BAB III URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN A....
Transcript of BAB III URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN A....
BAB III
URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN
A. Relevansi Kasih Sayang dengan Pendidikan.
Sekilas Tentang Pengertian Pendidikan
Secara terminologis, istilah pendidikan sering digunakan dalam bidang
yang sangat luas, sehingga terasa kabur. Sudah banyak batasan dan definisi
yang dikemukakan oleh para praktisi dan pakar pendidikan tentang pengertian
pendidikan.
Anwar Judi mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha menumbuhkan
manusia dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak lahir sampai
meninggal dunia.”1
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah
asaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.2
Sedangkan Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai
upaya merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu
dalam masyarakat melalui proses pengajaran, pelatihan dan indoktrinasi.
Perubahan dan pemindahan yang dimaksud ini meliputi akhlak (ethic),
keindahan (esthetic), sains (science) dan teknologi.”3
Sementara itu menurut S. Nasution, pendidikan adalah proses belajar
dan mengajar mengenai pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang
diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan ini bervariasi, oleh karena itu
pendidikan harus memperhatikan obyek yang dididik. Menurut beliau, bagi
1 Anwar Judi, al-Tarbiyah wa Binai al-Ajyali fi Daw al-Islami, (Beirut: Dar al- Fikr,
t. th), hlm. 137. 2 UURI No. 20 th 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat 1. 3 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisis Sosio-
Psikologis, (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1985), Cet. 3, hlm. 3-5.
40
41
anak pendidikan merupakan proses perkembangan dan perubahan tingkah
laku. Untuk generasi muda, pendidikan merupakan usaha transmisi sikap,
kepercayaan, keterampilan, dan aspek aspek tingkah laku lainnya. Sedangkan
bagi manusia dewasa, pendidikan merupakan proses interaksi antar sesama
manusia untuk memahami sifat dan sikap sosial yang disepakati dalam
kelompoknya.4
Dalam wacana pendidikan Islam, M. Athiyah al-Abrasyi
mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha untuk mempersiapkan
individu agar dapat hidup di kehidupan yang sempurna.5
Sedangkan menurut Syekh Musthafa al- Ghulayani,
التربية هي غرس األخالق الفاضلة ىف نفوس الناشئين وسقيها بماء األرشاد والنصيحة حتى
ها الفضيلة واخليأن ركون ثمت فس ثملكات النم من بحصطنتفع الول لنمالع بوح 6ر
“Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia ke dalam jiwa anak- anak yang sedang tumbuh dan menyiraminya dengan siraman petunjuk dan nasehat sehingga menjadi watak yang melekat ke dalam jiwa, sehingga hasilnya berupa keutamaan dan kebaikan, suka beramal demi kemanfaatan bangsa.”
Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa rumusan
pendidikan mengandung beberapa unsur, yaitu: Pertama, tujuan pendidikan
yaitu kehidupan yang sempurna. Kedua, prosedur pendidikan yaitu kegiatan
yang dilakukan secara sadar, teratur, dan terencana. Ketiga, teori yang
dijadikan sebagai landasan pendidikan yaitu dilakukan secara terus menerus.
4 Konsep ini bertolak dari anggapan dasar bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi- potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri, dengan keinginannya sendiri. Pendidikan tidak hanya mengembangkan intelektualitas anak didik, akan tetapi pendidikan lebih ditekankan pada serangkaian pengembangan kemampuan- kemampuan anak melalui interaksi dengan lingkungannya. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Cet. 2, hlm. 10.
5 M. Athiyah al- Abrasyi, al Tarbiyah al- Islamiyah Wafilsafatuha, (Mesir: al- Babi al- Halb wa syirkah, 1976), hlm. 148.
6 Syekh Musthafa al- Ghulayani, Idhatu an- Nasyiin, (Pekalongan: Raja Murah, t. th), hlm. 189.
42
Keempat, penilaian atau pengukuran keberhasilan, yaitu kehidupan yang
sempurna.
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
adalah suatu upaya untuk mengubah dan memindahkan nilai melalui proses
pengajaran, pelatihan, dan pengembangan logika berpikir. Oleh karena itulah
maka pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan
berkelanjutan.
1. Kasih Sayang dalam Pendidikan
Menurut Azyumardi Azra, sesuatu yang akan diraih melalui proses
pendidikan adalah proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan
kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Dan proses tersebut melibatkan aspek-aspek pendidikan yaitu
pengetahuan – proses transfer ilmu, transformasi nilai dan pembentukan
kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.7
Dengan proses ini, sebuah generasi akan mewarisi nilai-nilai
keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian yang dimiliki oleh para
pendahulunya.
Pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan
dengan kasih sayang, akan menimbulkan pengertian baru yaitu pendidikan
kasih sayang. Artinya, karakteristik pendidikan dengan seluruh
totalitasnya yang didasarkan pada kasih sayang oleh pendidik maupun
peserta didik, yakni anak dalam konteks keluarga, dan siswa dalam
konteks sekolah.
Kasih sayang dan pendidikan merupakan dual hal yang tidak bisa
di pisahkan. Setiap proses pendidikan pasti melibatkan aspek rasional dan
emosional. Sebuah iklim pendidikan yang haarmonis hanya akan
berlangsung ketika proses belajar mengajarnya beriklim kasih sayang.
Oleh karena itu, kasih sayang merupakan sesuatu yang disadari ataupun
7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana IImu, 1999), cet. I, hlm. 4.
43
tidak secara langsung terlibat dalam proses pendidikan, dalam bentuk dan
kondisi apapun.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pendidikan yang
bernuansa kasih sayang seperti yang dikemukakan oleh al-Abrasyi adalah
kemampuan pendidik dalam mengarahkan sikap mental anak pada:8
a. Perubahan individu, yakni perubahan pribadi baik dari aspek etika,
aktifitas, dan pertumbuhan kepribadian menuju kehidupan yang
diharapkan.
b. Perubahan sikap sosial, yakni pendidikan dikaitkan dengan aktifitas
sosial pada umumnya, sehingga tercipta tatanan kehidupan yang maju
dan bersatu.
c. Profesionalisasi diri, yakni pendidikan yang berkaitan dengan
pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan kebutuhan
kehidupan sosial.
Dalam wacana pendidikan, kasih sayang merupakan hal yang
jarang dibicarakan, baik hanya sekedar wacana, maupun dalam diskusi-
diskusi ilmiah, bahkan dalam interaksi pendidikan secara langsung.
Sebenarnya jika kita cermati, kasih sayang dan pendidikan merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam filosofi Islam, kasih sayang merupakan fitrah yang dimiliki
oleh setiap manusia sejak lahir. Islam menempatkan kasih sayang pada
tempat yang mulia, yaitu menjadikannya sebagai rahmat dari Allah yang
ditulis atas nama-Nya. Namun dalam kenyataannya, kasih sayang hanya
dianggap sebagai second opinion dalam wacana pendidikan. Sampai saat
ini wacana tentang kasih sayang dalam pendidikan masih menjadi wacana
yang jarang ditemukan.
