BAB IV
Transcript of BAB IV
BAB IV
ASBAB AL-NUZUL DALAM TAFSIR AL-MISBAH
A. Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang Asbab al-Nuzul
Sebagaimana pembahasan yang telah lalu, para
interpreter kitab suci berbeda pandangan dalam mengartikan
asba>b al-nuzu>l. Mayoritas ulama mengartikan asba>b al-
nuzu>l hanya sebatas peristiwa yang melatarbelakangi
turunnya ayat. Sedangkan minoritas ulama mengartikan asba>b
al-nuzu>l bukan hanya sebatas peristiwa, melainkan sosio-
historis yang melingkupi turunnya ayat atau dengan kata lain,
al-Qur'an turun merespon sosio budaya bangsa Arab waktu itu.
Konsekuensi dari perbedaan tersebut, para ulama berbeda
dalam merumuskan kaidah-kaidah asba>b al-nuzu>l pada ayat
yang mempunyai sebab khusus dan lafaz yang umum. Mayoritas
ulama menggunakan kaidah "al-ibrah bi 'umumi al-lafzh la bi
khususi al-sabab". Sedangkan minoritas menggunakan kaidah
"al-Ibrah bi khususi al-sabab la bi umumi al-lafzh".
Adapun menurut Quraish Shihab, asba>b al-nuzu>l adalah
kondisi social pada masa turunnya ayat.1 Nampak dari
pengertian yang dikemukakannya, bahwa asba>b al-nuzu>l
respon terhadap social budaya bangsa Arab pada waktu itu.
1M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 90
83
Alasan yang dibangunkannya karena al-Qur'an turun bukan
dalam masyarakat yang hampa budaya, melainkan turunnya
ayat berinteraksi dengan kenyataan yang ada. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau
paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun
dipentas bumi itu.2 dengan begitu kata "sabab" tidak bisa
dipahami sebagai hokum kausalitas, sebagaimana yang
diinginkan bagi yang berpaham bahwa "al-Qur'an qadim".
Dengan melihat pengertian yang dikemukakannya, sudah
bisa dipastikan bahwa kaidah yang digunakan Quraish Shihab
adalah "al-Ibrah bi khusus al-sabab la bi umumi al-lafzh".
Berkaitan dengan penggunaan kaidah tersebut, Quraish Shihab
mengkritik kaidah yang digunakan oleh mayoritas ulama. Ia
mengatakan: "Sayang, selama ini pandangan menyangkut
asba>b al-nuzu>l dan pemahaman ayat seringkali hanya
menekankan pada peristiwa dan mengabaikan "waktu"
terjadinya, setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya,
sebagaimana kaidah yang digunakan oleh mayoritas ulama.3
Selanjutnya ia mengatakan, setiap asba>b al-nuzu>l
mencakup: Peristiwa, pelaku, dan waktu. Hal ini karena tidak
mungkin suatu peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu
tertentu tanpa adanya pelaku.4 2 Ibid. hal. 893 Ibid4 Ibid
84
Dalam mengoperasionalkan asba>b al-nuzu>l berdasarkan
kaidah "al-Ibrah bi khususi al-sabab la bi umumi al-lafzh" perlu
menekankan adanya qiyas (analogi) untuk menarik makna ayat
yang mempunyai asba>b al-nuzu>l dengan memperhatikan
factor waktu, jika tidak, maka menjadi tidak relevan untuk
dianalogikan. Analogi yang dimaksud di sini bukanlah analogi
yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq al-shuriy) yang
selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha'. Karena analogi
semacam ini bukan untuk menjawab persoalan umat di masa
sekarang, namun hanya sekedar membahas fakta yang ada
untuk diberi jawaban agama terhadapnya dengan
membandingkan fakta itu dengan apa yang pernah ada.5
Dari pengertian yang dikemukakannya, nampak
kecendrungan Quraish Shihab terhadap pandangan ulama
minoritas. Ini berarti, pertimbangan konsteks social bangsa Arab
dalam memahami makna dari suatu ayat ketika menafsirkannya
mempunyai peran penting.
B. Penafsiran Quraish Shihab terhadap Ayat-ayat Ahkam
Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya, Quraish Shihab
memandang asba>b al-nuzu>l bukan hanya peristiwanya saja,
namun mencakup pelaku dan waktu di mana ayat diturunkan.
Namun yang menjadi persoalannya, bagaimanakah Quraish
5Ibid, hal. 90
85
Shihab mengaplikasikan asba>b al-nuzu>l dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'an, khususnya ayat-ayat ahkam. Untuk
menjawab permasalahan ini, di sini penulis mengutip beberapa
ayat-ayat ahkam dan melihat cara Quraish Shihab
menafsirkannya sejauhmana ia mengapliksai asba>b al-nuzu>l
ayat yang ditafsirkan. Adapun ayat-ayat ahkam yang penulis
kutip mengenai dengan hokum mawaris, larangan melaksanakan
shalat ketika mabuk, dan poligami.
1. Tentang Mawaris
Firman Allah, QS. Al-Nisa' (4): 11,
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
86
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut di atas merupakan ayat yang menimbulkan
kontroversi dikalangan para mufassir. Karena sangat riskan
menimbulkan ketidak adilan bagi wanita, sehingga ayat tersebut
tidak bisa dipahami hanya melihat teksnya saja tanpa
pengembangan konteks sebab pemahaman teks saja berarti
tetap mempertahankan sistem patriarki.
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut merupakan
ketentuan-ketentuan Allah yang tidak boleh diganggu gugat.
Apabila tidak mengindahkan batas-batas itu dan ketentuan-Nya
yang lain, maka ia akan masuk neraka. Apabila mengindahkan
dan menuruti sebagaimana ketentuan-ketentuan Allah, maka ia
dimasukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya dan mereka kekal di dalamnya.6
Adapun berkenaan dengan masalah "bagian anak laki-laki
sama dengan dua bagian anak perempuan", Quraish Shihab
mengatakan bahwa bagian dua anak perempuan adalah
sepertiga dan anak laki-laki mendapatkan duapertiga. Ketentuan 6 Ibid, vol. 2, hal. 4
87
seperti ini sudah sesuai dengan pemahaman ayat yang telah
disebutkan serta sebab yang melatarbelangi turunnya ayat
tersebut.7
Selanjutnya ia mengatakan, "sangat sulit menyatakan
bahwa laki-laki dan perempuan sama, baik atas nama ilmu
pengetahuan maupun agama, karena mempersamakan kedua
hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan laki-laki
bukan pula perempuan". Dengan alasan bahwa, pria telah
dibebankan membayar mahar, membelanjai isterinya dan anak-
anaknya, sedang perempuan tidak demikian. Jadi, tidak mungkin
al-Qur'an menyamakan bagian keduanya.8
Dengan mengutip pendapat asy-Sya'rani dan Thabathaba'i,
ia menyebutkan, ketentuan-ketentuan yang diberikan al-Qur'an
terhadap wanita dalam konteks hokum mawaris sudah
merupakan suatu keadilan, bahkan al-Qur'an lebih memihak
kepada perempuan, karena seorang suami membutuhkan isteri
tetapi ia harus membelanjakannya dan ini berbeda dengan
perempuan yang membutuhkan suami tapi tidak wajib
membelanjakannya. Jadi, bagian laki-laki dua kali lebih banyak
dari wanita sebenarnya ditetapkan Allah untuk dirinya dan
isterinya. Seandainya dia tidak wajib membelanjainya, maka
setengah dari yang seharusnya di terima itu dapat
7Ibid. hal. 362 8Ibid, hal. 369
88
mencukupinya. Di sisi lain, bagian wanita yang satu itu,
sebenarnya cukup untuk dirinya karena keperluan dan tanggung
jawab sudah ditanggung oleh suaminya.9
Dari pandangan Quraish Shihab di atas, dapat disimpulkan
bahwa penentuan hak warisan laki-laki lebih banyak dari
perempuan merupakan sebuah keputusan dari Allah dan tidak
boleh di ganggu gugat dan keputusan ini sudah memberikan
keadilan bagi seorang perempuan karena status perempuan
dalam rumah tangga merupakan orang yang berada dibawah
tanggung jawab laki-laki, baik itu perlindungan dan pemenuhan
segala kebutuhan, seperti sandang dan pangan, dan lain-lain.
