BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang,...

28
22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) 2.1. Tinjauan Umum tentang Pajak 2.1.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat.Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak.Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. 34 Menurut Kamus Hukum 35 , pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada Negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian pajak, dari beberapa literatur ditemukan pengertian pajak menurut para ahli, diantaranya : 36 a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. b. Prof. Dr. M.J.H Smeets Pajak adalah prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi, yang 34 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op.cit, h.1 35 Sudarsono, 2005, Kamus Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal.336 36 Tunggul Arshari Setia Negara, Op.cit, h.5-6

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang,...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS

TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

2.1. Tinjauan Umum tentang Pajak

2.1.1. Pengertian Pajak

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu

masyarakat.Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak.Pajak

sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada

masyarakat.34Menurut Kamus Hukum35, pajak adalah pungutan wajib, biasanya

berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada

Negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli

barang, dan sebagainya. Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian pajak, dari

beberapa literatur ditemukan pengertian pajak menurut para ahli, diantaranya :36

a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang

(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan

untuk membayar pengeluaran umum.

b. Prof. Dr. M.J.H Smeets

Pajak adalah prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma-norma

umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi, yang

34Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Op.cit, h.135Sudarsono, 2005, Kamus Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal.33636 Tunggul Arshari Setia Negara, Op.cit, h.5-6

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

23

dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adanya

membiayai pengeluaran pemerintah.

c. DR. Soeparman Soemahamidjaja

Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Berdasarkan pada pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak

merupakan iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah, yang dapat

dipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai

pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. Secara normatif, pengaturan

mengenai pajak juga diatur dalam ketentuan pada Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2007 tenang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, yang selanjutnya

disingkat UU No.28 Tahun 2007) disebutkan bahwa : “Pajak adalah kontribusi

wajib kepada Negara yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat”.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-

unsur :

a. Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalahNegara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

24

b. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengankekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsungdapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanyakontraprestasi individual oleh pemerintah.

d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.37

Agar dapat terlaksananya pemungutan pajak yang baik, maka diperlukan suatu

pendekatan terhadap pajak yang salah satunya dari segi hukum. Pendekatan inilah

yang sering disebut dengan hukum pajak. Pendekatan ini menitikberatkan pada

hubungan hukumnya, sehingga pajak dapat dipandang dari segi hak dan

kewajibannya. Menurut Rochmat Soemitro, pajak ditinjau dari segi hukum

didefinisikan sebagai berikut :

“Pajak (utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena undang-undang(jadi dengan sendirinya), yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat(tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatujumlah tertentu kepada Negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengantidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakanuntuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara (pengeluaran rutin danpengeluaran pembangunan, fungsi budgeter)”.38

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut

pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni :

a. Hukum pajak materiil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkanantara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objekpajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yangdikenakan (tarif), segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak,dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh :Undang-Undang Pajak Penghasilan

b. Hukum pajak formil, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkanhukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajakmateriil). Hukum ini memuat antara lain : a) Tata cara penyelenggaraan(prosedur) penetapan suatu utang pajak, b) Hak-hak fiskus untukmengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan,

37Mardiasmo, Op.cit, h.138Rochmat Soemitro, 1990,Asas dan Dasar Perpajakan I,PT. ERESCO, Bandung, h.51

(yang selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I)

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

25

perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, c) Kewajibanwajib pajak dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan danbanding. Contoh : Ketentuan umum dan tata cara perpajakan.39

2.1.2. Jenis-jenis Pajak dan Tarif Pajak

Di Indonesia dikenal beberapa jenis pajak yang dapat dikelompokkan

menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnyadiantaranya : 1.) Menurut

golongannya dibagi atas pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri

oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan pajak tidak langsung, yaitu pajak yang

pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh :

Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2) Menurut sifatnya dibagi atas pajak subjektif,

yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti

memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan

pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan

keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).40

Secara umum mengenai pembagian jenis pajak di Indonesia sendiri

didasarkan atas lembaga pemungutnya. Berdasarkan atas lembaga pemungutannya

dibedakan menjadi dua yaitu :

A. Pajak Pusat, yaitu pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui

sebuah peraturan perundang-undangan, yang wewenang pemungutannya

ada pada pemerintah pusat dan hasil dari pemungutan pajak tersebut

akandigunakan untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan

39Mardiasmo, op.cit, h.540Mardiasmo, loc.cit.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

