BAB III Viva -...

21
42 BAB III KONSEP KEHIDUPAN SETELAH MATI (ESKATOLOGI) DALAM AGAMA BUDHA A. Tinjauan Singkat Agama Budha Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama itu beroleh dari nama panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula Sidharta Gautama (563-487 SM) yang di panggil dengan Budha. 1 Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "Bhud" yang artinya bangun. Orang Budha ialah orang yang bangun artinya "orang telah bangun dari malam kesesatan dan sekarang ada ditengah cahaya yang benar. 2 Budha ialah orang yang mendapat pengetahuan dengan tidak mendapatkan wahyu dari Tuhan dan bukan dari seseorang guru sebagaimana disebutkan dalam Maha Vogga 1-67: "Aku sendiri yang mencapai pengetahuan, akan kukatakan pengikut siapakah aku ini? Aku tak mempunyai guru, aku guru, yang tak ada bandingannya." 3 Panggilan itu di peroleh Sidharta Gautama sesudah menjalani sikap hidup penuh kesucian, bertapa, berkwalat, mengembara untuk menemukan lebenaran dekat tujuh tahun lamanya dan dibawah sebuah pohon (yang dewasa ini berada di kota Goya) ia pun beroleh hikmat dan terang hingga pohon itu sampai kini di panggilkan pohon Hikmat (Tree of Bodhi) Kitab suci di dalam agama Budha itu dipanggilkan dengan: Tripitaka, tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul tapi dimaksudkan ialah bakul hikmat, hingga Tripitaka itu pada hakikatnya bermakna tiga himpunan Hikmat, yaitu: 1 Joe, Soef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Zikro, 1996), hlm. 72. 2 AG. Honiq, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK. Gunung Muria, 1992), hlm. 165. 3 Moh. Rifa'I, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), hlm. 92.

Transcript of BAB III Viva -...

Page 1: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

42

BAB III

KONSEP KEHIDUPAN SETELAH MATI (ESKATOLOGI)

DALAM AGAMA BUDHA

A. Tinjauan Singkat Agama Budha

Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama itu

beroleh dari nama panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang

mula-mula Sidharta Gautama (563-487 SM) yang di panggil dengan Budha.1

Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "Bhud" yang artinya

bangun. Orang Budha ialah orang yang bangun artinya "orang telah bangun

dari malam kesesatan dan sekarang ada ditengah cahaya yang benar.2 Budha

ialah orang yang mendapat pengetahuan dengan tidak mendapatkan wahyu

dari Tuhan dan bukan dari seseorang guru sebagaimana disebutkan dalam

Maha Vogga 1-67:

"Aku sendiri yang mencapai pengetahuan, akan kukatakan pengikut siapakah aku ini? Aku tak mempunyai guru, aku guru, yang tak ada bandingannya."3 Panggilan itu di peroleh Sidharta Gautama sesudah menjalani sikap

hidup penuh kesucian, bertapa, berkwalat, mengembara untuk menemukan

lebenaran dekat tujuh tahun lamanya dan dibawah sebuah pohon (yang

dewasa ini berada di kota Goya) ia pun beroleh hikmat dan terang hingga

pohon itu sampai kini di panggilkan pohon Hikmat (Tree of Bodhi)

Kitab suci di dalam agama Budha itu dipanggilkan dengan: Tripitaka,

tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul tapi dimaksudkan ialah

bakul hikmat, hingga Tripitaka itu pada hakikatnya bermakna tiga himpunan

Hikmat, yaitu:

1 Joe, Soef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Zikro, 1996), hlm.

72. 2 AG. Honiq, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK. Gunung Muria, 1992), hlm. 165. 3 Moh. Rifa'I, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), hlm. 92.

Page 2: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

43

1. Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan khotbah Budha Gautama.

Bagian terbesar dari padanya terdiri atas percakapan (dialog) antara Budha

dengan berbagai muridnya.

2. Vinaya Pitaka, berisikan Patti Mokkha, yaitu peraturan tata hidup setiap

anggota biara-biara (Sangha).

3. Abidhamma Pitaka, yang di tujukan bagi lapisan terpelajar dalam agama

Budha, bermakna: Dhamma lanjutan atau dharma khusus. Berisikan

berbagai himpunan yang mempunyai nilai tinggi (great values) bagi

Latihan-Ingatan (Mind-Traning).4

Agama Budha atau ajaran Budha lebih menerapkan "Way of Life" dari

pada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Budha lebih merupakan satu

perangkat sistem keyakinan yang didasarkan pada pengertian dan mengarah

pada corak perilaku atau perbuatan untuk mencapai kebebasan penderitaan.

Pengertian memerlukan dan mengundang penalaran serta penghayatan secara

mendalam sebagai awal mula munculnya keyakinan terhadap pengertian

tersebut.

Keyakinan agama Budha akan muncul dari penyelidikan dan analisis

pikiran secara mendalam yang bisa dilakukan oleh siapapun juga tanpa

kecuali. Budha Gautama mengatakan dalam khutbah kepada orang-orang suku

Kalama agar jangan percaya begitu saja pada adat tradisi, buku-buku suci,

kata-kata guru termasuk kata-kata Budha sendiri, tetapi sesudah melalui

penyelidikan dan analisis berpikir yang mendalam hendaknya seorang

menerima satu ajaran dan melaksanakannya.5

Ajaran dan keyakinannya adalah:

1. Kenyataan penderitaan, hidup semua makhluk di bumi ialah penderitaan.

2. Kenyataan sebab penderitaan, penderita ini sebagai sebab dari trsna

(Harus hidup atau levensdrang-bahasa belanda) yang mengakibatkan

tumimbal lahir atau reinkarnasi.

