BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...
Transcript of BAB II TUNJAUAN PUSTAKA A. Politik Hukum dan Konfigurasi ...
24
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
A. Politik Hukum dan Konfigurasi Politik
1. Pengertian dan cakupan politik hukum
Sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum.
Menurut satjipto rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang
muncul dalam studi politik hukum, yaitu (1) tujuan apa yang hendak dicapai
dengan sistem hukum yang ada; (2) cara apa dan yang mana, yang dirasa paling
baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum
itu perlu diubah dan melalui cara cara bagaimana perubahan itu sebaiknya
dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang
bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara cara untuk
mencapai tujuan tersebut secara baik.29 C.F.G Sunaryati Hartono melihat
politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan citacita
bangsa Indonesia.30
Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis
kebijakan resmi dan sah tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum lama dalam rangka
mencapai tujuan negara31. Imam Syaukani dan A. Thohari menegaskan bahwa
politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang
29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.III, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1991), hlm. 352 30 Baca C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1. 31 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajagrafindo, 2010, hlm. 1
25
hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai nilai
yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicitacitakan.32
Dalam definisi tersebut kata “penyelenggara negara” dan “tujuan negara yang
dicita-citakan” menjadi sorotan dalam studi ini. Penyelenggara negara adalah
lembaga negara yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan
pemerintahan sebuah negara. Penyelanggara negara disebut juga pemerintah
(government), yang dalam pengertian luas mencakup kekuasaan legislative,
eksekutif, dan yudikatif.33
Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam sebuah makalahnya berjudul
“Politik Hukum Nasional” yang disampaikan pada Karya Latihan Bantuan
Hukum34 mendefinisikan politik hukum nasional secara harfiah sebagai
kebijakan hukum (Legal Policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan
secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum
Nasional bisa meliputi (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara
konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap
ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan.
Ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga
penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan
32 Ibid 33 Tentang arti pemerintah dalam arti luas, C.F.Strong mengatakan bahwa ketiga kekuasaan
tersebut, yakni legislative power, dan judicial power disebut sebagai the three departments of
government. C.F.Strong, Modern Political Constitution : An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing Form, Revised Edition, (London: Sigwick & Jackson Limited,
1952), hlm. 6. 34 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional” , makalah disampaikan pada Karya
Latihan Bantuan Hukum, diselenggarakan Yayasan LBH Indonesia dan LBH Surabaya, September
1985.
26
kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil
kebijakan.35
Di sisi lain, terminologi politik hukum merupakan terjemahan bahasa
Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek , yang merupakan
bentukan dari dua kaya recht dan politiek. Isitilah ini seyogianya tidak
dirancukan dengan istilah yang muncul belakang, politiekrecht atau hukum
politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya memiliki
konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terkahir berkaitan dengan
istilah lain yang ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah
hukum tata negara. Untuk kepentingan itu dia menulis sebuah karangan yang
berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het Staatrecht”36
Dalam pada itu, terminologi “politik” dalam prespektif Miriam
Budiardjo dimaknai sebagai, bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem
politik (suatu negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem
politik dan melaksanakan tujuan – tujuan itu. Pengambilan keputusan
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut
seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan –
tujuan telah dipilih itu.37 Menurut T.M. Radhie, mendifinisikan politik hukum
sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
35 Imam Syaukani dan A. Thohari, Dasar – Dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004. hlm. 31 36 Sri Sumantri, “Undang – Undang Dasar 1945, kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan
Bernegara”, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 4, September – November 2001, hlm
43 37 Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta : Gramedia Pustaka, 2008,
hlm 5
27
berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang
dibangun.38
Politik hukum dapat juga dilihat dari sudut lain, yakni sebagai kristalisasi
dari kehendak – kehendak politik yang slaing bersaingan dalam pemberlakuan
hukum sehingga latar belakang politik tertentu dapat melahirkan hukum
dengan karakter tertentu.39 Definisi ini mencakup ius constitutum atau hukum
yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius constituendum atau hukum
yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang. Berbeda dengan
pendapat dari Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang
akan dibentuk.40 Definisi ini kemudian di perjelas oleh Padmo Wahjono ketika
mengemukakan di dalam majalah Forum Keadilan41 bahwa politik hukum
adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria
untuk menghukum sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan,
penerapan, dan penegakan hukum. Padmo Wahjono melihat politik hukum
dengan lebih condong pada aspek ius constituendum, sedangkan T.M. Radhie
mendifinisikan politik huku sebagai rajutan (saling berkaitan) antara ius
constitutum dan ius constituendum. Dari definisi yang dikemukakan Padmo
Wahjono, telaah tentang pergulatan politik di balik lahirnya hukum mendapat
38 Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, hlm. 3 39 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia , Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2001, hlm
15 40 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,cet.ii, Jakarta : Ghalia Indonesia,
1986, hlm. 65 41 Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang – Undangan, dalam
Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65
28
tempat di dalam studi tentang politik hukum sebab hukum itu adalah produk
politik.
