BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SYIRKAH DAN...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SYIRKAH DAN...
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SYIRKAH DAN WARALABA
A. Syirkah
1. Pengertian Syirkah
Kata syirkah merupakan kata dasar dalam bahasa Arab. Secara
bahasa ada dua arti yang dilekatkan pada kata syirkah. Arti pertama adalah
sebagai al-ikhtilath yaitu campuran atau percampuran yakni adanya
percampuran harta antara dua orang atau lebih sehingga tidak dapat
dibedakan lagi mana harta masing-masing pihak.1 Arti kedua adalah
syirkah diartikan sebagai kerjasama atau kemitraan dalam suatu usaha.2
Dari pemaknaan secara harfiah tersebut kemudian pengertian syirkah
secara istilah di kalangan para ahli berkembang menjadi aneka ragam yang
diantaranya :3
a. Idris Ahmad menyatakan bahwa syirkah sama dengan syarikat dagang
yakni adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk
bekerjasama dengan cara menyerahkan modal masing-masing dimana
1 Pengertian ini didasarkan pada pendapat Taqiyuddin sebagaimana dikutip dalam
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 125; Jumhur ulama juga berpendapat sama dalam mengartikan syirkah sebagai (per)campuran, lih. Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan (et.al), Jakarta, Ichtiar Van Hoeve, 1996, hlm. 1711; lih juga Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2005, hlm. 118.
2 Arti syirkah yang dilekatkan pada makna kerjasama dapat dilihat pada Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah; Deskripsi dan Ilustrasi Edisi 2, Yogyakarta, Ekonisia, 2004, hlm. 67; M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hlm. 90; Ulama yang melekatkan arti syirkah kepada kerjasama salah satunya adalah Ibnu Rusyd sebagaimana tertulis dalam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Nihayatul Muqtashid, t.kp, Darul Fikr, tt, hlm. 189. Sedangkan pemaknaan syirkah kepada arti kemitraan dapat dilihat dalam Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syari’ah; Prinsip, Praktik, dan Prospek, terj. Burhan Wirasubrata, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2004, hlm. 69.
3 Tiga pengertian pertama dikutip dari Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 125-126.
20
pembagian keuntungan dan kerugian diperhitungkan menurut besar
kecilnya modal.
b. Menurut Sayyid Sabbiq syirkah ialah akad antara dua orang atau lebih
yang berserikat pada pokok harta benda (modal) dan keuntungan.
c. Hasbi Ash-Shiddieqie menjelaskan syirkah sebagai :
عقد بني شخصني فأكثر على التعاون ىف عمل إكتسايب واقتسام أرباحه
Artinya : “Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya”.
d. Sulaiman Rasyid mendefinisikan syirkah sebagai akad dari dua orang
atau lebih untuk berserikat pada harta yang ditentukan oleh keduanya
dengan maksud mendapat keuntungan.4
Dari empat pemaknaan tentang syirkah di atas dapatlah diketahui
bahwa meskipun berbeda dalam redaksional akan tetapi esensi dari
pengertian syirkah tetaplah sama yakni kerjasama antara dua orang atau
lebih pada suatu usaha di mana keuntungan dan kerugian ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Nama lain dari syirkah ditinjau dari
ilmu ekonomi antara lain adalah profit sharing5 dan perseroan6.
4 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Jakarta, At-Tahiriyah, 1959, hlm. 284. 5 Lih. Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta, UPP AMPYKPN, tt, hlm.
101-dst. 6 Lih. Taqyudin an-Nabhani, Membangun Sistem EkonomiAlternatif; Perspektif Islam,
terj. M. Maghfur Wachid, Surabaya, Risalah Gusti, 2002, hlm. 153 – dst.
21
2. Dasar Hukum Syirkah
Hukum dari pelaksanaan syirkah menurut hukum Islam adalah
boleh selama sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. Penegasan
hukum tentang syirkah telah tertulis dalam sumber-sumber hukum Islam
(al-Qur’an dan al-Hadits) yang diantaranya adalah :
a. Dasar hukum nash al-Qur’an
Q.S. Shad ayat 24
ريا من اخللطاء ليبغي ثقال لقد ظلمك بسؤال نعجتك اىل نعاجه وإنّ ك
اهم وظنلحت وقليل مبعضهم على بعض االّ الّذين امنوا وعملوا الص
نابأا و نما فتنه فاستغفر ربه وخرراكعداود أ
Artinya : “Daud berkata : ‘Sesungguhnya dia telah berbuat zalim
kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh dan amat sedikitlah mereka ini’. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”. (Q.S. Shad : 24)7
Q.S. an-Nisaa’ ayat 12
...فهم شركاء يف الثّلث ... Artinya : “Maka mereka berserikat pada sepertiga” (Q.S. an-Nisaa :
12)8
7 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Alwaah, 1995, hlm. 735-736. 8 Ibid., hlm. 117.
