BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. …

47
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Nomor 59/Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg, Putusan Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 Sebelum menelaah lebih jauh mengenai putusan Hakim yang memberikan vonis pemidanaan, pertimbangan Hakim maupun penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan terdakwa Angelina Sondakh dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Peneliti terlebih dahulu akan menyajikan deskripsi kasus sebagai berikut: 1. Kasus Posisi ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH sebagai Anggota Komisi X (sepuluh) DPR RI selanjutnya diangkat sebagai Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Komisi X (sepuluh) sebagaimana Keputusan DPR RI Nomor: 48/DPRRI/I/2009-2010 yang mempunyai kewenangan, salah satunya membahas bersama Pemerintah dalam menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap Kementrian/Lembaga dalam menyusun usulan anggaran. Berdasarkan kesepakatan internal di Komisi X (sepuluh) ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH ditunjuk menjadi Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran Komisi (X) yang bertugas menindak lanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja antara lain Kemendiknas dan Kemenpora yang dibahas melalui Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran DPR RI. 72

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. …

72

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam

Putusan Nomor 59/Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg, Putusan Nomor :

11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013

Sebelum menelaah lebih jauh mengenai putusan Hakim yang

memberikan vonis pemidanaan, pertimbangan Hakim maupun penerapan

sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan terdakwa

Angelina Sondakh dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :

54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor

: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1616

K/PID.SUS/2013 (Terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan

pemidanaan. Peneliti terlebih dahulu akan menyajikan deskripsi kasus sebagai

berikut:

1. Kasus Posisi

ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH sebagai

Anggota Komisi X (sepuluh) DPR RI selanjutnya diangkat sebagai

Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Komisi X (sepuluh) sebagaimana

Keputusan DPR RI Nomor: 48/DPRRI/I/2009-2010 yang mempunyai

kewenangan, salah satunya membahas bersama Pemerintah dalam

menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas

anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap Kementrian/Lembaga dalam

menyusun usulan anggaran. Berdasarkan kesepakatan internal di Komisi

X (sepuluh) ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH ditunjuk

menjadi Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran Komisi (X)

yang bertugas menindak lanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja

antara lain Kemendiknas dan Kemenpora yang dibahas melalui Rapat

Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran DPR RI.

72

73

ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH diajak

Muhammad Nazaruddin merupakan rekan sesama anggota DPR RI dari

Partai Demokrat bertemu dengan Mindo Rosalina Manulang serta

beberapa orang lainnya dari Permai Grup antara lain Gerhana Sianipar,

Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di Restoran Nippon Kan di

Hotel Sultan Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu Muhammad Nazaruddin

memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang dari

Permai Grup tersebut sebagai Pengusaha. Muhammad Nazaruddin juga

menjelaskan kepada Terdakwa bahwa pada saat dirinya masih menjadi

Pengusaha, mereka bergabung bersama dalam sebuah konsorsium, tetapi

setelah Muhammad Nazaruddin menjadi Anggota DPR RI maka Mindo

Rosalina Manulang yang akan maju menggantikannya untuk nanti

berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyek-

proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan di

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Setelah berkenalan

lalu Terdakwa dan Mindo Rosalina Manulang saling bertukar Nomor

Handphone dan PIN (Personal Identification Number) Blackberry dalam

rangka memudahkan hubungan komunikasi selanjutnya.

Menindaklanjuti perkenalan tersebut maka sekitar awal tahun

2010 Mindo Rosalina Manulang menghubungi Terdakwa untuk bertemu

kembali dan Terdakwa mempersilahkan Mindo Rosalina Manulang

menemuinya di Apartemen Bellezza depan ITC Permata Hijau Jakarta

Selatan. Pada pertemuan itu Mindo Rosalina Manulang menanyakan

kesediaan Terdakwa untuk menggiring anggaran di Kemendiknas dan di

Kemenpora, yakni mengusahakan agar program kegiatan berupa Proyek-

Proyek Pembangunan/Pengadaan dan Nilai Anggarannya dapat sesuai

dengan permintaan Permai Grup. Terdakwa kemudian menyanggupi

permintaan tersebut dan meminta agar proyek pada program kegiatan

yang akan diusulkan Permai Grup dibuatkan daftar (list) nya lalu

diserahkan kepada Terdakwa. Selain itu terdakwa juga menambahkan

bahwa khusus untuk proyek pada program pendidikan tinggi di

Kemendiknas harus dilengkapi dengan adanya proposal usulan kegiatan

dari Universitas-Universitas ke Biro Perencanaan Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendiknas karena apabila usulan

dari universitas belum ada maka tidak bisa dilakukan pembahasan di

DPR Republik Indonesi.

Atas jawaban dari Terdakwa maka beberapa hari kemudian

Mindo Rosalina Manulang melaporkan hal itu dalam rapat di kantor

Permai Grup yang dihadiri Muhammad Nazaruddin selaku pemilik

(owner) Permai Grup. Terhadap laporan Mindo Rosalina Manulang

bahwa Terdakwa bersedia membantu menggiring anggaran di

Kemendiknas dan di Kemenpora, maka Muhammad Nazaruddin

memerintahkan Mindo Rosalina Manulang untuk mengecek ke Biro

Perencanaan Ditjen Dikti Kemendiknas terhadap usulan dari berbagai

Universitas Negeri untuk proyek yang akan dianggarkan Kemendiknas

pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010

74

maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2011, selain itu

Muhammad Nazaruddin juga memerintahkan Mindo Rosalina Manulang

untuk menemui beberapa Rektor Universitas Negeri terkait pengajuan

proposal usulan Universitas ke Ditjen Dikti Kemendiknas. Sedangkan

terhadap proyek yang akan dianggarkan di Kemenpora maka Muhammad

Nazaruddin memperkenalkan Mindo Rosalina Manulang dengan Wafid

Muharam yang menjabat sebagai Sekretaris Menteri Pemuda dan

Olahraga (Sesmenpora) sekitar bulan Maret 2010 di Restoran Arcadia

Senayan Jakarta, agar Mindo Rosalina Manulang dapat berhubungan

langsung dengan pihak Kemenpora terkait pengajuan usulan proyek

pembangunan Wisma Atlet yang akan dianggarkan pada APBN-P 2010.

Terdakwa selanjutnya kembali bertemu dengan Mindo Rosalina

Manulang sekitar awal bulan Maret 2010 di kantor Terdakwa di Ruang

2301 Gedung Nusantara I kantor DPR RI, yang pada pertemuan itu

Mindo Rosalina Manulang menyampaikan bahwa ia telah melakukan

pengecekan terhadap Proposal Usulan Universitas-Universitas Negeri

yang masuk di Ditjen Dikti Kemendiknas serta hendak menyerahkan

daftar (list) kegiatan sekaligus usulan besarnya anggaran yang diinginkan

Permai Grup, namun Terdakwa mengatakan bahwa ia akan mempelajari

terlebih dahulu dan nanti dikomunikasikan lagi dengan Mindo Rosalina

Manulang. Barulah sekitar pertengahan bulan Maret 2010, Terdakwa

mengadakan pertemuan kembali dengan Mindo Rosalina Manulang di

Plaza FX Senayan dan dalam pertemuan kali ini Terdakwa menyanggupi

permintaan penggiringan anggaran yang diinginkan Permai Grup dengan

meminta imbalan uang (fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari nilai proyek

dan fee tersebut sudah harus diberikan kepada Terdakwa sebesar 50%

(lima puluh persen) pada saat pembahasan dilakukan dan sisanya 50%

(lima puluh persen) setelah DIPA turun atau disetujui. Terhadap

permintaan Terdakwa tersebut maka esok harinya Mindo Rosalina

Manulang melaporkan kepada Muhammad Nazaruddin selaku pemilik

(owner) Permai Grup dalam rapat di kantor Permai Grup, lalu

Muhammad Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina Manulang

untuk menawar sebesar 5% (lima persen) dan imbalan uangnya (fee) baru

bisa diberikan setelah DIPA turun atau disetujui. Beberapa hari kemudian

Mindo Rosalina Manulang kembali menemui Terdakwa di kantor DPR

RI lalu menyampaikan bahwa imbalan uang (fee) dalam rangka

menggiring anggaran tersebut supaya dapat dikurangi menjadi sebesar

5% (lima persen) saja dan akan diberikan kepada Terdakwa setelah DIPA

turun atau disetujui.

