BAB III KEKERABATAN, MASYARAKAT BATAK, …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16936/3/T2...lebih...
Transcript of BAB III KEKERABATAN, MASYARAKAT BATAK, …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16936/3/T2...lebih...
37
BAB III
KEKERABATAN, MASYARAKAT BATAK, DAN MANGONGKAL HOLI
3.1 Asal usul Batak Toba
Dalam catatan sejarah bahwa asal-usul orang nenek moyang orang Batak yang berada
di Sumatera berasal dari dua tempat yaitu; orang Batak berasal dari Asia Utara menuju ke
Formosa di Filipina dan turun ke arah Selatan yang menjadi komunitas orang Toraja, Bugis,
dan Makassar, setelah bergerak menuju Lampung, Sumatera Selatan, kemudian menyusuri
pantai Barat hingga Barus dan naik ke pegunungan Bukit Barisan di Pusik Buhit kawasan
Danau Toba, pendapat kedua yaitu orang Batak berasal dari India yang melakukan
persebaran ke Asia Tenggara di negeri Mung Thai, Burma kemudian turun ke tanah genting
kera di belahan utara Malaysia bergerak melayari semenanjung Malaka menuju ke pantai
Timur Sumatera hingga di Batubara, dengan menyusuri sungai Asahan menuju ke Danau
Toba atau dengan rute lain dari Malaka menuju pantai Barat Aceh, menuju Singkil, Barus,
Sibolga, hingga kemudian menetap di Pusuk Buhit.1
Menurut Sangti, bahwa suku Batak, adalah salah satu suku bangsa yang termasuk
rumpun Melayu atau Indonesia tua dan mungkin juga termasuk tertua khususnya di Sumatera
dan di Indonesia umumnya.2 Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang Batak sudah
berada sejak 800 sampai 1000 tahun yang lalu, mereka mendapatkan angka itu dari urutan
marga-marga Batak yang ada, akan tetapi Malau menduga bahwa orang Batak sudah ada
lebih dari 1500-2000 tahun yang lalu.3 Selain itu Parlindungan berpendapat bahwa suku
1 Bungaran Amtonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (Yogyakarta:
Penerbit Jendela, 2002), 75. 2 Batara Sangti, Sejarah Batak (Balige: Karl Sianipar Company, 1978), 16. 3 Gens Malau, Dolok Pusuk Buhit (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 17.
38
bangsa Batak berasal dari pengunungan Burma, Siam, dan Kamboja dan telah tiba di tanah
Batak lebih dari 1000 tahun sehingga kedatangan imigran itu berlangsung selama tiga
gelombang yaitu gelombang pertama mendarat di Nias, Mentawai, Siberut, gelombang kedua
mendarat di muara sungai simpang dan gelombang ketiga mendarat di muara sungai Sorkam,
dari sana mereka memasuki pengunungan dan sampai di Danau Toba dan menetap di kaki
gunung Pusuk Buhit.4
3.2 Pengertian Batak Toba
Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan tepat dan
memuaskan, menurut Warneck, Batak memiliki pengertian “penunggang kuda yang lincah”,
tetapi menurut H.N Van Dier bahwa kata Batak yaitu “kafir”, ada juga yang mengatakan
bahwa “budak yang bercap atau bertanda.”5 Pada awalnya suku Batak sudah memiliki nama
yang disebut dengan “Batak” nama ini muncul setelah Siraja Batak ada. Banyak yang
berpendapat bahwa munculnya istilah “Batak” adalah sebuah kata yang berasal dari kata
“Bataha” yaitu nama sebuah negeri di Burma yang dahulu kala asal mula orang Batak
sebelum bergerak kepulau Nusantara dan dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata
“Batak”, karena itu penamaan suku bangsa dan tanah Batak tidaklah lahir di Sumatera
Utara.6
Menurut Parkin yang mengatakan bahwa istilah kata “Batak” berasal dari “Batah”
yang kemudian pengucapannya menjadi “Batak” karena adanya perubahan yang terjadi
dalam aksara Batak tua tidak adanya “k” sementara huruf “h” yang ada dalam setiap akhir
4 Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao (Medan: Tanjung pengharapan, 1964), 614-615. 5 Andar M Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 80 6 Sangti, Sejarah Batak, 26-27.
39
kata dibunyikan menjadi “k”.7 Dalam literatur khususnya Kamus Melayu, istilah “Batak”
bukan saja bermakna penunjukkan sebuah marga di Sumatera melainkan bermakna
“menggembara”, “merampok”, “menyamun”, “dan “merampas”.8
3.3 Identitas Masyarakat Batak Toba
Menurut J. Pardede bahwa identitas masyarakat Batak dikenal dengan trilogi
identitasnya yang menonjol yaitu; adat, bahasa, dan marga, ketiganya merupakan suatu
kesatuan yang utuh. Adat tidak dapat dihadirkan tanpa sarana bahasa Batak, dan juga tanpa
kehadiran unsur marga yang terstruktur dalam falsafah orang Batak yaitu dalihan na tolu
yang terdiri dari hula-hula, boru, dan dongan sabutuha, pelaksanaan adat tidak mungkin
berjalan. Tiga dimensi inilah merupakan suatu keutuhan, yang nampaknya lama kelamaan
unsur marga mengambil kedudukan yang kuat dari ketiganya. Menurut Pardede bahwa
adanya arus moderenisasi, pengaruh Kristen dan Islam yang meredusir sebagian adat Batak,
akan tetapi tidak pernah menghentikan adat itu, dan juga dengan bahasa yang harus
dipertahankan dari desakan bahasa nasional secara dinamis telah menggeser bahasa Batak,
unsur margalah yang satu-satunya identitas suku Batak yang tetap eksis dan bertahan, hal ini
dapat dilihat dari masyarakat Batak yang berada di desa dan di perkotaan untuk memakai
marganya sebagai identitas walaupun mereka tidak mengerti adat dan bahasa Batak.9
7 Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought Madras (The Christian Literature Society, 1978), 20. 8 Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan (Kuala Lumpur, 1998), 112. 9 J. Pardede, Efek-Efek Sosial dan Religi dari Parmagoan Sebagai Suatu masalah dalam Gereja-Gereja
Batak, dalam A.A Sitompul, ed Ketika aku dalam Penjara (Medan: Grafica, 1985), 125.
40
3.4 Mitologi Batak Toba
Pada mitologi Batak, suku ini kaya sekali akan mitos, mengenai debata, dewa,
penciptaan bumi, manusia bahkan tumbuh-tubuhan, semua ini diceritakan sejak dulu dari
mulut ke mulut, melalui tradisi lisan dari orangtua yang mengerti akan cerita ini dan
kemudian di ceritakan kepada anak muda atau anak-anak, mitos kemudian dikemas ke dalam
turi-turian (cerita dongeng), di dalam cerita tersebut banyak sekali versi sehingga memiliki
kandungan cerita yang berbeda, hal ini disebabkan karena penyampaian cerita masih
menggunakan komunikasi lisan atau tanpa teks secara turun-temurun, selain itu juga semua
cerita dongeng tidak pernah didokumentasikan sebelumnya dalam bentuk buku. Selain itu
awal manusia pertama di dunia ini berasal dari tanah Batak tepatnya di Pusuk Buhit, yang
terletak di sebalah Barat Pulau Samosir, dalam mitos ini menceritakan bahwa manusia
pertama adalah Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisia, sepasang anak ini adalah hasil
perkawinan dari Raja Odap-Odap dan Si Boru Deakparujar, yang di dalam ceritanya sebelum
Deakparujar kawin, Deakparujar sudah terlebih dahulu menciptakan Banua Tonga (Bumi),
tetapi Raja Odap-Odap merupakan salah satu dewa yang berada di Banua Ginjang dan
perkawinkan mereka dilakukan di Banua Tonga (Bumi), sehingga mereka mendapatkan
persetujuan dan berkat dari Debata meskipun Deakparujar pada saat itu menolak untuk
dikawinkan dengan Raja Odap-Odap karena dilihatnya kurang menawan, yang pada akhirnya
dia tunduk kepada perintah Debata. Menurut agama Parmalim bahwa ketika Raja Ihat
Manisia dan Boru Ihat Manisia sudah besar mereka akhirnya dikawinkan atas persetujuan
Debata, sehingga melahirkanlah tiga anak yang bernama, Raja Miokmiok, Raja Nibegu, dan
Aji Lapaslapas, dalam cerita ini, Raja Miokmiok memiliki anak yang bernama Eng Banua,
41
tetapi kedua anaknya yang lain yaitu Raja Nibegu dan Aji Lapaslapas tidak diketahui apakah
mereka memiliki keturunan atau tidak.10
Menurut Hutagalung bahwa pada saat itu Eng Banua memiliki tiga putra yang
Bernama Raja Aceh, Raja Bonangbonang (Eng Domio) dan Raja Jau, Raja Bonangbonang
memiliki anak yang bernama Guru Tantan Debata dan memiliki gelar Ompu Raja Ijolma
yang memiliki putra bernama Siraja Batak, sehingga dari Si Raja Batak memberikan anak
yang bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isumboan, sedangkan Raja Aceh adalah nenek
moyang semua suku Aceh, tetapi menurut cerita bahwa kedua anak itu Raja Aceh dan Raja
Jau tidak jelas diketahui dimana mereka.11 Menurut kajian sejarah bahwa pada awalnya
Siraja Batak merupakan peletak dasar sejarah suku Batak yang berupa tulisan, karena sejak
dari Siraja Batak ada catatan mengenai tarombo (silsilah). Sehingga Siraja Batak dipercaya
sebagai nenek moyang orang Batak yang seharusnya sejarah Batak dimulai dari Tantan
Debata hingga kepada Raja Ihat Manisia, tetapi itu masih berbentuk mitos dan bersifat
lisan.12
Menurut fakta sejarah bahwa pada saat itu adanya bukti peninggalan Siraja Batak
yang berupa aksara Batak, yang menyatakan bahwa Batak sudah ada sejak zaman Siraja
Batak, dan dialah yang menyerahkan dua gulungan kepada anaknya yaitu kepada Guru Tatea
Bulan dalam suratnya disebut surat agong yang berisi tentang hadatuon (ketabiban),
keperwiraan, kependekaran dan kesaktian, sedangkan surat yang kedua bernama surat
Tombaga holing diberikan kepada Raja Isumbaon yang berisi mengenai tentang ajaran-ajaran
kerajaan, hukum, peradilan, persawahan, perniagaan, dan kesenian. Sehingga melalui kedua
10 Ibrahim Gultom, Agama Malim di Tanah Batak (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 37-38. 11 Wasinton Hutagalung, Pustaha Batak (Pangururan: Tulus Jaya, 1991), 32. 12 Sangti, Sejarah Batak, 276.
