BAB III rev -...

26
50 BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP POLITIK ISLAM DI INDONESIA A. Orientasi Umum Kebijakan Orde Baru Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. 1 Orde Baru, rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim sebelumnya, maka kebijakannya tentu bertolak belakang dengan kebijakan- kebijakan yang diambil pemerintahan sebelumnya. Kalau pada masa Orde Lama wacana dan gerakan politik begitu dominan dalam percaturan nasional, maka sebaliknya, Orde Baru tampil dengan slogannya politik no, ekonomi yes. 2 Oleh karenanya, pemerintahan Orde Baru menciptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran tandingan) yang lebih menekankan pada ide-ide 1 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hlm. 102. 2 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 188.

Transcript of BAB III rev -...

Page 1: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

50

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU

TERHADAP POLITIK ISLAM DI INDONESIA

A. Orientasi Umum Kebijakan Orde Baru

Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di bawah

kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai

reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi

Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah digoyang oleh antagonisme

politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat

Indonesia secara menyeluruh.1

Orde Baru, rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim

sebelumnya, maka kebijakannya tentu bertolak belakang dengan kebijakan-

kebijakan yang diambil pemerintahan sebelumnya. Kalau pada masa Orde

Lama wacana dan gerakan politik begitu dominan dalam percaturan nasional,

maka sebaliknya, Orde Baru tampil dengan slogannya politik no, ekonomi

yes.2 Oleh karenanya, pemerintahan Orde Baru menciptakan counters ideas

(pemikiran-pemikiran tandingan) yang lebih menekankan pada ide-ide

1 Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999, hlm. 102. 2 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani

Press, 1996, hlm. 188.

Page 2: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

51

pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, program oriented, pembangunan

oriented dan sebagainya.3

Namun demikian, Orde Baru dihadapkan oleh tugas berat memperbaiki

kembali institusi-institusi politik untuk menegakkan lagi kewibawaan

pemerintahan negara setelah negara berada di bawah rezim "kuku besi", yang

dipimpin oleh Soekarno yang biasa disebut "Demokrasi Terpimpin" atau Orde

Lama (1957-1965) terlibat dalam situasi kacau-balau.

Moeljarto Tjokrowinoto, pakar sains politik terkemuka di Universitas

Gajah Mada, mengemukakan keadaan politik di Indonesia menjelang lahirnya

Orde Baru yang ditandai oleh enam ciri: kegagalan sistem multi-partai;

percaturan politik yang bertumpu pada dasar partai ideologi dalam suasana

masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan politik yang ada;

perpecahan birokrasi karena campur tangan partai ke dalam birokrasi dan

menjadikan birokrasi sebagai asasnya; partai politik mempergunakan corak

partai "totali-tarian"; penyusupan partai Komunis ke dalam ABRI sehingga

menimbulkan "disharmoni" hubungan di antara Angkatan dan Kesatuan; dan

interaksi politik di desa ditandai oleh nilai-nilai primordial, orientasi

"parokhial" dan hubungan "patron-klien" sehingga mengurangi persatuan

pedesaan dan menimbulkan konflik "interpersonal" 4

Di dalam konteks yang luas, terutama dalam hubungannya dengan

ekonomi, gambaran keadaan bangsa Indonesia ketika itu tercermin dalam

3 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran

Orde Baru, Bandung: Mizan, 1984, hlm. 95. 4 Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996, hlm. 104.

Page 3: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

52

sembilan masalah seperti yang dikemukakan oleh Profesor Donald W. Wilson

sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berikut ini: pembentukan suasana

stabilitas politik dan sosial (keamanan bangsa) yang memungkinkan terjadinya

perubahan; menciptakan satu bangsa yang terhindar dari perpecahan umat dan

banyaknya bahasa dan dialek yang bisa menggoncangkan ("staggering");

membawa rakyat untuk berada bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu

mereka yang bukan menjadi orang penurut atau "asal bapak senang",

mempunyai kemampuan dan kepakaran khusus guna menangani masalah

bangsa secara cerdik dan arif; menghapuskan kelembapan dan "buck passing"

yang melumpuhkan pemerintahan sampai begitu lama; membentuk satu

semangat kerjasama di dalam pemerintahan yang bisa membangkitkan

kecemburuan kecil di atas dan perbedaan-perbedaan yang bersifat kedaerahan;

menjauhkan kepentingan pribadi dan sakit hati mereka yang sangat

menginginkan untuk kembali kepada era Soekarno; menangani masalah-

masalah ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari keruntuhan

atau bencana ekonomi dan keuangan; membangun keberdikarian pertanian

untuk memenuhi keperluan makanan; meraih lebih banyak lagi pengadilan

yang adil.5

Luasnya aktivitas pembangunan di atas seiring dengan kemunduran

dalam bidang ekonomi, lemahnya institusi politik, korupsi yang bersifat

"endemik", bahaya militerisme yang merayap, kelebihan penduduk di Jawa,

meluasnya pengangguran, dan hancurnya infrastruktur yang dialami oleh

5 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999, hlm. 118.

