BAB III Viva -...
Transcript of BAB III Viva -...
42
BAB III
KONSEP KEHIDUPAN SETELAH MATI (ESKATOLOGI)
DALAM AGAMA BUDHA
A. Tinjauan Singkat Agama Budha
Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama itu
beroleh dari nama panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang
mula-mula Sidharta Gautama (563-487 SM) yang di panggil dengan Budha.1
Secara etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "Bhud" yang artinya
bangun. Orang Budha ialah orang yang bangun artinya "orang telah bangun
dari malam kesesatan dan sekarang ada ditengah cahaya yang benar.2 Budha
ialah orang yang mendapat pengetahuan dengan tidak mendapatkan wahyu
dari Tuhan dan bukan dari seseorang guru sebagaimana disebutkan dalam
Maha Vogga 1-67:
"Aku sendiri yang mencapai pengetahuan, akan kukatakan pengikut siapakah aku ini? Aku tak mempunyai guru, aku guru, yang tak ada bandingannya."3 Panggilan itu di peroleh Sidharta Gautama sesudah menjalani sikap
hidup penuh kesucian, bertapa, berkwalat, mengembara untuk menemukan
lebenaran dekat tujuh tahun lamanya dan dibawah sebuah pohon (yang
dewasa ini berada di kota Goya) ia pun beroleh hikmat dan terang hingga
pohon itu sampai kini di panggilkan pohon Hikmat (Tree of Bodhi)
Kitab suci di dalam agama Budha itu dipanggilkan dengan: Tripitaka,
tri itu bermakna tiga, dan pitaka itu bermakna bakul tapi dimaksudkan ialah
bakul hikmat, hingga Tripitaka itu pada hakikatnya bermakna tiga himpunan
Hikmat, yaitu:
1 Joe, Soef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Zikro, 1996), hlm.
72. 2 AG. Honiq, Ilmu Agama, (Jakarta: PT. BPK. Gunung Muria, 1992), hlm. 165. 3 Moh. Rifa'I, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), hlm. 92.
43
1. Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan khotbah Budha Gautama.
Bagian terbesar dari padanya terdiri atas percakapan (dialog) antara Budha
dengan berbagai muridnya.
2. Vinaya Pitaka, berisikan Patti Mokkha, yaitu peraturan tata hidup setiap
anggota biara-biara (Sangha).
3. Abidhamma Pitaka, yang di tujukan bagi lapisan terpelajar dalam agama
Budha, bermakna: Dhamma lanjutan atau dharma khusus. Berisikan
berbagai himpunan yang mempunyai nilai tinggi (great values) bagi
Latihan-Ingatan (Mind-Traning).4
Agama Budha atau ajaran Budha lebih menerapkan "Way of Life" dari
pada suatu agama dan filsafat, sebab ajaran Budha lebih merupakan satu
perangkat sistem keyakinan yang didasarkan pada pengertian dan mengarah
pada corak perilaku atau perbuatan untuk mencapai kebebasan penderitaan.
Pengertian memerlukan dan mengundang penalaran serta penghayatan secara
mendalam sebagai awal mula munculnya keyakinan terhadap pengertian
tersebut.
Keyakinan agama Budha akan muncul dari penyelidikan dan analisis
pikiran secara mendalam yang bisa dilakukan oleh siapapun juga tanpa
kecuali. Budha Gautama mengatakan dalam khutbah kepada orang-orang suku
Kalama agar jangan percaya begitu saja pada adat tradisi, buku-buku suci,
kata-kata guru termasuk kata-kata Budha sendiri, tetapi sesudah melalui
penyelidikan dan analisis berpikir yang mendalam hendaknya seorang
menerima satu ajaran dan melaksanakannya.5
Ajaran dan keyakinannya adalah:
1. Kenyataan penderitaan, hidup semua makhluk di bumi ialah penderitaan.
2. Kenyataan sebab penderitaan, penderita ini sebagai sebab dari trsna
(Harus hidup atau levensdrang-bahasa belanda) yang mengakibatkan
tumimbal lahir atau reinkarnasi.
4 Joe, Soef Sou'yb, op. cit., hlm., 73. 5 Djam'annuri, Agama Kita, Perspektif Sejarah Agama-Agama, (Yogyakarta: Kurnia
Salam Semesta, 2000), hlm. 67.
44
3. Kenyatan penyingkiran; jika trsna ditindas atau disingkirkan maka sebab
penderitaan akan tersingkir pula, mengakibatkan tumimbal lahir akan
tersingkir pula.
4. Kenyatannya jalan untuk menyingkirkan penderitaan atau jalan untuk
menghindari trsna, ialah dengan melalui jalan delapan, yaitu ajaran yang
benar, tingkah laku yang benar upajiwa (penghidupan) yang benar,
semangat kegiatan yang benar, minat yang benar dan samadi yang benar.
Kenyataan utama, dua dan tiga, dijelaskan lagi oleh rangkaian dua
belas yaitu:
1. Kesunyatan terdapat dalam alam ini karena ketidaktahuan atau oleh sebab
pengetahuan yang keliru
2. Kesadaran tumbuh karena kesan.
3. Kesadaran disebabkan oleh alat indra. (panca indra)
4. Alam indra itu disebutkan nama-namanya
5. Sentuhan dari nama indra (panca indra ditambah dengan batin dan
jasmani).
