BAB III okkk.docx
-
Upload
ahmad-willy-anton -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
Transcript of BAB III okkk.docx
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Infeksi Odontogen
3.1.1 Definisi Infeksi Odontogen
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari
gigi yang berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi
pada region orofacial adalah odontogenik. Infeksi odontogenik merupakan
pemyakit yang paling umum sedunia dan merupakan alasan mencari perawatan
dental (Fragiskos,2007).
Infeksi odontogenik adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang
merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, sulcus gingival,
dan mukosa mulut yang dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis
yang mencapai jaringan lebih dalam yaitu melalui nekrosis pulpa dan poket
periodontal dalam (Gordon,1996).
3.1.2 Etiologi Infeksi Odontogen
Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu
bakteri dalam plak, dalamsulkus gingiva, dan mukosa mulut. Yang terutama
ditemukan bakteri kokus aerob, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob
gram negatif. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada
pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus,
Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides (Prevotella) melaninogenicus, and
Fusobacterium. Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob, biasanya
organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Yang terpenting adalah
infeksi ini disebabkan oleh berbagai macam-macam bakteri, baik aerob maupun
anaerob (Roberto,2007).
Faktor yang berperan terjadinya infeksi
1. Virulensi dan quantity
Dirongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis.. Patogenitas bakteri
biasannya berkaitan dengan 2 faktor yaitu virulensi dan quantity. Virulensi
berkaitan dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan
produk-produk lainnya. sedang quantity adalah jumlah dari mikroorganisme yang
4
5
dapat menginfeksi host dan juga berkaitan dengan jumlah faktor-faktor yang
bersifat virulen.
2. Pertahanan tubuh lokal
Pertahan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi, berupa
kulit dan mukosa yang utuh, penahan masuknya bakteri ke jaringan dibawahnya.
3. Pertahanan humoral
Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh
lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen
utamannya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah antibodi
yang melawan bakteri yang menginvasi dan diikuti proses fagositosis aktif dari
leukosit. Imunoglobulin diproduksi oleh plasma yang merupakan perkembangan
dari limfosit B. Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral
lainnya, merupakan sekelompok serum yang diproduksi dihepar dan harus
diaktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen adalah dalam proses
pengenalan bakteri, proses kemoktasis oleh polimorfonuklear leukosit yang dari
aliran darah ke daerah infeksi selain itu untuk proses opsonisasi untuk membantu
mematikan bakteri.
4. Pertahanan selular
Mekanisme pertahanan selular berupa sel fagosit dan limfosit. Sel fagosit yang
berperan dalam proses infeksi adalah leukosit polimorfonuklear. Limfosit akan
membentuk antibodi yang spesifik seperti ig G.
3.1.3 Klasifikasi Infeksi Odontogen
Jalur masuk infeksi odontogen ada 3, yaitu, perikoronal, periapikal, dan
periodontal (Richard, dkk., 1981).
Jenis Infeksi Odontogen
1 Pericoronitis
Definisi
Pericoronitis didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di dalam rongga
mulut dan mengeluarkan simtom. Secara klinis, perikorontis seperti abses
periodontal namun begitu, etiologik nya berbeda. (Topazian et. al.,2002). Jadi,
kata perikoronitis secara harfiah berarti "infeksi di sekitar bagian mahkota gigi."
(Peterson et. al.,2003)
Gambar 2.1 : Abses periapikal
6
Gambaran Klinis dan Diagnosa.
Perikoronitis dapat memberi efek terhadap molar ketiga kerana kasus
impaksi banyak terjadi pada molar ketiga dan ia terletak pada pinggir anterior
mandibular. Oleh karena itu, kasus impaksi molar ketiga banyak terjadi pada usia
dewasa muda. (Peterson et. al.,2003)
Perikoronitis akut mulanya terjadi sebagai kesakitan yang terjadi secara
local dan pembekakan gingiva. Kesakitan in dapat dirasai pada bahagian muka,
telinga atau sudut pada mandibular. Apabila dilakukan diagnosa secara visual dan
palpasi, terdapat pembekakan, inflamasi, dan bahagian lunak pada jaringan lunak
yang terletak disekeliling koronal termasuk oklusal. (Topazian et. al.,2002)
Inspeksi menunjukkan terdapat akumulasi plak dan debris pada porsi yang
terdedah pada gigi yang terinfeksi dan juga gigi tetangga karena jaringan lunak
yang mengalami infeksi tersebut menghalang sikat gigi untuk mencapai daerah
tersebut. Pus dapat terlihat dibawah margin jaringan perikoronal atau dapat
dikeluarkan apabila dilakukan palpasi. (Topazian et. al.,2002),
2 Abses
Menurut (Angel, dkk., 2002), abses dibagi menjadi:
1.Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah
periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi
akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode
laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan
dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga
bisa berasal sistemik (bakteremia).
7
1.1 Abses Apikalis Akut
Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan periapikal gigi,
yang disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis akut disebabkan masuknya
bakteri, serta produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi.(ingel) Abses
apikalis akut ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah,
dan pembengkakan. Pembengkakan biasanya terletak divestibulum bukal, lingual
atau palatal tergantung lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikialis akut juga
terkadang disertai dengan manifestasi sistemik seperti meningkatnya suhu tubuh,
dan malaise. Tes perkusi abses apikalis akut akan mengahasilkan respon yang
sangat sensitif, tes palpasi akan merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas tidak
memberikan respon.
Gambar 2.2. Gambaran radiografi dari abses periapikal akut
1.2 Abses Apikalis Kronis
Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang
berjalan lama yang kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis
kronis disebabkan oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat
juga disebabkan oleh abses akut yang sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan
pus yang terbentuk dalam jaringan. Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel
jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau
benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme dan sel darah. Abses
apikalis kronis merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan untuk mencegah
infeksi menyebar kebagian tubuh lainnya.
Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa gejala yang
subjektif, hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografis atau dengan
adanya fistula didaerah sekitar gigi yang terkena. Fistula merupakan ciri khas dari
abses apikalis kronis. Fistula merupakan saluran abnormal yang terbentuk akibat
drainasi abses. Abses apikalis kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak
memberikan respon nonsensitif, Sedangakn tes vitalitas tidak memberikan respon.
Gambar 2.3 :a. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan lokalisasi di
a b
8
Gambaran radiografis abses apikalis kronis terlihat putusnya lamina dura hingga
kerusakan jaringan periradikuler dan interradikuler.
2. Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak
mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral,
warna kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit
yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila
berasal dari gigi premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi
sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada
sentuhan atau tekanan.
daearah lingual b. Tampakan Klinis Abses Subperiosteal
3. Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan
abses subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa
setelah periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan
pembengkakan bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan
ekstra oral kadangkadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada
palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka
sulkus nasolabial mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang
pembengkakan pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar dan
sakit pada palpasi.
a b
Gambar 2.5 :
a. Ilustrasi abses Fossa kanina
a b
9
Gambar 2.4 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi
didaerah bukal.b. Tampakan klinis Abses Submukosa
4. Abses fosa kanina
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang
atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya
akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada
muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga
tampak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang
tegang berwarna merah.
b. Tampakan klinis Abses Fossa kanina
5. Abses spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m.
Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot
pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses
dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam
spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan menonjol ke
arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi
negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat
a
a b
10
turun ke spasium terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak
pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan.
Gambar 2.6 : a. Ilustrasi gambar memperlihatkan penyebaran abses
lateral ke muskulus buccinators. b. Tampakan Klinis
6. Abses spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah
dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus
mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh
m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula,
milohioid, lingual, businator, dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid
dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.
Gambar 2.7 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal.
b. Tampakan klinis
7. Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah
11
sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah
dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian
tengah dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan
tipis lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga
rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian
dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat,
toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar
dan sakit pada penekanan.
a b
Gambar 2.8 : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke
daerah submasseter. b. Tampakan klinis
8. Abses spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya
dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang
mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior
oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke
dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar
ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris
eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses
periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar
mandibula.
12
a b
Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah
submandibular di bawah muskulus mylohyoid. b. Tampakan klinis
9. Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh
permukaan lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah
terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak
menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan
mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit.
a b
Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual .b.
Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi lidah ke arah
berlawanan
10. Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya
melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses
kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat
13
berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau
premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir
akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan
intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi
penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat
menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah belakang.
a b
Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental . b.
Tampakan klinis
11. Abses spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid
interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor. sebelah belakang oleh
glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur
yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi
arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal,
glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.
Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai
foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak,
meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui
selubung karotis sampai mediastinuim.
3. Granuloma
Periapikal granuloma merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan
perkembangan yang lambat yang berada dekat dengan apex dari akar gigi,
biasanya merupakan komplikasi dari pulpitis. Terdiri dari massa jaringan
inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul fibrous yang merupakan
ekstensi dari ligamen periodontal
14
Granuloma periapikal dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada pulpa yang
berlanjut hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang mengenai jaringan
periapikal. Iritan dapat disebabkan oleh organisme seperti: bakteri dan virus; dan
non-organisme seperti: iritan mekanis, thermal, dan kimia. Penelitian yang
dilakukan terhadap spesimen periapikal granuloma, sebagian besar merupakan
bakteri anaerob fakultatif dan organisme yang tersering adalah Veillonella species
(15%), Streptococcus milleri (11%), Streptococcus sanguis(11%), Actinomyces
naeslundii (11%), Propionibacterium acnes (11%), dan Bacteroides species
(10%).3 Sedangkan faktor non-organisme adalah karena iritan mekanis setelah
root canal therapy, trauma langsung, trauma oklusi, dan kelalaian prosedur
endodontik; dan bahan kimia seperti larutan irigasi.
4. Kista
Suatu rongga patologis , berisi cairan kista, dibatasi dinding epitel. Lesi
radiolusen terbanyak kedua setelah granuloma
Gambaran radiografik:
Secara umum radiolusen berbatas jelas/radiopak (cortical layer).Bila kista
mengalami keradangan batasnya menjadi kabur. Macam kista:
Kista odontogen : 1. Kista radikuler
2. Kista dentigerous
3. Kista residual
4. Odontogenic keratocyst
5. Kista lateral periodontal
Kista non odontogen : 1. Kista kanalis nasopalatina
2. Kista nasoalveolar
3 Periodontitis apikalis
15
Periodontitis apikal dapat didefinisikan sebagai peradangan semua struktur
pendukung gigi di daerah sekitar apeks gigi. Inflamasi periapikal biasanya
disebabkan oleh infeksi gigi yang khas menyebabkan sakit gigi dalam soketnya.
