BAB I,II

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Syarat-Syarat Umum Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Fungsi bangunan gedung adalah bentuk kegiatan utama manusia dalam bangunan gedung, seperti fungsi perkantoran sebagai tempat bekerja. 2. Klasifikasi bangunan gedung adalah pengelompokan jenis bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan teknis sesuai fungsinya. 3. Keterangan Rencana Kota/Kabupaten adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pada lokasi tertentu. 4. Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Kota kepada calon pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administrasi dan teknis yang berlaku. 5. Calon Pemilik adalah orang, kelompok orang, badan usaha, atau instansi pemerintah yang akan menjadi pemilik bangunan gedung yang akan didirikan. 6. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung (PIMB) adalah permohonan yang dilakukan oleh calon pemilk bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung. 7. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan antara seluruh luas lantai dasar bangunan gedung dengan luas lahan/tanah perpetakan/daerah

Transcript of BAB I,II

Page 1: BAB I,II

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Syarat-Syarat Umum

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Fungsi bangunan gedung adalah bentuk kegiatan utama manusia dalam bangunan

gedung, seperti fungsi perkantoran sebagai tempat bekerja.

2. Klasifikasi bangunan gedung adalah pengelompokan jenis bangunan gedung berdasarkan

pemenuhan tingkat persyaratan teknis sesuai fungsinya.

3. Keterangan Rencana Kota/Kabupaten adalah informasi tentang persyaratan tata

bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pada

lokasi tertentu.

4. Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh

Pemerintah Kabupaten Kota kepada calon pemilik bangunan gedung untuk membangun

baru, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan

persyaratan administrasi dan teknis yang berlaku.

5. Calon Pemilik adalah orang, kelompok orang, badan usaha, atau instansi pemerintah

yang akan menjadi pemilik bangunan gedung yang akan didirikan.

6. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung (PIMB) adalah permohonan yang

dilakukan oleh calon pemilk bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk

mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.

7. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan

antara seluruh luas lantai dasar bangunan gedung dengan luas lahan/tanah

perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata

bangunan yang ada.

8. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan antara jumlah seluruh luas

lantai seluruh bangunan gedung terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan

yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada. KLB ditetapkan

sesuai dengan rencana intensitas pemanfaatan lahan dari suatu lingkungan berdasarkan

rencana kota yang ada, yang sekaligus dapat membatasi ketinggian bangunan.

9. Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang

terbuka di luar bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas

tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan tata

bangunan yang ada.

Page 2: BAB I,II

10.Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang yang dimaksudkan untuk konservasi air tanah,

paru-paru kota, dan dapat menjadi tempat hidup dan berkembangnya plasma nutfah

(flora fauna dan ekosistemnya). Ruang terbuka dengan perkerasan dan diberi pot

tumbuhan tidak termasuk ruang terbuka hijau.

11.Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP) adalah ruang terbuka hijau yang terletak dalam

persil tempat bangunan gedung didirikan dan merupakan bagian dari RTH.

12.Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota adalah hasil perencanaan tata

ruang wilayah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

13.Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu

kawasan untuk mengendali kan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program

bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,

ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

14.Prasarana/sarana umum adalah wujud konstruksi fisik yang dibangun dan digunakan

untuk kepentingan publik seperti jalan, jembatan, terminal darat/laut/udara, taman,

menara listrik, menara telekomunikasi, menara air.

15.Utilitas umum adalah wujud konstruksi fisik yang dibangun dan dibutuhkan untuk

kepenti ngan publik terdiri dari antara lain jaringan listrik, gas, air bersih, telepon,

pembuangan, dan pemadam kebakaran.

16.Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung.

1.2. Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung

1.2.1. Fungsi

(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung merupakan acuan untuk persyaratan

teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi intensitas bangunan gedung,

arsitektur bangunan gedung dan lingkungan, keandalan bangunan gedung,

maupun dari segi keserasian bangunan gedung terhadap lingkungannya.

(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikelompokkan

menjadi fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial dan

budaya, dan fungsi khusus.

(3) Klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dikelompokkan berdasarkan tingkat pemenuhan persyaratan teknis sesuai

fungsinya.

Page 3: BAB I,II

Fungsi bangunan gedung meliputi:

1. Fungsi hunian merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai

tempat manusia tinggal yang berupa bangunan hunian tunggal, hunian jamak,

hunian sementara, dan hunian campuran.

2. Fungsi keagamaan merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai

tempat manusia melakukan ibadah yang berupa bangunan masjid termasuk

mushola, bangunan gereja termasuk kapel, pura, wihara, dan kelenteng;

3. Fungsi usaha merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama sebagai

tempat manusia melakukan kegiatan usaha yang terdiri dari bangunan gedung

perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi,

terminal, dan bangunan gedung tempat penyimpanan.

4. Fungsi so sial dan budaya merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama

sebagai tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya yang terdiri dari

bangunan gedung pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan,

laboratorium, dan bangunan gedung pelayanan umum

5. Fungsi khusus merupakan bangunan gedung dengan fungsi utama yang

mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi, atau tingkat resiko bahaya tinggi.

(1) Fungsi bangunan gedung diusulkan oleh calon pemilik bangunan gedung

pada rencana teknis bangunan gedung dan tidak boleh bertentangan

dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW Kabupaten/Kota

dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota.

(2) Fungsi bangunan gedung merupakan acuan untuk persyaratan teknis

bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungan,

maupun keandalannya.

(3) Penetapan fungsi dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada saat proses

pemberian Izin Mendirikan Bangunan Gedung, berdasarkan rencana teknis

yang disampaikan oleh calon pemilik bangunan gedung.

(4) Fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan dalam IMB tidak dapat

diubah, kecuali dengan mengajukan kembali proses IMB.

(5) Untuk kepentingan tertentu, penetapan fungsi bangunan gedung

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat bersifat sementara.

Page 4: BAB I,II

1.2.2. Klasifikasi Bangunan Gedung

Untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung secara efektif sesuai tingkatan

pemenuhan persyaratan teknisnya perlu diklasifikasikan berdasarkan tingkat

kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat ketahanan terhadap kebakaran, lokasi,

ketinggian, dan kepemilikan.

(1) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana dimaksud pada Pasal

8 meliputi bangunan gedung sederhana, bangunan gedung tidak sederh ana,

dan bangunan gedung khusus.

(2) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana dimaksud pada Pasal 8

meliputi bangunan permanen, bangunan semi permanen, dan bangunan

darurat atau sementara.

(3) Klasifikasi berdasarkan tingkat ketahanan terhadap kebakaran sebagaimana

dimaksud pada Pasal 8 meliputi bangunan ketahanan tinggi, ke tahanan sedang,

dan ketahanan rendah.

(4) Klasifikasi berdasarkan lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 meliputi

lokasi padat, lokasi sedang, dan lokasi renggang.

(5) Klasifikasi berdasarkan ketinggian sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 meliputi

bangunan bertingkat tinggi, bangunan bertingkat sedang, dan bangunan

bertingkat rendah.

(6) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8

meliputi bangunan gedung negara, bangunan gedung badan usaha, bangunan

gedung perorangan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi bangunan gedung sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), diatur oleh Menteri.

1.2.3. Perubahan Fungsi dan / atau Klasifikasi

(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedun g, dimungkinkan adanya perubahan

fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung yang telah ditetapkan.

(2) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh Pemilik

dan tidak boleh bertentangan dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam

RTRW Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Teknis Ruang Kota.

(3) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung harus diikuti dengan

pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang

Page 5: BAB I,II

dipersyaratkan untuk fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung yang

bersangkutan.