6. Perasaan timbul karena sentuhan
7. Perasaan menimbulkan nafsu, keharusan hidup.
8. Materi timbul dari trsna, nafsu dan hidup
9. Individu terjadi karena materi
10. Kelahiran disebabkan karena terjadinya individu.
11. Manusia terjadi karena dilahirkan
12. Umur, mati, sakit dan segala penderitaan lekat pada hidup manusia karena
dilahirkan.6
Dalam suatu kesempatan, Budha memberikan perumpamaan perihal
ajarannya ibarat sebuah rakit. Rakit itu merupakan sarana yang dipergunakan
untuk menyeberang dari satu pantai yang tidak aman kepantai seberang yang
aman. Demikiran pula, ajaran Budha, ibarat rakit merupakan sarana yang di
6 Kamil Karta Praja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Masa Agung, 1985), hlm. 19
45
gunakan untuk menyeberang ke pantai yang aman dan bahagia (bebas dari
penderitaan).
Pokok-pokok ajaran Budha terdiri dari 6 (enam)unsur berikut:
1. Tiga permata (tiratana atau triratna pali)
2. Empat kesunyatan atau mulia dan jalan utama bersumber delapan
3. Tiga corak umum.
4. Hukum Perilaku (Karma) dan tumimmbal lahir.
5. Hukum sebab musabab yang saling berkaitan.
6. Kebebasan penderitaan (nibbana atau nirvana).7
Demikianlah ajaran pokok dari Budha untuk melatih tidak
mengindahkan keduniaan ini, hidup utama dengan latihan menjernihkan jiwa,
penuh samadhi. Didalam kepercayaan ini tidak sedikitpun tampak gambaran
sesuatu yang maha Esa, yang menciptakan, menyelenggarakan,
menghancurkan segala yang ada.
B. Kematian Dalam Agama Budha
Masalah pertama yang dihadapi Budhisme adalah kenyataan bahwa
manusia menderita dalam banyak hal.8 Penderitaan yang dihadapi yaitu
kelahiran, umur tua, dan kematian.9 Sepanjang sejarah Budhisme penderitaan
telah ditekankan sebagai ajaran Budha, hidup adalah penderitaan.
Para penganut Budha dari semua negara secara khusus menekankan
kekhawatiran akan kematian yang bisa dihadapkan pada kematian, walaupun
pada umumnya ia tidak menyadarinya. Tentang kematian menurut ajaran
agama Budha yang terserat dalam kitab Dhamapada VIII: 114 yang berbunyi:
7 Djam'annuri, op. cit., hlm. 67-68. 8 Mudji Sutrisno, Budhisme Pengaruhnya Dalam Abad Modern, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), hlm. 95. 9 Moch Rifai, Perbandingan Agama, (Semarang: Wicaksana, 1980), Cet. V, hlm. 45.
46
Ya ca vassaatam java
Apassam amatam padam
Ekaham amatam padam
Ekaham jivatam seayyo
Artinya: "Walaupun seorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian, sesungguhnya kebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keadaan tanpa kematian."10
Adapun ajaran tentang kematian dalam kitab Dhammapada vol. XI.
145 yaitu:
Parijamam idam rupam
Poganiddam pabbangunam
Bhijjti puti dan deho
Marahatam hijivitam
Artinya: "Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit dan mudah busuk. Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya kehidupan ini akan berakhir dengan kematian"
Berdasarkan ajaran Dhammapada di atas menilai bahwa kematian
adalah hukuman dari semua kehidupan.11 Kematian tentu saja berarti
penghentian seluruh fungsi jasmani.12 Kenyataan hidup yang mustahil untuk
dihindari. Manusia ialah mahluk hidup, binatang yang hidup dengan
kesadaran bahwa suatu saat ia akan mati dan mereka selalu menyadarinya
bahwa keyakinan akan kematian sulit untuk dipahami.
Dalam Budha Dhamma, kematian itu kerap diingatkan tak diundang ia
kemari, tak diterima ia pergi, sesungguhnyalah datang dari mana ia sungguh
disini barang beberapa hari melalui satu jalan ia datang, melalui jalan ia pergi,
meninggal sebagian manusia, seseorang menjalani kelahiran berikutnya,
seperti ia datang begitu pula ia pergi. Dalam kitab Dhammapada 150 yang
berbunyi "jasmani ini terbuat dari tulang-tulang yang dihubungkan oleh
10 Dhammapada, (Jakarta: Hanoman Sakti, 1997), hlm. 45-49. 11 Mudji Sutrisno, op.cit., hlm. 96. 12 Dauglas M. Burs, Budha Dharma Versus Dogma, (Jakarta: Yayasan Dharma Tidda
Arama, 1982), hlm. 17.
47
daging dan darah. Disinilah terdapat pelapukan dan kematian, kesombongan
dan iri hati. Kematian memang pasti terjadi, namun bukan berarti harus
menghindari untuk memikirkan atau mengadakan perenungan kematian.
