BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN...

26
17 BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN ZAKAT Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman Rasulullah saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju perkembangan Islam itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya. Selama ini pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk konsumtif sehingga hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang signifikan, yakni hanya bersifat sementara. Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna yang maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola zakat yang baik dan benar. Namun demikian tidak seharusnya kita berdiam diri dan tidak melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman telah menuntut kita untuk dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara profesional. Dalam masalah ini penulis akan berusaha memfokuskan kepada dua bahasan yakni pengelolaan zakat dalam perspektif fiqh dan pengelolaan zakat dalam perspektif hukum positif.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN...

17

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGELOLAAN ZAKAT

Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak zaman

Rasulullah saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan laju

perkembangan Islam itu sendiri.

Gambaran tersebut meliputi perkembangan pemikiran zakat pada tatanan

hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka modern. Salah satu yang

berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut aspek pengelolaannya.

Selama ini pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat dalam bentuk

konsumtif sehingga hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak yang

signifikan, yakni hanya bersifat sementara.

Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk memperoleh daya guna

yang maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya cara mengelola

zakat yang baik dan benar. Namun demikian tidak seharusnya kita berdiam diri

dan tidak melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman telah

menuntut kita untuk dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa dikelola secara

profesional.

Dalam masalah ini penulis akan berusaha memfokuskan kepada dua

bahasan yakni pengelolaan zakat dalam perspektif fiqh dan pengelolaan zakat

dalam perspektif hukum positif.

18

A. Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif Fiqih

Zakat menurut bahasa adalah berkah, tumbuh, bersih, suci, syukur, dan

baik.1 Sedang menurut istilah adalah mengeluarkan harta untuk diberikan

kepada orang-orang tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

oleh syara'.2

Zakat merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim untuk

kesejahteraan muslim dan oleh orang muslim.3 Menurut Wahbah Zuhaily,

zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki satu nisab

dari salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Nishab adalah

“kadar yang ditentukan oleh syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban

mengeluarkan zakat”.4

Adapun pengertian infaq yaitu mendermakan rezeki atau sesuatu

kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT semata.

Infaq dibedakan dari zakat dan shadaqah. Zakat merupakan derma yang telah

ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya, sedang infaq lebih luas

dan umum yakni tidak terdapat ketentuan mengenai jenis dan jumlah harta

yang akan dikeluarkan serta tidak ditentukan kepada siapa saja infaq tersebut

harus diberikan. Sementara itu, mengenai infaq dan shadaqah dari segi

pengertiannya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama mendermakan sesuatu

kepada orang lain. Namun dari segi waktu antara keduanya terdapat

1 Drs. Moh. Rifai, et.al., Kifayatul Akhyar, Alih Bahasa, Semarang: hlm. 114. 2 Ibid. 3 Munawir Syadzali, et. al, Zakat dan Pajak, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 1991, Cet

ke 2, hlm. 160. 4 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, terj. Bandung: Rosda Karya, 2004,

hlm. 2.

19

perbedaan, waktu untuk mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki

dari Allah tanpa ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkan, sedang pada

shadaqah tidak ada ketentuan waktu, jumlah maupun peruntukannya.5

Zakat menempati kedudukan yang sangat mendasar dan fundamental

dalam Islam. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Al-Qur’an

sering disertai dengan ancaman yang tegas, sebagaimana dijelaskan dalam

surat Taubah ayat 34:

والذين يكنزون الذهب والفضة وال ينفقونها في سبيل اهللا فبشرهم بعذاب … ). 34: التوبة (أليم

“…..Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkanya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih”.

Bahkan seringkali perintah membayar zakat diiringi dengan perintah

mengerjakan sholat. Hal ini menegaskan adanya kaitan komplementer antara

ibadah sholat dan zakat. Sholat berdimensi vertikal-ketuhanan, sementara

zakat berdimensi horizontal kemanusiaan. Zakat tidak hanya saja sebagai

wujud kebaikan hati orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin. Tetapi

zakat merupakan hak Tuhan dan hak orang miskin yang terdapat dalam harta

orang kaya, yang wajib dikeluarkan bila sudah mencapai nisabnya.6

Menurut Quraisy Shihab, zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan

harta benda, bahkan shadaqah dan infak pun demikian. Allah telah menjadikan

harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, dengan

5 Dahlan Abdul Azis (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm. 716-717.

6 Djamal Do’a, Pengelolaan Zakat Oleh Negara Untuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Korpus, Cet.1, hlm. 76.