Sebagai tindak lanjut upaya menggiring anggaran di

Kemendiknas agar sesuai dengan permintaan Permai Grup, selanjutnya

Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-rapat di Badan

Anggaran DPR RI yang membahas alokasi Anggaran APBN-P 2010 dan

APBN 2011, bahkan pada pembahasan Anggaran Program Pendidikan

Tinggi Kemendiknas, Terdakwa ikut mengajukan usulan program

kegiatan untuk sejumlah Perguruan Tinggi yang awalnya tidak diusulkan

75

oleh Ditjen Dikti Kemendiknas namun kemudian diusulkan sebagai

usulan aspirasi dari Komisi X (sepuluh). Selain itu Terdakwa juga

beberapa kali memanggil Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto (Kabag

Perencanaan dan Penganggaran Ditjen Dikti Kemendiknas) ke kantor

DPR RI untuk membahas alokasi anggaran yang akan diusulkan

Kemendiknas, serta meminta agar Harris Iskandar dan Dadang Sudiyarto

memprioritaskan pemberian alokasi anggaran terhadap beberapa

perguruan tinggi yang diusulkan Terdakwa.

Bahwa sebagai realisasi dari permintaan imbalan uang (fee)

sebesar 5% (lima persen) dari nilai proyek-proyek yang akan

dianggarkan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada Terdakwa

tersebut, maka Permai Grup memberikan sebesar Rp 12.580.000.000,00

(dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US

$.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika

Serikat) secara bertahap. Terdakwa menyanggupi akan mengusahakan

supaya anggaran untuk proyek pembangunan/pengadaan pada Program

Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)

dan program pengadaan sarana dan prasarana di Kementerian Pemuda

dan Olahraga (Kemenpora) dapat disesuaikan dengan permintaan Permai

Grup karena nantinya proyek-proyek tersebut akan dikerjakan oleh

Permai Grup ataupun pihak lain yang telah dikoordinasikan oleh Permai

Grup.

2. Perbandingan Putusan Hakim

No Unsur-Unsur PN PT Kasasi

1 Dakwaan 1) Pasal 12 huruf

a jo Pasal 18

Undang-

undang Nomor

31 Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-

undang Nomor

20 Tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

2) Pasal 11 jo

Pasal 18

Undang-

undang Nomor

31 Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana Korupsi

sebagai mana

1) Pasal 12

huruf a jo

Pasal 18

Undang-

undang

Nomor 31

Tahun 1999

tentang

Tindak

Pidana

Korupsi

sebagai

mana diubah

dengan

Undang-

undang

Nomor 20

Tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1)

KUHP

2) Pasal 5 ayat

1) Pasal 12 huruf a jo

Pasal 18 Undang-

undang Nomor 31

Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-undang

Nomor 20 Tahun

2001 jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

2) Pasal 5 ayat (2) jo

Pasal 5 ayat (1)

huruf e jpo Pasal

18 Undang-undang

Nomor 31 Tahun

1999 tentang

Tindak Pidana

Korupsi yang telah

diubah dengan

Undang-undang

76

No Unsur-Unsur PN PT Kasasi

diubah dengan

Undang-

undang Nomor

20 Tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

(2) jo Pasal 5

ayat (1)

huruf e jpo

Pasal 18

Undang-

undang

Nomor 31

Tahun 1999

tentang

Tindak

Pidana

Korupsi

yang telah

diubah

dengan

Undang-

undang

Nomor 20

tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1)

KUHP

3) Pasal 11 jo

Pasal 18

Undang-

undang Nomor

31 Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana

Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-

undang Nomor

20 Tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

Nomor 20 tahun

2001 jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

3) Pasal 11 jo Pasal 18

Undang-undang

Nomor 31 Tahun

1999 tentang

Tindak Pidana

Korupsi sebagai

mana diubah

dengan Undang-

undang Nomor 20

Tahun 2001 jo

Pasal 64 ayat (1)

KUHP

2 Tuntutan Pasal 11 jo Pasal

18 Undang-

undang Nomor 31

Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-undang

Nomor 20 Tahun

2001 jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

Pasal 12 huruf

a jo Pasal 18

Undang-

undang Nomor

31 Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana

Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-

undang Nomor

Pasal 12 huruf a jo

Pasal 18 Undang-

undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Korupsi

sebagai mana diubah

dengan Undang-

undang Nomor 20

Tahun 2001 jo Pasal

64 ayat (1) KUHP

77

No Unsur-Unsur PN PT Kasasi

20 Tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

3 Pertimbangan

Unsur yuridis Unsur-unsur di

dalam Pasal 11 jo

Pasal 18 Undang-

undang Nomor 31

Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-undang

Nomor 20 Tahun

2001 jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

Unsur-unsur di

dalam Pasal 12

huruf a jo

Pasal 18

Undang-

undang Nomor

31 Tahun 1999

tentang Tindak

Pidana

Korupsi

sebagai mana

diubah dengan

Undang-

undang Nomor

20 Tahun 2001

jo Pasal 64

ayat (1) KUHP

Unsur-unsur di dalam

Pasal 12 huruf a jo

Pasal 18 Undang-

undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Korupsi

sebagai mana diubah

dengan Undang-

undang Nomor 20

Tahun 2001 jo Pasal

64 ayat (1) KUHP

4 Faktor yang

memberatkan

Dapat memicu

tindak pidana

korupsi berikunya

dalam

penggiringan

pemenangan

tender proyek,

perbuatan

terdakwa tidak

mendukung

program

pemerintah dalam

memberantasa

tindak pidana

korupsi,

perbuatan

terdakwa dapat

merenggut hak

sosial dan hak

ekonomi

masyarakat,

terdakwa

merupakan wakil

rakyat dan publik

figure, tidak

mengakui dan

Dapat memicu

tindak pidana

korupsi

berikunya

dalam

penggiringan

pemenangan

tender proyek,

perbuatan

terdakwa tidak

mendukung

program

pemerintah

dalam

memberantasa

tindak pidana

korupsi,

perbuatan

terdakwa dapat

merenggut hak

sosial dan hak

ekonomi

masyarakat,

terdakwa

merupakan

wakil rakyat

78

No Unsur-Unsur PN PT Kasasi

menyesali

perbuatanya

dan publik

figure, tidak

mengakui dan

menyesali

perbuatanya

5 Faktor yang

meringankan

Terdakwa berlaku

sopan dalam

persidangan,

terdakwa

merupakan orang

tua tungal dan

mempunyai

tanggungan

keluarga yakni

anak-anak yang

masih kecil,

terdakwa belum

pernah dihukum

dan masih berusia

muda, terdakwa

memiliki jasa

pernah mewakili

bangsa dan negara

Indonesia di

forum nasional

dan internasional

dan terdkawa

pernah

mendapatkan

penghargaan dari

Menteri Sosial

Republik

Indonesia

Terdakwa

berlaku sopan

dalam

persidangan,

terdakwa

merupakan

orang tua

tungal dan

mempunyai

tanggungan

keluarga yakni

anak-anak

yang masih

kecil, terdakwa

belum pernah

dihukum dan

masih berusia

muda,

terdakwa

memiliki jasa

pernah

mewakili

bangsa dan

negara

Indonesia di

forum nasional

dan

internasional

dan terdkawa

pernah

mendapatkan

penghargaan

dari Menteri

Sosial

Republik

Indonesia

6 Putusan

Penjara 4 tahun 6 bulan 4 tahun 6

bulan

12 tahun

Denda Rp. 250.000.000,- Rp.

250.000.000,-

Rp. 500.000.000,-

Uang

Pengganti

Rp. 12.580.000.000,-

dan US$ 2.350.000,-

79

B. Analisis Pertimbangan Putusan Perkara Ditinjau dari Kajian

Pemidanaan

1. Pertimbangan berat ringannya pidana dalam Penjatuhan putusan

yang dilakukan oleh majelis hakim

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya

dalam pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum

untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan terbukti atau tidak,

sehingga hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana yang tepat sehingga

dapat memberikan efek jera kepada sipelaku. Hal ini memberikan

wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi

pidana kepada para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan sesuai dengan

rasa keadilan masyarakat.

Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal

atau aturan yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan

dilarang. Dalam hal adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum

harus dapat menyidik untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatan

yang dilakukan oleh pelaku benar merupakan suatu tindak pidana. Proses

hukum lalu berlanjut dengan penerapan sanksi untuk mengetahui

peraturan apa saja yang telah dilanggar serta sejauh mana perbuatan

pelaku melanggar perturan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui

proses pembuktian, diputuskanlah sanksi pidana yang akan diterapkan

kepada pelaku.

80

Kasus yang Penulis uraikan di atas merupakan kasus korupsi yang

diduga dilakukan oleh Angelina Sondakh. Akibat perbuatan tersebut,

Negara mengalami kerugian sebesar Rp 12.500.000.000,- dan sebesar

US$ 2.350.000,- sebagai imbalan (fee) kepada terdakwa terkait upaya

menggiring anggaran proyek Wisma Atlit Kemenpora dan proyek-proyek

Universitas Kemendiknas yang diberikan secara bertahap berdasarkan

catatan pengeluaran kas Permai Grup.