Dalam agama Budha Dhamma sangat dianjurkan untuk melakukan
perenungan terhadap kematian juga sangat membantu bagi kebaikan hidup
sendiri dan juga agar dapat menghadapi kematian sebaik-baiknya."13
Perenungan tentang kematian yang disebut marranna bussati bavana
ini merupakan salah satu bentuk meditasi pelindung dan kematian itu dapat
datang dengan berbagai cara, perbedaannya hanya terletak pada tingkat
ketahanan. Ada yang lama ada yang cepat. Tetapi, segalanya akan hancur
mengubah cita-cita keduniawiannya dengan aspirasi-aspirasi mulia untuk
menuju nirwana yang bebas dari kebinasaan atau kehancuran. Segala sesuatu
adalah kekuatan yang mendatangkan sesuatu, tiada yang abadi, segala
sesuatua selalu menjadi berubah dan berlalu, penderitaan sebenarnya satu
dengan transisi/ kematian.14
Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci agama
Budha, adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri
dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran, dan tubuh
jasmani atau materi.
Dalam kelompok yang lain menganggap kematian ini merupakan
masa transisi yang tak terbatas dari jiwa atau dengan kata lain kematian adalah
menunggu hari pengadilan. Bagi umat Budhis, kematian hanya merupakan
akhir semantara dan gejala yang bersifat sementara dan kematian bukan
merupakan kemusnahan total dari suatu makhluk.
Setelah mengetahui bahwa kematian akan menghampiri manusia pada
suatu saat, maka harus dapat memutuskan dengan ketenangan, keberanian dan
kepercayaan diri yang sama untuk melepaskan tugas dan kewajiban kita
kepada generasi penerus. Manusia tidak boleh berleha-leha dan menunda
hingga besok hal-hal yang dapat dikerjakan hari ini. Manusia harus dapat
13 Jo Priyastama, Budha Dhamma Kontekstual, (Jakarta: Yassodara Putri, 1999), hlm. 177-180.
14 Mudji Sutrisno, Budhisme…, op.cit., hlm. 96-97.
48
menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan menjalankan kehidupan yang
bermanfaat.
Menurut agama Budha kematian dapat terjadi oleh hal-hal sebagai
berikut:
• Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk
tertentu. Kematian semacam ini disebut Ayu Khaya
• Kematian disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat
terjadinya kelahiran dan makhluk yang meninnggal tersebut. Hal ini
disebut Kamma Khayya
• Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut diatas,
yang terjadi secara berturut-turut. Disebut Ubhaya Khayya
• Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar. Yaitu: kecelakaan, terjadi
kejadian yang tidak ada waktunya, atau bekerja gejala alam dari suatu
karma akibat kelahiran terdahulu yang tidak termasuk kedalam dua butir di
atas, disebut Upachedaka15
Jadi makna kematian menurut agama Budha yaitu kematian adalah
hukuman dari semua kehidupan dan kenyataan hidup yang mustahil untuk
dihindari serta perjalanan seseorang untuk menjalani kelahiran berikutnya
untuk menuju kenirwana.
C. Alam Setelah Kematian
Dalam agama Budha setelah manusia mati maka akan mengalami
beberapa kehidupan setelah mati sampai tujuan akhirnya, antara lain:
1. Tumimbal Lahir
Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal
lahir. Makhluk-makhluk merupakan perwujudan nyata dari kekuatan yang
tak terlihat. Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena
yang tidak langgeng. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kehidupan
kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang.
15 Sri Dammananda, Kehidupan Tidak Pasti Namun Kematian Itu Pasti, (Jakarta:
Yayasan Dhamma Duta Carika, 1986), hlm. 14-15.
49
Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran jasmani, maka
datangnya saat pikiran kematian (cuti citta) sekarang untuk mempersiapkan
kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.
Kamma yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi
syarat bagi tumimbal akhir. Kamma mampu menentukan kelahiran
sekarang dan kamma sekarang bergabung dengan kamma lampau
menentukan kehidupan berikutnya. Keadaan sekarang adalah akibat dari
keadaan masa lalu dan menjadi sebab dari keadaan yang akan datang.16
Menurut Sang Budha, kelahiran kembali (tumimbal lahir) itu terjadi
langsung setelah kematian, karena kesadaran memiliki sifat muncul dan
lenyap tanpa henti. Tidak ada interval diantara kematian dan kelahiran
berikutnya. Kepercayaan Therevada menyatakan bahwa kelahiran kembali
terjadi langsung setelah kematian. Begitu kita mati saat berikutnya
tumimbal lahir pun terjadi, dan ini bisa dialam kehidupan manusia, alam
binatang, alam makhluk halus atau syetan menderita (Peta), alam raksasa
(Asura), alam neraka atau alam Dewa.
