BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT...

27
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara No. 26 Tahun 1961), khususnya pada Pasal 19 menyebut PPAT sebagai penjabat. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 beserta semua peraturan yang diturunkan darinya, maka dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah (LN no 42 Tahun 1996, selanjutnya disebut UUHT), PPAT disebut secara tegas sebagai pejabat umum. Ini berarti terdapat pergeseran kedudukan PPAT dari seorang penjabat menjadi seorang pejabat umum 1 , dalam kedudukannya yang demikian menjadikan posisi PPAT sama dengan Notaris sebagai openbaar ambtenaar . Istilah tersebut terdapat dalam Pasal 1 PJN (Stb 1860 : 3) dan Pasal 1868 Bergeljk Wetboek 2 Pengaturan tentang PPAT yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah peraturan jabatan yang dijanjikan 1 J. Kartini Soejendro, 2001, Perjanjian Peralihan hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Tafsir Sosial Hukum Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, Hal 83-91 2 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, Hal. 12. (Selanjutnya disebut Habib Adjie I) 45

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT

2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT

Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama kali dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara

No. 26 Tahun 1961), khususnya pada Pasal 19 menyebut PPAT sebagai penjabat.

Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 beserta semua

peraturan yang diturunkan darinya, maka dalam Undang-Undang No. 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

dengan Tanah (LN no 42 Tahun 1996, selanjutnya disebut UUHT), PPAT disebut

secara tegas sebagai pejabat umum.

Ini berarti terdapat pergeseran kedudukan PPAT dari seorang penjabat

menjadi seorang pejabat umum1, dalam kedudukannya yang demikian menjadikan

posisi PPAT sama dengan Notaris sebagai openbaar ambtenaar . Istilah tersebut

terdapat dalam Pasal 1 PJN (Stb 1860 : 3) dan Pasal 1868 Bergeljk Wetboek2

Pengaturan tentang PPAT yang berlaku saat ini adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah. PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah peraturan jabatan yang dijanjikan

1 J. Kartini Soejendro, 2001, Perjanjian Peralihan hak Atas Tanah yang Berpotensi

Konflik, Tafsir Sosial Hukum Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang

Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, Hal 83-91 2 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, Hal. 12. (Selanjutnya disebut

Habib Adjie I)

45

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

oleh Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang

berbunyi : “Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah tersendiri”.

Peraturan pelaksana dari PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah Peraturan

Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Peraturan Jabatan

PPAT, yang kemudian dirubah dengan Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2009. PPAT menurut Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998

adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik

atas Satuan Rumah Susun.

Tugas pokok PPAT diatur dalam pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, yaitu

melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta

sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak atas

Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan

hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah :

1. Jual Beli

2. Tukar Menukar

3. Hibah

4. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng)

5. Pembagian Hak Bersama

6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

7. Pemberian Hak Tanggungan

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut maka oleh Pasal 3 PP Nomor

37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk memformulasikan perbuatan

hukum tersebut ke dalam Akta PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun. Dikaji dari sudut pandang kewenangan, PPAT mempunyai

kewenangan untuk membuat delapan macam akta tersebut di atas, meliputi akta

peralihan hak atas tanah dan akta pembebanan hak atas tanah. Ini berarti PPAT

tidak mungkin diminta untuk membuat akta di luar delapan macam akta tersebut

atau kewenangan untuk membuat akta itu ada pada pejabat lain sesuai ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum lebih

dipertegas dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan yang terbit

kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 sebagaimana diubah UU

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan.

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa

PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas

tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti

pembayaran pajak.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah

menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu : “Pejabat

Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk

membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas

tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT sebagai Pejabat

Umum, Pasal 1 angka 5 menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum

yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.

5. Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 yang menyebut PPAT

sebagai Pejabat Umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka

24 yaitu : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT

adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat

akta-akta tanah tertentu.”

6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

PPAT menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat umum

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud

dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara tegas

menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama kedudukannya

dengan Notaris yang juga disebut Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu : “Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini.

2.1.2. Syarat-Syarat Menjadi PPAT

Syarat untuk menjadi PPAT diatur di dalam Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun

1998, yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Berkewarganegaraan Indonesia;

2. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun (namun menurut Peraturan

Kepala BPN RI Nomor 23 Tahun 2009, untuk dapat mengikuti ujian

PPAT sudah harus berusia 30 tahun).