26

pemerintah pusat.41 Pemungutan pajak pusat ini sebagian besar dikelola

oleh Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan salah satu direktorat

jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik

Indonesia, yang hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga

Negara pada umumnya. Pajak pusat tersebut diantaranya :

1. Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan dapat ditarik karena

penghasilan berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan

lain sebagainya. PPh diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapa

kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan atas

konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah

Pabean (dalam wilayah Idonesia). Pajak ini diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah beberapa

kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2009.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yaitu pajak yang

dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong mewah. Beberapa

barang yang tergolong mewah yakni : barang tersebut bukanlah barang

kebutuhan pokok, barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu

yang berpenghasilan tinggi, barang tersebut dikonsumsi untuk

41Marihot P. Siahaan , 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Pers,Jakarta, h.9 (yang selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan II)

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

27

menaikkan status. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah

beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2000.

4. Bea Materai, yaitu pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen

seperti surat perjanjian, akta notaries, serta kwitansi pembayaran, surat

berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas

jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan tentang bea materai. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

5. Bea Masuk, menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bea masuk adalah

pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan

terhadap barang yang diimpor. Jadi tehadap barang-barang yang

diimpor ke Indonesia wajib untuk dikenakan pajak bea masuk yang

dipungut oleh pemerintah pusat.

6. Cukai, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1995 tentang cukai disebutkan bahwa cukai adalah pungutan

negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang

mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

28

undang ini. Yang dimaksud dengan karakteristik tersebut adalah

konsumsi akan barang yang perlu dikendalikan, peredarannya perlu

diawasi, pemakaian atas barang tersebut menimbulkan dampak negatif

bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu

pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan keseimbangan.

Contoh : minuman-minuman yang mengandung alkohol dan hasil

tembakau seperti rokok.

B. Pajak Daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh pemerintah daerah

terhadap orang pribadi ataupun badan yang tanpa mendapatkan imbalan

atau kontraprestasi secara langsung yang seimbang, dapat dipaksakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal

ini berbentuk peraturan daerah (Perda).42 Selanjutnya dalam ketentuan

Pasal 1 angka 10 UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa : “Pajak

Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada

daerah yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan otonomi daerah secara utuh,

pemerintah pusat kemudian melakukan pengalihan beberapa pajak yang

awalnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Pemungutan pajak

daerah tersebut didasarkan atas ketentuan UU No.28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan

42Ibid.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

29

pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang

seluas-luasnya, serta dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintah negara :

a. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumberpendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaanpemerintah daerah;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dankemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah danretribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif.43

Selanjutnya pemungutan pajak daerah ini dilaksanakan oleh Dinas

Pendapatan Daerah (Dispenda) yang hasilnya akan digunakan untuk

membiayai penyelenggaraan dan rumah tangga daerah, serta untuk

pembangunan daerah. Pemerintah daerah terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga untuk

melaksanakan kewenangan otonomi daerah, pajak daerah dibagi lagi

menjadi 2 (dua) yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Jenis-jenis

pajak dan tarif pajak menurut UU No.28 Tahun 2009, diantaranya :

a. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Provinsi terdiri dari :

1. Pajak Kendaraan Bermotor, merupakan pajak atas kepemilikan ataupenguasaan kendaraan bermotor. Tarif pajak kendaraan bermotorpaling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan rincian :a) Tarif pajak kendaraan bermotor pribadi kepemilikan pertama

ditetapka paling tinggi sebesar 2%, untuk kepemilikan kedua danseterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresifpaling rendahsebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluhpersen).

b) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotorangkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial

43 Azhari Aziz Samudra, 2015, Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak, danRetribusi Daerah, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.52-53

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

30

keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah/TNI/polri,pemerintah daerah menetapkan tarif paling rendah sebesar 0,5%(nol koma lima persen) dan paling tinggi 1% (satu persen).

c) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor alat-alatberat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nolkoma satu persen) dan paling tinggi 0,2% (nol koma dua persen).

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Tarif bea balik nama kendaraanbermotor pada penyerahan pertama paling tinggi 20% (duapuluhpersen), sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya sebesar1% (satu persen).

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Tarif pajak bahan bakarkendaraan bermotor ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen).