42
jalur anaknya Siraja Batak maka keturunannya mulai berkembang, pada generasi kelima dan
keenam baru mulailah ada marga-marga.13
3.5 Letak Geografi Batak Toba
Tanah Batak terletak di Pulau Sumatera dan kawasan ini masuk ke dalam wilayah
Sumatera Utara yang pada awalnya kawasan tanah Batak ini mencakup keseluruhan daerah
yang dinamakan dengan Tapanuli yaitu; Tapanuli Utara, Tapanulis Selatan, dan Tapanili
Tengah serta dengan daerah Simalungun, Dairi, dan Karo. Pada zaman kerajaan
Sisingamangaraja, kawasan Tanah Batak terdiri atas empat daerah yaitu; Samosir, Toba
Holbung, Humbang, dan Silindung.14 Wilayah ini memiliki luas kurang lebih 10000km2 dan
berada pada ketinggian 700-2300m diatas permukaan laut. Wilayah kediaman masyarakat
Batak Toba diapit oleh kelompok etnik Batak yang lain yaitu; Pak-Pak, Simalungun, dan
Karo yang berada disebelah Barat Laut dan Timur Laut, dan kelompok Mandailing dan
Angkola sipirok yang berada disebelah Tenggara dan Barat.15
Secara astronomis berada antara 2°03 dan 2°04 Lintang Utara dan antara 98°56 dan
99°40 Bujur Timur, masyarakat Batak Toba yang tinggal di tanah Batak terbagi atas empat
subwilayah dalam satu distrik disebut dengan distrik Toba mengacu kepada pembagian
seluruh kawasan Toba dengan empat jenis topografi dengan empat variasi adat, kawasan
Toba yang meliputi wilayah Silindung, Toba Holbung, Humbang, dan Pulau Samosir,
keadaan alam dan topografi kawasan Toba, sebagian besar terdiri dari dataran tinggi dan
13 Sangti, Sejarah Batak, 237. 14 Ibrahim Gultom, Agama Malim, 30. 15 http://digilib.unimed.ac.id/22339/8/8.NIM%20208142100%20BAB%20I.pdf, diunduh 19-09-2017,
15.05 WIB.
43
bukit-bukit tandus dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang sebagian kecil masih
berupa hutan primer.
3.6 Bahasa Batak Toba
Suku Batak merupakan suku yang memiliki banyak kesamamaan baik itu Batak Toba,
Pakpak, Simalungun, Karo, Angkola, dan Mandailing namun para ahli membedakan menjadi
dua cabang bahasa Batak yang tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua
kelompok tersebut. Bahasa Angkola, toba dan Mandailing membentuk rumpun selatan, Karo,
Pakpak-dairi membentuk rumpun utara, tetapi bahasa Simalungun biasa sebagai kelompok
ketiga yang berdiri di antara rumpun selatan dan utara, tetapi menurut ahli bahwa bahasa
Simalungun lebih kepada rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak selatan sebelum
bahasa Batak Toba dan Angola-Mandailing terbentuk. Pada awalnya dialek bahasa Batak
berasal dari satu bahasa purba (proto language) yang kosakatanya dapat direkonstruksi.
Linguistik historis komperatif merupakan suatu bidang yang menyelidiki perkembangan satu
bahasa ke bahasa lain dari masa ke masa sehingga dari metode itu dapat diketahui bahwa
misalnya bilangan tiga dalam bahasa Batak purba dibilang telu sehingga kosakata ini
diwariskan sampai ke rumpun Batak Utara, sedangkan Batak Selatan mengalami adanya
pergesaran kosakata dari (Ə) menjadi (O) sehingga (tӗlu), sehingga dengan demikian
linguistik historis komparatif dapat menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa asal.
Selain itu juga adanya bahasa Alas yang secara linguistik dapat digolongkan ke dalam
rumpun bahasa Batak utara, tetapi jika dilihat dari segi budaya suku Alas ini tidak termasuk
ke dalam kebudayaan Batak karena pada masa lalu kemungkinan mereka menggunakan
varian surat Batak mengingat dari segi budaya, sistem kekerabatan maupun dari segi bahasa
44
suku Alas lebih cenderung memiliki persamaan dengan suku Batak Utaras terkhusus Karo.16
Selain itu dalam segi bahasa antara Simalungun dan Karo adalah bagian dari bahasa yang
berbeda sehingga sulit berkomunikasi tetapi di perbatasan Karo dan Simalungun tidak ada
masalah mengenai komunikasi, karena keduanya banyak kata yang dipinjam dari seberang
perbatasan, selain itu dari segi budaya tidak ada budaya yang mencolok di antara kampung
Simalungun dan Karo di perbatasan serta di perbatasan baik Karo dan Pakpak atau Pakpak
dan Toba. Bahasa Toba, Mandailing, Angkola tidak banyak berbeda karena keduanya
memiliki persamaan yang pada umumnya disebut dengan bahasa Angkola-Mandailing,
sehingga dapat dikatakan dari kelima suku harus mengingat bahwa dari segi bahasa, budaya
dan tulisan tidak selalu adanya garis pemisah, karena kelima suku ini memiliki induk yang
sama.17
3.7 Nilai dalam Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon
Hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur), dan
Hasangapon (kewibawaan, kehormatan, dan kemuliaan) merupakan sistem yang terdapat
dalam nilai budaya orang Batak dan tujuan hidup orang Batak, ketiganya merupakan konsep
yang hidup dalam alam pikiran masyarakat Batak mengenai apa yang dianggap bernilai,
berharga, luhur, dan mulia. Ketiga nilai ini disebut sebagai budaya ideal bagi masyarakat
Batak, karena bagi mereka nilai budaya tersebut sangat umum dan mempunyai pengaruh
sangat luas. Melalui proses setiap individu anggota masyarakat telah diresapi dengan nilai
tersebut, sehingga berakar dalam jiwa masyarakat Batak.
16 Akifumi Iwabuchi, The people of The Alas Valley: A Study Ethnic Group of Northern Sumatera (Oxfrod:
Clarendon Press, 1994), 28. 17 Uli Kozok, Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia,
1999), 14-15.