4 Joe, Soef Sou'yb, op. cit., hlm., 73. 5 Djam'annuri, Agama Kita, Perspektif Sejarah Agama-Agama, (Yogyakarta: Kurnia

Salam Semesta, 2000), hlm. 67.

Page 3: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

44

3. Kenyatan penyingkiran; jika trsna ditindas atau disingkirkan maka sebab

penderitaan akan tersingkir pula, mengakibatkan tumimbal lahir akan

tersingkir pula.

4. Kenyatannya jalan untuk menyingkirkan penderitaan atau jalan untuk

menghindari trsna, ialah dengan melalui jalan delapan, yaitu ajaran yang

benar, tingkah laku yang benar upajiwa (penghidupan) yang benar,

semangat kegiatan yang benar, minat yang benar dan samadi yang benar.

Kenyataan utama, dua dan tiga, dijelaskan lagi oleh rangkaian dua

belas yaitu:

1. Kesunyatan terdapat dalam alam ini karena ketidaktahuan atau oleh sebab

pengetahuan yang keliru

2. Kesadaran tumbuh karena kesan.

3. Kesadaran disebabkan oleh alat indra. (panca indra)

4. Alam indra itu disebutkan nama-namanya

5. Sentuhan dari nama indra (panca indra ditambah dengan batin dan

jasmani).

6. Perasaan timbul karena sentuhan

7. Perasaan menimbulkan nafsu, keharusan hidup.

8. Materi timbul dari trsna, nafsu dan hidup

9. Individu terjadi karena materi

10. Kelahiran disebabkan karena terjadinya individu.

11. Manusia terjadi karena dilahirkan

12. Umur, mati, sakit dan segala penderitaan lekat pada hidup manusia karena

dilahirkan.6

Dalam suatu kesempatan, Budha memberikan perumpamaan perihal

ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan

untuk menyeberang dari satu pantai yang tidak aman kepantai seberang yang

aman. Demikiran pula, ajaran Budha, ibarat rakit merupakan sarana yang di

6 Kamil Karta Praja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan

Masa Agung, 1985), hlm. 19

Page 4: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

45

gunakan untuk menyeberang ke pantai yang aman dan bahagia (bebas dari

penderitaan).

Pokok-pokok ajaran Budha terdiri dari 6 (enam)unsur berikut:

1. Tiga permata (tiratana atau triratna pali)

2. Empat kesunyatan atau mulia dan jalan utama bersumber delapan

3. Tiga corak umum.

4. Hukum Perilaku (Karma) dan tumimmbal lahir.

5. Hukum sebab musabab yang saling berkaitan.

6. Kebebasan penderitaan (nibbana atau nirvana).7

Demikianlah ajaran pokok dari Budha untuk melatih tidak

mengindahkan keduniaan ini, hidup utama dengan latihan menjernihkan jiwa,

penuh samadhi. Didalam kepercayaan ini tidak sedikitpun tampak gambaran

sesuatu yang maha Esa, yang menciptakan, menyelenggarakan,

menghancurkan segala yang ada.

B. Kematian Dalam Agama Budha

Masalah pertama yang dihadapi Budhisme adalah kenyataan bahwa

manusia menderita dalam banyak hal.8 Penderitaan yang dihadapi yaitu

kelahiran, umur tua, dan kematian.9 Sepanjang sejarah Budhisme penderitaan

telah ditekankan sebagai ajaran Budha, hidup adalah penderitaan.

Para penganut Budha dari semua negara secara khusus menekankan

kekhawatiran akan kematian yang bisa dihadapkan pada kematian, walaupun

pada umumnya ia tidak menyadarinya. Tentang kematian menurut ajaran

agama Budha yang terserat dalam kitab Dhamapada VIII: 114 yang berbunyi:

7 Djam'annuri, op. cit., hlm. 67-68. 8 Mudji Sutrisno, Budhisme Pengaruhnya Dalam Abad Modern, (Yogyakarta: Kanisius,

1993), hlm. 95. 9 Moch Rifai, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), Cet. V, hlm. 45.

Page 5: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

46

Ya ca vassaatam java

Apassam amatam padam

Ekaham amatam padam

Ekaham jivatam seayyo

Artinya: "Walaupun seorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian, sesungguhnya kebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keadaan tanpa kematian."10

Adapun ajaran tentang kematian dalam kitab Dhammapada vol. XI.

145 yaitu:

Parijamam idam rupam

Poganiddam pabbangunam

Bhijjti puti dan deho

Marahatam hijivitam

Artinya: "Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah busuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya kehidupan ini akan berakhir dengan kematian"

Berdasarkan ajaran Dhammapada di atas menilai bahwa kematian

adalah hukuman dari semua kehidupan.11 Kematian tentu saja berarti

penghentian seluruh fungsi jasmani.12 Kenyataan hidup yang mustahil untuk

dihindari. Manusia ialah mahluk hidup, binatang yang hidup dengan

kesadaran bahwa suatu saat ia akan mati dan mereka selalu menyadarinya

bahwa keyakinan akan kematian sulit untuk dipahami.

