BAB III KONDISI UMUM KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH 3... · 5. Waktu, sejarah, dan latar belakang masa...
Transcript of BAB III KONDISI UMUM KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH 3... · 5. Waktu, sejarah, dan latar belakang masa...
10
BAB III
KONDISI UMUM KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH
Ranjabar (2006) mendefinisikan sosial dalam arti masyarakat atau
kemasyarakatan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup
bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang
didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial dan aspirasi
hidup serta cara mencapainya. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial
dipengaruhi oleh (Slamet 2001 dalam Ranjabar 2006) :
1. Ekologi, tempat dan geografi dimana masyarakat itu berada.
2. Demografi, yaitu menyangkut populasi, susunan dan ciri-ciri
3. Kebudayaan, yaitu menyangkut nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan dan
norma-norma dalam masyarakat.
4. Kepribadian, yaitu meliputi sikap mental, semangat, temperamen dan ciri-
ciri psikologis masyarakat
5. Waktu, sejarah, dan latar belakang masa lampau dari masyarakat tersebut.
Pemahaman mengenai perilaku masyarakat lokal terkait dengan
pengembangan wisata sangat penting untuk mendukung keberhasilan dan
keberlanjutannya (Gursoy, Chi, and Dyer 2009). Oleh karena itu, untuk
mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai sistem sosial
pengembangan wisata alam di Kawasan Gunung Salak Endah, Perlu dilihat juga
kondisi fisik, biologi, demografi, kebudayaan, kepribadian serta sejarah
perkembangan masyarakat Gunung Salak Endah.
3.1. Kondisi Fisik Kawasan
3.1.1. Letak dan Luas
Wilayah kawasan GSE secara geografis terletak pada 106o 36’ 30’’ BT
sampai 106o
45’ 55’’ BT dan 6o
31’ 0’’ LS sampai 6º 47’ 15’’ LS. Luas
keseluruhan wilayah kawasan GSE adalah 168,8 km2, meliputi Kecamatan
Pamijahan dengan luas 80,9 km2, Kecamatan Ciampea 55,6 km
2 dan Kecamatan
Tamansari 33,2 km2. Kecamatan Pamijahan mempunyai luas yang paling besar
yaitu 47% dari luas seluruh kawasan sekaligus dijadikan sebagai kawasan inti dari
kegiatan rencana penataan kawasan GSE.
11
Batas-batas Kawasan GSE secara administratif adalah :
1. Kecamatan Rancabungur di sebelah Utara
2. Kota Bogor, Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Cijeruk di sebelah Timur
3. Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan
4. Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Cibungbulang di sebelah Barat
3.1.2. Topografi
Ketinggian kawasan GSE berkisar antara 600 – 800 m dpl. Kemiringan
lapang bervariasi mulai dari landai sampai dengan sangat curam. Kemiringan
Hutan Gunung Salak berkisar 25% - 60% (Hidayat 2003).
3.1.3. Iklim dan Hidrologi
Sebagian besar wilayah Kawasan GSE merupakan daerah berhutan.
Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson 1951, Kawasan GSE memiliki tipe
iklim A. Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2000 – 4000 mm/th. Curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Pebruari sebesar 550 mm dan terendah pada bulan
Agustus sebesar 200 mm. Suhu harian rata-rata di Kawasan GSE adalah 22oC –
27oC. Kawasan GSE merupakan hulu dari beberapa sungai besar diantaranya
sungai Cikuluwung, Cigamea, dan Ciapus. Sungai Cikuluwung alirannyanya
berasal dari Kawah Ratu sehingga airnya berwarna kemerahan karena
mengandung belerang. Sedangkan air Sungai Cigamea berasal dari Kaki Gunung
Salak sehingga airnya jernih dan anak sungainya banyak dimanfaatkan oleh
penduduk di sekitar sungai (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2003).