Namun, pandangan Quraish Shihab tersebut menyisakan sebuah
pertanyaan yang sangat mendasar, Bagaimana dengan
fenomena di zaman modern, yang mana kadang-kadang
perempuan menjadi tulang punggung keluarga? Di sinilah
Quraish Shihab keliru dalam memahami konsep keadilan pada
masa al-Qur'an diturunkan dengan sekarang, sebab ia terlalu
dipengaruhi oleh pendapat-pendapat ulama sebelumnya yang
mungkin perempuan pada waktu ulama tersebut sama dengan
masa di mana al-Qur'an. Sedangkan dalam konteks sosial
budaya Quraish Shihab hidup, peran wanita tidak lagi sama
9Ibid
89
dengan masa al-Qur'an diturunkan atau masa ulama yang
pendapatnya dikutip oleh Quraish Shihab.
2. Hukum Shalat dalam Keadaan Mabuk
Firman Allah dalam surat al-Nisa'(4): 43
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Secara literal, ayat di atas mengandung beberapa ketentuan
hokum, seperti: Larangan mengerjakan shalat ketika sedang
mabuk, menghampiri mesjid dalam keadaan berjunub, dan perintah
bertayamum jika tidak ada air atau sakit. Dalam penelitian ini,
penulis hanya menguraikan penafsiran Quraish Shihab mengenai
larangan mengerjakan shalat ketika mabuk. Alasannya, untuk
mengetahui caranya menafsirakannya serta posisi asba>b al-
nuzu>l dalam penafsirannya.
Pertama sekali, Quraish Shihab mengutip pendapat al-Biqa'i
yang mengatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan ayat
sebelumnya. Dan pendapat Thabathaba'i yang mengatakan: "Tidak
90
jarang ayat yang turun dengan tema yang sama, tetapi ada
sesuatu yang mengundang turunnya ayat yang kelihatannya
berbeda tema tetapi sebanarnya tidak demikian. Kemudian Quraish
Shihab menolak kedua pendapat tersebut, namun ia pun tidak
memberikan jawaban kenapa ayat di atas tidak berbuhungan
dengan ayat sebelumnya, ia hanya mengatakan wallahu a'lam.10
Berkenaan dengan kalimat "la> taqrabu> al-shala>h wa
antum sukara> hatta ta'lamu>na ma> taqu>lu>na", Quraish
Shihab mengatakan, janganlah kamu mendekati shalat, yakni
melaksanakannya atau tempat shalat, lebih-lebih
melaksanakannya, sedang kamu dalam keadaan mabuk, yakni
hilang atau berkurang kesadaranmu akibat minuman keras atau
sejenisnya, sebagaimana terjadi pada sementara rekan-rekanmu
yang mabuk sehingga salah dalam membaca ayat-ayat al-Qur'an
dalam shalat.
Ketika menafsirkan ayat di atas secara lebih rinci, Quraish
Shihab menganalisis kata "sukara>" dalam ayat di atas,
menurutnya, kata tersebut bermakna "membendung", jadi yang
dimaksud di sini adalah minuman keras sebab minuman keras akan
membendung pikiran orang yang meminumnya. Kemudian ia
mengkritik pendapat ulama yang mengartikan kata "sukara>"
dengan mengantuk tidak sadarkan diri. Menurutnya, pendapat
10Ibid, hlm. 427-430
91
tersebut tidak sesuai dengan banyak riwayat yang mengartikan
kata "sukara>" dengan mabuk. Riwayat-riyawat menyebutkan
bahwa sejak turunnya ini kaum muslimin terbiasa dengan minuman
keras tidak lagi meminumnya waktu siang hari, namun mereka
meminumnya setelah selesai melaksanakan shalat isya, sebab
waktu shalat isya dengan subuh mempunyai jarak yang cukup
panjang sehingga ketika melaksanakan shalat subuh mereka tidak
lagi mabuk.
Selanjutnya ia mengatakan, berkenaan dengan firman Allah;
Sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, bukan berarti
bahwa yang melaksanakan shalat harus mengerti apa yang mereka
baca dari ayat-ayat al-Qur'an dan doa-doa shalat, melainkan
mereka sadar dengan yang mereka baca sehingga tidak ada
kekeliruan atau tidak mencampurbaurkan kalimat-kalimat bacaan
akibat hilang atau berkurangnya kesadaran.
3. Hukum Keluarga
Firman Allah dalam surat al-Nisa' (4): 3
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
92
Menurut Quraish Shihab ayat di atas berkenaan dengan
larangan berbuat aniaya terhadap anak yatim. Artinya, tidak
diboleh mengawini perempuan yang yatim jika tidak sanggup
berlaku adil. Dalam konteks ayat ini, larangan diberikan jika
mengawini perempuan yatim karena mengharap harta dan
kecantikannya bukan untuk melindungi dan menyayanginya. Hal ini
berdasarkan keterangan Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, Abu Daud, serta Turmidzi, yang mana Urwah bin Zubair
bertanya kepada Aisyah tentang ayat ini, Aisyah menjawab ayat ini
turun berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam
pemeliharaan wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali
dan sang wali senang akan kecantikan dan harta anak yatim, maka
ia hendak mengawininya dengan tanpa memberikan mahar yang
pantas, lalu turunlah ayat tersebut. Kemudian Aisyah melanjutkan,
setelah ayat itu turun, sahabat bertanya tentang perempuan, maka
turunlah firman Allah QS. an-Nisa' (4): 127, Dan mereka minta
fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan
kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa
yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini
mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan
(Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim
93
secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.11
Adapun penggunaan term matsna, tsula>tsa, dan ruba>'
merupakan tuntutan keadilan kepada anak yatim. Redaksi ini sama
dengan perkataan orang yang melarang orang lain memakan
makanan tertentu, untuk menguat larangannya ia mengatakan: Jika
anda khawatir sakit memakan makanan ini, maka habisilah makan
yang selain ini. Jadi perintah poligami dalam ayat tersebut
dipahami hanya sebatas larangan untuk tidak mengawini anak
yatim. Dan ayat ini tidak menyuruh dan mewajibkan karena
poligami telah dikenal oleh agama lain dan adat istiadat sebelum
Islam. Melainkan berbicara tentang bolehnya poligami dan itu
hanya pintu kecil yang dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan
dan dengan syarat yang tidak ringan.12
Dari penafsiran Quraish Shihab dapat dipahami bahwa,
dibolehnya poligami karena untuk menghindari dari mengawani
anak yatim dengan cara yang tidak layak. Adapun bolehnya
poligami bukanlah didasari oleh suatu keinginan yang tidak disertai
dengan alasan-alasan yang logis. Adapun alasan-alasan logis yang
dimaksudkan di sini, seperti terjadinya peperangan yang
menyebabkan banyaknya korban dipihak laki-laki, dan kemandulan
dipihak wanita.
11Ibid, vol. 2, hal. 324 12Ibid.
