BAB IV ANALISA HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI...

26
69 BAB IV ANALISA HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT PASAL 230-239 KUHD A. Analisa Terhadap Materi Hukum Pasal 230-239 KUHD Jual beli hutang dalam KUHD merupakan hubungan timbal balik antara penjual dan pembeli yang harus saling berprestasi, penjual memberikan barang sementara pembeli membayar harga yang telah disepakati, tetapi apabila terjadi wanprestasi artinya pembeli tidak dapat melunasi harga beli yang telah disepakati maka akan terjadi hak reklame (penuntutan kembali) sampai akhirnya dinyatakan jatuh pailit. Lain halnya dengan pasal 1145 BW. Bila penjualan secara tunai, maka penjual mempunyai wewenang untuk menuntut kembali barang-barangnya, selama barang masih di tangan pembeli dan menghalangi dijualnya lebih lanjut, dan penuntutan kembali dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, karena terjadi diluar kepailitan. Sedang dalam penuntutan kembali dalam kepailitan menjadi 60 hari terhitung dari barang tersebut diserahkan. Sesuai dengan bahan materi dalam bab III, maka untuk memudahkan dalam menjelaskan dan menguraikan tentang bagaimana hak penjual atas pembeli yang pailit, maka penulis menulis kembali apa yang telah diklasifikasikan dalam tiga kategori, sebagai berikut : 1. Apabila terjadi jual beli yang terhadap barang bergerak yang belum dilunasi sepenuhnya harga pembeliannya dan barang tersebut telah

Transcript of BAB IV ANALISA HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI...

69

BAB IV

ANALISA HAK REKLAME PENJUAL ATAS PEMBELI YANG PAILIT

PASAL 230-239 KUHD

A. Analisa Terhadap Materi Hukum Pasal 230-239 KUHD

Jual beli hutang dalam KUHD merupakan hubungan timbal balik

antara penjual dan pembeli yang harus saling berprestasi, penjual memberikan

barang sementara pembeli membayar harga yang telah disepakati, tetapi

apabila terjadi wanprestasi artinya pembeli tidak dapat melunasi harga beli

yang telah disepakati maka akan terjadi hak reklame (penuntutan kembali)

sampai akhirnya dinyatakan jatuh pailit. Lain halnya dengan pasal 1145 BW.

Bila penjualan secara tunai, maka penjual mempunyai wewenang untuk

menuntut kembali barang-barangnya, selama barang masih di tangan pembeli

dan menghalangi dijualnya lebih lanjut, dan penuntutan kembali dilakukan

dalam jangka waktu 30 hari, karena terjadi diluar kepailitan. Sedang dalam

penuntutan kembali dalam kepailitan menjadi 60 hari terhitung dari barang

tersebut diserahkan.

Sesuai dengan bahan materi dalam bab III, maka untuk memudahkan

dalam menjelaskan dan menguraikan tentang bagaimana hak penjual atas

pembeli yang pailit, maka penulis menulis kembali apa yang telah

diklasifikasikan dalam tiga kategori, sebagai berikut :

1. Apabila terjadi jual beli yang terhadap barang bergerak yang belum

dilunasi sepenuhnya harga pembeliannya dan barang tersebut telah

70

diserahkan pada orang yang pailit maka dapat dituntut kembali dengan

ketentuan sebagai berikut; (pasal 230 KUHD)

Sementara penuntutan tersebut dapat dilakukan dengan cara:1

a. Penjual (kreditur) atau beberapa kreditur atau badan hukum harus

melaporkan pada pengadilan yang bersangkutan dengan masalah

tersebut yaitu pengadilan Negeri bahwa pembeli (debitur) yang ingkar

atau tidak dapat memenuhi prestasinya, dengan tidak dapat membayar

hutang atas perjanjian jual beli yang harganya belum dilunasi tersebut

kepada penjual (kreditur) di tempat kediaman debitur baik dengan cara

tertulis maupun secara lisan (pasal 2 ayat 1 PK).

b. Setelah pengadilan menerima permohonan kepailitan itu, panitera atau

pejabat yang mewakilkan nya memanggil para pemohon (kreditur

maupun debitur) untuk datang kedepan sidang pengadilan yang khusus

memeriksa kepailitan tersebut. Apabila debitur pailit bertempat tinggal

diluar wilayah pengadilan yang berkompeten untuk memeriksa

permohonan kepailitan, maka pengadilan tersebut dan mendelegasikan

wewenangnya untuk memeriksa debitur kepada pengadilan negeri di

tempat debitur guna melaporkan kepada pengadilan pertama pasal 6

ayat 2).

c. Apabila di dalam pemeriksaan itu terbukti secara summier bahwa

debitur berada dalam keadaan berhenti membayar, maka hakim

menjatuhkan keputusan pailit kepada debitur. Vonis ucapan kepailitan

1 Zainal Asikain, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, cet.

Kedua, Jakarta:PT Raja Garfindo Persada, 1994, Hlm.39-40

71

itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 3 ayat

3). Keputusan kepailitan bersifat konsumtif artinya putusan yang

meniadakan keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum baru.