Sebenarnya dalam pendidikan, kasih sayang menempati urutan
prioritas yang cukup signifikan, karena berada pada ranah afeksi pendidik
dan anak didik sebagai pelaku utama pendidikan. Cukup mengherankan,
8 M. Athiyyah Al- Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 167.
44
bila kasih sayang dinilai hanya sebagai pelengkap, bukannya dijadikan
dasar penyelenggaraan pendidikan.
Dalam proses belajar mengajar, seharusnya kasih sayang menjadi
dasar dilakukukannya proses trasfer nilai dan pengetahuan. Tanpa rasa
kasih sayang, proses belajar mengajar hanya akan menjadi rutinitas yang
hanya akan melahirkan generasi yang “mati rasa”, yang hanya mengerti
bagaimana mengaplikasikan ilmunya secara rasional, tanpa menggunakan
perasaannya sebagai manusia.
Dalam konteks inilah kasih sayang memiliki peran yang sangat
urgen dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan, yaitu pendewasaan
manusia secara komprehensif.
Kasih sayang dalam pendidikan diwujudkan dalam bentuk
interaksi antar semua unsur yang terlibat dalam proses pendidikan – baik
dalam konteks yang paling kecil yaitu keluarga, sampai pada konteks yang
paling luas, yaitu masyarakat, tanpa melihat back ground masing-masing.
2. Eksistensi Pendidik
Menarik untuk dibicarakan bahwa siapakah sebenarnya yang yang
paling berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan anak? Apakah
pemerintah, guru, ataukah orang tua? Menurut penulis, jawabannya adalah
orang tua. Orang tualah sebenarnya yang paling berkepentingan terhadap
keberhasilan pendidikan anak. Orang tua menginginkan anaknya menjadi
orang yang baik lahir batin, dan berguna bagi masyarakat. Ini adalah
keinginan yang wajar. Karena itu, orang tualah yang berkewajiban
mendidik anaknya.
Namun karena keterbatasan kemampuan (intelektual, biaya dan
waktu), menyebabkan orang tua mengirim anaknya ke sekolah dengan
harapan akan memperoleh serangkaian ilmu pengetahuan yang tidak bisa
diberikannya di rumah. Hal ini membuat para orang tua terlena dengan
kesibukan mereka masing- masing karena merasa telah menunaikan
tanggungjawabnya sebagai orang tua, yakni menyekolahkan anaknya.
45
Sebenarnya lebih dari itu, orang tua semestinya juga ikut bekerjasama
dengan pihak sekolah agar anak bukan hanya mendapatkan pendidikan
pengetahuan di sekolah, tetapi juga pendidikan moral dan akhlak dari
orang tuanya.
Ironisnya, ketika anak mengalami keterpurukan, justru yang sering
disalahkan adalah pihak sekolah, terutama guru. Mereka dinilai tidak bisa
mendidik muridnya dengan baik dan benar, sehingga anak tumbuh
menjadi pribadi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Maka guru
tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena orang tua juga ikut
bertanggungjawab. Adalah tidak mungkin seorang guru memperhatikan
murid-muridnya satu persatu ketika mereka di rumah. Ketika sudah di
rumah, maka anak itu telah menjadi tanggugjawab orang tuanya. Dengan
kata lain, tugas guru dalam mendidik anak hanya terbatas ketika berada di
sekolah. Namun tidak menutup kemungkinan, bahwa guru juga bisa
memperhatikan muridnya di rumah itupun kalau ada waktu lebih. Banyak
sekali peranan dan eksistensi guru sebagai pendidik. Namun yang akan
dibicarakan di sini adalah eksistensi guru sebagai pendidik di sekolah.
Dalam pendidikan, peranan guru, masih sangat dominan. Bahkan
di beberapa lembaga pendidikan, tidak jarang guru masih berperan sebagai
satu- satunya sumber belajar bagi peserta didik. Karena itu cukup
beralasan jika eksistensi pendidik masih dikaitkan dengan tingkat
keberhasilan prestasi siswa.
Suharsimi Arikunto menyatakan bahwa guru jika dipandang dari
segi siswa, merupakan faktor dari luar siswa. Oleh karena guru
mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan belajar siswa,
maka guru merupakan faktor yang khusus dan perlu mendapatkan sorotan
yang khusus pula.9
9 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1990), Cet. I, hlm. 217.
46
Oleh karena itu, sudah seharusnya guru juga memiliki nilai-nilai
tambah yang lain selain dalam bidang kependidikan untuk lebih
memaksimalkan performance-nya dalam kelas.
3. Eksistensi Peserta Didik
Keterlibatan Peserta Didik
Dalam pendidikan, khususnya selama proses belajar mengajar,
fungsi pendidikan yang paling penting adalah bagaimana menuntun
peserta didik agar mau dan dapat belajar dengan baik. Dalam mengajar
tentunya guru harus banyak berkreasi dalam hal intelektual dan
penguasaan aspek kognitif siswa di samping role skill daripada sekedar
informasi verbal. Dengan cara mengajar yang demikian, strategi belajar
tersebut diharapkan akan dapat menciptakan interaksi dan keterlibatan
siswa secara maksimal.
Pendidikan seharusnya dikembalikan kepada peserta didik sebagai
aktor utama dalam proses belajar mengajar. Cara belajar guru aktif (guru
aktif di depan kelas) seharusnya sudah tidak relevan. Sebaliknya siswalah
yang seharusnya lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Upaya melibatkan siswa telah menjadi fenomena yang cukup
berkembang dalam wacana pendidikan kita akhir-akhir ini. Hanya saja,
belum cukup banyak siswa yang ikut terlibat dan ikut terlibat dalam
proses pembuatan program belajar-mengajar di kelas. Hal ini kemungkina
disebabkan oleh pengaruh kultur yang ada di sekolah selama ini, bahwa
seorang murid harus taat dan patuh pada apa yang dikatakan oleh gurunya,
termasuk untuk tidak bicara dalam forum kelas. Inilah yang seharusnya
menjadi catatan penting para pendidik, bahwa tidak mudah merubah
kultur yang telah ada selama ini.