(4) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah melalui revisi atau proses perizinan baru untuk bangunan

gedung yang bersangkutan.

(5) Dengan adanya perubahan fungsi dan/atau klasifikasi suatu bangunan ge dung,

maka juga harus dilakukan perubahan pada data kepemilikan bangunan gedung

yang bersangkutan.

(6) Pedoman teknis tatacara penetapan dan perubahan fungsi bangunan gedung

dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

1.3. Persyaratan Administratif

1.3.1. Status Hak atas Tanah

(1) Status hak atas tanah, yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat, merupakan

persyaratan dasar untuk mendirikan bangunan gedung.

(2) Dalam status hak atas tanah harus dilengkapi dengan gambar yang jelas

mengenai lokasi tanah yang bersangkutan yang memuat ukuran dan batas-

batas persil.

(3) Dalam hal status tanahnya merupakan milik orang lain, maka diperlukan izin

pemanfaatan tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang hak atas

tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.

(4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memuat dengan

jelas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, status tanah, luas tanah, fungsi

bangunan gedung yang akan dibangun, waktu berlakunya perjanjian, dan hal-

hal lain yang disepakati oleh kedua bel ah pihak dengan tetap mengacu pada

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

1.3.2. Status Kepemilikan Bangunan Gedung

(1) Status kepemilikan bangunan gedung merupakan surat bukti kepemilikan

bangunan gedung yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan hasil

kegiatan pendataan dan pendaftaran bangunan gedung.

(2) Status kepemilikan bangunan gedung sebagimana dimaksud dalam ayat (1)

dapat terpisah dari status kepemilikan tanah.

(3) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.

Page 6: BAB I,II

(4) Dalam hal pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3), maka pemilik baru:

a. sebelum memanfaatkan bangunan gedung yang bersangkutan harus

memastikan bangunan gedung tersebut dala m kondisi laik fungsi;

b. selama memanfaatkan bangunan gedung yang bersangkutan wajib

memenuhi persyaratan yang berlaku.

(5) Kegiatan pendataan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (1), untuk bangunan baru dilakukan bersamaan den gan proses perizinan

bangunan gedung.

(6) Kegiatan pendataan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (1), untuk bangunan yang telah berdiri dilakukan bersamaan dengan proses

pengesahan sertifikat laik fungsi bangunan gedung.

(7) Calon pemilik atau pemilik bangunan gedung wajib memberikan data yang

diperlukan oleh Pemerintah Daerah dalam melakukan pendataan dan

pendaftaran bangunan gedung.

(8) Berdasarkan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) dan ayat (3), selanjutnya calon pemil ik atau pemilik bangunan gedung

memperoleh surat bukti kepemilikan bangunan gedung dari Pemerintah

Daerah.

(9) Pedoman teknis tatacara pendataan dan pendaftaran bangunan gedung diatur

oleh Menteri.

1.3.3. Izin Mendirikan Bangunan

(1) Izin Mendirikan Bangunan merupakan persyaratan perizinan yang harus

diproses oleh setiap orang atau badan hukum yang akan mendirikan bangunan

gedung.

(2) Setiap orang atau badan hukum yang akan mendirikan bangunan gedung, yang

selanjutnya disebut calon pemilik bangunan ge dung, harus mendapatkan IMB

dari Pemerintah Daerah dengan mengajukan permohonan izin mendirikan

bangunan (PIMB).

(3) Sebelum mengajukan PIMB sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) calon pemilik

bangunan gedung harus mendapatkan surat keterangan rencana

kota/kabupaten pada lokasi tempat bangunan gedung yang akan didirikan .

Page 7: BAB I,II

(4) Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan rencana kota/kabupaten

untuk lokasi yang bersangkutan kepada calon pemilik bangunan gedung yang

akan mendirikan bangunan gedung.

(5) Keterangan rencana kota/kabupaten untuk lokasi yang bersangkutan

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (4), merupakan persyaratan –

persyaratan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan, yang berisi:

a. Jenis fungsi bangunan yang boleh dibangun pada lokasi yang bersangkutan;

b. Ketinggian maksimum bangunan yang diizinkan;

c. Jumlah lantai/lapis bangunan di bawah permukaan tanah yang diizinkan;

d. Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan yang diizinkan;

e. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum yang diizinkan;

f. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum yang diizinkan;

g. Koefisien Daerah Hijau (KDH) minimum yang diizinkan;

(6) Dalam hal lokasi yang bersangkutan terletak pada kawasan yang rawan bencana

gempa, longsor, ataupun banjir, Pemerintah Daerah menetapkan persya

ratanpersyaratan khusus untuk bangunan gedung yang akan didirikan.

(7) Dalam hal lokasi yang bersangkutan terletak pada kawasan atau lingkungan

yang dilindungi dan/atau dilestarikan, maka Pemerintah Daerah menetapkan

persyaratan-persyaratan khusus untuk bangunan gedung yang akan didirikan.

(8) Keterangan rencana kota/kabupaten sebagaimana dimaksud dalam (5), (6),

dan/atau (7), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan

gedung.

(9) PIMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dil engkapi dengan:

a. status hak atas tanah sebagai bukti penguasaan atas tanah yang

diwujudkan dalam bentuk:

i. sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/ kepemilikan tanah, atau ;

ii. sertifikat disertai izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah yang

berupa perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau

pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung, dalam hal pemilik

bangunan gedung berbeda dengan pemilik tanah;

b. data calon pemilik bangunan gedung;

c. dokumen rencana teknis dari bangunan gedung yang bersangkutan yang

telah disusun dan memenuhi persyaratan teknis sesuai fungsi dan

Page 8: BAB I,II

klasifikasinya, yang dilampiri dengan surat keterangan rencana

kota/kabupaten dari Pemerintah Daerah untuk lokasi yang bersangkutan;

d. hasil analisis mengenai dampak l ingkungan bagi bangunan gedung yang

menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

(10) PIMB yang memenuhi persyaratan administrasi dan teknis disetujui dan

disyahkan dalam bentuk IMB oleh Bupati/Walikota.

(11) IMB merupakan alat kendali bagi Pemerintah Daerah bahw a bangunan gedung

yang akan didirikan memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis

sesuai fungsi dan klasifikasi bangunan gedung yang bersangkutan.

(12) IMB merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum

kota/kabupaten bagi bangunan gedung yang

1.4. Persyaratan Teknis

1.4.1. Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan

1. Peruntukan Lokasi, Kepadatan dan Ketinggian Bangunan

(1) Setiap mendirikan bangunan gedung, fungsinya harus sesuai dengan

peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam surat keterangan rencana

kota/kabupaten yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat(5).

(2) Surat keterangan rencana kota/kabupaten sebagaimana dimaksud dalam

ayat(1) didasarkan pada rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota

dan/atau rencana teknis ruang kabupaten/kota dan/atau rencana tata

bangunan dan lingkungan untuk lokasi yang bersangkutan.

(3) Bagi daerah yang belum memiliki RTRW kabupaten/kota dan/atau rencana

teknis ruang kabupaten/kota dan/atau rencana tata bangunan dan

lingkungan untuk lokasi yang bersangkutan, Bupati/Walikota dapat

memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung pada daerah

tersebut untuk jangka waktu sementara.

(4) Apabila RTRW kabupaten dan/atau renc ana teknis ruang kabupaten/kota

dan/atau rencana tata bangunan dan lingkungan untuk lokasi yang

bersangkutan telah ditetapkan, maka bangunan gedung tersebut harus

disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan.

(5) Ketentuan tentang peruntukan lokasi lebih l anjut diatur dalam Peraturan

Daerah.