Dalam Budha Dhamma, kematian itu kerap diingatkan tak diundang ia

kemari, tak diterima ia pergi, sesungguhnyalah datang dari mana ia sungguh

disini barang beberapa hari melalui satu jalan ia datang, melalui jalan ia pergi,

meninggal sebagian manusia, seseorang menjalani kelahiran berikutnya,

seperti ia datang begitu pula ia pergi. Dalam kitab Dhammapada 150 yang

berbunyi "jasmani ini terbuat dari tulang-tulang yang dihubungkan oleh

10 Dhammapada, (Jakarta: Hanoman Sakti, 1997), hlm. 45-49. 11 Mudji Sutrisno, op.cit., hlm. 96. 12 Dauglas M. Burs, Budha Dharma Versus Dogma, (Jakarta: Yayasan Dharma Tidda

Arama, 1982), hlm. 17.

Page 6: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

47

daging dan darah. Disinilah terdapat pelapukan dan kematian, kesombongan

dan iri hati. Kematian memang pasti terjadi, namun bukan berarti harus

menghindari untuk memikirkan atau mengadakan perenungan kematian.

Dalam agama Budha Dhamma sangat dianjurkan untuk melakukan

perenungan terhadap kematian juga sangat membantu bagi kebaikan hidup

sendiri dan juga agar dapat menghadapi kematian sebaik-baiknya."13

Perenungan tentang kematian yang disebut marranna bussati bavana

ini merupakan salah satu bentuk meditasi pelindung dan kematian itu dapat

datang dengan berbagai cara, perbedaannya hanya terletak pada tingkat

ketahanan. Ada yang lama ada yang cepat. Tetapi, segalanya akan hancur

mengubah cita-cita keduniawiannya dengan aspirasi-aspirasi mulia untuk

menuju nirwana yang bebas dari kebinasaan atau kehancuran. Segala sesuatu

adalah kekuatan yang mendatangkan sesuatu, tiada yang abadi, segala

sesuatua selalu menjadi berubah dan berlalu, penderitaan sebenarnya satu

dengan transisi/ kematian.14

Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci agama

Budha, adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri

dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran, dan tubuh

jasmani atau materi.

Dalam kelompok yang lain menganggap kematian ini merupakan

masa transisi yang tak terbatas dari jiwa atau dengan kata lain kematian adalah

menunggu hari pengadilan. Bagi umat Budhis, kematian hanya merupakan

akhir semantara dan gejala yang bersifat sementara dan kematian bukan

merupakan kemusnahan total dari suatu makhluk.

Setelah mengetahui bahwa kematian akan menghampiri manusia pada

suatu saat, maka harus dapat memutuskan dengan ketenangan, keberanian dan

kepercayaan diri yang sama untuk melepaskan tugas dan kewajiban kita

kepada generasi penerus. Manusia tidak boleh berleha-leha dan menunda

hingga besok hal-hal yang dapat dikerjakan hari ini. Manusia harus dapat

13 Jo Priyastama, Budha Dhamma Kontekstual, (Jakarta: Yassodara Putri, 1999), hlm. 177-180.

14 Mudji Sutrisno, Budhisme…, op.cit., hlm. 96-97.

Page 7: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

48

menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan menjalankan kehidupan yang

bermanfaat.

Menurut agama Budha kematian dapat terjadi oleh hal-hal sebagai

berikut:

• Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk

tertentu. Kematian semacam ini disebut Ayu Khaya

• Kematian disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat

terjadinya kelahiran dan makhluk yang meninnggal tersebut. Hal ini

disebut Kamma Khayya

• Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut diatas,

yang terjadi secara berturut-turut. Disebut Ubhaya Khayya

• Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar. Yaitu: kecelakaan, terjadi

kejadian yang tidak ada waktunya, atau bekerja gejala alam dari suatu

karma akibat kelahiran terdahulu yang tidak termasuk kedalam dua butir di

atas, disebut Upachedaka15

Jadi makna kematian menurut agama Budha yaitu kematian adalah

hukuman dari semua kehidupan dan kenyataan hidup yang mustahil untuk

dihindari serta perjalanan seseorang untuk menjalani kelahiran berikutnya

untuk menuju kenirwana.

C. Alam Setelah Kematian

Dalam agama Budha setelah manusia mati maka akan mengalami

beberapa kehidupan setelah mati sampai tujuan akhirnya, antara lain:

1. Tumimbal Lahir

Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal

lahir. Makhluk-makhluk merupakan perwujudan nyata dari kekuatan yang

tak terlihat. Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena

yang tidak langgeng. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kehidupan

kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang.

15 Sri Dammananda, Kehidupan Tidak Pasti Namun Kematian Itu Pasti, (Jakarta:

Yayasan Dhamma Duta Carika, 1986), hlm. 14-15.

Page 8: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

49

Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran jasmani, maka

datangnya saat pikiran kematian (cuti citta) sekarang untuk mempersiapkan

kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.

