilah tersebut dengan menyebutnya sebagai

istilah yang bias dan pejoratif.12

Meski demikian, dalam pembahasannya lebih

lanjut, Harahap menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut kini tidak dapat

lagi dihindari karena kita hidup di era global. Adapun, menyitir Bernald Lewis,

seorang ahli sejarah Islam menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut saat ini

12

Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam

Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 234

151

sudah mapan dan dapat diterima.13

Pendapat inilah yang akhirnya mendorong

penulis untuk berani menggunakan istilah-istilah seperti fundamental, moderat

dan liberal di dalam membuat sebuah tipologi pemikiran Islam terkait keragaman

penafsiran poligami dalam Islam. Hal ini dipilih penulis dengan sebuah

pertimbangan, yakni: agar dapat lebih mudah untuk dipahami.

Setelah dilakukan pendekatan melalui pemahaman makna dari berbagai

istilah, akhirnya dapat disimpulkan oleh penulis, bahwa pandangan mengenai

poligami dalam Islam dapat dipetakan kedalam tiga kategori pemikiran Islam,

yakni: fundamental, moderat dan liberal. Pertama, Pemikiran Islam Fundamental.

Pemikiran ini terdapat pada ulama yang berpendapat bahwa poligami adalah

sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani, khususnya bagi laki-laki yang memiliki

kemampuan secara material dan kesanggupan untuk bertindak adil. Poligami

disini dapat dilakukan tanpa adanya batasan mengenai jumlah isteri yang boleh

dipoligami. Pemikiran ini terdapat pada fukaha klasik seperti Imam Syafi’i dan

Abu Hanifah. Kedua, pemikiran Islam Moderat. Pemikiran ini terdapat pada

ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dalam batas

maksimal 4 orang perempuan, dengan catatan mampu dan dapat berlaku adil

diantara istri-istrinya. Pemikiran ini terdapat pada para mufasir seperti Ibnu Katsir

dan Al-Zamakhsyari. Ketiga, pemikiran Islam Liberal. Pemikiran ini terdapat

pada pemikiran ulama yang melarang praktek poligami, termasuk didalamnya

adalah pendapat modernis Islam dan feminis Muslim. Pemikiran ini antara lain

13

Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan

Modern di Indonesia, 234-235.

152

terdapat pada Muhammad Abduh, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernisi, Amina

Wadud Mukhsin, dan di kalangan Indonesia seperti Siti Musdah Mulia.

Untuk lebih mudah dipahami, berikut ini penulis tuangkan ke dalam

bentuk sebuah bagan mengenai tipologi pemikiran Islam tentang keragaman

penafsiran terhadap poligami di dalam Islam.

153

Bagan Tipologi Pemikiran Islam

tentang Keragaman Penafsiran terhadap Poligami di dalam Islam.

Sumber: Data diolah oleh penulis (Pebruari 2016).

Kitab Suci Alquran (Q.S. 4:3)

Tafsir terhadap Q.S. 4:3

Fukaha:

Poligami merupakan

sunnah Nabi.

Dilakukan tanpa

adanya batasan jumlah

istri.

Tokoh: Imam Syafi’i

dan Imam Hanafi.

Dalil: Q.S. 4:3

Metode Penafsiran:

tekstual, tahlili, bi-al

ma’tsur.

Mufasir:

Poligami adalah hal

yang dibolehkan oleh

agama.

Dilakukan dengan

batasan maksimal 4

istri disertai syarat

mampu berlaku adil

diantara istri-istri.

Tokoh: Ibnu Katsir,

Al-Zamakhsyari,

HAMKA, Hasbi ash-

Shiddiqy.

Dalil: Q.S. 4:3 dan

Q.S. 4:129

Metode Penafsiran:

tekstual - kontekstual,

muqarin, bi-al

ma’tsur-bi-ar’rayi.

Modernis Islam dan

Feminis Muslim:

Poligami sebaiknya

dilarang.

Tokoh: Muhammad

Abduh, Asghar Ali

Engineer, Amina

Wadud Mukhsin,

Fatima Mernisi, Nawal

El-Saadawi , Siti

Musdah Mulia.

Dalil: Q.S. 4:3, Q.S.

4:129 dan semua ayat

yang membahas

perkawinan

Penafsiran secara

kontekstual, bi-ar’rayi.