45
3.7.1 Hamoraon (kekayaan atau kaya raya)
Konsep hamoraon terdapat dua istilah dalam bahasa Batak yaitu yang merujuk
kepada kekayaan yang maduma (kaya) dan mamora (kaya raya).18 Jadi kualitas yang dituju
oleh masyarakat Batak dalam nilainya sangat tinggi. Cita-cita tertinggi dalam orang Batak
adalah kuasa dan alat untuk mendapatkannya ialah kekayaan, maka ada ungkapan orang
Batak yaitu “arta do hasangapon di Batak, molo godang hepeng na, dohot do bangkena
marsangap” (harta adalah kehormatan bagi orang Batak, kalau banyak uangnya maka ketika
meninggalpun dia tetap dihormati), pada awalnya perang antara huta (kampung) dan budaya
rentenir telah mendorong merajalelanya perbudakan dan kekayaan ditandai dengan
kepemilikan sawah, lading, ternak maupun harta benda lainnya, tetapi pada perkembagannya
uang menjadi tolak ukur kekayaan seseorang.19 Menurut Vergouwen Hamoraon merupakan
sumber otoritas kesuksesan dan kedermawanan seorang raja sejati sebagaimana dibawah ini:
Hamoraon (kekayaan) merupakan sumber penting otoritas. Ia mencerminkan
kehidupan yang sukses, mujur dalam permainan, menang perang, untung dalam
perdagangan, nasib baik dalam bercocok tanam dan keberhasilan dalam berternak.
Hal tersebut dapat menyebabkan kekuasaan seseorang menjadi kuat di dalam
lingkungannya: pada masa lalu, berdasarkan kekayaan seseorang dapat menjalankan
perang dalam waktu lama, dan saat sekarang ini memungkinkan orang mendapatkan
uang emas yang lebih tinggi dari seorang putri yang dikawinkan, dan dengan
demikian affina yang berpengaruh. Namun, wujud utama hamoraon adalah
pangalongan atau partamueon (senang menjamu): kedermawanan akan
menunjukkan kadar kualitas seorang kepala yang sejati.20
Pada hakekatnya perilaku hamoraoun pada masyarakat Batak di dasari dengan agama
yang kuat, secara serempak pula diusahakan meraih hagabeon.
18 Naloom Siahaan, Dalihan Na Tolu (Jakarta: Grafina, 1982), 36-37. 19 Siahaan, Dalihan Na Tolu, 181. 20 J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LkiS, 2004), 164.
46
3.7.2 Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur)
Secara tradisional ada tingkatan di dalam hagabeon seseorang yaitu: pertama; ketika
orang tersebut sudah dewasa seseuai dengan ciri khas atau keahliannya. Kedua: apabila
seseorang telah menikah dan telah memiliki anak maka orang itu akan diberi gelar “Ama ni”
(Ayah dari) sesuai dengan anaknya yang tertua. Ketiga adalah “Ompu” (kakek/nenek) gelar
ini akan di dapat ketika seseorang telah memiliki cucu.21 Orang Batak mengharapkan banyak
keturunan terkhusus dari laki-laki yang diharapkan menjadi sumber daya bagi keluarga untuk
mengolah lahan demi mencapai hamoraon, selain untuk memiliki putra lebih banyak
ketimbang putri karena seringnya terjadi peperangan antar kampung, karena itu tenaga laki-
laki lebih dibutuhkan. Untuk mencapai hagabeon maka masyarakat Batak haruslah melihat
nilai-nilai religi yang dianutnya. Kehormatan dan kemuliaan masyarakat Batak dalam
memperoleh banyak anak dan panjang umur tidak dapat menjadi panutan apabila tidak
memiliki prilaku religi yang kuat.
Ukuran dari hagabeon adalah keluarga yang besar usia lanjut sekaligus menjadi
panutan masyarakat.22 Mengenai kematian yang sehubungan dengan hagabeon, maka
terdapat tiga tingkatan yaitu: pertama, Mate sakkar (mati menyedihkan), kematian seseorang
yang belum berkeluarga atau sudah berkeluarga namun belum memiliki cucu dari anak-
anaknya. Kedua, Sarimatua ialah kematian yang sudah memiliki cucu, namun masih
memiliki tanggungan anak yang belum menikah. Ketiga, Saurmatua ialah seseorang akan
sangat dihormati dalam hidupnya dan orang tersebut akan menjadi tempat bertanya bagi para
21 Siahaan, Dalihan Na Tolu, 179. 22 Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), 160.
47
pemuda terutama yang berhubungan dengan adat. Karena itu, seperti Hamoraon, maka
Hagabeon menjadi jalan orang Batak mencapai Hasangapon.23
3.7.3 Hasangapon (Kewibawaan, Kehormatan, dan Kemuliaan)
Dalam masyarakat Batak ada dorongan untuk meraih Hasangapon tidak hanya
dengan berdasarkan kondisi kini dan masa yang akan datang melainkan didasarkan pada
pencapaian leluhur. Harahap dan Hotman Siahaan mengatakan bahwa seseorang yang telah
berhasil meraih Hagabeon dan Hamoraon tidak dengan sendirinya meraih Hasangapon
apabila nilai-nilai terutama bisuk, arif, bijaksana belum dimiliki charisma, wibawa,
terpandang dan terhormat barulah lebih bermakna Hasangapon apabila telah memiliki bisuk
yang merupakan nilai dasar dari Hasangapon.24 Pada masyarakat Batak ketiga konsep ini
merupakan hal yang penting dan merupakan kepemilikan adat dalam masyarakat yang harus
menjadi milik para individu. Perilaku para individu harus mencerminkan ketiga konsep
tersebut.
3.8 Mata Pencaharian Batak Toba
Tanah Batak pada umumnya adalah darerah pengunungan, bila dibandingkan antara
luas wilayah antara pengunungan dan dataran rendah maka dataran rendah sempit, karena
tanah Batak memiliki hutan walaupun sebagian merupakan hutan ilalang dan sampilpil, hasil
hutan yang terkenal sejak zaman dahulu adalah kapur barus, kemenyan, kulit manis, dan
rotan serta kopi. Tembakau yang juga hasil komoditas dari sekitar Binjai dan Delitua.25
23 Siahaan, Dalihan Na Tolu, 180. 24 Harahap dan M Siahaan, Orientasi Nilai, 184. 25 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945 (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006), 12-13.
48
Selain daripada itu juga bahwa mata pencaharian orang Batak yaitu dari sector pertanian,
peternakan, perikanan, perdangangan, dan angkutan komunikasi. Dari sektor pertanian ini
merupakan komoditas andalan bagi masyarakat Batak Toba dalam menggerakan
perekonomian daerah dan juga karena kondisi fisik dan agrosistem. Kawasan ini merupakan
yang memiliki suberdaya biofisik yang cukup untuk mendukung pengembangan pertanian
antara lain; ketersediaan tanah, hara, dataran rendah, dan tinggi, kondisi inilah yang tidak
terlepas dari asal-mula terjadinya danau Toba.
Pada sektor perkebunan maka masyarakat Batak Toba memiliki potensi produksi dari
hasil perkebunan seperti kopi, kemenyan, kemiri, kulit manis, cengkeh, kelapa sawit, dan
kakao, tanaman ini merupakan usaha yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Kopi
yang merupakan komoditi andalan dari tanah perkebunan yang memiliki prospek baik dan
memiliki lahan yang sangat luas. Dari sektor perternakan, di kawasan danau Toba pada
umumnya masyarakat memiliki usaha rumah tangga yang dikelompokkan menjadi ternak
besar, kecil, dan unggas yang terdiri; sapi, kerbau, dan kuda (ternak besar), kambing, babi,
dan domba (ternak kecil), ayam dan itik (unggas), kawasan perternakan kebanyakan
menyebar diseluruh danau Toba, terutama di daerah perkampungan.26
3.9 Seni Dalam Masyarakat Batak Toba
Seni merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dimiliki seseorang atau kelompok
orang untuk menciptakan implus melalui panca indera atau melalui kombinasi dari beberapa
panca indera yang menyentuh rasa halus akan lingkungannya sehingga lahirlah keindahan
dalam karya seni. Maka di dalam masyarakat Batak terdapat seni yang diciptakan yaitu:
26 http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20160330174236.pdf, diunduh 19-09-2017, 15.20 WIB.
49
3.9.1 Seni Sastra Batak Toba
Sastra merupakan bagian kehidupan dari orang Batak, akan tetapi di dalam sastra
tersebut baik dari cerita-cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos, dan legenda, umpama,
umpasa, torhan-torhanan, turi-turian, huling-hulingan, semuanya tidak pernah ditulis
melainkan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, walaupun orang Batak sudah
memiliki tulisan sendiri. Mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan
sehari-hari, maka untuk menggunakan yang sehari-hari seperti; mencatat utang-piutang, atau
pengeluaran rumah tangga, mencatat silsilah marganya, membuat catatan, dan mengeluarkan
dokumen-dokumen, mereka tidak menggunakan pena melainkan secara lisan diberitahukan,
tetapi untuk menggunakan pena atau tulisan hanya ada tiga tujuan yaitu; pertama, ilmu
kedukunan (hadataon), kedua, surat-menyurat (termasuk surat ancaman, ketiga, ratapan
(hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandailing).
