BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN...

32
26 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja 2.1.1 Pengertian dan tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja Pekerja/buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam menjalankan suatu perusahaan. Tanpa adanya pekerja/buruh, pengusaha tidak dapat menjalankan aktifitas perusahaan sebagaimana mestinya. Namun sering kali peran daripada pekerja/buruh belum mendapatkan perhatian baik itu dari perusahaan, maupun pemerintah. Pengusaha sering kali bertindak sewenang-wenang terhadap pekerja/buruh yang mengakibatkan hak-hak pekerja/buruh dilanggar oleh pengusaha. Namun tidak berarti semua kesalahan berada pada pengusaha karena terkadang kelalaian terletak pada pekerja/buruh yang mengakibatkan kerugian kepada pengusaha. Salah satu penyebab terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pengusaha kepada pekerja/buruh adalah kedudukan yang dimiliki oleh pengusaha lebih tinggi daripada kedudukan buruh yang terbilang rendah dan lemah. Dengan demikian diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja sehingga hak- hak pekerja dapat terjamin seutuhnya. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

26

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA

DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja

2.1.1 Pengertian dan tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja

Pekerja/buruh mempunyai peran yang sangat penting dalam menjalankan

suatu perusahaan. Tanpa adanya pekerja/buruh, pengusaha tidak dapat menjalankan

aktifitas perusahaan sebagaimana mestinya. Namun sering kali peran daripada

pekerja/buruh belum mendapatkan perhatian baik itu dari perusahaan, maupun

pemerintah. Pengusaha sering kali bertindak sewenang-wenang terhadap

pekerja/buruh yang mengakibatkan hak-hak pekerja/buruh dilanggar oleh

pengusaha. Namun tidak berarti semua kesalahan berada pada pengusaha karena

terkadang kelalaian terletak pada pekerja/buruh yang mengakibatkan kerugian

kepada pengusaha.

Salah satu penyebab terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan

pengusaha kepada pekerja/buruh adalah kedudukan yang dimiliki oleh pengusaha

lebih tinggi daripada kedudukan buruh yang terbilang rendah dan lemah. Dengan

demikian diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja sehingga hak-

hak pekerja dapat terjamin seutuhnya. Pengertian perlindungan hukum adalah suatu

perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat

hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

27

maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu

gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan

keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.24

Selain itu, menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya

untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua

hak-hak yang diberikan oleh hukum.25 Dari pengertian mengenai perlindungan

hukum tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud perlindungan

hukum adalah suatu upaya yang dilakukan oleh Negara kepada subyek hukum

untuk melindungi hak-hak subyek hukum baik secara preventif maupun represif.

Mengenai pengertian perlindungan hukum terhadap pekerja dapat diartikan sebagai

upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pekerja untuk

menikmati hak-haknya dan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh

majikan atau pengusaha yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Adapun tujuan diberikannya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja

adalah untuk menjamin berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis

tanpa disertai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.26

Selain itu tujuan perlindungan hukum terhadap pekerja tidak hanya mencakup pada

berlasungnya hubungan kerja tetapi juga pada saat hubungan kerja tersebut

berakhir. Hubungan kerja berakhir dapat disebabkan waktu perjanjian kerja

berakhir atau dikarenakan tindakan pengusaha melakukan PHK. Disinilah tujuan

24Polewali Mandar, 2014, “Status Hukum” Serial Blog.

URL:http://statushukum.com/tentang-status-hukum, Diakses 19 Januari 2016 Pukul 15.05 Wita.

25Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.53.

26Abdul Khakim, op.cit, hlm. 103.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

28

perlindungan hukum yaitu untuk memberikan pemenuhan hak-hak pekerja setalah

berakhirnya hubungan hukum tersebut.

2.1.2 Sarana dan objek perlindungan hukum terhadap pekerja

Terdapat dua sarana perlindungan hukum, hal ini sebagaimana yang

dijelaskan oleh Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum dibagi menjadi 2

(dua), yaitu:

1. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang

bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa.

2. Perlidungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang

bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa.27

Perlindungan hukum preventif ditandai dengan dibentuknya peraturan

perundang-undangan yang dimaksudkan untuk membatasi tindakan-tindakan

seseorang yang dapat melanggar hak daripada orang lain. Sedangkan perlindungan

hukum represif ditandai dengan menerapkan sanksi terhadap pelaku yang diberikan

apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Untuk

memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja maka Pemerintah membentuk

UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004.