3.1.4. Tanah
Risalah Tanah tahun 1996 dalam buku RPKH KPH Bogor tahun 1997–2006
menyatakan jenis-jenis tanah yang terdapat di Kawasan Gunung Salak Endah
antara lain asosiasi regosol coklat dan regosol kelabu, Asosiasi latosol coklat dan
latosol coklat kekuningan, Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat,
Latosol coklat tua kemerahan, Kompleks regosol kelabu dan latosol, Andosol
coklat kekuningan, serta Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat. Dilihat dari
faktor kesuburannya, tanah di Gunung Salak termasuk dalam kelas sedang hingga
sangat subur.
12
3.1.5. Aksesibilitas
Kawasan GSE dapat dicapai melalui beberapa jalur dengan kondisi jalan
sudah baik berupa jalan aspal, dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan
umum, sepeda motor, maupun mobil pribadi dengan jarak relatif pendek jika
dijangkau dari kota Bogor (Tabel 4).
Tabel 4 Jalur/rute perjalanan menuju GSE dan Panjang Jarak Tempuh
No Rute Jarak dari Bogor (Km)
1
2
3
4
5
Bogor-Ciomas-Gunung Bunder-GSE
Bogor-Cinangneng-Gunung Bunder-GSE
Bogor-Cikampak-Gunung Bunder-GSE
Bogor-Cibatok-GSE
Bogor-Cemplang-GSE
26
32
29
26
30 Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (2003)
3.2. Kondisi Biologi Kawasan
3.2.1. Flora
Hutan-hutan di Gunung Salak terdiri dari hutan pegunungan bawah
(submontane forest) antara 1000 – 1500 m dpl dan hutan pegunungan atas
(montane forest) antara 1500 – 1800 m dpl. Vegetasi didominasi oleh vegetasi
hutan hujan tropika. Sebagaimana umumnya hutan pegunungan bawah di Jawa,
terdapat pula jenis-jenis pohon Puspa (Schima wallichii), Saninten (Castanopsis
sp.), Pasang (Querqus sp.) dan aneka jenis Huru (suku Lauraceae) (TNGHS
2007).
Bagian bawah kawasan hutan, semula merupakan hutan produksi yang
ditanami oleh Perum Perhutani. Jenis – jenis yang ditanam antara lain Pinus
(Pinus merkusii), Rasamala (Altingia excelsa) dan Puspa (Schima walichii). Pada
daerah-daerah perbatasan dengan hutan atau di dekat sungai, banyak ditanam
jenis-jenis Kaliandra merah (Calliandra calothyrsus), Dadap cangkring (Erythrina
variegata), Kayu Afrika (Maesopsis eminii), Sengon (Paraserianthes falcataria)
dan berbagai macam bambu.
3.2.2. Fauna
Beberapa jenis burung penting yang terdapat di GSE adalah Elang Jawa
(Spizaetus bartelsii), Elang Ular, Elang Hitam serta Ayam Hutan Merah (Gallus
gallus). Beberapa jenis mamalia penting seperti Macan Tutul (Panthera pardus),
Trenggiling (Manis javanica), Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Surili
13
(Presbytis comata) yang merupakan spesies primata endemik pulau Jawa
(TNGHS 2007).
Jenis-jenis reptil, terutama kadal dan ular, terdapat di gunung ini diantaranya
Bunglon (Bronchocela jubata) dan B. cristatella, Kadal Kebun (Maboya
multifasciata), Ular Tangkai (Calamaria sp.), Ular Siput (Pareas carinatus) serta
Ular Sanca Kembang (Python reticulatus). Berbagai jenis katak dan kodok yang
masih dapat ditemui di kawasan ini yakni Bufo asper, B. melanostictus,
Leptobrachium hasseltii, Fejervarya limnocharis, Huia masonii, Limnonectes
kuhlii, L. macrodon, L. microdiscus, Rana chalconota, R. erythraea dan R. Hosii.
3.3. Demografi
Penduduk Desa Gunung Sari berjumlah 12.347 jiwa dengan 6.406 laki-laki
dan 5.941 perempuan serta 3.061 kepala keluarga dengan kepadatan 2.148
jiwa/Km2 (Monografi Desa Gunung Sari 2008). Untuk RW 09, jumlah
penduduknya sekitar 300 kepala keluarga, dan jumlah hak pilih sekitar 384 orang.