Oleh karena itu menurut Ahmad Tafsir, sesuatu yang masih
relevan untuk dilakukan adalah jika cara belajar siswa aktif kembali
diterapkan. Karena dengan cara belajar seperti ini, keaktifan anak akan
optimal. Walaupun sebenarnya dalam proses pembelajaran sebenarnya
47
tidak pernah ada siswa yang sama sekali tidak aktif, walaupun hanya
sekedar mendengarkan.10
Menurut studi Potts (1986), siswa akan belajar dengan efektif
bila kurikulum dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan
siswa. Siswa akan merasa tersisih jika peraturan-petraturan sekolah tidak
disusun secara fair dan efektif dengan melibatkan mereka.11
Lebih lanjut Potts mengatakan bahwa, penting sekali melibatkan
siswa dalam proses pembuatan keputusan seperti dalam penyusunan
kurikulum, pembuatan peraturan, dan hal-hal yang berhubungan dengan
penyusunan materi-materi pelajaran. Sebuah lingkungan kelas yang
memberi otonomi dan keleluasaan bagi siswa memiliki kaitan erat dengan
kemampuan siswa dalam bereskpresi, berkreasi, menunjukkan
kemampuan diri, dan senang terhadap tantangan. Siswa yang memiliki
andil dalam kegiatan-kegiatan instruksional akan memiliki rasa cinta
terhadap sekolah dan pada gilirannya secara signifikan akan meningkatkan
keterlibatan siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah.12
Belajar adalah suatu proses yang aktif. Bila siswa tidak atau
kurang dilibatkan, maka hasil yang dicapai akan rendah. Dalam sebuah
kelas yang menekankan otonomi siswa, para siswa akan menganggap
penting tugagas-tugas yang diberikan oleh sekolah – karena mereka
merasa membutuhkan tugas itu – walaupun mungkin nampak kurang
menyenangkan. Sebaliknya, sebuah kelas yang terlalu memberi kontrol
terhadap siswa akan menyebabkan siswa hanya akan melaksanakan tugas-
tugas dasar.
Menurut Jamaluddin, pola seperti ini sesuai dengan konsep
transcendence in learning- nya Kessler (2000) yang lebih menekankan
kesadaran diri siswa ketimbang memberi bebab yang berlebihan dengan
10 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Pt. Remaja
Rosdakarya, 1997), Cet. III, hlm.145. 11 Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Prestasi Siswa, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), hlm. 43-44. 12 Ibid.
48
harapan dari luar dirinya. Dengan kata lain, agar siswa dapat
mengungkapkan kemampuan dirinya maka mereka perlu diperlakukan
sebagai subjek belajar, bukan objek belajar seperti yang selama ini
dipraktekkan.13
Keterlibatan siswa secara maksimal akan memberikan respon
positif terhadap program, peraturan, dan norma-norma di sekolah.
Keterlibatan siswa dalam perencanaan dan pelaksanaan aktifitas kelas
adalah merupakan bagian dari aspek otonomi dan kontrol dari siswa
sendiri. Jika siswa tidak merasa bersebaerangan dengan aturan kelas,
kemungkinan besar mereka akan mengembangkan perilaku positif
terhadap sekolah secara umum dan terhadap prestasi akademis secara
khusus.
Saamsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam
menyebutkan bahwa dalam pendidikan Islam, peserta didik merupakan
komponen yang penting. Peserta didik merupakan subjek sekaligus
objek.14 Oleh karenanya aktifitas pendidikan tidak akan terlaksana tanpa
keterlibatan peserta didik didalamnya. Sebagai subjek, peserta didik
adalah pelaku pendidikan yang artinya harus dilibatkansecara langsung
dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan
sebagai objek, peserta didik adalah tempat kembalinya tujuan pendidikan.
Dalam sistem pendidikan modern, semua permasalahan dalam
kegiatan belajar mengajar dipusatkan kepada siswa. Siswa adalah objek
sekaligus subjek pertama dan merupakan kutub positif (arah) dalam proses
pembelajaran. Sedangkan guru hanyalah kutub negatif (pengarah).
Dengan demikian, siswa dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan
ketrampilan.
Sedangkan dalam pandangan Musthafa Zurayq, kualitas
pengajaran ditentukan oleh sejauh mana siswa mampu mempresentasikan
keterampilan, pemahaman, dan kebiasaannya, bukan hanya berdasarkan
13 Jamaluddin, hlm. 45. 14 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Teoritis, Historis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 47.
49
ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Pendidikan modern memadukan
aspek fisik, sosial, moral, afiktif, estetik dan sebagainya secara integral
dan mengembangkan keseluruhan aspek tersebut secara proporsional dan
seimbang.15
Dalam konteks inilah pengajaran dengan melibatkan secara
langsung peserta didik akan menjadikan perkembangan anak yang utuh
dan sehat. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan potensi dan
kekreatifannya. Sementara peran guru hanya sebatas membimbing,
mengarahkan dan melindungi anak dengan baik.
4. Relasi dan Interaksi antara Pendidik dan Peserta Didik
Setiap sesuatu memilki ruh atau esensi. Dan ruh sebuah lembaga
pendidikan terletak pada kualitas proses belajar mengajar yang
diciptakan. Sedangkan kualitas proses belajar tergantung pada prroses
interaksi yang diciptakan. Sebuah upaya membangun lembaga pendidikan
yang efektif apapun bentuknya, akan menjadi hambar tan pa dibarengi
dengan upaya menciptakan suasana belarar yang kondusif bagi setiap
siswa.
Salah satu hal yang mutlak terjadi dalam proses belajar mengajar
adalah interaksi. Interaksi dapat digambarkan sebagai hubungan dan
komunikasi aktif yang terjadi antara pendidik dan peserta didik (interaksi
eukatif). Dalam proses interaksi belajar mengajar, pendidik dan peserta
didik akan terlibat secara aktif satu sama lain, dengan hak dan kewajiban
masing-masing. Hak dan kewajiban itu akan terpenuhi jika pendidik
maupun peserta didik dapat memposisikan eksistensinya secara benar dan
proporsional sesuai dengan porsinya.
Dalam pendidikan berbasis kasih sayang, kasih sayang (dengan
segala aspek yang ada di dalamnya – seperti yang telah dipaparkan dalam
15 Ma’ruf Musthafa Zurayq, Sukses Mendidik Anak; Menciptakan Generasi Cerdas
Moral dan Spiritual, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 10-11.
50
bab sebelumnya), adalah unsur utama yang menjadi dasar proses belajar
mengajar dengan tidak menafikan unsur yang lain.
Prinsip yang mungkin berlaku dalam hal ini menurut Jamaluddin
adalah prinsip kolaborasi. Dalam maknanya yang luas, keterlibatan
seluruh konsituen pendidikan. Ketidakhadiran satu konsituen saja bisa
mengakibatkan gagalnya usaha perubahan.16 Dalam hal ini, kolaborasi
yang dimaksud adalah keterlibatan hubungan- hubungan ekologis antar
berbagai konsituen pendidikan – seperti dinas pendidikan, lembaga-
lembaga sekolah, manajemen sekolah, kepala sekolah, guru, siswa, orang
tua, alumni, organisasi-organisasi professional, dan masyarakat.
Kesemuanya itu akan terlibat bagaikan satu rantai dalam ekosistem
pendidikan. Kolaborasi yang dimaksud bukan hanya sekedar berarti setiap
orang dapat menyelesaikan tugasnya, tapi yang terpenting adalah
semuanya dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung
(collegiality and supportiveness).