Objek perlindungan hukum terhadap pekerja berdasarkan UU No. 13 Tahun

2003 tersebut meliputi:

a. Perlindungan atas hak-hak dalam hubungan kerja;

b. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan

pengusaha, dan mogok kerja;

c. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja;

27Fitri Hidayat, 2013, Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum,

URL:http://fitrihidayat-ub.blogspot.com/2013/07/perlindungan-hukum-unsuresensial-

dalam.html?m=1, diakses 2 Desember 2015 pukul 11.42 Wita.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

29

d. Perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan

penyandang cacat;

e. Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga

kerja; dan

f. Perlindungan atas hak pemutusan hubungan tenaga kerja.

Soepomo dalam Asikin membagi 3 (tiga) macam perlindungan tenaga kerja

yaitu:

a. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tidak mampu

bekerja di luar kehendaknya.

b. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan

hak untuk berorganisasi.

c. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

keamanan dan keselamatan kerja.28

2.2 Pemutusan Hubungan Kerja

2.2.1 Hubungan kerja dan perjanjian kerja

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa

“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan

perintah”. Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai

ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah:

1. adanya pekerjaan (arbeid);

2. di bawah perintah/gezag ver houding (maksudnya buruh melakukan

pekerjaan atas perintah majikan, sehingga bersifat subordinasi);

3. adanya upah tertentu/loan;

4. dalam waktu (tijd) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun

atau berdasarkan waktu tertentu).29

28 Zainal Asikin, et.al, op.cit, hlm 76.

29Asri Wijayanti, op.cit , hlm. 36

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

30

Perjanjian kerja merupakan dasar terbentuknya hubungan kerja. Menurut

Shamad, perjanjian kerja ialah suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan diri

untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah sesuai dengan

syarat-syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.30 Sedangkan menurut Subekti,

perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan,

dimana ditandai dengan adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan

hubungan diperatas yaitu hubungan persekutuan dimana pihak yang satu (majikan)

berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.31

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan

“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.

Adapun syarat-syarat perjanjian kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 yakni terdapat

2 (dua) syarat yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil terdapat dalam

ketentuan Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu:

Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

1) Kesepakatan kedua belah pihak;

2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan.

30Yunus Shamad,1995, Hubungan Industrial di Indonesia, PT. Bina Sumberdaya Manusia,

Jakarta, hlm. 55.

31Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet. X, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 58.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

31

Apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan

ketentuan pada huruf a dan b maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan

apabila perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak bertentangan dengan ketentuan

pada huruf c dan d maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat formil perjanjian kerja terdapat dalam ketentuan Pasal 54 UU No. 13

Tahun 2003 yang menentukan:

Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. Mulai dan jangka waktu berlakuknya perjanjian kerja;

h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Menurut waktu berakhirnya, perjanjian kerja dibagi menjadi 2 (dua) macam

yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak

tertentu (PKWTT). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau

untuk pekerjaan tertentu”. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu menyatakan “Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

32

disebut PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha

untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap”.

2.2.2 Pengertian dan macam-macam pemutusan hubungan kerja

PHK merupakan salah satu masalah yang sering terjadi dalam dunia

ketenagakerjaan. Masalah PHK tidak hanya membawa penderitaan bagi pekerja

saja tetapi juga membawa penderitaan bagi keluarga pekerja. Menurut beberapa

pendapat para sarjana seperti Ridwan Halim berpendapat bahwa PHK adalah suatu

lagkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dengan majikan karena suatu hal

tertentu.32 Menurut Manulang mengemukakan bahwa istilah PHK dapat

memberikan beberapa pengertian yaitu:

a. Termination yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau

berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati.

b. Dismissal yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan

tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan.

c. Redundancy yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan

melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin

berteknologi baru.

d. Retrenchment yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan

masalah-maslaah ekonomi.33

32 A. Ridwan Halim, op.cit, hlm.136

33Sri Zulhartati, 2010, “Pengaruh Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Karyawan

Perusahaan”, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/JPSH/article/viewFile/382/385, diakses Rabu, 2

Desember 2015 pukul 12.19 Wita.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

33

Selain itu, menurut Mutiara S. Panggabean, PHK adalah pengakhiran hubungan

kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam

alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban antara mereka.34

Secara yuridis pengertian mengenai PHK tercantum dalam ketentuan Pasal

1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa yang dimaksud dengan

“Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh

dan pengusaha”. Kemudian menurut Pasal 1 angka 4 Kepmenaker No: KEP-

150/MEN/2000 menentukan “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran

hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan ijin Panitia Daerah

dan Panitia Pusat”. Berdasarkan pengertian dari para sarjana dan merujuk peraturan

perundang-undangan maka dapat disimpulkan bahwa PHK merupakan pengakhiran

hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dikarenakan alasan-alasan

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban keduanya.