Sedangkan di RW 08 jumlahnya sekitar 400 kepala keluarga. Tidak ada data yang
pasti mengenai jumlah penduduk maupun asal penduduk. Jumlah penduduk Desa
Gunung Bunder 2 8.923 jiwa, jumlah kepala keluarga 1.754 KK, kepadatan 1.943
jiwa/Km2 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2007). Perbandingan antara
masyarakat Desa Gunung sari dengan jenis kelamin laki-laki jumlahnya sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan penduduk berjenis kelamin perempuan (52% :
48%), sedangkan di Desa Gunung Bunder 2 hampir sama (49,7% : 50,3%).
Tetapi secara umum komposisi laki-laki dan perempuan hampir sama (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Desa Jenis Kelamin Total
Laki-Laki Perempuan
1 Gunung Sari 6.406 5.941 12.347
2 Gunung Bunder 2 4.435 4.488 8.923 Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Penduduk Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 mayoritas (99%)
beragama Islam (Tabel 6), sehingga, perilaku kehidupan sehari-hari semuanya
berpedoman pada agama tersebut. Pemuka agama, dalam hal ini ”kyai atau alim
ulama” memegang peranan penting dalam mengatur dan mengontrol perilaku
masyarakat.
14
Tabel 6 Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan Desa Gunung Sari
dan Gunung Bunder
No Desa Agama Jumlah
(orang) Islam Kristen Budha Hindu Lain-
lain Katolik Protestan
1 Gunung
sari
12.341 3 3 - - - 12.347
2 Gunung
bunder II
8.562 - 6 - - - 8.556
Jumlah Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Identifikasi sumberdaya manusia berdasarkan klasifikasi umur, berkaitan
erat dengan identifikasi angkatan kerja dan keterlibatan angkatan kerja dalam
pengembangan wisata alam di kawasan tersebut. Komposisi usia produktif (13 –
55 tahun) di Desa Gunung Sari hampir sama dengan usia non produktif (0-12
tahun dan 56 tahun ke atas) (54% : 46%). Sedangkan di Desa Gunung Bunder 2
kelompok usia produktif lebih besar dibandingkan kelompok usia tidak produktif
(64%:36%) (Tabel 7). 99% responden yang terlibat dalam pengembangan wisata
alam di GSE berada pada kisaran umur 25 – 55 tahun.
Tabel 7 Komposisi Penduduk menurut Usia
Desa Usia Total
0 -6 7 -12 13 - 18 19 - 24 25 - 55 56 - keatas
Gunung Sari 2.098 1.866 1.499 2.065 2.991 1.722 12.241
Gunung Bunder II 1.224 1.220 1.395 995 2.895 566 8.295
Jumlah Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Pola penggunaan lahan di Desa Gunung Sari lebih didominasi oleh sawah,
hutan dan fasilitas umum, sedangkan di Desa Gunung Bunder 2 didominasi oleh
sawah dan bangunan (Tabel 8). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pola
penggunaan lahan untuk fasilitas umum berupa obyek wisata, villa dan resort-
resort dan hutan sebagian besar terletak di Kampung Lokapurna.
Tabel 8 Pola Penggunaan Lahan
Desa Penggunaan Lahan (ha)
Total Sawah Bangu
nan
Kebun Ladang Perkebunan Fasilitas
umum
Hutan
Gunung
Sari
349,230 44,030 - - - 263,12 335 991.38
Gunung
Bunder II
200,62 95,134 35 35 35 0,080 - 400.834
Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
15
Tanah di Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 sebagian besar masih
belum memiliki sertifikat karena statusnya merupakan tanah adat, yaitu tanah
peninggalan nenek moyang tapi tidak jelas kepemilikannya. Masyarakat saat ini
hanya sebagai penggarap. Di Desa Gunung Sari terdapat tanah yang statusnya
adalah milik negara, dalam hal ini milik Departemen Kehutanan, yaitu tanah yang
berada di Kampung Lokapurna (Tabel 9). Walaupun begitu, saat ini tanah
tersebut sudah berubah kepemilikannya, yang awalnya adalah tanah garapan
masyarakat veteran tapi saat ini sudah banyak dibangun villa atau resort.
