BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN...
17
BAB II
TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN ZAKAT
Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman
Rasulullah saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju
perkembangan Islam itu sendiri.
Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan
hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang
berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya.
Selama ini pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk
konsumtif sehingga hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang
signifikan, yakni hanya bersifat sementara.
Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna
yang maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola
zakat yang baik dan benar. Namun demikian tidak seharusnya kita berdiam diri
dan tidak melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman telah
menuntut kita untuk dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara
profesional.
Dalam masalah ini penulis akan berusaha memfokuskan kepada dua
bahasan yakni pengelolaan zakat dalam perspektif fiqh dan pengelolaan zakat
dalam perspektif hukum positif.
18
A. Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif Fiqih
Zakat menurut bahasa adalah berkah, tumbuh, bersih, suci, syukur, dan
baik.1 Sedang menurut istilah adalah mengeluarkan harta untuk diberikan
kepada orang-orang tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh syara'.2
Zakat merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim untuk
kesejahteraan muslim dan oleh orang muslim.3 Menurut Wahbah Zuhaily,
zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki satu nisab
dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Nishab adalah
“kadar yang ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban
mengeluarkan zakat”.4
Adapun pengertian infaq yaitu mendermakan rezeki atau sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT semata.
Infaq dibedakan dari zakat dan shadaqah. Zakat merupakan derma yang telah
ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya, sedang infaq lebih luas
dan umum yakni tidak terdapat ketentuan mengenai jenis dan jumlah harta
yang akan dikeluarkan serta tidak ditentukan kepada siapa saja infaq tersebut
harus diberikan. Sementara itu, mengenai infaq dan shadaqah dari segi
pengertiannya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama mendermakan sesuatu
kepada orang lain. Namun dari segi waktu antara keduanya terdapat
1 Drs. Moh. Rifai, et.al., Kifayatul Akhyar, Alih Bahasa, Semarang: hlm. 114. 2 Ibid. 3 Munawir Syadzali, et. al, Zakat dan Pajak, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 1991, Cet
ke 2, hlm. 160. 4 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, terj. Bandung: Rosda Karya, 2004,
hlm. 2.
19
perbedaan, waktu untuk mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki
dari Allah tanpa ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkan, sedang pada
shadaqah tidak ada ketentuan waktu, jumlah maupun peruntukannya.5
Zakat menempati kedudukan yang sangat mendasar dan fundamental
dalam Islam. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Al-Qur’an
sering disertai dengan ancaman yang tegas, sebagaimana dijelaskan dalam
surat Taubah ayat 34:
والذين يكنزون الذهب والفضة وال ينفقونها في سبيل اهللا فبشرهم بعذاب … ). 34: التوبة (أليم
“…..Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkanya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih”.
Bahkan seringkali perintah membayar zakat diiringi dengan perintah
mengerjakan sholat. Hal ini menegaskan adanya kaitan komplementer antara
ibadah sholat dan zakat. Sholat berdimensi vertikal-ketuhanan, sementara
zakat berdimensi horizontal kemanusiaan. Zakat tidak hanya saja sebagai
wujud kebaikan hati orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Tetapi
zakat merupakan hak Tuhan dan hak orang miskin yang terdapat dalam harta
orang kaya, yang wajib dikeluarkan bila sudah mencapai nisabnya.6
Menurut Quraisy Shihab, zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan
harta benda, bahkan shadaqah dan infak pun demikian. Allah telah menjadikan
harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, dengan
5 Dahlan Abdul Azis (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 716-717.
6 Djamal Do’a, Pengelolaan Zakat Oleh Negara Untuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Korpus, Cet.1, hlm. 76.
20
demikian ia harus diarahkan untuk kepentingan bersama.7 Infaq menurut
Didin Khafidhuddin berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan
(penghasilan) untuk suatu kepentingan yang diperintahkan oleh Islam. jika
zakat ada nishabnya, infaq dan shadaqah tidak mengenal nishab. Infak
dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi
ataupun rendah (QS. Al-Imran: 134). Adapun dalam pendistribusiannya,
zakat harus diberikan kepada mustahiq tertentu (delapan ashnaf), sedangkan
infaq dan shadaqah boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk
kedua orang tua, anak yatim dan sebagainya.8
Selain perintah untuk mengeluarkan zakat, Islam juga mengatur
dengan tegas dan jelas tentang pemungutan dan pengelolaan harta zakat.
Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw.
pernah berkata kepada mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke
Yaman.9
فأعلمهم أن اهللا افترض عليهم صدقة ىف امواهلم تؤخد من أغنياؤهم وترد على ... ...فقراؤهم
…Beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah SWT mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang kafir di antara mereka…10 Menurut Syekhul Islam al-Hafiz Ibnu hajar, hadits di atas dapat
dijadikan dalil bahwa imamlah yang berhak memungut dan membagikan
7 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 323. 8 Didin Khafiduddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, Sedekah, Jakarta: Gema
Insani, 1998, hlm. 14-15. 9 Abdillah bin Ismail, Shahih al- Bukhari, Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/ 1992
M, hlm. 427. 10 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, op. cit, hlm. 277.
21
zakat, baik ia sendiri yang melakukannya atau melalui wakilnya. Dan mereka
yang enggan mengeluarkan zakat akan dipaksa.11
Begitu jelasnya kewajiban untuk mengeluarkan zakat, sehingga
khalifah Abu Bakar pernah memerangi orang yang menolak mengeluarkan
zakat di masa pemerintahannya. Pembahasan tentang zakat telah banyak
dilakukan, tetapi telaah dari perspektif pemberdayaan ekonomi masyarakat
nampaknya belum banyak menjadi sorotan. Padahal dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, zakat tidak hanya dimaknai secara teologis (ibadah)
saja yaitu sebagai manifestasi kepatuhan individu kepada Tuhan, tetapi
dimaknai secara sosio ekonomi juga yaitu sebagai mekanisme distribusi
kekayaan. Sehingga selain membersihkan jiwa, dan harta benda, zakat juga
berfungsi sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.12
Pada zaman Nabi Saw dan para Khalifah al Rasyidun, zakat
merupakan suatu lembaga negara, sehingga negara mempunyai kewajiban
untuk menghitung zakat para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan
para khalifah al Rasyidun membentuk badan pengumpul zakat, untuk
kemudian mengirim para petugasnya menarik zakat dari mereka yang
ditetapkan sebagai wajib zakat. Zakat yang sudah terkumpul tersebut
dimasukkan ke baitul mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh
pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah.
11 Al-Hafiz Ibnu hajar, Fathul Barri, Beirut: Dar al- Fikr, tth, Jilid III, hlm. 261. 12 Djamal Do’a, op.cit, hlm. 76.
22
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy untuk menghasilkan pengumpulan
zakat maka para pengusaha sebaiknya mengadakan “Badan Amalah” atau
petugas yang mengurusi zakat.13
Kemudian menurut As-Syirazy: “wajib atas kepala negeri mengadakan
badan amalah (pengumpul zakat) dan mengutus mereka pergi memungut zakat
dan mengumpulkannya dari yang bersangkutan”.
Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, katanya:
. ان رسول اهللا بعث عمربن اخلطاب على الصدقة “Bahwasanya Rasulullah saw telah mengutus Umar Ibnu Khathab, pergi memungut zakat”.14
Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang
terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh
dedikasi, jujur, dan amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah,
kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak akan sampai kepada
mustahiq.15
Oleh karena itu, tenaga yang terampil menguasai masalah-masalah
yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam
sistem pengelolaan zakat yang professional. Karena salah satu sebab mengapa
pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita kadangkala macet, barangkali yaitu
karena banyak badan pengumpul zakat yang tidak memenuhi kriteria tersebut.
Menurut Amin Rais, ada dua sebab mengapa kewajiban zakat menjadi tidak
13 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, Cet Ke-5, 1984, hlm.
77. 14 An- Nawawi, Al-Majmu’, Al- Mathba'ah, Mesir, tth, hlm. 167. 15 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKIS, tth, hlm. 152.
23
lancar yaitu, pertama memang para wajib zakat belum sadar pada kewajiban
agamanya. Kedua, mereka sudah sadar, tetapi enggan mengeluarkannya
karena tidak percaya sepenuhnya pada panitia pengumpul zakat.16
Dalam buku Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Thoyib I.M17.
menjelaskan bahwa kesadaran dari umat Islam sendiri dalam menunaikan
zakat masih sangat rendah walaupun rata-rata orang Islam menyadari akan
pentingnya zakat jika dilaksanakan sebagaimana mestinya. Orang Islam rata-
rata lebih rajin bersembahyang, puasa dan naik haji daripada membayar zakat.
Ini salah satu dari ciri bahwa tingkat keimanannya sebenarnya masih rendah,
dan pertanda bahwa sifat kikir dan tamak masih kuat melekat pada mereka.