Pemikiran Islam

Fundamental

Pemikiran Islam

Moderat

Pemikiran Islam

Liberal

154

4.3. Analisis Kritis Keadilan Jender terhadap poligami dalam Islam

4.3.1. Analisis kritis terhadap ketentuan hukum positif di Indonesia yang

mengatur tentang pelaksanaan Poligami.

Teori keadilan jender Susan Moller Okin merupakan sebuah teori politik,

moral dan sekaligus jender, yang berisikan tentang bagaimana seharusnya

keadilan jender itu dapat diterapkan di dalam sebuah keluarga yang telah dibentuk

melalui lembaga perkawinan. Teori ini berangkat dari sebuah isu utama

feminisme bahwa perempuan adalah manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang

berhak mendapat tempat yang sama dengan laki-laki, baik dalam teori politik

maupun moral.14

Secara tersirat, Okin juga menyatakan bahwa sistem jender yang

berkembang dalam masyarakat merupakan hal yang sangat bertentangan dengan

nilai-nilai demokrasi khususnya terkait dengan nilai “kebebasan dan keadilan

untuk semua”.15

Teori Okin memang tidak secara khusus membahas tentang perkawinan

poligami sebagaimana yang menjadi tema utama dari tesis ini. Namun,

pembahasan yang ada di dalam teori tersebut sangatlah penting untuk diangkat

sebagai starting point bagi penulisan tesis ini. Salah satu diantaranya adalah

pernyataan Okin yang mengatakan bahwa kehidupan sebuah rumah tangga itu

harus adil. Adapun keadilan itu sendiri harus diperkuat oleh negara melalui sistem

hukumnya.16

Dalam pandangan Okin, kesetaraan antara jenis kelamin termasuk

14

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 61. 15

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 3. 16

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 126.

155

didalamnya adalah keluarga atau dimanapun, tidak akan pernah terwujud selama

tidak ada perubahan hukum, politik dan sosial yang menyertainya.17

Menurut Okin, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktikkan di

dalam masyarakat memiliki ciri khas, yakni tersusun berdasarkan jender. Hal ini

merupakan sebuah bentuk ketidakadilan.18

Bagi Okin, keluarga dan perkawinan

merupakan poros dari sistem sosial jender yang membuat perempuan rentan

terhadap ketergantungan, eksploitasi, dan kekerasan.19

Sebuah pernikahan secara

tidak disadari telah menyembunyikan ketimpangan sosial yang dibangun

perempuan melalui pernikahannya.20

Pembagian kerja secara seksual telah

menjadi bagian fundamental dari adanya sebuah kontrak pernikahan.21

Intinya

bahwa, keluarga dan perkawinan dalam praktiknya telah menjadi sebuah lembaga

yang tidak adil.

Bagi Okin, keluarga yang ideal adalah keluarga yang menjadikan keadilan

sebagai suatu kebajikan yang penting.22

Keluarga adalah sekolah moral pertama

yang mengajarkan tentang nilai-nilai keadilan kepada generasi penerus bangsa.23

Ketika terjadi persoalan ketidak-adilan pada perempuan dan anak-anak,

khususnya dalam kehidupan institusi rumah tangga, maka hal penting yang

diusulkan oleh Okin didalam teorinya adalah perlunya dilakukan sebuah reformasi

sosial seperti perubahan kebijakan publik dan reformasi hukum.24

17

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 117. 18

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 4. 19

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 135. 20

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 5. 21

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 6. 22

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 32. 23

Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 18. 24

Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, 81.

156

Itulah sekilas gambaran dari teori keadilan jender Susan Moller Okin yang

telah menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan sebuah analisis kritis terhadap

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia dan

Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pelaksanaan poligami.

Sebagaimana telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, bahwa dalam

hukum positif di Indonesia, poligami telah di atur pelaksanaanya di dalam

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 3, 4 dan 5) dan

Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI (pasal 55 s/d

59).

Pada UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1 dinyatakan secara tersirat bahwa

pada dasarnya asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Selanjutnya, pada

ayat 2 disebutkan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami

untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.” Jika dicermati dengan seksama maka kedua ayat tersebut telah

memperlihatkan adanya sebuah ambiguitas. Pada ayat 1, disebutkan bahwa asas

perkawinan adalah monogami, namun pada ayat 2, dimunculkan asas monogami

terbuka. Hal ini ditandai dengan sebuah pernyataan bahwa, apabila dikehendaki

oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka seorang suami dapat beristri lebih dari

seorang, yang dalam hal ini setelah diberikan izin oleh pengadilan.

