BAB III URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN A....

28
BAB III URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN A. Relevansi Kasih Sayang dengan Pendidikan. Sekilas Tentang Pengertian Pendidikan Secara terminologis, istilah pendidikan sering digunakan dalam bidang yang sangat luas, sehingga terasa kabur. Sudah banyak batasan dan definisi yang dikemukakan oleh para praktisi dan pakar pendidikan tentang pengertian pendidikan. Anwar Judi mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha menumbuhkan manusia dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak lahir sampai meninggal dunia.” 1 Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah asaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2 Sedangkan Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai upaya merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat melalui proses pengajaran, pelatihan dan indoktrinasi. Perubahan dan pemindahan yang dimaksud ini meliputi akhlak (ethic), keindahan (esthetic), sains (science) dan teknologi.” 3 Sementara itu menurut S. Nasution, pendidikan adalah proses belajar dan mengajar mengenai pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan ini bervariasi, oleh karena itu pendidikan harus memperhatikan obyek yang dididik. Menurut beliau, bagi 1 Anwar Judi, al-Tarbiyah wa Binai al-Ajyali fi Daw al-Islami, (Beirut: Dar al- Fikr, t. th), hlm. 137. 2 UURI No. 20 th 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat 1. 3 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisis Sosio- Psikologis, (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1985), Cet. 3, hlm. 3-5. 40

Transcript of BAB III URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN A....

BAB III

URGENSI KASIH SAYANG DALAM PENDIDIKAN

A. Relevansi Kasih Sayang dengan Pendidikan.

Sekilas Tentang Pengertian Pendidikan

Secara terminologis, istilah pendidikan sering digunakan dalam bidang

yang sangat luas, sehingga terasa kabur. Sudah banyak batasan dan definisi

yang dikemukakan oleh para praktisi dan pakar pendidikan tentang pengertian

pendidikan.

Anwar Judi mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha menumbuhkan

manusia dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak lahir sampai

meninggal dunia.”1

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah

asaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.2

Sedangkan Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai

upaya merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu

dalam masyarakat melalui proses pengajaran, pelatihan dan indoktrinasi.

Perubahan dan pemindahan yang dimaksud ini meliputi akhlak (ethic),

keindahan (esthetic), sains (science) dan teknologi.”3

Sementara itu menurut S. Nasution, pendidikan adalah proses belajar

dan mengajar mengenai pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang

diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan ini bervariasi, oleh karena itu

pendidikan harus memperhatikan obyek yang dididik. Menurut beliau, bagi

1 Anwar Judi, al-Tarbiyah wa Binai al-Ajyali fi Daw al-Islami, (Beirut: Dar al- Fikr,

t. th), hlm. 137. 2 UURI No. 20 th 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat 1. 3 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisis Sosio-

Psikologis, (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1985), Cet. 3, hlm. 3-5.

40

41

anak pendidikan merupakan proses perkembangan dan perubahan tingkah

laku. Untuk generasi muda, pendidikan merupakan usaha transmisi sikap,

kepercayaan, keterampilan, dan aspek aspek tingkah laku lainnya. Sedangkan

bagi manusia dewasa, pendidikan merupakan proses interaksi antar sesama

manusia untuk memahami sifat dan sikap sosial yang disepakati dalam

kelompoknya.4

Dalam wacana pendidikan Islam, M. Athiyah al-Abrasyi

mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha untuk mempersiapkan

individu agar dapat hidup di kehidupan yang sempurna.5

Sedangkan menurut Syekh Musthafa al- Ghulayani,

التربية هي غرس األخالق الفاضلة ىف نفوس الناشئين وسقيها بماء األرشاد والنصيحة حتى

ها الفضيلة واخليأن ركون ثمت فس ثملكات النم من بحصطنتفع الول لنمالع بوح 6ر

“Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia ke dalam jiwa anak- anak yang sedang tumbuh dan menyiraminya dengan siraman petunjuk dan nasehat sehingga menjadi watak yang melekat ke dalam jiwa, sehingga hasilnya berupa keutamaan dan kebaikan, suka beramal demi kemanfaatan bangsa.”

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa rumusan

pendidikan mengandung beberapa unsur, yaitu: Pertama, tujuan pendidikan

yaitu kehidupan yang sempurna. Kedua, prosedur pendidikan yaitu kegiatan

yang dilakukan secara sadar, teratur, dan terencana. Ketiga, teori yang

dijadikan sebagai landasan pendidikan yaitu dilakukan secara terus menerus.

4 Konsep ini bertolak dari anggapan dasar bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi- potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri, dengan keinginannya sendiri. Pendidikan tidak hanya mengembangkan intelektualitas anak didik, akan tetapi pendidikan lebih ditekankan pada serangkaian pengembangan kemampuan- kemampuan anak melalui interaksi dengan lingkungannya. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Cet. 2, hlm. 10.

5 M. Athiyah al- Abrasyi, al Tarbiyah al- Islamiyah Wafilsafatuha, (Mesir: al- Babi al- Halb wa syirkah, 1976), hlm. 148.

6 Syekh Musthafa al- Ghulayani, Idhatu an- Nasyiin, (Pekalongan: Raja Murah, t. th), hlm. 189.

42

Keempat, penilaian atau pengukuran keberhasilan, yaitu kehidupan yang

sempurna.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan

adalah suatu upaya untuk mengubah dan memindahkan nilai melalui proses

pengajaran, pelatihan, dan pengembangan logika berpikir. Oleh karena itulah

maka pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan

berkelanjutan.

1. Kasih Sayang dalam Pendidikan

Menurut Azyumardi Azra, sesuatu yang akan diraih melalui proses

pendidikan adalah proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan

kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.

Dan proses tersebut melibatkan aspek-aspek pendidikan yaitu

pengetahuan – proses transfer ilmu, transformasi nilai dan pembentukan

kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.7

Dengan proses ini, sebuah generasi akan mewarisi nilai-nilai

keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian yang dimiliki oleh para

pendahulunya.

Pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan

dengan kasih sayang, akan menimbulkan pengertian baru yaitu pendidikan

kasih sayang. Artinya, karakteristik pendidikan dengan seluruh

totalitasnya yang didasarkan pada kasih sayang oleh pendidik maupun

peserta didik, yakni anak dalam konteks keluarga, dan siswa dalam

konteks sekolah.

Kasih sayang dan pendidikan merupakan dual hal yang tidak bisa

di pisahkan. Setiap proses pendidikan pasti melibatkan aspek rasional dan

emosional. Sebuah iklim pendidikan yang haarmonis hanya akan

berlangsung ketika proses belajar mengajarnya beriklim kasih sayang.

Oleh karena itu, kasih sayang merupakan sesuatu yang disadari ataupun

7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium

Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana IImu, 1999), cet. I, hlm. 4.

43

tidak secara langsung terlibat dalam proses pendidikan, dalam bentuk dan

kondisi apapun.