Pada naskah orang Batak tiga perempat bagian naskah membahas mengenai ilmu
kedukunan atau hadatuon. Yang berhak menulis ialah para datu (dukun) dan ditulis dari buku
kulit kayu, dan mereka juga terkadang menggunakan bamboo atau tulang kerbau. Tetapi di
dalam naskah Batak tidak semua ditulis oleh para datu, ada juga beberapa dari orang biasa
atau seorang raja. Di dalam naskah sering juga ditemukan surat ancaman, di daerah
Karo,Simalungun, Angkola dan Mandailing terdapat ratapan yang membahas mengenai
kematian orang tua atau kerabat dan percintaan yang gagal.27 Menurut Endrawasa sastra lisan
merupakan karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-
temurun, karena banyaknya penyerebaran dari mulut ke mulut, maka banyak sastra lisan
yang mulai memudar karena tidak dapat dipertahankan, selain dikarenakan batas memori
27 Uli Kozok, Warisan Leluhur, 15-16.
50
manusia dalam mengingat, karena perkembangan teknologi yang semakin canggih yang pada
akhirnya sastra lisan pun tergeser, dan termasuk sastra lisan masyarakat Toba yang memiliki
nilai budaya yang tinggi, yang seharusnya dapat dijaga.28 Selain itu menurut Nurelide bahwa
sastra Batak merupakan produk budaya masyarakat baik dari genre prosa maupun puisi
adanya perubahan yang menunjukkan perubahan yang berakibat kepada ketidakpedulian
masyarakat terhadap sastra lisan yang dipandang sebagai kisah yang tidak masuk akal dan
berada diluar jangkauan akal sehat.hal ini dapat menjadi suatu ancaman terhadap sastra lisan
dalam kehidupan masyarakat.29
Sastra lisan Batak Toba dapat dipandang sebagai aset yang berharga dan layak untuk
dikaji dan dilestarikan, karena sebagian dari sastra lisan Batak Toba masih diterapkan pada
acara adat masyarakat. Mite (Myth), legenda, dan dongeng (folklore), merupakan genre prosa
yang pernah hidup pada masyarakat Batak Toba, mite merupakan cerita yang lama dan sering
dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang diunggkapkan secara
gaib dan dianggap suci. Legenda merupakan cerita rakyat yang pada zaman dahulu yang ada
hubungannya dengan sejarah dan tidak dianggap suci. Dongeng merupakan prosa rakyat
yang benar-benar terjadi oleh empunya cerita dan dongeng karena tidak terikat oleh waktu
dan tempat.30
28 Suwardi Edraswara, Metodelogi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi
(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), 151. 29 Nurelide, Menelusiri Makna Simbolik Budaya Batak Toba Dalam Sastra Lisan Batak Toba Tinjauan
Antropologis dan Semiotik (Medan: Pusat Bahasa 2006), 1,15. 30 James Danandjaja, Folkor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain (Jakarta: Pustaka Grafitipers,
1986), 50.
51
3.9.2 Seni Tari Batak Toba
Bagi masyarakat Batak Toba Tortor merupakan bentuk seni tari yang bukan hanya
menari melainkan lebih meluas dan kompleks, karena dalam setiap gerakan tortor memiliki
pengertian selain itu juga tortor dilakukan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam
kehidupan masyarakat Batak dan juga tortor menjadi sarana interaksi hubungan antar sesama
sesuai kedudukan dalam unsur Dalihan Na Tolu, selain itu nama tortor diyakini berasal dari
hentakan kaki para penari yang bersuara “tor-tor” karena hentakan kakinya berasal dari
rumah yang berasal dari rumah Batak toba yang terbuat dari kayu, tarian ini sudah ada sekitar
abad ke 13, pada zaman dahulu tradisi ini dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang
berada di kawasan Samosir, Toba, dan juga Humbang.31
Tortor merupakan tarian yang merupakan seni tari dengan menggerakan seluruh
badan dengan dituntun gondang, dengan pusat pada tangan, jari kaki, telapak kaki, punggung
dan bahu.32 Pada setiap gerakan pada tortor Batak yang berekspresi disebut urdot, jadi
mangarudot berarti menggerakkan badan dan anggota tubuh dengan ekspresif, urodot
dilakukan sesuai dengan gondang, karena gondang dan tortor merupakan satu kesatuan
antara bunyi dan gerak tubuh yang sedang dibawakan.33 Tortor dalam upacara ritual maupun
adat biasa haruslah diiringi dengan gondang sabangunan itu artinya bahwa aktivitas
manortor ini dilakukan sebagai sarana untuk penyampaian isi batin baik kepada roh nenek
moyang maupun kepada orang-orang yang dihormati maupun disayangi yang ditunjukkan
dalam tari tortor. Penulis menemukan responden yang mengatakan bahwa pada upacara
mangongkal holi, musik merupakan salah satu alat yang dipakai untuk memeriahkan upacara
31 http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2017/02/Isi%20Jurnal%20fix%20(02-23-
17-04-03-13).pdf, diunduh 19-09-2017, 15.10 WIB. 32 Gens Malau, Budaya Batak (Jakarta: Yayasan Binabudaya Nusantara Taotoba Nusabudaya, 2000), 215. 33 Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
1996), 120.
52
mangongkal holi maka secara spontan mereka menari atau marnortor hal ini dilakukan
sebagai bentuk sukacita dan suatu bentuk tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batak baik
di yang berada di rantau maupun di kampung halaman.34
3.9.3 Seni Musik Batak Toba
Menurut Malinowski bahwa Musik adalah suatu aktivitas budaya yang merupakan
produk jenis prilaku manusia yang bermaksud untuk memuaskan rangkaian kehidupan untuk
kebutuhan naluri keindahan. Selain itu musik juga memiliki fungsi sebagai alat untuk
pengungkapan emosional, kepuasan estetis, hiburan, sarana komunikasi, persembahan,
simbol, sarana kelangsungan, stabilitas kebudayaan, dan integritas masyarakat.35 Musik
tradisional berasal dari makna luapan ekspresi masyarakat, sejarah dan kehidupan
masyarakat yang terdiri dari fungsi, bentuk, sejarah dan ciri khas dari wilayah tersebut. Ben
M Pasaribu mengatakan bahwa gondang memiliki arti yang majemuk yang bisa berarti
instrument, musikal, ensambel musikal.36
Pada musik tradisi masyarakat Batak, pada dasarnya memiliki dua ansambel musik
gondang yaitu; gondang sabangunan (Sarune, Taganing, Gordang, Ogung dan Hesek) dan
gondang hasapi (Hasapi Ende, Hasapi doal, Garantung, Sulim, Sarune Etek, dan Hesek),
gondang sabagunan atau yang juga disebut dengan gondang bolon, karena menurut
kepercayaan orang Batak Toba gondang Sabagunan diciptakan oleh Ompu Mulajadi
Nabolon, jadi gondang Sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk upacara adat
maupun upacara religius, selain itu juga gondang memiliki peran sebagai mendia yang
34 Wawancara, R.S br. Pasaribu, 27 Oktober 2017, 17.00 WIB. 35 Allan P. Merriam, The Anthrophology of Musics (Bloomington, Northwestren University Press, 1964),
219-226. 36 Ben M. Pasaribu, Pluralitas Musik Etnik (Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan
Batak, 2004), 61.
53
menghubungkan manusia kepada sang pencipta dalam hubungan vertical dan juga manusia
kepada sesamanya dalam hubungan horizontal.37 Penulis menemukan responden yang
mengatakan bahwa dalam acara adat mangongkal holi, ketika menyambut hula-hula dan
dongan tubu dipakai alat musik untuk memeriahkan upacara mangongkal holi dan sekaligus
menyambut mereka sebagai penghormatan. Karena alat musik sangat penting dalam upacara
mangongkal holi, disisi lain pada upacara mangongkal holi di huta (kampung) gondang
dipakai sebagai alat untuk pesta besar dan ketika adat mangulosi, hula-hula menyampaikan
ulos kepada borunya dan keluarga diiringi musik. Maka secara spontan mereka menari atau
marnortor sebagai bentuk rasa sukacita.38
3.9.4 Seni Kerajinan Batak Toba
Ulos merupakan salah satu seni yang diciptakan oleh masyarakat Batak, ulos dibuat
dengan dua acara yaitu dengan tekstil dan secara tradisional, ulos merupakan kain tenun khas
Batak yang berbentuk selendang, benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang, dan
persatuan, sesuai dengan pepatah Batak, ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot ni holong
(ijuk adalah pengikat pelepah maka ulos adalah pengikat kasih sayang antar sesama). Ulos
pada zaman dahulu ketika nenek moyang orang Batak hidup di daerah pengunungan
kebiasaan mereka ialah berladang dan nenek moyang orang Batak harus melawan dinginnya
cuaca yang menusuk ke tulang, sehingga pada saat itu nenek moyang orang Batak berpikir
37 http://digilib.unimed.ac.id/15049/9/209142040%20BAB%20I.pdf diunduh 19-09-2017, 17.49 WIB. 38 Wawancara, R.S br. Pasaribu, 27 Oktober 2017, 17.00 WIB.