Selanjutnya, beralih pada pihak yang boleh melakukan poligami menurut

UUP No 1 tahun 1974. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (2) disebut dengan jelas

bahwa pihak yang berhak mendapat izin dari pengadilan untuk melakukan

poligami adalah kaum laki-laki (suami). Hal ini menunjukkan bahwa secara

157

legalitas hukum, poligami hanya diperbolehkan bagi kaum laki-laki, dan tidak

bagi kaum perempuan. Jika hal tersebut dicermati dari sudut pandang hukum

Islam, maka sejatinya ketentuan tersebut tidak berbeda dengan ketetapan yang ada

di dalam Alquran, dimana laki-laki diberi kebolehan untuk melakukan poligami

dengan syarat-syarat tertentu (Q.S. An-Nisa’/4:3), sedangkan poliandri merupakan

hal yang diharamkan atau terlarang bagi perempuan (Q.S. An-Nisa’/4:24).

Masih berkaitan dengan pasal 4 UUP. Dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan

bahwa pemberian izin untuk poligami dilakukan oleh pengadilan kepada seorang

suami yang akan beristri lebih dari seorang karena adanya tiga alasan, yakni: (a)

Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) Istri mendapat cacat

badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) Istri tidak dapat

melahirkan keturunan.

Jika pasal 4 ayat 2 point (a) UUP diperhatikan dengan seksama, maka

disana terlihat adanya sebuah istilah yang memiliki makna ambigu dan bias

jender, yakni tentang “kewajiban istri”. Dalam point (a) tersebut, tidak disebutkan

dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “kewajiban istri”.

Kewajiban istri dalam hal apa? Apakah yang dimaksud adalah kewajiban istri

dalam hal seksual, ataukah yang lainnya? Hal ini tentunya perlu mendapat

perhatian lebih lanjut, agar nantinya menjadi lebih jelas di dalam penerapannya.

Selanjutnya, jika pasal 4 ayat 2 ditinjau dari sudut pandang jender, maka

disana terlihat adanya sifat patriarkis dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Hal ini dapat terlihat dari tiga alasan yang disebut terkait dengan syarat pemberian

izin poligami oleh pengadilan. Hanya karena alasan seorang istri tidak dapat

158

melayani suami dengan baik, cacat tubuh, dan tidak dapat melahirkan keturunan,

undang-undang kemudian memberi celah kepada kaum laki-laki untuk beristri

lebih dari seorang. Lantas, disini pun muncul sebuah pertanyaan: bagaimana jika

ternyata keadaanya justeru kebalikannya, yakni: suami tidak dapat melayani istri

dengan baik, suami mengalami cacat tubuh, dan mandul? Apakah seorang istri

kemudian juga boleh berpoligami (poliandri)? Ternyata jawabannya adalah tidak!

Namun demikian, ada sebuah solusi yang mungkin dapat menjadi jawaban atas

pertanyaan tersebut. Undang-undang perkawinan kita ternyata memberi celah

kepada seorang istri yang merasa tidak bahagia dengan perkawinannya untuk

melakukan gugat cerai terhadap suami. Setelah terjadi perceraian, barulah seorang

perempuan dapat menikah lagi dengan laki-laki lain (hal ini tentunya bagi

perempuan yang masih menghendaki untuk menikah lagi).

Beralih pada pasal 5 UUP tahun 1974. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan

bahwa bagi suami yang akan mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk

melakukan poligami, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-

undang ini, maka harus dipenuhi syarat-syarat: (a) adanya persetujuan dari

istri/istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan

hidup istri-istri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan

berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa persetujuan yang

dimaksudkan pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami

apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat

menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama

159

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu

mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Dari bunyi Pasal 5 ayat 2 di atas, terlihat bahwa persetujuan dari istri/istri-

istri, bukanlah hal yang mutlak sebagai sebuah persyaratan untuk seorang suami

dapat melakukan poligami. Hal ini karena persyaratan tersebut ternyata dapat

diselesaikan melalui putusan Hakim Pengadilan. Dalam pandangan penulis, pasal

5 ayat 2 terlihat sangat kontradiktif dengan pasal 5 ayat 1 huruf a. Dalam hal

persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami, kewenangan hakim

adalah lebih kuat kedudukannya daripada izin dari istri yang akan dipoligami.