Sementara itu menurut Daud ali, kesadaran umat Islam yang cukup
tinggi dalam mengeluarkan zakat baru tampak dalam penuaian zakat fitrah,
sedangkan kesadaran yang sama untuk mengeluarkan zakat harta masih
sedikit.18 Dengan melihat masih rendah dan tipisnya tingkat kesadaran umat
Islam dalam mengeluarkan zakat harta, maka pensosialisasian dan penyuluhan
kepada umat Islam tentang esensi zakat sangat perlu diadakan oleh para amil
atau da’i zakat.
1. Pengertian Amil
16 Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, Cet IV, 1995,
hlm. 63. 17 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, tth, hlm. 155. 18 Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,Jakarta: UI Press, Cet. I,
hlm. 63.
24
Kata ‘amil berasal dari kata ‘amal yang biasa diterjemahkan
dengan “yang mengerjakan atau pelaksana”.19Amil adalah orang atau
badan yang mengurus soal zakat dan shadaqah dengan cara
mengumpulkan, mencatat dan menyalurkan atau membagikannya kepada
mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam.20
Muhammad Rasyid Ridha ketika menafsirkan ayat 60 surat At-
Taubah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan amil zakat, yaitu:
“mereka yang ditugaskan oleh Imam atau pemerintah atau yang
mewakilinya, untuk melaksanakan pengumpulan zakat dan dinamai al-
jubat, serta menyimpan atau memeliharanya yang dinamai al-hazanah
(bendaharawan), termasuk pula para penggembala, petugas administrasi.
Mereka semua harus terdiri dari orang-orang muslim.21
Berdasarkan definisi di atas, maka seorang amil haruslah yang
diangkat sebagai petugas oleh pemerintah. Berbeda dengan pendapat
Rasyid Ridha, Abu Zahrah memudahkan dalam mendefinisikan amil,
menurutnya amil adalah “mereka yang bekerja untuk pengelolaan zakat,
menghimpun, menghitung, mencari orang-orang yang butuh (mustahiq)
serta membagikan kepada mereka”.22
Yusuf Qardhawi lebih jelas lagi memperinci para amil zakat,
dengan menyatakan: “Semua orang yang terlibat atau ikut aktif dalam
19 Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur'an, op. cit, hlm. 325.
20 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1993, hlm. 134.
21 M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, Mesir, 1368H, Jilid 10, hlm. 513.
22 Quraish Shihab, op.cit., hlm. 326.
25
organisasi kezakatan termasuk penanggung jawab, para pengumpul,
pembagi, bendaharawan, penulis, dan sebagainya.23
Walaupun sebagian ulama berpendapat bahwa amil tidak harus
diangkat atau ditunjuk penguasa, namun semua ulama sependapat bahwa
keterlibatan imam dalam pengelolaan zakat merupakan suatu
kebijaksanaan yang terpuji.24
Memang pada awal Islam, para amil diangkat langsung oleh
Rasulullah saw. Tetapi pada masa pemerintahan Usman r.a. kebijaksanaan
pengumpulan zakat diubah. Pada masa Nabi saw para sahabat
menyerahkan harta zakat itu kepada beliau untuk kemudian beliau
serahkan kepada para baitul maal atau para amil agar dibagikan sesuai
dengan petunjuk agama. Tetapi pada masa ‘Utsman, karena harta
kekayaan telah sedemikian melimpah, dan demi kemaslahatan umum,
beliau mengalihkan wewenang pembagian kepada pemilik harta secara
langsung. Tetapi pengalihan ini tidak menghilangkan kewajiban imam
untuk maksud tersebut.25
Meskipun muzakki telah memperoleh wewenang dari penguasa
untuk membagikan zakatnya sendiri kepada yang berhak, tetapi wewenang
itu hanya menjadikannya sebagai wakil dari imam atau pemerintah.
Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat Al-Taubah
ayat 60, menulis: “Ayat ini menunjukkan bahwa Imam atau yang
23 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Zakat, Muassasah Al-Risalah, Dar Al-Qalam, Beirut, Cet
VI, Jilid II, hlm. 576. 24 Quraish Shihab, op .cit. 25 Sjechul Hadi P, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, Jakarta:
Pustaka Firdaus, Cet I, 1993, hlm. 8.
26
ditugaskannya berkewajiban mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat.
Buktinya adalah bahwa Allah menetapkan petugas-petugas untuk maksud
tersebut. Ini dikuatkan lagi dengan firman-Nya: “Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka”26 (QS. 9: 103).
Seorang amil zakat hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut27:
1. Hendaklah dia seorang muslim, karena zakat itu urusan kaum
muslimin, maka Islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka.
2. Hendaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa
yang sehat akal pikirannya, sehingga patut diserahi tugas yang
berkaitan dengan kepentingan umat.
3. Petugas zakat itu hendaklah orang jujur, karena dia diamanati harta
kaum muslimin.