Kolaborasi memiliki hubungan dengan norma dan kesempatan
untuk terjadinya proses belajar yang terus-menerus. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa pada umumnya proses belajar mengajar merupakan
aktifitas komunal – sebuah proses tukar menukar budaya antar individu
atau kelompok. Dalam hal ini yang terjadi kemudian adalah, jika
kolaborasi terjadi dalam proses mengajar di kelas, maka akan terjadi
semacam simbiosis mutualisme dalam relasi dan interaksi edukatif antara
pendidik dan peserta didik. Hal ini berdasarkan asumsi, bahwa proses
belajar mengajar yang meniscayakan terjadinya interaksi merupakan
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan tidak dapat di
pisahkan antar pendidik dan peserta didik.
Sebuah interaksi meniscayakan adanya proses simultan dari
sumber yang memberi sekaligus menerima, yaitu pendidik dan peserta
didik. Dari point ini, dapat diketahui bahwa pendidik bukan hanya
16 Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Prestasi Siswa, hlm. 28.
51
sebagai subjek yang paling tahu dan berkuasa, tetapi ia harus dapat
memposisikan dirinya sebagai subjek kedua, yang juga belajar dari siswa.
Dengan demikian, akan terjadi interaksi positif, di mana guru dan siswa
saling mengisi, saling memberi dan menerima.
Dalam relasi yang seperti ini, hubungan pendidik dan peserta didik
dipandang sebagai hubungan yang dinamis, saling terkait dan menunjang.
Selanjutnya unsur tanggungjawab yang terdapat dalam pendidikan akan
terdorong oleh independensi anak dan tanggungjawab moril pendidik. Hal
ini berdasarkan pandangan bahwa belajar merupakan sebuah interaksi dan
proses adaptasi yang tak pernah selesai antara individu dengan individu,
dan individu dengan lingkungannya.
Di sekolah, guru merupakan orang tua siswa. Oleh karenanya,
guru harus mengusahakan agar relasi dan interaksi yang terjadi antara
keduanya dapat serasi seperti yang terjadi dalam keluarga. Suasana
kekeluargaan dan keakraban akan menjadikan siswa merasa sedang
bergaul dengan keluarganya sendiri, dan dengan orang tuanya sendiri.
Kunci terpenting untuk menjalin interaksi belajar mengajar adalah
kemampuan berkomunikasi secara efektif karena fungsi pendidikan yang
paling penting adalah bagaimana menuntun peserta didik agar mau belajar
dan dapat belajar.
Dengan membentuk forum belajar mengajar yang komunikatif dan
interaktif, pendidik akan menemukan jalan bagi terlaksananya kerjasama
yang baik dengan peserta didik dalam upaya transfer of knowledge dan
transfer of value yang pada gilirannya mengarahkan peserta didik ke
dalam perubahan selanjutnya dalam penyusunan organisasai dan
koordinasi untuk menciptakan paradigma baru dalam proses belajar
mengajar.
B. Kasih Sayang Sebagai Strategi Pendidikan.
Kasih sayang merupakan sesuatu yang sangat universal. Karena
keuniversalannya itulah maka kasih sayangpun ternyata dapat digunakan
52
sebagai metode dan strategi pembelajaran yang cukup efektif, baik dalam
keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Menurut Abdurrahman Mas`ud, metode yang digunakan harus lebih
menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani, religiusitas
siswa, serta meningkatkan kepekaan sosialnya. Hal ini bisa dilakukan dengan
cara berusaha mengenal dan mengerti anak didik lebih dekat, sehingga
individual treatment perlu dilakukan. Anak tidak harus diperlakukan secara
seragam, tapi beragam.17
setiap anak memiliki keunikan sendiri-sendiri. Atas dasar itulah secara
ideal perlakuan untuk setiap anakpun seharusnya berbeda. Di kelas ada
sekelompok anak didik dengan perilaku yang bermacam-macam. Dari cara
mengemukakan pendapat, cara berpakaian, pola pikir dan sebagainya selalu
bervariasi. Masing-masing anak didik mempunyai karakteristik yang berbeda.
Perbedaan individual anak didik tersebut memberikan wawasan pada pendidik
bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan perbedaan anak didik pada
aspek individual. Dengan kata lain, sesuai dengan apa yang telah
dikemukakan oleh Syaiful Bahri Djamarah, bahwa pendidik harus melakukan
pendekatan individual dalam strategi pengajarannya. Bila tidak, maka strategi
belajar tuntas (mastery learning) yang menuntut penguasaan penuh kepada
anak didik tidak akan terjadi. Paling tidak, dengan pendekatan individual
dapat diharapkan kepada anak didik dengan tingkat penguasaan yang
optimal.18
1. Mendidik dengan Cinta
Cinta merupakan sesuatu yang selalu menarik untuk
diperbincangkan oleh siapapun. Para psikolog sendiri menyoal cinta dari
sisi motivasi dan pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Cinta
17Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme
Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Agama Media, 2002), hlm. 201. 18 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hlm.6.
53
merupakan bagian dari kehidupan, bahkan cinta itu pula yang menjadi
sebab adanya kehidupan.
Begitu penting dan strategisnya masalah cinta, sehingga Al-
Qur’an pun tidak lupa membicarakannya dalam banyak ayat yang tersebar
dalam beberapa surat. Demikian juga Nabi Muhammad SAW, beliau
sering berbicara soal cinta bahkan banyak memberikan teladan soal cinta.
Dan satu hal yang pasti, bahwa karena cintanya risalah Islam sampai
kepada kita.
Banyak cara dalam mengekspresikan cinta. Dalam hal ini adalah
bagaimana mengekspresikan cinta kepada anak didik dengan cara yang
pas selain memupuk dan mempertebal rasa cinta itu sendiri. Dalam diri
setiap manusia pasti ada unsur cinta dan sisi kasih sayang. Hanya saja
banyak yang kurang menyadari bahwa potensi cinta tersebut dapat
dijadikan sebagai media pendidikan yang efektif.
Cinta dan kasih sayang itu potensial, bisa digali, dieksplor,
dikembangkan dan diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
berbagai bentuk dan variasi. Karena sifatnya yang potensial, sebagian ada
yang berhasil mengaktualisasikannya tetapi ada pula yang menuai
kegagalan.
Bagi para pendidik, kekreatifan dan keaktifan dalam
mengaktualisasikan cinta kepada anak didiknya adalah satu keniscayaan.
Dengan demikian, anak-anak menjadi lebih mudah mengetahui dan
merasakan bahwa mereka dicintai oleh orang tua dan gurunya, diterima
dan diharapkan keberadaannya, dipercaya, dihargai, dan dihormati
pendapatnya.
Dalam hal ini menurut Abdurrahman Mas`ud, seorang guru harus
mengajar hanya berlandaskan cinta kepada sesama umat manusia tanpa
memandang status sosial ekonomi, agama, kebangsaan dan sebagainya.