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pendidikan yang

bernuansa kasih sayang seperti yang dikemukakan oleh al-Abrasyi adalah

kemampuan pendidik dalam mengarahkan sikap mental anak pada:8

a. Perubahan individu, yakni perubahan pribadi baik dari aspek etika,

aktifitas, dan pertumbuhan kepribadian menuju kehidupan yang

diharapkan.

b. Perubahan sikap sosial, yakni pendidikan dikaitkan dengan aktifitas

sosial pada umumnya, sehingga tercipta tatanan kehidupan yang maju

dan bersatu.

c. Profesionalisasi diri, yakni pendidikan yang berkaitan dengan

pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan kebutuhan

kehidupan sosial.

Dalam wacana pendidikan, kasih sayang merupakan hal yang

jarang dibicarakan, baik hanya sekedar wacana, maupun dalam diskusi-

diskusi ilmiah, bahkan dalam interaksi pendidikan secara langsung.

Sebenarnya jika kita cermati, kasih sayang dan pendidikan merupakan dua

hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam filosofi Islam, kasih sayang merupakan fitrah yang dimiliki

oleh setiap manusia sejak lahir. Islam menempatkan kasih sayang pada

tempat yang mulia, yaitu menjadikannya sebagai rahmat dari Allah yang

ditulis atas nama-Nya. Namun dalam kenyataannya, kasih sayang hanya

dianggap sebagai second opinion dalam wacana pendidikan. Sampai saat

ini wacana tentang kasih sayang dalam pendidikan masih menjadi wacana

yang jarang ditemukan.

Sebenarnya dalam pendidikan, kasih sayang menempati urutan

prioritas yang cukup signifikan, karena berada pada ranah afeksi pendidik

dan anak didik sebagai pelaku utama pendidikan. Cukup mengherankan,

8 M. Athiyyah Al- Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1984), hlm. 167.

44

bila kasih sayang dinilai hanya sebagai pelengkap, bukannya dijadikan

dasar penyelenggaraan pendidikan.

Dalam proses belajar mengajar, seharusnya kasih sayang menjadi

dasar dilakukukannya proses trasfer nilai dan pengetahuan. Tanpa rasa

kasih sayang, proses belajar mengajar hanya akan menjadi rutinitas yang

hanya akan melahirkan generasi yang “mati rasa”, yang hanya mengerti

bagaimana mengaplikasikan ilmunya secara rasional, tanpa menggunakan

perasaannya sebagai manusia.

Dalam konteks inilah kasih sayang memiliki peran yang sangat

urgen dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan, yaitu pendewasaan

manusia secara komprehensif.

Kasih sayang dalam pendidikan diwujudkan dalam bentuk

interaksi antar semua unsur yang terlibat dalam proses pendidikan – baik

dalam konteks yang paling kecil yaitu keluarga, sampai pada konteks yang

paling luas, yaitu masyarakat, tanpa melihat back ground masing-masing.

2. Eksistensi Pendidik

Menarik untuk dibicarakan bahwa siapakah sebenarnya yang yang

paling berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan anak? Apakah

pemerintah, guru, ataukah orang tua? Menurut penulis, jawabannya adalah

orang tua. Orang tualah sebenarnya yang paling berkepentingan terhadap

keberhasilan pendidikan anak. Orang tua menginginkan anaknya menjadi

orang yang baik lahir batin, dan berguna bagi masyarakat. Ini adalah

keinginan yang wajar. Karena itu, orang tualah yang berkewajiban

mendidik anaknya.

Namun karena keterbatasan kemampuan (intelektual, biaya dan

waktu), menyebabkan orang tua mengirim anaknya ke sekolah dengan

harapan akan memperoleh serangkaian ilmu pengetahuan yang tidak bisa

diberikannya di rumah. Hal ini membuat para orang tua terlena dengan

kesibukan mereka masing- masing karena merasa telah menunaikan

tanggungjawabnya sebagai orang tua, yakni menyekolahkan anaknya.

45

Sebenarnya lebih dari itu, orang tua semestinya juga ikut bekerjasama

dengan pihak sekolah agar anak bukan hanya mendapatkan pendidikan

pengetahuan di sekolah, tetapi juga pendidikan moral dan akhlak dari

orang tuanya.

Ironisnya, ketika anak mengalami keterpurukan, justru yang sering

disalahkan adalah pihak sekolah, terutama guru. Mereka dinilai tidak bisa

mendidik muridnya dengan baik dan benar, sehingga anak tumbuh

menjadi pribadi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Maka guru

tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena orang tua juga ikut

bertanggungjawab. Adalah tidak mungkin seorang guru memperhatikan

murid-muridnya satu persatu ketika mereka di rumah. Ketika sudah di

rumah, maka anak itu telah menjadi tanggugjawab orang tuanya. Dengan

kata lain, tugas guru dalam mendidik anak hanya terbatas ketika berada di

sekolah. Namun tidak menutup kemungkinan, bahwa guru juga bisa

memperhatikan muridnya di rumah itupun kalau ada waktu lebih. Banyak

sekali peranan dan eksistensi guru sebagai pendidik. Namun yang akan

dibicarakan di sini adalah eksistensi guru sebagai pendidik di sekolah.

Dalam pendidikan, peranan guru, masih sangat dominan. Bahkan

di beberapa lembaga pendidikan, tidak jarang guru masih berperan sebagai

satu- satunya sumber belajar bagi peserta didik. Karena itu cukup

beralasan jika eksistensi pendidik masih dikaitkan dengan tingkat

keberhasilan prestasi siswa.

Suharsimi Arikunto menyatakan bahwa guru jika dipandang dari

segi siswa, merupakan faktor dari luar siswa. Oleh karena guru

mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan belajar siswa,

maka guru merupakan faktor yang khusus dan perlu mendapatkan sorotan

yang khusus pula.9

9 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1990), Cet. I, hlm. 217.

46

Oleh karena itu, sudah seharusnya guru juga memiliki nilai-nilai

tambah yang lain selain dalam bidang kependidikan untuk lebih

memaksimalkan performance-nya dalam kelas.

3. Eksistensi Peserta Didik

Keterlibatan Peserta Didik

Dalam pendidikan, khususnya selama proses belajar mengajar,

fungsi pendidikan yang paling penting adalah bagaimana menuntun

peserta didik agar mau dan dapat belajar dengan baik. Dalam mengajar

tentunya guru harus banyak berkreasi dalam hal intelektual dan

penguasaan aspek kognitif siswa di samping role skill daripada sekedar

informasi verbal. Dengan cara mengajar yang demikian, strategi belajar

tersebut diharapkan akan dapat menciptakan interaksi dan keterlibatan

siswa secara maksimal.

Pendidikan seharusnya dikembalikan kepada peserta didik sebagai

aktor utama dalam proses belajar mengajar. Cara belajar guru aktif (guru

aktif di depan kelas) seharusnya sudah tidak relevan. Sebaliknya siswalah

yang seharusnya lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Upaya melibatkan siswa telah menjadi fenomena yang cukup

berkembang dalam wacana pendidikan kita akhir-akhir ini. Hanya saja,

belum cukup banyak siswa yang ikut terlibat dan ikut terlibat dalam

proses pembuatan program belajar-mengajar di kelas. Hal ini kemungkina

disebabkan oleh pengaruh kultur yang ada di sekolah selama ini, bahwa

seorang murid harus taat dan patuh pada apa yang dikatakan oleh gurunya,

termasuk untuk tidak bicara dalam forum kelas. Inilah yang seharusnya

menjadi catatan penting para pendidik, bahwa tidak mudah merubah

kultur yang telah ada selama ini.

