BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

25
24 BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi Politik 1. Pengertian dan cakupan politik hukum Sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum. Menurut satjipto rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik. 29 C.F.G Sunaryati Hartono melihat politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan citacita bangsa Indonesia. 30 Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi dan sah tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara 31 . Imam Syaukani dan A. Thohari menegaskan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang 29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.III, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1991), hlm. 352 30 Baca C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1. 31 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo, 2010, hlm. 1

Transcript of BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

Page 1: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

24

BAB II

TUNJAUAN PUSTAKA

A. Politik Hukum dan Konfigurasi Politik

1. Pengertian dan cakupan politik hukum

Sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum.

Menurut satjipto rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang

muncul dalam studi politik hukum, yaitu (1) tujuan apa yang hendak dicapai

dengan sistem hukum yang ada; (2) cara apa dan yang mana, yang dirasa paling

baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum

itu perlu diubah dan melalui cara cara bagaimana perubahan itu sebaiknya

dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang

bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara cara untuk

mencapai tujuan tersebut secara baik.29 C.F.G Sunaryati Hartono melihat

politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat

digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang

dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan citacita

bangsa Indonesia.30

Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis

kebijakan resmi dan sah tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan

pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum lama dalam rangka

mencapai tujuan negara31. Imam Syaukani dan A. Thohari menegaskan bahwa

politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang

29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.III, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1991), hlm. 352 30 Baca C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1. 31 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo, 2010, hlm. 1

Page 2: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

25

hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai nilai

yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicitacitakan.32

Dalam definisi tersebut kata “penyelenggara negara” dan “tujuan negara yang

dicita-citakan” menjadi sorotan dalam studi ini. Penyelenggara negara adalah

lembaga negara yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan

pemerintahan sebuah negara. Penyelanggara negara disebut juga pemerintah

(government), yang dalam pengertian luas mencakup kekuasaan legislative,

eksekutif, dan yudikatif.33

Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam sebuah makalahnya berjudul

“Politik Hukum Nasional” yang disampaikan pada Karya Latihan Bantuan

Hukum34 mendefinisikan politik hukum nasional secara harfiah sebagai

kebijakan hukum (Legal Policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan

secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum

Nasional bisa meliputi (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara

konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap

ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan.

Ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga

penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan

32 Ibid 33 Tentang arti pemerintah dalam arti luas, C.F.Strong mengatakan bahwa ketiga kekuasaan

tersebut, yakni legislative power, dan judicial power disebut sebagai the three departments of

government. C.F.Strong, Modern Political Constitution : An Introduction to the Comparative

Study of Their History and Existing Form, Revised Edition, (London: Sigwick & Jackson Limited,

1952), hlm. 6. 34 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional” , makalah disampaikan pada Karya

Latihan Bantuan Hukum, diselenggarakan Yayasan LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September

1985.

Page 3: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

26

kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil

kebijakan.35

Di sisi lain, terminologi politik hukum merupakan terjemahan bahasa

Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek , yang merupakan

bentukan dari dua kaya recht dan politiek. Isitilah ini seyogianya tidak

dirancukan dengan istilah yang muncul belakang, politiekrecht atau hukum

politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya memiliki

konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terkahir berkaitan dengan

istilah lain yang ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah

hukum tata negara. Untuk kepentingan itu dia menulis sebuah karangan yang

berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het Staatrecht”36

Dalam pada itu, terminologi “politik” dalam prespektif Miriam

Budiardjo dimaknai sebagai, bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem

politik (suatu negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem

politik dan melaksanakan tujuan – tujuan itu. Pengambilan keputusan

mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut

seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan –

tujuan telah dipilih itu.37 Menurut T.M. Radhie, mendifinisikan politik hukum

sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang

35 Imam Syaukani dan A. Thohari, Dasar – Dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004. hlm. 31 36 Sri Sumantri, “Undang – Undang Dasar 1945, kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan

Bernegara”, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 4, September – November 2001, hlm