20

demikian ia harus diarahkan untuk kepentingan bersama.7 Infaq menurut

Didin Khafidhuddin berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan

(penghasilan) untuk suatu kepentingan yang diperintahkan oleh Islam. jika

zakat ada nishabnya, infaq dan shadaqah tidak mengenal nishab. Infak

dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi

ataupun rendah (QS. Al-Imran: 134). Adapun dalam pendistribusiannya,

zakat harus diberikan kepada mustahiq tertentu (delapan ashnaf), sedangkan

infaq dan shadaqah boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk

kedua orang tua, anak yatim dan sebagainya.8

Selain perintah untuk mengeluarkan zakat, Islam juga mengatur

dengan tegas dan jelas tentang pemungutan dan pengelolaan harta zakat.

Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw.

pernah berkata kepada mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke

Yaman.9

فأعلمهم أن اهللا افترض عليهم صدقة ىف امواهلم تؤخد من أغنياؤهم وترد على ... ...فقراؤهم

…Beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah SWT mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang kafir di antara mereka…10 Menurut Syekhul Islam al-Hafiz Ibnu hajar, hadits di atas dapat

dijadikan dalil bahwa imamlah yang berhak memungut dan membagikan

7 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 323. 8 Didin Khafiduddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak, Sedekah, Jakarta: Gema

Insani, 1998, hlm. 14-15. 9 Abdillah bin Ismail, Shahih al- Bukhari, Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/ 1992

M, hlm. 427. 10 Wahbah Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, op. cit, hlm. 277.

21

zakat, baik ia sendiri yang melakukannya atau melalui wakilnya. Dan mereka

yang enggan mengeluarkan zakat akan dipaksa.11

Begitu jelasnya kewajiban untuk mengeluarkan zakat, sehingga

khalifah Abu Bakar pernah memerangi orang yang menolak mengeluarkan

zakat di masa pemerintahannya. Pembahasan tentang zakat telah banyak

dilakukan, tetapi telaah dari perspektif pemberdayaan ekonomi masyarakat

nampaknya belum banyak menjadi sorotan. Padahal dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, zakat tidak hanya dimaknai secara teologis (ibadah)

saja yaitu sebagai manifestasi kepatuhan individu kepada Tuhan, tetapi

dimaknai secara sosio ekonomi juga yaitu sebagai mekanisme distribusi

kekayaan. Sehingga selain membersihkan jiwa, dan harta benda, zakat juga

berfungsi sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.12

Pada zaman Nabi Saw dan para Khalifah al Rasyidun, zakat

merupakan suatu lembaga negara, sehingga negara mempunyai kewajiban

untuk menghitung zakat para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan

para khalifah al Rasyidun membentuk badan pengumpul zakat, untuk

kemudian mengirim para petugasnya menarik zakat dari mereka yang

ditetapkan sebagai wajib zakat. Zakat yang sudah terkumpul tersebut

dimasukkan ke baitul mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh

pemerintah berdasarkan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah.

11 Al-Hafiz Ibnu hajar, Fathul Barri, Beirut: Dar al- Fikr, tth, Jilid III, hlm. 261. 12 Djamal Do’a, op.cit, hlm. 76.

22

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy untuk menghasilkan pengumpulan

zakat maka para pengusaha sebaiknya mengadakan “Badan Amalah” atau

petugas yang mengurusi zakat.13

Kemudian menurut As-Syirazy: “wajib atas kepala negeri mengadakan

badan amalah (pengumpul zakat) dan mengutus mereka pergi memungut zakat

dan mengumpulkannya dari yang bersangkutan”.

Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, katanya:

. ان رسول اهللا بعث عمربن اخلطاب على الصدقة “Bahwasanya Rasulullah saw telah mengutus Umar Ibnu Khathab, pergi memungut zakat”.14

Badan pengumpul zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang

terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh

dedikasi, jujur, dan amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah,

kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak akan sampai kepada

mustahiq.15

Oleh karena itu, tenaga yang terampil menguasai masalah-masalah

yang berhubungan dengan zakat, jujur dan amanah sangat dibutuhkan dalam

sistem pengelolaan zakat yang professional. Karena salah satu sebab mengapa

pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita kadangkala macet, barangkali yaitu

karena banyak badan pengumpul zakat yang tidak memenuhi kriteria tersebut.

Menurut Amin Rais, ada dua sebab mengapa kewajiban zakat menjadi tidak

13 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Jakarta: Bulan Bintang, Cet Ke-5, 1984, hlm.

77. 14 An- Nawawi, Al-Majmu’, Al- Mathba'ah, Mesir, tth, hlm. 167. 15 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKIS, tth, hlm. 152.

23

lancar yaitu, pertama memang para wajib zakat belum sadar pada kewajiban

agamanya. Kedua, mereka sudah sadar, tetapi enggan mengeluarkannya

karena tidak percaya sepenuhnya pada panitia pengumpul zakat.16

Dalam buku Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Thoyib I.M17.

menjelaskan bahwa kesadaran dari umat Islam sendiri dalam menunaikan

zakat masih sangat rendah walaupun rata-rata orang Islam menyadari akan

pentingnya zakat jika dilaksanakan sebagaimana mestinya. Orang Islam rata-

rata lebih rajin bersembahyang, puasa dan naik haji daripada membayar zakat.