94
C. Analisa Asbab al-Nuzul dari Penafsiran ayat-ayat
Ahkam
Ketiga ayat ahkam yang ditafsirkan Quraish Shihab hanya
dua ayat saja yang secara jelas disebutkan asba>b al-
nuzu>lnya, yaitu surat al-Nisa'(4): 11, dan 3. Sedangkan surat
al-Nisa'(4): 43 secara eksplisit ia tidak menyebutkannya, namun
dengan memperhatikan kata-katanya "sebagaimana terjadi pada
sementara rekan-rekanmu yang mabuk sehingga salah dalam
membaca ayat-ayat al-Qur'an dalam shalat" penulis berasumsi,
itulah asba>b al-nuzu>lnya sebab ayat tersebut berkenaan
dengan seorang sahabat yang mabuk melaksanakan shalat dan
ia salah membaca ayat dalam shalatnya.13
Secara metodologis, asba>b al-nuzu>l yang dikutip
Quraish Shihab dalam tafsirnya, khususnya dalam menafsirkan
surat al-Nisa'(4):3, 11, dan 43 tidak mempunyai pengaruh
terhadap penafsirannya. Buktinya, dalam menafsirkan ayat-ayat
ahkam, ia tidak menggunakan asba>b al-nuzu>l dalam
menganalisis ayat-ayat yang ditafsirkannya. Bukti lain adalah
penetapan hukum dari ayat-ayat tersebut tidak menampakkan
adanya nuansa asba>b al-nuzu>l sebagaimana yang dipahami
oleh Quraish Shihab . Seperti uraian berikut ini:
13Abdul Fata>h Abdul Ghani> al-Qa>dhi>, Asbab al-Nuzu>l 'an al-Shaha>bah wa al-Mufassiri>n, (Mesir: Dar al-Sala>m, 2005), hlm. 70
95
Dalam hukum warisan, Quraish Shihab tetap
mempertahan bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan. Padahal dengan
memperhatikan asba>b al-nuzu>l yang diserta dengan konteks
sosial, ia tidak perlu memaksakan hukum mawaris yang
ditetapkan beberapa abad yang lalu untuk diberlakukan di masa
sekarang atau memaksakan konsep keadilan perempuan di
masa al-Qur'an diturunkan untuk masa sekarang. Sebab
ketentuan bagian perempuan sebagai yang disebutkan secara
literal dalam surat al-Nisa'(4):11 sudah cukup adil bagi
perempuan masa itu karena mereka hanya tinggal di rumah
menunggu kepulangan suami. Artinya mereka tidak memikirkan
nafakah, mahar, dan lain-lain. Sedangkan perempuan di masa
sekarang berbeda dengan perempuan dulu, baik dari status
sosial, pendidikan, dan tanggung jawab. Perempuan sekarang
kadang-kadang menjadi tumpuan keluarga. Dari sini nampak
penafsiran Quraish Shihab tentang hukum mawaris tidak relevan
dengan zaman sekarang.
Adapun dalam hukum shalat dalam keadaan mabuk,
Quraish Shihab hanya menjelaskan tidak boleh mendekati
apalagi melaksanakan shalat waktu mabuk. Ini menunjukkan,
Quraish Shihab tidak menggunakan sama sekali asba>b al-
nuzu>l. Sebab surat al-Nisa'(4): 45 turun sebagai penetapan
96
hukum secara graduasi (bertahap). Sebenarnya Allah Swt. ingin
mengharamkan minuman keras tapi karena itu merupakan
kesukaan orang Arab maka pengharamannya dilakukan secara
bertahap.14 Ini menunjukkan hebatnya al-Qur'an dalam
menentukan sebuah peraturan. Jika ayat tersebut hanya
ditafsirkan sebagaimana yang dilakukan Quraish Shihab secara
literal dan parsial ditakutkan menimbulkan pemahaman yang
salah terhadap hukum minuman keras.
Dalam masalah hukum poligami, satu sisi Quraish Shihab
kontra terhadap hukum tersebut, namun di sisi lain ia melihat
bahwa al-Qur'an melegalkan hukum tersebut. Oleh sebab itu,
Quraish Shihab mengatakan: boleh poligami tapi didasari oleh
alasan-alasan yang logis. Ini menunjukkan penafsirannya tidak
terlalu literal. Walaupun begitu, penafsirannya tentang surat al-
Nisa'(4):3 tidak mengoperasionalkan asba>b al-nuzu>l sehingga
sikap kontranya terhadap hukum poligami tidak sepenuhnya
didasari oleh pemahaman dari al-Qur'an. Sembari mengabaikan
dialektika al-Qur'an dengan realitas masyarakat Arab waktu itu
yang memperlakukan poligami tanpa batas.
Padahal jika penafsirannya mengunakan asba>b al-
nuzu>l, maka ia tidak perlu ragu-ragu dalam penetapan hukum
tersebut, sebab ayat tersebut turun untuk membatasi sistem
14Ahsin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 143
97
poligami yang dipraktekkan masyarakat Arab waktu itu. Di
samping itu, ayat tersebut memang nampaknya melegalkan
hukum poligami, namun diakhir ayat disebutkan " jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja".
Dalam ini perlu diperhatikan legal spesifik disertai dengan
memperhatikan ideal moralnya. Legal spesifik dari ayat
tersebut, yaitu membolehkan poligami, sedangkan ideal moral
adalah perintah berlaku adil. Perintah berlaku adil terhadap
perempuan yang dipoligami merupakan hal yang mustahil
dilakukan, sebagaimana dalam surat al-Nisa(4):129
disebutkan :Betapapun mereka (para wali) itu berupaya
(berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata
Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-
perempuan tersebut. Jadi, dalam konteks ayat sebenarnya
bukan melegalkan poligami, namun menyuruh monogami.
Dari contoh penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat-ayat
hukum, khususnya masalah warisan, larangan shalat waktu
mabuk, dan poligami nampak bahwa asba>b al-nuzu>l dalam
tafsir al-Misbah tidak mempunyai peran apapun dalam
menafsirkan ayat. Meskipun Quraish Shihab menyebutkan
asba>b al-nuzu>l dalam tafsirnya, itu hanya sebagai hiasan
penafsiran saja. Ini nampaknya asba>b al-nuzu>l dalam tafsir
al-Misbah hanya berhenti pada tataran hubungan mekanik
98
antara teks dan realitas, berarti Quraish Shihab akan tetap
berada dalam kerangka konsep mimetik yang mentah.
Mengabaikan asba>b al-nuzu>l berarti mengabaikan
konteks (sosio-historis) di mana al-Qur'an diturunkan, sehingga
universalitas dan elastisitas al-Qur'an sering tidak terlihat dan
terkesan al-Qur'an tidak lebih hanya berlaku dan cocok untuk
masyarakat Arab. Menurut Umar Shihab dalam bukunya
Kontektualitas al-Qur'an, mengabaikan asba>b al-nuzu>l berarti
menghasilkan tafsir yang kaku dan tidak bisa diterapkan dalam
berbagai situasi social lain yang berbeda.15 Inilah dilakukan
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat yang telah
disebutkan di atas, sehingga nampak Quraish Shihab
memaksakan konsep kebudayaan dan sosial masyarakat Arab
ketika turun al-Qur'an untuk masa sekarang, seperti konsep
perempuan dalam persepsi masyarakat Arab ketika al-Qur'an
diturunkan ke dalam zaman kotemporer ini. Jadi, kesan dan
pesan yang dihidangkan dalam tafsir al-Misbah khususnya ayat-
ayat hukum, tidak semua bisa dikonsumsi oleh masyarakat
modern karena tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
yang terjadi sekarang. Oleh karena itu, penafsiran Quraish
Shihab khususnya tentang ayat mawaris, larangan shalat di saat
mabuk, dan poligami terkesan literalis-tekstualis. Padahal, jika
15Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur'an; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur'an, (Jakarta: Permadani, 2005), hal. 26
99
melihat pemahamannya tentang asba>b al-nuzu>l maka tafsir
al-Misbah merupakan tafsir yang mampu menjawab persoalan
umat khususnya Indonesia.
Terlepas dari masalah tersebut, jika diperhatikan
pemahaman Quraish Shihab terhadap teori asba>b al-nuzu>l
dengan aplikasinya terdapat kesenjangan (gab). Dalam bahasa
Abdul Mustaqim, al-masafah al-ha'ilah.16 Artinya, dalam teori
asba>b al-nuzu>l ia mengatakan untuk mengetahui asba>b al-
nuzu>l tidak hanya terbatas pada peristiwanya saja namun
pelaku dan waktu juga diperhatikan. Sedangkan dalam
aplikasinya ia tidak melakukan yang demikian, bahkan
mengabaikan asba>b al-nuzu>l dalam penafsirannya. Akibatnya
tafsir yang diproduk oleh Quraish Shihab tidak bisa menjawab
persoalan-persoalan kekinian khususnya di Indonesia. Di
samping, Quraish Shihab terjebak dalam metode penafsiran
ulama klasik bersifat parsial-tekstual.
D. Kualifikasi Asbab al-Nuzul dalam tafsir al-Misbah
Setelah menguraikan pandangan Quraish Shihab terhadap
asba>b al-nuzu>l, dan penafsirannya serta menganalisis
asba>b al-nuzu>l, di sini penulis akan melakukan
16 Abdul Mustaqim, dkk, Studi al-Qur'an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogya: Tiara Wacana, 2002), hlm. 77
100
pengelompokkan asba>b al-nuzu>l yang digunakan Quraish
Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam. Untuk melakukan
pengelompokkan ini, penulis melakukan kajian validitas hadits
asba>b al-nuzu>l yang terdapat dalam tafsir al-Misbah,
khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam. Sebelumnya
usaha ini tidak dilakukan oleh Quraish Shihab, bahkan ia tidak
mengatakan keotensitasan hadits asba>b al-nuzu>l yang
digunakannya. Kadang-kadang ia hanya mengutip penggalan
asba>b al-nuzu>l dan tidak ada pemberitahuan sehingga
berkesan itu adalah penafsiran Quraish Shihab itu sendiri.