4. Pajak Air Permukaan. Tarif pajak air permukaan ditetapkan palingtinggi 10% (sepuluh persen)

5. Pajak Rokok. Tarif rokok ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluhpersen)

b. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten/Kota

1. Pajak Hotel, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluhpersen);

2. Pajak Restoran, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluhpersen);

3. Pajak Hiburan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 35% (tiga puluhlima persen);

4. Pajak Reklame, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluhlima persen);

5. Pajak Penerangan Jalan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10%(sepuluh persen);

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, dengan tarif ditetapkanpaling tinggi 25% (dua puluh lima persen);

7. Pajak Parkir, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluhpersen);

8. Pajak Air Tanah, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluhpersen);

9. Pajak Sarang Burung Walet, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10%(sepuluh persen)

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dengan tarifditetapkan paling tinggi 0,3% (nol koma tiga persen);

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dengan tarif ditetapkanpaling tinggi 5% (lima persen)

Terdapat beberapa perubahan dalam pajak daerah tersebut diantaranya

perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

31

Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga

mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup

seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup

pelayanan catering. Dan juga terdapat penambahan pajak baru bagi daerah

diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan

pajak pusat, serta Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak

kabupaten/kota dan Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi

provinsi.

2.2. Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB)

2.2.1. Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pajak BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanag

dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.44 Pengertian tentang BPHTB

dapat dijumpai dalam ketetuan UU No. 28 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 41

disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah

pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Pada Pasal 1 angka 42

selanjutnya disebutkan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak

atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Selanjutnya

dijelaskan lagi pada Pasal 1 angka 43 disebutkan bahwa “Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di

44Marihot P.Siahaan I, op.cit,h.40

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

32

atasnya, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan

dan bangunan”.

2.2.2. Dasar Hukum Pajak BPHTB

Dasar hukum pajak tertuang dalam ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang

menyatakan bahwa “Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan

undang-undang”. Walaupun Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar hukum

pungutan pajak, tapi pada hakekatnya dalam ketentuan ini tersirat falsafah pajak.

Pajak harus berdasarkan undang-undang.45 Dengan diundangkannya pengaturan

pajak dalam suatu undang-undang, maka pajak dapat dipungut dari masyarakat

dan secara hukum pemungutan pajak tersebut telah memiliki legalitas yang

menjamin wewenang Negara dalam pemungutan pajak tersebut dari masyarakat,

serta menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam pemungutan pajak. Hal ini

juga berlaku pada pemungutan pajak BPHTB, dalam pemungutannya BPHTB

berdasarkan kepada dasar hukum yang jelas melalui Undang-Undang, serta

Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jendral

Pajak dan Keputusan Pejabat yang berwenang lainnya.

Mengenai dasar hukum dari pada BPHTB ini dapat dijelaskan melalui

sejarah singkat mengenai dasar hukum pemungutan pajak BPHTB sebelum di

undangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688,

yang selanjutnya disingkat UU No.21 Tahun 1997). Sebelumnya sejak tahun

45Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT.Eresco, Bandung, h.13

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

33

1924, setiap perolehan hak atas tanah dibebani pajak, yang disebut Bea Balik

Nama Harta Tetap, sebagaimana diatur dalam Ordonasi Bea Balik Nama Tetap

1924 (Staatblad 1924 Nomor 291). Bea Balik Nama ini dipungt atas setiap

perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia,

termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang

yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap

dalam Ordonasi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas

tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan perbuatan akta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1934

Nomor 27.46 Pada tahun 1960 setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 2043, yang selanjutnya disingkat UUPA), hak-hak

kebendaan yang dimaksud dalam Ordonasi tersebut tidak berlaku lagi, hal ini di

karenakan semua hak tersebut sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur

dalam UUPA sehingga Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah

tidak dipungut lagi. Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai

pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak

dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas

perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama BPHTB dengan

membentuk Undang-Undang tentang BPHTB. Oleh karena itu, pada tanggal 29

Mei tahun 1997 diundangkanlah UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

46Muhammad Rusjdi, 2005, PBB, BPHTB, dan Bea Materai, Indeks, Jakarta, h.17

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

34

Hak Atas Tanah dan Bangunan. Semula undang-undang ini ditetapkan mulai

berlaku pada tanggal 1 Januari 1998.47 Namun karena adanya gejolak moneter

yang terjadi di Indonesia, maka masa berlakunya UU No.21 Tahun 1997 ini

ditangguhkan selama 6 bulan terhitung sejak tanggal 1 Januari 1998 sampai

dengan 30 Juni 1998. Mengenai penangguhan ini diatur dalam Peratuan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian

ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1998.48

Selanjutnya dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No.21

Tahun 1997 tersebut dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang

perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988, yang selanjutnya

disingkat UU No.20 Tahun 2000). Untuk melaksanakan otonomi daerah yang

seutuhnya sebagai bentuk nyata adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak

yang awalnya merupakan pemungutan pajak yang kewenangannya dilakukan oleh

pusat, kemudian dialihkan kewenangan pemungutan dan pemanfaatannya ke

pemerintah daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak ini kemudian oleh pemerintah

diundangkan ke dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Reribusi

Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek

pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat

47Ibid,h.1848Marihot P.Siahaan I,op.cit,h.38

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

35

dalam ketentuan UU No.28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengatuan BPHTB

sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU No.21 Tahun 1997 yang

kemudian dirubah dengan UU No.20 Tahun 2000.49

2.2.3. Objek dan Subjek Pajak BPHTB

BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak kebendaan di

mana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi objek pajak

baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak.50 Sesuai dengan

ketentuan Pasal 85 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009, yang disebutkan bahwa

“Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak

atas tanah dan/atau bangunan”. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang

menjadi objek pajak ada 15 (lima belas) jenis yang terbagi dalam 2 (dua)

golongan besar, yaitu yang terjadi karena pemindahan hak dan karena pemberian

hak baru.51 Pada ketentuan pasal 85 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009 disebutkan

bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (1) meliputi:

a. Pemindahan hak karena:1) Jual beli;2) Tukar menukar;3) Hibah;4) Hibah wasiat;5) Waris;6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;8) Penunjukkan pembeli dalam lelang;9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;10) Penggabungan usaha;11) Peleburan usaha;

49Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBBdan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta,h.24

50 Marohot P. Siahaan I,op.cit, h.5751Ibid,h.64

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

36

12) Pemekaran usaha;13) Hadiah.

b. Pemberian hak baru karena:1) Kelanjutan pelepasan hak; dan2) Di luar pelepasan hak.

Mengenai hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 85 ayat

(1) tersebut, hak yang menjadi objek BPHTB diantaranya :52

a. Hak Milik, yaitu suatu hak yang secara turun menurun, terkuat dan

terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang pribadi atau badan-badan hukum

tertentu yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah.

b. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh

perundang-undangan yang berlaku.

c. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka

waktu yang ditetapkan dalam UUPA.

d. Hak Pakai, yaitu hak yang menggunakan dan/atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain,

yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputsan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-

menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak

bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

52Ibid,h.65-66

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

37

e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang

bersifat perseorangan dan terpisah. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

meliputi pula hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama

yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

satuan yang bersangkutan.

f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara

lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan

tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian

dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan

pihak ketiga.

Pada ketentuan Pasal 85 ayat (4) disebutkan bahwa “Objek Pajak yang

tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :

a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbalbalik;

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaanpembangunan guna kepentingan umum;

c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan denganPeraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha ataumelakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilanorganisasi tersebut;

d. Orang pribadi atau Badan karena konvensi hak atau karena perbuatanhukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; danf. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka apabila sebuah perolehan hak atas

tanah dan/atau bangunan diperoleh oleh orang pribadi atau badan sebagaimana

yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 85 ayat (4), maka oleh penerima dari

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

38

perolehan hak atas tanah dan/atau banguan tersebut tidak dikenakan pajak

BPHTB.

Subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat

subjektif. Subjek pajak pajak baru menjadi wajib pajak kalau ia sekaligus

memenuhi syarat-syarat objektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek

hukum, sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai suatu

kesatuan, dapat menjadi subjek pajak.53Sesuai dengan namanya, BPHTB adalah

pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan,

pengertian ini menunjukkan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang

memperoleh hak.54 Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa “Subjek

Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan”. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 86 ayat (2) disebutkan

bahwa “Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”.