Politik hukum mengandung dua sisi yang tak terpisahkan, yakni sebagai
arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga – lembaga negara dalam
pembuatan hukum dan sekaligus sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi
apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka
piker legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Maka pembahasan
politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum
nasional mencakup hal – hal sebagai berikut :
1. Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan
sebagai orientasi politik hukum, termasuk penggalian nilai – nilai
dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum.
2. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan
itu serta faktor – faktor yang memengaruhinya.
3. Perencanaan dan kerangka piker dalam perumusan kebijakan
hukum.
4. Isi hukum nasional dan faktor – faktor yang memengaruhinya. 5. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review,
legislative review, dan sebagainya.
Bahwa ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik
hukum adalah meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum,
letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi
pembentukan politik hukum suatu negara. Ketiga permasalahan itu baru
sebatas membahas proses pembentukan politik hukum, belum berbicara pada
tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan produk hukum yang merupakan
konsekuensi politis dari sebuah politik hukum. Politik hukum dalam perspektif
akademis tidak hanya berbicara sebatas pengertian di atas an sich tetapi
mengkritisi juga produk hukum yang telah dibentuk dan disahkan. Dengan
demikian politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain
29
sebagai kerangka berpikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal
policy) oleh lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi
produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy di atas.42
Berdasarkan uraian tersebut, Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari
menetapkan ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut :
1. Proses penggalian nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat oleh penyelenggara negara yang bewenang
merumuskan politik hukum;
2. Proses perdebatan dan perumusan nilai dan aspirasi tersebut ke
dalam bentuk sebuah rancangan Peraturan perundang undangan
oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik
hukum;
3. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan
menetapkan politik hukum;
4. Peratuan perundang undangan yang memuat politik hukum;
5. Faktor faktor yang mempengaruhi menentukan suatu politik
hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;
6. Pelaksanaan dari peraturan perundang undangan yang merupakan
implementasi dari politik hukum suatu negara.
Enam masalah itulah yang seterusnya akan menjadi wilayah telaah dari
politik hukum. Dalam hal ini, politik hukum secara umum bermanfaat untuk
mengetahui bagaimana proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian itu
dapat menghasilkan legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa
keadilan masyarakat. Politik hukum bisa juga diartikan sebagai kebijakan
mendasar para penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang,
dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita -
citakan. Bertolak dari beberapa basis argumen di atas, maka wilayah kajian
politik hukum paling tidak mencakup :
42 King Faisal Sulaiman, “Politik Hukum Indonesia” , Cet. I, Yogyakarta:Thafa Media, 2017, hlm
41
30
1. Proses penggalian nilai – nilai dan aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat oleh penyelanggara negara yang berwenang
merumuskan politik hukum;
2. Proses perdebatan dan perumusan nilai – nilai dan aspirasi
tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang
– undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang
merumuskan politik hukum;
3. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan
menetapkan politik hukum;
4. Peraturan perundang – undangan yang memuat politik hukum;
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu
politik hukum baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;
6. Pelaksanaan dari peraturan perundang – undangan yang
merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
Politik hukum muncul sebagai salah satu hukum alternatif di tengah
kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara
hukum dan entitas bukan hukum, terutama dalam kaitan studi ini adalah politik.