22
Q.S. al-Maidah ayat 2
...وتعاونوا على الرب و التقوى ...
Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa ...” (Q.S. al-Maidah:2)9
b. Hadits Nabi
م وذهبت .وكان قد أدرك النيب ص: عن عبداهللا ابن هشام رضي اهللا عنه يا رسول اهللا بايعه، : م فقالت .به أمه زينب بنت محيد إىل رسول اهللا ص
كان خيرج اىل لسوق، فيشترى . فمسح رأ سه ودعا له) صغريهو: (فقال اشركنا، : الطّعام، فيلقاه ابن عمر و ابن الزبري رضي اهللا عنهم، فيقوالن له
م قد دعا لك با لربكة، فيشركهم، فربما أصاب الراحلة .فإنّ النيب ص ث ا اىل املرتلكما هي، فيبع
Artinya : “Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Hisyam r.a bahwa ibunya,
Zainab binti Humaid, membawanya ke hadapan Nabi Saw dan berkata,’Ya Rasulullah! Ambillah baiat darinya’. Tetapi Nabi Saw bersabda,’Ia masih terlalu muda untuk melakukannya’, seraya mengeluskan telapak tangannya ke atas kepalanya dan memohon Allah memberkahinya. ‘Abdullah bin Hisyam biasa pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Ia ditemui oleh Ibn ‘Umar dan Ibn al-Zubair r.a keduanya berkata,’Jadilah mitraku, karena Nabi Saw telah berdo’a kepada Allah agar memberkahimu’. Demikianlah ia pun menjadi mitranya dan sangat sering ia memenangkan muatan unta dan mengirimnya ke rumah”.10
9 Ibid., hlm. 157. 10 Zainuddin Ahmad, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan
Tholib Anis, Bandung, Mizan, 2001, hlm. 454.
23
إنّ األشعريني : (م .قال رسول اهللا ص: عنه قال عن أىب موسى رضي اهللامجعوا ما كان عندهم يف إذا أرملوا ىف الغزو، أو قلّ طعام عياهلم باملدينة،
ثوب واحد، مثّ اقتسموه بينهم يف إنان واحد با لسوية، فهم منى وأنا )منهم
Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Musa r.a : Nabi Saw pernah bersabda,’Ketika makanan dari orang-orang dari suku Asy’ari berkurang dalam perang, atau makanan keluarga-keluarga mereka di Madinah berkurang, mereka mengumpulkan semua makanan yang masih ada dan menyimpannya di atas sebuah kain yang lebar. Kemudian mereka membagikannya secara merata di antara mereka dengan menggunakan sebuah mangkok. Demikianlah orang-orang ini adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari mereka”.11
Selain sumber hukum berupa al-Qur’an dan Hadits Nabi, masalah
hukum syirkah juga dijelaskan Allah dalam sebuah Hadits Qudsi yang
berbunyi,
أنا ثالث الشريكني مامل خين : م عن ربه أنه يقول . رسول اهللا صييرو
أبو داود و ( خرجت من بينهما فاذا خان أحدمها صاحبهاحدمها صاحبه
)احلاكم و صححه
Artinya : “Diriwayatkan oleh Rasulullah Saw dari Allah bahwasanya
Allah berfirman : ‘Saya adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak menghianati kawannya; jika salah satu menghianati kawannya maka Saya akan keluar dari antara mereka berdua itu”.(Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkan)12
11 Ibid., hlm. 452. 12 Sebagaimana dikutip dalam Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam
Islam, terj. Mu’amal Hamidy, Surabaya, Bina Ilmu, 1980, hlm. 376.