43 37 Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008,

hlm 5

Page 4: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

27

berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang

dibangun.38

Politik hukum dapat juga dilihat dari sudut lain, yakni sebagai kristalisasi

dari kehendak – kehendak politik yang slaing bersaingan dalam pemberlakuan

hukum sehingga latar belakang politik tertentu dapat melahirkan hukum

dengan karakter tertentu.39 Definisi ini mencakup ius constitutum atau hukum

yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius constituendum atau hukum

yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang. Berbeda dengan

pendapat dari Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah

kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang

akan dibentuk.40 Definisi ini kemudian di perjelas oleh Padmo Wahjono ketika

mengemukakan di dalam majalah Forum Keadilan41 bahwa politik hukum

adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria

untuk menghukum sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan,

penerapan, dan penegakan hukum. Padmo Wahjono melihat politik hukum

dengan lebih condong pada aspek ius constituendum, sedangkan T.M. Radhie

mendifinisikan politik huku sebagai rajutan (saling berkaitan) antara ius

constitutum dan ius constituendum. Dari definisi yang dikemukakan Padmo

Wahjono, telaah tentang pergulatan politik di balik lahirnya hukum mendapat

38 Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan

Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, hlm. 3 39 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia , Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001, hlm

15 40 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,cet.ii, Jakarta : Ghalia Indonesia,

1986, hlm. 65 41 Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang – Undangan, dalam

Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65

Page 5: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

28

tempat di dalam studi tentang politik hukum sebab hukum itu adalah produk

politik.

Politik hukum mengandung dua sisi yang tak terpisahkan, yakni sebagai

arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga – lembaga negara dalam

pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi

apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka

piker legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Maka pembahasan

politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum

nasional mencakup hal – hal sebagai berikut :

1. Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan

sebagai orientasi politik hukum, termasuk penggalian nilai – nilai

dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum.

2. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan

itu serta faktor – faktor yang memengaruhinya.

3. Perencanaan dan kerangka piker dalam perumusan kebijakan

hukum.

4. Isi hukum nasional dan faktor – faktor yang memengaruhinya. 5. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review,

legislative review, dan sebagainya.

Bahwa ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik

hukum adalah meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum,

letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi

pembentukan politik hukum suatu negara. Ketiga permasalahan itu baru

sebatas membahas proses pembentukan politik hukum, belum berbicara pada

tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan produk hukum yang merupakan

konsekuensi politis dari sebuah politik hukum. Politik hukum dalam perspektif

akademis tidak hanya berbicara sebatas pengertian di atas an sich tetapi

mengkritisi juga produk hukum yang telah dibentuk dan disahkan. Dengan

demikian politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain

Page 6: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

29

sebagai kerangka berpikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal

policy) oleh lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi

produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas.42

Berdasarkan uraian tersebut, Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari

menetapkan ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :

1. Proses penggalian nilai dan aspirasi yang berkembang dalam

masyarakat oleh penyelenggara negara yang bewenang

merumuskan politik hukum;

2. Proses perdebatan dan perumusan nilai dan aspirasi tersebut ke

dalam bentuk sebuah rancangan Peraturan perundang undangan

oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik

hukum;

3. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan

menetapkan politik hukum;

4. Peratuan perundang undangan yang memuat politik hukum;

5. Faktor faktor yang mempengaruhi menentukan suatu politik

hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;

6. Pelaksanaan dari peraturan perundang undangan yang merupakan

implementasi dari politik hukum suatu negara.

Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari

politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk

mengetahui bagaimana proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu

dapat menghasilkan legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa

keadilan masyarakat. Politik hukum bisa juga diartikan sebagai kebijakan

mendasar para penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang,

dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita -

citakan. Bertolak dari beberapa basis argumen di atas, maka wilayah kajian

politik hukum paling tidak mencakup :

42 King Faisal Sulaiman, “Politik Hukum Indonesia” , Cet. I, Yogyakarta:Thafa Media, 2017, hlm

41

Page 7: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

30

1. Proses penggalian nilai – nilai dan aspirasi yang berkembang

dalam masyarakat oleh penyelanggara negara yang berwenang

merumuskan politik hukum;

2. Proses perdebatan dan perumusan nilai – nilai dan aspirasi

tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang

– undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang

merumuskan politik hukum;

3. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan

menetapkan politik hukum;

4. Peraturan perundang – undangan yang memuat politik hukum;

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu

politik hukum baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;

6. Pelaksanaan dari peraturan perundang – undangan yang

merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.