1.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BPHTB

Dasar pengenaan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan Pasal 87

ayat (1) disebutkan bahwa “Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan

Objek Pajak (NPOP)”. Dalam ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009

disebutkan bahwa “dalam hal NPOP sebagiamana yang ditentukan pada ayat (1),

adalah sebagai berikut:

53H.Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, op.cit,h.5954Ibid,h.70

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

39

Tabel 2.1.Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB

No. Sumber Perolehan hak atas Tanah dan/atauBangunan

Dasar Pengenaan Pajak

1. Jual Beli Harga Transaksi2. Tukar Menukar Nilai Pasar3. Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Nilai Pasar4. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum

lainnyaNilai Pasar

5. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihanhak

Nilai Pasar

6. Penunjukan pembeli dalam lelang Harga transaksi yangtercantum dalam Risalah

Lelang7. Peralihan hak karena karena pelaksanaan

putusan hakim yang mempunyai kekuatanhukum

Nilai Pasar

8. Pemberian hak baru atas tanah sebagaikelanjutan dari pelepasan hak

Nilai Pasar

9. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasanhak

Nilai Pasar

10. Penggabungan, Peleburan dan PemekaranUsaha

Nilai Pasar

11. Hadiah Nilai Pasar

Meskipun terdapat lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP

tesendiri, namun pada dasarnya hanya terdapat tiga jenis harga atau nilai yang

menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang

tercantum dalam risalah lelang. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda

Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan harga transaksi

adalah harga yang terjadi dan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang

bersangkutan (dalam hal ini pembeli dan penjual). Pada penjelasan Pasal 5 ayat

(2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan

nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi

di sekitar letak tanah dan/atau bangunan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

40

Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pada

Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa harga transaksi yang tercantum dalam risalah

lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga

tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang.

Dalam pengenaan pajak, untuk meringankan orang pribadi atau badan

yang menerima setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ditentukan

dalam Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disingkat NPOPTKP).

NPOPTKP adalah suatu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak.

Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang

dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus

dibayar atau tidak terhutang BPHTB. Sementara itu, apabila NPOP besarnya lebih

dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih

antara NPOP dan NPOPTKP.55 Dalam Pasal 87 ayat (4) UU No.28 Tahun 2009

disebutkan bahwa “Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Selanjutnya

pada ayat (5) ditentukan bahwa “Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah

wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah

dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan

pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah

sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta). Selanjutnya NPOPTKP ini akan

ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah. Untuk penetapan

tarif pajak, menurut Pasal 88 ayat (1) tarif pajak BPHTB ditetapkan paling tinggi

55Marihot P. Siahaan I, op.cit, h.172

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

41

5% (lima persen) dan menurut ayat (2) penetapan tarif pajak BPHTB ini harus

ditetapkan dalam peraturan daerah.

1.2.5. Saat Terhutang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB)

Pengaturan mengenai saat terhutangnya pajak BPHTB ditentukan dalam

ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009 yaitu :

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya akta;b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta;c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan

haknya ke kantor bidang pertanahan;f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak

tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah seja tanggal dibuat

dan ditandatanganinya akta;h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum yang tetap;i. Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak

adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;j. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal

diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta;l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dano. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

Pada ketentuan Pasal 90 ayat (2) ditegaskan bahwa pajak yang terhutang harus

dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana yang dimaksud dalam

ketentuan ayat (1). Jadi pelunasan pajak BPHTB dilaksanakan pada saat orang

pribadi atau badan memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

42

2.3. Tinjauan Umum tentang Jual Beli Tanah

Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah bersifat dualistis yaitu

berlakunya hukum tanah barat berdampingan dengan hukum adat tanah.Hukum

tanah barat berlaku bagi tanah-tanah denga hak-hak barat seperti hak eigendom,

tanah erfpacht, tanah postal, dan lain sebagainya.Sedangkan hukum adat tanah

berlaku bagi tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia seperti tanah

milik, tanah usaha, tanah Bangkok, dan lain sebagainya.56Begitu juga halnya

mengenai jual beli tanah di Indonesia yang mempergunakan 2 (dua) sistem

hukum, yaitu sistem hukum barat bagi golongan Eropa dan sistem hukum adat

bagi gologan bumiputera.Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem hukum yang

bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh

Belanda.

Dalam masyarakat hukum adat jual beli tanah di laksanakan secara terang

dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar

dilaksanakan di hadapan kepala adat atau kepala desa, sedangkan tunai berarti

adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak

atas tanah yang menjadi objek jual beli dari penjual kepada pembeli dan

pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak secara

bersamaan.57 Sedangkan jual beli tanah menurut hukum barat adalah suatu

perjanjian seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1457 Burgerlijk

Wetboek voor Indonesie (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu : “Jual beli

56Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, LembagaDokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h.124.

57Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia : Suatu Telaah dari SudutPandang Praktisi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.15

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

43

adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan.” Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yanga akan dijual.