Ini salah satu dari ciri bahwa tingkat keimanannya sebenarnya masih rendah,

dan pertanda bahwa sifat kikir dan tamak masih kuat melekat pada mereka.

Sementara itu menurut Daud ali, kesadaran umat Islam yang cukup

tinggi dalam mengeluarkan zakat baru tampak dalam penuaian zakat fitrah,

sedangkan kesadaran yang sama untuk mengeluarkan zakat harta masih

sedikit.18 Dengan melihat masih rendah dan tipisnya tingkat kesadaran umat

Islam dalam mengeluarkan zakat harta, maka pensosialisasian dan penyuluhan

kepada umat Islam tentang esensi zakat sangat perlu diadakan oleh para amil

atau da’i zakat.

1. Pengertian Amil

16 Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, Cet IV, 1995,

hlm. 63. 17 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Bandung: PT.

Remaja Rosda Karya, tth, hlm. 155. 18 Mohamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,Jakarta: UI Press, Cet. I,

hlm. 63.

24

Kata ‘amil berasal dari kata ‘amal yang biasa diterjemahkan

dengan “yang mengerjakan atau pelaksana”.19Amil adalah orang atau

badan yang mengurus soal zakat dan shadaqah dengan cara

mengumpulkan, mencatat dan menyalurkan atau membagikannya kepada

mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam.20

Muhammad Rasyid Ridha ketika menafsirkan ayat 60 surat At-

Taubah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan amil zakat, yaitu:

“mereka yang ditugaskan oleh Imam atau pemerintah atau yang

mewakilinya, untuk melaksanakan pengumpulan zakat dan dinamai al-

jubat, serta menyimpan atau memeliharanya yang dinamai al-hazanah

(bendaharawan), termasuk pula para penggembala, petugas administrasi.

Mereka semua harus terdiri dari orang-orang muslim.21

Berdasarkan definisi di atas, maka seorang amil haruslah yang

diangkat sebagai petugas oleh pemerintah. Berbeda dengan pendapat

Rasyid Ridha, Abu Zahrah memudahkan dalam mendefinisikan amil,

menurutnya amil adalah “mereka yang bekerja untuk pengelolaan zakat,

menghimpun, menghitung, mencari orang-orang yang butuh (mustahiq)

serta membagikan kepada mereka”.22

Yusuf Qardhawi lebih jelas lagi memperinci para amil zakat,

dengan menyatakan: “Semua orang yang terlibat atau ikut aktif dalam

19 Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur'an, op. cit, hlm. 325.

20 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1993, hlm. 134.

21 M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, Mesir, 1368H, Jilid 10, hlm. 513.

22 Quraish Shihab, op.cit., hlm. 326.

25

organisasi kezakatan termasuk penanggung jawab, para pengumpul,

pembagi, bendaharawan, penulis, dan sebagainya.23

Walaupun sebagian ulama berpendapat bahwa amil tidak harus

diangkat atau ditunjuk penguasa, namun semua ulama sependapat bahwa

keterlibatan imam dalam pengelolaan zakat merupakan suatu

kebijaksanaan yang terpuji.24

Memang pada awal Islam, para amil diangkat langsung oleh

Rasulullah saw. Tetapi pada masa pemerintahan Usman r.a. kebijaksanaan

pengumpulan zakat diubah. Pada masa Nabi saw para sahabat

menyerahkan harta zakat itu kepada beliau untuk kemudian beliau

serahkan kepada para baitul maal atau para amil agar dibagikan sesuai

dengan petunjuk agama. Tetapi pada masa ‘Utsman, karena harta

kekayaan telah sedemikian melimpah, dan demi kemaslahatan umum,

beliau mengalihkan wewenang pembagian kepada pemilik harta secara

langsung. Tetapi pengalihan ini tidak menghilangkan kewajiban imam

untuk maksud tersebut.25

Meskipun muzakki telah memperoleh wewenang dari penguasa

untuk membagikan zakatnya sendiri kepada yang berhak, tetapi wewenang

itu hanya menjadikannya sebagai wakil dari imam atau pemerintah.

Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya ketika menafsirkan surat Al-Taubah

ayat 60, menulis: “Ayat ini menunjukkan bahwa Imam atau yang

23 Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Al-Zakat, Muassasah Al-Risalah, Dar Al-Qalam, Beirut, Cet

VI, Jilid II, hlm. 576. 24 Quraish Shihab, op .cit. 25 Sjechul Hadi P, Pemerintah Republik Indonesia Sebagai Pengelola Zakat, Jakarta:

Pustaka Firdaus, Cet I, 1993, hlm. 8.

26

ditugaskannya berkewajiban mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat.