Orang terlahir kembali sesuai dengan karmanya. Jika telah
menjalani kehidupan yang baik, dia biasanya akan mendapat kelahiran
kembali di alam yang baik. Besar kemungkinan pikiran orang itu berada
dalam keadaan bajik pada saat kematian dan kemungkinan kelahirkan
kembali di alam bahagia manusia atau Dewa disalah satu alam Dewa.17
Dalil kamma adalah dalil sebab dan akibat, aksi dan reaksi,
merupakan hukum alam, yang tak ada hubungannya dengan gagasan
mengenai penghakiman, ganjaran, pahala, atau penjatuhan hukuman. Setiap
perbuatan yang dilandasi kehendak akan membuahkan hasil atau akibat.
Perbuatan baik akan berbuah baik, perbuatan buruk akan berbuah buruk.
Berdasarkan doktrin kamma dan tumimbal lahir. Suatu perbuatan
yang perbuatan baik atau buruk memliki akibatnya pada suatu saat disuatu
tempat sesuai dengan hukum kamma, lingkungan dan kondisi yang
16 Naradha Mahathera, Intisari Agama Budha, (Semarang: Yayasan Darma Phala, 2002), hlm. 38.
17 Uisudhatara, Hidup dan Mati Sama Saja, (Klaten: Wisma Sambidhi, tt), hlm. 40.
50
melingkupi nasib suatu makhluk terwujud karena sebab yang
mendahuluinya dan hadirnya kondisi yang sesuai. Misalnya, dari biji
mangga yang jelek tidak akan tumbuh pohon mangga yang sehat dengan
buahnya yang ranum dan manis. Demikian pula kejahatan, perbuatan yang
dikehendaki atau karma yang di perbuat dalam kelahiran sebelumnya
merupakan benih atau akar yang menyebabkan nasib malang dalam
kehidupan berikutnya.
Doktrin bahwa tumimbal lahir terjadi karena terkondisi oleh kamma
telah diterima oleh-guru-guru India kuno sebelum kehidupan sang Budha.
Termasuk dalam hal ini adalah ajaran Upanisad dan Vedanta, seperti dalam
Bagavad Gita, yang mengajarkan bahwa tumimbal lahir terbentuk oleh
kebajikan dan kejahatan yang diperbuat dalam kehidupan saat ini dan
sebelumnya. Karena proses kelahiran kembali dan kematian merupakan
tujuan dan seluruh system filosofi India. Sang Budha bersabda, "semua
makhluk adalah pelaku dan pewaris perbuatanya, perbuatan membedakan
makhluk menjadi hina dan mulia".18
Hukum kamma dan tummimbal lahir menerangkan hal-hal berikut:
a. Masalah penderitaan yang menjadi tanggung jawab kita sendiri.
b. Ketidakadilan diantara sesama makhluk.
c. Perbedaan diantara anak-anak dan satu keluarga meskipun secara
keturunan sama.
d. Kemampuan khusus orang-orang tertentu yang dibawanya sejak lahir.
e. Perbedaan moral dan intelektual antara orang tua dan anak.
f. Mengapa anak yang baru lahir secara sepontan mengembangkan sifat-
sifat seperti serakah, moral dan iri hati.
g. Adanya perasaan suka dan tidak suka secara naluriah pada pandangan
pertama.
h. Bagaimana dalam diri kita ditemukan timbunan kejahatan dan simpanan
kebaikan.
18 Sri Dhammananda, Tumimbal Lahir, (Jakarta: Karaniya, 2002) hlm. 24-26.
51
i. Timbulnya luapan nafsu yang tidak diharapkan pada orang yang
berbudaya tinggi, dan kemungkinan terjadinya perubahan mendadak
dari orang jahat menjadi orang suci.
j. Bagaimana anak jahat terlahir dari orang tua yang shaleh dan anak
shaleh terlahir dari orang tua yang jahat.
k. Sebab-sebab kematian sebelum waktunya, dan perubahan peruntungan
yang tidak diharapkan.
l. Bahwa kita saat ini merupakan akibat dari kita yang terdahulu, kita
disaat mendatang juga akan menjadi akibat dari kita saat ini, dengan
kata lain, kita saat ini bukan mutlak kita yang dahulu dan kita dimasa
datang bukan kita mutlak saat ini.19
Kelahiran dan kematian merupakan dua fase dari satu proses yang
sama. Kelahiran mendahului kematian dan sebaliknya kematian mendahului
kelahiran. Rangkaian kelahiran kematian yang tetap dalam kakitannya
dengan arus kehidupan masing-masing individu membentuk apa yang
secara teknis dikenal sebagai samsara "pengembangan berulang-ulang".20
Arus kehidupan atau samsara terus mengalir tanpa akhir, sepanjang
hidup masih tercemari oleh kebodohan batin dan nafsu. Bilamana kedua hal
itu telah dipatahkan, maka arus kehidupan akan berhenti mengalir tiada lagi
kelahiran kembali. Seperti yang dialami oleh para Budha dan arahat.
Putaran kelahiran atau samsara tidak bisa berhenti dengan
sendirinya. Karena tidak bakal ada suatu titik dimana dengan sendirinya
seluruh mahluk yang beredar dalam samsara mencapai pembebasan, karena
tidak melekat lagi pada hal-hal duniawi.
