BAB III KONSEPSI TASAWUF TRANSFORMATIF DAN …digilib.uinsby.ac.id/790/7/Bab 3.pdf · merumuskan...

80
BAB III KONSEPSI TASAWUF TRANSFORMATIF DAN MODERNISME A. Konsepsi Tasawuf Islam 1. Tasawuf dan Mistisisme Diantara sisi menarik yang selalu dimiliki semua agama-agama besar di dunia adalah kecenderungan sebagian pemeluknya terhadap hal-hal yang bersifat mistik, dan juga terbukanya kemungkinan untuk dihadapkan kepada pengalaman-pengalaman yang berbasis spiritual. 1 Sifat yang demikian ini memang sangat wajar, mengingat hanya dengan cara itulah seorang hamba dapat menjalin hubungan yang baik dengan Tuhannya. Dengan tidak berusaha mengurangi kelebihan segi rasionalitas yang semestinya juga dimiliki oleh setiap agama dan akan selalu menjadi aset yang paling berharga di dalam menghadapi masyarakat modern, dimensi mistisisme merupakan pilar penting yang dapat menunjukkan seberapa besar ajaran dan peradaban agama yang bersangkutan. Agama Hindu mempunyai sistem disiplin yoga, Buddha dengan ajaran moral dan nirwananya, Kristen dikenal sebagai agama yang mengusung pola kerahiban dan sosok mistis Yesusnya, kemudian Islam dengan kejayaan tasawufnya yang mampu menunjukkan eksistensinya sampai dengan saat ini. Istilah mistisisme sendiri pada dasarnya mengandung sesuatu yang misterius, dan hanya bisa diraih dengan cara yang tidak biasa, yang bisa berupa meditasi atau dengan amalan-amalan tertentu. Mistisisme berakar dari kata 1 Lucinda Vardey (ed), God in All Worlds: An Anthology of Contemporary Spiritual Writing (New York: Vintage Books, 1996), 78.

Transcript of BAB III KONSEPSI TASAWUF TRANSFORMATIF DAN …digilib.uinsby.ac.id/790/7/Bab 3.pdf · merumuskan...

BAB III

KONSEPSI TASAWUF TRANSFORMATIF DAN MODERNISME

A. Konsepsi Tasawuf Islam

1. Tasawuf dan Mistisisme

Diantara sisi menarik yang selalu dimiliki semua agama-agama besar di

dunia adalah kecenderungan sebagian pemeluknya terhadap hal-hal yang bersifat

mistik, dan juga terbukanya kemungkinan untuk dihadapkan kepada

pengalaman-pengalaman yang berbasis spiritual.1 Sifat yang demikian ini

memang sangat wajar, mengingat hanya dengan cara itulah seorang hamba dapat

menjalin hubungan yang baik dengan Tuhannya. Dengan tidak berusaha

mengurangi kelebihan segi rasionalitas yang semestinya juga dimiliki oleh setiap

agama dan akan selalu menjadi aset yang paling berharga di dalam menghadapi

masyarakat modern, dimensi mistisisme merupakan pilar penting yang dapat

menunjukkan seberapa besar ajaran dan peradaban agama yang bersangkutan.

Agama Hindu mempunyai sistem disiplin yoga, Buddha dengan ajaran moral

dan nirwananya, Kristen dikenal sebagai agama yang mengusung pola kerahiban

dan sosok mistis Yesusnya, kemudian Islam dengan kejayaan tasawufnya yang

mampu menunjukkan eksistensinya sampai dengan saat ini.

Istilah mistisisme sendiri pada dasarnya mengandung sesuatu yang

misterius, dan hanya bisa diraih dengan cara yang tidak biasa, yang bisa berupa

meditasi atau dengan amalan-amalan tertentu. Mistisisme berakar dari kata

1Lucinda Vardey (ed), God in All Worlds: An Anthology of Contemporary Spiritual Writing (New York: Vintage Books, 1996), 78.

39

mystic, mystery, atau dalam bahasa Yunani myein yang berarti ‘menutup mata’.2

Istilah mistisisme secara umum dipakai untuk mencakup dua hal; pertama,

adanya pengalaman langsung yang menghubungkan mistikus dengan Tuhannya.

Kedua, berkembangnya doktrin metafisika yang memungkinkan bersatunya jiwa

manusia dengan realitas yang absolut atau Tuhan. Jenis yang pertama kali itulah

yang seringkali disebut sebagai pengalaman mistik (mystical experience), yang

biasanya dihadirkan dalam bentuk fenomena fisik di luar kelaziman; seperti

halnya bisikan gaib, visi-mimpi, perubahan sisi dalam bagian tubuh, ataupun

ekstase. Sementara jenis yang kedua pada umumnya dikenal sebagai puncak dari

segala realitas (ultimate reality).3

Keseriusan mistisisme dalam menjajaki wilayah batin manusia

mengantarkan ajaran yang penuh dengan nuansa kontemplasi dan diwarnai

dengan pemikiran-pemikiran filsafat ini ke dalam sketsa sejarah Islam dan

mendapatkan sebutan s}u>fi>sme.4 Hanya karena sistem s}u>fi>sme-lah, semangat

mistisisme ini memperoleh tempatnya dalam agama Islam.5

Memang tidak semua kalangan Islam dapat menerima dengan

sepenuhnya penyamaan tasawuf Islam dengan mistisisme. Beberapa darinya

tidak mau menyebut s}u>fi>sme dengan mistisisme Islam disebabkan istilah

tersebut telah memiliki warna yang pasif dan anti-intelektual dalam kebanyakan

bahasa Eropa kontemporer, sebagai akibat dari pertentangan selama berabad-

2Annemarie Schimmel, Mystical of Islam (Cape Hill, USA: The University of Carolina Press, 1975), 3. 3Rufus M. Jones, “Mysticism (introductory),” dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James Hastings, vol. IX (New York: Charles Scribner’s Sons, 1955), 83-84. 4Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1978), 456. 5Aun Falestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia Di Masa Klasik Islam (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 10-11.

40

abad antara Kristen dan rasionalisme.6 Tetapi secara umum, para sarjana telah

mendefinisikan tasawuf sebagai mistisisme Islam; karena di samping

membedakannya dengan aspek eksoterik lain yang dimiliki Islam, pemakaian

kata ini juga ‘terlanjur’ diterapkan pada semua pelaku spiritual dalam

kepercayaan agama lain, sebagaimana yang telah didahului oleh masyarakat

Yunani dan kalangan Kristiani.

Membahas mengenai kontroversi mistisisme dalam spiritualitas (tasawuf)

Islam, lebih bijak jika kita perhatikan tentang adanya kesamaan dasar dari semua

pengalaman mistis yang dialami oleh sekian banyak pelaku spiritual tanpa

melihat perbedaan agamanya. Mistisisme telah lama menjelma menjadi sebuah

cahaya spiritual besar yang merasuk di semua agama.7

Beberapa argumentasi di atas, terlihat sebagai upaya untuk mereduksi

semaksimal mungkin persepsi bahwa salah satu agama tidak memiliki ajaran

spiritual secara orisinal, sehingga bila kemudian dimensi esoteris itu muncul,

maka bisa dipastikan hal tersebut adalah hasil menjiplak konsep dan praktek

mistisisme yang telah dicetuskan agama lain. Anggapan seperti ini tidaklah tepat

dan sangat lemah dalam membangun argumentasi. Keorisinalan semangat

spiritual pada hakekatnya akan selalu ada pada setiap agama. Jika nanti ada pola

ajaran dari sebuah gerakan mistisisme agama yang sekilas tampak serupa dengan

praktik mistik agama lain, maka hal tersebut adalah sebuah kewajaran. Sama

6Seyyed Hossein Nasr menguraikan dengan jelas karakter sufisme yang sebetulnya mengikutsertakan intelektual manusia ketika menjalani proses kehidupan spiritualnya. Dari sinilah banyak muncul sufi yang sekaligus berperan sebagai guru, sarjana, seniman, ilmuwan, dan sebagainya. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Goerge Allen & Unwin Ltd, 1966), 131-132. 7Annemarie Schimmel, Mystical of Islam, 4.

41

halnya dengan proses terjadinya akulturasi budaya dan bahasa di antara berbagai

daerah dan bangsa. Ditambah lagi, semua hal itu tidak akan mengubah ciri khas

masing-masing mistisisme yang telah lama menghunjam di setiap poros agama.

Bagi Islam, tentu ayat-ayat al-Qur’an dan potret kehidupan Rasulullah Saw yang

menjadi rujukan s}u>fi>sme dalam Islam. Islam, dan juga s}u>fi>sme, memang selalu

terbuka dengan penetrasi kebudayaan-kebudayaan asing. Akan tetapi

keanekaragaman budaya dan praktek kehidupan agama lain yang diperkirakan

masuk mempengaruhi s}u>fi>sme, hanyalah bersifat pemberi warna saja.8

Kontroversi antara mistisisme dan tasawuf di atas lebih banyak

didominasi oleh semangat dikotomis antara Islam-Barat atau spiritualitas Islam

(tasawuf)-spiritualitas non Islam. Namun sebenarnya di internal para ulama

muslim juga terjadi begitu banyak perbedaan dalam mendefinisikan makna

tasawuf ini. Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya perlu untuk

dijelaskan mengenai berbagai pendapat seputar definisi tasawuf menurut para

ulama muslim.

2. Definisi Tasawuf

Terma tasawuf sendiri baru muncul beberapa abad setelah wafatnya

Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah, masyarakat muslim hanya mengenal

istilah s}ah}a>bah sebagai orang yang berada dekat dalam lingkaran Rasulullah.

Mereka juga mengenal istilah ‘a>bid yang diberikan kepada mereka yang selalu

8Teori yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah produk dari agama-agama lain di luar Islam sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Bahkan menurut Nicholson, andaikata Islam menutup pintu-pintu terhadap pengaruh agama dan tradisi lain, maka bentuk mistisisme tetap akan tumbuh di dalam dengan sendirinya, karena bibit-bibit (al-Qur’an & Sunnah) itu memang sudah lama tersedia dalam ajaran Islam. Lihat Reynold Alleyne Nicholson, The Mystics of Islam (Bloomington: World Wisdom Inc, 2002), 13-14.

42

beribadah kepada Allah.

Terdapat kesepakatan para ahli bidang tasawuf mengenai sulitnya

merumuskan definisi dan batasan tegas berkaitan dengan pengertian tasawuf.

Hal ini disebabkan terutama karena kecenderungan spiritual terdapat pada setiap

agama, aliran filsafat, dan peradaban. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang

menyatakan pengalaman pribadinya dalam konteks pemikiran dan kepercayaan

yang berkembang pada masyarakatnya.9 Mengenai hal ini W.T. Stace

berpendapat:

“Pada taraf substansi pengalaman spiritual tampaknya sama. Perbedaan yang ada, pada dasarnya, berada pada taraf interpretasi terhadap pengalaman itu sendiri yang diuraikan berdasarkan kebudayaan tempat yang bersangkutan hidup”.10 Tasawuf merupakan diskursus akademik yang cukup menarik dan

mendapat perhatian dalam setiap pengkajiannya karena sifatnya yang

mysteries.11 Disebut misteri, karena pada prinsipnya, seorang s}u>fi> adalah orang

yang memasuki wilayah misteri, yang kemudian setelah melalui berbagai proses

pentahapan, mencapai pengetahuan esoterik tentang ketuhanan (Divine) yang

Absolut, dan akhirnya mengalami “reborn into eternity”12, terlahir kembali ke

dalam keabadian. Oleh karena itu, tasawuf tidak mudah untuk dikaji hanya

dengan upaya nalar dan intelektual sekaligus.13

Dalam literatur tasawuf sendiri, definisi yang dikemukakan cukup 9Abu> al-Wafa>’ al-Taftaza>ni>, Al-Madkhal ‘ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah wa al-T{iba>’ah wa al-Nasyr, 1976), 24-25. 10W.T. Stace, Mysticisism and Philosophy (London: MacMillan, 1961), 35. Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), 27. 11Annemarie Schimmel, Mystical of Islam, 3. Schimmel menyebut,”That mysticism contains something mysteries, not to be reached by ordinary means or by intellectual effort,...”. 12F.C. Happold, Mysticism: A Study and an Anthology (New York: Viking Penguin Inc, 1970), 18. 13Annemarie Schimmel, Mystical Dimension, 3.

43

banyak dan dalam jumlah yang mengundang perenungan. Nicholson mencatat

kurang lebih ada 78 definisi.14Shihab al-Di>n Suhrawardi (w.1236 M), pengarang

kitab ‘Awa>rif al-Ma’a>rif, mengatakan bahwa tasawuf memiliki lebih dari seribu

definisi. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa kenyataan beragamnya

definisi bukan lantas berarti kekacauan dan kontradiksi pengertian, sebab

tasawuf pada hakikatnya adalah pengalaman individual (individual experience)

atau pengalaman mistik (mystical experience) yang berbeda dengan mystical

text. Di sisi inilah menurut sebagian pengamat, tasawuf dalam dunia Islam

dipandang sebagai gejala yang tidak mudah untuk diidentifikasi.15 Selain itu,

tasawuf telah mengalami perkembangan sepanjang masa dan bersinggungan

dengan berbagai budaya, sehingga istilah-istilah yang digunakan menjadi rumit

dengan tendensi yang bermacam-macam.16

Sebelum mendefinisikan arti tasawuf, penting untuk melihat beberapa

pendapat seputar perbedaan akar kata tasawuf itu sendiri. Para peneliti pemikiran

keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula kata tasawuf. Seorang

orientalis peminat kajian tasawuf, Nicholson berpendapat bahwa kata tasawuf

berasal dari s}afa>’ yang berarti ‘murni’. Dinamakan demikian karena mengacu

pada kemurnian hati dan keikhlasan para s}u>fi> dalam mendekati Tuhannya.

Pendapat Nicholson ini dikuatkan oleh pernyataan Basha>r bin H{a>rith, bahwa para

s}u>fi> adalah mereka yang memurnikan hatinya semata untuk Allah.17

14‘Abd al-Rah}ma>n Badawi>, Ta>ri>kh al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kuwait: Wika>lah al-Mat}bu>’a>t, 1975), 51. 15Cyprian Rice, The Persian Sufi (London: George Allen and Unwin Ltd., 1964), 9. 16Alwi Shihab, Islam Sufistik, 29. 17Reynold A. Nicholson, Fi al-Tas}awwuf al-Isla>mi> wa Ta>rikhuhu, terj. (Kairo: Maktabah al-Khanji>, 1951), 27.

44

Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata s}af yang

berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh

yang tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sementara al-Qushairi

menyebutkan, diantara para peneliti ada yang menyatakan kata s}u>fi> berasal dari

kata s}aff dalam shalat. Dinamakan demikian karena mereka di hadapan Allah

selalu berada di barisan terdepan dalam kebaikan, seperti orang-orang shalat yang

berada di s}aff terdepan.18

Pendapat lain menyatakan bahwa mereka dinamakan ‘s}u>fi>’ karena

kedekatan sifat-sifat mereka kepada orang-orang ahl al-s}uffah, sekelompok orang

miskin yang tinggal di serambi masjid tempat Rasulullah mengajar di Madinah

dan tempat ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu> Dha>r

al-Ghiffa>ri>. Mereka meninggalkan daerah asal mereka, harta dan semua

kekayaannya hanya untuk berada di dekat Rasulullah dan menyibukkan diri

dengan beribadah. Mereka terbiasa berpuasa di siang hari, dan pada malam hari

melakukan qiya>m al-lail, mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Atas sifat-sifat ahl

al-s}uffah yang demikianlah kata “s}u>fi>” dinisbatkan pada mereka.19

Sebagian yang lain berpendapat s}u>fa>nah, sejenis tumbuhan merambat yang

lazim tumbuh di padang pasir. S}u>fa>nah adalah tumbuhan sebagai simbolisasi dari

kezuhudan hidup di dunia, karena para s}u>fi> tidak mau menikmati makanan yang

lezat dan hanya menyantap tumbuhan tersebut.20

18‘Abd al-Mu’t }i > Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, Nashatuh wa Judhu>ruh wa Mada>risuh, (Kairo:Maktabah al-I>ma>n, t.th), 15. 19Ibid. 20‘Ali> Sa>mi> al-Nashr, Nashat al-Fikr al-Falsafi>, Vol. 3, (Kairo, Da>r al-Ma’a>rif, 1977),39.

45

Selain pandangan yang tersebut diatas, ada beberapa kalangan yang

mengatakan bahwa asal kata s}u>fi> ialah berasal dari s}afa> yang berarti bersih dan

suci karena orang s}u>fi> senantiasa membuat lahir batinnya dalam keadaan suci.

Sedangkan ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf

berasal dari kata Yunani shopos yang berarti kebijaksanaan.21 Termasuk yang

berpendapat seperti ini adalah al-Bi>ru >ni>.22 Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh

orientalis semisal Thedore Noldeke.

Jadi, secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh

kata asal yaitu: s}afa> (suci), s}aff (barisan shalat), sufa>nah (buah-buahan kecil

berbulu yang banyak dijumpai dipadang pasir), s}afwah (yang terbaik), s}u>f

(bulu domba kasar), theosophy (hikmat ketuhanan) dan s}uffah.23

Sedangkan arti tasawuf secara terminologi menurut ‘Amir bin Uman Al-

Makki, tasawuf adalah melakukan sesuatu yang terbaik di setiap saat (an yaku>na-

l-‘abdu fi> kulli waqtin bima> huwa awla> fi-l-waqti).24 Kedua, menurut Al-Junaidi,

tasawuf adalah usaha-usaha membersihkan diri, berjuang menerangi hawa nafsu,

mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan

antar manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syariat

Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaanNya.25 Ketiga, menurut

Al-Jurairi adalah masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar dari

21A. Hidayat, Tasawuf Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Serta Pandangan Ulama, dalam Jurnal Khasanah Vol. 1 No. 3 Januari-Juni (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 253. 22‘Abd al-Mu’t }i > Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, 19. 23A. Hidayat, Tasawuf Dalam Al-Qur’an, 253. 24 Abu al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m ibn Hawa>zin al-Qushairi> al-Naisa>bu>ri>, al-Risa>lat al-Qushairiyyah Fi> ‘Ilm al-Tas}awwuf (t.t: Da>r al-Khoir, t.th), 434. Lihat juga dalam Abu> Nas}r al-Sarraj, al-Luma>’: Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj. Wasmukan (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 53. 25 al-Qushairi>, al-Risa>lat al-Qushairiyyah, 430.

46

budi pekerti yang rendah (al-dukhu>l fî khuluqin saniyyin wa-l-khuru>j min kulli

khuluqin dunuwwiyyin).26

Sampai di titik ini dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat

mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada

kelompok yang menitik-beratkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai

oleh pelaku tasawuf (s}u>f), kelompok yang lain menekankan pada aspek

batiniah yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat- sifat tercela (s}afa>),di

samping keduanya, ada juga yang menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu

adanya kesamaan amaliah antara ahli tasawuf dengan ahl s}uffah dan juga

kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan bangun malam melaksanakan sholat

malam sehingga badannya kurus seperti pohon s}ufa>nah. Namun secara

teminologi, para ulama bersepakat bahwa tasawuf bermakna usaha-usaha yang

dilakukan manusia dalam menggapai kemuliaan akhlaq dalam rangka meraih

derajat yang tinggi dihadapan Allah.