54
untuk membuat suatu kain yang menghangatkan tubuh, maka terdapatlah tiga unsur
kehangatan yaitu matahari, api, dan ulos. 39
Kain ulos yang berakar pada kebudayaan masyarakat Batak merupakan suatu hasil
karya dalam kehidupan kultural masyarakat Batak yang di dalamnya memuat nilai-nilai yang
memiliki makna tinggi, selain itu juga ulos menjadi suatu identitas yang memiliki nilai
kultural yang tinggi dan mengandung nilai ekonomi dan sosial, Neissen mengatakan bahwa
di dalam bentuk ulos terdapat suatu hubungan simbolis antara praktek tenun Batak dan
konsepsi adat dalam konteks durasi waktu, yaitu dalam bentuk ruang dan kesuburan wanita
Batak, khususnya, analisa ini memerlukan simbolik pengetahuan yang lebih mengenai
bahasa, mitos dan teks asli dari teknik tenun.40
Kain ulos Batak ditenun oleh para wanita Batak, dalam pembuatan ulos
membutuhkan waktu yang panjang sehingga tidak semua orang bisa membuat ulos, dikarena
kemampuan pembuatan ulos biasanya diturunkan dari satu penenun kepada keturunannya
dan teknik yang digunakan dalam menenun ulos tidaklah mudah, sehingga motif dan warna
merupakan hasil teknik yang cukup rumit, karena ulos benda yang dianggap sebagai benda
yang diberkati oleh kekuatan supranatural dan memiliki panjang yang harus tepat, jika tidak
dapat membawa kematian kepada tondi (roh) penenun.41
Ulos pada kenyataannya memiliki nilai-nilai yang diyakini oleh orang Batak, dan
upaya untuk melestarikan kain ulos secara fisik maupun nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya yaitu; kain ulos merupakan hasil dari manifestasi dari pengetahuan lokal
masyarakat Batak, yang secara geografis memiliki cuaca dingin yang pada saat itu tergugah
39 http://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/seni/article/download/408/376, diunduh 19 Juni 2017,
18.09 WIB. 40 S.A Neissen, Legacy in Cloth; Batak Textiles of Indonesia (Netherlands: KITLV press, Leiden 2009), 29. 41 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/49523/3/Chapter%20II.pdf, diunduh 20 juni 2017, 00.19
WIB.
55
untuk menciptakan sumber kehangatan baru yaitu kain ulos, pengetahuan mereka miliki pada
kain ulos, menjadikan kain ulos sebagai falsafah orang Batak, karena eksistensi ulos semakin
kuat ketika ulos menjadi penting dalam pelaksanaan upacara dan adat yang dilakukan oleh
orang Batak, karena itu ulos menjadi kain yang sakral dan merupakan simbol kepercayaan
masyarakat Batak kepada Tuhan, selain itu juga ulos menjadi simbol tata tertib sosial,
bermacam ulos yang ada menjadi sumber untuk melakukan tata tertib pada masyarakat Batak
seperti ulos ragi hidup, jugia, dan ragi hotang, yang mengandung tata aturan bagaimana
hidup bermasyarakat (sistem kekerabatan) dimana yang muda harus menghormati yang lebih
tua dan sebaliknya yang tua harus mengayomi yang muda.42
Selain itu penulis mewawancarai responden mengenai ulos, bahwa ulos merupakan
unsur budaya Batak, yang murni dari hasil karya masyarakat Batak berupa kain yang ditenun
berbentuk selendang dan ulos tidak memiliki arti magis tetapi memiliki simbol pengharapan
kepada Tuhan yang melambangkan kasih, masyarakat Batak tidak akan memberikan ulos
kepada orang lain apabila tidak memiliki kasih. Pada upacara mangongkal holi ulos
panampin dipakai untuk menampung tulang-belulang dan merupakan tanda ketulusan
seseorang tulang (paman) kepada anak perempuan yang melaksanakan tradisi penggalian
tulang-belulang. Selain itu juga ad aulos ragi hidup yang dipakai pada upacara mangongkal
holi ulos ini merupakan lambang kesucian dan pembungkus tulang-tulang yang sudah
dibersihkan dan dimasukkan kedalam peti tempat tulang-tulang tersebut.43
42 http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/447/jbptunikompp-gdl-rolandctam-22338-1-laporan-r.pdf, diunduh
24-Juli-2017, 14.22 WIB. 43 Wawancara Via telephone, S. Simbolon, 26 Oktober 2017, 09.00 WIB
56
3.10 Sistem kepercayaan Batak Toba
Pada zaman dahulu suku Batak telah mempercayai Tuhan atau yang mereka sebut
dengan Debata Mulajadi Nabolon, kepercayaan tersebut berlangsung sejak zaman Siraja
Batak, walaupun kepercayaan ketuhanan telah tumbuh lama di masyarakat Batak namun
pada saat itu belumlah dinamakan dengan agama parmalam karena masyarakat Batak dapat
dikatakan masih dalam keadaan tidak beragama (pagan).44 Walaupun pada masa itu orang
Batak tidak beragama (pagan) tetapi kehidupan masyarakat Batak telah diresapi oleh konsep
keagamaan, sehingga hampir seluruh lingkaran hidup di mana perilakunya yang tidak
dibimbing oleh motif religius dan seluruh pemikirannya dikuasai oleh konsep supranatural,
dan konsep kehidupan keagamaan seperti itulah yang terus ada sampai dimana kepercayaan
itu tumbuh menjadi agama pada masa Raja Nasiakbagi Dalam kepercayaan paganisme
adanya suatu percampuran kepercayaan dari keagamaan kepada Debata, pemujaan yang
bersifat animisme terhadap roh-roh yang sudah meninggal dan dinamisme, ketiga unsur ini
tidak dapat dipisah dalam setiap acara adat istiadat seperti pemujaan terhadap roh Debata
yang diakui sangat menonjol, dan pemujaan terhadap roh nenek moyang, serta roh terhadap
benda-benda yang memiliki kekuatan.45
Menurut Sangti dalam kepercayaan paganisme orang Batak yang menyembah kepada
Debata Mulajadi Nabolon merupakan Tuhan masyarakat Batak yang maha pencipta dan
maha kuasa yang tidak berawal dan tidak berakhir.46 Menurut Tobing yang mengatakan
bahwa Debata Mulajadi Nabolon memiliki sebutan yang lain secara fungsional, seperti;
tuhan yang berkuasa di Banua Ginjang disebut dengan tuhan Bubi Nabolon, bila di Banua
44 Ibrahim Gultom, Agama Malim, 76. 45 J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Penerbit Pustaka Azet, 1986), 79. 46 Batara Sangti, Sejarah Batak, 326.
57
Tonga dia disebut Debata Mulajadi Nabolon, Ompu Silaon Babolon atau Raja Pinangkabo.
Sedangkan di Banua Toru dia disebut dengan Mulajadi Nabolon atau tuhan Pane Nabolon.
Dengan demikian konsep mengenai Debata Mulajadi Nabolon adalah tuhan yang menguasai
keseluruhannya, selain kepercayaannya kepada Debata ada juga kepercayaan yang bernama
Debata natolu yaitu yang dipercayai sebagai pembantu Debata.47 Ketiga pembantu Debata
itu ialah Batara Guru, Soripada, dan Mangalabulan, yang menurut Vergouwen mereka
merupakan diambil dari trimutri Hindu, tetapi Debata Mulajadi Nabolon merupakan tuhan
asli dari orang Batak.48
Selain orang Batak menyembah kepada Debata disisi lain dari kepercayaan
paganisme orang Batak percaya terhadap kuasa-kuasa alam yang dipercayainya ialah
Boraspati di Tano dan Boru Saniangnaga, dewa ini dianggap sebagai dewa yang memiliki
kuasa di Banua Tonga, dewa Boraspati ini memiliki bentuk mirip sekali dengan kadal dan
hidup dibawah tanah mengenai kesuburan tanah adalah berkat kuasa dari dia, sedangkan
Boru Saniangnaga, memiliki bentuk mirip dengan seekor ular merupakan dewi air yang
menguasai air, sehingga dewi ini sangat penting untuk dihormati karena setiap kali manusia
melakukan aktivitas dan berurusan dengan tanah seperti mengolah tanah pertanian, membuka
perkambungan, dan mendirikan tanah, maka orang Batak harus terlebih dahulu memberikan
penghormatan kepada Boraspati Di Tano berupa sesaji sehingga pekerjaannya diberkati dan
diberikan perlindungan. Sementara itu bagi Saniangnaga diberikan penghormatan agar usaha
manusia diberkati seperti menangkap ikan agar memperoleh keselamatan dan diberkati.49
47 Ph. L Tobing, The Structure of The Toba-Batak Belief in the High God (Amsterdam: Jacob Van Campen,
1956), 27. 48 J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum, 80. 49 Gultom, Agama Malim, 78.