Page 9: BAB I,II

(6) Setiap bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan

kepadatan dan ketinggian maksimal yang ditetapkan dalam surat

keterangan rencana kota/kabupaten yang diberikan oleh Pemerintah

Daerah sebaga imana dimaksud pada Pasal 15 ayat (5) rencana untuk lokasi

yang bersangkutan .

(7) Persyaratan kepadatan maksimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)

ditetapkan dalam bentuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien

Lantai Bangunan (KLB) yang diberlakukan kavling -per kavling atau per

kawasan.

(8) Penetapan besaran persyaratan kepadatan dan ketinggian maksimal

sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan

mempertimbangkan perkembangan kota, kebijakan intensitas

pembangunan, daya dukung lahan/lingkungan, serta keseimbangan dan

keserasian lingkungan dan pemenuhan persyaratan teknis keandalan

bangunan gedung, dan/atau pertimbangan khusus lainnya.

(9) Penetapan KDB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), didasarkan

pada luas persil/kavling, peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung

lingkungan.

(10) Penetapan KDB untuk suatu kawasan yang terdiri atas beberapa

persil/kavling, dapat dilakukan berdasarkan pada total luas bangun

bangunadap total luas kawasan, dengan tetap mempertimbangkan

peruntuka n atau fungsi kawasan, dan daya dukung lingkungan.

(11) Penetapan KDB dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan

renggang.

(12) Untuk daerah/kawasan pusat Kota, dapat ditetapkan KDB padat dan/atau

sedang, sedangkan untuk daerah/kawasan fungsi resapan ditetapka n KDB

renggang.

(13) Penetapan jumlah luas lantai maksimum bangunan gedung atau KLB

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) didasarkan pada

peruntukan lahan, lokasi lahan, dan daya dukung lingkungan, serta

pertimbangan arsitektur kota.

(14) Dimungkinkan adanya kompensasi/insentif berupa penambahan besarnya

koefisien KDB dan/atau KLB bagi perpetakan tanah yg memberikan

sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum.

Page 10: BAB I,II

(15) Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, dengan pertimbangan

kepentingan umum dan dengan pers etujuan Bupati/Walikota, dapat

diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan kepadatan,

ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan lainnya dengan tetap

memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan.

(16) Penetapan KDB dan KLB sebagaimana dimaksud dalam (9), ayat (10), ayat

(11), ayat (12), dam ayat (13) serta kompensasi/insentif sebagaimana

dimaksud dalam ayat (14) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

(17) Pedoman teknis tatacara penentuan besaran KDB dan KLB ditetapkan oleh

Menteri.

2. Jarak Bebas Bangunan Gedung

(1) Jarak bebas bangunan gedung yang berupa garis sempadan bangunan

gedung, dan jarak antara bangunan gedung harus mempertimbangkan

keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan

serta ketinggian bangunan.

(2) Dalam mendirikan atau memperbarui seluruh atau sebagian bangunan

gedung, jarak bebas bangunan yang telah ditetapkan dalam surat

keterangan rencana kota/kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal

15 ayat (5) tidak boleh dilanggar.

(3) Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung

yang dibangun di bawah permukaan tanah disamping mempertimbangkan

keselamatan dan kesehatan bangunan dan lingkungan di sekitarnya, serta

tidak boleh mengganggu utilitas kota.

(4) Garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan , tepi sungai , tepi

pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi ditentukan

berdasarkan pertimbangan keselamatan dan kesehatan.

(5) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk

daerah di sepanjang jalan bilamana tidak ditentukan lain adalah separuh

lebar daerah milik jalan (damija) dihitung dari tepi batas persil/kavling .

(6) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk

daerah tepi sungai, bilamana tidak ditentukan lain adalah: § 100 m dari tepi

sungai sungai besar, dan 50 m dari tepi anak sungai yang berada di luar

permukiman. § 10 m dari tepi sungai yang berada di kawasan permukiman.

Page 11: BAB I,II

(7) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk

daerah pantai, bilamana tidak ditentukan lain adalah 100 meter dari garis

pasang tertinggi pada pantai yang bersangkutan.

(8) Letak garis sempadan bangunan gedung terluar tersebut ayat (4), untuk

daerah di tepi jalan kereta api dan jaringan tegangan tinggi mengikuti

ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

(9) Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun di bawah permukaan

tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak

diperbolehkan melewati batas persil/kavling.

(10) Pedoman teknis tatacara penetapan garis sempadan bangunan gedung

ditetapkan oleh Menteri.

(11) Jarak antara bangunan gedung yang satu dengan lainnya dalam satu

persil/kavling atau antara bangunan gedung dengan batas-batas

persil/kavling harus mempertimbangkan faktor keselamatan dan

kesehatan.

(12) Jarak antara bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (11) ,

apabila tidak ditentukan lain minimal adalah setengah tinggi bangunan

gedung.

(13) Ketentuan besarnya jarak bebas bangunan gedung dapat diperbaharui

dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan, perkembangan kota,

kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan

lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.

(14) Pedoman teknis tatacara penetapan jarak bebas bangunan gedung

ditetapkan oleh Menteri.

3. Arsitektur Bangunan Gedung

(1) Arsitektur bangunan gedung harus dirancang dengan memperhatikan

bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya,

serta harus mempertimbangkan perwujudan kualitas bangunan gedung

dan lingkungan.

(2) Untuk kawasan -kawasan tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan cagar

budaya, arsitektur bangunan gedung yang didirikan di dalamnya harus

dirancang dengan memperhatikan kaidah -kaidah arsitektur tradisional

yang menjadi dasar ditetapkannya kawasan/daerah tersebut sebagai cagar

budaya.

Page 12: BAB I,II

(3) Untuk kawasan-kawasan tertentu Pemerintah Daerah dapat menetapkan

kaidah - kaidah tertentu ars itektur bangunan gedung sebagai dasar

ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan dengan arsit ektur

tertentu.

(4) Arsitektur bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan

bangunan gedung yang dilestarikan, harus mempertimbangkan keserasian

dengan bangunan gedung yang dilestarikan tersebut.

(5) Ketentuan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) meliputi penampilan dan/atau tata ruang

dalam dan/atau keseimbangan dan keselarasan bangunan gedung dan

lingkungan.

(6) Pemerintah Daerah dalam menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2), dan ayat (3) harus mendapat pertimbangan dari Tim Ahli,

serta melalui proses dengar pendapat publik.

(7) Penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat

(5) harus mempertimbangkan terhadap bentuk dan karakteristik arsitektur

dan lingkungan yang ada di sekitar bangunan gedung.

(8) Penerapan arsitektur dalam bangunan gedung dan lingkungannya

mengikuti kaidah-kaidah arsitektur yang berlaku.

(9) Tata Ruang Dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal

23 ayat (5), harus mempertimbangkan fungsi ruang, efisiensi dan efektifitas

ruang, dengan mempertimbangkan ketentuan keselamatan, kesehatan,

kenyamanan, dan kemudahan.

(10) Pemenuhan persyaratan keselamatan dalam tata ruang dalam diwujudkan

dalam hal penggunaan bahan bangunan dan tata letak ruang.

(11) Pemenuhan persyaratan kesehatan dalam tata ruang dalam diwujudkan

dalam hal pencahayaan, tata udara, dan penggunaan bahan bangunan.

(12) Pemenuhan persyaratan kemudahan dalam tata ruang dalam diwujudkan

dalam pemenuhan aksesibilitas antar ruang.

(13) Keseimbangan dan keselarasan bangunan gedung dan lingkungan

bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5) harus

mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, Ruang

Terbuka Hijau (RTH) yang seimbang, serasi, dan sela ras dengan

lingkungannya.