Buktinya adalah bahwa Allah menetapkan petugas-petugas untuk maksud

tersebut. Ini dikuatkan lagi dengan firman-Nya: “Ambillah zakat dari

sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan

mensucikan mereka”26 (QS. 9: 103).

Seorang amil zakat hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut27:

1. Hendaklah dia seorang muslim, karena zakat itu urusan kaum

muslimin, maka Islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka.

2. Hendaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa

yang sehat akal pikirannya, sehingga patut diserahi tugas yang

berkaitan dengan kepentingan umat.

3. Petugas zakat itu hendaklah orang jujur, karena dia diamanati harta

kaum muslimin.

4. Memahami hukum-hukum zakat, sebab bila ia tidak mengetahui

hukum zakat tak mungkin mampu melaksanakan pekerjaannya, dan

akan lebih banyak berbuat kesalahan.

5. Kemampuan untuk melaksanakan tugas. Petugas zakat hendaklah

memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya. Kejujuran saja

belum mencukupi bila tidak disertai kemampuan untuk bekerja.

2. Hak dan Kewajiban Amil

26 Al-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, Dar al-Kitab al Ulumiyyah, Beirut: 1938, Jilid VIII, hlm.

80.. 27 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, terj. Bandung: Litera Antar Nusa dan Mizan, Cet ke-4,

1993, hlm. 551-552.

27

Petugas amil zakat mempunyai berbagai macam tugas dan

pekerjaan yang berhubungan dengan pengaturan tentang zakat.

Diantaranya yaitu soal sensus atau pendataan terhadap orang-orang yang

wajib zakat, dan macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang

wajib dizakati, kemudian mengetahui para mustahiq zakat. Berapa jumlah

mereka, dan hal-hal lain yang merupakan urusan yang perlu ditangani

secara sempurna oleh para ahli dan petugas serta para pembantunya.28

Para amil zakat, pada garis besarnya dapat dikategorikan menjadi

dua kelompok, yakni para pengumpul dan para pembagi29:

a) Para pengumpul, bertugas mendata dan menetapkan muzakki.

Dalam hal ini para pengumpul menetapkan jenis-jenis harta

mereka yang wajib dizakati, dan jumlah yang harus mereka bayar.

Kemudian mengambil dan menyimpannya untuk diserahkan kepada

para petugas yang membagikan apa yang telah mereka kumpulkan itu.

Para pengumpul juga harus mengetahui hukum-hukum zakat, misalnya

hal-hal yang berkaitan dengan jenis harta, kadar nishab, haul dan

sebagainya.

b) Para pembagi, bertugas mendata dan menetapkan siapa saja yang

berhak mendapatkan zakat.

Dalam hal ini para amil harus mengetahui siapa-siapa saja yang

berhak menerima zakat; seperti misalnya siapa yang dimaksud dengan

fakir dan miskin, apa syarat-syarat yang harus terpenuhi.untuk dinamai

28 Ibid, hlm. 546. 29 Quraish Shihab, op.cit, hlm. 328-329

28

dengan fakir dan miskin, gharim, ibn sabil, muallaf dan sebagainya.

Para amil yang bertugas juga diharapkan mengetahui tata krama

pembagian harta zakat, serta doa-doa yang berkaitan dengan tugas-

tugasnya, karena hal ini sangat penting, bukan hanya bagi para

pemberi dan penerima tetapi juga bagi kesempurnaan ibadah zakat.

Amil adalah sangat penting dalam urusan pengelolaan zakat

sehingga dalam surat Taubah ayat 60 Allah SWT menetapkan sebagai

salah satu kelompok yang berhak menerima bagian zakat.30 Menurut

Yusuf Qardhawi amil juga adalah pegawai, maka hendaklah ia diberi upah

sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan tidak juga berlebihan.

Dan meskipun amil termasuk seorang yang kaya, ia tetap diberi zakat,

karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya, bukan berupa

pertolongan bagi yang membutuhkan. Sebagaimana dijelaskan dalam

sunan Ibnu Majah dari Nabi Saw yang mengatakan:

لغاز يف سبيل اهللا، أو لعامل عليها، أو : ال حتل الصدقة لغين، إال اخلمسة لغارم، أو لرجل إشتراها مباله، أو لرجل كان له جار مسكني فتصدق على

. فأهداها املسكني للغين،املسكني“Tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali dalam lima hal. Pertama, orang berperang di jalan Allah. Kedua, karena jadi amil zakat. Ketiga, orang berhutang. Keempat, orang yang membeli barang sedekah dengan hartanya. Kelima orang yang tetangganya seorang miskin, lalu ia bersedekah kepada orang miskin itu, maka dihadiahkannya kembali kepada orang kaya itu pula”.31