58
3.11 Sistem kekerabatan Batak Toba
Pada zaman dahulu hingga saat ini orang Batak memiliki sistem kekerabatan secara
patrilineal yaitu menurut garis keturunan dari ayah, dalam sejarah atau legenda Batak, tidak
mengenal garis keturunan matrilineal atau yang disebut dengan garis keturunan dari ibu,
karena garis keturunan laki-laki harus diteruskan oleh anak lelaki, dan akan menjadi punah
bila di dalam keturunan tersebut tidak ada anak laki-laki, selain itu juga dalam sistem
kekerabatan patrilineal itulah menjadi tulang punggung masyarakat Batak. Kaum laki-laki
dalam masyarakat Batak merupakan penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan,
tetapi perempuan sebagai pencipta hubungan kebesanan karena perkawinan. Dalam segi
sosial orang Batak mengenal yang disebut dengan marga, karena marga ialah salah satu
identitas orang Batak yang merupakan sendi utama dalam sistem kekerabatan.50
3.12 Falsafah orang Batak Toba
Selain terdapat sistem kekerabatan di dalam kehidupan masyarakat Batak, falsafah
merupakan pedoman dalam bertingkah laku dan merupakan rujukan dalam setiap aktivitas
kemasyarakatan seperti upacara perkawinan, kematian, dan musyawarah, serta di dalam
falsafah juga terdapat pedoman dalam bertingkah laku dengan kata lain “adat sopan santun”
baik dalam pergaulan maupun pada saat berinteraksi dengan lingkungan kekerabatan yang
kecil sampai kepada yang besar.
50 Gultom, Agama Malim, 49.
59
3.12.1 Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu merupakan falsafah orang Batak yang memiliki maknal “tungku
yang tiga” yang diambil dari istilah kebiasaan orang Batak pada zaman dahulu ketika
memasak makanan di atas batu harus jumlahnya tiga dan dari ketiga haruslah diletakkan
persis seperti segitiga sama sisi, sehingga pada saat itu istilah inilah yang kemudian diadopsi
oleh orang Batak menjadi simbol yang bermakna filosofis, yang dapat diibaratkan apabila
masyarakat Batak adalah kuali besar maka yang menjadi tungkunya ialah Dalihan Na Tolu,
karena merupakan asas dari sistem kekerabatan dan asas dari semua aktivitas khususnya yang
berhubungan dengan adat, selain itu, ini merupakan rujukan yang didalamnya berisikan
mengenai bersikap dan berprilaku dalam kehidupan sosial terkhusus sesama orang Batak.51
Falsafah ini dalam sejarahnya dilatar belakangi dengan adanya krisis sosial kekerabatan
generasi ketiga dimana terdapat suatu peristiwa yang buruk terjadi secara beruntun, yang
pada saat itu Tuan Sariburaja kawin incest dengan saudari kandungnya yang bernama Si
Boru Pareme, yang merupakan anak dari Tatea Bulan yang dikenal sebagai generasi kedua
bersama dengan Raja Isumbaon, pada akibatnya apa yang dilakukan oleh Tuan Sariburaja, ia
harus lari ke dalam kehutan dan Si Boru Pareme di usir dari kampung Sianjurmulamula.
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Raja Lontung yang mengawini ibu kandungnya Si
Boru Pareme yang pada saat itu sebelumnya diketahui bahwa ia adalah istri bapaknya.52
Sehingga akibat dari perbuatan incest maka muncullah pergolakan sosial yang terjadi
yang pada akhirnya mencapai kepada suatu titik dimana adanya perpecahan hubungan
kekerabatan seluruh keturunan Tatea Bulan, maka pada akhirnya Tatea Bulan dan Raja
51 Tambun Siahaan, Prinsip Dalihan Na Tolu dan Gotong Royong pada Masyarakat Batak (Jakarta:
LP3ES, 1984), 126. 52 N Siahaan, Sejarah Kebudayaan Batak (Medan: C.V Napitupulu dan Sons, 1964), 85.
60
Isumbaon membuat konsep falsafah, aturan, atau juga adat tentang Batasan-batasan hubugan
kekerabatan antar sesama keturunan, tetapi dalam membuat aturan tersebut tidak secara
tertulis melainkan secara lisan, maka tujuan dari Dalihan Na Tolu ialah untuk membentuk
suatu sistem kekerabatan yang patuh kepada adat yang telah dirintis oleh Siraja Batak dan
juga penetapan hukuman kepada yang melanggarnya. 53
Kata dalihan na tolu juga diartikan dengan tungku nan tiga, jadi dapat diumpakan
kalau masyarakat Batak sebagai sebuah kuali maka dalihan na tolu itu tungkunya dan
biasanya tungku yang dipakai terdiri dari tiga batu dan tungku itu terbuat dari besi terdiri dari
tiga kaki, dan dari tiga kaki itulah tungku menjadi kuat sebagai tempat duduk untuk priuk dan
terjadinya keseimbangan.
3.13 Mangongkal Holi Dalam Batak Kristen Diaspora
Dalam bagian ini penulis akan mengutip pendapat para responden yang kemudian
dianalisa menurut teori yang dipakai dan pandangan-pandangan tokoh lainnya. Penulis
berupaya untuk mengangkat bagaimana cara berpikir para responden mengenai mangongkal
holi. Para responden mengatakan bahwa mangongkal holi merupakan wujud dari suatu
penghormatan kepada leluhur atau orang tua berdasarkan pada keyakinan mereka, di dalam
upacara ini tidak ada keinginan untuk menjadikan atau mengangkat para leluhur atau orang
tua menjadi “Tuhan” yang disembah, dalam upacara mangongkal holi ini pandangan mereka
bukan mengenai suatu praktik penyembahan melainkan suatu bentuk ekspresi
“penghormatan” menurut SP.54
53 Ibrahim Gultom, Agama Malim, 60-61. 54 Wawancara, S Pangaribuan, 10 September 2017, 15.00 WIB.
61
Menurut AP bahwa ketika kamu malukukan upacara mangongkal holi di kota Cane
pada tanggal 17 Oktober ini merupakan wujud dari suatu pengalaman hukum taurat yang
berbicara tentang seorang anak yang harus menghormati ayah dan ibunya, penulis
mencermati pengalaman responden dengan mengutip isi dari hukum taurat ke lima dalam
bahasa Batak yang diawali dengan harus “ingkon” (harus) karena kata ini memberikan suatu
penekanan terhadap orang tua yang merupakan wujud Tuhan yang kelihatan karena
merekalah yang telah melahirkan, merawat dan membesarkan, bagi responden sendiri bahwa
untuk mencintai orang tua tidak mengenal batasan dan waktu, selain itu juga bagi responden
sendiri walaupun mereka sudah mati rasa cinta dan hormat tidak akan mati. Sama halnya
dengan Yakub yang ketika ia mati memberikan perintah kepada Yusuf untuk berjanji ketika
Yakub mati haruslah dibawa pulang ke tanah Kanaan supaya dikuburkan bersama-sama para
leluhurnya, maka sebaliknya ketika Yusuf pun mati, ia harus berpesan kepada saudara-
saudaranya untuk dikuburkan ditanah Israel.