Kesulitan yang sama sebenarnya juga pernah diungkapkan oleh banyak

sarjana baik klasik dan kontemporer seperti al-Ghaza >li>, al-Kala>badzi>, al-

Suhrawardi>, Ibn ‘Arabi >>, dan Muh}ammad Iqba>l. Namun mereka semua sepakat

bahwa s}u>fi>sme merupakan persoalan hati. Hati mempunyai bahasa tersendiri

dalam mencerap kebenaran. Karena bahasa hati berbeda dengan rasio, maka

mengungkapkan apa yang dirasakan oleh hati seringkali tidak dapat terwakili

dengan kata-kata. Capaian-capaian laku suluk yang dialami seorang s}u>fi> tidak

dapat diceritakan keseluruhannya kepada orang lain. Oleh karena itu s}u>fi>sme

26 Al-Sarraj, al-Luma>’, 53.

47

hanya dapat dipahami melalui hati masing-masing individu. Pencerahan s}u>fi>stik

dapat tercapai melalui olah batin yang dilakukan tiap pelaku.27

Jala >l al-Di>n Ru >mi> memberikan perumpamaan tentang sulitnya

memberikan definisi tunggal tentang s}u>fi>sme seperti orang buta yang

menggambarkan gajah di kegelapan malam. Masing-masing orang buta

memegang satu bagian tertentu dari diri gajah. Orang yang memegang belalai,

menggambarkan gajah sebagai binatang yang kecil dan panjang. Orang yang

memegang telinga gajah akan mengatakan bahwa gajah adalah makhluk lebar.

Sedangkan mereka yang memegang ekor gajah akan menganggap gajah sebagai

hewan yang kecil dan pendek.28

Ibnu Khaldu>n mengemukakan dua alasan mengapa s}u>fi>sme begitu sulit

untuk didefinisikan. Pertama, para s}u>fi> ketika mereka memberikan definisi

mengenai s}u>fi>sme tidak bermaksud menjelaskan s}u>fi>sme secara keseluruhan, akan

tetapi menjelaskan tentang satu bagian dari s}u>fi>sme yang sesuai dengan ah}wa>l dan

maqa>m yang mereka alami. Sebagian s}u>fi> menerangkan tentang ah}wa>l permulaan

jalan s}u>fi>, sebagian lagi menjelaskan ah}wa >l ujung jalan. Sebagian menerangkan

tentang kondisi dalam satu waktu tertentu, dan bukan waktu lainnya. Kedua,

perkembangan s}u>fi>sme yang meliputi wilayah geografis yang luas dan rentang

waktu yang lama menjadikan munculnya berbagai pemahaman berbeda tentang

s}u>fi>sme. Pemahaman sederhana mengenai s}u>fi>sme di awal kemunculan Islam

menjadi bervariasi dengan meluasnya pengaruh Islam ke banyak daerah yang 27‘Irfa>n ‘Abd al-H{ami>d, Nash’at al-Falsafah al-S{u>fiyyah wa Tat}awwuriha>, (Beirut: Da>r al-Jail, 1993), 131. 28Ibid., 132.

48

memiliki peradaban berbeda. Masing-masing peradaban tersebut memahami

s}u>fi>sme sesuai dengan tradisi yang mereka jalankan sebelum kedatangan Islam.

Pengaruh dari tradisi keagamaan yang berbeda-beda inilah yang kemudian

membuat s}u>fi>sme dipahami secara berbeda oleh banyak kalangan.29

Upaya dalam menjembatani berbagai kesulitan tentang pendefinisian kata

tasawuf di atas, maka Ibrahim Basyu>ny melakukan pengelompokkan menjadi tiga

kategori, yaitu al-bida>ya>t, al-muja>hada>t, dan al-madha>qa>t.30 Yang dimaksud

dengan al-bida>ya>t, bahwa prinsip awal tumbuhnya tasawuf adalah sebagai

manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai mahluk

Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia (para s}u>fi>) untuk memusatkan

perhatiannya beribadah kepada Tuhan yang dibarengi dengan kehidupan asketik

atau zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral. Kecenderungan

kepada moralitas tersebut, mendorong mereka untuk mempercakapkan

pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya. Tindak lanjut dari

perbincangan itu mengarahkan mereka kepada aspek-aspek yang menyangkut

hubungan manusia dengan Tuhan atau Khaliq dengan mahluk. Dari segi ini,

tasawuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakekat Allah seraya melupakan

segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. Definisi lain

mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada

Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran al-h}ubb atau cinta ilahi.31

29Ibid, 135. 30Ibrahim Basyu>ny, Nash’at al-Tas}awwuf al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 17. 31Ibid., 17-19.

49

Definisi tasawuf yang dikategorikan dalam kelompok al-muja>hada>t adalah

seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan, yaitu berjumpa

dengan Allah. Berdasarkan tinjauan ini, maka tasawuf diartikan sebagai usaha

yang sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Sedangkan

apabila definisi tasawuf dari kelompok pertama didasarkan pada kesadaran

manusia sebagai hamba Allah, kemudian yang kedua dikaitkan dengan upaya

mencari hubungan langsung dengan Allah, maka dalam kategori yang ketiga,

pendefinisian yang didasarkan kepada al-madha>qa>t, diartikan sebagai apa dan

bagaimana yang dialami dan dirasakan seorang hamba di hadirat Allah, apakah ia

melihat Tuhan, atau merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau ia merasa

bersatu dengan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini, maka tasawuf dipahami

sebagai al-ma’rifat al-h}aqq, yakni ilmu tentang hakekat realitas-realitas intuitif

yang terbuka bagi seorang s}u>fi>.32

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa kesulitan pendefinisian

tasawuf disebabkan salah satunya karena perkembangan s}u>fi>sme yang meliputi

wilayah geografis yang luas dan rentang waktu yang lama menjadikan munculnya

berbagai pemahaman berbeda tentang s}u>fi>sme. Pemahaman sederhana mengenai

s}u>fi>sme di awal kemunculan Islam menjadi bervariasi dengan meluasnya

pengaruh Islam ke banyak daerah yang memiliki peradaban berbeda. Masing-

masing peradaban tersebut memahami s}u>fi>sme sesuai dengan tradisi yang mereka

jalankan sebelum kedatangan Islam. Pengaruh dari tradisi keagamaan yang

berbeda-beda inilah yang kemudian membuat s}u>fi>sme dipahami secara berbeda

32Ibid., 20-24.

50

oleh banyak kalangan. Berbicara rentang waktu, kondisi geografis, dan tradisi

keagamaan para s}u>fi>, tidak lain adalah faktor-faktor yang berkaitan erat dengan

sejarah s}u>fi>sme. Dengan mengetahui sejarah yang menaungi perkembangan

tasawuf dari abad ke abad tersebut, akan membentuk sebuah pemahaman yang

holistik terhadap berbagai sebab perbedaan pandangan dan karakter di kalangan

para s}u>fi>.

3. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa

tahap sejak pertumbuhan hingga saat ini. Tahap pertama, tasawuf masih berupa

zuhud dalam pengertian yang sangat sederhana, yaitu pada abad ke-1 dan ke-2

H, ketika sekelompok kaum muslimin memusatkan perhatian dan

memprioritaskan hidupnya hanya untuk pelaksanaan ibadah dalam mengejar

kepentingan akhirat. Ali Sami al-Nashr, cendekiawan Mesir kontemporer

membagi golongan pelaku tasawuf dalam periode ini menjadi dua bagian, yaitu

golongan za >hid dan s}u>fi>. Makna za>hid yang ia maksud dinisbatkan kepada mereka

yang beriman kepada Nabi yang melakukan segala yang diperintah Nabi dan

menjauhi larangannya. Terma za>hid pada era ini dapat disematkan kepada hampir

mayoritas umat Islam (sahabat). Meskipun tidak semua dari mereka terkenal

dengan kesalehannya, namun mengingat keistimewaan mereka yang hidup

bersama Nabi sehingga mendapat pujian berkali-kali dari Allah.33

Sedangkan golongan kedua (s}u>fi>) adalah mereka yang menempuh jalan

dan metode-metode latihan khusus dalam rangka beribadah kepada Allah. Mereka

33‘Ali> Sa>mi > al-Nashr, Nash`at al-Fikr al-Falsafi, 61.

51

juga memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya

sehingga membuat mereka memilih menjauh masyarakat, tidak tersibukkan

dengan urusan dunaiwi, memutuskan untuk hidup semata-mata untuk Allah.

Mereka inilah barisan s}u>fi> generasi awal dalam tradisi Islam. Pada periode ini,

muncul tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bas}ri (w.110 H) dan Rabi>’ah al-

‘Ada>wiyyah (w.185 H).

Pendapat tersebut juga sama dengan yang diungkapkan Ibn Khaldu>n,

bahwa tasawuf selalu dimulai dari zuhud.34 Lebih lanjut Ibn Khaldu>n

menambahkan bahwa di kalangan ahli tasawuf mempunyai ilmu khusus yang

membedakannya dengan golongan lain. Sementara ahli fikih, hadis, dan tafsir

mengembangkan keilmuannya masing-masing, maka golongan tasawuf memiliki

keilmuan tentang muja>hadah, pembersihan hati, pendekatan diri kepada Tuhan,

cinta kepada Tuhan dan lain lain.35

Meskipun, seperti disinggung oleh Ibn Khaldu>n di atas, pembagian

golongan kedua tadi menggunakan kalimat ‘tasawuf’, namun sebenarnya pada

masa itu kalimat tasawuf (s}u>fi>sme) belum dikenal oleh masyarakat. Mereka

mempunyai kalimat tersendiri untuk menamakan beberapa golongan tertentu di

kalangan mereka. Para ahli tafsir dan Al-Quran disemati gelar qurra>, mereka

menjuluki para pakar hukum Islam dengan faqi>h. Sedangkan orang-orang yang

menempuh jalan khusus untuk mendekati Tuhan biasa disapa za>hid ketika itu.

Pada periode selanjutnya (abad 3-4 H), s}u>fi>sme mendapatkan interpretasi

yang lebih komprehensif, ketika kaum s}u>fi> mulai memperhatikan aspek-aspek

34Al-Nashr, Nashat al-Fikr al-Falsafi>, 63. 35Ibid, 70.

52

teoritis-psikologis dalam rangka pembentukan perilaku hingga tasawuf menjadi

sebuah ilmu akhlaq keagamaan. Pembahasan luas seputar akhlaq mendorong

lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan dan

pengaruhnya terhadap perilaku.

Al-Tafta>za >ni> mengatakan bahwa periode ini merupakan periode

kematangan diskursus s}u>fi>sme. Hal ini ditandai dengan sistematisasi teori-teori

s}u>fi>sme dan penyusunan buku-buku induk s}u>fi>sme. Pembahasan-pembahasan

para s}u>fi> yang berdiskusi terkait akhlak manusia secara tidak langsung membawa

mereka untuk mempelajari lebih dalam aspek psikologis dari manusia, sisi hewani

dan metode-metode tertentu untuk mengobatinya,disamping juga berkembang

pembahasan mengenai alam metafisika, realitas transenden, dan bagaimana

manusia yang imanen untuk memasuki alam transenden. Dari pembahasan inilah

kemudian muncul pembahasan mengenai maqa>ma>t, ah}wa>l, rahasia-rahasianya,

serta cara-cara untuk membawanya ke arah akhlak terpuji. S}u>fi>sme pada fase ini

tak ubahnya sebagai ilmu khusus yang berdiri sejajar dengan ilmu tafsir, hadist,

fikih yang lebih dahulu berkembang.36

Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldu>n “Ketika ilmu-ilmu dalam Islam mulai

disusun dan disistematisasikan, para fuqa>ha> menyusun kitab-kitab fikih dan

us}u >lnya, demikian pula para mutakallimi>n, dan mufassir. Sementara para ahli

t}ari>qah ini (s}u>fi>) juga mengarang kitab-kitab mengenaiwara’, muja>hadah nafs, dan

sebagainya sehingga menghasilkan apa yang kita kenal dengan ilmu tasawuf, ilmu

yang berubah menjadi ilmu ilmiah dan sistematis setelah sebelumnya hanya

36Al-Tafta>za>ni >, Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>, 95.

53

sebagai jalan ibadah saja. Sehingga dengan demikian ilmu syariat bercabang

menjadi dua bentuk, ilmu z}a>hir yang membahas masalah ibadah, adat,

mu’a>malah, dan ilmu ba>t}in yang mendiskusikan masalah muja>ha>dah, muh}a>sabah,

dan berbicara mengenai hati, cara mengaturnya, penyakit-penyakit dan obat yang

menyembuhkannya, serta istilah-istilah yang memberikan gambaran mengenai

keadaan hati”.37

Pemikiran yang lahir di abad ke-3-4 H ini adalah berkaitan dengan

masalah-masalah epistemologis, yang berkaitan langsung dengan pembahasan

mengenai hubungan manusia dengan Allah, dan sebaliknya. Maka lahirlah

kemudian konsepsi-konsepsi seperti fana>, sebagaimana dipelopori oleh Abu>

Yazi>d al-Bust}a>mi> (w.261 H).38 Menurut Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>, manusia yang

pada hakekatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengannya apabila ia

mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi, sehingga

ia tidak lagi menyadari pribadinya (fana>’ al-nafs).39Fana>’ al-nafs, adalah

hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu dalam iradah Allah, bukan

jasad tubuhnya yang menyatu dengan dhat Allah.40

37Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwufal-Isla>mi >,55. 38Alwi Shihab, Islam Sufistik, 30. 39H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 146. 40Bandingkan dengan definisi fana>’ menurut al-Junaid, ia mengatakan: “fana>’ adalah hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indrera”.Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana>’ itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan jasad materi manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qushairy: “fana>’ nya seseorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari mahluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya”. Lihat Ibrahim Bashu>ni>, Nash’at al-Tasawwuf al-Isla>miy (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif,

54

Dari sisi lain, muncul pada abad ke-3-4 H tokoh-tokoh tasawuf seperti al-

Sa>ri> al-Saqat}i >(w. 253 H), al-Kharra>z (w. 286 H), dan al-Junaid al-Baghdadi (w.

297 H) yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam

sebuah bentuk jama’ah. Untuk pertama kali dalam Islam terbentuk tarekat yang

saat itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang mengajarkan tata cara

kehidupan s}u>fi>stik, baik teori maupun praktik kepada para murid dan siapa saja

yang berhasrat memasuki dunia tasawuf.41 Pada periode ini tersebut pula jenis

baru tasawuf yang diperkenalkan al-H{usain ibn Mans}u>r al-Halla>j yang dihukum

mati akibat doktrin h}ulu>l42-nya pada tahun 309 H.

Dengan demikian, pada abad ke 3-4 H sebuah ilmu telah terbentuk

khusus bagi kalangan kaum s}u>fi> yang berbeda dengan ilmu fiqih baik dari segi

obyek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan yang digunakan.

Lahir pula tulisan-tulisan antara lain, seperti al-Risa>lah al-Qushairiyyah43 karya

Al-Qushairi, ‘Awarif al-Ma’a>rif44 karya Al-Suhrawardi>Al-Baghda>di>, al-Luma’

karya al-T{usi>, al-T{abaqa>t milik al-Sulami>, al-Ta’a>ruf karya al-Kala>bidhi>,

menunjukkan bahwa era ini merupakan era permulaan s}u>fi>sme teoritis.Tasawuf

1969), 138 dan Abu> al-Qa>sim Al-Qushairi, al-Risa>lah al-Qushairiyah (Kairo: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 2001), 33. 41Abu> al-Wafa>’ al-Taftaza>ni>, Al-Madkhal ila> al-Tas}awwuf, 22. 42Pengertian h}ulu>l secara singkat adalah, Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui jalan fana>’ atau ekstase. Sebab menurut al-Halla>j, manusia mempunyai sifat dasar ganda, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut), apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat ilahiyahnya melalui jalan fana>’, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhannya, lihat lihat ‘Abd Qa>dir Mah}mu>d, al-Falsafah al-S}u>fiyyah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikri, 1966), 337. 43Abu> al-Qa>sim Al-Qushairi>, al-Risa>lat al-Qushairiyah (Kairo: Da>r al-Kutub ‘Ilmiyyah, 2001) dan edisi Indonesia Risalatul Qusairiyah : Induk Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah Gusti, 1997). 44Shiha>b al-Di>n Abu> H}afs ‘Umar al-Suhrawardi>, ‘Awarif al-Ma’a>rif (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1975) dan edisi Indonesia 'Awarif al Ma'arif : Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).

55

kemudian menjadi sebuah ilmu (Tasawuf ‘Ilmi>) setelah sebelumnya hanya

berbentuk ibadah-ibadah praktis.

Pada abad ke-5 H Imam al-Ghaza>li >(w. 505 H) tampil menentang jenis-

jenis tasawuf yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah

upayamengembalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud,

pendidikan jiwa dan pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang

diperkenalkan al-Ghaza>li> dalam bidang tasawuf sedemikian mendalam dan

belum pernah dikenal sebelumnya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap

aliran filsafat, pemikiran mu’tazilah dan kepercayaan kebatinan untuk kemudian

menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih “moderat” dan

sesuai dengan garis pemikiran teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah serta dalam

orientasi umum dan rincian-rinciannya yang berbeda dengan konsepsi-konsepsi

al-H{alla>j dan al-Bust}a>mi>. Tasawuf semacam inilah yang kemudian dikenal

sebagai Tasawuf Sunni. Tasawuf yang oleh al-Ghaza>li> ditegaskan dalam

kitabnya al-Munqidh min al-D{ala>l-nya sebagai berikut:

“Yang hendak ditegaskan kiranya bermanfaat, bahwa aku yakin kaum s}u>fi> adalah orang-orang yang menempuh jalan kepada Allah Swt, dan bahwasannya pilihan mereka adalah yang paling tepat dengan jalan terbaik dan moral yang lebih tinggi. Sekiranya para rasionalis, para filosof, dan kaum intelektual bergabung untuk mengubah jalan hidup dan moralitas mereka, atau hendak menggantinya dengan sesuatu yang lain, niscaya tidak menemukan yang lebih baik. Hal ini tiada lain karena segenap hidup kaum s}u>fi>, dalam keadaan aktif maupun pasif, lahir dan batin seluruhnya bersumber pada kenabian.45

Semenjak munculnya al-Ghaza>li>, pengaruh Sunni mulai menyebar di

Dunia Islam, bahkan setelah itu muncul tokoh-tokoh s}u>fi> terkemuka yang

45Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, Munqidh Min al-D{ala>l (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1316 H), 49.

56

membentuk kelembagaan tasawuf (tarekat) untuk mendidik para murid, seperti

Syaikh Ah}mad Rifa>’i> (w. 570 H) dan Syaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jila>ni> (w. 651 H)

yang terlihat sangat terpengaruh perpaduan garis tasawuf al-Ghaza>li> secara

keilmuannya dan prinsip-prinsip tasawufnya (tarekat) pada al-Junaid al-

Baghdadi. Pilihan yang sama dilakukan oleh generasi berikutnya, antara lain

yang paling berpengaruh adalah, Syaikh Abu al-Hasan al-Sya>dhili> (w. 650 H)

dan muridnya, Abu al-‘Abba>s al-Mursi> (w. 686 H), serta Ibn ‘At}a>illa>h al-

Sakandari> (w.709 H).

Puncak kemenangan sunni terjadi pada saat al-Ghaza >li> dengan berbagai

macam pendekatan keilmuan melakukan kritik mematikan bagi ideologi dan

paham non-sunni. Dalam diskursus s}u>fi>sme, al-Ghaza >li> dengan cerdas mampu

menjelaskan ajaran-ajaran s}u>fi>sme dan menghubungkannya dengan tauhid. Di

tangannya, s}u>fi>sme tidak hanya bermakna jalan untuk beribadah, khalwat,

taqarrub ila Alla>h, muja>hadah,dan riya>d}ah, saja akan tetapi juga ajakan kepada

golongan awam dengan pendekatan yang sesuai dengan kadar berpikir mereka.