d. Disamping hal yang lazim, hakim juga memutuskan antara lain

(identitas penggugat, tergugat, pertimbangan hukum dan diktum) serta:

a. Pengangkatan seorang hakim sebagai hakim komisaris

b. Pengangkatan panitia sementara para kreditur kalau kepentingan

budel menghendaki

e. Setelah keputusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa,

maka penitera pengadilan negeri segera memberi putusan:

a. Balai harta peninggalan (BHP) yang berkedudukan dalam daerah

hukum pengadilan negeri yang memutus kepailitan tersebut.

b. Perum pos dan giro serta telekomunikasi di tempat hakim yang

memutus maupun yang berada di tempat si pailit.

f. Selanjudnya untuk melindungi pihak ketiga, maka putusan kepailitan

oleh Balai Harta Peninggalan harus diumumkan pada majalah atau

surat-surat kabar resmi yang ditunjuk oleh Hakim komisaris.

2. Syarat untuk dapat menuntut kembali barang yang terdapat pada orang

yang pailit adalah

a. Barang tersebut masih utuh maksudnya meskipun barang itu sudah

dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus kembali atau dikurangi.

(pasal 231 KUHD)

72

b. Penuntutan dapat dilakukan dalam jangka waktu enam puluh hari

terhitung dari saat barang tersebut diserahkan pertama kali, bila

barang tersebut masih dalam perjalanan baik di darat maupun di air

atau barang tersebut masih terdapat pada orang pailit ataupun

terdapat pada pihak ketiga baik dengan penentuan waktu maupun

tidak. (pasal 232 KUHD)

c. Bila pembeli telah melunasi sebagian uang pembeliannya, maka

penjual wajib memberikan kembali uang yang telah diterimanya

pada harta pailit. (pasal 233 KUHD)

d. Bila barang dijual hanya sebagian didapatkan pada harta pailit

pembelian kembali dilakukan menurut timbangan semula. (pasal

234 KUHD)

e. Penjual yang menerima kembali barangnya wajib memberi ganti

rugi pada pembeli pailit untuk semua yang telah dibayar atau masih

terutang karena Bea, upah pengangkutan, komisi, asuransi,

kerugian laut dan segala biaya yang digunakan untuk keselamatan

barang tersebut. (pasal 235 KUHD)

f. Bila pembeli telah mengakseptsi dengan Surat Wesel atau Surat

dagang lain dengan jumlah penuh, maka tidak terjadi penuntutan

kembali. Tetapi bila akseptsi itu dilakukan untuk sebagian dari

uang pembelian yang terutang dapat dilakukan penuntutan

kembali, asalkan untuk kepentingan harta orang yang jatuh pailit

73

diadakan jaminan untuk hak sebagai akibat dari akseptasi itu.

(pasal 236 KUHD)

g. Bila barang yang dituntut kembali diambil dengan I'tikad baik

sebagai jaminan utang oleh pihak ketiga, penjual tetap mempunyai

hak untuk menuntut kembali, Akan tetapi mempunyai kewajiban

pada pemberi hutang untuk memenuhi jumlah yang dipinjamkan,

dengan bunga dan biaya yang terutang. (pasal 237 KUHD)

h. Tuntutan kembali dihapus bila barang itu selama perjalanan dibeli

pihak ketiga dengan I'tikad baik atas faktur dan atas konosemen

atas Surat muatan. Namun penjual aslinya tetap mempunyai hak

pada pembeli harga pembeliannya selama belum dilunasi, dan ia

mempunyai hak mendahului terhadap uang itu dengan tidak

mencampurkan uang itu dengan harta orang pailit. (pasal 238

KUHD)

3. Para pengurus harta pailit mempunyai wewenang untuk mempertahankan

harta itu, barang-barang yang dituntut kembali, asalkan memenuhi harga

pembelian kepada penjual yang olehnya tidak dipersyaratkan pada orang

yang pailit. (pasal 239 KUHD)2

Apabila terjadi jual beli yang belum dilunasi dan pembelinya

dinyatakan pailit sementara barangnya masih terdapat pada orang tersebut,

maka penjual berhak untuk menuntut kembali barangnya. Walaupun pembeli

2 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

74

itu telah menghabiskan sebagian barang atau tidak utuh lagi, artinya tidak

merubah bentuk dan sifat aslinya.

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang

mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit

oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut

tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para

kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.

Dalam hal seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur

tidak membayar utangnya dengan sukarela, maka kreditur akan menggugat

debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh

harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut.

Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk membayar kreditor tersebut.

Sebaliknya dalam hal mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur

tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur

berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk

mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditur yang datang

belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur

sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini

Mulyadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari undang-undang

Kepailitan yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang

dipaparkan diatas. Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan, pada

mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan

75

yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara

penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.. 3

Pada dasarnya, Islam juga membolehkan untuk menuntut kembali

barang yang dijual, karena pembeli tidak dapat melunasi harga jualannya

tersebut dan atas permintaan penjual (kreditur), maka pembeli (debitur)

dinyatakan kebangkrutannya (Tafliis) oleh Hakim. Baik penuntutan tersebut

adalah barang bergerak atau tidak bergerak, karena dalam Islam tidak ada

yang mengatur tentang syarat benda harus bergerak atau tidak. Sedangkan

dalam pasal 230 KUHD adalah barang yang dituntut kembali itu berupa

barang bergerak.

Sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama, Hakim harus sesegera

mungkin menyatakan kebangkrutan nya (pembeli yang tidak dapat melunasi

harga pembelian sesuai kesepakatan) dan tentunya telah terbukti atas kelalain

pembeli tersebut. Serta berdasar pada kisah Mu'azd bin Jabal, yang tidak dapat

melunasi hutangnya pada masa Rosul, dan ketika itu ada orang memberi

hutang pada Mu'azd datang dan mengadu pada Rosul, kalau Mu'azd telah lalai

dan mohon untuk dinyatakan pailit, kemudian Rosul memberikan apa yang

dimiliki oleh Mu'azd walaupun harta Mu'azd tidak sebanding dengan

hutangnya, karena tidak ada yang dapat diberika padamua kecuali hanya itu.

Dengan kisah tersebut, maka penjual dapat menuntut kembali

barangnya yang masih terdapat pada pembeli pailit tersebut. Hadits dari Nabi

SAW itu berbunyi:

3Geogle, Artikel Kepailitan di Indonesai (Pengantar) 12 Januari, 2006

76

من ادرك ماله بعينـه : وعن ايب هريرة رضي اهللا عنه ، عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال )رواه اجلماعة(يره عند رجل افلس او انسان قد افلس فهو احق به من غ

Artinya: “Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW., ia bersabda: "siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada seseorang yang pailit – atau seorang manusia yang pailit – maka ia lebih berhak atas barangnya itu daripada orang lain”.” (HR Jama’ah)4

Asal mula hadist tersebut adalah dari 4 perbedaan pendapat, yaitu:

Pertama: Bahwa bagaimanapun juga pemilik barang lebih berhak atas barang

tersebut. kecuali jika ia meninggalkannya dan memilih pembagian piutang.

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur.

Kedua: Bahwa nilai barang harus dilihat pada saat diputuskan kepailitannya.

Jika nilai tersebut lebih rendah dari harga semula, maka pemilik barang

disuruh memilih antara mengambil barang tersebut atau ikut dalam pembagian

piutang. Sedang apabila nilainya lebih banyak atau sama dengan harga

semula, maka ia mengambil barang itu sendiri. Pendapat ini dikemukakan oleh

Imam Malik dan pengikutnya.

Ketiga: Bahwa barang tersebut harus dinilai pada waktu pailit jika nilainya

sama atau kurang dari harga semula, maka barang tersebut diputuskan

untuknya, yakni si penjual. Tetapi jika nilainya lebih banyak, maka penjual

diberi sebanyak harga semula, kemudian para kreditur mengadakan

4 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Hlm 149-150, 2002 Mutiara Hadits,

Hlm.478-479 ,Terjemah Nailul Author 4, Hlm.1800-1801

77

pembagian pada kelebihannya. Pendapat ini dikemukakan oleh segolongan

ahli atsar.

Keempat : Bahwa bagaimanapun juga para kreditur itu harus mengikuti

pemilik barang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Ahli

Kufah.

Hadits tersebut mensyaratkan untuk dapat mengambil kembali adalah

masih utuh.5 Sedang dalam pasal 231 KUHD juga disebutkan bahwa syarat

untuk melakukan penuntutan kembali barangnya harus utuh, bukti untuk itu

diizinkan meskipun barang tersebut dikeluarkan dari bungkusnya, dibungkus

kembali kembali atau dikurangi. Maksudnya barangnya ada asal tidak

merubah bentuk dan sifat aslinya.

Syarat utuh dalam Islam tidak dijelaskan secara gamblang, kemudian

banyak para Ulama yang berpendapat tentang barang yang masih utuh dalam

hadits tersebut. Berikut diantara pendapat mereka:

Asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa si penjual tetap

berhak menarik kembali barangnya walaupun sudah dalam keadaan tidak utuh

lagi. Golongan Hanafi tidak sependapat karena menyalahi kaidah, Jumhur

Ulama berpendapat bahwa apabila harganya sudah dilunasi sebagian, maka

barang tersebut tidak dapat ditarik kembali. Apabila barangnya masih utuh, si

penjual tak dapat mengambil lagi barangnya, demikian pendapat Imam Malik

dan Ahmad sedang Asy-Syafi’i berpendapat, dapat diambil kembali. Syafi’i

dan Ahmad juga berpendapat untuk menolak harga yang hendak dibayar oleh

5 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Hlm. 149-150, 2002, Mutiara Hadits, Hlm. 478 – 479, Terjemah Nailul Author 4, Hlm. 1800-1801, al-Umm, Juz-V, Hlm. 36

78

para pewarisnya. Malik mengharuskan si penjual menerima harga yang

dibayar oleh waris.6

Penuntutan kembali terjadi karena pembeli tidak dapat memenuhi

prestasinya yaitu membayar harga barang yang telah disepakati tersebut maka

penuntutan dapat terjadi melalui proses hukum yaitu Hakim yang memutuskan

pembeli tersebut dengan pernyataan pailit dengan syarat-syarat sebagai

berikut, yaitu :

1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur;

2. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh

tempo, dan dapat ditagih.7

Berdasarkan landasan hukum yang dinyatakan oleh Imam Syafi'i dan

Imam Malik dengan alasan hadits Mu'az bin Jabal ra. "Bahwa sesungguhnya

Mu'az Bil Jabal banyak hutangnya dimasa Rasulullah SAW., maka tidak lebih

beliau hanya memberikan hartanya untuk para krediturnya".8

Sedangkan untuk mengambil kembali barang yang telah didapati oleh

penjual adalah penulis mengambil syarat yang diutarakan oleh Syafi'i karena

itu adalah syarat yang paling ringan dan dipandang cukup sebagai syarat untuk

mengambil barang tersebut.