Selain itu juga AP mengatakan bahwa kalau sudah melakukan adat na gok
(sempurna/adat yang penuh) maka kami telah memiliki nama baru yaitu pomparan Ompu
Rouli Pangaribuan dan apabila ada pesta adat maka kami memakai nama ini, ketika kami
dipanggil juga maka nama ini menjadi identitas kami sebagai pomparan Ompu tersebut.55
Selain itu juga ada responden yang mengatakan bahwa upacara mangongkal holi lahir
dari rasa kekeluargaan dan cinta kasih di antara sesama anggota keluarga. Perasaan seperti
itulah yang mendorong anggota keluarga untuk bergotong royong baik untuk memberikan
pikiran, tenaga, dan juga materi, serta menggerakan anggota keluarga yang berada ditempat
lain untuk datang berkumpul dan melakukan acara ritual bersama. Karena dengan motivasi
55 Hasil Wawancara dengan A. Pangaribuan 10 September 2017
62
seperti itulah yang membuat upacara mangongkal holi dipahami sebagai ungkapan syukur
kepada Tuhan, upacara mangongkal holi sebagai ungkapan tanda kasih sayang kita terhadap
orang tua yang sudah meninggal, dan juga mengingatkan kita akan masa lalu dimana kasih
sayang mereka terhadap kita yang mereka berikan kepada kita semasa hidupnya, orang tua
Batak mati-matian menyekolahkan anak-anaknya agar dapat berhasil, karena buat mereka,
anak-anaknya yang kelak akan membawa namanya, memang perjuangan orang tua tidak
dapat dibayar dengan materi.56
Selain itu penulis menemukan dalam wawancara dengan responden yang mengatakan
pentingnya ungkapan dan pengakuan manusia beradat dalam sosial masyarakat Batak, hal ini
diungkapkan oleh OAS yang melihat mangongkal holi berkaitan dengan nilai manusia di
tengah pesekutuan masyarakat. Selain itu juga OAS mengatakan bahwa mangongkal holi
merupakan satu tradisi adat Batak, selain itu juga bahwa mangongkal holi merupakan
penghormatan kepada orang tua. Dalam kekristenan Ketika mangongkal holi jangan ada yang
menangis, jangan juga mangongkal holi menjadikan tulang-belulang itu sebagai berhala atau
disembah, jangan juga ada yang menari (marnortor) dalam mangongkal holi, supaya sampai
berlanjut sampai sekarang yang mangongkal holi.
Ungkapan manusia ber-adat menjadi sebuah istilah yang sangat penting bagi
masyarakat Batak sehingga bila disebutkan hal sebaliknya manusia tidak ber-adat (tidak
maradat) menjadi istilah yang sangat sensitive karena memberi stigma yang sangat negatif
sehingga harus dihindari. Daripada dapat dilihat adanya nilai-nilai tertentu yang harus dijaga
dan coba untuk diwujud nyatakan oleh masyarakat Batak untuk menunjukkan suatu nilai dan
status sosial di tengah-tengah masyarakat yaitu; manusia beradat (maradat). Dengan sebutan
56 Hasil Wawancara dengan Op. Pangaribuan 11 September 2017
63
manusia maradat berarti dia adalah manusia yang menjaga harmoni dan stabilitas
keberlangsungan kehidupan serta relasi dirinya dengan orang tua, keluarga, masyarakat dan
Tuhan. Maka dengan menjadi manusia beradat merupakan suatu posisi yang anti terhadap
penjagaan nilai-nilai, etika hukum, norma, solidaritas, dan harmoni, serta keberlangsungan
hidup. Pentingnya upacara mangongkal holi ialah untuk mengangkat dereajat marga dan
keluarga, serta merupakan budaya Batak yang sudah ada sejak zaman dulu, dalam upacara
mangongkal holi apabila upacara itu besar maka dibuatlah simbol kerbau bagi mereka karena
sudah dipenuhinya sebuah adat penghormatan kepada orang tuanya. Dengan simbol tersebut
maka orang dapat melihat bahwa keluarga tersebut sudah menjadi keluarga besar.57
Ghazali mengatakan dalam bukunya bahwa menjadi manusia yang bertatakrama dan
hidup dalam norma adalah suatu tuntutan yang umum di dalam kehidupan sosial manusia,
oleh sebab itu manusia menciptakan serangkaian adat istiadat, bahasa, benda-benda, seni dan
tarian sehingga membantu manusia dalam keberlangsungan hidup bermasyarakat dan juga
menjaga hubungan dengan sesama dalam relasi sosial yang harmonis. Penghormatan kepada
leluhur adalah suatu praktik budaya yang merupakan suatu nilai yang dianggap sangat
penting tingah-tengah masyarakat dan sudah dianggap sebagai norma umum, maka dalam hal
ini, mereka yang sudah mati tidak “diilahikan” tetapi diberikan suatu tempat khusus di
tengah-tengah sebuah komunitas untuk menjadikan mereka sebagai makhluk yang dihormati.
Upacara yang dilakukan merupakan fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas
masyarakat dan juga bukan semata-mata menjalankan kewajiban adat, atau rasa bakti tetapi
sudah menjadi kewajiban sosial.58 Dalam penelitian yang dilakukan, penulis disini mencoba
57 Hasil Wawancara dengan Op A. Sitinjak 12 September 2017 58 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan,
dan Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), 91.
64
untuk melihat cara berpikir manusia yang meliputi; genealogical imangination dan imagined
community yang telah mendorong manusia untuk menyusun kembali narasi tentang identitas,
genealogi dan komunitasnya. Reissman mengatakan bahwa identitas baik secara personal
maupun komunal senantiasa dikonstruksikan melalui serangkaian cerita yang disusun dan
diberitakan kepada orang lain dan mereka dapat sehingga dapat memahami kelompok kita
atau bahkan sebaliknya. Karena itu pentingnya untuk melihat mangongkal holi lebih dari
sekedar ritus budaya tetapi suatu narasi yang dideskonstruksikan oleh pelakunya.59
Di sisi lain penulis menemukan responden yang pernah melakukan upacara
mangongkal holi pada tanggal 6 Agustus 2017, di kota Bandung untuk dibawa ke kampung
Limbong, sebelum di bawa ke kampung Limbong mereka melakukan upacara mangongkal
holi, FL mengatakan bahwa ada tahapan dalam melakukan mangongkal holi yaitu; pertama-
tama adalah sebelum mangongkal holi adanya ibadah yang di damping oleh pendeta, agar
tidak simpang siur pemahaman akan mangongkal holi dan agar diberkati Tuhan
keturunannya maupun acaranya berlangsung dengan baik dan lancar. Setelah ibadah
kemudian acara adat, yang terpenting adalah hula-hula (karena yang di digali adalah
perempuan), yang pertama yang menggali diawali oleh pendeta, kemudian anaknya, dilanjut
oleh hula-hula, dan setelah itu kemudian digalilah oleh orang-orang yang di sekitar daerah
tersebut agar cepat digalinya mereka kemudian memberi uang.
Setelah digali diangkat yang menerima tulang-tulang tersebut ialah tulangnya, setelah
diambil dicuci, dengan asam, kunyit dan demban, supaya tidak ada bakteri lagi, kemudian
dimasukkan ke kain putih, kain putih merupakan simbol kesucian dikarenakan orang mayat
sudah suci dan sudah bersatu dengan Tuhan, ketika dimasukkan ke kain putih harus disusun
59 Cathrine Kohler Reissman, Narative Methods for the Human Sciences (Los Angeles: Sage pulication,
2008), 8.
65
terlebih dahulu kemudian di pakaikan ulos, dan diangkat oleh boru yaitu istri dari anak
pertama setelah itu dibawa kegerja dan tidak boleh dibawa kerumah. Bagi FL, bahwa penting
melakukan upacara mangongkal holi, yaitu untuk menghormati leluhur, salah satu cara
menghormatinya yaitu dengan di tempatkannya ke tempat yang layak yaitu di simen (tugu).
FL juga mengatakan bahwa mangongkal holi ialah sebagai tanda pemenuhan adat
pemakaman kepada orang tua mereka. Selain itu juga FL mengatakan bahwa ketika kami
melakukan upacara tersebut itu berarti selesailah adat untuk orang tua dan itu tandanya orang
tua kami adalah orang yang sudah memiliki hamoraon, hagabeon, dan hasangapon yang
menjadi rangkaian adat kepada orang tua kita.60
Selain itu penulis menemukan responden, FS mengatakan bahwa mangongkal holi
merupakan suatu tradisi sebagai bentuk penghormatan, apabila keluarganya sudah mampu
untuk melakukan upacara mangongkal holi maka upacara tersebut dapat mengangkat harkat
orang tua untuk ditempatkan yang lebih supaya bersatu dengan orang tua yang lain atau
leluhur. Selain itu juga FS mengatakan bahwa yang melakukan upacara mangongkal holi
ialah mereka yang mau melakukannya, karena tergantung dari kemampuan mereka apakah
mereka mau melakukannya atau tidak selain itu menyangkut dana, apabila dananya sudah
mencukupi maka itu dapat terlaksanakan, karena dalam melakukan upacara tersebut harus
mengundang saudara-saudara baik itu yang ada diperantauan maupun yang ada dikampung
halaman. Responden juga mengatakan menganai waktu karena untuk melakukan upacara
mangongkal holi diperlukan waktu yang panjang kurang lebih sekitar lima sampai sepuluh
tahun agar tidak ada lagi daging dari orang yang sudah meninggal tersebut atau bisa
60 Hasil Wawancara dengan F. br Limbong 18 September 2017
66
dikakatan sampai membusuk dan yang tersisa hanyalah tengkoraknya saja sehingga itu dapat
diangkat.