Page 4: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

53

bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan bantuan dari

masyarakat penderma/penyumbang.6

Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka sasaran pembangunan

Orde Baru bertumpu pada aspek ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik

yang bisa mendukung pembangunan ekonomi. Salah satu kebijakan Orde Baru

dalam hal politik adalah melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi

negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain

adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan

berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.7

Bahkan ada pula pakar yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde

Baru adalah menegakkan negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan

kehidupan politik agar tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta

menjamin peran tentara dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.8

Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk

menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan

rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan landasan luar negeri

yang bebas dan aktif, dan meneruskan perjuangan melawan imperialisme.

Janji seperti disebutkan di atas sesuai dengan keadaan mendesak masyarakat

ketika itu, seperti terlihat dalam program yang dibuat Kesatuan Aksi

Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai satu teras kekuatan inti yang

menumbangkan rezim Orde Lama tentang konsolidasi dan pembangunan Orde

6 Selo Soemardjan, Akibat-Akibat Sosiologis Dari Inflasi Moneter, Jakarta: Sinar

Harapan, 1984, hlm. 84. 7 Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam Dan Negara Pancasila, Yogyakarta:

Padma, 2003, hlm. 89. 8 Widjaja, Budaya Politik Dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 98.

Page 5: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

54

Baru, yaitu memajukan struktur politik baru, pembangunan masyarakat desa,

program pendidikan dan kebudayaan, dan program hubungan antar bangsa.

Sasaran pembangunan ekonomi yang sangat berhubungan dengan

stabilitas politik bisa dipahami asalkan disejajarkan pula dengan pemberian

kebebasan politik, karena pertumbuhan ekonomi hanya mungkin dicapai jika

ada stabilitas politik. Pengalaman negara-negara di Asia dan Afrika telah

membuktikannya. Hanya di kawasan Amerika Latin saja pertumbuhan

ekonomi bisa terjadi pada saat adanya ketidakstabilan politik.9

Rezim ini mengambil sikap pragmatik, dan ekonominya sangat

bergantung pada bantuan Barat,10 dan Jepang sehingga corak pembangunan

yang dipilih oleh Soeharto adalah pembangunan kapitalis,11 terjadilah

"westernisasi", terutama di kota-kota besar.

Adanya unsur "westernisasi" merupakan satu aspek yang tidak

mungkin dihindarkan di dalam modernisasi, sebagai langkah untuk

menjauhkan Indonesia dari pengaruh Komunisme. Di samping itu, seiring pula

dengan tujuan pembangunan Indonesia pada fase awal Orde Baru. Meminjam

pendapat Profesor M. Dawam Rahardjo, Indonesia melakukan pemodernan

melalui lima aspek: pendidikan di negara-negara Barat, bantuan pemberian

saham dan teknik, penanaman modal asing dan pemberian saham, pengaruh

media massa, dan pemindahan struktur lembaga dan ekonomi.12

9 Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah,

Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm.55. 10 Faisal Ismail, op. cit., hlm. 76. 11 Ibid. 12 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 375.

Page 6: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

55

Dengan demikian, tugas yang dibebankan kepada Orde Baru adalah

berat sekali. Oleh karena itu memerlukan perencanaan yang matang dengan

akurat, hati-hati, konsepsi yang tepat, strategi yang cocok, institusi yang

kokoh dan kepemimpinan yang didukung oleh "semua" pihak agar tidak

mengulangi kegagalan yang telah dialami oleh Orde Lama, serta memperoleh

bantuan keuangan dari negara-negara Barat. Ini juga berarti bahwa munculnya

Orde Baru merupakan satu peristiwa penting dalam perjalanan bangsa

Indonesia yang akan menentukan corak dan keberadaannya di masa

mendatang.

Apalagi, sebagai bangsa yang lama mengalami penjajahan dan

berpenduduk banyak dengan susunan masyarakat yang terdiri dari beragam

etnis, maka pemilihan corak sistem politik dan kebijakan yang tepat

merupakan satu hal yang penting. Jenis sistem politik juga ditentukan oleh

faktor historis, dan primordialistik.

Ciri nasionalisme dan kedaulatan rakyat ini mempunyai dua implikasi,

pertama, rakyat dari waktu ke waktu akan mengurangi ketergantungannya atau

hubungannya dengan pertalian kekeluargaan yang bersifat tradisional. Kedua,

seiring dengan asas kedaulatan rakyat maka rakyat mempunyai kekuatan

untuk menuntut hak-hak mereka agar diikut-sertakan dalam segala proses

politik dan dalam pembuatan keputusan politik. Di sini bisa timbul masalah,

yaitu konflik kepentingan di antara pemegang kekuasaan tradisional sebagai

pemimpin informal yang selama ini memainkan peran penting di dalam

Page 7: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

56

masyarakat dengan kelompok baru sebagai elite yang memegang

kepemimpinan formal.