Hal ini sering disertai dengan kerusakan tulang dan kadang-kadang, apeks akar
gigi. Namun jaringan periapikal memiliki kemampuan untuk menyembuhkan jika
penyebab peradangan dihapus. Periodontitis periapikal dapat dibagi menjadi
periodontitis apikal akut dan kronis. Macam Periodontitis Apikalis:
1. Periodontitis Apikalis Akut
Periodontitis apikalis akut adalah suatu keradangan akut dari jaringan
periodontal dan tulang di daerah apical gigi. Gejala subjektif dari periodontitis
apikalis akut berupa sakit yang sangat, terutama bila gigi yang bersangkutan ini
digunakan untuk menggigit, selain itu gigi yang bersangkutan terasa lebih
menonjol. Pada pemeriksaan klinis, gigi yang mengalami periodontitis apikalis
akut sudah non-vital, pada pemeriksaan perkusi dan juga drug terasa sakit sekali.
Sakit ini disebabakan oleh adanya keradangan yang terdapat di jaringan
periapikal.
2. Periodontitis Apikalis Kronis
Periodontitis apikalis kronis adalah suatu keradangan kronis pada jaringan
periapikal gigi yang biasanya merupakan kenajutan dari periodontitis apikalis
akut. Namun periodontitis apikalis kronis ini biasanya merupakan kelainan yang
terjadi sejak awal tanpa menunjukkan gejala akut terlebih dahulu. Hal ini bias
diakibatkan oleh karena infeksi periapikal yang ada sifatnya ringan, atau bias juga
karena resistensi jaringan cukup baik, atau gabungan keduanya. Rasa sakit yang
timbul biasanya berupa keluhan kemeng atau kadang-kadang tidak ada keluhan
sama sekali. Pada pemeriksaan klinis didapatkan berupa gigi yang telah nonvital,
pada pemeriksaan perkusi dan drug bias didapatkan keluhan rasa sakit berupa
kemeng atau sama sekali tidak ada respon sakit.
3.1.4 Tahapan Infeksi Odontogen
Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka
menjalani resolusi (Li dkk., 2000):
1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan
adonannya konsisten.
16
2. Antara 5 sampai 7 hari – tengahnya mulai melunak dan abses merusak kulit
atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin dapat
dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.
3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah pembedahan
secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang terlibat kokoh/tegas
saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan jaringan dan jaringan
bakteri.
3.1.5 Mekanisme Infeksi Odontogen
Sumber Infeksi Odontogen
1. Periodontium: Jaringan untuk mengikat gigi didalam tulang alveolus.
Jalur periodontal merupakan jalur dari hasil inokulasi bakteri pada periodontal
poket. Pada serabut periodonsium yang mengalami kerusakan, gigi akan goyang,
dan kuman-kuman akan lebih mudah mencapai daerah ujung akar gigi dan masuk
saluran darah. Pyorhea (gejala keluarnya nanah dari satu gusi yang berasal dari
peradangan karena rusaknya periodonsium) (Ariji et al., 2002).
2. Periapikal : Ujung dari akar gigi.
Penyebab yang berasal dari periapikal adalah yang paling sering karies gigi
atau gigi berlubang yang tidak dirawat atau dibiarkan saja lama kelamaan dapat
menyebabkan infeksi periapikal. Infeksi periapikal yang kronis dapat
menyebabkan terbentuknya granuloma, kista, dan abses (Ariji et al., 2002).
Pulpa gigi yang nekrosis akibat karies profunda member jalan bagi bakteri
untuk masuk kedalam jaringan periapikal. Infeksi akan menyebar kedaerah yang
minimal resistensi (Ariji et al., 2002).
3. Perikoronal
Jalur ini sebagai hasil dari terperangkapnya sisa-sisa makanan di bawah
operkulum yang terjadi pada gigi yang tidak/ belum tumbuh sempurna (Ariji et
al., 2002).
Penyebaran Infeksi Odontogen
1. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan
17
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke
dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin
meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya
organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah (Robertson, dkk, 1996).
2. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya
dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah
menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis
pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi
anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang bawah (Robertson, dkk, 1996).
Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut
(Robertson, dkk, 1996):
Sumber Infeksi Kelenjar Getah Bening
Regional
Gingiva bawah Submaksila
Jaringan subkutan bibir bawah Submaksila, submental,
servikal profunda
Jaringan submukosa bibir atas
dan bawah
Submaksila
Gingiva dan palatum atas Servikal profunda
Pipi bagian anterior Parotis
Pipi bagian posterior Submaksila, fasial
(Robertson, dkk, 1996).
3. Peluasan langsung infeksi dalam jaringan
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu (Robertson, dkk,
1996):
Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan
osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada
rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling berdekatan antara sinus maksila
18
dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran
infeksi melalui tulang.
Perluasan di dalam tulang dengan pointing
Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan
tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan lunak dan kemudian
membentuk abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau
infraorbital. Selanjutnya, abses infraorbital dapat mengenai mata dan
menyebabkan edema di mata. Di rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan
abses bukal. Apabila pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut
terlibat atau pusa terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar
atau peritonsilar.
Perluasan sepanjang bidang fasial
Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang
membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena
adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi
dapat menurun.
Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan
klasifikasi dari Burman:
a) Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda
b) Regio submandibula
c) Ruang (space) sublingual
d) Ruang submaksila
e) Ruang parafaringeal
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas
jarinan dan spasia jaringan. Disini, pertama nanah terbentuk di tulang cancellous
dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan paling buruk.
Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal tergantung pada posisi gigi
dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus (Robertson, dkk,
1996).
Patogenesis Infeksi Odontogen
19
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya
karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi
pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa (nekrosis pulpa). Infeksi
odontogen dapat terjadi secara lokal maupun meluas secara cepat. Adanya gigi
yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis pada pulpa tidak dapat mendrainase pulpa yang
terinfeksi yang selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan
atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Li dkk.,
2000).
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal, kemudian terjadi proses
inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu
periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk
mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi
tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar (Li dkk., 2000).
3.1.6 Penatalaksanaan Infeksi Odontogen
Prinsip Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik
Insidiensi, kegawatan, setra kematian pada kasus infeksi odontogenik
menurun secara drastis 60 tahun belakangan semenjak ditemukannya penicillin
sebagai terapi pada infeksi odontogenik. Kemudian, Dr. Guralnick
mengaplikasikan prinsip-prinsip penting dari jalan keluarnya infeksi yaitu melalui
bedah agresif drainase yang disebabkan oleh abses atau selulitis (Fragiskos,
2007).
Belakangan ini, Dr. Larry Peterson menjadikan prinsip penatalaksanaan
infeksi odontogenik menjadi 8 langkah yang apabila diikuti dengan baik akan
menjamin tingginya tingkat perawatan. 8 Prinsip tersebut adalah (Fragiskos,
2007):
1) Tentukan Keparahan Infeksi
Dalam menentukan keparahan infeksi dari penderita, dokter wajib memeriksa
secara detail riwayat serta fisik pasien untuk mengetahui lokasi anatomis.
(Fragiskos, 2007).
20
a. Lokasi Anatomis
Lokasi spasia leher dan kepala dapat menentukan derajat keparahan dari
infeksi. Misalnya; spasia bukal, infra orbital dan periosteal dikategorikan dengan
tingkat keparahan yang rendah karena infeksi di spasia ini tidak mengganggu
saluran nafas (Fragiskos, 2007):
b. Progress Infeksi
Progres infeksi dapat kita dapatkan dari anamnesa onset penyakit, serta
tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada tabel (Fragiskos, 2007):
c. Saluran Nafas
Kasus kematian karena infeksi odontogenik paling banyak disebabkan oleh
obstruksi saluran napas. Jadi, dokter harus memperhatikan apabila infeksi
odonogenik menyebabkan gangguan saluran napas. Apabila terjadi obstruksi
saluran napas komplit, penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan intubasi
endotrakeal, trakeatomi. Sedangkan apabila terjadi obstruksi saluran nafas
inkomplit, yang harus dilakukan adalah dengan memosisikan pasien dengan posisi
‘sniffing’ yaitu ke atas dengan dagu diangkat (Peterson, 2004).
2) Evaluasi pertahanan host.
Dokter wajib mengetahui kondisi pasien apakah memiliki penyakit/ kelainan
sistemik atau tidak. Penyakit sistemik nantinya akan mengganggu bahkan lebih
membahayakan pasien, misalnya diabetes, terapi kortikosteroid, translantasi
organ, malnutrisi dan penderita AIDS (Peterson, 2004).
3) Tentukan pengaturan perawatan.
21
Wajib diperhatikan perawatan pada pasien, apakah pasien tersebut dapat
dirawat jalan atau wajib dirawat di RS. Berikut ini adalah tanda dan gejala yang
mengindikasikan pasien dirawat di rumah sakit (Peterson, 2004):
a. Teperatur > 38,80 C
b. Dehidrasi
c. Gangguan saluran pernafasan
d. Infeksi berat
e. Membutuhkan anestesi umum
f. Membutuhkan kontrol sistemik
4). Lakukan pembedahan.
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi
adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase
adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan
nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk
mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya
dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi
sebelum drainase pus tuntas (Peterson, 2004).
Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular
adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan
dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk
mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai penghilang sakit. Pencabutan
dilakukan setelah gejala akutnya mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan
(sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab.
Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan
sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam
keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi
ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi
osteomyelitis (Peterson, 2004).
Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah
terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit,
menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki
22
vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya
jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan
pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat
drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan
melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan
pencabutan gigi penyebab (Peterson, 2004).
Secara umum, pembedahan untuk inf odontogenik tidak sulit. Pertama-tama
dokter wajib mengetahui anatomi dari fasia-fasia yang terdapat pada kepala dan
leher. Jika sudah dapat dilakukan suatu insisi kecil. Berikut ini lokasi insisi pada
berbagai fasia (Peterson, 2004):
5) Dukungan Medis.
Perawatan medis suportif untuk pasien infeksi odontogenik adalah dengan
memperhatikan asupan nutrisi, memperhatikan hidrasi dan mengontrol gejala
demamnya (Peterson, 2004).
6) Pemberian anti biotik yang tepat.
Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan dengan
tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Terdapat dua faktor mikrobiologi yang
harus ada di dalam benak dokter gigi pada saat memilih antibiotik. Pertama,
antibiotik harus efektif melawan organisme Streptococcus selama bakteri ini
paling banyak ditemukan. Kedua, antibiotik harus efektif melawan bakteri
anaerobik sprektrum luas (Peterson, 2004).
23
Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap
organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun sayangnya antibiotik
jenis ini mengalami resistensi (Peterson, 2004). Penisilin dibagi menjadi penisilin
alam dan semisintetik. Penisilin alam memiliki beberapa kelemahan antara lain
tidak tahan asam lambung, inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan
sering menimbulkan sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap
penisilin. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik
antara lain amfisilin (sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak
oleh penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak
dirusak oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase) (Peterson, 2004).
Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah ampisilin dan
amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup memuaskan sehingga
perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik
daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin,
sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan
ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin
tidak (Peterson, 2004). Namun, akhir-akhir ini penggunaan metronidazole sangat
populer dalam perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki
aktivitas dalam melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob
(Peterson, 2004).
Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi yang
muncul akibat keradangan salah satunya disebakan oleh adanya infeksi
dentoalveolar yaitu masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui
jaringan dentoalveolar (Peterson, 2004). Untuk mengatasi hal tersebut biasanya
24
melalui pendekatan farmakologis dengan pemberian obat analgesik untuk
meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya kuat dan cepat dengan dosis
optimal. Pasien dengan nyeri akut memerlukan obat yang dapat menghilangkan
nyeri dengan cepat, efek samping dari obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya
(Peterson, 2004).
Gambar . Mekanisme aksi NSAIDs (non streroidal antiinflammatory
drugs)
Obat anti inflamasi non steroid (non streroidal antiinflammatory drugs/
NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer dan memiliki
aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis
prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (Peterson,
2004). Efek analgesik yang ditimbulkan ini menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi
mekanik dan kimiawi. Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia
kemudian mediator kimiawi seperti bradikini dan histamin merangsangnya dan
menimbulkan nyeri yang nyata (Peterson, 2004).
Efek analgesik NSAIDs telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah
pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi telah tampak dalam waktu satu-
dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul bervariasi dari 1-4
minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya di dalam darah dicapai
dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan (Peterson, 2004).
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai antiinflamasi, asam
mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat terikat
25
sangat kuat pada protein plasma. Oleh karena itu, interaksi terhadap obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering timbul
misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Dosis asam
mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari (Peterson, 2004).
7) Mengadministrasikan AB dengan benar.
Rute pemberian atau administrasi dari antibiotik haruslah tepat guna mencapai
target etiologi infeksi odontogenik tersebut. Misalnya dengan pemberian oral atau
intravena (Peterson, 2004).
8) Evaluasi Pasien secara Teratur.
Tindakan yang wajib dilakukan khususnya setelah tindakan bedah insisi dan
drainase adalah follow up pasien 2 hari setelah tindakan. Dilihat apakah
pembengkakan berkurang, gejala berkurang, dan sebagainya. Apabila kondisi
memburuk atau dapat dikatakan perawatan gagal, kemungkinannya dikarenakan
(Peterson, 2004):
a. Operasi tidak adekuat
b. Pertahanan tubuh yang lemah
c. Bagian tubuh yang asing
d. Masalah antibiotik
3.2 Ekstraksi Gigi
3.2.1 Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi Pencabutan Gigi
Gigi mungkin perlu di cabut untuk berbagai alasan, misalnya karena sakit gigi
itu sendiri, sakit pada gigi yang mempengaruhi jaringan di sekitarnya, atau letak
gigi yang salah. Di bawah ini adalah beberapa contoh indikasi dari pencabutan
gigi (Robinson, 2003)
1) Karies yang parah
2) Nekrosis pulpa
3) Penyakit periodontal yang parah
4) Alasan orthodontik
5) Gigi yang mengalami malposisi
6) Gigi yang retak
7) Pra-prostetik ekstraksi
26
8) Gigi impaksi .
9) Supernumary gigi
10) Gigi yang terkait dengan lesi patologis
11) Terapi pra-radiasi
12) Gigi yang mengalami fraktur rahang
13) Estetik
14) Ekonomis
b. Kontraindikasi Pencabutan Gigi
a. Kontaindikasi sistemik
1) Kelainan jantung
2) Kelainan darah. Pasien yang mengidap kelainan darah seperti
leukemia, haemoragic purpura, hemophilia dan anemia
3) Diabetes melitus tidak terkontrol sangat mempengaruhi
penyembuhan luka.
4) Pasien dengan penyakit ginjal (nephritis) pada kasus ini bila
dilakukan ekstraksi gigi akan menyebabkan keadaan akut
5) Penyakit hepar (hepatitis).
6) Pasien dengan penyakit syphilis, karena pada saat itu daya tahan
terutama tubuh sangat rendah sehingga mudah terjadi infeksi dan
penyembuhan akan memakan waktu yang lama.
7) Alergi pada anastesi local
8) Rahang yang baru saja telah diradiasi, pada keadaan ini suplai
darah menurun sehingga rasa sakit hebat dan bisa fatal.
9) Toxic goiter
10) Kehamilan. pada trimester ke-dua karena obat-obatan pada saat itu
mempunyai efek rendah terhadap janin.
11) Psychosis dan neurosis pasien yang mempunyai mental yang tidak
stabil karena dapat berpengaruh pada saat dilakukan ekstraksi gigi
12) Terapi dengan antikoagulan.
b. Kontraindikasi lokal
27
1. Radang akut. Keradangan akut dengan cellulitis, terlebih dahulu
keradangannya harus dikontrol untuk mencegah penyebaran yang lebih
luas. Jadi tidak boleh langsung dicabut.
2. Infeksi akut. Pericoronitis akut, penyakit ini sering terjadi pada saat M3
RB erupsi terlebih dahulu
3. Malignancy oral. Adanya keganasan (kanker, tumor dll), dikhawatirkan
pencabutan akan menyebabkan pertumbuhan lebih cepat dari keganasan
itu. Sehingga luka bekas ekstraksi gigi sulit sembuh. Jadi keganasannya
harus diatasi terlebih dahulu.
4. Gigi yang masih dapat dirawat/dipertahankan dengan perawatan
konservasi, endodontik dan sebagainya (Pederson, 1996)
3.2.2 Armamentarium Ekstraksi Gigi
Penggunaan peralatan yang efektif dimulai dengan pemahaman tentang
desainnya. Peralatan pencabutan dengan desain yang baik mempunyai keuntungan
mekanis untuk melipatgandakan tekanan yang diberikan sampai mencapai tingkat
yang cukup untuk menyelesaikan tugasnya. Elevator dan tang gigi berfungsi
sebagai pengungkit yang menghantarkan gaya atau tekanan ke gigi yang akan
dicabut. Efektivitasnya ditingkatkan oleh desain bilah elevator yang
memungkinkan alat dipegang dengan kuat dan nyaman selama digunakan.
Efisiensi makin meningkat dengan adanya bilah elevator dengan paruh tang yang
dapat mencengkeram struktur akar dengan erat sehingga menghindari selip
(Pedersen, 1996).
1. Elevator
Apabila pencabutan harus dilakukan, elevator lurus hampir selalu menjadi
pasangan tang. Proses pencabutan biasanya diawali dengan elevator. Alat ini
digunakan untuk mengetes anestesi, untuk memisahkan perlekatan epitel dan
mengawali dilatasi atau ekspansi alveolus. Elevator adalah suatu instrumen yang
peka terhadap sentuhan. Bila digunakan dengan hati-hati, ahli bedah mulut dapat
mengetahui besar tekanan yang diperlukan untuk menyelesaikan pencabutan. Oleh
karena itu, elevator dan tang merupakan alat yang saling melengkapi (Pedersen,
1996).
Elevator didesain dalam dua pola dasar yaitu (Pedersen, 1996):
28
a. Elevator Lurus
b. Elevator Bengkok
2. Tang Gigi
Pencabutan dengan tang mempunyai satu tujuan yaitu menghantarkan
tekanan terkontrol pada gigi sehingga mengakibatkan dilatasi alveolus dan
luksasi, serta pencabutan. Evolusi dari tang menghasilkan banyak sekali desain,
masing-masing dengan ciri tersendiri yang mampu menjalankan tugasnya dengan
efisien, dengan tenaga minimum, trauma dan komplikasi yang minimum. Melalui
proses pemakaian dan pengalaman yang lama, jumlahnya agak berkurang.
Meskipun demikian, desain yang umum dilengkapi dengan pegangan, engsel dan
paruh (Pedersen, 1996).
Pengguanaan tang gigi seperti juga penggunaan elevator, maka dalam
penggunaan tang ini pinch graps digunakan untuk rahang atas dan sling graps
untuk rahang bawah. Pada kebanyakan kasus, tang ini diaplikasikan pada gigi
dengan paruh paralel terhadap sumbu panjang gigi. Adaptasi dicapai dengan
menmpatkan paruh yang lingual dulu, kemudian tang ditutup dan ditekan
keapikal. Jika mahkota bukal diaplikasikan pertama. Tekanan mencengkeram ke
apikal dipertahankan selama proses pencabutan, karena mempertahankan adaptasi
adalah sangat penting bagi keberhasilan aplikasi dari tekanan bukal, lingual dan
rotasional. Seringkali pada tahap akhir adaptasi, tang biasanya terletak apikal dari
lokasi aplikasi awal, yang merupakan kondisi yang diharapkan karena dengan
demikian terjadi dilatasi alveolus. Penghantaran tekanan yang terkontrol
tergantung pada posisi operator penggunaan tangan dan lengan, graps dan posisi
pasien yang benar. Tekanan yang terkontrol dan besar akan dihantarkan dengan
aman apabila persyaratan tersebut dipenuhi. Tan dipegan dekat ujung pegangn
menjauhi paruh tang. Memegang jauh dari ujung pegangan akan mengurangi
keuntungan mekanis dan sebaiknya dihindarkan. Persepsi taktil dari tekanan
diaplikasikan dan hasil yang diperoleh dapat berkurang karena cara memegang
tang yang terlampau kuat, disebut sindrom white knuckel (Pedersen, 1996).
a. Tang Untuk Gigi Rahang Atas
b. Tang untuk rahang bawah
29
3.3 Anestesi Lokal
3.3.1 Definisi Anestesi Lokal
Anastesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa sakit untuk sementara
pada satu bagian tubuh dengan cara mengaplikasikan bahan topikal atau suntikan
tanpa menghilangkan kesadaran dan untuk mencegah rasa nyeri dengan cara
memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara reversible. (Nurvitasari dkk.,
2011).
3.3.2 Macam dan Teknik Anestesi Lokal
1. Anastesi Topikal
Menghilangkan rasa sakit di bagian permukaan saja karena yang dikenai
hanya ujung-ujung serabut urat syaraf. Bahan yang biasa digunakan berupa
salep.
2. Anastesi Infiltrasi
Sering dilakukan pada anak-anak untuk rahang atas ataupun rahang bawah.
Mudah dikerjakan dan efektif. Daya penetrasi anastesi infiltrasi pada anak-
anak cukup dalam karena komposisi tulang dan jaringan belum begitu
kompak.
3. Anastesi Blok
Digunakan untuk pencabutan gigi molar tetap (Nurvitasari dkk., 2011).
Berikut kami jabarkan :
a. Anastesi Topikal
Anastesi topikal yaitu pengolesan analgetik lokal diatas selaput mukosa.
Anestesi topikal diperoleh melalui aplikasi agen anestesi tertentu pada daerah
kulit maupun membran mukosa yang dapat dipenetrasi untuk memblok ujung-
ujung saraf superfisial. Semua agen anestesi topikal sama efektifnya sewaktu
digunakan pada mukosa dan menganestesi dengan kedalaman 2-3 mm dari
permukaan jaringan jika digunakan dengan tepat (Whitehead, 1990).