Selain PHK yang dilakukan terhadap perseorangan, PHK juga dilakukan

secara besar-besaran (massal). Berdasarkan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000

Pasal 1 angka 5 memberikan pengertian pemutusan hubungan kerja secara besar-

besaran (massal) adalah “Pemutusan hubungan terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja

atau lebih pada satu perusahaan dalam satu bulan atau terjadi rentetan pemutusan

hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad pengusaha untuk

mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran”. PHK dapat dibagi

34Made Indah Puspita, 2015, “Peran Serikat Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja

Sepihak di Hotel Bali Hyatt”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 44-45.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

34

dalam empat macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh pengusaha, PHK oleh

pekerja/buruh dan PHK oleh Pengadilan.

1. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum

PHK demi hukum merupakan PHK yang terjadi dengan sendirinya secara

hukum. Dalam ketentuan Pasal 1603.e KUH Perdata menentukan bahwa

“Hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam

perjanjian dan dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak

ada, menurut kebiasaan”. Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003

menentukan:

Perjanjian kerja berakhir apabila:

a. Pekerja meninggal dunia;

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap; atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama

yang dapat menyebabkan berakhirnya pemutusan hubungan kerja.

Adapun alasan PHK demi hukum dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 154

UU No. 13 Tahun 2003 meliputi:

a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah

dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis

atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan/intimidasi dari

pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja

waktu tertentu (PKWT) untuk pertama kali;

c. Pekerja/buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau

peraturan perundang-undangan; dan

d. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

35

2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha

PHK atas inisiatif pengusaha dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) bagian,

yakni:

1. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/ buruh.

2. PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pengusaha.35

PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh

artinya adalah bahwa pengakhiran hubungan kerja dimaksud dikehendaki oleh

pengusaha karena terdapat peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan

pekerja/buruh, dimana peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan pekerja

tersebut dapat berakibat diakhirinya hubungan kerja.36

Peristiwa hukum yang dimaksud disini adalah pelanggaran atau kesalahan

yang dilakukan pekerja/buruh dalam menjalankan pekerjaannya. Pelanggaran

tersebut telah diatur baik dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja

bersama maupun peraturan perusahaan. Dengan demikian PHK dapat terjadi

apabila pekerja melakukan kesalahan ringan dan/atau kesalahan berat.

PHK karena kesalahan ringan tidak diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003

dan Kepmenaker No: KEP-150/MEN/2000, tetapi diatur dalam Pasal 18 ayat (1)

Permenaker No. Per-4/Men/1986,yaitu:

a. Setelah tiga kali berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati

perintah atau penugasan yang layak sebagaimana tercantum dalam

perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan;

b. Dengan sengaja atau karena lalai mengakibatkan dirinya dalam keadaan

demikian, sehingga ia tidak dapat menjalankan pekerjaan yang

diberikan kepadanya;

35Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit, hlm. 11.

36Edy Sutrisno Sidabatur, op.cit. hlm. 12

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

36

c. Tidak cakap dalam melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di

bidang tugas yang ada;

d. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kerja

bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja.

PHK karena kesalahan berat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 158 ayat

(1) UU No. 13 Tahun 2003 yang meliputi:

a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau

uang milik perusahaan;

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga

merugikan perusahaan;

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan

atau menggedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di

lingkungan kerja;

d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman

sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. Dengan ceroboh atau dengan sengaja merusak atau membiarkan dalam

keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian

bagi perusahaan;

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau

pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya

dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;atau

j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang di ancam

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Kesalahan berat tersebut haruslah didukung dengan bukti sebagaimana yang

ditegaskan dalam Pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yakni:

a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;

b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang

berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

37

Selanjutnya, PHK yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri

pengusaha artinya terdapat suatu kondisi tertentu dimana pengusaha tidak dapat lagi

mempekerjakan pekerja/buruh. Ketentuan UU No. 13 Tahun 2003

memperbolehkan pengusaha melakukan PHK dengan kondisi tertentu yang dapat

dijadikan sebagai alasan pengusaha melakukan PHK. Adapun kondisi tersebut

yakni:

1. Terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan

kepemilikan perusahaan (Pasal 163 UU No. 13 Tahun 2003);

2. Perusahaan tutup baik karena kerugian secara terus-menerus maupun

karena keadaan memaksa (force majeure) (Pasal 164 ayat (1) UU No.