Memahami samsara, kita mendapatkan kepastian bahwa ada suatu
dalil yang mengatur alam semesta. Dengan mempelajari hukum ini secara
benar, kita menjadi mampu mengendalikan dan menemukan nasib diri
sendiri, dengan tujuan batin yang lebih luhur, dan mengarahkan diri, pada
tujuan yang lebih pasti.
19 Ibid., hlm. 27 20 Ven Naradha Mahathera, Keterangan Singkat Agama Budha, (Jakarta: Dharma Dipa.
Arota, 2002) hlm. 42.
52
Tumimbal lahir bekerja pada semua mahluk hampir tidak ada orang
yang sama sekali tidak ingin mengetahui dari mana ia datang dan kemana ia
akan pergi. Suatu bisikan hati yang alamiah untuk memahami misteri
kehidupan dan kematian. Memahami dan menerima tumimbal lahir sebagai
suatu fakta berarti memberi makna dan tujuan hidup secara sungguh. Hidup
tidak muncul cukup lama, seperti hembusan angin yang berlalu. Harapan
baru dirasakan dan pandangan baru terbuka. Memahami tumimbal lahir
berarti menerima kenyataan bahwa semua mahluk merupakan sesama
penumpang dalam perjalanan panjang kehidupan, semua mahluk
mengalami hukum universal dan prinsip-prinsip dasar yang sama.21
Ajaran agama Budha tentang tumimbal lahir ini harus dibedakan
dari teori reinkarnasi yang menyatakan perpindahan roh dan kelahiran
kembali yang tetap. Agama Budha menolak adanya suatu roh kekal atau
yang tidak berubah, yang diciptakan oleh dewa yang maha kuasa atau yang
keluar dari zat ilahi (paramatma).
Suatu roh yang kekal memang diperlukan untuk membuktikan
adanya kebahagiaan kekal dalam surga yang abadi dan siksaan tanpa akhir
jelas mereka abadi. Kalau tidak lalu apa yang dihukum dalam neraka dan
apa yang dinikmati dalam surga?
Menurut Bertrand Russel, "Perbedaan lama antara roh dan tubuh
telah usai, karena materi telah kehilangan kepadatannya seperti batin
kehilangan spiritualitasnya. Psikologi (ilmu jiwa) sudah menjadi ilmiah.
Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu
dukungan dari ilmu pengetahuan. Umat Budha setuju dengan Bertrand
Russel yang menyatakan: "jelas terdapat beberapa alasan dimana aku
sekarang merupakan orang sama dengan aku kemarin dan menggunakan
contoh yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan mendengar ia
bicara, maka terdapat sebuah pengertian dimana "aku" yang melihat adalah
sama dengan "aku" yang mendengar".22
21 Sri Dhammananda, Tumimbal…, op.cit., hlm. 71-72. 22 Naradha Mahathera, Intisari, op. cit., hlm. 47.
53
Dari uraian diatas agama Budha tidak menolak sama sekali adanya
sesuatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya
bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada dalam suatu pengertian
mutlak dalam istilah Budhis bagi seorang individu adalam santana yaitu
arus atau kelangsungan yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani.
Arus kelangsungan fenomena psiko-fisik yang telah terputus ini di
syarati oleh kamma dan tidak terbatas hanya pada kehidupan sekarang,
tetapi memiliki sumbernya pada masa lampau tanpa awal serta
kelangsungan pada masa yang akan datang.
2. Kiamat
Kiamat dalam Agama Budha adalah hancur leburnya bumi atau
Alam semesta bukan merupakan akhir dari kehidupan sebab di alam
semesta ini tetap berlangsung pula evolusi bumi.
Kiamat atau hancur leburnya bumi menirut Agama Budha dalam
kitab Aggutara Nikayya satta kanipatta diakibatkan oleh terjadinya musim
kemarau yang lama.Dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang
muncul Matahari kedua ,dengan berselangnya suatu masa yang lama
Matahari ketiga muncul.Matahari keempat, Matahari kelima, keenam,
ketujuh. Pada Matahari ketujuh muncul bumi akan terbakar sehingga
menjadi debu dan lenyap berterbangan dialam semesta.
Pemunculan Matahari kedua, ketiga, dan lain- lain bukan berarti
matahari tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari tersebut
telah ada di alam semesta ini.Adapun uraian tentang kiamat dalam khotbah
sang Budha kepada para Bhikkhu:
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan pohon palm dan pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati.
Para Bikkhu, selanjutnya akan bebas suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari ke dua muncul, maka sungai kecil dan danau kecil surut kering dan tiada.
54
Para Bikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ke tiga muncul, maka semua sungai besar yaitu, sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada.
Para Bikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ke empat muncul. Ketika matahari ke empat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut dan kering.23
3. Surga dan neraka
Ajaran agama Budha setelah manusia mengalami tumimbal lahir
yang secara langsung kemudian dengan karmanya masing-masing akan
memasuki kehidupan di surga atau neraka.
a. Surga
Surga dalam agama Budha merupakan suatu alam kehidupan
yang menyenangkan namun tidak kekal. Surga terbuka bagi siapa saja
yang tidak melakukan perbuatan jahat dan banyak melakukan perbuatan
baik. Seseorang yang percaya kepada sang Budha dan menjalankan
ajaranya dengan abaik tentu akan dapat masuk surga. Kelahiran dia di
alam surga merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan. Dalam
dhamma pada Attha Kattha di ceritakan bahwa ada yang terlahir dialam
surga karena selalu mengatakan kebenaran.