Page 13: BAB I,II

(14) Dalam merencanakan ruang luar bangunan gedung harus

mempertimbangkan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan

kemudahan bagi pengguna dan lingkungannya, serta terpenuhinya

kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung.

Page 14: BAB I,II

BAB II

PERENCANAAN PRA KONSTRUKSI

2.1. Site Plan

Site Instalation adalah pekerjaan lanjutan untuk menentukan dan melakukan cara

pengaturan penempatan bangunan-bangunan sementara maupun penempatan material

bangunan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengerjaan bangunan. Site instalation

direncanakan sedemikian rupa sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan dengan

efektif dan efisien. Selain itu dapat menunjang kelancaran sirkulasi pekerja dan bahan

material bangunan yang keluar masuk. Jenis dan macamnya bangunan sementara yang

direncanakan tergantung dari besar kecilnya volume proyek dan juga sifat dari pekerjaan itu

sendiri.

Gambar 2.1. Site Plan Lokasi Proyek

Fasilitas-fasilitas sementara yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan ini antara lain :

2.1.1 Direksi Keet

Direksi keet ditempatkan di dekat pintu akses masuk dan keluar dari lokasi proyek.

Hal ini dikarenakan agar akses dari pekerja yang berkantor di direksi keet dan tamu

yang datang ke proyek mudah untuk mengaksesnya sehingga tidak mengganggu

sirkulasi dari pekerjaan konstruksi.

Page 15: BAB I,II

Direksi Keet adalah tempat untuk mengkoordinasi dan mengawasi semua kegiatan

pelaksanaan, menyangkut tentang kegiatan rapat periodik, pembuatan laporan pada

setiap item pekerjaan, penembatan peralatan gambar serta dokumen proyek, serta

penerimaan tamu dari luar. Ruang direksi keet dilengkapi dengan alat-alat tulis

termasuk pula meja kursi dan almari arsip. Pada ruangan dipasang gambar kerja

(bestek) secara rapi dan berita acara aanwizing dalam keadaan baik dan dapat

dibaca setiap saat pada waktu pelaksanaan pekerjaan.

Penempatan direksi keet dapat dilihat pada gambar lay out perletakan. Perletakan

ini disesuaikan dengan kebutuhan yang komplek terhadap ruangan ini, menyangkut

pelaksanaan pekerjaan, baik pekerjanya sendiri, pelaksana harian dan juga tamu.

Direksi keet ini dibuat dengan ukuran 4x5 meter dan dibuat bertingkat. Hal ini

dikarenakan lokasi proyek yang sempit sehingga kami memanfaatkan lahan yang ada

dengan sebaik-baiknya. Direksi keet dirancang dengan asumsi 20 orang yang

berkantor di direksi keet yang terdiri atas owner konsultan perencana, konsultan

pengawas, kontraktor, dan sub kontraktor. Direksi keet dilengkapi dengan ruang

rapat dan beberapa fasilitas pendukung seperti toilet dan mushollah.

2.1.2. Bengkel kerja

Penempatan bengkel kerja harus direncanakan agar sirkulasinya baik. Bengkel kerja

di tempatkan di dekat tempat penumpukan besi dan kayu agar mudah menjangkau

material tersebut yang akan diolah menjadi besi tulangan maupun bekisting.

Bengkel kerja adalah tempat pekerja untuk melaksanakan aktifitas pekerjaan

Page 16: BAB I,II

pembuatan bahan atau pekerjaan penulangan (pemotongan dan pembengkokan

tulangan) dan juga pekerjaan kayu agar terhindar dari panas dan hujan. Penempatan

dan pendirian bengkel kerja harus dirundingkan terlebih dahulu dengan pemilik

proyek. Bengkel kerja terdiri atas bengkel kerja kayu dan bengkel kerja pembesian.

Penempatan barak kerja sesuai pada gambar lay out dengan mempertimbangkan

sirkulasi keluar masuk baik material maupun pekerja.

2.1.3. Gudang Material

Penempatan gudang material di sesuaikan dengan progress dari proyek tersebut.

Pada tahap awal pekerjaan proyek lokasi gudang material diletakkan di dekat

bengkel kerja, namun setelah proyek tersebut naik beberapa lantai, gudang material

dapat dipindakan ke area lantai gedung yang sudah jadi. Gudang Material adalah

tempat untuk menyimpan beberapa material bangunan yang memerlukan

perlindungan ditempat khusus dari kelembaban udara seperti semen, kapur, bahan

finishing juga peralatan kerja sederhana, bahan elektrikal dan plumbing serta bahan

lain yang terkait dengan pelaksanaan. Ketinggian penyimpanan material 30 cm dari

lantai, dengan ketinggian tumpukan semen atau material lain kurang dari 2 m. Posisi

perletakan material diatur sedemikian rupa disesuaikan dengan tanggal penerimaan

serta disediakan penjaga untuk mengawasi dan mencatat aktifitas di gudang.

Penempatan gudang material disesuaikan dengan kebutuhan sirkulasi keluar masuk

barang yang ada diproyek. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar lay out

Site Instalation.

2.1.4. Kamar Mandi /WC

Page 17: BAB I,II

Toilet pada proyek ini terdapat di dua tempat, yaitu tiga buah toilet di bagian

belakang proyek dan dua buah didekat direksi kit. Pengambilan air melalui saluran

air kerja yang sudah ada melalui penyambungan pipa sanitasi. Penempatan toilet

harus didekatkan dengan saluran air yang ada disekitar proyek sehingga untuk

pembuangannya tidak membutuhkan banyak pipa dan pembuangan kakus dibuat

sementara. Lokasi penempatan sebagaimana dalam gambar lay out.

2.1.5. Pos Penjagaan

Pos penjagaan ditempatkan di dekat akses keluar masuk proyek. Pos penjagaan

adalah tempat petugas keamanan atau satpam untuk menjaga keamanan

pelaksanaan proyek. Mengontrol aktifitas keluar masuk baik pekerja, pelaksana

harian, supplier material maupun tamu dari luar. Juga membantu mengontrol

kualitas dan kuantitas bahan yang didatangkan.

2.1.6. Passenger Hoist

Lokasi penempatan passenger hoist terletak pada daerah yang memiliki kebebasan

vertikal. Barang tidak boleh dinaikkan melalui passenger hoist.

Pembuatan passenger hoist dilaksanakan ketika pembangunan mencapai lantai yang

tidak efektif apabila dinaiki secara manual (± lantai 5).

2.1.7. Mushollah

Pada proyek ini terdapat dua mushollah yang terletak di dekat direksi keet agar

mudah dijangkau dan menghindari kebisingan dari pekerjaan proyek Mushollah

berfungsi sebagai tempat ibadah bagi para pekerja yang beragama islam. Mushollah

diperlukan untuk menghormati kaum muslim yang ingin beribadah.

2.1.8. Torn Air

Torn air berfungsi sebagai tempat penampungan air, sehingga kinerja dari mesin air

tidak terlalu berat. Terletak pada lahan yang tidak dibangun dan daerah yang banyak

membutuhkan air kerja. Seperti toilet, mushollah, kantin dan car wash. Pada proyek

ini torn air diletakkan di dua tempat, torn pertama diletakkan di depan dan yang

kedua terletak di belakang area proyek.

Page 18: BAB I,II

2.1.9. Kantin

Kantin berfungsi sebagai tempat istirahat dan makan khususnya bagi para pekerja.

Kantin pada proyek ini ditempatkan diluar dari lokasi proyek karena keterbatasan

lahan yang ada.