Anastesi topikal tersedia dalam bentuk :
1. Semprotan (spray form) yang mengandung agen anestesi lokal tertentu
dapat digunakan untuk tujuan ini karena aksinya berjalan cukup cepat. Bahan
aktif yang terkandung dalam larutan adalah lignokain hidroklorida 10% dalam
30
basis air yang dikeluarkan dalam jumlah kecil kontainer aerosol. Penambahan
berbagai rasa buah-buahan dimaksudkan untuk membuat preparat tersebut
lebih dapat ditolerir oleh anak, namun sebenarnya dapat menimbulkan masalah
karena merangsang terjadinya salivasi berlebihan. Bila anestesi dilakukan
dengan menggunakan semprotan, larutan umumnya dapat didistribusikan
dengan lebih mudah dan efeknya akan lebih luas daripada yang kita inginkan.
Waktu timbulnya anastesi adalah 1 menit dan durasinya adalah sekitar 10
menit (Whitehead, 1990).
2. Salep yang mengandung lignokain hidroklorida 5% juga dapat digunakan
untuk tujuan yang sama, namun diperlukan waktu 3-4 menit untuk memberikan
efek anastesi. Beberapa industri farmasi bahkan menyertakan enzim
hialuronidase dalam produknya dengan harapan dapat membantu penetrasi
agen anastesi lokal dalam jaringan. Amethocaine dan benzocaine umumnya
juga ditambahkan dalam preparat ini. Salep sangat bermanfaat bila
diaplikasikan pada gingiva lunak sebelum pemberian tumpatan yang dalam
(Whitehead, 1990).
3. Emulsi yang mengandung lignokain hidroklorida 2% juga dapat
digunakan. Emulsi ini akan sangat bermanfaat bila kita ingin mencetak seluruh
rongga mulut dari pasien yang sangat mudah mual. Sesendok teh emulsi dapat
digunakan pasien untuk kumur-kumur disekitar rongga mulut dan orofaring
dan kemudian dibiarkan satu sampai dua menit, sisanya diludahkan tepat
sebelum pencetakan. Emulsi ini juga dapat bermanfaat untuk mengurangi rasa
nyeri pascaoperatif seperti setelah gingivektomidan tidak berbahaya bila
tertelan secara tidak disengaja (Whitehead, 1990).
4. Etil klorida, disemprotkan pada kulit atau mukosa akan menguap dengan
cepat sehingga dapat menimbulkan anastesi melalui efek pendinginan. Manfaat
klinis hanya bila semprotan diarahkan pada daerah terbatas dengan kapas atau
cotton bud sampai timbul uap es. Namun tindakan ini harus dilakukan dengan
hati-hati untuk menghindari terstimulasinya pulpa gigi-gigi tetangga dan
31
inhalasi uap oleh pasien. Manfaat teknik ini memang terbatas tetapi kadang-
kadang dapat digunakan untuk mendapat anastesi permukaan sebelum insisi
dari abses fluktuan (Whitehead, 1990).
Teknik anestesi
1. Membran mukosa dikeringkan untuk mencegah larutnya bahan anastesi
topikal (Whitehead, 1990).
2. Bahan anastesi topikal dioleskan melebihi area yang akan disuntik ± 15 detik
(tergantung petunjuk pabrik) kurang dari waktu tersebut, obat tidak efektif
(Whitehead, 1990).
Anastesi topikal harus dipertahankan pada membran mukosa minimal 2 menit,
agar obat bekerja efektif. Salah satu kesalahan yang dibuat pada pemakaian
anastesi topikal adalah kegagalan operator untuk memberikan waktu yang cukup
bagi bahan anastesi topikal untuk menghasilkan efek yang maksimum
(Whitehead, 1990).
b. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik anestesi lokal paling sering digunakan
pada maxilaris. Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan pada permukaan
supraperiosteal yang berhubungan dengan periosteum bukal dan labial. Larutan
anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf dan akan terinfiltrasi
sepanjang jaringan untuk mencapai serabut saraf dan menimbulkan efek anestesi
dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf tersebut. Teknik infiltrasi dapat
dibagi menjadi (Lamlanto, 2009).
1. Suntikan submukosa
Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat dibalik membran mukosa.
Walaupun tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi, suntikan ini sering
digunakan baik untuk menganestesi saraf bukal panjang sebelum pencabutan
molar bawah atau operasi jaringan lunak (Lamlanto, 2009).
Gambar 3.1 Suntikan submukosa, suntikan supraperiosteal, suntikan subperiosteal, suntikan interdental papilla, dan suntikan peridental.
Sumber : www.studentals.net/stu/t8830.html Accessed at Des 10th 2009
Gambar 1 Suntikan submukosa,
suntikan supraperiosteal,
suntikan subperiosteal,
suntikan interdental papilla, dan
32
2. Suntikan supraperiosteal
Pada beberapa daerah seperti maksila, bidang kortikal bagian luar dari tulang
alveolar biasanya tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vaskular yang kecil.
Pada daerah-daerah ini bila larutan anestesi didepositkan di luar periosteum,
larutan akan terinfiltrasi melalui periosteum, bidang kortikal, dan tulang medularis
ke serabut saraf. Dengan cara ini, anestesi pulpa gigi dapat diperoleh melalui
penyuntikan di sepanjang apeks gigi. Suntikan supraperiosteal merupakan teknik
yang paling sering digunakan pada kedokteran gigi dan sering disebut sebagai
suntikan infiltrasi (Lamlanto, 2009).
3. Suntikan subperiosteal
Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan antara periosteum dan bidang
kortikal. Karena struktur ini terikat erat, suntikan tentu terasa sangat sakit. Karena
itu, suntikan hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain atau bila anestesi
superfisial dapat diperoleh dari suntikan supraperiosteal. Teknik ini biasa
digunakan pada palatum dan bermanfaat bila suntikan supraperiosteal gagal untuk
memberikan efek anestesi, walaupun biasanya pada situasi ini lebih sering
digunakan suntikan intraligament (Lamlanto, 2009).
4. Suntikan intraoseous
Seperti terlihat dari namanya, pada teknik ini larutan di depositkan pada tulang
medularis. Prosedur ini sangat efektif bila dilakukan dengan bantuan bur tulang
dan jarum yang di desain khusus untuk tujuan tersebut. Setelah suntikan
supraperiosteal diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil melalui
mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk mendapat
jalan masuk bagi bur dan reamer kecil. Kemudian dapat dibuat lubang melalui
bidang kortikal bagian luar tulang dengan alat yang sudah dipilih. Lubang harus
terletak di dekat apeks gigi pada posisi sedemikian rupa sehingga tidak mungkin
merusak akar gigi geligi (Lamlanto, 2009).
33
Jarum yang pendek dengan hub yang panjang diinsersikan melalui lubang dan
diteruskan ke tulang, larutan anestesi 0,25 ml didepositkan perlahan ke ruang
medularis dari tulang. Jumlah larutan tersebut biasanya cukup untuk sebagian
besar prosedur perawatan gigi. Teknik suntikan intraoseous akan memberikan
efek anestesi yang baik pada pulpa disertai dengan gangguan sensasi jaringan
lunak yang minimal. Walaupun demikian, biasanya tulang alveolar akan terkena
trauma dan cenderung terjadi rute infeksi. Prosedur asepsis yang tepat pada tahap
ini merupakan keharusan. Pada prakteknya, dewasa ini sudah dipasarkan larutan
anestesi yang efektif dan penggunaan suntikan intraligamentum atau ligamentum
periodontal sudah mengurangi perlunya suntikan intraoseous dan karena itu,
teknik suntikan intraoseous sudah makin jarang digunakan (Lamlanto, 2009).
5. Suntikan intraseptal
Merupakan versi modifikasi dari teknik intraoseous yang kadang-kadang
digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila akan dipasang
geligi tiruan immediet serta bila teknik supraperiosteal tidak mungkin digunakan.
Jarum 27 gauge diinsersikan pada tulang lunak di crest alveolar. Larutan
didepositkan dengan tekanan dan berjalan melalui tulang medularis serta jaringan
periodontal untuk memberi efek anestesi. Teknik ini hanya dapat digunakan
setelah diperoleh anestesi superfisial (Lamlanto, 2009).
6. Suntikan intraligament
Teknik ini umumnya menggunakan syringe konvensional yang pendek dan
lebarnya 27 gauge atau syringe yang didesain khusus untuk tujuan tersebut.
Gambar 2 a Menganestesi gingival attachment. 2b perforasi plat kortikal. 2c menginsersi jarum suntik dan menginjeksi.
34
Teknik ini mempunyai beberapa manfaat. Efeknya yang terbatas dimungkinkan
dilakukannya perawatan pada satu gigi dan membantu perawatan pada kuadran
mulut yang berbeda. Suntikan ini juga tidak terlalu sakit bagi pasien yang
umumnya tidak menyukai “rasa bengkak” yang sering menyertai anestesi lokal.
Suntikan ini juga dapat menghindari terjadinya baal pada lidah, pipi dan jaringan
lunak lainnya, jadi mengurangi resiko “trauma” pada bibi dan lidah yang baal dan
tidak menimbulkan rasa kurang enak bagi pasien sehingga ia dapat makan, minum
dan berbicara secara normal. Efeknya yang terlokalisir membuat teknik ini dapat
digunakan sebagai suntikan diagnostik untuk mengidentifikasi sumber sakit
(Lamlanto, 2009).
C. Anestesi Blok
Anestesi Blok pada Maxillaris
1. Anestesi Blok Nervus Infraorbital
Nervus infraorbital merupakan salah satu cabang terminal dari divisi
maxillaris nervus trigeminus. Nervus ini mempersarafi kulit pipi, kulit dan
mukosa dari bibir atas dan bagian hidung. Nervus alveolar superior anterior
(ASA) memisahkan nervus infraorbital dalam kanal infraorbital sekitar 5 mm
sebelum foramen infraorbital. Nervus ASA menyalurkan sensasi ke gigi incisivus
atas dan gigi caninus dan kadang-kadang ke premolar dan jaringan periodontium
bagian bukal, gingival dan mukosa serta tulang yang berhubungan dengan gigi-
gigi ini. Nervus MSA mempersafari pulpa dan jaringan yang bersebelahan dari
gigi premolar maxillaris dengan akar mesiobukal dari molar pertama. Teknik
infiltrasi maupun blok dapat menganestesi cabang terminal dari nervus ASA dan
MSA. Teknik anestesi blok nervus infraorbital bergantung pada deposisi anestesi
lokal ke dalam foramen infraorbital yang memungkinkan larutan anestesi
berdifusi di sepanjang kanal infraorbitalis dan di sekitar tulang untuk mencapai
nervus ASA dan MSA (Lamlanto, 2009).
Injeksi infraorbital diindikasikan jika peradangan dan infeksi merupakan
kontraindikasi penggunaan anestesi infiltrasi di bagian anterior maxillaris, jika
akan dilakukan pembukaan pada sinus maxillaris (Lamlanto, 2009).
Untuk keperluan bedah mulut, injeksi ini dapat diberikan untuk menghindari
penyuntikan ke dalam jaringan inflamasi di daerah gigi incisivus dan kaninus,
35
tetapi dapat juga mencapai anestesi yang lebih mendalam untuk lesi yang lebih
besar seperti kista (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Sebaiknya menggunakan jarum panjang (35mm) tidak kurang dari 27
gauge.
2. Mintalah pasien untuk membuka mulut sedikit.
3. Menarik bibir atas dengan ibu jari tangan kiri.
4. Gunakan jari telunjuk untuk meraba foramen infraorbital secara ektraoral.
Letakkan jari telunjuk di titik injeksi.