Pada tahap inilah disiplin politik hukum memberikan pengetahuan bahwa
hukum sarat dengan warna politik, bahwa hukum harus dipandang sebagai
hasil dari suatu proses politik (law as as product of political process). Sub
sistem politik dianggap lebih powerful dibandingkan sub sistem hukum.
Artinya, subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar
daripada subsistem hukum. Hal ini mengakibatkan apabila hukum berhadapan
dengan politik, maka ia berada pada kedudukan yang lebih lemah. Sub sistem
politik mempunyai tingkat determinasi yang lebih tinggi daripada susbsistem
hukum, karena hukum merupakan hasil dari kehendak politik yang saling
berinteraksi dan saling bersaingan.43
43 Ibid , hlm. 45
31
2. Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang
dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai – nilai yang berlaku di masyarakat
untuk mencapai tujuan negara yang dicitacitakan.44 Dalam definisi tersebut
kata penyelenggara negara dana tujuan negara yang dicitacitakan menjadi
sorotan. Penyelenggara negara adalah lembaga – lembaga negara yang diberi
wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan pemerintahan sebuah negara.
Penyelenggara negara disebut juga pemerintah (goverment), yang dalam
pengertian luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.45
Ada tujuan negara yang dicita – citakan dapat dilihat secara umum pada
pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang
terdapat dalam Pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal –
pasal UUD 1945 tersebut, dan dioperasionalkan dalam bentuk undang –
undang atau peraturan perundang undangan lain yang ada di bawahnya. Kedua
hal yang telah dijabarkan di atas, baik lembaga pemerintahan maupun tujuan
negara yang dicita – citakan, tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari studi
hukum tata negara. Artinya , hal – hal yang berkaitan dengan politik hukum
44 King Faisal Sulaiman, Politik Hukum Indonesia , Cet. I, Yogyakarta:Thafa Media, 2017, hlm 36 45 Tentang arti pemerintah dalam arti luas , C.F. Strong mengatakan bahwa ketiga kekuasaan
tersebut, yakni legislative power, executive power, dan judicial power disebut sebagai the three
departments of government. C.F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Existing Form, Revised Edition, London : Sidgwick &
Jackson Limited, 1952, hlm. 6
32
dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata
hukum, dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk hukum)46 kini
menjadi kajian ilmu tersebut. Ini sesuai dengan pengertian hukum tata negara
yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam sebuah tulisannya berjudul
Thorbecke en het Administratif Recht (1919) yang mengatakan bahwa Hukum
Tata Negara47 Adalah rangkain peraturan hukum, yang mendirikan badan –
badan sebagai alat (organ) suatu negara, dengan memberikan wewenang
kepada badan – badan itu, dan yang membagi – bagi pekerjaan pemerintah
kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun rendah kedudukannya.48
Menurut H.D. van Wijk , sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam
sebuah tulisannya berjudul “Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam
Sistem Hukum Nasional” , bila dikaitkan dengan sebuah sistem hukum, hukum
tata negara merupakan pondasi, dasar atau muara berlakunya cabang dan
ranting hukum yang lain.49 Hukum Tata Negara tidak saja menjadi muara dari
berlakunya hukum materiil dan hukum formil, tetapi meliputi juga organisasi
peradilan, dengan mana suatu hukum materiil hendak dipertahankan dan atau
ditegakan. Posisi penting dan strategis hukum tata negara dapat dilihat pula
pada bagan sistem hukum yang dibuta oleh Crince le Roy.50 Pada sistem hukum
Crince le Roy menjelaskan bahwa hukum tata negara merupakan payung bagi
berlakunya hukum – hukum yang lain. Dua sistem hukum (van Wijk dan le
46 Theo Hujibers, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 114 47 Untuk Hukum Tata Negara ini bahasa Belanda dan Jerman mempergunakan istilah Staatrecht,
bahasa Inggris Constitutional Law, dan bahasa Perancis Droit Constitutionalle. 48 Wirjono Prodjidikoro, Azaz - Azaz Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 1989,
hlm. 8 49 Sri Soemantri Martosoewignjo, Tentang Lembag – Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cet.
