BAB IV

47
BAB IV ASBAB AL-NUZUL DALAM TAFSIR AL-MISBAH A. Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang Asbab al-Nuzul Sebagaimana pembahasan yang telah lalu, para interpreter kitab suci berbeda pandangan dalam mengartikan asba>b al-nuzu>l . Mayoritas ulama mengartikan asba>b al-nuzu>l hanya sebatas peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat. Sedangkan minoritas ulama mengartikan asba>b al-nuzu>l bukan hanya sebatas peristiwa, melainkan sosio-historis yang melingkupi turunnya ayat atau dengan kata lain, al-Qur'an turun merespon sosio budaya bangsa Arab waktu itu. Konsekuensi dari perbedaan tersebut, para ulama berbeda dalam merumuskan kaidah-kaidah asba>b al-nuzu>l pada ayat yang mempunyai sebab khusus dan lafaz yang umum. Mayoritas ulama menggunakan kaidah " al-ibrah bi 'umumi al-lafzh la bi khususi al-sabab ". Sedangkan minoritas menggunakan kaidah "al-Ibrah bi khususi al-sabab la bi umumi al- lafzh". 83

Transcript of BAB IV

Page 1: BAB IV

BAB IV

ASBAB AL-NUZUL DALAM TAFSIR AL-MISBAH

A. Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang Asbab al-Nuzul

Sebagaimana pembahasan yang telah lalu, para

interpreter kitab suci berbeda pandangan dalam mengartikan

asba>b al-nuzu>l. Mayoritas ulama mengartikan asba>b al-

nuzu>l hanya sebatas peristiwa yang melatarbelakangi

turunnya ayat. Sedangkan minoritas ulama mengartikan asba>b

al-nuzu>l bukan hanya sebatas peristiwa, melainkan sosio-

historis yang melingkupi turunnya ayat atau dengan kata lain,

al-Qur'an turun merespon sosio budaya bangsa Arab waktu itu.

Konsekuensi dari perbedaan tersebut, para ulama berbeda

dalam merumuskan kaidah-kaidah asba>b al-nuzu>l pada ayat

yang mempunyai sebab khusus dan lafaz yang umum. Mayoritas

ulama menggunakan kaidah "al-ibrah bi 'umumi al-lafzh la bi

khususi al-sabab". Sedangkan minoritas menggunakan kaidah

"al-Ibrah bi khususi al-sabab la bi umumi al-lafzh".

Adapun menurut Quraish Shihab, asba>b al-nuzu>l adalah

kondisi social pada masa turunnya ayat.1 Nampak dari

pengertian yang dikemukakannya, bahwa asba>b al-nuzu>l

respon terhadap social budaya bangsa Arab pada waktu itu.

1M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 90

83

Page 2: BAB IV

Alasan yang dibangunkannya karena al-Qur'an turun bukan

dalam masyarakat yang hampa budaya, melainkan turunnya

ayat berinteraksi dengan kenyataan yang ada. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau

paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun

dipentas bumi itu.2 dengan begitu kata "sabab" tidak bisa

dipahami sebagai hokum kausalitas, sebagaimana yang

diinginkan bagi yang berpaham bahwa "al-Qur'an qadim".

Dengan melihat pengertian yang dikemukakannya, sudah

bisa dipastikan bahwa kaidah yang digunakan Quraish Shihab

adalah "al-Ibrah bi khusus al-sabab la bi umumi al-lafzh".

Berkaitan dengan penggunaan kaidah tersebut, Quraish Shihab

mengkritik kaidah yang digunakan oleh mayoritas ulama. Ia

mengatakan: "Sayang, selama ini pandangan menyangkut

asba>b al-nuzu>l dan pemahaman ayat seringkali hanya

menekankan pada peristiwa dan mengabaikan "waktu"

terjadinya, setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya,

sebagaimana kaidah yang digunakan oleh mayoritas ulama.3

Selanjutnya ia mengatakan, setiap asba>b al-nuzu>l

mencakup: Peristiwa, pelaku, dan waktu. Hal ini karena tidak

mungkin suatu peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu

tertentu tanpa adanya pelaku.4 2 Ibid. hal. 893 Ibid4 Ibid

84

Page 3: BAB IV

Dalam mengoperasionalkan asba>b al-nuzu>l berdasarkan

kaidah "al-Ibrah bi khususi al-sabab la bi umumi al-lafzh" perlu

menekankan adanya qiyas (analogi) untuk menarik makna ayat

yang mempunyai asba>b al-nuzu>l dengan memperhatikan

factor waktu, jika tidak, maka menjadi tidak relevan untuk

dianalogikan. Analogi yang dimaksud di sini bukanlah analogi

yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq al-shuriy) yang

selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha'. Karena analogi

semacam ini bukan untuk menjawab persoalan umat di masa

sekarang, namun hanya sekedar membahas fakta yang ada

untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan

membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.5

Dari pengertian yang dikemukakannya, nampak

kecendrungan Quraish Shihab terhadap pandangan ulama

minoritas. Ini berarti, pertimbangan konsteks social bangsa Arab

dalam memahami makna dari suatu ayat ketika menafsirkannya

mempunyai peran penting.

B. Penafsiran Quraish Shihab terhadap Ayat-ayat Ahkam

Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya, Quraish Shihab

memandang asba>b al-nuzu>l bukan hanya peristiwanya saja,

namun mencakup pelaku dan waktu di mana ayat diturunkan.

Namun yang menjadi persoalannya, bagaimanakah Quraish

5Ibid, hal. 90

85

Page 4: BAB IV

Shihab mengaplikasikan asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur'an, khususnya ayat-ayat ahkam. Untuk

menjawab permasalahan ini, di sini penulis mengutip beberapa

ayat-ayat ahkam dan melihat cara Quraish Shihab

menafsirkannya sejauhmana ia mengapliksai asba>b al-nuzu>l

ayat yang ditafsirkan. Adapun ayat-ayat ahkam yang penulis

kutip mengenai dengan hokum mawaris, larangan melaksanakan

shalat ketika mabuk, dan poligami.

1. Tentang Mawaris

Firman Allah, QS. Al-Nisa' (4): 11,

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

86

Page 5: BAB IV

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut di atas merupakan ayat yang menimbulkan

kontroversi dikalangan para mufassir. Karena sangat riskan

menimbulkan ketidak adilan bagi wanita, sehingga ayat tersebut

tidak bisa dipahami hanya melihat teksnya saja tanpa

pengembangan konteks sebab pemahaman teks saja berarti

tetap mempertahankan sistem patriarki.

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut merupakan

ketentuan-ketentuan Allah yang tidak boleh diganggu gugat.

Apabila tidak mengindahkan batas-batas itu dan ketentuan-Nya

yang lain, maka ia akan masuk neraka. Apabila mengindahkan

dan menuruti sebagaimana ketentuan-ketentuan Allah, maka ia

dimasukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di

bawahnya dan mereka kekal di dalamnya.6

Adapun berkenaan dengan masalah "bagian anak laki-laki

sama dengan dua bagian anak perempuan", Quraish Shihab

mengatakan bahwa bagian dua anak perempuan adalah

sepertiga dan anak laki-laki mendapatkan duapertiga. Ketentuan 6 Ibid, vol. 2, hal. 4

87

Page 6: BAB IV

seperti ini sudah sesuai dengan pemahaman ayat yang telah

disebutkan serta sebab yang melatarbelangi turunnya ayat

tersebut.7

Selanjutnya ia mengatakan, "sangat sulit menyatakan

bahwa laki-laki dan perempuan sama, baik atas nama ilmu

pengetahuan maupun agama, karena mempersamakan kedua

hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan laki-laki

bukan pula perempuan". Dengan alasan bahwa, pria telah

dibebankan membayar mahar, membelanjai isterinya dan anak-

anaknya, sedang perempuan tidak demikian. Jadi, tidak mungkin

al-Qur'an menyamakan bagian keduanya.8

Dengan mengutip pendapat asy-Sya'rani dan Thabathaba'i,

ia menyebutkan, ketentuan-ketentuan yang diberikan al-Qur'an

terhadap wanita dalam konteks hokum mawaris sudah

merupakan suatu keadilan, bahkan al-Qur'an lebih memihak

kepada perempuan, karena seorang suami membutuhkan isteri

tetapi ia harus membelanjakannya dan ini berbeda dengan

perempuan yang membutuhkan suami tapi tidak wajib

membelanjakannya. Jadi, bagian laki-laki dua kali lebih banyak

dari wanita sebenarnya ditetapkan Allah untuk dirinya dan

isterinya. Seandainya dia tidak wajib membelanjainya, maka

setengah dari yang seharusnya di terima itu dapat

7Ibid. hal. 362 8Ibid, hal. 369

88

Page 7: BAB IV

mencukupinya. Di sisi lain, bagian wanita yang satu itu,

sebenarnya cukup untuk dirinya karena keperluan dan tanggung

jawab sudah ditanggung oleh suaminya.9

Dari pandangan Quraish Shihab di atas, dapat disimpulkan

bahwa penentuan hak warisan laki-laki lebih banyak dari

perempuan merupakan sebuah keputusan dari Allah dan tidak

boleh di ganggu gugat dan keputusan ini sudah memberikan

keadilan bagi seorang perempuan karena status perempuan

dalam rumah tangga merupakan orang yang berada dibawah

tanggung jawab laki-laki, baik itu perlindungan dan pemenuhan

segala kebutuhan, seperti sandang dan pangan, dan lain-lain.