Beralih kepada analisis terhadap Inpres No. 1 tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam/KHI. Bahwa ketentuan pelaksanaan poligami dalam KHI

terdapat pada Buku Pertama tentang Hukum Perkawinan, khususnya pada pasal

55 sampai dengan 59. Dengan melihat pasal-pasal tersebut maka dapat terlihat

bahwa ketentuan tentang pelaksanaan poligami tersebut adalah hampir sama

dengan ketentuan yang terdapat pada UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan di

Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat disoroti dari pasal-pasal tentang

ketentuan pelaksanaan poligami di dalam KHI sebagai berikut:

1. Pasal 55 KHI dalam pandangan penulis adalah merupakan

pengejawantahan dari Q.S. 4:3, yakni tentang jumlah maksimal istri yang

boleh dipoligami adalah 4 orang istri dan adanya syarat harus mampu

berlaku adil diantara istri-istri dan anak-anak yang dimiliki.

2. Pasal 56 ayat 1 yang menyatakan bahwa suami yang hendak beristri lebih

dari satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Menurut penulis,

160

ketentuan ini dapat dipandang sebagai hal yang kurang adil bagi istri yang

hendak dipoligami, sebab izin dari istri dalam ketentuan ini terlihat seolah

kekuatan hukumnya lebih rendah dibanding dengan izin dari Pengadilan

Agama.

3. Pasal 57 KHI tentang tiga alasan Pengadilan Agama dalam pemberian izin

bagi suami yang hendak berpoligami. Dalam pasal ini, ketiga alasan yang

diberikan menurut penulis tidak pernah sedikitpun disebut di dalam Islam

(baik Alquran maupun Hadits). Dalam Islam, disebutkan bahwa kaum

laki-laki yang hendak berpoligami harus mampu berlaku adil terhadap

istri-istrinya (Q.S. An-Nisa’/4: 3), yakni sebuah syarat yang sangat mudah

untuk diucapkan, tetapi sangat sulit di dalam penerapannya.

4. Pasal 58 dan 59 berisikan ketentuan mengenai persetujuan/izin istri yang

hendak dipoligami. Dalam pasal 58 ayat 1 point (a) dan (b) disebutkan

tentang syarat-syarat untuk memperoleh izin bagi suami yang hendak

berpoligami, yakni adanya persetujuan dari istri dan kepastian bahwa

suami mampu menjamin keperluan istri dan anak-anak mereka. Adapun

dalam pasal 58 ayat 2 dan 3 serta pasal 59, menunjukkan bahwa

kedudukan dari persetujuan istri lagi-lagi berada dibawah kedudukan dari

persetujuan final yang diberikan oleh Pengadilan Agama yakni melalui

penilaian Hakim.

Jika kedua hukum positif tersebut diperhatikan dengan seksama maka

terlihat bahwa diantara keduanya memiliki banyak kesamaan, diantaranya adalah:

Pasal 4 ayat 1 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 56 ayat 2; Pasal 4 ayat 2

161

memiliki kesamaan substansi dengan pasal 57, pasal 5 ayat 1 (point a dan b)

memiliki kesamaan substansi dengan pasal 58 (point a dan b); dan terakhir adalah

pasal 5 ayat 2 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 58 ayat 3.

Dengan melihat adanya kesamaan diantara kedua hukum positif tersebut,

maka penulis menyimpulkan bahwa UU No.1 tahun 1974 lebih merupakan

pengejawantahan dari hukum Islam semata. Dalam pandangan penulis, jika UU

tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan umat Islam, mungkin tidak akan

menjadi sebuah persoalan yang berarti. Persoalannya menjadi berbeda, ketika

pasal-pasal tersebut ternyata menjadi bagian dari Undang-undang Perkawinan

Nasional, yakni sebuah undang-undang yang seharusnya dapat menjadi payung

hukum bagi setiap warga negara yang ada di Indonesia tanpa boleh memandang

perbedaan apapun, khususnya dalam hal ini agama. Oleh karena itu, disini penulis

berpendapat bahwa sebagaimana halnya keadilan, sebuah undang-undang dalam

sebuah negara juga seyogyanya ditujukan secara universal kepada seluruh warga

negara, tanpa melihat adanya faktor pembeda seperti agama dan jenis kelamin.