13 Tahun 2003);

3. Perusahaan tutup karena melakukan efisiensi; (Pasal 164 ayat (3) UU

No. 13 Tahun 2003);

4. Perusahaan pailit (Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003)

Pada kenyataannya sering terjadi PHK oleh pengusaha yang tidak layak

dijadikan sebagai alasan PHK. Adapun PHK yang tidak layak tersebut antara lain:

a. Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya; atau

b. Jika alasannya PHK itu dicari-cari (pratext) atau alasannya palsu;

c. Jika akibat pemberhentian itu bagi pekerja/buruh adalah lebih berat dari

pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan; atau

d. Jika pekerja/buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam

undang-undang atau kebiasaan mengenai susunan staf atau aturan

ranglijs (seniority rules), dan tidak ada alasan lain penting untuk tidak

memenuhi ketentuan-ketentuan itu.37

3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/Buruh

37G. Kartasapoetra,et.al, 1983, Hukum Perburuhan, Pancasila Bidang Pelaksanaan

Hubungan Kerja, Armico, Bandung, hlm.29.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

38

PHK oleh pekerja/buruh merupakan tindakan yang dilakukan pekerja/buruh

atas kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan atau ancaman dari orang lain untuk itu.

Adapun alasan PHK oleh pekerja/buruh yakni pekerja/buruh meminta pengunduran

diri yang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 154 huruf b UU No. 13

Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pekerja/buruh mengajukan permintaan

pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya

tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan

perjanjian kerja tertentu untuk pertama kali”. Alasan lainnya adalah pekerja

mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 UU No. 13

Tahun 2003 yang menyatakan bahwa:

Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja

kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal

pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

a. Menganiaya,menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;

b. Membujuk atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3

(tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada

pekerja/buruh;

e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar

yang diperjanjikan;

f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,

kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut

tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan

PHK oleh pengadilan berarti bahwa PHK terjadi karena adanya putusan dari

pengadilan. PHK yang terjadi karena adanya putusan pengadilan merujuk dari

adanya sengketa yang terjadi antara pekerja/buruh dengan majikan atau sebaliknya

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

39

yang berlanjut pada proses peradilan. Pengadilan yang dimaksud disini adalah

Pengadilan Hubungan Industrial yang secara khusus berwenang memeriksa dan

mengadili perselisihan hubungan industrial.

PHK oleh pengadilan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1603v KUH Perdata

yang memberikan hak kepada masing-masing pihak setiap waktu bahkan sebelum

pekerjaan dimulai berdasarkan alasan penting untuk mengajukan permohonan

tertulis kepada Pengadilan Negeri di tempat kediamannya yang sesungguhnya

untuk menyatakan perjanjian kerja putus.

2.2.3 Hak pekerja dalam pemutusan hubungan kerja

Jika terjadi PHK yang perlu diperhatikan adalah hak-hak yang wajib

diberikan kepada pekerja setelah terjadinya PHK tersebut. Hak-hak tersebut

sepatutnya diberikan mengingat jasa-jasa yang telah dilakukan oleh pekerja kepada

pengusaha selama ia bekerja. Selain itu, PHK tentu saja membawa penderitaan bagi

pekerja karena kehilangan pekerjaan berarti kehilangan penghasilan yang akan

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk itu

pemberian hak kepada pekerja setelah terjadinya PHK sangat diperlukan untuk

mengurangi penderitaan daripada pekerja.

UU No. 13 Tahun 2003 telah mengatur hak yang wajib diberikan oleh

pengusaha kepada pekerja yakni sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 156

ayat (1) yang menentukan bahwa “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,

pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa

kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

40

UU No. 13 Tahun 2003 tidak memuat pengertian mengenai uang pesangon,

uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian. Pengertian tersebut merujuk

pada Permenaker No: KEP-150/MEN/2000. Berdasarkan Pasal 1 angka 6

Permenaker No: KEP-150/MEN/2000 menentukan “Uang pesangon adalah uang

pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya

pemutusan hubungan kerja”. Kemudian Pasal 1 angka 7 Permenaker No: KEP-

150/MEN/2000 menentukan “Uang penghargaan masa kerja adalah uang jasa

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 sebagai

penghargaan pengusahaan kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa

kerja”. Selanjutya dalam Pasal 1 angka 8 Permenaker No: KEP-150/MEN/2000

menentukan “Ganti kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha

kepada pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan istirahat panjang, biaya

perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan,

fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia

Pusat sebagai akibat adanya pengakhiran hubungan kerja”. Istilah ganti kerugian

sekarang dikenal sebagai uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156

UU No. 13 Tahun 2003.