Menurut Imam Syafi’i, bagian para ‘amil adalah sama dengan

bagian kelompok lainnya, yaitu masing-masing seperdelapan. Karena

30 Ibid. 31 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Darul Fikr, Beirut, hlm. 590.

29

didasarkan pada pendapatnya yang menyamakan bagian semua golongan

mustahiq. Adapun kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, maka

harus diambilkan dari harta yang ada di luar zakat.32

Ibn Rusyd menegaskan dalam Bidayah Al-Mujtahid bahwa para

fuqoha’ yang memberikan hak bagi amil yang kaya untuk memperoleh

bagian zakat membenarkan pula pemberiannya kepada para qadhi atau

hakim agama dan orang-orang yang semacamnya yang memberi manfaat

kepada kaum muslim, karena para fuqoha tersebut berpendapat bahwa illat

penyerahan zakat bagi delapan ashnaf bukan sekedar karena kebutuhan

mereka, tetapi juga karena manfaat yang mereka dapat berikan kepada

kaum muslimin.33

32 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, terj. op.cit., hlm. 556. 33 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Jakarta: Pustaka Amani, cet. I, 1995, hlm. 64.

30

3. Tujuan dan Fungsi Amil

Amil zakat, yang secara tekstual terdapat dalam surat Taubat ayat

60, memiliki peran yang sangat penting, baik dalam pengumpulan dan

pendistribusian ZIS maupun dalam usaha melakukan kegiatan

pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Upaya pendekatan yang digerakan dari bawah oleh amil dalam

rangka merebut hati dan kepercayaan dari umat sangat perlu dilakukan,

bahkan mungkin saja merupakan cara yang tepat dan efektif. Akan lebih

baik juga jika dipelajari segi-segi sosialnya dan perilaku atau sifat-sifat

dari masyarakat tersebut sehingga mudah untuk memasukinya. Dengan

mengetahui watak anggota-anggota masyarakat, cara serta taktik

pendekatannya akan bisa lebih kena dan lebih diterima oleh masyarakat.

Unsur ulama serta pengurus masjid yang selama ini juga telah teruji

kejujuran dan kepemimpinannya juga tidak boleh diabaikan karena kendali

jiwa dari umat selama ini juga terletak di tangan mereka. Namun mereka

juga perlu didampingi oleh seseorang yang berpikiran maju dan mengerti

cara-cara serta manajemen modern disamping juga memiliki kejujuran

yang dapat dipercaya.34

Kemudian mengumpulkan dan mengolah data masyarakat yang

bersangkutan untuk mengetahui apakah anggota-anggota keluarga

termasuk ke dalam yang wajib membayar atau menerima zakat. Dari daftar

tersebut dan melakukan pendekatan kepada mereka kita akan dapat

34 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit, hlm. 158.

31

menentukan prioritas siapa yang paling patut dibantu dan dalam bentuk

apa sebaiknya bantuan itu diberikan, apakah itu berupa modal untuk

berusaha, dalam bentuk apa dan berapa, apakah itu berupa beasiswa, uang

sekolah untuk anak-anak dan lain sebagainya.35

Mengadakan penyuluhan untuk sosialisasi zakat juga sangat perlu

dilakukan, hal ini menduduki fungsi kunci untuk keberhasilan

pengumpulan ZIS. Karena itu setiap sarana harus dimanfaatkan secara

optimal, mulai dari medium khutbah jum’at, majelis taklim, surat kabar,

majalah, melihat secara langsung penyaluran dan pendayagunaan ZIS,

dapat dalam bentuk gambar, tayangan televisi, dan sebagainya. Dengan hal

ini mungkin akan menumbuhkan kepercayaan kepada para muzakki.36

Fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung antara wajib zakat

atau muzakki dan yang berhak menerima zakat; ia berkewajiban

menyampaikan harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak

dengan cara yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan tujuan

disyariatkannya zakat itu. Dengan telah diserahkannya harta itu oleh wajib

zakat kepada amil zakat, maka beban muzakki akan terlepas dari

kewajiban membayar zakat.37

Sebagai perantara atau penghubung, amil harus mampu mengelola

keuangan dengan baik dan benar. Pemisahan yang jelas antara sumber

35 Ibid. 36 Didin Khafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 100. 37 Amir Syarifuddin, Pemeliharaan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Jakarta: Angkasa

Raya, 197.

32

keuangan dan pengalokasian yang tepat pada dasarnya, akan semakin

menguatkan posisi amil tersebut.

Menurut Imam al-Jashah, amil zakat memiliki beberapa fungsi, di

antaranya adalah:

1. Menentukan dan mengidentifikasi orang-orang yang terkena wajib

zakat (muzakki).

2. Menetapkan kriteria harta benda yang wajib dizakati.

3. Menyeleksi jumlah para mustahiq zakat.

4. Menetapkan jadwal pembayaran zakat bagi masing-masing muzakki.

5. Menentukan kriteria penyaluran harta zakat bagi tiap-tiap mustahik

sesuai dengan kondisi masing-masing.38

Setelah berfungsinya badan amil zakat seperti yang dimaksudkan

di atas, maka untuk mencapai hasil yang maksimal, efektif dan efisien

serta tercapainya sasaran dan tujuan zakat maka pendayagunaannya lebih

baik dan diusahakan yang bersifat produktif.