Ketika sebuah undang-undang hanya berpihak kepada kepentingan salah satu

agama dan jenis kelamin tertentu saja, maka hal tersebut harus dapat ditinjau

kembali agar nantinya dapat menjadi sebuah undang-undang nasional yang lebih

egaliter dan berkeadilan jender.

Secara garis besar, inti yang dapat ditarik dari analisis terhadap Pasal 3, 4,

dan 5 adalah bahwa Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 tahun 1974 adalah bersifat

ambigu, patriarkis dan bias jender. Dikatakan bersifat ambigu, karena di dalam

ketiga pasal tersebut ditemukan beberapa hal yang terlihat saling bertentangan di

162

antara ayat yang ada. Misalnya adalah : pada pasal 3 (antara ayat 1 dengan ayat 2)

menyangkut asas perkawinan monogami; selanjutnya pada pasal 5 (antara ayat 1

point (a) dengan ayat 2) menyangkut perihal persetujuan dari istri. Pada ayat 1

point (a) disebutkan bahwa untuk mengajukan permohonan izin kepada

pengadilan, harus disertai adanya persetujuan dari istri, namun pada ayat 2

Persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami dikatakan menjadi tidak

diperlukan lagi, apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan

tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, dan sebagainya. Menurut penulis,

selain ambigu, pasal ini juga telah memberi ruang/celah bagi kaum laki-laki

untuk melakukan poligami.

Selanjutnya, dikatakan bersifat patriarki. Hal ini karena substansi yang ada

dari ketiga pasal tersebut menurut penulis tidak memihak kaum perempuan. Hal

ini dapat terlihat dengan jelas di dalam Pasal 4 ayat 2 mengenai tiga butir

persyaratan terkait pemberian izin oleh pengadilan terhadap suami yang akan

melakukan poligami, yakni: (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai istri; (b) Istri mengalami cacat badan; dan (c) Istri tidak dapat melahirkan

keturunan/mandul. Adapun dikatakan sebagai bias jender, hal ini tercermin pada

kalimat yang terdapat pada pasal 4 ayat 2 point (a), yakni Istri tidak dapat

menjalankan kewajiban sebagai istri.

4.3.2. Analisis Kritis terhadap Data LBH-APIK Jakarta tentang Realita Poligami

di Indonesia.

LBH_APIK Jakarta adalah salah satu lembaga yang melakukan

pendampingan hukum bagi perempuan pencari keadilan, terutama perempuan

163

yang mengalami ketidakadilan dan lemah secara politik, ekonomi, sosial dan

budaya. Dalam tesis ini, penulis melakukan analisis terhadap data yang diperoleh

dari hasil penelitian terkait masalah poligami oleh LBH-APIK Jakarta, meliputi:

1). Data Pertama.

“Tindak kekerasan poligami, seringkali diikuti dengan tindak pidana lain. Dari 60,1% ada

sebanyak 4,97% kasus pelaku menikah lagi secara resmi (dicatatkan) dengan memalsukan

identitas dan tanpa sepengetahuan istri (Mitra) atau atas Mitra yang dengan terpaksa merelakan

suaminya menikah resmi. Istri (Mitra) yang “merelakan” pelaku menikah lagi biasanya

dikarenakan faktor ketergantungan ekonomi, demi kepentingan anak atau karena bujuk rayu

suami. Sementara Pelaku yang melakukan pernikahan Siri (dibawah tangan) tanpa sepengetahuan

istri (Mitra) sebanyak 17,67%, dan sebanyak 8,28% korban mengakui pelaku (suami) menikah

tetapi korban tidak mengetahui apakah pelaku menikah resmi atau siri sedangkan 69,06% Mitra

menyampaikan bahwa Pelaku tetap memilih untuk selingkuh sembunyi-sembunyi.”25

2). Data Kedua

Berdasarkan pengaduan dari sejumlah istri (korban poligami) ke LBH-

APIK Jakarta, dapat terungkap bahwa dilihat dari jumlah variasi dampak, maka

poligami telah berdampak pada adanya: istri tidak diberi nafkah (37 orang);