24
3. Jenis-Jenis Syirkah
Ulama fiqh sebagaimana dikutip dalam “Ensiklopedi Islam”
sepakat membagi syirkah ke dalam dua bentuk yakni syirkah al-amlak dan
syirkah al-‘uqud. Masing-masing bentuk syirkah tersebut masih memiliki
cabang-cabang.13
Syirkah al-amlak adalah dua orang atau lebih memiliki harta
bersama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah yang termasuk dalam syirkah
al-amlak ada dua bentuk yakni :14
a. Syirkah ikhtiyar15 yakni perserikatan yang muncul akibat tindakan
hukum orang yang berserikat. Contoh dalam syirkah ini adalah dua
orang atau lebih yang bersepakat bersyarikat atas barang yang dibeli,
hibah, wasiat, ataupun wakaf.
b. Syirkah jabr16 yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang
atau lebih tanpa kehendak dari mereka. Contoh dalam hal ini adalah
masalah harta warisan yang mereka terima dari orang yang telah wafat.
Syirkah al-Uqud adalah syirkah yang akadnya disepakati oleh dua
orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam prserikatan modal dan
keuntungan. Di kalangan ulama terjadi perbedaan mengenai bentuk
syirkah yang menjadi bagian dari syirkah al-uqud.
13 Ensiklopedi Hukum Islam, loc. cit. 14 Ibid., hlm. 1711-1712. 15 Syirkah ikhtiyar merupakan suatu syirkah yang didasarkan pada kebebasan memilih
dari orang yang berserikat. Ibid. 16 Syirkah jabr merupakan kebalikan dari syirkah iktiyar dimana dalam syirkah ini
orang yang berserikat tidak dapat memilih karena sudah terdapat aturan yang memaksa mereka untuk patuh di dalamnya. Ibid.
25
Ulama Mazhab Hanbali membaginya ke dalam lima bentuk
yakni:17 a) syirkah al-‘inan yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih
dalam modal dan kerja yang prosentase modal dan keuntungan tidak harus
sama dan disesuaikan dengan kesepakatan diantara pihak yang
bekerjasama,18 b) syirkah al-mufawadah atau kerjasama yang menekankan
pada kesamaan modal, tanggung jawab kerja, keuntungan, serta
tanggungan kerugian di antara pihak-pihak yang berserikat,19 c) syirkah al-
abdan adalah jenis kerjasama yang terkait dengan pekerjaan fisik dimana
pihak yang berserikat sepakat untuk melakukan pekerjaan yang diberikan
oleh pihak ketiga dengan pembagian keuntungan (upah) disesuaikan
dengan kesepakatan,20 d) syirkah al-wujuh yakni kerjasama antara pihak-
pihak yang berserikat tanpa disertai modal dan pembagian keuntungan
ataupun tanggungan kerugian sesuai dengan kesepakatan pihak yang
berserikat,21 dan e) syirkah al-mudarabah adalah jenis kerjasama antara
pemilik modal dengan pekerja ahli dimana keuntungan dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan.22 Sedangkan ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i
membagi bentuk-bentuk syirkah al-uqud ke dalam empat bentuk
17 Ibid., hlm. 1711. 18 Lih. Said Sabiq sebagaimana dikutip dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 163-164; M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 92; Gemala Dewi dkk, op. cit., hlm. 121; Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., hlm. 1712.
19 Lihat dalam buku-buku pada M. Ali Hasan,, op. cit., hlm. 164; M. Syafi’i Antonio, loc. cit.; Gemala Dewi dkk, loc. cit.; Ensiklopedi Hukum Islam, loc. cit.
20 Lih. Gemala Dewi, op. cit., hlm. 122; M. Ali Hasan, loc. cit.; Ensiklopedi Hukum Islam, loc. cit.
21 Lih. M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 93.; Gemala Dewi, loc. cit.; Ensiklopedi Hukum Islam, loc. cit.; M. Ali Hasan, loc. cit.; Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 130.
22 Lih. Gemala Dewi, loc. cit.; Ensiklopedi Hukum Islam, loc. cit.; M. Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 95.