Perpindahan hak garap tersebut terjadi secara ilegal. Orang yang berminat
membeli tanah bisa langsung menghubungi pemilik tanah sebelumnya dan
langsung melakukan transaksi.
Tabel 9 Status Tanah di Wilayah Desa Gunung Sari dan Desa Gunung Bunder 2
Desa Status Tanah (ha)
Tanah Milik
Bersertifikat
Tanah Milik
Belum
Bersertifikat
Tanah
Negara
Tanah
Milik Adat
Tanah
Engendom
Gunung Sari 22,32 404,92 265 427,240 -
Gunung Bunder II 6 360,450 - 360,450 20
Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Salah satu faktor yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam
pengembangan wisata, adalah tingkat pendidikan. Pada dasarnya, semakin tinggi
pendidikan formal yang dicapai seseorang maka keinginan untuk terlibat akan
semakin tinggi karena orang tersebut memiliki pemikiran dan kreatifitas yang
tinggi pula (Brahmantyo dan Kusmayadi 1999; Wulaningsih 2004). Pencatatan
data dan informasi mengenai tingkat pendidikan di Desa Gunung Bunder 2 masih
belum dilakukan dengan baik. Hal ini terlihat dari tidak adanya data mengenai hal
tersebut dalam monografi desa (Tabel 10). Berdasarkan hasil wawancara,
sebagian besar penduduk Desa Gunung Bunder 2 tidak tamat sekolah dasar.
Hampir 25% penduduk tidak bisa membaca dan menulis. Masyarakat asli Desa
Gunung Sari kondisi tingkat pendidikannya hampir sama dengan masyarakat asli
Desa Gunung Bunder 2. Kondisi tingkat pendidikan di Kampung Lokapurna
relatif lebih tinggi. Tidak ada data pasti mengenai hal tersebut, akan tetapi
berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RW di kampung Lokapurna, sebagian
besar masyarakat sudah lulus Sekolah Menengah Pertama dan cukup banyak yang
mengenyam bangku perguruan tinggi.
16
Tabel 10 Jumlah Penduduk menurut Pendidikan
No. Pendidikan Desa
Gunung Sari Gunung Bunder 2
Belum sekolah -
Tidak tamat sekolah 4.638 -
Tamat SD/sederajat 796 -
Tamat SLTP/sederajat 512 -
Tamat SLTA/sederajat 205 -
Tamat akademi/sederajat 28 -
Tamat perguruan tinggi 80 7
Buta huruf - - Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Keterangan : ( - ) Tidak ada data
Pencapaian tingkat pendidikan masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh
ketersediaan sarana pendidikan yang ada. Desa Gunung Sari memiliki sarana
pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah
Atas, sedangkan Desa Gunung Bunder 2 hanya memiliki sarana pendidikan untuk
tingkat Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar (Tabel 11).
Tabel 11 Sarana Pendidikan yang Ada
Desa Sarana Pendidikan
Total TK SD/MI SLTP/MT SMU/MA
Gunung Sari 1 6 1 2 10
Gunung Bunder II 1 4 - - 5
Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Pendapatan masyarakat Desa Gunung Sari, khususnya di Kampung
Lokapurna umumnya lebih besar dibandingkan masyarakat Desa Gunung Bunder
2. Rata-rata tingkat pendapatan masyarakat Kampung Lokapurna adalah diatas
Rp 750.000,-, sedangkan masyarakat Desa Gunung Bunder 2 sebagian besar
dibawah Rp 500.000,-. Di Kampung Lokapurna, penduduknya sebagian besar
memiliki pekerjaan lain selain menjadi petani. Mereka ada yang menjadi
pemandu wisata, pengurus villa, berdagang makanan dan minuman di hari sabtu
dan minggu, dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat di Desa Gunung Bunder
pada umumnya hanya memiliki satu mata pencaharian saja.
