BAB I,II
-
Upload
yudhi-ismoyo-jatii -
Category
Documents
-
view
17 -
download
5
Transcript of BAB I,II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Syarat-Syarat Umum
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Fungsi bangunan gedung adalah bentuk kegiatan utama manusia dalam bangunan
gedung, seperti fungsi perkantoran sebagai tempat bekerja.
2. Klasifikasi bangunan gedung adalah pengelompokan jenis bangunan gedung berdasarkan
pemenuhan tingkat persyaratan teknis sesuai fungsinya.
3. Keterangan Rencana Kota/Kabupaten adalah informasi tentang persyaratan tata
bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pada
lokasi tertentu.
4. Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh
Pemerintah Kabupaten Kota kepada calon pemilik bangunan gedung untuk membangun
baru, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan
persyaratan administrasi dan teknis yang berlaku.
5. Calon Pemilik adalah orang, kelompok orang, badan usaha, atau instansi pemerintah
yang akan menjadi pemilik bangunan gedung yang akan didirikan.
6. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung (PIMB) adalah permohonan yang
dilakukan oleh calon pemilk bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk
mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.
7. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan
antara seluruh luas lantai dasar bangunan gedung dengan luas lahan/tanah
perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata
bangunan yang ada.
8. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan antara jumlah seluruh luas
lantai seluruh bangunan gedung terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan
yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. KLB ditetapkan
sesuai dengan rencana intensitas pemanfaatan lahan dari suatu lingkungan berdasarkan
rencana kota yang ada, yang sekaligus dapat membatasi ketinggian bangunan.
9. Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang
terbuka di luar bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas
tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata
bangunan yang ada.
10.Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang yang dimaksudkan untuk konservasi air tanah,
paru-paru kota, dan dapat menjadi tempat hidup dan berkembangnya plasma nutfah
(flora fauna dan ekosistemnya). Ruang terbuka dengan perkerasan dan diberi pot
tumbuhan tidak termasuk ruang terbuka hijau.
11.Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP) adalah ruang terbuka hijau yang terletak dalam
persil tempat bangunan gedung didirikan dan merupakan bagian dari RTH.
12.Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota adalah hasil perencanaan tata
ruang wilayah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
13.Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu
kawasan untuk mengendali kan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,
ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.
14.Prasarana/sarana umum adalah wujud konstruksi fisik yang dibangun dan digunakan
untuk kepentingan publik seperti jalan, jembatan, terminal darat/laut/udara, taman,
menara listrik, menara telekomunikasi, menara air.
15.Utilitas umum adalah wujud konstruksi fisik yang dibangun dan dibutuhkan untuk
kepenti ngan publik terdiri dari antara lain jaringan listrik, gas, air bersih, telepon,
pembuangan, dan pemadam kebakaran.
16.Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung.
1.2. Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung
1.2.1. Fungsi
(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung merupakan acuan untuk persyaratan
teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi intensitas bangunan gedung,
arsitektur bangunan gedung dan lingkungan, keandalan bangunan gedung,
maupun dari segi keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikelompokkan
menjadi fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial dan
budaya, dan fungsi khusus.
(3) Klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikelompokkan berdasarkan tingkat pemenuhan persyaratan teknis sesuai
fungsinya.
Fungsi bangunan gedung meliputi:
1. Fungsi hunian merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai
tempat manusia tinggal yang berupa bangunan hunian tunggal, hunian jamak,
hunian sementara, dan hunian campuran.
2. Fungsi keagamaan merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai
tempat manusia melakukan ibadah yang berupa bangunan masjid termasuk
mushola, bangunan gereja termasuk kapel, pura, wihara, dan kelenteng;
3. Fungsi usaha merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai
tempat manusia melakukan kegiatan usaha yang terdiri dari bangunan gedung
perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi,
terminal, dan bangunan gedung tempat penyimpanan.
4. Fungsi so sial dan budaya merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama
sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya yang terdiri dari
bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan,
laboratorium, dan bangunan gedung pelayanan umum
5. Fungsi khusus merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama yang
mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi, atau tingkat resiko bahaya tinggi.
(1) Fungsi bangunan gedung diusulkan oleh calon pemilik bangunan gedung
pada rencana teknis bangunan gedung dan tidak boleh bertentangan
dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW Kabupaten/Kota
dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota.
(2) Fungsi bangunan gedung merupakan acuan untuk persyaratan teknis
bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungan,
maupun keandalannya.
(3) Penetapan fungsi dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada saat proses
pemberian Izin Mendirikan Bangunan Gedung, berdasarkan rencana teknis
yang disampaikan oleh calon pemilik bangunan gedung.
(4) Fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan dalam IMB tidak dapat
diubah, kecuali dengan mengajukan kembali proses IMB.
(5) Untuk kepentingan tertentu, penetapan fungsi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat bersifat sementara.
1.2.2. Klasifikasi Bangunan Gedung
Untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung secara efektif sesuai tingkatan
pemenuhan persyaratan teknisnya perlu diklasifikasikan berdasarkan tingkat
kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat ketahanan terhadap kebakaran, lokasi,
ketinggian, dan kepemilikan.
(1) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana dimaksud pada Pasal
8 meliputi bangunan gedung sederhana, bangunan gedung tidak sederh ana,
dan bangunan gedung khusus.
(2) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana dimaksud pada Pasal 8
meliputi bangunan permanen, bangunan semi permanen, dan bangunan
darurat atau sementara.
(3) Klasifikasi berdasarkan tingkat ketahanan terhadap kebakaran sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 meliputi bangunan ketahanan tinggi, ke tahanan sedang,
dan ketahanan rendah.
(4) Klasifikasi berdasarkan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 meliputi
lokasi padat, lokasi sedang, dan lokasi renggang.
(5) Klasifikasi berdasarkan ketinggian sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 meliputi
bangunan bertingkat tinggi, bangunan bertingkat sedang, dan bangunan
bertingkat rendah.
(6) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8
meliputi bangunan gedung negara, bangunan gedung badan usaha, bangunan
gedung perorangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), diatur oleh Menteri.
1.2.3. Perubahan Fungsi dan / atau Klasifikasi
(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedun g, dimungkinkan adanya perubahan
fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung yang telah ditetapkan.
(2) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh Pemilik
dan tidak boleh bertentangan dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam
RTRW Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota.
(3) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung harus diikuti dengan
pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
dipersyaratkan untuk fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung yang
bersangkutan.
(4) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah melalui revisi atau proses perizinan baru untuk bangunan
gedung yang bersangkutan.
(5) Dengan adanya perubahan fungsi dan/atau klasifikasi suatu bangunan ge dung,
maka juga harus dilakukan perubahan pada data kepemilikan bangunan gedung
yang bersangkutan.
(6) Pedoman teknis tatacara penetapan dan perubahan fungsi bangunan gedung
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
1.3. Persyaratan Administratif
1.3.1. Status Hak atas Tanah
(1) Status hak atas tanah, yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat, merupakan
persyaratan dasar untuk mendirikan bangunan gedung.
(2) Dalam status hak atas tanah harus dilengkapi dengan gambar yang jelas
mengenai lokasi tanah yang bersangkutan yang memuat ukuran dan batas-
batas persil.