Oleh karena itu menurut Ahmad Tafsir, sesuatu yang masih

relevan untuk dilakukan adalah jika cara belajar siswa aktif kembali

diterapkan. Karena dengan cara belajar seperti ini, keaktifan anak akan

optimal. Walaupun sebenarnya dalam proses pembelajaran sebenarnya

47

tidak pernah ada siswa yang sama sekali tidak aktif, walaupun hanya

sekedar mendengarkan.10

Menurut studi Potts (1986), siswa akan belajar dengan efektif

bila kurikulum dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan

siswa. Siswa akan merasa tersisih jika peraturan-petraturan sekolah tidak

disusun secara fair dan efektif dengan melibatkan mereka.11

Lebih lanjut Potts mengatakan bahwa, penting sekali melibatkan

siswa dalam proses pembuatan keputusan seperti dalam penyusunan

kurikulum, pembuatan peraturan, dan hal-hal yang berhubungan dengan

penyusunan materi-materi pelajaran. Sebuah lingkungan kelas yang

memberi otonomi dan keleluasaan bagi siswa memiliki kaitan erat dengan

kemampuan siswa dalam bereskpresi, berkreasi, menunjukkan

kemampuan diri, dan senang terhadap tantangan. Siswa yang memiliki

andil dalam kegiatan-kegiatan instruksional akan memiliki rasa cinta

terhadap sekolah dan pada gilirannya secara signifikan akan meningkatkan

keterlibatan siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah.12

Belajar adalah suatu proses yang aktif. Bila siswa tidak atau

kurang dilibatkan, maka hasil yang dicapai akan rendah. Dalam sebuah

kelas yang menekankan otonomi siswa, para siswa akan menganggap

penting tugagas-tugas yang diberikan oleh sekolah – karena mereka

merasa membutuhkan tugas itu – walaupun mungkin nampak kurang

menyenangkan. Sebaliknya, sebuah kelas yang terlalu memberi kontrol

terhadap siswa akan menyebabkan siswa hanya akan melaksanakan tugas-

tugas dasar.

Menurut Jamaluddin, pola seperti ini sesuai dengan konsep

transcendence in learning- nya Kessler (2000) yang lebih menekankan

kesadaran diri siswa ketimbang memberi bebab yang berlebihan dengan

10 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Pt. Remaja

Rosdakarya, 1997), Cet. III, hlm.145. 11 Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Prestasi Siswa, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), hlm. 43-44. 12 Ibid.

48

harapan dari luar dirinya. Dengan kata lain, agar siswa dapat

mengungkapkan kemampuan dirinya maka mereka perlu diperlakukan

sebagai subjek belajar, bukan objek belajar seperti yang selama ini

dipraktekkan.13

Keterlibatan siswa secara maksimal akan memberikan respon

positif terhadap program, peraturan, dan norma-norma di sekolah.

Keterlibatan siswa dalam perencanaan dan pelaksanaan aktifitas kelas

adalah merupakan bagian dari aspek otonomi dan kontrol dari siswa

sendiri. Jika siswa tidak merasa bersebaerangan dengan aturan kelas,

kemungkinan besar mereka akan mengembangkan perilaku positif

terhadap sekolah secara umum dan terhadap prestasi akademis secara

khusus.

Saamsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam

menyebutkan bahwa dalam pendidikan Islam, peserta didik merupakan

komponen yang penting. Peserta didik merupakan subjek sekaligus

objek.14 Oleh karenanya aktifitas pendidikan tidak akan terlaksana tanpa

keterlibatan peserta didik didalamnya. Sebagai subjek, peserta didik

adalah pelaku pendidikan yang artinya harus dilibatkansecara langsung

dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan

sebagai objek, peserta didik adalah tempat kembalinya tujuan pendidikan.

Dalam sistem pendidikan modern, semua permasalahan dalam

kegiatan belajar mengajar dipusatkan kepada siswa. Siswa adalah objek

sekaligus subjek pertama dan merupakan kutub positif (arah) dalam proses

pembelajaran. Sedangkan guru hanyalah kutub negatif (pengarah).

Dengan demikian, siswa dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan

ketrampilan.

Sedangkan dalam pandangan Musthafa Zurayq, kualitas

pengajaran ditentukan oleh sejauh mana siswa mampu mempresentasikan

keterampilan, pemahaman, dan kebiasaannya, bukan hanya berdasarkan

13 Jamaluddin, hlm. 45. 14 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Teoritis, Historis dan Praktis,

(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 47.

49

ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Pendidikan modern memadukan

aspek fisik, sosial, moral, afiktif, estetik dan sebagainya secara integral

dan mengembangkan keseluruhan aspek tersebut secara proporsional dan

seimbang.15

Dalam konteks inilah pengajaran dengan melibatkan secara

langsung peserta didik akan menjadikan perkembangan anak yang utuh

dan sehat. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan potensi dan

kekreatifannya. Sementara peran guru hanya sebatas membimbing,

mengarahkan dan melindungi anak dengan baik.

4. Relasi dan Interaksi antara Pendidik dan Peserta Didik

Setiap sesuatu memilki ruh atau esensi. Dan ruh sebuah lembaga

pendidikan terletak pada kualitas proses belajar mengajar yang

diciptakan. Sedangkan kualitas proses belajar tergantung pada prroses

interaksi yang diciptakan. Sebuah upaya membangun lembaga pendidikan

yang efektif apapun bentuknya, akan menjadi hambar tan pa dibarengi

dengan upaya menciptakan suasana belarar yang kondusif bagi setiap

siswa.

Salah satu hal yang mutlak terjadi dalam proses belajar mengajar

adalah interaksi. Interaksi dapat digambarkan sebagai hubungan dan

komunikasi aktif yang terjadi antara pendidik dan peserta didik (interaksi

eukatif). Dalam proses interaksi belajar mengajar, pendidik dan peserta

didik akan terlibat secara aktif satu sama lain, dengan hak dan kewajiban

masing-masing. Hak dan kewajiban itu akan terpenuhi jika pendidik

maupun peserta didik dapat memposisikan eksistensinya secara benar dan

proporsional sesuai dengan porsinya.

Dalam pendidikan berbasis kasih sayang, kasih sayang (dengan

segala aspek yang ada di dalamnya – seperti yang telah dipaparkan dalam

15 Ma’ruf Musthafa Zurayq, Sukses Mendidik Anak; Menciptakan Generasi Cerdas

Moral dan Spiritual, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 10-11.

50

bab sebelumnya), adalah unsur utama yang menjadi dasar proses belajar

mengajar dengan tidak menafikan unsur yang lain.

Prinsip yang mungkin berlaku dalam hal ini menurut Jamaluddin

adalah prinsip kolaborasi. Dalam maknanya yang luas, keterlibatan

seluruh konsituen pendidikan. Ketidakhadiran satu konsituen saja bisa

mengakibatkan gagalnya usaha perubahan.16 Dalam hal ini, kolaborasi

yang dimaksud adalah keterlibatan hubungan- hubungan ekologis antar

berbagai konsituen pendidikan – seperti dinas pendidikan, lembaga-

lembaga sekolah, manajemen sekolah, kepala sekolah, guru, siswa, orang

tua, alumni, organisasi-organisasi professional, dan masyarakat.