VI, Bandung : Citra Adya Bakti, 1989, hlm. 31 50 Ibid., hlm. 32
33
Roy) sama sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi
pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun, perlu diketahui bahwa pembagian itu
baru berbicara tentang produk – produk hukum yang menjadi bagian hukum
tata negara, bukan berbicara proses hukum dan politik pembentukan produk –
produk hukum tersebut.
3. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
Konsep konfigurasi politik demokratis dan/ atau konsep otoriter
ditentukan berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan
lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dominasi peranan eksekutif, dan
kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi
berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan
kewenangan menafsirkan hukum.51 Untuk selanjutnya pengertian secara
konseptual dirumuskan sebagai berikut :
a. Konfigurasi politik demokratis
Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka
ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam
menentukan kebijakan negara. Konfigurasi politik demikian
menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus
melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang diru-muskan secara
demokratis. Oleh karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik
berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan
kebijakan negara. Pers terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan
51 J.H. Marryman, The Civil Law Tradition, California : Standford University Press, 1966, hlm. 67
34
bebas tanpa ancaman pembreidelan atau tinda-kan kriminalisasi
lainnya.
b. Konfigurasi politik otoriter
Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang
menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan
sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan
terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pe-merintah
yang sangat dominan, badan perwa-kilan rakyat dan partai politik tidak
berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat untuk justifikasi
(rubber stamp) atas kehendak peme-rintah, sedangkan pers tidak
memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol peme-
rintah dalam bayang-banyang pembreidelan.
c. Produk hukum responsif
Produk hukum responsif adalah karakter produk hukum yang
mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu
maupun berbagai kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih mampu
mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses
normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi
masyarakat. Lembaga peradilan dan peraturan hukum berfungsi sebagai
instrumen pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan
rumusannya biasanya cukup diperinci sehingga tidak terlalu terbuka
untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi
penguasa/pemerintah secara sewenang-wenang.
35
d. Produk hukum konservatif
Produk hukum konservatif adalah karakter produk hukum yang
mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat
dominan, sehingga dalam proses pembuatannya tidak akomodatif
terhadap partisipasi dan aspiasi masyarakat secara sungguh sungguh.
Prosedur pembuatan yang dilakukan biasanya hanya bersifat formalitas.
Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan
dengan sifat positivis instrumentalis atau sekedar menjadi alat
justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah.
Rumusan materi hukumnya biasanya bersifat pokok-pokok saja
sehingga dapat penguasa negara dapat menginterpretasikan menurut
visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan.52
Perkembangan konfigurasi politik senantiasa memengaruhi
perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis
senantiasa melahirkan hukum – hukum yang berkarakter reponsif, sedangkan
konfigurasi politik otoriter senantiasa melahirkan hukum – hukum yang
berkarakter konservatif/ortodoks. Di Indonesia, senantiasa terjadi tolak tarik
antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang
otoriter. Hal tersebut terlihat pula pada perkembangan karakter produk
hukum.53 Bila dihubungkan dengan teori tersebut di atas, memang jelas
terlihat bahwa memang ada hubungan yang signifikan antara sistem
pemerintahan sebuah
52 Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and Society Transtition: Toward Responsive
Law”,dalam Satya Arinanto, “Politik Hukum 2”,Kumpulan Makalah Kuliah Politik
Hukum,Program Pascasarjana FH UIEU, Jakarta,2001. Hlm. 15 53 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Cet. II, Jakarta :
Rajawali Pers, 2011, hlm. 78
36
negara dengan hukum yang dianutnya. Sistem Pemerintahan Orde Baru
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Orde Lama
dengan Demokrasi Terpimpinnya. Dimana bila melihat teori di atas, maka
Indonesia pada masa itu memiliki Konfigurasi politik otoriter. Hal ini
dikarenakan Indonesia menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat
dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi
dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang
sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi
dengan baik dan lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas
kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan
senantiasa berada di bawah kontrol pemerintah.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa hukum negara yang sekarang
diberlakukan di Indonesia sebenarnya lebih dekat kepada tipe hukum
otonom, dimana dalam tipe hukum otonom sistem pemerintahan dijalankan
berdasarkan hukum (rule of law) dan penafsiran aparat terhadap penegakan