Hendaknya model pemberian zakat secara konvensional yakni

yang bersifat konsumtif seperti yang diterapkan selama ini hanya

diberikan kepada fakir miskin yang betul-betul tidak mempunyai potensi

produktif, seperti karena usia sangat lanjut, cacat fisik atau mental dan

sebagainya. Terhadap mustahik tersebut, lembaga amil zakat mempunyai

wewenang untuk menetapkan cara bagaimana menuntaskan kemiskinan

38 Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, Cet. II, 2001, hlm. 171.

33

mereka dengan harta zakat itu. Karena pada hakekatnya kebijaksanaan dan

pengelolaan harta zakat sepenuhnya ada ditangan lembaga amil zakat.39

Sebenarnya zakat produktif sudah pernah dicontohkan oleh

Khalifah Umar Ibn Khathab, yang menyerahkan zakat berupa tiga ekor

unta sekaligus kepada salah seorang mustahiq yang kerap datang untuk

meminta zakatnya tetapi nasibnya tetap belum berubah. Dengan demikian

Khalifah Umar memberikan zakat dalam bentuk produktif dengan harapan

yang bersangkutan tidak datang lagi sebagai penerima zakat, tetapi sebagai

pembayar zakat dari hasil keuntungannya. Dan ternyata harapan Khalifah

Umar pun menjadi kenyataan.40

Pemanfaatan harta zakat yang dijelaskan dalam fiqh memberi

petunjuk perlunya suatu kebijaksanaan dan kecermatan dalam pemerataan

dan penyamaan kebutuhan yang nyata dari kelompok-kelompok penerima

zakat, kemampuan mustahiq dalam menggunakan dana zakat yang

mengarah kepada peningkatan kesejahteraannya dan kebebasannya dari

kemelaratan, sehingga pada gilirannya mustahik tidak lagi menjadi

penerima zakat, tetapi akan menjadi pembayar zakat. Telah banyak

dijelaskan bahwa jika penerima zakat mempunyai keahlian atau

keterampilan, maka pemberian sebaiknya dalam bentuk modal usaha yang

memungkinkan mustahiq akan mendapatkan keuntungan yang dapat

39 Ibid, hlm. 171-172. 40 Ibid, hlm. 173

34

memenuhi kebutuhannya, sehingga akan berjalan terus dan tidak langsung

habis seperti jika diberikan dalam bentuk konsumtif.41

Konsep zakat produktif inilah yang paling memungkinkan lebih

efektif terwujudnya tujuan zakat. Dengan demikian, zakat bukan lagi

sebagai tujuan, tetapi sebagai alat mencapai tujuan yaitu mewujudkan

keadilan sosial dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Namun perlu

diperhatikan pula, bahwa keberhasilan amil zakat bukan ditentukan oleh

besar kecilnya dana ZIS yang dihimpun atau didayagunakan, melainkan

juga pada sejauh mana para mustahiq (yang mendapatkan ZIS produktif)

tersebut dapat mengembangkan dan meningkatkan kegiatan usahanya.

Oleh karena itu, aspek monitoring dan pembinaan dari amil atau da’i zakat

perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.

B. Pengelolaan Zakat Dalam Perspektif UU No.38 Tahun 1999 Tentang

Pengelolaan Zakat

Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

pengelolaan zakat dan keputusan menteri agama Nomor 581 tahun 1999,

pelaksanaan zakat diatur oleh negara dan dilaksanakan oleh badan khusus

yang mengatur itu. Dalam pelaksanaan akan efektif jika badan resmi yang

mengelola dan mengontrolnya juga diikuti dengan sanksi-sanksi. Turut

campurnya pemerintah dalam kegiatan keagamaan ini bukan merupakan

barang baru karena sejak semula pemerintah pun mengatur tentang soal-soal

41 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, Cet. II, 1994, hlm. 236.

35

perkawinan, haji, pendidikan agama, dan peradilan agama. Dengan demikian,

pengaturan zakat ini perlu dilakukan karena manfaat dan kegunaannya adalah

jelas sekali. Apalagi dewasa ini aspek pemerataan dan memerangi kemiskinan

merupakan tema utama dari pembangunan, dengan mengelola urusan zakat

secara professional akan memperlancar pembangunan tersebut.42

Dalam Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa

organisasi yang berhak mengelola zakat terbagi menjadi dua bagian. Yakni

organisasi yang dibentuk oleh pemerintah disebut Badan Amil Zakat (BAZ)

yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari

unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,

mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan

agama.43 Serta organisasi yang tumbuh atas prakarsa masyarakat, disebut

Lembaga Amil Zakat (LAZ) yaitu institusi pengelolaan zakat yang

sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang

bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat

Islam.44

Namun demikian, kedua bentuk organisasi ini memiliki kesamaan

tujuan, yakni bertujuan mengelola dana zakat dan sumber-sumber dana sosial

yang lain secara maksimal untuk keperluan umat. Sebagaimana termuat dalam

keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29

Tahun 1991/ 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan

42 Thoyib I.M. dan Sugiyanto, op.cit, hlm. 156. 43 Dalam keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU

Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Pasal 1 ayat 1, hlm. 25. 44 Ibid, Pasal 1 Ayat 2.