Tabel 12 Jumlah Penduduk menurut Jenis Pekerjaan
No. Pekerjaan Desa
Gunung Sari Gunung Bunder 2
Petani pemilik tanah 3.524 1.450
Petani penggarap tanah 275 50
Buruh tani 436 700
17
No. Pekerjaan Desa
Gunung Sari Gunung Bunder 2
Pengusaha 2. 785 -
Pengrajin 9 7
Industri kecil 9 -
Buruh industri kecil 448 -
Pertukangan 150 20
Buruh pertambangan 3 -
Pedagang 745 250
Pengemudi/jasa 68 20
Pegawai negeri sipil 8 6
TNI/POLRI 4 2
Pensiunan/purnawirawan 35 7
Lain-lain 386 -
Jumlah 8885 2512 Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
Masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan objek wisata GSE
sebagian besar bekerja sebagai pedagang, namun ada yang hanya berdagang di
saat hari libur, serta pada hari sabtu dan minggu. Bentuk ketergantungan
masyarakat terhadap kawasan GSE adalah pada pemanfaatan sumberdaya alam
dan lahan sebagai tempat tinggal. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata
adalah dengan menyediakan kebutuhan pengunjung seperti menyediakan
penginapan, warung makan dan menjadi pemandu wisata.
Masyarakat Desa Gunung Sari pada umumnya memiliki kendaraan sendiri
berupa motor dan mobil. Angkutan umum sangat jarang melalui Kampung
Lokapurna, kecuali pada saat jumlah pengunjung cukup banyak. Masyarakat
Desa Gunung Bunder 2, sangat tergantung pada keberadaan ojeg dan sepeda
sebagai sarana transportasi. Hal ini dikarenakan angkutan umum tidak mencapai
seluruh wilayah desa, hanya sampai jalan utama dekat perbatasan antara Desa
Gunung Bunder 1 dan Desa Gunung Bunder 2.
Tabel 13 Sarana Angkutan Umum yang Terdapat di Desa
Desa Angkutan Umum Total
Angkot Ojeg Sepeda
Gunung Sari 48 175 - 223
Gunung Bunder II 21 239 70 330
Sumber : Data Monografi Desa Gunung Sari (2008) dan Desa Gunung Bunder 2 (2007)
18
3.4. Kepribadian dan Kebudayaan Masyarakat
Masyarakat yang hidup di sekitar lokasi objek di GSE, terdiri dari
masyarakat asli dan masyarakat pendatang, baik yang berasal dari masyarakat
veteran, desa sekitar maupun yang berasal dari kabupaten lain di Jawa Barat.
Masyarakat asli Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 adalah masyarakat
Sunda. Di wilayah Desa Gunung Sari di luar Kampung Lokapurna dan di Desa
Gunung Bunder 2 hanya sedikit para pendatang yang tinggal. Masyarakat lokal
Kampung Lokapurna sebenarmya bukanlah masyarakat asli GSE. Mereka adalah
keturunan dari para veteran yang dulu membuka dan menggarap kawasan
tersebut. Saat ini, di wilayah Kampung Lokapurna ada sekitar 120 villa. Para
pendatang tersebut menguasai hampir 50% lebih lahan di wilayah Lokapurna.
Sebagian besar para pendatang tersebut merupakan orang-orang yang memiliki
modal dan kekuasaan sangat besar sehingga mereka memiliki peran yang sangat
penting dalam pengembangan wisata di GSE.
Karakteristik masyarakat yang tinggal di Gunung Bunder 2 dan Gunung
Sari tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dalam kegiatan ekonomi
dan sosial budaya. Keduanya dipengaruhi oleh kondisi alam berupa alam
pegunungan. Tradisi masyarakat sekitar kawasan GSE dipengaruhi oleh
kebudayaan Sunda dan agama Islam seperti dalam berbagai acara adat
perkawinan, pemakaman, sunatan dan lain-lain. Di setiap kampung terdapat
kelompok pengajian yang terdiri dari ibu-ibu atau remaja putri setempat.