5. Mengarahkan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris di antara gigi
premolar.
6. Arahkan jarum sejajar akar gigi premolar menghadap foramen infraorbital
sampai berkontak dengan tulang, sekitar 15 sampai 20 mm.
7. Jarum ditarik sedikit, jika apsirasi negatif , suntikkan secara perlahan-
lahan 1,5 ml larutan anestesi.
2. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Superior Medial
Anestesi blok nervus alveolar superior medial digunakan pada prosedur
dimana gigi premolar maxillaris atau akar mesiobukal dari molar pertama yang
memerlukan anestesi. Meskipun tidak selalu digunakan, teknik ini berguna apabila
anestesi blok nervus alveolar superior posterior atau anterior atau anestesi
infiltrasi supraperiosteal mengalami kegagalan untuk mencapai anestesi yang
adekuat. Kontraindikasi anestesi ini yaitu inflamasi akut dan infeksi di daerah
suntikan atau prosedur yang hanya melibatkan satu gigi dimana anestesi yang
Gambar 3. Lokasi nervus infraorbitalis
Gambar 3.6. Jarum diarah sejajar dengan long axis gigi dan diinsersikan pada puncak mucobukal fold di atas premolar pertama.
36
adekuat dapat diperoleh dengan anestesi infiltrasi. Teknik ini menggunakan jarum
25 atau 27 gauge (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Identifikasi puncak mukobukal fold di atas gigi premolar kedua maxillaris
yang akan menjadi titik tusukan.
2. Operator berdiri di arah antara pukul Sembilan dan sepuluh sedangkan
operator yang kidal harus berdiri di arah antara pukul dua dan tiga.
3. Menarik pipi dengan alat retraksi dan menginsersi jarum sampai ujung
jarum berada di atas apeks dari gigi premolar kedua.
4. Lakukan aspirasi dan depositkan larutan anestesi dua pertiga cartridge
secara perlahan-lahan selama satu menit.
5. Pelaksanaan teknik mengalami kesuksesan apabila menganestesi daerah
pulpa gigi jaringan lunak dan tulang disekitar gigi premolar pertama dan
kedua dan akar mesiobukal gigi molar pertama.
3. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Superior Posterior
Nervus alveolar superior posterior merupakan percabangan dari divisi
maxillaris dari nervus trigeminus. Yang merupakan bagian utama fossa
pterygopalatinal, melewati inferior sepanjang dinding posterior maxillaris, dan
masuk ke tulang sekitar satu cm ke superior dan posterior gigi molar ketiga.
Nervus PSA mempersarafi gingival bagian bukal, jaringan periodontium, dan
alveolus yang berhubungan dengan gigi molar atas. Nervus ini mempersarafi
pulpa dari semua gigi molar atas dengan kemungkinan pengecualian pulpa
mesiobukal dari molar pertama, yang dipersarafi oleh nervus alveolar superior
medial (MSA) pada sebagian besar individu (Lamlanto, 2009).
Gambar 5. Lokasi nervus alveolar superior medial
Gambar 6. Jarum diinsersi ke puncak mucobukal fold di atas premolar kedua maxillaris.
37
Anestesi blok ini dimaksudkan untuk menganestesi nervus alveolar superior
posterior menembus aspek posterolateral dari tuberositas maxillaris sebelum
mencapai tulang. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara daerah
suntikan dengan plexus venous pterygoid di bawah dan di atas dan dapat dengan
mudah dimasuki jarum (Lamlanto, 2009).
Injeksi blok nervus PSA dilakukan di daerah yang sangat vaskular, sehingga
pembentukan hematoma sering terjadi, terutama ketika jarum masuk lebih dari 15
mm. Perdarahan segera dapat dikontrol oleh tekanan, tetapi setelah injeksi,
trismus dapat berlangsung selama berminggu-minggu. Terapi antibiotik harus
diresepkan jika hematoma membesar (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Gunakan jarum yang pendek atau panjang, tidak kurang dari 27 gauge.
2. Instruksikan pasien untuk sedikit membuka mulut, dan gerakkan mandibula ke
arah daerah injeksi.
3. Retraksi bibir dan pipi dengan ibu jari atau jari telunjuk dari tangan kiri.
4. Insersikan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris ke bagian distal dari
molar kedua.
5. Masukkan jarum ke posterior, superior, dan medial (dengan sudut 45o dari
dataran oklusal) sampai kedalaman 15 mm.
6. Lakukan aspirasi.
7. Injeksikan 1.5 ml larutan anestesi secara perlahan-lahan.
Gambar 7 Lokasi nervus alveolar superior posterior
Sumber :
Gambar 8 Jarum diinsersikan di atas mukobukal fold di atas molar kedua maxillaris dengan sudut 45o ke arah superior, medial dan posterior.
38
4. Anestesi Blok Nervus Palatinal
Anestesi blok nervus palatinal berguna ketika perawatan diperlukan pada
aspek palatal dari gigi premolar dan molar maxillaris. Nervus palatinal keluar dari
kanal dan menuju ke depan antara tulang dan jaringan lunak palatal.
Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi akut dan infeksi di daerah suntikan.
Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 atau 27 gauge.
Teknik (Lamlanto, 2009):
1. Pasien harus dalam posisi terlentang dengan dagu miring ke atas untuk
memperlihatkan daerah yang akan dianestesi.
2. Operator berdiri di arah jarum jam pukul delapan sedangkan operator
yang kidal berdiri di arah jarum jam pukul empat.
3. Gunakan kapas, cari foramen palatinal dengan menempatkan kapas pada
jaringan palatal sekitar 1 cm di medial diantara gigi molar kedua dan
ketiga.
Daerah di sekitar satu atau dua millimeter di sebelah anterior foramen
merupakan titik tusukan. Gunakan kapas, berikan tekanan ke daerah foramen
sampai percabangan jaringan. Arah jarum suntik tegak lurus terhadap daerah
suntikan hingga satu sampai dua millimeter dari anterior foramen. Sambil
menjaga tekanan pada foramen, suntikkan larutan anestesi volume kecil sehingga
jarum masuk ke jaringan sampai berkontak dengan tulang. Jaringan akan pucat di
sekitar daerah suntikan (Lamlanto, 2009).
Kedalaman penetrasi biasanya lebih dari beberapa millimeter. Sekali
berkontak dengan tulang, lakukan aspirasi dan injeksikan larutan anestesi
sebanyak seperempat cartridge (0.45 cc). Resistensi deposisi larutan anestesi
Gambar 11. Daerah insersi untuk anestesi blok nervus palatinal satu cm dari median diantara molar kedua dan ketiga maxillaris.
Gambar 10. Lokasi nervus palatinal
39
secara normal dapat dirasakan operator. Teknik ini menganestesi mukosa palatal
dan palatum keras dari premolar pertama aspek anterior ke posterior dari palatum
keras ke garis tengah medial (Lamlanto, 2009).
5. Anestesi Blok Nervus Nasopalatinal
Anestesi blok nervus nasopalatinal, yang juga dikenal sebagai anestesi blok
incisivum dan anestesi blok sphenopalatinal, menganestesi nervus nasopalatinal
secara bilateral. Teknik ini mendepositkan larutan di area foramen incisivum.
Teknik diindikasikan ketika perawatan memerlukan anestesi aspek lingual dari
beberapa gigi anterior. Teknik ini menggunakan jarum pendek 25 atau 27 gauge
(Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Pasien harus dalam posisi terlentang dengan dagu miring ke atas untuk
memperlihatkan daerah yang akan dianestesi.
2. Operator harus berdiri di arah jarum jam pukul Sembilan sedangkan
operator yang kidal harus berdiri di arah jarum jam pukul tiga.
Mengidentifikasi papilla incisivum.
3. Daerah lateral secara langsung ke papilla incisivum merupakan daerah
injeksi. Dengan kapas, tahan tekanan di atas papilla incisivum.
Menginsersi jarum arah lateral ke papilla dengan bevel berlawanan
jaringan.
4. Masukkan jarum secara perlahan-lahan ke foramen incisivum sambil
mendepositkan sedikit larutan anestesi dan mempertahankan tekanan
pada papilla. Setelah berkontak dengan tulang, retraksi jarum sekitar
Gambar 3.13. Insersi arah lateral ke foramen incisivum untuk memblok nervus nasopalatinal.
Gambar 3.12. Lokasi nervus nasopalatinal
40
satu millimeter, lakukan aspirasi, dan suntikkan seperempat cartridge
(0.45cc) dari larutan anestesi selama tiga puluh detik.
5. Keseimbangan jaringan sekitar dan pengendapan larutan anestesi
adalah normal. Anestesi akan diberikan ke jaringan lunak dan keras
dari aspek lingual gigi anterior dari distal dari gigi kaninus pada satu
sisi ke sisi distal dari gigi kaninus di sisi yang berlawanan.
6. Anestesi Blok Nervus Maxillaris
Ada Tiga teknik yang digunakan untuk memblokir nervus maxillaris, salah
satunya secara ekstraoral dan dua teknik secara intraoral. Teknik ekstraoral jarang
digunakan dalam praktik klinis kedokteran gigi. Secara intraoral, ada dua teknik
untuk memblok nervus maxillaris yaitu pada tuberositas (mirip dengan anestesi
blok nervus alveolar superior posterior) dan kanal palatinal. Meskipun sulit
diprediksi dan cenderung menimbulkan komplikasi, prosedur pada tuberositas
lebih mudah. Tujuan teknik ini secara langsung untuk mengarahkan jarum ke
superior, medial, dan posterior sepanjang permukaan permukaan zygomatikum
dan infratemporal dari maksilla masuk ke fossa pterygopalatinal. Dengan
kedalaman 24 sampai 44 mm (Lamlanto, 2009).
Injeksi intraoral maxillaris dilakukan dengan jarum terpasang dengan hub
melengkung karena suntikan ini dapat dilakukan dengan mudah dengan jarum
bersudut daripada dengan jarum lurus, khususnya jika ingin mencapai fisur
sphenomaxillaris. Setelah pipi diretraksi, jarum diinsersi tinggi di mukobukal fold
pada permukaan posterior yang cekung dari zigomatikum yang berlawanan
dengan molar ketiga. yang merupakan lanjutan yang miring ke atas, ke dalam, dan
sedikit ke belakang sampai 3 cm, yang berkontak dengan tulang. Dua milliliter
dari larutan diinjeksikan. Selama 12 menit, daerah infraorbital dari wajah,
termasuk bagian hidung dan sebagian bibir atas, menjadi mati rasa. Jika palatum
mati rasa, ini merupakan tanda larutan anestesi telah terpenetrasi ke ganglion
sphenopalatinal. Dengan demikian sebagian maxillaris dapat teranestesi, termasuk
sinus maxilaris. Jika palatum tidak mati rasa, dilakukan injeksi tambahan pada
palatinal anterior dan foramen incisivum jika anestesi pada seluruh bagian
maxillaris diinginkan (Lamlanto, 2009).