36

Shadaqah (BAZIS) pasal 6, bahwa fungsi utama dari BAZIS adalah sebagai

wadah pengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran, dan pendayagunaan

zakat, infak, dan shodaqoh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan

nasional.

Dari pasal 6 yang tersebut di atas, maka fungsi dari BAZIS, adalah

mengumpulkan zakat, infak dan shadaqah dari masyarakat. Pengumpulan

zakat, infak dan shodaqoh oleh BAZIS itu dilakukan dengan cara menerima

dan atau mengambil dari muzakki atas pemberitahuan dari muzakki.

Perhitungan zakat dilakukan oleh muzakki itu sendiri, kecuali apabila muzakki

itu tidak mampu melaksanakannya, maka pihak BAZIS akanmembantu

muzakki untuk menghitung zakatnya.45

Dengan semakin banyaknya organisasi pengelola zakat, maka akan

semakin mudah dalam mensosialisasikan zakat. Di samping itu masyarakat

muzakki dapat lebih leluasa memilih lembaga yang amanah dan professional.

Seiring dengan berjalannya waktu, maka dengan sendirinya akan muncul dua

kemungkinan: Pertama, dalam mengeluarkan zakat para muzakki akan

memilih lembaganya yaitu lembaga amil akan terseleksi dengan sendirinya,

sehingga bisa jadi lembaga yang terbentuk dengan motivasi yang kurang baik

akan macet, sebaliknya lembaga yang dibentuk dengan motif yang benar akan

semakin berkembang. Kedua, akan terjadi saingan yang sehat yang saling

45 H.A. Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, hlm. 48.

37

menguatkan satu dengan lainnya. Dan antar lembaga amil tersebut akan saling

menjual kelebihan dan program unggulan untuk meyakinkan para muzakki.46

Badan amil zakat dan lembaga amil zakat bisa dibentuk pada semua

tingkatan, mulai tingkat nasional sampai tingkat lokal. Dalam BAZ,

kepengurusannya memiliki struktur baku sesuai dengan wilayah dalam

ketatanegaraan. Struktur tertinggi ada di pusat dan terendah di tingkat

kecamatan. Sedang di desa atau di kelurahan tidak sampai pada tingkatan

BAZ tetapi hanya terbatas pada unit pengumpul (UPZ). BAZ tingkat nasional

pembentukannya disahkan oleh presiden, di propinsi oleh Gubernur dan

seterusnya sampai tingkat kecamatan.

Namun dalam LAZ pembentukannya sangat bervariasi yaitu

tergantung pada motivasi para pendirinya. Ini bukan berarti untuk mendapat

pengesahan sebagai lembaga amil, tidak ada mekanismenya. Pemerintah

dalam UU tersebut telah menetapkan mekanisme pembentukan lembaga amil,

sehingga tidak sembarang orang dapat dengan mudah mendirikan lembaga

amil. Dalam perkembangan organisasi dan keuangannya, pemerintah berhak

untuk mengawasinya.47

Undang-Undang zakat secara garis besar memuat aturan tentang

pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan

professional, dilakukan oleh amil yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. Jurnal

dikeluarkan secara periodik dan pengawasannya akan dilakukan oleh ulama,

tokoh masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi kelalaian atau kesalahan

46 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, Cet Ke-1, 2004, hlm. 206.

47 Ibid, hlm. 207.

38

dalam pencatatan harta zakat, bisa dikenakan sanksi sehingga memungkinkan

harta zakat akan terhindar dari bentuk-bentuk penyelewengan dan dikelola

dengan baik sesuai dengan visi dan misinya.48

UU zakat juga menyebutkan jenis-jenis harta yang dikenai zakat yang

belum ada pada zaman Rasulullah saw yaitu hasil pendapatan dan jasa. Jenis

harta ini merupakan zakat untuk penghasilan pekerja modern, yang disebut

dengan zakat profesi. Bentuk zakat baru ini merupakan langkah maju,

mengingat seiring dengan perkembangan zaman maka hukum pun

berkembang mengiringinya, karena hukum agama Islam adalah universal,

elastis dan tidak hanya untuk pada saat itu saja.49

Selain itu, dalam undang-undang juga diatur tentang aturan

pembayaran zakat sekaligus pajak. Yaitu bagi masyarakat yang sudah

membayar zakat, maka pembayaran pajaknya akan dikurangi dengan

sejumlah zakat yang telah dibayarkan. Hal ini merupakan jalan tengah yang

lebih baik dan bisa diterima di tengah perdebatan pihak-pihak tertentu yang

ingin menyamakan zakat dan pajak. Karena bagaimanapun juga zakat tidak

bisa disamakan dengan pajak. Zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan

atas dasar Al- Qur’an dan Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban atas

dasar pemerintah.