Di dalam kasus Indonesia, elite baru ini terletak pada tiga kelompok:

yaitu pakar ekonomi yang membuat kebijakan; ABRI yang menstabilkan, dan

"birokrat" sebagai pelaksananya. Yang tergolong ke dalam pakar ekonomi bisa

juga disebut kelompok intelektual/inteligensia atau "teknokrat" yang

bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi.13

Pada masa awal Orde Baru ketiga kelompok ini memainkan peran

yang sangat penting. Ini merupakan sesuatu yang wajar. ABRI dan birokrasi

merupakan kekuatan yang selalu wujud (inherent) di dalam sejarah politik

Indonesia setelah Perang Dunia Kedua. Begitu pula kelompok intelektual telah

berperan sejak zaman pergerakan awal abad ke-20. Meminjam pendapat M.

Rusli Karim bahwa di dalam pergerakan nasionalis masyarakat kelompok

intelektual selalu berfungsi sebagai penggeraknya, sehingga pergerakan

nasional pun tiada lain adalah pergerakan kelompok intelektual itu sendiri.14

Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah kecenderungan ketiga

kelompok di atas untuk "meminggirkan" ("marginalized") elite tradisional.

Modernisasi dan pembangunan ekonomi tampaknya tidak terlalu memerlukan

khidmat dari kelompok elit tradisional. Dengan perkataan lain, salah satu

kesan negatif dari modernisasi dan pembangunan ekonomi adalah

peminggiran elite tradisional. 15

13 Faisal Ismail, op. cit., hlm. 108. 14 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 58. 15 Ibid.

Page 8: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

57

Perkara seperti ini adalah wajar, bahwa kesan lain dari proses

modernisasi bisa menimbulkan sentralisasi, birokratisasi dan meningkatnya

kekuasaan negara. Negara menjadi begitu kuat, yang bermakna: pertama,

memperlemah kekuatan-kekuatan lawan yang bisa menentang atau

mempengaruhi arah kebijakan negara; kedua memperketatkan pengawasan

terhadap pembuatan keputusan; dan ketiga membangun kemampuan

manajerial negara. Kecenderungan politik dan ekonomi diarahkan untuk

memperkukuhkan pemerintah pusat, dan kuatnya pemerintah pusat ini belum

pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.16

Kuatnya kedudukan negara ini diakui oleh mantan Sekretaris Jenderal

Golongan Karya (Golkar) Sarwono Kusumaatmadja,17 bahwa selama era Orde

Baru pemerintah merupakan satu-satunya institusi politik yang berpengaruh.

Di dalam perkembangan berikutnya diharapkan secara perlahan-lahan akan

muncul institusi-institusi lainnya seiring dengan peran, fungsi dan mutunya

masing-masing.

Dengan makin dominannya ABRI dan teknokrat maka kemungkinan

makin terancamnya kedudukan politik umat Islam tidak bisa dielakkan, karena

ABRI sendiri mempunyai persepsi yang sangat negatif terhadap Islam.

Menurut Yahya Muhaimin kelompok "inteligensia" dan "teknokrat" ini

pulalah yang akan mengatasi kelemahan-kelemahan tentara yang cenderung

melakukan tindakan-tindakan merugikan dalam melaksanakan

16 Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998, hlm. 108-110. 17 Sarwono Kusumaatmadja, Sketsa Politik Orde Baru, Bandung: Alumni, 1988,

hlm. 38-39.

Page 9: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

58

pembangunan.18 Di antara mereka ini ada yang telah bekerja dalam merancang

pembangunan ekonomi sejak era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin, dan

ada pula yang baru diangkat pada era Orde Baru.19

Bahkan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo adalah bekas pemimpin

kanan Partai Sosialis Indonesia yang selama era Orde Lama mengungsi ke

Malaysia karena dimusuhi oleh Soekarno karena keterlibatannya dalam

pemberontakan PRRI juga diberi kedudukan penting sebagai Menteri

Perdagangan. Pikiran mereka sesuai dengan garis Amerika. Kelompok

"inteligensia" dan "teknokrat sekular" ini juga biasa disebut "Mafia

Berkeley",20 karena kebanyakannya adalah lulusan dari University of

California Berkeley.

Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa kelompok intelektual

bertanggungjawab atas terbentuknya sistem sosial dan politik yang

autoritarian. Perencanaan ("engineering") politik Orde Baru ditempuh dengan

cara institusionalisasi ("institutionalize") dengan pembentukan partai-partai

politik, mengekalkan atau membiarkan rakyat mengambang

("floating.mass"),21 dan mengawasi setiap jenis perwakilan politik, termasuk

kelompok intelektual pemuda, mahasiswa dan media massa. Dalam konteks

ini, langkah memasukkan Angkatan Darat ("army", untuk selanjutnya disebut

ABRI), kelompok-kelompok profesional, dan pelaku bukan partai adalah jelas

18 A. Yahya Muhiamin, Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980,

Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 122. 19 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 59. 20 A. Yahya Muhaimin, op. cit., hlm. 122. 21 Taufiq Nugroho, op. cit., hlm. 88.

Page 10: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

59

dimaksudkan untuk menentang baik kelompok muslim ataupun kelompok

nasionalis.

Soeharto sendiri, seperti halnya Soekarno tidak mempunyai "akar

umbi" kepartaian. Ia menduduki tingkat ke-10 dalam barisan kepemimpinan

ABRI. Meminjam pendapat Nishihara tampaknya Orde Baru telah mempunyai

strategi yang tepat untuk melemahkan partai politik dengan cara memojokkan,

menjinakkan dan akhirnya ditinggalkan orang, yaitu dengan cara menekankan

pembangunan ekonomi secara besar-besaran sambil "mendepolitisasikan”

suasana politik yang tegang. 22

Dengan begitu partai-partai politik tidak dapat melakukan

perbincangan ideologis melainkan ditarik ke dalam kerangka yang diciptakan

oleh pemerintah yang menekankan pada kebijakan ("policy"). Kalaupun ada

ideologi, hanya berasaskan pada "developmentalisme". Maka apa yang dialami

oleh umat Islam di zaman Orde baru ini adalah mengulang pengalaman pahit

masa lalu. Yang berbeda barangkali adalah caranya.

Oleh karena itu, di samping berbagai langkah seperti telah diuraikan

terdahulu, ada empat tindakan yang dilakukan Orde Baru untuk menciptakan

keamanan internal: manipulasi-manipulasi politik, pengawasan penduduk,

menyapu bersih lawan yang memberontak, dan ketakutan yang direkayasa

("calculated terror").23

Dari uraian singkat di atas telah diperoleh gambaran umum tentang

sasaran yang menjadi tujuan Orde Baru, terutama dalam hubungannya dengan

22 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 60. 23 Ibid, hlm. 61.

Page 11: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

60

usaha membangun ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik. Berikut ini

akan dikemukakan beberapa pandangan para pakar dalam menggambarkan

proses terbentuknya Orde Baru dan kebijakan yang digariskannya untuk

mencapai tujuan politiknya.

B. Ciri-Ciri Utama Kebijakan Orde Baru

Menurut Hikam, dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan

dependensi dan strukturalis berpendapat bahwa pembentukan negara Orde

Baru adalah disesuaikan dengan proses pembentukan "kapital" yang tidak bisa

dipisahkan dari proses "transnasionalisasi". Di sini negara terutama

dipandang sebagai kekuatan yang memainkan peran sebagai "alat" dari

kelompok elite yang terdiri dari kelas borjuis, tentara dan para "teknokrat"

sekuler.24

Dalam usahanya untuk memperkokoh dan menstabilkan kekuasaan

politik serta mencapai sasaran-sasaran politiknya, rezim Orde Baru

menetapkan empat (4) metode ; pertama memberi peran dan posisi khusus

pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan

sosial politik (dwifungsi) dalam politik Indonesia, kedua, memperlakukan

golkar sebagai anak emas, ketiga meluncurkan kebijakan sistematis

depolitisasi semua kekuatan sosial-politik dan keempat mengisi Badan

24 M. AS. Hikam, “Khittah dan Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah kajian

Historis Struktural Asas NU sejak 1984”, dalam Dharwis, Gus Dur dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 99.

Page 12: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

61

Perwakilan negara dalam dua cara, dengan menunjukkan wakil-wakilnya dari

atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum. 25

Dari perspektif yang agak berbeda, Liddle sebagaimana dikutip oleh

Rusli Karim berpendapat bahwa ada tiga ciri menonjol Orde Baru yang

membuat orang bersikap optimistik terhadap kemungkinan berhasilnya rezim

ini.

Pertama, menonjolnya golongan teknokrat, yaitu pakar ekonomi

profesional berpendidikan Barat. Kedua, dominasi ABRI pada politik tingkat

tinggi dan tiadanya oposisi sehingga stabilitas politik bisa terjamin. Ketiga,

birokrasi yang kompak.26

Ciri khusus bentuk ideologis rezim ini mengandung tiga unsur:

developmentalis, teknokratik nasionalis dan militeristik. Di samping itu, bagi

rezim ini respon politik diikuti dengan ekspansi ekonomi, baik sebagai sebab

("cause") ataupun sebagai akibat ("effect").