(3) Dalam hal status tanahnya merupakan milik orang lain, maka diperlukan izin
pemanfaatan tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang hak atas
tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
(4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memuat dengan
jelas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, status tanah, luas tanah, fungsi
bangunan gedung yang akan dibangun, waktu berlakunya perjanjian, dan hal-
hal lain yang disepakati oleh kedua bel ah pihak dengan tetap mengacu pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
1.3.2. Status Kepemilikan Bangunan Gedung
(1) Status kepemilikan bangunan gedung merupakan surat bukti kepemilikan
bangunan gedung yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan hasil
kegiatan pendataan dan pendaftaran bangunan gedung.
(2) Status kepemilikan bangunan gedung sebagimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat terpisah dari status kepemilikan tanah.
(3) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.
(4) Dalam hal pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), maka pemilik baru:
a. sebelum memanfaatkan bangunan gedung yang bersangkutan harus
memastikan bangunan gedung tersebut dala m kondisi laik fungsi;
b. selama memanfaatkan bangunan gedung yang bersangkutan wajib
memenuhi persyaratan yang berlaku.
(5) Kegiatan pendataan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1), untuk bangunan baru dilakukan bersamaan den gan proses perizinan
bangunan gedung.
(6) Kegiatan pendataan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1), untuk bangunan yang telah berdiri dilakukan bersamaan dengan proses
pengesahan sertifikat laik fungsi bangunan gedung.
(7) Calon pemilik atau pemilik bangunan gedung wajib memberikan data yang
diperlukan oleh Pemerintah Daerah dalam melakukan pendataan dan
pendaftaran bangunan gedung.
(8) Berdasarkan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3), selanjutnya calon pemil ik atau pemilik bangunan gedung
memperoleh surat bukti kepemilikan bangunan gedung dari Pemerintah
Daerah.
(9) Pedoman teknis tatacara pendataan dan pendaftaran bangunan gedung diatur
oleh Menteri.
1.3.3. Izin Mendirikan Bangunan
(1) Izin Mendirikan Bangunan merupakan persyaratan perizinan yang harus
diproses oleh setiap orang atau badan hukum yang akan mendirikan bangunan
gedung.
(2) Setiap orang atau badan hukum yang akan mendirikan bangunan gedung, yang
selanjutnya disebut calon pemilik bangunan ge dung, harus mendapatkan IMB
dari Pemerintah Daerah dengan mengajukan permohonan izin mendirikan
bangunan (PIMB).
(3) Sebelum mengajukan PIMB sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) calon pemilik
bangunan gedung harus mendapatkan surat keterangan rencana
kota/kabupaten pada lokasi tempat bangunan gedung yang akan didirikan .
(4) Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan rencana kota/kabupaten
untuk lokasi yang bersangkutan kepada calon pemilik bangunan gedung yang
akan mendirikan bangunan gedung.
(5) Keterangan rencana kota/kabupaten untuk lokasi yang bersangkutan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (4), merupakan persyaratan –
persyaratan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan, yang berisi:
a. Jenis fungsi bangunan yang boleh dibangun pada lokasi yang bersangkutan;
b. Ketinggian maksimum bangunan yang diizinkan;
c. Jumlah lantai/lapis bangunan di bawah permukaan tanah yang diizinkan;
d. Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan yang diizinkan;
e. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum yang diizinkan;
f. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum yang diizinkan;
g. Koefisien Daerah Hijau (KDH) minimum yang diizinkan;
(6) Dalam hal lokasi yang bersangkutan terletak pada kawasan yang rawan bencana
gempa, longsor, ataupun banjir, Pemerintah Daerah menetapkan persya
ratanpersyaratan khusus untuk bangunan gedung yang akan didirikan.
(7) Dalam hal lokasi yang bersangkutan terletak pada kawasan atau lingkungan
yang dilindungi dan/atau dilestarikan, maka Pemerintah Daerah menetapkan
persyaratan-persyaratan khusus untuk bangunan gedung yang akan didirikan.
(8) Keterangan rencana kota/kabupaten sebagaimana dimaksud dalam (5), (6),
dan/atau (7), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan
gedung.
(9) PIMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dil engkapi dengan:
a. status hak atas tanah sebagai bukti penguasaan atas tanah yang
diwujudkan dalam bentuk:
i. sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/ kepemilikan tanah, atau ;
ii. sertifikat disertai izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah yang
berupa perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau
pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung, dalam hal pemilik
bangunan gedung berbeda dengan pemilik tanah;
b. data calon pemilik bangunan gedung;
c. dokumen rencana teknis dari bangunan gedung yang bersangkutan yang
telah disusun dan memenuhi persyaratan teknis sesuai fungsi dan
klasifikasinya, yang dilampiri dengan surat keterangan rencana
kota/kabupaten dari Pemerintah Daerah untuk lokasi yang bersangkutan;
d. hasil analisis mengenai dampak l ingkungan bagi bangunan gedung yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(10) PIMB yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis disetujui dan
disyahkan dalam bentuk IMB oleh Bupati/Walikota.
(11) IMB merupakan alat kendali bagi Pemerintah Daerah bahw a bangunan gedung
yang akan didirikan memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai fungsi dan klasifikasi bangunan gedung yang bersangkutan.
(12) IMB merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum
kota/kabupaten bagi bangunan gedung yang
1.4. Persyaratan Teknis
1.4.1. Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan
1. Peruntukan Lokasi, Kepadatan dan Ketinggian Bangunan
(1) Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus sesuai dengan
peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam surat keterangan rencana
kota/kabupaten yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat(5).
(2) Surat keterangan rencana kota/kabupaten sebagaimana dimaksud dalam
ayat(1) didasarkan pada rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
dan/atau rencana teknis ruang kabupaten/kota dan/atau rencana tata
bangunan dan lingkungan untuk lokasi yang bersangkutan.
(3) Bagi daerah yang belum memiliki RTRW kabupaten/kota dan/atau rencana
teknis ruang kabupaten/kota dan/atau rencana tata bangunan dan
lingkungan untuk lokasi yang bersangkutan, Bupati/Walikota dapat
memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung pada daerah
tersebut untuk jangka waktu sementara.
(4) Apabila RTRW kabupaten dan/atau renc ana teknis ruang kabupaten/kota
dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan untuk lokasi yang
bersangkutan telah ditetapkan, maka bangunan gedung tersebut harus
disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan.
(5) Ketentuan tentang peruntukan lokasi lebih l anjut diatur dalam Peraturan
Daerah.
(6) Setiap bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan
kepadatan dan ketinggian maksimal yang ditetapkan dalam surat
keterangan rencana kota/kabupaten yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah sebaga imana dimaksud pada Pasal 15 ayat (5) rencana untuk lokasi
yang bersangkutan .
(7) Persyaratan kepadatan maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
ditetapkan dalam bentuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien
Lantai Bangunan (KLB) yang diberlakukan kavling -per kavling atau per
kawasan.
(8) Penetapan besaran persyaratan kepadatan dan ketinggian maksimal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan
mempertimbangkan perkembangan kota, kebijakan intensitas
pembangunan, daya dukung lahan/lingkungan, serta keseimbangan dan
keserasian lingkungan dan pemenuhan persyaratan teknis keandalan
bangunan gedung, dan/atau pertimbangan khusus lainnya.