Selain itu, al-Ghaza>li> juga mampu mengintegrasikan s}u>fi>sme sebagai ilmu yang

memiliki aspek teoritis sekaligus praktis. Di samping itu, dengan dukungan oleh

kekuasaan perdana menteri Niz }a >m al-Muluk, serangan al-Ghaza >li> ini praktis

membuat pengaruh kaum s}u>fi> non-sunni turun sampai ke titik nadir.46

Abad ke 6-7 H dikenal dengan masa keemasan tasawuf falsafi yang

sempat redup di masa sebelumnya. Meskipun tidak sebanyak pengikut tasawuf

sunni>, pada masa ini tasawwuf falsafi > begitu berkembang pesat, karena memiliki

46 Bayyu >mi >, et. al., Al-Tas}awwuf al-Isla>mi >, 15.

57

tokoh-tokoh yang mumpuni seperti al-Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi>> (w. 638 H).47

Tasawuf ini banyak mendapat pengikut dari kalangan Syiah di Persia. Lantaran

tradisi rasionalitas yang telah membumi sejak era Persia kuno sehingga

memungkinkan tasawuf falsafi lebih mudah diterima oleh masyarakat Persia.48

Sementara itu, lahir pula sejumlah s}u>fi> lainnya pada abad ini,

diantaranya, al-Suhrawardi> al-Maqtu>l, tokoh ilmu h}ud}u>ri> (w. 587 H), Sultan

para perindu dan penyair s}u>fi> Mesir, ‘Umar Ibn al-Fari>d} (w. 632 H), dan ‘Abd

al-H{aqq ibn Sab’i>n (w. 669 H). Dalam aliran mereka berkembang faham

panteistik yang mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” hamba dengan Allah

Swt. Perhatian mereka tidak tertuju pada selain taraf transendensi ini.

Perkembangan tasawuf yang akhirnya dibawah pengaruh tokoh-tokoh ini,

menimbulkan berbagai diskursus filsafat, terutama pada aspek ontologi dan

epistemologi, yang kemudian mencapai puncaknya pada keberhasilan pemikiran

Ibn ‘Arabi>> dalam membangun pilar tasawuf di atas prinsip-prinsip filsafat yang

kokoh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna yang dikenal dengan istilah

wahda>t al-wuju>d.49 Selain itu, pada periode ini dan seterusnya, muncul pula

47 Beberapa karakteristik yang membedakan tasawuf falsafi > dengan tasawuf sunni > adalah; muja >hadat al-nafs yang dilakukan dengan penekanan utama pada pembersihan dan penyucian hati dari selain Allah, penyingkapan-penyingkapan hakekat keIlahian dan alam ghaib seperti ‘arsh, kursi >, ruh, malaikat, stratifikasi wujud, munculnya karomah-karomah yang menyalahi adat yang muncul di tangan para wali dan sufi, keluarnya celetukan-celetukan sufiah yang nampak aneh dan menyalahi syariat, munculnya banyak teori-teori sufi baru yang belum dikenal umat Islam sebelumnya, seperti wah }dat al-wuju >d, h }ulu>l, ittiha>d, nu >r muh}ammadi>, wahdat al-adya>n dan lain sebagainya. Ibid., 132. 48 Ibid., 118. 49Alwi Shihab, Islam Sufistik, 32.

58

fenomena tarekat s}u>fi> (s}u>fi>> order) yang tersebar di banyak negara Islam, termasuk

ke dunia Barat.50

Pada Abad ke-8-9 H dan sesudahnya, posisi tasawuf kurang mendapat

sambutan di dunia Islam sebagaimana pada abad-abad sebelumnya. Berkaitan

dengan kemunduran tasawuf di abad ini, beberapa peneliti muslim menarik

kesimpulan, pertama, bahwa kemunduran tersebut disebabkan oleh hilangnya rasa

kepercayaan masyarakat Islam terhadap para ahli tasawuf. Hal ini dipicu oleh

banyaknya pelaku tasawuf dianggap terlalu menyimpang dari ajaran Islam yang

sebenarnya. Misalnya, tidak lagi menjalankan shalat (shari>’at) dikarenakan

mereka telah mencapai tingkatan ma’rifat. Kedua, karena pada waktu itu penjajah

Bangsa Eropa yang beragama Nasrani sudah menguasai sebagian besar negeri

Islam. Tentu saja paham-paham sekularisme dan materialisme, selalu mengiringi

penjajahan mereka dan digunakan untuk menghancurkan ajaran tasawuf yang

dianggap bertentangan dengan pahamnya.51

Meskipun nasib ajaran tasawuf sangat tidak populer sejak abad ke 8 H dan

sesudahnya, tetapi bukan berarti bahwa ajaran tasawuf sama sekali hilang di

dalam dunia Islam. Tersebut ada beberapa ahli tasawuf yang masih mengarang

kitab-kitab rujukan dalam ilmu tasawuf; antara lain: ‘Abd al-Wahha>b al-Sha’rany

(898- 973 H) dengan karyanya Lat}a>if al-Minan, Abu al-Abbas Ahmad bin

Muhammad bin Mukhtar al-Tija>ny (1150- 1230 H) sebagai pendiri tarekat Tijani,

Sidi Muhammad bin ‘Ali al-Sanusiy (1206- 1276 H) dengan mendirikan tarekat

50 Giuseppe Scattolin dan Ah}mad H{asan Anwa>r, Al-Tajalliyya >t al-Ruh}iyyah fi> al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Thaqa>fah, 1979), 14. 51 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf I: Mu’jizat Nabi, Karamah Wali dan Ma’rifah Sufi (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 118.

59

Sanusiyyah, dan Muhammad Amin Kurdi (w. 1914 M) dengan karyanya kitab

Tanwi>r al-Qulu>b fi Mu’amala>h ‘Alla>m al-Ghuyu>b.52

Apabila kita merujuk kepada literatur tasawuf yang berasal dari Timur

Tengah, akan kita jumpai keragaman pola yang ditempuh untuk menentukan

kategori aliran-aliran tasawuf. Salah satu cara yang digunakan dalam

pengklasifikasian aliran tasawuf adalah berdasarkan obyek dan sasaran tasawuf

tersebut. Berdasarkan obyeknya, tasawuf dikelompokkan menjadi tiga aliran

induk, yaitu tasawuf akhlaqi yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang

lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh

penghayatan spiritual dalam ibadah, dan tasawuf falsafi yang bermakna mistik

metafisis.53

Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya untuk berada sedekat mungkin

dengan Tuhan, maka dalam hal ini, tasawuf dibedakan berdasarkan “kedekatan”

dan “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Dalam klasifikasi ini, kita jumpai

aliran tasawuf transendentalisme dan tasawuf union mystic. Aliran pertama

masih memberikan garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan,

sedangkan aliran kedua berpendapat bahwa garis pemisah itu dapat dihilangkan

sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena adanya persamaan

esensi antara keduanya.54 Tipe tasawuf ini kemudian dikenal dengan sebutan

tasawuf Syi’i dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni. Apabila ajaran tasawuf

tersebut konsepnya menyimpang dari prinsip-prinsip Islam, maka ia

digolongkan pada jenis tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajarannya masih berada 52 Ibid., 118-119. 53Qamar Khailany, Fi> al-Tas}awwuf al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 26. 54‘Abd Qa>dir Mah}mu>d, al-Falsafah al-S}u>fiyyah, 150-151.

60

dalam garis-garis Islam, ia disebut tasawuf Sunni.55

Alternatif ketiga dalam hal pembidangan tasawuf dapat ditempuh melalui

pendekatan geografis, yaitu melihat daerah asal munculnya tasawuf tersebut.

berdasarkan pendekatan ini, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran Khurasan atau

Persia yang dipelopori Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi >dan tasawuf aliran Mesopotamia

atau Iraq yang bermula dari ajaran al-Junaidy dan kemudian diperluas oleh al-

Ghaza>li.56

Namun sejauh beberapa literatur yang penulis kaji, pembagian tasawuf

menjadi tasawuf sunni dan tasawuf falsafi adalah pendapat yang lebih tepat dan

populer. Asumsi ini diambil karena istilah Sunni-Falsafi terkesan lebih akademis

dan menyentuh keesensi corak pemikirannya, daripada Persia-Mesopotamia

maupun Sunni-Syi’i yang lebih kental nuansa konflik politik dan pertarungan

budaya yang bersifat lebih sulit “didamaikan”.

Lebih jauh, apabila kita membandingkan antara konsep-konsep tasawuf

sunni dan falsafi, akan ditemukan sejumlah kesamaan yang prinsipil di samping

perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Persamaannya, adalah kedua aliran

sama-sama mengakui bersumber dari al-Qur’an dan sunnah serta sama-sama

mengamalkan Islam secara konsekuen. Sebagaimana dipahami bersama, bahwa

semua s}u>fi> dari aliran manapun, adalah orang yang za>hid dan ‘a>bid, serta

mementingkan kesucian rohani dan moralitas. Demikian juga dalam proses

perjalanan menuju arah yang ingin dicapai, kedua aliran juga sama-sama

berjalan pada prinsip maqa>ma>t dan ah}wa>l. Perbedaan yang jelas diantara

55H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme, 53. 56J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1971), 31.

61

keduanya adalah terletak pada tujuan “antara”, yakni maqam tertinggi yang

dapat dicapai seorang s}u>fi>. Sedangkan pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran

ini sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang

bersifat spiritual.57

Yang dimaksud dengan tujuan “antara”, adalah terciptanya komunikasi

langsung antara s}u>fi> dengan Tuhan dalam posisi seakan tidak ada jarak lagi

antara keduanya. Dalam memberi makna posisi “dekat tanpa jarak” inilah

terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf sunni

berpendapat, bahwa antara mahluk dengan kha>liq tetap ada jarak yang tak

terjembatani sehingga tidak mungkin bersatu karena keduanya tidak seesensi.

Berbeda dengan tasawuf falsafi, yang menyatakan bahwa manusia seesensi

dengan Tuhan, karena manusia berasal dan tercipta dari esensiNya.58 Oleh

karena itulah, keduanya dapat berpadu apabila kondisi itu telah tercipta.

Dengan demikian, nampaknya perbedaan itu tidak terletak pada

menyimpang atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, sebab

kedua aliran tersebut sama-sama mengatas-namakan berdasarkan al-Qur’an dan

al-Hadi>th, hanya saja s}u>fi> falsafi lebih banyak menggunakan ta’wil dan

interpretasi filosofis. Menurut Kharisudin Aqib, bukan dalam arti tasawuf sunni

tidak menggunakan interpretasi filosofis, sebagai buktinya al-Ghaza>li sebagai

s}u>fi> sunni juga menggunakan pendekatan filsafat untuk mendukung ajarannya

yang diyakini kebenarannya, begitu juga halnya Ibn ‘Arabi> sebagai tokoh s}u>fi>

falsafi, bukan berarti tidak terikat sama sekali dengan sunnah dan shari>’at. 57H.A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Tasawuf Klasik ke Neo-Sufisme, 55. 58Lihat al-Qur’an, 15:29, juga hadi>th tentang proses penciptaan manusia, dimana ketika janin berusia 120 hari, maka Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruhNya ke dalam janin tersebut.

62

Kedua aliran tasawuf baik sunni maupun falsafi juga sangat memperhatikan

masalah akhla>q al-kari>mah, hanya saja yang membedakan adalah titik tolak

penekanan ajarannya.59

Dengan kesimpulan tersebut di atas, maka tasawuf bisa dikelompokkan

menjadi dua kelompok besar.60 Pertama, Tasawuf Sunni yang dikembangkan

para s}u>fi> abad ke-3 dan ke-4 H seperti al-Junayd al-Baghdadi, yang disusul al-

Ghaza>li> dan para pengikutnya dari syaikh-syaikh tarekat, yaitu tasawuf yang

berwawasan moral praktis dan bersandarkan pada al-Qur’an dan Sunnah dengan

penuh disiplin mengikuti batas-batas dan ketentuannya. Kedua, Tasawuf Falsafi

yang berupaya menggabungkan tasawuf dengan berbagai aliran mistik dari

lingkungan di luar Islam, seperti dalam Hinduisme maupun kerahiban Kristen

atau teosofi dalam konsep neo-Platonisme.

S}u>fi> Falsafi mengamalkan kehidupan s}u>fi>stik berdasarkan atas

pemahaman filsafatnya, sedangkan S}u>fi> Sunni mengamalkan kehidupan

kes}u>fi>annya atas dasar pemahaman ajaran sunnah yang didapatkan dengan tidak

banyak membicarakan unsur filsafatnya. Namun menurut Kharisudin Aqib,

klasifikasi aliran-aliran dalam tasawuf di atas pada dasarnya bukan merupakan

pembagian atas dasar ajaran utama semata dari mahzab-mahzab s}u>fi> tersebut,

59Ibrahim H}ila>l, al-Tas}awwuf al-Isla>mi Bayn al-Di>n wa al-Falsafah (Kairo: al-Nahd}at al-‘Arabiyyah, 1979), 3 dalam Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 3. 60Meskipun ada pendapat yang membagi menjadi dua kelompok, yaitu: Tasawuf Sunni dan Bid’i, ada juga yang menggolongkan menjadi aliran Union Mistic dan Personal Mistik dan pendapat yang membagi dalam tiga kelompok, yaitu: Tasawuf Sala>fi>, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, penulis menganggap secara garis besarnya antara tasawuf sala>fi> dan sunni tidak terdapat perbedaan yang sangat signifikan, oleh karena itu kedua model tasawuf ini penulis kategorikan dalam satu kelompok, yakni tasawuf sunni. Untuk uraian lebih lanjut lihat ‘Abd Qa>dir Mah}mu>d, al-Falsafah al-S}u>fiyyah, 148-299, dan dalam Kharisudin Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 2.

63

sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan ahli tasawuf61, akan tetapi lebih

merupakan suatu titik tolak pengamalan kehidupan kes}u>fi>an yang dijalankan.

Sebab sebuah tarekat dalam arti mahzab tasawuf, juga memiliki ketiga unsur

yang sangat dominan tersebut, yaitu: sunnah Nabi, akhla>q al-kari>mah dan

filosofi ajaran yang jelas.62

Dari seluruh bahasan mengenai sejarah perkembangan tasawuf di atas,

dapat disimpulkan, bahwa motif utama para s}u>fi> dengan segenap pilihan corak

dan model tasawuf yang dipilihnya, dilandasi oleh semangat untuk meraih

ma’rifat dan berada pada derajat paling dekat dengan Allah. Semangat di atas

kemudian akan melahirkan cara bagaimana menjalin situasi dialogis secara terus

menerus antara Sang Kha>liq dan makhlu>q. Pandangan terhadap relasi antara

kha>liq (Tuhan) dan makhlu>q (alam dan manusia) inilah yang kemudian menjadi

pondasi dan karakter dasar dari berbagai konsepsi dalam dunia tasawuf.

4. Paradigma Tasawuf Terhadap Relasi Tuhan, Alam dan Manusia

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa dalam keseluruhan ajaran

tasawuf, baik dalam tasawuf sunni maupun tasawuf falsafi, bahwa concern dari

ajaran tasawuf adalah berkaitan dengan interaksi antara Tuhan (kha>liq) dan

ciptaannya (makhlu>q). Dalam konteks ini, para kosmolog muslim membuat

teoretisasi yang membedakan dalam pandangan dunia Islam adanya tiga realitas

kosmologis; metakosmos mewakili Tuhan (kha>liq), makrokosmos (al-‘a>lam al-

kabi>r) dan mikrokosmos (al-‘a>lam as}-s}aghi>r) mewakili ciptaan (makhlu>q). 61Para ahli tasawuf yang dimaksudkan di sini adalah para cendekiawan, ilmuwan yang menekuni bidang ilmu tasawuf dan lebih berperan sebagai pengamat, tidak terlibat, dan tidak mengamalkannya (outsiders), lihat Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 2. 62Muhammad Jalal Syarf, Kha>is al-Hayat al-Ruh}iyyah fi> Madra>sati Baghda>d (t.t: Da>r al-Fikr al-Jami’iy, 1977), 7-8, dalam Kharisudin Aqib, Al-Hikmah, 3.

64

Makrokosmos adalah alam semesta pada umumnya, mikrokosmos adalah

manusia, dan metakosmos adalah Allah. Jika kedua alam (makrokosmos dan

mikrokosmos) itu diciptakan oleh Allah, rabb al-‘a>lam>in, apakah mungkin kedua

alam itu tidak saling berhubungan, atau keduanya terpisah dari hubungannya

dengan Sang Pencipta. Kaum arif (al-‘a>rifu>n) dari kalangan s}u>fi> seringkali

mencoba menemukan misteri-misteri yang tersembunyi atau sangat tersembunyi

di balik teks-teks ayat al-Qur’an dan hadi>th-hadi>th Nabi mengenai hubungan

antara tiga realitas (Tuhan, alam, dan manusia) di atas, serta makna dan peran

sentral manusia di dalam rangkaian hubungan itu. Al-Qur’an menekankan

berbagai fenomena alam tersebut sebagai tanda-tanda Allah (a>ya>tulla>h) yang

harus dicermati dan diambil pelajaran oleh manusia sebagai ciptaan-Nya yang

paling mulia, sehingga mendatangkan hikmah atau signifikansinya bagi

kehidupan manusia. Seluruh upaya dari para s}u>fi> tidak pernah jauh dari

keinginan mencari jejak-jejak Sang Pencipta untuk menemukan cara yang paling

bijak untuk mendekatkan diri dan mengabdi kepada-Nya.63

Para s}u>fi> senantiasa menggali petunjuk dari al-Qur’an dan al-Hadi>th

untuk dapat memahami korespondensi-korespondensi dan analogi-analogi

kualitatif tiga realitas kosmologis: alam semesta (makrokosmos), manusia

(mikrokosmos) dan Allah (metakosmos). Mereka tertarik kepada berbagai

perumpamaan (parables, mitha>la>t, ‘iba>ra>t) dan keserupaan-keserupaan

(similarities, tasybi>ha>t) dalam sumber-sumber Islam. Mereka ingin menemukan

berbagai macam hubungan pada berbagai tataran dan aras kualitatif. Metodologi 63Makalah M. Syamsul Hadi, “Pandangan Dunia Spiritual Islam dan Peran Sentral Manusia Dalam Kosmos”, 2. Disampaikan pada Annual Conference Departemen Agama, tanggal 26-30 di Lembang Bandung.

65

yang mereka gunakan untuk menguak berbagai perumpamaan dan keserupaan

dalam kitab suci—juga karena semua itu dipandang oleh mereka sebagai tanda-

tanda Allah (a>ya>tulla>h) adalah ta’wi>l (hermeneutika esoteris).64 Sebuah

metodologi yang sangat populer di kalangan ahli hikmah. Dalam hal ini Sachiko

Murata menjelaskan:

“Yang berkaitan erat dengan tipe pemikiran analogis dalam astrologi adalah ta'wi>l atau interpretasi esoteris atas al-Qur'an. Ini banyak dilakukan oleh para s}u>fi> dan juga otoritas-otoritas Syiah tertentu. Seringkali tujuan ta'wil menunjukkan bagaimana ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang kosmos, atau kisah-kisah nabi, memiliki pengertian lain sesuai dengan tataran dan aras serta situasi batiniah individu manusia. Mikrokosmos "sesuai" dengan makrokosmos. Pada tataran dan aras ini, al-Qur'an melukiskan drama jiwa manusia dalam hubungannya dengan Allah.” 65 Mengingat ketiga realitas di atas (Tuhan, alam dan manusia) dengan

segala keterkaitannya merupakan topik inti kajian tasawuf, maka sangat penting

untuk memberikan uraian lebih lanjut bagaimana konsepsi tasawuf tentang

ketiga realitas (Tuhan, alam, dan manusia), sekaligus hubungan diantara ketiga

hal tersebut.

a. Konsepsi Ketuhanan

Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa secara umum, tujuan 64Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1998), 300. Sedangkan Cyrill Glassé mencatat perbedaan ta'wi>l dengan tafsîr. Menurutnya, Ta'wi>l merupakan model interpretasi al-Qur'a>n secara alegoris dan simbolis, khususnya penafsiran yang menguraikan pengertian al-Qur'a>n yang sangat dalam (inward), yakni ajaran-ajaran yang bercorak batiniyah. Bagi Glassé, ta'wi>l menjadi pelengkap tafsi>r. Tafsi>r—berbeda dengan ta'wi>l—menekankan makna luar (outward) dan situasional. Dalam pemikiran Islam, tafsi>r lebih mendominasi daripada ta'wi>l, di mana yang kedua dikembangkan oleh kelompok sufi yang jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan kebanykana ulama, filosof, maupun teolog. Glassé kemudian menyimpulkan bahwa ta'wi>l adalah model interpretasi alegoris atas al-Qur'an. (Lihat Cyrill Glassé, Ensiklopedia Islam), 410. 65Sachiko Murata, The Tao, hlm. 37. Di tempat lain, Murata mengemukakan bahwa model penafsiran al-Qur'a>n yang dikenal dengan ta'w>il (hermeneutika esoteris) bergantung—dalam banyak bentuknya—pada analogi-analogi kualitatif di antara segala sesuatu, khususnya antara mikrokosmos dan makrokosmos, lihat Ibid, 53.