hukum dilakukan sesuai apa yang tersurat dalam peraturan-peraturan hukum
tersebut. Namun ada kalanya hukum Indonesia juga dekat dengan tipe
hukum represif dimana peran orang-orang yang berkuasa secara politik bisa
mempengaruhi hukum sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Pembuatan
hukum, yang dipersempit dalam peraturan perundang-undangan sama sekali
tidak terpisah dari pengaruh politik. Akibatnya, selain tidak memenuhi rasa
keadilan masyarakat, keberadaan hukum tersebut juga menjadi ancaman
bagi
37
masyarakat. Philippe Nonet and Philip Selznick, menjabarkan bahwa ada
tiga klasifikasi dasar dari hukum yang ada di masyarakat54, sebagai berikut:
1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif);
2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan
represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom); dan
3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap
kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen
bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang
langgeng dan stabil. Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak
otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum
responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sifat responsif
dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang
dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat
responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam
perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif
adalah adanya pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip
dan tujuan pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara
untuk mencapainya. Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada
tujuan- tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif,
tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau
dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat
yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif
ini,
54Philippe Nonet and Philip Selznick, Op.cit., hlm. 15
38
mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka
sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Seperti dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum
(modern) dijalankan oleh komponen aparatur negara. Oleh sebab itu, perilaku
aparatur negara dalam struktur hukum Indonesia menjadi amat penting untuk
disorot dalam proses penegakan hukum. Jika sekarang kita menyaksikan kasus
main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, hal ini tidak aneh.
Pertama, kita bisa mengatakan bahwa masyarakat kita belum benar-benar sadar
hukum. Karena hukum belum terinternalisasi dalam seluruh perilaku
masyarakat ketika mereka saling berinteraksi satu sama lain. Akan tetapi main
hakim sendiri bisa juga menjadi symbol perlawanan masyarakat terhadap
tingkah aparat hukum yang korup yang senang melakukan KKN dalam
menjalankan tugasnya. Padahal aparat hukum harus mejadi contoh kepatuhan
hukum bagi masyarakat yang mau dilayaninya.55Berkaitan dengan konteks
penegakan hukum di Indonesia, hukum responsif mengisyaratkan bahwa
penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Menjalankan
hukum tidak hanya menjalankan Undang-undang, tetapi harus memiliki
kepekaan sosial. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada
logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak
cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial.56
55 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.hlm. 34 56Henry Arianto, “Hukum Repsonsif dan Penegakan Hukum di Indonesia”, dalam Jurnal Lex
Jurnalica, Vol. 7, No. 2, April 2010, hlm 43.
39
A. Pencemaran Nama Baik
1. Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP
Salah satu perbuatan pidana yang sering mengundang perdebatan di
tengah masyarakat adalah pencemaran nama baik. Dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan
dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP. yang terdiri dari 3 (tiga) ayat.57 Dalam
ayat (1) dinyatakan bahwa barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa apabila perbuatan tersebut dilakukan
dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan
di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah. Sebaliknya, ayat (3) menegaskan bahwa tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri.
Dari ketentuan Pasal 310, telah dirumuskan tindakan Pencemaran Nama
Baik itu dapat berupa:
1) Menista dengan lisan (smaad) – Pasal 310 ayat (1),
2) Menista derrgan surat (smaadschrift) - Pasal 310 ayat (2).
Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang dilakukan
"dengan sengaja" untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan
57 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 114
40
atau nama baik orang lain. Dengan demikian, unsur-unsur Pencemaran Nama
Baik atau penghinaan (menurut Pasal 310 KUHP) adalah:
a. dengan sengaja;
b. menyerang kehormatan atau nama baik;
c. menuduh melakukan suatu perbuatan;
d. menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum
Apabila unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya
diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasa1
310 ayat (1) KUHP. Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan
surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista
dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310
ayat (2) KUHP. Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum
dengan pasal Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan adalah:
a. Penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan
umum.
b. Untuk membela diri.
c. Untuk mengungkapkan kebenaran.