(9) Penetapan KDB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), didasarkan
pada luas persil/kavling, peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung
lingkungan.
(10) Penetapan KDB untuk suatu kawasan yang terdiri atas beberapa
persil/kavling, dapat dilakukan berdasarkan pada total luas bangun
bangunadap total luas kawasan, dengan tetap mempertimbangkan
peruntuka n atau fungsi kawasan, dan daya dukung lingkungan.
(11) Penetapan KDB dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan
renggang.
(12) Untuk daerah/kawasan pusat Kota, dapat ditetapkan KDB padat dan/atau
sedang, sedangkan untuk daerah/kawasan fungsi resapan ditetapka n KDB
renggang.
(13) Penetapan jumlah luas lantai maksimum bangunan gedung atau KLB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) didasarkan pada
peruntukan lahan, lokasi lahan, dan daya dukung lingkungan, serta
pertimbangan arsitektur kota.
(14) Dimungkinkan adanya kompensasi/insentif berupa penambahan besarnya
koefisien KDB dan/atau KLB bagi perpetakan tanah yg memberikan
sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum.
(15) Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, dengan pertimbangan
kepentingan umum dan dengan pers etujuan Bupati/Walikota, dapat
diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan kepadatan,
ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan lainnya dengan tetap
memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan.
(16) Penetapan KDB dan KLB sebagaimana dimaksud dalam (9), ayat (10), ayat
(11), ayat (12), dam ayat (13) serta kompensasi/insentif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (14) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
(17) Pedoman teknis tatacara penentuan besaran KDB dan KLB ditetapkan oleh
Menteri.
2. Jarak Bebas Bangunan Gedung
(1) Jarak bebas bangunan gedung yang berupa garis sempadan bangunan
gedung, dan jarak antara bangunan gedung harus mempertimbangkan
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan
serta ketinggian bangunan.
(2) Dalam mendirikan atau memperbarui seluruh atau sebagian bangunan
gedung, jarak bebas bangunan yang telah ditetapkan dalam surat
keterangan rencana kota/kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (5) tidak boleh dilanggar.
(3) Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung
yang dibangun di bawah permukaan tanah disamping mempertimbangkan
keselamatan dan kesehatan bangunan dan lingkungan di sekitarnya, serta
tidak boleh mengganggu utilitas kota.
(4) Garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan , tepi sungai , tepi
pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi ditentukan
berdasarkan pertimbangan keselamatan dan kesehatan.
(5) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk
daerah di sepanjang jalan bilamana tidak ditentukan lain adalah separuh
lebar daerah milik jalan (damija) dihitung dari tepi batas persil/kavling .
(6) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk
daerah tepi sungai, bilamana tidak ditentukan lain adalah: § 100 m dari tepi
sungai sungai besar, dan 50 m dari tepi anak sungai yang berada di luar
permukiman. § 10 m dari tepi sungai yang berada di kawasan permukiman.
(7) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk
daerah pantai, bilamana tidak ditentukan lain adalah 100 meter dari garis
pasang tertinggi pada pantai yang bersangkutan.
(8) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk
daerah di tepi jalan kereta api dan jaringan tegangan tinggi mengikuti
ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
(9) Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun di bawah permukaan
tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak
diperbolehkan melewati batas persil/kavling.
(10) Pedoman teknis tatacara penetapan garis sempadan bangunan gedung
ditetapkan oleh Menteri.
(11) Jarak antara bangunan gedung yang satu dengan lainnya dalam satu
persil/kavling atau antara bangunan gedung dengan batas-batas
persil/kavling harus mempertimbangkan faktor keselamatan dan
kesehatan.
(12) Jarak antara bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (11) ,
apabila tidak ditentukan lain minimal adalah setengah tinggi bangunan
gedung.
(13) Ketentuan besarnya jarak bebas bangunan gedung dapat diperbaharui
dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan, perkembangan kota,
kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan
lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
(14) Pedoman teknis tatacara penetapan jarak bebas bangunan gedung
ditetapkan oleh Menteri.
3. Arsitektur Bangunan Gedung
(1) Arsitektur bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan
bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya,
serta harus mempertimbangkan perwujudan kualitas bangunan gedung
dan lingkungan.
(2) Untuk kawasan -kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan cagar
budaya, arsitektur bangunan gedung yang didirikan di dalamnya harus
dirancang dengan memperhatikan kaidah -kaidah arsitektur tradisional
yang menjadi dasar ditetapkannya kawasan/daerah tersebut sebagai cagar
budaya.
(3) Untuk kawasan-kawasan tertentu Pemerintah Daerah dapat menetapkan
kaidah - kaidah tertentu ars itektur bangunan gedung sebagai dasar
ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan dengan arsit ektur
tertentu.
(4) Arsitektur bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan
bangunan gedung yang dilestarikan, harus mempertimbangkan keserasian
dengan bangunan gedung yang dilestarikan tersebut.
(5) Ketentuan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) meliputi penampilan dan/atau tata ruang
dalam dan/atau keseimbangan dan keselarasan bangunan gedung dan
lingkungan.
(6) Pemerintah Daerah dalam menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), dan ayat (3) harus mendapat pertimbangan dari Tim Ahli,
serta melalui proses dengar pendapat publik.
(7) Penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(5) harus mempertimbangkan terhadap bentuk dan karakteristik arsitektur
dan lingkungan yang ada di sekitar bangunan gedung.
(8) Penerapan arsitektur dalam bangunan gedung dan lingkungannya
mengikuti kaidah-kaidah arsitektur yang berlaku.
(9) Tata Ruang Dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (5), harus mempertimbangkan fungsi ruang, efisiensi dan efektifitas
ruang, dengan mempertimbangkan ketentuan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan.
(10) Pemenuhan persyaratan keselamatan dalam tata ruang dalam diwujudkan
dalam hal penggunaan bahan bangunan dan tata letak ruang.
(11) Pemenuhan persyaratan kesehatan dalam tata ruang dalam diwujudkan
dalam hal pencahayaan, tata udara, dan penggunaan bahan bangunan.
(12) Pemenuhan persyaratan kemudahan dalam tata ruang dalam diwujudkan
dalam pemenuhan aksesibilitas antar ruang.
(13) Keseimbangan dan keselarasan bangunan gedung dan lingkungan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5) harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, Ruang
Terbuka Hijau (RTH) yang seimbang, serasi, dan sela ras dengan
lingkungannya.
(14) Dalam merencanakan ruang luar bangunan gedung harus
mempertimbangkan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan bagi pengguna dan lingkungannya, serta terpenuhinya
kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung.
BAB II
PERENCANAAN PRA KONSTRUKSI
2.1. Site Plan
Site Instalation adalah pekerjaan lanjutan untuk menentukan dan melakukan cara
pengaturan penempatan bangunan-bangunan sementara maupun penempatan material
bangunan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengerjaan bangunan. Site instalation
direncanakan sedemikian rupa sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan dengan
efektif dan efisien. Selain itu dapat menunjang kelancaran sirkulasi pekerja dan bahan
material bangunan yang keluar masuk. Jenis dan macamnya bangunan sementara yang
direncanakan tergantung dari besar kecilnya volume proyek dan juga sifat dari pekerjaan itu
sendiri.