Kesemuanya itu akan terlibat bagaikan satu rantai dalam ekosistem

pendidikan. Kolaborasi yang dimaksud bukan hanya sekedar berarti setiap

orang dapat menyelesaikan tugasnya, tapi yang terpenting adalah

semuanya dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling mendukung

(collegiality and supportiveness).

Kolaborasi memiliki hubungan dengan norma dan kesempatan

untuk terjadinya proses belajar yang terus-menerus. Hal ini sesuai dengan

kenyataan bahwa pada umumnya proses belajar mengajar merupakan

aktifitas komunal – sebuah proses tukar menukar budaya antar individu

atau kelompok. Dalam hal ini yang terjadi kemudian adalah, jika

kolaborasi terjadi dalam proses mengajar di kelas, maka akan terjadi

semacam simbiosis mutualisme dalam relasi dan interaksi edukatif antara

pendidik dan peserta didik. Hal ini berdasarkan asumsi, bahwa proses

belajar mengajar yang meniscayakan terjadinya interaksi merupakan

hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan tidak dapat di

pisahkan antar pendidik dan peserta didik.

Sebuah interaksi meniscayakan adanya proses simultan dari

sumber yang memberi sekaligus menerima, yaitu pendidik dan peserta

didik. Dari point ini, dapat diketahui bahwa pendidik bukan hanya

16 Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Prestasi Siswa, hlm. 28.

51

sebagai subjek yang paling tahu dan berkuasa, tetapi ia harus dapat

memposisikan dirinya sebagai subjek kedua, yang juga belajar dari siswa.

Dengan demikian, akan terjadi interaksi positif, di mana guru dan siswa

saling mengisi, saling memberi dan menerima.

Dalam relasi yang seperti ini, hubungan pendidik dan peserta didik

dipandang sebagai hubungan yang dinamis, saling terkait dan menunjang.

Selanjutnya unsur tanggungjawab yang terdapat dalam pendidikan akan

terdorong oleh independensi anak dan tanggungjawab moril pendidik. Hal

ini berdasarkan pandangan bahwa belajar merupakan sebuah interaksi dan

proses adaptasi yang tak pernah selesai antara individu dengan individu,

dan individu dengan lingkungannya.

Di sekolah, guru merupakan orang tua siswa. Oleh karenanya,

guru harus mengusahakan agar relasi dan interaksi yang terjadi antara

keduanya dapat serasi seperti yang terjadi dalam keluarga. Suasana

kekeluargaan dan keakraban akan menjadikan siswa merasa sedang

bergaul dengan keluarganya sendiri, dan dengan orang tuanya sendiri.

Kunci terpenting untuk menjalin interaksi belajar mengajar adalah

kemampuan berkomunikasi secara efektif karena fungsi pendidikan yang

paling penting adalah bagaimana menuntun peserta didik agar mau belajar

dan dapat belajar.

Dengan membentuk forum belajar mengajar yang komunikatif dan

interaktif, pendidik akan menemukan jalan bagi terlaksananya kerjasama

yang baik dengan peserta didik dalam upaya transfer of knowledge dan

transfer of value yang pada gilirannya mengarahkan peserta didik ke

dalam perubahan selanjutnya dalam penyusunan organisasai dan

koordinasi untuk menciptakan paradigma baru dalam proses belajar

mengajar.

B. Kasih Sayang Sebagai Strategi Pendidikan.

Kasih sayang merupakan sesuatu yang sangat universal. Karena

keuniversalannya itulah maka kasih sayangpun ternyata dapat digunakan

52

sebagai metode dan strategi pembelajaran yang cukup efektif, baik dalam

keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Menurut Abdurrahman Mas`ud, metode yang digunakan harus lebih

menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani, religiusitas

siswa, serta meningkatkan kepekaan sosialnya. Hal ini bisa dilakukan dengan

cara berusaha mengenal dan mengerti anak didik lebih dekat, sehingga

individual treatment perlu dilakukan. Anak tidak harus diperlakukan secara

seragam, tapi beragam.17

setiap anak memiliki keunikan sendiri-sendiri. Atas dasar itulah secara

ideal perlakuan untuk setiap anakpun seharusnya berbeda. Di kelas ada

sekelompok anak didik dengan perilaku yang bermacam-macam. Dari cara

mengemukakan pendapat, cara berpakaian, pola pikir dan sebagainya selalu

bervariasi. Masing-masing anak didik mempunyai karakteristik yang berbeda.

Perbedaan individual anak didik tersebut memberikan wawasan pada pendidik

bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan perbedaan anak didik pada

aspek individual. Dengan kata lain, sesuai dengan apa yang telah

dikemukakan oleh Syaiful Bahri Djamarah, bahwa pendidik harus melakukan

pendekatan individual dalam strategi pengajarannya. Bila tidak, maka strategi

belajar tuntas (mastery learning) yang menuntut penguasaan penuh kepada

anak didik tidak akan terjadi. Paling tidak, dengan pendekatan individual

dapat diharapkan kepada anak didik dengan tingkat penguasaan yang

optimal.18

1. Mendidik dengan Cinta

Cinta merupakan sesuatu yang selalu menarik untuk

diperbincangkan oleh siapapun. Para psikolog sendiri menyoal cinta dari

sisi motivasi dan pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Cinta

17Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme

Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Agama Media, 2002), hlm. 201. 18 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi edukatif, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000), hlm.6.

53

merupakan bagian dari kehidupan, bahkan cinta itu pula yang menjadi

sebab adanya kehidupan.

Begitu penting dan strategisnya masalah cinta, sehingga Al-

Qur’an pun tidak lupa membicarakannya dalam banyak ayat yang tersebar

dalam beberapa surat. Demikian juga Nabi Muhammad SAW, beliau

sering berbicara soal cinta bahkan banyak memberikan teladan soal cinta.

Dan satu hal yang pasti, bahwa karena cintanya risalah Islam sampai

kepada kita.

Banyak cara dalam mengekspresikan cinta. Dalam hal ini adalah

bagaimana mengekspresikan cinta kepada anak didik dengan cara yang

pas selain memupuk dan mempertebal rasa cinta itu sendiri. Dalam diri

setiap manusia pasti ada unsur cinta dan sisi kasih sayang. Hanya saja

banyak yang kurang menyadari bahwa potensi cinta tersebut dapat

dijadikan sebagai media pendidikan yang efektif.

Cinta dan kasih sayang itu potensial, bisa digali, dieksplor,

dikembangkan dan diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari dengan

berbagai bentuk dan variasi. Karena sifatnya yang potensial, sebagian ada

yang berhasil mengaktualisasikannya tetapi ada pula yang menuai

kegagalan.

Bagi para pendidik, kekreatifan dan keaktifan dalam

mengaktualisasikan cinta kepada anak didiknya adalah satu keniscayaan.