Politik hukum muncul sebagai salah satu hukum alternatif di tengah

kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara

hukum dan entitas bukan hukum, terutama dalam kaitan studi ini adalah politik.

Pada tahap inilah disiplin politik hukum memberikan pengetahuan bahwa

hukum sarat dengan warna politik, bahwa hukum harus dipandang sebagai

hasil dari suatu proses politik (law as as product of political process). Sub

sistem politik dianggap lebih powerful dibandingkan sub sistem hukum.

Artinya, subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar

daripada subsistem hukum. Hal ini mengakibatkan apabila hukum berhadapan

dengan politik, maka ia berada pada kedudukan yang lebih lemah. Sub sistem

politik mempunyai tingkat determinasi yang lebih tinggi daripada susbsistem

hukum, karena hukum merupakan hasil dari kehendak politik yang saling

berinteraksi dan saling bersaingan.43

43 Ibid , hlm. 45

Page 8: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

31

2. Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa politik hukum adalah

kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang

dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai – nilai yang berlaku di masyarakat

untuk mencapai tujuan negara yang dicitacitakan.44 Dalam definisi tersebut

kata penyelenggara negara dana tujuan negara yang dicitacitakan menjadi

sorotan. Penyelenggara negara adalah lembaga – lembaga negara yang diberi

wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan pemerintahan sebuah negara.

Penyelenggara negara disebut juga pemerintah (goverment), yang dalam

pengertian luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.45

Ada tujuan negara yang dicita – citakan dapat dilihat secara umum pada

pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang

terdapat dalam Pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal –

pasal UUD 1945 tersebut, dan dioperasionalkan dalam bentuk undang –

undang atau peraturan perundang undangan lain yang ada di bawahnya. Kedua

hal yang telah dijabarkan di atas, baik lembaga pemerintahan maupun tujuan

negara yang dicita – citakan, tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari studi

hukum tata negara. Artinya , hal – hal yang berkaitan dengan politik hukum

44 King Faisal Sulaiman, Politik Hukum Indonesia , Cet. I, Yogyakarta:Thafa Media, 2017, hlm 36 45 Tentang arti pemerintah dalam arti luas , C.F. Strong mengatakan bahwa ketiga kekuasaan

tersebut, yakni legislative power, executive power, dan judicial power disebut sebagai the three

departments of government. C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the

Comparative Study of Their History and Existing Form, Revised Edition, London : Sidgwick &

Jackson Limited, 1952, hlm. 6

Page 9: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

32

dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata

hukum, dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk hukum)46 kini

menjadi kajian ilmu tersebut. Ini sesuai dengan pengertian hukum tata negara

yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam sebuah tulisannya berjudul

Thorbecke en het Administratif Recht (1919) yang mengatakan bahwa Hukum

Tata Negara47 Adalah rangkain peraturan hukum, yang mendirikan badan –

badan sebagai alat (organ) suatu negara, dengan memberikan wewenang

kepada badan – badan itu, dan yang membagi – bagi pekerjaan pemerintah

kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun rendah kedudukannya.48

Menurut H.D. van Wijk , sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam

sebuah tulisannya berjudul “Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam

Sistem Hukum Nasional” , bila dikaitkan dengan sebuah sistem hukum, hukum

tata negara merupakan pondasi, dasar atau muara berlakunya cabang dan

ranting hukum yang lain.49 Hukum Tata Negara tidak saja menjadi muara dari

berlakunya hukum materiil dan hukum formil, tetapi meliputi juga organisasi

peradilan, dengan mana suatu hukum materiil hendak dipertahankan dan atau

ditegakan. Posisi penting dan strategis hukum tata negara dapat dilihat pula

pada bagan sistem hukum yang dibuta oleh Crince le Roy.50 Pada sistem hukum

Crince le Roy menjelaskan bahwa hukum tata negara merupakan payung bagi

berlakunya hukum – hukum yang lain. Dua sistem hukum (van Wijk dan le

46 Theo Hujibers, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 114 47 Untuk Hukum Tata Negara ini bahasa Belanda dan Jerman mempergunakan istilah Staatrecht,

bahasa Inggris Constitutional Law, dan bahasa Perancis Droit Constitutionalle. 48 Wirjono Prodjidikoro, Azaz - Azaz Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 1989,

hlm. 8 49 Sri Soemantri Martosoewignjo, Tentang Lembag – Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cet.