Dalam praktek disebut jual beli tanah, namun hak atas tanah yang dijual, bukan

tanahnya.Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya

pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi

yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.58

Setelah adanya UUPA, hukum adat menjadi dasar dari hukum tanah

Nasional.Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian, yaitu dimana pihak

penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka

berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli.Perbuatan hukum ini bersifat

tunai, terang dan riil.59 Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum

tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk

selama-lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah

tersebut. Terang berarti perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Riil

atau secara nyata adalah menunjuk kepada akta PPAT yang ditandatangani oleh

kedua belah pihak.Jadi jual beli tanah secara singkat merupakan peralihan hak

atas tanah yang menjadi objek jual beli tanah telah terjadi sejak ditandatanganinya

akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan dibayarnya harga oleh

pembeli kepada penjual.

58Effendi Perangin, 1994, Jual Beli Tanah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.859Boedi Harsono, 2003, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Pelaksanaanna, Hukum Tanah

Nasional Jilid 1, Djamban, Jakarta, h.333

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

44

2.4. BPHTB sebagai Sumber PAD di Kabupaten Badung

Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalism, salah

satunya seperti otonomi daerah.Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan

kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.60Pada prinsipnya, kebijakan

otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan

yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses

desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke

pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran

kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika

dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke

tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi

daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke

daerah.61Ketentuan ini dimaksudkan bahwa daerah diberikan kebebasan untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh

pemerintah pusat namun masih dalam rangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Pasal 18 UUD 1945 merupakan dasar hukum pembentukan pemerintah

daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan

yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.Prinsip otonomi daerah

menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, yang mengandung arti bahwa

60 Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik,Kemitraan, Malang, h.5

61H.M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda : Otonomi Daerah dan Implikasinya, TotalMedia, Yogyakarta, h.62

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

45

daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan

mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah

pusat.Sedangkan prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan perpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang.62Pada tahun 1956 diundangkannya Undang-Undang Nomor 32

Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 77) bertujuan untuk pelaksanaan otonomi

yang seluas-luasnya bagi daerah-daerah yang berhak mengurus umah tangganya

sendiri, di mana pengurusan keuangan diberikan pula secara luas. Secara garis

besar undang-undang ini menetapkan 4 (empat) aturan pokok, yakni :

1. Sumber pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah.2. Daerah dalam hal-hal tertentu dapat diberikan subsidi, sumbangan dan

ganjaran.3. Beberapa pajak negara diserahkan sebagai pajak daerah.4. Daerah memperoleh bagi hasil dari penerimaan pajak pusat tertentu.63

Oleh karena undang-undang menekankan pada otonomi daerah, maka

penyelenggaraan keuangan daerah diatur sebagai berikut :

1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, yata danbertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggalisumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuanganantara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dankabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahandaerah.

2. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah kernangan keuanganyang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangandaerah.64

62Jantje D. South, 2013, Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanahdan Bangunan, Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi vol.1 No.5, Oktober-Desember,h.80

63Azhari Aziz Samudra, op.cit, h.4164Ibid, h. 50

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

46

Sebagai realisasi dari pengaturan tersebut, semula kewenangan perpajakan

jenis baru merupakan kewenangan pemerintah pusat selanjutnya diserahkan

menjadi kewenangan pemerintah daerah, pada semua daerah otonom ditentukan

isi dan jenisnya adalah sama. Pengalihan kewenangan ini bertujuan untuk

meningkatkan PAD di masing-masing daerah.Peran PAD sangat penting sebagai

sumber pembiayaan pemerintah daerah, hal tersebut dikarenakan PAD merupakan

tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. PAD merupakan pendapatan

daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli

daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleuasaan kepada daerah

dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai

perwujudan asas desentralisasi.65Adanya penyerahan kewenangan dalam

pemungutan pajak daerah menunjukkan bahwa pangkal dari otonom daerah

bukanlah pada daerah Provinsi, melainkan pada kabupaten/kota.

BPHTB sebagai salah satu jenis pajak daerah dilandasi oleh beberapa

indikator utama maupun penunjangnya seperti luas tanah sebagai objek pajak

BPHTB, transaksi tanah sebagai objek pajak BPHTB, penyerahan hak-hak tanah

dan bangunan sebagai objek pajak BPHTB, yang semuanya berintikan pada :

a. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru,misalnya jual beli tanah, hak mewarisi atas tanah, dan lain-lain.

b. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru,misalnya sebagai bentuk kelanjutan pelepasan hak.

c. Sejumlah hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.66

65 Nurlan Darise, 2006, Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks, Jakarta, h.3866Ibid, h.81

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

47

Semula mengenai pajak BPHTB diatur sendiri dalam UU No.20 Tahun 2000.