6 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7,edisi ke2, Semarang, PT

Pustaka Rizki Putra, cet.3,2001, hlm.149-150 7 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, Cet 4, 2004, Hlm.15 8 Ibn Rusyd, terjemahan Bidah Al-Mujtahid, Semarang:Asy-syifa', 1990, Cet.1, Hlm. 332

79

Syarat untuk mengambil kembali barang yang penjual dapati pada

pembeli pailit yang diutarakan oleh Syafi'i:9

1. Waktu pembayaran hutang telah jatuh tempo.

2. Debitur enggan membayar utangnya.

3. Barang yang menjadi hutang masih di tangan debitur.

Dari sini jelas bahwa orang yang hutang tetapi tidak dapat melunasi

hutangnya dan dinyatakan kebangkrutannya, maka boleh kita membatalkan

akad jual beli yang sudah kita lakukan dan kita mengambil kembali barang

kita.10

Hadits ini menyatakan bahwa si pemilik barang dapat mengambil

kembali barangnya tanpa harus menunggu keputusan Hakim (pendamai).

Pendapat inilah yang dipandang lebih shahih diantara pendapat Ulama.11

Selain kreditur dapat mengambil kembali barang yang masih terdapat

pada orang yang telah bangkrut, maka akan ada kemungkinan bila harta

tersebut berubah karena bertambah atau berkurang, maka pemiliknya lebih

berhak atasnya; akan tetapi diberlakukan sama dengan orang-orang yang

berpiutang.12

9 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, Hlm. 201 10 Ibid., 11 Ibid., 12 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, Judul Asli: Fiqhussunnah, Bandung: PT Al Ma'arif,

Hlm. 214

80

Dikalangan Fuqoha tidak ada silang pendapat tentang pembeli yang

telah menghabiskan sebagian barang, maka penjual lebih berhak atas sebagian

(sisa) barang yang didapati.13

Ringkasnya, tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki, bahwa

penjual lebih berhak atas barangnya yang masih ada tetapi tidak berada dalam

tangannya, dalam hal pailit bukan kematian. Dan bahkan penjual itu menjadi

panutan para kreditur pada barangnya, jika barangnya itu sudah tidak ada.

Juga dalam hal yang bermiripan dengan keadaan buruh, menurut pendapat

para Imam Malik. Hal ini sesuai dengan hadits di atas.

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, menurut Al-Hafidh,

sanadnya Hasan, hadits tersebut menyatakan bahwa bila seseorang menjual

sesuatu barang kepada seseorang yang ternyata tak mampu membayar (jatuh

bangkrut), dan barangnya kemudian dikemukakan pada si pembeli tersebut,

dalam keadaan masih utuh, maka barang tersebut bisa diambil kembali oleh

penjualnya. Syarat untuk dapat mengambil kembali adalah masih utuh.14

Supaya tidak merugikan penjual, maka penuntutan dapat dilakukan

walau barang tersebut tidak utuh lagi (sebagaimana pendapat Syafi'i) dan

supaya penjual dapat menjual barang tersebut kembali walaupun harganya

tidak sama seperti harga semula. Atau penjual boleh memilih antara

mengembalikan harga barang yang telah ia terima atau kreditur tidak

mengembalikan harga yang telah ia terima sebagai imbalan karena kelalaian

13 Ibnu Rusyd, op.cit., 14 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Terjemah Nailul Author 4

81

pembeli, karena walau demikian barang yang berhasil diambil kembali tidak

akan bisa dijual dengan harga seperti semula,

Jadi, jika debitur enggan membayar hutangnya kepada kreditur, maka

hakim menjual harta yang padanya. Dan kemudian membagikan pada para

kreditur atau memberikan hak Tafliis padanya. Jika hartanya tidak mencukupi

untuk membayar hutangnya, dan kemudian menghajr atau membatasi dalam

mentasarufkan hartanya. Pendapat ini didasarkan pada hadist Mu'azd bin Jabal

dimana dia mempunyai hutang yang banyak sehingga hartanya tidak

mencukupi untuk membayar kepada krediturnya.

Dalam pasal 233 KUHD, yang menyatakan apabila pembeli telah

melunasi sebagian harga penjualannya, maka dalam penuntutan kembali

penjual wajib mengembalikan sebagian harga yang telah diberikan penjual

tersebut. Bila pasal tersebut diaplikasikan dalam kehidupan nyata, maka

penjual yang mendapati kembali barang bergerak yang telah dibeli, sedangkan

pembelinya bangkrut dan telah dinyatakan kepailitanya, jelas sangat

merugikan penjual, karena disamping barang itu akan jatuh harga jualnya

kembali setelah di pakai oleh pembeli yang pailit tersebut. Dan pendapat ini

sesuai dengan pendapat Jumhur bahwa penjual tersebut tidak mempunyai hak

untuk menuntut kembali barang yang telah dijual dan mendapat angsuran atau

sebagian harga telah diterimanya akan tetapi ia diperlakukan seperti orang-

orang yang berpiutang lainnya artinya penjual tersebut tidak mempunyai hak

mendahului. Dibawah ini pendapat tersebut.