Karena misi utama guru adalah mencerdaskan bangsa, mempersiapkan
anak didik sebagai individu yang bertanggungjawab dan mandiri, bukan
menjadikannya sebagai beban masyarakat. Proses pencerdasan harus
54
berangkat dari pandangan filosofi guru bahwa anak didik adalah individu
yang memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan.19
Lebih jauh lagi menurutnya hal ini berarti, suatu keharusan bagi
seorang guru untuk mempersiapkan anak didik dengan kasih sayang dan
cintanya sebagai individu yang saleh dalam arti memiliki tanggungjawab
sosial, religius, dan berwawasan lingkunga. Dalam konteks ini guru tidak
sekedar melakukan transfer of knowledge dan transfer of values kepada
siswa. Yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah knowledge dan
values seperti apa yang ditawarkan kepada siswa.20
Guru sebagai model yang dianut oleh anak didik tentu harus
mencerminkan perilaku yang bisa menjadi teladan bagi anak didiknya.
Perilaku yang ditunjukkan dengan penuh cinta akan menjadikan anak
menjadi pribadi yang lebih utuh secara psikologis dan fisiologis di
samping kematangan secara intelektual.
Jika sejak dini anak- anak dididik dengan cinta, mereka akan
tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang mandiri, kreatif, dan
penuh percaya diri. Anak akan dapat memandang dunia secara positif.
2. Membangun Komunikasi Positif
Satu hal lagi yang penting dalam proses pendidikan adalh
komunikasi. Komunikasi yang intensif antara pendidik dan anak didik
akan menghangatkan proses belajar mengajar yang sedang berlangsung,
dan terjadi kedekatan secara emosional.
Kesediaan mendengar dan memahami keluhan yang disampaikan
sangat penting untuk melancarkan komunikasi. Dalam hal ini, pendidiklah
yang harus berinisiatif untuk membangun komunikasi tersebut. Anak
butuh dimengerti dan dipahami apa yang dirasakannya. Menurut Irawati
19 Abdurrahman Mas’ud, hlm. 194. 20 Ibid, hlm. 196.
55
Istadi, yang diperlukan anak adalah pengertian dan pemahaman orang tua
terhadap perasaannya.21
Orang tua dan guru sebagai penentu pertumbuhan dan
perkembangan anak harus aktif dalam memberikan dorongan, semangat,
nasehat dan bimbingan, tetapi juga memungkinkan untuk lebih banyak
melibatkan anak dalam diskusi kecil untuk mengetahui apa yang
diinginkan oleh anak didik agar bisa lebih memotivasi dirinya. Sifat
humanis dari guru akan memberikan arti tersendiri bagi siswanya.
Di mata F. Jackson, seorang guru yang humanis – bertindak
sebagai seorang manusia biasa disamping sebagai seorang guru, menaruh
rasa hormat dan penghargaan kepada siswa – menentukan faktor yang
menentukan persepsi siswa tentang kemampuan guru menciptakan
atmospir yang kondusif untuk belajar. Dalam suasana demikian, siswa
merasa leluasa bertanya dan memberikan komentar, mendekati guru untuk
melakukan pembicaraan face to face, dan secara keseluruhan akan
menbuat ruang kelas menjadi penuh semangat dan antusias.22 Sedangkan
menurut S. Rogers, dengan mengembangkan kemampuan berkomunukasi
antar individu dan kepekaan terhadap kebutuhan emosional siswa, guru
berarti memiliki zone belajar (realm of learning) yang sesungguhnya.23
Komunikasi bukan hanya sekedar bicara dan mengerti apa yang
disampaikan anak, tetapi lebih dari itu bagaiman menjadi orang tua atau
guru yang bijak. Misalnya menghargai aatau memuji anak untuk perilaku
yang benar dengan cara yang akurat dan jujur, namun jangan sampai
berlebihan. Berikan selalu perhatian terhadap aktifitas yang dilakukan,
namun jangan sampai mengintervensi. Mendisiplinkan anak secara tepat
dan efektif adalah dengan membuat peraturan yang dibuat dan dihormati
bersama. Berikan peringatan secara halus bila ada perilaku yang salah.
21 Irawati Istadi, hlm. 78. 22 Jackson, et. al., The Dimension of Students’ Perceptions of Teaching Effectiveness,
(Educational and Psichologycal Measurement, 1999), hlm. 580-586. 23 Rogers, S. and Renard, L., Relation- Driven Teaching, (Educational Leadership,
1999), hlm. 34-37.
56
Konsisten antara hati dan perbuatan, mengajari berpikir realistis dan
optimis dalam belajar, dan menanamkan kesadaran untuk mandiri.
Kuatnya identifikasi anak terhadap apa yang ada di luar dirinya
seperti orang tua dan guru serta lingkungan dalam berbagai tingkah laku,
cara berpikir, pembiasaan, ajakan, bimbingan dan dialog yang didasarkan
pada rasa cinta kasih akan sangat besar pengaruhnya terhadap budi pekerti
dan moral anak. Sementara itu, orang tua dan guru sebagai model panutan
bagi anak didik, harus bisa memposisikan dirinya secara tepat.24
Dalam hal ini menurut Jamaluddin, sifat-sifat personal guru seperti
memberikan kepercayaan kepada siswa, bersedia mendengar apa yang
disampaikan siswa dan tidak mendominasi jalannya proses belajar
mengajar, menjadi sangat menentukan dalam membangun suasana belajar
dalam kelas yang kondusif dan komunikatif.25
Dengan demikian akan tercipta suasana belajar yang
menyenangkan, penuh kepatuhan, komunikatif, dan kerjasama yang
produktif antara pendidik dan anak didik.
3. Perhatian Positif
Orang tua dan guru seringkali tidak bisa memahami apa yang
diinginkan oleh anak-anak. Contoh paling mudah, anak sudah tahu akan
lapar jika tidak makan, tapi tidak mau makan – atau jika di dalam kelas,
mereka tahu kalau tidak bisa mengerjakan ulangan jika tidak belajar, tapi
tidak mau belajar. Tetapi tidak bisa dipungkiri, memang seperti itulah
anak- anak dengan segala naluri alamiahnya.
Menurut Irawati Istadi, kebutuhan anak untuk mendapatkan
perhatian adalah tidak terbatas. 26 Orang tua dan guru terkadang mengeluh
dengan tingkah laku anak yang tidak dapat dimengerti, bahkan tak jarang
24 Jamaluddin, “Pendidikan Pra Sekolah: Orientasikan Pada Child Interest ”,
Quantum, Edisi. II, Maret, 2003, hlm. 16. 25Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Prestasi Siswa, hlm. 38-39. 26 Irawati Istadi, hlm. 78.
57
keterlaluan dan berlebihan. Mungkin orang tua atau guru mengira bahwa
tindakan anak-anak tersebut adalah untuk mencari perhatian.