Menurut FS mengenai pandangan Batak diaspora tentang mangongkal holi ialah
bahwa, bila masih seumur dengan mereka yang sudah tua mereka berpikir itu pasti mereka
mengerti, akan tetapi bila orang Batak yang sudah lahir di tanah rantau tergantung keterangan
apa yang diberitahukan oleh orang tuanya dan mereka tidak peduli lagi Sebelum melakukan
mangongkal holi perlu ada suatu musyawarah (martonggo raja), supaya terjadi mufakat
untuk melakukan acara mangongkal holi, dan yang ada disitu ialah tulang (bila bapa yang
meninggal), dan hula-hula (bila ibu yang meninggal), dan apabila sudah terjadi kata mufakat
maka acara dapat berjalan secara adat. Selain itu juga disisi lain diperlukan dana yang cukup
besar untuk melakukan upacara tersebut karena akan banyak mengundang saudara-saudara
baik yang ada di kampung maupun yang ada di perantauan. Selain ajang untuk mengangkat
harkat dan martabat orang tua atau leluhur ketempat yang lebih, tetapi anjang untuk
bertemunya keluarga yang dari rantau dan yang terdapat dikampung halaman sehingga
mereka dapat mengenang masa lalu mereka.61
Penulis juga menemukan adanya suatu pemahaman dari SS, yang mengatakan bahwa
mangongkal holi merupakan tambahan untuk budaya Batak karena adat yang dominan dalam
adat Batak ialah penghormatan kepada orang mati, karena menyangkut kehidupan orang
Batak, dalam sejarahnya mangongkal holi pada zaman pra-Kekristenan pada saat itu ketika
setelah digali tulang-tulang dari orang yang sudah meninggal tidak dibawa kegereja
melainkan dibawa kerumah lalu mereka menyembah tulang-tulang itu, marnortor, ditangisi,
dan menurut sejarahnya bahwa upacara tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyang orang
61 Hasil Wawancara dengan F. Simbolon 19 September 2017
67
Batak, karena nenek moyang orang Batak tidak terlepas dari adat istiadat. Ketika kekristenan
masuk ke tanah Batak maka dalam segi pelaksanaan maka pada acara mangongkal holi
setelah di gali tulang-tulangnya disimpan di peti lalu ditutup oleh ulos yang merupakan
simbol dari kehidupan (supaya kehidupan semakin diberkati dan panjang umur) setelah itu
kemudian tulang-belulangnya dibawa kegereja untuk disimpan apabila itu belum dibawa ke
tana Batak, setelah sampai di tanah Batak maka kemudian di masukkan ke tugu (suatu simbol
yang tepat untuk proses kesatuan marga dan bukti penghormatan kepada nenek moyang), ini
mau menunjukkan bahwa tradisi orang Batak untuk menghormati leluhur atau orang tua
sebelum datangnya Kekristen tetap berlangsung sampai Kekristen datang ke tanah Batak.
Selain itu tugu merupakan simbol kebatakan (marga) dan simbol untuk kebatakan (adat),
karena melalui tugu, orang Batak membentuk kebatakannya, mempersatukan masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang.62
Bagi DP mangongkal holi bahwa upacara mangongkal holi tidak hanya meninggikan
status sosial leluhur tetapi juga meninggikan status mereka sebagai keturunan para leluhur,
dalam penuturannya bahwa ada tiga hal yang dicari oleh masyarakat Batak yaitu Hamoraon
(kekayaan), Hagabeon (keturunan yang banyak), dan Hasangapon (kehormatan) nyata di
ketiganya sangatlah penting dalam orang Batak, karena lewat upacara ini, tampaklah bahwa
orang tua dan kakek yang sudah digali tulang-belulangnya itu adalah orang yang memiliki
ketiganya63
Selain itu juga menurut RP bahwa dengan berlangsungnya upacara mangongkal holi
bertujuan untuk menguatkan antara sesama anggota keluarga yang berdomisili di tempat-
tempat yang berbeda dan lewat upacara ini juga mereka dapat saling mengenal dan terlebih
62 Wawancara Via telephone, Pdt.S.M Simbolon, 20 September 2017, 14.30 WIB 63 Wawancara D. Pangaribuan 21 September 2017 17.00 WIB
68
lagi saling belajar memahami satu sama lainnya serta di bangun harapan agar keluarga ini
dapat tetap bersatu, saling menopang dan membantu agar anggota keluarga tersebut dapat
berhasil. Upacara ini juga membuat relasi bukan saja terbatas pada pertalian keluarga tetapi
menjadi koneksi dan relasi sekampung halaman. Karena yang paling menonjol dalam
upacara ini ialah adanya sikap sehati, sepikiran, dan sepenanggungan serta adanya sikap
solidaritas antara keluarga, karena upacara yang seperti ini merupakan acara yang besar dan
bukan upacara yang main-main, apabila setiap orang menonjolkan dirinya maka akan terjadi
perpecahan antara keluarga, tetapi disinilah kita harus hidup rukun antara kakak-beradik, bisa
damai dan tertawa bersama, apalagi kita harus menerima keluarga dari pihak masing-masing
karena itulah yang harus di jaga. Karena itu upacara mangongkal holi memperluas makna
“keluarga” dan “saudara/I” yang tadinya hanya ditunjukan hanya kepada keluarga kandung
(sedarah daging) kini ditujukan kepada anggota masyarakat yang manjemuk.64
Lewat pemaknaan ini, maka solidaritas tidak lagi berbicara sebatas rasa tanggung
jawab kepada anggota tetapi juga orang yang diluar keluarga seperti teman sekampung.
Disamping itu juga, upacara mangongkal holi membuat batas tegas antara orang kota dan
orang kampung menjadi kabur, karena lewat upacara mangongkal holi telah membuat semua
orang dan tempat menjadi terhubung.
Penulis juga mendapatkan responden yang mengatakan pada acara mangongkal holi
itu penting karena menurut pandangan BSP mengatakan bahwa untuk mengingatkan siapa
kita, karena banyak orang Batak yang sudah hidup di rantau dan jaya, lupa sama
keluarganya. Orang Batak yang sudah di rantau terkadang mereka ada yang melakukan
upacara mangongkal holi dan juga ada yang tidak karena untuk melakukan itu diperlukan
64 Hasil Wawancara dengan R. Pangaribuan 22 September 2017
69
dana yang cukup besar dan harus mengadakan pesta. Melakukan upacara tersebut pastilah
harus dengan adat Batak, di awali dengan musyawarah, acara gereja, lalu barulah mulai
penggalian. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua dan sebagai tradisi,
upacara ini juga mengingatkan kita akan pentingnya suatu pembelajaran bagi orang Batak
yang hidup di zaman sekarang dan yang sudah hidup merantau ditempat lain, sudah hidupnya
terjamin atau sudah jaya, lupa sama keluarga, ini orang yang simbong yang tidak tahu siapa
dirinya, lewat upacara ini maka kita harus merenung atau intropeksi diri, bahwa kita
benginilah dulunya, orang tua dan kakek memperjuangkan kehidupan kita supaya menjadi
manusia, maka di dalam upacara ini rasa kekeluargaan semakin ditekan, harus saling tolong-
menolong, dan sama-sama memiliki tanggung jawab serta saling bersatu.65
Penulis menemukan responden yang mengatakan bahwa upacara mangongkal holi
dari sisi adat itu merupakan suatu penghormatan kepada leluhur, akan tetapi di sisi lain
adalah karena adanya pergusuran oleh pemerintah sehingga mereka melakukan upacara
mangongkal holi, akan tetapi, Mangongkal holi tidak terlalu penting, karena dari sisi dana
bahwa upacara mangongkal holi perlu memakan biaya yang sangat banyak Apabila dilihat
dari sisi adat maka mangongkal holi merupakan suatu penghormatan terhadap orang tua,
tetapi apabila dilihat dari sisi pemerintah, maka adanya suatu penggusuran yang dilakukan
sehingga mereka harus melakukan upacara mangongkal holi, tetapi upacara ini tidak terlalu
sangat penting karena menyangkut biaya, dan membutuhkan persiapan yang baik serta dapat
meluangkan waktu, karena melakukan upacara tersebut memerlukan waktu yang panjang.
Apabila mereka memiliki sebidang tanah maka mereka dapat membangun tugu dan tempat
dimana tugu itu berdiri menjadi milik keluarga tersebut dan diakuioleh semuat keluarga serta
65 Hasil Wawancara Via telepon dengan B.S Pangaribuan, 26 Oktober 2017
70
tidak ada yang mengganggu gugat akan hal itu. Orang Batak memliki tanh pusaka yang
diwariskan oleh leluhur kepada keturunannya, tetapi ada juga yang tidak memiliki tanah
warisan.66
66 Hasil Wawancara Via telepon dengan R.S br. Pasaribu, 30 Oktober 2017