Namun, pandangan Quraish Shihab tersebut menyisakan sebuah

pertanyaan yang sangat mendasar, Bagaimana dengan

fenomena di zaman modern, yang mana kadang-kadang

perempuan menjadi tulang punggung keluarga? Di sinilah

Quraish Shihab keliru dalam memahami konsep keadilan pada

masa al-Qur'an diturunkan dengan sekarang, sebab ia terlalu

dipengaruhi oleh pendapat-pendapat ulama sebelumnya yang

mungkin perempuan pada waktu ulama tersebut sama dengan

masa di mana al-Qur'an. Sedangkan dalam konteks sosial

budaya Quraish Shihab hidup, peran wanita tidak lagi sama

9Ibid

89

Page 8: BAB IV

dengan masa al-Qur'an diturunkan atau masa ulama yang

pendapatnya dikutip oleh Quraish Shihab.

2. Hukum Shalat dalam Keadaan Mabuk

Firman Allah dalam surat al-Nisa'(4): 43

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

Secara literal, ayat di atas mengandung beberapa ketentuan

hokum, seperti: Larangan mengerjakan shalat ketika sedang

mabuk, menghampiri mesjid dalam keadaan berjunub, dan perintah

bertayamum jika tidak ada air atau sakit. Dalam penelitian ini,

penulis hanya menguraikan penafsiran Quraish Shihab mengenai

larangan mengerjakan shalat ketika mabuk. Alasannya, untuk

mengetahui caranya menafsirakannya serta posisi asba>b al-

nuzu>l dalam penafsirannya.

Pertama sekali, Quraish Shihab mengutip pendapat al-Biqa'i

yang mengatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan ayat

sebelumnya. Dan pendapat Thabathaba'i yang mengatakan: "Tidak

90

Page 9: BAB IV

jarang ayat yang turun dengan tema yang sama, tetapi ada

sesuatu yang mengundang turunnya ayat yang kelihatannya

berbeda tema tetapi sebanarnya tidak demikian. Kemudian Quraish

Shihab menolak kedua pendapat tersebut, namun ia pun tidak

memberikan jawaban kenapa ayat di atas tidak berbuhungan

dengan ayat sebelumnya, ia hanya mengatakan wallahu a'lam.10

Berkenaan dengan kalimat "la> taqrabu> al-shala>h wa

antum sukara> hatta ta'lamu>na ma> taqu>lu>na", Quraish

Shihab mengatakan, janganlah kamu mendekati shalat, yakni

melaksanakannya atau tempat shalat, lebih-lebih

melaksanakannya, sedang kamu dalam keadaan mabuk, yakni

hilang atau berkurang kesadaranmu akibat minuman keras atau

sejenisnya, sebagaimana terjadi pada sementara rekan-rekanmu

yang mabuk sehingga salah dalam membaca ayat-ayat al-Qur'an

dalam shalat.

Ketika menafsirkan ayat di atas secara lebih rinci, Quraish

Shihab menganalisis kata "sukara>" dalam ayat di atas,

menurutnya, kata tersebut bermakna "membendung", jadi yang

dimaksud di sini adalah minuman keras sebab minuman keras akan

membendung pikiran orang yang meminumnya. Kemudian ia

mengkritik pendapat ulama yang mengartikan kata "sukara>"

dengan mengantuk tidak sadarkan diri. Menurutnya, pendapat

10Ibid, hlm. 427-430

91

Page 10: BAB IV

tersebut tidak sesuai dengan banyak riwayat yang mengartikan

kata "sukara>" dengan mabuk. Riwayat-riyawat menyebutkan

bahwa sejak turunnya ini kaum muslimin terbiasa dengan minuman

keras tidak lagi meminumnya waktu siang hari, namun mereka

meminumnya setelah selesai melaksanakan shalat isya, sebab

waktu shalat isya dengan subuh mempunyai jarak yang cukup

panjang sehingga ketika melaksanakan shalat subuh mereka tidak

lagi mabuk.

Selanjutnya ia mengatakan, berkenaan dengan firman Allah;

Sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, bukan berarti

bahwa yang melaksanakan shalat harus mengerti apa yang mereka

baca dari ayat-ayat al-Qur'an dan doa-doa shalat, melainkan

mereka sadar dengan yang mereka baca sehingga tidak ada

kekeliruan atau tidak mencampurbaurkan kalimat-kalimat bacaan

akibat hilang atau berkurangnya kesadaran.

3. Hukum Keluarga

Firman Allah dalam surat al-Nisa' (4): 3

Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

92

Page 11: BAB IV

Menurut Quraish Shihab ayat di atas berkenaan dengan

larangan berbuat aniaya terhadap anak yatim. Artinya, tidak

diboleh mengawini perempuan yang yatim jika tidak sanggup

berlaku adil. Dalam konteks ayat ini, larangan diberikan jika

mengawini perempuan yatim karena mengharap harta dan

kecantikannya bukan untuk melindungi dan menyayanginya. Hal ini

berdasarkan keterangan Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari,

Muslim, Abu Daud, serta Turmidzi, yang mana Urwah bin Zubair

bertanya kepada Aisyah tentang ayat ini, Aisyah menjawab ayat ini

turun berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam

pemeliharaan wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali

dan sang wali senang akan kecantikan dan harta anak yatim, maka

ia hendak mengawininya dengan tanpa memberikan mahar yang

pantas, lalu turunlah ayat tersebut. Kemudian Aisyah melanjutkan,

setelah ayat itu turun, sahabat bertanya tentang perempuan, maka

turunlah firman Allah QS. an-Nisa' (4): 127, Dan mereka minta

fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi

fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan

kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para

wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa

yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini

mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan

(Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim

93

Page 12: BAB IV

secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka

Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.11

Adapun penggunaan term matsna, tsula>tsa, dan ruba>'

merupakan tuntutan keadilan kepada anak yatim. Redaksi ini sama

dengan perkataan orang yang melarang orang lain memakan

makanan tertentu, untuk menguat larangannya ia mengatakan: Jika

anda khawatir sakit memakan makanan ini, maka habisilah makan

yang selain ini. Jadi perintah poligami dalam ayat tersebut

dipahami hanya sebatas larangan untuk tidak mengawini anak

yatim. Dan ayat ini tidak menyuruh dan mewajibkan karena

poligami telah dikenal oleh agama lain dan adat istiadat sebelum

Islam. Melainkan berbicara tentang bolehnya poligami dan itu

hanya pintu kecil yang dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan

dan dengan syarat yang tidak ringan.12

Dari penafsiran Quraish Shihab dapat dipahami bahwa,

dibolehnya poligami karena untuk menghindari dari mengawani

anak yatim dengan cara yang tidak layak. Adapun bolehnya

poligami bukanlah didasari oleh suatu keinginan yang tidak disertai

dengan alasan-alasan yang logis. Adapun alasan-alasan logis yang

dimaksudkan di sini, seperti terjadinya peperangan yang

menyebabkan banyaknya korban dipihak laki-laki, dan kemandulan

dipihak wanita.

11Ibid, vol. 2, hal. 324 12Ibid.