2.1.10. Ruang Genset

Genset berfungsi sebagai sumber energi cadangan pada sebuah proyek. Rumah

genset ditempatkan pada lokasi yang strategis sehingga listrik mudah menjangkau

seluruh area proyek. Pada proyek ini ruang genset di tempatkan di sebelah ruang

gudang penyimpanan dan di lengkapi apat pemadam (APAR).

2.1.11. Car Wash

Car wash pada sebuah lokasi proyek berguna untuk membersihkan roda ban

kendaraan proyek dari kotoran-kotoran yang bisa mengotori jalan akses proyek

tersebut. Biasanya pada car wash menggunakn selang air yang bertekanan. Car wash

ditempatkan di dekat pintu akses keluar dari sebuah proyek.

2.1.12. Parkir

Penempatan lahan parkir harus memperhitungkan agar tidak mengganggu mobilitas

pekerjaan, serta terjaga keamanannya dari kecelakaan proyek dan pencurian. Pada

proyek ini lahan parkir ditempatkan di depat direksi kit.Lahan parkir berguna sarana

tempat menaruh kendaraan bermotor bagi karyawan. Lahan parkir pada proyek ini

dibuat hanya menggunakan pasir batu yang dipadatkan, dan bersifat sementara.

2.1.13. Penumpukan

Page 19: BAB I,II

Tempat penumpukan pada proyek ini berfungsi untuk menumpuk material kayu dan

papan yang digunakan untuk bekisting serta untuk menumpuk scafolding yang

digunakan sebagai perancah. Tempat penumpukan harus diletakkan di tempat yang

mudah terjangkau oleh pekerja agar mengefisiensikan waktu pengangkutan.

2.1.14. Penempatan Tower Crane

Tower Crane adalah suatu alat bantu yang ada hubungannya dengan akses bahan

dan material konstruksi dalam suatu proyek. Bila dijabarkan lebih lanjut, fungsinya

lebih dekat terhadap alat mobilisasi vertikal-horisontal yang amat sangat membantu

didalam pelaksanaan pekerjaan struktur.

Acuan Penempatan Tower Crane meliputi :

a. Radius Jangkau

Pemilihan radius jangkau dan jumlah Tower Crane yang diperlukan disesuaikan

dengan luasnya proyek sehingga dapat menjangkau area loading/ unloading dan

adanya overlapping dengan Tower Crane lainnya (apabila dibutuhkan lebih dari 1

Tower Crane).

b. Antisipasi Void Sementara

Untuk proyek perkantoran atau tower, Tower Crane sebaiknya diletakkan di luar

bangunan. Demikian juga untuk bangunan dengan area yang luas (seperti mall)

diusahakan agar penempatan Tower Crane di dalam bangunan seminimal

mungkin untuk mempermudah proses dismantling. Penempatan Tower Crane di

dalam bangunan harus memperhatikan struktur semua lantai agar void

sementara tersebut tidak menghalangi pekerjaan lainnya (seperti balok prestress,

ramp, bangunan utilitas).

c. Antisipasi Kemudahan Dismantling Tower Crane

Harus dipastikan agar pada saat dismantling Tower Crane, Mobile Crane dapat

mencapai lokasi tersebut, posisi jib dan counter weight tidak terhalang oleh

struktur bangunan pada saat penurunan dan terjangkau Mobile Crane.

2.1.15. Penempatan Mess Pekerja

Mess pekerja pada proyek ini ditempatkan diluar dari lokasi proyek. Mess pekerja

dibut dengan menyewa lahan kosong yang ada tidak jauh dari lokasi proyek. Mess

Page 20: BAB I,II

pekerja dibuat sementar dengan kayu dan triplek. Mess pekerja ditujukan untuk

para pekerja yang didatangkan dari daerah lain yang jauh dari lokasi proyek.

2.2. Time Schedule

Time schedule adalah rencana alokasi waktu untuk menyelesaikan masing-masing item

pekerjaan proyek yang secara keseluruhan adalah rentang waktu yang ditetapkan untuk

melaksanakan sebuah proyek.

Time schedule pada proyek konstruksi dapat dibuat dalam bentuk

Kurva S

Untuk mengetahui prestasi dari pekerjaan dilapangan, biasanya dilakukan pengukuran

tingkat keberhasilan kerja dengan bantuan kurva S. Maka dapat dikombinasikan dengan

gambar bar chart. Untuk menggambar kurva S, bar chart diubah dulu dalam bentuk

bobot presentase untuk setiap item pekerjaan. Untuk membuat bobot masing-masing

item pekerjaan dinyatakan dalam satu satuan.

Bar chart

Sistem ini termasuk cara yang banyak digunakan, sifat khusus menguntungkan dari

diagram balok ini :

Sederhana dalam penyusunan dan pembacaan.

Penggambaran paling mudah untuk mengkonsolidasikan kebutuhan sumber daya

menurut jenis dalam skala waktu yang teratur.

Penerapan diagram balok dapat berupa :

Penjadwalan proyek ( project time schedule ).

Pengembangan diagram balok dengan memasukan untuk lokasi kegiatan maupun

kebutuhan sumber daya ( time and location chart ).

Penjadwalan tenaga kerja ( man power schedule ).

Penjadwalan bahan ( material schedule ).

Penjadwalan dana ( money schedule / cash flow ).

Network planning

Suatu analisa perancangan program dan schedule kerja. CPM (Critical Part

Method)/PERT (Program Evaluation Research Task) yang dijabarkan dalam kegiatan

waktu penyelesaian dan biaya seluruh kegiatan digambarkan dalam bentuk network

atau jaringan.

Langkah penyusunan network planning suatu proyek :

Page 21: BAB I,II

Menginventarisasi kegiatan – kegiatan (aktivities) yang terdapat dalam proyek

tersebut.

Tentukan logika ketergantungan yang menghubungkan satu sama lain kegiatan.

Menggambarkan kebutuhan waktu berdasarkan teori perhitungan serta

pengalaman.

Mempunyai Float waktu untuk bisa terlambat.

Mempunyai lintasan kritis yang sangat menetukan waktu penyelesaian proyek.

Tujuan atau manfaat pembuatan time schedule pada sebuah proyek konstruksi antara lain:

Pedoman waktu untuk pengadaan sumber daya manusia yang dibutuhkan.

Pedoman waktu untuk pendatangan material yang sesuai dengan item pekerjaan yang

akan dilaksanakan.

Pedoman waktu untuk pengadaan alat-alat kerja.

Time schedule juga bermanfaan sebagai alat untuk mengendalikan waktu pelaksanaan

proyek.

Sebagai tolak ukur pencapaian target wakktu pelaksanaan pekerjaan.

Time schedule sebagai acuan untuk memulai dan mengakhiri sebuah kontrak kerja

proyek konstruksi.

Sebagai pedoman pencapaiaan progres pekerjaan setiap waktu tertentu.

Sebagai pedoman untuk menentukan batas waktu denda atas keterlambatan proyek

atau bonus atas percepatan proyek.

Sebagai pedoman untuk mengukur nilai suatu investasi.

Untuk dapat menyusun time schedule atau jadwal pelaksaan proyek yang baik dibutuhkan :

Gambar kerja proyek

Rencana anggaran biaya pelaksanaan proyek

Bill of Quantity (BQ) atau daftar volume proyek pekerjaan

Data lokasi proyek berada

Data sumber daya meliputi material, peralatan, sub kontraktor yang tersedia disekitar

lokasi pekerjaan proyek berlangsung.

Data kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan pekerjaan.

Data cuaca atau musim di lokasi pekerjaan proyek.

Metode kerja yang digunakan untuk melaksanakan masing-masing item pekerjaan.

Data kapasitas produksi meliputi peralatan, tenaga kerja, sub kontraktor, material.