41
Injeksi maxillaris ekstraoral lebih baik daripada secara intraoral karena secara
intraoral, bibir dan pipi diretraksi, sehingga dapat saja terpotong dan memar.
Selain itu, jarum diinsersi ke dalam permukaan yang steril. Anatomi landmark
untuk insersi jarum ditemukan dengan meraba pinggiran superior dari lengkung
zigomatikum ke tempat dimana terbentuk sudut siku-siku dengan tepi superior
dari orbit. Sudut ini disebut sudut zygomatikum. Dari titik ini garis vertikal ditarik
ke bawah 0.5 cm di bawah tepi inferior zygomatikum, yang merupakan tempat
insersi jarum.
Tekhnik (Lamlanto, 2009):
1. Sterilkan kulit dengan menggunakan kapas beralkohol.
2. Setelah kulit steril dan siap, jarum diinsersi dengan gigi-geligi beroklusi.
3. Beberapa tetes dari larutan anestesi dinjeksikan ke bawah kulit, kemudian
jarum melewati pipi secara vertikal menuju otot bucinator dengan kedalaman
2 sampai 3 cm, selanjutnya berkontak dengan tulang.
4. Sekarang jarum diarahkan sedikit lebih ke belakang melewati dinding
posterior dari maxillaris.
5. Setelah jarum dimasukkan 2 cm lagi, pengendapan tulang kembali terasa,
permukaan anterior menjadi lebih lebar dari sphenoid di bawah foramen
rotundum.
6. Jarum telah masuk sedalam 5 cm, ditandai dengan karet disk. Dua millimeter
larutan anestesi diinjeksikan, dan gejala anestesi akan dirasakan seperti yang
digambarkan dalam teknik intraoral.
Perlu dicatat bahwa dengan metode okular mengakibatkan gangguan seperti
diplopia, kelopak mata melemah, dan dilatasi dari pupil yang terjadi dalam
jangka waktu pendek dan beberapa pasien mengalami gangguan anestesi pada
palatum lunaknya.
Anestesi Blok pada Mandibularis
1. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Inferior
Anestesi blok nervus alveolar inferior merupakan salah satu teknik yang
paling umum pada anestesi blok mandibula. Teknik ini sangat berguna ketika
beberapa gigi dalam satu kuadran memerlukan perawatan. Target teknik ini
42
adalah nervus mandibular yang berjalan ke medial ramus, yang masuk ke
foramen mandibular. Nervus lingual, mental, dan incisivum juga teranestesi.
Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto, 2009).
Teknik direct. Ketika melakukan teknik anestesi blok nervus alveolar
mandibula pada orang dewasa, jarum panjang (35mm) tidak lebih kecil dari 27
gauge yang mesti digunakan. Jarum panjang dianjurkan karena penetrasinya
sampai 25 mm mungkin diperlukan, jarum tidak diinsersi sampai hub untuk
menghindari patah jarum. Penting untuk mengoreksi “landmarking” dan dan
melakukan tekniknya secara berurutan (Lamlanto, 2009).
Injeksi ini akan menganestesi nervus alveolar inferior dan memblok nervus
lingual. Jika membutuhkan anestesi lingual, jarum ditarik setengah dan aspirasi
diulangi. Jika aspirasi negatif, larutan pada cartridge diinjeksi pada titik ini, dan
jarum kemudian ditarik (Lamlanto, 2009).
Teknik direct (Lamlanto, 2009) :
1. Letakkan ibu jari pada fossa retromolar, raba coronoid notch pada batas
anterior ramus.
2. Letakkan jari telunjuk pada batas posterior ramus di tempat yang sama
dengan ibu jari.
3. Beritahu pasien untuk membuka mulut dengan lebar.
4. Insersi jarum ke dalam mulut secara menyilang terhadap gigi premolar
mandibula dari sisi yang berlawanan sejajar dengan dataran oklusal.
5. Tempatkan titik penetrasi dengan visualisasi bentuk V dari batas anterior
ramus mandibula pada aspek lateral dan raphe pterygomandibular secara
medial. Ramus diraba dan raphe muncul.
Gambar 15. Lokasi nervus alveolar inferior
Gambar 16. Setelah berkontak dengan tulang, jarum di arahkan ke posterior dengan syringe sejajar dataran oklusal, jarum kemudian masuk ke kuarter ketiga.
43
6. Penetrasi bentuk V dengan imajinasi pertengahan diantara setengah ibu jari.
Masukkan jarum sampai berkontak dengan tulang, biasanya dengan
kedalaman 20 sampai 30 mm.
7. Setelah mencapai tulang, tarik jarum sedikit (supraperiosteal) dan aspirasi.
8. Jika aspirasi negatif, injeksikan sekitar 1.5 ml larutan anestesi.
Teknik indirect. Teknik anestesi blok nervus alveolar inferior indirect dapat
digunakan pada awal atau dapat digunakan sebagai alternatif jika teknik direct
gagal. Teknik indirect mengatasi masalah kontak ridge internal oblique
mandibula, tetapi pergerakan jarum diperlukan dalam posisi yang benar. Orientasi
pasien, membuka mulut, posisi tangan kiri operator dan peralatan sama saja
dengan teknik direct. Titik penetrasi mukosa juga sama, pertengahan antara ramus
dan raphe pterygomandibular pada titik tengah ibu jari dokter gigi. Syringe
diarahkan secara intraoral sepanjang dataran oklusal dari gigi premolar dan molar
pada daerah yang akan diinjeksi. Setelah penetrasi mukosa, jarum disuntikkan 10
mm ke dalam jaringan. Syringe kemudian berayun di atas gigi premolar yang
berlawanan sisi, kemudian metode selanjutnya seperti yang dijelaskan pada teknik
direct.
2. Anestesi Blok Nervus Incisivum
Anestesi blok nervus incisivum jarang digunakan dalam praktik klinik
meskipun sangat berguna pada perawatan yang terbatas pada gigi anterior
mandibular dan tidak membutuhkan efek anestesi pada seluruh kuadran. Teknik
ini hampir mirip dengan anestesi blok nervus mentale dengan satu langkah
tambahan. Nervus mentale dan incisivum dianestesi dengan teknik ini.
Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi akut dan infeksi pada daerah injeksi.
Teknik ini menggunakan jarum pendek 25 atau 27 gauge (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Mintalah pasien membuka sebagian mulut, atau ditutup selama injeksi.
2. Lebih baik menggunakan jarum pendek 27 atau 30 gauge.
3. Jarum langsung dari belakang apeks premolar kedua.
4. Jarum berkontak dengan tulang, lalu tarik jarum sedikit.
5. Setelah aspirasi, injeksikan 1.5 ml larutan anestesi secara perlahan-lahan.
44
6. Jangan memasukan jarum ke foramen mentale, karena dapat melukai nervus.
3. Anestesi Blok Nervus Mentale
Anestesi blok nervus mentale diindikasikan untuk prosedur yang berhubungan
dengan jaringan lunak bukal anterior ke foramen mentale. Kontraindikasi teknik
ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada daerah injeksi. Teknik ini menggunakan
jarum pendek 25 atau 27 gauge (Lamlanto, 2009).
Injeksi ini jarang digunakan karena bagian yang teranestesi lebih efektif
dianestesi dengan injeksi pterygomandibular. Lokasi dan ukuran foramen mentale
bervariasi, kadang-kadang terdapat dua foramen mentale. Injeksi ini secara
intraoral diantara dan sedikit di bawah dua premolar (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Pasien harus dalam posisi setengah terlentang. Operator harus berdiri
di arah jarum jam pukul delapan sedangkan operator yang kidal harus
berdiri di arah jarum jam pukul empat.
2. Daerah injeksi terletak di puncak mukobukal fold di atas foramen
mentale. Foramen dapat diraba secara manual dengan tekanan jari di
daerah mandibula bagian premolar.
3. Pasien akan merasa sedikit tidak nyaman akibat palpasi ke foramen.
Gunakan instrumen retraksi untuk meretraksi jaringan lunak.
4. Jarum diarahkan ke foramen mentale dengan bevel menghadap tulang.
Menembus jaringan lunak dengan kedalaman lima millimeter, aspirasi
dan injeksi sekitar 0.6cc larutan anestesi.
Gambar 18. Lokasi nervus mentale dan incisivum.
Gambar 19. Insersi jarum pada mukobukal fold di atas foramen mentale untuk blok nervus mentale dan incisivum.
45
5. Pelaksanaan teknik ini dikatakan sukses apabila menghasilkan anestesi
jaringan lunak bukal anterior ke foramen, bibir bawah dan dagu pada
daerah injeksi.
4. Anestesi Blok Nervus Buccal
Anestesi blok nervus bukal, atau dikenal dengan anestesi blok bukal
panjang atau buccinators, merupakan tambahan yang berguna pada anestesi blok
nervus alveolar inferior ketika dilakukan manipulasi dari jaringan lunak bukal di
regio molar mandibula. Titik target teknik ini adalah nervus bukal yang melalui
ramus dibagian anterior. Kontraindikasi prosedur ini yaitu inflamasi dan infeksi
akut pada daerah injeksi. Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 gauge
(Lamlanto, 2009).
Nervus buccinators diblok pada titik tranversal batas anterior ramus. Yang
muncul dari dalam prosessus coronoid dari mandibula dan melintasi ramus
setinggi molar atas dalam posisi mulut terbuka. Daerah injeksi terbaik pada
tinggi ini dan masuk ke dalam jaringan yang menutupi tepi anterior coronoid.
Sekitar satu ml larutan anestesi diinjeksikan. Efek anestesi dicapai setelah 5
menit (Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009)
1. Pasien berada dalam posisi setengah terlentang. Operator harus berdiri
diarah jarum jam pukul delapan sedangkan operator kidal harus berdiri
di arah jarum jam pukul empat.
2. Mencari sisi yang paling distal gigi molar pada sisi yang dirawat.
Jaringan di bagian distal dan bukal di gigi molar terakhir merupakan
daerah injeksi.
Gambar 20. Lokasi nervus bukal. Gambar .21. Jaringan distal dan bukal dari gigi molar terakhir merupakan targen daerah injeksi.
46
3. Menggunakan instrument retraksi untuk meretraksi pipi. Bevel jarum
menghadap tulang dan syringe di arahkan sejajar bidang oklusal pada
daerah injeksi. Jarum diinsersi ke dalam jaringan lunak dan beberapa
tetes larutan anestesi disuntikkan.
4. Jarum dimasukkan sekitar satu atau dua millimeter sampai berkontak
dengan tulang. Setelah berkontak dengan tulang dan aspirasi negatif,
0.2 cc larutan anestesi lokal didepositkan. Jarum ditarik dan ditutup
kembali. Pelaksanaan anestesi dikatakan sukses apabila menghasilkan
efek anestesi pada jaringan lunak bukal dari daerah molar mandibula.