Kehidupan di alam surga adalah kehidupan yang
menyenangkan, penghuninya adalah para dewa dan dewi yang
menikmati kebahagiaan sebagai hasil dari perbuatan baik yang
dilakukan sebelumnya. Dewa dan dewi adalah makhluk yang
memancarkan cahaya dan sepanjang hidupnya selalu tampak tampan
dan cantik. Mereka tinggal di istana-istana emas permata yang indah. Di
sekitarnya terdapat taman, bunga-bunga, dan burung-burung yang
berkicau menyanyikan lagu-lagu merdu.
23 Corneles Wowor, MA., Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Budha, (Jakarta:
Akademi Budhis Nalada, 1980), hlm. 7-8.
55
Kehidupan di alam surga mempunyai jangka waktu tertentu dan
setelah itu makhluk penghuni surga akan terlahir kembali ke alam lain
sesuai dengan buah dari perbuatanya. Oleh karena itu, dalam agama
Budha surga bukanlah tujuan akhir manusia.24
Tujuan akhir umat Budha adalah mencapai keadaan
kebahagiaan mutlak yang merupakan puncak pencapaian manusia
sebagai perwujudan dan aspek ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana
di ungkapkan dalam Udana VIII:
" Di ketahuilah para bhikku bahwa ada sesuatu yang dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta yang mutlak. Duhai para bikku, apabila tidak ada yang tidak dilahirkan yang tidak menjelma, yang tidak diciptakan, yang mutlak, maka tidak akan ,mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikku, karena ada yang tidak dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak tercipta, yang pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu".25
Terdapat banyak alam surga dalam dalam agama Budha, ada
enam alam surga diatas alam manusia. Diatasnya terdapat alam surga
yang lebih tinggi yang dihuni oleh para brahma, yaitu para dewa yang
telah mencapai tingkat meditasi tinggi. Tingkatan sugati bumi antara lain:
Catum mahanjika : Alam 4 raja dewa.
Tavatimsa : Alam 33 dewa.
Yoma : Alam dewa.
Tusita : Alam penuh kenikmatan
Nimmarati : Alam dewa-dewa yang bisa menciptakan
sesuatu.
Para Nimmitayasavatti : Alam dewa yang membantu kesempurnaan
ciptaan dewa-dewa yang lain.26
24 Dharma K. Widya, Mengenal Lebih Dekat Agama Budha, (Jakarta: Pendidikan Budhis
Nalada, 2003), hlm. 10-11. 25 Ibid., hlm. 12. 26 Pandit J. Kaharudin, Hidup dan Kehidupan, (Graha Metta Sejahtera, 2000), hlm. 22.
56
b. Neraka
Neraka dalam agama Budha disebut "Niraya" terbentuk atas dua
kosa kata, yakni "Ni" yang berarti bukan, tidak ada, dan Aya' yang
berarti "kebajikan, kebahagian, pengembangan". Niraya tau neraka
adaah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa
kesempatan untuk berbuat kebajikan tanpa kebahagiaan, tanpa
perkembangan. Neraka dalam panadangan agama Budha bukanlah suatu
alam kehidupan yg bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu
kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh dalam neraka akan dapat
terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung
perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang
kehidupan-kehidupan lampau.27
Seseorang akan terlahir dijalan neraka apabila banyak
melakukan perbuatan jahat seperti membunuh dan menganiaya makhluk
lain, melakukan tindakan-tindakan dengan penuh kebencian dan
kekejaman dan sebagainya.
Di lain pihak, terdapat kemungkinan makhluk dari neraka
terlahir kembali sebagai manusia. Kelahiran kembali dari alam biasanya
merupakan kelahiran dengan keadaan yang menyedihkan atau dengan
dengan Tasmani tidak sempurna.28
Dalam kitab Dhammapada Bab XXII mengatakan sebab-sebab
orang masuk neraka (Niraya vaga):
1. Abhutavadi Nirayam upeti yo vapi katva "na karomi" ti caha, ubho
pi te pecca sama bhavanti nihinakamma manuja parattha. (306)
2. Kasavakantha bahavo papadhamma asannata, papa papehi
kammmehi Nirayam te upapajjare. (307).
3. Seyyo ayogulo bhutto tatto aggisikkhupamo yan ce bhunjeyya
dussilo ratthapindam asannato. (308)
27 Jan Sanjivaputra, Menguak Misteri Kematian, (Thailand: LPD Publisher, 1990), hlm,
11-26. 28 Dharma K. Wijaya, Mengenal ..........op.cit., hlm. 13.
57
4. Cattari thanani naro pamatto apajjati paradarupasevi: apunnalabham
na nikamaseyyam nindam tatiyam Nirayam catuttham. (309).