26
sebagaimana bentuk-bentuk syirkah dalam Mazhab Hanbali tanpa
menyertakan syirkah al-mudarabah. Alasan yang dikemukakan oleh
Mazhab Maliki dan Syafi’i adalah al-mudarabah merupakan akad
tersendiri dalam bentuk kerjasama lain dan tidak dinamakan dengan
perserikatan.23
Berbeda dengan dua Mazhab tersebut di atas, Hanafiyah membagi
syirkah uqud ke dalam tiga bentuk syirkah24 yakni syirkah uqud bi al-
mal,25 syirkah uqud bi al-abdan,26 dan syirkah uqud bi al-wujuh.27
Selain pandangan dari jumhur ulama terkait dengan pembagian
syirkah, ada beberapa pendapat mengenai pembagian syirkah yang
berbeda dengan apa yang disepakati oleh jumhur ulama. Menurut
Malikiyah, syirkah dibagi ke dalam tiga bentuk berupa syirkah al-irts
yakni serikat yang berlaku bagi para ahli waris yang menjadi pewaris dari
orang yang sama, syirkah al-ghonimah adalah serikat yang berlaku pada
para tentara terhadap harta rampasan perang dimana pembagian harus
sesuai dengan kesepakatan, dan syirkah al-mutaba’ain syai’a bainahuma
yaitu jenis serikat yang berlaku bagi pihak yang berserikat dalam hal
pembelian rumah maupun yang lainnya.28
23 Selain dua mazhab ini yang termasuk menentang/menolak adalah mazhab Hanafi, az-
Zahiri, dan Syiah Imamiah. Lih. Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., hlm. 1714. 24 Lih. Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 129. 25 Syirkah al-uqud bi al-mal dibagi lagi ke dalam dua bentuk yakni syirkah al-uqud bi
al-mal al-mufawadah dan syirkah al-uqud bi al-mal al-‘inan. 26 Syirkah al-uqud bi al-abdan terbagi ke dalam syirkah al-uqud bi al-abdan al-
mufawadah dan syirkah al-uqud syirkah al-uqud bi al-abdan al-‘inan. 27 Syirkah al-uqud bi al-wujuh terbagi menjadi dua bentuk yakni syirkah al-uqud bi al-
wujuh bi al-mufawadah dan syirkah al-uqud bi al-wujuh bi al-‘inan. 28 Lih Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 131.
27
Gemala Dewi dkk dalam buku “Hukum Perikatan Islam di
Indonesia” membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yakni syirkah ibahah
yakni perserikatan atau persekutuan semua orang untuk dibolehkan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan
seseorang, syirkah amlak atau perserikatan untuk memiliki sesuatu benda,
dan syirkah akad yakni perserikatan yang timbul dengan perjanjian.
Syirkah amlak dibagi lagi menjadi dua bentuk yaitu syirkah milik jabriyah
dan syirkah milik ikhtiyariyah. Sedangkan syirkah akad terbagi dalam
empat bentuk yakni syirkah syirkah amwal29, syirkah ‘amal/’abdan,
syirkah wujuh, dan syirkah mudharabah.30
4. Tata Cara Pelaksanaan Syirkah (Rukun, Syarat, dan Berakhirnya Suatu
Syirkah)
Pembahasan mengenai (tata cara) pelaksanaan syirkah tidak
terlepas dari pembahasan tentang rukun dan syarat syirkah serta kapan
berakhirnya suatu syirkah. Di kalangan ulama fiqh terdapat perbedaan
pendapat tentang rukun syirkah. Pada satu sisi jumhur ulama menyepakati
adanya empat rukun dalam syirkah yang terdiri dari sighah (lafal), ijab dan
kabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad. Di sisi lain ulama
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun syirkah (baik syirkah al-amlak
maupun al-uqud) hanya ada dua yaitu adanya ijab – ungkapan penawaran
melakukan perserikatan) dan kabul – ungkapan penerimaan penawaran.
29 Syirkah amwal adalah prserikatan dalam hal modal/harta. Syirkah ini terbagi dalam
dua bentuk yakni syirkah al-inan dan syirkah al-mufawadah. 30 Lih. Gemala Dewi, op. cit., hlm. 121-122.
28
Bagi ulama Mazhab Hanafi orang yang berakad dan obyeknya bukan
merupakan rukun syirkah tetapi termasuk syarat syirkah.31
Secara umum syarat syirkah terdiri dari tiga hal yakni :32
a. Perserikatan tersebut merupakan transaksi yang dapat diwakilkan.
b. Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang
berserikat dijelaskan pada saat berlangsungnya akad.
c. Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan dan bukan
dari harta lain.