Kehadiran Undang-Undang zakat tersebut, juga memberikan semangat

agar pengelolaan zakat ditangani oleh negara seperti yang telah dilakukan

pada masa awal Islam. Dalam ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh

48 Muhamad, Zakat Profesi, Wacana Pemikiran Zakat Dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 42.

49 Ibid.

39

negara dan pemerintah kepada orang-orang kaya dan untuk dibagikan kepada

para fakir miskin sebagai haknya.50

Dari uraian di atas, dapat ditarik garis besarnya bahwa di dalam harta

orang kaya, terdapat sebagian hak milik orang miskin yang harus dikeluarkan

melalui zakat bila sudah sampai pada nishabnya. Dari penjelasan tentang

zakat, baik menurut perspektif fiqh maupun perspektif UU No 38 Tahun 1999

Tentang Pengelolaan Zakat, peran amil sangat menentukan terhadap

keberhasilan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah (ZIS). Seorang amil zakat

yang mempunyai dedikasi tinggi, cakap, dan terampil, akan melaksanakan

pengelolaannya dengan baik. Dan apabila pengelolaannya dilaksanakan secara

professional, transparan, dan diberikan sesuai dengan sasarannya, maka tujuan

pengelolaan zakat akan berhasil. Dalam pendayagunaannya, pendistribusian

harta zakat diusahakan bersifat produktif, sehingga akan mencetak mustahiq

yang kreatif dan apabila mustahiq tersebut berhasil dalam menjalankan

usahanya, maka mustahiq akan berubah menjadi muzakki baru yang wajib

mengeluarkan zakat.

Keberhasilan amil zakat pada dasarnya tidak dipengaruhi oleh besar

kecilnya dana ZIS yang terkumpul, melainkan dari diantaranya :

1) Kesadaran para muzakki untuk mengeluarkan zakat.

2) Profesionalisme para amil zakat dalam mendistribusikan dan

mendayagunakan zakat.

50 Ibid, hlm. 43.

40

3) Kreativitas mustahiq (yang mendapatkan ZIS produktif) dalam

meningkatkan dan mengembangkan usahanya.

41

Panduan Wawancara (Intervew Guide)

1. Bagaimana prosedur pengumpulan zakat yang dijalankan oleh LAZIS Al-

Muhajirin?

2. Bagaimana sistem pendayagunaan zakat yang dijalankan oleh LAZIS Al-

Muhajirin?

3. Bagaimana cara yang ditempuh LAZIS dalam mensosialisasikan zakat kepada

para muzakki?

4. Berapa besar dana ZIS yang terkumpul dalam satu tahun atau periode

tertentu?

5. Apakah para muzakki mengarahkan alokasinya untuk masing-masing zakat,

infaq dan shadaqah?

6. Bagaimana perbandingan dana yang diterima LAZIS antara zakat, infaq dan

shadaqah?

7. Sistem pembagian zakat yang dilakukan dengan cara konsumtif atau

produktif?

8. Bagaimana cara zakat tersebut diserahkan?

a) Langsung (dengan perantara) kepada 8 asnaf?

b) Memenuhi permintaan, dengan atau tanpa surat resmi?

9. Berapa besar dana yang diterima oleh mustahiq dalam satu tahun atau periode

tertentu?

10. Apakah para muzakki mengetahui kemana uang zakat itu didistribusikan?

42

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet ke-12, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,cet. Ke-1,2004.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Semarang: CV. Toha Putra, 1995, hlm. 288.

Hafiddudin, Didin, Manajemen Syari’ah Dalam Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. Ke-1.

________, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, Cet-1, 2002.

Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Research Sosial, Bandung: Mandar Maju,.1990.

Mas’udi, Masdar F. et.al. Pendayagunaan ZIS, Jakarta: Cet ke-1,2004.

_________, Menggagas Ulang Zakat, Bandung: Mizan, Cet. Ke-1, 2005.

Nasution, S., Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1992.

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 1996.

Qodir, Abdurrahman, Zakat Dalam Dimensi Mahdlah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke,-2.

Qordawi, Yusuf, Hukum zakat, Terjemahan, Bandung: Mizan, Cet-ke.4, 1993.

Raharjo, Dawan, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1999.

Syaifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: Toko Gunung Agung, Cet. Ke-10, 1997.