Dengan demikian, orang yang menyampaikan informasi, secara lisan
ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu
benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan
atau fitnah. Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat dikemukakan bahwa
pencemaran nama baik bisa dituntut dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP, apabila
perbuatan tersebut harus dilakukan dengan cara sedemikian rupa, sehingga
dalam perbuatannya terselip tuduhan, seolah-olah orang yang dicemarkan
(dihina) itu telah melakukan perbuatan tertentu, dengan maksud agar tuduhan
itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak
perlu perbuatan yang menyangkut tindak pidana (menipu, menggelapkan,
41
berzina dan sebagainya), melainkan cukup dengan perbuatan biasa seperti
melacur di rumah. pelacuran. Meskipun perbuatan melacur tidak merupakan
tindak pidana, tetapi cukup memalukan pada orang yang bersangkutan apabila
hal tersebut diumumkan. Tuduhan itu harus dilakukan dengan lisan, karena
apabila dilakukan dengan tulisan atau gambar, maka perbuatan tersebut
digolongkan pencemaran tertulis dan dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.58
Kejahatan pencemaran nama baik ini juga tidak perlu dilakukan di muka
umum, cukup apabila dapat dibuktikan bahwa terdakwa mempunyai maksud
untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Pencemaran nama baik (menista)
sebenarnya merupakan bagian dari bentuk penghinaan yang diatur dalam Bab
XVI KUHP. Pengertian "penghinaan" dapat ditelusuri dari kata "menghina"
yang berarti "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Korban
penghinaan tersebut biasanya merasa malu, sedangkan kehormatan di sini
hanya menyangkut nama baik dan bukan kehormatan dalam pengertian
seksualitas. Perbuatan yang menyinggung ranah seksualitas termasuk
kejahatan kesusilaan dalam Pasal 281-303 KUHP Penghinaan dalam KUHP
terdiri dari pencemaran atau pencemaran tertulis (Pasal 310), fitnah (Pasal
311), penghinaan ringan (Pasal 315), mengadu dengan cara memfitnah (Pasal
317) dan tuduhan dengan cara memfitnah (Pasa1318).59
58 Ibid, hlm. 331 59 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1993), hlm. 225
42
2. Pencemaran Nama Baik Dalam Dunia Internet Menurut Pasal 27
Ayat 3 Undang - Undang No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
atas Undang - Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi
dan Elektronika (selanjutnya disebut UU ITE) adalah produk hukum yang
mengatur permasalahan-permasalahan di dunia maya atau internet. Beberapa
pasal dalam UU ITE yang dilarang dilanggar di dalam memanfaatkan dunia
internet atau perbuatan yang dilarang dilakukan dalam mengakses di dunia
internet adalah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29. Dengan menggunakan pasal-pasal
KUHP untuk menjerat pelaku Pencemaran Nama Baik melalui internet, oleh
sebagian ahli hukum dinyatakan KUHP tak dapat diterapkan, namun sebagian
ahli hokum lain menganggapnya KUHP dapat menjangkaunya. Akan tetapi,
terlepas dari perdebatan itu, yang jelas Mahkamah Konstitusi (MK) ketika
memberikan putusan terhadap permohonan judicial review Pasal 27 ayat 3 UU
No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan: secara harfiah bahwa unsur di muka
umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak
dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif
yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/ atau Pencemaran Nama Baik. Pada intinya, MK
menyatakan bahwa Pasal-Pasal tertentu dalam KUHP dianggap tidak cukup
43
memadai untuk menjawab persoalan persoalan hukum yang muncul akibat
aktivitas di dunia maya.60
Memang, kaidah hukum Pencemaran Nama Baik itu tak hanya
diakomodir oleh KUHP tapi juga produk hukum di luar KUHP yang juga
menerapkan sanksi pidana, di mana produk hukum itu adalah UU No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh sebab itu, jika merujuk
pada putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka
dalam hal Pencemaran Nama Baik melalui internet, hukum yang digunakan
untuk menyelesaikannya adalah UU ITE, bukan KUHP. Melihat isi Pasal
Pencemaran Nama Baik UU ITE sebagaimana yang disebutkan di atas, maka
agar dapat memenuhi syarat Pencemaran Nama Baik, unsur-unsurnya adalah:
a. setiap orang;
b. dengan sengaja;
c. tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau
dokumen elektronik;
d. memiliki muatan penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik.