VI, Bandung : Citra Adya Bakti, 1989, hlm. 31 50 Ibid., hlm. 32

Page 10: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

33

Roy) sama sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi

pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun, perlu diketahui bahwa pembagian itu

baru berbicara tentang produk – produk hukum yang menjadi bagian hukum

tata negara, bukan berbicara proses hukum dan politik pembentukan produk –

produk hukum tersebut.

3. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum

Konsep konfigurasi politik demokratis dan/ atau konsep otoriter

ditentukan berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan

lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dominasi peranan eksekutif, dan

kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi

berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan

kewenangan menafsirkan hukum.51 Untuk selanjutnya pengertian secara

konseptual dirumuskan sebagai berikut :

a. Konfigurasi politik demokratis

Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka

ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam

menentukan kebijakan negara. Konfigurasi politik demikian

menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus

melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang diru-muskan secara

demokratis. Oleh karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik

berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan

kebijakan negara. Pers terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan

51 J.H. Marryman, The Civil Law Tradition, California : Standford University Press, 1966, hlm. 67

Page 11: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

34

bebas tanpa ancaman pembreidelan atau tinda-kan kriminalisasi

lainnya.

b. Konfigurasi politik otoriter

Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang

menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan

sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan

negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan

terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pe-merintah

yang sangat dominan, badan perwa-kilan rakyat dan partai politik tidak

berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat untuk justifikasi

(rubber stamp) atas kehendak peme-rintah, sedangkan pers tidak

memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol peme-

rintah dalam bayang-banyang pembreidelan.

c. Produk hukum responsif

Produk hukum responsif adalah karakter produk hukum yang

mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu

maupun berbagai kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih mampu

mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses

normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi

masyarakat. Lembaga peradilan dan peraturan hukum berfungsi sebagai

instrumen pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan

rumusannya biasanya cukup diperinci sehingga tidak terlalu terbuka

untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi

penguasa/pemerintah secara sewenang-wenang.

Page 12: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

35

d. Produk hukum konservatif

Produk hukum konservatif adalah karakter produk hukum yang

mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat

dominan, sehingga dalam proses pembuatannya tidak akomodatif

terhadap partisipasi dan aspiasi masyarakat secara sungguh sungguh.

Prosedur pembuatan yang dilakukan biasanya hanya bersifat formalitas.

Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan

dengan sifat positivis instrumentalis atau sekedar menjadi alat

justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah.

Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja

sehingga dapat penguasa negara dapat menginterpretasikan menurut

visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan.52

Perkembangan konfigurasi politik senantiasa memengaruhi

perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis

senantiasa melahirkan hukum – hukum yang berkarakter reponsif, sedangkan

konfigurasi politik otoriter senantiasa melahirkan hukum – hukum yang

berkarakter konservatif/ortodoks. Di Indonesia, senantiasa terjadi tolak tarik

antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang

otoriter. Hal tersebut terlihat pula pada perkembangan karakter produk

hukum.53 Bila dihubungkan dengan teori tersebut di atas, memang jelas

terlihat bahwa memang ada hubungan yang signifikan antara sistem

pemerintahan sebuah

52 Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and Society Transtition: Toward Responsive

Law”,dalam Satya Arinanto, “Politik Hukum 2”,Kumpulan Makalah Kuliah Politik

Hukum,Program Pascasarjana FH UIEU, Jakarta,2001. Hlm. 15 53 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Cet. II, Jakarta :

Rajawali Pers, 2011, hlm. 78

Page 13: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

36

negara dengan hukum yang dianutnya. Sistem Pemerintahan Orde Baru

pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Orde Lama

dengan Demokrasi Terpimpinnya. Dimana bila melihat teori di atas, maka

Indonesia pada masa itu memiliki Konfigurasi politik otoriter. Hal ini

dikarenakan Indonesia menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat

dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan

kebijakan negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi

dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang

sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi

dengan baik dan lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas

kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan

senantiasa berada di bawah kontrol pemerintah.