Gambar 2.1. Site Plan Lokasi Proyek
Fasilitas-fasilitas sementara yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan ini antara lain :
2.1.1 Direksi Keet
Direksi keet ditempatkan di dekat pintu akses masuk dan keluar dari lokasi proyek.
Hal ini dikarenakan agar akses dari pekerja yang berkantor di direksi keet dan tamu
yang datang ke proyek mudah untuk mengaksesnya sehingga tidak mengganggu
sirkulasi dari pekerjaan konstruksi.
Direksi Keet adalah tempat untuk mengkoordinasi dan mengawasi semua kegiatan
pelaksanaan, menyangkut tentang kegiatan rapat periodik, pembuatan laporan pada
setiap item pekerjaan, penembatan peralatan gambar serta dokumen proyek, serta
penerimaan tamu dari luar. Ruang direksi keet dilengkapi dengan alat-alat tulis
termasuk pula meja kursi dan almari arsip. Pada ruangan dipasang gambar kerja
(bestek) secara rapi dan berita acara aanwizing dalam keadaan baik dan dapat
dibaca setiap saat pada waktu pelaksanaan pekerjaan.
Penempatan direksi keet dapat dilihat pada gambar lay out perletakan. Perletakan
ini disesuaikan dengan kebutuhan yang komplek terhadap ruangan ini, menyangkut
pelaksanaan pekerjaan, baik pekerjanya sendiri, pelaksana harian dan juga tamu.
Direksi keet ini dibuat dengan ukuran 4x5 meter dan dibuat bertingkat. Hal ini
dikarenakan lokasi proyek yang sempit sehingga kami memanfaatkan lahan yang ada
dengan sebaik-baiknya. Direksi keet dirancang dengan asumsi 20 orang yang
berkantor di direksi keet yang terdiri atas owner konsultan perencana, konsultan
pengawas, kontraktor, dan sub kontraktor. Direksi keet dilengkapi dengan ruang
rapat dan beberapa fasilitas pendukung seperti toilet dan mushollah.
2.1.2. Bengkel kerja
Penempatan bengkel kerja harus direncanakan agar sirkulasinya baik. Bengkel kerja
di tempatkan di dekat tempat penumpukan besi dan kayu agar mudah menjangkau
material tersebut yang akan diolah menjadi besi tulangan maupun bekisting.
Bengkel kerja adalah tempat pekerja untuk melaksanakan aktifitas pekerjaan
pembuatan bahan atau pekerjaan penulangan (pemotongan dan pembengkokan
tulangan) dan juga pekerjaan kayu agar terhindar dari panas dan hujan. Penempatan
dan pendirian bengkel kerja harus dirundingkan terlebih dahulu dengan pemilik
proyek. Bengkel kerja terdiri atas bengkel kerja kayu dan bengkel kerja pembesian.
Penempatan barak kerja sesuai pada gambar lay out dengan mempertimbangkan
sirkulasi keluar masuk baik material maupun pekerja.
2.1.3. Gudang Material
Penempatan gudang material di sesuaikan dengan progress dari proyek tersebut.
Pada tahap awal pekerjaan proyek lokasi gudang material diletakkan di dekat
bengkel kerja, namun setelah proyek tersebut naik beberapa lantai, gudang material
dapat dipindakan ke area lantai gedung yang sudah jadi. Gudang Material adalah
tempat untuk menyimpan beberapa material bangunan yang memerlukan
perlindungan ditempat khusus dari kelembaban udara seperti semen, kapur, bahan
finishing juga peralatan kerja sederhana, bahan elektrikal dan plumbing serta bahan
lain yang terkait dengan pelaksanaan. Ketinggian penyimpanan material 30 cm dari
lantai, dengan ketinggian tumpukan semen atau material lain kurang dari 2 m. Posisi
perletakan material diatur sedemikian rupa disesuaikan dengan tanggal penerimaan
serta disediakan penjaga untuk mengawasi dan mencatat aktifitas di gudang.
Penempatan gudang material disesuaikan dengan kebutuhan sirkulasi keluar masuk
barang yang ada diproyek. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar lay out
Site Instalation.
2.1.4. Kamar Mandi /WC
Toilet pada proyek ini terdapat di dua tempat, yaitu tiga buah toilet di bagian
belakang proyek dan dua buah didekat direksi kit. Pengambilan air melalui saluran
air kerja yang sudah ada melalui penyambungan pipa sanitasi. Penempatan toilet
harus didekatkan dengan saluran air yang ada disekitar proyek sehingga untuk
pembuangannya tidak membutuhkan banyak pipa dan pembuangan kakus dibuat
sementara. Lokasi penempatan sebagaimana dalam gambar lay out.
2.1.5. Pos Penjagaan
Pos penjagaan ditempatkan di dekat akses keluar masuk proyek. Pos penjagaan
adalah tempat petugas keamanan atau satpam untuk menjaga keamanan
pelaksanaan proyek. Mengontrol aktifitas keluar masuk baik pekerja, pelaksana
harian, supplier material maupun tamu dari luar. Juga membantu mengontrol
kualitas dan kuantitas bahan yang didatangkan.
2.1.6. Passenger Hoist
Lokasi penempatan passenger hoist terletak pada daerah yang memiliki kebebasan
vertikal. Barang tidak boleh dinaikkan melalui passenger hoist.
Pembuatan passenger hoist dilaksanakan ketika pembangunan mencapai lantai yang
tidak efektif apabila dinaiki secara manual (± lantai 5).
2.1.7. Mushollah
Pada proyek ini terdapat dua mushollah yang terletak di dekat direksi keet agar
mudah dijangkau dan menghindari kebisingan dari pekerjaan proyek Mushollah
berfungsi sebagai tempat ibadah bagi para pekerja yang beragama islam. Mushollah
diperlukan untuk menghormati kaum muslim yang ingin beribadah.
2.1.8. Torn Air
Torn air berfungsi sebagai tempat penampungan air, sehingga kinerja dari mesin air
tidak terlalu berat. Terletak pada lahan yang tidak dibangun dan daerah yang banyak
membutuhkan air kerja. Seperti toilet, mushollah, kantin dan car wash. Pada proyek
ini torn air diletakkan di dua tempat, torn pertama diletakkan di depan dan yang
kedua terletak di belakang area proyek.
2.1.9. Kantin
Kantin berfungsi sebagai tempat istirahat dan makan khususnya bagi para pekerja.
Kantin pada proyek ini ditempatkan diluar dari lokasi proyek karena keterbatasan
lahan yang ada.
2.1.10. Ruang Genset
Genset berfungsi sebagai sumber energi cadangan pada sebuah proyek. Rumah
genset ditempatkan pada lokasi yang strategis sehingga listrik mudah menjangkau
seluruh area proyek. Pada proyek ini ruang genset di tempatkan di sebelah ruang
gudang penyimpanan dan di lengkapi apat pemadam (APAR).
2.1.11. Car Wash
Car wash pada sebuah lokasi proyek berguna untuk membersihkan roda ban
kendaraan proyek dari kotoran-kotoran yang bisa mengotori jalan akses proyek
tersebut. Biasanya pada car wash menggunakn selang air yang bertekanan. Car wash
ditempatkan di dekat pintu akses keluar dari sebuah proyek.