3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang

dibuat oleh instansi kepolisian setempat.

4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

5. Sehat jasmani dan rohani.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

6. Lulusan program pendidikan spesialis notaris (pendidikan magister

kenotariatan) atau program pendidikan khusus PPAT yang

diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.

7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kantor Menteri Negara

Agraria/ Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

2.1.3. Jenis-Jenis PPAT

Menurut ketentuan Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, ada 3 macam

PPAT, yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan

rumah susun. PPAT yang dimaksud dalam ayat ini adalah lulus

program pendidikan spesialis Notaris (Magister Kenotariatan) atau

lulusan pendidikan tinggi khusus PPAT.

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah

yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT

dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat

PPAT, misalnya camat dan kepala desa.

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat BPN RI yang

ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan

membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan

program atau tugas pemerintah tertentu, misalnya Kepala Kantor

Pertanahan.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

Perbedaan antara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta

Tanah Sementara dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah :

1. PPAT diangkat oleh Menteri, sedangkan PPAT Sementara dan PPAT

Khusus ditunjuk oleh Menteri yaitu sekarang Menteri Agraria.

2. PPAT diangkat dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 6

PP Nomor 37 Tahun 1998, sedangkan PPAT Sementara adalah

Pejabat Pemerintah dan PPAT Khusus adalah Pejabat dari BPN RI.

3. PPAT dan PPAT Sementara dalam menjalankan tugas kewenangan

diijinkan untuk menerima honorarium yaitu setinggi-tingginya adalah

1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum dalam akta,

sedangkan PPAT Khusus tidak memungut biaya dalam menjalankan

tugasnya.

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN.

Sebelum menjalankan tugasnya sebagai PPAT, PPAT dilantik oleh Kepala Kantor

Pertanahan dimana ia akan bertugas.

2.1.4. Hak dan Kewajiban PPAT

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum melindungi kepentingan seseorang

dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam

rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara

terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang

demikian itulah yang disebut sebagai hak.3 Lebih jauh dijelaskan bahwa ciri-ciri

yang melekat pada hak menurut hukum adalah sebagai berikut :

3 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 53.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

1. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik

atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki

titel atas barang yang menjadi sasaran hak.

2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang

kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

3. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk

melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu

perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.

4. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut

sebagai objek dari hak.

5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa

tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.4

Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan kewajiban, yang

berpedoman pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia,

sebagaimana diatur didalam PP Nomor 37 Tahun 1998.

a. Hak PPAT

- Dalam menjalankan jabatannya PPAT berhak untuk mendapatkan honor

setinggi-tingginya 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum

di dalam akta, namun PPAT wajib pula memberikan jasa secara cuma-

cuma kepada anggota masyarakat tidak mampu.

4 Ibid, Hal. 55.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

- Bilamana ada keperluan yang menyebabkan PPAT tidak dapat

menjalankan tugasnya untuk beberapa saat maka ia berhak untuk

mengambil cuti.

- Berdasarkan ketentuan Pasal 31 PP Nomor 37 Tahun 1998, PPAT yang

menjalankan cuti dapat mengusulkan untuk pengangkatan PPAT

pengganti yang harus memenuhi syarat bahwa ia adalah seorang Sarjana

Hukum dan sudah bekerja di kantor PPAT yang digantikannya selama

paling sedikit 2 tahun, namun Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun

2006 menambahkan syarat untuk pengajuan sebagai PPAT Pengganti,

yaitu :

- Harus berumur 30 tahun atau lebih;

- Belum berumur 65 tahun pada saat berakhirnya masa jabatan PPAT

pengganti;

- Belum ada PPAT lainnya yang diangkat.

- PPAT berhak untuk memperoleh informasi serta perkembangan

peraturan pertanahan.

- PPAT berhak untuk memperoleh kesempatan untuk mengajukan

pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai

PPAT.

- PPAT boleh merangkap sebagai jabatan Notaris, konsultan atau

penasehat hukum.