4. Memahami hukum-hukum zakat, sebab bila ia tidak mengetahui
hukum zakat tak mungkin mampu melaksanakan pekerjaannya, dan
akan lebih banyak berbuat kesalahan.
5. Kemampuan untuk melaksanakan tugas. Petugas zakat hendaklah
memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya. Kejujuran saja
belum mencukupi bila tidak disertai kemampuan untuk bekerja.
2. Hak dan Kewajiban Amil
26 Al-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, Dar al-Kitab al Ulumiyyah, Beirut: 1938, Jilid VIII, hlm.
80.. 27 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Bandung: Litera Antar Nusa dan Mizan, Cet ke-4,
1993, hlm. 551-552.
27
Petugas amil zakat mempunyai berbagai macam tugas dan
pekerjaan yang berhubungan dengan pengaturan tentang zakat.
Diantaranya yaitu soal sensus atau pendataan terhadap orang-orang yang
wajib zakat, dan macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang
wajib dizakati, kemudian mengetahui para mustahiq zakat. Berapa jumlah
mereka, dan hal-hal lain yang merupakan urusan yang perlu ditangani
secara sempurna oleh para ahli dan petugas serta para pembantunya.28
Para amil zakat, pada garis besarnya dapat dikategorikan menjadi
dua kelompok, yakni para pengumpul dan para pembagi29:
a) Para pengumpul, bertugas mendata dan menetapkan muzakki.
Dalam hal ini para pengumpul menetapkan jenis-jenis harta
mereka yang wajib dizakati, dan jumlah yang harus mereka bayar.
Kemudian mengambil dan menyimpannya untuk diserahkan kepada
para petugas yang membagikan apa yang telah mereka kumpulkan itu.
Para pengumpul juga harus mengetahui hukum-hukum zakat, misalnya
hal-hal yang berkaitan dengan jenis harta, kadar nishab, haul dan
sebagainya.
b) Para pembagi, bertugas mendata dan menetapkan siapa saja yang
berhak mendapatkan zakat.
Dalam hal ini para amil harus mengetahui siapa-siapa saja yang
berhak menerima zakat; seperti misalnya siapa yang dimaksud dengan
fakir dan miskin, apa syarat-syarat yang harus terpenuhi.untuk dinamai
28 Ibid, hlm. 546. 29 Quraish Shihab, op.cit, hlm. 328-329
28
dengan fakir dan miskin, gharim, ibn sabil, muallaf dan sebagainya.
Para amil yang bertugas juga diharapkan mengetahui tata krama
pembagian harta zakat, serta doa-doa yang berkaitan dengan tugas-
tugasnya, karena hal ini sangat penting, bukan hanya bagi para
pemberi dan penerima tetapi juga bagi kesempurnaan ibadah zakat.
Amil adalah sangat penting dalam urusan pengelolaan zakat
sehingga dalam surat Taubah ayat 60 Allah SWT menetapkan sebagai
salah satu kelompok yang berhak menerima bagian zakat.30 Menurut
Yusuf Qardhawi amil juga adalah pegawai, maka hendaklah ia diberi upah
sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan.
Dan meskipun amil termasuk seorang yang kaya, ia tetap diberi zakat,
karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya, bukan berupa
pertolongan bagi yang membutuhkan. Sebagaimana dijelaskan dalam
sunan Ibnu Majah dari Nabi Saw yang mengatakan:
لغاز يف سبيل اهللا، أو لعامل عليها، أو : ال حتل الصدقة لغين، إال اخلمسة لغارم، أو لرجل إشتراها مباله، أو لرجل كان له جار مسكني فتصدق على
. فأهداها املسكني للغين،املسكني“Tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali dalam lima hal. Pertama, orang berperang di jalan Allah. Kedua, karena jadi amil zakat. Ketiga, orang berhutang. Keempat, orang yang membeli barang sedekah dengan hartanya. Kelima orang yang tetangganya seorang miskin, lalu ia bersedekah kepada orang miskin itu, maka dihadiahkannya kembali kepada orang kaya itu pula”.31
Menurut Imam Syafi’i, bagian para ‘amil adalah sama dengan
bagian kelompok lainnya, yaitu masing-masing seperdelapan. Karena
30 Ibid. 31 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Darul Fikr, Beirut, hlm. 590.
29
didasarkan pada pendapatnya yang menyamakan bagian semua golongan
mustahiq. Adapun kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, maka
harus diambilkan dari harta yang ada di luar zakat.32
Ibn Rusyd menegaskan dalam Bidayah Al-Mujtahid bahwa para
fuqoha’ yang memberikan hak bagi amil yang kaya untuk memperoleh
bagian zakat membenarkan pula pemberiannya kepada para qadhi atau
hakim agama dan orang-orang yang semacamnya yang memberi manfaat
kepada kaum muslim, karena para fuqoha tersebut berpendapat bahwa illat
penyerahan zakat bagi delapan ashnaf bukan sekedar karena kebutuhan
mereka, tetapi juga karena manfaat yang mereka dapat berikan kepada
kaum muslimin.33
32 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. op.cit., hlm. 556. 33 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Jakarta: Pustaka Amani, cet. I, 1995, hlm. 64.