66

terpenting dari tasawuf adalah bagaimana menggapai ma’rifah kepada Allah

dan berkedudukan sedekat mungkin denganNya. Dalam memahami akan

Allah, tasawuf berpendapat, bahwa segenap wujud hanya memiliki satu

realitas. Realitas tunggal “yang benar-benar ada itu adalah Allah”. Adapun

alam yang serba-ganda ini hanyalah sebagai wadah tajalli> dari nama-nama

dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas. Nama-nama dan sifat-sifat

itu sendiri identik dengan ZatNya.66

Ibn ‘Arabi>> (1165-1240 M) mengatakan, bahwa Allah itu mutlak dari

segi esensiNya, namun menampakkan diri pada alam semesta yang serba

terbatas. Ia adalah ‘ayn sesuatu, maka terbatas dengan batasan semua yang

terbatas.67 Akan tetapi, dengan demikian bukan berarti Ibn ‘Arabi>>

menganggap Tuhan adalah alam semesta dan yang terakhir ini sebagai

wujud Tuhan. Baginya, wujud yang hakiki hanyalah wujud Allah dari segi

esensinya, bukan dari segi sifat-sifatNya; sedangkan selain daripadaNya

adalah khayal belaka.68

Tuhan sebagai esensi yang mutlak tanpa nama dan sifat, tidak

mungkin dikenal, bahkan Ia tidak dapat dikatakan Tuhan kalau tidak ada

yang bertuhan kepadaNya.69 Dengan kata lain, Tuhan hanya dapat dikenal

melalui tajalli>Nya pada alam empiris yang serba-ganda dan terbatas ini,

tetapi wujudNya yang hakiki tetaplah transenden, tidak dapat dikenal oleh

66Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn al-‘Arabi Oleh al-Jilli (Jakarta: Paramadina, 1997), 50. 67Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, ed. A.E. ‘Afi>fi> (Kairo: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabi>yah, 1946), 111. 68Ibid., 104. 69Ibid., 81.

67

siapa pun.

Dengan prinsip demikian, Ibn ‘Arabi> memandang dan menjadikan

realitas tunggal itu menjadi 2 aspek: pertama, disebut H{aqq, yakni bila

dipandang sebagai esensi dari semua fenomena; dan kedua disebut khalq,

yakni bila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi itu.

H{aqq dan khalq, realitas dan penampilan, atau yang satu dan yang banyak,

tidak lain hanyalah sebutan-sebutan untuk dua aspek dari satu hakikat, yakni

Tuhan. Kedua aspek ini muncul hanyalah dari tanggapan akal semata,

sedangkan pada hakikatnya segala sesuatu itu hanyalah satu.70

Ajaran ketuhanan yang dikemukakan Ibn ‘Arabi> itu seakan-akan

sebagai warisan dari Plotinus, yang mengajarkan bahwa Yang Maha Esa

(The One) itu ada dimana-mana,71 namun terdapat perbedaan fundamental

antara kedua doktrin itu. Perbedaan itu adalah bahwa Yang Maha Esanya

Plotinus ada dimana-mana dan menjadi sebab wujud; sedangkan Yang

Maha Esanya Ibn ‘Arabi> ada dimana-mana sebagai esensi, dan tidak

dimana-mana sebagai esensi universal yang berada di atas semua “dimana”

dan “bagaimana”, dan berbeda dari segala sesuatu yang mempunyai

“dimana” dan “bagaimana”.72 Singkatnya, Plotinus melihat hubungan Tuhan

dengan alam semesta dalam bentuk emanasi,73 sedangkan Ibn ‘Arabi >

melihatnya dalam bentuk tajalli>. Ajaran Ibn ‘Arabi> seperti demikianlah

70Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 124. 71Lihat Samuel Enoch Stumpf, Philosophy: History and Problems, vol. I (New York: McGraw Hill, 1983), 121. 72A.E. Afi>fi>,The Mystical Philosophy of Muhyi al-Di>n Ibn al-‘Arabi> (Cambridge: Cambridge University Press, 1939), 11. 73Frederick Copleston, A History of Philosophy (New York: An Image Book, 1985), 467.

68

yang disebut wah}dat al-wuju>d (kesatuan wujud). Perbedaan mendasar

antara emanasi (fayd}) dan tajalli> adalah bahwa emanasi bersifat vertikal,

karena melalui emanasi segala sesuatu mengalir dari Yang Awwal secara

vertikal dan gradual sehingga menjadi alam semesta yang serba-ganda;

sedangkan tajalli> bersifat horizontal, karena menganggap fenomena

maknawi dan empiris muncul dan berubah sebagai manifestasi al-H{aqq.

Contoh kongkret yang biasanya dikemukakan untuk tajalli>, ialah seperti biji

kacang, jika ditanam akan tumbuh ke atas (batang), ke samping, dan ke

bawah (akar). Sekalipun demikian, Ibn ‘Arabi > juga memakai kata faid}

dalam pengertian tajalli>.74

Ajaran wah}dat al-wuju>d yang demikian, agaknya tidak dapat

diidentikkan dengan panteisme, seperti banyak yang diungkapkan oleh

sebagian penulis. Karena wah}dat al-wuju>d dalam pandangan Ibn ‘Arabi >

bertolak dari asumsi bahwa Tuhan adalah satu wujud mutlak, tidak terbatas,

qa>dim, dan abadi; yang merupakan sumber dan asas dari semua yang ada,

yang pernah ada dan yang akan ada; lalu pandangan itu secara berangsur-

angsur mengambil bentuk acosmism, yang memandang alam fenomena ini

hanya sebagai bayang-bayang dari realitas yang ada di baliknya.75

Jadi, Tuhan dari segi esensiNya adalah tetap transenden. Yang imanen

hanyalah dari segi nama-nama (asma>’) dan sifat-sifatNya. Ini berbeda

dengan panteisme murni yang memandang Tuhan imanen dalam segala

74Su’a>d al-H{aki>m, al-Mu’jam al-S{u>fi> (Beirut: Dandarah, 1981), 253. Ibn ‘Arabi> memakai kata faid} dalam arti tajalli> seperti terlihat dalam ungkapan-ungkapan al-fayd} al-aqdas, al-fayd} al-muqaddas. Lihat Fus}u>s} al-H{ika>m, 49. 75A.E. Afi>fi>,The Mystical Philosophy, 54.

69

sesuatu dan manunggal dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat ilahi.76

Selama ketransendenan itu masih diakui dan disertai pernyataan yang paling

tegas tentang keimanenan Tuhan, yang demikian itu tidak dapat disebut

panteisme.77 Oleh karena itu pula Seyyed Hossein Nasr, menolak dengan

tegas pandangan yang mengatakan Ibn ‘Arabi> seorang panteis, dia

mengatakan:

“Tuduhan panteis terhadap para s}u>fi> mengandung dua kekeliruan. Pertama, panteisme adalah suatu sistem falsafi, sementara Ibn ‘Arabi> dan s}u>fi>-s}u>fi> yang sefaham dengannya tidak pernah mengklaim sebagai pengikut atau menciptakan sistem falsafah apapun. Kedua, panteisme berarti kontinuitas substansial antara Tuhan dan alam semesta, sementara Ibn ‘Arabi >memandang bahwa Tuhan bersifat absolut transenden yang mengatasi setiap kategori dan meliputi segenap substansi”.78 Ajaran wah}dat al-wuju>d ini kemudian mendapatkan kritik dari ajaran

wah}dat al-shuhu>d yang dikembangkan pertama kali oleh Syaikh Ahmad

Sirhindi (1564-1624 M) dari India.79 Wah}dat al-shuhu>d berarti kesatuan

kesaksian. Dalam paradigma aliran ini kesaksian adalah milik sang hamba

yang menyaksikan kehadiran Allah sejauh kemampuannya, sedangkan

wujud adalah milik Allah. Bagi Sirhindi, pengalaman akan wah}dat al-wuju>d

sangat bersifat subjektif yang hanya terbentuk sebagai kesan dalam pikiran

76Pengertian panteisme ini adalah yang paling populer di kalangan penulis tentang agama. Tentang pengertian panteisme secara luas, lihat Kautsar Ashari Noer, Ibn al-‘Arabi>: Wah}dat al-Wuju>d dalam perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), 159-177. 77R. A. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism (New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1976), 27. 78S.H. Nasr, Three Muslim Sages (New York: Caravan Books, 1969), 105. 79 Syaikh Ahmad Sirhindi lahir di Sirhind, Punjab Timur, India, menghabiskan usia di istana Sultan Akbar (1542-1605). Ia menjadi pengikut tarekat Naqsyabandi, dan selanjutnya menjadi salah seorang syaikh terkemuka pada tarekat tersebut. Konsep dan formulasi wah}dat al-shuhu>d merupakan sumbangan khusus Sirhindi terhadap sejarah dan perkembangan pemikiran Islam. Ia diberi julukan al-Mujaddid Al-Tha>niy (Pembaharu Milenium kedua). Lihat Ian Richard Netton, Dunia Spiritual Kaum Sufi, Harmonisasi antara Dunia Mikro & Makro, terj. Machnun Husein (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 99-100.

70

manusia. Perasaan melebur dalam cengkraman cinta kepada Allah telah

membuat sang pecinta tidak dapat melihat apapun selain Allah yang

dicintainya. Hal ini menyebabkan kehilangan pengelihatan terhadap realitas

dunia ciptaan. Pada kenyataanya dunia relitas sebagai ciptaan Allah ini ada

dan adanya terpisah dari Sang Pencipta.

Dalam perspektif ‘Abd al-Haqq Ans}a>ry, konsep tauhid dalam

kepustakaan s}u>fi> memiliki empat makna yang berbeda yakni: pertama,

mengimani dan meyakini keesaan Tuhan; kedua, disiplin kehidupan lahir

dan batin berdasarkan kepercayaan tersebut; ketiga, pengalaman dalam

persatuan dan penyatuan dengan Tuhan; dan keempat, teosofi atau filosofi

tentang kenyataan yang bertolak dari pengalaman kultural.80 Tauhid dalam

konteks makna persatuan dan penyatuan dengan Tuhan, inilah yang dalam

khazanah s}u>fi> disebut dengan tauhid shuhu>diy. Secara sederhana istilah ini

berarti persepsi (shuhu>d) atas zat Tunggal (Allah) dari pengalaman mistik,

dan puncaknya adalah pengalaman menyatu dengan-Nya.

Tauh}i>d shuhu>dy dalam perspektif Syaikh Sirhindi adalah melihat zat

Tunggal, artinya bahwa dalam persepsi seorang salik tidak ada yang dilihat

selain zat Tunggal. Istilah “mempersepsi” bukan berarti menganggap yang

lain tidak ada. Karena itu, jika dalam konsep ini disebut “ penyatuan dengan

Tuhan”, maka hal itu tetap dalam konteks dualitas, dan itu berarti Tuhan

sepenuhnya berbeda dengan dunia atau makhluk-Nya (termasuk manusia).81

Dunia bukanlah sesuatu yang satu dengan Tuhan dan bukan dzat tersendiri, 80 Abd al-H}aqq Ans}a>ri, Antara Sufisme dan Syari‘ah , terj. Ahmad Mansur Budiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990), 147. 81 Ibid.

71

melainkan sesuatu yang lain. Dengan demikian, wahdat al-syuhud berarti

merasakan bersatunya diri (s}u>fi>) dengan zat Tunggal (Tuhan), dalam arti

bahwa pengalaman yang dirasakan oleh seorang salik pada tahap penyatuan

itu hanyalah sekadar persepsi subjektif (syuhud). Hal ini didasari oleh

realitas dunia (makhluk), dan karenanya kekuatan yang mendasar bukan

pada monisme zat, melainkan pada dualisme dzat.

Bertolak dari prinsip bahwa Tuhan adalah sesuatu yang berbeda

dengan mahluk dan hanya bisa dikenal melalui tajalli>-Nya, namun tidak

secara esensi-Nya yang bersifat transenden, maka dapat kita pahami, bahwa

keterbatasan mahluk dalam mengenal Tuhan, meniscayakan bahwa

Tuhanlah yang akan “turun” untuk mengenalkan diri-Nya kepada mahluk

melalui serangkaian tanda-tanda kehadiran-Nya. Sebab jika tidak demikian

Tuhan tidak akan dikenal sampai kapanpun. Prinsip bahwa segala sesuatu

selain Allah adalah tanda-tanda Allah, sebagaimana diungkapkan oleh al-

Qur’an82, diungkapkan pula dengan cara lain dalam sebuah hadi>th qudsi

yang sangat populer di kalangan s}u>fi> dan dijadikan basis konseptualnya

dalam memandang hubungan-hubungan kosmologis. Hadi>th Qudsi itu

berbunyi:

فخلقت الخلق فبى عرفونى كنت كنزا مخفیا فأحببت ان أعرف"Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun mengenal Aku").83

82Lihat al-Qur’an, 41: 53, dan dalam al-Qur’an, 20:14. 83Hadis yang dikenal dengan hadis “Khazanah Tersembunyi” ini dikutip misalnya oleh Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 58.; Nurcholish Madjid mengutip teks hadis tentang Khazanah Tersembunyi ini dari kitab الدرر المنتثرة فى األحادیث dalam CD ROM Maktabat al-Hadis\ as-Syari>f (Riyadh/Beirut: Syirkat al-‘Ari>s, tt.) yang) المنتشرة sedikit berbeda redaksinya, yaitu ني فتھم بي فعرف عرف،فخلقت خلقا فعر ,Nurcholish Madjid) كنت كنزا ال أ

72

Oleh sebab inilah kemudian alam semesta termasuk manusia di dalamnya

terwujud sebagai bentuk tajalliyat Allah.

Pemahaman tauhid yang sempurna sebagaimana dijelaskan di atas,

akan menghantarkan pelaku-pelaku tasawuf kepada tujuan bertasawuf itu

sendiri yaitu ma’rifah. Ma’rifah menurut wacana beberapa Su>fi> tidak sama,

karena perbedaan pengalaman ruhaninya ketika berjumpa dengan

Tuhannya. Al-Qushairi> menyebutnya sebagai ketenangan jiwa yang luar

biasa, yang dirasakan oleh Su>fi> ketika mengalami ma’rifah.84 Lebih lanjut ia

menjelaskan bahwa semakin tinggi ma’rifah seorang Su>fi>, semakin tinggi

pula ketenangan jiwa yang dirasakan. Ini menunjukkan, bahwa ma’rifah

menurut Al-Qushairi> bermacam-macam tingkatannya. Kemudian beliau

mengatakan, bahwa sebenarnya ma’rifah itu adalah ilmu dan ilmu adalah

ma’rifah. Maka ‘A>rif adalah ‘A<<>lim, dan ‘A<<>lim juga adalah ‘A>rif.

Al-Junaid mengatakan, ma’rifah terdiri dari dua tingkatan; yaitu

sebagai hasil perenungan tentang ciptaan Allah (al-Ta’ri>f) dan hasil

pengungkapan diri secara langsung dari Allah (al-Ta’a>ruf).85 Pendapat al-

Junaid ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh al-‘Atawi>, bahwa

ma’rifah dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu ma’rifah melalui ciptaan,

asma’ dan sifat Allah (ma’rifat al-h}aqq) dan ma’rifah yang langsung

Simbol dan Simbolisme Keagamaan Populer, serta Pemaknaannya dalam Perkembangan Sosial-Politik Nasional Kontemporer, Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Ahli Peneliti Utama (Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [PMB-LIPI], 30 Agustus 1999), 5. Lihat pula uraian pajang Sachiko Murata mengenai Khazanah Tersembunyi ini dalam bukunya The Tao, hlm. 59-61. 84 Abu> al-Qa>sim Al-Qushairi>, al-Risa>lah al-Qushairiyah, 155. 85 Al-Kala>ba>dhi>, al-Ta’arruf Li Mahzab al-Tasawwuf (Kairo: Da>r al-Ihya>’, tt), 73.

73

menyaksikan Allah, tanpa didahului melalui ciptaan, asma’ dan sifatNya

(ma’rifat al-h}aqi>qah).86

b. Konsepsi Alam

Dari konsepsi tentang Tuhan di atas, terlihat bahwa para s}u>fi>

memandang hanya ada satu realitas tunggal yaitu Allah. Adapun alam yang

serba berbilang ini hanyalah sebagai wadah tajalliyat Allah. Hubungan

antara yang riil dan yang fenomena di sini merupakan hubungan antara yang

potensial dan yang aktual, dimana peralihan antara yang pertama dan

berikutnya itu terjadi di luar patokan ruang dan waktu, sebab tajalli> Tuhan

itu terjadi sebagai sebuah proses abadi yang tiada henti-hentinya.87

Sebagaimana dikatakan oleh Ibn ‘Arabi>, bahwa sebab terjadinya

tajalli> Allah pada alam ialah karena Ia ingin dikenal dan ingin melihat citra

dirinya melalui alam tersebut. untuk itu Ia memanifestasikan nama-nama dan

sifat-sifatNya pada alam.88 Dengan demikian, alam fenomena ini merupakan

perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi. Tanpa adanya

alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan

senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian

pula, zat Yang Mutlak itu sendiri akan tetap berada dalam “kesendirian”Nya,

tanpa dapat dikenal oleh siapapun. Di sinilah letak urgensi wujud alam

sebagai wadah tajalli> Ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra diriNya dalam

wujud yang terbatas.

86 ‘Imad al-Di>n al-Ama>wi>, H{aya>t al-Qulu>b fi> Kaifiyyati al-Wusu>l ila> al-Mah}bu>b (Beirut, Da>r al-Fikr, tt), 254. 87 Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam,121. 88 Ibid., 48-49.

74

c. Konsepsi Manusia (Insa>n Ka>mil)

Alam semesta dalam eksistensi dan fungsinya sebagai cerminan Allah,

maka berarti juga mencerminkan seluruh nama dan sifat-sifatNya. Namun

alam empiris yang serba berbilang ini berada dalam wujud yang terpecah-

pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh dan

sempurna. Bagian-bagian alam merupakan wadah tajalli> dari bagian tertentu

pada nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Jadi, alam ini masih merupakan

bentuk tanpa ruh, atau laksana cermin buram yang belum dapat

memantulkan gambaran Tuhan secara paripurna. Tuhan baru dapat melihat

citra diri-Nya secara utuh dan sempurna pada Adam (manusia/

mikrokosmos) sebagai cermin yang terang, atau sebagai ruh dalam jasad.89

Keutuhan dan kesempurnaan tersebut digambarkan Allah dalam al-Qur’an

dimana manusia diciptakan Allah dengan simbol “dua tanganNya”:

Artinya: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".

Dalam hadi>th disebutkan juga bahwa Adam (manusia) diciptakan

berdasarkan s}u>rah Allah

90 ة الرحمنصوربخلق آدم و 89 ‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Sharh ‘a>la> Fus}u>s} al-H{ika>m (Kairo: Mat}ba>’ah al-Maymuniyyah, tt), 8-9. 90 Dalam redaksi yang lain berbunyi: وهللا خلق آدم على صورتھ. Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, 32.

75

Artinya: Dan telah diciptakan Adam dari s}u>rah al-Rah}ma>n (Allah).

Dengan demikian, hanya manusialah yang mewakili gambaran dan citra

lengkap realitas Ilahi; sementara segala sesuatu lainnya memberikan

gambaran dan citra tidak sempurna, yang didominasi oleh satu tangan saja

tanpa lainnya.91 Inilah manusia yang disebut sebagai insa>n ka>mil.