94

Page 13: BAB IV

C. Analisa Asbab al-Nuzul dari Penafsiran ayat-ayat

Ahkam

Ketiga ayat ahkam yang ditafsirkan Quraish Shihab hanya

dua ayat saja yang secara jelas disebutkan asba>b al-

nuzu>lnya, yaitu surat al-Nisa'(4): 11, dan 3. Sedangkan surat

al-Nisa'(4): 43 secara eksplisit ia tidak menyebutkannya, namun

dengan memperhatikan kata-katanya "sebagaimana terjadi pada

sementara rekan-rekanmu yang mabuk sehingga salah dalam

membaca ayat-ayat al-Qur'an dalam shalat" penulis berasumsi,

itulah asba>b al-nuzu>lnya sebab ayat tersebut berkenaan

dengan seorang sahabat yang mabuk melaksanakan shalat dan

ia salah membaca ayat dalam shalatnya.13

Secara metodologis, asba>b al-nuzu>l yang dikutip

Quraish Shihab dalam tafsirnya, khususnya dalam menafsirkan

surat al-Nisa'(4):3, 11, dan 43 tidak mempunyai pengaruh

terhadap penafsirannya. Buktinya, dalam menafsirkan ayat-ayat

ahkam, ia tidak menggunakan asba>b al-nuzu>l dalam

menganalisis ayat-ayat yang ditafsirkannya. Bukti lain adalah

penetapan hukum dari ayat-ayat tersebut tidak menampakkan

adanya nuansa asba>b al-nuzu>l sebagaimana yang dipahami

oleh Quraish Shihab . Seperti uraian berikut ini:

13Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>dhi>, Asbab al-Nuzu>l 'an al-Shaha>bah wa al-Mufassiri>n, (Mesir: Dar al-Sala>m, 2005), hlm. 70

95

Page 14: BAB IV

Dalam hukum warisan, Quraish Shihab tetap

mempertahan bahagian seorang anak lelaki sama dengan

bahagian dua orang anak perempuan. Padahal dengan

memperhatikan asba>b al-nuzu>l yang diserta dengan konteks

sosial, ia tidak perlu memaksakan hukum mawaris yang

ditetapkan beberapa abad yang lalu untuk diberlakukan di masa

sekarang atau memaksakan konsep keadilan perempuan di

masa al-Qur'an diturunkan untuk masa sekarang. Sebab

ketentuan bagian perempuan sebagai yang disebutkan secara

literal dalam surat al-Nisa'(4):11 sudah cukup adil bagi

perempuan masa itu karena mereka hanya tinggal di rumah

menunggu kepulangan suami. Artinya mereka tidak memikirkan

nafakah, mahar, dan lain-lain. Sedangkan perempuan di masa

sekarang berbeda dengan perempuan dulu, baik dari status

sosial, pendidikan, dan tanggung jawab. Perempuan sekarang

kadang-kadang menjadi tumpuan keluarga. Dari sini nampak

penafsiran Quraish Shihab tentang hukum mawaris tidak relevan

dengan zaman sekarang.

Adapun dalam hukum shalat dalam keadaan mabuk,

Quraish Shihab hanya menjelaskan tidak boleh mendekati

apalagi melaksanakan shalat waktu mabuk. Ini menunjukkan,

Quraish Shihab tidak menggunakan sama sekali asba>b al-

nuzu>l. Sebab surat al-Nisa'(4): 45 turun sebagai penetapan

96

Page 15: BAB IV

hukum secara graduasi (bertahap). Sebenarnya Allah Swt. ingin

mengharamkan minuman keras tapi karena itu merupakan

kesukaan orang Arab maka pengharamannya dilakukan secara

bertahap.14 Ini menunjukkan hebatnya al-Qur'an dalam

menentukan sebuah peraturan. Jika ayat tersebut hanya

ditafsirkan sebagaimana yang dilakukan Quraish Shihab secara

literal dan parsial ditakutkan menimbulkan pemahaman yang

salah terhadap hukum minuman keras.

Dalam masalah hukum poligami, satu sisi Quraish Shihab

kontra terhadap hukum tersebut, namun di sisi lain ia melihat

bahwa al-Qur'an melegalkan hukum tersebut. Oleh sebab itu,

Quraish Shihab mengatakan: boleh poligami tapi didasari oleh

alasan-alasan yang logis. Ini menunjukkan penafsirannya tidak

terlalu literal. Walaupun begitu, penafsirannya tentang surat al-

Nisa'(4):3 tidak mengoperasionalkan asba>b al-nuzu>l sehingga

sikap kontranya terhadap hukum poligami tidak sepenuhnya

didasari oleh pemahaman dari al-Qur'an. Sembari mengabaikan

dialektika al-Qur'an dengan realitas masyarakat Arab waktu itu

yang memperlakukan poligami tanpa batas.

Padahal jika penafsirannya mengunakan asba>b al-

nuzu>l, maka ia tidak perlu ragu-ragu dalam penetapan hukum

tersebut, sebab ayat tersebut turun untuk membatasi sistem

14Ahsin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 143

97

Page 16: BAB IV

poligami yang dipraktekkan masyarakat Arab waktu itu. Di

samping itu, ayat tersebut memang nampaknya melegalkan

hukum poligami, namun diakhir ayat disebutkan " jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja".

Dalam ini perlu diperhatikan legal spesifik disertai dengan

memperhatikan ideal moralnya. Legal spesifik dari ayat

tersebut, yaitu membolehkan poligami, sedangkan ideal moral

adalah perintah berlaku adil. Perintah berlaku adil terhadap

perempuan yang dipoligami merupakan hal yang mustahil

dilakukan, sebagaimana dalam surat al-Nisa(4):129

disebutkan :Betapapun mereka (para wali) itu berupaya

(berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata

Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-

perempuan tersebut. Jadi, dalam konteks ayat sebenarnya

bukan melegalkan poligami, namun menyuruh monogami.

Dari contoh penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat-ayat

hukum, khususnya masalah warisan, larangan shalat waktu

mabuk, dan poligami nampak bahwa asba>b al-nuzu>l dalam

tafsir al-Misbah tidak mempunyai peran apapun dalam

menafsirkan ayat. Meskipun Quraish Shihab menyebutkan

asba>b al-nuzu>l dalam tafsirnya, itu hanya sebagai hiasan

penafsiran saja. Ini nampaknya asba>b al-nuzu>l dalam tafsir

al-Misbah hanya berhenti pada tataran hubungan mekanik

98

Page 17: BAB IV

antara teks dan realitas, berarti Quraish Shihab akan tetap

berada dalam kerangka konsep mimetik yang mentah.

Mengabaikan asba>b al-nuzu>l berarti mengabaikan

konteks (sosio-historis) di mana al-Qur'an diturunkan, sehingga

universalitas dan elastisitas al-Qur'an sering tidak terlihat dan

terkesan al-Qur'an tidak lebih hanya berlaku dan cocok untuk

masyarakat Arab. Menurut Umar Shihab dalam bukunya

Kontektualitas al-Qur'an, mengabaikan asba>b al-nuzu>l berarti

menghasilkan tafsir yang kaku dan tidak bisa diterapkan dalam

berbagai situasi social lain yang berbeda.15 Inilah dilakukan

Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat yang telah

disebutkan di atas, sehingga nampak Quraish Shihab

memaksakan konsep kebudayaan dan sosial masyarakat Arab

ketika turun al-Qur'an untuk masa sekarang, seperti konsep

perempuan dalam persepsi masyarakat Arab ketika al-Qur'an

diturunkan ke dalam zaman kotemporer ini. Jadi, kesan dan

pesan yang dihidangkan dalam tafsir al-Misbah khususnya ayat-

ayat hukum, tidak semua bisa dikonsumsi oleh masyarakat

modern karena tidak mampu menjawab persoalan-persoalan

yang terjadi sekarang. Oleh karena itu, penafsiran Quraish

Shihab khususnya tentang ayat mawaris, larangan shalat di saat

mabuk, dan poligami terkesan literalis-tekstualis. Padahal, jika

15Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur'an; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur'an, (Jakarta: Permadani, 2005), hal. 26

99

Page 18: BAB IV

melihat pemahamannya tentang asba>b al-nuzu>l maka tafsir

al-Misbah merupakan tafsir yang mampu menjawab persoalan

umat khususnya Indonesia.

Terlepas dari masalah tersebut, jika diperhatikan

pemahaman Quraish Shihab terhadap teori asba>b al-nuzu>l

dengan aplikasinya terdapat kesenjangan (gab). Dalam bahasa

Abdul Mustaqim, al-masafah al-ha'ilah.16 Artinya, dalam teori

asba>b al-nuzu>l ia mengatakan untuk mengetahui asba>b al-

nuzu>l tidak hanya terbatas pada peristiwanya saja namun

pelaku dan waktu juga diperhatikan. Sedangkan dalam

aplikasinya ia tidak melakukan yang demikian, bahkan

mengabaikan asba>b al-nuzu>l dalam penafsirannya. Akibatnya

tafsir yang diproduk oleh Quraish Shihab tidak bisa menjawab

persoalan-persoalan kekinian khususnya di Indonesia. Di

samping, Quraish Shihab terjebak dalam metode penafsiran

ulama klasik bersifat parsial-tekstual.