30
3. Tujuan dan Fungsi Amil
Amil zakat, yang secara tekstual terdapat dalam surat Taubat ayat
60, memiliki peran yang sangat penting, baik dalam pengumpulan dan
pendistribusian ZIS maupun dalam usaha melakukan kegiatan
pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Upaya pendekatan yang digerakan dari bawah oleh amil dalam
rangka merebut hati dan kepercayaan dari umat sangat perlu dilakukan,
bahkan mungkin saja merupakan cara yang tepat dan efektif. Akan lebih
baik juga jika dipelajari segi-segi sosialnya dan perilaku atau sifat-sifat
dari masyarakat tersebut sehingga mudah untuk memasukinya. Dengan
mengetahui watak anggota-anggota masyarakat, cara serta taktik
pendekatannya akan bisa lebih kena dan lebih diterima oleh masyarakat.
Unsur ulama serta pengurus masjid yang selama ini juga telah teruji
kejujuran dan kepemimpinannya juga tidak boleh diabaikan karena kendali
jiwa dari umat selama ini juga terletak di tangan mereka. Namun mereka
juga perlu didampingi oleh seseorang yang berpikiran maju dan mengerti
cara-cara serta manajemen modern disamping juga memiliki kejujuran
yang dapat dipercaya.34
Kemudian mengumpulkan dan mengolah data masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui apakah anggota-anggota keluarga
termasuk ke dalam yang wajib membayar atau menerima zakat. Dari daftar
tersebut dan melakukan pendekatan kepada mereka kita akan dapat
34 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit, hlm. 158.
31
menentukan prioritas siapa yang paling patut dibantu dan dalam bentuk
apa sebaiknya bantuan itu diberikan, apakah itu berupa modal untuk
berusaha, dalam bentuk apa dan berapa, apakah itu berupa beasiswa, uang
sekolah untuk anak-anak dan lain sebagainya.35
Mengadakan penyuluhan untuk sosialisasi zakat juga sangat perlu
dilakukan, hal ini menduduki fungsi kunci untuk keberhasilan
pengumpulan ZIS. Karena itu setiap sarana harus dimanfaatkan secara
optimal, mulai dari medium khutbah jum’at, majelis taklim, surat kabar,
majalah, melihat secara langsung penyaluran dan pendayagunaan ZIS,
dapat dalam bentuk gambar, tayangan televisi, dan sebagainya. Dengan hal
ini mungkin akan menumbuhkan kepercayaan kepada para muzakki.36
Fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung antara wajib zakat
atau muzakki dan yang berhak menerima zakat; ia berkewajiban
menyampaikan harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak
dengan cara yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan tujuan
disyariatkannya zakat itu. Dengan telah diserahkannya harta itu oleh wajib
zakat kepada amil zakat, maka beban muzakki akan terlepas dari
kewajiban membayar zakat.37
Sebagai perantara atau penghubung, amil harus mampu mengelola
keuangan dengan baik dan benar. Pemisahan yang jelas antara sumber
35 Ibid. 36 Didin Khafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 100. 37 Amir Syarifuddin, Pemeliharaan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Jakarta: Angkasa
Raya, 197.
32
keuangan dan pengalokasian yang tepat pada dasarnya, akan semakin
menguatkan posisi amil tersebut.
Menurut Imam al-Jashah, amil zakat memiliki beberapa fungsi, di
antaranya adalah:
1. Menentukan dan mengidentifikasi orang-orang yang terkena wajib
zakat (muzakki).
2. Menetapkan kriteria harta benda yang wajib dizakati.
3. Menyeleksi jumlah para mustahiq zakat.
4. Menetapkan jadwal pembayaran zakat bagi masing-masing muzakki.
5. Menentukan kriteria penyaluran harta zakat bagi tiap-tiap mustahik
sesuai dengan kondisi masing-masing.38
Setelah berfungsinya badan amil zakat seperti yang dimaksudkan
di atas, maka untuk mencapai hasil yang maksimal, efektif dan efisien
serta tercapainya sasaran dan tujuan zakat maka pendayagunaannya lebih
baik dan diusahakan yang bersifat produktif.