Selain tiga syarat di atas tersebut, ada beberapa syarat khusus
dalam pelaksanaan syirkah yang mencakup pelaksanaan syirkah al-amlak
maupun syirkah al-uqud. Syarat khusus bagi syirkah al-amlak dibahas
dalam permasalahan wasiat, hibah, wakaf, dan waris (ilmu faraid). Sedang
syarat khusus yang berlaku pada bentuk syirkah al-uqud diantaranya
adalah :33
a. Dalam syirkah al-amwal modal perserikatan haruslah jelas dan tunai,
bukan berbentuk utang dan bukan pula berbentuk barang. Terdapat
perbedaan antara para ulama mengenai penyatuan modal dalam
syirkah al-amwal. Jumhur ulama yang terdiri dari Mazhab Hanafi,
Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa modal tersebut tidak harus
disatukan karena akda perserikatan mengandung makna perwakilan
dalam bertindak hukum dan diperbolehkan modal masing-masing
pihak tidak disatukan. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i, az-Zahiri,
31 Lih. Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., hlm. 1714. 32 Ibid. 33Ibid., hlm. 1714-1715.
29
dan Zaidiah berpendapat bahwa modal masing-masing pihak harus
disatukan sebelum terjadi akad. Hal ini didasarkan pada pemaknaan
syirkah pada arti percampuran, sehingga modal harus disatukan
sehingga tidak diketahui lagi perbedaannya. Ibnu Rusyd lebih memilih
jalan tengah dan menyatakan bahwa akan lebih baik apabila modal
masing-masing pihak disatukan untuk mengurangi unsur-unsur
keraguan dan kecurigaan antar pihak yang berserikat.
b. Syarat khusus dalam syirkah al-amal terbagi menjadi dua sesuai
dengan bentuk syirkah dalam syirkah al-amal. Pertama adalah syarat
khusus dalam syirkah al-amal yang berbentuk al-mufawadah yang
meliputi empat syarat khusus yakni : a) Kedua belah pihak cakap
dijadikan wakil; b) Modal yang diberikan masing-masing pihak harus
sama; c) Semua pihak berhak untuk bertindak hukum dalam seluruh
obyek perserikatan; dan d) Lafal yang digunakan dalam perserikatan
adalah lafal al-mufawadah. Kedua adalah syarat khusus syirkah al-
amal yang berbentuk al-‘inan yang terdiri dari satu hal yakni yang
berakad adalah orang-orang yang cakap bertindak sebagai wakil.
Meskipun jumhur ulama menyepakati pendapat ini, namun Mazhab
Hanafi dan Zaidiah berpendapat bahwa apabila salah satu syarat dari
al-mufawadah tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang berserikat maka
secara langsung syirkah al-mufawadah akan berubah menjadi syirkah
al-inan.
30
c. Syarat khusus syirkah al-wujuh juga dibedakan sesuai dengan bentuk
yang terdapat dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah al-wujuh yang
berbentuk al-mufawadah syaratnya adalah : a) Pihak yang berserikat
adalah orang-orang yang cakap dijadikan wakil; b) Modal yang
diberikan semua pihak yang berserikat harus sama jumlahnya; c)
Pembagian kerjanya sama; dan d) Keuntungan dibagi bersama.
Sedangkan syarat khusus bagi syirkah al-wujuh yang berbentuk al-
‘inan adalah adanya kebolehan perbedaan besar modal diantara pihak
yang berserikat dan pembagian keuntungan disesuaikan dengan
prosentase modal masing-masing.
Di luar tiga jenis syirkah di atas, Gemala Dewi berpendapat bahwa
rukun dan syarat khusus berlaku dalam syirkah al-mudarabah yang
meliputi :34 a) Pemodal dan pengelola; b) Adanya sighat; c) Adanya
modal; d) Nisbah keuntungan.
Hanafiyah juga membedakan syarat syirkah menjadi empat bagian
yaitu :
a. Sesuatu yang bertalian dengan segala bentuk syirkah baik dengan harta
maupun yang lainnya. Syarat dalam hal ini ada dua yakni : 1) Yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan; 2) Yang berkenaan dengan keuntungan harus ada
kejelasan pembagian keuntungan dan diketahui oleh dua belah pihak.
34 Pembahasan masalah rukun dan syarat al-mudarabah dijelaskan dalam Gemala Dwi,
op. cit., hlm. 128.