Yang dimaksud unsur sengaja atau kesengajaan di sini adalah
orang itu memang mengetahui dan menghendaki informasi yang
mengandung pencemaran itu tersebar untuk merusak kehormatan
atau nama baik seseorang.
Namun demikian, belum dapat dikategorikan Pencemaran Nama Baik
sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE apabila unsur selanjutnya tidak terpenuhi. Oleh
karenanya, harus dilihat pula unsur "tanpa hak mendistribusikan". Sehingga,
harus ada unsur kesengajaan dan unsur tanpa hak mendistribusikan, di mana
kedua unsur tersebut bersifat kumulatif. Jadi, unsur "tanpa hak
mendistribusikan" ini ditafsirkan: bahwa informasi yang mengadung
60 Reydi Vridell, "Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP dan Menurut UU No. 11 tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik", dalam Jurnal Lex Crimen,Vol. III,No. 4,Ags-Nov
2014, hlm. 119
44
pencemaran itu sengaja disebarluaskan atau didistribusikan ke semua orang,
seperti ke berbagai mailis dan bukan hanya terbatas ke teman-teman. Akan
tetapi, jika menyebarkan informasi yang dimilikinya hanya ke teman-teman
sendiri, maka itu artinya ia memang memiliki hak. Bagaimana jika ia hanya
mem-forward email atau meneruskan/ mendistribusikan informasi yang
didapat dari teman ke teman lainnya? Untuk kasus seperti ini, maka
tanggungjawab distribusi hanya sampai ke teman yang dikirimkannya saja.
Dan, oleh karenanya, ia tidak dapat terjerat pasal Pencemaran Nama Baik
menurut UU ITE. Dengan demikian, pengertian distribusi itu ada distribusi
dalam artian luas atau hanya memberi informasi keteman-teman. Kalau
seseorang memang sengaja menyebarkan informasi yang Dapat mengandung
pencemaran itu ke mailis A, B, C dan mengirim ke semua orang, bukan hanya
teman, maka orang itu telah "tanpa hak mendistribusikan" informasi bermuatan
pencemaran.61
Dalam ketentuan Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE tidak ada
definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penghinaan atau
pencemaran Nama Baik. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah telah
dipenuhinya unsur Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE harus pula merujuk
Pasal 311 KUHP. Hanya saja sayangnya, Mahkamah Konstitusi malah makin
mengukuhkan eksistensi pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
tersebut. Dalam putusannya, MK menyatakan negara berwenang melarang
pendistribusian/ pentransmisian informasi semacam itu sebagai bagian dari
perlindungan hak warga negara dari ancaman serangan penghinaan atau
61 Ibid, hlm. 120
45
Pencemaran Nama Baik. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dinyatakan oleh MK tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pertimbangannya, MK mengakui hak
tiap warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyimpan informasi. Namun, hal tersebut tidak boleh
menghilangkan hak orang lain untuk mendapat perlindungan diri, keluarga,
kehormatan, martabat dan nama baiknya. Oleh sebab itu, adalah kewenangan
negara untuk mengatur hal tersebut dapat dibenarkan guna menciptakan situasi
yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang. Menurut MK, Pasal
27 Ayat (3) UU ITE tersebut hanya dengan sengaia dan tanpa hak
mendistribusikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik
yang memuat unsur penghinaan. Dan, pembatasan itu tidak dilakukan dalam
rangka memasung atau membenamkan hak-hak dasar untuk mencari,
memperoleh informasi. Ditambahkan pula, bahwa pembatasan yang dimaksud
juga tidak dapat serta-merta dikatakan sebagai bentuk penolakan atau
pengingkaran nilai – nilai demokrasi.