Page 22: BAB I,II

Data keuangan proyek meliputi arus kas, cara pembayaran pekerjaan, tenggang waktu

pembayaran progress dll.

2.3. Penyediaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam pelaksanaan pekerjaan harus terdiri dari tenaga terampil, baik tenaga

pelaksanaan mandor sampai ke tukang. Untuk mempermudah pengontrolan dan koordinasi

pelaksanaan kerja dalam melaksanakan pekerjaan, ada seorang mandor yang memimpin

setiap jenis pekerjaan dan bertanggung jawab kepada Site Manager. Sedangkan untuk

pekerjaan yang berat dan membutuhkan waktu cepat maka seorang tukang dapat dibantu

oleh beberapa orang pembantu sesuai dengan kecepatan pekerjaan yang diperlukan, agar

pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu. Penyediaan tenaga kerja untuk suatu proyek

hendaknya diperhatikan, sebaiknya tenaga kerja diambil dari lingkungan disekitar proyek

maupun dapat diambil dari daerah lain. Keuntungan mengambil tenaga kerja dari sekitar

lokasi proyek adalah kita tidak memerlukan mess untuk pekerja tinggal dan juga dapat

meminimalisir gesekan atau gangguan dari warga di sekitar proyek. Namun dalam

perekrutan pekerja hendaknya menetapkan kriteria tertentu di setiap posisi tenaga kerja

yang dibutuhkan.

2.4. Penyediaan Material

Kontraktor wajib untuk memenuhi persyaratan terhadap ketentuan spesifikasi bahan yang

tercantum dalam dokumen pelaksanaan (RKS). Dalam pengadaan bahan, maka Kontraktor

wajib mengajukan contoh kepada Direksi, perihal bahan yang akan didatangkan di lapangan

untuk mendapatkan pemeriksaan terhadap kesesuaian dengan dokumen pelaksanaan yang

selanjutnya akan disetujui oleh Direksi. Pembongkaran dan penempatan material harus

mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direksi proyek.

Bahan konstruksi adalah sumber daya dasar baik yang berasal dari alam ataupun pabrik yang

digunakan mewujudkan suatu bangunan proyek. Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan

pekerjaan konstruksi harus sesuai dengan prasyarat yang telah ditetapkan dan tercantum

dalam rencana kerja, syarat teknis dan gambar kerja.

Adapun bahan/material yang digunakan sesuai dengan Peraturan Beton Bertulang Indonesia

1971 N.I – 2 adalah sebagai berikut :

2.4.1. Air

Page 23: BAB I,II

Air adalah bahan pembantu dalam pekerjaan konstruksi berdasarkan syarat syarat

yang sudah ditetapkan. Salah satu fungsi air adalah sebagai bahan pencampur

beton.

Air yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi mempunyai batasan – batasan

seperti yang tertera dalam PBI 1971 hal. 28 no. 3.6, yaitu :

Tidak mengandung minyak, asam, alkali, garam-garam, bahan-bahan organis atau

bahan-bahan lain yang dapat merusak beton atau baja tulangan. Disarankan

untuk memakai air bersih yang dapat diminum.

Bila terdapat keraguan, maka air dianjurkan untuk diperiksa di laboratorium yang

mampu menyelidiki kandungan zat tertentu yang mampu merusak beton dan

pembesiannya.

Bila pemeriksaan air di laboratorium tidak dapat dilakukan, maka harus dilakukan

uji kekuatan tekan mortel. Air tersebut dianggap dapat dipakai,apabila kekuatan

tekan mortel pada air itu di umur 7 dan 28 hari paling sedikit adalah 90% dari

kekuatan tekan mortel dengan memakai air suling.

Jumlah air yang dipakai untuk membuat adukan beton harus tepat.

2.4.2. Semen (Portland Cement)

Semen adalah bahan pengikat yang berfungsi untuk mengikat butiran-butiran dalam

suatu adukan beton. Selain digunakan sebagai bahan adukan, semen juga digunakan

sebagai bahan groting pada pekerjaan perbaikan beton ataupun pada beton pra

tekan (pree stress). Syarat-syarat dan cara penyimpanan semen adalah sebagai

berikut :

Semen yang digunakan dalam pekerjaan konstruksi harus memenuhi syarat yang

ditentukan dalam PBI 1971.

Semen yang dituangkan harus masih dalam kantong yang tertutup rapat dan

dalam keadaan utuh.

Semen yang disimpan dalam gudang yang kering dan terlindungi dari pengaruh

cuaca, berventilasi yang cukup dan diletakkan diatas papan kayu dengan

ketinggian kira-kira 30 cm dari permukaan tanah dan 50 cm dari dinding.

Penimbunan semen tidak boleh lebih dari 5 tumpukan atau setinggi 2 m karena

hal itu akan mengakibatkan semen mengeras pada bagian bawah yang

disebabkan tekanan dari atasnya.

Page 24: BAB I,II

Jika ada bagian semen yang mulai mengeras maka bagian yang mengeras itu

harus ditekan langsung dengan tangan bebas dan jumlah bagian yang mengeras

tidak boleh dari 5 % dari berat semen.

Penimbunan semen yang baru didatangkan tidak boleh diatas timbunan semen

yang sudah ada serta pemakaian semen dilakukan urutan waktu dari

pengirimannya

Semen yang telah lama disimpan harus diadakan pengujian terlebih dahulu oleh

laboratorium dan semen yang menggumpal tidak boleh digunakan.

2.4.3. Agregat halus (pasir)

Pasir yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PBI

1971 yaitu:

Agregat halus untuk beton dapat berupa pasir alam sebagai hasil disintegrasi

alami atau pasir buatan.

Agregat halus terdiri dari butir-butir yang tajam dan keras, yang tidak pecah atau

hancur oleh pengaruh cuaca.

Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5 %, berarti bagian-

bagian yang dapat melalui ayakan 0,063 mm. apabila kadar lumpur melampaui 5

% maka agregat halus harus di cuci.

Agregat halus tidak boleh mengandung bahan organis terlalu banyak dengan

dibuktikan dengan percobaan warna Abrams-Harder (larutan NaOH).

Agregat halus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam (heterogen). Dengan

syarat berat sisa diatas ayakan 4 mm minimum 2 %, sisa ayakan 1 mm minimum

10%, sisa pada ayakan 0,25 mm berkisar 80 % dan 95 % berat.

Pasir laut tidak boleh dipakai sebagai agregat halus, kecuali ada petunjuk dari

lembaga pemeriksaan bahan yang diakui.

2.4.4. Agregat kasar (kerikil dan batu pecah)

Agregat kasar adalah agregat dengan butir lebih besar dari 5 mm dan lebih kecil dari

3 cm1. Penggunaan ini harus disesuaikan dengan Peraturan Beton Bertulang

Indonesia.

Agregat kasar harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1

Page 25: BAB I,II

Agregat kasar harus berupa kerikil atau batu pecah sebagai hasil dari disintegrasi

alami dari batuan – batuan yang mempunyai susunan gradasi yang baik, cukup

syarat kekerasannya dan padat (tidak berpori).

Dimensi maksimum dari agregat kasar tidak lebih dari 2,0 cm dan tidak lebih dari

seperempat dimensi beton yang terkecil dari bagian konstruksi yang

bersangkutan.

Agregat kasar tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1 %, apabila melebihi 1

% maka agregat kasar harus di cuci.

Agregat kasar tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat merusak beton,

seperti zat reaktif alkali.

Kekerasan dari butir-butir agregat kasar diperiksa dengan mesin pengaus los

angles dan tidak boleh terjadi kehilangan berat lebih dari 50 %.