- PPAT berhak untuk menolak membuat akta bila tanahnya sudah

bersertipikat namun pemilik sertipikat tidak mau menunjukkan dan

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

menyerahkannya kepada PPAT atau oleh pemilik diserahkan

sertipikatnya namun sertipikat tersebut tidak sesuai dengan daftar-daftar

yang ada di Kantor Pertanahan.

b. Kewajiban PPAT

Kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti beban untuk memberikan

sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat

oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh

yang berkepentingan. Dengan demikian kewajiban berarti sesuatu yang harus

dilakukan yang dalam konteks ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang harus

dilakukan oleh PPAT. Adapun bentuk kewajiban PPAT adalah seperti tersebut

dibawah ini :

- PPAT mempunyai kewajiban administrasi untuk menyimpan dan

memelihara protokol PPAT yang terdiri dari Daftar Akta, Akta Asli,

Warkah Pendukung Akta, Arsip Laporan, Agenda, dan surat-surat

lainnya.

- Menyampaikan setiap akta yang dibuatnya (kecuali akta Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan) kepada Kantor Pertanahan untuk

didaftar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta dibuat.

- Menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada para pihak mengenai telah

disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan.

- Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada

Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN dan Kepala

Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

Mengenai laporan bulanan ini harus dibuat berdasarkan Surat Keputusan

Bersama antara Menteri Negara Agraria/Kepala BPN dan Dir Jend Pajak

Nomor : yang ditetapkan dan mulai berlaku sejak

tanggal 27 Agustus 1998.

- Dalam hal ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala Kantor

Wilayah BPN RI, PPAT wajib menerima protokol dari PPAT yang

berhenti menjadi PPAT.

- Memasang papan nama PPAT.

- Menurunkan papan nama PPAT pada hari yang bersangkutan berhenti

dari jabatan PPAT.

2.2. Tinjauan Umum tentang Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah

2.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Peralihan Hak Atas Tanah

Secara historis, bahwa sejarah peralihan hak atas tanah yang berlaku di

Indonesia dapat dikatagorikan menjadi peralihan hak atas tanah sebelum

berlakunya UUPA dan peralihan hak atas tanah sesudah berlakunya UUPA. Pada

jaman Kolonial Belanda, adanya dua macam aturan tentang tanah yang masing-

masing tunduk pada sistem hukum adat dan sistem hukum barat sehingga

menimbulkan dualisme hukum agraria, maka dalam praktek terjadilah perbedaan

aturan mengenai peralihan hak atas tanah.

Peralihan hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat harus bersifat

kontan dan terang. Menurut Hilman Jatikusumah, perbuatan jual lepas (sebagai

salah satu bentuk peralihan tanah) adalah perbuatan tunai (kontantehandeling)

yang berlaku riil dan konkret, artinya nyata dan jelas dapat ditangkap dengan

SKB-2 Tahun 1998

KEP-179/PJ/1998

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

pancaindra. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai,

sudah diserahkan dan sudah dibayar harganya, walaupun belum lunas semua

pembayarannya. Pembayaran dalam jual lepas ini dapat berlaku pembayaran uang

tunai pada saat terjadinya ijab kabul atau dibayar kemudian (utang). Jika terjadi

ketika jual beli itu terlaksana pembayaran belum lunas, tidak berarti bendanya

belum diserahkan penjual dan belum diterima pembeli. Perjanjian itu tetap

berlaku, mengenai pembayaran yang belum lunas merupakan perjanjian utang

piutang.5

Sedangkan menurut Iman Soetignjo, pengertian terang yaitu mengalihkan

hak atas tanah menurut hukum adat, harus dengan dukungan (mederweking)

kepala suku/masyarakat hukum/desa agar perbuatan itu “terang”, dan sahnya

(rechtsgeldigheid) ditanggung kepala tersebut.6 Dengan kata lain apabila

transaksi-transaksi tersebut tidak dilakukan dengan dukungan (mederweking)

kepala suku/masyarakat hukum/desa, maka perbuatan itu dianggap perbuatan

yang tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku terhadap pihak ketiga.