Hendaknya model pemberian zakat secara konvensional yakni
yang bersifat konsumtif seperti yang diterapkan selama ini hanya
diberikan kepada fakir miskin yang betul-betul tidak mempunyai potensi
produktif, seperti karena usia sangat lanjut, cacat fisik atau mental dan
sebagainya. Terhadap mustahik tersebut, lembaga amil zakat mempunyai
wewenang untuk menetapkan cara bagaimana menuntaskan kemiskinan
38 Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet. II, 2001, hlm. 171.
33
mereka dengan harta zakat itu. Karena pada hakekatnya kebijaksanaan dan
pengelolaan harta zakat sepenuhnya ada ditangan lembaga amil zakat.39
Sebenarnya zakat produktif sudah pernah dicontohkan oleh
Khalifah Umar Ibn Khathab, yang menyerahkan zakat berupa tiga ekor
unta sekaligus kepada salah seorang mustahiq yang kerap datang untuk
meminta zakatnya tetapi nasibnya tetap belum berubah. Dengan demikian
Khalifah Umar memberikan zakat dalam bentuk produktif dengan harapan
yang bersangkutan tidak datang lagi sebagai penerima zakat, tetapi sebagai
pembayar zakat dari hasil keuntungannya. Dan ternyata harapan Khalifah
Umar pun menjadi kenyataan.40
Pemanfaatan harta zakat yang dijelaskan dalam fiqh memberi
petunjuk perlunya suatu kebijaksanaan dan kecermatan dalam pemerataan
dan penyamaan kebutuhan yang nyata dari kelompok-kelompok penerima
zakat, kemampuan mustahiq dalam menggunakan dana zakat yang
mengarah kepada peningkatan kesejahteraannya dan kebebasannya dari
kemelaratan, sehingga pada gilirannya mustahik tidak lagi menjadi
penerima zakat, tetapi akan menjadi pembayar zakat. Telah banyak
dijelaskan bahwa jika penerima zakat mempunyai keahlian atau
keterampilan, maka pemberian sebaiknya dalam bentuk modal usaha yang
memungkinkan mustahiq akan mendapatkan keuntungan yang dapat
39 Ibid, hlm. 171-172. 40 Ibid, hlm. 173
34
memenuhi kebutuhannya, sehingga akan berjalan terus dan tidak langsung
habis seperti jika diberikan dalam bentuk konsumtif.41
Konsep zakat produktif inilah yang paling memungkinkan lebih
efektif terwujudnya tujuan zakat. Dengan demikian, zakat bukan lagi
sebagai tujuan, tetapi sebagai alat mencapai tujuan yaitu mewujudkan
keadilan sosial dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Namun perlu
diperhatikan pula, bahwa keberhasilan amil zakat bukan ditentukan oleh
besar kecilnya dana ZIS yang dihimpun atau didayagunakan, melainkan
juga pada sejauh mana para mustahiq (yang mendapatkan ZIS produktif)
tersebut dapat mengembangkan dan meningkatkan kegiatan usahanya.
Oleh karena itu, aspek monitoring dan pembinaan dari amil atau da’i zakat
perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.
B. Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif UU No.38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat
Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat dan keputusan menteri agama Nomor 581 tahun 1999,
pelaksanaan zakat diatur oleh negara dan dilaksanakan oleh badan khusus
yang mengatur itu. Dalam pelaksanaan akan efektif jika badan resmi yang
mengelola dan mengontrolnya juga diikuti dengan sanksi-sanksi. Turut
campurnya pemerintah dalam kegiatan keagamaan ini bukan merupakan
barang baru karena sejak semula pemerintah pun mengatur tentang soal-soal
41 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, Cet. II, 1994, hlm. 236.
35
perkawinan, haji, pendidikan agama, dan peradilan agama. Dengan demikian,
pengaturan zakat ini perlu dilakukan karena manfaat dan kegunaannya adalah
jelas sekali. Apalagi dewasa ini aspek pemerataan dan memerangi kemiskinan
merupakan tema utama dari pembangunan, dengan mengelola urusan zakat
secara professional akan memperlancar pembangunan tersebut.42
Dalam Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa
organisasi yang berhak mengelola zakat terbagi menjadi dua bagian. Yakni
organisasi yang dibentuk oleh pemerintah disebut Badan Amil Zakat (BAZ)
yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari
unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan
agama.43 Serta organisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat, disebut
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yaitu institusi pengelolaan zakat yang
sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang
bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat
Islam.44
Namun demikian, kedua bentuk organisasi ini memiliki kesamaan
tujuan, yakni bertujuan mengelola dana zakat dan sumber-sumber dana sosial
yang lain secara maksimal untuk keperluan umat. Sebagaimana termuat dalam
keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29
Tahun 1991/ 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan
42 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit, hlm. 156. 43 Dalam keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU
Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Pasal 1 ayat 1, hlm. 25. 44 Ibid, Pasal 1 Ayat 2.