Penuntut umum merupakan instansi yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan

dan penetapan pengadilan.1 Salah satu yang menjadi tugas penuntut

umum adalah membuat surat dakwaan yang nantinya akan menjadi dasar

landasan pemeriksaan kasus tersebut pada proses peradilan. Maka dari

itu, surat dakwaan harus disusun dengan cermat dan jelas. Hal ini secara

tegas diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa

surat dakwaan harus memenuhi syarat materiil yang harus menguraikan

secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu

dilakukan.2

Pemilihan bentuk surat dakwaan harus dilakukan dengan

berpedoman pada hasil penyidikan atas tindak pidana yang dilakukan

1 Yahya Harahap, Op. Cit., h. 385 2 PAF Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan

Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, CV. Sinar Baru,

Bandung, 1984, h. 315

81

oleh terdakwa. Jika terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka

dapat digunakan dakwan biasa atau tunggal. Jika terdakwa melakukan

tindak pidana yang lebih dari satu rumusan tindak pidana pada Undang-

Undang dan belum dapat dipastikan ketentuan mana yang telah

dilanggar, maka jaksa dapat menyusun surat dakwaan alternatif atau

subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan perbarengan tindak pidana

(concursus) yang tiap-tiap tindak pidana tersebut berdiri sendiri, maka

dapat digunakan jenis dakwaan kumulatif.

Penjatuhan putusan yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap

pelaku tindak pidana didasarkan pada surat dakwaan yang telah disusun

oleh jaksa. Selain harus berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di

persidangan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib berpedoman

pada hasil pembuktian atas kasus tersebut diikuti dengan pertimbangan

hakim terhadap terdakwa bahwa terdakwa telah terbukti melanggar Pasal

11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64

ayat (1) KUHP.

Sebelum penjatuhan putusan, hakim wajib mempertimbangkan

hal-hal yang dapat memberatkan ataupun meringankan. Perbuatan

terdakwa merupakan perbuatan berlanjut sesuai dengan Pasal 64 KUHP

yang berbunyi :

“Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga demikian harus

dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya

ada satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing

– masing perbuatan itu menjadi kenjahatan atau pelanggaran, jika

82

hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan

terberat hukuman utamanya ”.

Menurut putusan hakim yang telah disebutkan di atas, hakim

menyatakan terdakwa Angelina Sondakh terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara Berlanjut”

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Putusan hakim yang memilih untuk menjatuhkan pidana

berdasarkan dakwaan ketiga yang menggunakan Undang Undang PTPK

menurut Penulis adalah hal yang tepat. Menurut analisis penulis,

pemberian fee terkait upaya menggiring anggaran proyek Wisma Atlit

Kemenpora dan proyek-proyek Universitas Kemendiknas yang diberikan

secara bertahap berdasarkan catatan pengeluaran kas Permai Grup,

merupakan tindak pidana yang dilakukan dalam ruang lingkup korupsi,

maka dari itu, Undang Undang PTPK memiliki kekhususan yang lebih

dibandingkan KUHP.

Selain pemilihan dakwaan yang dijatuhkan kepada terdakwa,

Penulis turut mencermati sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maupun hakim Pengadilan Tinggi

Jakarta terhadap terdakwa Angelina Sondakh. Pada amar putusan, hakim

menjatuhkan pidana penjara 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan

denda sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)

subsider 6 (enam) bulan kurungan. Sanksi pidana juga yang dijatuhkan

83

oleh hakim Mahkamah Agung dengan pidana penjara 12 (dua belas)

tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) serta

uang pengganti sebesar Rp. 12.580.000.000,- dan US$ 2.350.000,-.

Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

hakim, termasuk dalam hal-hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan negara

akan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana yang layak,

patut setimpal dan adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya

dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum yang terbukti di persidangan dan

pidana tersebut juga sebagai pembinaan bagi diri Terdakwa.

Setelah diuraikan pertimbangan-pertimbangan di dalam

menentukan putusan persidangan maka dikaitkan dengan putusan tindak

pidana korupsi dengan terdakwa Angelina Sondakh, di mana dalam

dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, selain merumuskan uraian

pasal yang didakwakan serta pembuktianya didalam surat tuntutan, jaksa

penuntut umum juga telah merumuskan hal hal yang meringankan dan

memberatkan hukuman terdakwa Angelina Sondakh.

Hal-hal yang memberatkan dari diri terdakwa:

a. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat

ini sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi akan

tetapi justru memanfaatkan jabatannya selaku Anggota DPR-RI

untuk melakukan tindak pidana korupsi;

b. Perbuatan terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi

masyarakat karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya

digunakan untuk kepentingan masyarakat;

c. Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak

memberikan teladan yang baik kepada masyarakat;

d. Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya;

84

Sedangkan hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa:

a. Terdakwa bersikap sopan di persidangan;

b. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yakni seorang anak yang

masih kecil;

c. Terdakwa belum pernah dihukum dan relatif masih berusia muda

sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri;

Putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai

pula fakta-fakta yang digunakan, untuk mempertimbangkan berat

ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana.

Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886,

memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana

sebagai berikut:

Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap

kejadian harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif

dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan

perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja yang dilanggar

dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang

ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat

dulu-dulu? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu

langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukan merupakan suatu

perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang

sebelumnya sudah tampak.”

Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini dapat pula

dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat

ringannya pidana dalam praktek peradilan di Indonesia, karena KUHP

pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun 1886. Dalam

perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan-ketentuan yang

merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana.

85

Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun

jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir

bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya

bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.

Mengenai isi putusan, ditentukan secara rinci dan limitatif dalam

Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut:

Surat putusan pemidanaan memuat.

a. Kepala putusan yang ditulis: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan

keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di

sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang

memberatkan dan meringankan terdakwa.

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali

perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua

unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya

dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang

bukti.

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu dan keterangan di

mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap

palsu.

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan.

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang

memutus dan nama panitera.

Mengenai proses pengambilan putusan secara singkat diawali

dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang menyatakan bahwa

86

pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), maka Hakim

mengadakan musyawarah yang dipimpin Ketua Sidang/Ketua Majelis

yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai

hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana pendapat dan

penilaian hakim yang bersangkutan terhadap perkara yang dihadapi.

Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya

dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah

kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat

dakwaan penuntut umum.

Hal-hal formil yang dimaksud misalnya sebagai berikut.

a. Apakah pengadilan negeri di mana majelis hakim bersidang

berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak.

b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat.

c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan

ne bis in iden dan verjaring.

Setelah hal-hal formil ini terpenuhi, maka dilanjutkan dengan

materi perkara.

a. Perbuatan mana yang telah terbukti di persidangan, unsur-unsur

mana yang terbukti dan alat bukti yang mendukungnya serta nama

yang tidak terbukti.

b. Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

tersebut.

c. Apakah hukuman yang patut dan adil yang dijatuhkan kepada

terdakwa atas perbuatannya.

Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan

pendapat atau pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya atas

perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua

Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2)

87

KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan

diambil dengan suara terbanyak.3 Adakalanya para hakim masing-masing

berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak pun tidak

dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih

adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa seperti

yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan (proses)

pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan

yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.

Secara teoritik, setiap pemidanaan harus didasarkan paling sedikit

pada keadaan-keadaan individual yang berkaitan dengan tindak pidana

yang bersangkutan dengan pelaku tindak pidana. Dalam praktinya, hal ini

akan bervariasi baik orang per orang maupun tindak pidana per tindak

pidana dan dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu

tercapai. Untuk itu maka diperlukan hal-hal sebagai berikut: 4

a. Perlunya informasi yang lengkap tentang tindak pidana dan pelaku

tindak pidana.

Dalam hal ini kewaspadaan sangat diperlukan, sebab

pemidanaan harus benar-benar memperhitungkan segala fakta yang

relevan. Situasi peradilan seringkali diwarnai oleh kondisi buatan

(artificial situations) yang berkaitan dengan perbuatan yang

dipertimbangkan lebih dahulu baru kemudian keadaan-keadaan yang

berkaitan dengan si pelaku. Laporan sosial si pelaku sangat

dibutuhkan dan dalam hal-hal tertentu laporan medis juga

diperlukan.

b. Analisis terhadap informasi yang telah diperoleh tentang tindak

pidana, hakikat dakwaan, tingkat gravitas tindak pidana, dalam hal

ini akan diperhitungkan pula baik hal-hal yang memperberat maupun

yang meringankan tindak pidana.