Untuk peralihan hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat,

perpindahan/balik namanya harus melalui overschrijving ambtenaar (Pejabat

Peralihan Hak). Jadi, setelah dilakukan jual beli dihadapan Notaris atau badan lain

yang sama (lurah/kepala desa untuk orang Indonesia yang tunduk pada hukum

barat), beralihnya hak harus lewat overschrijving ambtenaar (Pejabat Peralihan

Hak).

5 Hilman Jatikusumah, 1979, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, Hal. 123.

6 Iman Soetignjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, Hal. 61-62.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

Pada jaman Pemerintahan Jepang hukum pertanahan yang berlaku adalah

seperti hukum yang berlaku pada jaman Kolonial Belanda. Terhadap tanah hak

Barat berlaku ketentuan hukum tanah Barat (termasuk Jepang), dan terhadap tanah

adat berlaku hukum tanah adat (bagi pribumi). Dengan kata lain, Permerintah

Pendudukan Jepang tidak pernah mengadakan perubahan-perubahan dibidang

hukum perdata (termasuk hukum tanah) dan mempertanahankan hukum perdata

yang berlaku pada saat sebelum pendudukannya di Indonesia, yaitu terdiri dari

hukum Barat dan hukum Adat termasuk dalam hal ini tentang prosedur peralihan

hak atas tanahnya.

Sebagai suatu hak yang bersifat kebendaan, hak atas tanah dapat beralih

dan diperalihkan. Suatu hak atas tanah akan beralih jika kepemilikannya

berpindah kepada orang lain tanpa melalui suatu perbuatan hukum, tetapi beralih

akibat terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu, misalnya terjadi kematian atau

meninggalnya seseorang maka harta peninggalannya beralih kepada ahli warisnya.

Suatu hak atas tanah dapat diperalihakan jika melalui suatu perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Peralihan hak atas tanah dapat

terjadi karena jual beli, hibah, tukar-menukar atau perbuatan lain yang bersifat

mengalihkan hak atas tanah.

Menurut Pasal 37 PP nomor 24 Tahun 1997 peralihan hak atas tanah dan

hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah,

pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,

kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan apa

yang dimaksud beralih dan diperalihkan, tetapi hanya diatur tentang peralihan

suatu hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan suatu hak

atas kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas

tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya

meninggal dunia. Proses seperti ini disebut dengan pewarisan. Peralihan hak atas

tanah tersebut terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya seorang

pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih

kepada ahli warisnya. Jadi, ahli waris disini memperoleh peralihan hak atas tanah

karena suatu peristiwa hukum tertentu, bukan karena perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pemegang hak atas tanah selaku subyek hukum.7

Sedangkan suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak

atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh pemegang hak

selaku subyek hukum/hak kepada orang lain karena suatu perbuatan hukum yang

sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak atas

tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi karena memang

disengaja dan merupakan perbuatan atau hak kepada pihak lain karena suatu

perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut

memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Jadi peralihan hak atas tanah terjadi

karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang hak

7 Andi Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan (Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum

Terdaftar Hak Atas Tanahnya, LaksBang Justitia, Surabaya, Hal. 66

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

lama dengan pihak lain yang akan menjadi penerima hak dan sekaligus nantinya

adalah sebagai pemegang hak yang baru.

Perbuatan hukum yang bertujuan mengalihkan hak atas tanah dapat berupa

jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan (inbreng),

pemberian dengan wasiat, dan lelang. Dalam proses peralihan atau pemindahan

hak, pihak yang mengalihkan atau memindahkan hak harus mempunyai hak dan

kewenangan untuk memindahkan hak, sedang bagi pihak yang memperoleh hak

harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang baru. Hak atas

tanah atau hak atas satuan rumah susun yang dapat beralih atau diperalihkan dari

pemegang hak kepada pihak lain adalah :

1. Hak milik atas tanah yang pemegang haknya adalah perseorangan warga

negara Indonesia.

2. Hak Guna Usaha yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara

Indonesia.

3. Hak Guna Bangunan atas tanah warga negara yang pemegang haknya

adalah perseorangan warga negara Indonesia.

4. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah hak milik

yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara Indonesia.

5. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas Hak Guna

Bangunan yang pemegang haknya adalah perseorangan warga negara

Indonesia.