D. Kualifikasi Asbab al-Nuzul dalam tafsir al-Misbah

Setelah menguraikan pandangan Quraish Shihab terhadap

asba>b al-nuzu>l, dan penafsirannya serta menganalisis

asba>b al-nuzu>l, di sini penulis akan melakukan

16 Abdul Mustaqim, dkk, Studi al-Qur'an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogya: Tiara Wacana, 2002), hlm. 77

100

Page 19: BAB IV

pengelompokkan asba>b al-nuzu>l yang digunakan Quraish

Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam. Untuk melakukan

pengelompokkan ini, penulis melakukan kajian validitas hadits

asba>b al-nuzu>l yang terdapat dalam tafsir al-Misbah,

khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam. Sebelumnya

usaha ini tidak dilakukan oleh Quraish Shihab, bahkan ia tidak

mengatakan keotensitasan hadits asba>b al-nuzu>l yang

digunakannya. Kadang-kadang ia hanya mengutip penggalan

asba>b al-nuzu>l dan tidak ada pemberitahuan sehingga

berkesan itu adalah penafsiran Quraish Shihab itu sendiri.

Dalam melakukan kajian validitas hadits asba>b al-

nuzu>l, penulis melakukan kritikan sanad hadits dengan

mengkaji biografi rijal al-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab

rizal al-hadits, seperti Tahzi>b al-Tahzi>b karya Ibn Hajar

al-'Asqala>ni> (852/1449) dan kitab-kitab lain yang kira-kira

mendukung dalam melakukan kajian ini.

Adapun hadits-hadits asba>b al-nuzu>l yang akan dikaji

sanadnya adalah sebagai berikut:

1. Hadits asba>b al-nuzu>l tentang ayat mawaris

Iا Iَن PَّدO َحIَّدLَث PُنO َعIْب PَّدU ْب Yي َحOَمIْي Iَن LاُءO َحIَّدLَث IِرYَّي َك Iَز OُنP Iا َعIَّدYٍّي_ ْب َن IِرI ْب PْخI PَّدO َأ Iْي LِهY َعOْب الَّل

OُنP PَّدY َعIُنP َعIَمPِرUو ْب LِهY َعIْب PُنY الَّل PُنY ُمOَحIَمLَّدY ْب YِرY َعIُنP َعIِقYْيٍلU ْب اْب Iَج YُنP PَّدY ْب LِهY َعIْب الَّلIاَلIَق PْتIاُءIَج OُةI َأ IِرPاُم YَّدPْع Iَس YُنP YْيِعY ْب ْب Lا الِرIَهP Iْي Iَت Pَن Yاْب ْعPَّدU ُمYُنP ْب Iى َسIلY وَلY ِإ Oَس Iَر YِهL LِهO َصIَّلLى الَّل PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو PْتIالIِقIا َفI وَلI َّي Oَس Iَر YِهL IاِنY الَّل Iا َهIاَت Iَت Pَن ْعPَّدY اْب Iَس

YُنP YْيِعY ْب ْب Lالِر IٍلY OوَهOَمIا َقOَت Iْب IوPَمI ُمIْعIَكI َأ OَحOَّدU َّي َهYْيَّد�ا َأ Iَش LِنY IْخIَذI َعIَمLَهOَمIا وIِإ َأ

101

Page 20: BAB IV

IَهOَمIا IَمP ُمIال IَّدIْعP َفIَّل IَهOَمIا َّي IَحIاِنY وIاًلI ُمIااًل� ل Pَك Oَن YاًلL َت IَهOَمIا ِإ IِقPِضYي َقIاَلI ُمIاَل� وIل َّيOِهL YَكI َفYي الَّل لIْتP َذIل IَزI IُةO َفIَن اِثY آَّي IْيِرYَمP IْعIَثI ال َسOوَلO َفIْب Iَر YِهL LِهO َصIَّلLى الَّل الَّل

YِهP Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIى وIلY IَعPِطY َفIِقIاَلI َعIَم�َهYَمIا ِإ IيP َأ Iَت Pَن ْعPَّدU اْب Iَس YُنP Iْي Oَث �َّل IَعPِطY الَث وIَأُمLَهOَمIا

O �َمOُنI َأ IِقYيI وIُمIا الَث IَكI َفIَهOوI ْب 17ل

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Turmuzi, dan Ibn Majah.

Dengan pertimbangan dalam Tafsir al-Misbah disebutkan hadits

yang diriwayatkan oleh ath-Turmidzi, dan jalur sanad hadits dari

beberapa kitab hadits tidak jauh berbeda, yaitu bertumpu pada

Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqil maka peneliti mengambil inisiatif

untuk meneliti hadits yang riwayatkan oleh ath-Turmudzi dalam

melakukan kritik sanad.

Hadits ini diriwayatkan oleh 5 orang, ath-Turmudzi sebagai

mukharij hadits, Jabir ibn 'Abdillah sebagai rawi pertama, 'Abdillah

ibn Muhammad ibn 'Aqil sebagai rawi kedua, 'Ubaidullah ibn 'Umar

sebagai rawi ketiga, Zakaria ibn 'Udi>y, 'Abd ibn Hamid sebagai

perawi keempat.

Berikut ini akan dikaji sanad dari ahli hadits tersebut, yaitu

yang diriwayatkan oleh ath-Turmudzi:

a. Jabir ibn 'Abdillah

Nama lengkapnya adalah Jabir bin Abdullah ibn Umar ibn

Hara>m ibn Tsa'labah al-Kharariji> al-Salami>, kuniah Abu

Abdullah, ada yang mengatakan Abu Abd al-Rahman, dan Abu

Muhammad. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya

mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat Anshar 17ath-Turmudzi, Sunan,(Beirut: Maktabah al-Ma'arif, tt), hlm. 472

102

Page 21: BAB IV

yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama

Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan

yang dilakukan oleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud,

karena dilarang oleh ayahnya. Setelah Ayahnya terbunuh, ia selalu

ikut berperang bersama Rasulullah Saw. Di samping itu Abu Jabir

juga meriwayatkan 1.540 hadist. Ia meninggal tahun 73 H. 18

Ia mempelajari hadits kepada beberapa perawi hadits dan

meriwayatkannya dari mereka. Di antaranya adalah Rasulullah

Saw, Abu Bakr, Umar, 'Ali, Abi> Ubaidah, Thalhah, Mu'ad ibn Jabal,

'Uma>r ibn Ya>sir, Khalid ibn Walid, Abi Burdah ibn Niya>r, Abi>

Qatadah, Abi> Hurairah, Abi> Sa'id, Abdullah ibn Ani>s, Abi>

Humaid al-Sa>'adi>, Ummi Syari>k, Ummi Ma>lik, Ummi Mabsyir,

Ummi Kalsu>m binti Abu Bakr. Sedangkan murid-muridnya, Abd al-

Rahman, 'Aqi>l, Muhammad, Sa'i>d ibn al-Masi>b, Mahmu>d ibn

Lubaid, Abu Jubair, Umar ibn Di>na>r, Abu Ja'far al-Ba>qir,

Muhammad ibn Umar (anak pamannya), Ibnu Hasan, Muhammad

ibn Munkadir, Abu Nadhrah al-'Abdi>, Wahab ibn Kaisa>n, Sai>d

ibn Mi>na>', al-Hasan al-Bashari>, dan lain-lain.19

b. 'Abdillah ibn Muhammad ibn 'Aqil

Nama lengkapnya 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqi>l ibn

Abi> Thalib al-Ha>syimi>, kuniahnya Abu Muhammad al-Madani>.