Menurut Munir Mulkhan, Ciri pokok pemerintahan Orde Baru, adalah

pengembangan politik Pancasila, dan perencanaan perubahan masyarakat

secara bertahap yang tertuang di dalam konsepsi Pembangunan Nasional.27

Abdul Aziz Thaba menggambarkan pengawasan politik yang

dilakukan oleh Soeharto dan kawan-kawannya mencakup empat langkah,

pertama militer sebagai kekuatan poltik dominan, kedua pembangunan

25 Faisal Ismail, op. cit., hlm. 112. 26 Lihat M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 62. 27 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam

1965-1987, Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989, hlm. 85.

Page 13: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

62

ekonomi sebagai prioritas, ketiga stabilitas poltik, keempat terbentuknya

hegemoni sistem partai. 28

Menurut Profesor Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sebagaimana dikutip oleh

Rusli Karim mengemukakan strategi yang lebih kentara yang dilakukan oleh

tentara untuk memperkuat kedudukannya dengan dasar penggabungan yang

dilindungi ("patronage incorporation"), yaitu didasarkan pada kemampuannya

mempertahankan pengawasan terhadap langkah pemusatan mobilisasi dan

penggalian sumber dengan cara meng"kooptasikan" kepada, atau

mengeluarkan dari akses kepada pusat dan sumber-sumber dasar-dasar

penggalian dan kedudukan-kedudukan birokratik, untuk memperoleh

kepatuhan dari, terkecuali, atau mengeluarkan kelompok-kelompok di dalam

dan di luar lingkungan yang berkuasa dalain masa yang cepat.29

Dan dengan perlindungan tersebut menurutnya maka kekuasaan tentara

dalam pemerintah Orde Baru didukung bukan saja oleh jaringan kekuasaan

yang kuat tetapi juga oleh jaringan ekonomi yang kuat pula.

Arief Budiman mengajukan aspek yang lain, terutama dari proses

tersingkirnya kelompok di luar pendukung pemerintah, Menurutnya,

pemerintah Orde Baru didirikan atas dukungan gabungan dari kekuatan-

kekuatan masyarakat yang anti-komunis, yaitu kelompok tentara, kelompok

Islam dan kelompok borjuis yang tersingkir pada masa Soekarno. Lama

kelamaan kelompok tentara ini bertambah kuat dan akhirnya muncul sebagai

28 Abdul Azis Thaba, op .cit., hlm 189-206. 29 Lihat M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 63.

Page 14: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

63

pemimpin, dan kelompok lainnya berhasil disingkirkan. Tentara tidak lagi

menginginkan gabungan dengan kelompok lain, termasuk Islam.30

Sedangkan menurut Afan Gaffar ada empat tahapan yang dilakukan

rezim Orde Baru untuk mewujudkan hegemoni politik: (1) tahap unifikasi

sederhana; (2) tahap pembangunan industri; (3) tahap pencapaian

kemakmuran yang merata; (4) tahap otomatisasi.31 Dengan demikian untuk

menghegemoni partai politik terhadap keberadaan politik Islam (Islam

ideologi) akan tersingkir dengan sendirinya karena yang diprioritaskan bukan

partai politik akan tetapi stabilitas politik dan ekonomi guna tercapainya

stabilitas pembangunan negara.

Ciri utamanya adalah sering mempergunakan "kooptasi" dan "koersi".

Partai politik dan kelompok kepentingan pada umumnya hanya memainkan

peran "kedua" ("secondary") dan tidak lagi mempunyai kekuatan. Pemusatan

kekuasaan di tangan pemerintah tersebut menurut Franz Magnis-Suseno

bersumber dari tujuh faktor: nasionalisme Indonesia, pengalaman sejarah masa

lalu, birokratisasi kehidupan masyarakat, pembangunan dari atas, pendekatan

keamanan, dampak kebudayaan Jawa, dan sentralisasi dan pamrih. Pemusatan

kekuasaan ini merupakan satu aspek yang negatif dari budaya politik Jawa

yang menjadi pegangan Orde Baru, yang salah satu cirinya adalah "pemimpin

yang baik" dan "rakyat yang patuh". 32

30 Arif Budiman, Negara dan Pembangunan: Study tentang Indonesia dan Korea Selatan,

Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hlm. 50. 31 Afan Gaffar, Beberapa Aspek Pembangunan Politik, Jakarta: Rajawali, Cet. ke-2, 1989,

hlm. 59. 32 F. M. Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: butir-butir Pemikiran Kritis, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 172-173.

Page 15: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

64

Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Eep Saefulloh,

menurutnya kepemimpinan politik Orde Baru tidak terlepas dari karakter

kepemimpinan politik budaya jawa yaitu: hierarki serta pengaturan posisi dan

peran para pembantu; kontrol dan partisipasi politik; dan pengendalian dalam

proses pengambilan keputusan. Dari ketiga corak tersebut, yang tampak

adalah bahwa kepemimpinan presiden Orde Baru memiliki kekuasaan yang

konkret luas dan cenderung memusat.33

Untuk itu diciptakan pula pendekatan pembangunan, yang bergaya

"top – down" dan birokratik dengan kekuasaan yang terpusat sepenuhnya pada

pemerintah serta menghilangkan sama sekali pengaruh partai politik. Di dalam

praktiknya kekuasaan di Indonesia partai politik dan rakyat ("public")

mempunyai peran yang relatif kecil yang berbeda dengan sistem yang lebih

bersifat perwakilan.