82

Sedangkan apabila dia menjual harta itu dan telah menerima sebagian

dari harganya, maka orang yang mempunyai harta itu diperlakukan sama

seperti orang-orang yang berpiutang; dan menurut Jumhur, dia tidak

mempunyai hak untuk meminta kembali apa yang telah dijual. Yang lebih

kuat di antara pendapat dua pendapat Syafi'i ialah bahwa yang memberinya itu

lebih berhak atasnya.15

Mengenai pembelian kembali (pasal 234 KUHD) tidak disinggung

dalam Islam tentang penuntutan kembali. karena itu, sama juga dalam pasal

233 KUHD diatas, apabila pembelian kembali terjadi sedangkan barang yang

dijual yang dikembalikan sudah pernah dipakai dan itu artinya apabila barang

yang didapati itu kembali dalam kepailitan maka bila penjual akan menjual

kembali barang tersebut pada orang lain, maka tidak akan sama seperti harga

semula. Tapi ada sedikit keuntungannya karena dalam pembelian kembali

disesuaikan dengan harga semula.

Dan apabila penjual yang menerima kembali barangnya wajib

memberi ganti rugi atas seluruh bea untuk keselamatan barang tersebut (pasal

235 KUHD). Serta ketentuan dalam (pasal 236 KUHD) tentang barang yang

diakseptasikan dengan surat wesel atau surat dagang lain baik dalam jumlah

penuh ataupun tidak penuh tidak ada ketentuannya dalam Islam, karena

menurut penulis akan dipandang sama dengan pendapat sebelumnya yaitu

siapapun yang mendapati barangnya pada orang yang telah jatuh pailit maka

tidak lebih dialah yang lebih berhak atasnya ketimbang lainnya.

15 Ibid.,

83

Penuntutan kembali juga berlaku walaupun, barang tersebut berada

pada pihak ketiga sebagai jaminan utang selama pihak ketiga tersebut belum

melunasi hutangnya (pasal 237 KUHD), sedangkan dalam pasal 238 KUHD

juga sama dengan pasal sebelumnya, kecuali bila dalam perjalanan dibeli

dengan I'tikad baik atas faktur dan konosemen atas surat muatan maka tidak

terjadi penuntutan. Dalam pasal-pasal tersebut juga tidak disinggung dalam

Islam. Penulis juga hanya berpendapat, bahwa pada dasarnya penuntutan

kembali dilakukan semata-mata, bagaimana mereka (kreditur dan debitur)

harus saling berprestasi, saling memenuhi hak-hak diantara mereka.

Kemudian ada pendapat apabila pembelinya mati, sedang penjualnya

belum menerima harganya, kemudian penjual itu menemukan apa yang

dijualnya, maka ia berhak terhadapnya karena alasan hadits. Sebab tidak ada

perbedaan antara kematian dan kebangkrutan. Ini adalah pendapat Asy-

Syafi’I.:

Kemudian Hanafiyah berkata: Barang siapa yang bangkrut (hakim

sudah mengatakan tentang kebangkrutannya) sedang dia mempunyai harta,

artinya seperti orang hutang yang tidak mempunyai hak atas harta itu

dibanding orang-orang yang hutang lainnya. Apabila bangkrut sebelum

memiliki harta atau sesudah memiliki harta tanpa ijin penjual maka ia wajib

mengembalikannya, dan menahannya dengan harga dalam keadaan belum

dimiliki.16

16 Terjemahan Fiqh Islam Wal-Adillah, Darul Fiqr, Hlm. 475

84

Kemudian bagaimana dengan harta si pailit tersebut, siapa yang akan

membatu si pailit dalam mentasarufkan atau menjaga hartanya agar tidak

dijadikan rebutan oleh para kreditur.

Ka'ab Ibn Malik ra. Menerangkan:17

وباعه فى دبن , حجر على معاذ ماله: ان النبي ص م, عن كعب بن ملك )رواه الدارقطىن(كان عليه

Artinya: "Nabi SAW. Mengawasi harta Mu'az Bin Jabal dan menjual kekayaannya untuk melunasi hutangnya."

(HR. Ad-Darulquthny).

Maksudnya yang mengawasi adalah curator dan hakim boleh menjual

harta orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya, karena takut

dihabiskan seluruh kekayaannya. Sedangkan Syafi'I, Malik, Abu Yusuf dan

Muhammad, membolehkan penjualan harta debitur atas permintaan

krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah, bahwa tidak boleh dilakukan

pengawasan terhadap orang yang berhutang, dan tidak boleh menjual

kekayaannya. Si debitur disandra sampai dia melunasi seluruh

hutangnya.(pasal 239 KUHD)

Disini terlihat sangat jelas, bahwasanya hadits di atas menunjukkan

bahwa kurator lah yang mengurus harta si pailit, untuk menghindari perebutan

terhadap harta atau sisa harta si pailit. Para curator akan membantu si pailit

asal si pailit memenuhi tuntutan para kreditur yaitu membayar seluruh hutang-

hutangnya kepada para kreditur.