Dalam melakukan kajian validitas hadits asba>b al-
nuzu>l, penulis melakukan kritikan sanad hadits dengan
mengkaji biografi rijal al-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab
rizal al-hadits, seperti Tahzi>b al-Tahzi>b karya Ibn Hajar
al-'Asqala>ni> (852/1449) dan kitab-kitab lain yang kira-kira
mendukung dalam melakukan kajian ini.
Adapun hadits-hadits asba>b al-nuzu>l yang akan dikaji
sanadnya adalah sebagai berikut:
1. Hadits asba>b al-nuzu>l tentang ayat mawaris
Iا Iَن PَّدO َحIَّدLَث PُنO َعIْب PَّدU ْب Yي َحOَمIْي Iَن LاُءO َحIَّدLَث IِرYَّي َك Iَز OُنP Iا َعIَّدYٍّي_ ْب َن IِرI ْب PْخI PَّدO َأ Iْي LِهY َعOْب الَّل
OُنP PَّدY َعIُنP َعIَمPِرUو ْب LِهY َعIْب PُنY الَّل PُنY ُمOَحIَمLَّدY ْب YِرY َعIُنP َعIِقYْيٍلU ْب اْب Iَج YُنP PَّدY ْب LِهY َعIْب الَّلIاَلIَق PْتIاُءIَج OُةI َأ IِرPاُم YَّدPْع Iَس YُنP YْيِعY ْب ْب Lا الِرIَهP Iْي Iَت Pَن Yاْب ْعPَّدU ُمYُنP ْب Iى َسIلY وَلY ِإ Oَس Iَر YِهL LِهO َصIَّلLى الَّل PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو PْتIالIِقIا َفI وَلI َّي Oَس Iَر YِهL IاِنY الَّل Iا َهIاَت Iَت Pَن ْعPَّدY اْب Iَس
YُنP YْيِعY ْب ْب Lالِر IٍلY OوَهOَمIا َقOَت Iْب IوPَمI ُمIْعIَكI َأ OَحOَّدU َّي َهYْيَّد�ا َأ Iَش LِنY IْخIَذI َعIَمLَهOَمIا وIِإ َأ
101
IَهOَمIا IَمP ُمIال IَّدIْعP َفIَّل IَهOَمIا َّي IَحIاِنY وIاًلI ُمIااًل� ل Pَك Oَن YاًلL َت IَهOَمIا ِإ IِقPِضYي َقIاَلI ُمIاَل� وIل َّيOِهL YَكI َفYي الَّل لIْتP َذIل IَزI IُةO َفIَن اِثY آَّي IْيِرYَمP IْعIَثI ال َسOوَلO َفIْب Iَر YِهL LِهO َصIَّلLى الَّل الَّل
YِهP Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIى وIلY IَعPِطY َفIِقIاَلI َعIَم�َهYَمIا ِإ IيP َأ Iَت Pَن ْعPَّدU اْب Iَس YُنP Iْي Oَث �َّل IَعPِطY الَث وIَأُمLَهOَمIا
O �َمOُنI َأ IِقYيI وIُمIا الَث IَكI َفIَهOوI ْب 17ل
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Turmuzi, dan Ibn Majah.
Dengan pertimbangan dalam Tafsir al-Misbah disebutkan hadits
yang diriwayatkan oleh ath-Turmidzi, dan jalur sanad hadits dari
beberapa kitab hadits tidak jauh berbeda, yaitu bertumpu pada
Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqil maka peneliti mengambil inisiatif
untuk meneliti hadits yang riwayatkan oleh ath-Turmudzi dalam
melakukan kritik sanad.
Hadits ini diriwayatkan oleh 5 orang, ath-Turmudzi sebagai
mukharij hadits, Jabir ibn 'Abdillah sebagai rawi pertama, 'Abdillah
ibn Muhammad ibn 'Aqil sebagai rawi kedua, 'Ubaidullah ibn 'Umar
sebagai rawi ketiga, Zakaria ibn 'Udi>y, 'Abd ibn Hamid sebagai
perawi keempat.
Berikut ini akan dikaji sanad dari ahli hadits tersebut, yaitu
yang diriwayatkan oleh ath-Turmudzi:
a. Jabir ibn 'Abdillah
Nama lengkapnya adalah Jabir bin Abdullah ibn Umar ibn
Hara>m ibn Tsa'labah al-Kharariji> al-Salami>, kuniah Abu
Abdullah, ada yang mengatakan Abu Abd al-Rahman, dan Abu
Muhammad. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya
mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat Anshar 17ath-Turmudzi, Sunan,(Beirut: Maktabah al-Ma'arif, tt), hlm. 472
102
yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama
Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan
yang dilakukan oleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud,
karena dilarang oleh ayahnya. Setelah Ayahnya terbunuh, ia selalu
ikut berperang bersama Rasulullah Saw. Di samping itu Abu Jabir
juga meriwayatkan 1.540 hadist. Ia meninggal tahun 73 H. 18
Ia mempelajari hadits kepada beberapa perawi hadits dan
meriwayatkannya dari mereka. Di antaranya adalah Rasulullah
Saw, Abu Bakr, Umar, 'Ali, Abi> Ubaidah, Thalhah, Mu'ad ibn Jabal,
'Uma>r ibn Ya>sir, Khalid ibn Walid, Abi Burdah ibn Niya>r, Abi>
Qatadah, Abi> Hurairah, Abi> Sa'id, Abdullah ibn Ani>s, Abi>
Humaid al-Sa>'adi>, Ummi Syari>k, Ummi Ma>lik, Ummi Mabsyir,
Ummi Kalsu>m binti Abu Bakr. Sedangkan murid-muridnya, Abd al-
Rahman, 'Aqi>l, Muhammad, Sa'i>d ibn al-Masi>b, Mahmu>d ibn
Lubaid, Abu Jubair, Umar ibn Di>na>r, Abu Ja'far al-Ba>qir,
Muhammad ibn Umar (anak pamannya), Ibnu Hasan, Muhammad
ibn Munkadir, Abu Nadhrah al-'Abdi>, Wahab ibn Kaisa>n, Sai>d
ibn Mi>na>', al-Hasan al-Bashari>, dan lain-lain.19
b. 'Abdillah ibn Muhammad ibn 'Aqil
Nama lengkapnya 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqi>l ibn
Abi> Thalib al-Ha>syimi>, kuniahnya Abu Muhammad al-Madani>.
Meninggal tahun 140 H20. Ia meriwayatkan hadits dari sejumlah
18Ibnu Hajar al-Asqala>ni>, Tahzi>b al-Tahzi>b, juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984 ), hlm. 42-43
19Ibid. 20Abi Zakaria al-Nawawi, Tahzib al-Asma', juz 2, (), hlm. 361
103
sahabat, seperti Muhammad ibn 'Aqil (bapaknya), Muhammad ibn
al-Hani>fah (pamannya), ibn Umar, Anas, Jabir, al-Rabi>' bintu
Ma'u>z, Abdullah ibn Ja'far, Abi> Salamah ibn Abd al-Rahman,
Hamzah ibn Shuhaib, al-Thafi>l ibn Abi> ibn Ka'ab, Sa'i>d ibn al-
Masi>b. sedangkan murid-muridnya adalah: Muhammad ibn
'Ujla>n, Hima>d ibn Salamah, Syari>k al-Qadhi>, al-Safya>nan,
Qasim ibn Abd al-Wahid, 'Ubaidah ibn 'Umar al-Raqi>.21
Para kritikus hadits menilainya sebagai orang yang lemah
hafalannya (su>i hifdhihi). Ath Turmidzi mengatakan tentangnya:
sebenarnya ia terpercaya (shudu>q), namun karena para ulama
mengatakannya lemah hafalan. Al-Nasa'i mengatakan ia lemah
hafalannya, Ibnu 'Adi> mengatakan banyak jamaah meriwayatkan
hadits darinya dan ia lebih baik dibanding dengan Ibn Sa'ma>n, hal
senada juga dikatakan oleh kalangan ulama hadita lainnya.