3 Leden Marpaung. Op cit. h. 130 4 Muladi dan Barda Nawawi, Op cit., h. 211

88

Hal-hal yang memperberat yaitu:

a. Pegawai negeri yang melanggar suatu kewajiban jabatan yang

khusus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan atau pada

waktu melakukan tindak pidana mempergunakan kekuasaan,

kesempatan atau upaya yang diberikan kepadanya karena

jabatannya;

b. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan

bendera kebangsaan, lagu kebangsaan atau lambanga negara

republik indonesia;

c. Seseorang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan

keahlian atau profesinya;

d. Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak di

bawah umur 18 tahun;

e. Tindak pidana dilakukan dengan kekuatan bersama, dengan

kekerasan atau dengan cara yang kejam;

f. Tindak pidana dilakukan pada waktu ada huru-hara atau bencana

alam;

g. Tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.

h. Terjadinya pengulangan tindak pidana.

Sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu:

a. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan pada waktu itu

berumur 12 tahun atau lebih tetapi masih di bawah umur 18 tahun;

b. Seseorang mencoba melakukan atau membantu terjadinya tindak

pidana;

c. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela

menyerahkan diri kepada yang berwajib;

d. Seorang wanita hamil muda melakukan tindak pidana;

e. Seseorang setelah melakukan tindak pidana dengan sukarela

memberi ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan

akibat perbuatannya;

f. Seseorang melakukan tindak pidana karea kegoncangan jiwa yang

sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi

atau keluarganya;

g. Pertimbangan yang berkaitan dengan pandangan korban dan

masyarakat.

Pertimbangan ini tidak harus mempengaruhi secara absolut

terhadap kalkulasi pemidanaan, sebab informasi yang berkaitan

dengan tindak pidana dan si pelaku merupakan faktor yang sangat

diperhitungkan. Kelemahannya yang sangat menonjol dalam hal ini

adalah sifat sentimentil dari pandangan ini.

Namun demikian, pandangan si korban dan masyarakat dan

sampai seberapa jauh kompensasi yang telah diberikan misalnya

kepada korban merupakan bahan pertimbangan pemidanaan yang

sangat penting. Dalam kaitannya dengan kedudukan korban dalam

sistem peradilan pidana, tidak menganut procedural right model

yang menempatkan korban sebagai pihak ketiga dalam sistem

89

peradilan tetapi cenderung untuk menggunakan services model,

sebab yang utama adalah bagaimana melayani dan membantu si

korban dalam rangka access to justice.

1) Perhatian terhadap setiap asas pemidanaan dan petunjuk-

petunjuk baik yang bersumber dari perundang-undangan,

yurisprudensi maupun dari kecenderungan-kecenderungan lain

seperti resolusi-resolusi internasional dan sebagainya.

2) Perhatian terhadap bobot pemidanaan baik yang bersifat umum

maupun yang bersifat khusus yang telah diputuskan oleh

pengadilan yang sama atau pengadilan yang lain.

Sekalipun Indonesia tidak menganut asas stare decisis

melalui apa yang dinamakan dengan the binding force of

precedent, tetapi yurisprudensi dari pengadilan dan Mahkamah

Agung merupakan keputusan-keputusan hakim yang perlu

diperhitungkan, khususnya dalam kasus-kasus yang memerlukan

penafsiran dan penjelasan dari yang lebih ahli seperti kasus-

kasus tindak pidana berat dan yang berkaitan dengan

pemidanaan yang bersifat kumulatif.

3) Pertimbangan terhadap tujuan pemidanaan yang hendak

ditetapkan.

Tujuan pemidanaan yang hendak diterapkan dirumuskan

antara lain sebagai berikut:

(1) Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman

masyarakat;

(2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan

berguna;

(3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkanm

rasa damai dalam masyarakat;

(4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

4) Pertimbangan tentang hal-hal yang meringankan yang melekat

pada si pelaku tindak pidana seperti:

(1) Karakter yang baik;

(2) Rasa penyesalan yang dalam;

(3) Mengaku bersalah;

(4) Rekor pekerjaan yang baik;

(5) Masalah keluarga;

(6) Umur;

(7) Tidak cakap;

(8) Kemungkinan stres emosional;

(9) Kondisi fisik yang cacat;

(10) Pendapatan yang sangat rendah;

(11) Akibat provokasi.

90

5) Apabila lebih dari satu pidana diterapkan, perlu dilakukan

pemeriksaan atau peninjauan tentang sampai seberapa jauh efek

keadilan tercapai.

6) Apabila pidana yang pantas jauh lebih berat atau lebih ringan

dari pidana yang bersifat normal, maka harus diberikan alasan-

alasan yang jelas.

a. Teori Pemidanaan

Apabila mendasarkan pada teori pemidanaan di mana di

dalamnya terdapati teori absolut, yang menyatakan bahwa pidana

dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu

kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan

akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada

orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari

pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Oleh karena itu, pemidanaan terhadap Angelina Sondakh merupakan

akibat dari perbuatannya yang merugikan negara dan masyarakat

ditambah dengan jabatannya yang seharusnya berperan sebagai

pelopor pemberantasan tindak kejahatan (korupsi) malah melakukan

tindak kejahatan (korupsi) tersebut.

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan

jelas dalam pendapat Immanuel Kant bahwa “Pidana tidak pernah

dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan

tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi

masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena

orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

91

Teori pemidanaan penganut teori retributief, salah satunya

Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi

dalam beberapa golongan sebagai berikut:5

1) Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist)

yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan

dengan kesalahan si pembuat;

2) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang

dapat pula dibagi dalam:

a) Penganut teori retributif tidak murni (the limiting

retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus

cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh

melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan

terdakwa;

b) Penganut teori retributis yang distributif (retribution in

distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang

berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang

yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus

cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada

pidana tanpa kesalahan dihormati tetapi dimungkinkan

adanya pengecualian midalnya dalam hal “strict liability”.

Berkaitan dengan pemidanaan terhadap terdakwa Angelina

Sondakh, penjatuhan pemidanaan oleh Majelis Hakim Mahkamah

Agung yang lebih berat daripada pemidanaan dari peradilan tingkat

di bawahnya mendasarkan pada teori teori retributis yang distributif

(Retribution in distribution) atau disingkat dengan teori distributif

yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang

yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan

dan dibatasi oleh kesalahan, karena jelas ancaman pidana terhadap

tindak pidana korupsi lebih dari apa yang menjadi vonis Majelis

Hakim Mahkamah Agung, namun Majelis Hakim Mahkamah Agung

5 Ibid. h. 64

92

lebih mempertimbangkan kepada faktor-faktor yang memperberat

terdakwa sebagai seorang pemimpin yang seharusnya menjadi leader

di dalam pemberantasan korupsi dan menjadi teladan bagi

masyarakat karena secara teoritik, setiap pemidanaan harus

didasarkan paling sedikit pada keadaan-keadaan individual yang

berkaitan dengan tindak pidana yang bersangkutan dengan pelaku

tindak pidana. Meskipun dalam praktiknya, hal ini akan bervariasi

baik orang per orang maupun tindak pidana per tindak pidana dan

dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai.

b. Teori tanggung jawab hukum

Ditinjau dari teori tanggung jawab hukum, maka pemidanaan

terhadap Terdakwa Angelina Sondakh merupakan tanggung jawab

subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan

hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian.

Tanggung jawab atau verantwoordelijkeheid adalah

kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian

yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam

bidang administrasi.

Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang

dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan

perbuatan melawan hukum atau tindak pidana sehingga yang

bersangkutan dapat dituntut membayar ganti rugi dan atau

menjalankan pidana.

93

c. Teori Keadilan

Apabila dilihat dari bingkai keadilan berdasarkan Teori

Keadillan Hans Kelsen dalam yang memandang bahwa hukum

sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat

mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga

dapat menemukan kebahagian didalamnya.

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat

positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan

aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun

tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap

individu, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sudah memandang kejahatan ini sebagai kejahatan yang luar biasa

hingga harus diundangkan tersendiri secara khusus bahkan dengan

dengan membangun lembaga ad hoc yakni KPK. Sebagai tindak

pidana khusus maka ancaman hukuman di dalam Undang-undang

pemberantasan korupsi berusaha mengakomodir nilai-nialai umum,

namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan

tiap individu.

Teori keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam

hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan

hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law

umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai

tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat

94

terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan

hukum tersebut.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertimbangan Hakim dalam

Tujuan Pemidanaan (pengambilan keputusan)

a. Pertimbangan Yuridis

1) Pengadilan Negeri

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan

bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi Unsur-unsur di

dalam Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai mana diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat

(1) KUHP di mana menurut pendapat majelis hakim bahwa

berdasarkan fakta-fakta diperoleh fakta bahwa terdakwa telah

menerima hadiah atau janji berupa uang untuk pemenuhan 5%

dari nilai proyek di mana janji tersebut diberikan oleh Permai

Group/Mindo rosalina Manulang kepada terdakwa dan dapat

dibuktikan atas janji tersebut dilakukan penyerahan sejumlah

uang sebanyak 4 (empat) kali dengan jumlah sebesar Rp.