17 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, op.cit, Hlm.151-152

85

Fuqaha Amshar juga berpendapat dan telah sependapat bahwa

ketiadaan hartanya itu berpengaruh pada penghapusan hutang hingga tiba saat

mempunyai, sebagaimana Islam juga menyerukan untuk memberi kesempatan

pada orang yang kesusahan sesuai dengan Surat Al-Baqarah 280.

متإن كن لكم ريقوا خدصأن تة ورسية إلى مظرة فنرسإن كان ذو عون ولمعت )280:البقرة(

Artinya: "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau seluruh harta kamu) itu lebih baik jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 280).18

Dalam Islam ayat diatas memang bertujuan baik dalam bersedekah

atau tolong-menolong, perbuatan tersebut akan menghasilkan buahnya ketika

kita memasuki alam lain. Tetapi lagi-lagi ini adalah dunia nyata yang fana

dimana kita harus berjuang untuk dapat mempertahankan hidup, oleh sebab itu

para manusia disunnahkan untuk bermu'amalah tentunya dengan cara yang

baik. Mau menyedekahkan atau tidak itu terserah yang punya barang atau

harta.

Mengenai pendapat Fuqaha yang mengharuskan pengampunan

terhadap orang yang bangkrut itu semata-mata karena kemaslahatan supaya

manusia itu tetap saling memenuhi hak-hak diantara mereka yaitu kreditur dan

debitur.

18 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, Semarang: Toha Putra,1989

86

B. Pendapat Fuqaha Tentang Benda Milik Pembeli Pailit

Sebelum mengetahui pendapat Fuqaha tentang benda milik pembeli

yang pailit, penulis perlu menguraikan benda-benda yang tidak termasuk

dinyatakan pailit.

Berdasarkan pasal 20 undang-undang kepailitan mengecualikan

beberapa macam harta kekayaan debitur dari harta pailit.

Barang-barang yang tidak terjangkau atau tidak dikenakan pernyataan

pailit adalah:

a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari.

b. Alat perlengkapan Dinas.

c. Alat perlengkapan kerja.

d. Persediaan makanan kira-kira satu bulan.

e. Buku-buku yang dipakai untuk kerja.

f. Gaji atau upah pensiun, uang jasa, honorarium pengarang.

g. Sejumlah uang yang diterima dari penghasilan anak-anaknya

Barang-barang yang dikenakan pailit haruslah dimiliki sipailit sendiri

sedang barang-barang pihak ketiga yang kebetulan berada pada sipailit, tidak

terkena oleh kepailitan.

Dalam hukum perdata, apabila salah seorang berumah tangga telah

dinyatakan pailit dalam persatuan harta maka semua barang yang tersisa dapat

dijadikan jaminan, serta istri dapat muncul sebagai kreditur konkuren kalau

suaminya berhutang kepada istrinya yang apabila suaminya dinyatakan pailit

dan istrinya menginginkan harta bawaannya kembali.

87

Sebagai mahluk sosial, kita tercipta untuk saling tolong menolong

terhadap yang kesusahan, tidak boleh kejam sesama mahluk Tuhan. Maka,

walaupun orang yang bangkrut tersebut telah merugikan penjual dengan tidak

bisa melunasi hutang-hutangnya secara penuh dan walaupun barang kita

kembali tidak seperti semula maksudnya walaupun barangnya sudah

dikeluarkan, dibungkus kembali atau dikurangi asal tidak merubah bentuk dan

sifat aslinya, penjual tetap memberi kenyamanan untuk keluarga si pailit dan

sebaiknya ada beberapa barang yang ditinggalkan untuknya.

Menurut madzhab Maliki adalah ditinggalkan untuk hidup dirinya

bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil untuk waktu beberapa hari

lamanya. Dari kitab Al-Wadhiah dan Al-'Atabiyah dikatakan, untuk masa

sebulan dan sekitar itu, dan ditinggalkannya pakaian sepantasnya.19

Syafi'I dan Imamiyah mengatakan perkawinan itu sah tetapi seluruh

mahar dinyatakan sebagai hutang suami, istri tidak mempunyai hak atas harta

yang ada bersama para piutang. Sedang Hanafi mengatakan perkawinannya

sah dan istrinya berhak atas mahar mitsli bersama-sama para piutang

sedangkan yang lebih dari itu dinyatakan sebagai hutang yang harus dibayar

suaminya.20

Mungkin dengan kreditur yang masih berbaik hati memberikan atau

menyisakan harta yang seharusnya digunakan untuk menutup hutangnya,

menjadikan kreditur lebih lancar dalam menjalankan usahanya, sementara

19 Ibn Rusd, op.cit., 20 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'I,

Hambali/Muhammad Jawad Mughniyah, Judul Asli: Al-Fiqh 'ala al-madzhi al-khamsah;penerjemah Masykur A.B ed, Cet. 5, Jakarta: Lentera, 2000, Hlm. 704

88

debitur dapat memulai usaha yang baru untuk dapat melanjutkan hidupnya

beserta keluarganya.