Kerjasama anggota masyarakat dalam bidang kemasyarakatan masih terjalin
dengan baik. Hal ini tercermin dari adanya kegiatan gotong royong dalam
pembangunan sarana prasarana untuk kegiatan umum dan keagamaan, terutama
pada saat upacara keagamaan. sedangkan kegiatan ekonomi cenderung dilakukan
secara individual.
Kebudayaan dan hasil tradisi setempat yang sudah dikembangkan berupa
makanan dan minuman khas GSE, bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata serta Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yaitu Sekolah Tinggi Ilmu
Pariwisata (STIP) Trisakti Jakarta. Masyarakat saat ini mengenal makanan berupa
dodol talas, bolu pisang, dan kue tape yang dijual oleh masyarakat setempat
kepada pengunjung. Minuman khas yakni bajigur yaitu minuman aroma jahe yang
19
dicampur dengan santan kelapa dan diberi pemanis berupa gula merah. Sejumlah
kerajinan tangan anyaman bambu dan kayu banyak dijual oleh masyarakat dan
diarahkan sebagai cinderamata khas Gunung Salak Endah.
Perubahan sosial yang terjadi di Desa Gunung Sari, terutama Kampung
Lokapurna berjalan relatif cepat. Hal ini disebabkan adanya perkembangan
kegiatan wisata di wilayah tersebut. Perubahan yang terjadi diantaranya
perubahan pola usaha dari bidang pertanian menjadi sektor lain seperti jasa,
perdagangan dan lainnya, dan perubahan sistem gotong royong dalam usaha
pertanian menjadi sistem upah. Selain itu sifat toleransi sosial mulai berkurang
dan munculnya sikap eksploitatif (Brahmantyo 1999). Berdasarkan hasil
wawancara dan pengamatan di lapangan, perubahan sosial tersebut tidak terlalu
terlihat di Desa Gunung Bunder 2. Perubahan yang paling terasa adalah
berubahnya sistem dalam usaha pertanian yang awalnya adalah sistem gotong
royong menjadi sistem upah. Untuk sifat toleransi dan pola usaha tidak terjadi
banyak perubahan.
Masyarakat asli Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 memiliki sifat
yang agak berbeda dengan masyarakat veteran di Kampung Lokapurna. Sebagian
besar masyarakat asli bersikap pasrah apabila berada dalam kondisi susah.
Sedangkan masyarakat veteran lebih memiliki keinginan untuk meningkatkan
taraf hidupnya. Di Desa Gunung Bunder 2 juga banyak terjadi pengambil alihan
lahan. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat desa yang cenderung mengutamakan
kebanggaan dibandingkan kebutuhan hidup. Masyarakat Gunung Bunder 2
memiliki istilah “Biar Tekor Asal Kesohor”, yang maksudnya mereka tidak
masalah apabila hidup dalam kesusahan atau kekurangan asal mereka bisa
membanggakan diri kepada yang lain. Jadi apabila mereka akan melaksanakan
pesta, mereka akan menjual tanahnya untuk modal pesta tersebut. Kemudian,
agar dipandang oleh orang lain banyak yang mengorbankan tanah untuk dibelikan
motor. Lahan-lahan yang telah dibeli oleh orang luar tetap digarap oleh
masyarakat lokal Gunung Bunder 2, sedangkan para pendatang tersebut tetap
tinggal di daerahnya masing-masing (lahannya untuk investasi). Para penggarap
tersebut sebagian ada yang mendapatkan upah menggarap dari pemilik lahan dan
ada juga yang menggunakan sistem bagi hasil.
20
Sikap masyarakat di kawasan GSE sangat terbuka terhadap pengunjung atau
orang luar daerahnya. Hal ini ditunjukkan dari sikapnya yang ramah saat diminta
bantuan padanya. Mereka antusias dalam mendukung program-program kelurahan
seperti siskamling, dengan demikian kondisi keamanan terjamin. Hal tersebut
bisa dilihat dari data rendahnya tingkat pencurian dan gangguan terhadap
kemanan dan ketertiban masyarakat (KAMTIBMAS).