5. Anestesi Blok Vazirani-Akinosi Closed-Mouth
Anestesi blok nervus mandibula Vazirani-Akinosi closed mouth merupakan
teknik yang berguna untuk pasien yang sulit membuka mulut seperti trismus atau
ankylosis temporomandibular joint. Kesulitan membuka mulut merupakan
kontraindikasi teknik anestesi blok nervus alveolar inferior dan teknik Gow-Gates
yang membutuhkan pasien membuka mulut secara maksimal. Keuntungan lainnya
dari teknik ini yaitu resiko trauma yang minimal dari nervus alveolar inferior,
arteri, vena dan otot pterygoid, tingkat komplikasi yang rendah dan
ketidaknyamanan yang minimal dari injeksi. Kontraindikasi teknik ini yaitu
inflamasi dan infeksi akut pada ruang pterygomandibular, cacat atau tumor pada
regio tuberositas maxillaris atau ketidakmampuan untuk memvisualisasikan
bagian medial ramus. Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 gauge
(Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Injeksi ini dilakukan pada mulut tertutup. Posisi pasien meiring 45o dengan gigi
geligi beroklusi. Ibu jari yang bebas digunakan untuk merefleksi pipi secara
lateral dan mengidentifikasi presessus coronoid.
2. Syringe diletakkan sejajar bidang oklusal, dan diposisikan setinggi
mukogingiva yang dekat dengan gigi molar ketiga maxillaris.
3. Jarum diputar searahss mukogingiva dari molar ketiga atas, dan menganestesi
mucosa di medial mandibula.
47
4. Menjaga syringe tetap sejajar dengan dataral oklusal, diarahkan ke posterior
dan sedikit ke lateral sampai masuk sekitar 1.5 inci (38 mm). Ujung jarum akan
masuk ke pertengahan ruang pterygomandibular dan dekat dengan percabangan
utama nervus mandibular.
5. Larutan anestesi didepositkan setelah aspirasi dan jarum kemudian ditarik.
Tanda munculnya efek anestesi akan dimulai setelah 4 sampai 5 menit.
6. Jika jarum terlalu jauh masuk ke medial, nervus tidak akan teranestesi. Perlu
diketahui bahwa dengan teknik ini, struktur posterior akan teranestesi sebelum
struktur anterior. Tanda klasik kram dari bibir bawah akan tertunda.
6. Anestesi Blok Gow-Gates
Teknik ini menggunakan landmark eksternal yang mengarahkan jarum ke titik
tusukan yang lebih tinggi, sehingga menjamin tinggi yang memadai untuk deposit
larutan di atas lingual. Berikut dua landmark ektraoral yang digunakan
1. Pertama, dataran diidentifikasi untuk mengarahkan jarum suntik.
Dataran ini memanjang dari batas bawah ke notch telinga melalui
commisura bibir.
2. Kedua adalah sebuah titik, tragus telinga, yang mengidentifikasi
landmark yang mengarahkan jarum.
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Mencari daerah anterior dengan mulut terbuka lebar.
2. Kedalaman blok pada orang dewasa sekitar 25 sampai 27 mm.
3. “Landmarking” gigi cenderung tidak penting; titik injeksi sekitar cusp
dari gigi molar kedua maxillaris.
Gambar 22. Pasien membuka mulut secara maksimal. Cusp mesiolingual dari molar kedua maxillaris merupakan titik acuan injeksi.
Gambar 23. Jarum kemudian diarahkan ke distal sejajar dengan garis imajinasi notch intertragic ke sudut mulut.
48
4. Menggunakan garis dari tragal notch ke sudut mulut, membimbing
jarum ke leher condylus.
5. Dengan kepala pasien miring ke belakang dan mulut terbuka lebar,
meraba ridge internal oblique dengan jari telunjuk atau ibu jari.
6. Angulasi dari injeksi ini sejajar dengan pertemuan dua eksternal
landmark.
7. Titik tusukan berada diantara raphe pterygomandibula dan ridge
internal oblique, mendekati anterior leher condylar dari kontralateral
premolar.
8. Depositkan seluruh larutan cartridge. Mula kerjanya mungkin lebih
lambat tetapi efek anestesinya 2 sampai 3 jam.
3.3.3 Komplikasi Pasca Anestesi Lokal
Menurut Baart dan Brand (2008) bahwa terdapat beberapa komplikasi
anastesi lokal pada saat pencabutan, yaitu :
1. Kerusakan Jarum
Penyebab umum patahnya jarum adalah gerakan tiba-tiba yang tidak
terduga pada pasien saat jarum memasuki otot atau kontak periosteum. Jika pasien
berlawanan dengan arah jarum maka tekanan yang adekuat ini akan menyebabkan
patah jarum. Penyebab utamanya adalah kelemahan jarum dengan
membengkokkannya sebelum di insersi ke dalam mulut pasien.
2. Parestesi
Pasien merasa mati rasa selama beberapa jam atau bahkan berhari-hari
setelah anestesi lokal. Penyebabnya karena trauma pada beberapa saraf, injeksi
anestesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau cairan sterilisasi yang
menyebabkan iritasi sehingga dapat mengakibatkan edema dan sampai menjadi
parastesi.
3. Trismus
Trismus adalah kejang tetanik yang berkepanjangan dari otot rahang
dengan pembukaan mulut menjadi terbatas (rahang terkunci). Etiologinya karena
trauma pada otot atau pembuluh darah pada fossa infra temporal. Kontaminasi
49
alkohol dan larutan sterlisasi dapat menyebabkan iritasi jaringan kemudian
menjadi trismus. Hemoragi juga penyebab lain trismus.
4. Luka jaringan lunak
Trauma pada bibir dan lidah biasanya disebabkan karena pasien tidak hati-
hati menggigit bibir atau menghisap jaringan yang teranastesi. Hal ini
menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang siginifikan. Kejadian ini sering
terjadi pada anak-anak handicapped.
5. Hematoma
Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah blok
nervus alveolar superior posterior atau nervus inferior. Hematoma yang terjadi
setelah blok saraf alveolar inferior dapat dilihat secara intraoral sedangkan
hematoma akibat alveolar blok posterior superior dapat dilihat secara extraoral.
Komplikasi hematoma juga dapat berakibat trismus dan nyeri.
Pembengkakan dan perubahan warna pada region yang terkena dapat terjadi
setelah 7 sampai 14 hari.
6. Nyeri
Penyebab nyeri dapat terjadi karena teknik injeksi yang kurang hati-hati,
jarum tumpul akibat pemakaian injeksi multiple, deposisi cepat pada obat anestesi
lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan, jarum dengan mata kail (biasanya
akibat tertusuk tulang). Nyeri yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan
kecemasan pasien, menciptakan gerakan tiba-tiba pada pasien dan menyebabkan
jarum patah.
7. Rasa terbakar
Rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat pada daerah
palatal, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga menyebabkan rasa
terbakar. Jika disebabkan karena pH, maka akan menghilang sejalan dengan
reaksi anestesi. Namun jika disebabkan karena injeksi terlalu cepat, kontaminasi
dan obat anastesi yang terlalu hangat dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang dapat berkembang menjadi trismus, edema, bahkan parastesi.
8. Infeksi
Penyebab utamanya adalah kontaminasi jarum sebelum administrasi
anastesi. Kontaminasi terjadi saat jarum bersentuhan dengan membran mukosa.
50
Ketidakahlian operator untuk teknik anastesi lokal dan persiapan yang tidak tepat
dapat menyebabkan infeksi.
9. Edema
Pembengkakan jaringan merupakan manifestasi klinis adanya beberapa
gangguan. Edema dapat terjadi karena trauma selama injeksi, infeksi, alergi,
hemoragi, jarum yang teriritasi, hereditary angioderma. Edema dapat
menyebabkan rasa nyeri dan disfungsi dari region yang terkena. Angioneurotik
edema yang dihasilkan akibat topikal anestesi pada individu yang alergi dapat
membahayakan jalan napas. Edema pada lidah, faring, dan laring dapat
berkembang pada situasi gawat darurat.
10. Pengelupasan jaringan
Iritasi yang berkepanjangan atau iskemia pada gusi akan menyebabkan
beberapa komplikasi seperti deskuamasi epitel dan abses steril. Penyebab
deskuamasi epitel, antara lain aplikasi topikal anestesi pada gusi yang terlalu
lama, sensitivitas yang sangat tinggi pada jaringan, adanya reaksi pada area
topikal anestesi. Penyebab abses steril, antara lain iskemi sekunder akibat
penggunaan lokal anestesi dengan vasokonstriktor (norepineprin), biasanya
berkembang pada palatum keras. Nyeri dapat terjadi pada deskuamasi epitel atau
abses steril sehingga ada kemungkinan infeksi pada daerah yang terkena.
11. Lesi intraoral post anastesi
Pasien sering melaporkan setelah 2 hari dilakukan anastesi lokal timbul
ulserasi pada mulut mereka terutama di sekitar tempat injeksi. Gejala awalnya
adalah nyeri. RAS atau herpes simplex dapat terjadi setelah anestesi lokal.
Recurrent aphthous stomatitis merupakan penyakit yang paling sering dari pada
herpes simplex, terutama berkembang pada gusi yang tidak cekat dengan tulang.
Biasanya pasien mengeluh adanya sensitivitas akut pada area ulse.
12. Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus fasialis yang
dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan
selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak. Berbagai
penyebab kelumpuhan wajah meliputi kelainan genetik, komplikasi dari operasi,
bell’s palsy, trauma, Infeksi herpes simpleks atau herpes zoster, penyakit lyme,
51
stroke dan gangguan sistem saraf pusat, tumor, penyakit sistemik, infeksi,
penyebab miscellaneous (Facial Paralysis And Bells Palsy 2014).
Kelumpuhan nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian supranuklear,
nuklear, infranuklear (perifer) dari nervus tersebut. Paralisis perifer (bell’s palsy)
adalah jenis yang paling umum dari hilangnya fungsi saraf fasialis (75%).
Paralisis ini dapat terjadi pada segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50
tahun (Duus 1994 cit. Milala 2001).
Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara tergantung
kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis nervus ini biasanya
bersifat sementara di bidang kedokteran gigi. Penyebab paralisis nervus fasialis
belum diketahui secara pasti. Etiologi dari paralisis nervus fasialis tergantung
pada lokasi lesi dari nervus fasialis (perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono
cit. Milala 2001). Paralisis nervus fasial dapat disebabkan karena kesalahan
injeksi anestesi lokal yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum
secara posterior menembus kedalam badan glandula parotid sehingga hal ini
menyebabkan paralisis (Baart dan Brand 2008).
Pasien yang mengalami paralisis unilateral mempunyai masalah utama yaitu
estetik. Wajah pasien terlihat berat sebelah. Tidak ada treatment khusus kecuali
menunggu sampai aksi dari obat menghilang. Masalah lainnya adalah pasien tidak
dapat menutup satu matanya secara sadar, refleks menutup pada mata menjadi
hilang dan berkedip menjadi susah. Paralisis nervus fasialis adalah istilah umum
yang diberikan untuk pasien yang kehilangan kemampuan untuk memindahkan
satu sisi wajah mereka. Bell’s palsy adalah bagian spesifik dari pasien yang
memiliki kelumpuhan wajah tersebut (Malamed dan Stanley 2004).
Syok Anafilatik
Definisi
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri
yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu Reaksi Antigen-
Antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif untuk seseorang
telah masuk dalam sirkulasi.