Ketentuan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha

membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian

hak. Dalam Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:

Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling

sedikit sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2

(dua) bulan upah;

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

41

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3

(tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 (empat) tahun,

4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,

5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,

6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun,

7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 (delapan)

tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah;

Pasal 156 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:

Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,

2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan)

tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (dua

belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima

belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18

(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21

(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24

(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan

upah;

Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan:

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke

tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan di tetapkan

15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan

masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

42

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pemberian hak kepada pekerja harus dilihat berdasarkan kebenaran alasan

PHK dan jenis perjanjian kerja. Karena hal tersebut akan mempengaruhi jumlah

pemberian hak kepada pekerja.

2.3 Keadaan Memaksa (force majeure)

1.3.1 Pengertian keadaan memaksa

Keadaan memaksa merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu

force majeure dan dalam bahasa Belanda disebut overmacht. Ketentuan mengenai

keadaan memaksa dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata yang

menentukan “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum menganti biaya,

rugi dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada

waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang

tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun

jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Selain itu pengaturan keadaan

memaksa juga diatur dalam ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata yang menentukan

bahwa “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan

memkasa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang

berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-

hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.

Ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata tidak memberikan definisi

mengenai keadaan memaksa. Untuk itu diperlukan beberapa pendapat para sarjana

untuk memberikan suatu definisi yang dapat menggambarkan secara jelas

mengenai keadaan memaksa. Adapun beberapa ahli hukum yang memberikan

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

43

pandangannya mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure/overmacht)

diantaranya adalah:

a. R Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang

dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat

diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan

atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain,

hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan

itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan

salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-

sanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu

“keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar

kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu

juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu

perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si

debitur.

b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollmar:

overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin

memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan

memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang

tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan

menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).

c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah

debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka

akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya. 38

Selain itu, keadaan memaksa juga diartikan sebagai suatu keadaan ketika

debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan

adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti gempa bumi, banjir,

tanah longsor, dan lain-lain.39 Menurut undang-undang ada 3 (tiga) unsur yang

harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu:

a. Tidak memenuhi prestasi;

38Rahmat S.S Soemadipradja, 2010, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa,

Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hlm. 7. 39H. Salim HS, H.Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan

Memorandum of Understanding (MoU ), Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.110.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

44

b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur;

c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur.40

1.3.2 Teori-teori dan akibat hukum keadaan memaksa

Terdapat 2 (dua) aliran atau ajaran tentang keadaan memaksa (force

majeure) yakni:41

a. Ajaran yang objektif (de objectieve overmachtsleer) atau absolut

Menurut ajaran keadaan memaksa objektif, debitur berada dalam

keadaan memaksa apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada

unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap

orang. Keadaan memaksa yang dimaksud dalam ajaran objektif ini

adalah tertuju pada bencana alam atau kecelakaan yang hebat sehingga

dalam keadaan tersebut siapapun tidak dapat memenuhi prestasi.

b. Ajaran yang subjektif (de subjectieve overmachtsleeer) atau relatif

Menurut ajaran keadaan memaksa subjektif (relatif) keadaan memaksa

itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi

praktis dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar (ada unsur

diffikultas), sehingga dalam keadaan yang demikian itu kreditur tidak

dapat menuntut pelaksanaan prestasi.

Terdapat 3 (tiga) akibat keadaan memaksa (force majeure), yaitu:

a. Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);

40 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, hlm. 25.

41Ibid, hlm 27.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

45

b. Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa

sementara;

c. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi

hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi

kecuali untuk yang disebut dalam pasal 1460 KUH Perdata. 42

Akibat keadaan memaksa tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam

yaitu akibat keadaan memaksa absolut yakni akibat huruf a dan c, dan akibat

keadaan memaksa relatif yakni akibat huruf b.