Namun menurut tasawuf tidak semua manusia masuk dalam kategori

insa>n ka>mil ini. Insa>n ka>mil inilah yang pada dirinya tercermin nama-nama

dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna. Ia dijadikan Tuhan sebagai ruh alam.

Segenap alam ini tunduk kepadanya karena kesempurnaanNya.92 Insa>n

ka>mil merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajalli>Nya pada

jagat raya. Oleh karena itu, manusia juga disebut al-‘a>lam al-s}aghi>r

(mikrokosmos),93yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagat raya

(makrokosmos). Esensi insa>n ka>mil merupakan cermin dari esensi Tuhan;

jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyyah (jiwa universal);

tubuhnya mencerminkan arsy; pengetahuannya mencerminkan pengetahuan

Tuhan; hatinya berhubungan dengan bayt al-ma’mu>r, kemampuan mental

spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatnya dengan saturnus

(Zuhal); daya inteleknya dengan yupiter (al-Musytari>), dan lain-lain.94

91 Dibandingkan dengan manusia, makhluk lain, misalnya malaikat, setan , atau jin, diciptakan dengan satu sisi dari nama, sifat, atau citra (shu>rah)-Nya. Malaikat rahmah diciptakan dengan hanya tangan kanan Allah (atau dengan sifat-sifat jama>liyyah-Nya), sedangkan setan diciptakan hanya dengan tangan kiri Allah (sifat-sifat jala>liyyah-Nya). Jin, kendatipun sejajar dengan manusia dalam hal pembebanan (takli>f), ia makhluk tidak berwadag, yang hanya mencerminkan sifat ba>t}in (ketersembunyian) Allah, namun tidak sifat z}a>hir (ketampakan)-Nya. Dalam Qs. Al-H{adi>d, 57:3 Allah mengungkapkan: . ش كل باطن وھو ب اھر وال واآلخر والظ ل و يء علیم ھو األ Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, 33. 92 Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 214. 93 Ibn ‘Arabi>, al-Futu>h}a>t al-Makkiyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 118. 94 Ibid., 120.

76

Al-insa>n al-ka>mil ini merupakan wujud yang menjadi sintesa dari sifat

jala>liyyah dan sifat jama>liyyah Allah. Sifat jala>liyyah adalah sifat-sifat Allah

yang mencerminkan keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan kekerasan-Nya.

Sifat-sifat ini dikenal juga dengan sifat-sifat maskulin yang terungkap dalam

nama-nama seperti al-‘Az}i>m, al-Qadi>r, dan al-Qahha>r. Sedangkan sifat

jama>liyyah adalah sifat-sifat yang mencerminkan kemurahan, kelembutan,

kasih-sayang dan penerimaan-Nya. Sifat-sifat ini disebut juga sifat feminin

Allah, seperti dalam nama-nama al-Rah}ma>n, al-Rah}i>m, al-Tawwa>b, dan al-

Gha>fir.95

Menurut Kharisudin Aqib, sesungguhnya terdapat perbedaan

terminologi al-insa>n al-ka>mil dengan insa>n ka>mil. Jika insa>n ka>mil bermakna

yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara

sempurna yang disandarkan kepada manusia secara umum, namun apabila

berbentuk al-insa>n al-ka>mil, maka istilah tersebut menunjuk kepada pribadi

Rasulullah.

d. Relasi Tuhan, Alam, dan Manusia

Hubungan-hubungan analogis dalam berbagai tataran eksistensial

antara manusia dan kosmos menunjukkan bahwa manusia yang mewakili

keseluruhan (totalitas, jam’iyyah) dapat melakukan apa saja kepada kosmos

yang mewakili bagian dari keseluruhan. Manusia karenanya dapat

mengacaukan kosmos di samping mampu menjamin harmoni terhadap alam

semesta. Pendidikan yang baik adalah yang dapat menjalankan peran 95 Kharisuddin Aqib dalam materi kuliah tasawuf di kelas Pemikiran Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, disampaikan pada tanggal 12 Mei 2012.

77

membimbing manusia untuk membantunya memahami kesempurnaan diri

dan untuk bertindak menurut ajaran Allah. Kesempurnaan ciptaan manusia

mengikuti hukum ketentuan Allah yang disebut al-amr al-takwi>ni> (perintah

penciptaan), sedangkan ketentuan Allah dalam wahyu yang mengajarkan

manusia untuk menyelaraskan kesempurnaan penciptaannya disebut al-amr

al-takli>fi> (perintah petunjuk). Dengan demikian ajaran agama melalui

tasawuf tetap bersifat substansial dan signifikan untuk dijalankan. Dalam

pemaknaan ini, menunjukkan bahwa agama (shari>’ah) menjadi asas yang

sangat fundamental bagi seorang s}u>fi>. Argumen yang paling jelas bagi

perlunya ajaran tasawuf ini adalah bahwa dengan bermodalkan

kesempurnaan penciptaan, manusia seringkali malah menempuh jalan

menyimpang yang justru merusak kesempurnaan diri sekaligus pada saat

yang sama berarti mengacaukan keseimbangan psikologis dan kosmologis.96

Hubungan-hubungan aktif-reseptif yang selaras pada kosmos dan pada

diri manusia menunjukkan bahwa baik dalam diri manusia maupun alam

semesta, bahkan dalam Diri Allah, sifat-sifat jala>liyyah Allah bersifat aktif,

sementara sifat-sifat jama>liyyah-Nya bersifat reseptif. Namun, terbukti sifat-

sifat jama>liyyah-Nya melampaui sifat-sitaf jala>liyyah-Nya, seperti dalam

hadis qudsi disebutkan: “Rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” Menguasai

alam semesta adalah aktualisasi aktivitas manusia; namun memeliharanya

dengan penuh kasih sayang adalah sikap mulia yang harus diutamakan.

Mengapa? Karena dengan kasih sayang, segala keutamaan kosmos akan

96 M. Syamsul Hadi, “Pandangan Dunia Spiritual, 61.

78

terbentang sebagai anugerah yang menguntungkan kehidupan manusia.

Demikian juga, dalam konteks psikologi manusia, ruh, akal, dan hatinya yang

berada pada struktur atas atau tinggi dari spiritualitasnya bersifat aktif dalam

hubungannya dengan struktur bawah, yaitu nafs. Nafs pada saat yang sama

harus bersifat reseptif terhadap cahaya dari tataran atas spiritualitasnya,

bukan malah sebaliknya menjadikan kecenderungan-kecenderungan

rendahnya menjadi acuan.97

Dalam hubungan-hubungan aktif-reseptif ini, teraktualisasi misalnya

pada perlunya pribadi yang progresif dan aktif dalam hubungannya dengan

Tuhan, alam dan sesama manusia. Sedangkan di sisi yang lain juga

dikembangkan sikap reseptif dalam konteks yang sama. Sikap reseptif ini

penting untuk membentuk manusia yang mampu membawakan totalitas,

setiap manusia apa pun kedudukannya dalam struktur harus dapat

memelihara sikap-sikap akktif-reseptif ini, seperti halnya Allah yang bukan

saja memberi tetapi juga menerima. Allah mencurahkan rahmat, sekaligus

juga menerima taubat.98

Hubungan-hubungan atas-bawah yang terdapat di dalam kosmos dan di

dalam diri manusia menunjukkan bahwa manusia memiliki kesempatan yang

sangat luas untuk meningkat ke taraf setinggi-tingginya; dan sebaliknya untuk

menurun kepada taraf serendah-rendahnya. Kenyataan ah}sani taqwi>m-nya

menyiratkan peluang naik ke atas, sebaliknya asal kejadian dari tanahnya

membuka peluang kembali ke asal kejadian sebagai makhluk mati. Dengan

97 Ibid. 98 Ibid., 62.

79

demikian, buah dari pendidikan spiritual, harus bersifat “menghidupkan”,

sekaligus meningkatkan taraf kemanusiaan, dan sebaliknya juga menjaga

dekadensi dan stagnasi kehidupan. Pendidikan spiritual menentukan

tercapainya insa>n ka>mil yang substansinya berada pada ruhnya, yang

sekaligus menyiratkan jati dirinya yang mulia dan tinggi, yang dapat

menjalankan peran sentralnya di dalam kosmos sebagai penyelaras. Inilah

yang tersimpul dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi ini.

Insa>n ka>mil adalah manusia paripurna, yang setelah tuntas melakukan

perjalanan “naik” untuk ma’rifat kepada Allah, kemudian tidak begitu saja

berasyik masyuk dengan perolehan ma’rifatnya, namun ia berkenan “turun”

untuk berkiprah memperbaiki alam semestanya. Inilah insa>n ka>mil yang

mengemban visi dan misi profetis, sebagaimana salah satu tugas Rasulullah

Saw yang tersebut dalam sabda beliau (innama al-bu’ithtu li> utammima

maka>rima al-akhla>q). Mengajarkan tentang kesempurnaan akhlak, baik

terhadap Allah, alam, dan sesama manusia. Sebuah cerminan kemuliaan

akhlak dari proses belajar dan mencontoh bagaimana Allah telah berbuat

yang terbaik bagi mahluknya, sebagaimana hadi>th: “takhalluq bi akhla>q

Allah” (berakhlaq-lah sebagaimana akhlaq Allah), dan juga dalam firman

Allah:

80

“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.99

Selanjutnya adalah bagaimana konsepsi-konsepsi fundamental dalam

tasawuf yang mengemban visi dan misi profetis mampu berdiri kokoh dan

menemukan titik relevansinya dalam peradaban masyarakat modern? Mengingat

berkembang stigma di kalangan masyarakat modern, bahwa pemikiran-pemikiran

keagamaan semisal tasawuf, adalah sesuatu yang dinilai usang bagi sebuah

peradaban yang bernama modern. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis merasa

perlu menjelaskan tentang seluk beluk peradaban modern sebagai “lahan

persemaian” bagi sebuah tawaran gaya hidup sufistik, yang di dalam istilah

Kharisudin Aqib disebut sebagai gaya hidup profetis yang prospektif bagi

manusia modern.100

B. Modernitas

1. Definisi dan Sejarah Modern

Dalam maknanya yang paling umum, terma ‘modern’ berarti sesuatu yang

baru, kontemporer, up to date, atau kekinian.101 Turner yang mengikuti konsep

Habermas, menyatakan bahwa istilah ’modern’ diambil dari istilah latin abad

kelima belas, modernus, yang berarti baru, atau kekinian.102 Sementara istilah

‘modern’ menurut Levine, merujuk pada; (1) suatu zaman sejarah, (2) identifikasi

99 Al-Qur’an, 28: 77. 100 Makalah Kharisudin Aqib, “Sufi: Gaya Hidup Profetik Yang Prospektif”, 1. 101John Scott, Sociology, The Key Concepts (London & New York: Routledge, 2006), 110 102Bryan S. Turner, Theories of Modernity and Postmodernity; Theory, Culture & Society (London: Sage, 1990), 16.

81

sebentuk fenomena dan proses, atau (3) seperangkat gagasan dan cita-cita

mengenai perkembangan masa depan masyarakat.103 Kata tersebut bisa juga

diartikan sebagai segala hal yang berbeda, berkebalikan dengan periode lampau.

Misalkan, arsitektur, atau gaya berbusana modern berarti juga arsitektur dan gaya

berbusana yang sama sekali berbeda dengan masa sebelumnya.104

Kata ‘modern’ digunakan awalnya di Eropa sekitar abad XVII, untuk

membedakan struktur masyarakat di periode yang baru tersebut dengan pola

kehidupan tradisional di masa sebelumnya, yang kental dengan feodalisme, dan

irasionalitas.105 Istilah ‘modern’ digunakan untuk membedakan bangsa Eropa dari

era pertengahan. Jadi, kata ‘modern’ digunakan untuk menggambarkan situasi

pola hidup masyarakat Eropa setelah abad pertengahan (post-medieval Europe). Ia

dipahami sebagai sebuah proses berkembang dan menyebarnya rasionalisasi Barat

ke setiap aspek kehidupan manusia beserta perilaku sosialnya.106

Dari kata ‘modern’ di atas, yang merujuk pada sepenggal sejarah Barat

yang membedakan dengan masa lampau, bisa diturunkan menjadi istilah

‘modernisasi’, ‘modernisme’, dan ‘modernitas’. Dalam pandangan Turner,

modernisasi ia definisikan sebagai suatu perubahan sosial dan budaya yang

bersifat masif yang telah berlangsung dari pertengahan abad enam belas, yang

pada gilirannya, berkaitan dengan suatu analisis terhadap masyarakat kapitalis

103Donald N. Levine, Modernity and Its Endless Discontents (USA: The University of Chicago, 2002), 4. 104Ahmad Muhammad, “Pemikiran ‘Abd Al-H}ali>m Mah}mu>d Tentang Relasi Sufisme dan Modernitas” (Tesis—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013), 48. 105Scott, Sociology, The Key Concepts, 111. 106Turner, Theories of Modernity and Postmodernity, 16.

82

industrial sebagai suatu perubahan revolusioner dari stabilitas tradisi sosial yang

dibangun dalam peradaban agraris yang stagnan.107

Tak jauh berbeda dengan Turner, J.W Schoorl memandang bahwa

modernisasi yaitu suatu proses transformasi, dan perubahan masyarakat dalam

segala aspeknya. Modernisasi dapat dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan

ilmiah pada semua aktivitas, semua bidang kehidupan masyarakat. Proses

transformasi demikian menjadikan dunia sosial berada di bawah dominasi

sekularisasi, rasionalitas, diferensiasi berbagai lapangan kehidupan dunia,

birokratisasi ekonomi, praktek-praktek politik dan militer, serta moneterisasi nilai-

nilai yang berkembang.108

Sementara itu, konsep modernisme biasanya dikaitkan dengan fenomena

atau kategori kebudayaan.109 Fenomena tersebut, menurut Maryam Jameela

merupakan “pemberontakan radikal” terhadap nilai-nilai yang dianggap sudah

mapan, terutama menyangkut agama dan nilai-nilai spiritual.110 Sedangkan konsep

modernitas digunakan untuk menjelaskan ‘totalitas’ kehidupan, yang dibangun di

atas pondasi modernisme.111 Jadi, bisa disimpulkan bahwa modernitas merupakan

hasil dari proses modernisasi dan kategori kebudayaan tertentu yang dilandasi

oleh modernisme.

Zaman keemasan Islam secara historis tidak dapat dipisahkan dari abad

modern yang terjadi di Barat. Masa kejayaan Islam ditandai dengan kemunculan

107Ibid., 18. 108Ibid., 6. 109Yasraf Amar Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: LKIS, 1999), 15. 110Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, terj. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 39. 111Yasraf Amar Piliang, Hipersemiotika,15.

83

pemikiran-pemikiran rasional, ilmiah dan filosofis yang berkembang pesat di

kalangan umat Islam. Para pemikir Islam dalam mengembangkan gagasan

rasional filosofisnya selalu merujuk kepada wahyu. Sehingga interpretasi –

interpretasi pemikiran pada masa kejayaan Islam klasik secara kuat masih

terintegrasi antara dimensi spiritual dan dimensi intelektual yang bersumber pada

pemahaman wahyu ilahi.

Pada saat dunia Islam dalam zaman keemasannya, dunia di belahan bumi

Eropa pada abad pertengahan masih mengalami masa kegelapan dan kemunduran

(the dark age).112 Kemajuan yang dialami oleh dunia Islam ternyata memiliki

daya tarik bagi bangsa Eropa. Maka tidak mengherankan apabila telah terjadi

gelombang besar di Eropa untuk “berguru” ke negara-negara Islam untuk

mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat. Melalui kontak ini, pemikiran

rasional, ilmiah, filosofis, dan bahkan sains Islam mulai ditransfer ke daratan

eropa.113

Kontak antara dunia Eropa dan Islam, pada lima abad berikutnya, ternyata

telah mampu menghantarkan Eropa melalui ide-ide “kebangkitan kembali”

(renaissance), reformasi, revolusi ilmu pengetahuan, “pencerahan” (enlightment),

dan rasionalisme,114 untuk memasuki babak sejarah yang betul-betul baru, yaitu

abad modern.115

112John L. Esposito (ed.), Voice of Resurgent Islam (New York: Oxford University Press, 1983), 5. 113Lihat Harun Nasution dalam pengantar buku Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), xii. 114Bernard Lewis, The Muslim Discovery of Europe (New York & London: W.W Norton & Company Inc., 1982), 50, dalam Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity, the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (Yogyakarta: LkiS, 1993), 107-108. 115Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 50.

84

Proses modernisasi yang berkembang di Eropa pasca abad pertengahan,

lalu menghasilkan masyarakat baru (modern) yang mengadopsi rasionalitas dan

institusi rasional dalam mencapai tujuannya di setiap aspek kehidupan, sehingga

kemudian mengeliminir tradisi dan tradisionalitas. Menurut Seyyed Hossein Nasr,

“tradisi bukanlah suatu mitologi yang kekanak-kanakan dan usang, melainkan

suatu sains yang benar-benar nyata” (Tradition is not childish and out mode

mythology, but a science that is terribly real). Lebih lanjut Nasr menambahkan,

bahwa lawan langsung dari “tradisi” adalah apa yang disebut “modern”. Modern,

kata Nasr, tidak diartikan sebagai contemporary atau up to date. Kata modern juga

tidak merujuk kepada suatu keberhasilan dalam penguasaan atau dominasi atas

dunia alam, melainkan modern berarti sesuatu yang dilepaskan (cut off) dari yang

transenden, dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala

sesuatu dan yang dibuat dikenal oleh manusia lewat pewahyuan dalam pengertian

yang paling luas kata itu.116

Dengan rasionalitas, orang Eropa kemudian membangun institusi

masyarakatnya berupa; konsep negara bangsa, sistem industri modern, sistem

komunikasi dan transportasi masal modern, dan sistem ekonomi modern.

Modernitas, bisa eksis apabila ditopang oleh institusi kunci masyarakat yang

terasionalisasikan di segala aspek. Jadi, bisa dikatakan bahwa inti dari modernitas

adalah rasionalitas. Masyarakat Eropa, yang pertama kali mengalami modernitas,

116Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London & New York: Keagan Paul International, 1987), 98.

85

lantas kemudian menyebarkan ide-ide tersebut ke segala penjuru dunia melalui

perdagangan dan kolonialisme.117

Marshal Berman mengidentifikasi tiga tahapan sejarah perkembangan

modernitas, yaitu: Tahap pertama, membentang dari abad ke-16 sampai akhir

abad ke-18, dalam waktu ketika orang memulai mengalami kehidupan modern.

Periode awal modernitas ini ditandai dengan beberapa peristiwa penting dalam

sejarah seperti gerakan Renaisans, Pencerahan di Eropa, revolusi Amerika dan

Perancis serta revolusi Industri di Inggris. Tahap kedua, dimulai bersamaan

dengan revolusi Prancis dan timbulnya kekacauan dalam kehidupan sosial, politik

dan individu hingga gelombang revolusi besar tahun 70-an yang luar biasa. Tahap

ketiga, ditandai dengan terjadinya difusi global dari proses modernisasi dan

perkembangan dari suatu kebudayaan dunia modernisme yang menimbulkan

kekecauan dalam kehidupan sosial politik.118

Tapi modernitas lebih dari sekedar periode sejarah. Modernitas adalah

sebuah cara berpikir baru yang berakar ke dalam enlightment dan positivisme.