c. 'Ubaidullah ibn 'Umar
Nama lengkapnya 'Ubaidillah ibn Umar ibn Abi> al-Wali>d al-
Asadi> al-Raqi>. Lahir tahun 101 H di Raqah dan meninggal tahun
180 H. ia berguru dan meriwayatkan hadits dari sejumlah banyak
ahli hadits di zamannya antara lain: 'Abd al-Malik ibn 'Umair,
'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Aqi>l, Yahya ibn Sai>d al-Ansha>ri>,
al-A'mas, Aiyub, Lais ibn Abi> Sali>m, Ma'mar, al-Tsu>ri>, Ibn Abi>
Ani>sah, Isha>q ibn Rasyid, dan lain-lain. Sedangkan murid-
21Ibid, juz 3, hlm. 259
104
muridnya, 'Abdullah ibn Ja'far al-Raqi>y, Zakariya ibn Adi>, Ahmad
ibn Abd al-Malik al-Harani. 22
Sedangkan orang yang berguru dan meriwayatkan hadits dari
padanya antara lain adalah: 'Abdullah ibn Ja'far al-Raqi>y, Zakariya
ibn Adi>, Ahmad ibn Abd al-Malik al-Harani>, al-'Ala>' ibn Hila>l al-
Baha>li>, al-Hi>tsam ibn Jami>l al-Antha>qi>, Yusuf ibn 'Adi>, al-
Wali>d ibn Sha>lih al-Nukha>s, Abu> Tu>bah al-Halbi.
Pada umumnya para ahli hadits menilainya sebagai seorang
rawi yang terpercaya. Ibnu Mu'i>n dan al-Nasa'i menyatakan
bahwa beliau adalah tsiqqah. Demikian juga yang dikatakan oleh
Abu Ha>tim, menurutnya Ubaidillah merupakan seorang yang
berkomponten dalam hadits dan dapat digolongan dengan tsiqqah
shuduq. Berkenaan dengan ke-tsiqqah-an 'Ubaidillah,
dipertanyakan tentang keterlibatan meriwayatkan hadits dari
'Aqi>l, atau dia tidak bertemu dengan 'Aqi>l. berkenaan dengan
ini, ia menjawab: "Saya lebih suka bertemu langsung dengannya
daripada secara kebetulan". 23
d. Zakaria ibn 'Adi>
Nama lengkapnya Zakariya ibn 'Adi> ibn Zuraiq ibn Ismail,
kuniahnya Abu Yahya al-Ku>fi>. Meninggal tahun 211. Adapun
guru-gurunya dan ahli hadits yang diambil hadits darinya,
diantaranya adalah: Abu Isha>q al-Fazari>, Ibn Muba>rak,
22 Ibid, juz 4, hlm. 29-3023 Ibid, juz 4, hlm. 29-30
105
'Ubaidillah ibn Umar al-Raqi>, Hima>d ibn Zaid, Hasyi>m dan
Yazi>d ibn Zurai', Hafash ibn Ghiya>s, Syari>k, Ali ibn Mushar,
Ibrahim ibn Sa'ad. Sedangkan murid-muridnya dan yang
mengambil hadits darinya, diantaranya adalah: Isha>q ibn
Ra>hawiyah, al-Bukhari (tapi bukan dalam kitab al-Jami'), Abdullah
ibn ibn Abi> Syaibah, Abdullah al-Darimi>, Ibnu Nami>r,
Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Baza>zi, Hijaj ibn al-Syair,
Muhammad ibn Ra>fi', al-Qa>sim ibn Zakariya ibn Di>na>r, Abu
Kuraib, al-Harits ibn Abi> Asa>mah, Basyar ibn Mu>sa.24
e. 'Abd ibn Hamid
Nama lengkapnya 'Abd ibn Hamid ibn Nasr al-Kasyi>,
kuniahnya Abu Muhammad atau Abd al-Hami>d.ia meniggal
tahun 149 H. adapun guru dan ahli hadits yang ia riwayatkan
haditsnya, diantara adalah: Ja'far ibn Aun, Abi Asa>sah,
Abdullah ibn Bikr al-Sahami>, Yazin ibn Haru>n, Ibn Abi>
'Iba>dah, Sa'id ibn 'A>mir, Abd al-Razaq, Ya'qub ibn Ibrahim ibn
Sa'ad Abi Na'i>m, Muhammad ibn Bakr al-Barasani>, Mush'ab
ibn Miqda>m. Sedangkan murid-murid dan ahli hadits yang
meriwayatkan hadits darinya, diantara adalah: Muslim, Turmidzi,
Ibn Muhammad ibn 'Abd, Ibrahim ibn Khuraim.
Di sini tidak disebutkan nama Zakaria ibn Adi> begitu
dalam biografi Zakaria ibn 'Adi>, namun dalam biografi Zakaria
24Ibid, juz 3, hlm. 286
106
ibn 'Adi> tidak disebut semua nama-nama yang mengambil
hadits darinya. Untuk bukti bahwa Abd ibn Hamid pernah
mengambil hadits dari Zakaria adalah: 1) masa hidup keduanya
memungkinkan untuk bertemu, 2) dalam biografi Zakaria
terdapat nama Ibrahim ibn Sa'd, sedangkan dalam biografi Abd
ibn Hamid terdapat nama anak Ibrahim ibn Sa'd.
Para ahli hadits mengatakan bahwa beliau tsiqqah. Ibn
Hajar mengatakan, banyak mufassir mengambil hadits dari
periwayatannya.
Dari apa yang dipaparkan di atas nampak bahwa sanad
hadits ath-Turmudzi diriwayatkan secara bersambung (muttasil),
namun dalam jalur sanad hadits tersebut terdapat'Abdillah ibn
Muhammad ibn 'Aqil, di mana menurut para kritikus hadits, beliau
lemah hafalannya. Ini artinya sanad hadits yang diriwayatkan ath-
Turmudzi mengandung unsur kecacatan. Berkenaan dengan ath-
Turmudzi mengatakan bahwa hadits tersebut shahih hasan.25
Sebab selain 'Abdillah ibn Muhammad ibn 'Aqil semua sudah diakui
tsiqqah, apalagi 'Abdillah ibn Muhammad ibn 'Aqil bukan seorang
pendusta melainkan tidak kuat hafalannya.
Sebenarnya, selain hadits yang di atas, terdapat hadits lain
yang menjelaskan asba>b al-nuzu>l surat Al-Nisa' (4): 11, yaitu
25ath-Turmudzi, Sunan, hlm. 472
107
hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari, Muslim, dan al-Nasa'i,
redaksi haditsnya sebagai berikut:
Iا Iَن اَهYْيَمO َحIَّدLَث IِرP Yْب PُنO ِإ Iا ُمOوَسIى ْب Iَن اَم� َحIَّدLَث IَشYَه LِنI PُنI َأ PٍجU اْب َّي IِرOَج PَمOَه IِرI ْب PْخI َقIاَلI َأ
Yي َن IِرI ْب PْخI PُنO َأ IَّدYَرY اْب Pَك PَمOَن YِرU َعIُنP ال اْب Iَج IيYِض Iَر OِهL PِهO الَّل Yي َقIاَلI َعIَن Yي� َعIاَدIَن Lْب الَن
LِهO َصIَّلLى PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو وO Iْب PِرU وIَأ Iَك Yي َفYي ْب Iَن YَمIُةI ْب َّل Iَس YُنP Iْي ْي YاَشIي ُمY َفIوIَجIَّدIَنYي� Lْب LِهO َصIَّلLى الَن PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو Iاًل OٍلYِقPَعI �ا َأ Pًئ ْي Iا َشIَعIَّدIَف UاُءIَمY I ْب IوIِضLَأ PِهO َفIَت ُمYَن
LَمO IَفIِقPْتO َعIَّلIيL َرIَّشL َث Yي ُمIا َفIِقOَّلPْتO َفIَأ َن OِرOُمP Iَأ IِنP َت IِعI َأ َصPَن
I Iا ُمIالYي َفYي َأ َّيIوَل Oَس Iَر YِهL لIْتP الَّل IَزI OَمP} َفIَن OوَصYْيَك LِهO َّي OَمP َفYي الَّل َدYَك IاًلPو
I 26 {َأ
Hadits ini mempunyai jalur sanad yang muttasil dan tsiqqah,
namun redaksi dan tokoh yang ada dalam hadits tersebut tidak
sesuai dengan data sejarah. Sebab di saat ayat tentang mawaris
turun, Jabir belum mempunyai anak, sedangkan content hadits
tersebut memberikan bagian warisan kepada anak dan isteri.