3.5. Sejarah Perkembangan Masyarakat Gunung Salak Endah
Wilayah GSE mencakup enam desa, yakni Desa Gunung Sari, Gunung
Bunder 2, Gunung Picung, Ciasmara, Ciasihan dan Pamijahan, yang termasuk
kedalam Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Masyarakat ini merupakan
penduduk asli yang sudah mendiami kawasan sekitar hutan Gunung Salak. Di
Desa Gunung Sari, terdapat kelompok masyarakat pendatang yang menetap di
sekitar kawasan wisata GSE dikenal dengan masyarakat Lokapurna yakni
masyarakat yang berasal dari anggota veteran/mantan pejuang 1945.
Masyarakat Lokapurna mulai mendiami kawasan yang statusnya adalah
tanah negara sejak tahun 1967, tepatnya di Kampung Lokapurna RW 08 dan RW
09, Desa Gunung Sari, Kecamatan Pamijahan. Kegiatan yang dilakukan yaitu
menggarap lahan di Kawasan Gunung Salak seluas 256 Ha sebagai lahan
pertanian. Penempatan dan penggarapan lahan tersebut diresmikan pada tanggal
10 Agustus 1967 (diperingati sebagai hari ulang tahun Lokapurna).
Kronologis terbangunnya Lokapurna dimulai saat Seksi Legiun Veteran
R.I. Cibungbulang mengajukan permohonan kepada KPH Bogor untuk
menggarap lahan di Blok Rawalega, Rawa Tumpak dan Pasir Malang RPH
Gunung Bunder, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor. Pihak KPH Bogor
mengeluarkan surat pada Tanggal 5 Juni 1967 No. 706/XV/10/Bgr yang isinya
mengabulkan permohonan dan memberikan lahan seluas seluas 70 Ha. Sampai
tahun 1981 garapan melebar tidak terkendali menjadi 600 Ha, dan 135 Ha
diantaranya berstatus hutan lindung.
Kondisi ini mendorong pihak Direksi untuk melaporkannya kepada
Menteri Kehutanan saat itu, sehingga pada tahun 1987 Menteri Kehutanan
mengeluarkan Surat Keputusan No. 223/Menhut-VII/1983 Tanggal 28 Nopember
1983 dan No. 293/Menhut-II/87 Tanggal 10 Juli 1987 yang ditujukan kepada
21
Menteri Pertahanan dan Keamanan menyatakan menyetujui penggunaan kawasan
hutan bagi proyek pertanian Veteran dan Demobilisasi RI ”Lokapurna” dengan
cara tukar-menukar (Ruislag). Pada tahun yang sama melalui surat No. 268/Kpts-
Tanggal 31 Agustus 1987 tentang perubahan status sebagian Hutan Lindung Blok
Rawalega seluas 256 Ha menjadi Hutan Produksi dan 303 Ha tetap menjadi hutan
lindung dan dikembalikan kepada Perhutani.
Persetujuan tukar menukar kawasan Hutan Lokapurna seluas 256,77 Ha
dituliskan dalam surat Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada Direksi Perum
Perhutani No. 497/Menhut-II/94 Tanggal 25 April 1994. Para anggota veteran
kemudian membentuk suatu badan pengurus yang bertugas mengurus dan
mengkoordinir pelaksanaan hak garap tersebut. Pada tahun 2000-an pengurus
cabang veteran berkembang menjadi dua kelompok yang berbeda, masing-masing
meng-klaim bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap proses ruislag dan
berbagai administrasi yang berhubungan dengan masalah garap-menggarap lahan
di GSE. Hasil wawancara bersama tokoh masyarakat dan mereka yang terlibat
dalam penggarapan lahan, menunjukkan bahwa mereka tidak merasakan hasil dari
usaha para pengurus cabang veteran. Usulan mereka adalah penyelesaian status
tanah di GSE hanya dapat dilakukan dengan melibatkan instansi terkait yang
berasal dari pusat. Instansi pemerintah yang berwenang yakni Departemen
Kehutanan melalui Perum Perhutani dan TNGHS sebagai pengelola pemilik lahan
kehutanan dan Departemen Pertahanan sebagai pihak yang membawahi
masyarakat veteran. Jika hanya ditangani oleh lembaga atau institusi yang berada
di tingkat daerah atau lokal, maka tidak akan pernah ditemukan penyelesaian,
karena ruislag akan membutuhkan jumlah uang yang tidak sedikit. Di lokasi
penelitian didirikan Kantor Pengelolaan Proyek Lokapurana yang memiliki tugas
(1) Penyelesaian ruislag tanah kehutanan/veteran; (2) Pengukuran perincian
garapan; (3) Pusat informasi; (4) Pengamanan lokasi.