36
Shadaqah (BAZIS) pasal 6, bahwa fungsi utama dari BAZIS adalah sebagai
wadah pengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran, dan pendayagunaan
zakat, infak, dan shodaqoh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan
nasional.
Dari pasal 6 yang tersebut di atas, maka fungsi dari BAZIS, adalah
mengumpulkan zakat, infak dan shadaqah dari masyarakat. Pengumpulan
zakat, infak dan shodaqoh oleh BAZIS itu dilakukan dengan cara menerima
dan atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuan dari muzakki.
Perhitungan zakat dilakukan oleh muzakki itu sendiri, kecuali apabila muzakki
itu tidak mampu melaksanakannya, maka pihak BAZIS akanmembantu
muzakki untuk menghitung zakatnya.45
Dengan semakin banyaknya organisasi pengelola zakat, maka akan
semakin mudah dalam mensosialisasikan zakat. Di samping itu masyarakat
muzakki dapat lebih leluasa memilih lembaga yang amanah dan professional.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka dengan sendirinya akan muncul dua
kemungkinan: Pertama, dalam mengeluarkan zakat para muzakki akan
memilih lembaganya yaitu lembaga amil akan terseleksi dengan sendirinya,
sehingga bisa jadi lembaga yang terbentuk dengan motivasi yang kurang baik
akan macet, sebaliknya lembaga yang dibentuk dengan motif yang benar akan
semakin berkembang. Kedua, akan terjadi saingan yang sehat yang saling
45 H.A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, hlm. 48.
37
menguatkan satu dengan lainnya. Dan antar lembaga amil tersebut akan saling
menjual kelebihan dan program unggulan untuk meyakinkan para muzakki.46
Badan amil zakat dan lembaga amil zakat bisa dibentuk pada semua
tingkatan, mulai tingkat nasional sampai tingkat lokal. Dalam BAZ,
kepengurusannya memiliki struktur baku sesuai dengan wilayah dalam
ketatanegaraan. Struktur tertinggi ada di pusat dan terendah di tingkat
kecamatan. Sedang di desa atau di kelurahan tidak sampai pada tingkatan
BAZ tetapi hanya terbatas pada unit pengumpul (UPZ). BAZ tingkat nasional
pembentukannya disahkan oleh presiden, di propinsi oleh Gubernur dan
seterusnya sampai tingkat kecamatan.
Namun dalam LAZ pembentukannya sangat bervariasi yaitu
tergantung pada motivasi para pendirinya. Ini bukan berarti untuk mendapat
pengesahan sebagai lembaga amil, tidak ada mekanismenya. Pemerintah
dalam UU tersebut telah menetapkan mekanisme pembentukan lembaga amil,
sehingga tidak sembarang orang dapat dengan mudah mendirikan lembaga
amil. Dalam perkembangan organisasi dan keuangannya, pemerintah berhak
untuk mengawasinya.47
Undang-Undang zakat secara garis besar memuat aturan tentang
pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan
professional, dilakukan oleh amil yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. Jurnal
dikeluarkan secara periodik dan pengawasannya akan dilakukan oleh ulama,
tokoh masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi kelalaian atau kesalahan
46 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, Cet Ke-1, 2004, hlm. 206.
47 Ibid, hlm. 207.
38
dalam pencatatan harta zakat, bisa dikenakan sanksi sehingga memungkinkan
harta zakat akan terhindar dari bentuk-bentuk penyelewengan dan dikelola
dengan baik sesuai dengan visi dan misinya.48
UU zakat juga menyebutkan jenis-jenis harta yang dikenai zakat yang
belum ada pada zaman Rasulullah saw yaitu hasil pendapatan dan jasa. Jenis
harta ini merupakan zakat untuk penghasilan pekerja modern, yang disebut
dengan zakat profesi. Bentuk zakat baru ini merupakan langkah maju,
mengingat seiring dengan perkembangan zaman maka hukum pun
berkembang mengiringinya, karena hukum agama Islam adalah universal,
elastis dan tidak hanya untuk pada saat itu saja.49
Selain itu, dalam undang-undang juga diatur tentang aturan
pembayaran zakat sekaligus pajak. Yaitu bagi masyarakat yang sudah
membayar zakat, maka pembayaran pajaknya akan dikurangi dengan
sejumlah zakat yang telah dibayarkan. Hal ini merupakan jalan tengah yang
lebih baik dan bisa diterima di tengah perdebatan pihak-pihak tertentu yang
ingin menyamakan zakat dan pajak. Karena bagaimanapun juga zakat tidak
bisa disamakan dengan pajak. Zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan
atas dasar Al- Qur’an dan Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban atas
dasar pemerintah.