Kamma yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi

syarat bagi tumimbal akhir. Kamma mampu menentukan kelahiran

sekarang dan kamma sekarang bergabung dengan kamma lampau

menentukan kehidupan berikutnya. Keadaan sekarang adalah akibat dari

keadaan masa lalu dan menjadi sebab dari keadaan yang akan datang.16

Menurut Sang Budha, kelahiran kembali (tumimbal lahir) itu terjadi

langsung setelah kematian, karena kesadaran memiliki sifat muncul dan

lenyap tanpa henti. Tidak ada interval diantara kematian dan kelahiran

berikutnya. Kepercayaan Therevada menyatakan bahwa kelahiran kembali

terjadi langsung setelah kematian. Begitu kita mati saat berikutnya

tumimbal lahir pun terjadi, dan ini bisa dialam kehidupan manusia, alam

binatang, alam makhluk halus atau syetan menderita (Peta), alam raksasa

(Asura), alam neraka atau alam Dewa.

Orang terlahir kembali sesuai dengan karmanya. Jika telah

menjalani kehidupan yang baik, dia biasanya akan mendapat kelahiran

kembali di alam yang baik. Besar kemungkinan pikiran orang itu berada

dalam keadaan bajik pada saat kematian dan kemungkinan kelahirkan

kembali di alam bahagia manusia atau Dewa disalah satu alam Dewa.17

Dalil kamma adalah dalil sebab dan akibat, aksi dan reaksi,

merupakan hukum alam, yang tak ada hubungannya dengan gagasan

mengenai penghakiman, ganjaran, pahala, atau penjatuhan hukuman. Setiap

perbuatan yang dilandasi kehendak akan membuahkan hasil atau akibat.

Perbuatan baik akan berbuah baik, perbuatan buruk akan berbuah buruk.

Berdasarkan doktrin kamma dan tumimbal lahir. Suatu perbuatan

yang perbuatan baik atau buruk memliki akibatnya pada suatu saat disuatu

tempat sesuai dengan hukum kamma, lingkungan dan kondisi yang

16 Naradha Mahathera, Intisari Agama Budha, (Semarang: Yayasan Darma Phala, 2002), hlm. 38.

17 Uisudhatara, Hidup dan Mati Sama Saja, (Klaten: Wisma Sambidhi, tt), hlm. 40.

Page 9: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

50

melingkupi nasib suatu makhluk terwujud karena sebab yang

mendahuluinya dan hadirnya kondisi yang sesuai. Misalnya, dari biji

mangga yang jelek tidak akan tumbuh pohon mangga yang sehat dengan

buahnya yang ranum dan manis. Demikian pula kejahatan, perbuatan yang

dikehendaki atau karma yang di perbuat dalam kelahiran sebelumnya

merupakan benih atau akar yang menyebabkan nasib malang dalam

kehidupan berikutnya.

Doktrin bahwa tumimbal lahir terjadi karena terkondisi oleh kamma

telah diterima oleh-guru-guru India kuno sebelum kehidupan sang Budha.

Termasuk dalam hal ini adalah ajaran Upanisad dan Vedanta, seperti dalam

Bagavad Gita, yang mengajarkan bahwa tumimbal lahir terbentuk oleh

kebajikan dan kejahatan yang diperbuat dalam kehidupan saat ini dan

sebelumnya. Karena proses kelahiran kembali dan kematian merupakan

tujuan dan seluruh system filosofi India. Sang Budha bersabda, "semua

makhluk adalah pelaku dan pewaris perbuatanya, perbuatan membedakan

makhluk menjadi hina dan mulia".18

Hukum kamma dan tummimbal lahir menerangkan hal-hal berikut:

a. Masalah penderitaan yang menjadi tanggung jawab kita sendiri.

b. Ketidakadilan diantara sesama makhluk.

c. Perbedaan diantara anak-anak dan satu keluarga meskipun secara

keturunan sama.

d. Kemampuan khusus orang-orang tertentu yang dibawanya sejak lahir.

e. Perbedaan moral dan intelektual antara orang tua dan anak.

f. Mengapa anak yang baru lahir secara sepontan mengembangkan sifat-

sifat seperti serakah, moral dan iri hati.

g. Adanya perasaan suka dan tidak suka secara naluriah pada pandangan

pertama.

h. Bagaimana dalam diri kita ditemukan timbunan kejahatan dan simpanan

kebaikan.

18 Sri Dhammananda, Tumimbal Lahir, (Jakarta: Karaniya, 2002) hlm. 24-26.

Page 10: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

51

i. Timbulnya luapan nafsu yang tidak diharapkan pada orang yang

berbudaya tinggi, dan kemungkinan terjadinya perubahan mendadak

dari orang jahat menjadi orang suci.

j. Bagaimana anak jahat terlahir dari orang tua yang shaleh dan anak

shaleh terlahir dari orang tua yang jahat.

k. Sebab-sebab kematian sebelum waktunya, dan perubahan peruntungan

yang tidak diharapkan.

l. Bahwa kita saat ini merupakan akibat dari kita yang terdahulu, kita

disaat mendatang juga akan menjadi akibat dari kita saat ini, dengan

kata lain, kita saat ini bukan mutlak kita yang dahulu dan kita dimasa

datang bukan kita mutlak saat ini.19

Kelahiran dan kematian merupakan dua fase dari satu proses yang

sama. Kelahiran mendahului kematian dan sebaliknya kematian mendahului

kelahiran. Rangkaian kelahiran kematian yang tetap dalam kakitannya

dengan arus kehidupan masing-masing individu membentuk apa yang

secara teknis dikenal sebagai samsara "pengembangan berulang-ulang".20

Arus kehidupan atau samsara terus mengalir tanpa akhir, sepanjang

hidup masih tercemari oleh kebodohan batin dan nafsu. Bilamana kedua hal

itu telah dipatahkan, maka arus kehidupan akan berhenti mengalir tiada lagi

kelahiran kembali. Seperti yang dialami oleh para Budha dan arahat.