Dengan demikian jelas terlihat bahwa hukum negara yang sekarang

diberlakukan di Indonesia sebenarnya lebih dekat kepada tipe hukum

otonom, dimana dalam tipe hukum otonom sistem pemerintahan dijalankan

berdasarkan hukum (rule of law) dan penafsiran aparat terhadap penegakan

hukum dilakukan sesuai apa yang tersurat dalam peraturan-peraturan hukum

tersebut. Namun ada kalanya hukum Indonesia juga dekat dengan tipe

hukum represif dimana peran orang-orang yang berkuasa secara politik bisa

mempengaruhi hukum sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Pembuatan

hukum, yang dipersempit dalam peraturan perundang-undangan sama sekali

tidak terpisah dari pengaruh politik. Akibatnya, selain tidak memenuhi rasa

keadilan masyarakat, keberadaan hukum tersebut juga menjadi ancaman

bagi

Page 14: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

37

masyarakat. Philippe Nonet and Philip Selznick, menjabarkan bahwa ada

tiga klasifikasi dasar dari hukum yang ada di masyarakat54, sebagai berikut:

1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif);

2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan

represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom); dan

3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap

kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen

bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang

langgeng dan stabil. Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak

otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum

responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini

berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sifat responsif

dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang

dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat

responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam

perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif

adalah adanya pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip

dan tujuan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara

untuk mencapainya. Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada

tujuan- tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif,

tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau

dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat

yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif

ini,

54Philippe Nonet and Philip Selznick, Op.cit., hlm. 15

Page 15: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

38

mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka

sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.

Seperti dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum

(modern) dijalankan oleh komponen aparatur negara. Oleh sebab itu, perilaku

aparatur negara dalam struktur hukum Indonesia menjadi amat penting untuk

disorot dalam proses penegakan hukum. Jika sekarang kita menyaksikan kasus

main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, hal ini tidak aneh.

Pertama, kita bisa mengatakan bahwa masyarakat kita belum benar-benar sadar

hukum. Karena hukum belum terinternalisasi dalam seluruh perilaku

masyarakat ketika mereka saling berinteraksi satu sama lain. Akan tetapi main

hakim sendiri bisa juga menjadi symbol perlawanan masyarakat terhadap

tingkah aparat hukum yang korup yang senang melakukan KKN dalam

menjalankan tugasnya. Padahal aparat hukum harus mejadi contoh kepatuhan

hukum bagi masyarakat yang mau dilayaninya.55Berkaitan dengan konteks

penegakan hukum di Indonesia, hukum responsif mengisyaratkan bahwa

penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Menjalankan

hukum tidak hanya menjalankan Undang-undang, tetapi harus memiliki

kepekaan sosial. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada

logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak

cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial.56

55 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.hlm. 34 56Henry Arianto, “Hukum Repsonsif dan Penegakan Hukum di Indonesia”, dalam Jurnal Lex

Jurnalica, Vol. 7, No. 2, April 2010, hlm 43.

Page 16: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

39

A. Pencemaran Nama Baik

1. Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP

Salah satu perbuatan pidana yang sering mengundang perdebatan di

tengah masyarakat adalah pencemaran nama baik. Dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia, pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan

dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP. yang terdiri dari 3 (tiga) ayat.57 Dalam

ayat (1) dinyatakan bahwa barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau

nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang

supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa apabila perbuatan tersebut dilakukan

dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan

di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam

pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak

tiga ratus rupiah. Sebaliknya, ayat (3) menegaskan bahwa tidak merupakan

pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi

kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.

Dari ketentuan Pasal 310, telah dirumuskan tindakan Pencemaran Nama

Baik itu dapat berupa:

1) Menista dengan lisan (smaad) – Pasal 310 ayat (1),

2) Menista derrgan surat (smaadschrift) - Pasal 310 ayat (2).

Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang dilakukan

"dengan sengaja" untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan

57 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 114

Page 17: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

40

atau nama baik orang lain. Dengan demikian, unsur-unsur Pencemaran Nama

Baik atau penghinaan (menurut Pasal 310 KUHP) adalah:

a. dengan sengaja;

b. menyerang kehormatan atau nama baik;

c. menuduh melakukan suatu perbuatan;

d. menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum

Apabila unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya

diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasa1

310 ayat (1) KUHP. Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan

surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista

dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310

ayat (2) KUHP. Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum

dengan pasal Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan adalah:

a. Penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan

umum.

b. Untuk membela diri.

c. Untuk mengungkapkan kebenaran.

Dengan demikian, orang yang menyampaikan informasi, secara lisan

ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu

benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan

atau fitnah. Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat dikemukakan bahwa

pencemaran nama baik bisa dituntut dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP, apabila

perbuatan tersebut harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa, sehingga

dalam perbuatannya terselip tuduhan, seolah-olah orang yang dicemarkan

(dihina) itu telah melakukan perbuatan tertentu, dengan maksud agar tuduhan

itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak

perlu perbuatan yang menyangkut tindak pidana (menipu, menggelapkan,

Page 18: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

41

berzina dan sebagainya), melainkan cukup dengan perbuatan biasa seperti

melacur di rumah. pelacuran. Meskipun perbuatan melacur tidak merupakan

tindak pidana, tetapi cukup memalukan pada orang yang bersangkutan apabila

hal tersebut diumumkan. Tuduhan itu harus dilakukan dengan lisan, karena

apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar, maka perbuatan tersebut

digolongkan pencemaran tertulis dan dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.58

Kejahatan pencemaran nama baik ini juga tidak perlu dilakukan di muka

umum, cukup apabila dapat dibuktikan bahwa terdakwa mempunyai maksud

untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Pencemaran nama baik (menista)

sebenarnya merupakan bagian dari bentuk penghinaan yang diatur dalam Bab

XVI KUHP. Pengertian "penghinaan" dapat ditelusuri dari kata "menghina"

yang berarti "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Korban

penghinaan tersebut biasanya merasa malu, sedangkan kehormatan di sini

hanya menyangkut nama baik dan bukan kehormatan dalam pengertian

seksualitas. Perbuatan yang menyinggung ranah seksualitas termasuk

kejahatan kesusilaan dalam Pasal 281-303 KUHP Penghinaan dalam KUHP

terdiri dari pencemaran atau pencemaran tertulis (Pasal 310), fitnah (Pasal

311), penghinaan ringan (Pasal 315), mengadu dengan cara memfitnah (Pasal

317) dan tuduhan dengan cara memfitnah (Pasa1318).59

58 Ibid, hlm. 331 59 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1993), hlm. 225

Page 19: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

42

2. Pencemaran Nama Baik Dalam Dunia Internet Menurut Pasal 27

Ayat 3 Undang - Undang No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan

atas Undang - Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi

dan Elektronika (selanjutnya disebut UU ITE) adalah produk hukum yang

mengatur permasalahan-permasalahan di dunia maya atau internet. Beberapa

pasal dalam UU ITE yang dilarang dilanggar di dalam memanfaatkan dunia

internet atau perbuatan yang dilarang dilakukan dalam mengakses di dunia

internet adalah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29. Dengan menggunakan pasal-pasal

KUHP untuk menjerat pelaku Pencemaran Nama Baik melalui internet, oleh

sebagian ahli hukum dinyatakan KUHP tak dapat diterapkan, namun sebagian

ahli hokum lain menganggapnya KUHP dapat menjangkaunya. Akan tetapi,

terlepas dari perdebatan itu, yang jelas Mahkamah Konstitusi (MK) ketika

memberikan putusan terhadap permohonan judicial review Pasal 27 ayat 3 UU

No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam

pertimbangan hukumnya menyatakan: secara harfiah bahwa unsur di muka

umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak

dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif

yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki

muatan penghinaan dan/ atau Pencemaran Nama Baik. Pada intinya, MK

menyatakan bahwa Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup

Page 20: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

43

memadai untuk menjawab persoalan persoalan hukum yang muncul akibat

aktivitas di dunia maya.60

Memang, kaidah hukum Pencemaran Nama Baik itu tak hanya

diakomodir oleh KUHP tapi juga produk hukum di luar KUHP yang juga

menerapkan sanksi pidana, di mana produk hukum itu adalah UU No. 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh sebab itu, jika merujuk