2.1.12. Parkir
Penempatan lahan parkir harus memperhitungkan agar tidak mengganggu mobilitas
pekerjaan, serta terjaga keamanannya dari kecelakaan proyek dan pencurian. Pada
proyek ini lahan parkir ditempatkan di depat direksi kit.Lahan parkir berguna sarana
tempat menaruh kendaraan bermotor bagi karyawan. Lahan parkir pada proyek ini
dibuat hanya menggunakan pasir batu yang dipadatkan, dan bersifat sementara.
2.1.13. Penumpukan
Tempat penumpukan pada proyek ini berfungsi untuk menumpuk material kayu dan
papan yang digunakan untuk bekisting serta untuk menumpuk scafolding yang
digunakan sebagai perancah. Tempat penumpukan harus diletakkan di tempat yang
mudah terjangkau oleh pekerja agar mengefisiensikan waktu pengangkutan.
2.1.14. Penempatan Tower Crane
Tower Crane adalah suatu alat bantu yang ada hubungannya dengan akses bahan
dan material konstruksi dalam suatu proyek. Bila dijabarkan lebih lanjut, fungsinya
lebih dekat terhadap alat mobilisasi vertikal-horisontal yang amat sangat membantu
didalam pelaksanaan pekerjaan struktur.
Acuan Penempatan Tower Crane meliputi :
a. Radius Jangkau
Pemilihan radius jangkau dan jumlah Tower Crane yang diperlukan disesuaikan
dengan luasnya proyek sehingga dapat menjangkau area loading/ unloading dan
adanya overlapping dengan Tower Crane lainnya (apabila dibutuhkan lebih dari 1
Tower Crane).
b. Antisipasi Void Sementara
Untuk proyek perkantoran atau tower, Tower Crane sebaiknya diletakkan di luar
bangunan. Demikian juga untuk bangunan dengan area yang luas (seperti mall)
diusahakan agar penempatan Tower Crane di dalam bangunan seminimal
mungkin untuk mempermudah proses dismantling. Penempatan Tower Crane di
dalam bangunan harus memperhatikan struktur semua lantai agar void
sementara tersebut tidak menghalangi pekerjaan lainnya (seperti balok prestress,
ramp, bangunan utilitas).
c. Antisipasi Kemudahan Dismantling Tower Crane
Harus dipastikan agar pada saat dismantling Tower Crane, Mobile Crane dapat
mencapai lokasi tersebut, posisi jib dan counter weight tidak terhalang oleh
struktur bangunan pada saat penurunan dan terjangkau Mobile Crane.
2.1.15. Penempatan Mess Pekerja
Mess pekerja pada proyek ini ditempatkan diluar dari lokasi proyek. Mess pekerja
dibut dengan menyewa lahan kosong yang ada tidak jauh dari lokasi proyek. Mess
pekerja dibuat sementar dengan kayu dan triplek. Mess pekerja ditujukan untuk
para pekerja yang didatangkan dari daerah lain yang jauh dari lokasi proyek.
2.2. Time Schedule
Time schedule adalah rencana alokasi waktu untuk menyelesaikan masing-masing item
pekerjaan proyek yang secara keseluruhan adalah rentang waktu yang ditetapkan untuk
melaksanakan sebuah proyek.
Time schedule pada proyek konstruksi dapat dibuat dalam bentuk
Kurva S
Untuk mengetahui prestasi dari pekerjaan dilapangan, biasanya dilakukan pengukuran
tingkat keberhasilan kerja dengan bantuan kurva S. Maka dapat dikombinasikan dengan
gambar bar chart. Untuk menggambar kurva S, bar chart diubah dulu dalam bentuk
bobot presentase untuk setiap item pekerjaan. Untuk membuat bobot masing-masing
item pekerjaan dinyatakan dalam satu satuan.
Bar chart
Sistem ini termasuk cara yang banyak digunakan, sifat khusus menguntungkan dari
diagram balok ini :
Sederhana dalam penyusunan dan pembacaan.
Penggambaran paling mudah untuk mengkonsolidasikan kebutuhan sumber daya
menurut jenis dalam skala waktu yang teratur.
Penerapan diagram balok dapat berupa :
Penjadwalan proyek ( project time schedule ).
Pengembangan diagram balok dengan memasukan untuk lokasi kegiatan maupun
kebutuhan sumber daya ( time and location chart ).
Penjadwalan tenaga kerja ( man power schedule ).
Penjadwalan bahan ( material schedule ).
Penjadwalan dana ( money schedule / cash flow ).
Network planning
Suatu analisa perancangan program dan schedule kerja. CPM (Critical Part
Method)/PERT (Program Evaluation Research Task) yang dijabarkan dalam kegiatan
waktu penyelesaian dan biaya seluruh kegiatan digambarkan dalam bentuk network
atau jaringan.
Langkah penyusunan network planning suatu proyek :
Menginventarisasi kegiatan – kegiatan (aktivities) yang terdapat dalam proyek
tersebut.
Tentukan logika ketergantungan yang menghubungkan satu sama lain kegiatan.
Menggambarkan kebutuhan waktu berdasarkan teori perhitungan serta
pengalaman.
Mempunyai Float waktu untuk bisa terlambat.
Mempunyai lintasan kritis yang sangat menetukan waktu penyelesaian proyek.
Tujuan atau manfaat pembuatan time schedule pada sebuah proyek konstruksi antara lain:
Pedoman waktu untuk pengadaan sumber daya manusia yang dibutuhkan.
Pedoman waktu untuk pendatangan material yang sesuai dengan item pekerjaan yang
akan dilaksanakan.
Pedoman waktu untuk pengadaan alat-alat kerja.
Time schedule juga bermanfaan sebagai alat untuk mengendalikan waktu pelaksanaan
proyek.
Sebagai tolak ukur pencapaian target wakktu pelaksanaan pekerjaan.
Time schedule sebagai acuan untuk memulai dan mengakhiri sebuah kontrak kerja
proyek konstruksi.
Sebagai pedoman pencapaiaan progres pekerjaan setiap waktu tertentu.
Sebagai pedoman untuk menentukan batas waktu denda atas keterlambatan proyek
atau bonus atas percepatan proyek.
Sebagai pedoman untuk mengukur nilai suatu investasi.
Untuk dapat menyusun time schedule atau jadwal pelaksaan proyek yang baik dibutuhkan :
Gambar kerja proyek
Rencana anggaran biaya pelaksanaan proyek
Bill of Quantity (BQ) atau daftar volume proyek pekerjaan
Data lokasi proyek berada
Data sumber daya meliputi material, peralatan, sub kontraktor yang tersedia disekitar
lokasi pekerjaan proyek berlangsung.
Data kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Data cuaca atau musim di lokasi pekerjaan proyek.
Metode kerja yang digunakan untuk melaksanakan masing-masing item pekerjaan.
Data kapasitas produksi meliputi peralatan, tenaga kerja, sub kontraktor, material.
Data keuangan proyek meliputi arus kas, cara pembayaran pekerjaan, tenggang waktu
pembayaran progress dll.