Enlightment (pencerahan) adalah gerakan intelektual Eropa yang dimulai pada

sekitar waktu ketika Isaac Newton mempublikasikan bukunya yang terkenal,

Principia Mathematica pada 1686, meskipun akar dari enlightment bisa dilacak

lebih jauh pada para ilmuwan semisal Bacon, Hobbes, dan Descartes. Orang-

orang ini menciptakan revolusi intelektual karena percaya bahwa penggunaan akal

dan logika akan menerangi dunia, pada saat iman dan agama tidak bisa

melakukannya. Target dari gerakan ini pada mulanya adalah kekuasaan gereja dan 117Scott, Sociology, The Key Concepts, 110-112. 118Marshall Berman, All That is Solid Melts into Air: The Experience of Modernity. (New York: Simon and Schuster, 1982), 16-17

86

monarki di Eropa. Ide-ide sentral dari enlightnment adalah progresifitas,

empirisisme, kebebasan, dan toleransi.119

Ide-ide progresifitas dan empirisme ini sangat signifikan mengingat

sebelum masa pencerahan, ide kemajuan itu dianggap tidak penting. Alasan untuk

itu adalah bahwa pandangan dunia dominan saat itu didasarkan pada tradisi dan

agama. Pengetahuan tradisional yang tertanam dalam jangka waktu cukup lama

dengan demikian menolak pemikiran tentang perubahan dan kemajuan. Sementara

agama, karena didasarkan pada wahyu Tuhan, menjadikan pengetahuan manusia

tergantung pada kabar dari Tuhan dan bukan pada kreatifitas manusia. Manusia

modern Barat berusaha membebaskan diri dari tatanan ilahiah (theomorphism),

untuk selanjutnya membangun tatanan yang berpusat semata-mata pada manusia

(antropomorphism).120

Agar ide-ide modernitas dan kemajuan tadi bisa tercapai, maka alam

semesta harus dilihat dalam sudut tertentu. Daripada melihat dunia sebagai entitas

fisik dan spiritual, seperti dalam agama atau tradisi, lebih baik hal tersebut harus

dipahami sebagai entitas yang semata-mata empiris. Sehingga manusia mampu

mencapai pengetahuan tentang dunia ini berdasarkan pengamatan dan usaha

mereka sendiri. Dengan demikian, modernitas dibangun dari pondasi kepercayaan

bahwa manusia merupakan sentral segalanya, dan alam semesta tak lain hanyalah

realitas empiris. Manusia, melalui akalnya mampu mendapatkan pengetahuan

sejati tanpa harus menunggu wahyu Tuhan, seperti lazim terjadi pada masa

119Nurcholis Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, 56. 120Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2008), 239.

87

sebelumnya. Oleh karena itu, tidak salah jika periode ini sering disebut dengan

The Age of Reason.121

2. Karakteristik Modernitas

Pemikir modern, Alex Inkeles dan David H. Smith menyebutkan sembilan

ciri manusia modern, yaitu: (1) terbuka terhadap inovasi, perubahan,

penanggungan risiko, dan terhadap gagasan-gagasan baru; (2) tertarik dan

memiliki kemampuan membentuk pandangan-pandangan mengenai isu-isu yang

berada di luar lingkungannya; (3) lebih demokratis, terutama dalam hal

pengakuan dan toleransi terhadap perbedaan pendapat; (4) lebih berorientasi

terhadap masa kini dan masa depan daripada masa lalu; (5) menempatkan masa

depan dirinya ke dalam suatu perencanaan, visualisasi, dan pengorganisasian

untuk mewujudkannya; (6) cenderung tidak menerima keadaan sebagai nasib dan

berpandangan bahwa keadaan dunia ini dapat diperkirakan dan terbuka untuk

kendali manusia; (7) menghargai hak-hak orang lain tanpa memandang status

tradisionalnya; (8) menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai

instrumen untuk mengendalikan alam; (9) memiliki pandangan bahwa manusia

harus dihargai berdasarkan kontribusinya terhadap masyarakat, bukan berdasarkan

status sosialnya.122

Tidak jauh berbeda dari ciri-ciri modernitas yang dikemukakan Alex

Inkeles dan David H. Smith di atas, Deliar Noor menggambarkan karakteristik

masyarakat modern sebagai masyarakat yang (a) melihat ke depan bukan melihat

121Ibid., 238. 122Alex Inkeles dan David H. Smith, Becoming Modern, In Individual Change in Six Developing Countries (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 303-304. Lihat juga Ahmad Muhammad, “Pemikiran ‘Abd Al-H}ali>m Mah}mu>d”, 53.

88

ke belakang, (b) memiliki sikap yang dinamis dan aktif, bukan sikap menunggu,

(c) memberikan perhatian khusus kepada rasionalitas, bukan pada perasaan-

perasaan atau asumsi-asumsi, (d) mengembangkan suatu sikap yang terbuka

terhadap pemikiran dan hasil-hasil penemuan ilmiah, (e) memberikan prioritas

kepada hal-hal yang telah dicapai oleh seseorang, bukan kepada statusnya yang

diakui, (f) memberikan perhatian yang terbesar kepada persoalan- persoalan

langsung yang lebih konkrit dan yang lebih mendunia, (g) melibatkan dirinya

kepada tujuan-tujuan yang mengatasi tujuan-tujuan golongan.123

Di antara beberapa karakter dasar yang menjadi ciri khas modernitas

sebagaimana diungkapkan di atas, penanda paling mencolok dari modernitas

adalah kehadiran manusia di dunia sebagai ‘aku’ yang identik dengan ‘rasio’

(kesadaran). Rasio diyakini sebagai satu kemampuan otonom yang mengatasi

kekuatan metafisis dan transendetal. Ia mengatasi semua pengalaman dan

partikular yang khusus. Disamping itu, ia juga menghasilkan kebenaran mutlak,

universal, dan tidak terikat waktu. Dengan demikian jelas bahwa apa yang disebut

periode modern dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi

pusat dan ukuran dari semua yang ada (beings).124

Dunia modern Barat yang muncul melalui spirit yang berkembang di abad

renaissans, dengan gemilang telah meruntuhkan prasangka-prasangka teologis dan

metafisis atas alam semesta. Pergeseran secara mendasar dalam pola pikir

masyarakat modern Barat tersebut dari metafisik ke rasionalitas-empiris telah

melahirkan sejumlah penemuan sains dan teknologi yang luar biasa, yang semakin 123Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 12. 124Nurcholis Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, 54-70.

89

mengukuhkan kebenaran rasionalitas daripada kebenaran teologis. Rasionalitas

telah menjadi ukuran satu-satunya bagi kebenaran masyarakat modern Barat.

Rasionalitas diagung-agungkan sebagai alat utama dalam menjelaskan segala

sesuatu yang dianggap nyata atau riil.

Bila ditarik lebih jauh, rasionalitas mendapatkan inspirasi dari gagasan

Descartes dengan slogannya, cogito ergo sum. Melalui slogan ini, Descartes dan

Cartesian (para pengikut Descartes) ingin meneguhkan peranan manusia sebagai

subyek dari alam ini. Manusia, sebagai ganti Tuhan yang menjadi subyek selama

abad pertengahan Eropa mulai menjadi sentral dari alam semesta. Manusia,

melalui rasionalitas yang didapatkan melalui jalan berpikir sangat percaya diri

dapat memecahkan segala permasalahan dunia. Menurut Yasraf Amir Piliang,

wawasan humanisme Cartesian dalam hal ini, bersifat sangat mekanistis, dalam

pengertian bahwa rasionalitas dapat dijadikan sebagai ukuran tunggal ‘kebenaran’,

dan ‘mesin’ dijadikan sebagai paradigma, dalam mewujudkan mimpi-mimpi

utopis manusia modern akan kekuasaan atas alam semesta.125

Selain mendapat inspirasi dari Cartesian, modernitas, barangkali dibangun

dari paradigma filsafat Hegel, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang riil

adalah rasional, dan segala sesuatu yang rasional adalah riil. Artinya, tidak ada

sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Pandangan Hegel ini merupakan kelanjutan

dari pemikiran Immanuel Kant, yang meskipun meletakkan rasionalitas dalam

kedudukan tinggi, tetapi Kant masih memberi tempat bagi ‘sesuatu pada dirinya

sendiri’ (das ding an sich) yang tidak dapat diketahui oleh manusia. Dalam

125Yasraf Amar Piliang, Hipersemiotika, 16.

90

konteks ini, Hegel melampaui Kant dan menyatakan bahwa manusia, dengan

kemampuan rasionalitasnya dapat mengetahui segala sesuatu. Jika ada sesuatu

yang tidak dapat diketahui manusia, maka jelaslah bahwa sesuatu itu tidak benar-

benar eksis.126

Bila melihat ke belakang, revolusi intelektual abad kedelapan belas adalah

elemen penting dari “transformasi besar”. Ia membentuk apa yang disebut

"proyek modernitas” dengan menantang mitos agama dan tradisi. Perubahan

dalam dunia ide mengubah pandangan dan perilaku masyarakat untuk secara

terbuka mempertanyakan segala sesuatu dari sudut pandang rasionalitas.127

Berbeda dari pendahulunya, masyarakat modern adalah masyarakat

sekuler yang meyakini kekuatan pikiran rasional. Proyek modernis, khususnya

yang termanifestasikan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan janji

kemajuan dengan penguasaan atas alam. Para pemikir awal era modern yakin

bahwa kemajuan dalam pengetahuan adalah solusi untuk semua permasalahan

sosial. Seperti yang dikemukakan sosiolog Max Weber, bahwa kunci dari

perkembangan ‘transformasi besar’ adalah semua manifestasi dari pertumbuhan

rasionalitas.128

Konsep rasionalitas merupakan kunci untuk memahami modernitas.

Weber merupakan tokoh pemikir yang mula-mula menerapkan konsep

rasionalisasi. Pengertian rasionalisasi ini menurut Weber berarti perluasan

penggunaan rasio dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Menurut Nurcholish

126Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, terj. (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 42 127JurgenHabermas, The Theory of Communicative Action, Reason and the Rationalization of Society (USA: Beacon Press, 1987), 45 128Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi Modern, 550.

91

Madjid, modernisasi secara jelas dapat diidentikkan atau hampir identik dengan

pengertian rasionalisasi. Artinya proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama

yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja yang

rasional. Dengan demikian, sesuatu itu dapat disebut modern kalau ia bersifat

rasional, ilmiah dan berkesesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam

alam.129

Pada sepanjang abad ke-19 dan 20, proyek modernitas terus berlanjut

meliputi pelbagai bidang kehidupan manusia. Proyek modernitas menggunakan

ukuran ‘bergerak maju’ dan ‘kemajuan’ sebagai tujuan pembebasan manusia dari

kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan. Modernitas ditandai dengan grand-

narrative, kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan dan menjiwai

masyarakat modern, seperti halnya mitos yang mendasari masyarakat primitif.

Akan tetapi perbedaannya dengan mitos dalam masayarakt primitif, bahwa grand-

narrative tidak berusaha mencari legitimasi dari suatu peristiwa kepada masa lalu

(penciptaan oleh dewa-dewa), melainkan pada masa depan, dalam suatu ide yang

harus diwujudkan, bersifat universal, dan berlaku di mana-mana. Seperti,

misalnya emansipasi progresif dari rasio, kebebasan dalam liberalisme politik,

kemakmuran pada konsep ekonomi pasar bebas, perkembangan melalui teknologi

dan sebagainya.130

Jadi dari sini bisa diartikan bahwa secara umum dunia modern ditandai

dengan ‘diferensiasi’ dan ‘universalitas’. Karakter diferensiasi ini sebenarnya

hendak mengungkapkan bahwa dalam realitas kemodernan terdapat pemisahan 129Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1995), 207-220. 130Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, jilid II: Perancis, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 348.

92

antara kategori-kategori tertentu yang dianggap berbeda.131Hasil dari proses

diferensiasi terlihat dengan dikontraskannya kategori-kategori tertentu seperti

dikotomi individualisme modern dengan kolektivisme tradisional, wilayah publik

dengan wilayah privat, rasionalitas modern dengan irasionalitas tradisional,

pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan non-ilmiah, dan tak lupa agama dengan

ilmu pengetahuan. Dalam situasi modernitas, beberapa kategori di atas

dikontraskan satu sama lain dan tidak dimungkinkan untuk bermuara pada ujung

yang sama. Modernitas bisa dijelaskan dengan adanya tembok pemisah antara

satu kategori dengan kategori lainnya.

Jika diferensiasi adalah pengkontrasan antara kategori-kategori yang

dianggap taksama, maka universalitas berarti pengistimewaan salah satu kategori

di atas kategori lainnya. Modernitas dengan jelas menganak-emaskan

pengetahuan modern, dengan kebenaran ilmiah diajukan sebagai tujuan akhir

pencarian.132 Didasari oleh semangat rasionalitas, modernitas memaknai

kebenaran sebagai apa yang dihasilkan oleh seperangkat metodologi yang akan

menghasilkan konklusi dan pengetahuan yang seragam. Kebenaran adalah apa

yang diproduksi oleh rasionalitas, titik. Tidak kurang tidak lebih. Tidak ada

perbedaan, tidak pengakuan terhadap pluralitas, dan tidak ada cela untuk

mengatakan kebenaran lainnya. Dalam mega proyek modernisme, semuanya

terstruktur dalam satu narasi besar (grand narrative) yang bernama rasionalitas.

Diferensiasi inilah pada akhirnya akan membentuk dikotomi dalam

berbagai kategori, seperti: modern-tradisional, materi-immateri, ilmiah-non 131Emanuel Wora, Perenialisme:Kritik atas Modernisme & Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 54. 132Ibid., 56.

93

ilmiah. Dikotomi ini mengakibatkan cara pandang manusia modern terhadap

kenyataan hidup menjadi begitu sekularistik, dan pada akhirnya melahirkan

kepribadian yang serba ganda atau split personality, yang berimplikasi terhadap

kemunculan berbagai problem dalam kehidupan manusia modern.

3. Problematika Manusia Modern

Modernitas selain menyuguhkan berbagai bentuk perkembangan di segala

bidang kehidupan, juga mengakibatkan beberapa problematika bagi manusia

modern sebagai ciri khas produk manusia yang tidak akan luput dari sifat

ketidaksempurnaan.

Problematika yang dimaksud adalah perbedaan antara kondisi yang terjadi

dan kondisi yang diharapkan atau boleh juga diartikan sebagai perbedaan antara

kondisi sekarang dengan tujuan yang diinginkan.133 Dalam Kamus Oxford,

problem didefinisikan sebagai a matter or situation regarded as unwelcome or

harmful and needing to be dealt with and overcome (masalah atau situasi yang

dianggap tidak diinginkan atau berbahaya dan perlu ditangani dan diatasi).134

Idealnya, modernitas dengan segala capaiannya bertujuan untuk

kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia. Namun realitasnya, yang

berkembang dan dominan dalam kehidupan manusia modern justru tergerusnya

kebahagiaan, ketenangan, dan rasa aman. Peter L. Berger melukiskan manusia

modern mengalami anomie, yaitu suatu keadaan dimana setiap individu manusia

kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan

133 Aunur R. Mulyanto, Rekayasa Perangkat Lunak, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2009), 10. 134 http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/problem?q=problem, diakses tanggal 10 Maret 2014.

94

sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang

memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.135

Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala

kehidupan masyarakat, yang menggambarkan kemunduran (regress) sebagai

lawan dari kemajuan (progress), sebagai kenyataan sosial yang tidak

terbantahkan. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam

kehidupan masyarakat, yang pertama berlangsung pada level pribadi (individu)

yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di

dalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma, yang

berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan

perilaku, yang oleh Emile Durkheim disebut sebagai kehidupan tanpa acuan

norma (normless).136

Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan

pengetahuan masyarakat, yang biasa disebut sebagai cultural lag, dimana nilai-

nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal

yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.137

Dalam konteks Indonesia, masyarakat Indonesia boleh dikatakan belum

mengalami krisis kehidupan modern sebagaimana telah dialami oleh masyarakat-

masyarakat di negara maju, sebab modernitas atau kemodernan dalam kehidupan

masyarakat kita masih berada pada pertumbuhan awal. Namun menurut Haedar

Nashir, justru dalam masa transisi dari tradisional ke modern, seringkali

memumculkan permasalahan yang lebih rumit dan kacau. Wajah manusia modern 135 Berger, Piramida Pengorbanan, 35. 136 Haedar Nashir, Agama dan Krisis, 4. 137 Ibid.

95

Indonesia tampak buram, karena secara fisik sudah modern, namun kehidupan

mental dan alam pikiran masih tertinggal.138

Masyarakat Indonesia sering kali mendengungkan keluhuran ketimuran

seperti keramahan, gotong royong dan santun. Namun pada saat yang sama

kekerasan dan kebrutalan muncul dalam berbagai bentuk. Kriminalitas yang

tumbuh subur, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian pelajar, narkoba,

perselingkuhan, bunuh diri dan frustasi selalu menghiasi headline berbagai media

tanah air setiap harinya.

Kehidupan modern yang semakin keras dan saling memangsa, telah

memunculkan problem yang disebut dengan penyakit keterasingan (alienasi).

Keterasingan yang beragam akan muncul menyertai akselerasi pembangunan,

sebagai kosakata lain dari modernisasi dalam kehidupan masyarakat modern.

Tentu saja keterasingan tersebut tidak hanya terjadi dalam dimensi individu

(kesadaran diri) manusia saja, namun juga terjadi dalam hubungannya terhadap

alam (ekologis) dan sesamanya (sosial).139

a) Alienasi Kesadaran

Alienasi kesadaran, adalah sikap manusia yang ditandai oleh hilangnya

keseimbangan kemanusiaan, karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai

satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.140

Horkheimer melihat bahwa usaha pencerahan pengetahuan yang dilakukan

selama ini ternyata justru menghasilkan konsep rasionalitas tertentu yang

138 Ibid., 5. 139 Herati Nurhadi dalam M. Sastrapratedja (ed), Menguak Mitos-Mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis. (Jakarta: Gramedia, 1986), 341. 140 Herati Nurhadi dalam M. Sastrapratedja (ed), Menguak Mitos-Mitos, 342.

96

menghasilkan cara berpikir posivistis. Pada masa ini, rasio instrumental

menunjukkan permusuhannya dengan metafisika, karena pernyataan-pernyataan

metafisika dianggap tidak bermakna karena dianggap tidak dapat diverifikasi.

Spirit modernitas hendak menyingkirkan metafisika karena dianggap mitos.

Metafisika dipinggirkan karena tidak selaras dengan rasionalitas manusia modern.

Nyatanya yang terjadi kemudian adalah rasionalitas yang diandaikan sanggup

menyingkirkan mitos dan metafisika harus berakhir berakhir sebagai mitos baru.

Upaya pencerahan oleh rasionalitas pada akhirnya menampakkan wujud rasio

sebagai mitos baru pengganti metafisika.141

Auguste Comte membagi perkembangan peradaban menjadi tiga periode,

yaitu periode teologis (etat theology), periode metafisis (etat metaphysics),

periode positivis atau ilmiah (etat positivism). Kita sekarang telah sampai pada

zaman ilmiah, yang menandakan berakhirnya cerita tentang agama dan

metafisika.142 Manusia rasional senantiasa berusaha untuk menyingkirkan

kekuatan di luar diri manusia. Pemikiran obyektif di luar diri manusia dianggap

tahayul. Dalam hubungan ini, positivisme sebagai usaha manusia rasional yang

secara ekstrim menganggap diri otonom, lepas dari hal-hal yang bersifat

transenden.143 Dengan kepercayaan diri yang berlebihan terhadap pendekatan

empirisis-positivistik, modernitas memunculkan sinisme yang mendalam terhadap

aspek religius dan spiritual dari kehidupan.

Max Weber berpendapat bahwa masalah kehidupan modern yang paling

menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe 141Listiyano Santoso et. al. Epistemologi Kiri (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003), 117. 142Harry Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat, 54. 143Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), 127.

97

rasionalitas lain dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas.