Putaran kelahiran atau samsara tidak bisa berhenti dengan

sendirinya. Karena tidak bakal ada suatu titik dimana dengan sendirinya

seluruh mahluk yang beredar dalam samsara mencapai pembebasan, karena

tidak melekat lagi pada hal-hal duniawi.

Memahami samsara, kita mendapatkan kepastian bahwa ada suatu

dalil yang mengatur alam semesta. Dengan mempelajari hukum ini secara

benar, kita menjadi mampu mengendalikan dan menemukan nasib diri

sendiri, dengan tujuan batin yang lebih luhur, dan mengarahkan diri, pada

tujuan yang lebih pasti.

19 Ibid., hlm. 27 20 Ven Naradha Mahathera, Keterangan Singkat Agama Budha, (Jakarta: Dharma Dipa.

Arota, 2002) hlm. 42.

Page 11: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

52

Tumimbal lahir bekerja pada semua mahluk hampir tidak ada orang

yang sama sekali tidak ingin mengetahui dari mana ia datang dan kemana ia

akan pergi. Suatu bisikan hati yang alamiah untuk memahami misteri

kehidupan dan kematian. Memahami dan menerima tumimbal lahir sebagai

suatu fakta berarti memberi makna dan tujuan hidup secara sungguh. Hidup

tidak muncul cukup lama, seperti hembusan angin yang berlalu. Harapan

baru dirasakan dan pandangan baru terbuka. Memahami tumimbal lahir

berarti menerima kenyataan bahwa semua mahluk merupakan sesama

penumpang dalam perjalanan panjang kehidupan, semua mahluk

mengalami hukum universal dan prinsip-prinsip dasar yang sama.21

Ajaran agama Budha tentang tumimbal lahir ini harus dibedakan

dari teori reinkarnasi yang menyatakan perpindahan roh dan kelahiran

kembali yang tetap. Agama Budha menolak adanya suatu roh kekal atau

yang tidak berubah, yang diciptakan oleh dewa yang maha kuasa atau yang

keluar dari zat ilahi (paramatma).

Suatu roh yang kekal memang diperlukan untuk membuktikan

adanya kebahagiaan kekal dalam surga yang abadi dan siksaan tanpa akhir

jelas mereka abadi. Kalau tidak lalu apa yang dihukum dalam neraka dan

apa yang dinikmati dalam surga?

Menurut Bertrand Russel, "Perbedaan lama antara roh dan tubuh

telah usai, karena materi telah kehilangan kepadatannya seperti batin

kehilangan spiritualitasnya. Psikologi (ilmu jiwa) sudah menjadi ilmiah.

Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu

dukungan dari ilmu pengetahuan. Umat Budha setuju dengan Bertrand

Russel yang menyatakan: "jelas terdapat beberapa alasan dimana aku

sekarang merupakan orang sama dengan aku kemarin dan menggunakan

contoh yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan mendengar ia

bicara, maka terdapat sebuah pengertian dimana "aku" yang melihat adalah

sama dengan "aku" yang mendengar".22

21 Sri Dhammananda, Tumimbal…, op.cit., hlm. 71-72. 22 Naradha Mahathera, Intisari, op. cit., hlm. 47.

Page 12: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

53

Dari uraian diatas agama Budha tidak menolak sama sekali adanya

sesuatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya

bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada dalam suatu pengertian

mutlak dalam istilah Budhis bagi seorang individu adalam santana yaitu

arus atau kelangsungan yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani.

Arus kelangsungan fenomena psiko-fisik yang telah terputus ini di

syarati oleh kamma dan tidak terbatas hanya pada kehidupan sekarang,

tetapi memiliki sumbernya pada masa lampau tanpa awal serta

kelangsungan pada masa yang akan datang.

2. Kiamat

Kiamat dalam Agama Budha adalah hancur leburnya bumi atau

Alam semesta bukan merupakan akhir dari kehidupan sebab di alam

semesta ini tetap berlangsung pula evolusi bumi.

Kiamat atau hancur leburnya bumi menirut Agama Budha dalam

kitab Aggutara Nikayya satta kanipatta diakibatkan oleh terjadinya musim

kemarau yang lama.Dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang

muncul Matahari kedua ,dengan berselangnya suatu masa yang lama

Matahari ketiga muncul.Matahari keempat, Matahari kelima, keenam,

ketujuh. Pada Matahari ketujuh muncul bumi akan terbakar sehingga

menjadi debu dan lenyap berterbangan dialam semesta.

Pemunculan Matahari kedua, ketiga, dan lain- lain bukan berarti

matahari tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari tersebut

telah ada di alam semesta ini.Adapun uraian tentang kiamat dalam khotbah

sang Budha kepada para Bhikkhu:

Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan pohon palm dan pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati.

Para Bikkhu, selanjutnya akan bebas suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari ke dua muncul, maka sungai kecil dan danau kecil surut kering dan tiada.