Adapun Sa'd ibn Rabi mempunyai dua orang anak dari isterinya
Umrah bint Hazm, yang salah satu anaknya bernama Jamilah yang
kemudian dinikahi oleh Zaid ibn Tsabit ibn Dhahhak dan surat al-
Nisa'(4):11 turun setelah terjadi perang Uhud yang menewaskan
Sa'd ibn Rabi.27 Jadi, hadits ini secara sanad shahih namun secara
matan tidak shahih. Ini berbeda dengan hadits yang pertama, yang
mana hadits tersebut secara sanad dhaif sedang matannya shahih.
Maka untuk validnya data tentang asba>b al-nuzu>l, hadits
pertama merupakan pilihan yang tepat. Oleh sebab itu, banyak
mufasir mengambil hadits yang pertama sebagai asba>b al-
nuzu>l surat Al-Nisa' (4): 11.26 Bukhari, al-Ja>mi' al-Shahi>h, hlm. 215-21627Fathi Fawzi 'Abd al-Mu'thi, Kisah Nyata Dibalik Turunnya Ayat-ayat Suci al-Qur'an, terj.
Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Zaman, 2008), hlm. 226
108
2. Hadits asba>b al-nuzu>l tentang ayat larangan mengerjakan
shalat ketika mabuk
Iا Iَن PَّدO َحIَّدLَث PُنO َعIْب PَّدU ْب Iا َحOَمIْي Iَن PَّدO َحIَّدLَث َحPَمIُنY َعIْب Lالِر OُنP ْعPَّدU ْب Iَس PُنIي َعY ْبI َأ
UِرIَفPْعIٍّي� َجYاَز Lالِر PُنIَع YاُءIَطIَع YُنP YِبY ْب اِئ Lالَّس PُنIي َعY ْبI PَّدY َأ َحPَمIُنY َعIْب Lالِر
IَمYي� َّل PُنY َعIَّلYي� َعIُنP الَّس� Yي ْب ْبI YِبU َأ IِعI َقIاَلI َطIال Iا َصIَن Iَن PَّدO ل َحPَمIُنY َعIْب Lالِر OُنP ْب
UٍفPوIاُم�ا َعIْعIا َطI Iا َفIَّدIَعIاَن ِقIاَن IَسIو PُنYُم YِرPَمIَخP IْخIَذIْتP ال PَخIَمPِرO َفIَأ Lا ال ُمYَنPْت IِرIِضIَحIو Oُة IاَلLي الَّصY ْتO َفIِقIَّدLُمOوَن
P َأ IِرIِقIَف PٍلOا َقI �َهIا َّي َّيI وِنI َأ OِرYاَفI Pَك OَّدO اًلI ال IَعPْب ُمIا َأ
IوِنOَّدO IْعPْب IَحPُنO َت OَّدO وIَن IْعPْب OَّدOوِنI ُمIا َن IْعPْب َلI َقIاَلI َت IَزP َنI LِهO َفIَأ IْعIالIى الَّل Iا َت �َهIا } َّي َّي
I َأIَّيُنYَذL Oوا ال Oوا اًلI آُمIَن ْب IِرPِقI ُةI َت IاَلLالَّص PَمO Pَت Iَن ى وIَأ IاَرI َك Oى َسL IَمOوا َحIَت IْعPَّل OوِنI ُمIا َت IِقOول َت
}28
Menurut kitab Asba>b al-nuzu>l 'an al-Shabah wa al-
Mufassirun dan Luba>b al-Nuqu>l fi al-Asba>b al-Nuzu>l, hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Daud, ath-Turmudzi, al-Nasa'i, dan al-
Hakim.29 Namun setelah penulis melakukan penulusuran hadits
melalui program maktabah syamilah, penulis tidak
menemukannya kecuali periwayatan ath-Turmudzi. Maka oleh
sebab, kajian sanad hadits tersebut dilakukan sebagaiman jalur
sanad dalam periwayatan ath-Turmudzi.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh 7 orang, ath-Turmudzi
sebagai mukharij hadits, 'Ali ibn Abi Thalib sebagai rawi pertama,
Abi 'Abd al-Rahman al-Sulami> sebagai rawi kedua, 'Atha' ibn al-
Sa>ib sebagai rawi ketiga, Abi Ja'far al-Razi> sebagai perawi
keempat, 'Abd al-Rahman ibn Sa'd sebagai perawi kelima dan 'Abd
ibn Hamid sebagai perawi keenam. Oleh karena Ali ibn Abi Thalib
28ath-Turmudzi, Sunan, hlm. 676 29Hlm. 70 lihat juga lubab hlm. 155
109
merupakan sahabat yang sudah dikenal dan diketahui
ketsiqqahannya, di sini tidak lagi menjabarkan biografi beliau.
Begitu dengan 'Abd ibn Hamid, sebab biografi sudah disebutkan
dalam hadits sebelumnya. Jadi, sanad yang akan diteliti pada ini
adalah: Abi 'Abd al-Rahman al-Sulami>, 'Atha' ibn al-Sa>ib, Abi
Ja'far al-Razi, dan 'Abd al-Rahman ibn Sa'd.
a. Abi 'Abd al-Rahman al-Sulami>.
Nama lengkapnya 'Abdullah ibn Habi>b ibn Rabi>'ah.
Dengan kuniah Abu 'Abd al-Rahman al-Sulami al-Ku>fi> al-Qari>.
Meninggal tahun 85 H adapun para sahabat yang dijadikan guru
dan diambil hadits dari mereka, diantaranya adalah: Umar ibn
Khattab, Ustman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Sa'd, Kha>lid ibn
Wali>d, Ibn Mas'ud, Huzaifah, Abi Musa. Sedangkan murid dan ahli
hadits yang mengambil hadits darinya, diantaranya adalah: Ibrahim
al-Nakh'a, 'Alaqamah ibn Murtsad, Sa'id ibn Abi Ubaidah, Abu
Isha>q al-Sabi>'i, Sa'id ibn Jubair, Abu al-Hushain al-Asad, 'Atha'
ibn al-Sa>ib, Abd al-A'la ibn 'A>mir, Abd Malik ibn A'yi>n.30
Para kritikus hadits menilainya tsiqqah. Seperti al-'Ajli al-
Ku>fi> mengatakan bahwa beliau tsiqqah, begitu juga pendapat al-
Nasa'i.
30Ibnu Hajar al-Asqala>ni>, Tahzi>b al-Tahzi>b, juz 6, hlm. 183-184
110
b. 'Atha' ibn al-Sa>ib.
Nama lengkapnya 'Atha' ibn al-Sa>ib ibn Malik, kuniahnya
Abu al-Sa>ib atau Abu Muhammad al-Kufi>. Meninggal tahun 137
H. adapun guru-gurunya dan ahli hadits yang diambil hadits,
diantaranya adalah: Sa>ib ibn Malik (bapaknya), Yazi>d ibn Aba>n,
'Abdullah ibn Abi> Abi Aufi>, Sa'id ibn Jubair, Abdullah ibn Salamah
ibn al-Asad, Abi> 'Abd al-Rahman al-Sulami>, Abi> Salamah ibn
'Abd al-Rahman. Sedangkan murid dan ahli hadits yang mengambil
hadit darinya, diantaranya adalah: Ismail ibn Kha>lid (orang yang
satu desa dengannya), Sulaima>n al-Ti>mi, al-'Amasy, Ibn Juraih,
al-Himada>n, al-Sufya>na>n, Syu'bah, Zaid, Mas'ur ibn 'Aliah, Jarir,
Syari>k, Hasyi>m, Muhammad ibnn Fadhal, al-Qitha>n, Ali ibn
'Ashim.31
Para ahli hadits berbeda pendapat dalam menilainya,
menurut Hima>d ibn Zaid, belaiu tsiqqah, Ahmad ibn Suna>n
mengatakan bahwa Atha', Laits, dan Yazi>d ibn Laits merupakan
orang yang bagus menurut saya, begitu juga menurut Abdullah ibn
Ahmad, beliau tsiqqah dan laki-laki yang shaleh. Akan tetapi
menurut Abu Daud dan Syuhbah bahwa 'Atha merupakan seorang
yang pelupa. Senada pendapat tersebut, Ahmad ibn Naji>h yang
diterima dari Ibn Mu'in mengatakan bahwa 'Atha' dan Laits sama-
sama lemah. Banyak pendapat dari ahli hadits terkemuka
31Ibid, juz. 7, hlm. 203-205
111
mengatakan bahwa 'Atha' lemah, kecuali yang mengatakanya
tsiqqah adalah al-Nasa'i.
c. Abu Ja'far al-Razi
Nama lengkapnya 'I>sa ibn Abi 'I>sa Ma>ha>n. adapun
masa lahir dan meninggal, penulis belum menemukannya. Adapun
guru dan ahli hadits yang diambil hadits darinya, diantaranya
adalah: Rabi>' ibn Anas, 'Ashim ibn Abi al-Nuju>d, Husain ibn 'Abd
al-Rahman, al-A'masy, 'Atha' ibn al-Sa>ib, Yunus ibn 'Umaid.