Agregat kasar harus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam besarnya dan

apabila di ayak dengan persentase berat sisa diayakan 31,5 mm harus 0 %, sisa di

ayakan 4 mm harus berkisar antara 90% - 98%, selisih antara sisa-sisa komulatif

antara dua ayakan maksimum 60% dan minimum 10 % berat.

2.4.5. Baja Tulangan

Baja tulangan adalah jenis baja yang dipakai dalam penulangan beton. Setiap baja

memiliki diameter yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing. Baja yang

dipakai dibuat di pabrik yang mutunya terjamin dan dapat diuji melalui

laboratorium. Baja tulangan berfungsi untuk menahan gaya tarikan gaya geser yang

bekerja pada konstruksi beton. Baja tulangan yang digunakan harus memenuhi

syarat –syarat sebagai berikut :

Sebelum dipasang, baja harus bebas dari karat, lemak, kotoran serta bahan

lainnya yang mengurangi daya lekat.

Tidak boleh dibengkokan dan diluruskan dengan cara yang dapat merusak

kekuatannya.

Penyambungan tulangan dibuat sambungan yang tertera dalam gambar-gambar

kerja, maka cara dan bentuk sambungan harus mendapat persetujuan dari

konsultan pengawas terlebih dahulu.

Pemotongan besi tidak boleh menggunakan las.

Page 26: BAB I,II

Stok besi yang ada jangan sampai melebihi dari 3 bulan agar besi tersebut

sewaktu dipasang belum berkarat, untuk itu di anjurkan pembelian besi dilakukan

secara bertahap.

Batang tulangan yang tidak bisa diluruskan tidak boleh digunakan.

Batang tulangan yang telah tertanam sebagian dalam beton tidak boleh

dibengkokkan, kecuali bila tertera dalam gambar dan diizinkan oleh pengawas.

2.4.6. Kayu dan multiplex

Kayu pada pekerjaan beton dipakai untuk pembuatan bekisting dan juga digunakan

untuk bangunan sementara. Kayu yang digunakan untuk bekisting terdiri dari papan

dan kaso, dan dipilih yang dimensinya presisi, tidak cacat seperti retak, cacat mata

kayu dan tidak lurus. Untuk bahan kayu yang berlapis (multiplex) harus memenuhi

syarat antara lain harus berkualitas baik corak maupun serat harus terpilih dan

warnannya merata, teakwood harus dihasilkan dari kayu jati terpilih memiliki mutu

yang baik, dan untuk plywood atau triplek harus mempunyai susunan lapisan yang

padat.

2.4.7. Bahan additive (Admixture)

Bahan additive adalah bahan tambahan pada campuran beton untuk memperbaiki

mutu beton itu sendiri, sifat-sifat pengerjaan, waktu pengikatan dan pengerasan

ataupun untuk maksud-masksud lain sesuai keinginan. Jenis dan jumlah bahan

pembantu yang dipakai harus disetujui terlebih dahulu oleh pengawas ahli. Selama

bahan pembantu ini dipakai harus diadakan pengawasan yang cermat terhadap

pemakaiannya. Dan manfaat dari bahan additive harus dapat dibuktikan dengan

hasil-hasil percobaan.

2.4.8. Beton jadi (Ready Mix)

Beton ini digunakan untuk memperoleh mutu beton yang dikehendaki/sesuai serta

untuk menghemat waktu pelaksanaan. Beton Ready Mix dipergunakan untuk

struktur utama seperti balok, kolom dan plat lantai. Pihak kontraktor tidak membuat

adukan beton ini, melainkan melakukan pemesanan melalui pihak supplier/subkon

beton ready mix.Perusahaan yang membuat beton Ready Mix ini seperti Holcim,

JayaMix, dan sebagainya. Beton jadi (ready mix) harus disediakan dari perusahaan

yang disetujui oleh manajer konstruksi. Suplier ready mix harus mengajukan mix

design dan memberikan catatan komposisi campuran dari jumlah semen, agregat,

Page 27: BAB I,II

dan jumlah air sesuai dengan mix design tersebut.. Keuntungan menggunakan beton

ready mix ini adalah sebagai berikut :

Tidak membutuhkan tempat yang luas guna penimbunan bahan material lokasi

proyek karena beton ini dibawa dengan menggunakan truk molen dan dituang

langsung pada posisi yang diinginkan.

Pekerjaan pengecoran dapat dilakukan dengan cepat.

Penggunaan alat –alat bantu dalam pembuatan beton dan tenaga kerja yang

dibutuhkan juga berkurang.

Dapat menghasilkan mutu beton yang diharapkan karena pembuatannya

diusahakan seteliti mungkin dan melalui proses pengujian (slump test).

Kerugian dalam pengunaan beton ready mix antara lain :

Masih terdapat sisa-sisa beton didalam truk mixer sehingga volume adukan beton

berkurang.

Apabila terjadi keterlambatan akibat kesalahan dalam pelaksanaan pengecoran

yang mengakibatkan adukan yang ada dalam truk mixer tersebut tidak layak

pakai lagi dan harus dibuang.

2.4.9. Tahu Beton (Beton Decking)

Beton decking terbuat dari campuran semen dan pasir yang berbentuk seperti

potongan balok/bulatan pipih dan diberi kawat ikat yang dimasukkan pada masing-

masing potongan tersebut. Fungsi beton decking adalah sebagai pendukung

tulangan pada saat pengecoran agar diperoleh selimut beton.

2.5. Penyediaan Alat dan Peralatan Kerja

Peralatan kerja merupakan peralatan mekanis yang minimal harus dimiliki dan digunakan di

lapangan oleh Kontraktor dalam kondisi layak untuk dipakai dan memenuhi syarat

keamanan yang ditentukan. Alat – alat yang dikenal dalam pekerjaan konstruksi adalah alat

yang digunakan untuk membantu manusia dalam melakukan pekerjaan pembangunan suatu

struktur. Tujuan dari penggunaan alat – alat konstruksi tersebut adalah untuk memudahkan

manusia dalam mengerjakan pekerjaannya sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai

dengan lebih mudah pada waktu yang relatif lebih singkat. Adapun alat – alat konstruksi

tersebut dapat kita bagi dalam 3 bagian, yaitu :

Alat-alat berat (Heavy equipment)

Alat-alat ringan (Light equipment)

Page 28: BAB I,II

Alat-alat bantu (Consumable equipment)

2.5.1. Alat – alat Berat (Heavy Equipment)

A. Tower Crane (TC)

Tower crane atau biasa disebut TC adalah alat yang digunakan untuk

mengangkat material secara vertikal dan horizontal ke suatu tempat yang tinggi

pada ruang gerak yang terbatas. Ada berbagai macam tipe TC yang digunakan

dalam pekerjaan konstruksi. Pemilihan jenis TC yang akan dipakai harus

mempertimbangkan :

Situasi proyek

Bentuk struktur bangunan

Kemudahan operasional baik saat pemasangan maupun pembongkaran TC

Ketinggian struktur bangunan yang dikerjakan.

Gambar 2.2. Tower Crane

B. Excavator

Excavator adalah alat yang digunakan untuk melakukan penggalian tanah,

pemindahan tanah, pegangkutan tanah dan perataaan tanah hasil galian atau

urgan kedalam/keluar proyek.

Gambar 2.3. Excavator

Page 29: BAB I,II

C. Dump Truck

Dump truck adalah alat yang digunakan untuk mengangkut tanah hasil

urugan/galian dari dalam/luar proyek atau material/bahan konstruksi dari pabrik

dengan menempuh jarak yang relatif jauh.