Page 13: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

54

Para Bikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ke tiga muncul, maka semua sungai besar yaitu, sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada.

Para Bikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ke empat muncul. Ketika matahari ke empat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut dan kering.23

3. Surga dan neraka

Ajaran agama Budha setelah manusia mengalami tumimbal lahir

yang secara langsung kemudian dengan karmanya masing-masing akan

memasuki kehidupan di surga atau neraka.

a. Surga

Surga dalam agama Budha merupakan suatu alam kehidupan

yang menyenangkan namun tidak kekal. Surga terbuka bagi siapa saja

yang tidak melakukan perbuatan jahat dan banyak melakukan perbuatan

baik. Seseorang yang percaya kepada sang Budha dan menjalankan

ajaranya dengan abaik tentu akan dapat masuk surga. Kelahiran dia di

alam surga merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan. Dalam

dhamma pada Attha Kattha di ceritakan bahwa ada yang terlahir dialam

surga karena selalu mengatakan kebenaran.

Kehidupan di alam surga adalah kehidupan yang

menyenangkan, penghuninya adalah para dewa dan dewi yang

menikmati kebahagiaan sebagai hasil dari perbuatan baik yang

dilakukan sebelumnya. Dewa dan dewi adalah makhluk yang

memancarkan cahaya dan sepanjang hidupnya selalu tampak tampan

dan cantik. Mereka tinggal di istana-istana emas permata yang indah. Di

sekitarnya terdapat taman, bunga-bunga, dan burung-burung yang

berkicau menyanyikan lagu-lagu merdu.

23 Corneles Wowor, MA., Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Budha, (Jakarta:

Akademi Budhis Nalada, 1980), hlm. 7-8.

Page 14: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

55

Kehidupan di alam surga mempunyai jangka waktu tertentu dan

setelah itu makhluk penghuni surga akan terlahir kembali ke alam lain

sesuai dengan buah dari perbuatanya. Oleh karena itu, dalam agama

Budha surga bukanlah tujuan akhir manusia.24

Tujuan akhir umat Budha adalah mencapai keadaan

kebahagiaan mutlak yang merupakan puncak pencapaian manusia

sebagai perwujudan dan aspek ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana

di ungkapkan dalam Udana VIII:

" Di ketahuilah para bhikku bahwa ada sesuatu yang dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta yang mutlak. Duhai para bikku, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan yang tidak menjelma, yang tidak diciptakan, yang mutlak, maka tidak akan ,mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikku, karena ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu".25

Terdapat banyak alam surga dalam dalam agama Budha, ada

enam alam surga diatas alam manusia. Diatasnya terdapat alam surga

yang lebih tinggi yang dihuni oleh para brahma, yaitu para dewa yang

telah mencapai tingkat meditasi tinggi. Tingkatan sugati bumi antara lain:

Catum mahanjika : Alam 4 raja dewa.

Tavatimsa : Alam 33 dewa.

Yoma : Alam dewa.

Tusita : Alam penuh kenikmatan

Nimmarati : Alam dewa-dewa yang bisa menciptakan

sesuatu.

Para Nimmitayasavatti : Alam dewa yang membantu kesempurnaan

ciptaan dewa-dewa yang lain.26

24 Dharma K. Widya, Mengenal Lebih Dekat Agama Budha, (Jakarta: Pendidikan Budhis

Nalada, 2003), hlm. 10-11. 25 Ibid., hlm. 12. 26 Pandit J. Kaharudin, Hidup dan Kehidupan, (Graha Metta Sejahtera, 2000), hlm. 22.

Page 15: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

56

b. Neraka

Neraka dalam agama Budha disebut "Niraya" terbentuk atas dua

kosa kata, yakni "Ni" yang berarti bukan, tidak ada, dan Aya' yang

berarti "kebajikan, kebahagian, pengembangan". Niraya tau neraka

adaah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa

kesempatan untuk berbuat kebajikan tanpa kebahagiaan, tanpa

perkembangan. Neraka dalam panadangan agama Budha bukanlah suatu

alam kehidupan yg bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu

kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh dalam neraka akan dapat

terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung

perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang

kehidupan-kehidupan lampau.27

Seseorang akan terlahir dijalan neraka apabila banyak

melakukan perbuatan jahat seperti membunuh dan menganiaya makhluk

lain, melakukan tindakan-tindakan dengan penuh kebencian dan

kekejaman dan sebagainya.

Di lain pihak, terdapat kemungkinan makhluk dari neraka

terlahir kembali sebagai manusia. Kelahiran kembali dari alam biasanya

merupakan kelahiran dengan keadaan yang menyedihkan atau dengan

dengan Tasmani tidak sempurna.28

Dalam kitab Dhammapada Bab XXII mengatakan sebab-sebab

orang masuk neraka (Niraya vaga):

1. Abhutavadi Nirayam upeti yo vapi katva "na karomi" ti caha, ubho

pi te pecca sama bhavanti nihinakamma manuja parattha. (306)

2. Kasavakantha bahavo papadhamma asannata, papa papehi

kammmehi Nirayam te upapajjare. (307).

3. Seyyo ayogulo bhutto tatto aggisikkhupamo yan ce bhunjeyya

dussilo ratthapindam asannato. (308)

27 Jan Sanjivaputra, Menguak Misteri Kematian, (Thailand: LPD Publisher, 1990), hlm,

11-26. 28 Dharma K. Wijaya, Mengenal ..........op.cit., hlm. 13.