Dengan demikian, anak-anak menjadi lebih mudah mengetahui dan

merasakan bahwa mereka dicintai oleh orang tua dan gurunya, diterima

dan diharapkan keberadaannya, dipercaya, dihargai, dan dihormati

pendapatnya.

Dalam hal ini menurut Abdurrahman Mas`ud, seorang guru harus

mengajar hanya berlandaskan cinta kepada sesama umat manusia tanpa

memandang status sosial ekonomi, agama, kebangsaan dan sebagainya.

Karena misi utama guru adalah mencerdaskan bangsa, mempersiapkan

anak didik sebagai individu yang bertanggungjawab dan mandiri, bukan

menjadikannya sebagai beban masyarakat. Proses pencerdasan harus

54

berangkat dari pandangan filosofi guru bahwa anak didik adalah individu

yang memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan.19

Lebih jauh lagi menurutnya hal ini berarti, suatu keharusan bagi

seorang guru untuk mempersiapkan anak didik dengan kasih sayang dan

cintanya sebagai individu yang saleh dalam arti memiliki tanggungjawab

sosial, religius, dan berwawasan lingkunga. Dalam konteks ini guru tidak

sekedar melakukan transfer of knowledge dan transfer of values kepada

siswa. Yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah knowledge dan

values seperti apa yang ditawarkan kepada siswa.20

Guru sebagai model yang dianut oleh anak didik tentu harus

mencerminkan perilaku yang bisa menjadi teladan bagi anak didiknya.

Perilaku yang ditunjukkan dengan penuh cinta akan menjadikan anak

menjadi pribadi yang lebih utuh secara psikologis dan fisiologis di

samping kematangan secara intelektual.

Jika sejak dini anak- anak dididik dengan cinta, mereka akan

tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang mandiri, kreatif, dan

penuh percaya diri. Anak akan dapat memandang dunia secara positif.

2. Membangun Komunikasi Positif

Satu hal lagi yang penting dalam proses pendidikan adalh

komunikasi. Komunikasi yang intensif antara pendidik dan anak didik

akan menghangatkan proses belajar mengajar yang sedang berlangsung,

dan terjadi kedekatan secara emosional.

Kesediaan mendengar dan memahami keluhan yang disampaikan

sangat penting untuk melancarkan komunikasi. Dalam hal ini, pendidiklah

yang harus berinisiatif untuk membangun komunikasi tersebut. Anak

butuh dimengerti dan dipahami apa yang dirasakannya. Menurut Irawati

19 Abdurrahman Mas’ud, hlm. 194. 20 Ibid, hlm. 196.

55

Istadi, yang diperlukan anak adalah pengertian dan pemahaman orang tua

terhadap perasaannya.21

Orang tua dan guru sebagai penentu pertumbuhan dan

perkembangan anak harus aktif dalam memberikan dorongan, semangat,

nasehat dan bimbingan, tetapi juga memungkinkan untuk lebih banyak

melibatkan anak dalam diskusi kecil untuk mengetahui apa yang

diinginkan oleh anak didik agar bisa lebih memotivasi dirinya. Sifat

humanis dari guru akan memberikan arti tersendiri bagi siswanya.

Di mata F. Jackson, seorang guru yang humanis – bertindak

sebagai seorang manusia biasa disamping sebagai seorang guru, menaruh

rasa hormat dan penghargaan kepada siswa – menentukan faktor yang

menentukan persepsi siswa tentang kemampuan guru menciptakan

atmospir yang kondusif untuk belajar. Dalam suasana demikian, siswa

merasa leluasa bertanya dan memberikan komentar, mendekati guru untuk

melakukan pembicaraan face to face, dan secara keseluruhan akan

menbuat ruang kelas menjadi penuh semangat dan antusias.22 Sedangkan

menurut S. Rogers, dengan mengembangkan kemampuan berkomunukasi

antar individu dan kepekaan terhadap kebutuhan emosional siswa, guru

berarti memiliki zone belajar (realm of learning) yang sesungguhnya.23

Komunikasi bukan hanya sekedar bicara dan mengerti apa yang

disampaikan anak, tetapi lebih dari itu bagaiman menjadi orang tua atau

guru yang bijak. Misalnya menghargai aatau memuji anak untuk perilaku

yang benar dengan cara yang akurat dan jujur, namun jangan sampai

berlebihan. Berikan selalu perhatian terhadap aktifitas yang dilakukan,

namun jangan sampai mengintervensi. Mendisiplinkan anak secara tepat

dan efektif adalah dengan membuat peraturan yang dibuat dan dihormati

bersama. Berikan peringatan secara halus bila ada perilaku yang salah.

21 Irawati Istadi, hlm. 78. 22 Jackson, et. al., The Dimension of Students’ Perceptions of Teaching Effectiveness,

(Educational and Psichologycal Measurement, 1999), hlm. 580-586. 23 Rogers, S. and Renard, L., Relation- Driven Teaching, (Educational Leadership,

1999), hlm. 34-37.

56

Konsisten antara hati dan perbuatan, mengajari berpikir realistis dan

optimis dalam belajar, dan menanamkan kesadaran untuk mandiri.

Kuatnya identifikasi anak terhadap apa yang ada di luar dirinya

seperti orang tua dan guru serta lingkungan dalam berbagai tingkah laku,

cara berpikir, pembiasaan, ajakan, bimbingan dan dialog yang didasarkan

pada rasa cinta kasih akan sangat besar pengaruhnya terhadap budi pekerti

dan moral anak. Sementara itu, orang tua dan guru sebagai model panutan

bagi anak didik, harus bisa memposisikan dirinya secara tepat.24

Dalam hal ini menurut Jamaluddin, sifat-sifat personal guru seperti

memberikan kepercayaan kepada siswa, bersedia mendengar apa yang

disampaikan siswa dan tidak mendominasi jalannya proses belajar

mengajar, menjadi sangat menentukan dalam membangun suasana belajar

dalam kelas yang kondusif dan komunikatif.25

Dengan demikian akan tercipta suasana belajar yang

menyenangkan, penuh kepatuhan, komunikatif, dan kerjasama yang

produktif antara pendidik dan anak didik.

3. Perhatian Positif

Orang tua dan guru seringkali tidak bisa memahami apa yang

diinginkan oleh anak-anak. Contoh paling mudah, anak sudah tahu akan

lapar jika tidak makan, tapi tidak mau makan – atau jika di dalam kelas,

mereka tahu kalau tidak bisa mengerjakan ulangan jika tidak belajar, tapi

tidak mau belajar. Tetapi tidak bisa dipungkiri, memang seperti itulah

anak- anak dengan segala naluri alamiahnya.

Menurut Irawati Istadi, kebutuhan anak untuk mendapatkan

perhatian adalah tidak terbatas. 26 Orang tua dan guru terkadang mengeluh

dengan tingkah laku anak yang tidak dapat dimengerti, bahkan tak jarang

24 Jamaluddin, “Pendidikan Pra Sekolah: Orientasikan Pada Child Interest ”,

Quantum, Edisi. II, Maret, 2003, hlm. 16. 25Jamaluddin, Pembelajaran yang Efektif; Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Prestasi Siswa, hlm. 38-39. 26 Irawati Istadi, hlm. 78.