Tabel 14 Kronologis Proses Penyelesaian Status Lahan di Lokapurna
No Tahun Kejadian Keterangan Kondisi/konflik
1 1967 Masyarakat veteran
memohon untuk
menggarap lahan di
Blok Rawa lega RPH
Gunung Bunder tanah
No. 706/XV/10/Bgr
Tanggal 5 Juni
1967
Mengabulkan
permohonan
penggarapan lahan
dengan cara
tumpang sari
seluas 70 Ha.
22
No Tahun Kejadian Keterangan Kondisi/konflik
seluas 600 Ha
2 1981
1983 dan
1987
Menyetujui penggunaan
kawasan hutan bagi
proyek pertanian
Veteran dan
Demobilisasi RI
”Lokapurna” dengan
cara tukar-menukar
(Ruislag).
Surat Keputusan
No. 223/Menhut-
VII/1983 Tanggal
28 Nopember 1983
dan No.
293/Menhut-II/87
Tanggal 10 Juli
1987
Pihak Perhutani
mengharapkan
lahannya diganti
dengan cara
ditukar, dan jika
tanah tidak digarap
dalam waktu 3
bulan, maka ijin
garap harus
dikembalikan.
3 1987 Perubahan status
sebagian Hutan Lindung
Blok Rawalega seluas
256 Ha menjadi Hutan
Produksi dan 303 Ha
tetap menjadi hutan
lindung dan
dikembalikan kepada
Perhutani.
Surat No.
268/Kpts- Tanggal
31 Agustus
Luas garapan
melebar tidak
terkendali hingga
mencapai 600 Ha
seluas 135 Ha
diantaranya
berstatus hutan
lindung.
4 1994 Surat Menteri
Kehutanan yang
ditujukan kepada Direksi
Perum Perhutani tentang
persetujuan tukar
menukar kawasan hutan
Lokapurna dan Gunung
Bunder seluas 256,77 Ha
Surat No.
497/Menhut-II/94
tanggal 25 April
1994
Pihak Perhutani
mulai menuntut
kembali lahan
pengganti yang
dijanjikan oleh
pihak Veteran
5 1996 Persetujuan terhadap
tanah calon pengganti di
Sukabumi, atas usulan
pihak Badan Pelaksana
pengembalian hak-hak
veteran RI Propinsi Jawa
Barat.
Surat Menteri
Kehutanan No.
1362/Menhut-
VII/1996 Tanggal 1
Oktober 1996
Penanganan
Perhutani tentang
pihak yang berhak
menyelesaikan
proses tukar
menukar lahan di
GSE
6 2006 Pengendalian oleh
Pemimpin Pusat Legiun
Veteran RI terhadap
Penyelesaian
Pengembalian Hak-Hak
Anggota LVRI atas
Tanah Lokapurna di
Gunung Picung
Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor.
Surat Keputusan
No. SKEP-
75/MBLV/VIII/
10/2006
Tanggal 16
Oktober 2006
Pihak yang
ditunjuk sebagai
penanggungjawab
pelaksana
pengembalian hak-
hak veteran atas
tanah Lokapurna
Gunung Picung,
Bogor belum ada
sosialisasi. Sumber : Hasil wawancara, Wulaningsih (2004), Ulfah (2007)