pada putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka

dalam hal Pencemaran Nama Baik melalui internet, hukum yang digunakan

untuk menyelesaikannya adalah UU ITE, bukan KUHP. Melihat isi Pasal

Pencemaran Nama Baik UU ITE sebagaimana yang disebutkan di atas, maka

agar dapat memenuhi syarat Pencemaran Nama Baik, unsur-unsurnya adalah:

a. setiap orang;

b. dengan sengaja;

c. tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau

dokumen elektronik;

d. memiliki muatan penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik.

Yang dimaksud unsur sengaja atau kesengajaan di sini adalah

orang itu memang mengetahui dan menghendaki informasi yang

mengandung pencemaran itu tersebar untuk merusak kehormatan

atau nama baik seseorang.

Namun demikian, belum dapat dikategorikan Pencemaran Nama Baik

sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE apabila unsur selanjutnya tidak terpenuhi. Oleh

karenanya, harus dilihat pula unsur "tanpa hak mendistribusikan". Sehingga,

harus ada unsur kesengajaan dan unsur tanpa hak mendistribusikan, di mana

kedua unsur tersebut bersifat kumulatif. Jadi, unsur "tanpa hak

mendistribusikan" ini ditafsirkan: bahwa informasi yang mengadung

60 Reydi Vridell, "Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP dan Menurut UU No. 11 tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik", dalam Jurnal Lex Crimen,Vol. III,No. 4,Ags-Nov

2014, hlm. 119

Page 21: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

44

pencemaran itu sengaja disebarluaskan atau didistribusikan ke semua orang,

seperti ke berbagai mailis dan bukan hanya terbatas ke teman-teman. Akan

tetapi, jika menyebarkan informasi yang dimilikinya hanya ke teman-teman

sendiri, maka itu artinya ia memang memiliki hak. Bagaimana jika ia hanya

mem-forward email atau meneruskan/ mendistribusikan informasi yang

didapat dari teman ke teman lainnya? Untuk kasus seperti ini, maka

tanggungjawab distribusi hanya sampai ke teman yang dikirimkannya saja.

Dan, oleh karenanya, ia tidak dapat terjerat pasal Pencemaran Nama Baik

menurut UU ITE. Dengan demikian, pengertian distribusi itu ada distribusi

dalam artian luas atau hanya memberi informasi keteman-teman. Kalau

seseorang memang sengaja menyebarkan informasi yang Dapat mengandung

pencemaran itu ke mailis A, B, C dan mengirim ke semua orang, bukan hanya

teman, maka orang itu telah "tanpa hak mendistribusikan" informasi bermuatan

pencemaran.61

Dalam ketentuan Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE tidak ada

definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penghinaan atau

pencemaran Nama Baik. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah telah

dipenuhinya unsur Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE harus pula merujuk

Pasal 311 KUHP. Hanya saja sayangnya, Mahkamah Konstitusi malah makin

mengukuhkan eksistensi pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

tersebut. Dalam putusannya, MK menyatakan negara berwenang melarang

pendistribusian/ pentransmisian informasi semacam itu sebagai bagian dari

perlindungan hak warga negara dari ancaman serangan penghinaan atau

61 Ibid, hlm. 120

Page 22: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

45

Pencemaran Nama Baik. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dinyatakan oleh MK tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pertimbangannya, MK mengakui hak

tiap warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyimpan informasi. Namun, hal tersebut tidak boleh

menghilangkan hak orang lain untuk mendapat perlindungan diri, keluarga,

kehormatan, martabat dan nama baiknya. Oleh sebab itu, adalah kewenangan

negara untuk mengatur hal tersebut dapat dibenarkan guna menciptakan situasi

yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang. Menurut MK, Pasal

27 Ayat (3) UU ITE tersebut hanya dengan sengaia dan tanpa hak

mendistribusikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik

yang memuat unsur penghinaan. Dan, pembatasan itu tidak dilakukan dalam

rangka memasung atau membenamkan hak-hak dasar untuk mencari,

memperoleh informasi. Ditambahkan pula, bahwa pembatasan yang dimaksud

juga tidak dapat serta-merta dikatakan sebagai bentuk penolakan atau

pengingkaran nilai – nilai demokrasi.