Gambar 2.4. Dump Truck

D. Truck Crane

Truck Crane adalah alat yang digunakan untuk mengangkat material/bahan di

sekitar lokasi proyek dengan ruang gerak yang relatif kecil. Yang menjadi

perbedaan antara truck crane dengan tower crane adalah truck crane dapat

berpindah tempat sedangkan tower crane bersifat tetap (permanen).

Gambar 2.5. Truck Crane

E. Concrete Pump

Concrete pump adalah alat yang berfungsi untuk mengirim atau memompa

adukan beton dari tempat pengadukan ke lokasi pengecoran. Concrete pump

berupa mesin yang berfungsi untuk memompa adukan beton dan pipa penyalur

ke lokasi pengecoran.

Page 30: BAB I,II

Gambar 2.6. Concrete Pump

F. Concrete Mixer Truck

Concrete mixer truck adalah alat yang berfungsi untuk membawa adukan beton

dari batching plant ke lokasi proyek. Mixer (Pengaduk) terus menerus berputar

mengaduk adukan beton sampaitiba di lokasi pengecoran.

Gambar 2.7. Concrete Mixer Truck

2.5.2. Alat-Alat Ringan (Light Equipment)

A. Alat Aduk Beton ( Molen/Batch Mixer)

Molen merupakan alat untuk membuat campuran pasir, kerikil, air dan semen

menjadi beton yang dilakukan di lapangan dan digunakan untuk kebutuhan

pekerjaan proyek.

B. Alat Pemotong Besi (Bar Cutter)

Alat ini berfungsi sebagai pemotong baja tulangan agar sesuai dengan ukuran

yang dikehendaki. Bar cutter yang lazim digunakan adalah bar cutter yang dalam

Page 31: BAB I,II

penggunaannya memakai tenaga listrik. Pengoperasiannya juga mudah, tidak

harus menggunakan tenaga ahli.

Gambar 2.8. Bar Cutter

C. Alat Pelengkung Besi (Bar Bunder)

Alat ini digunakan untuk membengkokkan besi tulangan sesuai dengan

kebutuhan atau bentuk dan ukuran yang diinginkan. Alat ini juga menggunakan

tenaga listrik dan operator.

Gambar 2.9.Bar Bunder

D. Vibrator (Mesin Penggetar)

Vibrator adalah alat untuk memadatkan beton. Selain itu vibrator juga dapat

berfungsi untuk mengeluarkan gelembung udara yang terdapat pada beton,

dimana gelembung udara tersebut dapat mengurangi kekuatan beton. Vibrator

terdiri dari motor diesel, ujung penggetar dan pipa yang menghubungkan motor

dengan ujung penggetar.

Page 32: BAB I,II

Gambar 2.10. Vibrator

E. Alat Penyemprot Udara (Air Compressor)

Alat ini digunakan untuk membersihkan lokasi yang akan dilakukan pengecoran

dari kotoran. Kotoran yang dibersihkan dengan alat ini antara lain: debu, pasir,

galian tanah, serbuk kayu, potongan kawat baja, paku. Caranya yaitu dengan

menyemprotkan udara dengan tekanan cukup tinggi. Pekerjaan ini dilakukan

sebelum pekerjaan pengecoran dimulai.

Gambar 2.11. Compressor

F. Alat Penyedot Air (Water Pump)

Alat ini digunakan untuk menyedot air yang terdapat di dalam lokasi pengecoran

ataupun sampit (sumur).

Page 33: BAB I,II

Gambar 2.12. Water Pump

G. Alat Grouting

Alat ini berfungsi untuk memasukkan adukan beton ke dalam celah/lubang yang

tidak dapat ditembus oleh tangan. Alat tersebut berupa mesin diesel, corong

sebagai tempat adukan beton, pipa karet dan batang besi berdiameter kecil.

Biasanya digunakan untuk pembuatan Dinding Penahan Tanah (DPT) Soil Nailing.

Gambar 2.13. Alat Grouting

H. Concrete Bucket

Alat ini berfungsi untuk membawa/mengangkut adukan beton yang digunakan

untuk pengecoran dengan bantuan tower crane.

Page 34: BAB I,II

Gambar 2.14. Concrete Bucket

I. Mesin Las

Alat ini digunakan untuk pekerjaan pengelasan besi tulangan atau untuk

menyambung besi tulangan satu dengan yang lain.

Gambar 2.15. Mesin Las

J. Trowel

Alat ini berfungsi untuk memperhalus permukaan pelat beton setelah di cor.

Gambar 2.16. Trowel

Page 35: BAB I,II

2.5.3. Alat-alat Bantu (Consumable Equipment)

A. Scaffolding (Tiang Perancah)

Alat yang terdiri dari batang – batang pipa besi yang saling membentuk suatu

penyanggah bekisting.

Gambar 2.17. Scafollding

B. Passenger Lift

Alat ini berfungsi untuk membantu para pekerja dalam melaksanakan suatu

pekerjaan di tiap lantai. Dalam hal ini dapat memudahkan para pekerja dalam

melaksanakan pekerjaan di masing – masing lantai tanpa harus naik turun

tangga.

Gambar 2.18. Passenger Lift

Page 36: BAB I,II

C. Generator

Alat ini berfungsi untuk mencukupi kebutuhan listrik baik siang maupun malam

hari seperti penggerak pompa air, mesin las, Bar Bender dan lain – lain.

Gambar 2.19. Generator

2.6. Pengendalian Biaya

Metode pengendalian biaya perlu disusun secara baik guna dipakai untuk mengendalikan

penggunaan dana yang ada, yaitu dengan membuat cash flow yang diatur perminggu.

Faktor-faktor yang menentukan pengendalian biaya yaitu :

1. Menentukan peralatan yang akan digunakan selama pelaksanaan proyek.

2. Menentukan jumlah pekerja yang dibutuhkan.

3. Memperkirakan lamanya waktu penyelesaian proyek.

4. Menentukan metode pekerjaan yang akan digunakan.

2.7. Struktur Organisasi Proyek

Secara umum yang dimaksud dengan mengorganisir adalah mengatur unsur-unsur sumber

daya perusahaan yang terdiri dari tenaga kerja, tenaga ahli, material, dana dan lain-lain

dalam suatu gerak langkah yang sejalan untuk mencapai tujuan organisasi yang efektif dan

efisien. Untuk maksud tersebut diperlukan sarana, yaitu organisasi. Organisasi proyek adalah

sebagai sarana dalam pencapaian tujuan dengan mengatur dan mengorganisasi sumber

daya, tenaga kerja, material, peralatan dan modal secara efektif dan efisien dengan

menerapkan system manajemen sesuai kebutuhan proyek.

Page 37: BAB I,II

Pengelolaan proyek membutuhkan suatu organisasi yang kuat dengan program, visi, misi

dan tujuan yang jelas sehingga kegiatan dilakukan dengan batasan dan standar yang telah

disepakati dan dilaksanakan dengan maksimal oleh personel penanggung jawab masing –

masing kegiatan. Hal ini dimaksudkan agar terdapat pendistribusian tugas dan wewenang

serta tanggung jawab antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan proyek tersebut.

Secara umum struktur organisasi suatu proyek konstruksi yang berskala besar terdiri dari :

1. Pemilik Proyek (Owner)

2. Konsultan Perencana

3. Konsultan Pengawas atau Konsultan Manajemen Konstruksi

4. Pelaksana (Kontraktor)

5. Sub Kontraktor

Gambar 2.20 Struktur Organisasi Proyek

Struktur organisasi proyek dibuat dengan situasi kultur dan keunikan berbeda berdasar

kebutuhan sistem manajemen proyek. Oleh karena itu, pemilihan organisasi proyek

didasarkan atas tingkat kebutuhan dan kompleksitas proyek; semakin kompleks proyek,

semakin kompleks pula susunan organisasinya.