ditelantarkan/ditinggalkan suami (23 orang); mendapat teror dari istri kedua (22

orang), tekanan psikis (21 orang), pisah ranjang (11 orang), penganiayaan fisik (7

orang), dicerai oleh suami (6 orang).26

Jika kedua data tentang kasus poligami pada LBH_APIK Jakarta tersebut

dianalisis dengan ketentuan agama (Islam) dan hukum positif yang mengatur

tentang pelaksanaan poligami di Indonesia (UU No. tahun 1974 tentang

Perkawinan di Indonesia dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI), maka dapat

disimpulkan sedikitnya ada dua hal, sebagai berikut:

25

Diambil dari Laporan Tahun 2010 LBH_APIK Jakarta melalui Judul “Jerat Birokrasi,

Patriarki, dan Formalisme Hukum Bagi Perempuan Pencari Keadilan”. 26

Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks dan Praktek, 77. Pada

catatan bawah data, disebutkan bahwa ada istri yang menerima dampak lebih dari satu jenis.

164

a) Bahwa dari sebagian praktiknya, poligami ternyata telah dilakukan tanpa

mengindahkan ketentuan yang ada, baik ketentuan agama maupun hukum

positif yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, misalnya adalah poligami

dilakukan tanpa izin/sepengetahuan dari istri pertama.

b) Dalam sebagian praktiknya, poligami ternyata juga diikuti dengan tindak

pidana, seperti: pemalsuan identitas, pemaksaan dan perselingkuhan.

Adapun jika data tersebut dianalisis menggunakan perspektif keadilan

jender, maka sebagian praktiknya, poligami telah menyebabkan terjadinya

ketidakadilan jender yang berupa terjadinya tindak KDRT, khususnya dalam hal

ini, terhadap perempuan (istri) dan anak-anak.

4.4. Penutup.

Pembahasan tentang poligami di dalam Islam sejatinya merupakan sebuah

pembahasan yang sedemikian kompleks. Dalam pandangan penulis, persoalan

poligami ini baru akan dapat dipahami dengan benar dan bijak, manakala

poligami dikritisi secara holistik melalui berbagai pendekatan dan aspek sudut

pandang, seperti: teologis, jender, hukum, kultur, historis, sosiologis, dan

sebagainya. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya tersebut.

Dalam tesis ini, penulis sama sekali tidak menakankan bahwa “monogami

itu lebih baik dari poligami”, ataupun “poligami itu lebih buruk dari monogami”.

Hal ini karena pada kenyataannya, perempuan yang berada pada pernikahan

monogami juga terkadang tidak luput dari berbagai permasalahan rumah tangga,

seperti: tidak diberi nafkah, mendapat kekerasan fisik, ditelantarkan suami, dan

sebagainya. Intinya bahwa, poligami di dalam Islam hanyalah salah satu dari

165

sekian banyak fenomena sosial keagamaan yang harus dapat dipahami secara

bijak, karena sejatinya tidak ada kata benar dan salah untuk menilai sebuah

keimanan di dalam berteologi.

Selanjutnya, beralih pada perihal keadilan jender. Dalam studi jender,

disebutkan bahwa budaya patriarki telah menempatkan perempuan sebagai sosok

yang tersubordinasi dan banyak mengalami opresi, termasuk didalamnya adalah

pada ranah perkawinan. Dalam ranah perkawinan, kondisi tersebut semakin

diperparah dengan keberadaan hukum keluarga yang bersifat patriarkis dan bias

jender. Dalam teori keadilan Okin, disebutkan bahwa keluarga seyogyanya

menjadi sekolah moral pertama bagi penanaman nilai-nilai keadilan pada anak.

Namun pada kenyataannya, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktikkan

dalam kehidupan masyarakat, justeru telah menjadi lembaga yang tidak adil.

Selain anak-anak, perempuan adalah sosok yang paling rentan terhadap

ketergantungan, eksploitasi dan kekerasan yang terjadi di dalam perkawinan.

Terkait ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perkawinan jender terstruktur, Okin

menawarkan sebuah reformasi sosial yakni dirubahnya hukum keluarga yang

bersifat patriarkis menjadi sebuah hukum keluarga yang berkeadilan jender.