Lebih jauh lagi Irawati Megatakan bahwa keinginan anak-anak
untuk mendapatkan perhatian adalah hal yang wajar dan alami. Makin
banyak mendapatkan perhatian dari orang- orang di sekitarnya, makin
besar keinginan untuk memperolehnya dan akan memcoba dengan
menggunakan berbnagai cara. Rumus yang yang berlaku dalam hal ini
adalah, jika mereka ingin memperoleh perhatian itu dengan melakukan
hal-hal yang positif, mereka akan terus melakukannya agar memperoleh
perhatian. Namun bila sebaliknya, maka akan berlaku seterunya.27
Salah satu bentuk perhatian bisa ditunjukkan dengan cara
memberikan penghargaan atas keberhasilan yang dicapai anak. Misalnya
saat naik kelas, mendapatkan ranking bagus, dan sebagainya. Bentuknya
bisa berupa hadiah, pujian dan sebagainya sebagai bukti bahwa anak telah
mencapai keberhasilan yang membanggakan.
Irawati Istadi membagi perhatian menjadi tiga bentuk, yaitu:
a. Fisik. Yaitu perhatian yang diwujudkan dalam bebtuk sentuhan fisik
dan ekspresi tubuh – misalnya tepukan bahu, senyuman, acungan
jempol, dan sebagainya.
b. Verbal. Yaitu perhatian yang di wujudkan dalam bentuk kata-kata –
misalnya pujian, dorongan, komentar positif, ungkapan kagum, dan
sebaginya.
c. Materi. Yaitu perhatian yang diwujudkan dalam bentuk materi –
misalnya hadiah, fasilitas, dan sebagainya.28
Kunci pokok bagi orang tua dan guru untuk mengarahkan perilaku
anak-anak adalah dengan sesering mungkin memberikan perhatian yang
positif. Berkomunikasi secara langsung dengan anak dalam suasana yang
penuh kegembiraan dan kehangatan adalah perhatian terbaik yang
27 Ibid. 28 Ibid., hlm. 82.
58
dibutuhkan setiap anak – karena sesuai dengan dorongan alamiah yang
dimiliki oleh setiap anak yaitu bermain dengan gembira.
Sekecil apapun bentuk perhatian yang otang tua atau guru berikan
akan sangat berpengaruh pada perkembangan mental dan pribadi anak.
Sejauh perhatian yang diberikan tidak berlebihan, anak akan merasa
nyaman dalam belajar dan berkreatifitas.
4. Belajar dan Bermain
Bentuk pembelajaran seperti ini biasanya khusus bagi anak-anak
usia pra sekolah. Pada usia seperti ini anak-anak cenderung untuk
melakukan apa saja yang mereka inginkan dan dan yang menurut mereka
menyenangkan. Dengan kata lain masa pra sekolah merupakan time for
play.
Anak-anak memiliki kebiasaan tertentu. mereka selalu bergerak
dan berkreativitas. Mereka senang bermain di manapun tanpa kenal
waktu. Kebiasaan seperti itu tidaklah mereka inginkan, tetapi suatu
refleksi alamiah – suatu tuntutan psikologis untuk memahami dan
mencermati peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Anak ingin mengetahui
segala hal. Oleh karena itu, metode pendidikan anak lebih banyak
menggunakan pola permainan dan kegiatan fisik. Dua metode itu bisa
dijadikan landasan dalam praktik pendidikan dan pengajaran anak.
Karena itu pula menurut Musthafa Zurayq, pendidikan anak
dilebur dengan kegiatan yang bersifat praktis dan dijauhkan dari sisi
akademis yang membosankan, sehingga anak menjadi kutub positif dalam
proses pembelajaran.29
Hidup anak-anak terpusata pada diri mereka sendiri. Mereka
hanya memikirkan apa yang berkaitan dengan minat dan kebutuhan, dan
berbuat hanya untuk mereka sendiri. Maka pengetahuan yang diajarkan
seharusnya berkaitan dengan minat, hidup dan perasaan mereka. Dengan
29 Ma’ruf Musthafa Zurayq, hlm. 7.
59
begitu, mereka akan tertarik dan senang menerima pengetahuan tersebut
dan akan dirasakan sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Dalam hal ini, menurut Irawati Istadi permainan menjadi teramat
penting, karena lewat sarana itulah anak-anak belajar mengehal kehidupan
dengan segala pernik-perniknya.30 Anak-anak akan tidak sadar bahwa
permainan yang dilakukan tersebut adalah proses belajar. Anak-anak bisa
belajar dengan permainan-permainan dan latihan-latihan yang sesuai
dengan dengan kemauan dan suasana hati belajarnya.
Di samping perlu diajari moral dan budu pekerti, anak juga perlu
diberikan kebebasan untuk berkreasi, berimajinasi dan berpetualang yang
khas dengan dunia mereka. Arti penting membiarkan anak beraksi adalah
sebuah bentuk kebebasan agar anak bergerak dan bermain sesuai dengan
keinginan mereka.
Menurut A. Efendi, bermain merupakan aktifitas refleks yang
melibatkan motivasi dan prestasi dalam diri anak secara mendalam dalam
dunianya. Seorang anak memiliki posisi sebagai dicition maker dan play
master. Dengan bermain, anak bebas beraksi dan menghayalkan sebuah
dunia lain sehingga bermain akan menghadirkan unsur petualangan yang
disukai anak.31
Anak-anak sebaiknya sibuk dengan dirinya sendiri untuk
mengaktualisasikan imajinasi, bukannya disibukkan dengan hal-hal yang
bersifat teori dan detail. Pola-pola pembelajaran bagi anak sebaiknya
dikemas dalam bentuk permainan yang menarik, sehingga anak-anak akan
tertarik untuk melakukannya dengan senang hati. Suasana yang gembira
dan menyenangkan bersama teman-teman sepermainan yang lain akan
membantu anak mempunyai sense of personal dan sense of social yang
tinggi, karena anak- anak diajari untuk memiliki empati dan bisa berbagi
dengan orang lain.
30 Irawati Istadi, hlm. 127. 31 Ahmad Efendi, Pendidikan Pra Sekolah; Orientasi pada Child Interest, ( Quantum
Semarang: LPM. Edukasi, 2003), hlm. 17.
60
Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar, bentuk permainan
bisa diganti dengan bentuk latihan-latihan yang konkret. Ketika anak-anak
sudah mulai jenuh dengan teori, bisa dialihkan dengan melakukan latihan-
latihan yang berhubungan dengan teori namun dikemas dalam bentuk
latihan yang menyenangkan. Latihan-latihan seperti ini akan membantu
anak-anak mengendorkan ketegangan syaraf-syarafnya akibat banyak
disuguhi dengan tori-teori yang membuat mereka menjadi bosan.
Satu contoh, dalam mata pelajaran biologi ciri-ciri tumbuhan
monokotil misalnya, ketika anak telah selesai dijelaskan dan merasa sudah
paham, maka akan lebih baik jika anak-anak dihadapkan dengan realitas
yang sesungguhnya, misalnya dengan melakukan survei dan pengamatan
secara langsung terhadap tumbuhan tersebut. Dengan model pembelajaran
seperti ini, anak-anak akan belajar learning to do.