Meninggal tahun 140 H20. Ia meriwayatkan hadits dari sejumlah

18Ibnu Hajar al-Asqala>ni>, Tahzi>b al-Tahzi>b, juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984 ), hlm. 42-43

19Ibid. 20Abi Zakaria al-Nawawi, Tahzib al-Asma', juz 2, (), hlm. 361

103

Page 22: BAB IV

sahabat, seperti Muhammad ibn 'Aqil (bapaknya), Muhammad ibn

al-Hani>fah (pamannya), ibn Umar, Anas, Jabir, al-Rabi>' bintu

Ma'u>z, Abdullah ibn Ja'far, Abi> Salamah ibn Abd al-Rahman,

Hamzah ibn Shuhaib, al-Thafi>l ibn Abi> ibn Ka'ab, Sa'i>d ibn al-

Masi>b. sedangkan murid-muridnya adalah: Muhammad ibn

'Ujla>n, Hima>d ibn Salamah, Syari>k al-Qadhi>, al-Safya>nan,

Qasim ibn Abd al-Wahid, 'Ubaidah ibn 'Umar al-Raqi>.21

Para kritikus hadits menilainya sebagai orang yang lemah

hafalannya (su>i hifdhihi). Ath Turmidzi mengatakan tentangnya:

sebenarnya ia terpercaya (shudu>q), namun karena para ulama

mengatakannya lemah hafalan. Al-Nasa'i mengatakan ia lemah

hafalannya, Ibnu 'Adi> mengatakan banyak jamaah meriwayatkan

hadits darinya dan ia lebih baik dibanding dengan Ibn Sa'ma>n, hal

senada juga dikatakan oleh kalangan ulama hadita lainnya.

c. 'Ubaidullah ibn 'Umar

Nama lengkapnya 'Ubaidillah ibn Umar ibn Abi> al-Wali>d al-

Asadi> al-Raqi>. Lahir tahun 101 H di Raqah dan meninggal tahun

180 H. ia berguru dan meriwayatkan hadits dari sejumlah banyak

ahli hadits di zamannya antara lain: 'Abd al-Malik ibn 'Umair,

'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqi>l, Yahya ibn Sai>d al-Ansha>ri>,

al-A'mas, Aiyub, Lais ibn Abi> Sali>m, Ma'mar, al-Tsu>ri>, Ibn Abi>

Ani>sah, Isha>q ibn Rasyid, dan lain-lain. Sedangkan murid-

21Ibid, juz 3, hlm. 259

104

Page 23: BAB IV

muridnya, 'Abdullah ibn Ja'far al-Raqi>y, Zakariya ibn Adi>, Ahmad

ibn Abd al-Malik al-Harani. 22

Sedangkan orang yang berguru dan meriwayatkan hadits dari

padanya antara lain adalah: 'Abdullah ibn Ja'far al-Raqi>y, Zakariya

ibn Adi>, Ahmad ibn Abd al-Malik al-Harani>, al-'Ala>' ibn Hila>l al-

Baha>li>, al-Hi>tsam ibn Jami>l al-Antha>qi>, Yusuf ibn 'Adi>, al-

Wali>d ibn Sha>lih al-Nukha>s, Abu> Tu>bah al-Halbi.

Pada umumnya para ahli hadits menilainya sebagai seorang

rawi yang terpercaya. Ibnu Mu'i>n dan al-Nasa'i menyatakan

bahwa beliau adalah tsiqqah. Demikian juga yang dikatakan oleh

Abu Ha>tim, menurutnya Ubaidillah merupakan seorang yang

berkomponten dalam hadits dan dapat digolongan dengan tsiqqah

shuduq. Berkenaan dengan ke-tsiqqah-an 'Ubaidillah,

dipertanyakan tentang keterlibatan meriwayatkan hadits dari

'Aqi>l, atau dia tidak bertemu dengan 'Aqi>l. berkenaan dengan

ini, ia menjawab: "Saya lebih suka bertemu langsung dengannya

daripada secara kebetulan". 23

d. Zakaria ibn 'Adi>

Nama lengkapnya Zakariya ibn 'Adi> ibn Zuraiq ibn Ismail,

kuniahnya Abu Yahya al-Ku>fi>. Meninggal tahun 211. Adapun

guru-gurunya dan ahli hadits yang diambil hadits darinya,

diantaranya adalah: Abu Isha>q al-Fazari>, Ibn Muba>rak,

22 Ibid, juz 4, hlm. 29-3023 Ibid, juz 4, hlm. 29-30

105

Page 24: BAB IV

'Ubaidillah ibn Umar al-Raqi>, Hima>d ibn Zaid, Hasyi>m dan

Yazi>d ibn Zurai', Hafash ibn Ghiya>s, Syari>k, Ali ibn Mushar,

Ibrahim ibn Sa'ad. Sedangkan murid-muridnya dan yang

mengambil hadits darinya, diantaranya adalah: Isha>q ibn

Ra>hawiyah, al-Bukhari (tapi bukan dalam kitab al-Jami'), Abdullah

ibn ibn Abi> Syaibah, Abdullah al-Darimi>, Ibnu Nami>r,

Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Baza>zi, Hijaj ibn al-Syair,

Muhammad ibn Ra>fi', al-Qa>sim ibn Zakariya ibn Di>na>r, Abu

Kuraib, al-Harits ibn Abi> Asa>mah, Basyar ibn Mu>sa.24

e. 'Abd ibn Hamid

Nama lengkapnya 'Abd ibn Hamid ibn Nasr al-Kasyi>,

kuniahnya Abu Muhammad atau Abd al-Hami>d.ia meniggal

tahun 149 H. adapun guru dan ahli hadits yang ia riwayatkan

haditsnya, diantara adalah: Ja'far ibn Aun, Abi Asa>sah,

Abdullah ibn Bikr al-Sahami>, Yazin ibn Haru>n, Ibn Abi>

'Iba>dah, Sa'id ibn 'A>mir, Abd al-Razaq, Ya'qub ibn Ibrahim ibn

Sa'ad Abi Na'i>m, Muhammad ibn Bakr al-Barasani>, Mush'ab

ibn Miqda>m. Sedangkan murid-murid dan ahli hadits yang

meriwayatkan hadits darinya, diantara adalah: Muslim, Turmidzi,

Ibn Muhammad ibn 'Abd, Ibrahim ibn Khuraim.

Di sini tidak disebutkan nama Zakaria ibn Adi> begitu

dalam biografi Zakaria ibn 'Adi>, namun dalam biografi Zakaria

24Ibid, juz 3, hlm. 286

106

Page 25: BAB IV

ibn 'Adi> tidak disebut semua nama-nama yang mengambil

hadits darinya. Untuk bukti bahwa Abd ibn Hamid pernah

mengambil hadits dari Zakaria adalah: 1) masa hidup keduanya

memungkinkan untuk bertemu, 2) dalam biografi Zakaria

terdapat nama Ibrahim ibn Sa'd, sedangkan dalam biografi Abd

ibn Hamid terdapat nama anak Ibrahim ibn Sa'd.

Para ahli hadits mengatakan bahwa beliau tsiqqah. Ibn

Hajar mengatakan, banyak mufassir mengambil hadits dari

periwayatannya.

Dari apa yang dipaparkan di atas nampak bahwa sanad

hadits ath-Turmudzi diriwayatkan secara bersambung (muttasil),

namun dalam jalur sanad hadits tersebut terdapat'Abdillah ibn

Muhammad ibn 'Aqil, di mana menurut para kritikus hadits, beliau

lemah hafalannya. Ini artinya sanad hadits yang diriwayatkan ath-

Turmudzi mengandung unsur kecacatan. Berkenaan dengan ath-

Turmudzi mengatakan bahwa hadits tersebut shahih hasan.25

Sebab selain 'Abdillah ibn Muhammad ibn 'Aqil semua sudah diakui

tsiqqah, apalagi 'Abdillah ibn Muhammad ibn 'Aqil bukan seorang

pendusta melainkan tidak kuat hafalannya.

Sebenarnya, selain hadits yang di atas, terdapat hadits lain

yang menjelaskan asba>b al-nuzu>l surat Al-Nisa' (4): 11, yaitu

25ath-Turmudzi, Sunan, hlm. 472

107

Page 26: BAB IV

hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari, Muslim, dan al-Nasa'i,

redaksi haditsnya sebagai berikut:

Iا Iَن اَهYْيَمO َحIَّدLَث IِرP Yْب PُنO ِإ Iا ُمOوَسIى ْب Iَن اَم� َحIَّدLَث IَشYَه LِنI PُنI َأ PٍجU اْب َّي IِرOَج PَمOَه IِرI ْب PْخI َقIاَلI َأ

Yي َن IِرI ْب PْخI PُنO َأ IَّدYَرY اْب Pَك PَمOَن YِرU َعIُنP ال اْب Iَج IيYِض Iَر OِهL PِهO الَّل Yي َقIاَلI َعIَن Yي� َعIاَدIَن Lْب الَن

LِهO َصIَّلLى PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو وO Iْب PِرU وIَأ Iَك Yي َفYي ْب Iَن YَمIُةI ْب َّل Iَس YُنP Iْي ْي YاَشIي ُمY َفIوIَجIَّدIَنYي� Lْب LِهO َصIَّلLى الَن PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو Iاًل OٍلYِقPَعI �ا َأ Pًئ ْي Iا َشIَعIَّدIَف UاُءIَمY I ْب IوIِضLَأ PِهO َفIَت ُمYَن

LَمO IَفIِقPْتO َعIَّلIيL َرIَّشL َث Yي ُمIا َفIِقOَّلPْتO َفIَأ َن OِرOُمP Iَأ IِنP َت IِعI َأ َصPَن

I Iا ُمIالYي َفYي َأ َّيIوَل Oَس Iَر YِهL لIْتP الَّل IَزI OَمP} َفIَن OوَصYْيَك LِهO َّي OَمP َفYي الَّل َدYَك IاًلPو

I 26 {َأ

Hadits ini mempunyai jalur sanad yang muttasil dan tsiqqah,

namun redaksi dan tokoh yang ada dalam hadits tersebut tidak

sesuai dengan data sejarah. Sebab di saat ayat tentang mawaris

turun, Jabir belum mempunyai anak, sedangkan content hadits

tersebut memberikan bagian warisan kepada anak dan isteri.