1.4 Perselisihan Hubungan Industrial

1.4.1 Pengertian dan macam-macam perselisihan hubungan industrial

Perselisihan merupakan masalah yang umum terjadi dalam kehidupan

manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan

manusia lainnya. Di dalam interaksi tersebut manusia yang satu dengan manusia

yang lain tidak selalu satu pemahaman. Ketidaksamaan pemahaman tersebut dapat

menimbulkan terjadinya perselisihan. Joni Emirzon yang mengutip dalam buku

Lalu Husni memberikan pengertian konflik/perselisihan/percekcokan adalah

adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang

mengadakan hubungan atau kerja sama.43

Sebelum diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004, dasar hukum yang

digunakan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang

42Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm. 184-185.

43Lalu Husni, op.cit, hlm.2.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

46

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pasal 1 ayat (1) huruf c menentukan

bahwa “Perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau

perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau beberapa serikat buruh

berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,

syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”.

Setelah diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004,

pengertian perselisihan perburuhan diganti dengan perselisihan hubungan

industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No. 3 Tahun 2003 jo Pasal 1 angka 1

UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa “Perselisihan hubungan industrial adalah

perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan

gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan

perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan”. Perselisihan Hubungan

Industrial dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam hal ini sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 yakni perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

1. Perselisihan Hak

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan

“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,

akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

47

perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama”.

2. Perselisihan Kepentingan

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan,

“Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja

karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan

syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan

“Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena

tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang

dilakukan oleh salah satu pihak”. Dengan demikian perselisihan PHK timbul

setelah adanya PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang mana ada salah

satu pihak yang tidak menyetujui atau keberatan atas adanya PHK tersebut.

Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran

kompensasi atas PHK.

4. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu

Perusahaan

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa

“Perselisihan antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh Hanya Dalam Satu Perusahaan

adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

48

serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian

paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan.

1.4.2 Tahap-tahap penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Untuk dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, maka UU

telah memberikan alternatif penyelesaian yakni sebagaimana yang diatur dalam UU

No. 2 Tahun 2004. Adapun prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial

tersebut dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi) dan melalui pengadilan

(litigasi).

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dapat

dilaksanakan melalui penyelesaian perundingan bipartit dan perundingan tripartit

(mediasi, konsiliasi, arbitrase). Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan

industrial melalui Pengadilan dilaksanakan pada Pengadilan Hubungan Industrial

(Selanjutnya disingkat PHI).

1. Penyelesaian Melalui Perundingan Bipartit

Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terbaik adalah

dengan penyelesaian melalui perundingan bipartit. Melalui perundingan bipartit

atau dengan kata lain melalui musyawarah dan mufakat kedua belah pihak yang

berselisih dapat menyelesaikan perselisihan dengan win-win solution.

Ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa

“Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial.” Penyelesaian secara bipartit dalam kepustakaan mengenai

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

49

Alternative Disputes Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara

negosiasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata negosiasi diartikan sebagai:

a. Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau

menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak

(kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi yang

lain),

b. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-

pihak yang bersengketa.44

Negosiasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu negotiation yang berarti

perundingan atau musyawarah. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun

2004 menegaskan bahwa “perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan

penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah

untuk mufakat”. Dengan demikian tanpa melalui penyelesaian dengan cara

perundingan bipartit para pihak tidak dapat melalui mekanisme penyelesaian

selanjutnya. Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 adapun mekanisme

penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit yakni

sebagai berikut:

a. Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 3 ayat (2)).

b. Apabila dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kerja salah satu pihak

menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak

mencapai kesepakatan, maka upaya melalui bipartit dianggap gagal

(Pasal 3 ayat (3)).

c. Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani

oleh para pihak (Pasal 6).

d. Risalah perundingan sekurang-kurangnya memuat:

1) Nama lengkap dan alamat para pihak;

2) Tanggal dan tempat perundingan;

3) Pokok masalah atau alasan perselisihan;

4) Pendapat para pihak;

5) Kesimpulan atau hasil perundingan; dan

44Lalu Husni, op.cit, hlm. 53.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

50

6) Tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan

(Pasal 6 ayat (2)).

e. Apabila tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang

ditandatangani oleh para pihak (Pasal 7 ayat (1)).

f. Perjanjian bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan

perjanjian pada pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta

bukti pendaftaran (Pasal 7 ayat (3) dan (4)).

2. Penyelesaian Melalui Mediasi

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi

dilaksanakan apabila dalam perundingan bipartit telah gagal mencapai kesepakatan

antara para pihak yang berselisih untuk berdamai. Berdasarkan Pasal 1 angka 11

UU No. 2 Tahun 2004 menyatakan “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya

disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang

ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”.