2.500.000.000 (dua milyar lima juta rupiah) dan US $ 1.200.000

(satu juta dua ratus ribu dular amerika) di mana merupakan

realisasi janji yang diberikan oleh Permai Group melalui saksi

Mindo rosalina kepada terdakwa maka dapat disimpulkan bahwa

pemberian hadiah atau janji tersebut adalah dalam hubungan

95

dengan usulan atau pembahasan proyek di Kementrian

Pendidikan sehingga dengan perbuatan terdakwa merupakan

tindak pidana dari Dakwaan Ketiga yakni melanggar Pasal 11 jo

Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

2) Pengadilan Tinggi

Setelah Majelis Hakim tingkat banding memeriksa dan

meneliti serta mencermati dengan seksama berkas perkara

beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Nomor 54/Pid.B/TPK/2012 /PN.Jkt.Pst tanggal 10 Januari 2013,

serta memori banding dari penuntut umum maka majelis hakim

tingkat banding sependapat dengan pertimbangan majelis hakim

tingkat pertama yang telah mempertimbangkan dengan tepat dan

benar menurut hukum dan pertimbangan tersebut diambil alih

serta dijadikan sebagai pertimbangan majelis hakim tingkat

banding dalam memutus perkara ini serta menjadi bagian dan

dianggap telah memuat dalam putusan.

3) Kasasi

Pertimbangan yuridis dari majelis hakim tingkat kasasi

adalah sebagai berikut:

Pertama, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah salah atau keliru

dalam menilai dan menerapkan ketentuan mengenai

alat bukti elektronik sebagaimana yang ditentukan

dalam Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang

96

Informasi dan Transaksi Elektronik, maka patut dan

selayaknya putusan judex facti (Pengadilan Tinggi)

dibatalkan, dengan pertimbangan alat bukti tersebut

tidak memenuhi syarat formil dan materiil.

a) Syarat Formil

Persyaratan formil alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5

ayat (4) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor: 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu:

Informasi atau Dokumen Elektronik tersebut bukanlah:

(1) Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat

dalam bentuk tertulis;

(2) Surat beserta Dokumennya yang menurut Undang-

Undang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris atau

akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta,

Penggeledahan atau penyitaan dan tetap menjaga

terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

b) Syarat Materil

Persyaratan materil alat bukti elektronik diatur dalam: Pasal

5 ayat (3) Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa:

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang

ini.

Kedua, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah

menerapkan hukum dalam menyimpulkan tugas,

tanggung jawab, fungsi dan wewenang Pemohon

Kasasi II/Terdakwa terkait proses pembahasan dan

persetujuan Anggaran Ditjen Dikti Kemendiknas pada

APBN Perubahan Tahun Anggaran 2010 dan APBN

Tahun Anggaran 2011.

Ketiga, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah

menerapkan hukum dalam membuktikan penerimaan

dan penyerahan sejumlah uang Rp. 2.500.000.000,00

(dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US $

1.200.000,00 (satu juta dua ratus Dollar Amerika

Serikat) dan dalam membuktikan penyerahan sejumlah

uang dimaksud yang dilakukan oleh Kurir Pengantar

Uang maupun Kurir Penerima Uang, dengan cara

mengesampingkan hukum pembuktian, lalai

memperhatikan dan menilai pembuktian, dan tidak

memperhatikan secara seksama fakta-fakta hukum

maupun bukti-bukti yuridis yang diperoleh di

persidangan perkara a quo, sebagaimana pertimbangan

judex facti (Pengadilan Negeri) pada halaman 308 s/d

313 putusan.

97

Keempat, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah

menerapkan hukum dalam menafsirkan

pertanggungjawaban hukum yang dibebankan kepada

Pemohon Kasasi II/Terdakwa dan judex facti salah

dalam menafsirkan pertemuan di Restoran FX Senayan

Jakarta antara Pemohon Kasasi II/Terdakwa, saksi

Mindo Rosalina Manulang, dan saksi Harris Iskandar

sehingga perbuatan Pemohon Kasasi II/Terdakwa

disimpulkan telah melakukan penggiringan anggaran

dalam pembahasan APBN Perubahan Tahun Anggaran

2010 dan APBN Tahun Anggaran 2011 pada Ditjen

Dikti Kemendiknas, dengan cara mengesampingkan

hukum pembuktian dan tidak memperhatikan secara

seksama fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yuridis

yang diperoleh di persidangan perkara a quo,

sebagaimana pertimbangan judex facti (Pengadilan

Negeri) pada halaman 292 s/d 296 butir 9 putusan atas

alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Mengenai alasan ke-1: Bahwa alasan kasasi Terdakwa tidak

dapat dibenarkan, karena perbuatan Terdakwa yang

secara aktif melakukan upaya menggiring Anggaran

Kemendiknas agar Proyek-proyek Pembangunan dan

Pengadaan dan Nilai Anggarannya sesuai dengan

permintaan Permai Grup lalu Terdakwa mendapat uang

Rp12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus

delapan puluh juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua

juta tiga ratus tiga puluh ribu Dollar Amerika Serikat)

merupakan tindak pidana Korupsi;

Mengenai alasan-alasan ke-2 sampai dengan ke-4 : Bahwa

alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh

karena alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil

pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu

kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat

dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat

kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya

berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan

hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan

sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili

tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang,

dan apakah Pengadilan telah melampaui batas

wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(Undang-Undang No.8 Tahun 1981);

98

Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan

judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum

dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi II/Terdakwa tersebut harus ditolak.

Memperhatikan Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UUPTPK jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP serta peraturan perundang-undangan yang

lain maka Majelis Hakim di Mahkamah Agung menjatuhakn pidana

menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi II/Terdakwa

Angelina Sondakh dan mengabulkan permohonan kasasi I : Penuntut

Umum pada KPK serta membatalkan putusan Pengadilan Tinggi

Jakarta No. 11/Pid.TPK/2013/PT.DKI tanggal 22 Mei 2013 yang

telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.

54/Pid.B/TPK/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 10 Januari 2013.

Mahkamah Agung juga menjatuhkan pidana tersendiri dalam

putusannya :

1) Menyatakan terdakwa Angelina Sondakh terbukti secara sah dan

menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara

berlanjut;

2) Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila

benda tersebut tiak dibayar diganti dengan pidana kurungan

selam 8 (delapan) bulan;

3) Menghukum pula terdakwa untuk membayar uang pengganti

sebesar Rp. 12.580.000.000,- dan US$ 2.350.000,- dengan

ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling

lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh

kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh

Jaksa dan di lelang untuk membayar uang pengganti dan dengan

ketentuan dalam hal terpindan tidak mempunyai harta yang

99

mencukupi membayar uang pengganti tersebut, maka akan

diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.

Berdasarkan dari putusan di atas, maka dapat diketahui

bahwa Mahkamah Agung menjatuhkan pidana lebih berat dari pada

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi

Jakarta menggunakan teori pemidanaan pembalasan (absolut).

Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien)

sebagaimana dikemukakan oleh Kant dan Hegel, bahwa hukuman itu

adalah suatu akibat dilakukannya suatu kejahatan. Sebab, melakukan

kejahatan maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat

mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang

berlawanan dengan keadilan harus menerima pembalasan. Manfaat

hukuman bagi masyarakat bukanlah hal yang menjadi pertimbangan

tetapi hukuman harus dijatuhkan.

Dari teori pemidanaan pembalasan tersebut di atas, maka

nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap

kejahatan harus disusul dengan pidana. Sejalan dengan itu,

dijelaskan bahwa: “Menurut etika Spinoza, tiada seorang pun boleh

mendapat keuntungan karena kejahatan yang telah dilakukan (ne

malis ex pediat esse malos)”.6 Pidana harus memenuhi 3 (tiga) syarat

:7

6 Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, Akademika

Presindo, Bandung, 1993, h. 32

7 Ibid, h. 33

100

1) Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan

yang bertentangan dengan etika, yaitu sah bertentangan dengan

kesusilaan dan tata hukum obyektif.

2) Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi.

3) Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan berat delik,

ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.

Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar

dijatuhkannya hukuman ANGELINA PATRICIA PINKAN

SONDAKH melakukan perbuatan korupsi, itu tidak lain karena

kejahatan itu sendiri. Adapun akibat positif maupun negatif dan

pemidanaan itu bukanlah merupakan tujuan. Tujuan yang

sebenarnya adalah penjara atau penderitaan.

Hal ini karena ANGELINA PATRICIA PINKAN

SONDAKH melakukan perbuatan korupsi sehingga mengakibatkan:

1) Menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 12.580.000.000,00

(dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $

2.350.000,00 (dua puluh juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar

Amerika Serikat);

2) Perbuatan korupsi bersama-sama / terorganisasi; Terakwa

melakukan perbutan bersama-sama dengan Muhammad

Nazarudin, Mindo Rosalina Maulang dan Wafid Muharam.

Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk

mewujudkan tindak pidana, ialah berupa keinsyafan/kesadaran

seseorang peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang

diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak

pidana yang sama-sama dikehendaki.

3) Tersangka selaku Anggota DPR RI tidak memberi teladan

kepada masyarakat.

4) Korupsi dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra

ordenery crime). Korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang

biasa, dalam perkembangannya korupsi telah terjadi secara

sistematis dan meluas. Menimbulkan efek kerugian negara dan

dapat menyengsarakan rakyat. Karena itu korupsi kini dianggap

sebagai kejahatan luar bisa (extra ordinary crime). Korupsi juga

dapat memberikan dapak negatif demokrasi, bidang ekonomi

dan kesejahteraan umum negara. Dampak negatif terhadap

demokrasi korupsi mempersulit demokrasi dan tata

101

pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara

menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi

mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena

pengabaian prosedur penyedotan sumberdaya, dan pejabat

diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat

yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan

dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Dampak

negatif terhadap bidang ekonomi, korupsi juga mempersulit

pembangunan ekonomi karena tidak efisien yang tinggi. Dalam

sektor private korupsi meningkatkan ongkos niaga karena

kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos managemen dalam

negoisasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan

perjanjian atau karena penyelidikan. Dampak negatif terhadap

kesejahteraan umum, Korupsi politis ada di banyak negara.

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman

besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti

kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi

sogok, bukan rakyat luas.

Pertimbangan yang meringankan terdakwa dikesampingkan

oleh Mahkamah Agung antara lain:

1) Terdakwa belum pernah di hukum.

2) Terdakwa relatif masih muda, sehingga diharapkan dapat

memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan dating;

3) Berjasa mewakili bangsa dan negara dalam forum nasional

maupun internasional.

b. Pertimbangan Sosiologis

Dalam penjatuhan putusan pidana, majelis hakim telah

mempertimbangkan mengenai keadaan yang melingkup terhadap

terdakwa yaitu hal-hal yang memberatkan dan meringankan

sehingga penjatuhan pidana terhadap terdakwa telah

mempertimbangkan segala aspek yaitu rasa keadilan untuk

masyarakat, negara dan terdakwa sendiri.

Faktor-faktor yang memberatkan bagi terdakwa adalah

bahwa perbuatan terdakwa dapat memicu tindak pidana korupsi

102

berikutnya dalam penggiringan pemenangan tender proyek,

perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam

memberantas tindak pidana korupsi, perbuatan terdakwa dapat

merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, terdakwa

merupakan wakil rakyat dan publik figure, tidak mengakui dan

menyesali perbuatanya. Sedangkan pertimbangan yang meringankan

bagi terdakwa adalah Terdakwa berlaku sopan dalam persidangan,

terdakwa merupakan orang tua tungal dan mempunyai tanggungan

keluarga yakni anak-anak yang masih kecil, terdakwa belum pernah

dihukum dan masih berusia muda, terdakwa memiliki jasa pernah

mewakili bangsa dan negara Indonesia di forum nasional dan

internasional dan terdakwa pernah mendapatkan penghargaan dari

Menteri Sosial Republik Indonesia.

Jadi dalam hal ini terpidana ANGELINA PATRICIA

PINKAN SONDAKH melakukan perbuatan korupsi, apa yang

dirumuskan Majelis hakim benar-benar sudah sesuai dengan muatan

hukum dan kesesuaian dengan Pasal Undang-Undang Tipikor sudah

tepat. Karena terbukti dalam Putusannya tersebut Hakim

menambahkan masa hukuman menjadi 5 tahun penjara dan dalam

Pasal 11 Undang-Undang Tipikor hukuman minimalnya adalah 4

tahun pidana penjara.

Berdasarkan dari pernyataan-pernyataan perkara korupsi

yang telah dikemukakan di atas jelas bahwa tindakan korupsi adalah

103

suatu tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan

prikemanusiaan, merupakan tindakan amoral, suatu tindakan yang

dapat menghancurkan moral suatu bangsa, bahkan mengakibatkan

suatu bangsa tak ada harga diri lagi dihadapan bangsa-bangsa lain.

Akibat dari hukuman-hukuman yang telah ada untuk para

koruptor mungkin belum sepenuhnya membuat orang merasa jera

untuk melakukan tindakan korupsi, hal itu dikarenakan bahwa

hukuman tindak pidana korupsi masih dianggap lemah, oleh karena

itu perlu adanya hukuman tambahan sebagaimana seperti yang telah

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 10

huruf b angka 1 disebutkan adanya pidana tambahan berupa

pencabutan hak-hak tertentu. Pasal tersebut kemudian didukung oleh

Pasal 35 ayat (1) yang menyebutkan, hak terpidana dapat dicabut

dengan putusan hakim, diantaranya hak memegang jabatan pada

umumnya atau jabatan tertentu, hak memasuki hukuman bersenjata,

serta hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Seperti diberitakan, jaksa KPK menuntut Djoko Susilo

dengan pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider satu

tahun kurungan. Djoko dibebani kewajiban membayar uang

pengganti kerugian negara sebesar Rp 32 miliar subsider 5 tahun

kurungan. Tak hanya itu, jaksa Jaksa KPK juga memohon majelis

hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan yaitu tak boleh

memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Hal ini dilakukan sebagai

104

terobosan untuk membuat koruptor jera. Selama ini, praktik politik

indonesia masih memberikan tempat kepada bekas narapidana

korupsi bahkan diantara mereka dipromosikan dengan jabatan baru.8

Senada juga dikemukakan Peneliti Indonesia Corruption

Watch, Abdullah Dahlan, menyatakan “sudah saatnya pelaku korupsi

diberi sanksi hukum dan sanksi politik, koruptor itu telah berhianat

membawa mandat publik dalam jabatan publiknya sehingga wajar

jika ada hukuman tambahan agar tak lagi menduduki jabatan

publlik”.9 Ini termasuk salah satu dari anggota masyarakat yang

tidak berkenan dengan dibolehkannya mantan pejabat

publik/terpidana korupsi untuk dapat menduduki jabatan publik

tersebut, sebagaimana yang dilakukan Angelina Sondakh dalam

putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah

agung.

c. Pertimbangan Filosofis

Pertimbangan filosofis dalam pemidanaan terhadap Angelina

Sondakh pada Putusan Kasasi yang lebih berat dibandingkan dengan

putusan peradilan tingkat di bawahnya,

Secara fiolosofis mengenai lamanya pidana penjara diatur

dalam Pasal 12 KUHP:

(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

8 http://choiceoflaw.blogspot.com/2015/02/hukuman-bagi-mantan-koruptor.html,

diakses pada tanggal 21 Maret 2015 9 www.kpk.go.id yang diposting pada 22 Agustus 2013, diakses pada tanggal 17 Maret

2015

105

(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu

hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk

dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang

pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana

penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu,

begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui

karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal

52.

(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-sekali tidak boleh

lebih dari dua puluh tahun.

Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum

pidana penjara adalah paling sedikit satu hari dan paling lama dua

puluh tahun kecuali apabila hakim memilih pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, maka pidana seumur hidup dapat dijatuhkan.

KUHP juga dalam setiap rumusan pasal demi pasal terdapat

maksimum khusus pidana penjara untuk masing-masing tindak

pidana.

Di dalam hukum pidana positif Indonesia, hakim mempunyai

kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort)

yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif

di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang.10 Di

samping itu, hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih

beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang

ditentukan oleh undang-undang hanyalah maksimum dan

minimumnya. Misalnya, dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP yang

menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling

10 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit. h. 56

106

pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-

turut. Sedangkan untuk pidana kurungan di dalam Pasal 18 ayat (1)

KUHP menyatakan bahwa kurungan paling sedikit adalah satu hari

dan paling lama satu tahun.

Menurut Ruslan Saleh seperti yang dikutip oleh Muladi dan

Barda Nawawi, dalam batas-batas maksimal dan minimal tersebut,

hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang tepat. Lebih

jauh lagi, Sudarto menyatakan sebagai berikut:

“KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana

(strafttoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman

yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat

asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam

menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian

pidana (straftoemetingsregels)”.

Selain dalam KUHP yang tidak ada pedoman pemidanaan

(straftoemetingsleiddrad), hakim dalam menjatuhkan pidana

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang ada di dalam

benaknya itu, yang memberatkan dan meringankan saja di luar

Undang-undang. Misalnya terlalu muda, cara ia melakukan atau

yang lain.