Manusia semakin terpenjara dalam kerangkeng besi ini dan akibatnya semakin tak

mampu mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling

mendasar.144

Bertolak dari konsep rasionalitas formal Weber di atas, George Ritzer

menyimpulkan bahwa bentuk rasionalitas semacam ini yang cenderung

menyebabkan ketidakrasionalan sesuatu yang rasional. Sistem rasionalitas ini

pada akhirnya kemudian memunculkan demistifikasi dan dehumanisasi.145

Menurut Herbert Marcuse, teknologi dan ilmu pengetahuan bukan lagi

dipandang sebagai salah satu teori tentang pengetahuan, akan tetapi telah berubah

menjadi cara berfikir masyarakat, sekaligus merubah kesadaran masyarakat

menjadi kesadaran teknokratik. Kesadaran teknokratik telah mendominasi

kehidupan manusia sehingga manusia diarahkan dan ditentukan oleh dominasi

ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan

teknologi telah menjadi ideologi, yang menempatkan diri sebagai satu-satunya

penafsir realitas dan kebenaran.146 Berman menyebut fenomena ini dengan istilah

“all that is solid melts into air”.147

Dunia modern ditandai dengan rezim kekuasaan, totalitarianisme,

hegemoni oleh ilmu pengetahuan yang memberangus kebenaran-kebenaran lain.

Modernisme meniscayakan ketunggalan kebenaran ‘ilmiah’. Tidak ada

kebenaran-kebenaran, sebab yang boleh ada hanya kebenaran tunggal, yaitu

144George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terj. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),550. 145Ibid.,565. 146Santoso, et. al., Epistemologi Kiri, 106. 147Berman, All That is Solid Melts into Air, 16-17.

98

kebenaran ‘ilmiah’. Dalil kebenaran ilmiah, yang direkonstruksi dari slogan

faham Cartesian; cogito ergo sum, (aku berpikir maka aku ada) adalah suatu

metode ‘kaca mata kuda’ yang terlalu mengagungkan instrumen rasio dan

cenderung menafikan keberadaan manusia lebih utuh sebagai totalitas yang

bereksistensi.148

Dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, sebenarnya muncul berbagai

pandangan yang menggugat paradigma positivisme. Tokoh seperti Thomas S.

Kuhn mengisyaratkan adanya upaya pendobrakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu

yang mempunyai kebenaran sui generis atau objektif. Dengan itu, Kuhn

menyerang paham positivistik dan pendekatan rasionalistik, karena dianggapnya

ilmu pengetahuan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu. Tokoh lain adalah

Paul Feyerabend yang menyebutkan dalam bukunya Against Method bahwa

dalam masyarakat dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama

dengan agama di Abad Pertengahan. Ilmu pengetahuan mempunyai kuasa mutlak.

Walaupun dalam masyarakat itu seseorang boleh memilih untuk beragama atau

tidak, tetapi mau tidak mau ia harus memilih ilmu pengetahuan. Dari sini terjadi

pergeseran dari ilmu pengetahuan sebagai entitas yang membebaskan manusia

menjadi entitas yang justru memperbudak manusia.149

Jadi, bisa dikatakan bahwa modernitas berarti melakukan definisi ulang

tentang cara bagaimana manusia melihat diri mereka dan kedudukan mereka di

dunia. Modernitas memperlihatkan bahwa Tuhan dan realitas metafisika tidak lagi

dianggap sebagai sentral pembahasan seperti pada abad pertengahan. Modernitas 148Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), 273. 149Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 199

99

mengatrol posisi manusia dan rasionya pada kedudukan Tuhan dalam kaitan

dirinya sebagai pusat perhatian utama.150

Tuhan dan agama teralienasi dari dunia, digusur oleh manusia dan sains

modern. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar,

yang bersifat spiritual, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenangan

batin. Oleh karenanya tidak mengherankan jika di dunia modern saat ini,

dirasakan terjadinya krisis manusia dan kemanusiaan sebagai akibat tergesernya

nilai-nilai ketuhanan, digantikan oleh paham materialisme, rasionalisme dan

positivisme. Dalam bahasa lebih radikal, Peter L. Berger mengilustrasikan

lenyapnya nilai-nilai spiritual dalam rumusan: “Tuhan telah mati” atau

“berakhirnya zaman Kristus”.151

b) Alienasi Sosial

Alienasi Sosial, adalah gejala keterasingan secara sosial, hal ini

ditunjukkan dengan adanya keretakan dan kerusakan dalam hubungan antar

manusia dan antar-kelompok masyarakat, sehingga lahir berbagai disintegrasi

sosial.152

Disintegrasi sosial ini muncul sebagai dampak yang tidak terpisahkan dari

begitu dominannya rasionalitas atas akhlaq al-karimah (aspek emosional dan

spiritual). Alam pikiran manusia modern lebih bertumpu pada karakter

150Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 45. 151Peter L. Berger, Modernity, Pluralism and the Crisis of Meaning, (Gutersloh: Bertelsmann Foundation Publisher, 1995), 38. 152 Herati Nurhadi dalam M. Sastrapratedja (ed), Menguak Mitos-Mitos, 341.

100

individualisme dan kebebasan yang berkiblat pada kemandirian manusia

(antroposentris).153

Paham humanisme-antroposentris telah menempatkan manusia sebagai

pusat segala-galanya, manusia yang begitu mandiri dalam menyelesaikan segala

bentuk problematika kehidupan dengan keperkasaan rasionya. Sikap ini akan

membawa manusia ke arah pola hidup yang individualistik, cenderung kurang

bersosialisasi dengan masyarakatnya, sebab manusia modern menganggap semua

problematika kehidupannya bisa dia selesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Berbagai kecanggihan teknologi pun semakin menjauhkan manusia dari perlunya

berinteraksi dengan manusia lain, seperti kebutuhan terhadap informasi di dunia

luar, akan terselesaikan hanya dengan duduk santai dengan koneksi internet di

rumahnya.154

c) Alienasi Ekologis

Alienasi ekologis, adalah sikap manusia yang secara mudah merusak alam

dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tanpa melakukan tindakan rehabilitasi

yang mampu mengimbangi dampak yang ditimbulkan.155

Manusia modern sebagaimana dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr,

mencoba hidup dengan roti semata, mereka bahkan berupaya “membunuh” Tuhan

dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat. Konsekuensi lebih lanjut dari

perkembangan ini, kekuatan dan daya manusia akan mengalami eksternalisasi.

Dengan eksternalisasi ini manusia kemudian “menaklukkan” dunia secara tanpa

batas. Manusia menciptakan hubungan baru dengan alam melaui proses 153 Haedar Nashir, Agama dan Krisis, 7. 154 Ibid., 7-8. 155 Ibid.

101

desakralisasi alam itu sendiri. Dalam kerangka hubungan baru ini, alam dipandang

tidak lebih dari sekedar objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan

dieksploitasi semaksimal mungkin.156

Manusia modern memperlakukan alam sama dengan pelacur, mereka

menikmati dan mengeksploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan

tanggung jawab apapun. Idealnya, manusia harus memahami peran dan fungsinya

sebagai khalifah, yang bertugas mengatur, mengelola dan menjaga keseimbangan

serta kelestarian lingkungannya, bukan malah menjadi budak egonya sendiri.157

Cara pandang manusia modern yang salah dalam memandang relasi antara

dirinya dan dunia (alam) menyebabkan manusia melahirkan berbagai perilaku

yang “tidak ramah” lingkungan. Mulai dari ilegal logging, polusi baik darat, laut

maupun udara, penipisan lapisan ozon sebagai akibat efek rumah kaca, dan

sebagainya. Manusia modern telah menciptakan ilusi dengan memandang dunia

ini sebagai realitas kehidupan yang sebenarnya.

Berbagai problematika manusia modern di atas membuat berbagai

kalangan mencari solusi agar manusia bisa kembali hidup dalam kesadaran yang

sempurna, tidak hanya sebagai individu, namun juga sebagai keutuhan dari sebuah

masyarakat dan hamba Tuhan. Tasawuf yang memiliki konsepsi tentang

bagaimana menjalin keseimbangan terhadap relasi Tuhan, alam dan manusia,

kembali “dilirik” sebagai alternatif solusi atas problematika manusia modern di

atas. Fenomena tren positif perkembangan tasawuf saat ini membuktikan bahwa

tasawuf yang dahulu dicibir sebagai penyebab kejumudan dan stagnansi 156 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen and Unwin, 1968), 18. 157 Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan, 71.

102

peradaban manusia, telah menemukan momentum kebangkitannya di abad

modern.

4. Anomali Peningkatan Spiritualitas Masyarakat Modern

Sulit untuk menghindari bahwa realitas kehidupan modern dan modernitas

telah mengangkat manusia dari keterbelakangan sosial, ekonomi dan budaya.

Modernisasi setidaknya ditandai oleh tiga hal: rasionalisme, sekularisme, dan

saintisme.158 Ciri pertama dari modernisme, yaitu rasionalisme, berdiri sebagai

filter yang memvalidasi setiap pemikiran dan temuan yang tidak bisa dinalar oleh

rasio. Dengan kata lain, setiap pemikiran dan temuan ilmu pengetahuan harus

seuai dengan ketentuan dan standar rasio dan logika.

Ciri kedua menegaskan bahwa segala sesuatu harus berada di luar bingkai

agama. Dimana setiap kegiatan tidak ada yang berhubungan dengan dimensi suci

yang terdapat dalam agama. Pemisahan agama dari kehidupan sosial adalah

sesuatu niscaya dalam kehidupan modern. Sedangkan ciri ketiga adalah setiap

temuan harus berdasarkan sains, apabila bertentangan dengan ilmu pengetahuan,

hal tersebut tidak termasuk kategori modern.

Menurut Peter L. Berger, masyarakat modern tidak begitu menghiraukan

lagi urgensi menjawab persoalan-persoalan metafisis tentang eksistensi diri

manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di jagad raya ini.

Kecenderungan ini terjadi disebabkan proses rasionalisasi yang menyertai

modernitas telah menciptakan sekularisasi kesadaran yang memperlemah fungsi

kanopi suci (sacred canopy) agama dari domain kehidupan para pemeluknya dan 158Jalaluddin Rakhmat, “Islam Sumbangsih Pemikiran di Era Pasca Modernisme”, dalam Reorientasi Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia, Makalah Seminar Nasional (Yogyakarta: SMF. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1995), 1.

103

menciptakan suasana chaos, atau ketidakberartian hidup (meaningless) pada diri

manusia modern.159 Hal-hal sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan

pengokohan eksistensi dan misi kehidupan manusia yang bersifat luhur berubah

dan digantikan oleh hal-hal yang serba rasional, sehingga terjadilah dekonstruksi

transendensi kognisi manusia (sekularisasi alam batin) secara serius. Sedangkan

sektor-sektor masyarakat dan kebudayaan secara rigid dipisahkan dari supremasi

nilai-nilai luhur dan simbol-simbol religius yang sarat makna (sekularisasi

institusional), yang mengakibatkan kehidupan kolektif manusia dan masyarakat

modern menjadi hampa dan tanpa makna.160 Proses sekularisasi inilah yang

disebut oleh Peter L. Berger sebagai sekularisasi kesadaran,161 dimana sekularisasi

ini terjadi ketika manusia berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan

perhatiannya pada “dunia sini” dan sekarang.162

Salah satu fenomena yang menarik untuk disimak dalam kaitannya dengan

krisis manusia modern, adalah fenomena kebangkitan spiritualitas tasawuf yang

terjadi di beberapa daerah dengan ditandai berkembangnya kegiatan-kegiatan

keagamaan seperti maraknya peserta pengajian eksekutif, kursus-kursus tasawuf,

dan kelompok-kelompok tarekat. Kenyataan tersebut jelas menimbulkan

pertanyaan di kalangan sosiolog dan kaum modernis; mengapa dalam situasi

kemajuan sains dan teknologi, justru semakin banyak manusia tertarik pada

spiritualitas tasawuf dan tarekat? Apakah gejala tersebut hanya sekedar eskapisme

dalam dunia modern? Jawaban yang tepat menurut penulis adalah sebagaimana

159Haedar Nashir, Agama dan Krisis, 11. 160Ibid. 161Peter L. Berger, A Rumor of Angel (New York:1970), 4. 162Harvey Cox, The Secular City (New York: Macmillan, 1966), 56.

104

disampaikan Naisbitt dan Aburdene,163 bahwa ternyata kebangkitan agama

(termasuk tasawuf dan tarekat) merupakan wujud penolakan yang tegas terhadap

kepercayaan buta kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini nyaris

menjadi “pseudo religion”.

Memang sampai saat ini belum diperoleh kejelasan apakah munculnya

kesadaran spiritual pada masa kini dikarenakan adanya kesadaran providensi

(keilahian) seperti halnya zaman dahulu, ataukah seperti yang dikatakan oleh

Allen E. Bergin, bahwa munculnya fenomena spiritualitas itu disebabkan oleh

adanya kegagalan organized relegion.164Pada konteks ini, agama-agama yang

terorganisasi tidak lagi dihargai dikarenakan, dengan meminjam istilah Erich

Fromm, agama-agama yang ada terlalu “otoriter” terhadap manusia kongkrit.

Berbagai kalangan menyetujui pandangan Fromm yang menyatakan bahwa

manusia modern membutuhkan agama yang lebih humanistik.165 Kecenderungan

otoritarian menurut Fromm berawal dari karakter sosial yang menjadi dasar

destruksi dalam kehidupan manusia. Agama yang berkarakter sosial otoritarian

dapat menyebabkan situasi dehumanisasi.166

Terlepas dari beberapa hipotesa di atas, penting kiranya dikemukakan

pandangan Emil Durkheim ketika mengajukan kategorisasi agama. Menurut

Durkheim, semua agama memiliki ciri yang sama, yaitu doktrin tentang dua

domain; hal-hal yang dianggap suci (sacred) atau keakhiratan dan hal-hal yang

163Azyumardi Azra, “Neosufisme dan Masa depannya”, Muhammad Wahyuni Nafis (Ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), 287. 164Allen E. Bergin, “Spiritual Abad Modern,” Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VI., No. 4. (1994). 165Gambaran tentang “agama otoritarian” dan “agama-agama humanistik”, lihat Erich Fromm, Religion and Psychoanalysis (New York: Vail-Ballou Press, 1977), 19-64. 166Biyanto, “Sufisme Kota: Studi Tentang Kecenderungan Meningkatnya kehidupan Religius-Sufistik Masyarakat Muslim Perkotaan”, Qualita Ahsana, Vol. VI, No. 2 (Agustus, 2004), 2-3.

105

bersifat keduniaan (profane).167 Manifestasi dua domain ini dapat tampak

bersama-sama maupun secara terpisah, atau bahkan saling meniadakan. Misalnya,

orang yang bosan dengan masalah profane, akan berpaling dan menekuni aspek

yang sacred saja, dengan cara bertapa atau meninggalkan apapun urusan duniawi.

Realitas ini bisa ditemukan pada kelompok-kelompok agama eksklusif atau

kelompok s}u>fi> tradisional yang menjauhkan diri dari pergaulan masyarakat. Di

negara-negara maju, untuk mengatasi problem-problem yang ditimbulkan iptek

berupa alienasi kemanusiaan, banyak yang memilih mengasingkan diri dengan

aktivitas pemujaan Tuhan secara eksklusif, bahkan tidak sedikit yang akhirnya

memilih jalan yang tragis seperti bunuh diri masal (misalnya dalam kasus clan

David Cores), maupun melakukan konfrontasi terhadap apa saja di sekelilingnya.

Karena itulah persepsi agama yang memisahkan dua dimensi: sacred dan profane,

diharapkan bisa saling melengkapi, sebab jika memilih salah satunya, maka

berarti meninggalkan yang lain.168

Adanya kenyataan bahwa agama mengandung dua doktrin yang tidak

dapat dipisahkan, menunjukkan bahwa tujuan manusia beragama adalah

membutuhkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus. Orang yang beragama

tidak mungkin menemukan kebahagiaan yang hakiki jika yang diperoleh hanya

kesenangan duniawi, karena itulah dibutuhkan usaha-usaha untuk meraih

kebahagiaan akhirat, misalnya dengan memilih jalan hidup religius s}u>fi>stik.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Alister Hardy, bahwa bagaimanapun

perkembangan manusia, kebutuhannya terhadap spiritualitas tetap bersifat 167Emil Durkheim, “Dasar-Dasar Sosial Agama”, Roland Robertson (ed.), Agama Dalam Anlisa dan Interpretasi Sosiologi (Jakarta: Rajawali Press, 1988), 35-61. 168Biyanto, “Sufisme Kota”, 3.

106

alamiah.169Menurut Kharisudin Aqib, manusia tanpa spiritualitas, laksana cincin

yang kehilangan mata cincinnya. Tanpa ada mata mutiara yang bertahta di

atasnya, cincin itu akan kehilangan pesonanya.170Karena itulah praktik-praktik

spiritualitas senantiasa ada dan dicari pada setiap periode perkembangan

peradaban manusia.

Salah satu upaya dalam mengembalikan nilai-nilai spiritualitas dalam

kehidupan manusia modern, adalah dengan menciptakan format baru model

spiritualitas yang sesuai dengan karakter manusia modern itu sendiri. Oleh karena

itulah tasawuf transformatif muncul sebagai bentuk tawaran gaya hidup sufistik

yang relevan di abad modern, sekaligus mampu menjadi solusi atas berbagai

problematika manusia modern.

C. Tasawuf Transformatif: Sebuah Upaya Reformulasi Ajaran Tasawuf

Penerapan konsep-konsep rumusan tasawuf model lama tampaknya akan

segera ditinggalkan disebabkan konsepsinya yang dianggap “usang” untuk sebuah

zaman yang bernama modern. Konsep tasawuf dengan bentuk “in old fashion”

yang hanya mengarahkan pelakunya bersifat otonomi individu dalam

mengembangkan kemampuan spiritualitasnya merupakan model yang “out of

moded”. Pengembangan tasawuf hanya dari sisi “dzauq” (perasaan) sebagai salah

satu pendekatan dalam mengarungi dunia tasawuf, sejalan dengan Schleimacher

yang menggunakan pendekatan “feeling” dalam memahami realitas, yang

kemudian hanya menghantarkan pelakunya berhenti pada dimensi kesalihan

169Alister Hardy, The Spiritual Nature of Man (Oxford: Clarendon Press, 1979), dalam Biyanto, “Sufisme Kota”, 4. 170Kharisuddin Aqib, materi kuliah tasawuf di kelas Pemikiran Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, disampaikan pada tanggal 5 Mei 2012.

107

individual (semisal: uzlah, ittihad, h}ulu>l, dan shat}ahat) dan melupakan dimensi

sosialnya.171

Asumsi bahwa Islam adalah ajaran yang mengandung konsep universal

dan ajaran yang komprehensif, bisa dipertegas dengan merujuk pada referensi

kesejarahan yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw ketika membangun

masyarakat Makkah dan Madinah. Pada kedua negeri inilah, Muhammad Saw

sebagai pembawa risalah kenabian, memainkan banyak peran dalam

kehidupannya; sebagai ayah, suami, pemimpin perang, da’i, dan sebagainya.172

Semuanya memberi referensi kuat bahwa antara sphere doktrin (sistem

peribadatan) dan peradaban (sistem kemasyarakatan) dapat bersinergi dalam

ajaran Islam. Dengan perkataan lain, ajaran Islam bisa diderivasi ke dalam

berbagai aspek kehidupan, seperti sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial-

budaya, dan lainnya.

Jika referensi di atas disepakati untuk dijadikan pijakan, maka dapat

disimpulkan bahwa Islam sebenarnya memberi ruang cukup luas bagi

perkembangan peradaban manusia, termasuk pembaharuan ajarannya; baik pada

tataran pemikiran (konsep) maupun aksi (gerakan). Pemahaman atas keniscayaan

adanya pembaharuan ajaran dalam Islam semakin diperjelas dengan sabda

171Yusno Abdullah Otta, “Tasawuf dan Tantangan Perubahan Sosial”, Ulumuna, Vol. XIV, No. 2 (Desember, 2010), 400. 172Beberapa referensi utama yang membahas sejarah Rasulullah SAW antara lain: Ibn Hisha>m, al-Si>rah al-Nabawiyyah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), Yu>su>f Abd al-Rahma>n al Qurthu>by, Si>rah Wa Minh}a>jan (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Ara>by, 2007), dan Mu>ni>r Muhammad Ghad}ba>n, al-Minha>j al- Tarba>wi> li> al-Si>rah al-Naba>wi>(Beirut: Da>r al-Wa>fa>, 2005).