31
b. Sesuatu yang berkaitan dengan syirkah mal (harta) terdapat dua syarat
yang harus ada dan dipenuhi yakni : 1) Yang dijadikan modal sebagai
obyek akad syirkah adalah alat pembayaran (nuqud); 2) Modal (harta
pokok) harus ada ketika pelaksanaan akad.
c. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadah terdapat tiga syarat
berupa : 1) Modal (pokok harta) jumlahnya harus sama; 2) Pihak yang
bersyirkah harus ahli dalam kafalah; dan 3) Obyek akad disyaratkan
syirkah umum yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
d. Syarat syirkah ‘inan sama dengan syirkah mufawadah.35
Sedangkan menurut Malikiyah dalam buku yang sama – Fiqh
Muamalat – syarat syirkah hanya terdiri dari merdeka, baligh dan pintar.36
Menurut ulama fiqh, secara umum ada empat hal yang
menyebabkan berakhirnya suatu syirkah yaitu : a) Salah satu pihak
mengundurkan diri; b) Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia;
c) Salah satu pihak kehilangan kecakapannya dalam bertindak hukum;
d) Salah satu pihak murtad maupun melarikan diri ke negeri yang
berperang dengan negeri muslim.37
Hendi Suhendi dalam buku Fiqh Muamalat memberikan enam hal
yang menyebabkan berakhirnya suatu syirkah yang tiga diantaranya adalah
sama dengan kesepakatan ulama fiqh dengan ditambah tiga hal yang
meliputi : a) Salah satu pihak di bawah pengampunan; b) Salah satu pihak
35 Hendi Suhendi, op. Cit., hlm. 128 36 Ibid. 37 Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., hlm. 1715.
32
jatuh bangkrut yang berakibat hilang pula kuasa atas saham syirkah;
c) Modal syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.38
Sedangkan sebab-sebab khusus yang menyebabkan berakhirnya
syirkah menurut ulama fiqh antara lain : a) Dalam syirkah al-amwal akad
dinyatakan batal apabila sebagian atau bahkan seluruh modal dari
perserikatan hilang; b) Syirkah al-mufawadah akan berakhir apabila modal
masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya.39
Apabila syirkah telah berakhir dan pihak-pihak yang terkait di
dalamnya ingin kembali mengadakan perserikatan, maka pihak-pihak
tersebut harus memulai dari awal lagi.
B. Waralaba
1. Sejarah Singkat Waralaba
Sistem waralaba (franchise) diperkenalkan pertama kali pada satu
abad yang lalu oleh pabrik mesin jahit Singer di Amerika Serikat.
Pengenalan sistem tersebut ternyata mendapat respon positif dari para
pengusaha, terutama kelas menengah ke bawah, sehingga dengan cepat
dan mudah berkembang menjadi trademark baru dalam dunia usaha di
Amerika Serikat.40
Meski diperkenalkan oleh pabrik mesin jahit, pada
perkembangannya sistem waralaba malah menjadi favorit para pengusaha
38 Lih. Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 65-66. 39 Ensiklopedi Hukum Islam, loc. cit. 40 Suharmoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta, Kencana, 2004,
hlm. 82.
33
dealer dan pabrik mobil yang mayoritas mendasarkan kerjasamanya
dengan model franchise (waralaba). Bahkan kalangan ini pula yang
menjadi pioneer lahirnya Undang-Undang tentang waralaba yang diawali
dengan pembuatan dan pemberlakuan aturan kerjasama di kalangan
pengusaha dealer dan pabrik mobil yang termuat dalam The Automobile
Dealer Act pada tahun 1956. Dari sinilah kemudian berkembang aneka
ragam ide terkait dengan aturan-aturan dalam bisnis waralaba.41
Kemajuan pesat yang ditunjukkan melalui sistem waralaba di
Amerika Serikat mendapat pengakuan dari IFA (International Franchising
Association) yang menyebutkan bahwa sistem waralaba telah berhasil
dalam mengembangkan usaha, khususnya usaha kelas kecil. Pernyataan ini
didukung dengan data lapangan yang menyatakan bahwa satu dari dua
belas usaha di Amerika Serikat berbentuk waralaba dan berhasil menyerap
delapan juta tenaga kerja serta mencapai angka empat puluh satu persen
dari seluruh bisnis eceran di Amerika.42
Sedangkan di Indonesia, sistem waralaba dikenal pada awal dekade
90-an. Namun perkembangan waralaba – khususnya di kalangan usahawan
lokal – tidak begitu signifikan. Hanya sedikit pengusaha lokal yang
menerapkan sistem waralaba dalam mengembangkan usahanya. Akan
tetapi hal berbeda Tepatnya ketika Pemerintah Indonesia memberikan
41 Aturan atau undang-undang yang diberlakukan di kalangan dealer tersebut memacu
beberapa perusahaan di beberapa daerah (negara) bagian Amerika untuk membuat aturan-aturan seputar franchising. Selanjutnya untuk mengetahui lebih jelas tentang perkembangan undang-undang waralaba di Amerika lihat Pengaturan Waralaba di Amerika serikat dalam Gunawan Widjaja, Waralaba, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 43-74.