Page 16: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

57

4. Cattari thanani naro pamatto apajjati paradarupasevi: apunnalabham

na nikamaseyyam nindam tatiyam Nirayam catuttham. (309).

Artinya:

1. Orang yang selalu berbicara tidak benar, dan juga orang yang setelah

berbuat kemudian berkata: "Aku tidak melakukannya," akan masuk

ke neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini,

mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.

2. Bila seseorang menjadi bhikkhu mengenakan jubah kuning tetapi

masih berkelakuan buruk dan tidak terkendali, maka akibat

perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri, ia akan masuk ke neraka.

3. Lebih baik menelan bola besi panas seperti bara api dari pada selalu

menerima makanan dari orang lain dan tetap berkelakuan buruk serta

tak terkendali.

4. Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat ganjaran, yaitu:

pertama; ia akan menerima akibat buruk, kedua; ia tidak dapat tidur

dengan tenang, ketiga; namanya tercela, dan keempat; ia akan masuk

ke alam neraka.29

Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu neraka besar (Maha

Niraya) dan neraka kecil (Ussadaniraya). Neraka besar terdiri atas

delapan alam:

a. Sanjaiva: alam kehidupan bagi, makhluk yang secara berbudi dibantai

dengan pelbagai senjata.

b. Kallasuta: kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti

kemudian dipenggal-penggal dengan parang.

c. Sanghata: alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga lulu

lantah oleh bongkahan besi api.

d. Dhumaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap

api melalui sembilan lubang.

e. Jalaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus melalui

sembilan lubang.

29 Dhammapada, op. cit., hlm. 134-135.

Page 17: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

58

f. Tapana: alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan diatas besi

membara.

g. Patapana: alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju

puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan tombak-tombak

panas.

h. Avici: alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi

membara dan dibakar dengan api membara sepanjang waktu.

Neraka kecil terdiri atas delapan alam:

a. Angkarakasu: alam neraka yang terpenuhi bara api.

b. Loharasa: alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair.

c. Kulkula: alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara.

d. Anggisamohaka: alam neraka yang terpenuhi oleh air panas.

e. Lohakhumbi: alam neraka yang merupakan panic tembaga.

f. Gutha: alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk.

g. Simpalivana: alam neraka yang merupakan hutan pohon berduri.

h. Vettarani: alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan.30

Dari uraian diatas surga adalah merupakan tempat kehidupan

yang penuh kebahagiaan namun tidak kekal, sedangkan neraka adalah

alam yang penuh dengan siksaan dan penuh derita namun juga tidak

kekal.

3. Nirvana (Nibbana)

Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti

sampai arus ini dibelokkan kenibbana dhatu, tujuan akhir umat Budha.

Istilah pali "nibbana" berasal dari kata "Ni" dan vana. Ni merupakan partikel

negatif sedang vana berarti nafsu atau keinginan, " disebut Nibbana karena

terbebas nafsu yang disebut Vanna, keinginan. Secara harfiah, nibbana

berarti terbebas dari kemelekatan.

Selama seseorang terikat dengan keinginan dan kemelekatan orang

tersebut menimbun kegiatan kamma baru yang pasti terwujud dalam bentuk

seseorang atau bentuk yang lain dalam lingkaran kelahiran dan kematian

30 Jan Sanjivaputra, Menguak …., op.cit., hlm. II-27.

Page 18: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

59

yang terus menerus. Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan

kamma berhenti bekerja, dan seorang mencapai Nibbana, terlepas dari

lingkaran kelahiran dan kematian.

Konsep uamt Budha tentang pembebasan terlepas dari lingkaran

kehidupan dan kematian yang selalu berulang-ulang dan semata-mata bukan

suatu jalan keluar dari dosa dan neraka.31

Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan,

kebencian dan kebodohan. Sang Budha bersabda: "seluruh dunia terbakar,

terbakar oleh apa? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, oleh api

kelahiran usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratapan tangis, kesedihan

dan keluh kesah".

Nibbana atau Nirvana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan

atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian

duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada

cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah

cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya

yaitu seekor penyu, yang bangga menyatakan bahwa tidak ada daratan.

Dalam agama Budha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan

hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-

kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang "tidak dilahirkan, tidak

menjelma, tidak tercipta". Karena Nibbana bersifat kekal (Duva), damai

(Santi), dan bahagia (Sukha).

Ajaran sang Budha dapat ringkas menjadi empat kebenaran yang

bisa dibuktikan yang disebut empat kesunyatan mulia: penderitaan,

penyebabnya (nafsu), pengakhirannya (nibbana), dan jalan menuju

penderitaan (jalan mulia yang benar delapan). Ini adalah kebenaran abadi

kebenaran yang tidak berubah dan tidak dapat berubah dengan waktu dan

tempat.

31 Ven Naradha, Sang Budha dan Ajaran-Ajaranya II, (Jakarta: Yayasan Dharma Dipa

Arama, 1998), hlm. 173.