Mekanisme politik demikian ternyata berhasil dipraktekkan oleh

Soeharto, selama tiga dasawarsa perjalanannya negara Orde Baru, yang

menurut R. William Liddle menyerupai sebuah piramida yang dipuncaknya

dia bertengger, sementara institusi-institusi kenegaraan yang lain - Golkar,

Militer dan Birokrasi – diposisikan sebagai kaki-kaki penyangga piramida

Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan hampir sepenuhnya berada

dibawah kontrol Presiden.34

33 Eep Saefulloh Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru (masalah dan masa

depan demokrasi terpimpin), Bandung: Rosda Karya, Cet. ke-2, hlm. 43-52. 34 R. William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, dalam Akhmad Arif

Junaidi, “Kompilasi Hukum Islam dan Lintas Sejarah Pergulatan Politik”, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan hukum Islam “Al Ahkam”, Volume XV, Edisi ke-1, April, 2004., hlm. 12-13.

Page 16: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

65

Selain itu, Soeharto dikelilingi oleh sekelompok pejabat tinggi tentara

(perwira) yang patuh kepadanya, yaitu mereka yang mempunyai hubungan

yang sangat erat dengannya, dan dari kelompok abangan seperti Ali Moertopo,

Ibnu Sutowo, Sudjono Humardani dan Sudharmono. Jumlah "perwira" dari

Jawa telah meningkat dari 50 person menjadi 70 persen. Semua Jenderal ini

patuh mengikuti garis yang telah digariskan oleh Soeharto.35

Sejak itu pula kekuasaan negara secara perlahan-lahan makin terpusat

di tangan Soeharto. Tindakan yang diambil Soeharto untuk melumpuhkan

kekuatan massa dan terutama partai politik melebihi dari apa yang berlaku

pada masa Orde Lama. Pada masa tersebut, Soekarno masih memerlukan

partai politik dan massa untuk menghadapi perluasan pengaruh ABRI,

sehingga partai-partai politik, perhimpunan dan pergerakan yang bersendikan

masyarakat sipil bisa melakukan kegiatan dan mempunyai pengaruh di dalam

masyarakat.

Dengan perkataan lain, sampai akhir 1960-an sistem politik benar-

benar merupakan struktur autoritarian dan "monolitik". Pengaturan politik

pada masa ini mempunyai dua tujuan sekaligus; memperkuat negara dan

memperlemah partai-partai politik, dengan langkah-langkah "departy-ization"

dan "Golkarization" oleh karena ABRI sendiri tidak menginginkan setiap

peran yang dimainkan oleh partai berdasarkan pada pengalaman pahitnya pada

masa lalu.

35 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 70.

Page 17: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

66

Partai dianggap sebagai pencetus kerusuhan yang tidak

bertanggungjawab dan juga sebagai kelompok pencari kekuasanan yang

"oportunis" serta menimbulkan keributan ekonomi dan ketidakstabilan politik.

Sikap anti-partai ini juga menimpa kelompok sipil, termasuk intelektual,

profesional dan mahasiswa. Bahkan kelompok intelektual ber-pandangan

bahwa pembangunan ekonomi akan gagal jika rezim ini beraliansi dengan

partai politik. Inilah yang menurut Abdul Azis Thaba disebutnya sebagai

hubungan antagonis. 36

C. Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Politik Islam

1. Pengebirian Partai Politik Islam

Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan

pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama

tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-

pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-

benar disudutkan. Karena merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-

kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar,

organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil

menghancurkan PKI dan menjatuhkan rezim Soekarno, mereka sudah

memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik

nasional.37

36 Abdul Azis Thaba, op. cit., hlm. 240. 37 Al-Chaidar, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total, Jakarta:

Darul falah, Cet. ke-4, 1999, hlm. 32.

Page 18: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

67

Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh

Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar harapan

mereka bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh

karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal

Muslimin didirikan untuk merealisasikan harapan itu.38

Rupanya harapan itu tinggal harapan, pemerintah Orde Baru

keberatan atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke arena politik

dan menolak rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan ketakutan-

ketakutan bahwa jika Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik

Indonesia akan mengulang pengalaman masa lalu, dimana Masyumi

merupakan oposisi abadi dan penentang ideologi Pancasila dan UUD

1945.

Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI (pendukung utama

pemerintahan Orde baru)39 pada tanggal 21 Desember 1966 mengeluarkan

pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI

(ekstrim kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan

ABRI akan menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang

dari dokumen-dokumen tersebut.40

Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru mengesahkan pendirian

Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah aspirasi politik

38 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hlm. 37. 39 Adeng Muchtar Ghazali, op. cit., hlm.126. 40 Faisal Ismail, op. cit., hlm. 122.

Page 19: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

68

umat Islam yang belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan Golkar,

tetapi dengan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.41

Yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan

bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi,

bahkan dilarang sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk

membatasi gerak politik bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah

melalui presiden Soeharto merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman

Harun (dua aktivis Muhammadiyah) sebagai pemimpin Parmusi.42

Di dalam perkembangan selanjutnya ternyata campurtangan

pemerintah menjadi satu ciri khas partai ini, ketika kongresnya yang

pertama di Malang memilih Mohammad Roem sebagai ketua partai ini

yang akhirnya tidak disetuhui oleh rezim. Rezim bisa mengganti

pimpinannya kapan saja, sesuai dengan keperluannya guna memperlemah

partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok “oportunis”, bahkan

“penjilat” di dalam tubuh Islam.43

Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok Islam,

menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Karim berpendapat bahwa

untuk mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat membantu bekas

pendukung, orang yang bersimpati atau anggota masyumi untuk

membentuk partai baru, Parmusi.44

41 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 132. 42 Al-Chaidar, loc. cit 43 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 111. 44 Ibid., hlm. 112.

Page 20: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

69

Dalam perjalanannya, pemerintah bagaimanapun membaca bahwa

dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang tergabung dalam

keluarga Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh kekhawatiran

Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai

dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara

serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri

mendukung manuver politik J. Naro S.H. bersama Imran Kadir untuk

melakukan pembajakan partai yaitu dengan menuduh Parmusi bersikap

menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan pemerintah menunjuk

HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru.45 Tindakan Naro selanjutnya

berusaha menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik

massa umat pendukungnya.46

Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam mengalami tekanan berat

dari rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik Golkar dan di

back-up oleh ABRI menerapkan empat metode: 1) memberi peran dan

posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi

juga kekuatan sosio-politik; 2) memperlakukan Golkar sebagai anak

emas; 3) meluncurkan kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan

sosial-politik; dan 4) mengisi Badan Perwakilan negara dalam dua cara,

dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka

melalui pemilihan umum.47

45 Akhmad Setiawan, op. cit., hlm. 110. 46 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 133. 47 Faisal Ismail, op. cit., hlm. 112.

Page 21: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

70

Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar

dalam Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua pegawai

negeri sipil untuk memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya

ditentukan oleh militer dan pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa

kecuali diharuskan menjadi anggota Sekber Golkar.48 Usaha lainnya

adalah melalui militer dengan menggunakan langkah-langkah koersif dan

kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum.49

Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam Pemilu ini dengan

mengantongi 62,80 % suara, karena relatif tidak terkena intervensi luar

NU berada diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36 %

suara, PSII 2,39 % suara dan Perti 0,70 % suara.50

Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu pertama memang telah

membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan perancangan politik

sesuai dengan yang diinginkannya51 karena Golkar bersama Golkar ABRI

dan Golkar non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan

mencapai angka 73,04 %.52

Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui

Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai

politik, yaitu dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971

untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai

Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai

48 Albert Widjaja, op. cit., hlm. 96. 49 Al-Chaidar, op. cit., hlm. 23. 50 Ibid., hlm. 35. 51 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 100. 52 Akhmad Setiawan, op. cit., hlm. 127.

Page 22: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

71

Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan

Kristen/Katolik; dan Golkar sendiri sebagai transformasi dari Sekber

Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H. yang cacat bagi Ummat Islam, tampil

sebagai salah seorang ketua PPP bersama Mintareja dan Idham Cholid53

Dengan adanya penggabungan partai ini, semakin mempermudah

pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas politik

PPP, apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik internal

yang “mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”,

antara NU dengan Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP

yang berujung dengan keluarnya NU dari PPP (1984)54

Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu 1977, PPP memperoleh

29,9 % suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya dipandang

tidak menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro55 dengan berbagai usaha

kemudian dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil,

dengan resiko yang harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan

1987, pendukung PPP menyusut tajam khususnya pada tahun 1987.56

Menurut Liddle sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim, bahwa

kebijakan Pemerintah dengan penggabungan partai ini dikarenakan :

a. Partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program

53 Fusi partai-partai ini dilakukan pada tahun 1973 yaitu PPP (5 Januari 1973) dan PDI

(10 Januari 1973) lihat Faisal Ismail, op. cit., hlm. 126., yang kemudian diterbitkan UU No. 3 1973 sebagai landasan hukum penyederhanaan partai, lihat Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 134.