Kemudian adanya disparitas pidana adalah bersumber pada

diri hakim, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut

Hood dan Sparks yang juga disadur oleh Muladi dan Barda Nawawi,

sifat internal dan eksternal pada diri hakim kadang-kadang sulit

dipisahkan, karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang

disebut sebagai “human equation” atau “personality of the judge”

107

dalam arti luas yang menyangkut pengaruh-pengaruh latar belakang

sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku

sosial.11 Hal tersebut ditegaskan pula oleh Al Wisnubroto yang

menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor

(internal) yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan

suatu keputusan, adalah:12

1) Faktor Subyektif

a) Sikap dan perilaku yang apriori

Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara

sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa

terdakwa bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan

sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan

dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern,

yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)

dalam perkara pidana.

Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak dan

tidak adil ini dapat saja terjadi karena hakim terjebak oleh

rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target

penyelesaian yang tidak seimbang.

b) Sikap perilaku emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung,

pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku

hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam

menangani suatu perkara. Hal ini sangat berpengaruh pada

hasil keputusannya.

c) Sikap Arrogence Power

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya

berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa,

penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang

berperkara lainnya, seringkali mempengaruhi suatu

keputusan.

11 Ibid., h. 58. 12 Al-Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Cet. I, Universitas Atma Jaya,

Yogyakarta, 1997, h. 88-90. Bandingkan pula dengan: Yahya Harahap, Putusan Pengadilan

Sebagai Upaya Penegakan Keadilan,: Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 1989, h.

8.

108

d) Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital

bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini

yang berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap

cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan,

penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya. Bagaimanapun

juga, pribasi seorang hakim diliputi tingkah laku yang

didasari oleh moral pribadi hakim tersebut, terlebih dalam

memeriksa serta memutus suatu perkara.

2) Faktor Obyektif

a) Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi

Latar belakang sosial seorang hakim mempengaruhi

sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis

menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial

tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang

ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari

lingkungan status social menengah atau rendah. Selain itu

juga kebudayaan, agama dan pendidikan seorang hakim

juga ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Dan satu hal

lagi yang mempengaruhi perilaku hakim adalah latar

belakang ekonomi. Bisa saja karena desakan ekonomi,

seorang hakim yang pada awalnya memiliki pendirian yang

teguh, memiliki komitmen yang kuat pada idealismenya,

secara berangsur-angsur melemahkan pendiriannya dan

menjadikannya bersikap pragmatis. Pada taraf inilah bisa

saja mendorong hakim berani melakukan “unjustice action”

hanya untuk mendapatkan imbalan materi. Faktor ini tentu

saja tidak bersifat absolut, sebab hakim yang memegang

teguh kode etik kehormatan hakim, tidak dapat dipengaruhi

oleh faktor apapun, termasuk desakan ekonomi.

b) Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge dan skill

yang ditunjang dengan ketentuan dan ketelitian merupakan

factor yang memengaruhi cara hakim dalam mengambil

keputusan. Masalah ini juga sering dikaitkan dengan kode

etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu, hakim yang

menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada

etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih

dapat dipertanggungjawabkan karena tujuannya tiada lain

untuk menyelesaikan perkara, menegakkan hukum dan

memberikan keadilan.

Sehubungan dengan faktor tersebut di atas, faktor lainnya ialah

tidak adanya pedoman bagi hakim di dalam menjatuhkan pidana.

109

Disamping itu juga faktor hakim sendiri ketidakjelasan pemahamannya

terhadap makna dari penjatuhan pidana.

Muladi merujuk di dalam observasinya yang dilakukan oleh Reid

mengenai persepsi seorang hakim tentang ras diskriminasi dan

implementasinya di dalam penjatuhan pidana di Amerika Serikat. Dia

menyatakan bahwa pada khususnya orang-orang yang berkulit hitam

(negro) sering diperlakukan tidak adil didalam pemidanaan. Pidana

biasanya lebih berat dan jarang diberikan lepas bersyarat (parole) atau

probation (semacam pidana percobaan).13

Bila dibandingkan dengan pelaku tindak pidana yang berkulit

putih, mereka jarang mendapatkan pengampunan (grasi) dan jarang pula

mendapatkan komutasi (perubahan pidana) sehubungan dengan pidana

mati yang dijatuhkan terhadap mereka.

Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat-

ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas

maksimal hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman. Dalam

maksimal dan minimal tersebut, hakim pidana adalah bebas dalam

mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat.

Selanjutnya, Muladi mengutip Molly Cheang yang berpendapat bahwa

persepsi hakim terhadap “philosophy of punishment” dan “the aims of

13 Ibid., h. 59.

110

punishment” yang dikatakan sebagai “the basic difficulty”, sangat

memegang peranan penting didalam penjatuhan pidana.14

Seorang hakim barangkali berpikir bahwa tujuan berupa

deterrence hanya dapat dicapai dengan pidana penjara. Namun di lain

pihak dengan tujuan yang sama, hakim lain akan berpendapat bahwa

pengenaan denda akan lebih efektif. Nyoman Serikat Putra Jaya

berpendapat bahwa terlaksana tidaknya tujuan pemidanaan itu tergantung

dari pandangan hakim sendiri tentang tujuan pidana. Kalau hakim

menjatuhkan pidana dengan tujuan untuk balas dendam, pasti akan

memberikannya lebih berat. Namun, ada yang lebih ditekankan lagi,

yaitu bagaimana memperbaiki si pelaku menjadi orang baik dan

bagaimana supaya dia kembali kepada masyarakat. Jadi, disini yang

menentukannya adalah bagaimana proses selanjutnya pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan. Karena putusan hakim itu tidak serta merta

mewujudkan tujuan-tujuan pemidanaan.

Hakim di dalam menjatuhkan putusan pemidanaannya, tentunya

memperhatikan hal-hal yang dapat digunakan sebagai pertimbangan

untuk menjatuhkan jenis dan berat ringannya pemidanaan.15 Hal-hal

tersebut adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan

14 Ibid 15 Pertimbangan hakim dalam putusan yang mengandung pemidanaan ada dua, yaitu

pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis antara lain: dakwaan jaksa penuntut umum,

keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal dalam peraturan hukum

pidana; kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis antara lain: latar belakang perbuatan

terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa,keadaan sosial ekonomi terdakwa dan

faktor-faktor agama terdakwa. Lihat: Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia,

Ed. I, Cet. I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 124-145.

111

pemidanaan baik yang terdapat di dalam undang-undang maupun di luar

undang-undang.

Penjelasan di atas, maka dalam pertimbangan filosofis bahwa

penjatuhan pidana terhadap Terdakwa Angelina Sondakh dalam tindak

pidana korupsi juga tidak lepas dari faktor yang bersumber dari

pemahaman dari hakim itu sendiri di mana peranan hakim dalam sidang

pengadilan adalah mencari kebenaran materiil tanpa meninggalkan

kebenaran formilnya dari suatu tindak pidana dan menentukan salah satu

atau tidaknya terdakwa, sehingga dengan adanya peranan hakim ini dapat

terciptanya kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya adil. Hakim

bukan hanya memeriksa berkas perkara dan mendengarkan keterangan

dari para pihak saja, sehingga kebenaran materiil dan kebenaran formil

dari suatu perkara dapat ditemukan.

Sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System)

pidana menempati posisi sentral, hal ini disebabkan karena keputusan

didalam pemidanaan akan mempunyai konsekwensi yang luas, baik yang

menyangkut langsung terhadap pelaku tindak pidana maupun masyarakat

secara luas, lebih-lebih jika putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat.

Hakim sebagai pejabat yang berwenang menjatuhkan putusan

pidana terhadap terdakwa disidang pengadilan, menjadikannya sebagai

faktor yang sangat menentukan terjadinya perbedaan pemidanaan antara

peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi. Terjadinya perbedaan

pemidanaan antara peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi dalam

112

tindak pidana korupsi yang bersumber dari diri hakim dalam memeriksa

suatu perkara khususnya perkara korupsi.

Terjadinya perbedaan putusan didasarkan pada dakwaan Jaksa

Penuntut Umum dan fakta-fakta dalam persidangan berupa keterangan

saksi-saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti lainnya. Perbedaan

ancaman pidana dapat memberikan keleluasaan hakim dalam memutus

perkara.

Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Korupsi Angelina

Sondakh secara fiolsofis, Kekuasaan kehakiman di dalam Undang-

Undang Dasar 1945 diatur pada Pasal 24 dan Pasal 24 A, Pasal 24B dan

Pasal 24C p tentang Kekuasaan Kehakiman. Perwujudan amanat ini

dituangkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Kemudian Pelaksaaan operasional kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kekuasaan yang dimaksud

merupakan suatu kaidah yang berisi suatu hak, yaitu hak untuk

menentukan hukum. Sehingga dapat diartikan kekuasaan sebagai kaidah

yang mengandung makna perkenaan atau kebolehan untuk bertindak.