Apabila seorang debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya maka

krediturnya dapat minta supaya harta kekayaannya disita, apabila terdapat

beberapa kreditur, maka masing-masing kreditur itu dapat menyita harta

kekayaannya, sehingga terjadi sekian banyak penyitaan. Akibat daripada itu

ialah bahwa debitur yang bersangkutan harus menghadap pengadilan sekali

lagi. Lain halnya apabila debitur dinyatakan pailit, dalam hal ini ia hanya perlu

menghadap satu kali saja, karena akibat daripada pernyataan pailit.21

Apabila seorang debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya maka

krediturnya dapat minta supaya harta kekayaannya disita. Apabila terdapat

beberapa kreditur, maka masing-masing kreditur dapat menyita harta

kekayaannya, sehingga terjadi sekian banyak penyitaan. Akibat daripada itu

ialah bahwa debitur yang bersangkutan harus menghadap pengadilan sekali

lagi. Lain halnya apabila debitur dinyatakan pailit. Dalam hal ini ia hanya

perlu menghadap satu kali, karena akibat daripada pernyataan pailit.22

Apabila penjual mengetahui bahwa orang yang membeli barang

dagangannya secara hutang itu bangkrut dan telah dinyatakan

kebangkrutannya dan penjual tersebut mengetahui barangnya masih terdapat

pada orang yang pailit tersebut, maka menjual tersebut berhak atas barang

tersebut. Tetapi apabila si pailit itu tidak mau menyerahkan barangnya kepada

21 R. Soerjatin, hukum perdata dan hukum dagang, cet.2, jakarta: Pradya Paramita, 1983,

Hlm. 98 22 R. Soerjatin, Hukum Perdata Dan Hukum Dagangnya, cet 2, Jakarta Pradaya Paramita,

1983, hlm. 98

89

penjual tersebut, maka Hakim boleh membatasi pembeli yang pailit dalam

mentasarufkan harta bendanya atau hakim menjual barang si pailit untuk

melunasi hutang-hutangnya kepada para kreditur.

Sesuai dengan hadits yang menyatakan, "Bahwasanya Nabi SAW.

Mengawasi harta Mu'azd dan menjual kekayaannya untuk melunasi

hutangnya". Maksudnya, Hakim boleh menjual harta orang yang berhutang

untuk melunasi hutangnya, karena takut dihabiskan seluruh kekayaannya.

Sedangkan Syafi'I, Malik, Abu Yusuf dan Muhammad, membolehkan

penjualan harta debitur atas permintaan krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu

Hanifah, bahwa tidak boleh dilakukan pengawasan terhadap orang yang

berhutang, dan tidak boleh menjual kekayaannya. Si debitur disandera sampai

dia melunasi seluruh hutangnya.

Muflis (orang yang bangkrut), dalam arti bahasa adalah orang yang

tidak punya harta dan pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya.

Sedangkan dalam peristilahan para Ulama mazhab adalah orang yang

dilarang oleh Hakim (untuk membelanjakan hartanya) karena dia terlilit

hutang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang,

dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pelilik

piutang pasti tidak akan mencukupi.23

Definisi diatas jelas bahwa orang yang pailit dilarang dalam

membelanjakan hartanya. Karena ditakutkan hartanya habis dan akhirnya

tidak dapat melunasi hutang-hutangnya.

23 Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit , Hlm. 700

90

Imam Malik berpendapat bahwa orang pailit tidak boleh menghabiskan

(mengeluarkan) sesuatupun dari harta tanpa imbalan, jika perbuatan tersebut

bukan merupakan perbuatan yang harus dikerjakannya, dan menurut

kebiasaan pun tidak perlu diperbuatnya. Dalam meletakkan syarat 'bukan

merupakan perbuatan yang harus dikerjaka', Imam Malik beralasan bahwa

orang pailit itu boleh mengerjakan apa yang diharuskan oleh Syara’, meski

tanpa imbalan, seperti menafkahi orang tuanya yang miskin atau anak-anak.

dan tentang 'apa yang menurut kebiasaan pun tidak perlu (harus) dikerjakan',

bahwa orang tersebut bisa menghilangkan sedikit hartanya tanpa imbalan,

seperti berkorban, membiayai hamba dan sedekah yang sedikit.24

Menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi'I dan Hambali, apabila hakim

berpendapat, bahwa debitur dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka

kreditur maka kreditur tidak boleh menuntutnya dan mengawasi nya terus-

menerus, dia harus diberi kebebasan untuk mencari rizki sampai dia

berkelapangan untuk melunasi hutangnya. Sedangkan Ulama mazhab Hanafi

berpendapat apabila ternyata tidak ada lagi harta untuk membayar hutang

kepada kreditur maka debitur dibebaskan sejalan dengan surat Al Baqarah

280.25

Al-Syaukani membolehkan menyita harta orang yang bangkrut (pailit)

untuk membayar hutangnya, sekalipun harta tersebut tidak memadai untuk

membayar hutangnya secara keseluruhan. Pendapat ini juga disandarkan pada

kisah Mu'azd.26

24 Ibnu Rusyd, lok.cit., Hlm. 335 25 M Ali Hasan, op.cit. Hlm.199-200 26 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Cet. 1, Jakarta: Logos, 1999, Hlm. 191