54 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 152-158. 55 Munculnya J. Naro, baik selama memimpin Parmusi maupun PPP bukanlah karena

kehebatan, pengalaman dan dukungan massa, melainkan karena didukung oleh pemerintah terutama melaui Ali Murtopo, May B., The Indonesian Tragedy, dalam M. Rusli Karim, ibid., hlm. 154.

56 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 126.

Page 23: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

72

b. Partai-partai memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat

baik pada tingkat elit ataupun massa

c. Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam

masyarakat

d. Para pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari

kesempatan untuk dirinya sendiri

e. Pemimpin-pemimpin partai terasing dari para pemilih yang

seharusnya mereka wakili

f. Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak terjadi pada

organisasi partai saja tetapi juga pada institusi-institusi lainnya

g. Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan

pemerintah berparlemen.57

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa langkah-langkah

pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain:

dengan melaksanakan kebijakan floating mass, restrukturisasi partai-

partai politik, memecah belah para pimpinan partai melalui operasi-

operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah (grass root)

dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.

2. Deideologi Politik Islam

Salah satu kebijakan umum Orde Baru dalam hal politik adalah

melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan

terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi

57 M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 73.

Page 24: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

73

komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan

dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.58

Kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa pluralisme

ideologi merupakan sumber konflik yang berkepanjangan.59 Demikian

pula kebijakan Orde Baru terhadap Islam, yaitu melemahkan Islam

sebagai ideologi yang menentang Pancasila sebagai falsafah negara atau

Islam sebagai altematif terhadap negara Pancasila. Dengan demikian

program ini tidak efektif untuk menggalang massa.60

Sebagai akhir dari penyelesaian konflik ideologi, disamping juga

untuk melemahkan keberadaan politik Islam, pemerintah berusaha

mencari landasan yang kuat secara hukum. Hukum merupakan

pelembagaan pandangan dan konsep serta kebijaksanaan politik

pemerintah. DPR dan MPR yang dikuasai pemerintah sepenuhnya

bersama ABRI dan Golkar, kemudian menyusun dan menetapkan

Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial-politik melalui

Ketetapan MPR no. II/1983. Lebih lanjut secara operasional ketetapan

MPR tersebut kemudian diundangkan dalam UU no. 3 dan 8 tahun 1985

yang mengatur penempatan asas Pancasila bagi organisasi sosial-politik

tersebut.61

58 Taufiq Nugroho, op. cit., hlm. 89. 59 Al-Chaidar, op. cit., hlm. 37. 60 Taufiq Nugroho, loc. cit. 61 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 127.

Page 25: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

74

Dengan diundangkannya UU no. 3 dan 8 Tahun 1985 tersebut,

berarti barakhir sudah kelangsungan politik Islam melalui jalur politik

praktis (struktural).

Orde Baru menganggap bahwa pergerakan Islam struktural ini

sebagai gerakan Islam yang menakutkan orang banyak dan berbahaya bagi

negara. Orde Baru menilai Islam struktural ini berbahaya karena

perjuangan struktural ini tujuan akhirnya adalah menguasai parlemen dan

ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.62

Indikator-indikator tersebut diatas tampak jelas sejak awal Orde

Baru mulai memegang kendali kekuasaan Indonesia. Ketika umat Islam

mengadakan kongres umat Islam di Malang tahun 1968, dimana salah satu

keputusannya adalah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI).

Namun demikian Orde Baru menolak Muhammad Roem sebagai pimpinan

partai tersebut denga alasan bahwa dia adalah bekas Partai Masyumi.63

Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang, maka ditunjuklah HMS

Mintareja sebagai pimpinan PARMUSI.64 Pemerintah Orde Baru juga

menolak untuk merehab Partai Masyumi. Jenderal Soeharto dalam

suratnya mengatakan bahwa alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan

psikologis telah membawa ABRI pada suatu pendirian bahwa ABRI tidak

mau merehabilitasi bekas partai politik Masyumi.65

62 Abdul Aziz Thaba, op. cit., hlm. 246-249. 63 Ibid. 64 Ibid. 65 Ibid

Page 26: BAB III rev - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1... · masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan ... menjauhkan kepentingan

75

Dan melalui UU No. 3 tahun 1985, PPP sebagai satu-satunya

wadah aspirasi politik umat Islam diwajibkan menerima Pancasila sebagai

satu-satunya asas. Dengan diterimanya asas tunggal tersebut, maka PPP

harus mengganti dengan asas Pancasila dan lambang Ka’bah diganti

dengan lambang bintang. Pada tahun 1985, Orde Baru mengesahkan

Undang Undang Organisasi Politik dan Organisasi Masyarakat. Undang-

undang tersebut secara ringkas mewajibkan pancasila sebagai satu-satunya

asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Organisasi Politik

dan Organisasi Masyarakat, dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-

satunya asas, maka hilang sudah kekhawatiran lahirnya ideologi Islam

sebagai ideologi tandingan.