Artinya:
1. Orang yang selalu berbicara tidak benar, dan juga orang yang setelah
berbuat kemudian berkata: "Aku tidak melakukannya," akan masuk
ke neraka. Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini,
mempunyai nasib yang sama dalam dunia selanjutnya.
2. Bila seseorang menjadi bhikkhu mengenakan jubah kuning tetapi
masih berkelakuan buruk dan tidak terkendali, maka akibat
perbuatan-perbuatan jahatnya sendiri, ia akan masuk ke neraka.
3. Lebih baik menelan bola besi panas seperti bara api dari pada selalu
menerima makanan dari orang lain dan tetap berkelakuan buruk serta
tak terkendali.
4. Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat ganjaran, yaitu:
pertama; ia akan menerima akibat buruk, kedua; ia tidak dapat tidur
dengan tenang, ketiga; namanya tercela, dan keempat; ia akan masuk
ke alam neraka.29
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu neraka besar (Maha
Niraya) dan neraka kecil (Ussadaniraya). Neraka besar terdiri atas
delapan alam:
a. Sanjaiva: alam kehidupan bagi, makhluk yang secara berbudi dibantai
dengan pelbagai senjata.
b. Kallasuta: kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti
kemudian dipenggal-penggal dengan parang.
c. Sanghata: alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga lulu
lantah oleh bongkahan besi api.
d. Dhumaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap
api melalui sembilan lubang.
e. Jalaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus melalui
sembilan lubang.
29 Dhammapada, op. cit., hlm. 134-135.
58
f. Tapana: alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan diatas besi
membara.
g. Patapana: alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju
puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan tombak-tombak
panas.
h. Avici: alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi
membara dan dibakar dengan api membara sepanjang waktu.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
a. Angkarakasu: alam neraka yang terpenuhi bara api.
b. Loharasa: alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair.
c. Kulkula: alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara.
d. Anggisamohaka: alam neraka yang terpenuhi oleh air panas.
e. Lohakhumbi: alam neraka yang merupakan panic tembaga.
f. Gutha: alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk.
g. Simpalivana: alam neraka yang merupakan hutan pohon berduri.
h. Vettarani: alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan.30
Dari uraian diatas surga adalah merupakan tempat kehidupan
yang penuh kebahagiaan namun tidak kekal, sedangkan neraka adalah
alam yang penuh dengan siksaan dan penuh derita namun juga tidak
kekal.
3. Nirvana (Nibbana)
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti
sampai arus ini dibelokkan kenibbana dhatu, tujuan akhir umat Budha.
Istilah pali "nibbana" berasal dari kata "Ni" dan vana. Ni merupakan partikel
negatif sedang vana berarti nafsu atau keinginan, " disebut Nibbana karena
terbebas nafsu yang disebut Vanna, keinginan. Secara harfiah, nibbana
berarti terbebas dari kemelekatan.
Selama seseorang terikat dengan keinginan dan kemelekatan orang
tersebut menimbun kegiatan kamma baru yang pasti terwujud dalam bentuk
seseorang atau bentuk yang lain dalam lingkaran kelahiran dan kematian
30 Jan Sanjivaputra, Menguak …., op.cit., hlm. II-27.
59
yang terus menerus. Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan
kamma berhenti bekerja, dan seorang mencapai Nibbana, terlepas dari
lingkaran kelahiran dan kematian.
Konsep uamt Budha tentang pembebasan terlepas dari lingkaran
kehidupan dan kematian yang selalu berulang-ulang dan semata-mata bukan
suatu jalan keluar dari dosa dan neraka.31
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan,
kebencian dan kebodohan. Sang Budha bersabda: "seluruh dunia terbakar,
terbakar oleh apa? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, oleh api
kelahiran usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratapan tangis, kesedihan
dan keluh kesah".
Nibbana atau Nirvana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan
atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian
duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada
cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah
cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya
yaitu seekor penyu, yang bangga menyatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalam agama Budha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan
hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-
kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang "tidak dilahirkan, tidak
menjelma, tidak tercipta". Karena Nibbana bersifat kekal (Duva), damai
(Santi), dan bahagia (Sukha).
Ajaran sang Budha dapat ringkas menjadi empat kebenaran yang
bisa dibuktikan yang disebut empat kesunyatan mulia: penderitaan,
penyebabnya (nafsu), pengakhirannya (nibbana), dan jalan menuju
penderitaan (jalan mulia yang benar delapan). Ini adalah kebenaran abadi
kebenaran yang tidak berubah dan tidak dapat berubah dengan waktu dan
tempat.
31 Ven Naradha, Sang Budha dan Ajaran-Ajaranya II, (Jakarta: Yayasan Dharma Dipa
Arama, 1998), hlm. 173.
60
Satu-satunya jalan bagi umat Budha untuk menghindari ketidak
bahagiaan dan ketidakpuasan adalah dengan menghilangkan nafsu yang
melahirkanya, karena segala sesuatu yang dibutuhkan dan dilewati secara
bernafsu tidak abadi. Tidak ada yang abadi baik orang, benda, maupun
pengalaman. Apapun yang timbul harus musnah, dan melekati hal yang bisa
musnah cepat atau lambat akan berakhir dengan penderitaan. Tampaknya
mudah untuk menghilangkan nafsu, kenyataannya, itulah tantangan terbesar
yang paling sulit.