2.3. Penyediaan Tenaga Kerja
Tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan harus terdiri dari tenaga terampil, baik tenaga
pelaksanaan mandor sampai ke tukang. Untuk mempermudah pengontrolan dan koordinasi
pelaksanaan kerja dalam melaksanakan pekerjaan, ada seorang mandor yang memimpin
setiap jenis pekerjaan dan bertanggung jawab kepada Site Manager. Sedangkan untuk
pekerjaan yang berat dan membutuhkan waktu cepat maka seorang tukang dapat dibantu
oleh beberapa orang pembantu sesuai dengan kecepatan pekerjaan yang diperlukan, agar
pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu. Penyediaan tenaga kerja untuk suatu proyek
hendaknya diperhatikan, sebaiknya tenaga kerja diambil dari lingkungan disekitar proyek
maupun dapat diambil dari daerah lain. Keuntungan mengambil tenaga kerja dari sekitar
lokasi proyek adalah kita tidak memerlukan mess untuk pekerja tinggal dan juga dapat
meminimalisir gesekan atau gangguan dari warga di sekitar proyek. Namun dalam
perekrutan pekerja hendaknya menetapkan kriteria tertentu di setiap posisi tenaga kerja
yang dibutuhkan.
2.4. Penyediaan Material
Kontraktor wajib untuk memenuhi persyaratan terhadap ketentuan spesifikasi bahan yang
tercantum dalam dokumen pelaksanaan (RKS). Dalam pengadaan bahan, maka Kontraktor
wajib mengajukan contoh kepada Direksi, perihal bahan yang akan didatangkan di lapangan
untuk mendapatkan pemeriksaan terhadap kesesuaian dengan dokumen pelaksanaan yang
selanjutnya akan disetujui oleh Direksi. Pembongkaran dan penempatan material harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direksi proyek.
Bahan konstruksi adalah sumber daya dasar baik yang berasal dari alam ataupun pabrik yang
digunakan mewujudkan suatu bangunan proyek. Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi harus sesuai dengan prasyarat yang telah ditetapkan dan tercantum
dalam rencana kerja, syarat teknis dan gambar kerja.
Adapun bahan/material yang digunakan sesuai dengan Peraturan Beton Bertulang Indonesia
1971 N.I – 2 adalah sebagai berikut :
2.4.1. Air
Air adalah bahan pembantu dalam pekerjaan konstruksi berdasarkan syarat syarat
yang sudah ditetapkan. Salah satu fungsi air adalah sebagai bahan pencampur
beton.
Air yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi mempunyai batasan – batasan
seperti yang tertera dalam PBI 1971 hal. 28 no. 3.6, yaitu :
Tidak mengandung minyak, asam, alkali, garam-garam, bahan-bahan organis atau
bahan-bahan lain yang dapat merusak beton atau baja tulangan. Disarankan
untuk memakai air bersih yang dapat diminum.
Bila terdapat keraguan, maka air dianjurkan untuk diperiksa di laboratorium yang
mampu menyelidiki kandungan zat tertentu yang mampu merusak beton dan
pembesiannya.
Bila pemeriksaan air di laboratorium tidak dapat dilakukan, maka harus dilakukan
uji kekuatan tekan mortel. Air tersebut dianggap dapat dipakai,apabila kekuatan
tekan mortel pada air itu di umur 7 dan 28 hari paling sedikit adalah 90% dari
kekuatan tekan mortel dengan memakai air suling.
Jumlah air yang dipakai untuk membuat adukan beton harus tepat.
2.4.2. Semen (Portland Cement)
Semen adalah bahan pengikat yang berfungsi untuk mengikat butiran-butiran dalam
suatu adukan beton. Selain digunakan sebagai bahan adukan, semen juga digunakan
sebagai bahan groting pada pekerjaan perbaikan beton ataupun pada beton pra
tekan (pree stress). Syarat-syarat dan cara penyimpanan semen adalah sebagai
berikut :
Semen yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi harus memenuhi syarat yang
ditentukan dalam PBI 1971.
Semen yang dituangkan harus masih dalam kantong yang tertutup rapat dan
dalam keadaan utuh.
Semen yang disimpan dalam gudang yang kering dan terlindungi dari pengaruh
cuaca, berventilasi yang cukup dan diletakkan diatas papan kayu dengan
ketinggian kira-kira 30 cm dari permukaan tanah dan 50 cm dari dinding.
Penimbunan semen tidak boleh lebih dari 5 tumpukan atau setinggi 2 m karena
hal itu akan mengakibatkan semen mengeras pada bagian bawah yang
disebabkan tekanan dari atasnya.
Jika ada bagian semen yang mulai mengeras maka bagian yang mengeras itu
harus ditekan langsung dengan tangan bebas dan jumlah bagian yang mengeras
tidak boleh dari 5 % dari berat semen.
Penimbunan semen yang baru didatangkan tidak boleh diatas timbunan semen
yang sudah ada serta pemakaian semen dilakukan urutan waktu dari
pengirimannya
Semen yang telah lama disimpan harus diadakan pengujian terlebih dahulu oleh
laboratorium dan semen yang menggumpal tidak boleh digunakan.
2.4.3. Agregat halus (pasir)
Pasir yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PBI
1971 yaitu:
Agregat halus untuk beton dapat berupa pasir alam sebagai hasil disintegrasi
alami atau pasir buatan.
Agregat halus terdiri dari butir-butir yang tajam dan keras, yang tidak pecah atau
hancur oleh pengaruh cuaca.
Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5 %, berarti bagian-
bagian yang dapat melalui ayakan 0,063 mm. apabila kadar lumpur melampaui 5
% maka agregat halus harus di cuci.
Agregat halus tidak boleh mengandung bahan organis terlalu banyak dengan
dibuktikan dengan percobaan warna Abrams-Harder (larutan NaOH).
Agregat halus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam (heterogen). Dengan
syarat berat sisa diatas ayakan 4 mm minimum 2 %, sisa ayakan 1 mm minimum
10%, sisa pada ayakan 0,25 mm berkisar 80 % dan 95 % berat.
Pasir laut tidak boleh dipakai sebagai agregat halus, kecuali ada petunjuk dari
lembaga pemeriksaan bahan yang diakui.
2.4.4. Agregat kasar (kerikil dan batu pecah)
Agregat kasar adalah agregat dengan butir lebih besar dari 5 mm dan lebih kecil dari
3 cm1. Penggunaan ini harus disesuaikan dengan Peraturan Beton Bertulang
Indonesia.
Agregat kasar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1
Agregat kasar harus berupa kerikil atau batu pecah sebagai hasil dari disintegrasi
alami dari batuan – batuan yang mempunyai susunan gradasi yang baik, cukup
syarat kekerasannya dan padat (tidak berpori).
Dimensi maksimum dari agregat kasar tidak lebih dari 2,0 cm dan tidak lebih dari
seperempat dimensi beton yang terkecil dari bagian konstruksi yang
bersangkutan.
Agregat kasar tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1 %, apabila melebihi 1
% maka agregat kasar harus di cuci.
Agregat kasar tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat merusak beton,
seperti zat reaktif alkali.
Kekerasan dari butir-butir agregat kasar diperiksa dengan mesin pengaus los
angles dan tidak boleh terjadi kehilangan berat lebih dari 50 %.
Agregat kasar harus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam besarnya dan
apabila di ayak dengan persentase berat sisa diayakan 31,5 mm harus 0 %, sisa di
ayakan 4 mm harus berkisar antara 90% - 98%, selisih antara sisa-sisa komulatif
antara dua ayakan maksimum 60% dan minimum 10 % berat.