57

keterlaluan dan berlebihan. Mungkin orang tua atau guru mengira bahwa

tindakan anak-anak tersebut adalah untuk mencari perhatian.

Lebih jauh lagi Irawati Megatakan bahwa keinginan anak-anak

untuk mendapatkan perhatian adalah hal yang wajar dan alami. Makin

banyak mendapatkan perhatian dari orang- orang di sekitarnya, makin

besar keinginan untuk memperolehnya dan akan memcoba dengan

menggunakan berbnagai cara. Rumus yang yang berlaku dalam hal ini

adalah, jika mereka ingin memperoleh perhatian itu dengan melakukan

hal-hal yang positif, mereka akan terus melakukannya agar memperoleh

perhatian. Namun bila sebaliknya, maka akan berlaku seterunya.27

Salah satu bentuk perhatian bisa ditunjukkan dengan cara

memberikan penghargaan atas keberhasilan yang dicapai anak. Misalnya

saat naik kelas, mendapatkan ranking bagus, dan sebagainya. Bentuknya

bisa berupa hadiah, pujian dan sebagainya sebagai bukti bahwa anak telah

mencapai keberhasilan yang membanggakan.

Irawati Istadi membagi perhatian menjadi tiga bentuk, yaitu:

a. Fisik. Yaitu perhatian yang diwujudkan dalam bebtuk sentuhan fisik

dan ekspresi tubuh – misalnya tepukan bahu, senyuman, acungan

jempol, dan sebagainya.

b. Verbal. Yaitu perhatian yang di wujudkan dalam bentuk kata-kata –

misalnya pujian, dorongan, komentar positif, ungkapan kagum, dan

sebaginya.

c. Materi. Yaitu perhatian yang diwujudkan dalam bentuk materi –

misalnya hadiah, fasilitas, dan sebagainya.28

Kunci pokok bagi orang tua dan guru untuk mengarahkan perilaku

anak-anak adalah dengan sesering mungkin memberikan perhatian yang

positif. Berkomunikasi secara langsung dengan anak dalam suasana yang

penuh kegembiraan dan kehangatan adalah perhatian terbaik yang

27 Ibid. 28 Ibid., hlm. 82.

58

dibutuhkan setiap anak – karena sesuai dengan dorongan alamiah yang

dimiliki oleh setiap anak yaitu bermain dengan gembira.

Sekecil apapun bentuk perhatian yang otang tua atau guru berikan

akan sangat berpengaruh pada perkembangan mental dan pribadi anak.

Sejauh perhatian yang diberikan tidak berlebihan, anak akan merasa

nyaman dalam belajar dan berkreatifitas.

4. Belajar dan Bermain

Bentuk pembelajaran seperti ini biasanya khusus bagi anak-anak

usia pra sekolah. Pada usia seperti ini anak-anak cenderung untuk

melakukan apa saja yang mereka inginkan dan dan yang menurut mereka

menyenangkan. Dengan kata lain masa pra sekolah merupakan time for

play.

Anak-anak memiliki kebiasaan tertentu. mereka selalu bergerak

dan berkreativitas. Mereka senang bermain di manapun tanpa kenal

waktu. Kebiasaan seperti itu tidaklah mereka inginkan, tetapi suatu

refleksi alamiah – suatu tuntutan psikologis untuk memahami dan

mencermati peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Anak ingin mengetahui

segala hal. Oleh karena itu, metode pendidikan anak lebih banyak

menggunakan pola permainan dan kegiatan fisik. Dua metode itu bisa

dijadikan landasan dalam praktik pendidikan dan pengajaran anak.

Karena itu pula menurut Musthafa Zurayq, pendidikan anak

dilebur dengan kegiatan yang bersifat praktis dan dijauhkan dari sisi

akademis yang membosankan, sehingga anak menjadi kutub positif dalam

proses pembelajaran.29

Hidup anak-anak terpusata pada diri mereka sendiri. Mereka

hanya memikirkan apa yang berkaitan dengan minat dan kebutuhan, dan

berbuat hanya untuk mereka sendiri. Maka pengetahuan yang diajarkan

seharusnya berkaitan dengan minat, hidup dan perasaan mereka. Dengan

29 Ma’ruf Musthafa Zurayq, hlm. 7.

59

begitu, mereka akan tertarik dan senang menerima pengetahuan tersebut

dan akan dirasakan sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Dalam hal ini, menurut Irawati Istadi permainan menjadi teramat

penting, karena lewat sarana itulah anak-anak belajar mengehal kehidupan

dengan segala pernik-perniknya.30 Anak-anak akan tidak sadar bahwa

permainan yang dilakukan tersebut adalah proses belajar. Anak-anak bisa

belajar dengan permainan-permainan dan latihan-latihan yang sesuai

dengan dengan kemauan dan suasana hati belajarnya.

Di samping perlu diajari moral dan budu pekerti, anak juga perlu

diberikan kebebasan untuk berkreasi, berimajinasi dan berpetualang yang

khas dengan dunia mereka. Arti penting membiarkan anak beraksi adalah

sebuah bentuk kebebasan agar anak bergerak dan bermain sesuai dengan

keinginan mereka.

Menurut A. Efendi, bermain merupakan aktifitas refleks yang

melibatkan motivasi dan prestasi dalam diri anak secara mendalam dalam

dunianya. Seorang anak memiliki posisi sebagai dicition maker dan play

master. Dengan bermain, anak bebas beraksi dan menghayalkan sebuah

dunia lain sehingga bermain akan menghadirkan unsur petualangan yang

disukai anak.31

Anak-anak sebaiknya sibuk dengan dirinya sendiri untuk

mengaktualisasikan imajinasi, bukannya disibukkan dengan hal-hal yang

bersifat teori dan detail. Pola-pola pembelajaran bagi anak sebaiknya

dikemas dalam bentuk permainan yang menarik, sehingga anak-anak akan

tertarik untuk melakukannya dengan senang hati. Suasana yang gembira

dan menyenangkan bersama teman-teman sepermainan yang lain akan

membantu anak mempunyai sense of personal dan sense of social yang

tinggi, karena anak- anak diajari untuk memiliki empati dan bisa berbagi

dengan orang lain.

30 Irawati Istadi, hlm. 127. 31 Ahmad Efendi, Pendidikan Pra Sekolah; Orientasi pada Child Interest, ( Quantum

Semarang: LPM. Edukasi, 2003), hlm. 17.

60

Sedangkan untuk anak-anak usia sekolah dasar, bentuk permainan

bisa diganti dengan bentuk latihan-latihan yang konkret. Ketika anak-anak

sudah mulai jenuh dengan teori, bisa dialihkan dengan melakukan latihan-

latihan yang berhubungan dengan teori namun dikemas dalam bentuk

latihan yang menyenangkan. Latihan-latihan seperti ini akan membantu

anak-anak mengendorkan ketegangan syaraf-syarafnya akibat banyak

disuguhi dengan tori-teori yang membuat mereka menjadi bosan.

Satu contoh, dalam mata pelajaran biologi ciri-ciri tumbuhan

monokotil misalnya, ketika anak telah selesai dijelaskan dan merasa sudah

paham, maka akan lebih baik jika anak-anak dihadapkan dengan realitas

yang sesungguhnya, misalnya dengan melakukan survei dan pengamatan

secara langsung terhadap tumbuhan tersebut. Dengan model pembelajaran

seperti ini, anak-anak akan belajar learning to do.