Sedangkan murid dan yang mengambil hadits darinya, diantaranya
adalah: Abdullah (anaknya), Syu'bah (satu desa dengannya), 'Abd
al-Rahman ibn 'Abdullah ibn Sa'd al-Dasytaki>, Abu 'Iwa>nah,
Salamah ibn al-Fadhal, Abu Ahmad al-Jubair.32
Adapun penilaian ahli hadits tentang Abu Ja'far al-Razi
adalah: Ahmad ibn Abdullah mengatakan, hadits yang diriwayatkan
Abu Ja'far tidak shahih, menurut Hanbal yang diterima dari Ahmad,
Abu Ja'far merupakan seorang ahli hadits yang shaleh, Abdullah ibn
'Ali yang diterima dari Ibn Mu'in mengatakan, beliau banyak
menulis hadits, namun banyak pula kesalahannya, menurut al-
Nasa'i, beliau lemah dalam hafalan, begitu juga menurut Ibn
Khara>s, beliau sebenarnya jujur tapi lemah hafalannya,
sedangkan Abu Hatim dan Ibn Sa'd keduanya mengatakan bahwa
Abu Ja'far tsiqqah.
32Ibid, juz. 6, hlm. 324-325
112
d. 'Abd al-Rahman ibn Sa'd
Nama lengkapnya 'Abd al-Rahman ibn 'Abdillah ibn Sa'd ibn
'Utsman al-Dasytaki>, kuniahnya Abu Muhammad al-Razi> al-
Maqri>. Tahun lahir dan meninggalnya belum didapatkan data. Ia
meriwayatkan hadits dari gurunya dan sejumlah ahli hadits,
diantara adalah: Abdullah ibn Sa'd (bapaknya), Abu Haitsamah, Abu
Sufya>n Qadhi>, Naisaburi, Umar ibn Abi Qais, Abu Ja'far al-Razi>,
Ibrahim ibn Thaha>man. Sedangkan murid dan ahli hadits yang
meriwayatkan hadits darinya, diantaranya adalah: Ahmad ibn Abd
al-Rahman (anaknya), Abdullah, Ahmad ibn Said al-Tubathi>,
Ahmad ibn Abi Sari>h al-Razi>, Utsman ibn Muhammad al-
Anma>thi>, 'Abd ibn Hami>d, Haru>n ibn Haya>n al-Qazwi>ni>,
Yahya ibn Musa.33
Pada umumnya para ahli hadis menilainya sebagai rawi yang
terpercaya. Abu Ha>tim menyatakan bahwa beliau terpercaya dan
seorang laki-laki yang shaleh. Ibnu al-Junaid mengatakan bahwa
beliau tidak bermasalah dan tsiqqah. Ahmad ibn Sa'id mengatakan
bahwa beliau tsiqqah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sanad hadits
larangan shalat pada saat mabuk diriwayatkan secara bersambung
(muttasil) namun ada dua orang sanad yang menurut ahli hadits
mengatakannya tidak tsiqqah karena keduanya tidak kuat hafalan,
33Ibid, hlm. 208
113
yaitu 'Atha' ibn al-Sa>ib dan Abu Ja'far al-Razi>. Berkenaan dengan
masalah tersebut ath-Turmudzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan
shahih gharib.34 Menurut penulis penamaan hasan shahih gharib kepada kedua
hadits tersebut sudah sesuai sebab kedua sanad tersebut bukan seorang pendusta
melainkan tidak kuat hafalannya.
3. Hadits asba>b al-nuzu>l tentang ayat poligami
Iا Iَن PَّدO َحIَّدLَث PْعIَزYَّيَزY َعIْب PُنO ال PَّدY ْب LِهY َعIْب Iا الَّل Iَن اَهYْيَمO َحIَّدLَث IِرP Yْب PُنO ِإ ْعPَّدU ْب Iَس PُنIَع
YِحY PُنY َصIال اِنI ْب IَّسP Iْي PُنY َعIُنP َك َهIاٍبU اْب Yَش IاَلIي َقY َن IِرI ْب PْخI وIُةO َأ PِرOَع OُنP PِرY ْب Iْي ْب LِهO الَز� َن
I َأIَلI َأ Iَس Iُة IَشY LِهY َقIوPَلY َعIُنP َعIاِئ IْعIالIى الَّل YِنP} َت OَمP وIِإ IِنP ْخYَفPَت OِقPَّسYَطOوا اًلI َأ َفYي َت
IاُمIى Iَت Pْي Iا َفIِقIالIْتP {ال PُنI َّي Yي اْب OْخPَت YْيَمIُةO َهIَذYِهY َأ Iَت Pْي OوِنO ال Iَك �َهIا َحIْجPِرY َفYي َت Yْي وIلOِهO َك Iِر PَشI YِهY َفYي َت OِهO ُمIال ْب YْجPْعO OَهIا وIَّي OَهIا ُمIال OِرYَّيَّدO وIَجIَمIال �َهIا َفIْي Yْي IِنP وIل وLَجIَهIا َأ IَزI Iَت َّي
YِرP YَغIْي IِنP ْب OِقPَّسYِطI َأ IَهIا َصIَّدIاَقYَهIا َفYي َّي OْعPَطYْي PٍلI َفIْي OْعPَطYْيَهIا ُمIا ُمYَث ِهO َّي OِرP OَهOوا َغIْي َفIَنPُنIَع PِنI PَكYَحOوَهOُنL َأ Iَن YاًلL َّي IِنP ِإ OِقPَّسYَطOوا َأ IَهOُنL َّي OَغOوا ل Pَّل Iْب IَهOُنL وIَّي IَعPَّلIى ل YَهYُنL َأ Lَت َن Oَس وا الَّصLَّدIاِقY َفYي OِرYُمO IِنP َفIَأ PَكYَحOوا َأ Iَن IَهOَمP َطIاٍبI ُمIا َّي اُءY ُمYُنP ل Iَّس� وIاَهOُنL الَن Yَس IاَلIَق OُةIو PِرOَع PْتIالIَق Oُة IَشY YِنL َعIاِئ LاَسI وIِإ IوPا الَن IَفPَت َت Pاَس IوَلOَس Iَر YِهL َصIَّلLى الَّلOِهL PِهY الَّل Iْي LَمI َعIَّل َّل IَسIو IَّدPْعI IُةY َهIَذYِهY ْب َّي Pاآْل Iَل IَزP َن
I LِهO َفIَأ IَكI} الَّل Oوَن IَفPَت َت PَّسI َفYي وIَّيYاُء Iَّس� ُةO َقIالIْتP {الَن IَشY LِهY وIَقIوPَلO َعIاِئ IْعIالIى الَّل IُةU َفYي َت ى آَّي IِرPْخO OوِنI} َأ َغIْب PِرI وIَت
PِنI PَكYَحOوَهOُنL َأ Iَن IُةO {َت َغPْب Iَر PَمO IَحIَّدYَك YِهY َعIُنP َأ YْيَمIَت Iَت OوِنO َحYْيُنI َّي Iَك IُةI َت Yْيَّل PَمIاَلY َقIَّل الYاَلIَمIْجP OَهOوا َقIالIْتP وIال IِنP َفIَن PَكYَحOوا َأ Iَن Oوا ُمIُنP َعIُنP َّي ْب Yَغ Iي َرYَف YِهY YِهY ُمIال وIَجIَمIال
IاُمIى َفYي Iَت اُءY َّي Iَّس� YاًلL الَن PِقYَّسPِطY ِإ Yال IَجPٍلY ُمYُنP ْب YَهYَمP َأ Iَت َغPْب Iَر LُنOَهP YَذIا َعIَن OُنL ِإ َكYْت IْياَلY PَمIاَلY َقIَّل PْجIَمIاَلY ال 35وIال
Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dengan pertimbangan
kedua perawi tersebut mengambil hadits dari jalur sanad yang sama, maka di sini
penulis mengambil salah satunya, yaitu Bukhari. Hal ini disebabkan apabila salah
satu terbukti shahih maka akan terwakili yang lain.