2.4.5. Baja Tulangan
Baja tulangan adalah jenis baja yang dipakai dalam penulangan beton. Setiap baja
memiliki diameter yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Baja yang
dipakai dibuat di pabrik yang mutunya terjamin dan dapat diuji melalui
laboratorium. Baja tulangan berfungsi untuk menahan gaya tarikan gaya geser yang
bekerja pada konstruksi beton. Baja tulangan yang digunakan harus memenuhi
syarat –syarat sebagai berikut :
Sebelum dipasang, baja harus bebas dari karat, lemak, kotoran serta bahan
lainnya yang mengurangi daya lekat.
Tidak boleh dibengkokan dan diluruskan dengan cara yang dapat merusak
kekuatannya.
Penyambungan tulangan dibuat sambungan yang tertera dalam gambar-gambar
kerja, maka cara dan bentuk sambungan harus mendapat persetujuan dari
konsultan pengawas terlebih dahulu.
Pemotongan besi tidak boleh menggunakan las.
Stok besi yang ada jangan sampai melebihi dari 3 bulan agar besi tersebut
sewaktu dipasang belum berkarat, untuk itu di anjurkan pembelian besi dilakukan
secara bertahap.
Batang tulangan yang tidak bisa diluruskan tidak boleh digunakan.
Batang tulangan yang telah tertanam sebagian dalam beton tidak boleh
dibengkokkan, kecuali bila tertera dalam gambar dan diizinkan oleh pengawas.
2.4.6. Kayu dan multiplex
Kayu pada pekerjaan beton dipakai untuk pembuatan bekisting dan juga digunakan
untuk bangunan sementara. Kayu yang digunakan untuk bekisting terdiri dari papan
dan kaso, dan dipilih yang dimensinya presisi, tidak cacat seperti retak, cacat mata
kayu dan tidak lurus. Untuk bahan kayu yang berlapis (multiplex) harus memenuhi
syarat antara lain harus berkualitas baik corak maupun serat harus terpilih dan
warnannya merata, teakwood harus dihasilkan dari kayu jati terpilih memiliki mutu
yang baik, dan untuk plywood atau triplek harus mempunyai susunan lapisan yang
padat.
2.4.7. Bahan additive (Admixture)
Bahan additive adalah bahan tambahan pada campuran beton untuk memperbaiki
mutu beton itu sendiri, sifat-sifat pengerjaan, waktu pengikatan dan pengerasan
ataupun untuk maksud-masksud lain sesuai keinginan. Jenis dan jumlah bahan
pembantu yang dipakai harus disetujui terlebih dahulu oleh pengawas ahli. Selama
bahan pembantu ini dipakai harus diadakan pengawasan yang cermat terhadap
pemakaiannya. Dan manfaat dari bahan additive harus dapat dibuktikan dengan
hasil-hasil percobaan.
2.4.8. Beton jadi (Ready Mix)
Beton ini digunakan untuk memperoleh mutu beton yang dikehendaki/sesuai serta
untuk menghemat waktu pelaksanaan. Beton Ready Mix dipergunakan untuk
struktur utama seperti balok, kolom dan plat lantai. Pihak kontraktor tidak membuat
adukan beton ini, melainkan melakukan pemesanan melalui pihak supplier/subkon
beton ready mix.Perusahaan yang membuat beton Ready Mix ini seperti Holcim,
JayaMix, dan sebagainya. Beton jadi (ready mix) harus disediakan dari perusahaan
yang disetujui oleh manajer konstruksi. Suplier ready mix harus mengajukan mix
design dan memberikan catatan komposisi campuran dari jumlah semen, agregat,
dan jumlah air sesuai dengan mix design tersebut.. Keuntungan menggunakan beton
ready mix ini adalah sebagai berikut :
Tidak membutuhkan tempat yang luas guna penimbunan bahan material lokasi
proyek karena beton ini dibawa dengan menggunakan truk molen dan dituang
langsung pada posisi yang diinginkan.
Pekerjaan pengecoran dapat dilakukan dengan cepat.
Penggunaan alat –alat bantu dalam pembuatan beton dan tenaga kerja yang
dibutuhkan juga berkurang.
Dapat menghasilkan mutu beton yang diharapkan karena pembuatannya
diusahakan seteliti mungkin dan melalui proses pengujian (slump test).
Kerugian dalam pengunaan beton ready mix antara lain :
Masih terdapat sisa-sisa beton didalam truk mixer sehingga volume adukan beton
berkurang.
Apabila terjadi keterlambatan akibat kesalahan dalam pelaksanaan pengecoran
yang mengakibatkan adukan yang ada dalam truk mixer tersebut tidak layak
pakai lagi dan harus dibuang.
2.4.9. Tahu Beton (Beton Decking)
Beton decking terbuat dari campuran semen dan pasir yang berbentuk seperti
potongan balok/bulatan pipih dan diberi kawat ikat yang dimasukkan pada masing-
masing potongan tersebut. Fungsi beton decking adalah sebagai pendukung
tulangan pada saat pengecoran agar diperoleh selimut beton.
2.5. Penyediaan Alat dan Peralatan Kerja
Peralatan kerja merupakan peralatan mekanis yang minimal harus dimiliki dan digunakan di
lapangan oleh Kontraktor dalam kondisi layak untuk dipakai dan memenuhi syarat
keamanan yang ditentukan. Alat – alat yang dikenal dalam pekerjaan konstruksi adalah alat
yang digunakan untuk membantu manusia dalam melakukan pekerjaan pembangunan suatu
struktur. Tujuan dari penggunaan alat – alat konstruksi tersebut adalah untuk memudahkan
manusia dalam mengerjakan pekerjaannya sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai
dengan lebih mudah pada waktu yang relatif lebih singkat. Adapun alat – alat konstruksi
tersebut dapat kita bagi dalam 3 bagian, yaitu :
Alat-alat berat (Heavy equipment)
Alat-alat ringan (Light equipment)
Alat-alat bantu (Consumable equipment)
2.5.1. Alat – alat Berat (Heavy Equipment)
A. Tower Crane (TC)
Tower crane atau biasa disebut TC adalah alat yang digunakan untuk
mengangkat material secara vertikal dan horizontal ke suatu tempat yang tinggi
pada ruang gerak yang terbatas. Ada berbagai macam tipe TC yang digunakan
dalam pekerjaan konstruksi. Pemilihan jenis TC yang akan dipakai harus
mempertimbangkan :
Situasi proyek
Bentuk struktur bangunan
Kemudahan operasional baik saat pemasangan maupun pembongkaran TC
Ketinggian struktur bangunan yang dikerjakan.
Gambar 2.2. Tower Crane
B. Excavator
Excavator adalah alat yang digunakan untuk melakukan penggalian tanah,
pemindahan tanah, pegangkutan tanah dan perataaan tanah hasil galian atau
urgan kedalam/keluar proyek.
Gambar 2.3. Excavator
C. Dump Truck
Dump truck adalah alat yang digunakan untuk mengangkut tanah hasil
urugan/galian dari dalam/luar proyek atau material/bahan konstruksi dari pabrik
dengan menempuh jarak yang relatif jauh.
Gambar 2.4. Dump Truck
D. Truck Crane
Truck Crane adalah alat yang digunakan untuk mengangkat material/bahan di
sekitar lokasi proyek dengan ruang gerak yang relatif kecil. Yang menjadi
perbedaan antara truck crane dengan tower crane adalah truck crane dapat
berpindah tempat sedangkan tower crane bersifat tetap (permanen).