Mengenai peralihan hak milik atas tanah atau hak milik atas satuan rumah

susun terdapat beberapa ketentuan, yaitu :

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

1. Ada hak atas tanah yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang

haknya kepada pihak lain tanpa suatu persyaratan.

2. Ada hak atas tanah yang tidak dapat beralih atau diperalihkan dari

pemegang haknya kepada pihak lain.

3. Ada hak atas tanah yang dapat beralih atau diperalihkan dari pemegang hak

kepada pihak lain dengan suatu persyaratan tertentu, yaitu berupa ijin dari

pejabat yang berwenang atau persetujuan tertulis dari pemegang hak

pengelolaan atau pemegang hak milik yang bersangkutan.

2.2.2. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebanan Hak Atas Tanah

Pembebanan hak atas tanah adalah diberikannya suatu hak baru di atas

hak-hak yang telah ada, dengan melekatkan hak baru tersebut kepada hak-hak

yang lama, artinya sekalipun diberikan hak baru kepada pihak lain, namun tetap

ada hubungan hukum antara penerima hak baru dengan pemegang hak lama.

Pemberian hak baru dengan melekatkan haknya pada hak atas tanah yang sudah

ada terlebih dahulu diadakan perjanjian antara pemilik tanah dengan orang yang

akan diberikan hak baru atas tanah yang sudah ada tersebut.

Pembebanan hak ini dapat dikategorikan antara lain Hak Tanggungan,

Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Milik, Pemberian

Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan, Bagi

Hasil dan Sewa.

2.2.3. Prosedur Pendaftaran Peralihan dan Pembebanan Hak Atas Tanah

Perbuatan-perbuatan peralihan hak atas tanah, dilakukan pada waktu

pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

yang bersifat tunai atau langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan

dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan

berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang

bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya

meninggal dunia.

Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan

dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para

pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas

membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan

dihadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang

“gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil”

perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu

tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah

dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang

dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut

secara implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang

haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru

mengikat para pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup

bagi umum.

Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya

pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan

Kota/Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh

surat tanda bukti yang kuat. Karena administrasi pengalihan hak atas tanah yang

ada di kantor pertanahan Kota/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum,

maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan

hanya yang memindahkan hak dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap

mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.8

Sejalan dengan itu, Arie S. Hutagalung menyebutkan bahwa keterangan-

keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus

diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat

pembuktian yang membuktikan sebaliknya.9

Dikaji dari aspek normatif dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 19

ayat (2) huruf c UUPA yang menyebutkan bahwa pendaftaran meliputi pemberian

surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

menunjukkan bahwa sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia adalah

sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Pernyataan yang

demikian tidak akan terdapat dalam sistem pendaftaraan tanah dengan sistem

publikasi negatif yang murni.10

Pembebanan hak atas tanah terkait dengan jaminan kebendaan meliputi

jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dari kedua jenis jaminan

8 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. Djambatan,

Jakarta:, Hal. 329. (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I) 9 Arie S.Hutagalung, 2000,” Penerapan Lembaga Rechtsverwerking untuk Mengatasi

Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah”, Majalah Hukum dan

Pembangunan, Hal. 328 10

Boedi Harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas

Trisakti, Jakarta, Hal. 89 (Selanjutnya disebut Boedi Harsono II)

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

kebendaan tersebut, Salim HS. menyatakan bahwa jaminan kebendaan yang masih

berlaku adalah gadai, jaminan fidusia, dan hak tanggungan11

Hak tanggungan sebagai salah satu jaminan kebendaan adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA

berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Menurut Urip Santoso prosedur pembebanan hak atas tanah harus

memenuhi 3 (tiga) tahapan, yaitu :

1. Adanya Perjanjian Utang Piutang

Perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur merupakan perjanjian

pokok dalam Hak Tanggungan. Perjanjian utang piutang ini dapat dibuat

dengan akta otentik yaitu dibuat di hadapan Notaris, atau dibuat dengan akta

di bawah tangan yaitu dibuat sendiri oleh debitur dan kreditur. Karena

perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokoknya maka secara

acontrario hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir, maka adanya

tergantung pada perjanjian pokok dan akan terhapus dengan hapusnya

perjanjian pokok12

2. Adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan

Untuk memberikan jaminan utang debitur kepada kreditur, debitur berjanji

menyerahkan hak atas tanah sebagai jaminan kepada kreditur. Sebagaimana

11

Salim H.S., 2001, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Sinar Grafika. Cet.I.,