Dalam Islam, diberikan pula pedoman pemilihan model permainan
yang baik untuk anak. Di zaman Rasulullah saw, sejak kanak-kanak anak
laki-laki sudah diajarkan permainan memanah. Permainan ini selain
menyehatkan fisik anak juga akan membentuk jiwa pemberani.
Belajar yang dikemas dalam bentuk permainan (belajar sambil
beraktifitas) bisa memudahkan anak-anak untuk mengetahui dan
merasakan secara langsung apa yang ingin diketahui dan dilakukannya
dan belajar untuk mengenal lebih jauh lingkungan nyata yang sebelumnya
hanya diketahui lewat teori dan cerita dari gurunya.
C. Fungsi Kasih Sayang dalam Pendidikan.
1. Internalisasi Nilai.
Proses belajar mengajar merupakan suatu proses di mana seluruh
totalitas jasmani dan rohani pendidik dan anak didik dieksplor dalam
bentuk komunikasi dan interaksi. Dalam proses komunikasi dan interaksi
tersebut, akan ada tahap yang sanagat menentukan berhasil atau tidaknya
suatu proses, yaitu internaalisasi. Setelah tahap internalisasi, tahap
selanjutnya adalah integrasi.
61
Menurut Chabib Thoha, internalisasi adalah proses komunikasi
batin yang terjadi antara antara guru dan murid. Dalam proses ini pendidik
berhadapan dengan peserta didik tidak lagi sosok fisiknya saja, melainkan
juga siap mental dan keseluruhan kepribadian. Demikian juga peserta
didik merespon terhadap apa yang dikehendaki pendidik dengan
menggunakan seluruh aspek ruhaniahnya.32
Sedangkan integrasi menurut A. Munir Mulkhan adalah nilai atau
unsur yang ada dalam diri individu yang terintegrasi dan tertanam pada
setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu – dalam hal ini
siswa – benar-benar menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah proses
menjadi, proses tumbuh, dan proses berkembang. Dalam proses itu
seorang individu siswa akan terus berusaha secara sadar memilih berbagai
pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan, perubahan,
dan pertumbuhan dirinya.33
Kasih sayang dan proses belajar mengajar merupakan satu hal
yang tidak bisa dipisahkan. Ketika proses belajar mengajar berlangsung,
maka pada saat itu pula kasih sayang yang ada pada diri pendidik dan
anak didik terintegrasi dalam proses tersebut – bahkan tanpa disadari oleh
guru – kasih sayang akan muncul dalam interaksi belajar mengajar dan
dengan sendirinya akan tertanam dalam diri anak didik. Oleh karena itu,
kasih sayang merupakan bagian integral dalam proses pendidikan yang
tertanam dalam diri pendidik dan anak didik.
Selanjutnya jika kasih sayang telah terintegrasi dalam proses
pengajararan, maka yang tidak kalah penting adalah trans-internalisasi
kasih sayang itu sendiri. Karena dalam tahap inilah segala aspek mental-
ruhaniyah yang ada dalam diri anak didik terlibat secara langsung. Proses
inilah yang paling mempengaruhi sikap dan kepribadian anak selanjutnya.
Kasih sayang yang terdapat dalam interaksi dan komunikasi antara guru
32 HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), Cet. 1, hlm. 94. 33 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, t. th), hlm. 93.
62
dan siswa atau antara orang tua dan anak terakomodasi dalam bebtuk
kegiatan belajar mengajar.
Nilai-nilai kasih sayang yang ada dalam diri pendidik akan sangat
mempengaruhi perilaku para siswanya. Maka dengan sendirinya nilai-
nilai tersebut akan tertanam juga dalam diri anak didik. Seluruhnya itu
akan terserap oleh si anak didik tanpa disadari oleh guru dan orang tua,
bahkan anak sendiripun tidak tahu bahwa ia telah tertarik menjadi kagum
dan sayang oleh giru dan orang tuanya.34
Karena kasih sayang merupakan salah satu potensi yang dimiliki
manusia sejak lahir, maka akan lebih mudah untuk menanamkan kasih
sayang tersebut kepada anak didik yang memang telah memilikinya. Oleh
karena itu, sepatutnyalah kita sebagai calao generasi pendidik masa depan
untuk tetap menempatkan kasih sayang sebagai dasar ketika sedang
mengajar. Tanpa kasih sayang dari pendidik, maka yang akan didapat oleh
anak hanyalah materi dan kecerdasan intelektual saja sedangkan
kecerdasan emosional dan spiritualnya akan terabaikan dan tidak
berkembang.
Dalam proses pendidikan, pendidikan yang tepat guna adalah
pendidikan yang mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan materi
pelajaran, dan secara fungsional dapat dipakai untuk mengkontekstualkan
nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan.
2. Membentuk Kepribadian
Kepribadian merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh
setiap pndividu. Dengan kepribadian yang baik, maka akan terbentuk pula
akhlak yang baik – karena akhlak dan perilaku yang baik adalah cermin
dari kepribadian yang baik. Dan salah satu tanggungjawab pendidikan
adalah membentuk akhlak dan kepribadian yang baik peserta didik.
34 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. II, hlm. 77.
63
Ketika terjadi proses belajar mengajar, totalitas aspek jasmaniyah
dan ruhaniyah pendidik dan peserta didik akan terlibat langsung dalam
bentuk interaksi. Salah satu aspek yang akan nampak di antaranya adalah
perilaku dari masing- masing individu – baik pendidik maupun peserta
didik – yang merupakan perwujudan dari kepribadian yang dimilikinya.
Menurut G. W. Allport, “Personality is the dinamic organization
within the individual of those psychophysical systems that determine the
individual, unique adjusment to the environment”.35 Maksudnya,
kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu yang terdiri atas
berbagai sistem fisis dan psikologis yang bekerja sebagai penentu tunggal
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.36
Dalam pendidikan Islam, kepribadian disebut syakhshiyah.
Syakhshiyah dalam psikologi, berhubungan dengan tingkah laku yang
dievaluasi.37 Kepribadian dalam psikologi Islam adalah integrasi sistem
jasmaniyah (inderawi) dan sistem ruhaniyah (akal dan nafsu) manusia
yang menimbulkan tingkah laku.38 Daya-daya yang terdapat dalam
substansi jasmani dan rohani manusia saling berinteraksi satu sama lain
dan akan membentuk suatu kepribadian. Jadi, kepribadian merupakan
produk dari interaksi antara kedua komponen tersebut, namun biasanya
yang lebih dominan adalah komponen ruhaniyah karena kepribadian
manusia sangat ditentukan oleh komponen akal dan nafsu. Dalam
menentukan kepribadian, akal memiliki daya dan natur yang luas yang
mencakup semua daya dan natur komponen ruhaniyah yang lain. Itulah
sebabnya, kepribadian merupakan kekuatan dari dalam diri manusia yang
bisa menjadi benteng moral dan akhlak.
35 Lester D. Crow & Crow, Educational Psychologyy, (New York: American Book
Company, 1958), hlm. 186. 36 Lester D. Crow & Crow, Psikologi Pendidikan, Terj. Kasijan, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1984), hlm. 264. 37 Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, Nuansa- Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. II, hlm. 37. 38 Ibid, hlm. 58.