34 ath-Turmudzi, Sunan, hlm. 67635Bukhari, al-Ja>mi' al-Shahi>h, (Kairo: Maktabah Salfiyah, 1400 H), hlm.
210
114
Hadits ini diriwayatkan oleh 5 orang, Bukhari sebagai
mukharij hadits, 'Urwah ibn Zubair sebagai rawi pertama, Ibnu
Syiha>b sebagai rawi kedua, Shaleh ibn Kaisa>n sebagai rawi
ketiga, Ibrahim ibn Sa'd sebagai perawi keempat, 'Abdul al-'Azi>z
ibn Abdillah sebagai perawi kelima.
a. 'Urwah ibn Jubair
Nama lengkapnya 'Urwah ibn Jubair ibn al-'Awa>m ibn Asad
ibn 'Abd al-'Azi> ibn Qushai al-Asadi>, dengan kuniahnya Abu
'Abdullah al-Madani. Meninggal tahun 92 H. adapun guru-gurunya
adalah Bapaknya dan Ibunya (putri Abu Bakar), Aisyah (istri Nabi,
bibinya), Ali ibn Abi Thalib, Sa'id ibn Zaid ibn Umar ibn Nufail,
Haki>m ibn Hiza>m, Zaid ibn Tsabit, dan lain-lain dari kalangan
sahabat Nabi. Sedangkan murid-muridnya adalah: Abdullah,
'Usman, Hisyam, Muhammad, Yahya, Umar ibn Abdillah ibn Urwah,
Muhammad ibn Ja'far ibn Jubair, Ibnu Syihab, dan lain-lain.36
Menurut Ibnu Syihab, apabila 'Urwah membacakan hadits
kepada kami, kemudian kami membacanya pada 'Umrah dan ia
membenarkanya. Menurut mayoritas ulama hadits, 'Urwah adalah
penghafal hadits yang tsiqqah.37
b. Ibnu Syiha>b
Nama lengkapnya Muhammad ibn Muslim ibn 'Ubaidillah ibn
Abdillah, ibn Syiha>b ibn Abdillah ibn al-Ha>rits ibn Zahrah ibn
Kila>b ibn Murrah al-Qarasyi> al-Zuhri> al-Faqi>h. ia lahir tahun
36Ibid, juz 4, hlm. 117-118 37 Ibid
115
50 H dan meninggal tahun 115 H. diantara guru-gurunya adalah:
Abdullah ibn Umar al-Khattab, Abdullah ibn Ja'far, Rabi>'ah ibn
'Abbas, al-Musawwir ibn al-Makhramah, 'Abd al-Rahman ibn Azhar,
Abdullah ibn 'A>mir, 'Urwah ibn Jubair. Sedangkan diantara murid-
muridnya adalah: 'Atha' ibn Abi> Riba>h, Abu Jubair al-Maki>,
Umar ibn Abd Azi>z, Hisyam ibn 'Urwah, Shaleh bin Kaisa>n,
Syua'ib ibn Hamzah. 38
Menurut Bukhari, ia menghafal ribuan hadits, sedangkan
menurut Abu Daud, ia mengafal seribu hadits, setengah dari dua
ratus hadits dha'if. Dari kalangan ulama hadits mengatakan bahwa
Ibnu Syihab tsiqqah. 39
c. Shaleh ibn Kaisa>n
Nama lengkapnya Shaleh ibn Kaisa>n al-Madani>. Meninggal
pada masa Marwan ibn Muhammad sebagai khalifah Bani Umayyah
atau sekitar tahun 140 H. diantara guru-gurunya adalah: Sulaiman
ibn Abi> Khaisamah, Sa>lim ibn 'Abdullah ibn Umar, Ibnu Syihab,
Ismail ibn Muhammad ibn Sa'd, Ubaidillah ibn Abdillah ibn 'Utbah,
'Urwah ibn Jubair, Na'fi' Maula Ibn Umar. Sedangkan diantara
murid-muridnya adalah: Ma>lik, Ibnu Isha>q, Ibnu Juraih, Ma'mar,
Ibrahim, ibn Sa'd, Hima>d ibn Zaid, Sulaiman ibn Bila>l, Ibn
'Ati>bah.
38Ibid, juz 9, hlm 445-447 39Ibid.
116
Menurut mayoritas ulama hadits mengatakan, Shaleh ibn
Kaisan merupakan seorang perawi hadits yang stiqqah dan ia
seorang yang faqih.
d. Ibrahim Ibn Sa'd
Nama lengkapnya Ibrahim ibn Sa'd ibn Ibrahim ibn 'Abd al-
Rahman ibn 'Auf al-Zuhri>, dengan kuniah Abu Isha>q al-
Mada>ni>. Ia lahir tahun 108 H dan meninggal tahun 183 H. Guru-
gurunya adalah: Sa'd ibn Ibrahim (bapaknya), Shaleh ibn Kaisan, al-
Zuhri,, Hisya>m ibn 'Urwah, Shafwa>n ibn Sali>m, Muhammad ibn
Isha>q, Syi'bah, Yazi>b ibn al-Ha>di, laits. Sedangkan murid-
muridnya, Abu Daud, Abu al-Wali>d, Yahya ibn Yahya, al-
Naisaburi>, Sa'd, dan Jama'ah.40
Menurut mayoritas ulama hadits, hadits yang diriwayatkan
oleh Ibrahim ibn Sa'd kebanyakannya shahih, dan marfu'.41
e. Abd al-Aziz ibn Abdillah
Nama lengkapnya 'Abd al-'Azi>z ibn Abdillah ibn Yahya ibn
Umar ibn Aus ibn Sa'd ibn Abi> Sarh al-'A>miri> al-Qarsyi> al-
Ausi>. Diantara guru-gurunya adalah: Malik, Muhammad Ja'far ibn
Abi> Katsi>r, Sulaima>n ibn Bila>l, Abd al-Rahman ibn Abi> al-
Zina>d, Ibnu Abi> Ha>zim, al-Dara>wardi>, Abdullah ibn Umar
al-'Amri>, Ibrahi>m ibn Sa'd, Abd al-Rahman ibn Abi Muhail, Laits.
40Ibid, juz 1, hlm. 121 41Ibid, hlm. 123
117
Sedangkan murid-muridnya, al-Bukhari, Abu Daud, ath-Turmidzi, al-
Nasa'i, Ibnu Majah, dan lain-lain.42
Menurut Muttafaqun alaihi, Abd Aziz merupakan seorang
yang tsiqqah, begitu juga menurut muhaditsin lainnya.
Dari apa yang dipaparkan di atas nampak bahwa sanad
hadits Bukhari tidak mengandung cacat dan para rawi tampak
bersambung. Dengan demikian tidak berlebihan apabila sanad
tersebut dinyatakan shahih. Di antara ulama hadits yang
menyatakan keshahihannya adalah Abu Ja'far Al-Thahawi dalam
kitabnya Syarh Musykil al-Atsar.43
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits asba>b
al-nuzu>l yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
ketika menafsirkan ayat-ayat Ahkam dapat dikelompokkan kepada
dua kelompok, yaitu: 1) Hasan Shahih, yang terdiri dari hadits
tentang warisan dan larangan shalat ketika mabuk. 2) Shahih, yaitu
hadits yang membicarakan tentang poligami.
42Ibid juz 3, hlm. 465-466 43Abu Ja'far al-Thahawi, Syarh Musykil al-Atsar, (Beirut: Muassisah al-
Risalah, 1415 H/1994 M), hlm. 418
118