Penyelesaian melalui mediasi ditengahi oleh seorang mediator. Dalam Pasal

1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Mediator Hubungan Industrial yang

selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator

yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai

kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk

menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam

satu perusahaan”. Adapun mekanisme penyelesaian perselisihan melalui mediasi

berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 yakni:

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

51

a. Apabila upaya melalui bipartit gagal, maka salah satu pihak atau kedua

pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti

bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan (Pasal

4 ayat (1)).

b. Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka kepada instansi

yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat

mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7

(tujuh) hari kerja sejak diterimannya pengembalian berkas (Pasal 4 ayat

(2)).

c. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi

yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib

menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih

penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase (Pasal 4 ayat (3))

d. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui

konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat

melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 ayat

(4)).

e. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang

berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota (Pasal 8).

f. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan

penyelesaian perselisihan mediator harus mengadakan penelitian

tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi (Pasal

10).

g. Apabila tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka dibuat perjanjian

bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh

mediator serta didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk

mendapatkan akta bukti pendaftaran (pasal 13 ayat (1)).

h. Apabila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka:

1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

2. Anjuran tertulis sudah disampaikan kepada para pihak selambat-

lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak mediasi pertama;

3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada

mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak

menerima anjuran tertulis, yang isinya menyetujui atau menolak

anjuran;

4. Para pihak yang tidak memberikan pendapatnya (atau tidak

memberikan jawaban) dianggap menolak anjuran tertulis;

5. Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis, mediator harus

sudah selesai membantu para pihak membuat perjanjian bersama

selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertuis disetujui

yang kemudian didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk

mendapatkan akta bukti pendaftaran (Pasal 13 ayat (2)).

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

52

i. Mediator menyelesaikan tugas mediasi selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak pelimpahan perkara (Pasal 15).

3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi

Pasal 1 angka 13 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan “Konsiliasi Hubungan

Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat

pekerja/ buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi

oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral”. Sedangkan yang dimaksud dengan

konsiliator dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Seorang atau

lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,

yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada

para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan kerja dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh

dalam satu perusahaan”.

Penyelesaian secara konsiliasi, konsiliator ikut berperan serta secara aktif

untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diperselisihkan oleh kedua

belak pihak. Adapun perbedaan konsiliator dengan mediator adalah konsiliator

merupakan pihak ketiga di luar daripada instasi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan sedangkan mediator merupakan pihak ketiga yang merupakan

pegawai instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Adapun

mekanisme penyelesaian melalui konsilasi diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai

dengan Pasal 25 UU No. 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian perselisihan

hubungan industrial melalui konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mekanisme

penyelesaian melalui mediasi.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

53

4. Penyelesaian Melalui Arbitrase

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase secara

umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase yang diatur dalam UU. No. 2

Tahun 2004 merupakan aturan khusus untuk penyelesaian perselisihan di bidang

hubungan industrial yang berlaku asas lex specialis derogate legi generalis.

Pengertian arbitrase diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004

yang menyatakan “Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan,

dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan, di luar

Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang

berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang

putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”. Sedangkan yang dimaksud

arbiter dalam ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 2 Tahun 2004 adalah “Arbiter

adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar

arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai

perselisihan kepentigan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya

dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang

putusannya mengikat para pihak dan bersifat final”.

Mekanisme penyelesaian melalui arbitrase dapat dilihat dalam ketentuan

Pasal 29 sampai dengan Pasal 53 UU No. 2 Tahun 2004. Penyelesaian melalui

arbitrase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih yang

dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Penyelesaian

perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya mendamaikan

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

54

kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai maka arbiter atau majelis

arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani para pihak dan

didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri wilayah

arbiter mengadakan perdamaian. Namun apabila upaya perdamaian gagal maka

arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. Putusan arbiter

mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para pihak yang berselisih dan

merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Terhadap putusan arbiter dapat

dilakukan upaya pembatalan ke Mahkamah Agung.

5. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial

Masalah mengenai perselisihan hubungan industrial sangat sering terjadi

dan permasalahan yang dihadapi tersebut semakin kompleks, untuk itu dibutuhkan

suatu pengadilan khusus yang memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan

hubungan industrial. Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan

khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum yang hadir setelah

diundangkannya UU No. 2 Tahun 2004. Jika sampai suatu perselisihan hubungan

industrial memasuki ranah Pengadilan maka perselisihan tersebut tidak dapat

diselesaikan melalui tahap penyelesaian di luar pengadilan yaitu perundingan

bipartit, mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Hal ini berarti bahwa penyelesaian

melalui Pengadilan Hubungan Industrial merupakan alternatif penyelesaian

terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berselisih. Dengan demikian

salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan

Hubungan Industrial, yang mempunyai peranan penting dalam menegakkan

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

55

kebenaran dan keadilan adalah hakim. Hakim pada pengadilan hubungan industrial

adalah hakim karier dan hakim Ad-Hoc. Pasal 1 angka 19 UU No. 2 Tahun 2004

menentukan “Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan

Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas

usul serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim Ad-Hoc

Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul

Ketua Mahkamah agung. Calon Hakim Ad-Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah

Agung dan nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh

atau organisasi pengusaha.

Berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 mekanisme penyelesaian

perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan sebagai berikut:

a. Hukum acara yang berlaku hukum acara perdata, kecuali yang diatur

secara khusus dalam undang-undang ini (Pasal 57).

b. Tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi untuk nilai gugatan di

bawah Rp. 150.000.000 (Pasal 58).

c. Gugatan diajukan kepada pengadilan hubungan industrial pada

pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

pekerja/buruh bekerja (Pasal 81).

d. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui

mediasi, konsiliasi, jika tidak dilampiri hakim wajib mengembalikan

gugatan kepada penggugat (Pasal 83 ayat (1)). Adanya dismissal

process, di mana hakim wajib memeriksa isi gugatan (Pasal 83 ayat (2)).

e. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak

sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial

untuk mewakili anggotanya (Pasal 87).

f. Ketua pengadilan negeri – sekaligus sebagai ketua pengadilan hubungan

industrial – harus menetapkan majelis hakim selambat-lambatnya 7

(tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan (Pasal 88 ayat (1).

g. Pemeriksaan dengan acara biasa:

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak

penetepan majelis hakim, maka ketua majelis hakim harus sudah

melakukan sidang pertama (Pasal 89 ayat (1)).

Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila

disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

56

tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui

disampaikan di tempat kediaman terakhir (Pasal 89 ayat (3)).

Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak

dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat

pengumuman di gedung pengadilan hubungan industrial yang

memeriksanya (Pasal 89 ayat (5)).

Sidang sah apabila dilakukan majelis hakim sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) (Pasal 92).

Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat hadir tanpa

alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, majelis hakim

menetapkan hari sidang berikutnya paling lambat 7 (tujuh) hari

kerja sejak tanggal penundaan (Pasal 93).

Apabila pada sidang penundaan terakhir pihak-pihak tidak hadir

maka akibatnya:

Bagi penggugat, gugatanya dianggap gugur (Pasal 94 ayat (1)).

Bagi tergugat majelis hakim dapat melakukan putusan verstek

(Pasal 94 ayat (2)).

Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim

menetapkan lain.

h. Pemerikasaan dengan acara cepat:

Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak

yang cukup mendesak dapat diajukan permohonan pemeriksaan

dengan acara cepat (Pasal 98 ayat (1)).

Ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan tentang

dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan tersebut dalam

jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimannya permohonan

(Pasal 98 ayat (2)).

Tidak ada upaya hukum terhadap penetapan ketua pengadilan

negeri atas permohonan pemeriksaan dengan acara cepat (Pasal 98

ayat (3)).

Apabila permohonan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan,

maka Ketua Pengadilan Negeri menentukan majelis hakim, hari,

tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan

(Pasal 99 ayat(1)).

Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah

pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas)

hari kerja (Pasal 99 ayat (1)).

i. Pengambilan putusan:

Majelis hakim mengambil putusan dengan mempertimbangkan

hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 100).

Putusan majelis hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk

umum (Pasal 101 ayat (1)).

Putusan majelis hakim wajib diberikan selambat-lambatnya 50

(lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama (Pasal 103).

j. Putusan pengadilan hubungan industrial mengenai perselisihan hak dan

perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM … II anggi_.pdf · PEKERJA, PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, KEADAAN MEMAKSA DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 2.1 Perlindungan Hukum

57

tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah

Agung dalam waktu selambat-lambatnya empat belas hari kerja (Pasal

110).45

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, dalam menyelesaikan

perselisihan hubungan industrial, dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Tahap pertama yaitu perundingan bipartit;

2. Tahap kedua yaitu melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase;

3. Tahap ketiga yaitu melalui pengadilan hubungan industrial.46

45Abdul Khakim, op.cit, hlm. 159-162.

46Ugo dan Pujiyo,2012, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Tata Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa Perburuhan,Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 53.