Jakarta, Hal. 112 12

Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta, Hal, 199.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

telah dijelaskan di atas, bahwa penyerahan jaminan dalam hak tanggungan

bersifat accessoir, artinya sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan

dari perjanjian pokok yang berupa utang piutang.13

Sejalan dengan itu Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa salah satu

sifat Hak Tanggungan adalah merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian

pokok. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang menimbulkan hubungan

hukum utang piutang, sedangkan perjanjian accessoir merupakan perjanjian

ikutan yang menimbulkan hubungan hukum penjaminan atas perjanjian pokok.

Keberadaan, berakhir, dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sediirinya

tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya.14

Pendaftaran Pembebanan Hak atas tanah dilakukan dalam waktu selambat-

lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak

Tanggungan, PPAT wajib mendaftarkan akta tersebut kepada Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat. Maksud pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan

tersebut adalah untuk dibuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya

dalam Buku Tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta

menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak

untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya hak tersebut kepada pihak

ketiga. Dengan pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan kepada Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, maka terpenuhi asas publisitas, artinya

13

Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah Edisi Pertama, ,

Kencana, Jakarta, Hal. 424. 14

Maria S.W. Sumardjono, 1997, “Prinsip Dasar dan Isu di Seputar Undang-Undang

Hak Tanggungan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis,

Jakarta, Hal. 38. (Selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono III)

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

setiap orang dapat mengetahui bahwa hak atas tanah tersebut sedang dibebani Hak

Tanggungan.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan atas tanah, Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota setempat menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan,

yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertipikat Hak

Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai

pengganti proses acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Irah-irah yang dicantumkan dalam Sertipikat Hak Tanggungan

dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertipikat

Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, objek Hak Tanggungan

siap dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap melalui tata cara tertentu dan dengan menggunakan

lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.

2.3. Tinjauan Umum Tentang Akta PPAT

2.3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Akta PPAT

Secara etimologi ”akta” berasal dari bahasa latin ”acta” yang berarti

”geschrift” atau surat.15

Sementara itu R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio,

menjelaskan kata ”acta” merupakan bentuk jamak dari akta ”actum”, yang berasal

dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.16

Selanjutnya A. Pitlo, dalam

15

Suharjono, 1995, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Majalah Varia Peradilan

Desember Tahun XI Nomor 123, Hal. 128. 16

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,

Hal. 9.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

salah satu tulisannya sebagaimana dikutip oleh Suharjono menyebutkan : akta

adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan

untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.17

Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang

memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan,

yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.18

Sejalan dengan hal tersebut, pengertian akta PPAT dapat disimak dari

rumusan Pasal 1 angkat 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1

angka 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1

Tahun 2006, adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun.

Atas dasar perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun, maka ditentukan bermacam-macam akta yang kewenangan

pembuatannya diserahkan kepada PPAT atau PPAT Sementara untuk dijadikan

dasar perubahan data pendaftaran tanah. Akta-akta tersebut adalah :

a. Akta Jual Beli;

b. Akta Tukar Menukar;

c. Akta Hibah;

d. Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan;

e. Akta Pembagian Hak Bersama;

f. Akta Pemberian Hak Tanggungan

g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik;

h. Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.

i. Akta pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

17

Suharjono, Op. Cit, Hal. 43. 18

Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

Hal. 110. (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I)

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

2.3.2. Akta PPAT Sebagai Akta Otentik

Secara normatif pengaturan akta otentik dijumpai dalam Pasal 285

RBg/165 HIR yang menyebutkan : akta otentik yaitu suatu surat yang dibuat

menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang

berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua

belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari

padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang

yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut

kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan

pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.19

Dalam lalu lintas keperdataan surat

yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum menurut ketentuan undang-undang

memang dengan sengaja20

dibuat sebagai alat-alat bukti berhubung dengan

kemungkinan diberlakukannya bukti-bukti itu dikemudian hari

Pengaturan akta PPAT sebagai akta otentik dapat disimak rumusan Pasal 3

ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 menegaskan bahwa akta

yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik. Dalam kedua peraturan ini tidak

dijelaskan apa yang dimaksud akta otentik. Akta otentik menurut Pasal 1868 BW,

adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

dibuat oleh dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu,

ditempat di mana akta dibuatnya.