Adapun Sa'd ibn Rabi mempunyai dua orang anak dari isterinya

Umrah bint Hazm, yang salah satu anaknya bernama Jamilah yang

kemudian dinikahi oleh Zaid ibn Tsabit ibn Dhahhak dan surat al-

Nisa'(4):11 turun setelah terjadi perang Uhud yang menewaskan

Sa'd ibn Rabi.27 Jadi, hadits ini secara sanad shahih namun secara

matan tidak shahih. Ini berbeda dengan hadits yang pertama, yang

mana hadits tersebut secara sanad dhaif sedang matannya shahih.

Maka untuk validnya data tentang asba>b al-nuzu>l, hadits

pertama merupakan pilihan yang tepat. Oleh sebab itu, banyak

mufasir mengambil hadits yang pertama sebagai asba>b al-

nuzu>l surat Al-Nisa' (4): 11.26 Bukhari, al-Ja>mi' al-Shahi>h, hlm. 215-21627Fathi Fawzi 'Abd al-Mu'thi, Kisah Nyata Dibalik Turunnya Ayat-ayat Suci al-Qur'an, terj.

Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Zaman, 2008), hlm. 226

108

Page 27: BAB IV

2. Hadits asba>b al-nuzu>l tentang ayat larangan mengerjakan

shalat ketika mabuk

Iا Iَن PَّدO َحIَّدLَث PُنO َعIْب PَّدU ْب Iا َحOَمIْي Iَن PَّدO َحIَّدLَث َحPَمIُنY َعIْب Lالِر OُنP ْعPَّدU ْب Iَس PُنIي َعY ْبI َأ

UِرIَفPْعIٍّي� َجYاَز Lالِر PُنIَع YاُءIَطIَع YُنP YِبY ْب اِئ Lالَّس PُنIي َعY ْبI PَّدY َأ َحPَمIُنY َعIْب Lالِر

IَمYي� َّل PُنY َعIَّلYي� َعIُنP الَّس� Yي ْب ْبI YِبU َأ IِعI َقIاَلI َطIال Iا َصIَن Iَن PَّدO ل َحPَمIُنY َعIْب Lالِر OُنP ْب

UٍفPوIاُم�ا َعIْعIا َطI Iا َفIَّدIَعIاَن ِقIاَن IَسIو PُنYُم YِرPَمIَخP IْخIَذIْتP ال PَخIَمPِرO َفIَأ Lا ال ُمYَنPْت IِرIِضIَحIو Oُة IاَلLي الَّصY ْتO َفIِقIَّدLُمOوَن

P َأ IِرIِقIَف PٍلOا َقI �َهIا َّي َّيI وِنI َأ OِرYاَفI Pَك OَّدO اًلI ال IَعPْب ُمIا َأ

IوِنOَّدO IْعPْب IَحPُنO َت OَّدO وIَن IْعPْب OَّدOوِنI ُمIا َن IْعPْب َلI َقIاَلI َت IَزP َنI LِهO َفIَأ IْعIالIى الَّل Iا َت �َهIا } َّي َّي

I َأIَّيُنYَذL Oوا ال Oوا اًلI آُمIَن ْب IِرPِقI ُةI َت IاَلLالَّص PَمO Pَت Iَن ى وIَأ IاَرI َك Oى َسL IَمOوا َحIَت IْعPَّل OوِنI ُمIا َت IِقOول َت

}28

Menurut kitab Asba>b al-nuzu>l 'an al-Shabah wa al-

Mufassirun dan Luba>b al-Nuqu>l fi al-Asba>b al-Nuzu>l, hadits

ini diriwayatkan oleh Abu Daud, ath-Turmudzi, al-Nasa'i, dan al-

Hakim.29 Namun setelah penulis melakukan penulusuran hadits

melalui program maktabah syamilah, penulis tidak

menemukannya kecuali periwayatan ath-Turmudzi. Maka oleh

sebab, kajian sanad hadits tersebut dilakukan sebagaiman jalur

sanad dalam periwayatan ath-Turmudzi.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh 7 orang, ath-Turmudzi

sebagai mukharij hadits, 'Ali ibn Abi Thalib sebagai rawi pertama,

Abi 'Abd al-Rahman al-Sulami> sebagai rawi kedua, 'Atha' ibn al-

Sa>ib sebagai rawi ketiga, Abi Ja'far al-Razi> sebagai perawi

keempat, 'Abd al-Rahman ibn Sa'd sebagai perawi kelima dan 'Abd

ibn Hamid sebagai perawi keenam. Oleh karena Ali ibn Abi Thalib

28ath-Turmudzi, Sunan, hlm. 676 29Hlm. 70 lihat juga lubab hlm. 155

109

Page 28: BAB IV

merupakan sahabat yang sudah dikenal dan diketahui

ketsiqqahannya, di sini tidak lagi menjabarkan biografi beliau.

Begitu dengan 'Abd ibn Hamid, sebab biografi sudah disebutkan

dalam hadits sebelumnya. Jadi, sanad yang akan diteliti pada ini

adalah: Abi 'Abd al-Rahman al-Sulami>, 'Atha' ibn al-Sa>ib, Abi

Ja'far al-Razi, dan 'Abd al-Rahman ibn Sa'd.

a. Abi 'Abd al-Rahman al-Sulami>.

Nama lengkapnya 'Abdullah ibn Habi>b ibn Rabi>'ah.

Dengan kuniah Abu 'Abd al-Rahman al-Sulami al-Ku>fi> al-Qari>.

Meninggal tahun 85 H adapun para sahabat yang dijadikan guru

dan diambil hadits dari mereka, diantaranya adalah: Umar ibn

Khattab, Ustman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Sa'd, Kha>lid ibn

Wali>d, Ibn Mas'ud, Huzaifah, Abi Musa. Sedangkan murid dan ahli

hadits yang mengambil hadits darinya, diantaranya adalah: Ibrahim

al-Nakh'a, 'Alaqamah ibn Murtsad, Sa'id ibn Abi Ubaidah, Abu

Isha>q al-Sabi>'i, Sa'id ibn Jubair, Abu al-Hushain al-Asad, 'Atha'

ibn al-Sa>ib, Abd al-A'la ibn 'A>mir, Abd Malik ibn A'yi>n.30

Para kritikus hadits menilainya tsiqqah. Seperti al-'Ajli al-

Ku>fi> mengatakan bahwa beliau tsiqqah, begitu juga pendapat al-

Nasa'i.

30Ibnu Hajar al-Asqala>ni>, Tahzi>b al-Tahzi>b, juz 6, hlm. 183-184

110

Page 29: BAB IV

b. 'Atha' ibn al-Sa>ib.