42 Suharmoko, loc. cit.
34
dukungan terhadap penerapan sistem waralaba dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba pada
tanggal 18 Juni 1997. Selain Peraturan tersebut, sistem waralaba di
Indonesia juga memiliki landasan hukum berupa Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia dengan nomor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba pada tanggal 30 Juli 1997.43
2. Pengertian Waralaba
Waralaba atau franchise menjadi fenomena tersendiri sebagai
wacana di kalangan tokoh ekonomi Indonesia. Berbagai arti pun
disematkan oleh para tokoh ekonomi tersebut yang diantaranya :
a. Gunawan Widjaja memberikan definisi waralaba sebagai pemberian
lisensi untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur,
metode pemasaran dan penjualan, serta hal lain yang telah ditentukan
oleh pemberi waralaba dan tidak boleh diabaikan oleh penerima
waralaba.44
b. Suryana memaknai waralaba sebagai suatu persetujuan lisensi menurut
hukum antara suatu perusahaan penyelenggara dengan penyalur atau
perusahaan lain untuk melaksanakan usaha yang di dalamnya
mencakup penggunaan nama, merek dagang, dan prosedur
penyelenggaraan secara standar dari franchisor (pemberi waralaba)
43 Gunawan Widjaja, op. cit., hlm. 1. 44 Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 20.
35
oleh franchise (penerima waralaba) yang berkelanjutan dan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.45
c. Sedangkan menurut Suharmoko waralaba adalah sebuah perjanjian
pemberian lisensi/izin oleh franchisor kepada franchise untuk
melakukan pendistribusian barang dan jasa di wilayah dan jangka
waktu tertentu di bawah nama dan identitas franchisor.46
Selain pendapat para tokoh tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia juga memberikan batasan arti waralaba sebagai suatu perikatan
di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektuan atau penemuan atau ciri khas
yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau
penjualan barang atau jasa.47
Dari beberapa pengertian tentang waralaba tersebut di atas dapatlah
disimpulkan bahwa waralaba adalah suatu bentuk kerjasama dalam hal
pemberian izin usaha yang di dalamnya mencakup : a) Pemberi waralaba
(franchisor)48; b) Penerima waralaba (franchise)49; c) Surat perjanjian50; d)
45 Suryana, Kewirausahaan : Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses Edisi
Revisi, Jakarta, Salemba Empat, 2003, hlm. 82. 46 Suharmoko, loc. cit. 47 Batasan pengertian yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia ini dapat dilihat pada
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan juga Pasal 1 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.
48 Pemberi waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimilikinya. Lih. Suharmoko, op. cit., hlm. 84.
49 Penerima waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak dari pihak lain (pemberi waralaba) untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki oleh pemberi waralaba. Ibid.
36
Barang atau jasa yang menjadi kesepakatan obyek kerjasama; e) Wilayah
kerja dan jangka waktu tertentu; f) Imbalan51 yang diterima oleh pemberi
waralaba.
3. Bentuk Waralaba
Bentuk waralaba sebagai sistem kerjasama usaha dalam prakteknya
dapat dibedakan menjadi dua jenis :52
a. Waralaba Produk dan Merek Dagang (Product and Trade Franchise)
yakni waralaba yang terwujud melalui pemberian lisensi/hak dari
pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk menjual produk
yang dikembangkan oleh pemberi waralaba yang juga disertai dengan
penggunaan merek dagang di mana pemberi waralaba akan
memperoleh pembayaran royalti, baik royalti di muka maupun royalti
berjalan, sebagai imbalan. Waralaba jenis ini biasa digunakan oleh
dealer mobil dan stasiun pompa bensin.