Page 19: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

60

Satu-satunya jalan bagi umat Budha untuk menghindari ketidak

bahagiaan dan ketidakpuasan adalah dengan menghilangkan nafsu yang

melahirkanya, karena segala sesuatu yang dibutuhkan dan dilewati secara

bernafsu tidak abadi. Tidak ada yang abadi baik orang, benda, maupun

pengalaman. Apapun yang timbul harus musnah, dan melekati hal yang bisa

musnah cepat atau lambat akan berakhir dengan penderitaan. Tampaknya

mudah untuk menghilangkan nafsu, kenyataannya, itulah tantangan terbesar

yang paling sulit.

Umat Budha mencapai akhir penderitaan dengan mengembangkan

jalan mulia beruas delapan dalam tiga tahapannya,; moralitas, konsentrasi,

dan kebijaksanaan (sila, samadhi, panna). Moralitas memurnikan tindakan

dan konsentrasi memenangkan pikkiran. Jika pikiran tenang dan

terkonsentrasi, kebijaksanaan muncul, pandangan terang, pengetahuan dan

penglihatan segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan munculnya

kebijaksanaan, nafsu dalam segala bentuknya hancur untuk selamanya, api

kehidupan kemudian dipadamkan dari keinginan akan bahan bakarnya yang

tak terkondisi telah menuju Nibbana, yang tanpa kematian, penuh

kebahagiaan dan nyata.32

Jalan mulia beruas delapan terdiri dari delapan faktor berikut saling

berkaitan dan berhubungan dibagi dalam tiga kelompok:

kelompok kebijaksaan (Panna)

1. Pemahaman benar: pengetahuan akan sigfat sejati kehidupan ;

pemahaman empat kesunyatan mulia.

2. Pikiran benar ; pikiran yang bebas dari sensualitas, niat buruk.

Kelompok moralitas (Sila)

3. Ucapan benar: pantang dari kebohongan, fitnah ucapan, kasar, dan

perkataan tak berguna.

4. Tindakan benar: pantang dari pembunuhan, pencurian dan perbuatan

seksual yang menyimpang.

32 Robert Bogada, Hidup Sederhana Hidup Bahagia, (Jakarta: Penerbit Karania, 2003)

hlm. 10-11.

Page 20: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

61

5. Penghidupan yang benar: menghindari segala bentuk penghidupan yang

melibatkan pengrusakan mahluk lain.

Kelompok konsentrasi (Samadhi)

6. Usaha yang benar: melatih pikiran untuk menghindari keadaan mental

yang tidak bermanfaat dan mengembangkan keadaan mental yang

bermanfaat.

7. Perhatian yang benar: mengembangkan kekuatan perhatian dan

kesadaran terhadap "empat dasar perhatian": tubuh, perasaan, pikiran dan

fenomena mental.

8. Konsentrasi yang benar: pengembangan pikiran yang terpusat.33

Dari kedelapan fator jalan utama di atas, dua yang pertama

dikelompokkan kedalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga yang selanjutnya

ke dalam bagian moral (sila), dan tiga yang terakhir kedalam bagian

konsentrasi (samadhi). Tetapi menurut urutan perkembangan, rangkaian itulah

sebagai berikut: sila, Samadhi, Panna.

Moral (sila) merupakan tingkatan yang pertama pada jalan untuk

menuju kenibbana. Dengan tidak membunuh dan mahluk-mahluk hidup

apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap

makhluk paling kecil sekalipun yang merayap di bawah. Dengan menahan diri

dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia,

dan berlaku saleh.

Azas asas dasar kelakuan moral ini amat penting bagi seseorang yang

melangkahkan kakinya menuju kenibbana. Melanggar hal-hal tersebut di atas

berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinnya sendiri. Pelaksanaan

hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.

Samadhi adalah pemusatan pikiran pada satu obyek dengan

mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu. Terdapat berbagai

ancaman obyek meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu.

Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai

33 Ibid., hlm.13

Page 21: BAB III Viva - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1...ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan untuk

62

samadhi meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan

kedamaian dan kebahagiaan batin.

Baik sila maupun samadhi amat berguna untuk membersihkan jalan

dari rintangan-rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang

memungkin kan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk

akhirnya menacapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh

samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan untuk menuju ke

Nibbana.

Pada tingkat ini seseorang disebut sotapanna (pemenang arus)

seseorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana.

Karena masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia

hanya dilahirkan kembali ketujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru

sebagai akibat pandangan sekilas terhadap Nibbana, ia memperoleh kemajuan

pesat dan mengembangkan pandangan terang yang lebih dalam sehingga

mencapai tingkat kesucian kedua, sakadagami (hanya kembali sekali) dengan

melemahkan dua belenggu lagi, yaitu: keinginan indra (kamaraga) dan itikad

jahat (patihga). Disebut sakadaghami karena ia hanya dilahirkan sekali lagi

seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.34

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa Nibbana atau Nirvana

merupakan tujuan terakhir bagi umat Budha, dalam agam Budha Nirvana itu

bukan surga dan bukan suatu kekosongan, karena Nibbana atau Nirvana tidak

bisa diartikan dengan kata-kata, Niabbana juga bersifat kekal abadi, damai,

dan bahagia.untuk menuju Nirvana seseorang harus melaksanakan delapan

faktor jalan utama, sehingga orang tersebut menjadi manusia sempurna dalam

agama Budha disebut Arahat.

34 Naradha Mahathera, Intisari … op. cit., hlm. 60.