Nama lengkapnya 'Atha' ibn al-Sa>ib ibn Malik, kuniahnya

Abu al-Sa>ib atau Abu Muhammad al-Kufi>. Meninggal tahun 137

H. adapun guru-gurunya dan ahli hadits yang diambil hadits,

diantaranya adalah: Sa>ib ibn Malik (bapaknya), Yazi>d ibn Aba>n,

'Abdullah ibn Abi> Abi Aufi>, Sa'id ibn Jubair, Abdullah ibn Salamah

ibn al-Asad, Abi> 'Abd al-Rahman al-Sulami>, Abi> Salamah ibn

'Abd al-Rahman. Sedangkan murid dan ahli hadits yang mengambil

hadit darinya, diantaranya adalah: Ismail ibn Kha>lid (orang yang

satu desa dengannya), Sulaima>n al-Ti>mi, al-'Amasy, Ibn Juraih,

al-Himada>n, al-Sufya>na>n, Syu'bah, Zaid, Mas'ur ibn 'Aliah, Jarir,

Syari>k, Hasyi>m, Muhammad ibnn Fadhal, al-Qitha>n, Ali ibn

'Ashim.31

Para ahli hadits berbeda pendapat dalam menilainya,

menurut Hima>d ibn Zaid, belaiu tsiqqah, Ahmad ibn Suna>n

mengatakan bahwa Atha', Laits, dan Yazi>d ibn Laits merupakan

orang yang bagus menurut saya, begitu juga menurut Abdullah ibn

Ahmad, beliau tsiqqah dan laki-laki yang shaleh. Akan tetapi

menurut Abu Daud dan Syuhbah bahwa 'Atha merupakan seorang

yang pelupa. Senada pendapat tersebut, Ahmad ibn Naji>h yang

diterima dari Ibn Mu'in mengatakan bahwa 'Atha' dan Laits sama-

sama lemah. Banyak pendapat dari ahli hadits terkemuka

31Ibid, juz. 7, hlm. 203-205

111

Page 30: BAB IV

mengatakan bahwa 'Atha' lemah, kecuali yang mengatakanya

tsiqqah adalah al-Nasa'i.

c. Abu Ja'far al-Razi

Nama lengkapnya 'I>sa ibn Abi 'I>sa Ma>ha>n. adapun

masa lahir dan meninggal, penulis belum menemukannya. Adapun

guru dan ahli hadits yang diambil hadits darinya, diantaranya

adalah: Rabi>' ibn Anas, 'Ashim ibn Abi al-Nuju>d, Husain ibn 'Abd

al-Rahman, al-A'masy, 'Atha' ibn al-Sa>ib, Yunus ibn 'Umaid.

Sedangkan murid dan yang mengambil hadits darinya, diantaranya

adalah: Abdullah (anaknya), Syu'bah (satu desa dengannya), 'Abd

al-Rahman ibn 'Abdullah ibn Sa'd al-Dasytaki>, Abu 'Iwa>nah,

Salamah ibn al-Fadhal, Abu Ahmad al-Jubair.32

Adapun penilaian ahli hadits tentang Abu Ja'far al-Razi

adalah: Ahmad ibn Abdullah mengatakan, hadits yang diriwayatkan

Abu Ja'far tidak shahih, menurut Hanbal yang diterima dari Ahmad,

Abu Ja'far merupakan seorang ahli hadits yang shaleh, Abdullah ibn

'Ali yang diterima dari Ibn Mu'in mengatakan, beliau banyak

menulis hadits, namun banyak pula kesalahannya, menurut al-

Nasa'i, beliau lemah dalam hafalan, begitu juga menurut Ibn

Khara>s, beliau sebenarnya jujur tapi lemah hafalannya,

sedangkan Abu Hatim dan Ibn Sa'd keduanya mengatakan bahwa

Abu Ja'far tsiqqah.

32Ibid, juz. 6, hlm. 324-325

112

Page 31: BAB IV

d. 'Abd al-Rahman ibn Sa'd

Nama lengkapnya 'Abd al-Rahman ibn 'Abdillah ibn Sa'd ibn

'Utsman al-Dasytaki>, kuniahnya Abu Muhammad al-Razi> al-

Maqri>. Tahun lahir dan meninggalnya belum didapatkan data. Ia

meriwayatkan hadits dari gurunya dan sejumlah ahli hadits,

diantara adalah: Abdullah ibn Sa'd (bapaknya), Abu Haitsamah, Abu

Sufya>n Qadhi>, Naisaburi, Umar ibn Abi Qais, Abu Ja'far al-Razi>,

Ibrahim ibn Thaha>man. Sedangkan murid dan ahli hadits yang

meriwayatkan hadits darinya, diantaranya adalah: Ahmad ibn Abd

al-Rahman (anaknya), Abdullah, Ahmad ibn Said al-Tubathi>,

Ahmad ibn Abi Sari>h al-Razi>, Utsman ibn Muhammad al-

Anma>thi>, 'Abd ibn Hami>d, Haru>n ibn Haya>n al-Qazwi>ni>,

Yahya ibn Musa.33

Pada umumnya para ahli hadis menilainya sebagai rawi yang

terpercaya. Abu Ha>tim menyatakan bahwa beliau terpercaya dan

seorang laki-laki yang shaleh. Ibnu al-Junaid mengatakan bahwa

beliau tidak bermasalah dan tsiqqah. Ahmad ibn Sa'id mengatakan

bahwa beliau tsiqqah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sanad hadits

larangan shalat pada saat mabuk diriwayatkan secara bersambung

(muttasil) namun ada dua orang sanad yang menurut ahli hadits

mengatakannya tidak tsiqqah karena keduanya tidak kuat hafalan,

33Ibid, hlm. 208

113

Page 32: BAB IV

yaitu 'Atha' ibn al-Sa>ib dan Abu Ja'far al-Razi>. Berkenaan dengan

masalah tersebut ath-Turmudzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan

shahih gharib.34 Menurut penulis penamaan hasan shahih gharib kepada kedua

hadits tersebut sudah sesuai sebab kedua sanad tersebut bukan seorang pendusta

melainkan tidak kuat hafalannya.

3. Hadits asba>b al-nuzu>l tentang ayat poligami

Iا Iَن PَّدO َحIَّدLَث PْعIَزYَّيَزY َعIْب PُنO ال PَّدY ْب LِهY َعIْب Iا الَّل Iَن اَهYْيَمO َحIَّدLَث IِرP Yْب PُنO ِإ ْعPَّدU ْب Iَس PُنIَع

YِحY PُنY َصIال اِنI ْب IَّسP Iْي PُنY َعIُنP َك َهIاٍبU اْب Yَش IاَلIي َقY َن IِرI ْب PْخI وIُةO َأ PِرOَع OُنP PِرY ْب Iْي ْب LِهO الَز� َن

I َأIَلI َأ Iَس Iُة IَشY LِهY َقIوPَلY َعIُنP َعIاِئ IْعIالIى الَّل YِنP} َت OَمP وIِإ IِنP ْخYَفPَت OِقPَّسYَطOوا اًلI َأ َفYي َت

IاُمIى Iَت Pْي Iا َفIِقIالIْتP {ال PُنI َّي Yي اْب OْخPَت YْيَمIُةO َهIَذYِهY َأ Iَت Pْي OوِنO ال Iَك �َهIا َحIْجPِرY َفYي َت Yْي وIلOِهO َك Iِر PَشI YِهY َفYي َت OِهO ُمIال ْب YْجPْعO OَهIا وIَّي OَهIا ُمIال OِرYَّيَّدO وIَجIَمIال �َهIا َفIْي Yْي IِنP وIل وLَجIَهIا َأ IَزI Iَت َّي

YِرP YَغIْي IِنP ْب OِقPَّسYِطI َأ IَهIا َصIَّدIاَقYَهIا َفYي َّي OْعPَطYْي PٍلI َفIْي OْعPَطYْيَهIا ُمIا ُمYَث ِهO َّي OِرP OَهOوا َغIْي َفIَنPُنIَع PِنI PَكYَحOوَهOُنL َأ Iَن YاًلL َّي IِنP ِإ OِقPَّسYَطOوا َأ IَهOُنL َّي OَغOوا ل Pَّل Iْب IَهOُنL وIَّي IَعPَّلIى ل YَهYُنL َأ Lَت َن Oَس وا الَّصLَّدIاِقY َفYي OِرYُمO IِنP َفIَأ PَكYَحOوا َأ Iَن IَهOَمP َطIاٍبI ُمIا َّي اُءY ُمYُنP ل Iَّس� وIاَهOُنL الَن Yَس IاَلIَق OُةIو PِرOَع PْتIالIَق Oُة IَشY YِنL َعIاِئ LاَسI وIِإ IوPا الَن IَفPَت َت Pاَس IوَلOَس Iَر YِهL َصIَّلLى الَّلOِهL PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو IَّدPْعI IُةY َهIَذYِهY ْب َّي Pاآْل Iَل IَزP َن

I LِهO َفIَأ IَكI} الَّل Oوَن IَفPَت َت PَّسI َفYي وIَّيYاُء Iَّس� ُةO َقIالIْتP {الَن IَشY LِهY وIَقIوPَلO َعIاِئ IْعIالIى الَّل IُةU َفYي َت ى آَّي IِرPْخO OوِنI} َأ َغIْب PِرI وIَت

PِنI PَكYَحOوَهOُنL َأ Iَن IُةO {َت َغPْب Iَر PَمO IَحIَّدYَك YِهY َعIُنP َأ YْيَمIَت Iَت OوِنO َحYْيُنI َّي Iَك IُةI َت Yْيَّل PَمIاَلY َقIَّل الYاَلIَمIْجP OَهOوا َقIالIْتP وIال IِنP َفIَن PَكYَحOوا َأ Iَن Oوا ُمIُنP َعIُنP َّي ْب Yَغ Iي َرYَف YِهY YِهY ُمIال وIَجIَمIال

IاُمIى َفYي Iَت اُءY َّي Iَّس� YاًلL الَن PِقYَّسPِطY ِإ Yال IَجPٍلY ُمYُنP ْب YَهYَمP َأ Iَت َغPْب Iَر LُنOَهP YَذIا َعIَن OُنL ِإ َكYْت IْياَلY PَمIاَلY َقIَّل PْجIَمIاَلY ال 35وIال

Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dengan pertimbangan

kedua perawi tersebut mengambil hadits dari jalur sanad yang sama, maka di sini

penulis mengambil salah satunya, yaitu Bukhari. Hal ini disebabkan apabila salah

satu terbukti shahih maka akan terwakili yang lain.