Kehadiran Undang-Undang zakat tersebut, juga memberikan semangat
agar pengelolaan zakat ditangani oleh negara seperti yang telah dilakukan
pada masa awal Islam. Dalam ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh
48 Muhamad, Zakat Profesi, Wacana Pemikiran Zakat Dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 42.
49 Ibid.
39
negara dan pemerintah kepada orang-orang kaya dan untuk dibagikan kepada
para fakir miskin sebagai haknya.50
Dari uraian di atas, dapat ditarik garis besarnya bahwa di dalam harta
orang kaya, terdapat sebagian hak milik orang miskin yang harus dikeluarkan
melalui zakat bila sudah sampai pada nishabnya. Dari penjelasan tentang
zakat, baik menurut perspektif fiqh maupun perspektif UU No 38 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Zakat, peran amil sangat menentukan terhadap
keberhasilan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah (ZIS). Seorang amil zakat
yang mempunyai dedikasi tinggi, cakap, dan terampil, akan melaksanakan
pengelolaannya dengan baik. Dan apabila pengelolaannya dilaksanakan secara
professional, transparan, dan diberikan sesuai dengan sasarannya, maka tujuan
pengelolaan zakat akan berhasil. Dalam pendayagunaannya, pendistribusian
harta zakat diusahakan bersifat produktif, sehingga akan mencetak mustahiq
yang kreatif dan apabila mustahiq tersebut berhasil dalam menjalankan
usahanya, maka mustahiq akan berubah menjadi muzakki baru yang wajib
mengeluarkan zakat.
Keberhasilan amil zakat pada dasarnya tidak dipengaruhi oleh besar
kecilnya dana ZIS yang terkumpul, melainkan dari diantaranya :
1) Kesadaran para muzakki untuk mengeluarkan zakat.
2) Profesionalisme para amil zakat dalam mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat.
50 Ibid, hlm. 43.
40
3) Kreativitas mustahiq (yang mendapatkan ZIS produktif) dalam
meningkatkan dan mengembangkan usahanya.
41
Panduan Wawancara (Intervew Guide)
1. Bagaimana prosedur pengumpulan zakat yang dijalankan oleh LAZIS Al-
Muhajirin?
2. Bagaimana sistem pendayagunaan zakat yang dijalankan oleh LAZIS Al-
Muhajirin?
3. Bagaimana cara yang ditempuh LAZIS dalam mensosialisasikan zakat kepada
para muzakki?
4. Berapa besar dana ZIS yang terkumpul dalam satu tahun atau periode
tertentu?
5. Apakah para muzakki mengarahkan alokasinya untuk masing-masing zakat,
infaq dan shadaqah?
6. Bagaimana perbandingan dana yang diterima LAZIS antara zakat, infaq dan
shadaqah?
7. Sistem pembagian zakat yang dilakukan dengan cara konsumtif atau
produktif?
8. Bagaimana cara zakat tersebut diserahkan?
a) Langsung (dengan perantara) kepada 8 asnaf?
b) Memenuhi permintaan, dengan atau tanpa surat resmi?
9. Berapa besar dana yang diterima oleh mustahiq dalam satu tahun atau periode
tertentu?
10. Apakah para muzakki mengetahui kemana uang zakat itu didistribusikan?
42
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet ke-12, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet. Ke-1,2004.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang: CV. Toha Putra, 1995, hlm. 288.
Hafiddudin, Didin, Manajemen Syari’ah Dalam Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1.
________, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, Cet-1, 2002.
Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Research Sosial, Bandung: Mandar Maju,.1990.
Mas’udi, Masdar F. et.al. Pendayagunaan ZIS, Jakarta: Cet ke-1,2004.
_________, Menggagas Ulang Zakat, Bandung: Mizan, Cet. Ke-1, 2005.
Nasution, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1992.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 1996.
Qodir, Abdurrahman, Zakat Dalam Dimensi Mahdlah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke,-2.
Qordawi, Yusuf, Hukum zakat, Terjemahan, Bandung: Mizan, Cet-ke.4, 1993.
Raharjo, Dawan, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1999.
Syaifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: Toko Gunung Agung, Cet. Ke-10, 1997.