50 Surat perjanjian waralaba salah satu syarat yang harus ada dalam suatu waralaba
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 PP No. 16 Tahun 1997. Peraturan tersebut juga mengatur bahwa perjanjian yang dibuat harus ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku dan juga berlaku hukum Indonesia. Lih. Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2005, hlm. 196-197; Dalam sebuah surat perjanjian waralaba memauat catatan segala kesepakatan dalam waralaba di mana hak pembuat dimiliki oleh pihak pemberi waralaba. Lih. Suharmoko, op. cit., hlm. 85.
51 Imbalan atau fee yang diperoleh oleh pemberi waralaba sebagai kompensasi dari pelaksanaan waralaba ada dua jenis yakni: Pertama, imbalan yang bersifat langsung dan bernilai moneter (direct monetary compensation) yang meliputi lump sum payment atau sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh penerima waralaba saat terjadi kesepakatan perjanjian dan royalty uang yang diperoleh pemberi waralaba dari penerima waralaba berdasarkan presentase yang dihitung dari jumlah produksi dan atau penjualan barang dan atau jasa baik disertai ikatan ataupun tidak disertai jumlah minimum maupun maksimum. Kedua, imbalan yang berbentuk nilai moneter yang bersifat tidak langsung (inderct and nonmonetary compensation) yang meliputi keuntungan sebagai akibat penjualan barang modal atau bahan mentah, pembayaran dalam bentuk deviden ataupun bunga pinjaman, dan lain sebagainya. Gemala Dewi, loc. cit.
52 Gunawan Widjaja, Waralaba, op. cit., hlm. 13-14; Suharmoko, op. cit., hlm. 83-84.
37
b. Waralaba Format Bisnis (Business Format Franchise) yang memiliki
batasan sebagai pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (pemberi
waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba) yang meliputi
pemberian hak untuk berusaha/berdagang dengan menggunakan merek
atau nama dagang dari pemberi waralaba serta seluruh paket yang
terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang
yang belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan
bantuan terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan
sebelumnya.
Perbedaan antara kedua jenis waralaba di atas terletak pada adanya
usaha untuk mengembangkan kuantitas produk semata pada satu sisi
(waralaba produk atau merek dagang) dan usaha untuk mengembangkan
kuantitas produk serta kualitas sumber daya manusia di sisi lain (waralaba
format bisnis). Sebagai sistem yang tidak hanya memfokuskan pada
peningkatan kuantitas produk saja namun juga menitikberatkan pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka dalam waralaba format
bisnis harus mencakup :
a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba.
b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek
pengelolaan bisnis sesuai dengan konsep pemberi waralaba.
38
c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak pemberi
waralaba.53
Gemala Dewi dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam waralaba
format bisnis seorang penerima waralaba (franchise) berhak menerima
dari pemberi waralaba (franchisor) berupa :54
a. Brand name yang meliputi logo, peralatan, dan lain-lain sesuai dengan
yang dimiliki oleh pemberi waralaba.
b. Sistem dan manual operasional bisnis sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh franchisor.
c. Dukungan dalam beroperasi, berupa pelatihan-pelatihan dan bantuan-
bantuan.
d. Pengawasan (monitoring) terhadap kesesuaian sistem yang telah
dijalankan dengan standar sistem dari franchisor.
e. Penggabungan promosi (joint promotion)
f. Pemasokan. Ini berlaku bagi sistem waralaba format bisnis tertentu,
misalnya dalam usaha makanan dan minuman di mana franchisor
merangkap sebagai supplier dari makanan/minuman tersebut, bahkan
terkadang franchisor juga memasok mesin-mesin dan peralatan yang
diperlukan.
53 Hal ini dinyatakan Martin Mandelson sebagaimana dikutip Gunawan Widjaja dalam Waralaba, loc. cit.; dan juga Gemala Dewi, op. cit., hlm. 195.
54 Ibid.
39
4. Tata cara Pelaksanaan Waralaba di Indonesia
Aturan-aturan tentang waralaba di Indonesia diatur secara lengkap
dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
259/MPP/KEP/7/1997.55
55 Surat Keputusan Menperindag no. 259 tahun 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba yang diatur dalam delapan bab dan 26 pasal. Bandingkan dengan PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. (Terlampir)