Umat Budha mencapai akhir penderitaan dengan mengembangkan
jalan mulia beruas delapan dalam tiga tahapannya,; moralitas, konsentrasi,
dan kebijaksanaan (sila, samadhi, panna). Moralitas memurnikan tindakan
dan konsentrasi memenangkan pikkiran. Jika pikiran tenang dan
terkonsentrasi, kebijaksanaan muncul, pandangan terang, pengetahuan dan
penglihatan segala sesuatu sebagaimana adanya. Dengan munculnya
kebijaksanaan, nafsu dalam segala bentuknya hancur untuk selamanya, api
kehidupan kemudian dipadamkan dari keinginan akan bahan bakarnya yang
tak terkondisi telah menuju Nibbana, yang tanpa kematian, penuh
kebahagiaan dan nyata.32
Jalan mulia beruas delapan terdiri dari delapan faktor berikut saling
berkaitan dan berhubungan dibagi dalam tiga kelompok:
kelompok kebijaksaan (Panna)
1. Pemahaman benar: pengetahuan akan sigfat sejati kehidupan ;
pemahaman empat kesunyatan mulia.
2. Pikiran benar ; pikiran yang bebas dari sensualitas, niat buruk.
Kelompok moralitas (Sila)
3. Ucapan benar: pantang dari kebohongan, fitnah ucapan, kasar, dan
perkataan tak berguna.
4. Tindakan benar: pantang dari pembunuhan, pencurian dan perbuatan
seksual yang menyimpang.
32 Robert Bogada, Hidup Sederhana Hidup Bahagia, (Jakarta: Penerbit Karania, 2003)
hlm. 10-11.
61
5. Penghidupan yang benar: menghindari segala bentuk penghidupan yang
melibatkan pengrusakan mahluk lain.
Kelompok konsentrasi (Samadhi)
6. Usaha yang benar: melatih pikiran untuk menghindari keadaan mental
yang tidak bermanfaat dan mengembangkan keadaan mental yang
bermanfaat.
7. Perhatian yang benar: mengembangkan kekuatan perhatian dan
kesadaran terhadap "empat dasar perhatian": tubuh, perasaan, pikiran dan
fenomena mental.
8. Konsentrasi yang benar: pengembangan pikiran yang terpusat.33
Dari kedelapan fator jalan utama di atas, dua yang pertama
dikelompokkan kedalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga yang selanjutnya
ke dalam bagian moral (sila), dan tiga yang terakhir kedalam bagian
konsentrasi (samadhi). Tetapi menurut urutan perkembangan, rangkaian itulah
sebagai berikut: sila, Samadhi, Panna.
Moral (sila) merupakan tingkatan yang pertama pada jalan untuk
menuju kenibbana. Dengan tidak membunuh dan mahluk-mahluk hidup
apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap
makhluk paling kecil sekalipun yang merayap di bawah. Dengan menahan diri
dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia,
dan berlaku saleh.
Azas asas dasar kelakuan moral ini amat penting bagi seseorang yang
melangkahkan kakinya menuju kenibbana. Melanggar hal-hal tersebut di atas
berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinnya sendiri. Pelaksanaan
hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Samadhi adalah pemusatan pikiran pada satu obyek dengan
mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu. Terdapat berbagai
ancaman obyek meditasi sesuai dengan watak masing-masing individu.
Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai
33 Ibid., hlm.13
62
samadhi meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan
kedamaian dan kebahagiaan batin.
Baik sila maupun samadhi amat berguna untuk membersihkan jalan
dari rintangan-rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang
memungkin kan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk
akhirnya menacapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh
samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari jalan untuk menuju ke
Nibbana.
Pada tingkat ini seseorang disebut sotapanna (pemenang arus)
seseorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana.
Karena masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia
hanya dilahirkan kembali ketujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru
sebagai akibat pandangan sekilas terhadap Nibbana, ia memperoleh kemajuan
pesat dan mengembangkan pandangan terang yang lebih dalam sehingga
mencapai tingkat kesucian kedua, sakadagami (hanya kembali sekali) dengan
melemahkan dua belenggu lagi, yaitu: keinginan indra (kamaraga) dan itikad
jahat (patihga). Disebut sakadaghami karena ia hanya dilahirkan sekali lagi
seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.34
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa Nibbana atau Nirvana
merupakan tujuan terakhir bagi umat Budha, dalam agam Budha Nirvana itu
bukan surga dan bukan suatu kekosongan, karena Nibbana atau Nirvana tidak
bisa diartikan dengan kata-kata, Niabbana juga bersifat kekal abadi, damai,
dan bahagia.untuk menuju Nirvana seseorang harus melaksanakan delapan
faktor jalan utama, sehingga orang tersebut menjadi manusia sempurna dalam
agama Budha disebut Arahat.
34 Naradha Mahathera, Intisari … op. cit., hlm. 60.