91

Jumhur Fuqoha yang berpendirian tentang adanya pengampunan

terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan tentang

kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan

orang lain.27

Para Ulama mazhab sepakat bahwa seorang muflis tidak dilarang

menggunakan hartanya, sebesar apapun hartanya kecuali sesudah adanya

larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan seluruh hartanya sebelum

adanya larangan hakim, maka tindakannya itu dianggap berlaku. Para piutang

dan siapapun tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak dimaksudkan

untuk melarikan diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak orang lain yang

ada pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk bertambahnya

penghasilan berdasar kenyataan yang ada.28

Sebelum seorang dinyatakan pailit para kreditur berhak melarang

debitur pailit bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya, seperti

berwasiat, menghadiahkan hartanya dan melakukan akad mudlarabah dengan

pihak lain.

Selama persoalan utang-piutang ini tidak diajukan kepada hakim dan

pihak debitur dan kreditur dapat melakukan As-Shulh (perdamaian). Dalam hal

ini debitur tidak dibenarkan bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya.

Apabila terjadi As-Shulh, maka para kreditur (lebih dari satu orang atau bank)

dapat membagi sisa hartanya, sesuai dengan prosentase piutang masing-

masing.

27 Ibnu Rusyd, op.cit., 28 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, lok.cit.,hlm. 691

92

Tetapi bila kedua belah pihak (kreditur dan debitur) tidak dapat

melakukan perdamaian, maka kreditur mengajukan gugatan kepada hakim,

supaya debitur dinyatakan pailit dan mengambil sisa hartanya untuk

membayar hutang. Sesuai prosedur diatas.

Setelah mendapat keputusan, sisa harta dapat diberikan kepada para

kreditur (satu orang atau lebih).

Jumhur Ulama berpendapat, bahwa seseorang dapat dinyatakan pailit

setelah mendapat pernyataan pailit dari hakim, dengan demikian, segala

tindakan debitur terhadap hartanya, masih dapat dibenarkan. Oleh sebab itu

para hakim yang mendapat pengaduan harus segera mungkin mengambil

keputusan, agar debitur tidak leluasa melakukan aktivitasnya.29

Mengenai keadaan orang pailit sesudah pailit maka Imam Malik

berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh mengadakan penjualan,

pembelian, pengambilan ataupun pemberian. Begitu pula ia tidak boleh

mengaku berhutang atas tanggungan, baik kepada orang dekat maupun orang

jauh, tetapi menurut salah satu riwayat, dikecualikan jika untuk seorang dari

mereka dengan saksi. Sedang menurut riwayat lainnya, Ia boleh mengeluarkan

pengakuan (berhutang) terhadap seseorang yang diketahui mempunyai tagihan

atasnya.30

Fuqaha berpendapat bahwa apabila orang yang berhutang itu mengaku

29 M. Ali Hasan, lok.cit., Hlm. 197 30 Ibid., Hlm.335-336

93

pailit tanpa diketahui kebenarannya, maka ia dipenjarakan hingga ternyata

kebenarannya, atau para kreditur itu telah mengakui kebenarannya. Jika ia

demikian maka ia dibebaskan.31

Fuqaha Amshar juga berpendapat dan telah sependapat bahwa

ketiadaan hartanya itu berpengaruh pada penghapusan hutang hingga tiba saat

mempunyai, sebagaimana Islam juga menyerukan untuk memberi kesempatan

pada orang yang kesusahan sesuai dengan Surat Al-Baqarah 280.

Jadi Benda milik si pailit harus di jual untuk memenuhi hak para

krediturnya sesuai dengan hadits yang diterangkan oleh Ka'ab ibn Malik dan

apabila ia tetap tidak mengijinkan harta bendanya dijual untuk menutup

hutangnya maka ia dipenjarakan saja sampai ia bersedia untuk melunasi

hutangnya.

Mengenai pendapat fuqaha yang mengharuskan pengampunan

terhadap orang yang bangkrut itu semata-mata karena kemaslahatan supaya

manusia itu tetap saling memenuhi hak-hak diantara mereka yaitu kreditur dan

debitur.

ان النيب عليه الصالة وسالم حبس رجال في تهمة

Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW. Menahan seorang lelaki oleh sebab suatu tuduhan” (Seingat Ibnu Rusyd, ini diriwayatkan oleh Abu Daud).32

Islam juga memberi kelapangan pada debitur dalam keadaan sakit

yang tidak dibuat-buat serta kreditur tidak boleh menuntut nya dan mengawasi

31 Ibnu Rusd, op.cit., 32 Ibnu Rusd, lok.cit., Hlm. 351

94

nya secara terus-menerus, dan iapun harus diberi kelapangan untuk melunasi

hutangnya, hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah:

280

Sebagai kata penutup dalam analisa skripsi ini adalah dari kisah

Mu'azd Bin Jabal dapat kita ambil pelajaran nya yaitu biarpun harta orang

yang pailit itu habis untuk menutup semuanya hutangnya, biarlah! Dari pada

hidup menanggung malu karena banyak hutang, kemudian si pailit tersebut

dapat mulai kembali dari nol.