19

K. Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata (RBg/HIR), Ghalia Indonesia, Jakarta,

Hal. 71. 20

R. Subekti, 1981, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman, Hal .86

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

Suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi unsur-unsur

yang bersifat kumulatif sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1868 BW, yaitu :

1. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang.

2. Akta dibuat dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa.

3. Akta itu dibuat ditempat di mana akta dibuatnya.

Menurut Irawan Soerodjo, ada tiga unsur utama yang merupakan

esensialia agar terpenuhinya syarat formal bahwa suatu akta merupakan akta

otentik, yaitu :

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.

3. Akta dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan

di tempat di mana akta itu dibuat.21

2.3.3. Keabsahan Akta PPAT Sebagai Akta Otentik

Isu hukum tentang eksistensi Akta PPAT adalah apakah Akta PPAT

merupakan Akta Otentik atau bukan. Tehadap hal ini ada 2 (dua) pandangan yang

berkembang yaitu : (1) Pendapat Prof Boedi Harsono,SH., dalam salah satu

tulisannya yang berjudul “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”

menyatakan bahwa Akta PPAT memenuhi syarat sebagai Akta Otentik yang

ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata.22

(2). Pendapat dari Dr Habib Adjie,

SH., M.Hum. dalam bukunya yeng berjudul “Meneropong Khazanah Notaris dan

21

Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,

Surabaya, Hal. 149-150. 22

Boedi Harsono, 2007, “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”, Majalah

Renvoi, Nomor. 8.44.IV., tanggal 3 Januari 2007. Hal. 52 (Selanjutnya disebut Boedi Harsono III)

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

PPAT Indonesia”menyatakan bahwa Akta PPAT bukan Akta Otentik karena tidak

memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUH Perdata.23

Perbedaan pandangan tersebut disebabkan adanya perbedaan tafsir atas

ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyebutkan : Suatu akta otentik ialah

suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di

hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata maka dapat ditarik

unsur suatu Akta Otentik yaitu :

Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta

tersebut secara tersurat ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, hal ini

diberlakukan bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan oleh undang-undang,

melainkan ditentukan oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu :

a. Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan

bahwa bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

b. Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa akta

PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

c. Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa macam dan

bentuk akta yang dibuat oleh PPAT.

23

Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan

Tulisan tentang Notaris dan PPAT), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, , Hal. 267-274. (Selanjutnya

disebut Habib Adjie II)

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

Berdasarkan ketiga peraturan di atas menunjukkan bahwa akta PPAT

bukanlah akta otentik dikarenakan bentuknya tidak ditentukan oleh undang-

undang melainkan ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri,

meskipun akta PPAT tersebut bentuknya baku dan dibuat oleh PPAT sebagai

pejabat umum.

Unsur kedua suatu akta dikatakan akta otentik apabila akta tersebut oleh

dan di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta.

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional No.1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat umum yang

diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia dan diberikan kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak,

pembebanan Hak Tanggungan, pembagian hak bersama, dan pemberian kuasa

membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun.

Unsur ketiga suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta dibuat

oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya. Peraturan Pemerintah No.

37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun

2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat umum diberi kewenangan membuat

akta didalam daerah (wilayah) kerjanya. Daerah (wilayah) kerja PPAT adalah

suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Dari ketiga unsur suatu akta dikatakan sebagai akta otentik menurut Pasal

1868 BW, maka akta yang dibuat oleh PPAT tidak memenuhi unsur sebagai akta

otentik. Unsur pertama bahwa bentuk akta ditetapkan oleh undang-undang tidak

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfBAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang PPAT 2.1.1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama

dipenuhi disebabkan bentuk akta PPAT ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan

peraturan menteri. Unsur kedua dan ketiga dipenuhi yaitu PPAT sebagai pejabat

umum dan PPAT mempunyai daerah (wilayah) kerja tertentu.