Namun, catatan penting dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu yang
cukup melegakan adalah jawaban terhadap ketidakjelasan kategorisasi delik.
Jika kita buka Pasal 27 ayat (3) UU ITE nyatanya tidak menjelaskan apakah
delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik
Biasa. Oleh sebab itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konsitusi
menyatakan bahwa pada pokoknya masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE
kedalam Delik Aduan. Jika menilai putusan MK tersebut secara keseluruhan,
tampaknya Mahkamah Konstitusi tidak melihat lebih jauh mengenai nilai-nilai
46
filosofis yang ada dalam pasal Pencemaran Nama Baik yang bermuara dalam
Pasal 310 dan 311 KUHP yang merupakan produk penjajah Belanda, yang
dapat dengan mudah dijadikan alat penguasa untuk memenjarakan orang.
Sehingga, Mahkamah Konsitusi tetap menyatakan Pasal 21 ayat (3) UU ITE
itu tetap berlaku sekalipun sanksi pidananya jauh lebih berat dari pasal
penghinaan di KUHP.
Landasan pemikiran inilah yang mendasari lahirnya Undang-Undang No
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut
UU tentang ITE) yang diundangkan pada tanggal 21 April 2008. Munculnya
keberatan sebagian masyarakat terhadap Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran
nama baik dan/atau penghinaan melalui internet yang berujung pada
constitutional review. Pasal 27 ayat (3) ke Mahkamah Konstitusi oleh dua
pihak, masing-masing permohonan pertama oleh Narliswandi Piliang pada
tanggal 25 November 2008 dan permohonan kedua oleh Eddy Cahyono dan
kawan-kawan pada tanggal 5 Januari 2009. Dalam sidang constitutional review
di Mahkamah Konstitusi terungkap yang menjadi keberatan para pihak
penggugat tersebut adalah terhadap ketentuan pidana yang termaktub dalam
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
terutama ancaman sanksi pidana pada Pasal 45 ayat (1) yaitu pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Ketentuan ini dinilai terlalu berat dibandingkan dengan
ancaman sanksi dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yaitu pidana penjara paling
lama 9 (Sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Dampak pengaturan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,
47
membawa konsekuensi sesuai dengan ketentuan KUHAP bahwa tersangka
pelaku tindak pidana Pasal dimaksud dapat dikenakan penahanan.
Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik menyebutkan tentang larangan yang berkaitan
dengan penyebaran informasi yaitu sebagai berikut:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ketentuan tersebut diatas memberikan norma bahwa seseorang dilarang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya “informasi” oleh khalayak (termasuk
didalamnya yang memuat tentang konten-konten ekpresif, seni, dokumentasi
pribadi, dokumen terbatas/rahasia) yang melanggar kesusilaan, muatan
perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta muatan
pemerasan dan/atau pengancaman. Penilaian bahwa pasal tersebut
berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, ada pada anggapan bahwa
masih bias dan kurang konritnya rumusan “penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik” dalam pasal tersebut sehingga rawan untuk disalahgunakan.62
Selain aturan pidana substantif, dalam Undang – Undang No 19 Tahun
2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur mengenai prosedur
62 Agung Yundi, Kebebasan Berekpresi Menurut Pasal 27 Ayat (3) Undang - Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dalam Justitia Jurnal Hukum, Vol. 3, 2019, hlm 6
48
63 Andi Hamzah, KUHP Dan KUHAP-Edisi Revisi 2008, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 124.
dan alat bukti yang mengalami perluasan, yaitu dimasukkannya alat bukti baru
yang berkaitan dengan media elektronik. Selanjutnya apabila seseorang
dilaporkan telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (3).
Maka patut perlu di ungkapkan juga mengenai sifat melawan hukum tersebut
memiliki nilai pengecualian jika dikaitkan dengan Pasal 310 ayat (3) yang
menyatakan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis
jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa
membela.63