64
Dari beberapa pendapat tentang definisi kepribadian di atas, pada
dasarnya memiliki banyak kesamaan yaitu bahwa kepribadian adalah hasil
dari pendidikan dan latihan yang tercermin dalam tingkah laku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Pembentukan keprbadian terasa semakin dibutuhkan saat ini, di
mana kebutukan akan komunikasi dan informasi semakin banyak, dan
kebutuhan itu terpenuhi dengan makin majunya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Orang akan semakin mudah mngakses
informasi dari internet, televisi, dan sebagainya. Peristiwa baik dan buruk
dengan mudah dapat dilihat dan didengar melalui media cetak maupun
elektronik dan semakin tidak terbatas.
Di satu sisi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan
membawa dampak yang positif. Tetapi di sisi lain, akan muncul pula satu
kehawatiran karena tidak mungkin orang tua di rumah dan guru di sekolah
dapat mengawasi dan memperhatikan secara langsung perkembangan
anak didik dalam pergaulannya sehari-hari. Kehawatiran itu muncul
karena bukan tidak mungkin anak akan memanfaatkan hasil teknologi ke
arah negatif – VCD porno dan narkoba misalnya.
Masa anak-anak dan masa muda adalah masa-masa di mana
mereka tertarik pada hal-hal yang dangkal. Itulah alasan mengapa anak-
anak akan banyak memakai perilaku yang dangkal pula dalam berfikir,
berbicara dan bertindak sehingga akan menimbulkan pemahaman yang
terbalik dan abstrak tentang diri, keadaan, bahkan akibat yang akan
ditimbulkan.
Dalam pendidikan Islam, pembentukan kepribadian menempati
prioritas pertama. Dalam hubungannnya dengan pembentukan
kepribadian, pendidikan dituntut untuk dapat menyelaraskan tujuan dan
potensi yang dimiliki baik oleh pendidik maupun peserta didik. Dengan
cara itu, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang berkepribadaian dan mampu memerankan dirinya srbagai
khalifah di bumi. Maka, kepribadian manusia sebagai khalifah- pun harus
65
didasarkan oleh rasa kasih sayang yang sekaligus akan menjadi
identitasnya.
Kepribadian juga bisa terbentuk dari daya spiritualitas yang kuat.
Keimanan yang tumbuh subur dalam diri manusia akan sangat
mempengaruhi cara pandang dan sikap manusia tentang diri sisi-sisi ke-
Tuhanannya termasuk kasih sayang. Kesadaran dan pemahaman terhadap
diri dan statusnya sebagai manusia, hammba Allah Khalifah di bumi akan
mennamkan rasa tanggungjawab yang besar. Jadi, secara tidak langsung
unsur kasih sayang dalam diri manusia akan turut mendesain kepribadian
yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk perilaku.
Pembentukan Kepribadian Perkembangan dan pembentukan kepribadian anak tidak terjadi
begitu saja, tetapi memerlukan proses yang panjang dan cukup kompleks.
Kepribadian merupakan perpaduan interaksi antara faktor-faktor konstitusi
biologis, psiko-edukatif, psiko-sosial dan spiritual. Agar bisa selaras dan
utuh, pengkondisian empat hal tersebut harus disesuaikan dengan
kebutuhan. Kepribadian anak yang utuh itulah nantinya yang akan
membentuk sikap dan perilaku Ilahiyah, yaitu kepribadian yang seluruh
aspek-aspek baik jasmani maupun rohani dilakukan atas dasar pengabdian
dan penyerahan diri kepada Tuhan.
Sigmun Freud, pendiri aliran psikoanalisis memnemukakan suatu
teori tentang kepribadian. Dalam teorinya itu, ia membedakan jiwa
menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Id, adalah sistem
kepribadian yang paling dasar yang di dalamnya terdapat naluri-naluri
bawaan. Id merupakan sistem yang bertindak sebagai penyedia atau
penyalur energi yang dibutuhkan. Sedangkan ego adalh sistem
kepribadian sebagai pengaruh individu terhadap objek dunia nyata dan
menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Sedangkan super
ego adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai- nilai dan aturan-
aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Menurut
66
Freud, super ego terbentuk melalui internalisasi nilai- nilai dan aturan-
aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh atu
berarti bagi individu tersebut, seperti orang tua atau guru.39
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian.
Namun secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yakni faktor
keturunan (faktor yang lahir dari dalam individu itu sendiri) dan faktor
lingkungan (faktor yang timbul dari lingkungan eksternal baik sosial
maupun kultural).
Faktor keturunan (pembawaan) yang mempengaruhi pembentukan
kepribadian adalah fitrah yang dibawa oleh manusia sejak lahir, berupa
potensi. Sedangkan faktor lingkungan, bisa dari keluarga, sekolah dan
masyarakat tempat ia tinggal.
Dalam Islam, potensi (fitrah) yang dimaksud bukan hanya
dikhususkan bagi muslim saja, melainkan untyk seluruh umat manusia.
Hal ini mengandung pengertian bahwa potensi dasar manusia bersumber
pada potensi yang sama, yaitu dasar-dasar kepribadian yang bersumber
dari sifat-sifat Allah, meskipun kadarnya terbatas.
Semua pengalaman yang dilalui anak sejak lahir merupakan unsur-
unsur dalam pribadinya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada awal
kehidupan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkah laku
pada masa berikutnya. Menurut A. D. marimba, proses pembentukan
kepribadian terdiri dari beberapa taraf yakni taraf pembiasaan,
pembentukan sikap dan minat, serta pembentukan kerohanian luhur.40
Kepribadian yang utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh
lingkungan, khususnya pendidikan. Tujuan pembentukan kepribadian ini
adalah kepribadian yang memiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan
39 Sigmund Freud, Teori-Teori Kepribadian, Terj. E. Koeswara, (Bandung: PT.
Eresco, 1991), Cet. 2, hlm. 32. 40 A. D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al- Ma`arif, 1989),
hlm. 76.
67
akhlak, erat kaitannya dengan tingkat keimanan.41 Jadi, pencapaian tingkat
akhlak yang mulia merupakan tujuan pembentukan kepribadian.
Di sini terlihat ada dua sisi penting dalam pembentukan
kepribadian, yaitu iman dan akhlak. Bila iman dianggap sebagai konsep
batin, maka akhlak adalah implikasi dari konsep itu yang tampilannya
tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Keimanan merupakan sisi
abstrak dari kepatuhan kepada hukum-hukum Tuhan, yang
pengejawantahannya ditampilkan dalam lakon akhlak yang mulia. Dengan
demikian, pembentukan kepribadian pada dasarnya merupakan suatu
pembentukan kebiasaan (sikap dan perilaku) yang baik dan serasi
berdasarkan nilai-nilai akhlakul karimah.
41 Jalaluddin, hlm. 194.