34 ath-Turmudzi, Sunan, hlm. 67635Bukhari, al-Ja>mi' al-Shahi>h, (Kairo: Maktabah Salfiyah, 1400 H), hlm.

210

114

Page 33: BAB IV

Hadits ini diriwayatkan oleh 5 orang, Bukhari sebagai

mukharij hadits, 'Urwah ibn Zubair sebagai rawi pertama, Ibnu

Syiha>b sebagai rawi kedua, Shaleh ibn Kaisa>n sebagai rawi

ketiga, Ibrahim ibn Sa'd sebagai perawi keempat, 'Abdul al-'Azi>z

ibn Abdillah sebagai perawi kelima.

a. 'Urwah ibn Jubair

Nama lengkapnya 'Urwah ibn Jubair ibn al-'Awa>m ibn Asad

ibn 'Abd al-'Azi> ibn Qushai al-Asadi>, dengan kuniahnya Abu

'Abdullah al-Madani. Meninggal tahun 92 H. adapun guru-gurunya

adalah Bapaknya dan Ibunya (putri Abu Bakar), Aisyah (istri Nabi,

bibinya), Ali ibn Abi Thalib, Sa'id ibn Zaid ibn Umar ibn Nufail,

Haki>m ibn Hiza>m, Zaid ibn Tsabit, dan lain-lain dari kalangan

sahabat Nabi. Sedangkan murid-muridnya adalah: Abdullah,

'Usman, Hisyam, Muhammad, Yahya, Umar ibn Abdillah ibn Urwah,

Muhammad ibn Ja'far ibn Jubair, Ibnu Syihab, dan lain-lain.36

Menurut Ibnu Syihab, apabila 'Urwah membacakan hadits

kepada kami, kemudian kami membacanya pada 'Umrah dan ia

membenarkanya. Menurut mayoritas ulama hadits, 'Urwah adalah

penghafal hadits yang tsiqqah.37

b. Ibnu Syiha>b

Nama lengkapnya Muhammad ibn Muslim ibn 'Ubaidillah ibn

Abdillah, ibn Syiha>b ibn Abdillah ibn al-Ha>rits ibn Zahrah ibn

Kila>b ibn Murrah al-Qarasyi> al-Zuhri> al-Faqi>h. ia lahir tahun

36Ibid, juz 4, hlm. 117-118 37 Ibid

115

Page 34: BAB IV

50 H dan meninggal tahun 115 H. diantara guru-gurunya adalah:

Abdullah ibn Umar al-Khattab, Abdullah ibn Ja'far, Rabi>'ah ibn

'Abbas, al-Musawwir ibn al-Makhramah, 'Abd al-Rahman ibn Azhar,

Abdullah ibn 'A>mir, 'Urwah ibn Jubair. Sedangkan diantara murid-

muridnya adalah: 'Atha' ibn Abi> Riba>h, Abu Jubair al-Maki>,

Umar ibn Abd Azi>z, Hisyam ibn 'Urwah, Shaleh bin Kaisa>n,

Syua'ib ibn Hamzah. 38

Menurut Bukhari, ia menghafal ribuan hadits, sedangkan

menurut Abu Daud, ia mengafal seribu hadits, setengah dari dua

ratus hadits dha'if. Dari kalangan ulama hadits mengatakan bahwa

Ibnu Syihab tsiqqah. 39

c. Shaleh ibn Kaisa>n

Nama lengkapnya Shaleh ibn Kaisa>n al-Madani>. Meninggal

pada masa Marwan ibn Muhammad sebagai khalifah Bani Umayyah

atau sekitar tahun 140 H. diantara guru-gurunya adalah: Sulaiman

ibn Abi> Khaisamah, Sa>lim ibn 'Abdullah ibn Umar, Ibnu Syihab,

Ismail ibn Muhammad ibn Sa'd, Ubaidillah ibn Abdillah ibn 'Utbah,

'Urwah ibn Jubair, Na'fi' Maula Ibn Umar. Sedangkan diantara

murid-muridnya adalah: Ma>lik, Ibnu Isha>q, Ibnu Juraih, Ma'mar,

Ibrahim, ibn Sa'd, Hima>d ibn Zaid, Sulaiman ibn Bila>l, Ibn

'Ati>bah.

38Ibid, juz 9, hlm 445-447 39Ibid.

116

Page 35: BAB IV

Menurut mayoritas ulama hadits mengatakan, Shaleh ibn

Kaisan merupakan seorang perawi hadits yang stiqqah dan ia

seorang yang faqih.

d. Ibrahim Ibn Sa'd

Nama lengkapnya Ibrahim ibn Sa'd ibn Ibrahim ibn 'Abd al-

Rahman ibn 'Auf al-Zuhri>, dengan kuniah Abu Isha>q al-

Mada>ni>. Ia lahir tahun 108 H dan meninggal tahun 183 H. Guru-

gurunya adalah: Sa'd ibn Ibrahim (bapaknya), Shaleh ibn Kaisan, al-

Zuhri,, Hisya>m ibn 'Urwah, Shafwa>n ibn Sali>m, Muhammad ibn

Isha>q, Syi'bah, Yazi>b ibn al-Ha>di, laits. Sedangkan murid-

muridnya, Abu Daud, Abu al-Wali>d, Yahya ibn Yahya, al-

Naisaburi>, Sa'd, dan Jama'ah.40

Menurut mayoritas ulama hadits, hadits yang diriwayatkan

oleh Ibrahim ibn Sa'd kebanyakannya shahih, dan marfu'.41

e. Abd al-Aziz ibn Abdillah

Nama lengkapnya 'Abd al-'Azi>z ibn Abdillah ibn Yahya ibn

Umar ibn Aus ibn Sa'd ibn Abi> Sarh al-'A>miri> al-Qarsyi> al-

Ausi>. Diantara guru-gurunya adalah: Malik, Muhammad Ja'far ibn

Abi> Katsi>r, Sulaima>n ibn Bila>l, Abd al-Rahman ibn Abi> al-

Zina>d, Ibnu Abi> Ha>zim, al-Dara>wardi>, Abdullah ibn Umar

al-'Amri>, Ibrahi>m ibn Sa'd, Abd al-Rahman ibn Abi Muhail, Laits.

40Ibid, juz 1, hlm. 121 41Ibid, hlm. 123

117

Page 36: BAB IV

Sedangkan murid-muridnya, al-Bukhari, Abu Daud, ath-Turmidzi, al-

Nasa'i, Ibnu Majah, dan lain-lain.42

Menurut Muttafaqun alaihi, Abd Aziz merupakan seorang

yang tsiqqah, begitu juga menurut muhaditsin lainnya.

Dari apa yang dipaparkan di atas nampak bahwa sanad

hadits Bukhari tidak mengandung cacat dan para rawi tampak

bersambung. Dengan demikian tidak berlebihan apabila sanad

tersebut dinyatakan shahih. Di antara ulama hadits yang

menyatakan keshahihannya adalah Abu Ja'far Al-Thahawi dalam

kitabnya Syarh Musykil al-Atsar.43

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits asba>b

al-nuzu>l yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah

ketika menafsirkan ayat-ayat Ahkam dapat dikelompokkan kepada

dua kelompok, yaitu: 1) Hasan Shahih, yang terdiri dari hadits

tentang warisan dan larangan shalat ketika mabuk. 2) Shahih, yaitu

hadits yang membicarakan tentang poligami.

42Ibid juz 3, hlm. 465-466 43Abu Ja'far al-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar, (Beirut: Muassisah al-

Risalah, 1415 H/1994 M), hlm. 418

118