Gambar 2.5. Truck Crane
E. Concrete Pump
Concrete pump adalah alat yang berfungsi untuk mengirim atau memompa
adukan beton dari tempat pengadukan ke lokasi pengecoran. Concrete pump
berupa mesin yang berfungsi untuk memompa adukan beton dan pipa penyalur
ke lokasi pengecoran.
Gambar 2.6. Concrete Pump
F. Concrete Mixer Truck
Concrete mixer truck adalah alat yang berfungsi untuk membawa adukan beton
dari batching plant ke lokasi proyek. Mixer (Pengaduk) terus menerus berputar
mengaduk adukan beton sampaitiba di lokasi pengecoran.
Gambar 2.7. Concrete Mixer Truck
2.5.2. Alat-Alat Ringan (Light Equipment)
A. Alat Aduk Beton ( Molen/Batch Mixer)
Molen merupakan alat untuk membuat campuran pasir, kerikil, air dan semen
menjadi beton yang dilakukan di lapangan dan digunakan untuk kebutuhan
pekerjaan proyek.
B. Alat Pemotong Besi (Bar Cutter)
Alat ini berfungsi sebagai pemotong baja tulangan agar sesuai dengan ukuran
yang dikehendaki. Bar cutter yang lazim digunakan adalah bar cutter yang dalam
penggunaannya memakai tenaga listrik. Pengoperasiannya juga mudah, tidak
harus menggunakan tenaga ahli.
Gambar 2.8. Bar Cutter
C. Alat Pelengkung Besi (Bar Bunder)
Alat ini digunakan untuk membengkokkan besi tulangan sesuai dengan
kebutuhan atau bentuk dan ukuran yang diinginkan. Alat ini juga menggunakan
tenaga listrik dan operator.
Gambar 2.9.Bar Bunder
D. Vibrator (Mesin Penggetar)
Vibrator adalah alat untuk memadatkan beton. Selain itu vibrator juga dapat
berfungsi untuk mengeluarkan gelembung udara yang terdapat pada beton,
dimana gelembung udara tersebut dapat mengurangi kekuatan beton. Vibrator
terdiri dari motor diesel, ujung penggetar dan pipa yang menghubungkan motor
dengan ujung penggetar.
Gambar 2.10. Vibrator
E. Alat Penyemprot Udara (Air Compressor)
Alat ini digunakan untuk membersihkan lokasi yang akan dilakukan pengecoran
dari kotoran. Kotoran yang dibersihkan dengan alat ini antara lain: debu, pasir,
galian tanah, serbuk kayu, potongan kawat baja, paku. Caranya yaitu dengan
menyemprotkan udara dengan tekanan cukup tinggi. Pekerjaan ini dilakukan
sebelum pekerjaan pengecoran dimulai.
Gambar 2.11. Compressor
F. Alat Penyedot Air (Water Pump)
Alat ini digunakan untuk menyedot air yang terdapat di dalam lokasi pengecoran
ataupun sampit (sumur).
Gambar 2.12. Water Pump
G. Alat Grouting
Alat ini berfungsi untuk memasukkan adukan beton ke dalam celah/lubang yang
tidak dapat ditembus oleh tangan. Alat tersebut berupa mesin diesel, corong
sebagai tempat adukan beton, pipa karet dan batang besi berdiameter kecil.
Biasanya digunakan untuk pembuatan Dinding Penahan Tanah (DPT) Soil Nailing.
Gambar 2.13. Alat Grouting
H. Concrete Bucket
Alat ini berfungsi untuk membawa/mengangkut adukan beton yang digunakan
untuk pengecoran dengan bantuan tower crane.
Gambar 2.14. Concrete Bucket
I. Mesin Las
Alat ini digunakan untuk pekerjaan pengelasan besi tulangan atau untuk
menyambung besi tulangan satu dengan yang lain.
Gambar 2.15. Mesin Las
J. Trowel
Alat ini berfungsi untuk memperhalus permukaan pelat beton setelah di cor.
Gambar 2.16. Trowel
2.5.3. Alat-alat Bantu (Consumable Equipment)
A. Scaffolding (Tiang Perancah)
Alat yang terdiri dari batang – batang pipa besi yang saling membentuk suatu
penyanggah bekisting.
Gambar 2.17. Scafollding
B. Passenger Lift
Alat ini berfungsi untuk membantu para pekerja dalam melaksanakan suatu
pekerjaan di tiap lantai. Dalam hal ini dapat memudahkan para pekerja dalam
melaksanakan pekerjaan di masing – masing lantai tanpa harus naik turun
tangga.
Gambar 2.18. Passenger Lift
C. Generator
Alat ini berfungsi untuk mencukupi kebutuhan listrik baik siang maupun malam
hari seperti penggerak pompa air, mesin las, Bar Bender dan lain – lain.
Gambar 2.19. Generator
2.6. Pengendalian Biaya
Metode pengendalian biaya perlu disusun secara baik guna dipakai untuk mengendalikan
penggunaan dana yang ada, yaitu dengan membuat cash flow yang diatur perminggu.
Faktor-faktor yang menentukan pengendalian biaya yaitu :
1. Menentukan peralatan yang akan digunakan selama pelaksanaan proyek.
2. Menentukan jumlah pekerja yang dibutuhkan.
3. Memperkirakan lamanya waktu penyelesaian proyek.
4. Menentukan metode pekerjaan yang akan digunakan.
2.7. Struktur Organisasi Proyek
Secara umum yang dimaksud dengan mengorganisir adalah mengatur unsur-unsur sumber
daya perusahaan yang terdiri dari tenaga kerja, tenaga ahli, material, dana dan lain-lain
dalam suatu gerak langkah yang sejalan untuk mencapai tujuan organisasi yang efektif dan
efisien. Untuk maksud tersebut diperlukan sarana, yaitu organisasi. Organisasi proyek adalah
sebagai sarana dalam pencapaian tujuan dengan mengatur dan mengorganisasi sumber
daya, tenaga kerja, material, peralatan dan modal secara efektif dan efisien dengan
menerapkan system manajemen sesuai kebutuhan proyek.
Pengelolaan proyek membutuhkan suatu organisasi yang kuat dengan program, visi, misi
dan tujuan yang jelas sehingga kegiatan dilakukan dengan batasan dan standar yang telah
disepakati dan dilaksanakan dengan maksimal oleh personel penanggung jawab masing –
masing kegiatan. Hal ini dimaksudkan agar terdapat pendistribusian tugas dan wewenang
serta tanggung jawab antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Secara umum struktur organisasi suatu proyek konstruksi yang berskala besar terdiri dari :
1. Pemilik Proyek (Owner)
2. Konsultan Perencana
3. Konsultan Pengawas atau Konsultan Manajemen Konstruksi
4. Pelaksana (Kontraktor)
5. Sub Kontraktor
Gambar 2.20 Struktur Organisasi Proyek
Struktur organisasi proyek dibuat dengan situasi kultur dan keunikan berbeda berdasar
kebutuhan sistem manajemen proyek. Oleh karena itu, pemilihan organisasi proyek
didasarkan atas tingkat kebutuhan dan kompleksitas proyek; semakin kompleks proyek,
semakin kompleks pula susunan organisasinya.