52
Renjatan anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi anafilaktik
yang berat dengan tanda-tanda kolaps vaskular dengan atau tanpa penurunan
kesadaran. Reaksi ini terjadi akibat pengeluaran mediator mastosit jaringan atau
basofil darah perifer yang mengakibatkan vasodilatasi umum pembuluh darah
perifer dan peningkatan permeabilitas. Akibatnya terjadi kebocoran cairan ke
jaringan sehingga volume darah efektif menurun, disamping hipoksemia dan
disfungsi ventrikel.
Reaksi anafilaktik terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang
dimediasi oleh IgE spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil.
Reaksi ini dapat diperberat dan diperpanjang oleh mediator sekunder yang
dikeluarkan oleh sel-sel radang yang tertarik ke lokasi reaksi. Reaksi anafilaktik
timbulnya tiba-tiba, tidak terduga dan potensial mematikan, serta memerlukan
penanganan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu harus dimengerti dan selalu
diwaspadai.
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu :
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen.
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi > 24 jam setelah terpapar dengan
alergen.
Etiologi Syok Anafilaksis
Banyak material yang dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaksis,
yaitu :
1. Protein heterolog dalam bentuk hormon seperti : Insulin, vasopressin,
paratohormone
2. Enzim : Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase
3. Bahan-bahan tumbuhan :Alang-alang, rumput, pohon
4. Bahan-bahan bukan tumbuhan : Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji
coba laboratorium
5. Makanan : Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada
kapsul
53
6. Antiserum : Antilimsofitik Gamma Globulin
7. Protein yang berhubungan dengan pekerjaan : Bahan latex karet
8. Racun serangga : Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api
9. Polisakarida seperti dextram dan thiomerosal pada bahan pengawet
10. Golongan protamin dan antibiotika : Golongan Penisilin, amfotericin B,
nitrofurantoin, golongan kuinolon
11. Anastesi lokal : Prokain, lidokain
12. Relaksan otot : Suxamethonium, gallamine, pancuronium
13. Vitamin : Thiamin, asam folat
14. Agen untuk diagnostik : Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
15. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan : Etilen oksida
Secara sederhana gajala & tanda syok anafilaktik tertera pada tabel dibawah ini :
Tanda dan gejala Keterangan
Tekanan darah Turun sampai sangat turun
Tekanan nadi Turun sampai sangat turun
Denyut nadi Meningkat sampai sangat meningkat
Isi nadi Normal atau kecil
Vasokonstriksi perifer Meningkat
Suhu kulit Dingin
Warna Normal atau pucat
Tekanan vena sentral Normal atau rendah
Diuresis Tidak ada
EKG Normal
Foto paru Normal
3.3.4 Penatalaksanaan Syncop dan Syok Anafilatik
Penatalaksanaan Syok Anafilatik
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen
baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting
dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen
yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita
pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
54
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah (Longecker, 2008, Ewan, 1998,
anonim, 2008, Putra, 1994).
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan
circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan
kebutuhan bantuan hidup dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar
(Longecker, 2008, Ewan, 1998, anonim, 2008, Putra, 1994).
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
55
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek (Ewan, 1998, UK, 2008).
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan (Ewan, 1998, Anonim, 2009, UK, 2008,
Anonim 2009).
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut (Ewan, 1998, Anonim, 2009, UK, 2008).
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg)
56
atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan
dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang
juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-
10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam (Ewan, 1998, Anonim, 2009, UK,
2008, Putra, 1994)
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB (Ewan, 1998,
Anonim, 2009, Putra, 1994)
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena
4-7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam,
atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau
NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain
adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau
agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi (Ewan, 1998, Anonim, 2009, Putra, 1994).
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam
250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau
15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-
pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrose 5% (Ewan, 1998, Anonim, 2009, Putra, 1994)
Terapi Cairan.
57
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma (Anonim, 2009)
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler (Anonim,
2009).
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal
mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus
dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
58
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit (Anonim, 2009).
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik
(Anonim, 2008).
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa
tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif (Anonim, 2008).
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan
observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang
kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang (Anonim,
2008).
Penatalaksanaan Sinkop
Sinkop (menurut European Society of Cardiology : ESC), adalah suatu gejala
dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat
sementara, dan biasanya menyebabkan jatuh (pingsan). Hilangnya kesadaran
tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral (otak). Sebelum sinkop terjadi, timbul
59
perasaan kepala menjadi enteng, pusing (vertigo), lemah, mabuk dan menurunnya
kekuataan motorik (Ahmad, 2013)
Ciri-ciri serangan sinkop adalah sebagai berikut :
1. Lama serangan berlangsung beberapa detik.
2. Sinkop jarang timbul pada saat pasien berbaring.
3. Tidak ada ngompol.
4. Setelah serangan biasanya penderita sadar penuh, meskipun ada perasaan lemas
dan lemah.
5. Gigitan lidah tidak terjadi.
6. Muka pucat (Ahmad, 2013)
Sebelum sinkop terjadi, seseorang akan merasa lapar, lelah, stress, dan
biasanya mengalami bunyi denging dalam telinga tanpa rangsang dari luar
(tinnitus), perasaan melayang, dan pucat. Sinkop terjadi diserta dengan tanda-
tanda tubuh kolaps, berkeringat, denyut jantung melambat (kurang dari 60 denyut
semenit)/ketidakteraturan denyut jantung, tak bergerak dan nadi lemah.
Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa pernah mengalami paling sedikit sekali
sinkop selama hidupnya (Ahmad, 2013)
Penyebab sinkop dapat dikelompokkan dalam 6 kelompok yaitu vaskular
(mis. vasovagal), kardiak, neurologik-serebrovaskular, psikogenik, metabolik dan
sinkop yang tidak diketahui penyebabnya. Sinkop vaskular merupakan penyebab
sinkop yang terbanyak, kemudian diikuti oleh sinkop kardiak (Ahmad, 2013)
Sinkop vasovagal adalah salah satu dari penyebab yang paling umum dari
pingsan. Pada situasi ini, keseimbangan antara zat kimia adrenaline dan
acetylcholine terganggu. Adrenaline menstimulasi tubuh, termasuk membuat
jantung berdenyut lebih cepat dan pembuluh-pembuluh darah menyempit.
Acetylcholine melakukan sebaliknya. Ketika syaraf vagus distimulasi,
acetylcholine yang berlebihan dilepas, denyut jantung melambat dan pembuluh-
pembuluh darah melebar, membuat darah lebih sulit untuk mengalahkan gaya
berat (gravitasi) dan dipompa ke otak. Pengurangan sementara ini pada aliran
darah ke otak menyebabkan episode pingsan (Ahmad, 2013).
60
Sinkop vasovagal yang paling sering timbul dengan adanya ketakutan,
cemas atau nyeri (misalnya sebelum atau selama prosedur pembedahan) atau
karena syok psikis (misalnya melihat darah). Keadaan ini cenderung pada
penderita yang berada dalam posisi berdiri. Situasi lain menyebabkan denyut
jantung untuk sementara melambat dan menyebabkan pingsan. Refleks yang keras
ketika membuang air kecil, membuang air besar, atau batuk dapat menyebabkan
vagal response (Ahmad, 2013)
Sinkop kardiak merupakan penyebab kedua tersering dari sinkop (seperlima
dari seluruh kejadian). Sinkop kardiak ini akan menyebabkan mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak mempunyai dasar kelainan jantung.
Pasien dengan sinkop kardiak ini mempunyai resiko kematian tertinggi dalam 1
sampai 6 bulan. Tingkat mortalitas pada tahun pertama 18-33 %, dibandingkan
dengan sinkop yang bukan disebabkan kelainan kardiak yaitu 0-12%, bahkan pada
sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6%. Demikian pula dengan angka
kematian mendadak lebih tinggi pada populasi yang mempunyai dasar kelainan
jantung. Penyebab sinkop kardiak bisa karena kelainan irama jantung seperti
bradiaritmia (sick sinus syndrom, blok AV), takiaritmia (seperti : VT, VF)
maupun kelainan struktur jantung (seperti stenosis aorta, kardiomiopaty
obstruktif) (Ahmad, 2013)
Penanganan Sinkop
Sebagai bentuk pencegahan, pasien yang mengalami sinkop berulang atau
memiliki riwayat pingsan tanpa gejala terlebih dahulu sebaiknya menghindari
kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan cedera lebih lanjut apabila sampai
kehilangan kesadaran pada saat melakukan kegiatan seperti berenang sendirian,
mengoperasikan mesin berat, atau mengemudi (Ahmad, 2013)
Sebelum seseorang pingsan, biasanya ada tanda yang dirasakan. Oleh
karena itu, bisa dilakukan pernafasan dalam, serta teknik relaksasi untuk
menghindari pingsan. Teknik tersebut bisa membantu mengontrol pingsan yang
berkaitan dengan regulasi tekanan darah. Berbaring setidaknya 10-15 menit
ditempat yang sejuk dan tenang. Pada saat muncul gejala akan pingsan seperti
kepala terasa ringan, mual atau kulit dingin dan lembab, dapat dilakukan counter-
61
pressure maneuvers seperti mengepalkan jari tangan, menegangkan tangan, dan
menyilangkan kaki atau merapatkan paha. Jika pingsan terjadi sering tanpa
kejadian yang memicu, biasanya merupakan pertanda penyakit jantung yang
mendasarinya (Ahmad, 2013)
Jika sudah mengalami kehilangan kesadaran, pasien sebaiknya diposisikan
pada posisi yang mendukung aliran darah ke otak, terlindung dari trauma, dan
mendapatkan jalan nafas yang aman. Pasien harus dipastikan bisa mendapatkan
udara segar. Jika kesadaran tidak segera pulih, pernapasan dan nadi harus
diperiksa serta bersiap melakukan resusitasi untuk mengantipasi (Ahmad, 2013)
Jika memungkinkan, pasien sebaiknya terbaring dengan posisi kepala
menghadap ke satu sisi untuk mencegah aspirasi dan terhambatnya jalan nafas
oleh lidah. Selanjutnya, penilaian nadi dan auskultasi jantung dapat membantu
menentukan apakah pingsan tersebut berkaitan dengan bradiaritmia atau
takiaritmia. Pakaian yang menempel ketat sebaiknya dilonggarkan, terutama pada
leher dan pinggang. Stimulasi perifer seperti meneteskan air pada wajah dapat
membantu menyadarkan pasien. Pemberian apapun ke mulut pasien, termasuk air,
sebaiknya dihindari jika pasien masih berada dalam kelemahan secara fisik.
(Ahmad, 2013).
Pasien yang mengalami sinkop vasovagal sebaiknya diinstruksikan untuk
menghindari situasi atau stimulus yang menyebabkan dia kehilangan kesadaran
sebelumnya atau bisa juga disarankan untuk berbaring apabila gejala awal pingsan
mulai terasa. Segera periksa ke dokter apabila gejala belum membaik. Dokter
akan melakukan pemerikasaan menyeluruh seperti pemeriksaan fisik,
laboratorium, dan EKG untuk mencari penyebab pingsan (Ahmad, 2013)