Dalam Islam, diberikan pula pedoman pemilihan model permainan

yang baik untuk anak. Di zaman Rasulullah saw, sejak kanak-kanak anak

laki-laki sudah diajarkan permainan memanah. Permainan ini selain

menyehatkan fisik anak juga akan membentuk jiwa pemberani.

Belajar yang dikemas dalam bentuk permainan (belajar sambil

beraktifitas) bisa memudahkan anak-anak untuk mengetahui dan

merasakan secara langsung apa yang ingin diketahui dan dilakukannya

dan belajar untuk mengenal lebih jauh lingkungan nyata yang sebelumnya

hanya diketahui lewat teori dan cerita dari gurunya.

C. Fungsi Kasih Sayang dalam Pendidikan.

1. Internalisasi Nilai.

Proses belajar mengajar merupakan suatu proses di mana seluruh

totalitas jasmani dan rohani pendidik dan anak didik dieksplor dalam

bentuk komunikasi dan interaksi. Dalam proses komunikasi dan interaksi

tersebut, akan ada tahap yang sanagat menentukan berhasil atau tidaknya

suatu proses, yaitu internaalisasi. Setelah tahap internalisasi, tahap

selanjutnya adalah integrasi.

61

Menurut Chabib Thoha, internalisasi adalah proses komunikasi

batin yang terjadi antara antara guru dan murid. Dalam proses ini pendidik

berhadapan dengan peserta didik tidak lagi sosok fisiknya saja, melainkan

juga siap mental dan keseluruhan kepribadian. Demikian juga peserta

didik merespon terhadap apa yang dikehendaki pendidik dengan

menggunakan seluruh aspek ruhaniahnya.32

Sedangkan integrasi menurut A. Munir Mulkhan adalah nilai atau

unsur yang ada dalam diri individu yang terintegrasi dan tertanam pada

setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu – dalam hal ini

siswa – benar-benar menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah proses

menjadi, proses tumbuh, dan proses berkembang. Dalam proses itu

seorang individu siswa akan terus berusaha secara sadar memilih berbagai

pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan, perubahan,

dan pertumbuhan dirinya.33

Kasih sayang dan proses belajar mengajar merupakan satu hal

yang tidak bisa dipisahkan. Ketika proses belajar mengajar berlangsung,

maka pada saat itu pula kasih sayang yang ada pada diri pendidik dan

anak didik terintegrasi dalam proses tersebut – bahkan tanpa disadari oleh

guru – kasih sayang akan muncul dalam interaksi belajar mengajar dan

dengan sendirinya akan tertanam dalam diri anak didik. Oleh karena itu,

kasih sayang merupakan bagian integral dalam proses pendidikan yang

tertanam dalam diri pendidik dan anak didik.

Selanjutnya jika kasih sayang telah terintegrasi dalam proses

pengajararan, maka yang tidak kalah penting adalah trans-internalisasi

kasih sayang itu sendiri. Karena dalam tahap inilah segala aspek mental-

ruhaniyah yang ada dalam diri anak didik terlibat secara langsung. Proses

inilah yang paling mempengaruhi sikap dan kepribadian anak selanjutnya.

Kasih sayang yang terdapat dalam interaksi dan komunikasi antara guru

32 HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), Cet. 1, hlm. 94. 33 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis

Pendidikan Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, t. th), hlm. 93.

62

dan siswa atau antara orang tua dan anak terakomodasi dalam bebtuk

kegiatan belajar mengajar.

Nilai-nilai kasih sayang yang ada dalam diri pendidik akan sangat

mempengaruhi perilaku para siswanya. Maka dengan sendirinya nilai-

nilai tersebut akan tertanam juga dalam diri anak didik. Seluruhnya itu

akan terserap oleh si anak didik tanpa disadari oleh guru dan orang tua,

bahkan anak sendiripun tidak tahu bahwa ia telah tertarik menjadi kagum

dan sayang oleh giru dan orang tuanya.34

Karena kasih sayang merupakan salah satu potensi yang dimiliki

manusia sejak lahir, maka akan lebih mudah untuk menanamkan kasih

sayang tersebut kepada anak didik yang memang telah memilikinya. Oleh

karena itu, sepatutnyalah kita sebagai calao generasi pendidik masa depan

untuk tetap menempatkan kasih sayang sebagai dasar ketika sedang

mengajar. Tanpa kasih sayang dari pendidik, maka yang akan didapat oleh

anak hanyalah materi dan kecerdasan intelektual saja sedangkan

kecerdasan emosional dan spiritualnya akan terabaikan dan tidak

berkembang.

Dalam proses pendidikan, pendidikan yang tepat guna adalah

pendidikan yang mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan materi

pelajaran, dan secara fungsional dapat dipakai untuk mengkontekstualkan

nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan.

2. Membentuk Kepribadian

Kepribadian merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh

setiap pndividu. Dengan kepribadian yang baik, maka akan terbentuk pula

akhlak yang baik – karena akhlak dan perilaku yang baik adalah cermin

dari kepribadian yang baik. Dan salah satu tanggungjawab pendidikan

adalah membentuk akhlak dan kepribadian yang baik peserta didik.

34 Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. II, hlm. 77.

63

Ketika terjadi proses belajar mengajar, totalitas aspek jasmaniyah

dan ruhaniyah pendidik dan peserta didik akan terlibat langsung dalam

bentuk interaksi. Salah satu aspek yang akan nampak di antaranya adalah

perilaku dari masing- masing individu – baik pendidik maupun peserta

didik – yang merupakan perwujudan dari kepribadian yang dimilikinya.

Menurut G. W. Allport, “Personality is the dinamic organization

within the individual of those psychophysical systems that determine the

individual, unique adjusment to the environment”.35 Maksudnya,

kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu yang terdiri atas

berbagai sistem fisis dan psikologis yang bekerja sebagai penentu tunggal

dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.36

Dalam pendidikan Islam, kepribadian disebut syakhshiyah.

Syakhshiyah dalam psikologi, berhubungan dengan tingkah laku yang

dievaluasi.37 Kepribadian dalam psikologi Islam adalah integrasi sistem

jasmaniyah (inderawi) dan sistem ruhaniyah (akal dan nafsu) manusia

yang menimbulkan tingkah laku.38 Daya-daya yang terdapat dalam

substansi jasmani dan rohani manusia saling berinteraksi satu sama lain

dan akan membentuk suatu kepribadian. Jadi, kepribadian merupakan

produk dari interaksi antara kedua komponen tersebut, namun biasanya

yang lebih dominan adalah komponen ruhaniyah karena kepribadian

manusia sangat ditentukan oleh komponen akal dan nafsu. Dalam

menentukan kepribadian, akal memiliki daya dan natur yang luas yang

mencakup semua daya dan natur komponen ruhaniyah yang lain. Itulah

sebabnya, kepribadian merupakan kekuatan dari dalam diri manusia yang

bisa menjadi benteng moral dan akhlak.