Motif melakukan suatu tindak pidana bisa menjadi hal-hal yang menjadi

pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, pada dasarnya

Angelina Sondakh memiliki motif dalam melakukan suatu tindak pidana

korupsi.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan Terdakwa Angelina

Sondakh dilakukan secara bersama-sama dengan fungsinya masing-

113

masing secara sistematis sehingga kasus ini Angelina Sondakh memiliki

perannya masing-masing -masing.

Hal-hal yang meringankan dan memberatkan juga menjadi dasar

berat ringannya suatu putusan. Hal-hal yang memberatkan dan

meringankan penting dicantumkan dalam suatu putusan karena pada

dasarnya itu menjadi pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis.

Kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi

berbeda-beda satu sama yang lainnya walaupun pasal yang dikenakan

sama tetapi ada perbedaan kerugian yang ditimbulkan dan juga

sebagaimana kerugian tersebut telah dinikmati atau belum sehingga

hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat mempertimbangkan aspek

kerugian yang bersifat materiil maupun non materiil yang ditimbulkan

terkait putusan pidana Angelina Sondakh.

Menurut penulis, berdasarkan fakta-fakta di persidangan, Angelia

Sondakh sebagai anggota DPR terdakwa mempunyai kewenangan

membahas pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas

anggaran bersama Pemerintah sebagai acuan bagi setiap

Kementerian/Lembaga dalam menyusun usulan anggaran, berdasarkan

kesepakatan internal di Komisi X, Terdakwa ditunjuk menjadi

Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran yang bertugas

menindaklanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja yakni

Kemendiknas dan Kemenpora melalui Rapat Kerja dan Rapat Dengar

Pendapat dalam Badan Anggaran, Terdakwa kemudian diajak oleh

114

Muhammad Nazaruddin (rekan sesama anggota DPR) bertemu dengan

Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang lainnya dari Permai Grup

yakni Gerhana Sianipar, Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di

Restoran untuk saling berkenalan sebagai sesama Pengusaha.

Mindo Rosalina Manulang adalah pihak yang nantinya

berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyek-

proyek di Kemendiknas dan di Kemenpora setelah berbagi nomer hand

phone dan pin BBM.

Setelah pertemuan tersebut Mindo Rosalina kembali bertemu

terdakwa guna menanyakan kesediaan Terdakwa untuk menggiring

anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora, untuk kerjasama berupa

Proyek-Proyek Pembangunan/Pengadaan dan Nilai Anggaran yang

disesuaikan dengan permintaan Permai Grup.

Terdakwa menyanggupinya dengan syarat awal Permai Group

harus membuat proposal tentang usulan kegiatan dari Universitas-

Universitas, serta memastikanya ke Biro Perencanaan Ditjen Dikti

Kemendiknas.

Setelah mempelajari berkas yang diajukan Mindo Rosalina,

pertengahan Maret 2010 terdakwa menyanggupi permintaan Permai Grup

dengan meminta imbalan uang (fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari nilai

proyek, dengan sistem 50% pada saat pembahasan dilakukan dan setelah

DIPA turun atau disetujui.

115

Terhadap permintaan tersebut Nazaruddin memerintahkan Mindo

Rosalina supaya fee yang diminta terdakwa dapat dikurangi. Terdakwa

akhirnya mau mengurangi fee menjadi 5%.

Setelah disetujui, Terdakwa kemudian memprakarsai pertemuan

Mindo Rosalina Manulang dan Harris Iskandar selaku Sekretaris

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kemendiknas guna mempermudah

upaya penggiringan anggaran di Kemendiknas sesuai dengan permintaan

Permai Grup.

Selanjutnya Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-

rapat di Badan Anggaran DPR RI membahas alokasi Anggaran APBN-P

2010 dan APBN 2011, dalam rapat Terdakwa mengajukan usulan

program kegiatan sebagai aspirasi dari Komisi X, yang awalnya tidak

diusulkan Kemendiknas.

Terdakwa beberapa kali melakukan komunikasi melalui telepon

ataupun BBM dengan Mindo Rosalina Manulang untuk membicarakan

tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran serta

imbalan uang (fee) yang sebelumnya telah dijanjikan, Memenuhi janji

tersebut, maka Permai Grup memberikan sejumlah uang kepada

Terdakwa beberapa kali secara bertahap yakni : pertama, Rp 70 juta - Rp

2 Milyar - Rp 5 Milyar - Rp 5 Milyar - 300.000 Dollar - 750.000 Dollar -

500.000 Dollar – 400.000 Dollar, dan terakhir sebesar Rp 10 Juta Rupiah,

sehingga total keseluruhan uang yang diterima terdakwa dari Permai

Group adalah Rp. 12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus

116

delapan puluh juta rupiah) dan US $.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus

lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat).

Jika mengacu pada Pasal 253 KUHAP, MA memiliki

kewenangan untuk mengadili perkara khususnya dalam perkara pidana

jika: hakim sebelumnya salah menerapkan hukum, hakim sebelumnya

tidak menerapkan hukum acara sebagaimana mestinya atau hakim

tersebut telah melampaui kewenagan yang ia miliki. Berdasarkan Pasal

tersebut jika salah satu syarat atau secara alternatif dapat dipenuhi, maka

MA melalui kewenaganya dapat “mengadili sendiri” perkara yang

bersangkutan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, maka MA akan

atau bisa saja menilai fakta dari perkara yang bersangkutan dari awal

hingga akhir, lalu kemudian membuat putusan sendiri, yang mana

mungkin saja hal itu akan memberikan pidana yang lebih berat atau

bahkan lebih ringan dari putusan hakim pada judex factie sebelumnya

tergantung bagaimana hasil pembuktian yang ia. Jadi Pasal 253 KUHAP

itu harus dipedomani dalam hal kasasi dilakukan dalam kasus pidana.

Kewenangan MA yang demikian adalah sangat penting karena

didalam praktek cenderung hakim judex factie keliru dalam menjalankan

kewenanganya dalam mengadili suatu perkara, misalnya dalam kasus

Angelina Sondakh di atas. Semenjak penyusunan dakwaan telah

ditemukan kesalahan-kesalahan oleh jaksa, sehingga akhirnya putusan

yang dijatuhkanpun menjadi keliru atau tidak tepat.

117

Adapun dakwaan yang dibuat oleh jaksa adalah berbentuk

alternative, padahal seharusnya dakwaan tersebut disusun secara

subsideritas. Karena secara logika dasar saja, jika dakwaan alternative,

maka sifatnya pilihan sehingga hakim yang mengadili perkarapun tidak

harus menggali kebenaran materil masing masing unsur pasal, namun

cukup memilih salah satu saja yang jika menurutnya sudah terbukti,

itulah yang dijadikan dasar memutuskan pidana.

Kesalahan berikutnya, dalam putusan terkait penggunaan Pasal 12

dan Pasal 5 UU Tindak Pidana Korupsi. Secara umum Pasal 12

merupakan delik yang bisa terpenuhi baik secara sengaja ataupun lalai

sedangkan pada Pasal 5 deliknya adalah delik opset sehingga mutlak 5

tahun. Logikanya bagaimana hakim bisa memilih Pasal 5, sedangkan

dalam kasus Anggelina Sondakh jelas suap yang diterima oleh si pelaku

lantaran adanya sikap aktif dari dirinya untuk meminta dan melakukan

serangkaian kegiatan agar ia mendapatkan uang dari si pemberi suap.

Sehingga dengan kondisi demikianlah diperlukan MA sebagai

lembaga yang menjamin bahwa kekeliruan dalam hukum acara pidana

bisa diperbaiki, agar putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan baik

bagi si pelaku dan masyarakat pada umumnya sebagai korban tidak

langsung dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Adapun hal yang

mendasari kewenangan pengadilan yang lebih tinggi tersebut untuk

memperbaiki kekeliruan hukum yang terjadi dilakukan oleh MA melalui

tugas dan kewenanganya dalam hal pengaturan dan sebagai lembaga

118

judex factie. (Inilah yang tidak boleh dibatasi seperti apa yang ada

didalam naskah akademis RUU KUHAP Tahun 2012).

Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

dalam kasus Angelina Sondakh, Mahkamah Agung memang memiliki

kewenangan untuk menjatuhkan pemidanaan yang lebih berat

dibandingkan dengan yang dijatuhkan oleh Peradilan tingkat

Pertama/Negeri maupun peradilan tingkat banding. Apalagi dalam kasus

Angelina Sondakh terdapat kekeliruan hakim judex factie yang tidak

memberikan pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) tentang sikap

aktif Angelina Sondakh sebagai pelaku dalam tindak pidana suap untuk

mendapatkan uang sebagai imbalan dari penggiringan dana untuk proyek

Nazaruddin.