Namun, catatan penting dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu yang

cukup melegakan adalah jawaban terhadap ketidakjelasan kategorisasi delik.

Jika kita buka Pasal 27 ayat (3) UU ITE nyatanya tidak menjelaskan apakah

delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik

Biasa. Oleh sebab itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konsitusi

menyatakan bahwa pada pokoknya masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE

kedalam Delik Aduan. Jika menilai putusan MK tersebut secara keseluruhan,

tampaknya Mahkamah Konstitusi tidak melihat lebih jauh mengenai nilai-nilai

Page 23: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

46

filosofis yang ada dalam pasal Pencemaran Nama Baik yang bermuara dalam

Pasal 310 dan 311 KUHP yang merupakan produk penjajah Belanda, yang

dapat dengan mudah dijadikan alat penguasa untuk memenjarakan orang.

Sehingga, Mahkamah Konsitusi tetap menyatakan Pasal 21 ayat (3) UU ITE

itu tetap berlaku sekalipun sanksi pidananya jauh lebih berat dari pasal

penghinaan di KUHP.

Landasan pemikiran inilah yang mendasari lahirnya Undang-Undang No

11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut

UU tentang ITE) yang diundangkan pada tanggal 21 April 2008. Munculnya

keberatan sebagian masyarakat terhadap Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran

nama baik dan/atau penghinaan melalui internet yang berujung pada

constitutional review. Pasal 27 ayat (3) ke Mahkamah Konstitusi oleh dua

pihak, masing-masing permohonan pertama oleh Narliswandi Piliang pada

tanggal 25 November 2008 dan permohonan kedua oleh Eddy Cahyono dan

kawan-kawan pada tanggal 5 Januari 2009. Dalam sidang constitutional review

di Mahkamah Konstitusi terungkap yang menjadi keberatan para pihak

penggugat tersebut adalah terhadap ketentuan pidana yang termaktub dalam

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

terutama ancaman sanksi pidana pada Pasal 45 ayat (1) yaitu pidana penjara

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah). Ketentuan ini dinilai terlalu berat dibandingkan dengan

ancaman sanksi dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yaitu pidana penjara paling

lama 9 (Sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah. Dampak pengaturan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,

Page 24: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

47

membawa konsekuensi sesuai dengan ketentuan KUHAP bahwa tersangka

pelaku tindak pidana Pasal dimaksud dapat dikenakan penahanan.

Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik menyebutkan tentang larangan yang berkaitan

dengan penyebaran informasi yaitu sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ketentuan tersebut diatas memberikan norma bahwa seseorang dilarang

dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnya “informasi” oleh khalayak (termasuk

didalamnya yang memuat tentang konten-konten ekpresif, seni, dokumentasi

pribadi, dokumen terbatas/rahasia) yang melanggar kesusilaan, muatan

perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta muatan

pemerasan dan/atau pengancaman. Penilaian bahwa pasal tersebut

berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, ada pada anggapan bahwa

masih bias dan kurang konritnya rumusan “penghinaan dan/atau pencemaran

nama baik” dalam pasal tersebut sehingga rawan untuk disalahgunakan.62

Selain aturan pidana substantif, dalam Undang – Undang No 19 Tahun

2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur mengenai prosedur

62 Agung Yundi, Kebebasan Berekpresi Menurut Pasal 27 Ayat (3) Undang - Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik, dalam Justitia Jurnal Hukum, Vol. 3, 2019, hlm 6

Page 25: BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...

48

63 Andi Hamzah, KUHP Dan KUHAP-Edisi Revisi 2008, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 124.

dan alat bukti yang mengalami perluasan, yaitu dimasukkannya alat bukti baru

yang berkaitan dengan media elektronik. Selanjutnya apabila seseorang

dilaporkan telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3).

Maka patut perlu di ungkapkan juga mengenai sifat melawan hukum tersebut

memiliki nilai pengecualian jika dikaitkan dengan Pasal 310 ayat (3) yang

menyatakan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis

jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa

membela.63