35 Lester D. Crow & Crow, Educational Psychologyy, (New York: American Book

Company, 1958), hlm. 186. 36 Lester D. Crow & Crow, Psikologi Pendidikan, Terj. Kasijan, (Surabaya: Bina

Ilmu, 1984), hlm. 264. 37 Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, Nuansa- Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. II, hlm. 37. 38 Ibid, hlm. 58.

64

Dari beberapa pendapat tentang definisi kepribadian di atas, pada

dasarnya memiliki banyak kesamaan yaitu bahwa kepribadian adalah hasil

dari pendidikan dan latihan yang tercermin dalam tingkah laku individu

dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Pembentukan keprbadian terasa semakin dibutuhkan saat ini, di

mana kebutukan akan komunikasi dan informasi semakin banyak, dan

kebutuhan itu terpenuhi dengan makin majunya perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Orang akan semakin mudah mngakses

informasi dari internet, televisi, dan sebagainya. Peristiwa baik dan buruk

dengan mudah dapat dilihat dan didengar melalui media cetak maupun

elektronik dan semakin tidak terbatas.

Di satu sisi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan

membawa dampak yang positif. Tetapi di sisi lain, akan muncul pula satu

kehawatiran karena tidak mungkin orang tua di rumah dan guru di sekolah

dapat mengawasi dan memperhatikan secara langsung perkembangan

anak didik dalam pergaulannya sehari-hari. Kehawatiran itu muncul

karena bukan tidak mungkin anak akan memanfaatkan hasil teknologi ke

arah negatif – VCD porno dan narkoba misalnya.

Masa anak-anak dan masa muda adalah masa-masa di mana

mereka tertarik pada hal-hal yang dangkal. Itulah alasan mengapa anak-

anak akan banyak memakai perilaku yang dangkal pula dalam berfikir,

berbicara dan bertindak sehingga akan menimbulkan pemahaman yang

terbalik dan abstrak tentang diri, keadaan, bahkan akibat yang akan

ditimbulkan.

Dalam pendidikan Islam, pembentukan kepribadian menempati

prioritas pertama. Dalam hubungannnya dengan pembentukan

kepribadian, pendidikan dituntut untuk dapat menyelaraskan tujuan dan

potensi yang dimiliki baik oleh pendidik maupun peserta didik. Dengan

cara itu, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya

manusia yang berkepribadaian dan mampu memerankan dirinya srbagai

khalifah di bumi. Maka, kepribadian manusia sebagai khalifah- pun harus

65

didasarkan oleh rasa kasih sayang yang sekaligus akan menjadi

identitasnya.

Kepribadian juga bisa terbentuk dari daya spiritualitas yang kuat.

Keimanan yang tumbuh subur dalam diri manusia akan sangat

mempengaruhi cara pandang dan sikap manusia tentang diri sisi-sisi ke-

Tuhanannya termasuk kasih sayang. Kesadaran dan pemahaman terhadap

diri dan statusnya sebagai manusia, hammba Allah Khalifah di bumi akan

mennamkan rasa tanggungjawab yang besar. Jadi, secara tidak langsung

unsur kasih sayang dalam diri manusia akan turut mendesain kepribadian

yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk perilaku.

Pembentukan Kepribadian Perkembangan dan pembentukan kepribadian anak tidak terjadi

begitu saja, tetapi memerlukan proses yang panjang dan cukup kompleks.

Kepribadian merupakan perpaduan interaksi antara faktor-faktor konstitusi

biologis, psiko-edukatif, psiko-sosial dan spiritual. Agar bisa selaras dan

utuh, pengkondisian empat hal tersebut harus disesuaikan dengan

kebutuhan. Kepribadian anak yang utuh itulah nantinya yang akan

membentuk sikap dan perilaku Ilahiyah, yaitu kepribadian yang seluruh

aspek-aspek baik jasmani maupun rohani dilakukan atas dasar pengabdian

dan penyerahan diri kepada Tuhan.

Sigmun Freud, pendiri aliran psikoanalisis memnemukakan suatu

teori tentang kepribadian. Dalam teorinya itu, ia membedakan jiwa

menjadi tiga bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Id, adalah sistem

kepribadian yang paling dasar yang di dalamnya terdapat naluri-naluri

bawaan. Id merupakan sistem yang bertindak sebagai penyedia atau

penyalur energi yang dibutuhkan. Sedangkan ego adalh sistem

kepribadian sebagai pengaruh individu terhadap objek dunia nyata dan

menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Sedangkan super

ego adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai- nilai dan aturan-

aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Menurut

66

Freud, super ego terbentuk melalui internalisasi nilai- nilai dan aturan-

aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh atu

berarti bagi individu tersebut, seperti orang tua atau guru.39

Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian.

Namun secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian

dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yakni faktor

keturunan (faktor yang lahir dari dalam individu itu sendiri) dan faktor

lingkungan (faktor yang timbul dari lingkungan eksternal baik sosial

maupun kultural).

Faktor keturunan (pembawaan) yang mempengaruhi pembentukan

kepribadian adalah fitrah yang dibawa oleh manusia sejak lahir, berupa

potensi. Sedangkan faktor lingkungan, bisa dari keluarga, sekolah dan

masyarakat tempat ia tinggal.

Dalam Islam, potensi (fitrah) yang dimaksud bukan hanya

dikhususkan bagi muslim saja, melainkan untyk seluruh umat manusia.

Hal ini mengandung pengertian bahwa potensi dasar manusia bersumber

pada potensi yang sama, yaitu dasar-dasar kepribadian yang bersumber

dari sifat-sifat Allah, meskipun kadarnya terbatas.

Semua pengalaman yang dilalui anak sejak lahir merupakan unsur-

unsur dalam pribadinya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada awal

kehidupan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkah laku

pada masa berikutnya. Menurut A. D. marimba, proses pembentukan

kepribadian terdiri dari beberapa taraf yakni taraf pembiasaan,

pembentukan sikap dan minat, serta pembentukan kerohanian luhur.40

Kepribadian yang utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh

lingkungan, khususnya pendidikan. Tujuan pembentukan kepribadian ini

adalah kepribadian yang memiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan

39 Sigmund Freud, Teori-Teori Kepribadian, Terj. E. Koeswara, (Bandung: PT.

Eresco, 1991), Cet. 2, hlm. 32. 40 A. D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al- Ma`arif, 1989),

hlm. 76.

67

akhlak, erat kaitannya dengan tingkat keimanan.41 Jadi, pencapaian tingkat

akhlak yang mulia merupakan tujuan pembentukan kepribadian.

Di sini terlihat ada dua sisi penting dalam pembentukan

kepribadian, yaitu iman dan akhlak. Bila iman dianggap sebagai konsep

batin, maka akhlak adalah implikasi dari konsep itu yang tampilannya

tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Keimanan merupakan sisi

abstrak dari kepatuhan kepada hukum-hukum Tuhan, yang

pengejawantahannya ditampilkan dalam lakon akhlak yang mulia. Dengan

demikian, pembentukan kepribadian pada dasarnya merupakan suatu

pembentukan kebiasaan (sikap dan perilaku) yang baik dan serasi

berdasarkan nilai-nilai akhlakul karimah.

41 Jalaluddin, hlm. 194.