108

Rasulullah Saw akan datangnya pembaharu (mujaddid) di setiap penghujung 100

tahun dalam rangka memperbaharui ajaran agamanya.173

Dalam konteks upaya untuk kembali menafsirkan, menjadikan relevan,

dan menemukan landasan-landasan filosofis terhadap ajaran agama tanpa

merubah esensi dan semangatnya, Muhammad Zuhri menegaskan, bahwa

dikarenakan agama berasal dari semesta di luar ruang dan waktu (Allah), maka

untuk merealisasikan perintah dan larangan Tuhan ke dalam semesta ruang dan

waktu, manusia harus menginterpretasikan firman-firman Tuhan. Manusia harus

memahami karena manusialah yang harus mempraktikkannya. Untuk memahami

itulah manusia harus memberikan interpretasi-merespon apa sebenarnya yang

dikehendaki Tuhan. Interpreter-interpreter itulah kemudian menjadi narasumber

yang harus kontekstual dengan tantangan zaman. Jika tidak kontekstual dengan

tantangan zaman, informasinya akan terlihat usang dan cenderung ditolak

pendengar. Oleh karena itu, di setiap zaman dalam situasi kehidupan, timbullah

interpreter-interpreter baru.174

Tasawuf sebagai salah satu dimensi fundamental dalam ajaran Islam, turut

mengalami pembaharuan dalam hal konsepsi dan gerakan aksinya. Untuk

membangun model s}u>fi>sme yang relevan haruslah tetap memiliki pijakan historis

agar tidak terjadi lompatan yang menyebabkan diskontinuitas. Sebagaimana

menurut Hasan Hanafi, bahwa cita-cita membangun peradaban baru Islam

meniscayakan warisan khazanah klasik sebagai modal penting. Hanya saja,

173Lihat Hadi>th Abu> Da>wu>d no.4921, Sunan abu>Da>wu>d, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996). 174Muhammad Zuhri, Hidup Lebih Bermakna, 34-35.

109

diperlukan cara “pembacaan” baru atas realitas masa lalu, dan juga dengan

kesadaran baru pula.175

Dalam situasi dialektik yang terus menerus antara agama dan tantangan

zaman inilah Tasawuf Transformatif hadir sebagai bentuk jawaban atas relevansi

dan reaktualisasi ajaran keagamaan di era modern. Reaktualisasi pemikiran

tasawuf semacam ini juga pernah menjadi concern Muhammad Iqbal. Iqbal

sebagai filosof muslim, selain mendukung pola hidup s}u>fi>stik, juga memberikan

pencerahan pemahaman kes}u>fi>an dengan spirit jihad, yang aktif dan dinamis.

Menurut Iqbal, s}u>fi>sme Islam sebenarnya memiliki spirit yang dinamis, aktif dan

aktual.176Sebuah bentuk paham keagamaan (tasawuf) yang sudah diperbaharui

(reformed s}u>fi>>sm) melalui serangkaian pemaknaan kembali terhadap berbagai

kearifan ajarannya dan didialogkan secara terus menerus dengan konteks

peradaban masyarakat modern.

Kata transformatif sendiri berasal dari bahasa Inggris transformative yang

berbentuk kata sifat dari kata transformation yang berarti to change in form,

appearance, or structure (untuk mengubah dalam bentuk, penampilan, atau

struktur). Dengan demikian makna transformative adalah that causes

175Terdapat tiga tema besar yang menjadi concern Hasan Hanafi. Pertama, pengujian kembali atas al-Tura>th al-Isla>miy (tardisi Islam) dalam hubungannya dengan tajdid (pembaharuan). Kedua, transformasi dan perumusan Teologi Revolusioner Islam melalui proses Min al-Aqi>dah ila> al-Thaurah(dari keimanan kepada revolusi). Ketiga, perumusan analisis menyeluruh dan komprehensif tentang warisan tradisi dan intelektual Barat dari perspektif non-Barat yang pada gilirannya menghasilkan pengertian yang lebih baik tentang hubungan antara Islam, Barat dan modernitas. Dalam pengantar teoritis buku pertama Hasan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usmani Ismail (Jakarta: Paramadina, 2003), xvi. Lihat juga Ahmad Amir Aziz, “Menggagas Sufisme Transformatif”, Al-Tahrir, Vol. 3, No. 1(Januari, 2006), 72. 176Lihat Ibrahim Madkour, Aliran dan Teologi Filsafat Islam. Terj. Yudian Wahyu Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 105, dalam Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah, 28.

110

transformation (yang disebabkan oleh transformasi).177Dalam pengertian ini

tasawuf transformatif bermakna tasawuf yang telah mengalami perubahan dalam

bentuk, tampilan, penekanan ajarannya, namun cenderung tetap terhadap

semangat dan nilai-nilai dasar ajarannya.

Istilah “transformasi”, sebenarnya merupakan gagasan akademik yang

memiliki latar sosio-kultural dan historisnya sendiri sebagaimana istilah

“pembaharuan”178 yang sudah dikenal sebelumnya.179 Dalam perspektif teologi-

keagamaan, paradigma transformatik melihat agama sebagai kekuatan pembebas

yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal dengan watak

egaliter dan emansipatorik. Pandangan Azyumardi Azra tentang tipologi

pandangan keagamaan di Indonesia dapat dibagi menjadi lima kategori:

modernisme, transformatif, inklusivisme, fundamentalisme, dan

neotradisionalisme. Pandangan keagamaan yang mencoba bertumpu pada konteks

sosial, masuk dalam kategori transformatif. Pandangan keagamaan ini ingin

177Lihat arti Transformative dalam http://www.thefreedictionary.com/Transformative, dan dalam http://www.definitions.net/definition/transformative, diakses tanggal 12 Juni 2013. 178Mainstream pembaharuan Islam adalah membenahi pola pikir masyarakat yang cenderung mistis dan fatalistik menuju pemikiran rasional; juga berupaya membangun struktur mental dan kultur yang cenderung phobious menuju penemuan jati diri umat dan bangsa yang berkepribadian dengan cara melacak akar-akar keislaman dan keindonesiaan. Diantara tokoh pembaharuan Islam tanah air adalah: Harun Nasution dengan terma “rasionalisasi”, Nurcholis Madjid dengan “sekularisasi”, Munawir Sjadzali dengan “reaktualisasi”, dan terma “pribumisasi Islam” oleh Abdurrahman Wahid, lihat Lukman Hakim Mudhofir, “Pendekatan Transformatif: Paradigma Pembaharuan Islam Alternatif”, Wacana, Vol. IV, No. 1 (Maret, 2004), 20. 179Mulanya merupakan satu model pendekatan untuk mengubah tatanan agrikultur masyarakat pinggiran (rural people) dengan cara membangun bentuk-bentuk organisasi baru dalam pertanian. Dengan pendekatan transformasi, para petani diharapkan mampu membangun komunitasnya sendiri, menentukan nasibnya, dan terbebas dari struktur sosial yang menindas. Pendekatan transformasi biasanya dihadapkan secara berlawanan dengan pendekatan improvisasi (improvement) yang hanya bertujuan melakukan pembenahan sistem produksi pertanian agar pekerjaan para petani menjadi lebih baik. Lihat Aidan Foster Carter, The Sociology of Development (England: Causeway Books, 1986), 66.

111

mewujudkan transformasi masyarakat muslim sehingga dapat mencapai kemajuan

dengan melakukan pembaruan yang dimulai dari masyarakat.180

Nilai teologis-keagamaan di atas kemudian ditarik dalam ranah teori-teori

sosial tentang perubahan masyarakat. Dalam hal ini, ajaran tasawuf tidak sekedar

diletakkan untuk menafsirkan realitas-empirik dan mentransformasi “keinginan-

keinginan” Tuhan yang termaktub dalam sumber-sumber ajaran Islam secara

filosofis-konseptual, namun lebih dari itu, harus mengubahnya dengan melakukan

transformasi kemasyarakatan.

Tasawuf Transformatif berupaya menjadi salah satu alternatif solusi atas

krisis yang terjadi pada masyarakat modern. Kondisi masyarakat modern yang

“sakit” sebagai akibat kegagalan dalam memaknai diri dan kehidupan itulah,

tasawuf kembali dihadirkan sebagai balancing atas ketimpangan antara sisi

rasionalitas-materialistis dengan sisi nativisme-spiritual, dengan tetap melakukan

pemaknaan kembali terhadap dimensi internal manusia dalam membentuk

“kebiasaan dalam” (inner behaviour), yang memungkinkan seseorang menjadi

asketis (zuhud), sekaligus berdampak sosial. Ini merupakan perkembangan

tasawuf yang lebih bersifat praksis, dimana tasawuf menggerakkan manusia tidak

hanya beraktifitas yang bersifat ukhrowi semata, tetapi juga dengan gagasan dan

langkah kongkritnya mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan

sosial.

Bertasawuf adalah inside-out, dalam arti bahwa aktivitas ritual, zuhud,

yang berdimensi esoterik adalah faktor-faktor pendorong untuk melakukan

180 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam (Jakarta:Paramadina, 1999), 50-54.

112

kebajikan sosial (social act). Bahkan menurut Muhammad Zuhri, kondisi seorang

hamba di medan jihad sosialnya inilah justru menjadi bargaining position seorang

hamba di mata Tuhan untuk memperoleh tambahan ”aset-aset” dalam perjuangan

sosialnya.181

Peneliti berpendapat bahwa Tasawuf Transformatif adalah tasawuf

kontekstual, dalam arti, ajaran-ajaran fundamental tasawuf (agama) berupaya

dipahami kembali (reinterpretasi), diberikan landasan filosofis (rasionalisasi), dan

didialogkan secara dialektis sesuai dengan konteks problematika umat dalam

menghadapi dinamika sosial, ekonomi, budaya maupun politik (relevansi dan

reaktualisasi).

Mengingat karakteristik manusia modern yang sangat menjunjung tinggi

rasionalitas, cenderung akan menolak segala doktrin dan praktek keagamaan yang

cenderung bersifat kurang rasional dan terkesan sekedar taken for granted. Maka,

tasawuf transformatif kemudian melakukan penafsiran kembali (reinterpretasi)

terhadap pokok-pokok ajaran agama secara rasional-filosofis, agar ajarannya

mendapat landasan-landasan logis yang bisa diterima oleh pemahaman manusia

modern. Mengingat tasawuf yang selama ini dipraktekkan orang, banyak

kehilangan sisi filosofis keilmuannya, terutama epistemologinya.182 Kebenaran

yang diperlihatkan oleh tasawuf tidak bisa lagi diterima secara luas, bila ditinjau

dari kacamata filsafat ilmu. Karena ketiadaan landasan ini menjadikan tasawuf

181Muhammad Zuhri, Mencari Nama Allah Yang Keseratus (Jakarta: Serambi, 2007), 19-21. 182 Meskipun menurut Kharisuddin Aqib, sesungguhnya dalam bentuk praktek tasawuf apapun (tarekat/ non-tarekat) hampir dapat ditemukan adanya filosofi dan teori-teori filsafat yang dibangun untuk menguatkan keberadaan ajarannya, hanya saja mengingat sebagian besar pengikut tarekat adalah dari masyarakat awam, maka biasanya ajaran-ajaran filsafat itu hanya disampaikan pada para pengikut dari kalangan elite-nya saja, Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah, 6. Lihat juga Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), 116.

113

kehilangan peran dan fungsinya sebagai elan vital dalam memperbaiki gejolak

dan gejala sosial modern yang sering mengalami perubahan begitu cepat. Dengan

merasionalisasi beberapa doktrin dan prakteknya, maka eksistensi dan relevansi

nilai-nilai agama lewat jalan tasawuf akan tetap menemukan tempat di era

modern.

Karakter tasawuf transformatif ini tetap berpijak pada pengalaman historis

yang sangat kaya. Pengalaman itu merupakan perpaduan aktif-kreatif antara para

Sufi dengan nas} al-Qur’an dan dinamika sosio-kultural sesuai konteks zaman ini.

Dimana, banyak umat Islam selama ini hanya cenderung membela tasawuf secara

“polos”, sering tidak menangkap adanya hubungan dialektis di antara sekian

faktor itu, seolah-olah suatu teks atau ajaran tasawuf terkesan berdiri sendiri

sementara fenomena sosial juga berdiri sendiri dan terpisah. Dalam

menginterpretasi semangat dan tujuan al-Qur’an sebagai kitab suci yang berlaku

sepanjang masa dengan dinamika sosio-kultural inilah tasawuf transformatif

berupaya menemukan titik relevansi nilai-nilai agama sebagai solusi bagi

problematika manusia modern.

Dengan pengertian lain, gagasan tasawuf transformatif memiliki kata

kunci aktivisme, bukan isolativisme. Dalam konteks tarekat, model inilah yang

pernah dilakukan oleh Tarekat Sanusiyah di Libya misalnya, dengan semangat

sosialisme yang tinggi mereka mampu membebaskan masyarakat dari

keterkungkungan.183 Juga Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang berperan

183Lebih lengkap mengenai kiprah Tarekat Sanusiyah ini lihat karya Nicola A Ziadeh, Tarekat Sanusiyah Penggerak Pembaharuan Islam, terj. Machnum Husein (Jakarta: Rajawali, 2001).

114

nyata dalam gerakan anti kolonial di Indonesia dan Jawa pada khususnya.184

Berbeda dengan praktek tarekat atau s}u>fi>sme-populer lain yang cenderung pasif

dan isolatif, tasawuf transformatif merupakan bentuk tasawuf yang memiliki

karakteristik utama “aktivisme” dan “pembebasan”.

Pembebasan disini memiliki makna tidak hanya “membebaskan”

masyarakat lemah dan tertindas sebagaimana tujuan dalam konsep teologi

pembebasan yang lebih menuntut keadilan dalam aspek ekonomi, sosial, hukum,

dan sebagainya. Namun juga berarti “membebaskan” masyarakat “lemah” dan

“tertindas” oleh zamannya (modernitas). Membebaskan masyarakat modern yang

telah kehilangan jati diri dan tujuan hidupnya (teralienasi). Sebab dalam

pandangan tasawuf transformatif, siapapun yang lemah, tertindas, dan dalam

situasi “butuh” akan pertolongan, adalah wajib ditolong, tanpa melihat kaya-

miskin, atasan-karyawan, muslim-non muslim, dan lain-lain. Di sisi inilah bentuk

dan ajaran tasawuf transformatif dibangun bagi seluruh lapisan masyarakat.

Terma Tasawuf Transformatif memang belum sepopuler Tasawuf Modern

oleh Buya Hamka185, Neo-S}u>fi>>sm yang digagas oleh Fazlur Rahman186, Urban

S}u>fi>>sm oleh Julia Day Howell187, Tasawuf Positif oleh Sudirman Tebba188, dan

S}u>fi>sme Kota oleh Ahmad Najib Burhani189. Istilah-istilah tasawuf di atas

184Lihat dua hasil penelitian karya Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia dan Tarekat Sanusiyah (Bandung: Mizan, 1994) dan Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah di Pulau Jawa (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002). 185Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985). 186Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation and Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago, 1984). 187Julia D. Howell and Martin Van Bruinessen (ed), Sufism and The ‘Modern’ in Islam (London: I.B.Tauris & Co Ltd, 2007). 188Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Bogor: Kencana, 2003). 189Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota (Jakarta: Serambi, 2001).

115

barangkali terasa berbeda-beda. Namun demikian, istilah tersebut dalam garis

besarnya merujuk kepada suatu bentuk atau praktek s}u>fi>sme yang mencoba keluar

dari eksklusifitas menuju inklusifitas dan bersifat aktivis.

Meminjam istilah Fazlur Rahman dalam mendefinisikan tentang neo-

s}u>fi>>sm, bahwa bentuk-bentuk tasawuf di atas termasuk ke dalam tasawuf yang

telah diperbaharui (reformed s}u>fi>>sm).190 Jika neo-s}u>fi>>sm yang dimaksudkan oleh

Fazlur Rahman, menekankan isi ajarannya yang sudah diperbaharui, sedangkan

Tasawuf Positif, berupaya membentuk manusia untuk bersikap positif terhadap

kehidupan dunia, yang dibuktikan dengan melibatkan diri dalam kegiatan duniawi

(bisnis, pemerintahan, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, seni, dan lain-

lain).191 Pemilihan terminologi S}u>fi>sme Kota yang ditulis Ahmad Najib Burhani

dilatar belakangi oleh kegiatan tasawuf yang banyak dilakukan oleh masyarakat

perkotaan, yang melibat sekian banyak aspek kehidupan metropolitan.192

Sedangkan alasan lebih dipilihnya istilah Tasawuf Transformatif disebabkan

karena kata transformatif lebih jelas tekanannya kepada perubahan ke arah

pembentukan pribadi dan masyarakat ke arah yang lebih ideal. Berbeda dengan

istilah neo-s}u>fi>>sm (tasawuf baru) yang terkesan hanya menunjukkan identitas atau

bentuk kebaruannya, bukan ciri khas pemikiran dan juga gerakannya. Dalam hal

ini, istilah tasawuf transformatif lebih dekat dengan corak s}u>fi>sme kota dan

tasawuf positif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawuf transformatif

memiliki karakter sebagai berikut: 190Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 194. 191Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, 2. 192Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota, 3-9.

116

Pertama, memiliki visi keilahian. Dalam dimensi ini, manusia mengawali

dengan usaha memahami dan mengenal Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Penghayatan kepada makna tauhid untuk lebih dekat dan ma’rifat kepada Tuhan

ditempuh agar kita benar-benar memahami apa yang Tuhan inginkan dengan

segala penciptaan yang berlangsung secara terus menerus ini. Dengan demikian

kita akan menyadari betapa semua yang dihadirkan lewat berbagai macam

kejadian di alam ini, ternyata Tuhan ada di balik semua kejadian dan secara intens

berdialog dengan kita.

Kedua, memadukan antara akal dan wahyu. Tasawuf sering dianggap

sebagai jalan untuk mencari kebenaran yang tidak bisa dijelaskan menurut kaidah

rasional. Tasawuf transformatif percaya bahwa rasionalitas dan intelektualitas

yang berakar pada tradisi masyarakat modern, bukanlah sesuatu yang harus

dihilangkan sama sekali dalam menggapai kebenaran dan kebahagiaan hakiki,

justru rasionalitas (akal) dan agama (wahyu) adalah dua sisi yang saling

menguatkan.

Ketiga, dunia dalam eskatologi Islam. Banyak manusia cenderung

memandang dunia dan akhirat secara dikotomis. Bagi mereka, jalan yang

ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat adalah dengan menjauhkan diri

dari kehidupan dunia. Tasawuf transformatif meyakini, bahwa kehidupan akhirat

(hasil) adalah sebuah proyeksi atas amaliyah seseorang di dunia. Cara kita hidup

di dunia akan menentukan kedudukan kita di akhirat. Di sisi lain, kehidupan dunia

adalah bagian dari fitrah eksistensi manusia.

117

Keempat, akhla>q al-kari>mah. Dengan suluk tasawufnya, para sa>lik akan

ditransformasi secara gradatif menuju kesempurnaan akhlak. Akhlak yang mulia

akan senantiasa menghiasi perilaku para s}u>fi baik terhadap Tuhan, alam dan

sesamamaya.

Kelima, amal shalih yang berdimensi sosial. Amal shalih didefinisikan

sebagai setiap usaha dalam memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita. Beramal

shalih sama adalah sama dengan melakukan is}la>h} atau reformasi. Baik-buruk dan

rusak-lestarinya kehidupan ini semua bergantung pada apa yang manusia lakukan.

Dalam konteks ini, bisa dikatakan tidak ada tasawuf tanpa amal shalih yang

berdimensi sosial, seperti: menyantuni fakir miskin, pemberdayaan ekonomi

masyarakat bawah, peduli pada kelestarian alam, dan berperan aktif-kreatif dalam

penyelesaian berbagai macam problematika masyarakat dan lingkungannya.