Sama halnya dengan pajak BPHTB, pengaturan mengenai pajak daerah dan

retribusi daerah juga diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun

2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Dengan adanya peralihan kewenangan dalam

pemungutan pajak, maka pemerintah pusat melakukan pembenahan terhadap

pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.Pembenahan ini

dilaksanakan dalam rangka memberikan sumbangan APBD yang lebih banyak

untuk pemanfaatan di daerah. Untuk mempermudah penggabungan serta dalam

penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah, maka diundangkanlah UU No.28

Tahun 2009 yang merupakan pengaturan secara khusus mengenai jenis-jenis

pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun

pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, kantor pusat dalam hal ini

Direktorat Jenderal Pajak memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010,

sedangkan mulai tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak tidak berwenang

memungut BPHTB lagi.67Dispenda kemudian memiliki kewenangan dalam

pelaksanaan dan pengelolaan pajak BPHTB.Selanjutnya dalam pelaksanaan

pemungutan pajak BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah sebagai bentuk payung

hukum atas kewenangan daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah.

Setelah adanya pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, pajak

BPHTB dipercaya sebagai salah satu sumber PAD dan dapat meningkatkan local

taxing power, yang memiliki potensi cukup besar dibandingkan dari keseluruhan

67Iwan Mulyawan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah, Mitra Wacana, Jakarta, h.9

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

48

penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini,

mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB

yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah

pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah,

penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat

memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan

sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya

pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya

diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut

grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya

pengalihan.

Gambar 1.

Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268

Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan

Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu

sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam

68http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada1 April 2016

48

penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini,

mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB

yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah

pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah,

penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat

memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan

sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya

pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya

diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut

grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya

pengalihan.

Gambar 1.

Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268

Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan

Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu

sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam

68http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada1 April 2016

48

penerimaan pajak-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak BPHTB ini,

mengharuskan setiap daerah untuk mendata kembali berapa potensi pajak BPHTB

yang dimiliki daerahnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut oleh pemerintah

pusat dan sebelum adanya pengalihan yang dipungut oleh pemerintah daerah,

penerimaan pajak BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pemerintah Pusat

memperoleh 20% dari penerimaan, Pemerintah Provinsi memperoleh 16% dan

sisanya 64% diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun setelah adanya

pengalihan pajak BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% atau sepenuhnya

diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumber PAD, berikut

grafik perbandingan penerimaan pajak BPHTB sebelum dan sesudah adanya

pengalihan.

Gambar 1.

Sumber : Kementerian Keuanga Republik Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak 201268

Sebagai salah satu daerah otonom, kabupaten Badung telah menetapkan

Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB sebagai salah satu

sumber PAD. Perda tersebut mengatur mengenai dasar ketentuan dalam

68http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan, diakses pada1 April 2016

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN … 2.pdfdipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah

49

pemungutan pajak BPHTB serta cara menghitung dan besar pajak BPHTB yang

harus di bayar oleh wajib pajak. Mengenai implementasi pemungutan pajak

BPHTB sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Perda adalah sama dengan

yang tertuang dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu dalam Pasal 19 Perda

Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang mengatur mengenai dibentuknya

peraturan Bupati untuk mengatur tentang tata cara pembayaran dan penagihan

pajak BPHTB, sehingga oleh Bupati Badung dikeluarkanlah Peraturan Bupati

Badung Nomor 72 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan BPHTB (Berita

Daerah Kabupaten Badung Tahun 2014 Nomor 72, yang selanjutnya disingkat

Perbup Badung No.72 Tahun 2014). Dengan adanya pengaturan tersendiri

mengenai BPHTB, Pemerintah Kabupaten Badung (yang selanjutnya disingkat

Pemkab Badung) telah siap dalam menggali potensi sumber PAD pada pajak

BPHTB.Sehingga dengan adanya pengaturan mengenai pajak BPHTB dapat

memaksimalkan penerimaan pajak BPHTB demi membangun Kabupaten Badung

yang lebih baik.